Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN CHOLELITIASIS

Oleh :

AYU SRI DEWI, S.KEP


NIM: C2221159

PROGRAM STUDI NERS SEKOLAH


TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN CA MAMMAE
Tanggal 10-13 Mei 2021

Diajukan Oleh

Ayu Sri Dewi, S.Kep


NIM : C2221159

Preseptor Akademik
Preseptor Klinik

Ns. N.P.Arysta Kusuma Dewi, S.Kep Ns. Ida Ayu Agung Laksmi, S. Kep., M. Kep
NIP. 199101102015042003 NIDN : 0801019002

Mengetahui
STIKES Bina Usada Bali
Ka Prodi
Profesi Ners

Ns. I Putu Artha Wijaya, S.Kep., M.Kep


NIDN : 0821058603
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN (TINJAUAN TEORI)

A. DEFINISI
Cholelitiasis adalah 90% batu kolesterol dengan komposisi kolesterol lebih
dari 50%, atau bentuk campuran 20-50% berunsurkan kolesterol dan predisposisi dari
batu kolesterol adalah orang dengan usia yang lebih dari 40 tahun, wanita, obesitas,
kehamilan, serta penurunan berat badan yang terlalu cepat. (Cahyono, 2014)
Cholelitiasis adalah terdapatnya batu di dalam kandung empedu yang
penyebab secara pasti belum diketahui sampai saat ini, akan tetapi beberapa faktor
predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu dan infeksi yang terjadi pada kandung
empedu serta kolesterol yang berlebihan yang mengendap di dalam kandung empedu
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti, faktor hormonal selama proses
kehamilan, dapat dikaitkan dengan lambatnya pengosongan kandung empedu dan
merupakan salah satu penyebab insiden kolelitiasis yang tinggi, serta terjadinya infeksi
atau radang empedu memberikan peran dalam pembentukan batu empedu.(Rendi, 2012)
Cholelitiasis merupakan endapan satu atau lebih komponen diantaranya
empedu kolesterol, billirubin, garam, empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Batu empedu biasanya terbentuk dalam kantung empedu terdiri dari unsur-
unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu empedu memiliki ukuran, bentuk dan
komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu yang tidak lazim dijumpai pada anak-
anak dan dewasa muda tetapi insidenya semakin sering pada individu yang memiliki
usia lebih diatas 40 tahun. setelah itu insiden cholelitiasis atau batu empedu semakin
meningkat hingga sampai pada suatu tingkat yang diperkirakan bahwa pada usia 75
tahun satu dari 3 orang akan memiliki penyakit batu empedu, etiologi secara pastinya
belum diketahui akan tetapi ada faktor predisposisi yang penting diantaranya: gangguan
metabolisme, yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, adanya statis
empedu, dan infeksi atau radang pada empedu. Perubahan yang terjadi pada komposisi
empedu sangat mungkin menjadi faktor terpenting dalam terjadinya pembentukan batu
empedu karena hati penderita cholelitiasis kolesterol mengekskresi empedu yang sangat
jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan tersebut mengendap di dalam
kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui secara pasti) untuk membentuk
batu empedu, gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingterrodi, atau
mungkin keduanya dapat menyebabkan statis empedu dalam kandung empedu. Faktor
hormon (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan
pengosongan kandung empedu, infeksi bakteri atau radang empedu dapat menjadi
penyebab terbentuknya batu empedu. Mukus dapat meningkatkan viskositas empedu
dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat pengendapan. Infeksi lebih
timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab terbentuknya cholelithiasis
(Haryono, 2012).
B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1 Anatomi Fisiologi Kandung Empedu


Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya
sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fossa yang menegaskan batas anatomi antara
lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk
bulat lonjong seperti buah advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu
mempunyai fundus, korpus, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari
kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian
terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung
empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika.
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu
yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran
lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus
bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus (Syaifuddin, 2011).
a. Anatomi kandung empedu
1) Struktur empedu
Kandung empedu adalah kantong yang berbentuk bush pir yang terlerak
pada permukaan visceral. Kandung empedu diliputi oleh peritoneum kecuali
bagian yang melekat pada hepar, terletak pada permukaan bawah hati
diantara lobus dekstra dan lobus quadratus hati.
2) Empedu terdiri dari:
a) Fundus Vesika fela: berbentuk bulat, biasanya menonjol di bawah tepi
inferior hati, berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
rawan ujung kosta IX kanan.
b) Korpus vesika fela: bersentuhan dengan permukaan visceral hati
mengarah ke atas ke belakang dan ke kiri.
c) Kolum vesika felea: berlanjut dengan duktus sistikus yang berjalan
dengan omentum minus bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus
komunis membentuk doktus koledukus.
3) Cairan empedu
Cairan empedu merupakan cairan yang kental berwarna kuning keemasan
(kuning kehijauan) yang dihasilkan terus menerus oleh sel hepar lebih kurang
500-1000ml sehari.
Empedu merupakan zat esensial yang diperlukan dalam pencernaan dan
penyerapan lemak.
4) Unsur-unsur cairan empedu:
a) Garam – garam empedu: disintesis oleh hepar dari kolesterol, suatu
alcohol steroid yang banyak dihasilkan hati. Garam empedu berfungsi
membantu pencernaan lemak,mengemulsi lemak dengan kelenjar lipase
dari pankreas.
b) Sirkulasi enterohepatik: garam empedu (pigmen empedu) diresorpsi dari
usus halus ke dalam vena portae, dialirkan kembali ke hepar untuk
digynakan ulang.
c) Pigmen-pigmen empedu: merupakan hasil utama dari pemecahan
hemoglobin. Sel hepar mengangkut hemoglobin dari plasma dan
menyekresinya ke dalam empedu. Pigmen empedu tidak mempunyai
fungsi dalam proses pencernaan.
d) Bakteri dalam usus halus: mengubah bilirubin menjadi urobilin,
merupakan salah satu zat yang diresorpsi dari usus, dubah menjadi
sterkobilin yang disekresi ke dalam feses sehingga menyebabkan feses
berwarna kuning.
5) Saluran empedu
Saluran empedu berkumpul menjadi duktus hepatikus kemudian bersatu
dengan duktus sistikus, karena akan tersimpan dalam kandung empedu.
Empedu mengalami pengentalan 5-10 kali, dikeluarkan dari kandung empedu
oleh aksi kolesistektomi, suatu hormon yang dihasilkan dalam membran
mukosa dari bagian atas usus halus tempat masuknya lemak. Kolesistokinin
menyebab kan kontraksi otot kandung empedu. Pada waktu bersamaan terjadi
relaksasi sehingga empedu mengalir ke dalam duktus sistikus dan duktus
koledukus(Syaifuddin, 2011).

Empedu adalah produk hati, merupakan cairan yang mengandung mucus,


mempunyai warna kuning kehijauan dan mempunyai reaksi basa. Komposisi
empedu adalah garam-garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak
dan garam organic. Pigmen empedu terdiri dari bilirubin dan bilverdin. Pada saat
terjadinya kerusakan butiran-butiran darah merah terurai menjadi globin dan
bilirubin, sebagai pigmen yang tidak mempunyai unsur besi lagi.
Pembentukan bilirubin terjadi dalam system retikulorndotel di dalam
sumsum tulang, limpa dan hati. Bilirubin yang telah dibebaskan ke dalam
peredaran darah disebut hemobilirubin sedangkan bilirubin yang terdapat dalam
empsdu disebut kolebilirubin. Garam empedu dibentuk dalam hati, terdiri dari
natrium glikokolat dan natrium taurokolat. Garam empedu ini akan menyebabkan
kolesterol di dalam empedu dalam keadaan larutan.
Garam-garam empedu tersebut mempunyai sifat hirotropik. Garam
empedu meningkatkan kerja enzim-enzim yang berasal dari pancreas yaitu
amylase tripsin dan lipase. Garam empedu meningkatkan penyerapan
meningkatkan penyerapan baik lemak netral maupun asam lemak. Empedu
dihasilkan oleh hati dan disimpan dalam kandung empedu sebelum diskresi ke
dalam usus.
Pada waktu terjadi pencernaan, otot lingkar kandung empedu dalam
keadaan relaksasi. Bersamaan dengan itu tekanan dalam kantong empedu akan
meningkat dan terjadi kontraksi pada kandung empedu sehingga cairan empedu
mengalir dan masuk ke dalam duodenum. Rangsangan terhadap saraf simpatis
mengakibatkan terjadinya kontraksi pada kandung empedu(Suratun, 2010).

C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI
Menurut Cahyono tahun 2014 etiologi Kolelitiasis yaitu:
1. Supersaturasi kolesterol secara umum komposisi
Komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap terbentuknya batu
tergantung keseimbangan kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin
tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu akan
membuat keadaan didalam kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol
(Supersaturasi kolesterol).
2. Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi fosfolipid, garam empedu
dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol lebih tinggi maka ia akan diangkut
oleh vesikel yang mana vesikel dapat digambarkan sebagai sebuah lingkarandua
lapis. Apabila konsentrasi kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel
memperbanyak lapisan lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung empedu,
pengangkut kolesterol, baik misel maupun vesikel bergabung menjadi satu dan
dengan adanya protein musin akan membentuk kristal kolesterol, kristal kolesterol
terfragmentasi pada akhirnya akan dilem atau disatukan.
3. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding kandung empedu
memudahkan seseorang menderota batu empedu, kontraksi yang melemah akan
menyebabkan statis empedu dan akan membuat musin yang diproduksi dikandung
empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam
kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat
sehingga semakin menyukitkan proses pengosongan cairan empedu. Beberapa
keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksnteril kandung empedu, yaitu :
hipomotilitas empedu, parenteral total (menyebabkan cairan asam empedu
menjadi lambat), kehamilan, cedera medula spinalis, penyakit kencing manis.

D. MANIFESTASI KLINIK/TANDA DAN GEJALA


Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan. (Sylvia and Lorraine, 2006)
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi atau pembentukan nidus cepat
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat
terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat
disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi
parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas
dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang
tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara
infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. 1 Batu pigmen hitam adalah tipe batu
yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.

Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) tanda dan gejala kolelitiasis adalah :
a. Sebagian bersifat asimtomatik
b. Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang menjalar ke
punggung atau region bahu kanan
c. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifay kolik melainkan persisten
d. Mual dan muntah serta demam
e. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai
dengan gejala gatal-gatal pada kulit
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay
colored”
g. Regurgitas gas: flatus dan sendawa
h. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan membantu absorbsi
vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu klien dapat memperlihatkan
gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau sumbatan bilier
berlangsumg lama. Penurunan jumlah vitamin K dapat mengganggu pembekuan
darah yang normal.
E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1 Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita
disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak
membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada
malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara
yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami
dilatasi.
2 Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan
isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena
liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu
yang mengalami obstruksi.
3 Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.
4 ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya
dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat
optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens.
Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan
keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi
percabangan bilier.
5 Pemeriksaan Laboratorium
a Kenaikan serum kolesterol.
b Kenaikan fosfolipid.
c Penurunan ester kolesterol.
d Kenaikan protrombin serum time.
e Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl).
f Penurunan urobilirubin.
g Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 10.000/iu).
h Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus
utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml).

G. PENATALAKSANAAN
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah
dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai
kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang
asimptomatik.
1 Penatalaksanaan Nonbedah
a Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk.
Manajemen terapi :
1. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
2. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
3. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign.
4. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
5. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati).
b Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan
chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang.
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan
kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang
10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20
mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anakanak dengan risiko
tinggi untuk menjalani operasi.
c Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter
perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan
yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat
khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi
mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu
kandung empedu.
d Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa
sejumlah fragmen.
e Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung
dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu
melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter
dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus.
Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang
lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.
2 Penatalaksanaan Bedah
a Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan
untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu
di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding
operasi normal (0,10,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi
pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan
lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan
batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan
biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris
yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua data
– data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini.
Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis,
psikologis, sosial, maupun spritual klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan
informasi dan membuat data dasar klien. Metode utama yang dapat digunakan dalam
pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik
(Asmadi, 2008).
1 Identitas pasien
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, tempat tanggal lahir,
pekerjaan dan pendidikan. Kolelitiasis biasanya ditemukan pada 20 -50 tahun dan
lebih sering terjadi anak perempuan pada dibanding anak laki – laki. (Cahyono,
2014).
2 Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas, dan mual muntah.
3 Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif
atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu
bagaimana nyeri dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri menjalar kemana,
Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri tersebut.
4 Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah memiliki riwayat
penyakit sebelumnya.
5 Riwayat kesehatan keluarga (genogram)
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.
Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok
manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang
dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan
tanpa riwayat keluarga.
6 Pola sehari-hari
a. Nutrisi
Mengkaji pola nutrisi saat klien sebelum MRS dan saat MRS apakah ada
perubahan yang signifikan dan kaji penyebab-penyebab yang mungkin muncul
pada klien akan mengalami rasa cemas dan khawatir sehingga hal tersebut dapat
mneyebabkan menurunnya nafsu makan serta berat badan pada klien.
b. Eliminasi
Mengkaji intake dan output BAK maupun BAB meliputi bau, warna, volume dan
konsistensi.
c. Tidur/istirahat
Mengkaji istirahat sebelum MRS dan saat MRS, apakah terjadi perubahan
misalnya tidak bisa tidur karena perasaan cemas ketika akan menjalani tindakan
operasi dikarenakan kurangnya
pengetahuan klien terkait tindakan selanjunya sehingga klien akan gelisah dan
sulit untuk istirahat dengan tenang.
d. Personal Hygiene
Merupakan upaya untuk menjaga kebersihan diri seperti mandi, gosok gigi,
keramas dan ganti baju. Tanyakan pada klien bagaimana personal hygiene klien
sebelum dilakukan tindakan operasi dan apakah dilakukan secara mandiri ataupun
dibantu oleh keluarga.
e. Aktivitas
Apakah terjadi perubahan yang signifikan seperti melakukan aktivitas dengan
dibantu keluarga atau secara mandiri.
8. Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
a. Keadaan umum
Pada pasien Pre Op Ca Mammae biasannya tidak terjadi penurunan kesadaran
(composmentis), untuk pemeriksaan tanda-tanda vital yang dikaji yaitu tekanan
darah, suhu, nadi, respirasi.
b. Kepala dan Wajah
1) Inspeksi
Lihat apakah kulit kepala dan wajah terdapat lesi atau tidak, apakah ada
edema atau tidak. Pada rambut terlihat kotor, kusam dan kering. Lihat apakah
wajah simetris atau tidak.
2) Palpasi
Raba dan tentukan ada benjolan atau tidak di kepala, tekstur kulit kasar/halus,
ada nyeri tekan atau tidak dan raba juga apakah rambut halus/kasar maupun
adanya kerontokan.
c. Mata
1) Inspeksi
Lihat bentuk mata simetris atau tidak, apakah ada lesi dikelopak mata. Pada
pemeriksaan mata terdapat konjungtiva yang tampak anemis disebabkan oleh
nutrisi yang tidak adekuat, amati reaksi pupil terhadap cahaya
isokor/anisokor dan amati sklera
ikterus/tidak.
2) Palpasi
Raba apakah ada tekanan intra okuler dengan cara ditekan ringan jika ada
peningkatan akan teraba keras, kaji apakah ada nyeri tekan pada mata
d. Hidung
1) Inspeksi
Lihat apakah hidung simetris/tidak, lihat apakah hidung terdapat secret/tidak,
apakah terdapat lesi/tidak, adanya polip/tidak, adanya pernafasan cuping
hidung yang disebabkan klien sesak nafas terutama pada pasien yang
kankernya sudah bermetastase ke paru-paru.
2) Kaji adanya nyeri tekan pada sinus
e. Telinga
1) Inspeksi
Cek apakah telinga simetris/tidak, terdapat lesi/tidak, melihat kebersihan
telinga dengan adanya serumen/tidak.
2) Palpasi
Adanya nyeri tekan pada telinga atau tidak.

f. Mulut
1) Inspeksi
Mengamati bibir apakah ada kelainan kongenital (bibir sumbing), mukosa
bibir biasanya tampak pucat dan kurang bersih, pada gusi biasanya mudah
terjadi pendarahan akibat rapuhnya pembuluh darah dan caries positif
2) Palpasi
Apakah ada nyeri tekan pada daerah sekitar mulut
g. Leher
1) Inspeksi
Mengamati adanya bekas luka, kesimetrisan, ataupun massa yang abnormal
2) Palpasi
Mengkaji adakah pembesaran vena jugularis, kelenjar getah bening dan
kelenjar tiroid.
h. Payudara dan Ketiak
1) Inspeksi
Biasanya ada benjolan yang menekan payudara, adanya ulkus dan berwarna
merah, keluar cairan dari puttng. Serta payudara mengerut seperti kulit jeruk.
2) Palpasi
Teraba benjolan payudara yang menegeras dan teraba pembengkakakan,
teraba pembesaran kelenjar getah bening diketiak atau timbul benjilan kecil
di bawah ketiak. Dan pada penederita Ca Mammae yang sudah parah akan
terdapat cairan yang keluar dari puting ketika ditekan.
i. Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi
Amati kesimetrisan, Ictus cordis tampak atau tidak.
b) Palpasi
Apakah Ictus cordis teraba di ICS 5 midklavikula sinistra
c) Perkusi
Normalnya terdengar pekak
d) Auskultasi
Normalnya BJ I dan BJ II terdengar tunggal “lup dup’. dengarkan apakah
ada bunyi jantung tambahan seperti murmur/gallop/friction-rub
2) Paru-paru
a) Inspeksi
(1) Pada stadium 1 : Biasanya bentuk dada klien tidak simetris kiri dan
kanan yang disebabkan oleh pembengkakan pada payudara,dengan
ukuran 1-2 cm.
(2) Pada stadium 2 : Biasanya bentuk dada klien tidak simetris kiri dan
kanan yang juga disebabkan payudara dengan ukuran dengan tumor
2,5-5 cm.
(3) Pada stadium 3A : Biasanya dada klien juga tidak simetris kiri dan
kanan yang disebabkan oleh pembengkakan tumor yang sudah meluas
dalam
payudara besar tumor 5-10 cm.
(4) Pada stadium 3B : Bentuk dada juga tidak simetris kiri dan kanan
yang disebabkan oleh pembengkakan dan kanker sudah melebar ke
seluruh bagian payudara,bahkan mencapai kulit, dinding dada,tulang
rusuk,dan otot dada.
(5) Pada stadium 4 : Bentuk dada tidak simetris kiri dan kanan yang
disebabkan oleh pembengkakan dan
mestastase jauh keorgan lain seperti paru-paru.
b) Palpasi
(1) Pada stadium 1 : Biasanya taktil fremitus pada paru-paru kiri dan
kanan karena kanker belum bermetastase keorgan lain Pada stadium 2
: Biasanya taktil fremitus pada paru-paru kiri dan kanan karena kanker
belum bermetastase keorgan lain
(2) Pada stadium 3A : Biasanya taktil fremitus pada paruparu kiri dan
kanan karena kanker belum bermetastase keorgan lain
(3) Pada stadium 3B : Biasanya taktil fremitus pada paruparu kiri dan
kanan karena kanker belum bermetastase keorgan lain seperti tulang
rusuk, dinding dada dan otot dada.
(4) Pada stadium 4 : Biasanya tidak fremitus kiri dan kanan yang juga
disebabkan oleh karena kanker sudah metastase ke organ yang lebih
jauh seperti paru-paru sehingga mengakibatkan paru-paru mengalami
kerusakan dan tidak mampu melakukan fungsinya
c) Perkusi
(1) Pada stadium 1 : Biasanya akan terdengar sonor pada lapangan paru-
paru klien.
(2) Pada stadium 2 : Biasanya akan terdengar sonor pada lapangan paru-
paru klien karena kanker belum
mengalami metastase.
(3) Pada stadium 3A : Masih akan terdengar sonor pada lapangan paru
karena kanker belum metastase.
(4) Pada stadium 3B : Biasanya terdengar bunyi redup yang dapat di
temukan pada infiltrate paru dimana parenkim paru lebih padat /
mengadung sedikit udara dan bunyi pekak pada paru-paru pasien yang
disebabkan pada paruparu pasien didapatkan berisi cairan disebut
dengan efusi pleura jika kanker telah bermetastase pada organ paru.
(5) Pada stadium 4 : Biasanya akan terdengar pekak pada paru-paru
pasien yang disebabkan pada paru-paru pasien didapatkanberisi cairan
yang disebut dengan efusi pleura akibat metastase dari kanker
payudara yang berlanjut,dan nafas akan terasa sesak.
d) Auskultasi
(1) Pada stadium 1 : Biasanya akan terdengar vesikuler (bunyi hampir
terdengar seluruh lapangan paru dan inspirasi lebih panjang, lebih
keras, nadanya lebih tinggi
dari ekspirasi. suara nafas tambahan tidak ada, seprti ronchi (-) dan
wheezing (-)
(2) Pada stadium 2 : Biasanya bunyi nafas terdengar vesikuler (bunyi
hampir seluruh lapangan paru dan inspirasi lebih panjang lebih keras,
nadanya lebih tinggi dari ekspirasi. Biasanya buni nafas klien juga
dapat terdengar bronkovesikuler dengan bronchial. Suara nafas
tambahan tidak ada, seperti ronchi (-) dan wheezing (-)
(3) Pada stadium 3 A : Biasanya bunyi nafas berbunyi vesikuler
(bunyi hampir seluruh lapangan paru dan inspirasi yang lebih
panjang, lebih keras, nadanya lebih tinggi dari ekspirasi, dan
bronkovesikuler yaitu pada daerah suprasternal, interscapula:
campuran antara element vaskuler dengan bronchial. Suara nafas
tambahan tidak ada, seperti: Ronchi (+) dan wheezing (-)
(4) Pada stadium 3 B : Biasanya nafas klien bisa terdengar bronchial
yaitu ekspirasi lebih panjang, lebih keras nadanya lebih tinggi dari
pada inspirasi dan terdengar dan terdapat suara nafas tambahan
seperti: Ronchi dan Wheezing ini disebabkan oleh kanker sudah
menyebar ke seluruh bagian payudara, dan mencapai ke dinding dada,
tulang rusuk, dan otot dada sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan ekspansi paru dan compressive
atelektasis.
(5) Pada stadium 4 : Biasanya bunyi nafas pasien bisa terdengar bronchial
yaitu ekspirasi lebih panjang, lebih keras, nadanya lebih tinggi, dari
pada inspirasi dan terdengar. Dan terdapat suara tambahan seperti :
Ronchi dan wheezing. Ini disebabkan oleh kanker metastase ke bagian
tubuh lainnya seperti paru-paru sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan ekspansi paru dan compressive atelektasis sehingga terjadi
penumpukan secret pada daerah lobus paru
j. Abdomen
1) Inspeksi
Amati kesimetrisan perut, bentuk, warna dan ada tidaknya lesi.
2) Auskultasi
Dengarkan peristaltic usus selama satu menit (normalnya 5-35 x/menit)
3) Perkusi
Suara perut biasanya timpani (normal)
4) Palpasi
Tidak ada distensi abdomen, dan tidak terdapat nyeri tekan pada area
abdomen.
k. Sistem integument
1) Inspeksi
Amati warna kulit, kulit kering/tidak, terdapat gatal-gatal pada kulit atau
tidak, terdapat lesi/tidak.
2) Palpasi
Biasanya terjadi perubahan pada kelembaban kulit klien dan turgor kulit
klien tidak elastic, Capillary Refill Time (CRT) pada jari normalnya < 2 detik,
rasakan akral hangat/tidak.
l. Ekstremitas
1) Inspeksi
Mengkaji kesimetrisan dan pergerakan ekstremitas atas dan bawah, lihat ada
tidaknya lesi, lihat ada tidaknya cyanosis, periksa kekuatan otot lemah/kuat
2) Palpasi
Mengkaji bila terjadi pembengkakan pada ekstremitas atas maupun bawah.

5 - - - -
5 - - - -
Kekuatan Otot Edema Fraktur Atropi
m. Genetalia dan sekitarnya
1) Inspeksi
Apakah terpasang kateter atau tidak.
n. Status Neurologis
1) Status neurologis
a) Pemeriksaan Nervus
(1) Nervus olfaktorius
Fungsinya untuk penciuman. Cara pemeriksaannya yaitu pasien
memejamkan mata kemudian instruksikan pasien untuk
memebedakan bau yang diciumnya seperti teh, kopi, dll. Lihat
apakah ada gangguan pada penciuman pasien
(2) Nervus optikus
Fungsinya untuk penglihatan. Cara pemeriksaanya yaitu dengan
menggunakan snellen card dan lapang pandang. Lihat apakah pasien
dapat melihat dengan
jelas.
(3) Nervus okulomotoris
Fungsinya untuk melihat pergerkan kelopak mata dan bola mata,
kontriksi dilatasi pupil. Cara pemeriksaanya yaitu dengan tes
putaran bola mata, mengangkat kelopak mata kearah atas, cek reflek
pupil. Lihat apakah pasien dapat menggerakkan bola mata keatas
dan kebawah, kemudian lihat apakah pasien dapat mengangkat
kelopak mata keatas jika tidak itu menunjukkan bahwa ada ptosis,
lihat apakah refleks pupil normal/tidak
(4) Nervus trochlearis
Fungsinya untuk melihat pergerakan mata. Cara pemeriksaannya
yaitu dengan tes putaran bola mata. Lihat apakah pasien dapat
menggerakkan bola mata keatas, kebawah maupun kesamping kanan
dan kiri.
(5) Nervus trigeminus
Fungsinya untuk melihat gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah
dan gigi, reflek kedip. Cara pemeriksaanya yaitu dengan
menggerakkan rahang ke semua sisi, pasien disuruh untuk
memejamkan mata kemudian sentuh menggunakan benda yang
ujungnya
tumpul/tajam pada dahi dan pipi untuk melihat sensasi wajah
sebelah kanan dan kiri kemudian sensasi raba atau nyeri, menyentuh
permukaan kornea dengan menggunakan kapas untuk melihat reflek
kedip pasien normal/tidak.
(6) Nervus abdusen
Fungsinya untuk melihat gerakan bola mata. Cara pemeriksaannya
yaitu dengan tes putaran bola mata. Lihat apakah pasien dapat
menggerakkan bola mata keatas, kebawah maupun kesamping kanan
dan kiri.
(7) Nervus facialis
Fungsinya untuk melihat ekspresi wajah dan fungsi pengecap. Cara
pemeriksaanya yaitu melihat apakah wajah pasien bagian kanan dan
kiri simetris/tidak, minta pasien untuk mengerutkan dahi bagian
yang lumpuh lipatannya tidak dalam, minta pasien mengangkat alis,
minta pasien menutup mata kemudian pemeriksa membuka dengan
tangan, minta pasien memoncongkan bibir atau nyengir, minta klien
menggembungkan pipi lalu tekan pipi kanan dan kiri lihat apakah
kekuatannya sama bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar dari
bagian yang lumpuh, kemudian cek fungsi pengecap dengan
meminta pasien
menjulurkan lidah kemudian letakkan
gula/garam/sesuatu yang asam maupun pahit lihat apakah pasien
dapat membedakan rasa tersebut.
(8) Nervus akustikus
Fungsinya untuk pendengaran. Cara pemeriksaanya yaitu dengan
menggunakan weber, ritme dan
schwabach.
(9) Nervus glosofaringeus
Fungsinya untuk melihat reflek platum (menelan). Cara
pemeriksaanya yaitu minta pasien membuka mulut kemudian tekan
lidah kebawah dengan menggunakan tongue spatel kemudian minta
pasien untuk mengucapakan a…a…a… dengan panjang lihat apakah
pasien mampu mengucapkan atau terbata-bata amati kesimetrisan
uvula, minta pasien menelan ludah tanyakan apakah ada gangguan
menelan seperti terasa nyeri/tidak.
(10) Nervus vagus
Fungsinya untuk melihat reflek platum (menelan) dan reflek
muntah. Cara pemeriksaanya yaitu minta pasien membuka mulut
lihat apakah uvula berada di tengah, kemudian minta pasien untuk
memasukkan jari di belakang lidah lihat reflek muntah pada pasien
baik/tidak, minta pasien menelan ludah tanyakan apakah ada
gangguan menelan seperti tersa nyeri/tidak.
(11) Nervus asesorius
Fungsinya untuk melihat pergerakan kepala dan bahu. Cara
pemeriksaanya yaitu minta pasien mangangkat
kepala keatas, menundukkan kepala dan
menggelengkan kepala kesamping kanan dan kiri lihat apakah
pasien mampu menggerakkan bahu dan berikan tahanan minta
pasien untuk menahan tahanan tersebut lihat apakah pasien mampu
menahan tahanan yang
diberikan.
(12) Nervus hipoglosus
Fungsinya untuk melihat keadaan lidah. Cara pemeriksaannya yaitu
minta pasien membuka mulut kemudian lihat bentuk lidah kemudian
apakah terdapat kelumpuhan maka lidah akan tertarik ke sisi yang
sakit.
b) Pemeriksaan Refleks
(1) Refleks bisep
Caranya yaitu dengan merefleksikan siku klien kemudian letakkan
lengan bawah klien diatas paha dengan posisi telapak tangan keatas,
letakkan ibu jari kiri diatas tendon bisep klien, perkusi ibu jari
pemeriksa dengan reflek hammer, amati adanya fleksi ringan yang
normal pada siku klien dan rasakan
kontraksi otot bisep.
(2) Reflek trisep
Caranya yaitu dengan memfleksikan siku klien kemudian sangga
lengan klien dengan tangan non dominan, palpasi tendon trisep
sekitar 2-5 cm diatas siku, perkusi menggunakan reflek hammer
pada tendon trisep, amati adanya ekstensi ringan yang normal pada
siku klien.
(3) Reflek brakioradialis
Caranya yaitu dengan meletakkan lengan klien dalam posisi istirahat
atau pronasi, ketukkan reflek hammer secara langsung pada radius
2-5 cm diatas pergelangan tangan, amati adanya fleksi dan supinasi
normal pada lengan klien dan jari-jari tangan sedikit ekstensi.
(4) Reflek patella
Caranya yaitu dengan meminta klien untuk duduk di tepi meja
kemudian periksa agar kaki klien dapat menggantung dengan bebas
tidak menginjak lantai, tentukan lokasi tendon patella, ketukkan
hammer langsung pada tendon, amati adana ekstensi kaki atau
tendangan kaki yang normal.
(5) Reflek Achilles
Caranya yaitu dengan meminta klien untuk duduk di tepi meja
kemudian periksa agar kaki klien dapat menggantungkan dengan
bebas tidak menginjak lantai, dorsofleksikan sedikit pergelangan
kaki klien dengan menopang kaki klien pada tangan pemeriksa,
ketukkan hammer pada tendon Achilles tepat diatas tumit, amati dan
rasakan plantar fleksi (sentakan ke bawah) yang normal pada kaki
klien.
(6) Reflek Abdominal
Caranya yaitu dengan memposisikan klien supine dan buka area
abdomen, lakukan pemeriksaan dengan cara menggoreskan sikat
pemeriksa secara vertical, horizontal dan diagonal pada daerah
epigastrik sampai
umbilicus (normalnya dinding abdomen akan
kontraksi).
(7) Reflek Babinski atau Plantar
Caranya yaitu dengan menggunakan bagian jarum dan reflek
hammer kemudian goreskan tepi lateral telapak kaki klien mulai dari
tumit melengkung sampai pangkal ibu jari, babinski (+) jika dorsum
fleksi ibu jari diikuti fanning (pengembangan) jari-jari.
(8) Reflek Chaddock
Caranya yaitu dengan menggoreskan bagian maleolus lateral (buku
lali) dari arah lateral kearah medial sampai dibawah ibu jari kaki,
chaddock (+) jika dorsum fleksi ibu jari diikuti fanning
(pengembangan) jari-jari.
(9) Reflek Openhim
Caranya yaitu dengan melakukan pengurutan Krista anterior tibia
dari proksimal ke distal, openhim (+) jika dorsum fleksi ibu jari
diikuti faning (pengembangan)
jari-jari
(10) Reflek Gordon
Caranya yaitu dengan melakukan penekanan pada daerah betis klien
secara keras, amati respon Gordon
(+) jika dorsum fleksi ibu jari diikuti fanning
(pengembangan) jari-jari.
(11) Reflek Schaffer
Caranya yaitu dengan memencet tendon Achilles secara keras, amati
respon schaffer (+) jika dorsum fleksi ibu jari diikuti fanning
(pengembangan) jari-jari.
(12) Reflek Gonda
Caranya yaitu dengan melakukan penekukan (plantar fleksi)
maksimal jari ke empat, kemudian amati respon gonda (+) jika
dorsum fleksi ibu jari diikuti fanning (pengembangan) jari-jari.
(13) Reflek Hoffman
Caranya yaitu dengan menggoreskan sesuatu pada kuku jari tengah
klien kemudian amati respon ibu jari, telunjuk dan jari lainnya
fleksi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


Diagnosis keperawatan adalah respons individu terhadap rangsangan yang timbul
dan diri sendiri maupun luar (lingkungan) (Nursalam, 2015).
Diagnosa yang muncul menurut Nurarif dan Kusuma (2015), adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi, proses inflamasi, prosedur bedah, infeksi.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.

3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang


asupan makanan

5. Hipertermi berhubungan dengan infeksi pada kandung empedu.

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

7. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.


C. INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pendera fisiologis
NOC NIC Rasional
Setelah dilakukan asuhan keperawatan a. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi, dan a. Memberikan informasi yang diperlukan
diharapkan nyeri berkurang intensitas untuk merencakan asuhan
NOC : b. Evaluasi terapi: pembedahan, radiasi, b. Untuk mengetahui terapi yang dilakukan
 Pain Level, kemoterapi, bioterapi, ajarkan klien dan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan
 Pain control, keluarga tentang cara menghadapinya. komplikasi
 Comfort level c. Berikan pengalihan seperti reposisi, aktivitas c. Untuk meningkatkan kenyamanan dengan
Kriteria Hasil : menyenangkan seperti mendengarkan music mengalihkan perhatian klien dari rasa
 Mampu mengontrol nyeri (tahu atau menonton TV nyeri
penyebab nyeri, mampu d. Menganjurkan teknik penanganan stress d. Meningkatkan kontrol diri atas efek
menggunakan tehnik nonfarmakologi (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan), samping dengan menurunkan stress dan
untuk mengurangi nyeri, mencari berikan sentuhan terapeutik. ansietas
bantuan) e. Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu. e. Untuk mengetahui efektifitas penanganan
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang f. Diskusikan penanganan nyeri dengan dokter nyeri
dengan menggunakan manajemen dan klien. f. Agar terapi yang diberika tepat sasaran
nyeri g. Berikan analgetik sesuai dengan indikasi g. Untuk mengatasi nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri


NOC NIC Rasional
Setelah dilakukan asuhan keperawatan a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik a. Memberikan informasi yang diperlukan
diharapkan mobilitas fisik klien lainnya untuk merencakan asuhan
meningkat dengan kriteria hasil: b. Identifikasi toleransi fisik b. Mengetahui terapi yang diperlukan
NOC : melakukan ambulasi c. Pemeriksaan tanda-tanda vital merupakan
 Joint Movement: Active c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah pengukuran fungsi tubuh yang digunakan
 Mobility level sebelum memulai ambulasi untuk dapat memberikan gambaran
 Self care: ADLs d. Monitor kondisi umum selama melakukan keadaan umum pasien
Kriteria Hasil : ambulasi d. Mengetahui kesulitan pasien saat
 Pergerakan extremitas meningkat e. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu melakukan ambulansi
 Kekuatan otot meningkat f. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik e. Membantu klien agar lebih mudah

 Rentang gerak meningkat g. Libatkan keluarga untuk membantu pasien f. Melatih klien dalam melakukan ambulansi

 Nyeri menurun dalam meningkatkan ambulasi g. Membantu klien agar mempercepat dalam
h. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi proses meningkatkan ambulasi pasien
 Kecemasan menurun
h. untuk melakukan latihan jalan atau
 Gerakan tidak terkoordinasi
berpindah tempat secara mandiri.
menurun
 Gerakan terbatas menurun
 Kelemahan fisik menurun
3.Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
NOC NIC Rasional
Setelah dilakukan asuhan keperawatan a Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya 1 Pemeriksaan tanda-tanda vital merupakan
diharapkan tidak terjadi kerusakan b Beri obat atau cairan IV pengukuran fungsi tubuh yang digunakan
integritas c Dorong konsumsi cairan untuk dapat memberikan gambaran
NOC : d Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan keadaan umum pasien
- Thermoregulation e Berikan kompres hangat, hindari 2 Membantu menurunkan suhu dengan
Kriteria Hasil : penggunaan kompres dengan alkohol teknik farmakologi
- Suhu tubuh klien dalam 3 Menyeimbangkan kebutuhan cairan
rentang normal pasien
- Nadi dan RR dalam rentang 4 Meminimalisir jumlah kegiatan pasien
normal 5 Dapat membantu menurunkan demam
- Tidak ada perubajan warna akibat efek vasidilatasi pembuluh darah.
kulit dan tidak ada pusing Penggunaan alcohol dan es dapat
menyebabkan kedinginan dan
meningkatkan suhu secara actual.
4.Gangguan nutrisi kurang dari keb.tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
NOC NIC Rasional
NOC : a. Minitor intake makanan setiap hari, a. Memberikan informasi tentang status
 Nutritional Status : food and Fluid apakah klien makan sesuai dengan gizi klien.
Intake kebutuhannya. b. Memberikan informasi tentang
Kriteria Hasil : b. Timbang ukur berat badan. penambahan dan penurunan berat
 Adanya peningkatan berat badan c. Kaji pucat, penyembuhan luka yang badan
sesuai dengan tujuan lambat dan pembesaran kelenjar parotis c. Menunjukkan keadaaan gizi klien
 Berat badan ideal sesuai dengan d. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi sangat buruk
tinggi badan makanan tinggi kalori dengan intake d. Kalori merupakan sumber energy
 Mampu mengidentifikasi cairan yang adekuat e. Mencegah mual muntah, distensi
kebutuhan nutrisi e. Kontrol faktor lingkungan seperti bau berlebihan, dyspepsia yang

 Tidak ada tanda tanda malnutrisi busuk atau bising. Hindarkan makanan menyebabkan penurunan nafsu makan

 Tidak terjadi penurunan berat yang terlalu pedas, manis, dan asin. serta mengurangi stimulus berbahaya

badan yang berarti f. Ciptakan suasana makan yang yang dapat meningkatkan ansietas.
menyenangkan misalnya makan dengan f. Agar klien merasa seperti berada di
keluarga. rumah
g. Anjurkan teknik relaksasi, visualisasi, g. Untuk menimbulkan perasaan ingin
latihan moderate sebelum makan. makan/membangkitkan selera makan
h. Anjurkan komunikasi terbuka tentang h. Agar dapat diatasi secara bersama-
problem anoreksia yang dialami klien sama dengan ahli gizi.
C. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana intervensi keperawatan, terdiri dari semua aktifitas keperawatan yang
dilakukan oleh perawat dan klien untuk merubah efek dari masalah. Implementasi keperawatan sebagai kelanjutan dari
perencanaan perlu dilakukan secara cermat dan seksama sehingga keberhasilan tindakan keperawatan lebih optimal (Nurarif &
Kusuma, 2015).

D. EVALUASI
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan yang dilakukan dengan
format SOAP (Nurarif & Kusuma, 2015).
Keterangan :
S : Subjektif adalah informasi yang didapatdari pasien
O : Objektif adalah informasi yang didapatkan berdasarkan pengamatan
A :Aseesment (Pengkajian) adalah analisa dari masalah pasien
P : Planing of action adalah rencana tindakan yang akan diambil
DAFTAR PUSTAKA

Alhawsawi, Z. M., Alshenqeti, A. M., Alqarafi, A. M., Alhussayen, L.


K., & Turkistani, W. A. (2019). Cholelithiasis in patients with
paediatric sickle cell anaemia in a Saudi hospital. Journal of
Taibah University Medical Sciences, 14(2), 187–192.
http://doi.org/10.1016/j.jtumed.2019.02.007

AlKhlaiwy, O., AlMuhsin, A. M., Zakarneh, E., & Taha, M. Y. (2019).


Laparoscopic cholecystectomy in situs inversus totalis: Case report
with review of techniques. International Journal of Surgery Case
Reports, 59, 208–212. http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.05.050

Arif Kurniawan , Yunie Armiyati, R. A. (2017). Pengaruh Pendidikan


Kesehatan pre operasi terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre
operasi di RSUD Kudus, 6(2), 139–148.

Baloyi, E. R. J., Rose, D. M., & Morare, N. M. T. (2020). Incidental


gastric diverticulum in a young female with chronic gastritis: A
case report. International Journal of Surgery Case Reports, 66, 63–
67.
http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.11.030

Bini, J., Chan, J. C., Rivera, C., & Tuda, C. (2020). IDCases Sporadic
leptospirosis case in Florida presenting as Weil ` s disease.
IDCases, 19, e00686. http://doi.org/10.1016/j.idcr.2019.e00686

Bolat, H., & Teke, Z. (2020). Spilled gallstones found incidentally in a


direct inguinal hernia sac: Report of a case. International Journal
of Surgery Case Reports, 66, 218–220.
http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.12.018
Harahap, E. E. (2019). Melaksanakan Evaluasi Asuhan Keperawatan
Untuk Melengkapi Proses Keperawatan.

Nanda, D. (2020). Asuhan Keperawatan Aplikasi NANDA, (6), 1–7.

Kusuma, N. &. (2016). dengan menggunakan Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia.

Lestari, P. H., Setiawan, A., Pusat, J., Ilmu, F., Universitas, K., & Barat,
J. (2019). Pelaksanaan intervensi cakupan informasiku melalui
pendekatan asuhan keperawatan keluarga sebagai upaya
pencegahan perilaku seksual berisiko pada remaja, 11(1).

Musbahi, A., Abdulhannan, P., Bhatti, J., Dhar, R., Rao, M., &
Gopinath, B. (2019). Outcomes and risk factors of cholecystectomy
in high risk patients: A CASE SERIES. Annals
of Medicine and Surgery.
http://doi.org/10.1016/j.amsu.2019.12.003

Paasch, C., Salak, M., Mairinger, T., & Theissig, F. (2020).


Leiomyosarcoma of the gallbladder—A case report and a review of
literature. International Journal of Surgery Case
Reports, 66, 182–186.
http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.11.062

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:


Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Putri Sella Agustin, P. S. P. (2016). Pengaruh Pola Makan Tidak


Seimbang dan Kurangnya Aktivitas Fisik Menyebabkan
Terjadinya Obesitas. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Reinecke Ribka Halim. (2018). Anatomi Fisiologi Empedu.

Widodo. (2015). Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Fakultas


Kedokteran Universitas Andalas, 1, 1–6.
http://doi.org/10.1086/513446.Iijima

Anda mungkin juga menyukai