Oleh:
MULYANI NOFRIZA
(B04100044)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hewan aquatik merupakan hewan yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar
hidupnya di air, baik di air tawar, air laut maupun air payau. Di Indonesia, hewan akuatik identik
dengan ikan. Menurut Undang-undang nomor 45, tahun 2009, pasal 1 yang merupakan
perubahan dari Undang-undang nomor 31, tahun 2004 tentang perikanan: definisi ikan adalah
segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan.
Banyaknya minat masyarakat untuk melihat dan menyaksikan pertunjukan dari hewan
akuatik, membuat banyak hewan akuatik dijadikan objek untuk pertunjukan atau tontonan. Tidak
hanya menjadi tontonan di dalam akuarium, tetapi juga ada yang dijadikan hewan pertunjukan,
atraksi atau sirkus. Hewan akuatik yang sering dijadikan hewan atraksi adalah lumba-lumba dari
ordo Cetacea dan anjing laut atau singa laut dari ordo Pinipidae. Kedua ordo binatang air ini
merupakan mamalia air laut, yaitu mamalia air yang hidup di laut atau mencari makan di laut.
Dewasa ini, sudah banyak negara-negara di dunia yang melarang diadakannya atraksi
lumba-lumba. Hal ini dikarenakan atraksi lumba-lumba dianggap menyiksa binatang. Namun
Indonesia masih menjadi surga bagi beberapa perusahaan penyelenggara sirkus lumba-lumba
komersil. Meskipun pemerintah Indonesia masih melegalkan pertunjukan lumba-lumba, banyak
masyarakat ataupun LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang contra atau tidak setuju, bahkan
menentang adanya sirkus lumba-lumba tersebut.
Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memberikan informasi tentang dampak negatif bagi lumbalumba yang dimanfaatkan sebagai hewan pertunjukan.
TINJAUAN PUSTAKA
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Cetacea
Sub ordo
: Odontoceti
Famili
: Delphinidae
berbentuk sabit yang agak tegak. Punggungnya berwarna abu-abu gelap kecoklatan, perut
berwarna putih, dan warna coklat kekuningan pada sisi belakang. Bibirnya gelap dan terdapat
sebuah garis yang mengitari daerah seputar mata. Terdapat pola seperti jam pasir pada setiap
sisinya (Evans 1987).
kelahiran anak adalah 2-3 tahun sekali. Carwadine (1995) menerangkan bahwa tanda untuk
mengidentifikasi jenis ini di lapangan adalah dengan mengamati tingkat keseringan lumba-lumba
melakukan gerakan memutar di udara. Cara terbaik untuk membedakan Stenella longirostis
dengan spesies lain adalah dengan melihat moncongnya (mulutnya) yang panjang dan ramping
dan dahinya yang melandai.
PEMBAHASAN
Prilaku lumba-lumba yang pada dasarnya memang suka bermain, membuat lumba-lumba
banyak dimanfaatkan sebagai hewan atraksi. Disamping bentuk dan penampakan lumba-lumba
yang lucu, prilaku bermainnya yang menyenangkan juga sangat menarik untuk ditonton. Karena
itulah setiap ada atraksi lumba-lumba banyak masyarakat mulai dari anak-anak sampai orang tua
ingin menyaksikan pertunjukan yang dipertontonkan lumba-lumba tersebut.
Pertunjukan atau atraksi lumba-lumba biasanya menampilkan atraksi berupa prilaku
bermain lumba-lumba. Ada dua prilaku bermain yang biasa dilakukan lumba-lumba dalam
atraksinya, yaitu bermain sendiri tanpa melibatkan lumba-lumba lain dan bermain bersama
lumba-lumba lain. Bentuk permainan sendiri yang biasa dilakukan antara lain megelilingi kolam,
memainkan air dengan moncong, memainkan bola, dan bermain benang jala yang menjulur ke
permukaan air. Bentuk permainan yang dilakukan bersama-sama adalah mengelilingi kolam,
melompat di udara, berputar di udara, saling kejar mengejar, dan beberapa gerakan atraksi lain.
Pertunjukan lumba-lumba yang dipertontonkan memperlihatkan kesenangan dan
keriangan kehidupan lumba-lumba. Pertunjukan itu juga sangat menghibur para penonton,
namun ada dampak negatif bagi lumba-lumba yang digunakan sebagai hewan pertunjukan.
Dampak negatif ini antara lain terancamnya populasi lumba-lumba, stress, lumba-lumba berusia
pendek, fisik rusak karena klorin yang membakar mata dan kulit.
Salah satu cara untuk mendapatkan lumba-lumba yang akan digunakan sebagai hewan
atraksi adalah dengan cara penangkapan dilaut bebas. Penangkapan lumba-lumba di alam tanpa
data popuasi yang jelas dapat mengancam kelestarian lumba-lumba. Lumba-lumba yang
ditangkap di laut bebas dipilih secara acak, tanpa mengetahui berapa pupulasi yang masih tersisa.
Bisa saja lumba-lumba yang ditangkap populasinya sudah tinggal sedikit dan hampir punah.
Saat ditangkap di laut dan dibawa ketempat yang baru, lumba-lumba akan mengalami
stress. Begitu juga saat dilakukan pelatihan dan beradaptasi dengan kolam yang komposisi airnya
jauh berbeda dengan air yang ada dilaut bebas, lumba-lumba akan mengalami tekanan dan stress.
Tidak sedikit pelatih-pelatih hewan memberikan pelatihan pada hewan-hewan sirkus atau hewan-
hewan yang dimanfaatan untuk atraksi dengan kekerasan. Hal itu akan berdampak pada fisik dan
mental lumba-lumba.
Usia hewan yang berada di penangkaran, di kebun binatang ataupun yang dipelihara akan
berusia lebih pendek dari hewan yang hidup liar di alam bebas. Hal ini dipengaruhi oleh
kebiasaan hidup, makanan yang dimakan dan lingkungan tempat mereka hidup. Saat hewan
hidup di penangkaran, meskipun fasilitasnya dibuat sangat mirip dengan lingkungan asli, namun
hasilnya akan tetap sama. Lumba- lumba yang hidup di penangkaranpun begitu. Meskipun kolam
tempat tinggalnya besar, tetap saja itu tidak dapat membantu untuk menambah usia hidupnya.
Selanjutnya, keadaan air kolam yang mau tidak mau dibuat mirip dengan air laut
menuntut penggunaan klorin di dalam air. Penggunaan klorin ini akan berdampak buruk bagi
lumba-lumba. Walaupun efeknya tidak terlihat secara langsung, namun paparan yang lama dan
selalu berulang akan menyebabkan kerusakan kulit pada lumba-lumba. Paparan klorin akan
membakar mata dan kulit lumba-lumba yang terpapar dalam jangka waktu lama dan berulang.
KESIMPULAN
Meskipun sifat alamiah lumba-lumba itu adalah bermain, namun penggunaaan lumbalumba sebagai hewan atraksi dapat merugikan lumba-lumba itu sendiri. Kerugian atau dampak
negatif penggunaan lumba-lumba sebagai hewan atraksi antara lain terancamnya populasi lumbalumba, stress, lumba-lumba berusia pendek, fisik rusak karena klorin yang membakar mata dan
kulit.
DAFTAR PUSTAKA
Bull,
J.
1999.
Stenella
longirostis
(on
line).
Animal
Diversity
Http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Stenella
longirostos.htm. (14 Januari 2014)
Web.
Carwadine, M. 1995. Eye Witness Handbook : Whales, Dolphins and Purpoises. The Visual
Guide to All Worlds Cetacean. Dorling Kindersley Ltd. New York. 256 p.
Carwadine, M., E.Hoyt, R.E. Fordyce, P. Gill. 1997. An Australian Geographic Guide to Whales,
Dolphins and Purpoises. Australian Geographic Press. Australia. 40 p.
Evans, P.G.H. 1987. The Natural History of Whales and Dolphin. Christoper Helm Ltd, Imperial
House, England:188-205.
Jefferson, T.A, S. Leatherwood, M.A. Webber. 1993. FAO Spesies Identification Guide. Marine
Mammals of The World. UNEP-FAO. Rome.320 p.
Priyono, A. 2001. Lumba-lumba di Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Bogor ; The Gibbon Foundation, Jakarta; PILI_NGO Movement, Bogor. 26 hlm.