Anda di halaman 1dari 39

TRAUMA TORAKS DAN ABDOMEN SERTA

PENATALAKSANAANNYA

Pembimbing
Dr. AJI PRAMITO, Sp. B
Oleh

I WAYAN SUPARTHANAYA

08.06.0028

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM ALAZHAR


BAGIAN SMF ILMU BEDAH RSUD SOEDJONO SELONG
2014-2015

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non
penetrasi.
Pukulan langsung, misalnya kena pinggir bawah stir mobil atau pintu yang masuk
(intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan cedera tekanan atau
tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak bentuk organ padat atau berongga dan
dapat mengakibatkan ruptur, khususnya pada organ yang menggembung (misalnya uterus
yang hamil), dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Shearing injuries pada organ isi
abdomen merupakan bentuk trauma yang dapat terjadi bila suatu alat penahan (seperti sabuk
pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk bahu)dipakai dengan cara yang salah.
Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menderita
cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari bagian badan yang bergerak dan yang
tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering terjadi (organ bergerak) ditempat jaringan
pendukung (struktur tetap) pada tabrakan tersebut. Pada penderita yang dilakukan laparatomi
oleh karena trauma tumpul (blun injury), organ yang paling sering cedera, adalah limpa (40
55%), hati (35 45%)dan hematoma retroperitoneum (15%).

TRAUMA ABDOMEN
II.1 ANATOMI ABDOMEN
Cavum Abdominalis

Cavum abdominalis adalah rongga batang tubuh yang terdapat diantara diaphragma
dan apertura pelvis superior. Cavum abdominalis merupakan rongga yang terbesar dari ketiga
rongga tubuh yang terdiri atas cavum cranii, cavum thoracalis, dan cavum pelvicum. Cavum
abdominalis dibatasi oleh :

Kranial

: diaphragma

Ventrolateral : otot dinding perut dan m. Illiacus

Dorsal

: columna vertebralis
m. psoas major
m. psoas minor
m. quadratuslumborum

Kaudal

: apertura pelvis superior mencakup pelvis major

Cavum abdominalis tidak sesuai dengan batas tulang yang membatasinya karena :
2

1.

Diaphragma berbentuk kubah dan menjorok ke dalam cavum thoracalis sampai setinggi
costa V (di kanan) sedangkan di kiri kira kira 2,5 cm lebih rendah.

2.

Dibagian kaudal cavum abdominalis juga menjorok sampai ke cavum pelvicum dan
mencakup pelvis major.

Lapisan Dinding Abdomen


1.

Stratum superficialis (lapisan dangkal)


a.

Cutis

b.

Subcutis (fascia abdominalis superficialis)

Lamina superficialis (fascia camperi)

Lamina profunda (fascia scarpae)

2.

Stratum intermedius (lapisan tengah)


a.

Fascia abdominalis

b.

Otot otot dinding perut

c.

Aponeurosis otot dinding perut

d.

Tulang

3.

Stratum profunda (lapisan dalam)


a.

Fascia transversalis

b.

Panniculus adiposus preperitonealis

c.

Peritoneum parietale

Otot-otot Dinding Perut


1.

Musculi anterolaterales
a.

mm. Obliqua (otot serong dinding anterior)

m. Obliqus externus abdominis

m. Obliqus internus abdominis

m. Transversus abdominis

b.

mm. Recti (otot lurus dinding anterior)

m. Rectus abdominis

m. Pyramidalis

2.

Musculi posteriores
a.

m. psoas major

b.

m. psoas minor

c.

m.iliacus
3

Actio otot otot dinding perut :


1.

Fixatio organa viscerales abdominales

2.

Melakukan gerakan pada columna vertebralis, yaitu :

Anteflexio tubuh (m. Rectus abdominis)

Torsio batang tubuh (mm. Obliqus externus et internus abdominis)

3.

Membantu akhir ekspirasi (mm. laterales)

4.

Meningkatkan tekanan intra abdominal, misalnya pada pampat perut (buik-persen)

Vaskularisasi Dinding Abdomen


Pembuluh Nadi
Dinding abdomen diperdarahi oleh :
1.

Aa. Intercostales VII XII

2.

Aa. Lumbales

3.

A. Epigastrica superior

4.

A. Epigastrica inferior

5.

Aa. Inguinales superficiales

6.

A. Circumflexa ilium profunda


Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam sulcus
costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales terletak diantara m.
Transversus

abdominis

an

m.

Obliqus

internus

abdominis.

Aa.

Intercostales

mempercabangkan :
a.

Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung

b.

Rr. Laterales aa. Intercostales

c.

Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus abdominis
Aa. Lumbales, biasanya empat pasang, dipercabangkan dari Aorta abdominalis
setinggi vertebrae lumbales I IV. Aa. Lumbales berjalan ke lateral pada corpora vertebrae
lumbales di sebelah dorsal truncus symphaticus.
A. epigastrica superior merupakan salah satu cabang akhir A. mammaria interna (A.
thoracica interna), dipercabangkan setinggi spatium intercostales VI. Setelah meninggalkan
cavum thoracis, A. epigastrica superior memasuki vagina m. Rectus abdominis di sebelah
dorsal cartilago costae VIII. Mula mula terletak dorsal terhadap m. Rectus abdominis lalu
menembus otot tersebut untuk beranastomosis dengan A. epigastrica inferior.
A. epigastrica inferior (A. epigastrica profunda) dipercabangkan dari A. iliaca externa
tepat kranial ligamentum inguinale Pouparti, lalu berjalan ke arah ventral di dalam jaringan
4

subperitoneal. Selanjutnya A. epigastrica inferior berjalan miring ke kranial di sepanjang tepi


medial annulus inguinalis profundus.
Setelah menembus fascia transversalis, A. epigastrica inferior berjalan di sebelah
ventral linea semicircularis Douglasi ke arah kranial di antara m. Rectus abdominis dan
lamina posterior vagina m. Rectus abdominis. Kranial terhadap umbilicus, A. epigastrica
superior dan Aa. Intercostales.
A.epigastrica inferior mempercabangkan :

cremasterica (A. spermatica externa)

R. pubicus a. epigastrica inferior

Rr. Musculares

Pembuluh Balik Dinding Abdomen


1.

Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).


Membentik anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu bermuara ke dalam :

V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis

V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris


Disekita umbilikus terdapat pembuluh balik dangkal yang dinamakan Vv.
Paraumbilikalis Sappeyi dan berjalan disepanjang ligamentum teres hepatis mulai dari
umbilikus sampai ke dalam sisa V. Umbilikalis yang masih terbuka. Bila terjadi bendungan
pada V. Porta (misalnya pada hipertensi portal), Vv. Paraumbilikalis Sappeyi mengalami
varises dan membentuk gambaran yang dinamakan Caput Medussae.

2.

Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya

Persarafan Dinding Abdomen


1.

Nn. Thoracales VII XII


Rr.ventrales nn thoracales VII XII (Nn intercostales) berjalan diantara m. Obliqus
internus abdominis dan m. Transversus abdominis. Rr. Cutanei anteriores dipercabangkan
setelah menembus vagina M. Rectus abdominis, sedangkan RR cutanei laterales
dipercabangkan sekitar umbilikus.
Nn thoracales VII XII juga mempersarafi m. Rectus abdominis sehingga kerusaka
saraf tersebut dapat menimbulkan kelumpuhan m. Rectus abdominis.
Nn thoracalis VII mempersarafi kulit dinding abdomen setinggi proc. xiphoideus, Nn
thoracales VIII IX antara proc. xiphoideus dan umbilikus, N.thoracalis X setingi umbilikus
5

sedangkan N. Thoracalis XII mengurus pertengahan antara umbilikus dan symphisis osseus
pubis.

2.

N. Lumbales I
N lumbalis I berjalan sejajar dengan Nn thoracales dan mempercabangkan :

N. iliohypogastricus

N. Iloinguinalis
Nn. Iliohypogastricus et ilioinguinales berjalan diantara m. Obliqusinternus abdominis
dan m. Transversus abdominis sampai spina iliaca anterior superior. Kira kira 2,5 cm
disebelah kranial annulus inguinalis superficialis, Nn. Iliohypogastricus menembus
aponeurosis otot serong dinding perut dan berubah menjadi saraf kulit.
N. Iloinguinalis berjalan di kanalis inguinalis lal mempersarafi kulit disekitar radix
penis, bagian ventral scrotum dan kulit tungkai atas didekatnya.
N thoracalis XII (N subcostalis) dan N lumbalis I merupakan saraf yang paling
penting karena keduanya mempersarafi alat alat penting di bagian kaudal dinding abdomen.

II.2 TRAUMA ABDOMEN


Definisi
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non
penetrasi.
1)

Trauma penetrasi
a. Luka tembak
b. Luka tusuk

2)

Trauma non-penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :


1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen
6

tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah
dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus
dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:
1.Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen
2.Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3.Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan
dan hati harus dieksplorasi.
Etiologi
1. Penyebab trauma penetrasi
- Luka akibat terkena tembakan
- Luka akibat tikaman benda tajam
- Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
- Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
- Hancur (tertabrak mobil)
- Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
- Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra
abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai
penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu
organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium
cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri
7

spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis
umum.
Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh,
juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase
awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan
bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.
Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan
diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi,
peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
- Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
- Terjadi perdarahan intra abdominal.
- Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal
dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam
(melena)
- Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
- Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:


- Terdapat luka robekan pada abdomen
- Luka tusuk sampai menembus abdomen
- Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
- Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

Diagnosa
Pada penderita hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya menentukan apakah
ada cedera abdomen dan apakah itu penyebab hipotensinya. Penderita yang normal
hemodinamiknya tanpa tanda tanda peritonitis dapat dilakukan evaluasi yang lebih teliti
untuk menentukan cedera fisik yang ada (trauma tumpul).
A.

Riwayat trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera
organ intra-abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma,
8

termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam
kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital,
kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata, dan seterusnya.
B.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan
urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus
direkam dengan teliti dalam catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya
akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga
dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan
perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang
terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal

1.

Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga
bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing
yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati hati untuk
mempermudah pemeriksaan lengkap.

2.

Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah
intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus,
mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga,
tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di
abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal.

3.

Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya
peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat
dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.

4.

Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitjan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding)
adalah tanda yang handal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya
dan menentukan tempat dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri
lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba tiba, dan biasanya
9

menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Dengan palpasi juga
dapat ditentukan uterus yang membesar dan diperkirakan umur janin.

C.

Pemeriksaan penunjang
Selanjutnya, luka retroperitoneal dan panggul tidak dapat dikesampingkan hanya
didasarkan pada temuan fisik. Kami menganggap bahwa evaluasi abdomen yang objektif
diperlukan dan harus didapatkan dengan memanfaatkan salah satu modalitas diagnostik yang
tersedia di samping pemeriksaan fisik. Tes pilihan akan tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan keparahan cedera terkait.
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi oleh
studi USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan pasien harus
pergi ke ruang operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal
lavage diagnostik biasanya dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan cedera intraabdomen dan memerlukan eksplorasi bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan
ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi, jika tersedia,
atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen sebagai sumber
hilangnya darah dan hipotensi.

Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang
hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan
berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya
memerlukan laparatomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga
menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena
nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral
decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.

Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)


Diagnostik peritoneal lavage merupakan tescepat dan akurat yang digunakan
untuk mengidentifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi
atau tidak responsif tanpa indikasi yang jelas untuk eksplorasi abdomen.

10

Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan
hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau terdapat situasi
sebagai berikut :

Perubahan sensorium cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obat terlarang.

Perubahan perasaan cedera jaringan saraf tulang belakang.

Cedera pada struktur berdekatan tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari
pinggang bawah (lumbar spine).

Pemeriksaan fisik yang meragukan.

Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan pasien

Pemeriksaan fisik awal abdomen sering gagal untuk mendeteksi cedera


abdomen yang signifikan dalam konteks trauma multisistem. Penundaan dalam mendiagnosis
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan kematian, rawat inap berkepanjangan, dan
akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Pengenalan Diagnostik Peritoneal Lavagediagnostik
(DPL) pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan murah untuk dengan cepat
mengidentifikasi ancaman cedera intraperitoneal. Meskipun popularitas yang luas biasa dari
CT scan di Amerika Serikat dan ultrasonografi di Eropa dan Jepang, kami percaya DPL tetap
merupakan bagian integral dari evaluasi pasien trauma abdomen.
Ada tiga metode dasar memasukkan kateter DPL ke dalam rongga peritoneal.
Pendekatan tertutup terdiri dari memasukkan kateter dalam motode blind percutaneus.
Masalah utama dengan pendekatan ini adalah kedalaman penetrasi tidak dapat terukur, yang
membuat struktur intraperitoneal atau retroperitoneal mengalami risiko perforasi. Sayangnya,
teknik Seldinger wire pada orang dewasa masih kurang optimal karena kurangnya
pengembalian lavage. Prosedur terbuka, melintasi dinding perut dengan visualisasi langsung,
lebih aman, tapi menghabiskan lebih banyak waktu, dan udara dapat masuk ke dalam rongga
peritoneum. Kami lebih suka teknik semiopen dilakukan pada cincin infraumbilical sebagai
solusinya, pendekatan ini cepat, mudah, dan sangat dapat diandalkan. Prosedur yang sama
dapat digunakan pada pasien dengan fraktur panggul karena hematoma yang membesar di
anterior dibatasi oleh cincin infraumbilical. Sebelum memperkenalkan kateter dan DPL,
kandung kemih yang membesar didekompresi dengan NGT dan kateter Foley. Daerah
periumbilikalis dicukur, disiapkan dengan solusi povidone-iodida, dan dibungkus secara
steril. Daerah ini di anestesi dengan anestesi lokal (1% tanpa epinefrin Xylocaine). Sebuah
sayatan melengkung dibuat untuk satu sisi umbilikus, pada tingkat cincin infraumbilical.
Keuntungan dari membuat sayatan pada daerah ini adalah vaskularitas yang relatif sedikit,
11

kurangnya lemak preperitoneal, dan dinding dari peritoneum yang tidak keras karena
dihasilkan dari sisa-sisa arteri umbilikalis dan urachus. Sayatan dilakukan ke linea alba,
sambil memastikan hemostasis pasien secara teliti. Sebuah sayatan 5mm dibuat di linea alba,
dan ujung-ujung bebasnya difiksir dengan klem. Sementara meninggikan dinding perut
dengan traksi pada klem, kateter dialisis standar dengan trocar kemudian dimasukkan ke
dalam rongga peritoneum ke arah panggul. Setelah kateter dimasukkan ke dalam peritoneum,
trocar ditarik dan kateter diarahkan ke panggul
Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi
setidaknya 10 mL darah, lavage efluen berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari
100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175
IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan. Indikasi dan kontraindikasi untuk
peritoneal lavage tercantum dalam Kotak 20-3. Tes ini sangat sensitif terhadap adanya darah
intraperitoneal, namun, spesifisitas yang rendah dan karena tes positif mendorong eksplorasi
bedah, sejumlah besar eksplorasi akan nontherapeutic. Luka signifikan juga mungkin
terlewatkan oleh peritoneal lavage diagnostik. trauma diafragma, hematoma retroperitoneal,
dan ginjal, pankreas, kandung kemih luka duodenum, usus kecil, dan sering kurang
terdiagnosis oleh peritoneal lavage saja. Komplikasi jarang terjadi dan sebagian besar terkait
dengan cedera iatrogenik disebabkan selama penyisipan kateter ke dalam rongga perut.
Sebuah teknik semi-terbuka atau terbuka menjadi metode yang disukai untuk menghindari
atau mengurangi timbulnya komplikasi tersebut.
Diagnostik hasil lavage peritoneum dapat menyesatkan dengan adanya patah
tulang panggul. Hasil positif palsu diharapkan karena perdarahan dari retroperitoneum ke
dalam rongga peritoneal. Luka perut dan sisi anterior dapat secara akurat dievaluasi oleh
peritoneal lavage. Hasil positif palsu sering terjadi setelah peritoneal lavage karena
perdarahan dari dinding perut, sehingga meningkatkan jumlah eksplorasi negatif. Kelemahan
lain peritoneal lavage potensi adalah akurasi rendah dalam diagnosis cedera viskus berongga.
Masih ada perdebatan mengenai kriteria positif yang paling tepat untuk menentukan ambang
batas untuk eksplorasi bedah setelah menusuk luka perut. Jika jumlah sel darah merah
1000/mm3 dianggap, jumlah eksplorasi negatif mungkin di atas 20%. Jika hitungan 100.000 /
mm3 dianggap, tingkat cedera terjawab akan mendekati 5%. Tidak ada konsensus mengenai
hal ini, meskipun pusat-pusat trauma yang paling menggunakan ambang rendah (jumlah sel
antara 1000 dan 5000/mm3) untuk eksplorasi.
Diagnosis luka tusuk abdomen penetrasi perut anterior dapat dievaluasi dengan
diagnostik peritoneal lavage dalam upaya untuk menentukan apakah pasien berada dalam
12

keadaan gawat darurat atau tidak. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai pemeriksaan
fisik yang normal diperiksa dan dievaluasi dengan peritoneal lavage tertutup. Jika jumlah sel
darah merah dalam cairan lavage lebih besar dari 1000/mm3, pasien dirawat untuk observasi.
Pasien dengan hemodinamik stabil disertai eviserasi tapi tanpa nyeri perut harus diobservasi
di ugd. Pada 44 pasien jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, 34 dipulangkan ke
rumah, dan tidak diperlukan laparotomi. Tiga puluh delapan pasien diamati karena jumlah sel
darah merah lebih besar dari 1000/mm3. Dari delapan pasien yang menunjukkan tanda-tanda
peritoneal dan menjalani laparotomi eksplorasi, ada lima pasien yang positif. Penulis
menyimpulkan bahwa pasien yang mempertahankan luka tusukan dapat pulang dengan aman
ke rumah jika jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, asalkan hemodinamik stabil
dan tidak memiliki indikasi yang jelas, berdasarkan pemeriksaan fisik, dan untuk intervensi
operatif. Tetapi pendekatan ini memerlukan validasi lebih lanjut.

Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL berikut tumpul


Index

Positive

Equivocal

Blood

>10 mL

Fluid

Enteric contents

Red blood cells

>1.000.000 / mm3

>20.000 / mm3

White blood cells

>1.000.000 / mm3

>500 / mm3

Amylase >20 IU/L and

Amilase >20 IU/L or

alkaline phosphatase >3

alkaline phosphatase >3

IU/L

IU/L

Confirmed

Aspirate

Lavage

Enzyme

Bile

biomechanically

Ultrasound diagnostik (USG)


USG telah sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat
untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG untuk mencari
13

cairan intraperitoneal bebas. Hal ini dapat dilakukan secepatnya, dan ini sama akuratnya
dengan diagnostik peritoneal lavage untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat
mengevaluasi hati dan limpa meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di
intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat
pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien
tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah USG
merupakan tindakan yang non-invasif. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut setelah
USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Hasil CT dari abdomen biasanya sama
dengan USG bila hasilnya positif pada pasien yang stabil. Keuntungan dan kerugian dari
USG perut terdapat dalam Kotak 20-4. Sensitivitas berkisar dari 85% sampai 99%, dan
spesifisitas dari 97% sampai 100%.
Penggunaan USG untuk evaluasi trauma tembus abdomen dilaporkan terbatas.
Baru-baru ini, sebuah studi prospektif dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan USG sebagai
tes skrining pada trauma tembus dan pada trauma tumpul. Penelitian ini melibatkan luka
tusuk serta luka tembak. Sensitivitas USG keseluruhan adalah 46% dan spesifisitas adalah
94%. Studi ini menunjukkan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti
pada trauma tumpul. Jika USG positif, pasien harus dioperasi. Jika negatif, pemeriksaan lebih
lanjut harus dilakukan.

Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)


CT adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Retroperitoneum dapat dievaluasi dengan baik
oleh CT. Indikasi dan kontraindikasi CT perut tercantum dalam Kotak 20-5. Kelemahan dari
CT adalah bahwa pasien harus dibawa ke ruangan radiologi, dan mahal dibandingkan dengan
tes lainnya. CT juga mengevaluasi cedera organ padat, dan pada pasien stabil dengan USG
positif itu diindikasikan cedera organ dan perlu untuk evaluasi dengan menggunakan
ekstravasasi kontras. Jika ekstravasasi media kontras terlihat, bahkan dalam trauma hepar
atau trauma limpa, maka suatu laparotomi eksplorasi atau, yang lebih baru lagi yaitu
angiografi dan embolisasi harus dilakukan. Indikasi lain untuk CT adalah dalam evaluasi
pasien dengan cedera organ padat yang awalnya dirawat dengan keadaan non-operatif yang
disertai adanya penurunan nilai hematokrit. Kekurangan CT yang paling utama adalah
ketidakmampuan untuk mendiagnosa cederal organ viskus berongga (Kotak 20-6). Biasanya,
adanya cairan bebas pada CT abdomen tanpa cedera organ padat harus diwaspadai adanya

14

cedera pada mesenterika, usus, atau kandung kemih, dan laparotomi eksplorasi harus segera
dilakukan.

Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma
tumpul abdomen oleh CT adalah apa yang harus dilakukan ketika ditemukan adanya cairan
bebas tanpa tanda-tanda organ padat atau cedera mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas
yang relatif kurang bagi CT untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan
dilema bagi dokter bedah. Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi
abdomen dan menerima tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi nontherapeutic atau
untuk mengamati dan "bertindak" ketika tanda-tanda peritoneal berkembang, mengingat
bahwa keterlambatan dalam diagnosis cedera usus adalah fatal. Sebuah survei terbaru dari
dokter bedah trauma yang ditanya apa yang akan menjadi penatalaksanaan yang tepat pasien
dalam keadaan ini menunjukkan berbagai tanggapan: 42% akan melakukan diagnostik
peritoneal lavage, 28% akan mengamati pasien, 16% laparotomy eksplorasi, dan 12% akan
mengulangi CT perut. Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan tingkat positif
palsu dan negatif palsu yang rendah.
Meskipun penggunaan CT abdomen dalam evaluasi trauma tembus abdomen
telah dibatasi karena sensitivitas rendah dalam mendiagnosis cedera usus dan cedera
diafragma, teknologi baru (CT spiral) telah dievaluasi dalam situasi ini dan dengan demikian
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan penatalaksanaan nonoperative pada kasus
tertentu. Manajemen nonoperative luka tusukan di perut anterior telah ditekankan karena
tingkat morbiditas tinggi setelah laparotomi nontherapeutic. Dalam satu studi, triple kontras
heliks CT dievaluasi sebagai alat diagnostik pada cedera tembus abdomen. Penulis
menyimpulkan bahwa CT akurat untuk memprediksi kebutuhan laparotomi pada 95% pasien.

DPL VERSUS ULTRASOUND VERSUS CT SCAN PADA TRAUMA TUMPUL

DPL
Indikasi

Menentukan adanya Menentukan


perdarahan bila BP

Keuntungan

USG

CT
cairan Menentukan

organ

bila BP

cedra bila BP normal

Diagnostik cepat dan Diagnosis

cepat, Paling spesifik untuk

15

sensitif, akurasi 98%

tidak

invasif

dapat

dan cedera, akurasi 92

diulang, 98%

akurasi 86 97%
Invasif,

Kerugian

mengetahui

gagal Tergantung operator Membutuhkan biaya


cedera distorsi gas usus dan dan waktu yang lebih

diafragma

atau udara dibawah kulit, lama,

cedera

gagal

retroperitoneum

cedera

mengetahui mengetahui

tidak
cedera

diafragma diafragma,pankreas

usus, dan pankreas

dan usus

Penatalaksanaan
Table 20-10--Liver Injury Scale 9 (1994 Revision)
TYPE OF
GRADE
I

II

INJURY

DESCRIPTION OF INJURY

Hematoma

Subcapsular, <10% surface area

Laceration

Capsular tear, <1 cm in parenchymal depth

Hematoma

Subcapsular, 10%-50% surface area; intraparenchymal, <10


cm in diameter

III

Laceration

Capsular tear, 1-3 cm in parenchymal depth; <10 cm in length

Hematoma

Subcapsular, >50% surface area of ruptured subcapsular or


parenchymal hematoma; intraparenchymal hematoma, >10
cm or expanding

IV

Laceration

3 cm in parenchymal depth

Laceration

Parenchymal disruption involving 25%-75% of the hepatic


lobe or 1-3 Couinaud segments

Laceration

Parenchymal disruption involving >75% of the hepatic lobe


or >3 Couinaud segments within a single lobe

Vascular

Juxtahepatic

venous

injuries,

i.e.,

retrohepatic

vena

cava/central major hepatic veins


VI

Vascular

Hepatic avulsion

16

Manajemen nonoperatif
Pada pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil tanpa indikasi lain
untuk eksplorasi penanganan yang terbaik adalah dengan pendekatan konservatif nonoperatif.
Pasien yang stabil tanpa tanda-tanda peritoneal lebih baik dievaluasi dengan menggunakan
USG, dan jika ditemukan kelainan, CT scan dengan kontras harus dilakukan. Dengan tidak
adanya ekstravasasi kontras selama fase arteri CT scan, cedera yang ada dapat ditangani
secara nonoperatif. Kriteria klasik untuk penanganan nonoperative pada trauma hepar
diantaranya adalah stabilitas hemodinamik, status mental normal, tidak adanya indikasi yang
jelas untuk laparotomi seperti tanda peritoneum, trauma hepar kelas rendah (kelas I-III), dan
kebutuhan transfusi kurang dari 2 unit darah. Baru-baru ini, kriteria ini telah ditantang dan
indikasi yang lebih luas untuk manajemen nonoperative telah digunakan. Telah menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien yang dipantau hematokritnya secara serial dan tanda-tanda vital
bukan oleh pemeriksaan abdomen serial, yang merupakan alasan mengapa status mental yang
utuh bukan sine qua non untuk manajemen nonoperative. Selanjutnya, jika hematokrit turun,
sebagian besar pasien akan menjalani CT scan ulang untuk mengevaluasi dan mengukur
hemoperitoneum tersebut. Keberhasilan melaporkan keseluruhan manajemen nonoperative
cedera tumpul hati sebesar 90%. Tingkat keberhasilan penanganan nonoperatif dari nilai
cedera I hingga III sekitar 95%, sedangkan untuk cedera kelas IV dan V tingkat keberhasilan
menurun menjadi 75% sampai 80%. Dengan menggunakan angiografi dan embolisasi
superselective pada pasien dengan perdarahan yang persisten, tingkat keberhasilan mungkin
sebenarnya lebih tinggi.
Embolisasi angiografik telah ditambahkan ke protokol untuk manajemen nonoperative
trauma hepar di beberapa institusi dalam upaya untuk mengurangi kebutuhan untuk transfusi
darah dan jumlah operasi.
Pasien dirawat di unit perawatan intensif untuk dipantau tanda-tanda vital dan
hematokritnya. Biasanya, setelah 48 jam pasien dipindahkan ke unit perawatan intermediate,
di mana mereka mulai diet oral, namun mereka tetap istirahat sampai hari ke 5 post-injury.
Aktivitas fisik dapat normal kembali setelah 3 bulan dari waktu cedera.
Sebuah studi multicenter baru-baru ini mencoba untuk menentukan faktor risiko dini
morbiditas setelah manajemen nonoperative pada trauma tumpul hepar yang parah (kelas IIIV). Para penulis melaporkan tingkat komplikasi dari masing-masing trauma hepar kelas III,
IV dan V yaitu 5%, 22%, dan 52%.
Saat ini, tidak ada kriteria seleksi tunggal dapat memprediksi pasien akan gagal dalam
manajemen nonoperatif.
17

Croce dan rekan melakukan analisa prospektif pada 112 pasien yang dirawat secara
nonoperatif selama periode 22-bulan. Mereka melaporkan tingkat kegagalan 11% (12 pasien),
dengan lima kegagalan yang terkait hati. Tidak ada hubungan antara kelas cedera dan
meningkatnya tingkat

kegagalan. Para penulis

menyimpulkan

bahwa manajemen

nonoperative aman terlepas dari keparahan cedera pada pasien hemodinamik stabil; itu
mengakibatkan lebih rendah terjadinya komplikasi septik perut dan kebutuhan transfusi
menurun. Mereka juga membandingkan 70 pasien dengan grade III-V ditangani nonoperatif
dengan 50 pasien yang menjalani intervensi bedah. Transfusi darah pada 48 jam terdiri dari
2,2 dan 5,8 unit, dan kematian adalah 7% dan 4% untuk kontrol nonoperative dan operasi.
Meskipun kebutuhan transfusi sedikit lebih rendah pada kelompok nonoperative, tidak ada
perbedaan yang bermakna dalam hal mortalitas.

Manajemen pasien dengan ekstravasasi kontras selama fase arteri CT masih


diperdebatkan. Fang dan rekan mengusulkan sistem klasifikasi berdasarkan lokasi dan
karakter ekstravasasi dan penyatuan bahan kontras dari laserasi hati pada CT. Pada tipe 1, ada
kontras ekstravasasi ke rongga peritoneum. Semua pasien dalam kategori ini yang dibutuhkan
intervensi operasi. Tipe 2 terdiri dari hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam
parenkim hati. Para penulis merekomendasikan bahwa pasien dalam kategori ini menjalani
angiografi dengan embolisasi, meskipun beberapa akan memerlukan intervensi operasi. Tipe
3 ditandai dengan tidak hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam parenkim
hati.
Angiografi diperlukan dalam subkelompok pasien, dan hasilnya biasanya baik.
Ciraulo dan rekan kerja dianalisis kelompok dari 11 pasien yang membutuhkan resusitasi
cairan yang terus menerus, dengan 7 embolisasi yang membutuhkan. Semua upaya
embolisasi berhasil. Para penulis menyimpulkan bahwa hati embolisasi arteri merupakan
alternatif dalam pengelolaan pasien dengan cedera hati yang berat yang memerlukan
resusitasi cairan yang terus menerus, sehingga menjembatani pilihan terapeutik intervensi
operatif dan nonoperative
Perhatian yang paling penting dari manajemen nonoperative adalah potensi untuk
cedera terjawab, terutama perforasi viskus berongga. Keterlambatan dalam mendiagnosis
cedera viskus berongga dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
meningkat.
Manajemen operatif
18

Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan
di UGD dan keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di banyak
rumah sakit tidak segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan dapat dihapus
lebih lanjut jika pasien harus menjalani evaluasi di departemen radiologi. Jadi, waktu
transportasi pasien ke ruang operasi sangat penting dan tergantung pada mekanisme cedera,
status fisiologis pasien dan respon terhadap resusitasi, hasil studi diagnostik kritis dan
konsultasi yang tepat, dan ketersediaan ruang operasi. Untuk pasien dengan syok refrakter
menyusul luka tembak perut dapat dirawat dalam unit gawat darurat tinggal dalam waktu
yang singkat (misalnya 10 sampai 15 menit), sedangkan pasien yang stabil dengan trauma
tumpul multisistem mungkin dapat tetap dirawat dalam ruang unit gawat darurat atau
departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase yang prematur untuk memasukkan pasien
ke ruang operasi dapat mengakibatkan laparotomy yang tidak perlu, penundaan dalam
evaluasi keadaan pasien, atau ancaman terhadap anggota tubuh sebagai cedera extra
abdominal. Namun, penundaan di unit gawat darurat dapat mengakibatkan kerusakan
fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan koagulopati. Transfer ke ruang operasi
harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman siap mengelola keadaan darurat akut.
Kesalahan umum meliputi manajemen jalan nafas yang tidak memadai, tabung oksigen, garis
aman, dan pemantauan pasien yang tidak baik. Setiap rumah sakit harus menetapkan protokol
untuk memastikan transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari ruang resusitasi
gawat darurat menuju ke ruang operasi.
Rencana pengelolaan untuk pasien dengan trauma abdomen yang signifikan diuraikan pada
Gambar 22-3.
Pasien yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum
adalah diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen.
Pasien yang mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau
dengan cedera kepala secara bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang
positif pada pasien yang memiliki resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen
yang segera. Pasien dengan hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar
(20,000-100,000 RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ
utama yang solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang
lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami cedera akibat
dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika kelas <III
cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa
pasien, DPL digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai
19

dengan CT scan. Mereka yang hadir> 12 jam setelah trauma diamati atau dievaluasi dengan
CT abdomen, tergantung pada pemeriksaan awal fisik dan cedera yang berhubungan.
Algoritma diagnostik memberikan pedoman umum untuk evaluasi awal, sebagai informasi
lebih lanjut, algoritma ini dimodifikasi sesuai kebutuhan dengan menyertakan intervensi
tambahan atau terapeutik diagnostik. Intervensi ini mungkin termasuk (1) x-ray mempelajari
tulang belakang, dada dan plevis, (2) CT scan kepala, (3) pyelography intravena, (4)
cystourethrography retrograd, (5) duodenography kontras, atau (6) diagnostik atau terapi
angiografi.
Algoritma keputusan juga dimodifikasi untuk pasien hamil atau pasien anak.
Kehamilan mengubah kedua kerentanan terhadap cedera tumpul dan respon fisiologis
terhadap cedera. Uterus gravid menempati panggul dan perut bagian bawah dan, karenanya,
rentan terhadap berbagai hasil dari pukulan langsung atau cedera sabuk pengaman. Ini
menyebabkan hasil dalam spektrum cedera dari ringan jaringan lunak kontusio gangguan
dinding rahim atau abrupsio plasental dan exsanguination potensial, serta keguguran janin.
Dengan demikian, tata laksana cedera minor dari pasien wanita seperti ini harus segera
dilakukan. Kami secara rutin menggunakan DPL (teknik terbuka) pada pasien hamil
sekaligus mengevaluasi uterus gravid dengan USG, pemantauan janin invasif, atau
amniosentesis.
Ketidakstabilan hemodinamik, ruptur uterus, plasenta, gawat janin, dan amniosentesis
berdarah indikasi untuk eksplorasi perut darurat dan evakuasi uterus, dengan kemungkinan
terburuk adalah histerektomi.
Evaluasi trauma pada pediatrik memberi tantangan khusus untuk para klinisi karena
dengan ukuran dan fisiologi yang unik dari anak-anak. Elastisitas tulang rusuk yang lebih
rendah dan ukuran dari rongga abdomen yang relatif besar meningkatkan kerentanan untuk
mengalami cedera intra-abdominal. Di sisi lain, pola cedera ditemui pada populasi pediatrik
dan potensi yang lebih besar untuk hemostasis spontan menjamin pendekatan yang lebih
selektif. Hepar dan limpa merupakan cedera yang umum dan sering orang tua setuju untuk
dilakukan tindakan non-operative, sedangkan fraktur pankreas merupakan kejadian yang
sering dan perforasi usus jarang terjadi. Terlepas dari kenyataan ini, kami mempertahankan
sikap agresif terhadap evaluasi abdomen karena keadaan fisiologis yang terbatas pada anakanak. DPL terlalu positif pada anak-anak dengan hemodinamik stabil dievaluasi lebih lanjut
dengan CT scan untuk memastikan cedera organ padat yang dapat dikelola. Namun,
eksplorasi abdomen awal dilakukan pada pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak

20

stabil, kebutuhan untuk transfusi darah sedang berlangsung, dan lavage peritoneal positif oleh
enzim.

21

TRAUMA TORAKS

I.

DEFINISI
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat

menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

II. ANATOMI TORAK


A. Dinding dada.
Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk dinding dada
adalah tulang iga, columna vertebralis torakalis, sternum, tulang clavicula dan scapula.
Jaringan lunak yang membentuk dinding dada adalah otot serta pembuluh darah terutama
pembuluh darah intrerkostalis dan torakalis interna.

B. Kerangka dinding torak


Kerangka dinding torak membentuk sangkar dada osteokartilogenous yang
melindungi jantung, paru-paru dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar). Kerangka
torak terdiri dari:

Vertebra thoracica (12) dan discus intervertebralis

Costa (12 pasang) dan cartilage costalis

Sternum

Costa adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan membatasi bagian terbesar
sangkar dada terdiri dari:
-

Ketujuh (kadang-kadang delapan) costae I disebut costa sejati (vertebrosternal) karena


menghubungkan vertebra dengan sternum melalui kartilago costalis

Costa VIII sampai costa X adalah costa tak sejati (vertebrokondral) karena kartilago
costalis masing-masing costa melekat pada kartilago costalis tepat diatasnya

Costa XI dan costa XII adalah costa bebas atau kosta melayang karena ujung kartilago
kostalis masing-masing costa berakhir dalam susunan otot abdomen dorsal
Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral sangkar

dada. Sternum terdiri atas tiga bagian: manubrium sterni, corpus sterni, dan processus
xiphoideus.

22

C. Dasar torak
Dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus dan merupakan
struktur yang menyerupai kubah (dome-like structure). Diafragma membatasi abdomen dari
rongga torak serta terfiksasi pada batas inferior dari sangkar dada. Diafragma termasuk salah
satu otot utama pernapasan dan mempunyai lubang untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior
serta esophagus

D. Rongga torak (Cavitas thoracis).


Rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru. Rongga ini dibatasi oleh pleura
visceralis dan parietalis.
Rongga dada dibagi menjadi 3 rongga utama yaitu ;
1. Rongga dada kanan (cavum pleura kanan )
2. Rongga dada kiri (cavum pleura kiri)
3. Rongga dada tengah (mediastinum).
Pleura (selaput paru) adalah selaput tipis yang membungkus paru paru :
Pleura terdiri dari 2 lapis yaitu ;
1. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru paru.
23

2. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding dada.


Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu membentuk kantong
tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura). Di dalam kantong terisi sedikit cairan
pleura yang diproduksi oleh selaput tersebut.
Rongga Mediastinum dan isinya terletak di tengah dada. Mediastinum meluas dari
aperture thoracis superior ke diafragma di sebelah kaudal, dan dari sternum dan cartilage
costalis di sebelah ventral ke corpus vertebrae thoracica di sebelah dorsal. Struktur dalam
mediastinum diliputi oleh jaringan ikat, pembuluh darah dan limfe, kelenjar limfe dan lemak.
Jarangnya jaringan ikat, dan elastisitas paru-paru dan pleura parietalis memungkinkan
mediastinum menyesuaikan diri kepada perubahan gerak dan volume dalam rongga torak.
Mediastinum dibagi menjadi bagian cranial (mediastinum superius) dan bagian
kaudal. Mediastinum bagian atas meluas ke arah kaudal dari aperture thoracis superior
sampai pada bidang melalui angulus sterni dan tepi bawah veftebra T4. Mediastinum bagian
bawah yang meluas antara bidang tersebut dan diafragma, dibedakan atas sektor ventral
(mediastinum anterius), sector tengah (mediastinum medius), dan sektor dorsal (mediastinum
posterior). Dalam mediastinum medius terdapat jantung dan pembuluh besar. Beberapa
bangunan melintasi mediastinum secara vertikal (misalnya esophagus) dan dengan demikian
melewati lebih dari satu sektor.

III. FISIOLOGI TORAK


Pada inspirasi gerak dinding torak dan diafragma menghasilkan bertambahnya ukuran
torak vertical, tranversal dan dorsoventral serta volume intratorakal. Perubahan tekanan
menyebabkan inspirasi dan ekspirasi udara secara bergantian ke dalam/keluar dari paru-paru
melalui hidung, mulut, laring dan trakea, dan sebaliknya. Pada ekspirasi, diafragma,
muskulus intercostalis dan otot lainnya mengalami relaksasi sehingga volume intratorakal
berkurang dan tekanan intratorakal meningkat. Jaringan paru-paru yang lentur dan teregang
menebal kekeadaan semula (recoil), dan cukup banyak udara terdesak keluar. Bersamaan
dengan ini tekanan intraabdominal berkurang.
Inspirasi : dilakukan secara aktif
Ekspirasi : dilakukan secara pasif
Fungsi respirasi :
-

Ventilasi : memutar udara.

Distribusi : membagikan
24

Diffusi : menukar CO2 dan O2

Perfusi : darah arteriel dibawah ke jaringan.

IV. TRAUMA TORAK


Patofisiologi trauma torak.
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya adalah akibat dari :
1. Kegagalan ventilasi
2. Kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar.
3. Kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik.
Ketiga faktor diatas dapat menyebabkan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis Hipoksia
pada tingkat jaringan dapat menyebabkan rangsangan terhadap cytokines yang dapat memacu
terjadinya adult respiratory distress syndrome ( ARDS), systemic inflamation response
syndrome (SIRS). Hipoksia terjadi karena perdarahan pada trauma dapat mengakibatkan syok
hipovolemik sehingga menyebabkan berkurangnya transport O2 oleh hemoglobin. Hipokasia
jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh
karena hipivolemia ( kehilangan darah), pulmonary ventilation/ perfusion mismatch (contoh
kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratthorax (contoh :
tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Selain itu, pada pneumotorak terjadi kolaps
paru yang mengakbatkan kontusio paru sehingga terjadi gangguan pertukaran gas pada
alveoli. Hiperkarbia merupakan peningkatan kadar CO2 dalam darah yang terjadi pada
keadaan pernapasan yang menurun, dapat mengenai penderita yang tidak sadar dan
mengalami perubahan tekanan intratorak. Sedangkan asidosis metabolik akan terlihat pada
keadaan perfusi jaringan yang menurun.

Klasifikasi trauma
1. Trauma tumpul
2. Trauma tembus : tajam, tembak, tumpul yang menembus.

Gejala umum trauma torak


- Gejala yang sering dilihat pada trauma torak adalah : nyeri dada dan sesak nafas
atau nyeri pada waktu nafas.
- Pasien tampak sakit, sesak atau sianotik dengan tanda trauma torak atau jejas pada
dadanya. Lebih dari 90 % trauma toraks tidak memerlukan tindakan pembedahan
25

berupa torakotomi, akan tetapi tindakan penyelamatan dini dan tindakan elementer
perlu dilakukan dan diketahui oleh setiap petugas yang menerima atau jaga di unit
gawat darurat. Tindakan penyelamatan dini ini sangat penting artinya untuk
prognosis pasien dengan trauma toraks.

Prinsip pengelolaan penderita dengan cedera toraks:


a. Pemeriksaan primer/awal
b. Resusitasi fungsi vital
c. Pemeriksaan sekunder/lanjutan secara terperinci
d. Evaluasi diagnosis
e. Perawatan definitif

Trauma torak yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat/segera adalah yang
menunjukkan :
1. Obstruksi jalan nafas
2. Hemotorak massif
3. Tamponade pericardium/jantung
4. Tension pneumotorak
5. Flail chest
6. Pneumotorak terbuka
7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.

DIAGNOSIS BERBAGAI MACAM TRAUMA TORAK

I. CEDERA DINDING DADA :


1. Patah tulang rusuk, tunggal dan jamak :
Merupakan jenis yang paling sering.
Tanda utama adalah tertinggalnya gerakan nafas pada daerah yang patah, disertai
nyeri waktu nafas dan atau sesak.
Fraktur iga dan sternum:
Manifestasi klinis cedera dinding dada ini tergantung dari akibatnya terhadap fungsi
respirasi dan kardiovaskuler; fraktur tulang iga sederhana yang dialami oleh penderita truma
toraks dengan penurunan faal paru mungkin akan mengakibatkan gangguan fungsi respirasi
dan kardiovaskuler yang cukup berat. Fraktur iga dan sternum sering merupakan akibat dari
26

trauma tumpul toraks, dapat dijumpai mulai dari fraktur jenis sederhana (greenstick, simple,
isolated) hingga fraktur iga jamak (multiple).
BorrieJ membuat pembagian fraktur iga menjadi :
a) Simple (isolated), merupakan fraktur iga tanpa kerusakan
yang berarti dari jaringan lainnya.
b) Compound, truma menembus kulit dan merobek pleura parietalis di bawahnya yang
disertai fraktur iga.
c) Complicated, fragmen dari fraktur iga menyebabkan cedera organ visera.
d) Pahtologic, neoplasma atau kista tulang iga sebagai penyebab dari fraktur iga.

Kemungkinan terjadinya cedera paru lebih besar pada penderita anak-anak dan
dewasa muda karena iga masih lentur hingga dibutuhkan trauma yang lebih kuat untuk
menyebabkan terjadinya pada fraktur iga. Bila terdapat graktur iga 1 dan 2 pada hemitoraks
kiri dan pada foto toraks PA didapati pelebaran mediastinum, dianjutkan secepatnya
melakukan aortografi oleh karena mungkin telah terjadi ruptura aorta. Letak fraktur iga
tergantung dari arah benturan dan lengkungan iga, Hinton dan Steiner mengamati fraktur iga
sebagai berikut:
1. Iga 5 dan 9 menerima akibat benturan yang paling berat.
2. Trauma tidak langsung, terjadi akibat mendekatnya kcdua ujung tulang iga sehingga
kelengkungan iga bertambah dan letak fraktur biasanya bagian tengah.
3. Trauma langsung, menyebabkan fraktur satu atau lebih tulang iga pada tempat
benturan dan sering fragmen fraktur merobek pleura serta jaringan paru.
4. Faktur tunggal biasanya end-to-end, fraktur jamak mungkin overlapoing. Fraktur
sternum lebih sering terjadi pada persendian manubriosternal, dapat berbentuk fraktur
yang sederhana dengan prognosis baik hingga bentuk fraktur yang overlapping yang
sering bersamaan dengan fraktur iga dan cedera toraks lainnya serta keadaan
penderita yang cukup serius. Tanda klinis dapat berupa pernafasan cepat dan dangkal,
krepitasi dan rasa sakit pada daerah fraktur serta emfisema subkutis.

Penatalaksanaan
Fraktur iga dan sternum sederhana hanya memerlukan pengobatan simptomatis
dengan pemberian analgetika dan mukolitika, namun pada fraktur sternum yang overlapping
dibutuhkan fiksasi. Dilakukan suntikan blok saraf interkostal pada fraktur iga untuk

27

mengurangi rasa sakit agar batuk dan bernafas dalam tidak terhalangi. Pada fase akut tidak
dilakukan pembebatan dengan plester karena dapat mengganggu mekanisme pernafasan.

2. Flail chest :
-

Akibat adanya patah tulang rusuk jamak yang segmental pada satu dinding dada.

Ditandai dengan gerakan nafas yang paradoksal. Waktu inspirasi nampak bagian
tersebut masuk ke dalam dan akan keluar waktu ekspirasi. Hal ini menyebabkan
rongga mediastinum goncangan gerak (flailing) yang dapat menyebabkan insertion
vena cava inferior terdesak dan terjepit.

Gejala klinis yang nampak adalah keadaan sesak yang progressif dengan timbulnya
tanda-tanda syok.

Terjadi oleh adanya tiga atau lebih fraktur iga multipel, dapat tanpa atau dengan
fraktur sternum, sehingga menyebabkan :
a)

segmen yang mengambang akan bergerak ke dalam selama fase inspirasi dan
bergerak ke luar selama fase ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak
memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini akan masuk pada paru
ipsilateral selama fase ekspirasi; keadaan ini disebut dengan respirasi pendelluft.

b)

pergerakan ke dalam dari segmen yang mengambang akan menerkan paru-paru di


bawahnya sehingga mengganggu pengembangan paru ipsilateral.

c)

mediastinum terdorong ke arah kontralateral selama fase inspirasi oleh adanya


peningkatan tekanan negatif hemitoraks kontralateral selama fase ini, sehingga
pengembangan paru kontralateral juga akan terganggu.

d)

pergerakan mediastinum di atas akan mengganggu venous return jantung.


Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemotoraks,
pneutoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang akan memberat
keadaan penderita.

Penatalaksanaan
Segera dilakukan traksi pada bagian dinding dada yang mengambang, bila keadaan penderita
stabil dapat dilakukan stabilisasi dinding dada secara operatif.

CEDERA PARU-PARU (Pulmonary Injuries) :

1. Pneumotorak :
28

Disebabkan oleh robekan pleura dan atau terbukanya dinding dada. Dapat berupa
pneumotorak yang tertutup dan terbuka atau menegang (tension pneumotorak). Kurang
lebih 75 % trauma tusuk pneumotorak disertai hemotorak. Pneumotorak menyebabkan paru
kollaps, baik sebagian maupun keseluruhan yang menyebabkan tergesernya isi rongga dada
ke sisi lain. Gejalanya sesak nafas progressif sampai sianosis dengan gejala syok.
a. Pneumotorak tertutup
Terjadi karena fragmen fraktur iga merobek paru, namun dapat pula terjadi tanpa adanya
fraktur iga, dimana truma terjadi pada fase inspirasi dengan glotis tertutup dan daya tahan
alveoli terlampaui. Pneumotoraks tertutup dengan adanya mekanisme pentil akan
menyebabkan udara terperangkap pada rongga pleura sehingga tekanan rongga pleura akan
lebih besar dari udara atmosfer dan disebut sebagai pneumotoraks desakan (tension
pneumothorax).
Pneumotoraks desakan dapat menyebabkan pendorongan mediastinum ke arah
kontralateral yang dapat mengakibatkan terjepitnya vena cava sehingga dapat mengganggu
venous return jantung.

Penatalaksanaan
Pemasangan water seal drainage pada penderita penumotoraks bergantung kepada :
a) beratnya gangguan pernafasan
b) disertai pneumotoraks desakan
c) pneumotoraks bilateral
d) disertai hemotoraks
e) selama observasi pneumotoraks bertambah luas
f) bila diperlukan pemakaian ventilator
g) bila diperlukan anestesi umum

b. Pneumotorak terbuka
Pneumotoraks terbuka dapat disebabkan oleh trauma tumpul maupun trauma tajam,
rongga pleura mempunyai tekanan yang sama dengan udara atmosfir dan dari lubang luka
pada dinding dada akan terdengar suara hisapan udara selama fase inspirasi yang disebut
sebagai sucking chest wound.
Pada keadaan ini juga akan terdapat respirasi yang pendelluf, karena selama fase inspirasi
paru ipsilateral akan kuncup dan selama fase ekspirasi paru akan sedikit mengembang, hal ini

29

menandakan bahwa selama fase ekspirasi udara dari paru kontralateral masuk ke paru
ipsilateral.

Penatalaksanaan
-

Tindakan awal: menutup defek dengan kasa steril yg diplester hanya pd 3 sisinya saja,
diharapkan saat inpirasi kasa penutup akan terhisap & menutup luka & saat ekspirasi
kasa penutup luka akan terbuka dan udara didalam rongga toraks akan terdorong
keluar

Tindakan definitif : memasang drain (WSD) toraks serta menutup defek tersebut

2. Hemotoraks :
Adanya darah dalam rongga pleura. Dibagi menjadi hemotorak ringan bila jumlah
darah sampai 300 ml saja. Hemotorak sedang bila jumlah darah sampai 800 ml dan
hemotorak berat bila jumlah darah melebihi 800 ml. Gejal utamanya adalah syok
hipovolemik .
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling
sering dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma
toraks didapati adanya darah pada rongga pleura. Sumber perdarahan dapat berasal dari
adanya cedera pada paru-paru, robeknya arteri mamaria interna maupun pembuluh darah
besar lainnya seperti aorta dan vena kava. Bila darah pada rongga pleura mencapai 1500 ml
atau lebih akan menyebabkan kompresi pada paru ipsilateral dan dapat mengakibatkan
hipoksia. Perdarahan masif pada hemotoraks yang disertai hipoksia karena hipoventilasi
dapat mempercepat kematian penderita.

Penatalaksanaan
Segera dipasang water seal drainage untuk mengukur jumlah darah mula-mula dan
perdarahan setiap jam. Indikasi torakotomi pada hemotoraks adalah bila perdarahan mulamula lebih dari 1500 ml atau perdarahan lebih dari 3 - 5 ml/kg BB/jam selama 4 jam berturut
turut pada masa observasi.
3.

Kontusio paru/traumatic wet lung


Burford dan Burbank yang memperkenalkan istilah ini di tahun 1944 yaitu terjadinya

kelainan pada paru-paru akibat trauma dinding dada dan paru-paru. Kelainan yang terjadi
30

adalah bertambahnya cairan intersisial dan intraalveolar paru; transudasi alveolar ini
merupakan akibat dari anoksia. Penulis lain menyebutkan sebagai Dan Nang lung, white lung
syndrome, kontusio paru.

Penatalaksanaan
Membersihkan jalan nafas dengan aspirasi maupun bronkoskopi, mempertahankan
mekanisme batuk, blok interkostal bila terdapat fraktur iga agar batuk tidak terhalang.
Membuat tekanan ventilasi positif pada akhir ekspirasi dapat menolong dalam memperbaiki
kapasitas residu fungsional dan mengurangi pintas intrapulmoner. Hindari pemberian cairan
yang berlebihan.
CEDERA KARDIOVASKULAR (Cardiovascular injuries)
Gejala klinis akan cepat menunjukkan gejala syok hipovolemik primer dan syok
obstruktif primer. Bendungan vena di daerah leher merupakan tanda penyokong adanya
tamponade ini. Juga akan nampak nadi paradoksal yaitu adanya penurunan nadi pada waktu
inspirasi, yang menunjukkan adanya massa (cair) pada rongga pericardium yang tertutup.
Penyebab tersering adalah trauma torak tajam di daerah parasternal II V yang menyebabkan
penetrasi ke jantung. Penyebab lain adalah terjepitnya jantung oleh himpitan sternum pada
trauma tumpul torak. Melakukan pungsi perikardium yang mengalami tamponade dapat
bertujuan diagnostik sekaligus langkah pengobatan dengan membuat dekompresi terhadap
tamponadenya.
a. Trauma jantung
Kontusio miokardium terdapat pada 20% penderita dengan trauma toraks yang berat,
trauma tajam yang mengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala
trias Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan menurunnya suara jantung
Penatalaksanaan
Segera dilakukan perikardiosintesis untuk mengurangi tamponade dan diikuti
torakotomi untuk mencari serta menghentikan sumber perdarahan. Trauma tajam daerah
prekordial, parasternal kiri dan kanan harus dicurigai mengenai jantung dan segera dilakukan
eksplorasi torakotomi sebelum keadaan penderita memburuk

b. Ruptur aorta

31

Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura tersering
adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kirakira 15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit
untuk mendapatkan pertolongan. Kecuali rasa nyeri sehubungan dengan perlukaan pada
sternum atau klavikula, mungkin tidak ada gejala khas lainnya. Kadang-kadang pada false
aneurism yang membesar dengan cepat, rasa nyeri pada dada bertambah, pernapasan dangkal,
sulit menelan dan terjadi hemoptisis.

Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapati


a) mediastinum yang melebar
b) fraktur iga 1 dan 2
c) trakea terdorong ke kanan
d) gambaran aorta kabur
e) penekanan bronkus utama kiri
f) gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke kanan.

Penatalaksanaan
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan aortografi dan ekokardiorgrafi,
reparasi operatif dilakukan dengan torakotomi dan dengan bantuan cardiopulmonary bypass.

CEDERA ORGAN TORAK LAINNYA


1. Ruptur trakea dan bronkus utama
Ruptur trakea dan bronkus utama dapat disebabkan oleh trauma tajam maupun truma
tumpul. Pada trauma tumpul rupture terjadi pada saat glotis tertutup dan terdapat peningkatan
yang hebat dan mendadak dari tekanan saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas
saluran trakeobronkial ini. Kemungkinan kejadian ruptura bronkus utama meningkat pada
trauma tumpul toraks yang disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah
pada daerah karina dan percabangan bronkus". Pneumotoraks, pneumomediastinum,
emfisema subkutan dan hemoptisis dapat merupakan gejala dari ruptura ini.

PENATALAKSANAAN

32

Dilakukan pemasangan water seal drainage pada pneumotoraksnya, bronkoskopi


untuk membantu diangosis dan mencari lokasi rupturanya. Kemudian dilakukan torakotomi
untuk reparasi kerusakan saluran trakeobronkial.

2. Kerusakan pada esofagus.


Relatif jarang terjadi, menimbulkan nyeri terutama waktu menelan dan dalam
beberapa jam timbul febris. Muntah darah/hematemesis, suara serak, disfagia atau distress
nafas. Tanda klinis yang nampak umumnya berupa empisema sub kutis, syok dan keadaan
umum pasien yang tidak nampak sehat. Sering dijumpai tanda Hamman yang berupa suara
seperti mengunyah di daerah mediastinum atau jantung bila dilakukan auskultasi. Diagnosis
dapat dibantu dengan melakukan esofagogram dengan menelan kontras.
Lebih sering terjadi pads trauma tajam dibanding trauma tumpul toraks dan lokasi
ruptura oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus. Akibat
ruptura esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan saluran
pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan
penderitanya. Pada foto toraks akan terlihat adanya pneumomediastinum dan hidrotoraks,
yang paling sering adalah hidrotoraks kiri.

Penatalaksanaan
Pemeriksaan foto toraks dengan bubur barium atau dengan mempergunakan
esofagoskopi dapat mengetahui lokasi dari ruptura esofagus ini, dan dilakukan torakotomi
untuk reparasi operatif.

3. Kerusakan Ductus torasikus:


Menimbulkan gejala chylotoraks. Gejala klinis ditimbulkan oleh akumulasi chyle
dalam rongga dada yang menimbulkan sesak nafas karena kollaps paru. Kejadian ini relatif
jarang dan memerlukan pengelolaan yang lama dan cermat.

4. Kerusakan pada Diafragma :


Disebabkan umumnya oleh trauma pada daerah abdomen, atau luka tembus tajam
kearah torakoabdominal. Akan menimbulkan herniasi organ perut. Kanan lebih jarang
dibandingkan kiri. Gejala klinis sering terlewatkan karena 30 % tidak memberikan tanda
yang khas. Sesak nafas sering nampak dan disertai tanda-tanda pneumotoraks atau gejala
hemotoraks.
33

Kejadian hernia diafragmatika traumatika kiri 9 kali lebih banyak dibanding hernia
diafragmatika kanan, hal ini terjadi karena adanya hepar di sebelah kanan. De Maeseneer M
dan kawan-kawan melaporkan hernia diafragmatika traumatika pada diafragma kanan dengan
hemisasi dari lobus kanan hepar pada penderita dengan trauma tumupul abdomen. Organ
abdomen yang dapat mengalami herniasi antara lain gaster, omentum, usus halus, kolon,
limpa dan hepar. Juga dapat terjadi hernia inkarserata maupun strangulata dari saluran cerna
yang mengalami herniasi ke rongga toraks ini. Hernia diafragmatika akan menyebabkan
gangguan kardiopulmoner karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya mediastinum ke
arah kontralateral. Dan pemeriksaan fisik didapati gerakan pernafasan yang tertinggal,
perkusi pekak, fremitus menghilang, suara pernafasan menghilang dan mungkin terdengat
bising usus pada hemitoraks yang sakit. Pada foto toraks dengan pemakaian pipa lambung
Levin dan bubur barium akan terlihat pipa lambung dan bubur barium ini pada hemitoraks
yang sakit.

Penatalaksanaan
Dibutuhkan tindakan operasi segera untuk reparasi robekan diafragma dengan insisi
torakoabdominal

Emfisema Subkutis
Dapat disebabkan oleh adanya cedera saluran pernafasan atau segmen fraktur iga
yang merobek paru-paru dan dapat disertai dengan adanya pneutoraks maupun pneumotoraks
desakan.
Terjadi kebocoran jalan nafas yang umumnya melalui pleura atau bawah kulit bawah
dada sehingga menimbulkan emfisema subkutis. Disebabkan oleh sebagian besar akibat
trauma torak tumpul di daerah sternum. Secara klinis leher membesar emfisematous dengan
adanya krepitasi pada dinding dada. Sesak nafas sering menyertai dan dapat timbul tension
pneumotorak.
Penatalaksanaan
Emfisema subkutis yang tcrbatas di daerah toraks tidak memerlukan tindakan karena
dapat diabsorbsi dalam 2 hingga 4 minggu; bila terdapat penumotoraks dilakukan
pemasangan water seal drainage. Emfisema subkutis yang luas harus dicurigai disebabkan
cedera dari saluran pernafasan yang mungkin memerlukan tindakan torakotomi untuk
memperbaikinya.
34

LANGKAH DIAGNOSTIK
Secara umum diagnosis secara klinis ditegakkan dari jenis kerusakan yang terjadi dan
pembuatan x ray foto dada. Bila memungkinkan maka x-ray foto sebaiknya dibuat dalam
dua arah (PA dan Lateral). Jejas pada daerah dada akan membantu adanya kemungkinan
trauma torak. Bila ada trauma multiple maka dianjurkan untuk selalu dibuat foto x- ray dada.
Tanda dan gejala penyerta seperti adanya syok (hipotensi, nadi cepat dan keringat dingin) dan
adanya trauma lain organ dada merupakan butir diagnostik yang penting. Pemasangan NGT
sebagai persiapan untuk pengosongan lambung untuk mencegah aspirasi isi lambung ke paru,
dapat dipakai sebagai langkah diagnostik pada kerusakan esofagus dan dan diafragma.
Pada dasarnya diagnostik trauma torak harus ditegakkan secepat mungkin, tanpa
memakai cara diagnostik yang lama (CT-scan, angiografi). Pemeriksaan gas darah dapat
membantu diagnostik bila fasilitasnya ada.

INDIKASI TORAKOTOMI :
Hemotoraks yang berat ( > 800 cc)
Laserasi paru yang gagal dengan tindakan bedah konservatif.
Tamponade perikardium
Kebocoran trakeo-bronkial yang gagal dengan tindakan konservatif (drainase).

KOMPLIKASI TRAUMA TORAK:


1. Yang terkait dengan tidak stabilnya dinding dada :
-

Nyeri berkepanjangan, meskipun luka sudah sembuh. Mungkin karena callus atau
jaringan parut yang menekan saraf interkostal. Terapi konservatif dengan analgesik
atau pelunak jaringan parut.

Osteomylitis, dilakukan squesterisasi dan fiksasi.

Retensi sputum, karena batuk tidak adequat dan dapat menimbulkan pneumoni.
Diperlukan pemberian mukolitik.

2. Yang terkait dengan perlukaan dan memar paru:


-

Infiltrat paru dan efusi pleura, yang memerlukan pemasangan WSD untuk waktu yang
lama.

Empiema, yang terjadi lambat dan memerlukan WSD dan antibiotik.

35

Pneumoni, merupakan komplikasi yang berbahaya dan perlu diberi pengobatan yang
optimal. Bila distress pernafassan berkelanjutan maka diperlukan pemasangan
respirator.

Fistel bronkopleural, ditandai dengan gejala kolaps paru yang tidak membaik.
Memerlukan tindak bedah lanjut berupa torakotomi eksploratif dan penutupan
fistelnya.

Chylotoraks lambat.

3. Komplikasi lain di luar paru dan pleura :


-

Mediastinitis, merupakan komplikasi yang sering fatal. Bila terjadi pernanahan maka
harus dilakukan drainase mediastinum.

Fistel esofagus, dapat ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis atau ke pleura


dan menimbulkana empiema atau efusi pleua. Diperlukan tindakan bedah untuk
menutup fistel.

Hernia diafragmatika lambat, memerlukan koreksi bedah.

Kalainan jantung, terutama pada luka tembus dan trauma tajam pada jantung.
Memerlukan tindakan bedah dan pembedahan jantung terbuka.

36

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

III.1 Kesimpulan
Pasien yang datang dengan tanda-tanda trauma abdomen ataupun toraks harus
dilakukan ABCD bila keaadan darurat yang mengancam jiwa dilakukanresusitasi cairan, dan
ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen. Pasien yang mengalami cedera akibat
transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau dengan cedera kepala secara
bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang positif pada pasien yang
memiliki resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen yang segera. Pasien
dengan hemodinamik yang stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar (20,000-100,000
RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen untuk menyingkirkan cedera organ utama yang
solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa dieksplorasi dan cedera yang lebih ringan
harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil mengalami cedera akibat dari transfer
energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika kelas <III cedera organ
visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa pasien, DPL
digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai dengan CT
scan.

III.2 Saran
Penegakan diagnosis secara dini pada trauma abdomen sangat penting sehingga perlu
pengetahuan dan pemahaman mengenai trauma abdomen. Dengan demikian, penatalaksanaan
dapat segera dilakuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah,EC, Jakarta.


37

Schwartz. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. EGC. Jakarta: 2000.


Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI :
Media Aesculapius http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/05/abdominaltrauma.html#more accses 12-11-2014

Bruce J.Simon. The Journal of Trauma_ Injury, Infection, and Critical CareJ Trauma.

2005;59:12561267. Available from:


http://www.jtrauma.com/pt/re/jtrauma/pdfhandler.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Moore, K., Agur, A. 2002. Essential Clinical Anatomy. EGC. Jakarta
Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso, A. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC.
Jakarta.
Stanford Trauma Service Housestaff Manual Available from :
http://scalpel.stanford.edu/ICU/Stanford%20Trauma%20Service%20rev%204-05.pdf

Syamsuhidayat. R., Jong, W de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal.
403-413
E-books ; ATLS: Advanced Trauma Life Support for Doctors (Student Course Manual), 9th
Edition Paperback desember 2014 page 94-155th

38

Anda mungkin juga menyukai