Nefropatidm
Nefropatidm
A. Pendahuluan
1. Definisi
Nefropati diabetikum adalah sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan
kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial
tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler 1. Nefropati diabetikum,
juga dikenal dengan sebutan Sindrom Kimmelstiel-Wilson dan Glomerulonefritis
interkapiler. Sindrom ini ditemukan oleh peneliti Inggris Clifford Wilson (1906-1997)
dan peneliti Amerika kelahiran jerman Paul Kimmelstiel (1900-1970).
2. Epidemiologi
Diabetes mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama
stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali
dengan nefropati diabetikum 2. Progresivitas nefropati diabetikum mengarah stadium
akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi 3. Angka kejadian nefropati
diabetikum pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2
sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih
banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan end-stage renal disease
(ESRD) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula prevalensi diabetes
mellitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka kematian yang disebabkan
oleh penyakit jantung dan pembuluh darah 4. Insidensi nefropati diabetikum terutama
banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi dibanding
dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang begitu signifikan
kejadian nefropati diabetikum antara pria dan wanita 1.
Di Amerika, nefropati diabetikum merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab kematian tersering
adalah karena komplikasi kardiovaskular 5. Prognosis yang buruk akan muncul apabila
terjadi progresi nefropati diabetikum dan memburuknya fungsi ginjal yang cepat
sehingga menyebabkan mortalitas 70 100 kali lebih tinggi dari pada populasi normal.
Bahkan dengan upaya dialisa, kelangsungan hidupnya pun masih rendah yaitu sepertiga
pasien meninggal dalam satu tahun setelah dimulai dialisa. Pasien nefropati diabetikum
yang menjalani terapi penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3 kali lebih tinggi dibanding
pasien nondiabetikum dengan penyakit ginjal stadium akhir 6.
3. Prevalensi
Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes mellitus tipe 1 menyatakan
bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetikum dini dalam
waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut menjadi
nefropati diabetikum, maka perjalanan penyakit tidak dapat dihambat lagi. Dengan
demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami
gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal 7.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sekitar 5-10% dari penderita
akan menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar, tetapi mengingat
jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 lebih banyak maka secara keseluruhan jumlah
penderita penderita gagal ginjal terminal pada penderita diabetes melitus tipe 2 akan lebih
banyak 8.
Prevalensi nefropati diabetikum di negara barat sekitar 16%. Penelitian di Inggris
membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati diabetikum lebih tinggi
dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes melitus
tipe 2 di Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan
mengalami nefropati diabetikum lebih besar. Di Thailand nefropati diabetikum
dilaporkan sebesar 29,4%, di Philipphine sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di
Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3% 9.
B. Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus lebih banyak
dipelajari pada diabetes mellitus tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5
tahapan 5.
Uremia
AER
N
LFG
TD
N
N
20-200
mg/menit
>200
mg/menit
/N
/N
Tinggi/Rendah
Rendah
Prognosis
Reversible
Mungkin Reversible
Mungkin Reversible
Hipertensi Mungkin
Stabilisasi
Bisa
< 10
Hipertensi Kesintasan tahun +
ml/menit
50%
AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), N = Normal, TD =
Tekanan Darah
Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini
dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dapat dicegah dengan
kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.
. Laju Filtrasi
C. Faktor Risiko
Beberapa studi cross-sectional dan longitudinal telah mengidentifikasi adanya
beberapa faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan risiko utama dari nefropati
diabetikum. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain : hipertensi, glikosilasi hemoglobin,
kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis kelamin, ras (kulit hitam), dan diet
tinggi protein 10.
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit
diabetes mellitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya nefropati
diabetikum. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresivitas untuk mencapai
fase nefropati diabetikum yang lebih tinggi (Fase V nefropati diabetikum).
Tidak semua pasien diabetes mellitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati
diabetikum. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara
lain:
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menjadi penjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetikum.
Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia,
yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan
hemodinamik. Respon ginjal terhadap system renin-angiotensin menjadi abnormal pada
ginjal diabetes
11
intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes. ACE inhibitors secara spesifik menurunkan
tekanan arteriola efferentia, karena dengan menurunkan tekanan intraglomerular dapat
membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat dari efeknya
pada mikroalbuminuria. Terutama setelah mikroalbuminuria muncul, kontrol metabolik
hanya salah satu faktor dalam mencegah progresi penyakit ginjal. Hipertensi pada
stadium ini diperkirakan menjadi penyabab penurunan cepat kerusakan ginjal.
2. Prediposisi genetika berupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetikum dan
hipertensi
14
memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien diabetes tanpa
gangguan ginjal.
5. Konsumsi protein hewani
6. Merokok
10
15
. Analisis mengenai
D. Patofisiologi
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk
glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End
Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-oksidasi),
dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus
disebabkan oleh denaturasi protein karena hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus.
Kelainan atau perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari
sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya
aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis
glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria 10.
Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan
ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif, glomerulus akan
melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat dan pada
akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan laju filtrasi glomerulus pada
nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin,
dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah perangsangan hipertrofi sel, sintesis
matriks ekstraseluler, serta produksi Transforming growth factor-beta (TGF-) yang
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin
11
kinase yang memiliki fungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel
dan permeabilitas kapiler 5. TGF-beta menyebabkan peregangan mesangial dan fibrosis
melalui stimulasi kolagen dan fibronectin.
Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan
protein (reaksi mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu amino
secara nonenzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk
mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan disebut sebagai produk
amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-Products
(AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan
seluler seperti ekspresi molecule adhesi yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear,
juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric
Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan
nodul serta fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Akibat
kelainan rennin-angiotensin system, Angiotensin II (ATII) meningkat pada nefropati
diabetikum,
sehingga
menyebabkan
konstriksi
arteriola
efferentia
di glomerulus,
12
yang tinggi dan berkaitan dengan perubahan sintesis matriks ekstraselular, migrasi sel, serta
transisi epitel menjadi mesenkim. CTGF merupakan protein yang disekresi dan dapat
dideteksi di cairan biologis. CTGF plasma pada pasien dengan nefropati diabetikum lebih
tinggi daripada pasien dengan normoalbuminuria. Pada pasien dengan nefropati diabetikum,
peningkatan CTGF di atas nilai batas 413 pmol/l plasma merupakan prediktor independen
terhadap ESRD dan berkaitan dengan penurunan LFG. Selain itu hal tersebut juga dikaitkan
dengan penurunan LFG yang lebih tinggi pada pasien dengan nefropati diabetikum
dibandingkan normoalbuminuria, yaitu berturut-turut 5,4 dan 3,3ml/menit/1,73 m2 per tahun.
Pada pasien dengan nefrotik albuminuria >3 g/hari, CTGF plasma hanya sebagai prediktor
ESRD. Kadar CTGF plasma juga merupakan prediktor independen terhadap mortalitas
secara keseluruhan. Namun, CTGF plasma pada pasien normoalbuminuria tidak berkorelasi
dengan parameter klinis serta tidak memprediksi hasil 17.
Beberapa kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel,
membrane basalis glomerulus dan mesangium, serta meningkatnya kompleks imun pada
penderita diabetes mellitus 18.
1. Endotel
Hiperglikemia pada diabetes mellitus akan menyebabkan pembengkakan endotel
akibat timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu yang
mengakibatkan celah endotel bertambah luas dan timbulnya proteinuria. Kerentanan
terjadinya
agregasi
trombosit
akibat
sintesis
Faktor
VIII
meningkat,
18
13
18
3. Mesangium
Pada diabetes mellitus dan hiperglikemia, produksi matriks mesangium meningkat,
sehingga pelebaran mesangium terjadi dengan akibat permukaan filtrasi efektif mengecil.
Pada diabetes mellitus dengan gangguan faal ginjal yang lanjut, maka permukaan tersebut
semakin mengecil dan akhirnya glomerulus tidak berfungsi lagi
18
4. Kompleks imun
Kompleks imun (Ag-Ab) pada diabetes mellitus meningkat, dan endapan
kompleks Ag-Ab banyak didapatkan pada membrane basalis glomerulus dan mesangium.
Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit (RES) dan sel-sel
mesangium, sedangkan pada diabetes mellitus dengan kendali glukosa yang rendah,
fagosit RES dan sel mesangium kurang mampu membersihkannya, sehingga matriks
mesangium bertambah lebar dan permukaan filtrasi efektif bertambah sedikit. Kelebihan
kompleks imun di dalam darah juga akan merangsang sistem komplemen dan faktorfaktor koagulasi, sehingga memacu terjadinya mikroangiopati diabetes mellitus dengan
14
akibat munculnya dan bertambah beratnya nefropati diabetikum. Kompleks imun yang
berlebihan pada diabetes mellitus juga akan merangsang sintesis Tromboksan A di
trombosit, sehingga mudah terjadi agregasi trombosit. Seperti diketahui, agregasi
trombosit adalah bahan dasar untuk terbentuknya mikrotrombus
18
15
5,18
E. Histopatologi
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membrane basalis,
ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraselular; penimbunan kolagen tipe IV,
laminin dan fibronectin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan
atau difus (Kimmelstiel-Wilsen), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis
tubulointerstitial 5.
Menurut patologi anatominya, dibagi menjadi:
16
17
Defisiensi insulin pada penderita diabetes mellitus akan menyebabkan ginjal bekerja
hiperfungsi. Hiperfungsi ini menyebabkan ginjal menjadi hipertropi dan terjadi peningkatan
tekanan intrakapiler glomerulus. Peningkatan tekanan intra kapiler menyebabkan kerusakan
glomerulus sehingga terjadi glomerulosklerosis. Namun, ketika terjadi glomerulosklerosis
arteriol afferen vasodilatasi dan kerusakan ini menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah
arteri sistemik sehingga terjadi peningkatan tekanan darah sistemik. Hal ini terjadi karena
arteriol afferen yang secara patobiologi hipokontraktil memiliki sedikit autoregulasi.
Sehingga peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan peningkatan tekanan darah
sistemik dan variasi ini menghasilkan gangguan hemodinamik.
Peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan stress mekanik. Stress mekanik
menyebabkan stress fiber kemudian menyebabkan perlekatan matriks ekstraseluler hingga
menimbulkan endapan matriks ekstraseluler. Endapan matriks ekstraseluler ini menstimulasi
ekspresi growth factor. Growth factor berperan penting dalam perubahan glomerulus menjadi
sklerosis karena mediator ini menginduksi pemecahan sementara aktin sitoskeleton dalam sel
mesangial, produksi yang tinggi dari fibronectin, kolagen tipe I and IV, hipertropi sel
mesangial. Angiotensin II adalah growth factor tambahan yang menstimulasi sel ginjal untuk
memproduksi TGF 1 yaitu dengan cara, meningkatkan akumulasi ECM (Extra Cellular
Matrix) sel mesangial yang secara primer menstimulasi ekspresi TGF 1. TGF 1
bersamaan dengan stress mekanik menginduksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
dan Connective Tissue Growth Factor (CTGF).
18
F. Diagnosis
Diagnosis nefropati diabetikum dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di
bawah ini:
1. Diabetes Mellitus
2. Retinopati Diabetika
3. Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab proteinuria yang lain.
19
Pada nefropati diabetikum didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda
retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :
i. Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler
retina
ii.
iii.
Eksudat berupa :
Hard exudates : Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.
Cotton wool patches : Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan
dengan iskhemia retina.
iv.
Neovaskularisasi
b. Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage,
didapatkan perubahan pada :
i. Cardiomegali
ii. Edema pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa
20
24 Jam
(mg/hari)
<30
30-300
>300
Sewaktu
(g/menit)
<20
20-200
>200
Perbandingan
Albumin Urin
Kreatinin (g/mg)
<30
30-300 (299)
>300
Positif
Nefropati Jelas.
Tentukan Jumlah Ekskresi
Protein.
Memulai Terapi
Memulai
Terapi
21
G. Kesimpulan
1. Nefropati diabetikum adalah sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa
penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler
2. Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus oleh Mogensen dibagi
menjadi 5 tahapan, yaitu Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi), Tahap II (Stadium Silent),
22
23
9. Adam, J.M.F. (2005). Komplikasi Kronik Diabetikum Masalah Utama Penderita Diabetes
Dan Upaya Pencegahan. Suplement, 26 (3), 53-61
10. Arsono, Soni .(2005). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto).
Jurnal Epidemiologi
11. Velasquez, M., Bhathena, S., Striffler, J., Thibault, N., dan Scalbert, E. 1998. Role of
angiotensin-converting enzyme inhibition in glucose metabolism and renal injury in
diabetes. Dalam : Metabolism, 47 (12 Suppl 1), 7-11
12. Di Landro, D., Catalano, C., Lambertini, D., Bordin, V., Fabbian, F., Naso, A., dan
Romagnoli, G. (1998). The effect of metabolic control on development and progression
of diabetic nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8),35-43
24
13. The DCCT Research Group. (1993). The effect of intensive treatment of diabetes on the
development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes
mellitus. Dalam : New England Journal Medicine, 329, 977-86
14. Makita, Z., Radoff, S., Rayfield, E., Yang, Z., Skolnik, E., Delaney, V., Friedman, E.,
Cerami, A., dan Vlassara, H. (1991). Advanced glycosylation end products in patients
with diabetic nephropathy. Dalam : New England Journal Medicine, 325, 836-42
15. Marcantoni, C., Ortalda, V., Lupo, A., dan Maschio, G. (1998) Progression of renal
failure in diabetic nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8), 16-19.
16. Mehler, P., Jeffers, B., Biggerstaff, S., dan Schrier, R. (1998). Smoking as a risk factor for
nephropathy in non-insulin-dependent diabetics. Dalam : Journal Gen Internal Medicine,
13, 842-45.
17. Nguyen, T. Q., Tarnow, L., Jorsal, A., Oliver, N., Roestenberg, P., Ito, Y., et al. (2008).
Plasma Connective Tissue Growth Factor Is an Independent Predictor of ESRD and
Mortality in Type 1 Diabetic Nephropathy : Diabetes Care, 31, 1177-82
18. Bidaya, E dan Tjokroprawiro, A. (1997). Nefropati Diabetik. Dalam Cermin Dunia
Kedokteran, 43, 34-8.
19. American Diabetes Association (2004). Nephropathy in diabetes. Clinical Practice
Recommendations 2004. Diabetes Care. 27(Suppl 1): S79S83.
25
26