Anda di halaman 1dari 26

1

A. Pendahuluan
1. Definisi
Nefropati diabetikum adalah sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan
kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial
tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler 1. Nefropati diabetikum,
juga dikenal dengan sebutan Sindrom Kimmelstiel-Wilson dan Glomerulonefritis
interkapiler. Sindrom ini ditemukan oleh peneliti Inggris Clifford Wilson (1906-1997)
dan peneliti Amerika kelahiran jerman Paul Kimmelstiel (1900-1970).

Gambar 1. Kapiler Glomerulus Normal Dan Dengan Proteinuria

2. Epidemiologi
Diabetes mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama
stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali
dengan nefropati diabetikum 2. Progresivitas nefropati diabetikum mengarah stadium

akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi 3. Angka kejadian nefropati
diabetikum pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2
sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih
banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan end-stage renal disease
(ESRD) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula prevalensi diabetes
mellitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka kematian yang disebabkan
oleh penyakit jantung dan pembuluh darah 4. Insidensi nefropati diabetikum terutama
banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi dibanding
dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang begitu signifikan
kejadian nefropati diabetikum antara pria dan wanita 1.
Di Amerika, nefropati diabetikum merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab kematian tersering
adalah karena komplikasi kardiovaskular 5. Prognosis yang buruk akan muncul apabila
terjadi progresi nefropati diabetikum dan memburuknya fungsi ginjal yang cepat
sehingga menyebabkan mortalitas 70 100 kali lebih tinggi dari pada populasi normal.
Bahkan dengan upaya dialisa, kelangsungan hidupnya pun masih rendah yaitu sepertiga
pasien meninggal dalam satu tahun setelah dimulai dialisa. Pasien nefropati diabetikum
yang menjalani terapi penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3 kali lebih tinggi dibanding
pasien nondiabetikum dengan penyakit ginjal stadium akhir 6.

3. Prevalensi
Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes mellitus tipe 1 menyatakan
bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetikum dini dalam

waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut menjadi
nefropati diabetikum, maka perjalanan penyakit tidak dapat dihambat lagi. Dengan
demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami
gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal 7.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sekitar 5-10% dari penderita
akan menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar, tetapi mengingat
jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 lebih banyak maka secara keseluruhan jumlah
penderita penderita gagal ginjal terminal pada penderita diabetes melitus tipe 2 akan lebih
banyak 8.
Prevalensi nefropati diabetikum di negara barat sekitar 16%. Penelitian di Inggris
membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati diabetikum lebih tinggi
dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes melitus
tipe 2 di Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan
mengalami nefropati diabetikum lebih besar. Di Thailand nefropati diabetikum
dilaporkan sebesar 29,4%, di Philipphine sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di
Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3% 9.

Tabel 1. Prevalensi Nefropati Diabetikum Menurut Beberapa Peneliti Di Indonesia 9.

B. Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus lebih banyak
dipelajari pada diabetes mellitus tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5
tahapan 5.

Tabel 2. Tahapan Nefropati Diabetikum Oleh Mogensen


Tahap
Kondisi Ginjal
1
Hipertrofi
Hiperfungsi
2
Kelainan Struktur
3
Mikroalbuminuria
Persisten
4
Makroalbuminuria
Proteinuria
5

Uremia

AER
N

LFG

TD
N

N
20-200
mg/menit
>200
mg/menit

/N

/N

Tinggi/Rendah

Rendah

Prognosis
Reversible
Mungkin Reversible
Mungkin Reversible

Hipertensi Mungkin
Stabilisasi

Bisa

< 10
Hipertensi Kesintasan tahun +
ml/menit
50%
AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), N = Normal, TD =
Tekanan Darah

Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi)


Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis
ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat 5.
Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% diatas normal dan disertai pembesaran
ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini
reversible dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes mellitus. Dengan
pengendalian glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur ginjal kembali
normal.

Tahap II (Stadium Silent)


Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, LFG tetap meningkat, eksresi
albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Albuminuria akan meningkat apabila
setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Terdapat
perubahan histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik.
Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks
mesangium) 5. Terjadi 5-10 tahun setelah didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini dapat
berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.
Progresivitas biasanya berlanjut terkait keadaan metabolik yang memburuk .

Tahap III (Stadium Mikroalbuminuria / Nefropati Insipient)


Merupakan tahap awal dari nefropati. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria
atau nefropati insipient. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai
derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200 lg/menit (30-300 mg/24
jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan
ketebalan membrane basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus 5.

Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini
dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dapat dicegah dengan
kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.

Tahap IV (Stadium Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut)


Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nefropati), nefropati
diabetikum bermanifestasi klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan
biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun dibawah normal
sekitar 10ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya
tekanan darah 5. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah di atas 300 mg/24 jam (200
g/menit). Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar
pasien. Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada tahap ini. Terjadi setelah
15-20 tahun didiagnosis diabetes mellitus. Progresivitas mengarah ke gagal ginjal hanya
dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah.

Tahap V (Stadium Uremia / Gagal Ginjal Terminal)


Merupakan tahapan dimana terjadi gagal ginjal terminal

. Laju Filtrasi

Glomerulus sudah demikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom


uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis, maupun
cangkok ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV
dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.

Gambar 2. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik

Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa pembagian-pembagian lain


seperti oleh National Kidney Foundation (NKF), kementerian kesehatan Jepang dan lain-lain
yang umumnya bertujuan untuk menyeragamkan serta mempermudah diagnosis dan
tatalaksana 5.

C. Faktor Risiko
Beberapa studi cross-sectional dan longitudinal telah mengidentifikasi adanya
beberapa faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan risiko utama dari nefropati
diabetikum. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain : hipertensi, glikosilasi hemoglobin,
kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis kelamin, ras (kulit hitam), dan diet
tinggi protein 10.
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit
diabetes mellitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya nefropati

diabetikum. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresivitas untuk mencapai
fase nefropati diabetikum yang lebih tinggi (Fase V nefropati diabetikum).
Tidak semua pasien diabetes mellitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati
diabetikum. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara
lain:
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menjadi penjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetikum.
Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia,
yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan
hemodinamik. Respon ginjal terhadap system renin-angiotensin menjadi abnormal pada
ginjal diabetes

11

. Untuk alasan ini, agen yang dapat mengkoreksi kelainan tekanan

intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes. ACE inhibitors secara spesifik menurunkan
tekanan arteriola efferentia, karena dengan menurunkan tekanan intraglomerular dapat
membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat dari efeknya
pada mikroalbuminuria. Terutama setelah mikroalbuminuria muncul, kontrol metabolik
hanya salah satu faktor dalam mencegah progresi penyakit ginjal. Hipertensi pada
stadium ini diperkirakan menjadi penyabab penurunan cepat kerusakan ginjal.
2. Prediposisi genetika berupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetikum dan
hipertensi

3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetikum


a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe antigen HLA


dengan kejadian nefropati diabetikum. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati
lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose transporter (GLUT)
Setiap penderita diabetes mellitus yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai
potensi untuk mendapat nefropati diabetikum.
4. Hiperglikemia
Kontrol metabolic yang buruk dapat menjadi memicu terjadinya nefropati
diabetikum. Nefropati diabetikum jarang terjadi pada orang dengan HbA 1c <7.58.0% 12.
Pada akhirnya, glukosa memiliki arti dan pertanda klinis untuk kelainan metabolic yang
memicu nefropati diabetikum 13.
Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan hiperglikemi juga
berperan dalam perkembangan nefropati diabetikum termasuk AGEs dan polyols. AGEs
ialah hasil pengikatan nonenzimatik, yang tidak hanya mengubah struktur tersier protein,
tapi juga menghasilkan intra- dan intermolekular silang. Berbagai macam protein
dipengaruhi oleh proses ini. Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan diketahui berhubungan
dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Kadar AGEs pada dinding kolagen arteri
lebih besar 4 kali lipat pada orang dengan diabetes

14

. Pasien diabetes dengan ESRD

memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien diabetes tanpa
gangguan ginjal.
5. Konsumsi protein hewani
6. Merokok

10

Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetikum

15

. Analisis mengenai

faktor risiko menunjukkan bahwa merokok meningkatkan kejadian nefropati diabetikum


sebesar 1,6 kali lipat lebih besar 16.

D. Patofisiologi
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk
glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End
Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-oksidasi),
dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus
disebabkan oleh denaturasi protein karena hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus.
Kelainan atau perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari
sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya
aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis
glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria 10.
Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan
ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif, glomerulus akan
melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat dan pada
akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan laju filtrasi glomerulus pada
nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin,
dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah perangsangan hipertrofi sel, sintesis
matriks ekstraseluler, serta produksi Transforming growth factor-beta (TGF-) yang
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin

11

kinase yang memiliki fungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel
dan permeabilitas kapiler 5. TGF-beta menyebabkan peregangan mesangial dan fibrosis
melalui stimulasi kolagen dan fibronectin.
Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan
protein (reaksi mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu amino
secara nonenzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk
mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan disebut sebagai produk
amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-Products
(AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan
seluler seperti ekspresi molecule adhesi yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear,
juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric
Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan
nodul serta fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Akibat
kelainan rennin-angiotensin system, Angiotensin II (ATII) meningkat pada nefropati
diabetikum,

sehingga

menyebabkan

konstriksi

arteriola

efferentia

di glomerulus,

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hipertensi, serta menstimulasi


fibrosis dan inflamasi pada glomerulus 5.
Patogenesis dari nefropati diabetikum sejalan dengan patogenesis diabetes melitus
pada umumnya, dan mikroangiopati pada khususnya. Progresivitas nefropati diabetikum
ditandai dengan adanya proteinuria yang merupakan penanda penurunan fungsi ginjal,
peningkatan creatinine clearance (crcl), glomerulosklerosis, dan fibrosis interstitial.
Saat ini diketahui bahwa connective tissue growth factor (CTGF) merupakan faktor
penting pada nefropati diabetikum. Pada sel ginjal, CTGF diinduksi oleh kadar glukosa darah

12

yang tinggi dan berkaitan dengan perubahan sintesis matriks ekstraselular, migrasi sel, serta
transisi epitel menjadi mesenkim. CTGF merupakan protein yang disekresi dan dapat
dideteksi di cairan biologis. CTGF plasma pada pasien dengan nefropati diabetikum lebih
tinggi daripada pasien dengan normoalbuminuria. Pada pasien dengan nefropati diabetikum,
peningkatan CTGF di atas nilai batas 413 pmol/l plasma merupakan prediktor independen
terhadap ESRD dan berkaitan dengan penurunan LFG. Selain itu hal tersebut juga dikaitkan
dengan penurunan LFG yang lebih tinggi pada pasien dengan nefropati diabetikum
dibandingkan normoalbuminuria, yaitu berturut-turut 5,4 dan 3,3ml/menit/1,73 m2 per tahun.
Pada pasien dengan nefrotik albuminuria >3 g/hari, CTGF plasma hanya sebagai prediktor
ESRD. Kadar CTGF plasma juga merupakan prediktor independen terhadap mortalitas
secara keseluruhan. Namun, CTGF plasma pada pasien normoalbuminuria tidak berkorelasi
dengan parameter klinis serta tidak memprediksi hasil 17.
Beberapa kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel,
membrane basalis glomerulus dan mesangium, serta meningkatnya kompleks imun pada
penderita diabetes mellitus 18.
1. Endotel
Hiperglikemia pada diabetes mellitus akan menyebabkan pembengkakan endotel
akibat timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu yang
mengakibatkan celah endotel bertambah luas dan timbulnya proteinuria. Kerentanan
terjadinya

agregasi

trombosit

akibat

sintesis

Faktor

VIII

meningkat,

phosphoglucoisomerase (PGI) sebagai anti agregan menurun dan aktivator plasminogen


yang menurun

18

2. Membrana basalis glomerulus

13

Diabetes mellitus dan hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya penebalan


membrane basalis glomerulus sebagai akibat dari deposisi kolagen tipe I, III, IV dan
glikoprotein, serta menurunnya kadar glikoaminoglikans dan sistein, sehingga
menyebabkan hilangnya sifat anionik dari membrane basalis glomerulus yang
mengakibatkan permeabilititasnya meningkat dan terjadi albuminuria. Albuminuria akan
meningkat bila tekanan intraglomeruler meningkat, misalnya pada latihan dan hipertensi.
Setelah 2 tahun mengidap diabetes mellitus, membrane basalis glomerulus menebal
kurang lebih 15%, sesudah 5 tahun 30%, dan setelah 20 tahun penebalan menjadi dua kali
lipat

18

3. Mesangium
Pada diabetes mellitus dan hiperglikemia, produksi matriks mesangium meningkat,
sehingga pelebaran mesangium terjadi dengan akibat permukaan filtrasi efektif mengecil.
Pada diabetes mellitus dengan gangguan faal ginjal yang lanjut, maka permukaan tersebut
semakin mengecil dan akhirnya glomerulus tidak berfungsi lagi

18

4. Kompleks imun
Kompleks imun (Ag-Ab) pada diabetes mellitus meningkat, dan endapan
kompleks Ag-Ab banyak didapatkan pada membrane basalis glomerulus dan mesangium.
Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit (RES) dan sel-sel
mesangium, sedangkan pada diabetes mellitus dengan kendali glukosa yang rendah,
fagosit RES dan sel mesangium kurang mampu membersihkannya, sehingga matriks
mesangium bertambah lebar dan permukaan filtrasi efektif bertambah sedikit. Kelebihan
kompleks imun di dalam darah juga akan merangsang sistem komplemen dan faktorfaktor koagulasi, sehingga memacu terjadinya mikroangiopati diabetes mellitus dengan

14

akibat munculnya dan bertambah beratnya nefropati diabetikum. Kompleks imun yang
berlebihan pada diabetes mellitus juga akan merangsang sintesis Tromboksan A di
trombosit, sehingga mudah terjadi agregasi trombosit. Seperti diketahui, agregasi
trombosit adalah bahan dasar untuk terbentuknya mikrotrombus

18

Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetikum adalah :


1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl atau 7,7-7,8
mmol/l) AIC > 7-8% dapat mendesak matriks plasminogen, sehingga degradasi
mesangium terhambat dengan akibat ekspansi mesangium yang merupakan tanda
histopatologis yang khas untuk nefropati diabetikum.
2. Glycated albumin secara langsung merangsang sintesis matriks protein seperti kolagen IV
(kolagen IV berperan pada mesangial expansion)
3. Faktor-faktor genetis
4. Kelainan renal hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus,
peningkatan tekanan intraglomerulus). Dilatasi arteriol afferent disebabkan oleh
hilangnya autoregulatory capacity. Sedangkan konstriksi arterial efferent merupakan
konsekuensi dari angiotensin-II, norepinephrine, dan vasopressin. Tahap lanjut dari
proses tersebut ialah peningkatan intraglomerular capillary pressure yang merangsang
pelepasan sitokin
5. Hipertensi sistemik
6. Sindroma resistensi insulin (sindroma metabolik)
7. Keradangan
8. Perubahan permeabilitas pembuluh darah

15

9. Asupan protein berlebih


10. Gangguan metabolik (kelainan metabolism polyol, pembentukan advanced glycation end
products, peningkatan produksi sitokin). Sitokin (ET1, VPF1, TGF-, angiotensin-II,
PDGF) dirangsang sintesisnya oleh radikal bebas (radikal bebas hidroksil dan oksigen).
11. Pelepasan growth factor
12. Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein
13. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrane
basalis glomerulus)
14. Gangguan ion pumps (peningkatan pompa Na+-H+ dan penurunan pompa Ca2+-ATPase)
15. Hiperlipedimia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
16. Mileu hiperglikemia (langsung melalui osmotic barrier), AGE (Advanced Glycosylated
Endproducts), Glycated albumin, dan Peningkatan intraglomerular pressure bersamasama merangsang pelepasan radikal bebas.
17. Aktivasi protein kinase C

5,18

E. Histopatologi
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membrane basalis,
ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraselular; penimbunan kolagen tipe IV,
laminin dan fibronectin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan
atau difus (Kimmelstiel-Wilsen), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis
tubulointerstitial 5.
Menurut patologi anatominya, dibagi menjadi:

16

1. Glomerulosklerosis Noduler (Kimmelstiel-Wilson, 1936), suatu glomerulosklerosis


interkapiler; bentuk noduler inilah yang khas untuk diabetes mellitus.
2. Glomerulosklerosis Difus (Fahr, 1942), terutama menunjukkan penebalan membrana
basalis glomerulus.
3. Glomeruloskierosis Eksudatif (Spuhler-Zollinger, 1943), menunjukkan lesi eksudatif atau
"fibrin cap" atau "capsular drop".

Gambar 3. Glomerulosklerosis Noduler (Lesi Kimmelstiel-Wilson) Dari Diabetes Mellitus.

Gambar 4. Glomerulosklerosis Difus

17

Defisiensi insulin pada penderita diabetes mellitus akan menyebabkan ginjal bekerja
hiperfungsi. Hiperfungsi ini menyebabkan ginjal menjadi hipertropi dan terjadi peningkatan
tekanan intrakapiler glomerulus. Peningkatan tekanan intra kapiler menyebabkan kerusakan
glomerulus sehingga terjadi glomerulosklerosis. Namun, ketika terjadi glomerulosklerosis
arteriol afferen vasodilatasi dan kerusakan ini menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah
arteri sistemik sehingga terjadi peningkatan tekanan darah sistemik. Hal ini terjadi karena
arteriol afferen yang secara patobiologi hipokontraktil memiliki sedikit autoregulasi.
Sehingga peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan peningkatan tekanan darah
sistemik dan variasi ini menghasilkan gangguan hemodinamik.
Peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan stress mekanik. Stress mekanik
menyebabkan stress fiber kemudian menyebabkan perlekatan matriks ekstraseluler hingga
menimbulkan endapan matriks ekstraseluler. Endapan matriks ekstraseluler ini menstimulasi
ekspresi growth factor. Growth factor berperan penting dalam perubahan glomerulus menjadi
sklerosis karena mediator ini menginduksi pemecahan sementara aktin sitoskeleton dalam sel
mesangial, produksi yang tinggi dari fibronectin, kolagen tipe I and IV, hipertropi sel
mesangial. Angiotensin II adalah growth factor tambahan yang menstimulasi sel ginjal untuk
memproduksi TGF 1 yaitu dengan cara, meningkatkan akumulasi ECM (Extra Cellular
Matrix) sel mesangial yang secara primer menstimulasi ekspresi TGF 1. TGF 1
bersamaan dengan stress mekanik menginduksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
dan Connective Tissue Growth Factor (CTGF).

Tabel 3. Karakteristik Patologi Nefropati Diabetikum

18

Peningkatan material matriks mesangium


Penebalan membrane basalis glomerulus
Hialinosis arteriol aferen dan eferen
Penebalan membrane basalis tubulus
Atrofi tubulus
Fibrosis interstitial

F. Diagnosis
Diagnosis nefropati diabetikum dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di
bawah ini:
1. Diabetes Mellitus
2. Retinopati Diabetika
3. Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab proteinuria yang lain.

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:


1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari
gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi, penurunan
berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada
kulit, ginekomastia, impotensi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata

19

Pada nefropati diabetikum didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda
retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :
i. Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler
retina
ii.

Mikroaneurisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena

iii.

Eksudat berupa :
Hard exudates : Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.
Cotton wool patches : Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan
dengan iskhemia retina.

iv.

Shunt arteri-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi


kapiler.

v. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas


mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
vi.

Neovaskularisasi

b. Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage,
didapatkan perubahan pada :
i. Cardiomegali
ii. Edema pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa

20

penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler. Mikroalbuminuria dianggap sebagai


prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetikum.

Tabel 4. Laju Ekskresi Albumin Urin


Laju Ekskresi Albumin Urin
Kondisi
Normoalbuminuria
Mikroalbuminuria
Makroalbuminuria

24 Jam
(mg/hari)
<30
30-300
>300

Sewaktu
(g/menit)
<20
20-200
>200

Perbandingan
Albumin Urin
Kreatinin (g/mg)
<30
30-300 (299)
>300

Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksan berturut-turut dalam 3 bulan


Urinalisis Rutin Untuk Deteksi Protein

menunjukkan adanya mikroalbuminuria 5.


Negatif

Tes Untuk mikroalbumin


(30-300 mg/hari)

Positif

Nefropati Jelas.
Tentukan Jumlah Ekskresi
Protein.
Memulai Terapi

Jika tes mikroalbumin (+),


>> Ulang 2x dalam 3
bulan

Jika 2 Dari 3 Tes (+) >> Diagnosis


Mikroalbuminuria Ditegakkan

Memulai
Terapi

21

Gambar 5. Penapisan Untuk Mikroalbuminuria

G. Kesimpulan
1. Nefropati diabetikum adalah sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa
penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler
2. Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus oleh Mogensen dibagi
menjadi 5 tahapan, yaitu Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi), Tahap II (Stadium Silent),

22

Tahap III (Stadium Mikroalbuminuria / Nefropati Insipient), Tahap IV (Stadium


Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut), dan Tahap V (Stadium Uremia / Gagal Ginjal
Terminal)
3. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara lain :
hipertensi, prediposisi genetika, kepekaan (susceptibility) nefropati diabetikum,
hiperglikemia, konsumsi protein hewani, dan merokok.
4. Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk
glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation
End Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (otooksidasi), dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
5. Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membrane basalis,
ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraselular; penimbunan kolagen tipe
IV, laminin dan fibronectin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis
noduler dan atau difus (Kimmelstiel-Wilsen), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta
fibrosis tubulointerstitial.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soman, S.S. (2009). Diabetic Nephropathy. eMedicine Specialties


2. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. (2004). Diabetic nephropathya review of
the natural history, burden, risk factors and treatment . Dalam: Journal National Medical
Association: 144554.
3. Kronenberg, H. M., Sholmo Melmed, Kenneth S, Polonsky P, Reed Larsen (2008).
Williams Textbook of Endocrinology, 11th ed. Philadelphia, Saunders Elsevier's Health
Sciences

23

4. Ruggenenti, P and Remuzzi, G. (2000). Nephropathy of type 1 and type 2 diabetes:


diverse pathophysiology, same treatment? Dalam : Oxford Journals, 15(12), 1900-02
5. Hendromartono (2006). Nefropati Diabetik. In Aru W. Sudoyo, D. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. IV ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
6. Eppens, M. C., Craig, M. E., Cusumano, J., Hing, S., Chan., A. K. F., Howard, N. J.,
Silink, M., dan Donaghue, K. C. (2006). Prevalence of Diabetes Complications in
Adolescents With Type 2 Compared With Type 1 Diabetes. Diabetes Care, 29, 1300-6.
7. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E., Parving,
H-H., Steffes, M. W. (2004). Nephropathy in Diabetes. Dalam : Diabetes Care January,
27 (Supplemen I), 79-83
8. Evans, T. C and Capell, P. (2000). Diabetic Nephropathy. Clinical Diabetes, 18 (1)

9. Adam, J.M.F. (2005). Komplikasi Kronik Diabetikum Masalah Utama Penderita Diabetes
Dan Upaya Pencegahan. Suplement, 26 (3), 53-61
10. Arsono, Soni .(2005). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto).
Jurnal Epidemiologi
11. Velasquez, M., Bhathena, S., Striffler, J., Thibault, N., dan Scalbert, E. 1998. Role of
angiotensin-converting enzyme inhibition in glucose metabolism and renal injury in
diabetes. Dalam : Metabolism, 47 (12 Suppl 1), 7-11
12. Di Landro, D., Catalano, C., Lambertini, D., Bordin, V., Fabbian, F., Naso, A., dan
Romagnoli, G. (1998). The effect of metabolic control on development and progression
of diabetic nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8),35-43

24

13. The DCCT Research Group. (1993). The effect of intensive treatment of diabetes on the
development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes
mellitus. Dalam : New England Journal Medicine, 329, 977-86
14. Makita, Z., Radoff, S., Rayfield, E., Yang, Z., Skolnik, E., Delaney, V., Friedman, E.,
Cerami, A., dan Vlassara, H. (1991). Advanced glycosylation end products in patients
with diabetic nephropathy. Dalam : New England Journal Medicine, 325, 836-42
15. Marcantoni, C., Ortalda, V., Lupo, A., dan Maschio, G. (1998) Progression of renal
failure in diabetic nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8), 16-19.
16. Mehler, P., Jeffers, B., Biggerstaff, S., dan Schrier, R. (1998). Smoking as a risk factor for
nephropathy in non-insulin-dependent diabetics. Dalam : Journal Gen Internal Medicine,
13, 842-45.
17. Nguyen, T. Q., Tarnow, L., Jorsal, A., Oliver, N., Roestenberg, P., Ito, Y., et al. (2008).
Plasma Connective Tissue Growth Factor Is an Independent Predictor of ESRD and
Mortality in Type 1 Diabetic Nephropathy : Diabetes Care, 31, 1177-82
18. Bidaya, E dan Tjokroprawiro, A. (1997). Nefropati Diabetik. Dalam Cermin Dunia
Kedokteran, 43, 34-8.
19. American Diabetes Association (2004). Nephropathy in diabetes. Clinical Practice
Recommendations 2004. Diabetes Care. 27(Suppl 1): S79S83.

25

26

Anda mungkin juga menyukai