Retensi Urin
Retensi Urin
Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau
sectio caesarea adalah retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM
Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah
dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio
caesarea.[1] Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin
postpartum pervaginam.[2]
Dr. Pribakti B. dari FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa
sepanjang tahun 2002-2003 terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%)
yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia
26-30 tahun dan paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi
pada pasien persalinan pervaginam, dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio
caesarea.[3],[4] Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).[5]
Definisi
Retensi urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan
pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih.
[6] Dr. Basuki Purnomo dari FK Unbraw mengatakan, bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan bulibuli (kandung kencing) untuk mengeluarkan urin yang telah melampaui batas maksimalnya. Pada ibu
melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat dilakukan enam jam setelah melahirkan
(partus). Namun apabila setelah enam jam tidak dapat berkemih, maka dikatakan sebagai retensi urin
postpartum.
Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan, bahwa retensi urin postpartum adalah ketidakmampuan
berkemih secara normal 24 jam setelah melahirkan (ischuria puerperalis). Adapun kepustakaan lain
mendefinisikan retensi urin postpartum sebagai tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter
menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 150 ml.
Retensi urin postpartum apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan sistitis, uremi, sepsis,
bahkan ruptur spontan vesika urinaria.
Patofisiologi
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh
efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot
detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya,
wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika
wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat
ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan
dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan
menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesika urinaria
tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan
cenderung berlangsung beberapa lama.
Etiologi
Penyebab retensi urin postpartum ada bermacam-macam, antara lain efek dari epidural anasthesia,
trauma intrapartum, refleks kejang sfingter uretra, hipotonia selama hamil dan nifas, peradangan,
psikogenik, dan umur yang tua.[7][8]
Diagnosis
Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada pasien, yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali
melalui anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat keluhan
seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing, serta kandung kemih berasa
penuh.
2. Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari datadata yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan metode
palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah suprasimfisis karena kandung
kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
3. Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium, radiologi
atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan
laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium paling sering digunakan kateter dan
uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume dan residu urin pada kandung kemih. Selain itu
juga dapat digunakan cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih
dan uretra. Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal
berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu sekira 200 ml. Apabila dari hasil
kateterisasi didapatkan volume/residu urin telah mendekati/melampaui batas normal, maka
pasien dinyatakan mengalami retensi urin.[9]
Daftar pustaka
[1] Kartono, Santoso BI, Junisaf. Thesis perbandingan penggunaan kateter menetap selama 6
dan 24 jam paska seksio sesaria dalam pencegahan retensi urin [thesis].Jakarta (ID):
Indonesia Univ.; 1998.
[2] Yip SK, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the postpartum period. Acta Obstet
Gynecol Scand 1997. p. 667-72.
[3] Pribakti B. Tinjauan Kasus Retensi Urin Postpartum di RSUD Ulin Banjarmasin (20022003). Dexa Media 2006.19(2):10-3.
[4] Pribakti B. Retensi Urin kronik Postpartum. Medika 2003.11(14):731-3
[5] Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidous urinary retention after vaginal delivery,
prevalence and symptoms at follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995;
38:51-3.
[6] Stanton SL. Clinical gynecologic urology. St. Louis (UK): Mosby; 1984.
[7] Jack AP, Paul CM, Norman FG. Williams Obstetric. 17th ed. Norwalk (CN): AppletonCentury_Crofts; 1985. p. 739.
[8] Kermit EK, Joseph DB, Morton AS, Howard WJ, William FG, Pamela JM, et al, editors. Lange: Current
Obstetri and Gynecology Diagnose and Treatment 1987. 6th ed. Norwalk (CN): Lange Medical
Publications; 1987. p. 218.
[9] Ralph CB, editors. Current Obstetic & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 3rd ed. Los Altos
(CA): Lange Medical Publications; 1980. p. 438
http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/retensi-urin-postpartum/
Pendahuluan
Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih
yang terjadi merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum.
Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada ibu.
Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea
adalah retensi urin post partum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat
17,1% kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang
dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk
kasus retensi urin postpartum pervaginam. Dr. Pribakti B. dari FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin
mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003 terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%)
yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun dan
paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi pada pasien persalinan pervaginam,
dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio caesarea. Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin
G. dkk (0.7%).
Anatomi
a.
Traktus
Urinarius
Bagian
Bawah
Kandung kemih merupakan suatu kantung muskulomembranosa tempat penampungan urin yang terbentuk dari empat
lapisan; serosa, muskuler, submukosa dan mukosa. Secara anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar
yaitu
detrusor
(dasar
kandung
kemih)
dan
trigonum
(badan
kandung
kemih).
Detrusor (lapisan muskuler) terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan satu dengan yang lainnya
sehingga merupakan suatu unit fungsional yang berfungsi dalam peregangan pasif (saat terdapat peningkatan tekanan
secara minimal) ataupun dalam kontraksi kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga
bertindak sebagai suatu sfingter fungsional. Trigonum merupakan area segitiga di bagian inferior kandung kemih yang
dibatasi di bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta di bagian inferior oleh orificium uretra internal. Trigonum
bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor; sementara trigonum superfisial merupakan kelanjutan dari
otot-otot
ureter.
Pada wanita, panjang uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan; mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan otot
terdiri dari dua lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang merupakan sambungan dari otot
kandung kemih dan membentuk sfingter uretra involunter. Di luar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang
berjalan
secara
sirkuler
pada
1/3
tengah
uretra.
b.
Sfingter
Uretra
Secara tradisional uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda, internal dan eksternal atau rhabdosphincter. Sfingter
internal bukanlah sfingter anatomis murni. Istilah tersebut ditujukan untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal,
dibentuk oleh susunan sirkuler jaringan ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan
suatu sfingter fungsional karena akan terjadi suatu peningkatan progresif tonus progresif seiring dengan pengisian kandung
kemih,
sehingga
tekanan
uretra
menjadi
lebih
besar
dari
tekanan
intravesikal.
Myers dan rekannya menyatakan bahwa sfingter uretra eksternal dari otot lurik tersebut tidak membentuk suatu pita yang
berjalan sirkuler tetapi mempunyai serabut yang berjalan ke atas menuju dasar kandung kemih. Sfingter ini bekerja di
bawah kontrol volunter dengan proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus
menerus
(steady)
dalam
uretra.
c.
Anatomi
Dasar
Panggul
Dasar panggul merupakan massa otot yang meliputi celah dasar tulang pelvis. DeLancey's membagi dasar panggul
menjadi
tiga
lapisan
utama
(dari
dalam
hingga
keluar)
:
endopelvic
fascia,
otot
levator
ani
dan
sfingter
anal
eksternal
serta lapisan keempat (otot genital eksternal) yang berhubungan dengan fungsi seksual. Otot-otot pelvis memegang
peranan penting dalam menyokong kandung kemih.Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter
(dan cepat pada satu waktu) tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong
organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan
membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Fascia,seperti
pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. Otot levator ani dapat dibagi
menjadi
4
regio
sesuai
dengan
lokasi
anatomisnya
:
pubococcygeus
(otot
pubovisceral),
iliococcygeus,
pubovaginalis
serta
puborectalis
puboanalis.
Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut
slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk
stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan
piriformis
d.
Struktur
dan
Fungsi
Mekanisme
Kontinen
pada
Wanita
Pada wanita, tiga faktor penting diperlukan dalam mempertahankan kontinen adalah :
1.
Sokongan dasar panggul (endopelvic fascia dan vagina bagian anterior) yang adekuat
2.
3.
Selama peningkatan tekanan intra abdominal, kontinen dipertahankan dengan adanya penekanan organorgan pelvis ke
bawah menuju endopelvic fascia, serta adanya distribusi peningkatan tekanan intraabdominal ke bagian proksimal uretra
intraabdominal. Epitelium uretra yang sensitif terhadap estrogen dipercayai juga membantu mempertahankan kontinensia
wanita
dengan
membentuk
lapisan
mukosa
yang
tebal.
e.
Neuroanatomi
Traktur
Urinarius
Bagian
Bawah
Persyarafan
traktus
urinarius
bagian
bawah
berasal
dari
tiga
sumber
:
1)
Sistim
syaraf
parasimpatis
(S2-S4)
n
pelvikus
2)
Sistim
syaraf
simpatis
(T11-L2)
n.
hipogastrikus
dan
rantai
simpatis
3)
Sistim
syaraf
somatis
atau
volunter
(S2-S4)
n.
pudendus
Sistim syaraf pusat mengintegrasikan kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari pontine memperantarai
relaksasi spinkter dan kontraksi detrusor secara sinkron; sementara lobus frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur
efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan urin dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor
terjadi karena inhibisi sistim syaraf pusat terhadap tonus parasimpatis, sementara itu penutupan spinkter dimediasi oleh
peningkatan refleks aktivitas alfa-adrenergik dan somatis. Pengeluaran urin terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi
oleh
sistem
syaraf
parasimpatis,
yang
disertai
dengan
relaksasi
sfingter.
f.
Neuroanatomi
Kandung
Kemih
Sistem
Eferen
Suplai syaraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral gray matter medulla
spinalis S2-S4. Eferen sakral keluar sebagai suatu serabut preganglionik di ventral roots dan berjalan melalui syaraf
pelvikus (nervi erigentes) ke ganglia dekat atau dalam otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kandung
kemih. Setelah impuls tiba di ganglia parasimpatis, impuls akan berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor
otot polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Syaraf simpatis eferen mempersyarafi kandung
kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11 L2 dan memberikan input inhibisi ke kandung kemih.
Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke sepanjang syaraf
postganglionik yang panjang dalam syaraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alpha dan beta adrenergik dalam
kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di kandung kemih dalam suatu
keadaan yang terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak di
bagian superior kandung kemih dan stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alpha adrenergik mempunyai
densitas yang lebih tinggi di dekat dasar kandung kemih dan uretra prostatik, sehingga stimulasinya akan menyebabkan
kontraksi
otot
polos
dan
meningkatkan
tahanan
outlet
kandung
kemih
dan
uretra
prostatik.
g.
Neuroanatomi
Kandung
Kemih
Sistem
Aferen
Syaraf-syaraf aferen yang penting untuk menstimulasi proses berkemih adalah syaraf-syaraf yang melewati medulla
spinalis bagian sakral melalui syaraf pelvikus. Syaraf aferen ini mencakup dua tipe yaitu serabut kecil bermielin (A-delta)
dan serabut tidak bermielin (serabut C). Serabut A delta berespon secara berjenjang terhadap distensi kandung kemih dan
hal ini penting untuk proses berkemih yang normal. Serabut C (silent fibers) tidak berespon terhadap distensi kandung
kemih sehingga tidak penting untuk proses berkemih normal, tetapi akan menampakkan firing spontan bila diaktivasi
melalui
rangsangan
iritasi
kimia
atau
suhu
dingin
pada
dinding
kandung
kemih.
h.
Persyarafan
Sfingter
Uretra
Sfingter uretra eksternal mempunyai persyarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat tertutup sesuai keinginan.
Syaraf somatik eferen berasal dari nukleus pudendal di segmen sakral (S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowiczs
nucleus (Onufs). Syaraf eferen ini lalu berjalan melalui syaraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di
sfingter uretra eksternal. Sfingter uretra internal bekerja di bawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai sejumlah
reseptor
alfa
simpatis,
yang
jika
distimulasi
akan
menyebabkan
timbulnya
kontraksi.
i.
Pengaruh
Susunan
Syaraf
Pusat
pada
Traktus
Urinarius
Bagian
Bawah
Fasilitasi dan inhibisi sistim syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson
menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistim syaraf yang
menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat menduga bahwa impuls
fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di anterior pons yang disebut dengan Barringtons center. Carlsson
memberikan bukti bahwa area mesencephalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan
aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barringtons center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter
lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih. Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral
pada proses berkemih adalah inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis
detrusor hyperreflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga
diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi otot lurik periuretral
dan pengosongan kandung kemih
http://e-infomu.com/berita-134-retensi-urine-post-partum.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak
dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul
mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang
berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak
dapat dikendalikan akibat cedera saat melahirkan (Bobak, 2004:1024).
Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia
urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan
abnormalitas traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses
persalinan adalah retensi urine (Rahman, dkk., 2009).
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air
kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk
mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada
kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine
satu jam pertama sampai beberapa hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan
banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang
menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah
melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi
pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia (Lusa, 2010).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata
(Vitriana, 2002). International Consultation on Incontinence ( 2004 ) membagi klasifikasi inkontinensia
urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine
campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia
continua.(Santosa, 2009).
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine
stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai
keluhan
pelepasan
involunter
saat
melakukan
aktivitas, saat
bersin
dan
pada
waktu
batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)). Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan
intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk).
Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra
(Bobak, 2004:1024). Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu
postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga
dengan inkontinensia urine campuran (Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).
Menurut Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran kandung kemih
inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak
(2004) menyatakan, inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur leher kandung
kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan penting dalam mempertahankan tekanan
uretra ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada
keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra abdomen yang berfungsi
mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak
dapat ditahan sehingga terjadilah inkontinensia urine.
Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi
inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara
karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan,
populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian (Vitriana, 2002).
Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah
mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai
suatu yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan (Vitriana, 2002).
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15
tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi
meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%,
pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
(Adrianto P., 1991 : 175).
Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus
dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan
pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et
al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika
lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu
(1990) dalam Vitriana (2002))
Terapi inkontinensia urin secara dini dan rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik
dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan dasar
panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama masa
pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise merupakan saran utama dalam mengatasi
inkontinensia urine stres dan inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat fungsinya
sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.
Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling populer untuk
mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan
memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan
mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan
kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Kegel Exercise harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar panggul kembali
ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan
stres inkontinensia di kemudian hari. (Bobak, 1995).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar panggul untuk
mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu post partum dengan
inkontinensia urine menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot dasar
panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perawatan
latihan (menurun sekitar 20%) untuk melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin
sering dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk., 2009). Berdasarkan
penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang Asih Semarang tahun 2009 Kegel Exercise yang
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi inkontinensia
urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali menjadi 6,19 kali.
Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia
urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasKegel exercise terhadap
penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu post partum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah :
Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu
Post Partum di kecamatan Seberang Ulu I
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exerciseterhadap penurunan
kejadian Inkontinensia Urin di kecamatan Seberang Ulu I
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a.
b. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum intervensi dengan Kegel
Exercise
c.
Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise
d. Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang
diberikan intervensi Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi
D. Manfaat Penelitian
1.
Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia
urine pada ibu postpartum.
2.
3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus
menuju korda spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S 2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan
memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam
penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan
kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih
adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan
terbukanya sfingter uretra.
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T 10 L2) yang dibawa
oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra. Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang
letaknya berada di dalam kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik yang banyak terdapat
pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik yang banyak
terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi,
sedangkan pada menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu
menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik dan (2) kontraksi
sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik yang betujuan untuk mempertahankan
resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.
Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S 24
yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar
panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada
saat miksi.
Pada saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung kemih bertambah
besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch
reseptor yang berada di dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang
jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai
dirasakan oleh otak adanya urine yang mengisi kandung kemih.
Pada saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik yang
mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher kandung kemih), dan inhibisi sistem
parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul
keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor,
serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung
kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi
tekanan intrauterina.
Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada fase miksi.
Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di
dalam kandung kemih dan keluar melalui kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan
kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai terjadi retensi urine
(Purnomo, 2003).
iskium dan klitoris. Otot perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai ke
korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal dan tertanam di bagian depan korpus
peritoneum serta melekatkan diri pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)
2. Levator Ani
Lapisan dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang terlindungi oleh fascia
pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini
terbagi dalam iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan
puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat
obliknya membentang pada sisi vagina yang bermuara ke korpus peritoneum.
Iskiokoksigeus merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian superior
dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai bagian levator ani, namun kerap pula
dianggap sebagai bagian yang terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta
membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus muncul dari fascia di atas
obturator internus dan spina iskia (Eileen, 2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator
ani (ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke
permukaan posterior dari ramus superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal
(Roger R M, 2003).
Serat puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum masuk ke bagian
korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan
sfingter anus eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan dirinya ke tulang koksik
dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007). Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya
melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum dan perineum,
membentuk sudut anorektal dan menutupi urogenital (Roger R M, 2003)
Serat pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator internal dan melekat
ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis
dan masuk ke garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).
Ruangan antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan rektum disebut
sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut
sebagai lempeng levator. Otot dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan
penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan
seksual (Roger R M, 2003).
Otot
levator
ani
dapat
dibagi
menjadi
regio
sesuai
dengan
lokasi
4. Persyarafan
Otot-otot diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem persyarafan yang
berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan
inhibisi syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson
menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur
sistem syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de
Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di
anterior pons yang disebut dengan Barringtons Center. Carlson
area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas
detrusor dan sfingter. StimulasiBarringtons center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di
sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih.
Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam
inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis detrusor
hyperflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga
diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi
otot lurik periuretral dan pengosongan kandung kemih (Linsenmeyer TA and Stone JM., 1998; Steers WD
& Zorn BH., 1997).
5. Fungsi Gabungan Otot Dasar Panggul
a.
d. Kontra-kerja perubahan pada tekanan abdomen yang disebabkan oleh aktivitas seperti batuk dan
mengangkat benda
e.
f.
g. Menghasilkan suatu terowongan yang dapat membantu rotasi kepala janin selama persalinan
h.
B. Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata.
Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan
merupakan bagian yang normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan
peningkatan usia (Shelly B., 1999; Sapsford RR & Hodges PW., 2001; Berek JS., 1996 dalam Vitriana
2002).
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih dari
satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit.
Membedakan etiologi ini merupakan hal yang penting karena setiap kondisi memerlukan pendekatan
terapi yang berbeda (Choe Jm, dalam Vitriana 2002).
Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan inkontinensia urine. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh kelainan pada kandung kemih atau kelainan pada sfingter (uretra). Kelainan pada
kandung kemih dapat berupa overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung kemih. Kelainan
pada uretra dapat berupa hipermobilitas uretra dan defisiensi sfingter intrinsik. Kelainan yang berasal dari
kandung kemih menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar (outlet)
memberikan manfaat manifestasi berupa inkontinensia stress (Purnomo, 2003).
Inkontinensia transien sering terjadi pada usila. Jenis inkontinesia ini mencakup sepertiga
kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani
rawat inap (Herzog dan Fultz, 1990). Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.
Diadaptasi dari After Du Beau, Resnick, N.M : Evaluation of the causes and severity of geriatric
incontinence. Urol Clin Nort Am 1991; 18(2):243-256 didapatkan bahwa DIAPPERS merupakan
kepanjangan dari Delirium / confusional state,Infectionurinary (symptomatic), Atrophic urethritis /
vaginitis, Pharmaceuticals,Psychological, Excessive urine output (cardiac, DM), Restricted mobility,
dan Stool impaction.
1) Delirium
Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit
yang bersifat akut (contohnya karena infeksi), kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan
mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan manajemen medis dalam
mengatasinya dibandingkan dengan manajemen kandung kemih (Resnick, 1988)
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar
di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence.
Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral (0,3 0,6 mg
conjugated estrogen/hari) atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu,
walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang (Semmens et al., 1985).
4) Obat-obatan (Pharmaceutical)
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada usila. Obat-obatan seperti diuretik
akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat
menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat
menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif,
seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkanconfusion dan inkontinensia sekunder,
terutama pada usila. Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas
dan menimbulkan diuresis. Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya
tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga
menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang
menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan
meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan ini sering
bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers, yang sering
dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan
menyebabkan stress incontinence.
5) Psikologis (Psychological)
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal ini
jarang terjadi pada orang usila dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan dapat
menyebabkan pasien mengalami kebocoran urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi
dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada
gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka
harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.
kebocoran
menetap
setelah
penyebab
inkontinensia
transien
dihilangkan,
perlu
dipertimbangkan penyebab inkontinensia yang berasal dari traktus urinarius bagian bawah.
True incontinence dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi :
1) Stress incontinence
Genuine stress incontinence (GSI) terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum
uretra tanpa disertai aktivitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan intra abdominal. Peningkatan
tekanan intra abdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin, tertawa dan aktivitas fisik tertentu (contoh :
mengedan).
GSI dapat terjadi karena penurunan leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya
tahanan uretra atau keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah didefinisikan sebagai suatu
kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cm H2O atau Valsava leak pressure kurang dari
60cm H2O.
2) Overflow incontinence
Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi secara berlebihan hingga ke titik dimana
tekanan intravesikal melebihi tahanan uretra (tahananoutlet), tetapi tanpa disertai dengan adanya
aktivitas detrusor atau relaksasioutlet. Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu :
a)
Obstruksi outlet kandung kemih contoh Benign Prostat Hyperplasia pada pria, stenosis uretra pada
wanita,
kontraktur
leher
kandung
kemih,
pasca
operasi
anti
inkontinen
seperti pubovaginal
Kandung kemih atoni seperti pada diabetic autoneuropathy, spinal cord trauma, herniated lumbar disc,
peripheral neuropathy.
Sulit untuk membedakan antara 2 etiologi tersebut diatas (terutama pada usila dengan diabetik
yang disertai dengan pembesaran prostat) akan tetapi pemeriksaan Pressure-Flow Study (PFS) akan
menampakkan bentuk high pressure-low flow untuk obstruksi prostatik dan low pressure-low flow untuk
atonia kandung kemih. Riwayat klasik untuk kondisi ini adalah adanya nocturnal enuresis. Terkadang
pasien merasakan hal tersebut sebagai stress incontinence. Kecurigaan akan kondisi ini didasarkan
pada penemuan adanya kandung kemih yang berdistensi pada pemeriksaan abdominal dan PVR yang
besar.
3) Urge incontinence
Tipe inkontinensia ini ditandai dengan adanya keinginan berkemih yang kuat secara mendadak
tetapi disertai dengan ketidakmampuan untuk menghambat refleks miksi, sehingga pasien tidak mampu
mencapai toilet pada waktunya. Riwayat kondisi ini khas dengan adanya gejala overactive
bladder(frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi, seperti cuaca dingin,
situasi yang menekan, suara air mengalir. Urge incontinence dapat disebabkan oleh karena detrusor
myopathy, neuropathy atau kombinasi dari keduanya. Bila penyebabnya tidak diketahui maka disebut
dengan idiopathic urge incontinence.
4) Reflex incontinence
Hilangnya inhibisi sentral dari jaras aferen atau eferen antara otak dansacral spinal cord. Kondisi
ini terjadi sebagai akibat kelainan neurologis susunan syaraf pusat. Merupakan suatu bentuk
inkontinensia dengan keluarnya urin (kontraksi detrusor involunter) tanpa suatu bentuk peringatan atau
rasa penuh (sensasi urgensi). Biasanya terjadi pada pasien stroke, Parkinson, tumor otak, SCI atau
multiple sclerosis. Adanya relaksasi uretra yang tidak tepat atau beberapa bentuk abnormalitas sfingter
diduga merupakan penyebab terjadinya hal ini.
5) Mixed Incontinence
Merupakan inkontinensia urin kombinasi antara stress dan urge incontinence. Pada kondisi ini
outlet kandung kemih lemah dan detrusor bersifatoveractive. Jadi pasien akan mengeluhkan adanya
keluarnya urin saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal disertai dengan keinginan kuat untuk
berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor.
Salah satu contoh klasik keadaan ini tampak pada pasien meningomyelocele disertai dengan leher
kandung kemih yang inkompeten dan detrusor hyperreflexic. Terapinya sama dengan terapi urge
incontinence.
6) Total incontinence
Kondisi ini terjadi pada dua situasi :
a)
Saat terdapat bnormalitas kongenital traktus urinarius bagian bawah, contoh : insersi ureter ektopik
dibawah sfingter eksternal. Pasien mengeluhkan adanya dribbling urin secara terus menerus.
b) Pasca operasi (lebih sering) contoh vagino-vesical fistula, pasca TURP, pasca prostactetomy radikal.
Terjadi kebocoran terus menerus dan kandung kemih tidak lagi mampu untuk melakukan fungsi
penyimpanan.
disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan
dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam (Eileen, 2007)
Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema
trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bilawanita pasca persalinan tidak dapat berkemih
dalam waktu 4 jam pasca persalinanmungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter
selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan
bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap
terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan
dapat berkemih seperti biasa. (Lusa, 2010)
Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga
menyebabkan hilangnya
peningkatan
tekanan
vena
pada
tingkat
bawah,
dan
hilangnya
peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi
kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengandiuresis pasca partum (Lusa, 2010).
Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin
pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi
dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan
penyebab potensial terhadap kejadian ini ( Handa et al, 1996; Volleys 1988; Morkved & Bo 1996; Chiarelli
& Cockburn, 1999; Persson et al, 2000). Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang
telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita
gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal (Wilson et al., 1996; Morkved
& Bo, 1999).
Marshal et al., (1996) menyatakan berdasarkan surveinya, sebanyak 59% dari wanita Irlandia
pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan fakta 80%
ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan elektromiografik
memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8 pascapartum (Allen et al.,
1990).
Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia urine stres.
Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan
intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu
mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih
terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri,
atau mengangkat benda berat (Purnomo, 2003).
Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan dasar panggul
(Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah terbukti mampu mengatasi
masalah inkontinensia urin (Kegel 1948; Bo 1995; Sleep 1987; Sampselle et al. 1996; Morkved & Bo
1996; Dougherty et al. 1989).
Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus
dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian
umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam
melakukan latihan dasar panggul (Bump et al., 1991).
Beberapa masalah umum yang munkgin menimbulkan gejala pascanatal adalah frekuensi, urgensi
dan prolaps. Setelah pengkajian, kondisi ini dapat berespons terhadap pelaksanaan latihan kandung
kemih, latihan dasar panggul dan elektroterapi serta harus dirujuk ke ahli fisioterapi kesehatan wanita.
C. Kegel Exercise
1. Definisi Kegel Exercise
Kegel Exercise atau biasa disebut latihan otot dasar panggul adalah latihan yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi sepenuhnya sesegera mungkin dan membantu mencegah masalah atau prolaps
urine jangka panjang. Senam dasar panggul harus dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk
mencegah hilangnya kendali kortikal pada otot-otot karena nyeri perineum dan cemas tentang kerusakan
jahitan (Stepherd, 1980). Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu diberi anestesi
epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat sakit, setelah persalinan yang
tidak terasa nyeri. Ibu pada saat ini memerlukan pereda nyeri untuk mencegah inhibisi kontraksi dasar
panggul, sleuruh ibu harus dimotivasi untuk menggerakkan otot dasar panggul sedikit dan sesering
mungkin, perlahan dan cepat, pada masa pascapartum dini. Pada pascalahir, ibu mungkin mengalami
kesulitan melakukan latihan dasar panggul, karena mekanisme peregangan yang ditimbulkannya pada
saat persalinan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang berasal dari perineum yang mengalami sutura
atau memar. Penenangan mungkin diperlukan ketika ia mungkin menemukan bahwa ia tidak dapat
mencapai jumlah kontraksi yang mampu dilakukannya pada antenatal.
1.
2.
3.
Tahan dengan kuat selama mungkin sampai 10 detik dengan tetap bernapas secara normal.
4.
5.
Untuk merencanakan senam dasar panggul secara mandiri, ingatlah lamanya dalam detik. Anda
dapat menahan kontraksi dan hitung berapa kali Anda dapat mengulang latihan sebelum otot menjadi
lelah. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah latihan sampai sebanyak 10 x 10, yang dialkukan dalam
beberapa minggu (Eileen, 2007)
Dengan
melatih
otot-otot
tersebut
secara
perlahan
dan
cepat,
baik
serat
ototyang
berkedut perlahan (tipe I) maupun berkedut cepat (tipe II) akan teraktivasi (Gippin et al., 1989). Prosedur
senam dasar panggul dapat diingat dan dilakukan bersama aktifitas yang berkaitan dengan bayi,
misalnya menyusui, memandikan membasuhnya. Aktifitas ini dapat dilakukan sambil ibu duduk di kamar
mandi setiap habis berkemih. Ini adalah posisi relaks untuk mengontraksi otot-otot tersebut. Sebuah
tanda pengingat untuk melakukan aktivitas ini, dapat ditempelkan di balik pintu kamar mandi rumah sakit.
Bila nyeri perineum membuat senam menjadi sulit dilakukan dalam posisi duduk, posisi lain yang dapat
dipakai adalah telungkup, atau berbaring miring dengan bantal diletakkan di antara kaki, atau berdiri
dengan kedua kaku direntangkan (Eileen, 2007)
Ibu harus dianjurkan untuk membebat area dasar panggul ketika batuk, tertawa, mengangkat,
atau jongkok. Ibu harus diberi tahu bahwa kondisi ini dapat berlangsung tiga bulan untuk memperoleh
kembali fungsi penuh dasar panggul. Namun, semua ibu dianjurkan untuk melanjutkan senam dasar
panggul secara teratur sepanjang hidup, agar terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari.
Mereka dapat menguji kekuatan fungsi otot-otot dasar panggul pada 8-12 minggu pascalahir, dengan
cara melompat dengan kondisi kandung kemih penuh dan batuk sekuat tenaga dua atau tiga kali saat
melakukan tindakan tersebut. Seharusnya tidak ada lagi urine yang menetes bila otot-otot teah mencapai
kekuatan dan fungsinya seperti semula. Bila saat pengujian terjadi penetesan, ibu sebaiknya dirujuk pada
ahli fisioterapi kesehatan wanita untuk mendapatkan terapi. Di beberapa tempat, ibu dapat merujuk
dirinya dalam 12 minggu persalinan, sebaliknya mereka memerlukan rujukan dari seorang dokter untuk
mendapatkan layanan ahli fisioterapi. Kehamilan berikutnya dianggap dapat membebani otot dasar
panggul karenanya tidak diperkenankan sampai rehabilitasi dasar panggul benar-benar pulih (Eileen,
2007).
b. Saran
Berikut ini adalah saran dalam melakukan latihan ini , yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Terapi Pembedahan :
Kolposuspensi retropubik
Prosedur Ambin Suburetra
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
3.9 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk
menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data
empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2007).
Jadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan perlakuan antara kelompok yang
mendapat intervensi mengenai Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi dalam penurunan
kejadian inkontinensia Urin.
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel
Definisi
Operasion
al
Cara
Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Ukur
Suatu
latihan
post
partum
yang
bertujuan
untuk
melatih
otot dasar
panggul
Prosedu
r
tetapKe
gel
Exercise
Lembar
Observasi
(dalam bentuk
catatan
berkemih
harian)
1. Sebelum
melakukan Kegel
Exercise
Nomin
al
Suatu
proses
untuk
menurunka
n kejadian
pengeluara
n
urin
berlebih
Kuesion
er dan
lembar
Observa
si
Variabel
bebas
Kegel
Exercise
2. Sesudah
melakukan Kegel
Exercise
Variabel
terikat
Penurunan
Kejadian
Inkontinen
sia urin
pada ibu
post
partum
Nomin
al
dikarenaka
n kerja otot
involunter.
2. Mengeluarkan
urin pada saat
tidak
ingin
berkemih
3. Kesulitan
memulai
berkemih
untuk
4. Mengompol pada
malam hari
5. Mengompol saat
batuk dan tertawa
6. Berkemih
[ada
malam hari > 4
kali
7. Berkemih
keluarnya
menetes
Karakteris
tik
Responde
n
Umur
Paritas
Usia
responden
saat
ini
berdasarka
n
ulang
tahun
terakhir
Wanita
yang dapat
melahirkan
bayi yang
lahir hidup
Pendidikan
formal
yang
terakhir
yang telah
responden
Kuesion
er
Mengisi
Kuesioner
Mengisi
Kuesioner
Kuesion
er
1. Tidak resiko
2. Resiko
Nomin
al
1. Primigravida
Multigravida
Mengisi
yang
Nomin
al
selesaikan.
kuesioner
Pendidikan
Dikelompokkan :
1. Pendidikan
rendah
SMP)
Kuesion
er
Jenis
pekerjaan
yang
ditekuni
responden
untuk
mendapatk
an
penghasila
n.
(SD,
Ordina
l
2. Pendidikan tinggi
(SMA, Sarjana)
1. Tidak bekerja
Mengisi
kuesioner
2. Bekerja
Swasta,
dll.)
(PNS,
ABRI,
Pekerjaan
Kuesion
er
Nomin
al
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Menurut Nursalam (2008), rancangan penelitian eksperimen semu (Quasy-experiment) adalah
rancangan penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan kedua kelompok ini
tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah
terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek telah
memiliki karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok itu berbeda,
mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena sejak awal kelompok awal sudah
berbeda.
Menurut Arikunto (2007), di dalam desain pre test dan post test group ini observasi dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum
eksperimen disebut pre test, dan observasi sesudah eksperimen disebut post test. Perbedaan antara pre
test dan post test diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. Kemudian dibandingkan
hasil post test antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan intervensi. Bentuk rancangan ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Subjek
Pra
Perlakuan
Pasca-tes
K-A
O1-A
K-B
O1-B
Time 1
Time 2
Time 3
Keterangan:
K-A
K-B
O1(A+B) : observasi inkontinensia urine sesudah Kegel Exercise (kelompok perlakuan dan kontrol)
2. Sampel
Teknik
pengambil
sampel
peneliti
adalah non-probability
menggunakan teknik purposive sampling ( Nursalam, 2008). Purposive sampling adlaah suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan dikehendaki
peneliti (tujuan/masalah penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang
telah dikenal sebelumnya.
b. Ibu postpartum yang berada di kawasan puskesmas OPI Jakabaring dan puskesmas Pembina Plaju
c.
Kriteria eksklusi:
a.
C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di kelurahan puskesmas OPI Jakabaring dan Puskesmas Pembina Plaju.
Pemilihan tempat penelitian ini dengan alasan untuk memudahkan peneliti mencari subyek penelitian
karena pada kelurahan puskesmas OPI dan puskesmas Pembina merupakan tempat dengan tingkat
pelayanan nifas yang tinggi.
D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal April Mei 2011 (selama 4 minggu)
E. Etika Penelitian
Penelitian ini juga memenuhi prinsip etik dan formulir informed consent yang diberikan pada pasien
sebelum dilakukan penelitian.
1. Prinsip etik
Hamid (2008) menyebutkan prinsip etik, meliputi: autonomy, non-maleficence, beneficence, dan
justice. Prinsip etik yang mendasari penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Autonomy
Autonomy adalah kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri. Subyek
penelitian diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan
penelitian secara suka rela dengan memberikan tanda tangan pada lembar informed consent. Tujuan,
manfaat, dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian dijelaskan, sebelum pasien
memberikan persetujuan. Subyek penelitian juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat
penelitian. Artinya melalui etika penelitian ini peneliti akan melakukan kontrak terlebih dahulu kepada
responden sebelum melakukan perlakuan.
b. Non-maleficence
Non-maleficence adalah tidak melukai dan tidak menimbulkan bahaya atau cidera bagi orang
lain. Subyek penelitian diupayakan bebas dari rasa tidak nyaman sebelum, selama, dan sesudah
prosedur tindakan dilakukan.
Sebelum dilakukan Kegel Exercise, peneliti berusaha untuk memberikan penjelasan kepada
responden tentang cara kerja Kegel Exercise dan mempersiapkan ibu pada posisi yang baik agar
sewaktu melakukan Kegel Exercise, ibu merasa nyaman. Selama melakukan Kegel Exercise, peneliti
mengajarkan tindakan sesuai dengan standar prosedur Kegel Exercise dan memperhatikan serta
menanyakan perasaan ibu. Setelah melakukan Kegel Exercise selama 1 minggu, peneliti melakukan
observasi terhadap keadaan ibu setelah melakukan Kegel Exercise.
c. Beneficence
Beneficence adalah prinsip untuk melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain
(Suhaemi, 2004). Pada penelitian ini saat melakukan tindakanKegel Exercise pada ibu post partum,
peneliti melakukan tindakan penelitian yang sesuai dengan standar prosedur operasional tindakan Kegel
Exercise agar tidak menimbulkan kesalahan selama proses Kegel Exercise sehingga tidak menimbulkan
masalah baru pada ibu post partum tersebut.
d. Justice
Justice adalah prinsip moral berlaku adil untuk semua individu (Suhaemi, 2004). Penelitian ini
tidak melakukan diskriminasi pada kriteria yang tidak relevan saat memilih subyek penelitian, namun
berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Subyek penelitian juga
memiliki peluang yang sama untuk dikelompokkan pada intervensi yang dilakukan dalam penelitian,
artinya setiap responden memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tindakan yang sesuai dengan
standar operasional Kegel Exercise tanpa mengabaikan nilai moral yang berlaku di setiap daerah di
mana responden tinggal.
Informasi yang diperoleh dari pasien dirahasiakan dan anonymity(membuat data responden
dengan inisial saja tidak menuliskan nama lengkapnya) subyek juga dijaga dengan ketat. Selain itu
proses Kegel Exercise dilakukan dengan menjaga privasi dari setiap responden. Kegel Exercise biasanya
dilakukan ditempat yang membuat responden nyaman dan tidak merasa terganggu dengan adanya
responden yang lain.
2. Informed consent
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan subyek penelitian setelah diberikan
informasi yang lengkap tentang penelitian. Persetujuan telah diberikan saat pasien telah menandatangani
lembar persetujuan (informed consent). Informed consentpada penelitian ini berdasarkan kriteria yang
dibuat Portney dan Watkins (2000) yang memuat hal-hal sebagai berikut:
b. Subyek penelitian mengetahui sepenuhnya informasi tentang penelitian, efek samping maupun
keuntungan yang diperoleh subyek penelitian.
c.
d. Peneliti menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian pada saat kapan saja.
e.
Persetujuan diberikan dengan sukarela dan tidak ada sanksi apapun jika subyek menolak untuk
berpartisipasi dalam penelitian.
f.
g. Subyek penelitian dapat mengundurkan diri dari penelitian pada saat kapan saja dengan alasan apa saja
F. Alat Pengumpulan Data
1. Identitas pasien
Status pasien merupakan deskripsi subyek penelitian dan karakteristik ASI pada ibu menyusui.
Deskripsi subyek meliputi : umur, partus, paritas dan pendidikan. Karakteristik Inkontinensia urin pada ibu
post partum adalah : sulit menahan kencing saat berkemih, mengeluarkan urin pada saaat tidak ingin
berkemih, kesulitan untuk memulai berkemih, mengompol pada malam hari, mengompol pada saat batuk
dan tertawa, berkemih pada malam hari > 4 kali, dan berkemih yang keluarnya menetes (Nursalam,
2008)
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian mengunakan lembar observasi yang berisi pertanyaan yang ditanyakan dan
diamati. Lembar observasi yang diajukan berisikan identitas responden dan pertanyaan yang akan diisi
ibu setiap harinya dan akan dipantau pada saat peneliti berkunjung kembali ke rumah ibu. Lembar
observasi ini terdiri dari 3 pertanyaan seputar rutinitas Kegel Exercise yang dilakukan ibu di rumah.
Kuesioner diberikan pada saat sebelum dan sesudah tindakan Kegel Exercise yang diberi
pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Responden diminta memilih jawaban yang dianggap
benar kemudian akan dihitung frekuensinya dengan menggunakan sistem komputerisasi. Kuesioner yang
digunakan adalah jenisdichotomy question
Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam Agama
Peurperium intermedial : yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia eksterna dan interna yang lamanya
Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama
Immediate
post partum > Berlangsung dlm 24 jam pertama, Early post partum>Berlangsung
minggu pertama, Late post partum > Berlangsung sampai masa post partum berakhir
sampai
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas , walaupun dianggap normal dimana proses-proses pada kehamilan
berjalan terbalik. Banyak faktor, termasuk tingkat energi dan tingkat kenyamanan ,kesehatan bayi baru lahir dan
perawatan serta dorongan yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional ikut mementuk respon ibu terhadap
bayinya selama masa ini. Untuk memberi perawatan yang menguntungkan ibu , bayi dan keluarganya, seorang
perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan fisiologi ibu pada proses pemulihan ,
karakteristik fisik dan prilaku bayi baru lahir dan respon keluarga terhadap kelahiran seorang anak.
PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA PERIODE PASCAPARTUM
Sistem Reproduksi
@ Uterus
Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera
setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Sedangkan subinvolusi adalah penggagalan uterus
untuk kembali pada keadaan tidak hamil. Penyebab subinvolusi yang paling sering adalah tertahannya fragmen
plasenta dan infeksi.
Pada akhir tahap ketiga persalinan besar uterus sama dengan sewaktu usia kehamilan 16 minggu yaitu 1000g.
dalam waktu 12 jam, tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilicus. Fundus turun kira-kira 1-2 cm
tiap 24 jam. Pada hari ke enam pascapartum fundus normal berada di pertengahan umbilicus dan simfisis. Dan
tidak bisa dipalpasi pada abdomen dihari ke sembilan. Setelah 1 minggu melahirkan uterus berada di dalam
panggul sejati dan berinvolusi menjadi kira-kira 500 g dan 350 g dua minggu setelah melahirkan. Pada masa pasca
partum penurunan kadar hormone ekstrogen dan progesterone menyebabkan terjadinya autolisis, perusakan
secara langsung jaringan hipertrofi yang berlebihan.
Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon
terhadap penurunan volume intra uteri yang sangat besar. Selama 1-2 jam pertama pasca partum intensitas
kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus
pada masa ini, sehingga biasanya diberikan suntikan oksitosin segera setelah plasenta lahir. Ibu yang
merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan membiarkan bayinya di payudara karena isapan bayi pada payudara
merangsang pelepasan oksitosin.
Afterpains
Rasa nyeri menjadi lebih nyata setelah ibu melahirkan, di tempat uterus terlalu teregang. Menyusui dan oksitosin
tambahan biasanya meningkatkan nyeri karena keduanya merangsang kontraksi uterus.
Tempat plasenta
Regenerasi endometrium selesai pada akhir minggu ke 3 pasca partum, kecuali pada bekas tempat plasenta.
Regenerasi pada tempat ini biasanya tidak selesai sampai enam minggu setelah melahirkan.
Lokia
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir sering kali disebut lokia, mula-mula berwarna merah kemudian
berubah menjadi merah tua atau merah coklat. Lokia rubra pertama mengandung darah dan debrus desidua serta
debris trofob;lastik. Aliran menyembur menjadi merah muda atau coklat setelah 3-4 hari (lokia serosa). Lokia
serosa terdiri darah lama, serum, leukosit, dan debris jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi lahir warna cairan
menjadi kuning sampai putih (lokia alba).lokia alba mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mucus, serum, dan
bakteri.lokia alba bisa bertahan selama 2-6 minggu setelah bayi lahir.
Batas
waktu
Pengeluaran
Lochia sejak
normal
melahirka
n
Pengeluaran
normal
tidak
Hari 1-3
Darah
dengan
bekuan, bau amis, Byk
bekuan,
bau
meningkat
dengan busuk,
pembalut
bergerak,
meneteki penuh darah
dan peregangan
Pink
atau
coklat
dengan
konsistensi, Bau busuk, pembalut
serosanguineus, bau penuh darah
amis.
Alba
Rubra
Hari 10
@ Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam pasca partum serviks memendek dan konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.
bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada minggu ke empat. Pada awalnya introitus mengalami eritematosa dan
udematosa terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi. Tanda-tanda
bengkak atau rabas). Atau tepian insisi tidak saling mendekat bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam
2-3 minggu. Hemoroid (varises anus) sering terjadi. Gejala yang sering dialami adalah seperti rasa gatal, tidak
Nyman dan perdarahan berwarna merah terang pada waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil
beberapa minggu setelah bayi lahir.
Sistem Endokrin
@ Hormon plasenta
Selama periode pascapartum terjadi perubahan hormone yang besar. Kadar estrogen dan progesterone menurun
secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar terndahnya dicapai kira-kira 1 minggu pascapartum. Penuruna
kadar estrogen berkaitan dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstrasellular yang berlebih yang
terakumulasi selama masa hamil. Pada wanita yang tidak menyusui kadar estrogen mulai meniongkat pada minggu
kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi daripada wanita yang menyusui pada pascapartum hari ke17 (bowes,
1991).
follicle-
stimulating hormone (FSH) terbukti sama pada wanita yang menyusui dan tidak menyusui, disimpulkan
ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat (Bowes, 1991).
Pada wanita tidak menyusui, ovulasi terjadi dini, yakni da;lam 27 hari setelah melahirkan, dengan waktu rata-rata
70-75 hari. Pada wanita menyusui, waktu rata-rata terjadinya ovulasi sekitar 90 hari (Bowes, 1991). Diantara yang
menyusui, 15% mengalami menstruasi dalam 6 minggu dan 45% dalam 12 minggu. Diantara wanita yang tidak
menyusui, 40% mengalami menstruasi dalam 6 minggu, 65% dalam 12 minggu dan 90% dalam 24 minggu. Pada
wanita menyusui, 80% siklus menstruasi pertama tidak mengandung ovum (anovulatory). Pada wanita tidak
menyusui, 50% siklus pertama menstruasi tidak mengandung ovum (Scott dkk, 1990).
Sistem Urinarius
@ Komponen urin
Glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan menghilang. Laktosuria positif pada ibu menyusui merupakan hal
yang normal. BUN (Blood Urea Nitrogen) yang meningkat selama pascapartum merupakan akibat otolisis uterus
yang berinvolusi. Pemecahan kelebihan protein di dalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinurea ringan dan
( +1 ) selam satu atau dua hari setelah wanita melahirkan
@ Diuresis pascapartum
Dalam 12 jam setelah melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di jaringa selama ia
hamil, salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang teretensi selama masa hamil ialah diaforesis luas,
terutama pada malam hari selama 2 3 hari pertama setelah melahirkan. Diuresi pasca opartu, yang disebabkan
oleh penurunan kadar estrogen hilangnya, peningkatan tekanan vena pada tungkai bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah merupakan mekansime lain tubuh untuk megatasi kelebihan cairan
Sistem Pencernaan
@ Nafsu makan
Ibu biasanya lapar segera setelah melahirkan.stelah benar- benar pulih dari efek analgesia, anastesi dan keletihan
kebanykan ibu merasakan sangat lapar.
@ Motilitas
Secara khas, penurunan motlitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir,
kelebihan anastesi dan anlgesi bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal
@ Defekasi
BAB secara sponta bisa tertunda selama 2 3 hari setelah melahirkan. Ibu seringkali sudah mengelukan nyeri saat
defekasi karna nyeri yang dirasakannya di perineum akibat episotomi.
Sistem Kardiovaskuler
@ Volume darah
Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume
sebelum hamil, hipervolemia yang diakibatkan kehamilan ( peningkatan 40 % lebih dari volume tidak hamil dan
menyebabkan kebanyakan ibu bisa menoleransi kehilangan darah saat melahirkan, banyk ibu yang kehilangan 300
400 ml darah sewaktu melahirkan bayi tunggal pervaginam atau sekitar dua kali lipat pada saat operasi cesarea
@ Curah jantung
Denyut jantung, volume sekuncup dan curah jantung meningkat selama masa hamil, stelah melahirkan keadaan ini
meningkat lebih tinggi selama 30 60 menit karena darah biasanya melintasi uteroplasenta tiba tiba kembali ke
sirkulasi umum.
@ Tanda-tanda vital
Selama 24 jam pertama suhu dapat meningkat sampai 38 0 C sebagai akibat efek dehidrasi. Setelah 24 jam wanita
harus tidak demam. Denyut nadi tetap tinggi selam jam pertama setelah bayi lahir. Kemudian mulai menurun
dengan frekuensi yang tidak diketahuinya pada minggu kedelapan dan kesepuluh denyut nadi kembali ke frekuens
sebelum hamil.pernapasan harus berada dalam rentang normal sebelum melahirkan , tekanan darah sedikit
berubah atau menetap, hipotensi ortostatik dapat timbul dalam 48 jam pertama akibat pembengkakan limpa yang
terjadi.
@ Komponen darah
Selama 72 jam pertama volume plasma yang hilang lebih besar dari sel darah yang hilang dikaitkan
dengan
peningkatan hematokrit pada hari ke-3 sampai hari ke-7 post partum . selama sepuluh sampai 12 hari pertama
setelah bayi lahir nilai leukosit antara 20000 dan 25000 /ml 3. . keadaan hiperkoagulasi yang bisa diiringi kerusakan
pembuluh darah dan immobilisasi dan mengakibatkan peningkatan resiko tromboembolisme terutama setalah
wanita melahirkan secar sesar.
@ Varises
Varises Bahkan varises vulva akan mengecil dengan cepat setelah bayi lahir
Sistem Neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan adaptasi neurobiologis
disebabkan oleh trauma yang dialami wanita saat bersalin dan melahirkan, rasa tidak Nyman neurologist yang
diinduksi kehamilan akan menghilang setalah wanita melahirkan.
Sistem Muskuluskeletal
Adaptasi system musculoskeletal ibu yang terjadi slema masa hamil berlangsung secara terbalik selama masa
pasca partum adaptasi ini mencakup hal hal yang membantu relaksasii dan hipermobilitas sendi dan perubahan
pusat berat ibu akibat pembesaran rahim .
Sistem Integumen
Hiperpigmentasi di aeorola dan line nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir, kulit yang meregang pada
payudara , abdomen, paha dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya pada beberapa wanita
spider nevi mentap, rambut halus yang tumbuh dengan lebat pada wanita biasanya menghilang tapi rambut kasar
menetap. Diaforesis ialah perubahan yang paling jelas pada system, integument.
Sistem Kekebalan
isoimunisasi Rh ditetapkan.
1-2 jam
12 jam
1 cm bawah pusat
3 hari
9 hari
Tidak teraba
5-6 minggu
Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan abdomennya menonjol dan membuat wanita tersebut
tampak masih seperti hamil diperlukan sekitar 6 minggu untuk dinding abdomen kembali ke keadaan semula. Ada
keadan tertentu seperti bayi besar atau hamil kembar otot otot dinding abdomen memisah suatu keadaan yang
dinamai diatsasis rektiabdominis.
Payudara
@ Ibu menyusui
Sebelum laktasi dimulai payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan yakni kolostrum dikeluarkan. Stelah
laktasi payudara teraba hangat den keras ketika disentuh rasa nyeri akan menetap selam asekitar 28 jam.
misalnya antara orang tua dan anak saat pertama kali bertemu. Attachment terjadi pada periode kritis, pada
kelahiran atau adopsi. Hal ini menjelaskan suatu perasaan menyayangi atau loyalitas yang mengikat individu
dengan individu lain.
Menurut stainton (1983), ikatan ialah pertukaran perasaan karna adanya ketertarikan, respons, dan kepuasan dan
intetensitasnya bisa berubah bila keadaan berubah seiring dengan perjalanan waktu. Ikatan berkembnag dan
dipertahankan oleh kedekatan dan interaksi.Seperti halnya setiap proses perkembangan ikatan ditandai oleh
adanya periode kemajuan dan regresi dan bisa juga terhenti sementara atau permanent.
@ Sentuhan
Sentuhan atau indra peraba dipakai secara intensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk
mengenali bayi baru lahir. Begitu anak dekat dengan ibunya, mereka memulai proses eksplorasi dengan ujung
jarinya,salah satu daerah tubuh yang paling sensitive. Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka
dipunggung setelah menyusuinya. Bayi menepuk nepuk dada ibunya sewaktu meyusui.Ibu dan ayah ingin
menyentuh,mengangkat dan memeluk bayi mereka.
@ Kontak mata
Kesenagan untuk melakukan kontak mata diperlakukan berulang-ulang. Beberapa ibu berkata, begitu bayinya bisa
memandang mereka,mereka merasa lebih dekat dengan bayinya (Klaus,kennel,1982). Orang tua mengahbiskan
waktu yang lama untuk membuat bayinya membuka mata dan melihat mereka. ketika bayi baru lahir mampu
secara fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan mengguanakan lebih banyak waktu
untuk saling memandang seringa kali dalam posisi bertatapan.En face ialah suatu posisi dimana kedua wajah
terpisah kira-kira 20 cm pada bidang pandang yang sama.
@ Suara
Saling mendengar dan berespon suara antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan
pertama bayinya dengan tegang. Saat suara yang membuat mereka yakin bayinya dalam keadaan sehat terdengar,
mereka mulai melakukan tindakan utnuk menghibur.Sewaktu orang tua berbicara dengan suara bernada tinggi,
bayi menjadi tenag dan berpaling kearah mereka.
@ Aroma
Prilaku lain yang terjadi antara orang tua dan bayi
berkomentar terhadap aroma bayi mereka ketika baru lahir dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki aroma
yang unik (porter,cernoch,perry,1983). Bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibu
nya(stainton,1985).
@ Entrainment
Bayi baru lahit bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang dewasa (condon,sander,1974). Mereka
menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kaki, seperti sedang berdangsa mengikuti
nada suara orang tuannya.Hal in berarti bayi telah mengembangkan irama muncul akibat kebiasaan jauh sebelum
ia mampu berkomunikasi dengan kata-kata. Entariment terjadi saat anak mulai berbicara.
@ Bioritme
Anak yang belum lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya, misalnya pada denyut jantung.
Setelah lahir, bayi yang menangis, dapat ditenagkan dengan dipeluk dalam posisi sedemikian sehingga ia dapat
mendengar denyut jantung ibunya atau mendengar sura denyut jantung yang direkam. Salah satu tugas bayi ialah
membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberikan kasih saying
dengan konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan prolaku yang responsive.
pertama setelah melahirkan, ketergantunganm ibu menonjol. Pada waktu ini ibu
mengharapkan segala kebutuhanya dapat dipenuhi orang lain. Ibu memindahkan energi psikologisnya kepada
anaknya. Rubbin (1961) menetapkan periode beberapa hari ini sebagai fase menerima,( Taking-in phase) suatu
waktu dimana ibu baru memerlukan perlindungan dan perawatan. Fase dependen ialah suatu waktu yang penuh
kegembiraan dan kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya. Pemusatan analisis dan sikap yang
menerima pengalaman ini membnatu orang tua untuk berpindah kefase berikutnya. Beberapa oaring tua dapat
menganggap petugas atau ibu yang lain sebagai pendengarnya. Kecemasakan dan keasikan terhadap peran
barunya sering mempersempint lapang persepsi ibu oleh karena itu informasi yang diberikan pada waktu ini
mengkin perlu diulang.
@ Fase interdependent
Pada fase ini perilaku interdependent muncul ibu dan keluarganya maju sebagai suatu system dengan para
anggota saling berinteraksi. Hubungan antar pasangan, walaupun sudah berubah dengan adanya seorang anak,
kembali menunjukkan karakteristik awal. Fase interdependent ( letting go ) merupakan fase yang penuh stress
bagi orang tuanya. Kesenangean dan kebutuhan sering terbagi dalam amsa ini. Pria danm wanita harus
menyelesaikan efek dari perannya masing-masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina
karier. Suatu upaya khusus harus dilakuakn untuk memperkuat hubungan orang dewasa dengan orang dewasa
sebagai dasar kesatuan keluarga.
@ Penyesuaian Paternal
Para ahli melukiskan bebagai karakteristik engrossment.beberapa respon sensual, seperti sentuhan dan kontak
mata. Keinginan ayah untuk menemukan hal-hal yang unik maupun yang sama derngan dirinya merupakan
karakteristik lain yang berkaitan dengan kebutuhan ayah untuk merasakan bahwa bayi ini adalah miliknya. Respon
yang jelas ialah adanya daya tarik yang kuat dari bayi yang baru lahir.Menurut Henderson dan bruse (1991)
tentang pengalaman para ayah baru selama tiga minggu pertama kehidupan bayi menyatakan bahwa para ayah
baru menjalani tiga tahapa proses yaitu Tahap pertama meliputi pengalaman prakonsepsi yakni akan seperti apa
rasanya ketika membawa pulang
menjadi ayah baru .Beberapa ayah mulai menyadari bahwa harapan mereka sebelumnya tidak didasarkan pada
kenyataan. Perasaan sedih dan ragu sering sekali menyertai realitas. Tahap ketiga meliputi keputusan yang
dilakukan dengan sadar unutk mengontrol dan menjadi lebih aktif terlibat didalam kehidupan bayi mereka.
Usia
Masalah dan kekhawatiran ibu yang terkait dengan kelompok ibu yang berusia 35 tahun semakin banyak muncul
pada decade terakhir kali dimana pada usia ini para ibu sudah mengalami keletihan dan lelah merawat bayi .
dalam hal ini para ibu sangat membutuhkan kegiatan yang dapat membnatu ibu untuk memperoleh kembali
kekuatan tonus dan tonus otot (seperti latihan senam prenatal dan pascapartum)
Jaringan social
Primipara
dan
multipara
keterbatasan fisik
memiliki
kebutuhan
yang
berbeda.Multipara
lebih
realistis
terhadap
terhapat
dan mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya. Sedangkan primipara
membutuhkan dukungan dan tindak lanjut yang mencakup rujukan kebadan bantuan dalam masyarakat. Jaringan
social meningkatkan potensi pertumbuhan anak dan mencegah kekeliruan dalam memperlakukan anak.
Budaya
Kepercayaan dan praktek budaya menjadi determinan penting dalam prilaku orang tua. Kedua hal tersebut
mempengaruhi interaksi orang tua dengan bayi , demikian juga dengan orang tua atau keluarga yang mengasuh
bayi karna setiap orang memiliki kepercayaan terhadap budaya berbeda beda.
Aspirasi personal
Bagi beberapa wanita, menjadi orang tua mengganggu kebebasan pribadi dan kemajuan berkariernya kekecewaan
yang timbul akibat tidak mencapai kenaikan jabatan,kalo masalah ini tidak diselesaikan
hal tersebut
akan
berdampak pada cara mereka merawat dan mengasuh bayi dan bahkan mereka bisa menelantarkan bayinya
1.
2.
Tujuan:
melahirkan
c.
Alat-alat yg digunakan
Softex atau pembalut wanita yg bersiAir hangat atau cairan antiseptik (betadine yang diencerkan, sublimat,
Mencuci tangan
Perhatikan warna, bau dan banyaknya cairan di softek, sesuai dengan keadaan normal
Bersihkan perineum dengan menyiramnya dengan air hangat / antiseptik di bagian atas vulva
Keringkan area perineum dengan tissue atau handuk kecil kering dari depan ke belakang (pengusapan
berulang ulang dihindari untuk mencegah menyebarnya kuman dan menjaga kenyamanan)
Tempatkan softex mulai dari depan ke belakang (jangan sentuh permukaan softex yang akan menyentuh
ke perineum / genitalia) kemudian pasang celana.
SENAM NIFAS
Pengertian
Senam / gerakan yang dilakukan setelah melahirkan. Dilakukan segera setelah melahirkan sampai 7 minggu dan
dilakukan 2 kali dalam sehari
1.
Tujuan
2. Tarik nafas dalam dari hidung, usahakan rongga dada tetap dan rongga perut mengembang
3. Keluarkan udara perlahan lahan dengan menggunakan otot otot perut.
5.
B. TEHNIK MENYUSUI
1.
1. Manfaat menyusui dengan benar:
Nipple dimasukkan saat lidah mendorong ke belakang dan membawa areola ke mulut.
Bag bibir menjepit areola dan menghisap susu ke bagian akhir tenggorokan
Karet nipple botol masuk ke rahang atas sesuai pergerakan lidah. Lidah bergerak ke depan melawan bibir untuk
mengontrol aliran susu berlebih yang masuk ke esofagus.
1.
Setelah persalinan
Kasa steril
Handscoon
Cara pelaksanaan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ikat tali pusat dengan plastic disposable clamps atau benang kasa steril
Pengikatan dilakukan dengan kuat yang mana sebelumnya harus memakai handscoon, ikatan pertama 5
cm dari dinding perut ikatan kedua 2 cm dari pusat
Monitor ikatan tali pusat tiap 4 jam selama 48 jam
Rawat tali pusat dengan larutan aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )
Tutup tai pusat dengan kasa steril dan difiksasi dengan baik
Monitor balutan tali pusat, kulit sekitar umbilical diobservasi dari tanda infeksi
Perawatan sehari-hari
Kain kasa
Kapas lidi
Hanscoon
Cara pelaksanaan
Basahi kapas lidi dengan betadin atau alkohol 70 % dan usapkan pada tali pusat bayi
Celemek
Washlap 2 buah
Sabun
Shampo
Baby Oil
Bedak
Cottonbad
Baju
Baskom 2 buah : 1 untuk air hangat dan 1 untuk pakaian kotor
Memakai celemek
Usap kepala bayi dengan sampo, bersihkan kemudian keringkan dengan handuk
bagian leher.
-
Bersihkan seluruh badan bayi, pergelangan tangan, sela-sela jari, sela-sela kaki, punggung (balikkan bayi)
Bersihkan kembali dengan washlap, untuk bayi yang suster terlepas tali pusatnya, dibilas di air hangat di
dalam baskom.
-
Selimuti bayi
1.
E. PERAWATAN PAYUDARA
Tujuan :
1.
2.
3.
kapas lembab
handuk bersih
Cara kerja :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
-
popok bayi
Pengurutan/masase payudara :
Persiapan alat :
minyak kelapa 10 cc dl tempatnya ( hindari penggunaan baby oil, minyak kayu putih atau minyak
tawon
washlap 2 buah
tuple hudge
Cara kerja :
-
cuci tangan
satu tangan diletakkan di punggung dan satu handuk diletakkan di bawah payudara ibu atau daerah paha
payudara kiri diurut dengan tangan kiri dan payudara kanan ( jika ibu melakukan sendiri ).bila dilakukan
oleh perawat payudara kiri diurut dengan tangan kanan dan payudara kanan diurut dengan tangan kiri, dgn cara
pengurutan dari tengah berputar ke samping terus ke bawah, secara perlahan dan halus sambil mengobservasi ibu
dan pengeluaran ASI ( ada/tidak ) dilakukan 10 15 kali.
-
Tangan kiri menopang/menyangga payudara kiri . lakukan pengurutan dgn bagian pinggir telapak tangan
kanan mulai dari pangkal sampai aerola mammae. Selanjutnya tangan kanan menopang/menyangga payudara
kanan dan lakukan pengurutan dgn bag.pinggiran telapak tangan kiri muali pangkal sampai aerola mammae,
dilakukan 10-15 kali.posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10-15 kali.
-
Lakukan mandi dgn air hangat dgn menggunakan washlap ( satu washlap dimasukkan dalam air hangat,
peras ). Usap kedua payudara selanjutnya ganti dgn air dingin ( satu washlap masukkan dlm air dingin,
peras ).usap kedua payudara, lakukan 6-10 kali secara bergantian dan diakhiri dgn air dingin
-
Payudara dikeringkan /lap dgn menggunakan handuk yang berada pada bagian bawah payudara
Handuk di daerah punggung dan bawah payudara dilipat dan alat lain dibereskan
KONSEP KEPERAWATAN
1.
A. PENGKAJIAN
Merujuk pada catatan riwayat keperawatan pada masa prenatal dan intrapartal.
Melakukan pemeriksaan fisik dan pengkajian psikososial terhadap ibu, ayah dan anggota keluarga
Dari masa prenatal, kaji masalah kesehatan selama kehamilan yang pernah timbul, seperti: anemia,
hipertensi dalam kehamilan dan diabetes.
Kaji proses persalinan, lama dan jenis persalinan, kondisi selaput dan cairan ketuban, respon bayi
terhadap persalinan, obat-obatan yang digunakan, respon keluarga khususnya ayah pada persalinan dan kelahiran.
Dilakukan segera pada masa immediate postpartum, seperti: observasi tanda vital, keseimbangan cairan,
pencegahan kehilangan darah yang abnormal dan eliminai urin.
?
Biodata Klien
Biodata klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical Record,
Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian.
?
Keluhan Utama
Riwayat haid
Umur Menarche pertama kali, Lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid, hari pertama haid
terakhir, perkiraan tanggal partus.
?
Riwayat Perkawinan
Kehamilan ini merupakan hasil pernikahan ke berapa ? Apakah perkawinan sah atau tidak, atau tidak direstui orang
tua ?
?
Riwayat Obstetri
Riwayat Kehamilan
Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, Hasil Laboratorium : USG, Darah, Urine, keluhan selama kehamilan
termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan pengobatan yang diperoleh
-
Riwayat Persalinan
1.
Jumlah Gravida, jumlah partal, dan jumlah abortus, umur kehamilan saat bersalin, jenis persalinan, penolong
persalinan, BB bayi, kelainan fisik, kondisi anak saat ini.
1.
Pernah mengalami demam, keadaan lochia, kondisi perdarahan selama nifas, tingkat aktifitas setelah melahirkan,
keadaan perineal, abdominal, nyeri pada payudara, kesulitan eliminasi, keberhasilan pemberian ASI, respon dan
support keluarga.
1.
Kapan mulai timbulnya his, pembukaan, bloody show, kondisi ketuban, lama persalinan, dengan episiotomi atau
tidak, kondisi perineum dan jaringan sekitar vagina, dilakukan anastesi atau tidak, panjang tali pusat, lama
pengeluaran placenta, kelengkapan placenta, jumlah perdarahan.
1.
Apakah bayi lahir spontan atau dengan induksi/tindakan khusus, kondisi bayi saat lahir (langsung menangis atau
tidak), apakah membutuhkan resusitasi, nilai APGAR skor, Jenis kelamin Bayi, BB, panjang badan, kelainan
kongnital, apakah dilakukan bonding attatchment secara dini dengan ibunya, apakah langsung diberikan ASI atau
susu formula.
?
Kaji pengetahuan klien dan pasangannya tentang kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang pernah digunakan, kebutuhan
kontrasepsi yang akan datang atau rencana penambahan anggota keluarga dimasa mendatang.
?
Penyakit yang pernah diderita pada masa lalu, bagaimana cara pengobatan yang dijalani, dimana mendapat
pertolongan. Apakah penyakit tersebut diderita sampai saat ini atau kambuh berulang-ulang ?
?
Riwayat Psikososial-Kultural
Adaptasi psikologi ibu setelah melahirkan, pengalaman tentang melahirkan, apakah ibu pasif atau cerewet, atau
sangat kalm. Pola koping, hubungan dengan suami, hubungan dengan bayi, hubungan dengan anggota keluarga
lain, dukungan social dan pola komunikasi termasuk potensi keluarga untuk memberikan perawatan kepada klien.
Adakah
Blues
masalah
:
perkawinan,
Perasaan
sedih,
ketidak
mampuan
kelelahan,
merawat
kecemasan,
bayi
bingung
baru
dan
lahir,
krisis
mudah
keluarga.
menangis.
Depresi : Konsentrasi, minat, perasaan kesepian, ketidakamanan, berpikir obsesif, rendahnya emosi yang positif,
perasaan tidak berguna, kecemasan yang berlebihan pada dirinya atau bayinya, sering cemas saat hamil, bayi
rewel, perkawinan yang tidak bahagia, suasana hati yang tidak bahagia, kehilangan kontrol, perasaan bersalah,
merenungkan
tentang
kematian,
kesedihan
yang
berlebihan,
kehilangan
nafsu
makan,
insomnia,
sulit
berkonsentrasi.
Kultur yang dianut termasuk kegiatan ritual yang berhubungan dengan budaya pada perawatan post partum,
makanan atau minuman, menyendiri bila menyusui, pola seksual, kepercayaan dan keyakinan, harapan dan citacita.
?
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan secara genetic, menular, kelainan congenital
atau gangguan kejiwaan yang pernah diderita oleh keluarga.
Profil Keluarga
Kebutuhan informasi pada keluarga, dukungan orang terdekat, sibling, type rumah, community seeting,
penghasilan keluarga, hubungan social dan keterlibatan dalam kegiatan masyarakat.
?
Kebiasaan Sehari-Hari
1.
2.
3.
4.
5.
6.
a. Pola nutrisi : pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah, jenis makanan (Kalori, protein, vitamin,
tinggi serat), freguensi, konsumsi snack (makanan ringan), nafsu makan, pola minum, jumlah, frekuensi,
b. Pola istirahat dan tidur : Lamanya, kapan (malam, siang), rasa tidak nyaman yang mengganggu
istirahat, penggunaan selimut, lampu atau remang-remang atau gelap, apakah mudah terganggu dengan
suara-suara, posisi saat tidur (penekanan pada perineum).
c. Pola eliminasi : Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya infolunter
pengeluaran urin), hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass atau tidak atau retensi urine karena
rasa talut luka episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, freguensi, konsistensi, rasa takut BAB
karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet
d. Personal Hygiene : Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan pembalut dan kebersihan
genitalia, pola berpakaian, tatarias rambut dan wajah
e. Aktifitas : Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melahirkan, kemampuan merawat diri dan
melakukan eliminasi, kemampuan bekerja dan menyusui.
f. Rekreasi dan hiburan : Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat fresh dan
relaks.
Seksual
Bagaimana pola interaksi dan hubungan dengan pasangan meliputi freguensi koitus atau hubungan intim,
pengetahuan pasangan tentang seks, keyakinan, kesulitan melakukan seks, continuitas hubungan seksual.
Pengetahuan pasangan kapan dimulai hubungan intercourse pasca partum (dapat dilakukan setelah luka
episiotomy membaik dan lochia terhenti, biasanya pada akhir minggu ke 3). Bagaimana cara memulai hubungan
seksual berdasarkan pengalamannya, nilai yang dianut, fantasi dan emosi, apakah dimulai dengan bercumbu,
berciuman, ketawa, gestures, mannerism, dress, suara. Pada saat hubungan seks apakah menggunakan lubrikasi
untuk kenyamanan. Posisi saat koitus, kedalaman penetrasi penis. Perasaan ibu saat menyusui apakah
memberikan kepuasan seksual. Faktor-faktor pengganggu ekspresi seksual : bayi menangis, perubahan mood ibu,
gangguan tidur, frustasi yang disebabkan penurunan libido.
?
Konsep Diri
Sikap penerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui, persepsi ibu tentang tubuhnya terutama
perubahan-perubahan selama kehamilan, perasaan klien bila mengalami opresi SC karena CPD atau karena bentuk
tubuh yang pendek.
?
Peran
Pengetahuan ibu dan keluarga tentang peran menjadi orangtua dan tugas-tugas perkembangan kesehatan
keluarga, pengetahuan perubahan involusi uterus, perubahan fungsi blass dan bowel. Pengetahan tentang keadaan
umum bayi, tanda vital bayi, perubahan karakteristik faces bayi, kebutuhan emosional dan kenyamanan,
kebutuhan
minum,
perubahan
kulit.
Ketrampilan melakukan perawatan diri sendiri (nutrisi dan personal hyhiene, payu dara) dan kemampuan
melakukan perawatan bayi (perawatan tali pusat, menyusui, memandikan dan mengganti baju/popok bayi,
membina hubungan tali kasih, cara memfasilitasi hubungan bayi dengan ayah, dengan sibling dan kakak/nenek).
Keamanan bayi saat tidur, diperjalanan, mengeluarkan secret dan perawatan saat tersedak atau mengalami
gangguan ringan. Pencegahan infeksi dan jadwal imunisasi.
?
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
?
Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hemoglobin dan Hematokrit 12-24 jam post partum (jika Hb < 10 g% dibutuhkan suplemen FE),
1.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Gangguan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
persalinan dan proses kehamilan.
2.
Gangguan pola eliminasi buang air besar, berhubungan dengan rasa nyeri pada perineum dan
menurunnya peristaltik usus.
3.
Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.
4.
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan post partum.
5.
Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih
basah dan post partum.
6.
Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan
bayi.
7.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali melahirkan.
C. PERENCANAAN
1.
Perubahan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
kehamilan dan persalinan.
1)
2)
Kriteria : -
3)
Rencana Tindakan:
a)
b)
c)
4)
Rasional:
a)
b)
Rangsangan pada simphisis dengan air dingin dapat meningkatkan tonus otot spincter dan buli-buli.
c)
Gangguan pola eliminasi buang air besar berhubungan dengan rasa nyeri pada luka perineum dan dan
menurunnya peristaltik usus.
1)
2)
Kriteria
3)
Rencana Tindakan:
a)
b)
c)
d)
Berikan penyuluhan pada ibu untuk tidak takut buang air besar.
e)
4)
Rasional:
a)
b)
c)
d)
Rasa takut dapat mempengaruhi syaraf sympatis sehingga otot spincter menjadi lemah.
e)
1)
2)
Kriteria
b)
c)
d)
e)
f)
4). Rasional:
a)
Untuk mengetahui tingkat dan karakteristik nyeri, agar mempermudah memberikan intervensi yang tepat.
b)
Dengan posisi yang menyenangkan membuat klien merasa nyaman dan dapat beradaptasi dengan nyeri.
c)
d)
Menjelaskan kepada ibu tentang nyeri agar ibu dapat beradaptasi dengan nyeri.
e)
f)
1.
1)
2)
Kriteria :
3)
Rencana Tindakan:
a)
b)
c)
d)
e)
Beri pengetahuan pada ibu tentang ambulasi dini pada ibu nifas.
f)
g)
4)
Rasional:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih basah dan
post partum.
1)
Tujuan: Tidak terjadi infeksi pada luka perineum dan jalan lahir.
2)
Kriteria :
3)
Rencana Tindakan:
a)
b)
Rawat luka perineum setiap hari dengan teknik septik dan aseptik
c)
d)
e)
4)
Rasional:
a)
b)
c)
d)
Keadaan lokhia yang tidak normal menandakan adanya infeksi jalan lahir.
e)
Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan bayi.
1)
2)
Kriteria :
cukup
3)
Rencana tindakan:
a)
b)
c)
Beri penyuluhan kepada ibu agar memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya.
d)
Anjurkan kepada ibu agar menidurkan bayinya dalam dalam keadaan kenyang.
e)
Bila asi kurang, berikan susu tambahan pengganti asi sebanyak 30 cc/ 3 jam dengan sendok atau dok.
f)
4)
Rasional:
a)
b)
c)
Dengan memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya bayi akan tenang.
d)
e)
Pemberian air susu sebanyak 30 cc dan diperkirakan dalam 3 jam lambung sudah kosong.
f)
Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum aterm (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali lahir.
1)
2)
Kriteria
Pasien dapat menyebutkan saat yang tepat untuk melakukan hubungan suami istri post
partum.
-
3)
Rencana tindakan:
a)
b)
Beri HE kepada ibu bahaya melakukan hubungan suami istri selama dalam masa nifas.
c)
Beri penyuluhan kepada ibu tentang pentingnya pemeriksaan diri dan bayi secara berkala di rumah sakit/
puskesmas.
4)
Rasional:
a)
b)
Dengan melakukan hubungan suami istri selama masa nifas akan menyebabkan perdarahan yang banyak/
berat.
c) Pemeriksaan diri dan bayi secara berkala dapat mengetahui tingkat kesehatan ibu dan bayi.
1.
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada pasien. Kkegiatan ini
meliputi pelaksanaan rencana pelayanan keperawatan dan rencana pernyataan medis. Pada tahap perawat
menerapkan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan ilmu-ilmu keperawatan dan ilmu-ilmu keperawatan
lainnya yang terkait secara terintegrasi. Pada waktu perawat memberi pelayanan keperawatan, proses
pengumpulan dan analisa data berjalan terus menerus, guna perubahan atau penyesuaian tindakan keperawatan.
Beberapa faktor dapat dapat mempengaruhi pelaksanaan rencana pelayanan. Keperawatan antara lain sumbersumber yang ada, pekerjaan perawat serta lingkungan fisik untuk pelayanan keperawatan dilakukan.
Dalam pelaksanaan perawat melakukan fungsinya secara indefenden, defenden, dan interdefenden. Fungsi
indefenden yaitu perawat melakukan tindakan sendiri atas dasar inisiatif sendiri. Fungsi defenden yaitu fungsi
tambahan dilakukan untuk menjalankan program dari tim kesehatan lain. Fungsi interdefenden yaitu perawat
melakukan fungsi kolaborasi dengan pelaksanaan fungsi bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya.
1.
E. EVALUASI
1.
Periode post partum dini.
Tanda vital, keadaan luka episiotomi jika ada dan mencocokkan dengan parameter yang diharapkan.
Toleransi klien terhadap intake makanan, intake cairan dan keinginan klien mengenali makanan dan cairan.
Kemampuan klien untuk menunjukkan kesanggupan dalam perawatan diri sendiri dan perawatan bayinya.
1.
Klien memperlihatkan keingintahuan tentang pentingnya perawatan lanjutan bagi ibu serta bayinya.
Kemampuan klien untuk menentukan waktu untuk konsultasi dengan dokter, bidan/ perawat.
Respon klien dengan suami terhadap adanya perubahan pola aktifitas seksual serta perlunya menggunakan
Tanda vital, penurunan payudara, proses involutio dan penyembuhan luka episiotomi dibandingkan parameter
yang diharapkan.
-
Keluarga menyepakati penggunaan salah satu jenis kontrasepsi yang cocok bagi ibu.
LAPORAN KASUS
1.
a. Pengkajian
Pengumpulan Data
Identitas Klien
Nama : Ny.T
Umur
: 39 tahun
Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
-
Post partum hari ke dua. TFU simfisis pusat, berat uterus 500 gram, terjadi after pain pada saat ibu
pernah
Validasi Data
Data Subyektif :
Klien mengatakan terjadi after pain pada saat ibu menyusui bayinya. Klien pernah mengalami peradangan panggul
dan dispareunia
Data Obyektif :
Post partum hari ke dua. TFU simfisis pusat, berat uterus 500 gram, kondisi payudara bengkak dan terjadinya
bendungan ASI.
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.
Analisa data
NO
DATA
ETIOLOGI
MASALAH
DS :
Proses persalinan
Nyeri
DO :
-
Kontraksi Uterus
Ekspresi wajah meringis
DS :
2
Nyeri
NO
DATA
ETIOLOGI
MASALAH
Korteks cerebri
Nyeri di persepsikan
DS :
-
Klien
selama 2 hari
belum
BAB
Konstipasi
DO :
Konstipasi
DS : -
Nyeri
DO :
NO
DATA
ada
4.
ETIOLOGI
MASALAH
ASI/colostrum belum
Kondisi
bengkak
payudara Kurangnya
rangsangan
pituitary anterior prolaktin
Penimbunan
ASI
pada
Penimbunan ASI
DS :
-
DO :
-
5.
Proses persalinan
Lochia rubra.
DS :
Ibu mengatakan kalau
bias ini kehamilan yang
terakhir
NO
DATA
ETIOLOGI
Klien tidak
menjadi akseptor KB
MASALAH
DO :
Ketidaktahuan tentang KB
-
Umur 39 th G11P8A3
Kurang
pengetahuan
tentang KB
1.
b. Diagnosa Keperawatan
NO
1.
c. Perencanaan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN
INTERVENSI
RASIONAL
DS :
Klien
menge-luh nyeri
1.Kaji
tingkat 1.Agar dapat mengloka-si dan sifat inden-tifikasi
nyeri.
kebutuhan
perawatan dan pemberian
askep yang tepat.
tidak
Klien mengeluh
2.Perubahan tanda vital
nyeri
pada
daerah Ekspresi wajah
menunjukkan terjadinya
abdomen
cerah
2.Observasi
rangsangan nyeri
tanda-tanda vital
4.Berikan posisi
yang
nyaman
sesuai keinginan 5.Dengan mengetahui penyebab nyeri klien dapat
klien.
beradaptasi
5.Jelaskan penyebab
terjadinya 6.Untuk mengurangi rasa
nyeri dengan memblok
nyeri
infuls nyeri.
6.Penatalaksanaan
obat analgetilc
1.
Agar
dapat
mengidenti-fikasikan
kebutuhan
pera-watan
dan pemberian as-kep
1.Kaji tingkat, lo- yang tepat.
kasi dan sifat
2. Perubahan tanda vital
nyeri
menunjukkan terjadinya
rangsangan nyeri.
2.
3. Dapat menunjukkan
2.Observasi
trauma
tanda-tanda vital. ada-nya
Nyeri b/d terputusnya Nyeri
berlebihan/
komplikasi
kontinuitas
jaringan berkurang/hilang
yang
me-merlukan
aki-bat ruptur perineum dengan kriteria :
intervensi lebih lajut.
ditandai dengan :
1. Klien tidak 3.Observasi
menge-luh
keadaan
luka 4. Dapat mengurangi
DS :
nyeri
teka-nan langsung pada
perineum
2.
Ekspresi
peri-neum.
Klien mengeluh
wajah
ce-rah
nyeri pada perineum
3.
Tanda
vital
dalam batas
normal.
- Klien menyatakan
nyeri bila berjalan/
T: 110-120/80mmHg
beraktifitas.
5.
Meningkatkan
sirkulasi pada perineum,
N: 80 x /menit
DO :
4.Anjurkan untuk mening-katkan
duduk
dengan oksigenasi dan nutrisi
o
jaringan
Ekspresi wajah S : 36 37 C
otot
gluteal pada
menurunkan edema dan
meri-ngis
terkon-traksi
1. Luka kering
meningkatkan
Nampak
luka
5.Beri kompres penyembuhan.
heching pada perineum
panas
lembab
(rendam
duduk
antara 38oC s/d
Klien
istirahat
42oC selama 20 1. Dapat mengetahui
ditem-pat tidur.
menit setelah 24 adanya kelainan pada
jam pertama.
proses eliminasi klien
2. Dapat mempermudah
dalam pemberian inter1. Kaji pola elimi- vensi
nasi BAB klien
3. Dapat memperlancar
metabolisme dalam usus
sehingga eliminasi lancar
2. Kaji penyebab
konstipasi klien
Gangguan
eliminasi
BAB konstipasi b/d penurunan peristaltic usus
ditandai dengan :
DS :
Klien
bergerak
malas
4. Dapat merangsang
peris-taltic usus sehingga
3. Anjurkan klien BAB lancar.
untuk
makan
makanan
yang
berserat
4. Anjurkan klien
untuk melaku-kan 5. Akan merangsang dan
Eliminasi BAB terpe- kreaktifitas ringan mempercepat
proses
nuhi dengan criteria dan ber-tahap
defekasi.
3.
DO :
Peristaltic usus
kurang 3-4x/menit
- Klien lebih banyak
istirahat.
4.
anti septik
5.
Color
Dolor
Fungsilesia
- Vital Sign
T : 110/70 mmHg
S : 36.4 oC
N : 80 x /menit
D : 20 x /menit
Kurang
pengetahuan
ten-tang KB b/d kurang
informasi tentang KB
ditandai dengan
DS :
- Klien tidak pernah
menjadi akseptor KB.
DO :
Umur
G11P8A3
39
th,
6.
KONTRASEPSI TUBEKTOMI
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal. Sekarang, dengan alat-alat dan
teknik baru, tindakan ini di selenggarakan secaara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting dalam program keluarga
berencana di banyak Negara di dunia. Di Indonesia sejak tahun 1947 telah berdiri perkumpulan yang sekarang
bernama Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan metode dengan
operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam
program nasional keluarga berencana di Indonesia.
Keuntungan tubektomi ialah:
1.
2.
3.
Motivasi hanya dilakukan satu kali saja,sehingga tidak di perlukan motivasi berulang-ulang
Efektifitas hamper 100%
Tidak mempengaruhi libido seksualis
4.
Sehubungan dengan waktu melakukan metode dengan operasi, dapat dibedakan antara m.o postpartum dan m.o
dalam interval. Tubektomi postpartum dilakukan satu hari setelah partus.
Tindakan yang di lakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai tuba Fallopii terdiri atas pembedahan
transbdominal seperti laparatomi, mini laparatomi, laparaskopi; serta pembedahan transsevikal (trans-uterin),
seperti penutupan lumen tuba histeroskopik.
Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan bebagai macam tindakan operatif,
seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida, cara Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener tuba tidak
dipotong. Di samping cara-cara tersebut di atas, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi
tuba, penutupan tuba dengan
1.
2.
3.
Pada umur konperensi khusus Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di medan (3-5 Juni 1976)
dianjurkan pada umur antara 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut:
1.
2.
3.
Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak telah melebihi jumlah yang
diinginkan oleh pasangan itu.
Di bagian Obstetri/Ginekologi Fakultas Kedokteran USU/RSUPP Medan, berhubungan dengan tingginya angka
kematian perinatal dan bayi, serta pentingnya anak lelaki bagi beberapa suku di Sumatra Utara, di gunsksn rumus
120 yang disesuaikan dengan persyaratan sterilisasi sukarela. Dengan ini, syarat untuk sterilisasi ialah umur
wanita x jumlah anak hidup dengan paling sedikit 1 anak laki-laki, harus tidak kurang dari 120, dengan umur
wanita terendah 25 tahun. Rumus 120 tersebut, dewasa ini tidak begitu di pegang teguh lagi sehubungan dengan
beratnya tekanan pertumbuhan penduduk.
v Tindakan pendahuluan guna penutupan tuba
Laparatomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus guna tubektomi. Di sini penutupan tuba dijalankan
sebagai tindakan tambahan apabila wanita yang perlu dilakukan seksio sesarea, kadang-kadang tuba kanan dan
kiri ditutup apabila tidak diinginkan bahwa ia hamil lagi.
Laparatomi postpartum
Laparatomi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa waktu perawatan nifas sekaligus dapat
digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil
dekat fundus uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi lunar (bulan sabit)
di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang-lebih 3 cm dan penutupan tuba biasanya diselenggarakan
dengan cara Pomeroy.
Minilaporotomiomi
Laporotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan yang dibuat di garis tengah di atas simfisis sepanjang 3
cm sampai menembus peritoneum. Untuk mencapai tuba dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam
kavum uteri. Dengan bantuan alat ini uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak antarfleksi dahulu dan
kemudian didorong ke arah lubang sayatan. Kemudian, dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.
Laparaskopi
Mula-mula dipasangcunam serviks pada bibir depan porsio uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakan
uterus jika hal itu diperlukan pada waktu laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit
di bawah pusat sepanjang 1cm. Kemudian, di tempat luka tersebut dilakukan pungssi sampai rongga peritoneum
dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu pneumoperitoneum dengan memasukan CO 2 sebanyak
1 sampai 3 liter dengan kecepatan rata-rata 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum
Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan troika (dengan tabungnya). Sesudah itu, troikar diangkat dan
dimasukkan laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita diletakkan
dalam posisi Trendelenburg dan uterus digerakkan melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan
cuman yang masuk dalam rongga peritoneum besama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit dan dilakukan
penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau clip
Hulka. Berhubungan pada kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak
digunakan cara-cara lain.
Kuldoskopi
Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah speculum dimasukkan dan bibir
belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik ke luar dan agak ke atas, tampak kavum Douglasi mekar di antara
ligamentum sakro-uterinum kanan dan kiri sebagai tanda bahwa tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara masuk dan usus-usus terdorong ke rongga
perut. Setelah jarum diangkat, lubang diperbesar, sehingga dapat dimasukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan dengan cunam khusus tuba dijepit dan ditarik ke luar untuk dilakukan
penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope.
v Cara penutupan tuba
Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar
dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak
dapat diserap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotingan tuba. Sekarang cara Madlener tidak dilakukan lagi oleh
karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1% sampai 3%.
Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian tengah dari tuba sehingga
membentuk lipatan terbuka, kemudian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar itu
dipotong. Setelah benang pengikat diserap , maka ujung-ujung tuba akhirnya terpisah satu sama lain. Angka
kegagalan berkisar antara 0-0,4%.
Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat diserap, ujung proksimal dari tuba ditanamkan
ke dalam ligamentum latum.
Cara Aldrige
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-sama dengan fimbria ditanam
ke dalam ligamentum latum.
Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil (minilaparotomi) di atas simfisis pubis.
Kemudian di daerah ampulla tuba dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut mengembung. Lalu, di buat sayatan kecil di daerah yang
kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan
dijepit, diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di bawah serosa,
sedangkan ujung yang distal dibiarkan berada di luar serosa. Luka sayatan dijahit secara kantong tembakau.
Angka kegagalan cara ini adalah 0.
Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan benang sutera dibuat melalui bagian
mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini diikat dua kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba
sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong. Setelah pasti tidak ada pendarahan, maka
tuba dikembalikan kedalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecilnya kemungkinan kesalahan
mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19%.
{ Keuntungan Tubektomi
-
Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan)
Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risik kesehatan yang serius
Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium)
{ Keterbatasan Tubektomi
-
Harus dipertimbangkan sifat mantap metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali
dengan rekanalisasi
-
Dilakukan oleh dokter terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi untuk proses laparoskopi)
{ Isu-Isu Klien
-
Klien mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu sebelum prosedur ini
diperoleh dan
Paritas (jumlah anak) minimal 2 dengan umur anak terkecil > 2 thn
Hamil
{ Waktu dilakukan
-
Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien tidak hamil
ditanda-tangani
Pascapersalinan; minilap di dalam waktu 2 hari atau hingga 6 minggu atau 12 minggu, laparoskopi tidak
Pascakeguguran; Triwulan pertama (minilap atau laparoskopi), Triwulan kedua (minilap saja)
DAFTAR PUSTAKA
Bobak,dkk. 2004.
http://www.masbied.com/2011/03/14/asuhan-post-natal-care-nifas/