Anda di halaman 1dari 82

Retensi urin postpartum

Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau
sectio caesarea adalah retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM
Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah
dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio
caesarea.[1] Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin
postpartum pervaginam.[2]
Dr. Pribakti B. dari FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa
sepanjang tahun 2002-2003 terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%)
yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia
26-30 tahun dan paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi
pada pasien persalinan pervaginam, dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio
caesarea.[3],[4] Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).[5]
Definisi
Retensi urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan
pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih.
[6] Dr. Basuki Purnomo dari FK Unbraw mengatakan, bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan bulibuli (kandung kencing) untuk mengeluarkan urin yang telah melampaui batas maksimalnya. Pada ibu
melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat dilakukan enam jam setelah melahirkan
(partus). Namun apabila setelah enam jam tidak dapat berkemih, maka dikatakan sebagai retensi urin
postpartum.
Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan, bahwa retensi urin postpartum adalah ketidakmampuan
berkemih secara normal 24 jam setelah melahirkan (ischuria puerperalis). Adapun kepustakaan lain
mendefinisikan retensi urin postpartum sebagai tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter
menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 150 ml.

Retensi urin postpartum apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan sistitis, uremi, sepsis,
bahkan ruptur spontan vesika urinaria.

Patofisiologi
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh
efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot
detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya,
wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika
wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat
ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan
dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan
menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesika urinaria
tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan
cenderung berlangsung beberapa lama.

Etiologi

Penyebab retensi urin postpartum ada bermacam-macam, antara lain efek dari epidural anasthesia,
trauma intrapartum, refleks kejang sfingter uretra, hipotonia selama hamil dan nifas, peradangan,
psikogenik, dan umur yang tua.[7][8]
Diagnosis
Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada pasien, yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali
melalui anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat keluhan
seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing, serta kandung kemih berasa
penuh.
2. Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari datadata yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan metode
palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah suprasimfisis karena kandung
kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
3. Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium, radiologi
atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan
laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium paling sering digunakan kateter dan
uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume dan residu urin pada kandung kemih. Selain itu
juga dapat digunakan cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih
dan uretra. Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal
berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu sekira 200 ml. Apabila dari hasil
kateterisasi didapatkan volume/residu urin telah mendekati/melampaui batas normal, maka
pasien dinyatakan mengalami retensi urin.[9]
Daftar pustaka

[1] Kartono, Santoso BI, Junisaf. Thesis perbandingan penggunaan kateter menetap selama 6
dan 24 jam paska seksio sesaria dalam pencegahan retensi urin [thesis].Jakarta (ID):
Indonesia Univ.; 1998.
[2] Yip SK, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the postpartum period. Acta Obstet
Gynecol Scand 1997. p. 667-72.
[3] Pribakti B. Tinjauan Kasus Retensi Urin Postpartum di RSUD Ulin Banjarmasin (20022003). Dexa Media 2006.19(2):10-3.
[4] Pribakti B. Retensi Urin kronik Postpartum. Medika 2003.11(14):731-3
[5] Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidous urinary retention after vaginal delivery,
prevalence and symptoms at follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995;
38:51-3.
[6] Stanton SL. Clinical gynecologic urology. St. Louis (UK): Mosby; 1984.
[7] Jack AP, Paul CM, Norman FG. Williams Obstetric. 17th ed. Norwalk (CN): AppletonCentury_Crofts; 1985. p. 739.
[8] Kermit EK, Joseph DB, Morton AS, Howard WJ, William FG, Pamela JM, et al, editors. Lange: Current
Obstetri and Gynecology Diagnose and Treatment 1987. 6th ed. Norwalk (CN): Lange Medical
Publications; 1987. p. 218.
[9] Ralph CB, editors. Current Obstetic & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 3rd ed. Los Altos
(CA): Lange Medical Publications; 1980. p. 438

http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/retensi-urin-postpartum/

Pendahuluan
Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih
yang terjadi merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum.
Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada ibu.

Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea
adalah retensi urin post partum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat
17,1% kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang
dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk
kasus retensi urin postpartum pervaginam. Dr. Pribakti B. dari FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin
mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003 terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%)
yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun dan
paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi pada pasien persalinan pervaginam,
dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio caesarea. Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin
G. dkk (0.7%).

Anatomi
a.
Traktus
Urinarius
Bagian
Bawah
Kandung kemih merupakan suatu kantung muskulomembranosa tempat penampungan urin yang terbentuk dari empat
lapisan; serosa, muskuler, submukosa dan mukosa. Secara anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar
yaitu
detrusor
(dasar
kandung
kemih)
dan
trigonum
(badan
kandung
kemih).
Detrusor (lapisan muskuler) terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan satu dengan yang lainnya
sehingga merupakan suatu unit fungsional yang berfungsi dalam peregangan pasif (saat terdapat peningkatan tekanan
secara minimal) ataupun dalam kontraksi kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga
bertindak sebagai suatu sfingter fungsional. Trigonum merupakan area segitiga di bagian inferior kandung kemih yang
dibatasi di bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta di bagian inferior oleh orificium uretra internal. Trigonum
bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor; sementara trigonum superfisial merupakan kelanjutan dari
otot-otot
ureter.
Pada wanita, panjang uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan; mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan otot
terdiri dari dua lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang merupakan sambungan dari otot
kandung kemih dan membentuk sfingter uretra involunter. Di luar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang
berjalan
secara
sirkuler
pada
1/3
tengah
uretra.
b.
Sfingter
Uretra
Secara tradisional uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda, internal dan eksternal atau rhabdosphincter. Sfingter
internal bukanlah sfingter anatomis murni. Istilah tersebut ditujukan untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal,

dibentuk oleh susunan sirkuler jaringan ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan
suatu sfingter fungsional karena akan terjadi suatu peningkatan progresif tonus progresif seiring dengan pengisian kandung
kemih,
sehingga
tekanan
uretra
menjadi
lebih
besar
dari
tekanan
intravesikal.
Myers dan rekannya menyatakan bahwa sfingter uretra eksternal dari otot lurik tersebut tidak membentuk suatu pita yang
berjalan sirkuler tetapi mempunyai serabut yang berjalan ke atas menuju dasar kandung kemih. Sfingter ini bekerja di
bawah kontrol volunter dengan proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus
menerus
(steady)
dalam
uretra.
c.
Anatomi
Dasar
Panggul
Dasar panggul merupakan massa otot yang meliputi celah dasar tulang pelvis. DeLancey's membagi dasar panggul
menjadi
tiga
lapisan
utama
(dari
dalam
hingga
keluar)
:

endopelvic
fascia,

otot
levator
ani

dan
sfingter
anal
eksternal
serta lapisan keempat (otot genital eksternal) yang berhubungan dengan fungsi seksual. Otot-otot pelvis memegang
peranan penting dalam menyokong kandung kemih.Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter
(dan cepat pada satu waktu) tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong
organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan
membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Fascia,seperti
pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. Otot levator ani dapat dibagi
menjadi
4
regio
sesuai
dengan
lokasi
anatomisnya
:

pubococcygeus
(otot
pubovisceral),

iliococcygeus,

pubovaginalis

serta
puborectalis
puboanalis.
Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut
slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk
stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan
piriformis
d.
Struktur
dan
Fungsi
Mekanisme
Kontinen
pada
Wanita
Pada wanita, tiga faktor penting diperlukan dalam mempertahankan kontinen adalah :
1.

Sokongan dasar panggul (endopelvic fascia dan vagina bagian anterior) yang adekuat

2.

Fungsi sfingter yang baik

3.

Dipertahankannya posisi bagian proksimal uretra intra abdominal

Selama peningkatan tekanan intra abdominal, kontinen dipertahankan dengan adanya penekanan organorgan pelvis ke
bawah menuju endopelvic fascia, serta adanya distribusi peningkatan tekanan intraabdominal ke bagian proksimal uretra
intraabdominal. Epitelium uretra yang sensitif terhadap estrogen dipercayai juga membantu mempertahankan kontinensia
wanita
dengan
membentuk
lapisan
mukosa
yang
tebal.
e.
Neuroanatomi
Traktur
Urinarius
Bagian
Bawah
Persyarafan
traktus
urinarius
bagian
bawah
berasal
dari
tiga
sumber
:
1)
Sistim
syaraf
parasimpatis
(S2-S4)

n
pelvikus
2)
Sistim
syaraf
simpatis
(T11-L2)

n.
hipogastrikus
dan
rantai
simpatis
3)
Sistim
syaraf
somatis
atau
volunter
(S2-S4)

n.
pudendus
Sistim syaraf pusat mengintegrasikan kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari pontine memperantarai
relaksasi spinkter dan kontraksi detrusor secara sinkron; sementara lobus frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur
efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan urin dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor
terjadi karena inhibisi sistim syaraf pusat terhadap tonus parasimpatis, sementara itu penutupan spinkter dimediasi oleh
peningkatan refleks aktivitas alfa-adrenergik dan somatis. Pengeluaran urin terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi
oleh
sistem
syaraf
parasimpatis,
yang
disertai
dengan
relaksasi
sfingter.
f.
Neuroanatomi
Kandung
Kemih
Sistem
Eferen
Suplai syaraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral gray matter medulla
spinalis S2-S4. Eferen sakral keluar sebagai suatu serabut preganglionik di ventral roots dan berjalan melalui syaraf
pelvikus (nervi erigentes) ke ganglia dekat atau dalam otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kandung
kemih. Setelah impuls tiba di ganglia parasimpatis, impuls akan berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor
otot polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Syaraf simpatis eferen mempersyarafi kandung
kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11 L2 dan memberikan input inhibisi ke kandung kemih.

Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke sepanjang syaraf
postganglionik yang panjang dalam syaraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alpha dan beta adrenergik dalam
kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di kandung kemih dalam suatu
keadaan yang terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak di
bagian superior kandung kemih dan stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alpha adrenergik mempunyai
densitas yang lebih tinggi di dekat dasar kandung kemih dan uretra prostatik, sehingga stimulasinya akan menyebabkan
kontraksi
otot
polos
dan
meningkatkan
tahanan
outlet
kandung
kemih
dan
uretra
prostatik.
g.
Neuroanatomi
Kandung
Kemih
Sistem
Aferen
Syaraf-syaraf aferen yang penting untuk menstimulasi proses berkemih adalah syaraf-syaraf yang melewati medulla
spinalis bagian sakral melalui syaraf pelvikus. Syaraf aferen ini mencakup dua tipe yaitu serabut kecil bermielin (A-delta)
dan serabut tidak bermielin (serabut C). Serabut A delta berespon secara berjenjang terhadap distensi kandung kemih dan
hal ini penting untuk proses berkemih yang normal. Serabut C (silent fibers) tidak berespon terhadap distensi kandung
kemih sehingga tidak penting untuk proses berkemih normal, tetapi akan menampakkan firing spontan bila diaktivasi
melalui
rangsangan
iritasi
kimia
atau
suhu
dingin
pada
dinding
kandung
kemih.
h.
Persyarafan
Sfingter
Uretra
Sfingter uretra eksternal mempunyai persyarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat tertutup sesuai keinginan.
Syaraf somatik eferen berasal dari nukleus pudendal di segmen sakral (S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowiczs
nucleus (Onufs). Syaraf eferen ini lalu berjalan melalui syaraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di
sfingter uretra eksternal. Sfingter uretra internal bekerja di bawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai sejumlah
reseptor
alfa
simpatis,
yang
jika
distimulasi
akan
menyebabkan
timbulnya
kontraksi.
i.
Pengaruh
Susunan
Syaraf
Pusat
pada
Traktus
Urinarius
Bagian
Bawah
Fasilitasi dan inhibisi sistim syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson
menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistim syaraf yang
menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat menduga bahwa impuls
fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di anterior pons yang disebut dengan Barringtons center. Carlsson
memberikan bukti bahwa area mesencephalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan
aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barringtons center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter
lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih. Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral
pada proses berkemih adalah inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis
detrusor hyperreflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga
diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi otot lurik periuretral
dan pengosongan kandung kemih

http://e-infomu.com/berita-134-retensi-urine-post-partum.html

Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada


Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak
dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul
mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang
berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak
dapat dikendalikan akibat cedera saat melahirkan (Bobak, 2004:1024).
Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia
urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan
abnormalitas traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses
persalinan adalah retensi urine (Rahman, dkk., 2009).
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air
kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk
mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada
kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine
satu jam pertama sampai beberapa hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan
banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang
menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah
melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi
pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia (Lusa, 2010).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata
(Vitriana, 2002). International Consultation on Incontinence ( 2004 ) membagi klasifikasi inkontinensia
urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine
campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia
continua.(Santosa, 2009).
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine
stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai
keluhan

pelepasan

involunter

saat

melakukan

aktivitas, saat

bersin

dan

pada

waktu

batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)). Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan

intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk).
Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra
(Bobak, 2004:1024). Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu
postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga
dengan inkontinensia urine campuran (Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).
Menurut Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran kandung kemih
inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak
(2004) menyatakan, inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur leher kandung
kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan penting dalam mempertahankan tekanan
uretra ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada
keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra abdomen yang berfungsi
mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak
dapat ditahan sehingga terjadilah inkontinensia urine.
Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi
inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara
karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan,
populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian (Vitriana, 2002).
Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah
mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai
suatu yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan (Vitriana, 2002).
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15
tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi
meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%,
pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
(Adrianto P., 1991 : 175).
Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus
dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan
pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et
al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika

lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu
(1990) dalam Vitriana (2002))
Terapi inkontinensia urin secara dini dan rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik
dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan dasar
panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama masa
pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise merupakan saran utama dalam mengatasi
inkontinensia urine stres dan inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat fungsinya
sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.
Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling populer untuk
mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan
memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan
mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan
kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Kegel Exercise harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar panggul kembali
ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan
stres inkontinensia di kemudian hari. (Bobak, 1995).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar panggul untuk
mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu post partum dengan
inkontinensia urine menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot dasar
panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perawatan
latihan (menurun sekitar 20%) untuk melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin
sering dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk., 2009). Berdasarkan
penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang Asih Semarang tahun 2009 Kegel Exercise yang
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi inkontinensia
urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali menjadi 6,19 kali.
Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia
urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasKegel exercise terhadap
penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu post partum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah :
Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu
Post Partum di kecamatan Seberang Ulu I

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exerciseterhadap penurunan
kejadian Inkontinensia Urin di kecamatan Seberang Ulu I

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a.

Mengetahui karakteristik responden (umur, pendidikan, partus dan paritas)

b. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum intervensi dengan Kegel
Exercise
c.

Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise

d. Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang
diberikan intervensi Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi

D. Manfaat Penelitian
1.

Manfaat Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia
urine pada ibu postpartum.
2.

Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan


Dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya
keperawatan dalam menghadapi ibu postpartum dengan inkontinensia urine. Hasil penelitian dapat
digunakan sebagai data awal dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan
penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.

3.

Manfaat bagi Masyarakat (Ibu)


Dapat memperkenalkan suatu metode latihan postpartum (Kegel Exercise) sehingga lebih dapat
memberdayakan ibu dalam mengatasi kejadian inkontinensia urine setelah melahirkan.

F. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian pada area keperawatan maternitas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Bagian Bawah


Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli (kandung kemih) dan uretra yang keduanya harus
bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan
mengeluarkan (voiding) urine. Kandung kemih merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa, otot
polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra, berupa sfingter uretra
interna yang terdiri atas otot polos. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling)
atau penyimpanan, dan terbuka pada saat isis kandung kemih penuh dan saat miksi atau pengeluaran
(evecuating). Di sebelah distal dari uretra posterior terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot
bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah dari
korteks serebri.
Pada saat pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase pengeluaran urine terjadi
kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urine, kandung kemih mampu untuk melakukan akomodasi
yang meningkatkan volumenya dengan mempertahankan tekanannya dibawah 15 cm H 2O sampai
volumenya cukup besar. Sifat kandung kemih seperti ini disebut sebagai komplians kandung kemih
(bladder compliance).
Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih sehingga viskoelastisitas kandung kemih terganggu,
komplians kandung kemih menurun , yang berarti bahwa pengisian urine pada volume tertentu akan
menyebabkan kenaikan tekanan intravesika yang cukup besar (Purnomo, 2003)

B. Neurofisiologi Kandung Kemih dan Uretra


Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal
dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan
somatik. Serabut aferen dari dinding kandung kemih menerima impuls strech reseptor (reseptor
regangan) dari kandung kemih yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S 2-4 dan diteruskan
sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi kepada otak tentang
volume urine di dalam kandung kemih. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenai

sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus
menuju korda spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S 2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan
memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam
penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan
kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih
adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan
terbukanya sfingter uretra.
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T 10 L2) yang dibawa
oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra. Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang
letaknya berada di dalam kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik yang banyak terdapat
pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik yang banyak
terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi,
sedangkan pada menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu
menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik dan (2) kontraksi
sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik yang betujuan untuk mempertahankan
resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.
Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S 24

yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar

panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada
saat miksi.
Pada saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung kemih bertambah
besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch
reseptor yang berada di dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang
jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai
dirasakan oleh otak adanya urine yang mengisi kandung kemih.
Pada saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik yang
mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher kandung kemih), dan inhibisi sistem
parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul

keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor,
serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung
kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi
tekanan intrauterina.
Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada fase miksi.
Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di
dalam kandung kemih dan keluar melalui kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan
kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai terjadi retensi urine
(Purnomo, 2003).

C. Anatomi dan Fisiologi Dasar Panggul


Dasar panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas otot perineum, fascia dan
levator ani profunda, serta otot koksigeus (Eileen, 2009). Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang
memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk
oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis (Patrick H, (2002);
Loetan F, (2006); Gosling J, (1999); dan Callahan, (2004)).
Otot-otot dasar panggul memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih. Otototot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga
harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama
ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan
membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau
intrauretra. Fascia, seperti pelvic danendopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung
kemih. (Vitriana, 2002).
1. Otot Perineum Superfisial
Otot perineum superfisial terdiri atas serabut tipis kecil otot yang menyebar ke arah luar tulang
pelvis pada setiap sisi dari arah sentral tendinus korpus peritoneum. Korpus peritoneum merupakan
piramida otot dan jaringan fibrosa, letaknya antara vagina dan rektum. Bulbospongiosus melekat pada
korpus peritoneum di sekeliling vagina sampai ke klitoris. Iskiokavernosus melekat pada tuberositas

iskium dan klitoris. Otot perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai ke
korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal dan tertanam di bagian depan korpus
peritoneum serta melekatkan diri pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)

2. Levator Ani
Lapisan dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang terlindungi oleh fascia
pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini
terbagi dalam iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan
puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat
obliknya membentang pada sisi vagina yang bermuara ke korpus peritoneum.
Iskiokoksigeus merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian superior
dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai bagian levator ani, namun kerap pula
dianggap sebagai bagian yang terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta
membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus muncul dari fascia di atas
obturator internus dan spina iskia (Eileen, 2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator
ani (ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke
permukaan posterior dari ramus superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal
(Roger R M, 2003).
Serat puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum masuk ke bagian
korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan
sfingter anus eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan dirinya ke tulang koksik
dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007). Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya
melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum dan perineum,
membentuk sudut anorektal dan menutupi urogenital (Roger R M, 2003)
Serat pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator internal dan melekat
ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis
dan masuk ke garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).

Ruangan antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan rektum disebut
sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut
sebagai lempeng levator. Otot dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan
penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan
seksual (Roger R M, 2003).
Otot

levator

ani

dapat

dibagi

menjadi

regio

sesuai

dengan

lokasi

anatomisnya : pubococcygeus (otot pubovisceral), iliococcygeus, pubovaginalis sertapuborectalis dan pu


boanalis. Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini
terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural
sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat
dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis (Vitriana, 2002).

3. Fascia Dasar Panggul


Segitiga urogenital atau diafragma urogenital adalah dua lapisan fascia, mengisi ruang segitiga di
bawah simfisis pubis dan ramus pubis.Fascia ini terbelah pada bagian tengahnya untuk memberi ruang
bagi vagina dan uretra. Fascia ini juga membungkus levator ani. Fascia terdiri dari sedikit serabut otot,
disebut kompresor uretra dan peritoneum transversum profunda. Peritoneum transversum profunda
melekat pada korpus peritoneum, berfungsi membungkus dan menjadi perlekatan otot dan dapat sangat
tergang selama proses persalinan (Eileen, 2007)

4. Persyarafan
Otot-otot diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem persyarafan yang
berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan
inhibisi syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson
menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur

sistem syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de
Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di
anterior pons yang disebut dengan Barringtons Center. Carlson

memberikan bukti bahwa

area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas
detrusor dan sfingter. StimulasiBarringtons center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di
sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih.
Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam
inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis detrusor
hyperflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga
diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi
otot lurik periuretral dan pengosongan kandung kemih (Linsenmeyer TA and Stone JM., 1998; Steers WD
& Zorn BH., 1997).
5. Fungsi Gabungan Otot Dasar Panggul
a.

Membentuk dasar pintu atas panggul

b. Menjaga kestabilan panggul bersama dengan transversus abdominis


c.

Menyangga organ pelvis

d. Kontra-kerja perubahan pada tekanan abdomen yang disebabkan oleh aktivitas seperti batuk dan
mengangkat benda
e.

Membantu mempertahankan kontinensia

f.

Memfasilitasi berkemih, defekasi dan persalinan

g. Menghasilkan suatu terowongan yang dapat membantu rotasi kepala janin selama persalinan
h.

Peran penting dengan berhubungan dengan pasangan


Fungsi diatas hanya efisien jika otot tersebut dalam keadaan kuat. Kelemahan otot ini sebaliknya
dapat mengakibatkan inkontinensia urin dan prolaps uterus dan/atau dinding vagina (Eileen, 2007).
Menurut Loetan F (2006) dan Roger R M (2003), fungsi utama panggul adalah supportir, sfingterik dan
fungsi seksual.

B. Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata.
Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan
merupakan bagian yang normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan
peningkatan usia (Shelly B., 1999; Sapsford RR & Hodges PW., 2001; Berek JS., 1996 dalam Vitriana
2002).
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih dari
satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit.
Membedakan etiologi ini merupakan hal yang penting karena setiap kondisi memerlukan pendekatan
terapi yang berbeda (Choe Jm, dalam Vitriana 2002).
Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan inkontinensia urine. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh kelainan pada kandung kemih atau kelainan pada sfingter (uretra). Kelainan pada
kandung kemih dapat berupa overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung kemih. Kelainan
pada uretra dapat berupa hipermobilitas uretra dan defisiensi sfingter intrinsik. Kelainan yang berasal dari
kandung kemih menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar (outlet)
memberikan manfaat manifestasi berupa inkontinensia stress (Purnomo, 2003).

2. Klasifikasi Inkontinensia Urine


Menurut Resnick N M dan Yalla S V (1998); Tannenbaum C, Perrin L, Dubeau C, Kuchel G A
(2001) ; Steers W D, Zorn B H, (1997); Berek J S, (1996), inkontinensia urine terbagi menjadi 2,
yaitu : Transient Incontinence dan True Incontinence.
a. Transient Incontinence

Inkontinensia transien sering terjadi pada usila. Jenis inkontinesia ini mencakup sepertiga
kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani
rawat inap (Herzog dan Fultz, 1990). Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.
Diadaptasi dari After Du Beau, Resnick, N.M : Evaluation of the causes and severity of geriatric
incontinence. Urol Clin Nort Am 1991; 18(2):243-256 didapatkan bahwa DIAPPERS merupakan
kepanjangan dari Delirium / confusional state,Infectionurinary (symptomatic), Atrophic urethritis /
vaginitis, Pharmaceuticals,Psychological, Excessive urine output (cardiac, DM), Restricted mobility,
dan Stool impaction.

1) Delirium
Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit
yang bersifat akut (contohnya karena infeksi), kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan
mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan manajemen medis dalam
mengatasinya dibandingkan dengan manajemen kandung kemih (Resnick, 1988)

2) Infeksi traktus urinarius (Infection-Urinary)


Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritisdapat menyebabkan iritasi
kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang mengakibatkan seorang usila tidak
mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang
banyak terjadi pada usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bisa saja bukan etiologi
inkontinensia, tetapi banyak dokter yang akan menterapi ini dengan antibiotika walaupun hal tersebut
tidak didukung oleh bukti penelitian. (Boscia et al., 1986; Resnick, 1988).

3) Atrophic vaginitis (Atrophic Uretritis)

Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar
di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence.
Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral (0,3 0,6 mg
conjugated estrogen/hari) atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu,
walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang (Semmens et al., 1985).

4) Obat-obatan (Pharmaceutical)
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada usila. Obat-obatan seperti diuretik
akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat
menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat
menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif,
seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkanconfusion dan inkontinensia sekunder,
terutama pada usila. Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas
dan menimbulkan diuresis. Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya
tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga
menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang
menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan
meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan ini sering
bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers, yang sering
dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan
menyebabkan stress incontinence.

5) Psikologis (Psychological)
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal ini
jarang terjadi pada orang usila dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan dapat
menyebabkan pasien mengalami kebocoran urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi
dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada

gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka
harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.

6) Output Urin yang Berlebihan (Excessive urine output)


Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman
berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan
suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi urin hingga 10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan overflow
incontinence. Kondisi hipertiroid dapat menginduksi kandung kemih menjadioveractive, sehingga
menimbulkan kondisi urge incontinence. Disamping itu, kondisi hipotiroidism dapat menyebabkan
kandung kemih hipotoni dan menimbulkan overflow incontinence.

7) Mobilitas yang terbatas (Restricted mobility)


Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada usila. Keterbatasan mobilitas ini
dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik, stenosis spinal,
gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial, claudication, perasaan takut
jatuh, stroke, masalah kaki atau ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pemeriksaan yang cermat
sering mendapatkan bahwa hal ini sebetulnya merupakan penyebab yang dapat dikoreksi. Jika tidak
dapat dilakukan koreksi, maka pola miksi di samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini.

8) Impaksi feses (Stool impaction)


Diimplikasikan sebagai penyebab inkontinensia urin hampir lebih dari 10% pasien yang dirujuk ke
klinik inkontinensia (Resnick, 1988). Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan
syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi
urine dan overflow incontinence.

b. True Incontinence / Established Incontinence


Jika

kebocoran

menetap

setelah

penyebab

inkontinensia

transien

dihilangkan,

perlu

dipertimbangkan penyebab inkontinensia yang berasal dari traktus urinarius bagian bawah.
True incontinence dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi :
1) Stress incontinence
Genuine stress incontinence (GSI) terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum
uretra tanpa disertai aktivitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan intra abdominal. Peningkatan
tekanan intra abdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin, tertawa dan aktivitas fisik tertentu (contoh :
mengedan).
GSI dapat terjadi karena penurunan leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya
tahanan uretra atau keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah didefinisikan sebagai suatu
kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cm H2O atau Valsava leak pressure kurang dari
60cm H2O.

2) Overflow incontinence
Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi secara berlebihan hingga ke titik dimana
tekanan intravesikal melebihi tahanan uretra (tahananoutlet), tetapi tanpa disertai dengan adanya
aktivitas detrusor atau relaksasioutlet. Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu :
a)

Obstruksi outlet kandung kemih contoh Benign Prostat Hyperplasia pada pria, stenosis uretra pada
wanita,

kontraktur

leher

kandung

kemih,

pasca

operasi

anti

inkontinen

seperti pubovaginal

sling atau bladder neck suspension.


b)

Kandung kemih atoni seperti pada diabetic autoneuropathy, spinal cord trauma, herniated lumbar disc,
peripheral neuropathy.

Sulit untuk membedakan antara 2 etiologi tersebut diatas (terutama pada usila dengan diabetik
yang disertai dengan pembesaran prostat) akan tetapi pemeriksaan Pressure-Flow Study (PFS) akan
menampakkan bentuk high pressure-low flow untuk obstruksi prostatik dan low pressure-low flow untuk
atonia kandung kemih. Riwayat klasik untuk kondisi ini adalah adanya nocturnal enuresis. Terkadang
pasien merasakan hal tersebut sebagai stress incontinence. Kecurigaan akan kondisi ini didasarkan
pada penemuan adanya kandung kemih yang berdistensi pada pemeriksaan abdominal dan PVR yang
besar.

3) Urge incontinence
Tipe inkontinensia ini ditandai dengan adanya keinginan berkemih yang kuat secara mendadak
tetapi disertai dengan ketidakmampuan untuk menghambat refleks miksi, sehingga pasien tidak mampu
mencapai toilet pada waktunya. Riwayat kondisi ini khas dengan adanya gejala overactive
bladder(frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi, seperti cuaca dingin,
situasi yang menekan, suara air mengalir. Urge incontinence dapat disebabkan oleh karena detrusor
myopathy, neuropathy atau kombinasi dari keduanya. Bila penyebabnya tidak diketahui maka disebut
dengan idiopathic urge incontinence.

4) Reflex incontinence
Hilangnya inhibisi sentral dari jaras aferen atau eferen antara otak dansacral spinal cord. Kondisi
ini terjadi sebagai akibat kelainan neurologis susunan syaraf pusat. Merupakan suatu bentuk
inkontinensia dengan keluarnya urin (kontraksi detrusor involunter) tanpa suatu bentuk peringatan atau
rasa penuh (sensasi urgensi). Biasanya terjadi pada pasien stroke, Parkinson, tumor otak, SCI atau
multiple sclerosis. Adanya relaksasi uretra yang tidak tepat atau beberapa bentuk abnormalitas sfingter
diduga merupakan penyebab terjadinya hal ini.

5) Mixed Incontinence

Merupakan inkontinensia urin kombinasi antara stress dan urge incontinence. Pada kondisi ini
outlet kandung kemih lemah dan detrusor bersifatoveractive. Jadi pasien akan mengeluhkan adanya
keluarnya urin saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal disertai dengan keinginan kuat untuk
berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor.
Salah satu contoh klasik keadaan ini tampak pada pasien meningomyelocele disertai dengan leher
kandung kemih yang inkompeten dan detrusor hyperreflexic. Terapinya sama dengan terapi urge
incontinence.

6) Total incontinence
Kondisi ini terjadi pada dua situasi :
a)

Saat terdapat bnormalitas kongenital traktus urinarius bagian bawah, contoh : insersi ureter ektopik
dibawah sfingter eksternal. Pasien mengeluhkan adanya dribbling urin secara terus menerus.

b) Pasca operasi (lebih sering) contoh vagino-vesical fistula, pasca TURP, pasca prostactetomy radikal.
Terjadi kebocoran terus menerus dan kandung kemih tidak lagi mampu untuk melakukan fungsi
penyimpanan.

3. Inkontinensia Urine pada Ibu Postpartum


Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi
keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul
serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot,
ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif
akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi
dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin. Persalinan seperti
ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul (Eileen, 2007)
Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus organ
panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan

disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan
dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam (Eileen, 2007)
Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema
trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bilawanita pasca persalinan tidak dapat berkemih
dalam waktu 4 jam pasca persalinanmungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter
selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan
bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap
terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan
dapat berkemih seperti biasa. (Lusa, 2010)
Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga
menyebabkan hilangnya

peningkatan

tekanan

vena

pada

tingkat

bawah,

dan

hilangnya

peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi
kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengandiuresis pasca partum (Lusa, 2010).
Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin
pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi
dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan
penyebab potensial terhadap kejadian ini ( Handa et al, 1996; Volleys 1988; Morkved & Bo 1996; Chiarelli
& Cockburn, 1999; Persson et al, 2000). Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang
telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita
gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal (Wilson et al., 1996; Morkved
& Bo, 1999).
Marshal et al., (1996) menyatakan berdasarkan surveinya, sebanyak 59% dari wanita Irlandia
pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan fakta 80%
ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan elektromiografik
memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8 pascapartum (Allen et al.,
1990).
Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia urine stres.
Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan
intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu

mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih
terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri,
atau mengangkat benda berat (Purnomo, 2003).
Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan dasar panggul
(Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah terbukti mampu mengatasi
masalah inkontinensia urin (Kegel 1948; Bo 1995; Sleep 1987; Sampselle et al. 1996; Morkved & Bo
1996; Dougherty et al. 1989).
Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus
dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian
umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam
melakukan latihan dasar panggul (Bump et al., 1991).
Beberapa masalah umum yang munkgin menimbulkan gejala pascanatal adalah frekuensi, urgensi
dan prolaps. Setelah pengkajian, kondisi ini dapat berespons terhadap pelaksanaan latihan kandung
kemih, latihan dasar panggul dan elektroterapi serta harus dirujuk ke ahli fisioterapi kesehatan wanita.

C. Kegel Exercise
1. Definisi Kegel Exercise
Kegel Exercise atau biasa disebut latihan otot dasar panggul adalah latihan yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi sepenuhnya sesegera mungkin dan membantu mencegah masalah atau prolaps
urine jangka panjang. Senam dasar panggul harus dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk
mencegah hilangnya kendali kortikal pada otot-otot karena nyeri perineum dan cemas tentang kerusakan
jahitan (Stepherd, 1980). Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu diberi anestesi
epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat sakit, setelah persalinan yang
tidak terasa nyeri. Ibu pada saat ini memerlukan pereda nyeri untuk mencegah inhibisi kontraksi dasar
panggul, sleuruh ibu harus dimotivasi untuk menggerakkan otot dasar panggul sedikit dan sesering
mungkin, perlahan dan cepat, pada masa pascapartum dini. Pada pascalahir, ibu mungkin mengalami
kesulitan melakukan latihan dasar panggul, karena mekanisme peregangan yang ditimbulkannya pada
saat persalinan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang berasal dari perineum yang mengalami sutura

atau memar. Penenangan mungkin diperlukan ketika ia mungkin menemukan bahwa ia tidak dapat
mencapai jumlah kontraksi yang mampu dilakukannya pada antenatal.

2.Teknik Kegel Exercise


Kegel Exercise untuk mengatasi kejadian inkontinensia urin pada ibu postpertum dapat dilakukan
dengan cara :
a.

Kedutan Perlahan tipe I (Slow Twitch I)

1.

Mengencangkan anus seperti menahan defekasi.

2.

Mengerutkan uretra dan vagina seperti menahan berkemih.

3.

Tahan dengan kuat selama mungkin sampai 10 detik dengan tetap bernapas secara normal.

4.

Rileks dan istirahat selama 3 detik.

5.

Ulangi dengan perlahan sebanyak mungkin sampai maksimum 10 kali.

b. Kedutan Cepat tipe II (Fast Twitch II)


Setelah melakukan gerakan itu, ulangi senam dengan mengencangkan dan mengendurkan dengan lebih
cepat sampai 10 kali tanpa menahan kontraksi.

Untuk merencanakan senam dasar panggul secara mandiri, ingatlah lamanya dalam detik. Anda
dapat menahan kontraksi dan hitung berapa kali Anda dapat mengulang latihan sebelum otot menjadi
lelah. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah latihan sampai sebanyak 10 x 10, yang dialkukan dalam
beberapa minggu (Eileen, 2007)
Dengan

melatih

otot-otot

tersebut

secara

perlahan

dan

cepat,

baik

serat

ototyang

berkedut perlahan (tipe I) maupun berkedut cepat (tipe II) akan teraktivasi (Gippin et al., 1989). Prosedur
senam dasar panggul dapat diingat dan dilakukan bersama aktifitas yang berkaitan dengan bayi,

misalnya menyusui, memandikan membasuhnya. Aktifitas ini dapat dilakukan sambil ibu duduk di kamar
mandi setiap habis berkemih. Ini adalah posisi relaks untuk mengontraksi otot-otot tersebut. Sebuah
tanda pengingat untuk melakukan aktivitas ini, dapat ditempelkan di balik pintu kamar mandi rumah sakit.
Bila nyeri perineum membuat senam menjadi sulit dilakukan dalam posisi duduk, posisi lain yang dapat
dipakai adalah telungkup, atau berbaring miring dengan bantal diletakkan di antara kaki, atau berdiri
dengan kedua kaku direntangkan (Eileen, 2007)
Ibu harus dianjurkan untuk membebat area dasar panggul ketika batuk, tertawa, mengangkat,
atau jongkok. Ibu harus diberi tahu bahwa kondisi ini dapat berlangsung tiga bulan untuk memperoleh
kembali fungsi penuh dasar panggul. Namun, semua ibu dianjurkan untuk melanjutkan senam dasar
panggul secara teratur sepanjang hidup, agar terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari.
Mereka dapat menguji kekuatan fungsi otot-otot dasar panggul pada 8-12 minggu pascalahir, dengan
cara melompat dengan kondisi kandung kemih penuh dan batuk sekuat tenaga dua atau tiga kali saat
melakukan tindakan tersebut. Seharusnya tidak ada lagi urine yang menetes bila otot-otot teah mencapai
kekuatan dan fungsinya seperti semula. Bila saat pengujian terjadi penetesan, ibu sebaiknya dirujuk pada
ahli fisioterapi kesehatan wanita untuk mendapatkan terapi. Di beberapa tempat, ibu dapat merujuk
dirinya dalam 12 minggu persalinan, sebaliknya mereka memerlukan rujukan dari seorang dokter untuk
mendapatkan layanan ahli fisioterapi. Kehamilan berikutnya dianggap dapat membebani otot dasar
panggul karenanya tidak diperkenankan sampai rehabilitasi dasar panggul benar-benar pulih (Eileen,
2007).

3. Hal yang perlu diperhatikan :


a. Frekuensi
Sesering mungkin kapan pun mungkin sehingga menjadi kebiasaan. Gunakan ingatan misalnya
setelah setiap berkemih. Pengujian yang sangat jarang adalah dengan penghentian aliran tengah.

b. Saran
Berikut ini adalah saran dalam melakukan latihan ini , yaitu :

1)

Biasakan melakukan senam ini dimana saja dan kapan saja

2)

Hentikan aliran tengah berkemih hanya kadang-kadang

3)

Jangan menahan napas

4)

Jangan mengencangkan paha atau bokong

5)

Kontraksikan pertama secara perlahan, kemudian secara cepat

6)

Rujuk ke penasihat profesional jika perlu.

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

PENURUNAN KEJADIAN INKONTINENSIA URIN POSTPARTUM


A. Kerangka Konsep
KEGEL EXERCISE
(LATIHAN OTOT DASAR PANGGUL)
Terapi non medikamentosa:
Latihan Kandung Kemih
Berkemih Dini

Terapi Pembedahan :
Kolposuspensi retropubik
Prosedur Ambin Suburetra

Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti

3.9 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk
menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data
empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2007).
Jadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan perlakuan antara kelompok yang
mendapat intervensi mengenai Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi dalam penurunan
kejadian inkontinensia Urin.

3.10 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional berdasarkan karakteristik
yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentikan berdasarkan parameter yang
dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana variabel dapat
diukur dan ditentikan karakteristiknya (Hidayat, 2007).

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Variabel

Definisi
Operasion
al

Cara
Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala
Ukur

Suatu
latihan
post
partum
yang
bertujuan
untuk
melatih
otot dasar
panggul

Prosedu
r
tetapKe
gel
Exercise

Lembar
Observasi
(dalam bentuk
catatan
berkemih
harian)

1. Sebelum
melakukan Kegel
Exercise

Nomin
al

Suatu
proses
untuk
menurunka
n kejadian
pengeluara
n
urin
berlebih

Kuesion
er dan
lembar
Observa
si

Kuesioner(ses Terjadi penurunan


uai indikator keluhan inkontine
inkontinensia
nsia urin, yaitu:
urin)
1. Sulit
menahan
kencing
saat
berkemih

Variabel
bebas
Kegel
Exercise

2. Sesudah
melakukan Kegel
Exercise

Variabel
terikat
Penurunan
Kejadian
Inkontinen
sia urin
pada ibu
post
partum

Nomin
al

dikarenaka
n kerja otot
involunter.

2. Mengeluarkan
urin pada saat
tidak
ingin
berkemih
3. Kesulitan
memulai
berkemih

untuk

4. Mengompol pada
malam hari
5. Mengompol saat
batuk dan tertawa
6. Berkemih
[ada
malam hari > 4
kali
7. Berkemih
keluarnya
menetes
Karakteris
tik
Responde
n
Umur

Paritas

Usia
responden
saat
ini
berdasarka
n
ulang
tahun
terakhir

Wanita
yang dapat
melahirkan
bayi yang
lahir hidup

Pendidikan
formal
yang
terakhir
yang telah
responden

Kuesion
er

Mengisi
Kuesioner

Mengisi
Kuesioner
Kuesion
er

1. Tidak resiko
2. Resiko

Nomin
al

1. Primigravida
Multigravida

Mengisi

yang

Nomin
al

selesaikan.

kuesioner

Pendidikan

Dikelompokkan :
1. Pendidikan
rendah
SMP)

Kuesion
er
Jenis
pekerjaan
yang
ditekuni
responden
untuk
mendapatk
an
penghasila
n.

(SD,

Ordina
l

2. Pendidikan tinggi
(SMA, Sarjana)

1. Tidak bekerja
Mengisi
kuesioner

2. Bekerja
Swasta,
dll.)

(PNS,
ABRI,

Pekerjaan

Kuesion
er

Nomin
al

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Menurut Nursalam (2008), rancangan penelitian eksperimen semu (Quasy-experiment) adalah
rancangan penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan kedua kelompok ini
tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah
terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek telah
memiliki karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok itu berbeda,
mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena sejak awal kelompok awal sudah
berbeda.
Menurut Arikunto (2007), di dalam desain pre test dan post test group ini observasi dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum
eksperimen disebut pre test, dan observasi sesudah eksperimen disebut post test. Perbedaan antara pre
test dan post test diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. Kemudian dibandingkan
hasil post test antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan intervensi. Bentuk rancangan ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Subjek

Pra

Perlakuan

Pasca-tes

K-A

O1-A

K-B

O1-B

Time 1

Time 2

Time 3

Keterangan:
K-A

: Subjek (inkontinensia urine postpartum) perlakuan

K-B

: Subjek (inkontinensia urine postpartum) kontrol

: aktivitas lainnya (selain Kegel Exercise yang telah diprogramkan)

: observasi involusi uteri sebelum Kegel Exercise (kelompok perlakuan)

: Intervensi (Kegel Exercise)

O1(A+B) : observasi inkontinensia urine sesudah Kegel Exercise (kelompok perlakuan dan kontrol)

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Menurut Sastroasmoro & Ismail (1995), populasi dibedakan menjadi 2, yaitu : (1) Populasi target
dan (2) populasi terjangkau. Populasi target adalah populasi yang memenuhi kriteria sampling dan
menjadi sasaran akhir penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah populasi yang memenuhi
kriteria penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya.
Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di kecamatan
Seberang Ulu 1 yang mencakup wilayah kerja 5 Puskesmas, yaitu: (1) Puskesmas 1 ulu, (2) Puskesmas
4 ulu, (3) Puskesmas 7 ulu, (4) Puskesmas Pembina dan (5) Puskesmas OPI. Populasi terjangkau dalam
penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di daerah Puskesmas OPI dan
Puskesmas Pembina.
Peneliti memilih daerah ini berdasarkan data Dinkes kota Palembang tahun 2009 yang menyatakan
bahwa daerah dengan pelayanan nifas tertinggi di Palembang adalah daerah Seberang Ulu 1, yaitu
sebanyak 4.830 orang (131,9 %).

2. Sampel
Teknik

pengambil

sampel

peneliti

adalah non-probability

sampling, yaitu dengan

menggunakan teknik purposive sampling ( Nursalam, 2008). Purposive sampling adlaah suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan dikehendaki

peneliti (tujuan/masalah penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang
telah dikenal sebelumnya.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini :


a.

Ibu postpartum yang kooperatif bersedia untuk dijadikan sampel penelitian.

b. Ibu postpartum yang berada di kawasan puskesmas OPI Jakabaring dan puskesmas Pembina Plaju
c.

Ibu postpartum yang tidak lebih dari 12 bulan setelah melahirkan.

d. Ibu yang bisa membaca dan menulis.

Kriteria eksklusi:
a.

Ibu postpartum yang sakit.

b. Ibu postpartum yang baru melahirkan janin mati.


c.

Ibu postpartum yang baru menghadapi kuretase.

C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di kelurahan puskesmas OPI Jakabaring dan Puskesmas Pembina Plaju.
Pemilihan tempat penelitian ini dengan alasan untuk memudahkan peneliti mencari subyek penelitian
karena pada kelurahan puskesmas OPI dan puskesmas Pembina merupakan tempat dengan tingkat
pelayanan nifas yang tinggi.

D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal April Mei 2011 (selama 4 minggu)

Tabel 2. Tabel dari Instansi

E. Etika Penelitian
Penelitian ini juga memenuhi prinsip etik dan formulir informed consent yang diberikan pada pasien
sebelum dilakukan penelitian.
1. Prinsip etik
Hamid (2008) menyebutkan prinsip etik, meliputi: autonomy, non-maleficence, beneficence, dan
justice. Prinsip etik yang mendasari penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Autonomy
Autonomy adalah kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri. Subyek
penelitian diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan
penelitian secara suka rela dengan memberikan tanda tangan pada lembar informed consent. Tujuan,
manfaat, dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian dijelaskan, sebelum pasien
memberikan persetujuan. Subyek penelitian juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat
penelitian. Artinya melalui etika penelitian ini peneliti akan melakukan kontrak terlebih dahulu kepada
responden sebelum melakukan perlakuan.

b. Non-maleficence
Non-maleficence adalah tidak melukai dan tidak menimbulkan bahaya atau cidera bagi orang
lain. Subyek penelitian diupayakan bebas dari rasa tidak nyaman sebelum, selama, dan sesudah
prosedur tindakan dilakukan.
Sebelum dilakukan Kegel Exercise, peneliti berusaha untuk memberikan penjelasan kepada
responden tentang cara kerja Kegel Exercise dan mempersiapkan ibu pada posisi yang baik agar
sewaktu melakukan Kegel Exercise, ibu merasa nyaman. Selama melakukan Kegel Exercise, peneliti
mengajarkan tindakan sesuai dengan standar prosedur Kegel Exercise dan memperhatikan serta

menanyakan perasaan ibu. Setelah melakukan Kegel Exercise selama 1 minggu, peneliti melakukan
observasi terhadap keadaan ibu setelah melakukan Kegel Exercise.

c. Beneficence
Beneficence adalah prinsip untuk melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain
(Suhaemi, 2004). Pada penelitian ini saat melakukan tindakanKegel Exercise pada ibu post partum,
peneliti melakukan tindakan penelitian yang sesuai dengan standar prosedur operasional tindakan Kegel
Exercise agar tidak menimbulkan kesalahan selama proses Kegel Exercise sehingga tidak menimbulkan
masalah baru pada ibu post partum tersebut.

d. Justice
Justice adalah prinsip moral berlaku adil untuk semua individu (Suhaemi, 2004). Penelitian ini
tidak melakukan diskriminasi pada kriteria yang tidak relevan saat memilih subyek penelitian, namun
berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Subyek penelitian juga
memiliki peluang yang sama untuk dikelompokkan pada intervensi yang dilakukan dalam penelitian,
artinya setiap responden memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tindakan yang sesuai dengan
standar operasional Kegel Exercise tanpa mengabaikan nilai moral yang berlaku di setiap daerah di
mana responden tinggal.
Informasi yang diperoleh dari pasien dirahasiakan dan anonymity(membuat data responden
dengan inisial saja tidak menuliskan nama lengkapnya) subyek juga dijaga dengan ketat. Selain itu
proses Kegel Exercise dilakukan dengan menjaga privasi dari setiap responden. Kegel Exercise biasanya
dilakukan ditempat yang membuat responden nyaman dan tidak merasa terganggu dengan adanya
responden yang lain.

2. Informed consent

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan subyek penelitian setelah diberikan
informasi yang lengkap tentang penelitian. Persetujuan telah diberikan saat pasien telah menandatangani
lembar persetujuan (informed consent). Informed consentpada penelitian ini berdasarkan kriteria yang
dibuat Portney dan Watkins (2000) yang memuat hal-hal sebagai berikut:
b. Subyek penelitian mengetahui sepenuhnya informasi tentang penelitian, efek samping maupun
keuntungan yang diperoleh subyek penelitian.
c.

Lembar persetujuan (informed consent) menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

d. Peneliti menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian pada saat kapan saja.
e.

Persetujuan diberikan dengan sukarela dan tidak ada sanksi apapun jika subyek menolak untuk
berpartisipasi dalam penelitian.

f.

Mempertimbangkan kemampuan subyek untuk memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran.

g. Subyek penelitian dapat mengundurkan diri dari penelitian pada saat kapan saja dengan alasan apa saja
F. Alat Pengumpulan Data
1. Identitas pasien
Status pasien merupakan deskripsi subyek penelitian dan karakteristik ASI pada ibu menyusui.
Deskripsi subyek meliputi : umur, partus, paritas dan pendidikan. Karakteristik Inkontinensia urin pada ibu
post partum adalah : sulit menahan kencing saat berkemih, mengeluarkan urin pada saaat tidak ingin
berkemih, kesulitan untuk memulai berkemih, mengompol pada malam hari, mengompol pada saat batuk
dan tertawa, berkemih pada malam hari > 4 kali, dan berkemih yang keluarnya menetes (Nursalam,
2008)

2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian mengunakan lembar observasi yang berisi pertanyaan yang ditanyakan dan
diamati. Lembar observasi yang diajukan berisikan identitas responden dan pertanyaan yang akan diisi

ibu setiap harinya dan akan dipantau pada saat peneliti berkunjung kembali ke rumah ibu. Lembar
observasi ini terdiri dari 3 pertanyaan seputar rutinitas Kegel Exercise yang dilakukan ibu di rumah.
Kuesioner diberikan pada saat sebelum dan sesudah tindakan Kegel Exercise yang diberi
pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Responden diminta memilih jawaban yang dianggap
benar kemudian akan dihitung frekuensinya dengan menggunakan sistem komputerisasi. Kuesioner yang
digunakan adalah jenisdichotomy question

Asuhan Post Natal Care (Nifas)


Ditulis pada 14 March 2011
KAJIAN TEORI
Pengertian
Masa post partum (nifas) adalah masa sejak melahirkan sampai pulihnya alat-alat reproduksi & anggota tubuh
lainnya yg berlangsung sampai sekitar 40 hari (KBBI, 1990).
Masa nifas atau puerperium adalah masa setelah partus selesai sampai pulihnya kembali alat-alat kandungan
seperti sebelum hamil. Lamanya masa nifas ini yaitu kira-kira 6-8 minggu.
Pembagian masa nifas dalam 3 periode:
1.)

Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam Agama

Islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja dalan 40 hari.


2.)

Peurperium intermedial : yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia eksterna dan interna yang lamanya

kurang lebih 6-8 minggu.


3.)

Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama

hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi.


Periode pasca partum ialah masa enam minggu setelah bayi lahir sampai organ reproduksi kembali ke keadaan
normal sebelum hamil . Periode ini kadang disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan.

Immediate

post partum > Berlangsung dlm 24 jam pertama, Early post partum>Berlangsung
minggu pertama, Late post partum > Berlangsung sampai masa post partum berakhir

sampai

Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas , walaupun dianggap normal dimana proses-proses pada kehamilan
berjalan terbalik. Banyak faktor, termasuk tingkat energi dan tingkat kenyamanan ,kesehatan bayi baru lahir dan
perawatan serta dorongan yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional ikut mementuk respon ibu terhadap
bayinya selama masa ini. Untuk memberi perawatan yang menguntungkan ibu , bayi dan keluarganya, seorang
perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan fisiologi ibu pada proses pemulihan ,
karakteristik fisik dan prilaku bayi baru lahir dan respon keluarga terhadap kelahiran seorang anak.
PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA PERIODE PASCAPARTUM

Sistem Reproduksi
@ Uterus

Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera
setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Sedangkan subinvolusi adalah penggagalan uterus
untuk kembali pada keadaan tidak hamil. Penyebab subinvolusi yang paling sering adalah tertahannya fragmen
plasenta dan infeksi.
Pada akhir tahap ketiga persalinan besar uterus sama dengan sewaktu usia kehamilan 16 minggu yaitu 1000g.
dalam waktu 12 jam, tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilicus. Fundus turun kira-kira 1-2 cm
tiap 24 jam. Pada hari ke enam pascapartum fundus normal berada di pertengahan umbilicus dan simfisis. Dan
tidak bisa dipalpasi pada abdomen dihari ke sembilan. Setelah 1 minggu melahirkan uterus berada di dalam
panggul sejati dan berinvolusi menjadi kira-kira 500 g dan 350 g dua minggu setelah melahirkan. Pada masa pasca
partum penurunan kadar hormone ekstrogen dan progesterone menyebabkan terjadinya autolisis, perusakan
secara langsung jaringan hipertrofi yang berlebihan.

Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon
terhadap penurunan volume intra uteri yang sangat besar. Selama 1-2 jam pertama pasca partum intensitas
kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus
pada masa ini, sehingga biasanya diberikan suntikan oksitosin segera setelah plasenta lahir. Ibu yang
merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan membiarkan bayinya di payudara karena isapan bayi pada payudara
merangsang pelepasan oksitosin.

Afterpains
Rasa nyeri menjadi lebih nyata setelah ibu melahirkan, di tempat uterus terlalu teregang. Menyusui dan oksitosin
tambahan biasanya meningkatkan nyeri karena keduanya merangsang kontraksi uterus.

Tempat plasenta
Regenerasi endometrium selesai pada akhir minggu ke 3 pasca partum, kecuali pada bekas tempat plasenta.
Regenerasi pada tempat ini biasanya tidak selesai sampai enam minggu setelah melahirkan.

Lokia
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir sering kali disebut lokia, mula-mula berwarna merah kemudian
berubah menjadi merah tua atau merah coklat. Lokia rubra pertama mengandung darah dan debrus desidua serta
debris trofob;lastik. Aliran menyembur menjadi merah muda atau coklat setelah 3-4 hari (lokia serosa). Lokia
serosa terdiri darah lama, serum, leukosit, dan debris jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi lahir warna cairan
menjadi kuning sampai putih (lokia alba).lokia alba mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mucus, serum, dan
bakteri.lokia alba bisa bertahan selama 2-6 minggu setelah bayi lahir.

Batas
waktu
Pengeluaran
Lochia sejak
normal
melahirka
n

Pengeluaran
normal

tidak

Hari 1-3

Darah
dengan
bekuan, bau amis, Byk
bekuan,
bau
meningkat
dengan busuk,
pembalut
bergerak,
meneteki penuh darah
dan peregangan

Serosa Hari 4-9

Pink
atau
coklat
dengan
konsistensi, Bau busuk, pembalut
serosanguineus, bau penuh darah
amis.

Alba

Bau busuk, pembalut


penuh darah, lochea
serosa
menetap,
Kuning putih, bau kembali
ke
amis
pengeluaran
pink
atau
merah,
pengeluaran
lebih
dari 2-3 minggu.

Rubra

Hari 10

@ Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam pasca partum serviks memendek dan konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.

@ Vagina dan perineum


Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam pengikisan mucosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina
yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil sampai 6-8 minggu setelah

bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada minggu ke empat. Pada awalnya introitus mengalami eritematosa dan
udematosa terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi. Tanda-tanda

infeksi (nyeri, merah, panas,

bengkak atau rabas). Atau tepian insisi tidak saling mendekat bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam
2-3 minggu. Hemoroid (varises anus) sering terjadi. Gejala yang sering dialami adalah seperti rasa gatal, tidak
Nyman dan perdarahan berwarna merah terang pada waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil
beberapa minggu setelah bayi lahir.

@ Topangan otot panggul


Jaringan penopang dasar panggul yang terobek atau teregang saat ibu melahirkan memerlukan waktu sampai
enam bulan untuk kembali ke tonus semula. Istilah relaksasi panggul berhubungan dengan pemanjangan dan
melemahnya topangan permukaan struktur panggul.

Sistem Endokrin
@ Hormon plasenta
Selama periode pascapartum terjadi perubahan hormone yang besar. Kadar estrogen dan progesterone menurun
secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar terndahnya dicapai kira-kira 1 minggu pascapartum. Penuruna
kadar estrogen berkaitan dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstrasellular yang berlebih yang
terakumulasi selama masa hamil. Pada wanita yang tidak menyusui kadar estrogen mulai meniongkat pada minggu
kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi daripada wanita yang menyusui pada pascapartum hari ke17 (bowes,
1991).

@ Hormone hipofisis dan fungsi ovarium


Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin
serum yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena kadar

follicle-

stimulating hormone (FSH) terbukti sama pada wanita yang menyusui dan tidak menyusui, disimpulkan
ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat (Bowes, 1991).
Pada wanita tidak menyusui, ovulasi terjadi dini, yakni da;lam 27 hari setelah melahirkan, dengan waktu rata-rata
70-75 hari. Pada wanita menyusui, waktu rata-rata terjadinya ovulasi sekitar 90 hari (Bowes, 1991). Diantara yang
menyusui, 15% mengalami menstruasi dalam 6 minggu dan 45% dalam 12 minggu. Diantara wanita yang tidak
menyusui, 40% mengalami menstruasi dalam 6 minggu, 65% dalam 12 minggu dan 90% dalam 24 minggu. Pada
wanita menyusui, 80% siklus menstruasi pertama tidak mengandung ovum (anovulatory). Pada wanita tidak
menyusui, 50% siklus pertama menstruasi tidak mengandung ovum (Scott dkk, 1990).

Sistem Urinarius
@ Komponen urin
Glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan menghilang. Laktosuria positif pada ibu menyusui merupakan hal
yang normal. BUN (Blood Urea Nitrogen) yang meningkat selama pascapartum merupakan akibat otolisis uterus
yang berinvolusi. Pemecahan kelebihan protein di dalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinurea ringan dan
( +1 ) selam satu atau dua hari setelah wanita melahirkan

@ Diuresis pascapartum
Dalam 12 jam setelah melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di jaringa selama ia
hamil, salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang teretensi selama masa hamil ialah diaforesis luas,
terutama pada malam hari selama 2 3 hari pertama setelah melahirkan. Diuresi pasca opartu, yang disebabkan
oleh penurunan kadar estrogen hilangnya, peningkatan tekanan vena pada tungkai bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah merupakan mekansime lain tubuh untuk megatasi kelebihan cairan

@ Uretra dan kandung kemih


Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses malahirkan yakni sewaktu bayi melewati jalan
lahir. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemi dan edema sering disertai dengan daerah daerah kecil
hemoragik.kombinasi trauma akibat kelahiran, peningkatan kapasitas kandung kemih setelah bayi lahir dan efek
konduksi anastesi menyebabkan keinginan untuk berkemih menurun selain itu rasa nyeri pada panggul yang timbul
akibat dorongan saat melahirkan , laserasi vagina atau episotomi juga menurunkan refleks bekemih pada masa
pasca partum tahap lanjut distensi berlebihan dapat mengakibatkan kandung kemih lebih peka terhadap infeksi
sehingga menganggu proses berkemih normal.

Sistem Pencernaan
@ Nafsu makan
Ibu biasanya lapar segera setelah melahirkan.stelah benar- benar pulih dari efek analgesia, anastesi dan keletihan
kebanykan ibu merasakan sangat lapar.

@ Motilitas
Secara khas, penurunan motlitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir,
kelebihan anastesi dan anlgesi bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal

@ Defekasi
BAB secara sponta bisa tertunda selama 2 3 hari setelah melahirkan. Ibu seringkali sudah mengelukan nyeri saat
defekasi karna nyeri yang dirasakannya di perineum akibat episotomi.

Sistem Kardiovaskuler
@ Volume darah
Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume
sebelum hamil, hipervolemia yang diakibatkan kehamilan ( peningkatan 40 % lebih dari volume tidak hamil dan
menyebabkan kebanyakan ibu bisa menoleransi kehilangan darah saat melahirkan, banyk ibu yang kehilangan 300
400 ml darah sewaktu melahirkan bayi tunggal pervaginam atau sekitar dua kali lipat pada saat operasi cesarea

@ Curah jantung

Denyut jantung, volume sekuncup dan curah jantung meningkat selama masa hamil, stelah melahirkan keadaan ini
meningkat lebih tinggi selama 30 60 menit karena darah biasanya melintasi uteroplasenta tiba tiba kembali ke
sirkulasi umum.

@ Tanda-tanda vital
Selama 24 jam pertama suhu dapat meningkat sampai 38 0 C sebagai akibat efek dehidrasi. Setelah 24 jam wanita
harus tidak demam. Denyut nadi tetap tinggi selam jam pertama setelah bayi lahir. Kemudian mulai menurun
dengan frekuensi yang tidak diketahuinya pada minggu kedelapan dan kesepuluh denyut nadi kembali ke frekuens
sebelum hamil.pernapasan harus berada dalam rentang normal sebelum melahirkan , tekanan darah sedikit
berubah atau menetap, hipotensi ortostatik dapat timbul dalam 48 jam pertama akibat pembengkakan limpa yang
terjadi.

@ Komponen darah
Selama 72 jam pertama volume plasma yang hilang lebih besar dari sel darah yang hilang dikaitkan

dengan

peningkatan hematokrit pada hari ke-3 sampai hari ke-7 post partum . selama sepuluh sampai 12 hari pertama
setelah bayi lahir nilai leukosit antara 20000 dan 25000 /ml 3. . keadaan hiperkoagulasi yang bisa diiringi kerusakan
pembuluh darah dan immobilisasi dan mengakibatkan peningkatan resiko tromboembolisme terutama setalah
wanita melahirkan secar sesar.

@ Varises
Varises Bahkan varises vulva akan mengecil dengan cepat setelah bayi lahir

Sistem Neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan adaptasi neurobiologis

yang terjdi saat wanita hamil dan

disebabkan oleh trauma yang dialami wanita saat bersalin dan melahirkan, rasa tidak Nyman neurologist yang
diinduksi kehamilan akan menghilang setalah wanita melahirkan.

Sistem Muskuluskeletal
Adaptasi system musculoskeletal ibu yang terjadi slema masa hamil berlangsung secara terbalik selama masa
pasca partum adaptasi ini mencakup hal hal yang membantu relaksasii dan hipermobilitas sendi dan perubahan
pusat berat ibu akibat pembesaran rahim .

Sistem Integumen
Hiperpigmentasi di aeorola dan line nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir, kulit yang meregang pada
payudara , abdomen, paha dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya pada beberapa wanita
spider nevi mentap, rambut halus yang tumbuh dengan lebat pada wanita biasanya menghilang tapi rambut kasar
menetap. Diaforesis ialah perubahan yang paling jelas pada system, integument.

Sistem Kekebalan

Kebutuhan ibu untuk mendapat vaksinasi rubella atau untuk mencegah

isoimunisasi Rh ditetapkan.

Waktu sejak melahirkan

Posisi fundus uteri

1-2 jam

Pertengahan, antara pusat-simfisis

12 jam

1 cm bawah pusat

3 hari

3 cm bawah pusat (terus menurun 1


cm/hari)

9 hari

Tidak teraba

5-6 minggu

Tdk teraba, sdkt lbh besar drpd


multipara

Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan abdomennya menonjol dan membuat wanita tersebut
tampak masih seperti hamil diperlukan sekitar 6 minggu untuk dinding abdomen kembali ke keadaan semula. Ada
keadan tertentu seperti bayi besar atau hamil kembar otot otot dinding abdomen memisah suatu keadaan yang
dinamai diatsasis rektiabdominis.

Payudara
@ Ibu menyusui
Sebelum laktasi dimulai payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan yakni kolostrum dikeluarkan. Stelah
laktasi payudara teraba hangat den keras ketika disentuh rasa nyeri akan menetap selam asekitar 28 jam.

@ Ibu tidak menyusui


Payudara ibu tidak menyusui biasa teraba nodular pada hari ke 3 dan ke- 4 bisa terjadi pembengkakan
( engorgement ). Distensi payudara terutama disebabkan oleh kongesti vena dan limfatik bukan akibat
penimbunan air susu. Pembengkanan dapat hilang dengan sendirinya dan rasa tidak nyaman berkurang dalam 24
36 jam.
PERUBAHAN PSIKOLOGIS PADA PASCAPARTUM

Perkenalan, ikatan dan kasih sayang dalam menjadi orangtua


Walaupun sudah banyak riset dilakukan untuk membuka tabir proses orangtua bisa mengasihi dan menerima
orangtuanya, para ahli masih tidak mengetahui apa motivasi dan komitmen orangtua dan anak-anaknya selama
bertahun-tahun dalam saling mendukung dan merawat satu dan yang lain. Proses ini disebut attachment (kasih
sayang) atau bonding (ikatan),istilah yang sering tertukar pemakaiannya walaupun sebenarnya memiliki definisi
yang berbeda. Bonding, didefinisikan Brazelton (1978) sebagai suatu ketertarikan mutual pertama antara individu,

misalnya antara orang tua dan anak saat pertama kali bertemu. Attachment terjadi pada periode kritis, pada
kelahiran atau adopsi. Hal ini menjelaskan suatu perasaan menyayangi atau loyalitas yang mengikat individu
dengan individu lain.
Menurut stainton (1983), ikatan ialah pertukaran perasaan karna adanya ketertarikan, respons, dan kepuasan dan
intetensitasnya bisa berubah bila keadaan berubah seiring dengan perjalanan waktu. Ikatan berkembnag dan
dipertahankan oleh kedekatan dan interaksi.Seperti halnya setiap proses perkembangan ikatan ditandai oleh
adanya periode kemajuan dan regresi dan bisa juga terhenti sementara atau permanent.

Komunikasi orang tua


Ikatan diperkuat dengan penggunaan respon sensual atau kemampuan oleh kedua pasangan dalam melakukan
interaksi orang tua-anak.Komunikasi antara orang tua anak terdiri dari:

@ Sentuhan
Sentuhan atau indra peraba dipakai secara intensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk
mengenali bayi baru lahir. Begitu anak dekat dengan ibunya, mereka memulai proses eksplorasi dengan ujung
jarinya,salah satu daerah tubuh yang paling sensitive. Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka
dipunggung setelah menyusuinya. Bayi menepuk nepuk dada ibunya sewaktu meyusui.Ibu dan ayah ingin
menyentuh,mengangkat dan memeluk bayi mereka.

@ Kontak mata
Kesenagan untuk melakukan kontak mata diperlakukan berulang-ulang. Beberapa ibu berkata, begitu bayinya bisa
memandang mereka,mereka merasa lebih dekat dengan bayinya (Klaus,kennel,1982). Orang tua mengahbiskan
waktu yang lama untuk membuat bayinya membuka mata dan melihat mereka. ketika bayi baru lahir mampu
secara fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan mengguanakan lebih banyak waktu
untuk saling memandang seringa kali dalam posisi bertatapan.En face ialah suatu posisi dimana kedua wajah
terpisah kira-kira 20 cm pada bidang pandang yang sama.

@ Suara
Saling mendengar dan berespon suara antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan
pertama bayinya dengan tegang. Saat suara yang membuat mereka yakin bayinya dalam keadaan sehat terdengar,
mereka mulai melakukan tindakan utnuk menghibur.Sewaktu orang tua berbicara dengan suara bernada tinggi,
bayi menjadi tenag dan berpaling kearah mereka.

@ Aroma
Prilaku lain yang terjadi antara orang tua dan bayi

ialah respon terhadap aroma/bau masing-masing. Ibu

berkomentar terhadap aroma bayi mereka ketika baru lahir dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki aroma
yang unik (porter,cernoch,perry,1983). Bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibu
nya(stainton,1985).

@ Entrainment

Bayi baru lahit bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang dewasa (condon,sander,1974). Mereka
menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kaki, seperti sedang berdangsa mengikuti
nada suara orang tuannya.Hal in berarti bayi telah mengembangkan irama muncul akibat kebiasaan jauh sebelum
ia mampu berkomunikasi dengan kata-kata. Entariment terjadi saat anak mulai berbicara.

@ Bioritme
Anak yang belum lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya, misalnya pada denyut jantung.
Setelah lahir, bayi yang menangis, dapat ditenagkan dengan dipeluk dalam posisi sedemikian sehingga ia dapat
mendengar denyut jantung ibunya atau mendengar sura denyut jantung yang direkam. Salah satu tugas bayi ialah
membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberikan kasih saying
dengan konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan prolaku yang responsive.

Penyesuaian maternal, paternal, saudara kandung serta kakek-nenek.


Penyesuaian maternal
@ Fase dependent
Selama 1 sampai 2 hari

pertama setelah melahirkan, ketergantunganm ibu menonjol. Pada waktu ini ibu

mengharapkan segala kebutuhanya dapat dipenuhi orang lain. Ibu memindahkan energi psikologisnya kepada
anaknya. Rubbin (1961) menetapkan periode beberapa hari ini sebagai fase menerima,( Taking-in phase) suatu
waktu dimana ibu baru memerlukan perlindungan dan perawatan. Fase dependen ialah suatu waktu yang penuh
kegembiraan dan kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya. Pemusatan analisis dan sikap yang
menerima pengalaman ini membnatu orang tua untuk berpindah kefase berikutnya. Beberapa oaring tua dapat
menganggap petugas atau ibu yang lain sebagai pendengarnya. Kecemasakan dan keasikan terhadap peran
barunya sering mempersempint lapang persepsi ibu oleh karena itu informasi yang diberikan pada waktu ini
mengkin perlu diulang.

@ Fase dependent mandiri


Dalam fase ini secara bergantian muncul kebutuhan untuk mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain
dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Ia berespon dengan penuh semangat untuk
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi atau jika ia adalah seorang ibu yang
gesit, ia akan memiliki keinginan untuk merawat bayinya secara langsung. Rubbin (1961) menjelaskan keadaan ini
sebagai fase taking-hold yang berlangsung kira-kira 10 hari. Keletihan setelah melahirkan diperburuk oleh tuntutan
bayi yang bayakn sehimngga dengan mudah timbul perasaan depresi. Dikatakan pada masa puerprium ini kadar
glukorkotikoid dalam sirkulasi dapat menjadi rendah atau terjadi hipotiroid subklinis. Keadaan fisiologis ini dapt
menjelaskan depresi pasca partum ringan( Baby blues ).

@ Fase interdependent
Pada fase ini perilaku interdependent muncul ibu dan keluarganya maju sebagai suatu system dengan para
anggota saling berinteraksi. Hubungan antar pasangan, walaupun sudah berubah dengan adanya seorang anak,
kembali menunjukkan karakteristik awal. Fase interdependent ( letting go ) merupakan fase yang penuh stress
bagi orang tuanya. Kesenangean dan kebutuhan sering terbagi dalam amsa ini. Pria danm wanita harus

menyelesaikan efek dari perannya masing-masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina
karier. Suatu upaya khusus harus dilakuakn untuk memperkuat hubungan orang dewasa dengan orang dewasa
sebagai dasar kesatuan keluarga.

@ Penyesuaian Paternal
Para ahli melukiskan bebagai karakteristik engrossment.beberapa respon sensual, seperti sentuhan dan kontak
mata. Keinginan ayah untuk menemukan hal-hal yang unik maupun yang sama derngan dirinya merupakan
karakteristik lain yang berkaitan dengan kebutuhan ayah untuk merasakan bahwa bayi ini adalah miliknya. Respon
yang jelas ialah adanya daya tarik yang kuat dari bayi yang baru lahir.Menurut Henderson dan bruse (1991)
tentang pengalaman para ayah baru selama tiga minggu pertama kehidupan bayi menyatakan bahwa para ayah
baru menjalani tiga tahapa proses yaitu Tahap pertama meliputi pengalaman prakonsepsi yakni akan seperti apa
rasanya ketika membawa pulang

bayi kerumah . Tahap kedua meliputi

Realitas yang tidak menyenangkan

menjadi ayah baru .Beberapa ayah mulai menyadari bahwa harapan mereka sebelumnya tidak didasarkan pada
kenyataan. Perasaan sedih dan ragu sering sekali menyertai realitas. Tahap ketiga meliputi keputusan yang
dilakukan dengan sadar unutk mengontrol dan menjadi lebih aktif terlibat didalam kehidupan bayi mereka.

@ Penyesuaian saudara kandung


Memperkenalkan bayi kepada suatu keluarga dengan satu anak atau lebih bisa menjadi persoalan bagi orang
tua.Orang tua perlu membagi perhatian mereka dengan adil. Anak yang lebih tua harus menyusun posisi baru
didalam hirarki keluarga. Anak yang lebih tua harus tetap berada dalam posisi sebagai pemimpin. Anak berikutnya
dalam urutan tanggal lahir harus berada pada posisi yang lebih superior dari adiknya yang baru. Kelakuan mundur
keusia yang jauh lebih muda bisa terlihat pada beberapa anak. Mereka bisa kembali ngompol, merengek-rengek
dan tidak mau makan sendiri, reaksi kecemburuan dapat muncul ketika suaka cita akan kehadiran bayi dirumah
mulai pudar.Penyesuaian awal anak yang lebih tua terhadap bayi baru lahir membutuhkan waktu.Anak harus
diperbolehkan berinteraksi atas kemauannya sendiri dan jangan dipaksa.

@ Penyesuaian kakek dan nenek


Jumlah keterlibatan kakak dan nenek dalam merawat bayi baru lahir tergantung pada banyak factor misalnya
keinginan kakek-nenek untuk terlibat, kedekatan hubungan kakek-dan nenek dan peran kakek dan nenek dalam
konteks budaya dan etnik yang bersangkutan (grosso,dkk:1981). Nenek dari ibu ialah model yang penting dalam
praktik perawatan bayi (rubin,1975). Ia bertindak sebagai sumber pengetahuan dan sebagai individu pendukung.
Sering kali nenek dan kakek mengatakan bahwa cucu membantu mereka mengatasi rasa sepi dan kebosanan.
Dukungan kakek dan nenek dapat menjadi pengaruh yang menstabilkan keluarga yang sedang mengalami krisis
perkembangan seperti seperti kehamilan dan menjadi orang tua baru .Kakek dan nenek ini dapat membantu anakanak mereka mempelajari keterampilan menjadi orangtua dan mempertahankan tradisi budaya.
Faktor yang mempengaruhi respon orang tua

Usia
Masalah dan kekhawatiran ibu yang terkait dengan kelompok ibu yang berusia 35 tahun semakin banyak muncul
pada decade terakhir kali dimana pada usia ini para ibu sudah mengalami keletihan dan lelah merawat bayi .
dalam hal ini para ibu sangat membutuhkan kegiatan yang dapat membnatu ibu untuk memperoleh kembali
kekuatan tonus dan tonus otot (seperti latihan senam prenatal dan pascapartum)

Jaringan social
Primipara

dan

multipara

keterbatasan fisik

memiliki

kebutuhan

yang

berbeda.Multipara

lebih

realistis

terhadap

terhapat

dan mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya. Sedangkan primipara

membutuhkan dukungan dan tindak lanjut yang mencakup rujukan kebadan bantuan dalam masyarakat. Jaringan
social meningkatkan potensi pertumbuhan anak dan mencegah kekeliruan dalam memperlakukan anak.

Budaya
Kepercayaan dan praktek budaya menjadi determinan penting dalam prilaku orang tua. Kedua hal tersebut
mempengaruhi interaksi orang tua dengan bayi , demikian juga dengan orang tua atau keluarga yang mengasuh
bayi karna setiap orang memiliki kepercayaan terhadap budaya berbeda beda.

Kondisi social ekonomi


Kondisi social ekonomi seringkali menjadi jalan untuk mendapatkan bantuan. Keluarga yang mampu membayar
pengeluaran tambahan dengan hadirnya bayi baru ini pengeluaran tambahan dengan hadirnya bayi baru ini
mungkin hamper tidak merasakan beban keuangan tetapi dilain pihak keluarga yang menemukan kalahiran
seorang bayi suatu beban financial dapat mengalami peningkatan stress dan stess ini bisa mengganggu interaksi
orang tua terhapat bayinya

Aspirasi personal
Bagi beberapa wanita, menjadi orang tua mengganggu kebebasan pribadi dan kemajuan berkariernya kekecewaan
yang timbul akibat tidak mencapai kenaikan jabatan,kalo masalah ini tidak diselesaikan

hal tersebut

akan

berdampak pada cara mereka merawat dan mengasuh bayi dan bahkan mereka bisa menelantarkan bayinya
1.
2.

A. PERAWATAN IBU DAN BAYI


PERAWATAN PERINEUM
1.
Pengertian

Membersihkan dan merawat area genitalia bagian luar setelah


1.

Tujuan:

Memberikan rasa nyaman

Mengurangi resiko infeksi

Menjaga kebersihan vulva dan perineum

Memperlancar keluarnya lokhea (darah nifas)


1.

melahirkan

c.

Alat-alat yg digunakan

Softex atau pembalut wanita yg bersiAir hangat atau cairan antiseptik (betadine yang diencerkan, sublimat,

detol yang diencerkan, sabun, dll).

Tissue atau handuk kecil

Celana dalam bersih


1.

Cara Perawatan Perineum

Mencuci tangan

Memindahkan / mengangkat softex yang telah digunakan dari depan ke belakang

Perhatikan warna, bau dan banyaknya cairan di softek, sesuai dengan keadaan normal

Bersihkan perineum dengan menyiramnya dengan air hangat / antiseptik di bagian atas vulva

Keringkan area perineum dengan tissue atau handuk kecil kering dari depan ke belakang (pengusapan
berulang ulang dihindari untuk mencegah menyebarnya kuman dan menjaga kenyamanan)

Tempatkan softex mulai dari depan ke belakang (jangan sentuh permukaan softex yang akan menyentuh
ke perineum / genitalia) kemudian pasang celana.

Cuci tangan kembali dengan menggunakan sabun


II.
1.

SENAM NIFAS
Pengertian

Senam / gerakan yang dilakukan setelah melahirkan. Dilakukan segera setelah melahirkan sampai 7 minggu dan
dilakukan 2 kali dalam sehari
1.

Tujuan

Memperbaiki sirkulasi darah

Memperbaiki postur tubuh

Memperbaiki tonus otot panggul

Memperbaiki regangan otot tungkai bawah

Memperbaiki regangan otot perut

Meningkatkan kesadaran untuk mlakukan relaksasi


otot panggul.
1.

Cara Senam Nifas

Latihan Penguatan Otot Perut


Tahap 1: Pernafasan perut
1.
2.
3.

Tidur terlentang dgn lutut ditekuk

2. Tarik nafas dalam dari hidung, usahakan rongga dada tetap dan rongga perut mengembang
3. Keluarkan udara perlahan lahan dengan menggunakan otot otot perut.

Tahap 2: Kombinasi pernafasan perut dengan pengerutan panggul


1.
2.
3.
4.

Tidur terlentang dengan lutut ditekuk


Sambil menarik napas dalam kerutkan sekitar anus dengan pinggang mendatar pada tempat tidur
Keluarkan udara perlahan lahan dorong dengan kekuatan perut dan bokong
Tahan 3-5 detik, lalu istirahat

5.

Lakukan latihan ini sebanyak 10 kali

Tahap 3: Menggapai lutut


1.
2.
3.
4.
5.

Tidur terlentang dengan lutut ditekuk


Sambil menarik napas dalam tarik dagu ke arah dada
Ambil mengeluarkan udara, angkat kepala dan bahu perlahan lahan. Regangkan tangan sampai
menyentuh lutut. Tubuh boleh diangkat setinggi 15-20 cm.
Perlahan lahan kepala dan bahu diturunkan seperti posisi semula
Lakukan latihan ini sebanyak 10 kali.

Latihan Penguatan Pinggang


Tahap 1: Memutar kedua lutut
1.
2.
3.
4.
5.

Tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk


Pertahankan bahu tetap lurus, telapak kaki tetap dan secara perlahan lahan putar kedua lutut sehingga
menyentuh sisi kanan tempat tidur
Pertahankan gerakan yang halus, putar kedua lutut kembali sampai menyentuh sisi kanan tempat tidur
Kembali ke posisi semula dan istirahat
Lakukan latihan sebanyak 10 kali.

Tahap 2: Memutar satu kaki


1.
2.
3.
4.

Tidur terlentang dengan kedua lutut kiri ditekuk


Pertahankan bahu tetap datar, secara perlahan lahan putar lutut kiri sampai menyentuh sisi kanan
tempat tidur dan kembali ke posisi semula
Ganti posisi kaki, sentih sisi kiri tempat tidur dengan menggunakan lutut sebelah kanan lalu kembali ke
posisi semula dan istirahat
Lakukan latihan sebanyak 10 kali

Tahap 3: Memutar tungkai


1.
2.
3.
4.

Tidur terlentang dengan posisi lurus


Pertahankan bahu tetap datar, secara perlahan lahan tungkai kiri diangkat dalam keadaan lurus dan
putar sampai menyentuh sisi kanan tempat tidur, lalu kembali ke posisi semula.
Ulangi gerakan kedua dengan menggunakan kaki kanan sehingga menyentuh sisi kiri.
Lakukan latihan sebanyak 10 kali.

Istirahat dgn Posisi Telungkup


Tidur dengan posisi telungkup dengan kaki lurus, posisi ini dapat membantu mengembalikan rahim dalam posisi
normal dan dapat mencegah kekakuan pada punggung dan bokong.
1.

B. TEHNIK MENYUSUI
1.
1. Manfaat menyusui dengan benar:

Nutrisi bayi terpenuhi

Bayi mendapatkan imunitas yang cukup

Mencegah bengkak pada payudara

Mencegah nipple pecah pecah

Memperkuat tulang rahang bayi

Mengurangi penggunaan tenaga yang berlebihan pada bayi

Memberikan kenyamanan pada ibu dan bayi


1.

Cara Menyusui dengan Benar

Bibir bayi berbentuk huruf C. Otot pipi berkontraksi

Lidah bayi ke depan memegang nipple dan areola

Nipple dimasukkan saat lidah mendorong ke belakang dan membawa areola ke mulut.

Bag bibir menjepit areola dan menghisap susu ke bagian akhir tenggorokan

Posisi Menghisap dengan Botol

Karet nipple botol masuk ke rahang atas sesuai pergerakan lidah. Lidah bergerak ke depan melawan bibir untuk
mengontrol aliran susu berlebih yang masuk ke esofagus.
1.

C. TEKHNIK PERAWATAN TALI PUSAT

Setelah persalinan

Alat dan bahan


-

Plastic disposable clamps atau benang kasa steril

Aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )

Kasa steril

Handscoon

Cara pelaksanaan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ikat tali pusat dengan plastic disposable clamps atau benang kasa steril
Pengikatan dilakukan dengan kuat yang mana sebelumnya harus memakai handscoon, ikatan pertama 5
cm dari dinding perut ikatan kedua 2 cm dari pusat
Monitor ikatan tali pusat tiap 4 jam selama 48 jam
Rawat tali pusat dengan larutan aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )
Tutup tai pusat dengan kasa steril dan difiksasi dengan baik
Monitor balutan tali pusat, kulit sekitar umbilical diobservasi dari tanda infeksi

Perawatan sehari-hari

Alat dan bahan


-

Kain kasa

Betadin atau alkohol 70 %

Kapas lidi

Hanscoon

Cara pelaksanaan

Langkah pertama yang dilakukan adalah memakai handscoon

Basahi kapas lidi dengan betadin atau alkohol 70 % dan usapkan pada tali pusat bayi

Balut dengan kain kasa tanpa menggunakan plester.


Popok tidak boleh menutupi tali pusat. Popok yang basah dan kotor akan memperlambat

pengeringan tali pusat dan mempermudah timbulnya infeksi.


1.
D. MEMANDIKAN BAYI
Sebelum memandikan bayi, kita harus memperhatikan :
1.
2.

1. Suhu bayi. Bayi dimandikan setelah dilahirkan pada saat


ruangan: 36 C atau 36,5 C
2. Memakai Handscoon, untuk bayi yang pertama kali dimandikan

suhu tubuhnya sama dengan suhu

Alat dan bahan :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Celemek
Washlap 2 buah
Sabun
Shampo
Baby Oil
Bedak
Cottonbad
Baju
Baskom 2 buah : 1 untuk air hangat dan 1 untuk pakaian kotor

Cara memandikan Bayi :


-

Memakai celemek

Memakai washlap yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat

Mengusap kepala bayi, membersihkan kotoran-kotoran di kepala bayi

Memakai washlap yang lain yang diberi sampo

Usap kepala bayi dengan sampo, bersihkan kemudian keringkan dengan handuk

Bersihkan mata bayi dengan kapas basah, dari kantus ke luar,

kemudian bersihkan wajah, telinga, dan

bagian leher.
-

Bersihkan dengan handuk kering

Lepaskan pakaian bayi, letakkan pada baskom yang telah

disediakan. Lepaskan juga balutan tali pusat.

Bersihkan seluruh badan bayi, pergelangan tangan, sela-sela jari, sela-sela kaki, punggung (balikkan bayi)

Bersihkan dengan sabun (memakai washlap yang untuk shampo tadi)

Bersihkan kembali dengan washlap, untuk bayi yang suster terlepas tali pusatnya, dibilas di air hangat di

dalam baskom.
-

Diseka dengan handuk halus.

Letakkan bayi di handuk /selimut yang sudah ada baju dan

Memakaikan bedak/minyak talon

Memakaikan popok dan baju

Selimuti bayi
1.

E. PERAWATAN PAYUDARA

Tujuan :
1.
2.
3.

memperlancar sirkulasi/aliran darah


mencegah terjadinya bendungan ASI
memperlancar pengeluaran ASI

Perawatan payudara ibu post partum t.d.a :

Membersihkan puting susu


Persiapan alat :
-

kapas lembab

air dalam kom

handuk bersih

Cara kerja :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
-

Kapas direndam dalam air masak


putting susu dibersihkan dengan kapas
keringkan dgn handuk
lakukan sebelum dan sesudah menyusui
Untuk puting susu yg cekung dan datar dilakukan
Perawatan dgn tiga tahap :
meregangkan putting susu

popok bayi

memutar putting susu

menarik putting susu

Pengurutan/masase payudara :

Persiapan alat :

minyak kelapa 10 cc dl tempatnya ( hindari penggunaan baby oil, minyak kayu putih atau minyak

tawon

handuk besar 2 buah

washlap 2 buah

breast pump dan gelas atau botol susu

air dingin dan air hangat dlm Waskom

tuple hudge

Cara kerja :
-

Jelaskan tujuan tindakan

cuci tangan

satu tangan diletakkan di punggung dan satu handuk diletakkan di bawah payudara ibu atau daerah paha

kedua telapak tangan diberi minyak

payudara kiri diurut dengan tangan kiri dan payudara kanan ( jika ibu melakukan sendiri ).bila dilakukan

oleh perawat payudara kiri diurut dengan tangan kanan dan payudara kanan diurut dengan tangan kiri, dgn cara
pengurutan dari tengah berputar ke samping terus ke bawah, secara perlahan dan halus sambil mengobservasi ibu
dan pengeluaran ASI ( ada/tidak ) dilakukan 10 15 kali.
-

Tangan kiri menopang/menyangga payudara kiri . lakukan pengurutan dgn bagian pinggir telapak tangan

kanan mulai dari pangkal sampai aerola mammae. Selanjutnya tangan kanan menopang/menyangga payudara
kanan dan lakukan pengurutan dgn bag.pinggiran telapak tangan kiri muali pangkal sampai aerola mammae,
dilakukan 10-15 kali.posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10-15 kali.
-

Posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10 15 kali

Lakukan mandi dgn air hangat dgn menggunakan washlap ( satu washlap dimasukkan dalam air hangat,

peras ). Usap kedua payudara selanjutnya ganti dgn air dingin ( satu washlap masukkan dlm air dingin,
peras ).usap kedua payudara, lakukan 6-10 kali secara bergantian dan diakhiri dgn air dingin
-

Payudara dikeringkan /lap dgn menggunakan handuk yang berada pada bagian bawah payudara

Handuk di daerah punggung dan bawah payudara dilipat dan alat lain dibereskan

Ibu pakai baju sendiri sendiri atau dibantu perawat

KONSEP KEPERAWATAN
1.

A. PENGKAJIAN

Merujuk pada catatan riwayat keperawatan pada masa prenatal dan intrapartal.

Melakukan pemeriksaan fisik dan pengkajian psikososial terhadap ibu, ayah dan anggota keluarga

Perawat mendeteksi adanya penyimpangan dari kondisi yang normal

Dari masa prenatal, kaji masalah kesehatan selama kehamilan yang pernah timbul, seperti: anemia,
hipertensi dalam kehamilan dan diabetes.

Kaji proses persalinan, lama dan jenis persalinan, kondisi selaput dan cairan ketuban, respon bayi
terhadap persalinan, obat-obatan yang digunakan, respon keluarga khususnya ayah pada persalinan dan kelahiran.

Dilakukan segera pada masa immediate postpartum, seperti: observasi tanda vital, keseimbangan cairan,
pencegahan kehilangan darah yang abnormal dan eliminai urin.
?

Biodata Klien

Biodata klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical Record,
Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian.
?

Keluhan Utama

Hal-hal yang dikeluhkan saat ini dan alasan meminta pertolongan.


?

Riwayat haid

Umur Menarche pertama kali, Lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid, hari pertama haid
terakhir, perkiraan tanggal partus.
?

Riwayat Perkawinan

Kehamilan ini merupakan hasil pernikahan ke berapa ? Apakah perkawinan sah atau tidak, atau tidak direstui orang
tua ?
?

Riwayat Obstetri

Riwayat Kehamilan

Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, Hasil Laboratorium : USG, Darah, Urine, keluhan selama kehamilan
termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan pengobatan yang diperoleh
-

Riwayat Persalinan
1.

1. Riwayat Persalinan Lalu

Jumlah Gravida, jumlah partal, dan jumlah abortus, umur kehamilan saat bersalin, jenis persalinan, penolong
persalinan, BB bayi, kelainan fisik, kondisi anak saat ini.
1.

2. Riwayat Nifas pada Persalinan Lalu

Pernah mengalami demam, keadaan lochia, kondisi perdarahan selama nifas, tingkat aktifitas setelah melahirkan,
keadaan perineal, abdominal, nyeri pada payudara, kesulitan eliminasi, keberhasilan pemberian ASI, respon dan
support keluarga.
1.

3. Riwayat Persalinan Saat Ini

Kapan mulai timbulnya his, pembukaan, bloody show, kondisi ketuban, lama persalinan, dengan episiotomi atau
tidak, kondisi perineum dan jaringan sekitar vagina, dilakukan anastesi atau tidak, panjang tali pusat, lama
pengeluaran placenta, kelengkapan placenta, jumlah perdarahan.
1.

4. Riwayat New Born

Apakah bayi lahir spontan atau dengan induksi/tindakan khusus, kondisi bayi saat lahir (langsung menangis atau
tidak), apakah membutuhkan resusitasi, nilai APGAR skor, Jenis kelamin Bayi, BB, panjang badan, kelainan
kongnital, apakah dilakukan bonding attatchment secara dini dengan ibunya, apakah langsung diberikan ASI atau
susu formula.
?

Riwayat KB dan Perencanaan Keluarga

Kaji pengetahuan klien dan pasangannya tentang kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang pernah digunakan, kebutuhan
kontrasepsi yang akan datang atau rencana penambahan anggota keluarga dimasa mendatang.
?

Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit yang pernah diderita pada masa lalu, bagaimana cara pengobatan yang dijalani, dimana mendapat
pertolongan. Apakah penyakit tersebut diderita sampai saat ini atau kambuh berulang-ulang ?
?

Riwayat Psikososial-Kultural

Adaptasi psikologi ibu setelah melahirkan, pengalaman tentang melahirkan, apakah ibu pasif atau cerewet, atau
sangat kalm. Pola koping, hubungan dengan suami, hubungan dengan bayi, hubungan dengan anggota keluarga
lain, dukungan social dan pola komunikasi termasuk potensi keluarga untuk memberikan perawatan kepada klien.
Adakah
Blues

masalah
:

perkawinan,

Perasaan

sedih,

ketidak

mampuan

kelelahan,

merawat

kecemasan,

bayi
bingung

baru
dan

lahir,

krisis

mudah

keluarga.
menangis.

Depresi : Konsentrasi, minat, perasaan kesepian, ketidakamanan, berpikir obsesif, rendahnya emosi yang positif,
perasaan tidak berguna, kecemasan yang berlebihan pada dirinya atau bayinya, sering cemas saat hamil, bayi
rewel, perkawinan yang tidak bahagia, suasana hati yang tidak bahagia, kehilangan kontrol, perasaan bersalah,
merenungkan

tentang

kematian,

kesedihan

yang

berlebihan,

kehilangan

nafsu

makan,

insomnia,

sulit

berkonsentrasi.
Kultur yang dianut termasuk kegiatan ritual yang berhubungan dengan budaya pada perawatan post partum,
makanan atau minuman, menyendiri bila menyusui, pola seksual, kepercayaan dan keyakinan, harapan dan citacita.
?

Riwayat kesehatan Keluarga

Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan secara genetic, menular, kelainan congenital
atau gangguan kejiwaan yang pernah diderita oleh keluarga.

Profil Keluarga

Kebutuhan informasi pada keluarga, dukungan orang terdekat, sibling, type rumah, community seeting,
penghasilan keluarga, hubungan social dan keterlibatan dalam kegiatan masyarakat.
?

Kebiasaan Sehari-Hari
1.
2.

3.

4.
5.
6.

a. Pola nutrisi : pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah, jenis makanan (Kalori, protein, vitamin,
tinggi serat), freguensi, konsumsi snack (makanan ringan), nafsu makan, pola minum, jumlah, frekuensi,
b. Pola istirahat dan tidur : Lamanya, kapan (malam, siang), rasa tidak nyaman yang mengganggu
istirahat, penggunaan selimut, lampu atau remang-remang atau gelap, apakah mudah terganggu dengan
suara-suara, posisi saat tidur (penekanan pada perineum).
c. Pola eliminasi : Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya infolunter
pengeluaran urin), hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass atau tidak atau retensi urine karena
rasa talut luka episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, freguensi, konsistensi, rasa takut BAB
karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet
d. Personal Hygiene : Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan pembalut dan kebersihan
genitalia, pola berpakaian, tatarias rambut dan wajah
e. Aktifitas : Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melahirkan, kemampuan merawat diri dan
melakukan eliminasi, kemampuan bekerja dan menyusui.
f. Rekreasi dan hiburan : Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat fresh dan
relaks.

Seksual

Bagaimana pola interaksi dan hubungan dengan pasangan meliputi freguensi koitus atau hubungan intim,
pengetahuan pasangan tentang seks, keyakinan, kesulitan melakukan seks, continuitas hubungan seksual.
Pengetahuan pasangan kapan dimulai hubungan intercourse pasca partum (dapat dilakukan setelah luka
episiotomy membaik dan lochia terhenti, biasanya pada akhir minggu ke 3). Bagaimana cara memulai hubungan
seksual berdasarkan pengalamannya, nilai yang dianut, fantasi dan emosi, apakah dimulai dengan bercumbu,
berciuman, ketawa, gestures, mannerism, dress, suara. Pada saat hubungan seks apakah menggunakan lubrikasi
untuk kenyamanan. Posisi saat koitus, kedalaman penetrasi penis. Perasaan ibu saat menyusui apakah
memberikan kepuasan seksual. Faktor-faktor pengganggu ekspresi seksual : bayi menangis, perubahan mood ibu,
gangguan tidur, frustasi yang disebabkan penurunan libido.
?

Konsep Diri

Sikap penerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui, persepsi ibu tentang tubuhnya terutama
perubahan-perubahan selama kehamilan, perasaan klien bila mengalami opresi SC karena CPD atau karena bentuk
tubuh yang pendek.
?

Peran

Pengetahuan ibu dan keluarga tentang peran menjadi orangtua dan tugas-tugas perkembangan kesehatan
keluarga, pengetahuan perubahan involusi uterus, perubahan fungsi blass dan bowel. Pengetahan tentang keadaan
umum bayi, tanda vital bayi, perubahan karakteristik faces bayi, kebutuhan emosional dan kenyamanan,
kebutuhan

minum,

perubahan

kulit.

Ketrampilan melakukan perawatan diri sendiri (nutrisi dan personal hyhiene, payu dara) dan kemampuan
melakukan perawatan bayi (perawatan tali pusat, menyusui, memandikan dan mengganti baju/popok bayi,

membina hubungan tali kasih, cara memfasilitasi hubungan bayi dengan ayah, dengan sibling dan kakak/nenek).
Keamanan bayi saat tidur, diperjalanan, mengeluarkan secret dan perawatan saat tersedak atau mengalami
gangguan ringan. Pencegahan infeksi dan jadwal imunisasi.
?

Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.

5.

6.

7.
?

1. Keadaan Umum : Tingkat energi, self esteem, tingkat kesadaran.


2. BB, TB, LLA, Tanda Vital normal (RR konsisten, Nadi cenderung bradi cardy, suhu 36,2-38, Respirasi 1624)
3. Kepala : Rambut, Wajah, Mata (conjunctiva), hidung, Mulut, Fungsi pengecapan; pendengaran, dan
leher.
4. Breast : Pembesaran, simetris, pigmentasi, warna kulit, keadaan areola dan puting susu, stimulation
nepple erexi. Kepenuhan atau pembengkakan, benjolan, nyeri, produksi laktasi/kolostrum. Perabaan
pembesaran kelenjar getah bening diketiak.
5. Abdomen : teraba lembut , tekstur Doughy (kenyal), musculus rectus abdominal utuh (intact) atau
terdapat diastasis, distensi, striae. Tinggi fundus uterus, konsistensi (keras, lunak, boggy), lokasi, kontraksi
uterus, nyeri, perabaan distensi blas.
6. Anogenital
Lihat struktur, regangan, udema vagina, keadaan liang vagina (licin, kendur/lemah) adakah hematom, nyeri,
tegang. Perineum : Keadaan luka episiotomy, echimosis, edema, kemerahan, eritema, drainage. Lochia
(warna, jumlah, bau, bekuan darah atau konsistensi , 1-3 hr rubra, 4-10 hr serosa, > 10 hr alba), Anus :
hemoroid dan trombosis pada anus.
7. Muskoloskeletal : Tanda Homan, edema, tekstur kulit, nyeri bila dipalpasi, kekuatan otot.

Pemeriksaan laboratorium

Darah : Hemoglobin dan Hematokrit 12-24 jam post partum (jika Hb < 10 g% dibutuhkan suplemen FE),

eritrosit, leukosit, Trombosit


-

Klien dengan Dower Kateter diperlukan culture urine.


1.

1.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Gangguan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
persalinan dan proses kehamilan.
2.
Gangguan pola eliminasi buang air besar, berhubungan dengan rasa nyeri pada perineum dan
menurunnya peristaltik usus.
3.
Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.
4.
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan post partum.
5.
Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih
basah dan post partum.
6.
Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan
bayi.
7.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali melahirkan.
C. PERENCANAAN
1.
Perubahan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
kehamilan dan persalinan.

1)

Tujuan: tidak terjadi gangguan pola eliminasi buang air kecil.

2)

Kriteria : -

Ibu tidak merasa nyeri pada saat buang air kecil.

Pengeluaran urine 1000-1500 cc/ hari.

Frekuensi miksi 4-5 kali/ hari.

Expresi wajah tenang.

3)

Rencana Tindakan:

a)

Catat intake dan out put cairan.

b)

Berikan rangsangan pada daerah atas symphisis dengan air dingin.

c)

Katerisasi bila tidak miksi dalam 8 jam habis melahirkan.

4)

Rasional:

a)

Untuk mengetahui fungsi ginjal.

b)

Rangsangan pada simphisis dengan air dingin dapat meningkatkan tonus otot spincter dan buli-buli.

c)

Bila 8 jam tidak miksi dapat menggangu involutio uteri.


1.

Gangguan pola eliminasi buang air besar berhubungan dengan rasa nyeri pada luka perineum dan dan
menurunnya peristaltik usus.

1)

Tujuan: tidak terjadi gangguan pola eliminasi buang air besar.

2)

Kriteria

Perut tidak tegang.

Frekuensi 1-2 kali/ hari.

3)

Rencana Tindakan:

a)

kaji pola buang air besar.

b)

Berikan makanan yang banyak mengandung serat.

c)

Anjurkan pada ibu untuk banyak minum.

d)

Berikan penyuluhan pada ibu untuk tidak takut buang air besar.

e)

Kolaborasi pemberian obat laxantia

4)

Rasional:

Buang air besar lancar.

a)

Untuk mengetahui pola bab klien.

b)

Makanan yang berserat dapat merangsang peristaltik usus.

c)

Dengan minum yang banyak akan membantu melunakkan faeces.

d)

Rasa takut dapat mempengaruhi syaraf sympatis sehingga otot spincter menjadi lemah.

e)

Obat laxantia dapat merangsang peristaltik usus.


1.

Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.

1)

Tujuan: nyeri hilang.

2)

Kriteria

Proses involutio normal.

Expresi wajah tenang.

Ibu mengatakan nyeri kurang.

3). Rencana Tindakan:


a)

kaji intensitas dan karakteristik dari nyeri.

b)

berikan posisi yang menyenangkan.

c)

ajarkan tehnik relaksasi.

d)

kolaborasi pemberian analgesik.

e)

berikan penjelasan mengenai timbulnya nyeri.

f)

ajarkan tehnik destraksi.

4). Rasional:
a)

Untuk mengetahui tingkat dan karakteristik nyeri, agar mempermudah memberikan intervensi yang tepat.

b)

Dengan posisi yang menyenangkan membuat klien merasa nyaman dan dapat beradaptasi dengan nyeri.

c)

Relaksasi dapat mengendorkan otot-otot sehinnga nyeri dapat berkurang.

d)

Menjelaskan kepada ibu tentang nyeri agar ibu dapat beradaptasi dengan nyeri.

e)

Untuk mengalihkan perhatian ibu agar tidak terfokus pada bayi.

f)

Analgesik dapat menekan rangsangan nyeri sehingga nyeri tidak dipresepsikan.

1.

Resiko kekurangan volume cairan berhungan dengan perdarahan post partum.

1)

Tujuan: tidak terjadi perdarahan yang berlebihan.

2)

Kriteria :

perdarahan tidak lebih dari 400 cc.

pengeluaran lokhia lancar.

3)

Rencana Tindakan:

a)

Observasi perdarahan dan monitor pengeluaran lokhia.

b)

Observasi kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri setiap hari.

c)

Observasi tanda-tanda vital.

d)

Observasi keadaan umum.

e)

Beri pengetahuan pada ibu tentang ambulasi dini pada ibu nifas.

f)

Ajarkan pada ibu untuk mengetahui tanda-tanda perdarahan yang berlebihan.

g)

Monitor kadar haemoglobin.

4)

Rasional:

a)

Untuk mengetahui jumlah perdarahan.

b)

Kontraksi uterus yang lemah dapat menyebabkan perdarahan.

c)

Perubahan tanda vital indikasi adanya perdarahan.

d)

Keadaan umum dapat menggambarkan adanya perdarahan.

e)

Ambulasi secara dini dapat memperlancar proses involutio.

f)

Kadar haemoglobin yang rendah indikasi terjadi perdarahan.


1.

Proses involutio lancar.

Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih basah dan
post partum.

1)

Tujuan: Tidak terjadi infeksi pada luka perineum dan jalan lahir.

2)

Kriteria :

Tanda-tanda infeksi tidak ada.

3)

Rencana Tindakan:

a)

Observasi tanda-tanda infeksi dan tanda vital.

b)

Rawat luka perineum setiap hari dengan teknik septik dan aseptik

c)

Anjurkan pada ibu untuk mengganti duk yang basah.

d)

Observasi pengeluaran lokhia.

e)

Kolaborasi pemberian antibiotik.

4)

Rasional:

a)

Untuk mendeteksi secara dini adanya infeksi.

b)

Luka yang bersih dapat mencegah timbulnya infeksi.

c)

Duk yang basah tempat berkembang biak mikroorganisme.

d)

Keadaan lokhia yang tidak normal menandakan adanya infeksi jalan lahir.

e)

Antibiotik dapat menghambat dan membunuh mikroorganisme.


1.

Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan bayi.

1)

Tujuan: ibu dapat tidur/ kebutuhan istirahat tidur terpenuhi.

2)

Kriteria :

penampilan menunjukkan istirahat yang

cukup

ibu tidak merasa lelah.

3)

Rencana tindakan:

a)

bayinya. Kaji pola tidur klien.

b)

Ciptakan lingkungan yang tenang.

c)

Beri penyuluhan kepada ibu agar memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya.

d)

Anjurkan kepada ibu agar menidurkan bayinya dalam dalam keadaan kenyang.

e)

Bila asi kurang, berikan susu tambahan pengganti asi sebanyak 30 cc/ 3 jam dengan sendok atau dok.

Tidur cukup (7-9 jam/hari).

f)

Ajarkan ibu untuk mengenali kebiasaan

4)

Rasional:

a)

Untuk mengenali jumlah tidur klien.

b)

Lingkungan yang tenang dapat mendukung untuk beristirahat.

c)

Dengan memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya bayi akan tenang.

d)

Bila bayi dalam keadaan kenyang, bayi akan tidur nyenyak.

e)

Pemberian air susu sebanyak 30 cc dan diperkirakan dalam 3 jam lambung sudah kosong.

f)

Dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan bayi, ibu dapat mengatur waktu istirahatnya.


1.

Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum aterm (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali lahir.

1)

Tujuan: pengetahuan ibu tentang perawatan lanjut bertambah.

2)

Kriteria

Pasien dapat menyebutkan saat yang tepat untuk melakukan hubungan suami istri post

partum.
-

pasien dapat menyebutkan pentingnya

pemeriksaan secara dini dan berkala di rumah sakit.

3)

Rencana tindakan:

a)

Kaji tingkat pengetahuan ibu.

b)

Beri HE kepada ibu bahaya melakukan hubungan suami istri selama dalam masa nifas.

c)

Beri penyuluhan kepada ibu tentang pentingnya pemeriksaan diri dan bayi secara berkala di rumah sakit/

puskesmas.
4)

Rasional:

a)

Dapat mengambil tindakan selanjutnya.

b)

Dengan melakukan hubungan suami istri selama masa nifas akan menyebabkan perdarahan yang banyak/

berat.
c) Pemeriksaan diri dan bayi secara berkala dapat mengetahui tingkat kesehatan ibu dan bayi.
1.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada pasien. Kkegiatan ini
meliputi pelaksanaan rencana pelayanan keperawatan dan rencana pernyataan medis. Pada tahap perawat
menerapkan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan ilmu-ilmu keperawatan dan ilmu-ilmu keperawatan
lainnya yang terkait secara terintegrasi. Pada waktu perawat memberi pelayanan keperawatan, proses
pengumpulan dan analisa data berjalan terus menerus, guna perubahan atau penyesuaian tindakan keperawatan.
Beberapa faktor dapat dapat mempengaruhi pelaksanaan rencana pelayanan. Keperawatan antara lain sumbersumber yang ada, pekerjaan perawat serta lingkungan fisik untuk pelayanan keperawatan dilakukan.
Dalam pelaksanaan perawat melakukan fungsinya secara indefenden, defenden, dan interdefenden. Fungsi
indefenden yaitu perawat melakukan tindakan sendiri atas dasar inisiatif sendiri. Fungsi defenden yaitu fungsi
tambahan dilakukan untuk menjalankan program dari tim kesehatan lain. Fungsi interdefenden yaitu perawat
melakukan fungsi kolaborasi dengan pelaksanaan fungsi bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya.
1.

E. EVALUASI
1.
Periode post partum dini.

Tanda vital, keadaan luka episiotomi jika ada dan mencocokkan dengan parameter yang diharapkan.

Toleransi klien terhadap intake makanan, intake cairan dan keinginan klien mengenali makanan dan cairan.

Kemampuan klien untuk pengosongan kandung kemih secara teratur.

Beri kesempatan kepada klien beristirahat yang cukup.

Kemampuan klien untuk menggendong dan merawat bayinya.


1.

Periode post partum lanjut.


Tanda vital, berat badan, payudara, proses involutio, penyembuhan luka episiotomi jika ada dengan

parameter yang diharapkan.


-

Kemampuan klien untuk merawat payudara, perawatan perineum.

Kemampuan klien untuk menunjukkan kesanggupan dalam perawatan diri sendiri dan perawatan bayinya.
1.

Periode persiapan pulang ke rumah.

Klien mendemostrasikan kemampuan merawat bayinya.

Klien memperlihatkan keingintahuan tentang pentingnya perawatan lanjutan bagi ibu serta bayinya.

Kemampuan klien untuk menentukan waktu untuk konsultasi dengan dokter, bidan/ perawat.

Respon klien dengan suami terhadap adanya perubahan pola aktifitas seksual serta perlunya menggunakan

alat kontrasepsi untuk memberi rasa aman dan bagi ibu.


1.

Periode 6 minggu (saat chek-up).

Tanda vital, penurunan payudara, proses involutio dan penyembuhan luka episiotomi dibandingkan parameter

yang diharapkan.
-

Kembalinya organ reproduksi seperti keadaan sebelum hamil.

Kemampuan menunjukkan fungsi keluarga dengan baik dan adaptasi positif.

Keluarga menyepakati penggunaan salah satu jenis kontrasepsi yang cocok bagi ibu.

LAPORAN KASUS
1.

a. Pengkajian
Pengumpulan Data

Identitas Klien
Nama : Ny.T
Umur

: 39 tahun

Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
-

Post partum hari ke dua. TFU simfisis pusat, berat uterus 500 gram, terjadi after pain pada saat ibu

menyusui bayinya, kondisi payudara bengkak dan terjadinya bendungan ASI.


Riwayat Kesehatan lalu :
Riwayat rupture tingkat 2, nyeri , gatal, dan merah pada daerah vagina. Klien riwayat G11P8A3. Klien

pernah

mengalami peradangan panggul dan dispareunia


Pemeriksaan Fisik
TTV :
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.

Validasi Data
Data Subyektif :
Klien mengatakan terjadi after pain pada saat ibu menyusui bayinya. Klien pernah mengalami peradangan panggul
dan dispareunia
Data Obyektif :

Post partum hari ke dua. TFU simfisis pusat, berat uterus 500 gram, kondisi payudara bengkak dan terjadinya
bendungan ASI.
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.

Analisa data
NO

DATA

ETIOLOGI

MASALAH

DS :

Proses persalinan

Nyeri

Klien mengeluh nyeri


pada daerah abdomen
Terjadi proses involutio
Klien mengeluh nyeri
bila berjalan/bergerak

DO :
-

Kontraksi Uterus
Ekspresi wajah meringis

Klien nampak istirahat Nyeri


ditempat tidur
-

Kontraksi uterus baik

DS :
2

Klien mengeluh nyeri


pada perineum
Robekan jalan lahir
Klien mengeluh nyeri
bila bergerak / berjalan
Terputusnya kontinuitas jaringan
DO :

Ekspresi wajah meringis


Jaringan
melepaskan
zat-at
Nampak luka hecting bradikinin dan histamin
pada perineum

Klien nampak istirahat


di tempat tidur.
Merangsang syaraf perifer

Nyeri

NO

DATA

ETIOLOGI

MASALAH

Dihantarkan melalui spinal cord


menuju thalamus

Korteks cerebri

Nyeri di persepsikan
DS :
-

Klien malas bergerak


Nyeri

Klien
selama 2 hari

belum

BAB

Konstipasi
DO :

Takut bergerak / aktifitas kurang

Peristalik usus kurang (3


4 x/menit)
Mobilisasi usus dan diafragma
Klien lebih banyak menurun
istirahat.

Faeces bertahan lama diusus besar


dan tidak bisa dikeluarkan

Konstipasi

DS : -

Nyeri

DO :

Ibu malas menyusui bayinya

NO

DATA

ada
4.

ETIOLOGI

MASALAH

ASI/colostrum belum

Bayi jarang menetek


Payudara teraba keras /
padat.

Kondisi
bengkak

payudara Kurangnya
rangsangan
pituitary anterior prolaktin

Penimbunan
ASI
pada

Penimbunan ASI

DS :
-

Nyeri pada perineum

DO :
-

5.

Proses persalinan

Lochia rubra.

Perlukaan jalan lahir

Nampak luka heacting


pada perineum
Merupakan media berkembang- Resiko in-feksi
Tanda-tanda vital :
biaknya kuman phatogen
TD = 150/100 mmHg, S=
38,5oC, N= 72 x/menit.
Resiko terjadi infeksi

DS :
Ibu mengatakan kalau
bias ini kehamilan yang
terakhir

NO

DATA

ETIOLOGI

Klien tidak
menjadi akseptor KB

MASALAH

pernah Kurangnya informasi tentang KB

DO :
Ketidaktahuan tentang KB
-

Umur 39 th G11P8A3

Kurang pengetahuan tentang KB

Kurang
pengetahuan
tentang KB

1.

b. Diagnosa Keperawatan

Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus

Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan aki-bat ruptur perineum

Gangguan eliminasi BAB konstipasi b/d pe-nurunan peristaltic usus

Penimbunan ASI b/d kurangnya rangsangan pada priutary anterior prolaksin

Resiko terjadi infeksi puorperalis b/d luka pada perineum

Kurang pengetahuan ten-tang KB b/d kurang informasi tentang KB


1.

NO

1.

c. Perencanaan

DIAGNOSA
KEPERAWATAN

RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN

INTERVENSI

RASIONAL

Nyeri b/d kontraksi Nyeri


uterus
ditandai berkurang/hilang
dengan :
dengan criteria

DS :

Klien
menge-luh nyeri

1.Kaji
tingkat 1.Agar dapat mengloka-si dan sifat inden-tifikasi
nyeri.
kebutuhan
perawatan dan pemberian
askep yang tepat.
tidak

Klien mengeluh
2.Perubahan tanda vital
nyeri
pada
daerah Ekspresi wajah
menunjukkan terjadinya
abdomen
cerah
2.Observasi
rangsangan nyeri
tanda-tanda vital

Klien mengeluh - Tanda vital dalam


3.Nafas dalam dapat
nyeri
bila batas normal.
melan-carkan suplay 02
berjalan/bergerak
sehingga
3.Anjurkan klien kejari-ngan
relaksasi
di
T : 110-120 / mmHg tehnik relaksasi terjadi
jaringan obat yang dapat
DO :
napas dalam.
menyebabkan
nyeri
S : 56 37 oC
berkurang.
Ekpresi
wajah
meringis
N : 80 x /menit
4.Posisi nyaman sesuai
ke-inginan klien dapat
Kontraksi uterus
mem-peringan nyeri.
baik
Klien
banyak
istirahat ditempat tidur.

4.Berikan posisi
yang
nyaman
sesuai keinginan 5.Dengan mengetahui penyebab nyeri klien dapat
klien.
beradaptasi
5.Jelaskan penyebab
terjadinya 6.Untuk mengurangi rasa
nyeri dengan memblok
nyeri
infuls nyeri.
6.Penatalaksanaan
obat analgetilc
1.
Agar
dapat
mengidenti-fikasikan
kebutuhan
pera-watan
dan pemberian as-kep
1.Kaji tingkat, lo- yang tepat.
kasi dan sifat
2. Perubahan tanda vital
nyeri
menunjukkan terjadinya
rangsangan nyeri.

2.

3. Dapat menunjukkan
2.Observasi
trauma
tanda-tanda vital. ada-nya
Nyeri b/d terputusnya Nyeri
berlebihan/
komplikasi
kontinuitas
jaringan berkurang/hilang
yang
me-merlukan
aki-bat ruptur perineum dengan kriteria :
intervensi lebih lajut.
ditandai dengan :
1. Klien tidak 3.Observasi
menge-luh
keadaan
luka 4. Dapat mengurangi
DS :
nyeri
teka-nan langsung pada
perineum
2.
Ekspresi
peri-neum.
Klien mengeluh
wajah
ce-rah
nyeri pada perineum
3.

Tanda

vital

dalam batas
normal.

- Klien menyatakan
nyeri bila berjalan/
T: 110-120/80mmHg
beraktifitas.

5.
Meningkatkan
sirkulasi pada perineum,
N: 80 x /menit
DO :
4.Anjurkan untuk mening-katkan
duduk
dengan oksigenasi dan nutrisi
o
jaringan
Ekspresi wajah S : 36 37 C
otot
gluteal pada
menurunkan edema dan
meri-ngis
terkon-traksi
1. Luka kering
meningkatkan
Nampak
luka
5.Beri kompres penyembuhan.
heching pada perineum
panas
lembab
(rendam
duduk
antara 38oC s/d
Klien
istirahat
42oC selama 20 1. Dapat mengetahui
ditem-pat tidur.
menit setelah 24 adanya kelainan pada
jam pertama.
proses eliminasi klien
2. Dapat mempermudah
dalam pemberian inter1. Kaji pola elimi- vensi
nasi BAB klien
3. Dapat memperlancar
metabolisme dalam usus
sehingga eliminasi lancar
2. Kaji penyebab
konstipasi klien

Gangguan
eliminasi
BAB konstipasi b/d penurunan peristaltic usus
ditandai dengan :
DS :
Klien
bergerak

malas

4. Dapat merangsang
peris-taltic usus sehingga
3. Anjurkan klien BAB lancar.
untuk
makan
makanan
yang
berserat
4. Anjurkan klien
untuk melaku-kan 5. Akan merangsang dan
Eliminasi BAB terpe- kreaktifitas ringan mempercepat
proses
nuhi dengan criteria dan ber-tahap
defekasi.

- Klien telah BAB 1 5. Pentalaksanaan


x 2 /hari
pemberian
dulcolaks sup
1.
Membantu
- Klien belum BAB
Peristaltik usus
mengembang-kan
selama 2 hari
nor-mal 5-35x/i
rencana
perawatan

3.

DO :
Peristaltic usus
kurang 3-4x/menit
- Klien lebih banyak
istirahat.

1. Kaji tingkat pe- selanjutnya


ngetahuan
dan
pengalaman klien
tentang menyusui
sebelumnya.
2.
Lakukan 2. Agar lactasi lanar dan
perawa-tan buah terhindar dari kesulitan
dada
saat menyusui
3. Untuk merangsang
hor-mon prolaktif untuk
3. Anjurkan klien memproduksi ASI.
untuk tetap menyusui
bayinya
walaupun
ASI
tidak ada.

Penimbunan ASI b/d


kurangnya rangsangan
pada priutary anterior
prolaksin ditandai dengan :

ASI dapat diproduksi 1. Kaji tanda- 1. Untuk mengetahui


tanda infeksi
tanda/
gejala
awal
dengan criteria
terjadinya infeksi
ASI/ Colostrum
2. Perubahan tanda vital
DO :
ada
2.
Ukur
dan dijadikan indicator adaASI / colostrum Payudara obser-vasi tanda- nya proses peradangan
tanda vital
belum ada
kenyal.
3. Vulva yang kotor dan
3. lakukan vulva lembab dapat dijadikan
- Payudara teraba kehygiene
tempat berkembang biakras/padat.
nya kuman.
Kondisi payudara
4. Bethadine membunuh
bengkak
kuman dan mempercepat
proses penyembuhan
4. Bekerja dengan
tehnik septik dan 5.
Untuk
mencegah
terkon-taminasinya
DS :

4.

4. Ajarkan cara 4. Posisi yang tepat dapat


menyusui
yang mencegah luka pada
benar.
putting susu dan anak
dapat menolak dengan
baik

anti septik

kuman pada klien

5. Kompres luka 6. Untuk mempercepat


hecting
dengan pro-ses
penyembuhan
bethadine
luka atau mencegah
infeksi
6. HE kepada lien
untuk
menjaga
personal hygi-ene
7. Dapat menghambat
7.
pem-bentukan
dinding
Penatalaksanaan sel
bakteri
dan
pemberian
membunuh
kuman
antibiotik.
patogen.

Resiko terjadi infeksi


puorperalis b/d luka
pada perineum ditandai
de-ngan :
DS :
- Nyeri pada daerah
pe-rineum

5.

1.Dapat mengetahui dan


memudahkan
dalam
DO :
intervensi
1. Kaji tingkat pe- pem-berian
ngetahuan klien selan-jutnya.
Nampak
luka
tentang KB
heacting pada perineum
2.Agar
klien
dapat
Infeksi tidak terjadi
mengerti dan bersedia
dengan kriteria
menjadi akseptor KB
Luka nampak 2. HE tentang
3.agar
klien
dapat
man-faat KB
kering
memilih
metode
kontrasepsi yang sesuai,
- Tanda vital dalam
dan cocok untuk klien.
batas normal
3. HE tentang me- Tidak ada tanda- tode kontrasepsi,
keuntungan dan
tanda infeksi
kerugiannya.
- Rubor
-

Color

Dolor

Fungsilesia

- Vital Sign

T : 110/70 mmHg
S : 36.4 oC
N : 80 x /menit
D : 20 x /menit

Kurang
pengetahuan
ten-tang KB b/d kurang
informasi tentang KB
ditandai dengan
DS :
- Klien tidak pernah
menjadi akseptor KB.
DO :
Umur
G11P8A3

39

th,

Klien dapat mengerti


tentang KB dengan
kriteria
Ibu bersedia
men-jadi askeptor KB
setelah lepas masa
nifas.

6.

KONTRASEPSI TUBEKTOMI
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal. Sekarang, dengan alat-alat dan
teknik baru, tindakan ini di selenggarakan secaara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting dalam program keluarga
berencana di banyak Negara di dunia. Di Indonesia sejak tahun 1947 telah berdiri perkumpulan yang sekarang
bernama Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan metode dengan
operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam
program nasional keluarga berencana di Indonesia.
Keuntungan tubektomi ialah:
1.
2.
3.

Motivasi hanya dilakukan satu kali saja,sehingga tidak di perlukan motivasi berulang-ulang
Efektifitas hamper 100%
Tidak mempengaruhi libido seksualis

4.

Kegagalan dari pihak pasien

(patients failure) tidak ada.

Sehubungan dengan waktu melakukan metode dengan operasi, dapat dibedakan antara m.o postpartum dan m.o
dalam interval. Tubektomi postpartum dilakukan satu hari setelah partus.
Tindakan yang di lakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai tuba Fallopii terdiri atas pembedahan
transbdominal seperti laparatomi, mini laparatomi, laparaskopi; serta pembedahan transsevikal (trans-uterin),
seperti penutupan lumen tuba histeroskopik.
Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan bebagai macam tindakan operatif,
seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida, cara Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener tuba tidak
dipotong. Di samping cara-cara tersebut di atas, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi
tuba, penutupan tuba dengan

clips, Falopering, Yoon ring, dan lain-lain.

Indikasi metode dengan operasi (M.O)


Metode dengan operasi dewasa ini di jalankan atas dasar sukarela dalam rangka keluarga berencana. Kerugiannya
ialah bahwa tindakan ini dapat dianggap tidak reversibel, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka
tuba kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi. Oleh karena
itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seminar Kuldoskopi Indonesia pertama di Jakarta (18-19 Desember 1972) mengambil kesimpulan, sebaikanya
tubektomi sukarela dilakukan pada wanita yang memenuhi syarat-syarat berikut:

1.
2.
3.

Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup


Umur sekitar 30 tahun dengan 3 anak hidup
Umur sekitar 35 tahun dengan 2 anak hidup

Pada umur konperensi khusus Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di medan (3-5 Juni 1976)
dianjurkan pada umur antara 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut:
1.
2.
3.

Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih


Umur antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih

Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak telah melebihi jumlah yang
diinginkan oleh pasangan itu.
Di bagian Obstetri/Ginekologi Fakultas Kedokteran USU/RSUPP Medan, berhubungan dengan tingginya angka
kematian perinatal dan bayi, serta pentingnya anak lelaki bagi beberapa suku di Sumatra Utara, di gunsksn rumus
120 yang disesuaikan dengan persyaratan sterilisasi sukarela. Dengan ini, syarat untuk sterilisasi ialah umur
wanita x jumlah anak hidup dengan paling sedikit 1 anak laki-laki, harus tidak kurang dari 120, dengan umur
wanita terendah 25 tahun. Rumus 120 tersebut, dewasa ini tidak begitu di pegang teguh lagi sehubungan dengan
beratnya tekanan pertumbuhan penduduk.
v Tindakan pendahuluan guna penutupan tuba

Laparatomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus guna tubektomi. Di sini penutupan tuba dijalankan
sebagai tindakan tambahan apabila wanita yang perlu dilakukan seksio sesarea, kadang-kadang tuba kanan dan
kiri ditutup apabila tidak diinginkan bahwa ia hamil lagi.

Laparatomi postpartum
Laparatomi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa waktu perawatan nifas sekaligus dapat
digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil
dekat fundus uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi lunar (bulan sabit)
di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang-lebih 3 cm dan penutupan tuba biasanya diselenggarakan
dengan cara Pomeroy.

Minilaporotomiomi
Laporotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan yang dibuat di garis tengah di atas simfisis sepanjang 3
cm sampai menembus peritoneum. Untuk mencapai tuba dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam
kavum uteri. Dengan bantuan alat ini uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak antarfleksi dahulu dan
kemudian didorong ke arah lubang sayatan. Kemudian, dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.

Laparaskopi

Mula-mula dipasangcunam serviks pada bibir depan porsio uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakan
uterus jika hal itu diperlukan pada waktu laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit
di bawah pusat sepanjang 1cm. Kemudian, di tempat luka tersebut dilakukan pungssi sampai rongga peritoneum
dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu pneumoperitoneum dengan memasukan CO 2 sebanyak
1 sampai 3 liter dengan kecepatan rata-rata 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum
Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan troika (dengan tabungnya). Sesudah itu, troikar diangkat dan
dimasukkan laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita diletakkan
dalam posisi Trendelenburg dan uterus digerakkan melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan
cuman yang masuk dalam rongga peritoneum besama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit dan dilakukan
penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau clip
Hulka. Berhubungan pada kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak
digunakan cara-cara lain.

Kuldoskopi
Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah speculum dimasukkan dan bibir
belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik ke luar dan agak ke atas, tampak kavum Douglasi mekar di antara
ligamentum sakro-uterinum kanan dan kiri sebagai tanda bahwa tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara masuk dan usus-usus terdorong ke rongga
perut. Setelah jarum diangkat, lubang diperbesar, sehingga dapat dimasukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan dengan cunam khusus tuba dijepit dan ditarik ke luar untuk dilakukan
penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope.
v Cara penutupan tuba

Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar
dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak
dapat diserap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotingan tuba. Sekarang cara Madlener tidak dilakukan lagi oleh
karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1% sampai 3%.

Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian tengah dari tuba sehingga
membentuk lipatan terbuka, kemudian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar itu
dipotong. Setelah benang pengikat diserap , maka ujung-ujung tuba akhirnya terpisah satu sama lain. Angka
kegagalan berkisar antara 0-0,4%.

Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat diserap, ujung proksimal dari tuba ditanamkan
ke dalam ligamentum latum.

Cara Aldrige

Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-sama dengan fimbria ditanam
ke dalam ligamentum latum.

Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil (minilaparotomi) di atas simfisis pubis.
Kemudian di daerah ampulla tuba dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut mengembung. Lalu, di buat sayatan kecil di daerah yang
kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan
dijepit, diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di bawah serosa,
sedangkan ujung yang distal dibiarkan berada di luar serosa. Luka sayatan dijahit secara kantong tembakau.
Angka kegagalan cara ini adalah 0.

Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan benang sutera dibuat melalui bagian
mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini diikat dua kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba
sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong. Setelah pasti tidak ada pendarahan, maka
tuba dikembalikan kedalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecilnya kemungkinan kesalahan
mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19%.
{ Keuntungan Tubektomi
-

Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan)

Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)

Tidak bergantung pada faktor senggama

Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risik kesehatan yang serius

Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi local

Tidak ada efek samping dalam jangka panjang

Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium)

{ Keterbatasan Tubektomi
-

Harus dipertimbangkan sifat mantap metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali

dengan rekanalisasi
-

Klien dapat menyesal di kemudian hari

Risiko komplikasi kecil (meningkat apabila digunakan anestesi umum)

Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan

Dilakukan oleh dokter terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi untuk proses laparoskopi)

Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS

{ Isu-Isu Klien
-

Klien mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu sebelum prosedur ini

Informed consent harus

diperoleh dan

standard consent form harus

oleh klien sebelum prosedur dilakukan


{ Yang Perlu Dilakukan Tubektomi
-

Usia > 26 tahun

Paritas (jumlah anak) minimal 2 dengan umur anak terkecil > 2 thn

Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya

Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius

Pascapersalinan dan atau pasca keguguran

Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini

{ Yang Tidak Boleh Dilakukan Tubektomi


-

Hamil

Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan

Infeksi sistemik atau pelvik yang akut

Tidak boleh menjalani proses pembedahan

Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan

Belum memberikan persetujuan tertulis

{ Waktu dilakukan
-

Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien tidak hamil

ditanda-tangani

Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi)

Pascapersalinan; minilap di dalam waktu 2 hari atau hingga 6 minggu atau 12 minggu, laparoskopi tidak

tepat untuk klien pascapersalinan


-

Pascakeguguran; Triwulan pertama (minilap atau laparoskopi), Triwulan kedua (minilap saja)

DAFTAR PUSTAKA
Bobak,dkk. 2004.

Keperawatan maternitas. Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda. 2001.

Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk


Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 2001.

Hamilton, C.Mary. 1995.

Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.

Johnson & Taylor, 2005.

Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta : EGC.

Kumala, Poppy. Et. Al. 2004.


Mansjoer, Arif. 2000.

Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.

Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Mochtar, Rustam. 1998.

Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2009.


Sylvia, dkk. 2006.

Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Patofisiologi edisi 6. Jakarta : EGC

http://www.masbied.com/2011/03/14/asuhan-post-natal-care-nifas/

Anda mungkin juga menyukai