Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU

LAPORAN KASUS
Januari 2017

RETENSIO URIN POST PARTUM

Disusun Oleh :

Dhiya Asfarina (10 777 029)

Pembimbing : dr. John A. Kaput, Sp.OG

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang

bersangkutan sebagai berikut:

Nama : Dhiya Asfarina (10 777 029)

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Al Khairaat

Judul Laporan Kasus : Retensio Urin Post Partum

Bagian : Ilmu Kebidanan Dan Penyakit Kandungan

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSU Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran

Universitas Al-Khairaat.

Palu, Januari 2017

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

dr. John Abbas Kaput, Sp. OG Dhiya Asfarina, S.Ked

2
BAB I

PENDAHULUAN

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urin dan sebagai fungsi ekskresi. Selama
kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi.
Perubahan fisiologis pada vesica urinaria yang terjadi saat kehamilan berlangsung
merupakan predisposisi terjadinya retensi urin satu jam pertama sampai beberapa
hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi
patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu.1
Retensi urin merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada masa
intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum, Sebanyak 16-17 %
kasus retensio plasenta diakibatkan oleh vesica urinaria yang distensi akibat
retensi urin.2
Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum,
menurut hasil penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang
dilakukan oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar
4,9% dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih
spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post
partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7%.3,4,5,6
Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka
kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan
spontan dan 222 persalinan dengan vakum ekstraksi. Dimana, usia penderita
terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%) dan paritas terbanyak adalah
paritas 1 (54,5%). 2

Retensio urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan
pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun
2009 menunjukkan angka kejadian disfungsi vesica urinaria post partum sebanyak 9-

3
14 % dan setelah persalinan menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep),
meningkat menjadi 38 %. 7

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI TRAKTUS URINARIUS

Gambar 1. Anatomi Traktus Urinarius

Yang dimaksud traktus urinarius atau sistem urinarius adalah suatu sistem
kerjasama tubuh yang memiliki tujuan utama yang mempertahankan
keseimbangan internal atau homeostatis, selain itu dalam sistem ini terjadi proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dan bersih dari zat-zat yang tidak
digunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh.
Hasil keluaran sistem urinari berupa urin atau air seni. Sistem ini terdiri dari
ginjal, ureter, vesica urinaria, dan urethra.

5
Ginjal
Ginjal biasa juga disebut dengan renal, kidney, yang terletak dibelakang
rongga peritoneum dan berhubungan dengan dinding belakang dari rongga
abdomen, dibungkus lapisan lemak yang tebal. Ginjal terdiri dari dua buah yaitu
bagian kanan dan bagian kiri. Ginjal kanan lebih rendah dan lebih tebal dari ginjal
kiri, hal ini karena adanya tekanan dari hati. Letak ginjal kanan setinggi lumbal I
sedangkan letak dari ginjal kiri setinggi thorakal XI dan XII. Bentuknya seperti
biji kacang tanah dan margo lateralnya berbentuk konveks dan margo medialnya
berbentuk konkav. Panjangnya sekitar 4,5 inchi (11,25 cm), lebarnya 3 inchi
(7,5cm), dan tebalnya 1,25 inchi (3,75cm). Bagian luar dari ginjal disebut dengan
substansia kortikal sedang bagian dalamnya disebut substansia medularis dan
dibungkus oleh lapisan yang tipis dari jaringan fibrosa.1

Gambar 2. Struktur Ginjal


Nefron merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerulus,
tubulus proksimal, lengkung hendle, tubulus distal, dan tubulus urinarius (papilla
vateri). Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat
menyaring darah 170 liter, arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke
ginjal. Lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal masing-masing
membentuk simpul dan kapiler suatu badan malphigi yang disebut glomerulus.

6
Pembuluh afferent bercabang membentuk kapiler menjadi vena renalis yang
membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.1
Fungsi ginjal antara lain :
1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat toksik atau racun
2. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan
3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
4. Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh
5. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum,
kreatinin, dan amoniak.

Ureter
Ureter adalah lanjutan dari renal pelvis yang panjangnya antara 10 sampai
12 inchi (25-30 cm), dan diameternya sekitar 1 mm sampai 1 cm. Ureter terdiri
atas dinding luar yang fibrus, lapisan tengah yang berotot, dan lapisan mukosa
sebelah dalam. Ureter mulai sebagai pelebaran hilum ginjal, dan letaknya
menurun dari ginjal sepanjang bagian belakang dari rongga peritoneum dan di
depan dari muskulus psoas dan prosesus transversus dari vertebra lumbal dan
berjalan menuju ke dalam pelvis dan dengan arah oblik bermuara ke vesica
urinaria melalui bagian posterior lateral. Pada ureter terdapat 3 daerah
penyempitan anatomis, yaitu :
1. Ureteropelvico junction, yaitu ureter bagian proksimal mulai dari renal pelvis
sampai bagian ureter yang mengecil
2. Pelvic brim, yaitu persilangan antara ureter dengan pembuluh darah arteri
iliaka
3. Vesicouretro junction, yaitu ujung ureter yang masuk kedalam vesica urinaria
(vesica urinaria)
Ureter berfungsi untuk menyalurkan urin dari ginjal ke vesica urinaria.
Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang diekskresikan oleh ginjal
dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui ostium urethralis masuk ke
dalam vesica urinaria.1

7
Vesica urinaria

Gambar 3. Vesica urinaria

Vesica urinaria merupakan muskulus membran yang berbentuk kantong


yang merupakan tempat penampungan urin yang dihasilkan ginjal, organ ini
berbentuk seperti buah pir (kendi). Letaknya di dalam panggul besar, sekitar
bagian postero superior dari simfisis pubis. Bagian vesica urinaria terdiri dari
fundus (berhubungan dengan rectal ampula pada laki-laki, serta uterus bagian atas
dari kanalis vagina pada wanita), korpus, dan korteks. Dinding vesica urinaria
terdiri dari lapisan peritoneum (lapisan sebelah luar), tunika muskularis (lapisan
otot), tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Vesica
urinaria bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan posisinya, tergantung dari volume
urin yang ada di dalamnya. Secara umum volume dari vesica urinaria adalah 350-
500 ml.1
Vesica urinaria berfungsi sebagai tempat penampungan sementara
(reservoa) urin, mempunyai selaput mukosa berbentuk lipatan yang disebut rugae
(kerutan) dan dinding otot elastis sehingga vesica urinaria dapat membesar dan
menampung jumlah urin yang banyak.1

8
Urethra
Urethra adalah saluran sempit yang terdiri dari mukosa membran dengan
muskulus yang berbentuk spinkter pada bagian bawah dari vesica urinaria.
Letaknya agak ke atas orifisium internal dari urethra pada vesica urinaria, dan
terbentang sepanjang 1,5 inchi (3,75 cm) pada wanita dan 7-8 inchi (18,75 cm)
pada pria. Urethra pria dibagi atas pars prostatika, pars membran, dan pars
kavernosa.1
Fungsi urethra yaitu untuk transport urin dari vesica urinaria ke meatus
eksterna, urethra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari leher vesica
urinaria ke lubang air.1

Pembentukan Urin
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air (96%)
air dan sebagian kecil zat terlarut (4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan
sementara dalam vesica urinaria dan dibuang melalui proses mikturisi.1

Gambar 4. Proses Pembentukan Urin

9
Urin dihasilkan dari penyaringan darah yang dialirkan melalui cabang aorta
abdominalis yaitu arteri renalis oleh nefron-nefron yang ada di ginjal. Nefron-
nefron itu melakukan fungsi-fungsi seperti filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi.3
Proses pembentukan urin, yaitu :
a. Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malphigi menyaring
darah dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat
yang bermolekul besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat
glomerulus (urin primer). Didalam filtrat ini terlarut zat sperti glukosa, asam
amino dan garam-garam.
b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal zat
dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan
filtrat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
c. Sekresi (pengeluaran): dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah
menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion
Na+ dan Cl- dan sekresi H+ DAN K+, selanjutnya akan disalurkan ke
tubulus kolektifus ke pelvis renalis.

B. RETENSI URIN POST PARTUM


1. Definisi
Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan
setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa
kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih
selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat
mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Literatur lain
menyabutkan juga batas waktu kejadian retensio urin adalah 6-10 jam
postpartum.2

2. Epidemiologi
Hasil penelitian sebelumnya di RSCM pada tahun 2008 menemukan
kejadian 17,1% kasus retensi urin partum yang telah dipasang kateter selama
enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio

10
caesarea. Semakin bertambahnya usia ibu hamil maka kemampuan dan fungsi otot
sistem urinaria menurun karena proses degeneratif.3

3. Klasifikasi
a. Retensi urin akut 10,11
Merupakan retensi urin yang berlangsung ≤ 24 jam post partum. Retensi
urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya
gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak
adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra,
karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa
pada ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post
partum merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi
akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau
trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine post operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat. Retensio urine biasanya disebabkan oleh
trauma kandung kemih. Nyeri atau interfensi sementara pada persyarafan kandung
kemih, nyeri sering mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai
urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang sensitif. Pada keadaan ini,
kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan kemampuan untuk
berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil urine dapat dikeluarkan,
kandung kemih banyak mengandung urine residu.
1) Retensio urin pasca persalinan pervaginam
Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom jaringan, selain
itu penekanan yang lama bagian terendah janin terhadap periuretra
menyebabkan gangguan kontraksi otot detrussor, sehingga terjadi
ekstravasasi ke otot kandung kemih Nyeri karena laserasi atau
episiotomi juga menyebabkan hambatan terhadap kontraksi detrusor .
2) Retensio urin pasca seksio sesaria :

11
- Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan
hematom jaringan periuretra
- Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan
mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin
- Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan
spastik sfingter uretra
- Anestesi
b. Retensi urin kronik
Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum. Pada kasus
retensi urin kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical
yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan
penurunan fungsi ginjal.

4. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum,
yaitu :4,5
a. Trauma Intrapartum
Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi urin,
dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi
karena adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap
urethra dan vesica urinaria oleh kepala janin yang memasuki rongga
panggul, sehingga dapat terjadi perlukaan jaringan, edema mukosa kandung
kemih dan ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat
menimbulkan hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin post partum.
b. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan
timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu
berkemih. Gangguan ini bersifat sementara.

12
c. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas
Tonus otot (otot detrusor) vesica urinaria sejak hamil dan post partum
terjadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh obat-obatan
anestesia pada persalinan yang menggunakan anestesi epidural.
d. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih
spontan.

Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf,


yaitu :5
a. Supravesikal
Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–4 dan
Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik
sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin karena gangguan
persarafan.
b. Vesikal
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan
dengan masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya :retensi urin akibat
iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis.
c. Intravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher
vesica urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi.

Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu : 5


a. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post
partum tanpa gejala klinis).
Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa.
Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai
peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan
bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita
dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml dan tidak terdapat
gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini.

13
b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).
Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah
ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan.
Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang
digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6
jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif yang
menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara klinis
dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat
secara keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7% .

5. Faktor resiko
Adapun faktor resikonya sebagai berikut:11,12
1) Riwayat kesulitan berkemih
2) Primipara
3) Pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda
4) Persalinan yang lama dan/ atau distosia bahu
5) Kala II lama
6) Trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral, klitoris, episiotomy
yang besar, rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang signifikan
7) Kateterisasi selama atau setelah kelahiran
8) Perubahan sensasi setelah berkemih
9) Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap

6. Patofisiologi
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih,
sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot
detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan
kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil
biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin.
Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria.
Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu.

14
Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan
terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan
obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesika
urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria
menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama.12,14
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot
detrusor dan sfingter urethra. Terjadinya relaksasi sfingter urethra yang tidak
sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya dengan baik7,8.

7. Diagnosis
Gejala klinis yang timbul pada pasien dengan retensio urin diantaranya
adalah:
a. Kesulitan buang air kecil
b. Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
c. Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat
berkemih
d. Rasa tidak puas setelah berkemih
e. Kandung kemih terasa penuh (distensi abdomen)
f. Kencing menetes setelah berkemih
g. Sering berkemih dengan volume yang kecil
h. Nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI
i. Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan
j. Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan
k. Letak fundus uteri tinggi atau tidak berpindah dengan kandung kenih yang
teraba (terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut bagian
bawah.
Pemeriksaan klinis pada pasien dengan retensio urin didapatkan adanya
massa sekitar daerah pelvik. Vesica urinaria dapat teraba transabdominal jika
isinya berkisar antara 150-300 ml. Pemeriksaan bimanual biasanya meraba vesica
urinaria bila terisi > 200 ml. Pemeriksaan uroflowmetri merupakan salah satu

15
pemeriksaan yang sederhana untuk melihat adanya gangguan berkemih yang pada
pasien normal akan terlihat gambaran dengan flow rate >15-20 ml/detik untuk
volume urin minimal 150 ml. Pada pasien dengan gangguan berkemih ditemukan
penurunan peak flow rate dan perpanjangan waktu berkemih.
Pemeriksaan urin residu adalah sisa volume urin dalam kandung kemih
setelah penderita berkemih spontan. Pada pasien pasca bedah ginekologi setelah
kateter dilepas selama 6 jam didapatkan retensi urin apabila urin residu > 100 ml,
sedangkan pada pasien pasca bedah obstetrik setelah kateter dilepas selama 6 jam
didapatkan volume residu > 200 ml. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan ultrasonografi untuk mengukur volume residu urin.
Diagnosis nilai normal fungsi berkemih pada wanita adalah :
a. Volume residu < 50 ml
b. Keinginan yang kuat timbul setelah pengisisan >250 ml
c. Kapasitas sistometri <50 cm H2O
d. Flow rate > 15 ml/detik

8. Penatalaksanaan
a. Bladder Training

Bladder training
adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk
mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin.
Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu
post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum.
Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi,

kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga

kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan

kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat

berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan,

kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urin

16
minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin ,

drainase kandung kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya

kurang atau sama dengan 50 ml.9

Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih


terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training
adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol,
mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan berkemih.9,10
a) Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar
pasien tersebut dapat berkemih spontan.
b) Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk
berkemih spontan Terapi medikamentosa
c) Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi
uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
d) Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk
mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan
kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.

b. Hidroterapi

Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal dan


dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini. Sejumlah
penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat dari hidroterapi. Dari beberapa
literatur, diketahui manfaat dari hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi
darah sehingga dapat memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak
digunakan sebagai terapi alternatif untuk pemulihan, salah satunya dapat
mencegah terjadinya retensi urin pada masa post partum dengan pertimbangan
non invasif, mudah dilakukan, murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan
sendiri.11
1) Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat

17
Beberapa literatur mendukung hidroterapi dengan air hangat dengan
suhu 106-110°F (41-43°C). Batas suhu tersebut dianggap fisiologis untuk
hidroterapi dan telah diuji melalui beberapa penelitian dengan risiko
terjadinya heatstroke yang minimal. Terapi air hangat pada kulit, khususnya
pada organ urogenitalia eksterna menimbulkan sensasi suhu pada nerve
ending (ujung saraf) pada permukaan kulit. Sensasi ini mengaktivasi
transmisi dopaminergik dalam jalur mesolimbik sistem saraf pusat.11
Diketahui pada jalur persarafan, perangsangan oleh satu fungsi sensasi
akan menghambat fungsi sensasi yang lain. Sebagai contoh, beberapa area
di medulla spinalis menghantarkan sinyal yang diperoleh dari nosiseptor
(reseptor rasa nyeri) dan reseptor taktil (reseptor sensasi suhu).
Perangsangan reseptor taktil oleh suhu akan menghambat transmisi impuls
nyeri dari nosiseptor, sebaliknya stimulasi nyeri dapat menekan transmisi
siyal yang diterima dari reseptor taktil. Hal ini dikenal dengan teori pintu
gerbang (gate teory).
Transmisi sinyal yang diperoleh dari reseptor saraf yang satu akan
menghambat jalur transmisi untuk sensasi lain. Hal ini disebut “blocking
the gate” atau dengan kata lain, sensasi suhu dari air hangat yang diterima
reseptor taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima
oleh reseptor nosiseptor. Sehingga sensasi rasa nyeri dapat berkurang.
Terapi air hangat memberikan efek “crowding process” (proses
pengacauan) pada sistem saraf karena mengakibatkan rasa nyeri terhambat
oleh sensasi suhu yang diterima oleh nerve ending yang bertanggung jawab
terhadap sensasi suhu (nerve endings Ruffini dan Krause). sehingga
memberikan efek penekanan atau pengurangan rasa nyeri (analgesia).
Selain itu, manfaat paparan lokal air hangat dapat mengakibatkan
peningkatan kadar beta endorphin dalam darah. Beta endorfin diketahui
sebagai anti nyeri endogen yang dapat menimbulkan perasaan relaksasi.
2) Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin
Seperti halnya hidroterapi dengan air hangat, rasionalisasi hidroterapi
dengan air dingin juga mengakibatkan terjadinya proses “blocking the

18
gate” (sensasi suhu dari air dingin yang diterima reseptor taktil akan
menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor
nosiseptor.). Pada hidroterapi air dingin juga terjadi efek pengacauan
“crowding process”. Sehingga air dingin juga dapat menekan sensasi rasa
nyeri.12
Selain itu, air dingin juga menghasilkan efek elektroshock ringan pada
korteks serebri karena kuantitas yang banyak dari nerve ending yang
bertanggung jawab terhadap reseptor dingin pada kulit. Hidroterapi dengan
air dingin dapat mengirim sejumlah besar impuls dari ujung saraf perifer
(nerve endings) ke otak, sehingga menghasilkan efek analgesia yang lebih
besar.
Dari literatur disebutkan bahwa hidroterapi dengan air dingin pada
suhu 55 - 75°F (12 - 24°C) bermanfaat pada penyembuhan luka perineum.
Hidroterapi dengan air dingin mengakibatkan penurunan metabolisme sel
dan pengurangan penggunaan oksigen di sekitar jaringan yang tidak luka.
Beberapa penelitian juga telah menunjukkan terapi air dingin menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan sirkulasi vena. Dengan terjadinya
vasokonstriksi vena, maka membantu proses drainase pada jaringan edema
oleh pembuluh limfe. Dengan terjadinya vasokonstriksi pada jaringan
edema, cairan intersellular yang tertahan akan mengalir secara perlahan
melalui jaringan ikat di antara serabut otot ke dalam saluran limfe. Selain
itu, proses drainase ini juga difasilitasi oleh pompa yang terjadi akibat
kontaksi dan relaksasi otot13
Karena itu, hidroterapi dengan air dingin pada ibu post partum
spontan yang mengalami laserasi perineum dapat menjadi salah satu
manajemen luka perineum untuk penanganan edema perineum selain
penanganan higienis perineum dan kuratif dengan medisinal. Dari satu
penelitian dilaporkan insidensi penyembuhan luka laserasi perineum dengan
hidroterapi sebesar 84 % pada sepuluh hari periode post partum.
Penyembuhan lambat sebesar 4,3 %, kejadian Infeksi perineum 1,2 % dan

19
penyembuhan tidak sempurna sebesar 4,8 %. Sedangkan kejadian edema
perineum ringan akan sembuh pada 3 – 4 hari post partum.12
3) Jenis-jenis Hidroterapi12,13
a) Hidroterapi Kontras
Alternatif terapi menggunkan air hangat dan dingin merupakan salah
satu jenis hidroterapi. Penggunaan air hangat adalah untuk membuat
terjadinya vasodilatasi, sedangkan penggunaan air dingin untuk
membuat terjadinya vasokonstriksi. Aplikasi dari terapi ini dapat
dilakukan pada jaringan atau organ tubuh yang inflamasi dan kongesti.
b) Berendam dan Mandi
Berendam dan mandi dengan air hangat dan dingin, akhir-akhir ini
diteliti mempunyai manfaat untuk kesehatan dan membantu proses
penyembuhan karena dapat membantu relaksasi dan mengurangi stres.
Mandi dengan air dingin dapat menstimulasi sistem imun dan
memperbaiki sirkulasi darah.
c) Hot Foot Bath
Terapi rendam kaki dengan air hangat direkomendasikan untuk kaki
yang kram, nausea, demam, insomnia, kongesti pelvis.
d) Heating Compress
Kompres dengan air hangat dianggap bermanfaat untuk memperbaiki
sirkulasi darah, terutama pada engorgement payudara post partum.
e) Constitutional Hidroterapi
Ahli Naturopati sering menggunakan alternatif terapi air untuk
kesehatan dan memperbaiki sistem imun. Metode ini menggunakan
handuk yang direndam ke dalam air hangat dan dingin lalu di
aplikasikan pada punggung dan dada yang nyeri.

c. Bladder training dengan Sitz Bath

Terapi ini menggunakan prinsip hidroterapi pada posisi duduk (Sitz bath ).

Aplikasi prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi daerah pelvis.

20
Hidroterapi ini menggunakan alternatif air dingin dan hangat. Kontraindikasi
metode ini adalah pada pasien dengan penyakit tromboemboli vena seperti deep
vein thrombosis (DVT), infeksi kandung kemih &gangguan sensasi saraf perifer
(penyakit serebrovaskular)12,14
Petunjuk melakukan metode ini, diawali dengan pengisian air hangat pada
kantung air alat Sitz bath sampai 1500 ml. Setelah pasien diposisikan duduk pada
alat Sitz bath, kemudian klem pada selang dibuka sehingga terpancar aliran air
mengenai organ urogenitalia eksterna dan mengisi alat Sitz bath sampai mencapai
ukuran kedalam air 3-4 inchi dari dasar alat Sitz bath, sehingga air dapat
merendam sebagian bokong dan organ urogenital eksterna pada air yang dialirkan
pada selang ke dalam alat Sitz bath. Aplikasi ini menggunakan air hangat (106-
110°F, 41-43°C), setelah itu diganti dengan menggunakan air dingin (55-75°F,
12-24°C). Berdasarkan literatur, proses berendam diupayakan senyaman mungkin
selama + 10 – 20 menit. Dimana alat terapi Sitz bath disesuaikan dengan bentuk
dan ukuran pasien12
0 0
Hidroterapi dengan suhu air hangat (106-110°F, 41 C – 43 C) merupakan
suhu air dalam batas fisiologis yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
dan meningkatkan pasokan darah yang akan meningkatkan oksigenisasi ke
jaringan. Selain itu, dapat menimbulkan sensasi suhu terhadap nerve endings kulit
pada organ urogenitalia eksterna, menstimulus jalur persarafan, menghilangkan
rasa nyeri dan membantu proses relaksasi dari sfingter uretra sehingga dapat
tercapai fungsi eliminasi berkemih spontan dari ibu post partum spontan.
Hidroterapi dengan air dingin bersuhu 55-75°F, 12-24°C juga dapat menimbulkan
efek analgesia dan membantu mengurangi edema jaringan, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat dan
dingin.12,15

21
Gambar 5. Sitz Bath

RETENSIO URIN

Kateterisasi
Urinalisis, Kultur Urin
Antibiotika, banyak minum (3 liter/24
jam), prostaglandin

Urin < 500 ml Urin 500-1000 ml Urin 1000-2000 ml Urin > 2000 ml

Dauer Kateter Dauer Kateter Dauer Kateter


Intermiten 3 x 24 jam
1 x 24 jam 2 x 24 jam

Buka - tutup kateter per 4 jam


Selama 24 jam (Kecuali pasien sudah BAK
dapat dibuka)

Kateter di lepas pada pagi hari

Dapat BAK Tidak dapat BAK


spontan spontan

Urin residu > 200 ml (obstetric) Urin residu < 200 ml (obstetric)
Urin residu > 100 ml (ginekologi) Urin residu < 100 ml (ginekologi)

Pulang
22
Keterangan : Intermiten adalah kateterisasi
selama 4 jam selama 24 jam
BAB III

LAPORAN KASUS

STATUS GINEKOLOGI
Tanggal Pemeriksaan : 25-11-2016 Ruangan : Kasuari
Jam : 08.00

IDENTITAS
Nama : Ny. S Nama Suami : Tn. H
Umur : 25 Tahun Umur : 34 tahun
Alamat : Jl. Vetran no 47 Alamat : Jl. Vetran no 47
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : PNS
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : S1

ANAMNESIS
PIA0 Menarche : 12 tahun
Perkawinan : I, ±1 tahun

Keluhan Utama : Tidak bisa buang air kecil


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dirawat dengan diagnosis post partum hari ke-2, mengeluh tidak bisa
buang air kecil secara spontan sejak tadi malam. Keluhan disertai perut terasa
kembung (+) dan nyeri, keputihan (-), keluar nanah dari jahitan di jalan lahir (-),
BAB lancar.
Pasien melahirkan di kamar bersalin RSU Anutapura ditolong bidan.
Setelah melahirkan, pasien dirawat di Kasuari dan keesokan harinya pasien
merasa kesulitan buang air kecil. Pasien merasa ingin buang air kecil namun saat
ke kamar mandi dan mengedan untuk berkemih, air kencing keluar hanya sedikit
dan menetes. Urin yang keluar berwarna kuning muda.

23
Riwayat Obstetri:
- Anak pertama : Anak perempuan, usia 2 hari, aterm, spontan LBK, lahir
ditolong bidan di KB RSU Anutapura

Riwayat. Penyakit Dahulu :


- Hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Diabetes melitus disangkal
- Riwayat alergi disangkal

PEMERIKSAAN FISIK
1. KU : Sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Vital sign : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 37ºC
4. Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-),
pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
5. Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas jantung
DBN
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi jantung
I/II murni reguler
6. Abdomen :
I : Tampak cembung, sikatrik (-) stria (-)
A : Peristaltik usus (+) kesan normal
P : Timpani diseluruh kuadran

24
P : Nyeri tekan (+) suprapubis , full blast (+)
7. Ekstremitas :
Atas : Akral hangat, edema -/-
Bawah : Akral hangat, edema -/-

GINEKOLOGI
Pemeriksaan luar :
1. Vulva : Tampak hecting di perineum, hecting kering
2. Vagina : Tidak ada kelainan
3. Kelenjar bartolini : Tidak ada pembesaran
4. Kelenjar skene : Tidak ada pembesaran
5. Pelepasan : Darah

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urine Rutin :
PH : 6.0
BJ : 1.025
Protein : Negatif
Blood :+
Leukosit : +++
Sedimen Leukosit : Tak Terhitung
Sedimen Eritrosit : 10-15
Sedimen Epitel Sel :+

25
2. Darah rutin
PARAMETER HASIL SATUAN RANGE NORMAL

WBC 20,7 103/uL 4,8 – 10,8


RBC 3,25 106/uL 4,7 – 6,1
HGB 8,00 g/dL 14 – 18
HCT 33,6 % 42 – 52
MCV 72,9 fL 80 – 99
MCH 22,4 pg 27 – 31
MCHC 30,8 g/dL 33 – 37
PLT 275 103/uL 150 – 450

HbsAg : Non Reaktif

RESUME
♀, 25 tahun, P1A0 dengan diagnosis post partum hari ke-2, mengeluh
tidak bisa buang air kecil secara spontan sejak tadi malam. Keluhan disertai perut
terasa kembung (+) dan nyeri, keputihan (-), keluar nanah dari jahitan di jalan
lahir (-), BAB lancar.
Pasien melahirkan di kamar bersalin RSU Anutapura ditolong bidan.
Setelah melahirkan, pasien dirawat di Kasuari dan keesokan harinya pasien
merasa kesulitan buang air kecil. Pasien merasa ingin buang air kecil namun saat
ke kamar mandi dan mengedan untuk berkemih, air kencing keluar hanya sedikit
dan menetes. Urin yang keluar berwarna kuning muda.
Pemeriksaan fisik didapatkan full blast (+) dan nyeri tekan (+). Pemeriksaan
luar genitalia, didapatkan vulva tampak hecting di perineum, hecting kering. Pada
vagina tidak ada kelainan, pelepasan darah (+).
Pemeriksaan penunjang urin rutin didapatkan hasil blood : +, leukosit : +++,
sedimen leukosit : tak terhitung, sedimen eritrosit : 10-15, sedimen epitel sel : +.
Pada pemeriksaan darah rutin WBC (20.700/uL), RBC (3.250.000/uL), HGB (8
g/dl), PLT (275.000/uL).

26
DIAGNOSIS
P1A0 25 tahun + Post partum spontan letak belakang kepala hari ke II+
Ruptur perineum derajat II + Retensi urin post partum

PENATALAKSANAAN
- Pasang kateter menetap 2x24 jam  keluar urin 600 cc warna kuning muda
- Cefadroxyl 2x500 mg
- Metylergometrin 3x1 tab
- Asam mefenamat 3x500 mg
- Neurodex 2x1

27
FOLLOW UP

26 November 2016
S : BAK(+) perkateter, BAB (+), mual (+), muntah (-), nyeri perut
(+), pengeluaran darah pervaginam (+), nyeri luka jahit perineum
(+)
O : KU :Sakit sedang, Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
N : 84 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,6o C
Nyeri tekan epigastrium dan suprapubik (+)
ASI +/+
TFU 2 jari di bawah pusat
Lokia (+)
Volume Urin 100 cc
A : PIA0 + Post Partum Hari ke-3 + Ruptur Perineum Derajat II +
Retensi Urin Post partum
P : Cefadroxyl 2x500 mg
Metylergometrin 3x1 tab
Asam mefenamat 3x500 mg
Neurodex 2x1 tab
Kateter tetap sampai besok (2x24 jam), kemudian kateter
intermitten buka/3 – 4 jam

28
FOLLOW UP

27 November 2016
S : BAK(+) perkateter, BAB (+), mual (-), muntah (-), nyeri perut
(-), pengeluaran darah pervaginam (+), nyeri luka jahit perineum
(+)
O : KU : Sakit sedang, Compos mentis
TD : 110/80 mmHg
N : 82x/menit
R : 20x/menit
S : 36,5o C
ASI +/+
TFU 2 jari di bawah pusat
Lokia (+)
Volume Urin 600 cc warna kuning
A : PIA0 + Post Partum Hari ke-4 + Ruptur Perineum Derajat II +
Retensi Urin Post Partum
P : Cefadroxyl 2x500 mg
Metylergometrin 3x1 tab
Asam mefenamat 3x500 mg
Neurodex 2x1 tab
Kateter tetap sampai jam 15.20, kemudian lanjut kateter
intermitten buka/3 – 4 jam

29
FOLLOW UP

28 November 2016
S : BAK(+) bladder training, BAB (+), mual (-), muntah (-), nyeri
perut (-), pengeluaran darah pervaginam (+), nyeri luka jahit
perineum berkurang
O : KU : Sakit sedang, Compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 80x/menit
R : 20x/menit
S : 36,5oC
ASI +/+
TFU 2 jari di bawah pusat
Lokia (+)
A : PIA0 + Post Partum Hari ke-5 + Ruptur Perineum Derajat II +
Retensi Urin Post Partum
P : Cefadroxyl 2x500 mg
Metylergometrin 3x1 tab
Asam mefenamat 3x500 mg
Neurodex 2x1 tab
Kateter intermitten buka/3 – 4 jam

30
FOLLOW UP

29 November 2016
S : BAK(+) bladder training, BAB (+), mual (-), muntah (-), nyeri
perut (-), pengeluaran darah pervaginam (+), nyeri luka jahit
perineum (-)
O : KU :Sakit sedang, Compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 80 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,6o C
ASI +/+
TFU 3 jari di bawah pusat
Lokia (+)
A : PIA0 + Post Partum Hari ke-6 + Ruptur Perineum Derajat II +
Retensi Urin Post partum
P : Cefadroxyl 2x500 mg
Metylergometrin 3x1 tab
Neurodex 2x1 tab
Kateter intermitten buka/3 – 4 jam

31
FOLLOW UP

1 Desember 2016
S :BAK(+) bladder training, BAB (+), mual (-), muntah (-), nyeri
perut (-), pengeluaran darah pervaginam (+), nyeri luka jahit
perineum (-)
O : KU : Sakit sedang, Compos mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 82x/menit
R : 20x/menit
S : 36,50C
ASI +/+
TFU 5 jari di bawah pusat
Lokia (+)
A : PIA0 + Post Partum Hari ke-8 + Ruptur Perineum Derajat II +
Retensi Urin Post Partum
P : Cefadroxyl 2x500 mg
Neurodex 2x1 tab
Aff kateter (obs produksi urin 2-6 jam post aff kateter, dan hitung
urin residu)

31
FOLLOW UP

2 Desember 2016
S: BAK(+), BAB (+), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-),
pengeluaran darah pervaginam (+), nyeri luka jahit perineum (-)
O : KU : Sakit sedang, Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
N : 84x/menit
R : 20x/menit
S : 36,50C
ASI +/+
TFU 5 jari di bawah pusat
Lokia (+)
A : PIA0 + Post Partum Hari ke-9 + Ruptur Perineum Derajat II +
Retensi Urin Post Partum
P : Cefadroxyl 2x500 mg
Neurodex 2x1 tab
Boleh Pulang

32
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan retensi urin post partum karena
berdasarkan anamnesis pada pasien ini ditemukan adanya gejala tidak bisa buang
air kecil setelah 2 hari post partum. Pasien merasa ingin buang air kecil namun
saat ke kamar mandi dan mengedan untuk berkemih, air kencing keluar hanya
sedikit dan menetes. Urin yang keluar berwarna kuning muda.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan full blast (+) dan nyeri tekan (+).
Pemeriksaan luar genitalia pada vulva tampak hecting di perineum, hecting
kering. Pada vagina tidak ada kelainan, kelenjar bartolini dan kelenjar skene tidak
ada pembesaran, nyeri tekan, pelepasan darah (+).
Dimana retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses
berkemihspontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan
denganurin sisa >200 ml pada kasus obstetri atau>100 ml untuk kasus ginekologi.
Pemeriksaan klinis pada pasien dengan retensio urin didapatkan adanya
massa sekitar daerah pelvik. Vesika urinaria dapat teraba transabdominal jika
isinya berkisar antara 150-300 ml. Pemeriksaan bimanual biasanya meraba vesika
urinaria bila terisi > 200 ml.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum
pada pasien ini, yaitu : trauma intrapartum, refleks kejang (cramp) sfingter uretra,
hipotonia selama masa kehamilan dan nifas, dan posisi tidur telentang pada masa
intrapartum membuat ibu sulit berkemih spontan.
Salah satu penatalaksanaan pada pasien ini adalah bladder training, dimana
bladder training ini merupakan kegiatan melatih kandung kemih untuk
mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin
dengan cara pemasangan kateter selama 24 jam dengan pola intermiten yaitu
selang kateter dijepit atau diikat lalu di buka jepit atau ikatan tersebut per 4 jam
atau jika pasien ada perasaan ingin berkemi. Dengan bladder training diharapkan
fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dapat terjadi
dalam 2 – 6 jam post partum.

33
Secara teori ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan
kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam
untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih
menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien
harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih
secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa
residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml residu
urin, drainase kandung kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih
normalnya kurang atau sama dengan 50 ml.

34
KESIMPULAN

Secara penatalaksanaan retensio urin post partum, pertama kali diupayakan


berbagai cara yang non invasif agar pasien dapat berkemih spontan.
- Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan berjalan ke toilet untuk
berkemih.
- Banyak minum air 3 liter dalam 24 jam.
- Diberikan uterotonika agar terjadi involusi uteri yang baik. Kontraksi uterus
diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
- Diberikan prostaglandin yang berfungsi mempengaruhi kerja dari otot-otor
detrusor dan prostaglandin F2 alfa berungsi sebagai spesifisitas reseptor
asetilkolin muskarinik dan merangsang kontraksi detrusor.

Jika semua upaya yang telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk
mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka :
- Perlu dilakukan pemasangan kateter kemudian lakukan bladder training.
- Adapun alternatif lain yang sudah lama dikenal yaitu hidroterapi.
- Fisioterapi

Berdasarkan teori, terapi medikamentosa pada retensi urin post partum dapat
diberikan prostaglandin. Namun pada pasien ini tidak diberikan prostaglandin,
hanya diberikan metilergometrin. Kedua obat ini termasuk dalam golongan
uterotonika yang berfungsi untuk merangsang kontraksi uterus dalam involusi
uterus. Kontraksi uterus ini akan diikuti dengan kontraksi dari otot-otot kandung
kemih.
Kemungkinan pada saat pengambilan sampel urin pada pasien ini, telah
bercampur dengan lochea sehingga didapatkan leukosit (+++) dan sedimen darah
(+). Lochea adalah sekresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea mengandung
darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus. Lochea
mempunyai reaksi basa/ alkalis yang dapat membuat organisme berkembang lebih
cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal. Lochea mempunyai

35
bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-
beda pada setiap wanita. Lochea yang berbau tidak sedap menandakan adanya
infeksi. Pengeluaran lochea dapat dibagi berdasarkan waktu dan warnanya seperti
berikut ini:
- Lochea rubra ini keluar pada hari pertama sampai hari ke-4 masa
postpasrtum. Cairan yang keluar berwarna merah karena terisi darah segar,
jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, lanugo (rambut bayi),
dan mekonium.
- Lochea sanguinolenta ini berwarna merah kecoklatan dan berlendir, serta
berlangsung dari hari ke-4 sampai hari ke-7 post partum. Pada hari ke- 8
mulai keluar lochea serosa yang berwarna kuning kecoklatan karena
mengandung serum, leukosit, dan robekan atau laserasi plasenta. Keluar pada
hari ke-7 sampai hari ke-14.
- Lochea alba ini mulai berwarna putih yang mengandung leukosit, sel desidua,
sel epitel, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang mati. Lochea alba
ini dapat berlangsung selama 2-6 minggu post partum.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia, Vol.
20, Februari 2008.
2. Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin
Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006.
3. Saultz JW, Toffler WL, Shackles JY. Postpartum urinary retention,
Department of Family Medicine, Oregon Health Sciences University,
Portland, 2001.
4. Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after
vaginal delivery, prevalence and symptoms at follow up in population based
study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3.
5. Kavin G, Jonna B, et al. Incidence and treatment of urinary retention
postpartum. Int Urogynecol Journal 2003; 14:119-21.
6. Yip S, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the post partum period.
Acta Obstet Gynecol Scand 1997:667-72.
7. Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post
partum. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Oktober 2008.
8. Junizaf. Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan, Uroginekologi 1 Sub
bagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri Ginecologi FKUI
Jakarta, 2002.
9. Donna, Fiderkow.M, H.P. Drutz, T.C. Mainprize. 1990. Characteristic of
Patients with Postpartum Urinary. The International Urogynecology Journal.
1: 136-138.
10. Magowan BA. Owen P, Drife J. Urinary Incontinence in Clinical Obstetrics
& Gynaecology. Elsevier, London, 2004 : 175 – 81.
11. Santoso BI, Mengatasi Komplikasi Pasca Operasi Berupa Gangguan Miksi
(Retensio Urine) Dan Infeksi (Pemberian Antibiotic Profilaksis). Divisi
Uroginekologi Rekonstroksi Dept. Obstetric Dan Ginekologi FKUI,
Jakarta :2009.

37
12. Rizki, TM, Tesis Kejadian retensi urin paska seksio sesarea dan bedah
ginekologi di RSUP. H. Adam malik Medan, Departemen Obstetri dan
Ginekologi FK-USU, 2009.
13. Liang CC, Chang SD, ChenSH, et all. Postpartum urinary retention after
cesarean delivery in International Journal of Gynecology and Obstetrics 99,
2007 : 229–32.
14. Gardjito W. Retensi urin permasalahan dan penatalaksanaannya dalam
Juri voll 4. UPF Ilmu Bedah FK Unair, Surabaya : 1994.
15. Nikolai A, Shevchuk. Hydrotherapy as a possible neuroleptic and sedative
treatment. Molecular Radiobiology Section. USA. 2008.

38

Anda mungkin juga menyukai