Anda di halaman 1dari 22

BAB I

HEALTH BELIEF MODEL


(Model Kepercayaan Kesehatan)

Model kognitif merupakan model yang meninjau prediktor dan prekusor dari
perilaku-perilaku kesehatan. Model kognitif diperoleh dari teori subjective
expected utility (SEU), Edward 1954, yang menyampaikan bahwa perilakuperilaku merupakan hasil pertimbangan dari potential costs dan benefits. Model
kognitif menggambarkan perilaku sebagai hasil dari proses informasi yang
rasional dan menekankan pada kognitif individual, tidak pada konteks sosial.
A. Sejarah Health Belief Model
Salah satu model paling awal yang dikembangkan untuk menjelaskan terkait
perilaku kesehatan adalah Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan).
Health Belief Model adalah model psikologikal yang mencoba untuk menjelaskan
dan memprediksikan perilaku kesehatan. Hal ini dilakukan dengan berfokus pada
attitudes (sikap) dan beliefs (keyakinan/kepercayaan) dari seorang individu.
Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio
psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem
kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima
usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh
provider

kesehatan.

Kegagalan

ini

akhirnya

memunculkan

teori

yang

menjelaskan perilaku pencegahan penyakit atau preventif behavior, yang oleh


Becker tahun 1974 mengembangkan dari teori lapangan (field theory) oleh Lewin
tahun 1954 menjadi model kepercayaan kesehatan/ health belief model.
Health Belief Model awal mulanya dikembangkan oleh Rosenstock pada
tahun 1966 dan selanjutnya oleh Becker dan rekannya sepanjang tahun 1970
dan 1980 agar dapat memprediksikan perilaku kesehatan yang bersifat
pencegahan dan juga respon perilaku untuk mengobati atau merawat penyakit
pasien baik akut maupun kronis.
Irwin Rosenstock Lahir pada tanggal 15 Januari 1925. Merupakan
Psychologist US Public Health Service pada tahun (1951-1961). Associate
Professor Health Behavior, School of Public Health , University of Michigan

(1961-1965). Professor of Health Behavior and Chairman, Dept. Of Health


Behavior. And Education, University of Michigan (1975- ).
Pada awalnya HBM dipahami oleh para psikolog sosial di Dinas Kesehatan
Masyarakat AS pada tahun 1950 untuk menjelaskan kegagalan luas partisipasi
masyarakat dalam program pencegahan dan deteksi dini penyakit. HBM
mengembangkan sebuah pendekatan untuk memahami perilaku yang tumbuh
dari teori-teori belajar yang berasal dari dua sumber utama yaitu teori Stimulus
Respon (SR) dan Teori Kognitif. Teori SR percaya bahwa hasil belajar dari
peristiwa

yang

mengurangi peran

fisiologis yang

mengaktifkan

perilaku.

Sedangkan teori kognitif berdasarkan nilai teori harapan merupakan hasil perilaku
berdasarkan nilai dari suatu hasil (subyektif, individu) dan harapan bahwa perilaku
tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan, pemikiran penalaran (kritis).
Dalam beberapa tahun kemudian, HBM telah direvisi untuk memasukkan
motivasi kesehatan umum untuk tujuan membedakan penyakit dan peran
perilaku sakit dari perilaku kesehatan. Berasal sekitar tahun 1952. Hal ini
umumnya dianggap sebagai awal dari penelitian sistematis, teori berbasis
perilaku kesehatan. HBM telah digunakan untuk memprediksi perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan. Model ini dikembangkan untuk menanggapi
kegagalan

program

kesehatan,

seperti

skrining

TBC

(TB).

Sejak

itu,

HBM telah disesuaikan dengan mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan


jangka panjang dan jangka pendek, termasuk perilaku seksual berisiko dan
penularan HIV / AIDS.

B. Tujuan Health Belief Model


Health Belief Model (HBM) menjadi salah satu kerangka konseptual yang
digunakan secara luas di dalam perilaku kesehatan selama 5 dasawarsa. Health
Belief Model juga digunakan untuk :
a. menjelaskan perubahan dan pemeliharaan dari perilaku yang berhubungan
dengan kesehatan,
b. sebagai kerangka pedoman dari intervensi perilaku kesehatan.
c. menggambarkan,

membandingkan,

dan

menganalisa

dengan

menggunakan sebuah aturan yang luas dari beraneka ragam teknik


analitik.

C. Komponen Health Belief Model


Menurut HBM, kemungkinan bahwa seseorang akan mengambil tindakan
untuk mencegah penyakit tergantung pada persepsi individu bahwa:
1. Mereka adalah pribadi yang rentan terhadap kondisi/penyakit;
2. Konsekuensi dari kondisi tersebut akan menjadi serius;
3. Perilaku pencegahan efektif mencegah kondisi tersebut, dan
4. Manfaat dari mengurangi ancaman terhadap kondisi melebihi biaya dari
melakukan tindakan pencegahan.
Keempat faktor, yang dipengaruhi oleh variabel mediasi, secara tidak
langsung mempengaruhi kemungkinan melakukan perilaku kesehatan dengan
mempengaruhi ancaman yang dirasakan dari penyakit dan harapan tentang
hasilnya. HBM telah digunakan untuk melakukan intervensi dengan pemeriksaan
kesehatan, penyakit, peran sakit, dan perilaku pencegahan. Model ini telah
mengalami beberapa modifikasi sejak perumusan semula. Empat model
komponen kunci secara konsep seperti yang dirasakan terhadap: 1) tingkat
kerentanan, 2) keparahan, 3) efektivitas, dan 4) biaya.
a. Perceived Susceptibility
Perceived Susceptibility / Kerentanan yang dirasakan mengacu pada
keyakinan tentang kemungkinan mendapatkan penyakit atau kondisi. Setiap
individu memiliki persepsinya sendiri dari kemungkinan mengalami suatu kondisi
yang akan merugikan kesehatannya. Individu bervariasi dalam persepsi mereka
tentang kerentanan terhadap penyakit. Mereka yang menganggap dirinya
berisiko rendah menyangkal kemungkinan tertular suatu kondisi yang merugikan.
Individu dalam kategori moderat mengakui kemungkinan statistik kerentanan
penyakit. Orang-orang yang memiliki risiko tinggi terhadap kerentanan merasa
ada bahaya nyata bahwa mereka akan mengalami kondisi yang merugikan atau
terjangkit penyakit tertentu. Dari perspektif HBM, seseorang kemungkinan akan
terlibat dalam perilaku pencegahan untuk mencegah kanker (misalnya, berhenti
merokok,

makan

makanan

rendah

lemak

dan

tinggi

serat,

olahraga,

mendapatkan pemeriksaan mammogram atau prostat) tergantung pada berapa


banyak mereka percaya bahwa mereka rentan atau berisiko untuk terkena
kanker. Secara umum, ditemukan bahwa orang cenderung meremehkan
kerentanan mereka sendiri terhadap penyakit.

b. Perceived Severity
Perceived Severity mengacu pada seberapa serius individu percaya terhadap
konsekuensi atau keparahan jika kondisi berkembang. Seorang individu lebih
mungkin mengambil tindakan untuk mencegah kanker jika dia percaya bahwa
dampak negatif yang muncul terhadap fisik, efek psikologis, dan atau sosial
akibat terserang penyakit itu menimbulkan konsekuensi serius (misalnya,
hubungan sosial yang berubah, kemandirian berkurang, rasa sakit, penderitaan,
cacat, atau bahkan kematian). Model Kepercayaan Kesehatan sering merujuk
pada ancaman kesehatan yang dirasakan. Kombinasi kerentanan yang
dirasakan dan keparahan yang dirasakan merupakan sebuah ancaman.
c. Perceived Barrier/ Cost
Biaya yang dirasakan mengacu pada hambatan atau kerugian yang
mengganggu perubahan perilaku kesehatan. Kombinasi efektivitas yang
dirasakan dan biaya yang dirasakan merupakan gagasan dari hasil yang
diharapkan. Percaya saja tidak cukup untuk memotivasi individu untuk bertindak.
Mengambil tindakan kognitif melibatkan penimbangan biaya pribadi terkait
dengan perilaku terhadap manfaat yang diharapkan sebagai hasil dari perilaku
kesehatan yang dilakukan. Manfaat harus lebih besar daripada biaya yang
dikeluarkan.
d. Perceived Effectiveness/ Perceived Benefits
Efektivitas yang dirasakan mengacu pada manfaat terlibat dalam perilaku
pelindung. Motivasi mengambil tindakan untuk mengubah perilaku membutuhkan
keyakinan bahwa perilaku pencegahan efektif mencegah kondisi tersebut.
Sebagai contoh, individu yang tidak yakin bahwa ada hubungan sebab akibat
antara merokok dan kanker tidak mungkin untuk berhenti merokok, karena
mereka percaya berhenti merokok tidak akan melindungi mereka terhadap
penyakit.
e. Cues to Action
Cues to action melibatkan rangsangan yang memotivasi seseorang untuk
terlibat dalam perilaku kesehatan. Stimulus yang memicu tindakan mungkin
berasal dari internal maupun eksternal. Sebagai contoh, fikiran dan gejala yang
dirasakan dapat bertindak sebagai isyarat internal untuk melakukan tindakan.
Isyarat eksternal seperti penyakit yang diderita pasangan atau kematian orang
tua juga dapat memicu perubahan perilaku kesehatan dalam individu yang tidak

dinyatakan dalam mempertimbangkannya. Faktor-faktor HBM juga berinteraksi


untuk memicu sebuah tindakan. Misalnya, ketika persepsi kerentanan dan tingkat
keparahan tinggi, mungkin hanya dibutuhkan sedikit stimulus untuk memulai
sebuah tindakan. Namun, rangsangan yang dibutuhkan kemungkinan lebih
banyak untuk menimbulkan sebuah tindakan baru jika kerentanan dan
keparahan yang dirasakan rendah. Ini berarti cue to action pada persepsi
individu terhadap tingkat kerentanan dan keseriusan memberikan kekuatan untuk
bertindak. Manfaat (minus hambatan) menyediakan jalur tindakan. Namun,
mungkin memerlukan sebuah 'isyarat untuk bertindak' untuk terjadinya perilaku
yang diinginkan. Isyarat ini mungkin internal atau eksternal. HBM menyarankan
bahwa keyakinan inti harus digunakan untuk memprediksi kemungkinan bahwa
perilaku akan terjadi.
f.

Self Efficacy

Formulasi terbaru dari HBM telah memasukkan self-efficacy sebagai faktor


kunci. Self-efficacy dipengaruhi oleh variabel mediasi dan dalam gilirannya
dipengaruhi harapan. Self-efficacy menurut Bandura didefinisikan sebagai
"keyakinan bahwa dapat berhasil melaksanakan perilaku yang diperlukan untuk
memproduksi hasil". Bandura membedakan harapan self-efficacy dari harapan
hasil, didefinisikan sebagai perkiraan seseorang bahwa perilaku tertentu akan
memberikan hasil tertentu. Harapan hasil memiliki kemiripan tapi berbeda dari
konsep HBM perceived benefits. Pada tahun 1988, Rosenstock, Strecher, dan
Becker menyarankan bahwa self-efficacy ditambahkan ke HBM sebagai
konstruksi yang terpisah, dari konsep asli termasuk kerentanan, keparahan,
manfaat, dan hambatan.

D. Kerangka Health Belief Model

E. Pengukuran Health Belief Model


Salah satu keterbatasan yang paling penting dalam penelitian baik deskriptif
dan intervensi pada HBM yaitu dalam pengukuran variabilitas konstruk dari HBM.
Beberapa prinsip penting dipahami dalam pengembangan pengukuran HBM.
Definisi harus dibuat konsisten dengan konsep awal dari teori HBM, dan langkahlangkah harus spesifik dengan perilaku yang ditangani (hambatan untuk
mamografi mungkin sangat berbeda dari hambatan untuk kolonoskopi) dan
relevan dengan penduduk dimana konsep akan digunakan. Untuk memastikan
validitas isi, penting untuk mengukur berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku. Menggunakan beberapa item untuk setiap skala akan mengurangi
kesalahan pengukuran dan meningkatkan kemungkinan termasuk semua
komponen relatif dari masing-masing konstruk. Akhirnya, validitas dan reliabilitas
tindakan yang perlu diperiksa ulang dengan studi masing-masing. Perbedaan
budaya dan populasi membuat skala yang diterapkan tanpa pemeriksaan akan
rentan terhadap kesalahan. Hanya beberapa penelitian yang menggunakan
instrument HBM yang dikembangkan atau dimodifikasi untuk mengukur konstruk
HBM yang telah melakukan keandalan yang memadai dan pengujian validitas
sebelum penelitian.

F. Penggunaan Health Belief Model


HBM telah digunakan secara luas untuk menentukan hubungan antara
keyakinan kesehatan dan perilaku kesehatan, serta untuk menginformasikan
intervensi. Jika diterapkan pada kesehatan berkaitan dengan perilaku seperti
skrining untuk kanker serviks, jika seseorang merasakan bahwa ia sangat rentan
terhadap kanker leher rahim, dan menurutnya kanker serviks adalah ancaman
kesehatan yang serius, manfaat dari skrining rutin yang tinggi, dan biaya
tindakan yang dirasakan relatif rendah. Ini juga akan menjadi tindakan nyata jika
dia mengalami isyarat untuk bertindak yang bersifat eksternal, seperti selebaran
di ruang tunggu dokter, maupun internal, seperti gejala yang dirasakan yang
berhubungan dengan kanker serviks (baik benar maupun tidak), seperti rasa
sakit atau iritasi.
G. Dukungan Health Belief Model
Beberapa studi mendukung prediksi dari teori HBM. Penelitian menunjukkan
bahwa kepatuhan diet, seks yang aman, mendapatkan vaksinasi, melakukan
pemeriksaan gigi teratur dan mengambil bagian dalam program olahraga teratur
berkaitan dengan persepsi individu dari kerentanan terhadap masalah kesehatan
yang terkait, dengan kepercayaan mereka bahwa masalah ini serius dan
persepsi mereka bahwa keuntungan dari tindakan pencegahan lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkan. Penelitian juga menyediakan dukungan untuk
masing-masing komponen model. Norman dan Fitter (1989) meneliti perilaku
kesehatan skrining dan menemukan bahwa hambatan yang dirasakan adalah
prediktor terbesar dari kehadiran klinik. Beberapa studi telah meneliti perilaku
pemeriksaan payudara sendiri (BSE) dan melaporkan bahwa hambatan dan
kerentanan yang dirasakan adalah prediktor terbaik untuk perilaku sehat.
Pada tahun 1984, Champion memelopori suatu instrumen penelitian yang
berkaitan terhadap perilaku skrining kanker payudara dengan HBM. Dia telah
lebih jauh meneliti berbagai populasi dan metode skrining kanker payudara
spesifik berdasarkan konstruksi HBM. Hasil penelitian Champion menetapkan
bahwa ukuran untuk kerentanan, keseriusan, dan hambatan adalah koefisien
internal yang konsisten dan dapat diandalkan. Individu melaporkan beberapa
hambatan yang dirasakan lebih mungkin untuk melaporkan peningkatan
frekuensi BSE. Selain itu, peserta dengan motivasi kesehatan melaporkan lebih

sering melakukan BSE. Berdasarkan pekerjaan sebelumnya dari Champion


(1984) dalam meneliti HBM dan BSE, pada tahun 1999 Champion merevisi skala
yang digunakan untuk mengukur kerentanan, manfaat, dan hambatan yang
dirasakan untuk perilaku skrining kanker payudara seperti mamografi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peserta yang tidak pernah mammogram memiliki
skor penghalang signifikan lebih tinggi daripada mereka yang telah memiliki
minimal satu mammogram sebelumnya.
Penelitian Champion juga memberikan dukungan untuk peran cue to action
dalam memprediksi perilaku kesehatan, dalam isyarat eksternal tertentu seperti
masukan informasi baru. Bahkan, promosi kesehatan menggunakan masukan
informasi seperti untuk mengubah keyakinan dan akibatnya mempromosikan
perilaku sehat di masa depan. Informasi dalam bentuk rasa takut, akan
membangkitkan peringatan yang dapat mengubah sikap dan perilaku kesehatan
misalnya

di

bidang

kesehatan

gigi,

mengemudi

yang

aman

dan

merokok. Informasi umum mengenai konsekuensi negatif dari perilaku juga


digunakan, baik dalam pencegahan dan penghentian perilaku merokok.
Beberapa penelitian juga menunjukkan korelasi positif antara pengetahuan
tentang BSE, kanker payudara dan melakukan BSE. Pada estudy, yang
dimanipulasi pengetahuan tentang tes pap untuk kanker serviks dengan
menunjukkan sebuah rekaman video subyek informatif, melaporkan bahwa
peningkatan pengetahuan yang dihasilkan terkait dengan perilaku sehat di masa
depan.

H. Konflik/Pertentangan Health Belief Model


Namun, beberapa penelitian telah melaporkan temuan yang bertentangan.
Janz Becker (1984) menemukan bahwa niat perilaku sehat terkait dengan
keseriusan yang dirasakan rendah atau tidak tinggi seperti yang diperkirakan dan
beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara kerentanan rendah
(tidak tinggi) dan perilaku sehat. Hill dkk menerapkan HBM untuk kanker serviks,
untuk meneliti faktor-faktor yang memprediksi perilaku skrining serviks. Hasil dari
sugesti hambatan untuk bertindak adalah predictor terbaik dari niat perilaku dan
kerentanan yang dianggap kanker serviks juga secara signifikan berhubungan
dengan perilaku skrining. Namun, manfaat dan keseriusan dirasakan tidak
terkait. Janz dan Becker melakukan studi menggunakan HBM dan menemukan

prediktor terbaik untuk perilaku kesehatan adalah hambatan dan kerentanan


yang dirasakan terhadap penyakit. Namun, Becker dan Rosenstock (1984),
dalam review dari 19 studi menggunakan meta-analisis bahwa prediktor terbaik
dari kepatuhan perilaku kesehatan adalah biaya, manfaat dan keparahan yang
dirasakan.

I.

Kritik Terhadap Health Belief Model


HBM telah dikritik karena hasil yang bertentangan. Teori ini juga dikritik

karena kelemahan lain, termasuk:


1. Fokusnya pada pengolahan informasi rasional;
2. Penekanannya pada individu (peran apa yang dimainkan oleh lingkungan
sosial dan ekonomi?);
3. Keterkaitan antara keyakinan inti yang berbeda (bagaimana seharusnya
diukur dan bagaimana seharusnya mereka berhubungan satu sama lain?
Apakah model linier atau multifaktorial?);
4. Tidak adanya peran faktor emosional seperti takut dan penolakan;
5.

Telah

mengemukakan

bahwa

faktor

alternatif

mungkin

dapat

memprediksi perilaku kesehatan, seperti harapan hasil dan self efficacy;


6. Schwarzer (1992) telah mengkritik HBM untuk pendekatan statis dengan
keyakinan kesehatan dan menunjukkan bahwa, dalam HBM, keyakinan
digambarkan terjadi secara bersamaan dengan tidak adanya ruang untuk
perubahan, pengembangan maupun proses.
Leventhal dkk berpendapat bahwa kesehatan terkait perilaku disebabkan
oleh persepsi gejala bukan pada faktor individu seperti yang disarankan oleh
teori HBM.
J. Keterbatasan Health Belief Model
Salah satu masalah pada teori HBM yaitu digunakan pertanyaan yang
berbeda dalam studi yang berbeda untuk menentukan keyakinan yang sama,
akibatnya, sulit untuk merancang tes yang sesuai dan untuk membandingkan
hasil seluruh penelitian dari HBM. Alasan lain mengapa penelitian tidak selalu
mendukung teori HBM adalah faktor lain selain keyakinan kesehatan juga sangat
mempengaruhi praktek perilaku kesehatan. Faktor-faktor ini meliputi: pengaruh
khusus, faktor budaya, status sosial ekonomi, dan pengalaman sebelumnya.

K. Aplikasi Health Belief Model Pada Jurnal


Associations

of demographic variables and the Health Belief Model

constructs with Pap smear screening among urban women in Botswana


Purpose: Papanicolaou (Pap) smear services are available in most urban
areas in Botswana. Yet most women in such areas do not screen regularly for
cancer of the cervix. The purpose of this article is to present findings on the
associations of demographic variables and Health Belief Model constructs with
Pap smear screening among urban women in Botswana.
Sample and methods: The study included a convenience sample of 353
asymptomatic women aged 30 years and older who were living in Gaborone,
Botswana. Data were collected using a demographic questionnaire and items of
the Health Belief Model. Data analysis included descriptive statistics for
demographic variables and bivariate and ordinal (logit) regression to determine
the associations of demographic variables.
Results: Having health insurance and having a regular health care provider
were significant predictors of whether or not women had a Pap smear. Women
with health insurance were more likely to have had a Pap smear test than women
without health insurance (91% vs 36%). Similarly, women who had a regular
health care provider were more likely to have had a Pap smear test than women
without a regular health care provider (94% vs 42%). Major barriers to screening
included what was described as laziness for women who had ever had a Pap
smear (57%) and limited information about Pap smear screening for women who
had never had a Pap smear (44%).

BAB II
PROTECTION MOTIVATION THEORY
(TEORI MOTIVASI PERLINDUNGAN)

A. Sejarah Protection Motivation Theory


Pentingnya

faktor

psikososial

dalam

kesehatan

telah

meningkatkan

pemahaman tentang model-model perilaku promosi kesehatan dan pencegahan


terhadap penyakit. Berkaitan dengan itu pula penelitian tentang Promosi
Kesehatan dan Pencegahan Penyakit ikut menentukan berbagai metode untuk
mempengaruhi orang-orang dalam mengadopsi perilaku kesehatan. Banyak teori
yang menjelaskan perilaku dan perubahan perilaku (Weinstein,1993).
Protection Motivation Theory (PMT) atau teori motivasi perlindungan adalah
salah satu yang paling populer dari teori-teori ini karena secara eksplisit
menggabungkan peran pesan kesehatan yang terkait dalam mempengaruhi
perubahan perilaku. Menurut PMT, pesan yang berhubungan dengan kesehatan
akan menimbulkan dorongan bagi seorang individu untuk menilai keparahan
suatu kejadian, kemungkinan terjadinya peristiwa, kepercayaan kemanjuran dari
rekomendasi yang diberikan, dan keyakinan bahwa seseorang memiliki
kemampuan untuk melakukan perilaku yang direkomendasikan. Persepsi tentang
keempat faktor yang membangkitkan motivasi akan memberikan pengaruh untuk
berperilaku sehat (Rogers, 1975,1983).
Teori Motivasi Perlindungan (Prevention Motivation Theory atau disingkat
PMT) pada awalnya dikembangkan oleh Rogers (1975, 1983, 1985) yang
memperluas Teori Health Belief Model (HBM) dengan melibatkan faktor-faktor
tambahan dan penekanannya pada proses kognitif mediasi perubahan sikap dan
perilaku untuk memberikan kejelasan konseptual untuk memahami rasa takut
(Prentice-Dunn

&

Rogers,

1986;

Rogers,

1975).

PMT

pada

awalnya

dikembangkan oleh Dr RW Rogers pada tahun 1975 dalam rangka untuk lebih
memahami rasa ketakutan dan bagaimana orang mengatasi rasa takut mereka.
Namun Dr Rogers kemudian memperluas teori pada tahun 1983 di mana ia
diperpanjang teori ke teori yang lebih umum dari komunikasi persuasif. Teori ini
awalnya didasarkan pada karya Richard Lazarus yang menghabiskan sebagian
besar waktunya meneliti bagaimana orang berperilaku dan mengatasi situasi

selama stres. Dalam bukunya, "Stress, Appraisal, and Coping, Richard Lazarus
membahas ide proses penilaian kognitif dan bagaimana mereka berhubungan
dengan cara mengatasi stres. Dia menyatakan bahwa orang-orang, "berbeda
dalam sensitivitas dan kerentanan, serta interpretasi dan reaksi mereka terhadap
beberapa jenis kegiatan ".
Sementara Richard Lazarus mengemukakan banyak ide dasar yang
digunakan dalam perkembangan teori PMT, Dr Rogers adalah orang pertama
yang menerapkan terminologi ini ketika membahas rasa ketakutan. PMT ini
terutama digunakan ketika membahas suatu masalah kesehatan dan bagaimana
orang bereaksi ketika didiagnosis dengan penyakit kesehatan yang terkait.
B. Komponen Protection Motivation Theory
Pada tahun 1983 PMT direvisi sebagai deskripsi lengkap dari teori, yang
terdiri dari tiga proses kognitif: sumber informasi, proses mediasi kognitif, dan
mode koping. Karena PMT memiliki tiga proses kognitif dengan banyak
konstruksi,

sebagian besar

penelitian sebelumnya hanya menggunakan

sebagian dari konstruksi (Prentice-Dunn & Rogers 1986). Boer & Seydel (1996)
menjelaskan konstruksi utama dari teori ini: keparahan, kerentanan, responefficacy, self-efficacy, motivasi perlindungan (niat), dan perilaku perlindungan.

Figure 1. Originality of Protection Motivation Theory concept.


(Source: Rogers, 1983)

Menurut teori PMT, ada dua sumber informasi: (1) lingkungan atau
environmental (misalnya persuasi verbal, pembelajaran observasional) dan (2)
intrapersonal (misalnya pengalaman sebelumnya dan variabel-variabel personal).
Informasi ini mempengaruhi komponen-komponen PMT (self efficacy, efektivitas
respon, keparahan, kerentanan, rasa takut), yang kemudian menimbulkan baik
respon koping adaptif (yaitu niat perilaku) atau respons koping 'maladaptif'
(misalnya penghindaran atau penolakan)
Dalam Protection Motivation Theory, Rogers menyatakan bahwa perilakuperilaku yang berhubungan dengan kesehatan adalah karena individu memiliki
niat berperilaku, sedangkan niat perilaku dipengaruhi oleh 4 (empat) komponen
yaitu :

Severity

Vulnerability
Behavioural
intentions

Behaviour

Respon effectiveness

Self-efficacy

Figure 2. Komponen dasar Protection Motivation Theory


(Source: Ogden, 1996)

1. Self efficacy
Adalah kemampuan diri sendiri. Orang yang memiliki self-efficacy yang
tinggi yakin bahwa dia akan berhasil merubah perilaku dirinya sendiri.
Contoh: saya percaya bahwa saya dapat merubah pola diet saya.
Sedangkan orang dengan self-efficacy yang rendah maka yakin bahwa
dirinya akan gagal, sehingga akan mecoba menghindarinya dengan
berbagai cara. Perceived self-efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa
ia memiliki kemampuan untuk melakukan perilaku yang direkomendasikan

(ia dapat mengatasi cost). Semakin tinggi efektivitas diri, semakin positif
responnya.
2. Respon efektivitas
Merupakan

keyakinan

seseorang

bahwa

perilaku

yang

direkomendasikan akan efektif dalam mengurangi atau menghilangkan


bahaya. Respon ini secara efektif akan mempengaruhi seseorang untuk
merubah perilaku sesuai anjuran. Contoh: perubahan pada pola diet saya
akan meningkatkan kesehatan saya. Dalam hal ini, rekomendasi untuk
menjauhkan diri dari mengemudi dalam keadaan mabuk secara signifikan
akan mengurangi peluang seseorang untuk terjadi kecelakaan. Semakin
positif respon efektivitas, maka semakin positif responnya.
Di sini kita menggunakan 'tanggapan positif' sebagai ungkapan untuk
menyebut berbagai variabel termasuk sikap, niat, dan adopsi yang
sebenarnya dari perilaku kesehatan yang direkomendasikan (yang
persuasif dari rekomendasi kesehatan). Respon lebih rendah mungkin
dialami ketika seseorang mengikuti diet dengan tujuan kehilangan berat
badan tapi tidak yakin tentang hasilnya.
3. Vulnerability
Adalah kerentanan yang dianggap sebagai hasil yang tidak diinginkan
mengacu pada persepsi subjektif seseorang tentang risiko kejadian negatif
yang terjadi kepada mereka atau kerawanan terserang suatu penyakit.
Kerentanan ini yang dirasakan sebagai ancaman. Contoh: kemungkinan
saya terkena kanker usus sangat tinggi. Semakin tinggi seseorang
menganggap kerentanan, maka semakin tinggi niat seseorang untuk
mengikuti hal yang direkomendasikan. Dalam contoh di atas, tingkat
kerentanan tinggi mungkin akan dirasakan ketika dokter menyediakan data
statistik tentang jumlah orang yang menderita kanker usus pada orang
yang tidak mengkonsumsi pengaturan diet tinggi serat.
4. Severity
Adalah tingkat kegawatan atau cara pandang seseorang terhadap
bahaya dan tidaknya suatu penyakit. Contoh: kanker usus adalah penyakit

yang serius. Keparahan dianggap peristiwa negatif mencakup perasaan


tentang keseriusan menyebabkan kecelakaan saat mengemudi di bawah
pengaruh alkohol. Dimensi ini meliputi evaluasi baik konsekuensi medis
(misalnya, kematian, cacat, dan nyeri) dan konsekuensi sosial yang
mungkin terjadi (misalnya, dampak kondisi pada pekerjaan, kehidupan
keluarga, dan hubungan sosial). Keseriusan juga bervariasi dari orang ke
orang. Semakin menganggap tinggi tingkat keparahan dari suatu kondisi
kesehatan, atau hasil negatif lainnya, maka semakin tinggi niat seseorang
untuk mengikuti rekomendasi.
Keempat komponen tersebut dapat memprediksi niat perilaku (misal,
saya ingin merubah perilaku saya) yang berhubungan dengan perilaku
seseorang. Rogers

juga meyakini ada peran dari komponen lain yaitu

perasaan takut (fear) sebagai respon emosional dalam pendidikan atau


informasi.
PMT ini menggambarkan 4 komponen tersebut dalam dua kategori.
Kategori pertama berkaitan dengan penilaian ancaman (threat appraisal),
terdiri dari keparahan, kerentanan, dan ketakutan (yaitu menilai ancaman dari
luar). Keparahan mengacu pada tingkat bahaya dari perilaku yang tidak sehat.
Kerentanan adalah probabilitas bahwa seseorang akan mengalami bahaya.
Kategori kedua adalah yang berkaitan dengan penilaian koping (coping
appraisal) seperti respon efektivitas dan self efficacy (yaitu penilaian atas
keyakinan dalam individu sendiri). Respon efektivitas adalah efektivitas dari
perilaku yang dianjurkan dalam menghilangkan atau mencegah bahaya yang
mungkin terjadi. Self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu dan
sanggup menetapkan perilaku yang direkomendasikan.
Selanjutnya, informasi akan mempengaruhi komponen-komponen teori
PMT, yang kemudian dapat mendatangkan respon koping, baik respon koping
yang adaptif (niat berperilaku) atau respon koping yang maladaptif
(menghindar, menolak), yang semua ini disebut sebagai proses mediasi
kognitif (cognitive mediating processes)

Figure 3. Proses Mediasi Kognitif


(Source: Rogers, 1983; Fry & Prentice-Dunn, 2005, 2006)

Teori

PMT

menyatakan

bahwa

niat

berperilaku

adalah

sebuah

konsekuensi dari penilaian terhadap ancaman dan penilaian terhadap


sumber-sumber koping individu. Penilaian ini menimbulkan suatu keadaan
yang disebut protection motivation yang memelihara aktifitas respon untuk
mengatasi ancaman. Berdasarkan teori Protection Motivation Theory yang
dikemukakan Rogers dan Prentice Dunn (1997) tentang Proses Mediasi
Kognitif tersebut diatas, pada tahun 2003 Wu et. al mengembangkan skema
Protection Motivation Theory menjadi berikut:

Figure 4. Protection Motivation Theory based on Cognitive Mediating Processes


(Source: Wu et-al, 2003)

Dalam perkembangan teori Protection Motivatin Theory selanjutnya,


informasi yang dapat menimbulkan perilaku yang diharapkan tidak muncul serta
merta namun ada proses komunikasi dalam diri individu yang menyebabkan
individu memutuskan untuk berespon adaptif atau maladaptif. Witte (1992),
menerapkan PMT dengan menganalisis pesan (informasi) melalui komunikasi
persuasi sebagai berikut :
INCOMING MESSAGE
PERCEIVED THREAT

Analisa dari suatu pesan:


Perceived Vulnerability
Am I at risk for this
problem?

NO

YES

No response

Perceived Severity
Is this problem serious?

YES

NO

PERCEIVED EFFICACY

Perceived Response Efficacy


Do I believe the recommanded
action would effectively avert the
danger?

NO
Fear Control Response

YES
Self-efficacy
Do I believe I am capable of performing
the recommanded action ?
YES

NO

Avoidance, denial,
anger, mocking, or
boomerang effect.

EFFICACY/THREAT COMPARISON

Perceived Efficacy Higher than


Perceived Threat ?
YES

NO

Danger Control
response :
Adopt recommanded
action

(Adapted from Witte (1992), cited by the centre for Health Promotion University of Toronto, 2000)

Figure 5. Message analysis


(Source: Witte,1992)

C. Penggunaan teori PMT


Roger (1985), mengaplikasikan teori PMT pada individu yang menderita
penyakit jantung koroner dengan memberikan informasi tentang perubahan
diet, sehingga teori PMT akan memprediksi

perilaku sebagai berikut :

informasi tentang pengaruh diit tinggi lemak pada penyakit jantung koroner
akan meningkatkan perasaan takut (fear), meningkatkan persepsi individu
tentang bahayanya penyakit jantung koroner (perceived severity) dan
meningkatkan keyakinan mereka bahwa mereka memiliki risiko mudah
terkena serangan jantung (perceived vulnerebility). Jika individu juga merasa
percaya diri bahwa mereka dapat merubah pola diit mereka (self-efficacy) dan
perubahan ini akan memberikan manfaat (response effectiveness), maka
mereka akan menunjukkan niat yang tinggi untuk merubah perilaku mereka
(behavioral intentions). Keaadaan tersebut akan muncul sebagai respon
koping yang adaptif terhadap informasi (Roger,1985).

Figure 6. Contoh Penerapan Protection Motivation theory

PMT juga dapat diaplikasikan dalam memprediksi atau merubah perilaku


seseorang yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, HIV/AIDS. Misalnya,
informasi tentang perilaku sex yang tidak aman dengan tidak menggunakan
kondom

dapat terserang

HIV/AIDS, hal ini dapat meningkatkan rasa

kekhawatiran, yang selanjutnya akan meningkatkan persepsi individu tentang


bahayanya HIV/AIDS (perceived severity) dan meningkatkan keyakinan
mereka bahwa mereka memiliki risiko/rentan tertular HIV/AIDS (perceived
vulnerability). Jika individu juga merasa percaya diri bahwa mereka dapat
merubah perilaku hubungan seks mereka menjadi perilaku seks yang aman
(self-efficacy) maka hal ini akan memberikan kesadaran terhadap perubahan
perilaku (response effectiveness), yang pada akhirnya mereka akan
menunjukkan niat yang tinggi (behavioral intentions) untuk merubah perilaku
mereka (behaviour/action). Keadaan tersebut muncul sebagai respon koping
yang adaptif terhadap informasi yang telah diberikan.
D. Dukungan terhadap teori PMT
Rippetoe dan Rogers (1987), memberikan informasi terhadap wanita
tentang kanker payudara kemudian menguji efek informasi tersebut sebagai
komponen teori PMT dan hubungannya dengan niat wanita tersebut untuk
melakukan pemeriksaan payudara sendiri (Breast self-examination/BSE).
Hasilnya menunjukkan bahwa prediktor terbaik dari niat untuk melakukan BSE
adalah response efectiveness, severity and self-efficacy. Dalam studi
selanjutnya, efek permintaan persuasif untuk melakukan olahraga terhadap
niat untuk melakukan olahraga telah dievaluasi dengan menggunakan
komponen teori PMT. Hasil menunjukkan bahwa vurnerability dan

self

efficacy memprediksi niat berolahraga tetapi tidak satupun variabel-variabel


berhubungan dengan self-reports dari perilaku aktual.
Pada studi selanjutnya, Beck dan Lund (1981), memanipulasi keyakinan
mahasiswa kedokteran gigi tentang kerusakan gigi (tooth decay) dengan
menggunakan komunikasi persuasif. Hasilnya menunjukkan bahwa informasi
telah

meningkatkan

rasa

takut,

kemudian

severity

dan

self-efficacy

berhubungan dengan niat perilaku (floosing dan sikat gigi secara teratur
terutama setelah makan dapat mencegah kerusakan gigi).

E. Kritikan terhadap teori PMT


Teori PMT lebih sedikit mendapat kritikan dibanding teori HBM.
Bagaimanapun banyaknya kritikan terhadap teori HBM juga berhubungan
dengan teori PMT. Sebagai contoh, Teori PMT mengangggap bahwa individuindividu dapat mengelola informasi secara rasional (meskipun tidak termasuk
elemen irrasional dalam komponen rasa takut), ini tidak melaporkan perilaku
kebiasaan, juga tidak termasuk peran dari faktor-faktor sosial dan lingkungan.
Schwarzer (1992), juga mengkritik teori PMT yang tidak secara explisit
menguji perillaku selama waktu proses dan perubahan.
F. Aplikasi Protection Motivation Theory Pada Jurnal

Objective To assess health protection motivation as explained by the constructs


of protection motivation theory (PMT) and its association with drug trafficking over
2 years.
Methods The sample included 817 African American youth (1316 years old)
participating in an adolescent risk-reduction program. We developed an
instrument measuring the level of health protection motivation (LHPM) using
factor analysis. Changes in LHPM over time were examined among drug
traffickers, abstainers, initiators, and nonrisk youths.
Results In sum, 151 participants reported selling and/or delivering drugs during
the study period. The significant inverse correlation between drug-trafficking
intention and health protection motivation was consistent with PMT. Changes in
LHPM were strongly associated with the dynamics of behavior over 2 years.
Conclusions Adolescent drug trafficking can be predicted by an overall level of
health protection motivation. PMT and related theories should be considered in
the design of drug-trafficking prevention intervention.

REFERENCE

Glanz, Lewis & Rimer, Health. 1990. Behavior and Health Ecucation . Google
book
Gochman, David S. 1985. Health Behaviour Emerging Research Perspectives.
New York and London: Plenum Press
Ogden, Jane. 1996. Health Psycology, A Text Book. Philadelpia: Open University
Press
Ogden, Jane. 2004. Health Psycology, A Text Book. Philadelpia: Open University
Press
Watkins, Elizabeth L, Audreye E Johnson. 1985. Removing Cultural and Ethnic
Barriers to Health Care. Washington DC: The University of Nrth Carolina at
Chapel Hill
Wolinsky, Fredric D. 1988. The Sociology of Health, Principles, Practitioners, and
Issues. Second Edition. California: Wadsworth Publishing Company

Anda mungkin juga menyukai