Anda di halaman 1dari 5

SOPAN DAN SANTUN DALAM BERBAHASA

1. Santun, Sopan dan Hormat


Bersikap atau berbahasa secara santun dan beretika bersifat relatif, tergantung pada
jarak sosial penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga
dipahami sama secara umum. Padahal, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah
sopan mengacu pada pilihan kata dan susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran
bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara sntun itu berarti
kesadaran mengenai jarak sosial ( Thomas, 1995)
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang terinspirasi oleh Goffman (1967),
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada wajah, baik milik penutur, maupun
milik mitra tutur . Wajah dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik , tetapi wajah
dalam pengertian harga diri dalam pandangan masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional dicina, yang
dikembangkan oleh Konfisius terkait dengn nilai-nilai kemanusiaan ( Aziz, 2008).
Pada wajah , dalam tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri,
sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat ,sebagaimana sebuah gelar
akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi , yang kapan saja bisa ditarik
oleh yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam
berperilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, Brown
dan Levinson (1987) justru menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi
yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini wajah kemudian
dipilah menjadi dua jenis, wajah dengan keinginan positif dan wajah dengan
keingionan negatif. Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan,
pengakuan, dan keakraban. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan
seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya
penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu ( Aziz, 2008:2). Karena wajah
memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, nilai-nilai itu patut untuk dijaga. Salah
satu cara adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai
wajah itu.
Sekali lagi, kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan
kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukan rasa hormat pada mitra tutur,
sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan
pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah diatas benar-benar
berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang
ditunjukan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya sopan berbahasa
akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh
(misalnya ntara dosan dan mahasiswa). Meskipun demikian, bersikap santun dalam

berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur
tidak memiliki jarak sosial yang jauh ( teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya).
Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut diberikan contoh-contoh, baik
wajah positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.

A. Wajah positif ( positive face)


Wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra
tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot berikut ini ( mohon
maaf bila contoh ini mengandung kata-kata kasar):
Sopir A: jang, apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai SIM kamu yang
ditahan polisi?
Sopir B:eh... pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku?belum nih, tidak tahu
mungkin mereka sudah bakar...
Sopir A: Ah.... kasih saja uang 300bbiar mereka urus secepatnya...
Sopir B: Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka
tidak mau...
Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir diliat, percakapan
singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak sopan. Mungkin sebagian
berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan alasan bahwa
mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah
dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi
memang ganjil: tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara
berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka
( sopir Adan sopir B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan pemabuk
adalah untuk menunjukan kedekatan jarak sosial, rasa keakraban sehingga secara
psikologis tidak ada jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang diwujudkan oleh
penggunaan bahasa seperti di atas memiliki nilai wajah positif. Seandainya sopir B
merespon pertanyaan sopir Adengan irama sopan semacam belum ada kabar pak...
maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang dan wajah mreka
terancam.
Maksud dari mengancam wajah ( face threatening) adalah mengancam harga
diri sebagai sahabat dekat, teman akrab, dan sebaginya. Isu sentral dari mengancam
wajah adalah kerenggangan jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa
yang relatif tidak santun, atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif.
B. Wajah Negatif ( face negative)
Berbeda sengan wajah positif, yang penutur dan mitra tuturnya mengharapkan
terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini
dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh

percakapan antara dua penumpang angkoty yang tidak saling kenal antara satu sama
lain dibawah ini:
Penumpang A: Maaf mas, numpang tanya, apakahcirebon masih jauh dari sini?
Penumpang B: Wah, mas, ini sekarang sudah sampai brebes. Mas mau turun dimana?
Penumpang A: Tadi saya sudah bilang ke sopir saya mau turun di cirebon.jadi, maf
apakah cirebon masih jauh?
Penumpang B: Bukanya masih jauh mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik
mas turun disini, terus nanti naik bus yang dari arah timur, nanti bilang
turun dicirebon.
Penumpang A: Wah, terima kasih ya, Mas.
Penumpang B: sama-sama ,Mas.
Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam
percakapan itu menunjukan ketidakakraban atau ketakformalan. Ini bisa diliht dari
penggunaan kata maaf oleh penumpang . penggunaan dan pengulangan penggunaan
kata maaf oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah negatif penumpang B.
Artinya, penumpang A tidakingin terkesan akrab san sesuka hati dan tidak ingin
menggangu wilayah individu penumpang B.
Penggunaan kata Mas oleh penumpang A dan B, merupakan sapaan sopan
untuk penumpang yang belum saling mengenal. Dengan menggunakan dan
mengulang kata Mas, penumpang A dan B berusaha untuk menunjukan bahwa
menghargai jatidiri lawan bicaranya sebagai individu yang dihargai atribut
individualnya.
Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wilayah di atasa, jelaslah
bahwa dalam berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara
kita dan mitra tutur. Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan
terletak pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial,
dan strata akademik.
C. Pengancaman Wajah ( face threatening)
Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan( dan
kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai wujud mengenai kesadaran terhadap
wajah orang lain ( Yule, 2006:1060. Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika
seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapanharapan individu yang berkenaan dengan harga dirinya. Namun, pada kenyataannya,
secara bahasa, kita dapat saja menunjukan rasa hormat, tetapi tidak santun. Perhatikan
dialog singkat berikut.
A: Selamat pagi, B.

B: selamat pagi, A. Ada yang bisa saya bantu?


A: Begini,B, kebetulan isteri saya sedang ke jakarta. Jadi saya sendirian.
B:Terus, apa yang bisa saya lakukan?
A: Mohon maaf, B. Dengan segala hormat dan segala kerendahan hati, apakah B
berkenan meminjamknan isteri B barang seminggu aja?
Rasa hormat dapat ditunjukan melalui bahasa, yaitu melalui kata atau
ungkapan honorifik, seperti yang terhormat, berkenaan, sudi, izinkan saya.
Penggunaan sapaan bapak, ibu untuk orang yang mempunyai status lebih tinggi juga
merupakan bentuk honorifik.
Bentuk-bentuk mohon maaf, segala hormat dan segala kerendahan hati dan
berkenan dalamdialog di atas merupakan bentuk honorifik. Namun, ketika dipakai
dalam dialog seperti di atas, ungkapan honorifik itu malah menjadi tidak santun.
Ketidaksantunan itu karena telah terjadi pengancaman wajah B oleh A.
Pengancaman wajah melalui tindak tutur juga akan terjadi jika penutur dan
mitra tutur tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini
ketika terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Pak Tua: Heeehh....ini kan sudah malam, kok masih ribut bangetsih? Gak punya
kerjaan lain ya?
Anak-anak Muda: Ya,om. Kami mimta maaf...
Dalam konteks interaksi seperti diatas, penutur tua melakukan pengancaman
wajah dengan mengatakan tidak punya kerjaan lain ya. Hal itu disebut
pengancaman wajah karena jarak sosial ( usia dan mungkin juga jarak keakraban)
antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam wajah mitra tutur muda
bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya harga diri
sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra tutur muda merupakan tindakan penyelamatan wajah, yaitu
dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang
menunjukan kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra
tutur muda menyadari keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak
untuk tidak terbelenggu.
Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat posititf dan juga negatif. Jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat
negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memilikijarak sosial yang jauh,
maka pengancaman wajah bersifat positif.
Dengan demikian, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima
oleh mitra tutur sebagaimana kedekatan sosial antara mereka wajah positif adalah

keinginan untuk bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain,
termasuk mitra tutur. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini adalah kehilangan
wajah atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang harga diri.

Simpulan
Melalui pembahasan di atas, dapat kita menyimpulkan bahwa berbahasa santun itu
sendiri merupakan kesadaran timbal-balik, bahwa kita senantiasa ingin mitra tutur kita
berekspresi sebagaimana cara kita sebagai penutur berekspresi. Di lain sisi, teori kesantunan
berbahasa juga menekankan agar kita seantiasa berekspresi sebagaimana kita ingin mitra
tutur kita berekspresi terhadap kita.
Kesantunan bersentral pada jarak sosial, yang sekaligus mengatur tata krama
berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak meyatakan hal-hal yang
bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang
atau wajah sendiri.

Anda mungkin juga menyukai