Anda di halaman 1dari 6

Teori Kesantunan Berbahasa

(Telaah Pragmatik atas Konsep Wajah dalam Kesantunan Berbahasa)

Zainurrahman, S.S., M.Pd

Latar Belakang

Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan
sampai saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik.
Kesantunan dalam berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah
mendapatkan perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis. Misalnya Aziz (2000) yang
meneliti bagaimana cara masyarakat Indonesia melakukan penolakan dengan melalui ucapan,
yang menurutnya mengandung nilai-nilai kesantunan tersendiri. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa terdapat bidang baru dalam kajian kebahasaan, bukan hanya dari aspek
tata bahasa, bukan pula dari aspek psikososial, namun juga dari aspek etika.

Sebagai bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan
(language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogiyanya mendapatkan
perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting
juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang
kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah
sepatutnya beretika.

Meskipun dalam ilmu pragmatik kesantunan berbahasa baru mulai mendapatkan perhatian,
konsep etika berbahasa ini sudah bisa dibilang lama bersemayam dalam komunikasi verbal
masyarakat manapun. Kesantunan berbahasa, secara tradisional, diatur oleh norma-norma dan
moralitas masyarakat, yang diinternalisasikan dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Tata
krama berbahasa antara yang muda dan yang tua, sudah lama hidup dalam komunikasi
verbal, yang justru mulai sirna mengikuti arus negatif westernisasi, yang membawa ideologi
liberal.

Konsep kesantunan dalam berbahasa tradisional itu sudah saatnya “dibaca” kembali secara
teoretis, agar terjadi penyegaran ideologi mengenai bagaimana seharusnya bahasa itu
digunakan, agar santun. Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis mengenai ihwal
kesantunan berbahasa, yang mana dapat dijadikan acuan untuk kembali melakukan refleksi
atas penggunaan bahasa sehari-hari. Refleksi untuk melihat nilai kesantunan dalam
penggunaan bahasa sehari-hari terbilang penting, dimana bahasa bukan hanya sebagai
instrumen komunikasi, melainkan juga ajang realisasi diri yang santun dan beretika.

Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial
penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama
secara umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk
pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk
dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial
(Thomas, 1995).

Jika norma-norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin
belum terjadi pemilahan antara kesopanan (deference) dan kesantunan (politeness). Sebuah
teori yang akan disuguhkan berikut ini adalah teori kesantunan berbahasa yang diadopsi dari
tradisi moral Cina yang dikembangkan oleh Konfusius dan diteorisasikan oleh Goffman,
Brown, dan Levinson. Teori yang diulas singkat ini, serta contoh-contoh dari data empiris
diharapkan membuka cakrawala berfikir kita mengenai kesantunan berbahasa.

Teori Kesantunan Bebahasa

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tulisan ini mengandung pandangan
teoretis mengenai kesantunan berbahasa Konfusius, maka berikut ini akan diulas secara
singkat mengenai teori tersebut.

Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson

Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967),
bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik
penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik,
namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah
“harga diri” dalam pandangan masyarakat.

Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat
atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh
masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman masyarakat,”
sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang
kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah
berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.

Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan
Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh
setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua
jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif
(negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan
kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap
mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap
kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah
disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola
berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.

Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan
memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti
berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra
tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan
kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun,
artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak
sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun
demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika
penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar,
dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan
contoh-contoh, baik wajah positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.
Wajah Positif (Positive Face)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban
antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot berikut
ini (mohon maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):

Sopir A: Mus, ngana so dapa kabar mengenai ngana pe STNK yang polisi tahan tuh? (Mus,
apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?)

Sopir B: E… pamabo, sejak kapan ngana faduli kita pe hal? Bolong ini, tara tau dong so
bakar ka apa itu… (eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih, tidak
tahu mungkin mereka sudah bakar…)

Sopir A: Ce me itu lucur kasana doi barang 150 la dorang urus sudah… (Ah… kasih saja
uang 150 biar mereka urus secepatnya…)

Sopir B: Ya astaga… ngana kira polisi itu ngana pe papa mantu? Kita so coba tapi dorang
tara mau. (Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka tidak
mau).

Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak
sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini,
dengan alasan bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak
ada yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka
berkomunikasi memang ganjil; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif,
cara berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.

Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan
sopir B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan “pemabuk” adalah untuk menunjukan
kedekatan jarak sosial, rasa kekoncoan (camaraderie), sehingga secara psikologis tidak ada
jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas
memiliki nilai wajah positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama
sopan semacam “belum ada kabar pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi
renggang, dan wajah mereka terancam.

Maksud dari mengancam wajah (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat
dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah kerenggangan jarak
sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak
memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif. Mengenai pengancaman wajah (face
threatening act) ini akan diulas kemudian.

Wajah Negatif (Negative Face)

Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur
dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua
orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini:

Penumpang A: Maaf e, tanya sadiki, Sasa tu masih jao ka? (maaf yah, numpang tanya,
apakah Sasa masih jauh dari sini?)
Penumpang B: Wadoh mas, ini skarang so sampe di Kastela. Memangnya mas mo turun
dimana kong? (Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun
dimana?)

Penumpang A: Saya tadi bilang di sopir turun di Sasa, maaf nih, jadi Sasa masih jao ka?
(Saya tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Sasa, maaf, jadi apakah Sasa masih jauh?)

Penumpang B: Bukannya masih jao mas, tapi so lewat jao. Mangkali lebe bae mas turun
disini saja, nanti baru nae oto dari bawa saja, nanti bilang turun di Sasa. (Bukannya masih
jauh mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun disini saja, nanti naik
angkot lagi dari selatan, nanti bilang turun di Sasa).

Penumpang A: Wah, tarima kasih e? (waduh, terima kasih yah?)

Penumpang B: Sama-sama mas (terima kasih kembali mas).

Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini
menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata “maaf”
yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan pengulangan
penggunaan kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah negatif penumpang B.
Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin
mengganggu wilayah individu penumpang B.

Demikian pula dengan penggunaan kata “mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang
merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan
masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata “mas”, penumpang B berusaha
untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai individu yang
dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.

Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam
berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur.
Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban
atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.

Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)

Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan)


berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah
orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang
penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu
yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).

Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra
tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini,
dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:

Tua: He… so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan sudah
malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)

Muda: Saya, om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).
Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan
mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak sosial (usia
dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya
mengancam wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan
oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.

Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu
dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur
muda menyadari keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak
terganggu.

Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika penutur dan
mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara
itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah
bersifat positif.

Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur
sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas
dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan
wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada wajah positif. Dan jika
keinginan wajah negatif tidak tercapai, maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi
logis dari ancaman wajah ini adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah
sederhana adalah malu atau hilang harga diri.

Kesimpulan

Melalui pembahasan dalam tulisan di atas, dapat kita simpulkan bahwa berbahasa santun itu
sendiri merupakan kesadaran timbal-balik, bahwa kita senantiasa ingin mitra tutur kita
berekspresi sebagaimana cara kita sebagai penutur berekspresi. Di lain sisi, teori kesantunan
berbahasa juga menekankan agar kita senantiasa berekspresi sebagaimana kita ingin mitra
tutur kita berekspresi terhadap diri kita.

Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama
berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang
bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang
atau wajah diri sendiri.

Daftar Pustaka

Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications. Disertasi,


Australia: Monash University.

Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak,
Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar,
Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.

Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In
E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289.
Cambridge: Cambridge University Press.
Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.

Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London:


Longman.

Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.

PERTANYAAN

1. Mengapa bisa kesantunan berbahasa dikaitkan dengan konsep wajah


2. Jelaskan mengapa bahasa dikatakan sebagai ajang realisasi diri yang santun dan
beretika
3. Jelaskan mengapa berbahasa santun dan beretika bersifat relatif
4. Jelaskan apakah kesantunan dapat dikatakan sebagai tata krama
5. Bagaimanakah bentuk kesantunan dalam berbahasa yang harus diterapkan mahasiswa
untuk mempertahankan jati diri bangsa indonesia terutama dalam berbahasa

Anda mungkin juga menyukai