Cermin ketakwaan adalah kehati-hatian menjalani hidup. Penggambarannya sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: "hiduplah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir." (HR Bukari). Kenapa musafir? Pertama, musafir adalah cermin manusia yang paling tahu diri. Ketika ia singgah, ia akan menyadari betul bahwa dirinya tengah berada di tempat yang asing. Maka, modal utama keselamatan dirinya adalah kehati-hatian; hati-hati ketika berbicara dan hati-hati ketika melihat. Sebagai mukmin seyogianya kita memiliki kesadaran eksistensi layaknya sang musafir. Allah SWT menegaskan bahwa eksistensi diri kita adalah sebagai hamba Allah (QS 56) dan sebagai pemegang amanah bagi kemaslahatan hidup di dunia (khalifah fil Ardl) (QS 2:30). Kedua, musafir adalah cermin manusia yang penuh perhitungan. Ia akan selalu berbekal diri selama di perjalanan. Seorang mukmin sejatinya memiliki kesadaran ini. Allah SWT memberikan arahan hidup supaya berbekal diri dengan ketakwaan. "Dan berbekallah kalian! Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS ). Ketiga, bagi seorang musafir perjalanan adalah keniscayaan yang melelahkan. Dalam kenyataan, tentu kita mendapati berbagai persoalan hidup; kekurangan, kesempitan, bahkan ancaman. Semua itu tentunya melelahkan. Dan kelelahan berpangkal pada hati. Oleh sebab itu, cara terbaik mengobati hati yang lelah adalah dengan lima perkara: dzikir, membaca Alquran, banyak berpuasa, shalat malam, dan bergaul dengan orang soleh. Dengan inilah akan diperoleh ketenangan diri sehingga setiap persoalan hidup yang menelikung dapat mudah teratasi. Keempat, musafir adalah cermin seseorang yang memiliki tujuan yang jelas. Seorang mukmin harus memiliki visi hidup dan tujuan yang jelas. Pertanyaan Alquran "Kemana kalian hendak pergi?" (QS ) hendaknya dijawab dengan ungkapan "Dan Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kesudahan" (An-Najm:42).