Anda di halaman 1dari 31

Ulum Al-Quran

A. Makna al-Quran
Al- Quran (

) menurut bahasa (etimologi) adalah kata

benda abstrak (masdar) dari kata kerja qaraa (

) yang

berarti : telah membaca. Dari pengertian itu maka Quran berarti bacaan
atau sesuatu yang dibaca dengan berulang-ulang.
Maka al-Quran dari segi bahasa sebagai tersebut di atas didasarkan
pada firman Allah dalam al-Quran surat al-Qiyamah, 75 : 16-18,

Janganlah kamu gerakkanlidahmu untuk (membaca) al-Quran karena


hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesunggunya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu
Definisi al-Quran secara adalah istilah (terminologi), :
Al- Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw penutup para Nabi dan Rasul, dengan
perantaran Malaikat Jibril alaihissalam dan ditulis pada mushaf-mushaf yang
kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan
mempelajarinya merupakan suatu ibadah, yang dimulai dengan surat alFatihah dan ditutup dengan surat an-Nas.
Ayat-ayat yang menjadi rujukan bagi tarif tersebut :
;

Qs. Asy-Syura, 42:7;

Al-Isra, 17: 9, 45 dan 88 ;

Asyu-Syuara, 26:192-194;

Muhammad, 47: 24;

Al-Araf, 7:204.

B. Pembagian Isi Al-Quran


Al-Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, dan 6.236 ayat.
Ditinjau dari masa turunnya, al-Quran terbagi kepada :
1; Periode makkah, sebanyak 86 surat, terdirir dari 4.780 ayat,
selanjutnya disebut surat/ayat makkiyyah.
2; Periode Madinah, sebanyak 28 surat, terdiri dari 1.456 ayat,
selanjutnya disebut surat.ayat Madaniyyah.
Ciri-ciri Sura Makkiyyah
1. Setiaf surat yang didahului dengan lafadz ya ayyuhanNas (
)
2; Setiap surat yang terdapat Qisah Nabi-Nabi dan ummat terdahulu
(kecuali surat al-baqarah).
3; Suratnya pendek-pendek
4; Setiap surat yang dimulai dengan huruf hijaiyyah, seperti alif lam
Mim; Alif Lam Ra, Ha Mim, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran.
5; Berbicara mengenai Tauhidullah (aqidah), Misis Rasul, kebangkitan
dan balasan, hari qiamat, surga dan neraka; hukum-hukum alam dan
bantahan secara aqal terhadap orang-orang musyrik.
Ciri-Ciri Madaniyyah
1; berbicara tentang kewajiban ibadah dan larangan-larangannya.
2; Setiap surat yang terdapat sebutan orang-orang munafiq, kecuali
surat al-Ankabut.
3; Setiap surat yang berisi bantahan terhadap para Ahli Kitab.

4; Ayat-ayatnya panjang-panjang
5; Menerangkan syariah, peraturan-peraturan tentang ibadah danh
muamalah dalam segala aspek kehidupan manusia.

C. Al-Quran sebagai Wahyu


1. Makna wahyu secara bahasa ialah sesuatu yang tersembunyi dan
cepat, maksudnya ialah pemberitahuan kepada seseorang tentang sesuatu
secara tersembunyi dan cepat serta bersifat khusus bagi dia sendiri dan
tersembunyi dari yang lainnya.
Lafaz wahyu dalam al-Quran untuk makna-2 sebagai berikut :
;

Ilham yang bersifat alami (fitri, nature) yang diberikan kepada


manusia, seperti ilham yang diterima Ibunda Musa as, (Al-Qashash,
28:7).

Ilham yang tabiat (gharizi, instingtive) yang diberikan kepada hewanhewan, seperti kepada lebah-lebah : (An-nahl, 16:68).

petunjuk yang cepaat dengan cara memberi tanda dan isyarat,


seperti isyarat Nabi Zakatia kepada kaummnya : (Maryam, 19:II).

Bisikan, seperti bisikan setan kepada manusia, merayunya supaya


berbuat kejahatan : (al-Anam 6:112).

2; Makna Wahyu secara Terminologi


;

Kalam Allah Taala yang dirurunkan kepada salah seorang


daripada Nabi-Nya.

Wahyu Ialah pengetahuan yang di dapat oleh seseorang di dalam


dirinya, yang ia yakini bahwa demikian itu dari sisi Allah, baik
pakai perantara maupun tidak, yang dimaksud dengan pakai
perantara (antara lain) dengan mempergunakan suara yang dapat
didengar oleh yang bersangkutan.

D. Cara Wahyu al-Quran diterima oleh Nabi Muhammad SAW.


Diturunkan wahyu kepada Nabi Muhammad dengan dua cara :
1; Secara Langsung

Berupa bisikan ketika Nabi waktu tidur datang cahaya yang terang.
(Al-Kautsar, 108:1-3), ash-Shaffat, 37:100-102).

Berupa Kalam Ilahi di balik tabir, seperti perintah shalat sewaktu


peristiwa Isra dan Miraj. Atau seperti nabi Musa menerima wahyu di
gunung Tursina.

2; Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad secara tidak langsung,


yaitu melalui mallaikat Jibril. (Asy-Syuara, 26 : 192-195).
;

Malaikat Jibril datang membawa wahyu seperti gemerincing lonceng


dengan bunyi yang amat keras.

Malaikat Jibril datang membawa wahyu dengan memperlihatkan


dirinya sebagasi seorang lelaki. (Hud, 11:69-70).

E. Kedudukan Al-Quran
1. Supaya menjadi Mukjizat
Al-Quran diturunkan supaya menjadi mukjizat, yang merupakan bukti
atas kebenaran Rasul dalam mengembangkan risalah dan menyampaikan
apa-apa yang diterima dari Tuhan. Untuk itu, Allah menurunkan al-Quran
yang susunan, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibawakannya
mengansung unsur-unsur mukjizat.
Allah telah memerintahkan Rasulnya supaya menentang kaum yang
ingkar, dan hal ini telah dilakukan Tasul, sehingga tampak jelaslah kelemahan
mereka dan sempurnalah dalil-dalil yang menundukkan mereka. (Al-Baqarah,
2:23 dan al-Isra, 17:88).
2. Supaya Menjadi Pedoman Hidup
Al-Quran diturunkan supaya menjadi sumber hidayah dan petunjuk,
sumber syariah dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pegangan
oleh sekalian manusia di dalam hidup dan kehidupannya.
Tidaklah cukup untuk menerima bahwa al-Quran itu wajib diikuti
dengan semata-mata menetapkan bahwa al-Quran itu mukjizat, tetapi
bersamaan dengan itu mesti diperhatikan bahwa sifat mukjizatnya itu adalah
bukti bahwa al-Quran itu dariAllah swt.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
4

penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang


khianat (An-Nisa, 4 :105, al-Araf, 7:3).

F. Komitmen Seorang Muslim Terhadap al-Quran


Setiap Muslim mempunyai emapt kewajiban terhadap al-Quran :
1; Mengimani al-Quran ; yang terdapat dalam surat :
;

An-Nisa, 4: 60, 136;

Al-Maidah, 5:3,15;

Al-Isra, 17:9

Kalam Allah
Syariat Terakhir
Meyakini

Penyempurna syariat-2 sebelumnya

bahwa

Berisi aturan untuk segala aspek kehidupan

Alquran

Sumber kebaikan, kedamaian, kesejahteraan dan


keselamatan manusia di dunia dan akhirat
Menyimpang dan meninggalkan al-Quran akan
menemui jalan yang sesat dan celaka

2; Mempelajari al-Quran
;

Membaca

Menelaah/meneliti kandungannya

Memahami al-Quran, hal ini diperintahkan dalam surat :


;

(Al-Araf 7:204,

Al-Israa, 17:45;

Al-Anfal,8:2;

Muhammad 47:24).
Kunci terbuka lebar mendapatkan rahmat Allah
5

dapat mengenal sekaligus membedakan jalan hidup yang


lurus dan sesat
Metoda hidup yang tepat
Tujuan hidup yang mulia
3; Mengamalkan al-Quran
Pengamalan al-Quran merupakan inti dari komitmen Muslim terhadap
al-Quran, sebab segala apa yang terdapat dalam al-Quran bukanlah
sekedar ilmu dan pengetahuan, melainkan nilai-nilai tentang hidup dan
kehidupan yang menuntut kepada pengamalannya.
Al-Quran akan sampai pada puncak keagungannya, bilamana nilai-nilai
yang dibawanya telah berbuah dalam kehidupan manusia. Demikian
halnya dengan manusia, ia akan berada dalam puncak keseimbangan
dan kualitas hidupnya, bilamana segala aktifitas hidup dalam berbagai
segi, lapangan dan lingkungan kehidupannya telah benar-benar selaras
dengan nilai-nilai al-Quran. (Al-Araf, 7:3; al-Jatsiyah,45:7-8; 24:51; alTaubah, 9:20-21.
Memerlukan Kesungguhan dan kesabaran
Mengamalkan

tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan

Al-Quran

Secara kaffah menurut batas maksimal

kemampuan

(bertahap, konsisten,

berkelanjutan)
4. Mendakwahkan AL-Quran
;

memberi contoh yang baik (suri teladan)

mengangkat dari kebodohan dan kezaliman, kealfaan dan

kelalaian
;

memberi kesadaran, motivasi

memanggil, mengajak, menyeru, merayu


6

membangun kesadaran supaya menimbang al-Quran secara jujur


dan objektif

Ajaklah (manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehatnasehat yang baik, danbertukar pikiran dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengerti siapa yang sesat dari jalanNyam dan Dia-lah yang mengetahui siapa-siapa yang terpimpin (AnNahl, 16:125).
G. Adab Mempelajari al-Quran
1. Ikhlas dan Meluruskan Niat
Ikhlas merupakan ruhnya segala amal dan pusat segala amal yang
bersih
Menjauhi sifat Riya dan terlalu Cinta kepada Dunia
2. Menghiasi diri dengan keutamaan
Dalam mempelajari al-Quran hendaknya dengan keadaan badan dan
pakaian yang bersih dan menjaga ahlak yang baik.
H. Sejarah Perkembangan al-Quran dari Masa ke Masa
1. Pengumpulan al-Quran pada masa Nabi SAW.
Istilah pengumpulan adakalanya diartikan dengan penghapalan dalam hati
atau kadang-kadang diartikan dengan penulisan dan pencatatan dalam
lembaran-lembaran.
A. Pengumpulan al-Quran pada Masa Nabi terbagi kepada dua kategori :

Pengumpulan dalam dada berupa hapalan dan penghayatan.


;

Pengumpulan al-Quran dalam dada, setelah Nabi saw menerima

dari Jibril kemudian Nabi menghapal dan menetapkan dalam dadanya


sebagai penghayatannya.
;

membacakan kepada para sahabat supaya mereka menghapal

dan menetapkan dalam hati mereka.

Pengumpulan dalam dokumen atau catatan berupa penulisan pada


kitab (lembaran-lembaran) atau lembaran lainnya.
;

Pengumpulan al-Quran dalam catatan, Nabi membacakan ayat


demi ayat kemudian para sahabat menuliskannya dihadapan
Nabi.

Nabi

mempunyai

pencatat

(sekretaris)

khusus

yang

selalu

menyertai Nabi, apabila Nabi pergi kemana saja, maka sekretaris


Nabi selalu hadir disitu.
;

Dari golongan Muhajirin, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali,


Muawiyyah bin Abi Sofyan

Dari golongan Anshor, yaitu : Ubay bin Kaab, Muadz bin Jabal,
Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.

B. cara-cara Pencatatan Al-Quran


Al-Quran pada masa Nabi dicatat oleh para sahabat sesuai dengan
petunjuk Nabi, artinya susunannya sebagaimana yang kita lihat sekarang
sesuai dengan perintah dan wahyu Allah. Penempatan dan tertib antara surat
per surat dan ayat per ayat sesuai dengan petunjuk Jibril.
C. Tempat Penulisan Ayat-Ayat
Maksud

tempat

penulisaan

ayat-ayat

al-Quran

ialah

lembaran-

lembaran yang dipakai untuk tempat penulisan al-Quran. Lembaran-lembaran


itu antara lain :
a; Pelepah-pelepah Kurma
b; Lempengan batu
c; Kulit atau daun kayu
d; Tulang-tulang binatang.
2; Al-Quran Pada Masa Sahabat (Abu Bakar dan Umar)

Setelah Nabi SAW meninggal dunia, padsa mulanya al-Quran masih


tersimpan dalam mushaf-mushaf para sahabat ataupun para sekretaris Nabi
disamping dihapal oleh beratus-ratus para sahabat.
Sebelum al-Quran menjadi satu mushaf yang dibukukan oleh Khalifah
Abu Bakar, maka al-Quran pada masa itu telah ada dalam dua tempat
sandaran, yaitu :
;

Dalam lembaran-lembaran yang tersimpan rapih pada sekretarissekretaris Nabi dan para sahabat lainnya.

Tersimpan dalam hapalan-hapalan para sahabat.

Awal masa khalifah Abu Bakar adalah menghadapi persoalan yang


cukup

berat

dengan

adanya

Nabi-Nabi

palsu

yang

memproklamirkan

kenabiannya sehingga banyak umat Islam yang mengikutinya dan keluar dari
keislamannya.
Diantara nabi palsu itu yaitu Musailamah al-Kadzdzab (12H), Abu Bakar
mengantisifasi persoalan ini dengan mengirimkan para tentara untuk
mengajak orang-orang yang murtad kembali kepada Islam karena mereka
tidak mau kembali, maka terjadilah peperangan yang disebut peperangan
Yamamah.

Dalam

peperangan

tersebut

telah

syahid

70

orang

Qura

(Hufadz/penghapal al-Quran), bahkan pertempuran di sumur Maunah telah


syahid pula 70 orang Hufadz al-Quran meninggal dunia.
Kejadian ini mendorong Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah
Abu

Bakar

untuk

mengkodifikasikan

(Jamu

al-Quran/

) ayat al-Quran yang berserakan dalam mushaf-mushaf para sahabat.


Alasan Umar bin Khattab untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Quran
yaitu :
1; Banyaknya para hufadz al-Quran yang meninggal dunia
2; Demi pemeliharaan al-Quran
3; kemaslahatan Umat Islam (yang akan datang)

Sesudah mendengar alasan dari Umar maka Khalifah Abu Bakar


memerintahkan pengumpulan ayat-ayat al-Quran dengan diketuai oleh Zaid
bin Tsabit.
Penulisan ini diambil dari dua sumber :
1; Sumber hapalan yang tersimpan dalam dada para sahabat
2; Sumber tulisan yang ditulis oleh para sahabat.
Dalam hal tulisan ini, maka pernyataan Umar bin Khattab membertikan
ultimatum yang cukup keras : Tidak akan diterima dari seseorang
sesuatu (tulisan al-Quran) sehingga mendatangkan saksi dua orang.
Pengertian dua saksi tersebut :
a; Mendatangkan dua orang yang menyaksikan tulisan tersebut betulbetul ditulis atas bacaan Rasulullah SAW.
b; Hapalan dan tulisannya.
Dalam penulisan dan pengumpulan ayat-ayat al-Quran, tidak cukup
dengan hapalan saja ataupun tulisan saja, melainkan Zaid bin Tsabit meminta
kedua-duanya harus ada para sahabat yang memberikan kesaksiannya.
Setelah selesai pengumpulan ayat-ayat al-Quran, maka mushaf alQuran tersebut diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar. Setelah khalifah Abu
Bakar wafat, maka mushaf al-Quran tersebut disimpan di tangan khalifah
Umar bin Khattab, tetapi setelah Khalifah umar meninggal, maka disimpan di
Hafsah. Alasan penyimpanan di tangan hafsah , yaitu :
1; Dia adalah istri Nabi SAW dan putri Khalifah Umar
2; Dia pandai membaca dan menulis.
3; Mushaf al-Quran pada Masa Khalifah Usman bin Affan
Pada masa ini terjadi perbedaan dalam pembacaan al-Quran sehingga
menimbulkan perselisihan yang menjurus kepada perpecahan umat Islam..
Untuk mengatasi hal demikian, maka Khalifah meminta kepada Hafsah naskah
al-Quran tersebut untuk disalin guna diperbanyak dan dapat disebarkan
kepada daerah-daerah sebagai mushaf sandaran. Mushaf yang disimpan oleh
Khalifah Usman disebut mushaf al-Imam.

10

Penyalinan ini dilakukan oleh 4 sahabat, yaitu :


1; Zaid bin tsabit
2; Abdullah bin Zubair
3; Said bin Ash
4; Abdurrahman bin Hisyam
Mushaf al-Quran yang ditulis pada masa Nabi sampai pada masa
Khalifah Abu Bakar ditulis dengan tulisan Arab Kufi (Kufah). Tulisan al-Quran
tersebut belum memakai tanda nuqtah (titik) dan syakal (baris).


Pada masa khalifah Muawiyyah bin Abi Sofyan ( 60-40 H), Abu Aswad
ad-Dauly memberi baris bagi huruf-huruf al-Quran, dan pada masa khalifah
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H) melalui perantaraan panglima Hajaj bin
Yusuf diperintahkan pula supaya masing-masing huruf al-Quran yang serupa
diberi tanda secukupnya umpamanya : huruf ba, ta, tsa dan sebagainya
dengan tujuan agar tidak timbul kekeliruan dalam bacaan.
Usaha ini dilanjutkan oleh Nashar bin Ashim atas perintah al-Hajjaj yaitu
dengan memberi tanda titik pada masing-masing huruf yang diperlukan
dengan secukupnya.
Khalil bin Ahmad mengubah sistem baris Abu al-Aswad dengan
menjadikan alif yang dibaringkan di atas huruf tanda baris di atas, dan yang di
bawah huruf tanda baris di bawah, dan waw tanda baris di depan, dan beliau
juga yang memberi dan membuat tanda mad (panjang bacaan/pembacaan)
dan tasydid (tanda ganda huruf).
Keistimewaan mushaf Abu Bakar
1; Terkumpulnya ayat-ayat al-Quran hasil penelitian yang mendetail
dan pembahasan yaang sempurna.
2; Sesungguhnya yang tercatat dalam mushaf bacaan yang pasti dan
tidak ada nasakh bacaannya.
3; Sesungguhnya hasil dari ijma umat dan mutawatir terhadap mushaf
itu.

11

4; Dengana mencakup qirat sabah yang dinukil dari riwayat yang


shahih.
Perbedaan penyusunan/penulisan pada masa khalifah Abu Bakar
dengan khalifah Usman bin Affan.
1; Pada masa khalifah Abu Bakar pengumpulan dari mushaf-mushaf yang
terpisah-pisah
2; Pada masa Khalifah Usman bin Affan, penulisan dan penyalinan untuk
diperbanyak.
N. Tafsir dan Tawil
A; Makna Tafsir
Tafsir

secara

etimologi

adalah

menerangkan,

menjelaskan

(Bayyana/audhaha), penguraian atau perincian


Tafsir artinya : - usaha untuk menyingkap sesuatu yang tertutup
- mengungkapkan arti yang dimaksud dari suatu lafaz
yang pelik.
Menurut Istilah tafsir adalah : ilmu mengenai pemahaman Kitab Allah,
yang diturunkan kepada Nabi-Nya (Muhammad SAW), mengenai penjelasan
makna-makna-Nya

dan

pengambilan

hukum-hukum

berikut

hikmah-

hikmahnya.
Kata-kata tafsir dalam al-Quran : Al-Furqan, 25:33;
Tawil secara bahasa adalah kembali ke asal.
Tawil al-Quran mesti sama dengan tafsir maksudnya adalah tafsir
maknanya.
B. Perbedaan Tafsir dan Tawil

Tafsir ialah penjelasan tentang makna yang lahir (zhahir) dari ayat alQuran,

Tawil ialah mengambil sebagian makna dari makna-makna yang


dikandung oleh ayat al-Quran.

12

Kata-kata tawil dalam al-Quran : ali Imran, 3:7; an-Nisa , 4:4; al-Araf,
7:53; Yunus, 10:39; Yusuf, 12:6,21,36,37,44, 45,100 dan 101; Al-Usra, 17:35
dan al-Kahfi, 18:78, 82.
C. Macam-Macam tafsir :
1; Tafsir bir Riwayah (tafsir bin Naqli/ bil Matsur).
Sebagaian ayat al-Quran adalah merupakan penjelas
atau perincian
terhadap ayat yang lainnya, atau dengan hadits atau atsar (bekas/jejak). :
o Tafsir al-Quran dengan al-Quran
o Tafsir al-Quran dengan Sunnah Nabi
o Tafsir al-Quran dengan atsar Sahabat
o Tafsir al-Quran dengan atsar Tabiin (orang Islam yang bertemu
dengan Sahabat).

O. Tarjamah
Tarjamah artinya : memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa kepada
bahasa lainnya, atau mengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam
yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang
terkandung di dalam pengertian tadi.
Tarjamah menunjukkan empat makna :
;

Menyampaikan

suatu

kalam

kepada

seseorang

yang

belum

mendapatkannya
;

Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya

Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa lainnya

Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang


lainnya.

13

Al-Hadits
(

1; Pengajar Hadits
Para penganjur (penyampai) hadits mendapat penghargaan sebagai
khalifah Rasulullah saw. yang mendapat prioritas, dimintakan rahmat oleh
Nabi kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diberitakan oleh

Ibnu Abbas

r.a. :

Rasulullah saw, berdoa : Ya Allah, rahmatilah khalifahku. Wahai


Rasulullah, siapakah khalifah anda? Tanya kami, sabda Nabi : yaitu
orang-orang yang meriwayatkian (menyampaikan) hadits-haditsku dan
mengajarkannya kepada masyarakat (Riwayat ath-Thabrany).

2; Hukum Mempelajari al-Hadits (as-Sunnah)


Berpedoman

kepad

hadits

(as-Sunnah)

untuk

diamalkan

dan

menganjurkan orang lain untuk maksud yang sama, adalah suatu kewajiban.
Al-Quran adalah Kitabullah yang berisikan perintah-perintah dan
larangan-larangan yang ditujukan kepada hamba-Nya. Al-Quran sebagai
petunjuk dan penjelasan, sedang hadits Nabi saw, adalah sebagai penjelasan
al-Quran, seperti firman Allah :

14

Dan Kami telah menurunkan al-Quran kepadamu, agar engkau


jelaskan kepada umat manusia, apa yang telah diturunkan kepada
mereka, dan mudah-mudahan mereka pada memikirkan. (Q.S. anNahl : 44).
Dengan demikian, pribadi Rasulullah saw., sendiri merupakan sarana
(media) yang berfungsi untuk menjelaskan al-Quran (Mubayyin), baik dengan
sabdanya, tindakannya, akhlaknya dan bahkan segala gerak-geriknya, Nabi
tidak bersabda hanya sekedar dorongan hawa nafsunya, melainkan sabdanya
itu berdasarkan wahyu Allah saw. :
Dan dia tidaklah berkata atas kemauannya (hawa nafsunya) sendiri,
melainkan

apa

yang

diwahyukan

kepadanya

sajalah

(yang

disampaikannya itu). (Q.S. An-Najm : 3-4).


Kalau para muhadditsin mensinyalir adanya hadits dha'if, bukanlah
kelemahannya itu terletak semata-mata pada sabda, tindakan dan taqrir
(sikap diam) Nabi, melainkan terletak pada segi-segi yang lain, yaitu adanya
kemungkinan rawi (penyampai berita)nya salah terima atau salah informasi,
bahkan mungkin salah pengakuan, yakni ia mengaku menyaksikan atau
mendengar sendiri apa yang diinformasikannya, padahal tidak, jadi ada
kemungkinan karakter rawi kurang bisa dipertanggungjawabkan.
3. Tarif Hadits dan Sunnah
a. Makna tarif hadits
ialah suatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik
berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.

Tarif ini ada


4 unsur

Perkataan
Perbuatan
15

Pernyataan
Sifat-sifat keadaan Nabi
b. Makna Sunnah
Sunnah secara etimologi ialah berasal dari akar kata sanna (
), bentuk masdarnya al-Sunnah, jamaknya adalah al-Sunan yang berarti
perangai, jalan, kebiasaan dan syariah.
Secara lebih khusus sunnah berarti cara atau jalan., yaitu jalan yang
dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan.
Secara terminologi Sunnnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat
(watak budi maupun jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw., baik
sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Pengertian Hadits secara luas,

adalah perkataan, perbuatan dan

ketetapan yang disandarkan kepada Nabi saw., Sahabat, dan Tabiin.

Hadits

Marfu : disandarkan kepada Nabi


Mauquf : disandarkan kepada Sahabat
Maqthu disandarkan kepada Tabiin

Sunnah
Hadits
Khabar

semuanya
sama dan
disandarkan

Nabi

Perbuatan
Sahabat
Tabiin

Perkataan
Ketetapan

16

Atsar

4. Transfer Hadits
Transfer hadits dari Rasulullah kepada para sahabat ada beberapa cara,
yaitu :

1; Rasulullah

membuat halaqah (kelompok) untuk mengajar para

sahabat dan berdiskusi, sambil menjawab beberapa pertanyaan


para sahabat mengenai berbagai masalah.

2; Nabi berdiri di atas mimbar sambil mengajarkan masalah-masalah


agama

kepada

para

mengelilinginya,

dan

sahabat

sedang

masalah-masalah

mereka

yang

penting

duduk
selalu

diulangi oleh Nabi sampai tiga kali.

3; Para

sahabat berkumpul setelah melaksanakan shalat fardu

kemudian

duduk

dekat

Rasulullah

untuk

mengingat-ingat

(menghafal) dan membicarakan hal yang bertalian dengan hadits.

4; Ada

beberapa

sahabat

yang

menghafal

hadits

kemudian

memperdengarkannya kembali hafalannya itu kepada Rasulullah


saw.,
Disamping melalui pertemuan-pertemuan seperti diatas, para sahabat
menerima hadits dari Rasulullah saw., dapat juga memalui beberapa
peristiwa, dan ini dapat dikelompokka menjadi tiga, yaitu :

17

1; Adanya

peristiwa-perisriwa yang terjadi pada diri Rasulullah saw.,

sendiri. Kemudian Rasulullah menerangkan hukumnya, sehingga


hukumnya tersebar di kalangan umat Islam melalui para sahabat
yang mendengarnya.

2; Adanya

peristiwa-peristiwa

yang

terjadi

pada

kaum

Muslimin,

kemudian mereka menanyakannya kepada Rasulullah saw., lalu Nabi


Saw., berfatwa dan menjawab mereka tentang hukum peristiwa ini
baik yang menerima secara khusu kepada penanya atau yang
berhubungan dengan orang lain.

3; Adanya

berbagai peristiwa dan kejadian yang disaksikan para

sahabat tentang prilaku Rasulullah saw., hal seperti ini banyak terjadi
dikala Rasulullah saw., shalat, berhaji, bepergian dan prilakunya di
rumah.

5. Rawi, Matan dan sanad

5.1;

Rawy (

Rawy adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan


dalam

suatu

kita

apa-apa

yang

pernah

didengar

dan

diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamanya ruwah


dan perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan
me-rawi (riwayat) kan hadits.
dari Ummmul Mukminin Siti Aisyah r.a. ujarnya : Rasulullah saw, telah
bersabda : barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan
termasuk dalam urusan (agama)ku, maka hal itu tertolak (Riwayat Bukhori
dan Muslim).

18

5.2;

Matan (

Matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita (pesan)


yang ditransfer (disampaikan) oleh sanad terakhir.
Pembicaraan/Pesan itu : berupa sabda, perbuatan atau sikap diam
Rasulullah saw. maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh
Rasulullah saw.

5.1;

Sanad (

Sanad atau Thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matan hadits
(isi hadits) kepada Nabi Muhammad saw.
Contoh :
Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin al-Mutsanna, ia berkata
: Abdul Wahhab ats-Tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ia berkata : telah
bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi
Muhammad

saw.,

sabdanya

tiga

perkara,

yang

barangsiapa

mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni :

1; Allah dan Rasul-Nya hendaknya lebih dicintai daripada selainnya,


2; Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata
3; keengganannya

kembali kepada kekufuran, seperti keenggananya

dicampakkan ke neraka. (Riwayat Bukhori).

19

Urutan Sanad dan Rawi

Rasulullah saw
1

Anas r.a.

Rawi Pertama

Sanad terakhir

Abu Qilabah

Rawi kedua

Sanad keempat

Ats-Staqafy

Muhammad Ibnu Mustanna

Al-Bukhari

Rawi ketiga
Rawi keempat
Rawi terakhir

Sanad ketiga
Sanad kedua
Sanad pertama

20

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits


1. Periode Menulis Hadits

a; Larangan Menulis Hadits


Di masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat pelayanan dan
perhatian sepenuhnya seperti al-Quran. Para sahabat, terutama yang
mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk
mengabadikan ayat-ayat al-Quran di atas alat-alat yang mungkin dapat
dipergunakannya, tetapi tidak demikian halnya terhadap hadits. Kendatipun
para sahabat sangat memerlukan petunjuk-2 dan bimbingan Nabi dalam
menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam al-Quran,
namun mereka belum

membayangkan bahaya yang dapat mengancam

generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan.


Para

sahabat

menyampaikan

sesuatu

yang

ditanggapi

dengan

pancaindranya dari nabi Muhammad saw., dengan berita lisan semata.


Pendirian ini mempunyai landasan yang kuat, yakni sabda Nabi Muhammad
saw.,

Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain alQuran. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Quran
hendaklah ia hapus. Ceriterakan saaaaja yang kamu terima dariku, tidak
mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka (Riwayat Muslim).

Hadits tersebut di atas di samping menganjurkan agar meriwayatkan


hadits dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang
membuat riwayat palsu.
21

Larangan penulisan hadits tersebut, ialah untuk menghindarkan adanya


kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam
lembaran-lembaran tulisan al-Quran, karena dianggapnya segala yang
dikatakan Rasulullah saw., adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi
yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil
adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga
bercampur aduk antara al-Quran dengan hadits.

b; Perintah menulis Hadits.


Di samping Rasulullah saw., melarang menulis hadits, beliau juga
memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu, untuk menulis
hadits. Misalnya ketika Futtuh Mekkah, Beliau berhutbah didapan manusia,
tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman (Abu Syah), berdiri dan bertanya :
ya Rasulullah, tulislah untukku, jawab Rasulullah : Tulis kamulah
sekalin untuknya.
Tidak ada satupun riwayat tentang perintah menulis Hadits yang lebih
shah, selain hadits ini.
Larangan menulis hadits itu disebabkan sebagai berikut :

1; Bahwa

larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal Islam

untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan al-Quran.

2; larangan

menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan

menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulismenulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak
dikhawatirkanakan salah,

22

3; bahwa larangan menulis hadits ditujukan

kepada orang yang lebih kuat

menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya


diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.

c; Sistem Meriwayatkan hadits


1; Dengan lafaz yang masih asli dari Rasulullah saw.
2; Dengan

mananya saja, sedang redaksinya disususn sendiri

oleh orang yang meriwayatkannya.

6. Menulis dan membukukan Hadits secara Resmi


6.1. Perintis dan Sejarah (motif) membukukan hadits
Setelah para sahabat tersebar ke bebrapa bagian wilayah Arabia
dan banyaknya para penganut Islam yang baru, maka tersalah perlunya
hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam
dewan hadits. Umar bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah), memerintahkan
untuk menuliskan dan membukukan hadits. Motifnya yaitu :
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan hadits

seperti

yang sudah-sudah. Karena khawatir hadits akan lenyap dan hilang di


masyarakat Islam.
b. Membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-2 maudhu (palsu).
c. Tidak terdewankannnya hadits pada masa Rasulullah saw., dan
khulafaur Rasyidin.

23

d; Berkurangnya

jumlaah

ahli

hadits.

Untuk

menghilangkan

kekhawatiran akan hilangnya hadits dan memelihara hadits dari


bercampurnya

dengan

menginstruksikan

hadits-2

kepada

palsu,

seluruh

Umaar

pejabat

bin

dan

Abdul
Ulama

Aziz
yang

memegang kekuasaan untuk mengumpulkan hadits.


6.2. Ciri-Ciri Kitab hadits yang didewankan pada Abad kedua
Semangat mengumpulkan hadits begitu besarnya, mereka belum
sempat seleksi hadits-hadits tersebut, apakah mengumpulkan hadits
Nabi semata, ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan Tabiin.
bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi kandungan
nash-nash hadits menurut kelompok-kelompoknya.

7. Periode Penyaringan Hadits dan fatwa-Fatwa (abad ke III)


7.1. Perintisnya
Permulaan abad ke-3 para ahli hadits berusaha menyeleksi hadits dan
fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Mereka berusaha membukukan hadits
Rasulullah semata-mata. Untuk tujuan ini mereka mulai menyusun kitab-kitab
hadits yang bersih dari fatwa-fatwa sahabat. Tetapi periode ini belum diseleksi
tentang hadits-hadits yang shohih dan daif.
7.2. Pendewanan Hadits dan Kitab-kitab hadits
Pertengahan abad ke III mulai penyeleksian kualitas hadits yang
dilakukan oleh para ahli hadits, seperti :

1; Muhammad

bin Ismail al-Bukhari (194-256 H), kitabnya Shahihul

Bukhari berisi 8.122 hadits

24

2; Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H), dengan
kitabnya shahih Muslim yang berisi 7.273 hadits.

3; Kitab-kitab

Musnad (Musnad Ahmad) yang berisi hadits-hadits

shohih, hasan dan dhoif).

4; Kitab-kitab

Sunan (Abu Daud, Turmudzi, NasaI, Ibnu Majah), yang

berisi mencakup seluruh hadits, kecuali hadits yang sangat dhaif dan
munkar (menyendiri, banyak salah dan lengah).

Ijtihad
Ijtihad (

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara bahasa adalah berusaha dengan sungguh-sungguh.
Ijtihad secara istilah ialah mencurahkan segala kemampuan berfikir
untuk mengeluarkan hukum syari dari dalil-dalil syara, yaitu al-Quran dan
as-Sunnah.
Mencurahkan

fikiran

untuk

mendapatkan

hukum

syara

yang

diamalkan dengan jalan istimbath.


Istimbath artinya menetapkan hukum berdasarkan Dalil.
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan
jalan ini disebut Mujtahid.

25

B. Hukum Ijtihad

1; Wajib

ain, bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa,

sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui


hukumnya. Demikian pula wajib ain. Apabila peristiwa tersebut dialami
sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.

2; Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu peristiwa


dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilanmgnya peristiwa tersebut,
sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Apabila semuanya
meninggalkan ijtihad, maka mereka berdosa.

3; Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi baik
dinyatakan atau tidak.
C. Syarat-Syarat Ijtihad
Orang yang berijtihad harus memenuhi beberapa syarat :

1; Menguasai

bahasa Arab dengan segala cabangnya. Untuk itu

harus ditunjang dengan pengkajian dan penelaahan seluk beluk


kesusastraan Arab baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Ia
harus mampu membedakan lafaz yang khas (spesifik) dan dengan
yang amm (umum), yang haqiqat (esensi) dengan yang majaz
(simbolis), yang mutasyabihat (samar) dengan yang muhkam
(jelas) dll. Hal tersebut adalah malum karena yang dijadikan
dasar pengambilannya adalah al-Quran dan al-Hadits yang
berbahasa Arab itu dan ia harus bisa memahaminya sebagaimana
pemahaman orang yang berbahasa Arab.

26

2; Mengetahui nas-nas al-Quran perihal hukum-hukum syariat yang


dikandungnya,

ayat-ayat

hukum

dan

cara

mengistimbatkan

hukum dari padanya. Juga harus mengetahui asbabun nuzul,


nasikh-mansukh (revisi dan yang merevisi) tawil dan tafsir dari
ayat-ayat yang hendak diistimbatkan (diambil kesimpulan).

3; Mengetahui

nas-nas hadits, yakni mengetahui hukum syariat

yang didatangkan oleh al-Hadits dan mampu mengeluarkan


(istimbat) hukum perbuatan orang mukalaf dari padanya. Di
samping itu dia harus mengetahui derajat dan nilai suatu hadits,
seperti : mutawatir, ahad, shahih, hasan dan dhaif, juga harus
mengetahui keadaan rawinya, mana yang tsiqah (terpercaya)
hingga dapat digunakan hujjah (dalil/argumentasi) haditsnya dan
mana yang ghair tsiqah untuk ditolak haditsnya.

4; Harus

mengetahui ushul fiqih

karena

ilmu ushul fiqih

dan harus kuat dalam ilmu ini,

menjadi

dasar dan pokok

ijtihad.

Hendaklah Mujtahid menyelidiki persoalan-persoalan ilmu ushul


fiqih sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian
seorang

mujtahid

mudah

mengembalikan

soal-soal

cabang

kepada soal-soal pokoknya (esensi).

D. Masalah yang diijtihadkan


Masalah yang diijtihadkan ialah tiap-tiap hukum syara yang tidak ada
dalilnya yang pasti.
Peristiwa-peristiwa (masalah-2) yang dapat diijtihadkan itu ialah :

27

1; Peristiwa-2

yang ditunjuk oleh Nas yang zhanni (nas al-Quran dan

hadits yang masih dapat ditafsirkan dan ditawilkan).

Tugas seorang mujtahid dalam menghadapi dalil yang zhanni


wurud

(samar/belum jelas kedatangannya suatu dalil) ialah

mengadakan penelitian terhadap saanadnya (jalan kedatangan


kepada kita dari Rasulullah saw), dan sifat-sifat perawi yang
menyampaikan

kepada

kita

(baik

mengenai

keadilannya,

kejujurannya, maupun kekuatan hafalannya).

Tugas mujtahid dalam menghadapi dalil yang zhanni dalalah


(tidak pasti penunjukkannya kepada makna tertentu), baik dalil alQuran maupun dalil hadits ialah mengadakan penelitian dalam
menafsirkan, mentakwilkan, mencari dalalahnya yang kuat dalam
penunjukkannya kepada makna yang dikehendaki, dll. Sehingga
dengan

demikian

dapat

menerapkan

nas

tersebut

kepada

peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya atau tidak.

2; Peristiwa-peristiwa

yang tidak ada nasnya sama sekali. Peristiwa-2

semacam ini dapat diijtihadkan dengan leluasa, lantaran seorang


mujtahid dalam menghadapinya bertujuan hendak menetapkan
hukumnya dengan perantaraan qiyas (perbandingan) dll.
Jadi tidak dilakukan ijtihad terhadap hukum-hukum akal dan soal-soal
ilmu kalam. Juga tidak diijtihadkan soal-soal yang ada dalilnya yang pasti,
seperti shalat lima waktu, zakat, shaum, haji dan lain-lainnya.

E. Cara melakukan Ijtihad

28

Seseorang yang hendak berijtihad, haruslah memperhatikan uruturutannya, apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi
tingkatannya,

barulah

ia

boleh

menggunakan

dalil-dalil

berikutnya.

Demikianlah seterusnya urutan-urutan tersebut adalah sebagai berikut :

1; Nas-nas al-Quran
2; Nas-nas hadits Mutawatir
3; Nas-nas hadits ahad
4; Zhahir al-Quran
5; Zhahir hadits
6; Ijtihad dengan (memakai kaidah-kaidah Ushul Fiqih)

F. Kebenaran Ijtihad
Ilmu dibagi dua, yaitu qhati (pasti) dan Zhanni (samar). Dalam ilmu
hukum Islam selain soal-soal yang qhatI seperti : shalat, zakat dll. Ada soal
shanni yang tidak ada dalilnya yang qathI (pasti). Maka soal-soal ini yang
menjadi lapangan ijtihadnya.
Apakah tiap-tiap mujtahid dalam soal-soal zhanni tersebut dapat
mencapai kebenaran ? menurut Imam Abu hanifah, Malik dan SuafiI : Tidak
semua mujtahid mencapai kebenaran, tetapi yang bisa mencapai hanya
satu.
Nabi bersabda :

29

Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka


ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai
kebenaran, maka ia mendapat satu pahala. (H.R. Bukahri- Muslim).
Hadits tersebut menunjukkah, bahwa kebenaran hanya satu. Sebagian
mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang benar dan ia mendapat
dua pahala. Sebagian lagi menyalahi kebenaran, maka ia dikatakan yang
luput ia mendapat satu pahala. Mendapat pahala tidak berarti ia mencapai
kebenaran, sebagaimana keluputan tidak mengharuskan tidak adanya pahala.
Pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kesalahan (keluputan)nya.
Nabi saw membagi mujtahid kepada dua bagian :

Yang satu mencapai kebenaran (mushib)

Yang kedua yang luput (tidak mencapai kebenaran) (Mukhti).

Ittiba (

Ittiba ialah : menerima perkataan orang lain dengan mengetahui


sumber atau alasan perkataan tersebut. Ittiba dalam agama diperintahkan.
Allah SWT berfirman :
Tanyakan kepada ahli zikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak
mengetahui (an-Nahl : 43).
Taqlid (

Taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau
alasannya. Taqlid dalam adama dilarang.

30

Pesan Imam yang Empat :

Imam Abu Hanifah :

Jika perkataan saaya menyalahi Kitab Allah dan hadits Rasul,


maka tinggalkanlah perkataan saya ini.

Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum


mengetahui dari mana saya berkata.

Imam Malik : Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah


dan kadang-kadang benar. Selidiki pendapat saya. Kalau sesuai dengan
al-Quran dan hadits, maka ambillah, yang menyalahi hendaklah
tinggalkan

Imam SyafiI : perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah


(alsaan/argumen) seperti orang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia
membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup,
dan ia tidak tahu.

Imam Ahmad bin Hambal : Jangan mengikuti (taqlid) saya, atau Malik
atau Tasuri atau Auzai, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.

31

Anda mungkin juga menyukai