Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah kerusakan organ
yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Seperti kita ketahui, dalam
penanganan trauma dikenal primary survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary
survey dan akhirnya terapi definitif. Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa
harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal sistem
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environmental control) yang
disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama penanganan adalah
menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu, trauma jalan nafas adalah keadaan yang
memerlukan penanganan yang cepat dan efektif untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan.
Insiden trauma laringotrakea sangat jarang terjadi dan biasanya terjadi bersama dengan kasus
trauma dada seperti trauma penetrasi, tapi penyebab tersering adalah trauma tumpul thorax atau
leher. Kebocoran udara dari tempat trauma pada trauma laringotrakea bisa menyebar
kemediastinum
dan
terus
kevena-vena
besar.
Penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi trauma inhalasi, trauma intubasi, trauma tajam,
trauma tumpul dan penyebab lainnya, seperti iatrogenic injuries, electrical injuries, caustic
injuries dan lain-lain. Tujuan utama penanganan adalah menjaga jalan napas tetap adekuat.
Penatalaksanaan trauma laringotrakea dapat secara konservatif maupun pembedahan. Morbiditas
dan mortalitas akibat trauma ini masih cukup tinggi, namun dengan diagnosis yang cepat dan
tatalaksana yang tepat akan memberikan hasil yang baik.
II.1. Anatomi
Laring di bawah bersambung dengan trakea, kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang
rawan (yaitu: hioid, epiglotis, tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum
dan digerakkan oleh otot.
Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus laringeus internus cabang
dari nervus laringeus superior sedangkan di bawah plika vokalis disarafi oleh nervus laringeus
rekurens. Persarafan motorik ke otot intrinsik laring melalui nervus laringeus rekurens kecuali
untuk m.cricotiroideus yang dipersarafi oleh nervus laringeus eksternus Pendarahan laring bagian
atas
bagian
dipasok
oleh
bawah
ramus
oleh
laringeus
ramus
superior
laringeus
dari
inferior
a.tiroidea
dari
superior
a.tiroidea
sedangkan
inferior.
Trakea adalah saluran napas kelanjutan dari laring yang panjangnya berkisar 11 cm, dimulai dari
batas bawah kartilago krikoid sampai karina. Trakea disusun oleh kartilago yang berbentuk cincin
C, berjumlah 18-22, kira-kira terdiri dari 2 cincin tiap 1 cm.7 Sebagian besar trakea terletak di
rongga torak. Pada posisi leher hiperekstensi, setengah trakea akan nampak di daerah leher. Aliran
darah trakea dipasok dari banyak pembuluh arteri terminalis kecil. Trakea bagian atas dipendarahi
terutama oleh cabang arteri tiroidea inferior, sedangkan bagian bawah oleh cabang arteri
bronkialis. Pembuluh-pembuluh darah tersebut memasuki trakea melalui pedikel-pedikel lateral
yang sangat halus dan sedikit kolateral. Bidang pretrakeal dan bidang antara trakea dan esofagus
adalah bidang yang avaskular. Pada bagian anterior terdapat glandula tiroid, pembuluh darah
arteri, vena, dan otot-otot daerah anterior leher. Esofagus berada di posterior laringotrakea dan
diapit oleh vertebra servikalis. Struktur anatomi tersebut menjelaskan mekanisme trauma tumpul
laringotrakea sehingga laringotrakea terjepit diantara vertebra servikal dan benda yang
menyebabkan trauma. Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau
trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya.
Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea dan esofagus
bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri subklavia, arteri karotis komunis,
trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis.
Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini berisi arteri
karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis interna, laring, hipofaring,
nervus
X,XI,XII,
dan
medula
spinalis.
Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri karotis, arteri
vertebralis,
vena
jugularis
interna,
faring,
nervus
kranialis
dan
medula
spinalis.
INSIDEN
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun cenderung meningkat.
Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80% kasus terjadi pada 2,5 cm diatas
carina.
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea adalah
1:137.000.11 Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah 1 dari 30.000 kasus
trauma tumpul yang datang ke UGD.3 Bent dkk melaporkan 1 kasus TLT dari 5000 kasus trauma
tumpul dan tajam yang datang ke UGD. Gussack dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua
kasus trauma. Sabina dkk melaporkan 23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring, 8
kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilanbelas dari 23 kasus akibat trauma
tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul.11 Hal ini sesuai dengan penemuan dari Lee bahwa
insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4 kasus/tahun. Shelly dkk, mendapatkan 65 kasus trauma
laringotrakea dari 700 kasus trauma leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari
65 kasus tersebut (1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma
tembus. TLT lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita. Symbas melaporkan
perbandingannya adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia produktif (19-40 tahun).
Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih tinggi mobilitasnya dibandingkan
dengan wanita.
PENYEBAB DAN MEKANISME TRAUMA
Trauma laringotrakea disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma inhalasi,
aspirasi benda asing maupun iatrogenik. TLT akibat trauma tumpul semakin menurun karena
perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu
angka
kejahatan/kekerasan
semakin
meningkat
sehingga
persentase
kejadian
trauma
tajam/tembus semakin sering.3. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan jaringan yang terjadi
lebih berat dibanding trauma tajam.
Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung mencederai laring
dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah. Daerah yang terkena akan menjadi
nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.
Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena
balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat
intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume
besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah
dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering
menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal,
erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronchial (gambar
5). Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya masih belum
jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-kira 0.1 % pasien.
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi yang paling
sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi tekanan rendah
telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih
tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada
beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi. Tabel Faktor
resiko terjadinya trauma intubasi
Wanita
Usia > 50 tahun
Kesalahan
mandrain
penggunaan
Trakeostomi perkutan
Perawakan pendek
dari
pegangan
dan
membalik
menghantam
leher
bagian
depan.
Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung pada leher
bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun laring. Berkowitz melaporkan
trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa.
Hal ini terjadi akibat tekanan intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup
akan menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang
cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang berbentuk U ke tulang
vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi cenderung sesuai level dari trumanya.
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya jarang
menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat cukup keras. Hal tersebut
disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak masih sangat elastis dibandingkan dengan
orang dewasa. Namun kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anakanak dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal ini
disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa
dengan perikondrium.
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma
akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan intraluminer
yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini
terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat
robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak.
Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti dikatakan oleh Boyd
dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang besar karena energi kinetik
yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya dengan trauma tumpul. Energi yang diterima
permukaan tubuh akan dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya.
Berbeda dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil. Selain itu
energi
yang
diterima
hanya
diteruskan
ke
satu
arah
saja.
Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi empat yaitu:
penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang cepat, peningkatan mendadak
tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang tertutup dan trauma benturan langsung.
Trauma Tajam
Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak
akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit,
pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin meningkat
dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk.
Crowded urban menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada
trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan. Para penulis menyimpulkan bahwa trauma
tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat terutama karena
kejahatan.
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea merupakan
struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang mengalami
trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah
trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya
disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.
Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan
kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas, pernah dilaporkan adanya
trauma laringotrakea akibat : iatrogenik injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy,
mechanical ventilation), pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan caustic injury.
PATOLOGI PADA SALURAN NAPAS ATAS
Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis. Pembengkakan
daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan menimbulkan obstruksi saluran
napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa akan lebih mengurangi diameter laring dan
trakea. Udara di dalam jaringan lunak (emfisema) akan menyebabkan emfisema epiglotis dan
penyempitan
saluran
napas
supraglotis.
Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam setelah trauma. Oleh
karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi setelah 6 jam pasca trauma. Banyak
faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera yang terjadi pada saluran napas seperti arah dan
kekuatan gaya, posisi leher, umur, konsistensi kartilago laringotrakea dan jaringan lunaknya.
Cedera yang terjadi dapat berupa kontusio laringotrakea, edema, hematom, avulsi, fraktur dan
dislokasi kartilago tiroid, krikoid serta trakea.
CEDERA IKUTAN
Cedera yang menimbulkan kerusakan berat pada daerah laringotrakea dapat dengan mudah
menimbulkan kerusakan pada cervical spine, esofagus dan struktur pembuluh darah. Sedikitnya
10%-50% pasien dengan cedera tumpul saluran napas mengalami cedera cervical spine. Oleh
karena itu cedera cervical spine harus dicurigai terjadi sampai terbukti tidak ditemukan.
Pasien dengan trauma tumpul laringotrakea juga sering disertai cedera kepala tertutup dan cedera
maxillofacial, sehingga terkadang ada dugaan yang salah bahwa obstruksi jalan napas yang
terjadi
disebabkan
oleh
cedera
kepalanya.
Grewal dkk menemukan bahwa 86% pasien dengan trauma tajam jalan napas disertai dengan
trauma toraks, esofagus, struktur vaskuler maupun saraf. Lebih lanjut, Jewwet menemukan cedera
tumpul laringotrakea disertai trauma kepala (17%), trauma medula spinalis servikal (13%),
trauma toraks (13%) dan trauma faringoesofageal (3%). Trauma terhadap nervus laringeus
rekuren lebih sering terjadi pada trauma cricotracheal separation. Trauma esofagus terjadi pada
25% pasien dengan trauma tajam saluran napas namun sering telat didiagnosis. Oleh karena itu,
pada evaluasi awal harus diperhatikan ada tidaknya cedera pada vertebra cervikal, faring,
esofagus maupun cedera kepala. Seperti disebutkan diatas, pasien dengan trauma tajam/tembus
laringotrakea sering disertai trauma vaskuler, esofagus dan trauma toraks.
DIAGNOSIS
Trauma jalan napas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme
traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laringotrakea
adalah mekanisme cedera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal, emfisema
subkutis, perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress pernapasan dan
hemoptisis.
Pada trauma laringotrakea, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah sesak nafas.
Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga
merupakan
tanda
dan
gejala
klinis
yang
mengarah
ke
perlukaan
jalan
nafas.
Tanda yang sudah pasti yaitu adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada tempat trauma.
Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di tempat luka, sedangkan pada
trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang mengembang pada saat batuk.1 Namun ada
juga yang melaporkan bahwa 25% pasien dengan trauma laringotrakea yang memerlukan
tindakan pembedahan ternyata tidak menunjukkan gejala dan tanda hingga 24-48 jam pasca
trauma. Diagnosis trauma laringotrakea biasanya tidak terlambat jika intubasi emergensi segera
dilakukan.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman benda tumpul,
jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan penonjolan tulang, hilangnya
tonjolan kartilago tiroid, krepitasi/diskontinuitas/nyeri tekan pada daerah laringotrakea, emfisema
subkutis
maupun
emfisema
mediastinum
jika
cedera
lebih
ke
distal.
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cedera yang menentukan indikasi operasi.
Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun ringan memerlukan
eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dibagi 5 grup oleh Fuhrman dkk. sebagai berikut1
:
Grup
Grup II : Edema
Trauma
sedang, hematoma
tulang
Grup
Fraktur
endolaringeal
Edema
berat
displaced
tanpa
rawan,
III
ringan
fraktur
robekan
mukosa
pada
dengan
fraktur
nondisplaced.
expose
CT
tulang
rawan.
Scan.
Grup
IV
Perlukaan
berat
endolaringeal,
bentuk
laring
yang
tidak
beraturan.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah pemeriksaan penunjang tidak boleh menghambat
manajemen jalan napas definitif karena walaupun pada pasien dengan jalan napas yang terlihat
stabil dapat dengan cepat mengalami obstruksi.
PENATALAKSANAAN
Kewaspadaan terhadap trauma laringotrakea pada trauma leher oleh tenaga medis/ paramedis
harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma laringotrakea, luka atau
jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama. Penatalaksanaan trauma sesuai
urutan sistemasi dalam ATLS (Advance Trauma Life Support) yang dimulai dari penilaian dan
pengamanan jalan napas agar tetap adekuat.
Manajemen Jalan Napas
Kebanyakan pasien dengan trauma jalan napas atas dapat ditolong dengan manajemen jalan napas
yang sederhana.4 Pada studi retrospektif trauma jalan napas atas oleh Cicala dkk didapatkan
pasien (35 dari 46 pasien) tidak mengalami masalah manajemen jalan napas dan hanya
diobservasi
tanpa
memerlukan
endotracheal
intubation.
grup IV serta V masuk kategori berat. Grup III ke atas memerlukan tindakan operasi. Semua
pasien sebelum dioperasi dilakukan pemasangan NGT selain untuk mencegah aspirasi juga untuk
melihat ada tidaknya trauma esofagus saat eksplorasi. Disarankan pemakaian bronkoskopi seperti
telah
disebutkan
di
atas
bila
mengalami
kesulitan
pemasangan
ETT.
Seperti disebutkan diatas, manajemen terapi dapat dibagi dalam terapi non-pembedahan dan
pembedahan. Terapi non-pembedahan dilakukan pada pasien dengan jalan napas yang adekuat,
terproteksi oleh refleks dari pasien sendiri atau dengan endotracheal tube, seperti pada pasien
dengan laserasi mukosa laring minimal, hematom plika vokalis tanpa adanya penonjolan tulang
ke luar. Observasi ketat di ICU dan pemeriksaan bronkoskopi serial merupakan bagian dari terapi
non-pembedahan.
Terapi anti histamin juga diperlukan untuk mencegah iritasi lebih lanjut mukosa laring dari asam
lambung. Intubasi dengan tube kecil dapat dilakukan pada pasien yang meragukan dapat
mengontrol jalan napasnya dengan baik. Pada kondisi ini pemeriksaan bronkoskopi berkala
diperlukan untuk melihat resolusi edema dan inflamasi akut serta untuk menentukan apakah
sudah dapat dilakukan ekstubasi. Evaluasi ulang setelah 10-14 hari harus dikerjakan untuk
melihat adakah disfungsi sendi cricoarytenoid setelah edema menghilang sama sekali.
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif dan harus diberikan
secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Jika edema jalan napas cukup berat, dapat
diberikan dosis 1-20mg/kg BB. Kepustakaan lain menyebutkan pemberian kortikosteroid
dexametason 10-12 mg IV bolus yang diulang 12 jam kemudian. Pemberian kortikosteroid
mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya edema laring pada fase
akut.
Sekali
edema
sudah
timbul,
maka
efektivitas
kortikosteroid
dipertanyakan.
Pada pasien-pasien di RSUPNCM semua diberikan kortikosteroid perioperatif tanpa melihat fase
akut sudah terlewati atau belum. Dasar dari pemberian tersebut adalah mengurangi/ mencegah
penambahan edema yang terjadi akibat manipulasi saat operasi. Kortikosteroid tersebut diberikan
dengan
cara
dosis
tunggal
1mm/kgBB
bolus
intravena.
Seperi halnya steroid, penggunaan antibiotik profilaksis juga masih kontroversial. Penggunaan
antibiotik dapat mengurangi pembentukan granulasi dan penicillin masih lebih disukai.
Indikasi eksplorasi pembedahan pada trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan napas yang
memerlukan trakeostomi, emfisema subkutis yang tidak terkontrol, laserasi mukosa luas dengan
penampakan kartilago pada pemeriksaan bronkoskopi atau laringoskopi, paralisis pita suara,
deformitaas yang jelas / multipel / displaced fraktur laring, kartilago tiroid atau krikoid.
Terdapatnya cedera lain seperti trauma esofagus, expanding hematom dan lainnya juga
merupakan indikasi dilakukannya eksplorasi. Jewwet dkk melaporkan bahwa 25% kasus trauma
tumpul laringotrakea memerlukan pembedahan sedangkan pada trauma tajam lebih tinggi lagi.
Pada terapi pembedahan, posisi kepala dibuat hiperekstensi untuk memudahkan eksplorasi.
Sebelum membuat posisi harus diyakini sebelumnya tidak ada trauma pada vertebra servikalis.
Posisi ini diubah ke posisi normal pada saat menjahit trakea agar tidak terdapat regangan yang
berlebihan
terutama
pada
anastomosis
trakea
yang
direseksi.
Beberapa macam insisi dikemukakan oleh Lee, tetapi umumnya insisi collar yang dipakai seperti
pada operasi tiroid. Otot-otot yang terdapat pada leher sebaiknya dipisahkan di garis tengah dan
jangan dipotong karena otot-otot tersebut dapat dipakai sebagai penyokong atau pembungkus
trakea
atau
laring
yang
telah
diperbaiki.
Setelah dilakukan debridement, cincin trakea dijahit dengan benang absorbable lama braided,
jarum tapper atraumatic nomor 3-0 (vicryl) secara interrupted. Material yang terbaik untuk
penjahitan trakea menurut beberapa penulis adalah benang absorbable lama braided atau non
absorbable monofilament nomor 3-0 dengan jarum tapper atraumatic. Simpul dibuat di luar
lumen, penjahitan tidak all layer pada kartilago (perimukosal) serta memakai material tersebut di
atas dapat mengurangi risiko timbulnya jaringan granulasi pada mukosa. Cara menjahit ruptur
trakea
total
dapat
dilihat
pada
gambar
di
bawah
ini
(gambar
10).
Setelah diperbaiki, sebaiknya ditutup dengan salah satu otot atau bisa juga dengan pericardium
yang berguna untuk memperkecil kemungkinan timbulnya komplikasi berupa fistel (lihat gambar
11). Fistel tersebut dapat juga disebabkan karena pendarahan trakea yang rusak baik karena
traumanya sendiri dan atau manipulasi trakea pada saat operasi sehingga trakea nekrosis bila
tidak disokong oleh otot leher.
Indikasi operasi pada trauma laring lebih terbatas dibandingkan trauma trakea yaitu obstruksi
jalan nafas yang memerlukan trakeostomi, emfisema subkutis yang tak terkendali dan grup III ke
atas.
Kerusakan pada tulang rawan bagian laring sebaiknya diproksimasi/dijahit baik dengan kawat,
benang nonabsorbable ataupun dengan miniplate nonabsorbable. Pada fraktur os hyoid
disarankan konservatif atau dibuang bila perlu. Kerusakan pada aritenoid harus diperbaiki dengan
baik karena akan mengakibatkan aspirasi makanan pada posisi glotis yang tidak menutup
sempurna saat menelan. Menurut Chagnon dkk., penjahitan langsung rawan tiroid dengan benang
ataupun kawat halus dimasukkan ke dalam lubang tersebut dan diikat. Untuk rawan krikoid
disarankan
melakukan
aproksimasi
dengan
satu
jahitan
kawat
halus
atau
benang
Tipe kerusakan laringotrakea yang terbanyak didapat adalah robekan/ ruptur kurang dari setengah
lumen dan lebih dari setengah lumen. Esofagus, vertebra servikalis dan pembuluh darah besar
leher paling sering mengalami cedera pada trauma leher terutama trauma tembus.
Selain teknik pembedahan dengan anastomosis langsung, penggunaan laryngeal stents juga cukup
membantu dalam penatalaksanaan trauma laringotrakea. Laryngeal stents terutama digunakan
pada kasus fraktur tiroid kominutif atau kasus lain dimana arsitektur laring tidak dapat dijaga
dengan fiksasi terbuka. Laryngeal stents diindikasikan pada trauma mukosa laring yang luas,
fraktur kominutif, disrupsi komisura anterior dan untuk menambah kekuatan teknik fiksasi
sehingga menjaga patensi lumen laring. Namun, penggunaan laryngeal stents dapat menyebabkan
perburukan perfusi mukosa karena meningkatkan tekanan pada mukosa. Oleh karena itu, stents
harus diangkat secepatnya, dan sebagian besar dapat aman dilepaskan pada 10-14 hari pasca
pembedahan
dengan
menggunakan
teknik
endoskopi.
Cedera laringotrakea dengan robekan-robekan ruptur lebih dari setengah lingkaran akibat trauma
tembus tajam atau tembak harus dieksplorasi dengan cermat kemungkinan adanya cedera
esofagus. Esofagus yang cedera diperbaiki/ dijahit (dengan penuntun NGT) lebih dahulu sebelum
memperbaiki cedera laringotrakea. Pemasangan/ penutupan oleh salah satu otot leher antara
esofagus dan trakea dapat mengurangi resiko terjadinya fistel trakeoesofagus. Pada ruptur trakea
torakal, setelah rekonstruksi dapat ditutup menggunakan flap muskulus interkostalis.
Pada akhir operasi selalu dipasang drain untuk mencegah terjadinya hematoma yang
mengakibatkan infeksi. Bila perlu dapat dipasang pengaman lain berupa jahitan dagu ke dada
untuk mengurangi tegangan leher. Tetapi pada perkembangan terakhir pengaman tersebut tidak
dipasang lagi kecuali pada kasus yang dilakukan reseksi laringotrakea dan dipasang minimal 7
hari.
Pasien harus diusahakan bernapas spontan tanpa bantuan ventilator kecuali bila perlu sekali. ETT
dapat langsung dilepas bila diyakini benar tidak ada edema yang mengganggu jalan nafas.
Antibiotika selalu diberikan pada waktu induksi dan diteruskan pasca operasi sampai hari ke-5.
Antibiotika dapat diteruskan bila diperlukan untuk mencegah dan mengatasi infeksi yang dapat
menimbulkan
stenosis
karena
adanya
jaringan
granulasi
atau
fibrosis.
Bila terjadi stenosis karena fibrosis dianjurkan untuk melakukan trakeoplasti atau
laringotrakeoplasti dengan mereseksi bagian yang fibrosis. Bila stenosis tersebut karena jaringan
granulasi dianjurkan untuk lebih konservatif. Pilihan dari tindakan konservatif tersebut dapat
berupa pemberian kortikosteroid sistemik atau intralesi. Tetapi saat ini para ahli menyukai
tindakan insisi radier dengan sinar laser.
MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami gangguan menetap
jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan memproteksi aspirasi isi faring. Komplikasi ini
terjadi karena kontraktur dari skar atau granulasi yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma
tumpul leher cenderung mengalami komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi
dibanding pada trauma tajam. Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila terapi definitif baru
dilakukan
setelah
>24
jam
pasca
trauma.
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian atau pada saat menuju
rumah sakit, dan setelah tindakan operatif-pun angka mortalitasnya masih mencapai 14-25%
akibat cedera lain yang menyertai. Penulis lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma
tumpul jalan napas meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di UGD. Mortalitas
pasien dengan trauma jalan napas dilaporkan berkisar 15-30% dan biasanya disebabkan karena
syok yang irreversibel, aspirasi masif darah, cedera vaskuler di daerah servikotorakal dan cedera
organ ikutan. Namun Lee dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab kematian tersering pada
trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi darah. Mortalitas pada trauma
tumpul lebih besar dibanding pada trauma tajam, dilaporkan pada trauma tumpul 40% sedangkan
pada trauma tajam hanya 20%.
PENUTUP
Trauma laringotrakea jarang ditemukan namuncenderung meningkat dengan penderita terbanyak
adalah laki-laki dewasa usia produktif. Diagnosis relatif mudah ditegakkan dan merupakan
keadaan akut yang memerlukan tindakan segera. Mortalitas dan insiden komplikasi lambat masih
tinggi dan berhubungan dengan diagnosis dan tatalaksanan definitif yang terlambat.
http://www.scribd.com/doc/88561141/Trauma-Laring-Dan-Trakea