Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

HEMOKROMATOSIS

Disusun oleh
Ika Niswatul Chamidah
102011101086

Dokter Pembimbing
dr. Sugeng Budi Raharjo ,Sp.PD

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNEJ - RSD dr. Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
HEMOKROMATOSIS

I. DEFINISI
Hemokromatosis adalah suatu penyakit resesif autosomal ditemukan pada 1
dari 200 orang atau 1 dari 300 orang di Eropa pada jaman dahulu, para klinisi
berpendapat bahwa ini merupakan penyakit yang jarang. Diagnosisnya sulit untuk
dipahami karena gejala yang muncul tidaklah spesifik (Paul c adam, 2003).
Menurut data statistik banyak ditemukan pada kaum pria daripada wanita
dengan perbandingan 17 : 1 menurut Schiff, menurut Harrison 10 :1, menurut
Spelberg. 20 : 1. Pada wanita timbulnya penyakit ini pada usia lebih lanjut
terutama setelah menopause. Hal ini mungkin karena pada kaum pria mempunyai
intake yang jauh lebih tinggi dan besi

tidak dapat melepaskan dir setelah

absorbsi, sedang pada kaum wanita besi yang telah diserap dapat dikeluarkan
melalui haid, kehamilan dan laktasi (Sujono Hadi, 2002).
Trosseaus adalah orang yang pertama kali mengangkat kasus ini pada
sebuah literature patologi Perancis pada tahun 1865. Reclinhhausen pada tahun
1889 adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah hemochromatosis,
yang berarti suatu penyakit yang berasal akibat adanya kelainan darah sehingga
menyebabkan peningkatan pigmentasi pada kulit. Pada tahun 1935, Sheldon
menguraikan 311 kasus dari hasil penelitiannya dan menyimpulkan bahwa
hemochromatosis adalah suatu kelainan bawaan metabolisme besi dimana hal
tersebut menyebabkan terjadinya manifestasi patologi berupa peningkatan deposit
besi pada organ-organ. Pada tahun 1960 ada pendapat kontroversi yang

disampaikan oleh MacDonald yang berpendapat bahwa hemochromatosis suatu


penyakit kelainan nutrisional akibat alkohol. Pada tahun 1976 Simon dan
Cowokers menghilangkan anggapan tersebut yaitu dengan diketahui adanya
keberadaan gen hemochromatosis yang berhubungan dengan regio HLA pada
kromosom 6, hal ini menunjukkan adanya pengaruh genetik pada penyakit ini
(Paul C Adams, 2003).
Dengan ditemukannya gen hemochromatosis (HFE) pada tahun 1996 maka
membuka pemandangan mengenai penyakit ini dan strategi diagnosis yang baru.
Persoalan mendasar yang muncul saat ini terutama adalah apakah penyakit ini
hanya dapat ditegakkan berdasarkan kriteria fenotip (seperti saturasi transferin,
ferritin, biopsi hepar, konentrasi besi pada hepar atau pemindahan besi dengan
terapi venaseksi), atau apakah berdasarkan adanya riwayat penyakit keluarga di
Eropa ini berhubungan dengan adana mutasi C282Y pada gen HFE dan
bermacam-macam tingkatan kelebihan besi. Sejak ditemukan adanya keterlibatan
genetik pada penyakit ini maka banyak orang mengkombinasikan kriteria fenotip
dan genotip untuk menegakkan diagnosis penyakit ini, ini sangat penting
mengingat banyak hal yang menyebabkan kelebihan besi selain hemochromatosis
(Bruce dan Robert, 1998).

II. KLASIFIKASI
Menurut Spellberg dan Sherlock (Sujono Hadi, 2002), dikenal beberapa
macam antara lain :
1.

Hemochromatosis idiopatik

Adalah hemochromatosis yang timbul sejak dilahirkan, karena adanya absorpsi


besi di saluran pencernaan yang bertambah dan terjadinya penimbunan
hemosiderin di hati, pancreas, kulit dan berbagai organ, akibatnya akan terjadi
degenerasi, fibrosis dan disfungsi dari berbagai organ-organ tersebut. Timbulnya
gejala-gejala atau keluhan sekitar usia 45-55 tahun. Kaum pria lebih banyak
terserang dengan perbandingan 15-20 : 1.
2. Hemochromatosis eksogen
Pada

jenis

ini

faktor

luar

yang

menjadi

penyebab

timbulnya

hemochromatosis, terutama setelah pemberian transfuse yang terus menerus. Oleh


karena itu sering disebut pula transfusion hemosiderosis. Dapat dijumpai pada
semua umur, umumnya ditemukan sama baik pada kaum pria maupun wanita.
Didapatkan penimbunan besi di dalam hati, pancreas dan kulit. Tapi juga
ditemukan penimbunan di limpa dan ginjal, bahkan lebih banyak daripada tempat
lain. Walaupun demikian tidak ditemukan gangguan fungsi dari masing-masing
organ.
3.

Hemochromatosis nutrisi (Nutritional hemochromatosis)


Ditemukan penimbunan zat besi dari jaringan pada beberapa organ, tapi

tidak timbul kerusakan pada jaringan tersebut. Ditemukan pada usia dibawah 40
tahun. Kaum pria ditemukan sama dengan kaum wanita. Banyak dijumpai pada
bangsa Afrika Selatan yang makanan pokoknya banak mengandung zat besi.
Rata- rata intake setiap harinya 200 mg. Sebagai akibat defisiensi nutrisi akan
menyebabkan metabolisme abnormal.

Hemochromatosis turunan (genetik hemochromatosis/HHC) adalah istilah


yang dipergunakan untuk identifikasi penyakit dari kelebihan besi yang
berhubungan dengan HLA dan secara genetik diartikan sebagai suatu peningkatan
absorbsi besi

pada

usus.

Istilah

lama

yaitu

primer atau

idiopathic

hemochromatosis harus tidak lagi digunakan sebab telah jelas bahwa ini adalah
suatu kelainan turunan. Ini dipikirkan bahwa kelainan genetik primer pada
beberapa aspek terletak pada transport besi pada usus, tapi satu sudut pandang
alternative lain adalah mungkin terjadi suatu kelainan pada metabolisme besi pada
reticuloendothelial

dimana

terjadi

peningkatan

pelepasan

besi

dari

reticuloendothelial. Dan sebaliknya, ada dua teori tidak dapat dipisahkan sebab
keduanya dapat disebabkan oleh adanya abnormalitas protein yang sama, hal ni
memacu peningkatan absorbsi besi oleh usus dengan tempat predisposisi utama di
sel parenchymal. Hati adalah penerima terpenting dari mayoritas besi yang
diabsorbsi, dan hati selalu terlibat dalam Hemokromatosis keturunan/genetic
(HHC), (Pipard, 1994).
Individu yang mengalami penyerapan besi dalam jumlah berlebihan karena
sebab selain kelainan turunan yang berhubungan dengan HLA disebut
hemokromatosis sekunder meliputi erythropoiesis tidak efektif, beberapa pasien
dengan penyakit hati, pasien dengan intake besi tinggi, dan yang paling jarang
adalah kondisi atransferrinemia sejak lahir. Baik HHC dan berbagai macam
kelebihan besi sekunder harus dibedakan dengan yang mana, yaitu iatrogenic dan
memacu

deposit

besi

yang

pada

awalnya

ditemukan

pada

sistem

reticuloendothelial. Di pasien dengan erythropoiesis yang tidak efektif

memerlukan darah sel merah (RBC) transfusi, dapat terjadi suatu kombinasi
kelebihan besi di parenchymal dan reticuloendothelial karena pada indivividu ini
terjadi suatu stimulus absorbsi besi yang berlebihan disamping itu individu
tersebut juga mendapat besi dari transfusi RBC. Suatu sindrom kelebihan besi
pada neonatal telah terurai dan tampak berbeda dari klasifikasi saebelumnya. Pada
penelitian disebuah keluarga ternyata gagal untuk memperlihatkan suatu
hubungan HLA dari hemochromatosis di bayi ini.
Akhirnya, satu bentuk keturunan kelebihan besi, yang tidak berhubungan
dengan HLA tetapi menyebabkan adanya peningkatan absorbsi besi telah
dideskripsikan di sub Saharan Africans (Gordeuk, 1992). Kelainan ini disebut
dengan istilah African Iron Overload atau apa yang disebut dengan Bantu
Hemosiderosis. Pada kelainan ini terjadi peningkatan absorbsi besi yang
diperburuk dengan ingesti besi dalam jumlah besar pada bir yang bimasak ataun
dibuat menggunakan drum-drum baja.
Faktor resiko antara lain ras (Caucasoid dan bangsa eropa), riwayat penyakit
arthritis keluarga dan riwayat penyakit hati pada keluarga. Faktor Penyebab antara
lain: Hemochromatosis herediter, penggunaan berlenih suplemen besi dan injeksi
besi, transfusi darah.

III. PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologi dari HHC dapat digolongkan pada tiga area utama
(paul c adam, 2002): (1 ) genetik HHC, (2 ) Peningkatan absorbsi besi di usus
yang berasal dari makanan, dan (3 ) pemahaman mengenai pengaruh besi terhadap
kerusakan jaringan dan fibrosis.

1) Pengaruh

genetik,

sebagaimana

telah

dijelaskan

sebelumnya,

hemokromatosis genetic pertama kali disinggung oleh Sheldon pada tahun 1935
akan tetapi studi penelitian pertama yang dibuktikan akan adanya deasar genetic
dari hemokromatosis dilakukan oleh Simon dan Cowokers yang menunjukkan
adanya hubungan erat dengan HLA-A pada kromosom 6. Kemudian banyak studi
yang menganalisis asal-usul dengan menggunakan marker tipikal fenotip seperti
studi besi serum dan penyimpanan besi pada jaringan serta studi pengelompokan
HLA yang telah digunakan

sebagai tes pengganti genetic yang telah

mendemonstrasikan bahwa hemokromatosis adalah penyakit keturunan yang


bersifat resesif autosomal. Tidak semua pasien dengan hemokromatosis bawaan
mengalami kerusakan organ, pengetahuan dini tentang gejaa dan pemeriksaan
fisik dapat memperbaiki kelangsungan hidup akibat hemokromatosis. Alasan dari
ketidaksesuaian ini tidak diketahui secara pasti, bagaimanapun yang paling
menentukan termasuk adanya heterogenitas genetic dan perbedaan mutasi pada
gen HFE, yang mana akan menghasilkan tingkatan atau derajat akumulasi besi
yang berbeda, misalnya adanya perbedaan konsumsi makanan yang mengandung
besi dapat mempengaruhi absorbsi besi, adanya mekanisme kehilangan darah dari
tiap individu juga mempengaruhi misalnya bersifat fisiologis (ex: menstruasi),
patologis (ex: perdarahan GIT), dan donor darah. Pengelompokan HLA hanya
berguna dalam penelitian asal-usul dan tidak dapat digunakan pada individual,
dengan sporadis mengidentifikasi pasien. Hampir 75 % pasien dengan HHC
memiliki HLA-3 positif sedangkan pada individu normal 25-30 % memiliki HLA3 positif. Frekuensi positif palsu dan negatif palsunya sangat tinggi saat ini

digunakan untuk mendukung diagnosis. Sementara itu fungsi protein dalam


regulasi hemostasis besi belum diketahui secara pasti, hal ini menjadi antisipasi
bahwa terapi gen tdak akan sesuai untuk pasien dengan HHC yang telah
didiagnosis dini, treatment dengan phlebotomy jauh lebih simpel, tidak mahal dan
lebih efektif.
2) Absorbsi besi pada usus, absorbsi besi intestinal meliputi 3 fase yaitu
uptake mukosa, penyimpanan intraseluler, dan transfer serosal. Meskipun
mekanisme intraseluler dan biokimia dari absorbsi besi pada keadaan normal
belum diketahui secara pasti tetapi telah disimpulkan bahwa pasien dengan HHC
mengalami peningkatan signifikan absorbsi besi hariandibandingkan dengan
kontrol atau orang normal. Pada orang normal absorbsi besi harian besi adalah 1-2
mg, sementara pada HHC absorbsi besi harian mencapai 3-6 mg perhari. Maclaren
dan temam-teman membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara uptake mukosa
pan penyimpanan besi pada absorbsi intestinal pada HHC maupun kontrol.
Bagaimanapun, ada peningkatan signifikan fase transfer serosal, hal ini terjadi
kemungkinan akibat terjadi defek atau kelainan pada protein yang meregulasi
efflux besi dipermukaan basolateral enterocyte. Adanya peningkatan transfer besi
dari enterocyte ke sirkulasi portal

akan menghasilkan peningkatan saturasi

transferin dan juga meningkatkan transferin yang berikatan dengan besi yang
mana akan dibawa ke hepar dan secara

effisien akan diolah oleh hepatosit.

Observasi lain pada pasien dengan HHC adalah adanya kelebihan deposit besi
yang sebagian besar ditemukan pada sel-sl parenkim dengan jumlah besi yang
sedikit didalam sel-selnya yaitu pada retikuloendhotelial sistem. Hal ini berbeda

dengan distribusi besi yang terlihat pada kategori kelebihan besi sekunder ataupun
pada African iron overload, yang mana besi ditemukan pada keduanya yaitu selsel parenkim dan sel-sel retikuloendhotelial (Paul C Adam, 2003). Observasi ini
mengarahkan bahwa kelainan terjadi pada sel-sel retikuloendhotelial.
3) Kerusakan jaringan dan fibrosis akibat kelebihan besi, Utama akhir
mekanisme pathophysiologic itu harus dipertimbangkan di hemochromatosis
adalah itu terkait dari kerusakan hati akibat kelebihan besi. Di pasien dengan
HHC, hepatic fibrosis dan sirosis adalah patologi terpenting yang ditemukan. Pada
percobaan kelebihan besi pada hepar, besi yang tergantung lipid peroxidation
telah diidentifikasi pada sejumlah studi dan membran fungsi dari mitochondria
(misalnya.,

metabolisme

oxidative,

sequestration

kalsium),

microsomes

(misalnya., cytochrome p - 450 dan b5 tingkat, aktivitas aminopyrine


demethylase), dan lysosomes yang abnormal pada konsentrasi besi yang
mengalami peroksidasi lipid. Akhirnya, satu hubungan di antara besi yang
mempengaruhi peroxidasi lipid dan fibrosis telah diperlihatkan pada beberapa
studi. Satu hipotesis adalah bahwa peroxidation lipid yang mempengaruhi besi
yang terjadi di hepatocytes menyebabkan kerusakan

hepatocellular atau

kematian. Sel Kupffer mungkin menjadi teraktifasi setelah phagocytosis yang


dihasilkan dari hepatocytes yang rusak menghasilkan profibrogenic cytokines
yang mana ini mentransformasikan faktor pertumbuhan, yang pada gilirannya ini
merangsang sel hepatic stellate untuk menghasilkan

kolagen dalam jumlah

banyak, hal ini mengarahkan ke patologi dari fibrosis. Pembahasan dari besi
mempengaruhi kerusakan jaringan di organ selain dari hati, seperti itu jantung,

pankreas, dan kelenjar endokrin terbatas, kecuali untuk belajar di sel myocardial
yang mempunyai memperlihatkan kelainan fungsional sehubungan dengan
peroxidation yang dipengaruhi oleh besi (paul c adam, 2003)

IV. MANIFESTASI KLINIS


Pada 1990, banyak pasien dengan HHC datang ke Rumah Sakit tanpa ada
gejala . Mereka teridentifikasi sebagai homozygous relatif dari probandus yang
teridentifikasi melalui studi skrinning keluarga atau dengan studi besi serum pada
skrinning rutin biokimia darah. Meskipun Begitu, ini penting untuk mengetahui
manifestasi klinis khas yang muncul ketika pasien datang dengan gejala penyakit.
Kebanyakan pasien dengan gejala HHC muncul pada usia adalah 40 ke 50 tahun
umur pada saat terdeteksi. Meskipun gen yang mengalami kelainan terdistribusi
sama

antara

laki-laki dan perempuan, tapi pada beberapa laporan telah

teridentifikasi jauh lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan,


dengan rasio 8:1 hingga 2:1. Dengan demikian, frekuensi dari HHC pada
perempuan secara khas diremehkan ketika hanya berdasarkan semata-mata pada
ekspresi fenotip. Ketika pasien datang dengan gejala, paling sering dikeluhkan
adalah

kelemahan dan kelelahan, sakit perut, kehilangan gairah sexual atau

impotensi pada laki-laki, dan arthralgias. Penemuan fisik meliputi hepatomegali


pada mayoritas pasien, splenomegali, dan komplikasi lain dari penyakit hati,
meliputi ascites, edema, dan ikterus. Munculnya diabetes secara signifikan
menurun dengan diagnosis

lebih awal, dan adanya pigmentasi kulit

membutuhkan ketajaman klinisi untuk mendeteksi perubahan yang tidak ketara


ini. Munculnya kerusakan organ dan gejala biasanya berhubungan dengan derajat

atau tingkatan dari kelebihan besi. Ketika pasien teridentifikasi melalui skrinning
keluarga atau populasi, frekuensi

pasien yang tidak bergejala meningkat.

Beberapa pasien telah dideskripsikan dengan hypothyroidism, tapi fungsi tentang


ginjal secara khas normal. Akibat endokrin lain dapat dilihat sebagai hasil
komplikasi dari sirosis. Manifestasi jantung jarang terjadi karena pasien
didiagnose lebih awal. Cardiomyopathy, atrial dan ventricular dysrhythmias, dan
kegagalan hati congestive mendasari terjadinya gangguan pada jantung.
Arthropathy dari hemochromatosis yang punya beberapa karakteristik khas, dan
yang paling khas adanya perubahanan pada sendi kedua dan ketiga
metacarpophalangeal. Terjadi penyempitan ruang sendi, chondrocalcinosis,
pembentukan cysta subchondral, osteopenia, dan pembengkakan dari sendi dapat
terjadi. Gejala arthritis pada HHC secara khas tidak membaik dengan phlebotomy.
Pigmentasi kulit karena HHC dapat sulit dibedakan mungkin terdapat
diskolorisasi warna bronz akibat adanya dominasi dari pigmen melanin atau
pigmentasi abu-abu akibat adanya deposisi besi pada lapisan basal epidermis.

V. DIAGNOSIS
Hal yang perlu diketahui dalam menegakkan diagnosis HHC pertama kali
adalah memikirkan tentang kelainannya tanpa menyingkirkan abnomalitas yang
ditemukan pada hasil tes laboratorium dan kemudian melakukan tes besi serum
dan biopsi pada hepar. Pada pasien tersebut gejala yang berkembang berhubungan
dengan HHC, paling umum adalah lelah, rasa tidak enak badan, nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas, dan arthropathy, dan gejala yang jarang adalah gejala
penyakit hati kronis,diabetes, dan penyakit jantung kongestif. Banyak dari gejala

ini tidak khas dan kadang berhubungan dengan penyakit

lain, oleh karena itu

diagnosis HHC sering tidak dipertimbangkan ketika gejala muncul pertama kali
pada pasien. Sekarang ini, cara paling umum pada dengan HHC adalah dengan
skrinning biokimia darah secara rutin sebagai satu bagian dari rutin pemeliharaan
kesehatan. Beberapa laboratorium swasta menambahan pemeriksaan kadar besi
dan kadar besi yang terikat (TIBC) beserta satu kalkulasi saturasi transferin
(BesiTIBC 100%) pada skrinning biokimia darah yang mereka lakukan.
Uji besi serum, TIBC atau tfansferrin, dengan kalkulasi saturasi transferrin,
seiring dengan itu level atau kadar serum ferritin harus diperoleh pada kondisi
puasa. Lebih dari 50% pasien mengalami peningkatan perlahan kadar besi serum
setelah makan, dan dengan demikian jika sampel darah tidak diambil saat puasa,
maka saturasi transferrin dapat meningkat pada kondisi ketiadaan peningkatan
penyimpanan besi. Selain terdapat peningkatan kadar besi serum setelah makan
pagi ternyata juga dijumpai adanya variasi konsentrasi besi pada siang hari.
Karena alasan tersebutlah maka direkomendasikan bahwa kapanpun mencoba
untuk mendiagnosis HHC maka pasien harus dilakukan pemeriksaan kadar besi
serum pada pagi hari. Saturasi Transferrin adalah tes yang lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan

penentuan kadar serum ferritin, yang mana

dapat

meningkat untuk karena beberapa sebab, meliputi berbagai macam penyakit


nekrosis dan inflamasi hati

(misalnya., hepatitis virus kronis, penyakit hati

alkoholik, steatohepatitis tanpa alkohol), penyakit keganasan, dan inflamasi yang


lain. Dengan demikian, peningkatan

kadar ferritin disertai saturasi transferrin

yang normal pada seseorang dengan kelainan inflamasi lain kebanyakan

mengindikasikan bahwa orang tersebut tidak menderita HHC. Kombinasi


peningkatan kadar saturasi transferrin dan peningkatan kadar ferritin berkebalikan
dengan individu sehat yaitu 93% sensitif untuk HHC. Dan Sebaliknya, pada orang
yang berusia lebih dari 35 tahun kombinasi dari kadar normal ferritin meningkat
dan saturasi transferrin normal punya keakuratan bersifat prediksi negatif 97%,
menandai bahwa hanya sebesar 3% kesempatan untuk mendiagnosa HHC pada
pasien usia ini atau lebih tua.
Tes berikutnya itu harus dilaksanakan adalah biopsi hepar percutaneous.
Biopsi jarum percutaneous menghasilkan jaringan yang cukup untuk evaluasi
histopathologi dan untuk pengukuran biokimia dari

konsentrasi besi hepatik.

Biopsi hepar atau hati harus dilaksanakan untuk menegakkan diagnosa dan untuk
menilai derajat kerusakan hepar. Beberapa ahli pengobatan menyarankan pasien
diobati dengan terapi phlebotomy daripada biopsi hati. Ini adalah tidak sesuai,
karena meskipun biopsi hati adalah satu pemeriksaan invasif,namun ini aman
ketika dilaksanakan oleh seseorang yang berpengalaman, ini menegakkan
diagnosa pasti dan menilai derajat kerusakan hepar. Tes yang paling pasti siap
harus dilaksanakan. Pewarnaan perls prusia blue dipergunakan untuk penentuan
dan lokalisasi dari besi penyimpanan. penyimpanan besi secara khas ditemukan
distribusi periportal di hepatocit dengan kecil atau tidak ada besi pada sel Kupffer.
Di pasien dengan konsentrasi besi hepar yang tinggi, distribusi besi menjadi
panlobular dan

penyimpanan besi dapat dilihat di sel Kupffer dan sel saluran

empedu. Grade 1 dan 2 perls prusia blue dapat dilihat di hati normal, sedangkan
grade 3 pewarnaan besi dapat dilihat di sirosis alkoholik dimana ini berkorelasi

kurang baik dengan konsentrasi besi hepar. Pada ketiadaan kelainan lain, grade 3
ke 4 pewarnaan besi dilihat di HHC. Secara khas, pasien HHC yang bergejala
akan kadar mungkin 30,000 g / g atau lebih tinggi (normal< 1500 g / g). Pada
HHC yang tidak berkomplikasi, fibrosis dan sirosis biasanya tidak terlihat hingga
konsentrasi besi hepar melebihi 20,000 g / g. Pada pasien dengan HHC diatas
dan pasien dengan beberapa bentuk lain

penyakit hati kronis, penyakit hati

alkoholik atau penyakit hati karena virus kronis (paul c adam, 2003).

VI. TERAPI
1. Venaseksi
Tujuannya adalah untuk menghabiskan simpanan besi untuk mencegah
kerusakan organ lebih lanjut. Pasien memulai program venaseksi mingguan
sebanyak 500 mL. Proses ini dimulai jika HB >10 mg/dL. Serum ferritin level
dimonitor tiap 3 bulan. Venaseksi dilakukan sampai kadar ferritin serum menekati
50 g/L. Pada orang muda dapat dilakukan sebanyak 2x/minggu, sedangkan pada
orang yang lebih tua dapat dilakukan 1x/minggu. Durasi terapi tergantung usia
pasien dan kadar besi sejak awal didiagnosis. Terapi mingguan berlangsung paling
lama 3 tahun pada laki-laki dewasa, dan beberapa bulan pada wanita muda. Untuk
maintenance maka dapat dilakukan terapi ini 3-4x pertahun atau tergantung dari
pemeriksaan ferritin level, atau dengan rajin melakukan pemeriksaan ferritin level
tiap tahun dan memulai terapi saat kondisi ini mulai abnormal.

2. Terapi kelasi
Terapi kelasi dengan menggunakan deferoxamine disediakan untuk kelebihan
besi yang bersifat sekunder. Hepatotoksik menjadi perhatian yaitu dengan
menggunakan kelasi besi oral deferiprone yang telah dilakukan pada thalasemia.
3. Transplantasi hepar
Ini dilakukan pada penderita hemokromatosis yang mengalami stadium
terminal kerusakan hepar. Transplantasi hepar yang kurang hati-hati pada
penerima donor hati dapat menimbulkan mobilisasi inkomplit kelebihan besi
hepar.

VI. KOMPLIKASI :
1. Deposisi hemosiderin
2. Atrial fibrilasi
3. Hiperpigmentasi
4. splenomegalo
5. hepatomegali
6. kardiomiopati
7. ascites
8. alopesia
9. gangguan hepar
10. osteoporosis
11. ginekomastia
12. hipopituitari
13. gangguan otak
14. ikterus
15. pusing
16. hemosiderosis
17. sirosis hato
18. neuropati perifer
19. infertilitas pada laki-laki
20. Nyeri abdomen
21. miokarditis

VII. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada deteksi dan terapi, kerusakan hati dapat terjadi
dari waktu ke waktu. Kelebihan zat besi juga bisa menumpuk pada jaringan tubuh
lainnya seperti tiroid, testis, pankreas, kelenjar pituitari, jantung dan sendi. Jika
terapi dimulai sebelum organ-organ ini terpengaruhi, sedemikian hingga penyakitpenyakit seperti penyakit jantung, hati, artritis dan diabetes biasanya dapat
dicegah. Sirosis hepar adalah faktor utama yang mempengaruhi angka harapan
hidup, pada orang yang telah terserang sirosis hepar 5,5 kali beresiko mengalami
kematian dibanding yang tidak mengalami sirosis.

VIII. KESIMPULAN
Hemocromatosis merupakan akumulasi zat besi yang berlebihan dan
bertumpuk didalam sel-sel parenkim berbagai organ, khususnya hati serta pankreas.
Hemocromatosis adalah penyakit akibat kelebihan zat besi didalam tubuh, yang
merupakan deposisi zat besi pada jaringan tanpa disertai gejala klinis. Mekanisme
patofisiologi dari HHC dapat digolongkan pada tiga area utama: (1 ) genetik HHC,
(2 ) Peningkatan absorbsi besi di usus yang berasal dari makanan, dan (3 )
pemahaman mengenai pengaruh besi terhadap kerusakan jaringan dan fibrosis.
Sekarang ini, cara paling umum pemeriksaan hemocromatosis dengan
HHC adalah dengan skrinning biokimia darah secara rutin sebagai satu bagian dari
rutin pemeliharaan kesehatan. Uji besi serum, TIBC atau transferrin, dengan
kalkulasi saturasi transferrin merupakan salah satu metode uji yang dilakukan
untuk pemeriksaan HHC. Saturasi Transferrin adalah tes yang lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan penentuan kadar serum ferritin, yang mana dapat meningkat
untuk karena beberapa sebab, meliputi berbagai macam penyakit nekrosis dan

inflamasi hati (misalnya., hepatitis virus kronis), penyakit keganasan, dan inflamasi
yang lain. Dengan demikian, peningkatan kadar ferritin disertai saturasi transferrin
yang normal pada seseorang dengan kelainan inflamasi lain kebanyakan
mengindikasikan

bahwa

orang

tersebut

tidak

menderita

HHC.

Pada kasus transfusional hemokromatosis dilakukan beberapa tindakan,


yakni perhitungan darah lengkap dan pewarnaan jaringan liver. Jaringan liver hasil
aspirasi kemudian di warnai dengan pewarnaan Wright-Giemsa dan Perl Prussia
Blue sebagai pembanding. Pewarnaan ini bertujuan untuk melihat gambaran
histologi jaringan liver pada hewan yang diduga mengalami hemokromatosis. Dari
pemeriksaan tersebut dapat diperoleh hasil seperti, penurunan volume sel dari batas
normalnya,

angka

yang

tinggi

pada

pemeriksaan

uji

bikimia

(alanin

aminotransferase, aspartat aminotransferase, alkaline phosphatase, dan y glutamil


transferase

),

asam

empedu

meningkat,

hypocholesterolemia,

dan

hypoalbuminemia. Selanjutnya diketahui adanya penumpukan zat besi dengan


hemosiderin, yakni adanya peningkatan zat besi dalam serum yakni 583 g/dl
(normal: 77-253 g/dl), adanya peningkatan kapasitas pengikat zat besi 588 g/dl
(normal: 275-443 g/dl), dan kapasitas zat besi yang tidak terikat 5 g/dl (normal: 75313

g/dl),

saturasi

zat

besi

99%

(normal:

20.5-72,5%).

Kemampuan absorbsi zat besi oleh usus yang terlalu tinggi karena
rusaknya gen HFE yang mengatur penyerapan zat besi, menyebabkan zat yang
banyak diserap adalah zat besi. Hal tersebut menyebabkan zat besi secara cepat
akan beredar dalam system sirkulasi yang akhirnya akan terdeposit di hati. Selain
itu, zat besi yang terlalu banyak pada hati akan menimbulkan efek toksik pada hati
dan ginjal sebagai organ filtrasi. Zat besi yang tidak mampu disimpan dan
dinetralisir oleh hati dan masuk ke ginjal akan menimbulkan nephrotoksisitas.

Hemochromatosis terjadi karena proses transfuse darah yang menimbulkan


parenteral iron overload. Kejadian ini biasanya terjadi apabila transfuse darah
sudah dilakukan berkali-kali (multiple blood transfusion), sehingga terjadi
penumpukan zat besi dalam darah akibat sel darah merah yang tidak keluar.
Penumpukan zat besi tersebut dinamakan hemosiderosis yang berakibat buruk
karena menumpuk di hati, menimbulkan hemochromatosis dan merangsang
terjadinya kanker hati atau hepatocellular carcinoma.

IX. DAFTAR PUSTAKA


1. Guggenbuhl, P., et.al. 2011. Bone Status in a Mouse Model of Genetic
Hemochromatosis. Osteoporosis Internal 2011 (22) : 2313-2319.
2. Lisboa, Pedro. E. 1971. Experimental Hepatic Cirrhosis in Dog cause by
Chronic Massive Iron Overload. Gut, 1971(12) : 363-368
3. Mete, A., et.al. 2003. Iron Metabolism in Mynah Birds (Graculareligiosa)
Resembles Human Hereditary Hemochromatosis. Avian Pathology December
2003 32 (6) :625-632.
4. Patricia C. Schultheiss, Cathy L. Bedwell, Dwayne W. Hamar and Martin J.
Fettman. 2002. Canine Liver Iron, Copper, and Zinc Concentrations and
Association with Histologic Lesions. J VET Diagn Invest 2002 14: 396. DOI:
10.1177/104063870201400506.
5. Powell, Lawrie W., et.al. 1998. Diagnosis of Hemochromatosis. American
Society of Internal Medicine. USA.
6. R. W. Norrdin, K. J. Hoopes and D. O'Toole. 2004. Skeletal Changes in
Hemochromatosis of Salers Cattle. J.Vet Pathol 2004 41: 612. DOI:
10.1354/vp.41-6-612.
7. Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
8. Sacher, Ronald A., et.al. 2002. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
9. W. S. Sprague, T. B. Hackett, J. S. Johnson and C. J. Swardson-Olver. 2003.
Hemochromatosis Secondary to Repeated Blood Transfusions in a Dog. J. Vet
Pathol 2003 40: 334. DOI: 10.1354/vp.40-3-334.

Anda mungkin juga menyukai