Rinitis Alergi
Rinitis Alergi
RINITIS ALERGI
Disusun oleh:
Hanny Fadhila
(060100011)
(060100012)
Supervisor:
dr. Netty Harnita, Sp. THT-KL
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat
kesehatan dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktu. Makalah Rinitis Alergi dibuat untuk memenuhi tugas Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Penyakit THT-KL di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Netty Harnita Sp. THT-KL selaku
dokter pembimbing dan teman-teman yang telah mendukung dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih memiliki kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun guna
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini member
manfaat kepada semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
ii
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................
1
1
BAB 1 PEMBAHASAN................................................................................
2.1.
Anatomi Hidung.................................................................................
2.2.
Definisi...............................................................................................
2.3.
Epidemiologi......................................................................................
2.4.
Etiologi...............................................................................................
2.5.
Patogenesis.........................................................................................
2.6.
Gambaran Histologik.........................................................................
2.7.
Klasifikasi..........................................................................................
2.8.
Gejala Klinis......................................................................................
2.9.
Diagnosis............................................................................................
10
2.11. Penatalaksanaan.................................................................................
10
2.12. Komplikasi.........................................................................................
13
2.13. Prognosis............................................................................................
13
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
15
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien yang
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita
dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita
rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan
perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi
rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia. 3 Di Indonesia belum
ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun
ditemukan cukup tinggi (5,8%).2
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan
alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan imunoterapi.1-8
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media, dan sinusitis
paranasal, asma bronchial, gangguan fungsi tuba eustachius.1,3,6,9
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
BAB 2
PEMBAHASAN
4
etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kieselbach.
1
Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh
2.2. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien yang
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1
2.3. Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita
dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita
rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan
perempuan. Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi
rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia. 3 Di Indonesia belum
ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun
ditemukan cukup tinggi (5,8%).2
2.4. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,3,5
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.
2.5. Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam.1,6
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4),
Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin.
Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).1
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan
sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik
9
(allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.1
2.7. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :1,6,7
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen),
rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau
terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan
dan alergen ingestan.
10
2.9. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilkepaskannya
histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air
mata (lakrimasi).1
11
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya
gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau
sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk
mengaitkan awitan gejala. 3,4
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertofi.1
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergig salute. Menggosok-gosok hidung
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).1,3,7,8
c. Pemeriksaan Penunjang1
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET
12
2.13. Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat
memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan
semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi
penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang
itu dalam jangka panjang.14
14
BAB 3
KESIMPULAN
Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Alergen dapat berupa Alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel
kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang15
kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa bersin, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). pada anamnesis perlu
diatanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada
pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak.
Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan
allergen,
medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien. Komplikasi yang sering
terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan
sinusitis paranasal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai
Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.
3. Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape.
com/article/134825. [Accessed 11 Oktober 2011].
16
4. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
5. Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballengers Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker; 2003; 708-731.
6. Dhingra, PL. Allergic Rhinitis. In : Disease of Ear, Nose and Throat fourth edition.
Elsevier. 157-159.
7. Mabry, R., Marple, B. Allergic Rhinitis. In:Cummings Otolaryngologi Head Neck
Surgery Fourth Edition. USA: Elsevier. 2005; 982-988.
8. Pasha, R. Allergy and Rhinitis. In: Otolaryngolongy Head and Neck Surgery Clinical
Reference Giude. Singular Thomson Learning; 28-33.
9. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, N I. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO
2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Cermin Dunia Kedokteran
166 volume 37 (7). 2008; 405-410.
10. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006;
803-805.
11. ARIA. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st Edition. 2007.
12. Plaut, M., Valentine, M D. Allergic Rhinitis. The New England Journal of Medicine
353;18. 2005; 1934-1943.
13. Harsono, Ariyanto, Endaryato,
Anang.
Rinitis
Alergika.
Diunduh
dari
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-bfxu225.htm.
[Diakses 11 Oktober 2011].
14. National
Library
of
Medicine.
Allergic
Rhinitis.
Diunduh
dari
17