dan untuk unit pelayanan kesehatan lainnya yang diperoleh dari pemasok eksternal
melalui pembelian dari manufaktur, distributor, atau pedagang besar farmasi.
Menurut KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 639/MENKES/SK/V/2003 tentang PEDOMAN UMUM PENGADAAN
OBAT PELAYANAN KESEHATAN DASAR TAHUN 2003 pengadaan obat
dilaksanakan dengan berpegang kepada daftar obat sebagi berikut :
a. Obat Sangat Sangat Esensial (SSE) adalah obat yang harus dijamin ketersediaannya
secara tepat waktu, tepat jenis dan mutu terjamin serta resiko seminimal mungkin
untuk menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota;
b. Obat Sangat Sangat Esensial (SSE) adalah obat yang masih mengandung resiko
dalam kemampuan suplainya di daerah;
c. Obat Esensial (E) adalah obat yang diperlukan dan sering digunakan serta tidak
mengandung resiko dalam hal kemampuan suplai di daerah.
Siklus pengadaan tercakup pada keputusan-keputusan dan tindakan dalam
menentukan jumlah obat yang diperoleh, harga yang harus dibayar, dan kualitas obatobat yang diterima. Siklus pengadaan obat mecakup pemilihan kebutuhan, penyesuaian
kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, penetapan atau pemilihan pemasok,
penetapan masa kontrak, pemantauan status pemesanan, penerimaan dan pemeriksaan
obat, pembayaran, penyimpanan, pendistribusian dan pengumpulan informasi
penggunaan obat.
Mempunyai sediaan obat yang ditarik dari peredaran karena mutu yang buruk
Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemasok produk obat yang
selalu tersedia dan dengan mutu yang tertinggi, dengan harga yang terendah
Antara pihak IFRS dan pihak pemasok harus diadakan kontrak kerja yang
mengatur kedua belah pihak. Komponen dalam persyaratan kontrak antara lain :
Syarat pembayaran. Pembayaran dilakukan melalui bank, oleh karena itu perlu surat
jaminan atas dasar kerja atau atas waktu (30,40 hari, dst)
Perlu mencantumkan nama dagang dan atau nama generik agar tidak terjadi kesalahan
penggunaan
jumlah yang cukup sesuai dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat
diperlukan. Indikator-indikator dalam pengelolaan obat di rumah sakit antara lain (Jati,
2010) :
1. Frekuensi pengadaan tiap item obat
Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya dapat digolongkan menjadi 3
kategori yaitu frekuensi rendah (<12), sedang (12-24), dan tinggi (>24). Banyaknya
obat dengan frekuensi sedang dan tinggi menunjukkan kemampuan IFRS dalam
merespon perubahan kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat dalam jumlah
sesuai dengan kebutuhan saat itu. Pengadaan obat yang berulang juga menunjukkan
bahwa yang tersedia di IFRS merupakan obat dengan perputaran cepat (fast moving).
Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving dapat berarti kerugian bagi
rumah sakit. Cara analisisnya yaitu dengan mengambil secara acak sejumlah kartu
stok dalam setahun, dicatat nama masing-masing obat, kemudian dilihat pada catatan
pengadaan selama tahun tersebut. Dengan diketahuinya frekuensi pengadaan tiap
item obat tiap tahunnya, IFRS dapat menentukan jenis obat yang termasuk golongan
fast moving atau slow moving.
2. Frekuensi kesalahan faktur
Kriteria kesalahan faktur pembelian yang digunakan adalah adanya ketidakcocokan
jenis obat, jumlah obat dalam suatu item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat
pesanan yang bersesuaian. Cara analisisnya adalah dengan mengambil secara acak
sejumlah faktur pembelian dalam setahun, kemudian masing-masing faktur tersebut
dicocokkan dengan surat pesanan. Ketidaksesuaian faktur dengan surat pesanan
dapat disebabkan olehbeberapa kemungkinan, yaitu :
a) Tidak ada stok, atau barang habis di PBF, jadi barang yang dipesan pada
distributor atau PBF sedang mengalami kekosongan.
b) Stok barang yang tidak sesuai. Barang yang dipesan pada PBF isi dalam
kemasannya tidak baik atau rusak sehingga barang tidak digunakan.
c) Reorder atau frekuensi pemesanan terlalu banyak, menyebabkan petugas
bersangkutan tidak sempat untuk melakukan pembukuan dengan cermat.
3. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang telah
disepakati
Tingkat frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurang baiknya manajemen
keuangan pihak rumah sakit. Hal ini dapat menunjukkan kepercayaan pihak pemasok
kepada rumah sakit sehingga potensial menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di
kemudian hari. Besarnya frekuensi tertundanya pembayaran IFRS terhadap waktu
yang telah disepakati dapat mengakibatkan:
a) Hubungan antara IFRS dengan pemasok terganggu
Hubungan antara IFRS dengan pemasok perlu dijaga agar tetap baik, sehingga
bila ada pengembalian obat yang kadaluarsa atau keluhan lain dapat segera
ditanggapi, segera mendapat daftar baru bila ada kenaikan harga dan lancarnya
kunjungan sales ke IFRS untuk menerima pesanan.
b) Penundaan pemesanan order oleh pemasok
Penundaan pemesanan ini dapat mengganggu kelancaran dalam pelayanan
pasien, karena dengan tertundanya pemesananakan menyebabkan stok menjadi
kosong sehingga kebutuhan pasien tidak dapat terpenuhi.
Besarnya frekuensi tertundanya pembayaran dapat diminimalkan dengan :
a) Menjaga keseimbangan antara pembelian dengan anggaran
Pembelian
harus
memperhatikan
kemampuan
anggaran
IFRS.
Harus
Pengadaan obat pada IFRS dapat dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut:
1. Tender Terbuka
Tender terbuka merupakan metode yang melibatkan berbagai sumber penyedia obat,
berlaku untuk semua rekanan yg terdaftar dan sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Sebelum dilakukan tender, maka pengumuman akan dilakukannya tender
dapat melalui mass media atau surat pengumuman. Biasanya dilakukan oleh RS negri
dengan dana dari APBN/APBD. Untuk melakukan tender terbuka ini perlu sebuah panitia
tersendiri dan penilaian yang mantap terhadap distributor (mutu produk dan harga).
Peserta tender yang akan ikut dalam proses tender sebelumnya mesti melengkapi
persyaratan yaitu: spesifikasi, cara dan jadwal pengiriman, tgl terakhir penerimaan
proposal. Metode ini memiliki kelebihan pada penetapan harga yang lebih
menguntungkan karena harga dapat ditekan, namun butuh waktu yang lama, serta
perhatian penuh.
2. Tender terbatas (restricted tender)
Merupakan metode yang melibatkan sejumlah tertentu peserta dengan riwayat yang baik
(a.l.: pelayanannya baik, MoU-nya mudah dan bila ada obat yang kadaluarsa dapat
dikembalikan). Masing-masing dari peserta mendapat undangan sifatnya tertutup.Tender
ini memiliki karakteristik proses yang lebih singkat, biaya lebih hemat dan beban kerja
lebih ringan bila dibandingkan dengan tender terbuka. Metode ini mampu mengurangi
resiko lead time yg terlalu panjang serta harga masih bisa dikendalikan.
3. Negosiasi (Negotiated procurement)
Dilakukan pendekatan dengan rekanan terpilih ,terbatas tidak lebih dari 3 rekanan untuk
penentuan harga. Ada tawar menawar untuk pencapaian spesifik harga. Metode ini
digunakan bila item obat tidak urgent dan tidak dalam jumlah banyak. Metode pengadaan
relatif sederhana dan waktu lebih lebih pendek, serta pengelola obat dapat menawarkan
secara rinci kepada pemasok . Metode negosiasi sering digunakan untuk kontrak
pengadaan obat jangka panjang. pembeli melakukan pendekatan pada beberapa supplier
(biasanya 3 atau lebih) untuk menentukan harga. Pembeli juga dapat melakukan tawarmenawar dengan para supplier untuk memperoleh harga atau pelayanan tertentu.
4. Pengadaan Langsung
Pengadaan obat dengan metode langsung adalah cara yang paling sederhana, dimana pada
metode ini dilakukan pembelanjaan sesuai dibutuhkan langsung kepada pemasok. Akan
tetapi, dalam metode ini bargaining power pengelola suplai lemah karena tidak ada
pilihan lain. Pelaksanaan metode langsung ini sebaiknya dilakukan pada saat keadaan
darurat, item obat sedikit, atau jika tak mungkin dilakukan negosiasi. Kelemahan lain
metode ini adalah harga yang relatif lebih mahal. Namun, pembelian langsung juga
memiliki keuntungan, karena di samping waktunya cepat, juga:
a.
volume obat tidak begitu besar sehingga tidak menumpuk atau macet
di gudang.
b.
c.
d.
e.
dapat kredit.
f.
g.