Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN
Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian

merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal
tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis, mati seluler,
mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat
terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat,
sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler adalah
kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya penggunaan
oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan. Proses ini kemudian diikuti
oleh proses autolisis dan pembusukan.

Setiap sel tubuh memiliki perbedaan

waktu untuk mengalami kematian sel disebabkan oleh perbedaan metabolisme


seluler didalamnya. Neuron korteks memerlukan waktu paling cepat yaitu 3-7
menit setelah sel kehabisan oksigen. Pada tubuh terjadi kematian sel demi sel dan
kematian secara keseluruhan akan terjadi dalam beberapa jam. Mati serebral
adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan
serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu respirasi dan kardiovaskuler
masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati batang otak adalah bila terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak
dan serebelum. Dengan diketahuinya mati batang otak, maka dapat dikatakan
seseorang secara keseluruhan tidak dapat dikatakan hidup lagi. 1
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada
seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.
Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam investigasi suatu kasus
kematian, dimana perubahan postmortem banyak memberikan informasi baik
mengenai waktu kematian, penyebab, maupun mekanisme kematian. 1,2
Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti
penting khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan, dengan demikian
penyidik dapat lebih terarah dan selektif di dalam melakukan pemeriksaan
terhadap para tersangka pelaku tindak pidana. Seorang ahli forensik harus mampu
mendeskripsikan penyebab dan mekanisme kematian seseorang. Mekanisme

kematian timbul akibat abnormalitas dari aspek biokimia dan fisiologi tubuh yang
berujung pada kematian.1
Dalam mempelajari kematian, dikenal istilah Thanatologi. Thanatologi
berasal dari kata thanatos yang berarti berhubungan dengan kematian dan logos
yang berarti ilmu. Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang
mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor
yang mempengaruhi perubahan tersebut.1
Perubahan pada tubuh tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian. Tanda-tanda kematian dibagi atas tanda kematian pasti
dan tidak pasti. Tanda kematian tidak pasti adalah penafasan berhenti, sirkulasi
terhenti, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina
mengalami segmentasi dan pengeringan kornea. Sedangkan tanda pasti kematian
adalah lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu
tubuh (algor mortis), pembusukan, mumifikasi, dan adiposera. 1

II. A. KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS)


Rigor mortis adalah kekakuan pada tubuh setelah kematian yang disebabkan
karena tidak terdapat adenosine trifosfat (ATP) dalam otot. Pada saat awal
kematian, tubuh menjadi flaccid. Namun dalam 1 hingga 3 jam setelah itu,
kekakuan otot mulai meningkat dan terjadi imobilisasi pada sendi.1,3
Kelenturan otot setelah kematian masih dapat dipertahankan karena
metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen
otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP
menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan myosin tetap
lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis maka energi tidak tebentuk lagi,
aktin dan myosin akan menggumpal dan otot menjadi kaku. 1,4,5

Gambar 1: Sumber energi untuk kontraksi otot. Dikutip dari kepustakaan 2.

Otot membutuhkan pasokan energi dari ATP untuk berkontraksi karena


jumlah yang tersedia di otot hanya mampu untuk mempertahankan fungsi
kontraksi otot selama beberapa detik. Terdapat tiga jalur metabolisme yang
mempertahankan agar pasokan ATP dalam otot tetap tersedia yaitu sistem
fosfagen, sistem glikogen-asam laktat dan sistem aerobik. Ketika otot menjadi
anoksia maka suplai oksigen berkurang sehingga ATP tidak diproduksi sehingga
terjadi proses glikolisis aerobik sehingga meningkatkan kadar asam laktat dan
asam piruvat. Kadar glikogen dalam otot berkurang, pH seluler menjadi 6 dan
kadar ATP mulai berkurang. Normalnya, ATP berfungsi untuk menghambat
aktivitas pelekatan antara aktin dan myosin.4,6
Pada keadaan optimal, sistem fosfagen dapat menyediakan energi untuk
digunakan oleh otot untuk berkontraksi selama 10-15 detik, sistem glikogen asam
laktat menyediakan energi selama 30 hingga 40 detik dan sistem aerobik untuk
waktu yang tidak terbatas.4

Gambar 2: Gambaran aktivitas aktin dan myosin pada saat kontraksi dan relaksasi otot. Dikutip dari
kepustakaan 4.

Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot baik otot lurik maupun otot
polos dan bila terjadi pada otot anggota gerak, maka akan didapatkan suatu
kekakuan yang mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan tenaga untuk
melawan kekuatan tersebut.1
Kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot berbeda-beda, sehingga
sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat
terjadinya kematian somatik, akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP
dalam setiap otot. Keadaan ini dapat menerangkan alasan kaku mayat mulai
tampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Kaku mayat
biasanya tampak pertama kali pada rahang dilanjutkan siku dan kemudian pada
lutut. Pada laki-laki, kaku mayat lebih hebat dibandingkan pada perempuan oleh
karena laki-laki memiliki massa otot yang lebih besar dibandingkan wanita.1,2
Pada rata-rata orang pada suhu ruangan yang biasa, rigor mortis biasanya
terlihat 2-4 jam setelah kematian. Dan biasanya terjadi rigor mortis sempurna
setelah meninggal.Tubuh mengalami rigor mortis sempurna ketika rahang, siku,
dan lutut sudah tidak dapat digerakkan lagi. Hal ini berlangsung 10-12 jam setelah
kematian pada suhu ruangan 70-750 F. Keadaan ini akan menetap 24-36 jam dan
setelah itu, kaku mayat akan mulai menghilang. 1,6
Rigor Mortis pada Otot Involunter 7

Kontraksi muskulus erektor pilli (otot polos folikel rambut) bermanifestasi


sebagai goose bumps (cutis anserina). Hal ini menunjukkan mayat terpapar
suhu dingin setelah mati.

Gam
bar 3: Cutis
anserine.
Dikutip dari
kepustakaan 8.

Kontraksi vesikel seminalis (otot polos) setelah kematian menyebabkan


keluarnya cairan seminalis (semen). Dapat pula menunjukkan terjadinya
aktivitas seksual setelah kematian.
Muskulus cilliaris pada iris mengubah ukuran pupil. Diameter pupil
berkisar antara 0,2-0,9 cm. Sisi luar pupil tidak selamanya berbentuk
sirkuler. Kedua pupil dapat berubah secara tersendiri dan memiliki ukuran
yang tidak sama. Namun demikian, ukuran pupil tidak dapat digunakan
untuk menentukan sebab kematian. Ukuran kedua pupil yang tidak sama
tidak menunjukkan terjadinya trauma kepala.
Kontraksi miokard ventrikel kiri menyebabkan dindingnya bertambah
tebal dan berisi sejumlah kecil darah.

Rigor Mortis pada Otot Volunter (Otot Skelet)7q


Rigor mortis pada otot skelet menyebabkan terjadinya kekakuan pada sendi.
Adapun beberapa proses yang terjadi selanjutnya yaitu :
Initial flaccidity (kecuali instantaneous rigor)

Terdapat sejumlah ATP yang cukup pada awal fase postmortem yang
mengakibatkan otot-otot mengalami relaksasi dan sendi menjadi lemas.
Fase ini berkisar antara 0,5-7 jam (rata-rata sekitar 3 + 2 jam).
Onset
Rigor terjadi secara bersamaan di semua otot, tetapi terjadi lebih cepat
pada kelompok otot yang lebih kecil. Perubahan rigor mortis tidak terjadi
secara konstan dan simetris. Rigor dimulai dari rahang, selanjutnya ke
ekstremitas superior dan akhirnya ke ekstremitas inferior. Waktu yang
dibutuhkan untuk terjadinya rigor secara keseluruhan di semua sendi
bervariasi mulai dari 2 hingga 20 jam. Seseorang yang mati dalam keadaan
supine menunjukkan sedikit fleksi pada siku dan lutut. Rigor bertahan
selama 24-96 jam.
Resolusi (secondary flaccidity)

Rigor mulai berkurang dan bahkan menghilang saat terjadi denaturasi


hubungan aktin-myosin dan dimulainya dekomposisi. Waktu yang
dibutuhkan sekitar 24-192 jam.
Umumnya rigor mortis awalnya terlihat di otot wajah dan menyebar ke
dada, ekstremitas lalu ke seluruh tubuh. Pola menghilangnya rigor mortis juga
mengikuti urutan munculnya. Awalnya menghilang di wajah lalu kemudian
menyebar ke dada dan ekstremitas.2

Gambar 4 :Rigor Mortis yang ditemukan pada mayat 2 hari setelah kematian. Dikutip dari kepustakaan 3.

II.B. LEBAM MAYAT (LIVOR MORTIS)


Livor mortis (post-mortem hypostasis, kebiruan) adalah perubahan warna
pada tubuh setelah kematian akibat pengendapan darah sesuai gaya gravitasi yang
tidak lagi dipompa melalui tubuh oleh jantung. Lebam mayat terbentuk bila terjadi
kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang
menggerakan darah mencapai capillary bed di mana pembuluh-pembuluh darah
kecil afferen dan efferen saling berhubungan.3
Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh
vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke
bawah, ke tempat-tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa
gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnnya
juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan konstribusi pada
pembentukan gelembung-gelembung di kulit pada awal proses pembusukan.3,9
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai
perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpalan darah terjadi secara
pasif maka tempat-tempat di mana mendapat tekanan local akan menyebabkan
tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya
lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat.3
Livor mortis biasanya terlihat sekitar 1 jam setelah kematian dan sering
terlihat, dalam waktu 20-30 menit setelah kematian. Perubahan warna meningkat
dan biasanya menjadi tetap sekitar 8-10 jam pada waktu ini dapat dikatakan lebam
mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh
karena terjadinya perembesan darah ke dalam jaringan sekitar akibat rusaknya
pembuluh darah akibat tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang banyak,
adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh
darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 812 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari
dapat member indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna.
Setelah empat jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir
darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan

keluar dari kapiler yang rusak akan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga
menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan
dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan
setelah 12 jam dari kematiannya. Maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada
posisi terendah, karena darah sudah mengalami koagulasi.3
Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relative.
Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian,
bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilkukan perubahan posisi maka akan
terjadi lebam sekunder pada posisi berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang
ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada
tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah
tidak pasti, Poslon mengatakan untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam
waktu 8 sampai 12 jam, sedangkan Camps memberikan patokan kurang lebih 10
jam.3
Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan
pengendapan darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan
pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie
(tardieus spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang
mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan
waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa
pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi pada asphyxia atau
kematian yang terjadinya lambat.3

Gambar 5 : Lebam Mayat. Dikutip dari kepusakaan 3.

Patomekanisme livor mortis :


Orang meninggal ------> Jantung berhenti bekerja ------> Sirkulasi darah
terhenti ------> Pengendapan butir darah dalam kapiler dalam letak rendah
------> butir darah terkoagulasi ------> Hemolisis
II.C.PENURUNAN SUHU TUBUH (ALGOR MORTIS)
Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi.
Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti
glukosa, lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah
glukosa. Satu molekul glukosa dapat menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang
nantinya digunakan sebagai sumber energi dalam berbagai hal seperti transpor
ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar
38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul glukosa. Sisanya sebesar
62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas.10

Gambar 6: Glukogenesis. Dikutip dari kepustakaan 10.

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti


sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya.
Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi konduksi, dan pancaran
panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor
mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang
sudah berada pada fase lanjut post mortem.10
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk
sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu :10
1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih
adanya proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot
dan hepar.
2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu yang mencapai tangga
suhu.
Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu
penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali.
Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersbut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius
atau sekita 1,5 derajat Farenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu
dimulai dari 37 derajt celcius atau 98,4 derajat Farenheit sehingga dengan dapat
10

dirumuskan cara untuk memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan
rumus (98,4oF- suhu rektal oF) : 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rektal dengan
menggunakan termometer kimia (long chemical termometer). Terdapat dua hal
yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:9
1.faktor internal
a. Suhu tubuh saat mati
Sebab kematiam, misalmya perdarahan otak dan septikemia, mesti dengan
suhu tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan
mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan,
pada hipotermia tingkat penurunannya menjadi sebaliknya.
b. Keadaan tubuh mayat
Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan
suhu tubuh mayat.

Pada mayat

yang tubuhnya

kurus, tingkat

penurunannya menjadi lebih cepat.


2.Faktor Eksternal
a. Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin
cepat terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di
tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.
b. Keadaan udara di sekitanya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal
ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik.
Selain itu, aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat.
c. Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air
merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak
panas dari tubuh mayat.
d. Pakaian mayat

11

Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin
cepat. Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu
medium atau lingkungan lebih mudah.9
II.D.PEMBUSUKAN
Dalam pembusukan terjadi dua proses yaitu autolysis dan putrefaction.
Pembusukan adalah proses penghancuran dari jaringan tubuh yang terjadi setelah
kematian akibat aktivitas bakteri dan enzim.1
Autolisis
Penghancuran jaringan adalah hasil dari proses enzim endogenous yang
dikenal sebagai proses autolysis. Autolysis adalah pelunakan dan pencairan
jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif
oleh enzim yang dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan
pembekuan jaringan. 1,2
Pada autolisis terjadi pelepasan enzim yang berasal dari pankreas dan asam
lambung yang berasal dari lambung. Pankreas menghasilkan banyak enzim
pencernaan diantaranya adalah amylase, lipase, dan tripsinogen. Pada kematian,
enzim ini dilepaskan oleh sel eksokrin dari pancreas dan enzim ini mencernakan
dirinya sendiri (terjadi autodigesti). Lambung terdiri dari banyak sel yang
menghasilkan enzim dan asam hidroklorida yang berperan penting dalam
pencernaan. Ketika meninggal, pepsinogen dan asam hidroklorida dilepaskan dari
sel lambung dan memberikan autodigesti dari mukosa lambung itu sendiri
(gastromalasia). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan
perforasi dari lambung. Proses yang sama juga terjadi pada esophagus akibat dari
relaksasi sphincter esophagus sehingga cairan dari lambung masuk ke esophagus
(esofagomalasia). Akibat gastromalasia dan esofagomalasia, akan menyebabkan
perembesan isi cairan lambung ke cavum abdomen sehingga menyebabkan
penghancuran struktur organ sekitar.7
Ketika sel tubuh mencapai fase akhir dari proses autolisis, suasana lingkungan
sekitar menjadi anaerobik. Pada saat ini, bakteri normal pada tubuh akan mulai
berkembang dan mengancurkan jaringan tubuh dengan memproduksi asam, gas
dan bahan-bahan organic (fase putrefaction).7

12

Putrefaction
Sedangkan putrefaction adalah pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas
bakteri. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh
segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut
untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan traktus
respiratorius. Bakteri ini merupakan bakteri anaerobik yang memproduksi spora,
bakteri yang berbentuk coliform, mikrokokus, dan golongan proteus. Peningkatan
kadar organism anaerobik disebabkan karena peningkatan kadar ion hidrogen
dalam jaringan yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar oksigen. 1,7
Tanda awal dari proses pembusukan (putrefaction) yang terjadi adalah
munculnya warna kehijauan pada kulit yang sering ditemukan pada kuadran
bawah abdomen, dan biasanya tampak juga pada periumbilikus dan bagian
abdomen kiri bawah. Hal ini dapat terlihat 36 hingga 72 jam setelah kematian
pada suhu sekitar 70oF. Warna kehijauan disebabkan karena penyebaran bakteri
dari caecum yang kemudian menyebar ke kuadran abdomen lainnya, dada,
anggota gerak, lalu wajah. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana,
H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak.Hasil dari putrefaction adalah
udara, cairan, dan garam. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulfmet-hemoglobin dimana H2S yang berasal dari pemecahan protein akan bereaksi
dengan Hb, membentuk Hb-S dan Fe-S. Secara bertahap warna kehijauan ini akan
menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh
darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman. 1,8

13

Gambar 7: Terjadi perubahan warna kulit menjadi lebih kehijauan terutama pada daerah perut. Dikutip dari
kepustakaan 3.

Pada keadaan ini, kulit tampak lebih licin dan tampak vesikel dan bulla
yang multipel. Kulit ari kemudian akan dengan mudah terlepas bila tergeser atau
tertekan.

Dalam

minggu

kedua

akan

terbentuk

gelembung-gelembung

pembusukan yang merupakan kelanjutan dari perubahan kulit ari diatas.


Gelembung-gelembung tersebut berisi cairan berwarna merah kehitaman yang
disertai dengan bau pembusukan, yang bila dipecahkan akan tampak kulit pada
dasar gelembung tersebut licin dan berwarna merah jambu. Kulit tampak lebih
mudah terkelupas bagian epidermisnya. Selain itu, rambut pada daerah kulit ini
juga akan lebih mudah mengalami kerontokan. 1,8

Gambar 8: Tampak kulit yang licin disertai dengan vesikel dan bulla yang telah pecah. Dikutip dari
kepustakaan 3.

14

Gambar 9 : Patomekanisme pembusukan. Dikutip dari kepustakaan 7.

Terdapat dua proses yang mempengaruhi terjadinya pembusukan yaitu adiposera


dan mumifikasi :
Adiposera
Adiposera adalah terbentuknya bahan berwarna keputihan, lunak, atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh
paskamati. 1
Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk
dari hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam
lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat,
jaringan saraf yang termumifikasi, dan kristal-kristal sferis dengan gambaran
radial. 1
Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan
hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab
kematian masih dapat dimungkinkan. Faktor-faktor yang mempermudah
terbentuknya adiposera adalah kelembapan dan lemak tubuh yang cukup.1
Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera karena derajat
keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. 1

15

Gambar 10 : Kulit tampak sebagai soap like apperance (saponifikasi). Dikutip dari kepustakaan 3.

Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat
menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,
berwarna gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat
berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila suhu
hangat, kelembapan rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan
waktu yang lama.1

Gambar 11: Mumifikasi tubuh bagian atas. Dikutip dari kepustakaan 3.

Grafik di bawah ini menunjukkan perubahan post mortal yang dikaitkan dengan
saat kematian:2

16

III. PENENTUAN WAKTU KEMATIAN YANG TERKINI


Forensik Entomologi
Aktivitas serangga juga dapat digunakan untuk memperkirakan saat
kematian yaitu dengan menentukan umur serangga yang biasa ditemukan pada
jenazah. Lalat pemakan bangkai (Zoosaprofag) biasanya digunakan dalam
entomologi forensik, untuk penentuan umur suatu mayat karena serangga
tersebut sering ditemukan pada mayat, contoh Famili Calliphoridae,
Sarcopagidae, Staphilinidae, Histeridae dan Silphidae. Serangga yang tertarik
pada mayat, secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:
pertama, spesies nekrofagus; yang memakan jaringan tubuh mayat, kedua
kelompok predator dan parasit; yang memakan serangga nekrofagus dan
kelompok terakhir adalah kelompok spesies omnivore yang memakan baik
jaringan tubuh mayat dan juga memakan serangga lain. Dari tiga kelompok ini,
kelompok spesies nekrofagus adalah kelompok spesies yang paling penting
dalam membantu membuat perkiraan saat kematian. Sejalan dengan proses
pembusukan, beberapa generasi serangga dapat menetap pada tubuh mayat.
17

Berbagai faktor seperti derajat pembusukan, penguburan, terendam dalam air,


proses mumifikasi dan kondisi geografi dapat menentukan kecepatan
kerusakan tubuh mayat, dan berapa tipe serangga dan berapa generasi serangga
yang dapat ditemukan.11
Lalat adalah serangga yang paling umum diasosiasikan dengan
pembusukan. Lalat cenderung menempatkan telurnya dalam orificium tubuh
atau pada luka terbuka. Kecenderungan ini kemudian akan mengakibatkan
berubahnya bentuk luka dan bahkan hancurnya daerah sekitar luka. Telur lalat
umumnya terdeposit pada mayat segera setelah kematian pada siang hari. Bila
mayat tidak dipindahkan dan hanya telur yang ditemukan dari mayat, maka
dapat diasumsikan bahwa waktu kematian berkisar antara 1 sampai 2 hari.
Angka ini sedikit variatif, tergantung pada temperature, kelembapan dan
spesies lalat. Setelah menetas, larva berkembang lebih besar hingga akhirnya
mencapai tahap pulpa. Tahap ini dapat memakan waktu 6 sampai 10 hari pada
kondisi tropis biasa. Lalat dewasa keluar dari pulpa pada 12 sampai 18 hari.
Harus diingat bahwa banyak variable yang mempengaruhi perkembangan
serangga, karenanya dari opini para penulis, suatu usaha memperkirakan saat
kematian dengan menggunakan metode dari entomologi, harus dibantu oleh
seorang ahli entomologi medik.11
Dalam perkembangannya dari telur menjadi dewasa, serangga ada yang
menjalani metarmorphosis lengkap dan ada yang menjalani metarorphosis
tidak lengkap. Pada metarmorphosis tidak lengkap, versi kecil Dari serangga
dewasa menetas dari telur. Serangga bertahap ini secara bertahap matang
menjadi bentuk dewasa. Pada metarmorphosis lengkap, serangga menetas dari
telur sebagai larva. Larva ini memiliki bentuk yang amat berbeda dengan
bentuk dewasanya. Setelah beberapa waktu larva memasuki fase istirahat, yang
disebut pupa. Dari pupa serangga keluar sebagai serangga telah terbentuk
sesuai anatomi dan histology serangga dewasa. 11

18

Gambar 13 : Metarmorphosis lengkap lalat. Dikutip dari kepustakaan 12.

Gambar 12: Wajah yang ditutupi dengan larva. Dikutip dari kepustakaan 11.

HUMOR VITREUS
Memperkirakan saat mati secara kimia dalam humor vitreus sudah pernah
dicoba selama 30 tahun belakangan ini, walaupun tidak pernah diterima sebagai
pemeriksaan rutin. Dasar pemikiran dari digunakannya humor vitreus dalam
penentuan saat mati ialah karena cairan ini bebas terkontaminasi dari darah,
bakteri dan produk-produk autolisa postmortem bila dibandingkan dengan LCS.
19

Sebenarnya banyak yang dapat dinilai untuk penentuan saat mati melalui humor
vitreus, seperti mengukur kadar asam askorbat, konsentrasi asam piruvat,
hypoxanthine,glukosa dan potassium, tetapi yang paling banyak dipakai sebagai
penentuan saat mati adalah kadar potassium dalam humor vitreus.Pengikut
pengikut Jaffe adalah yang pertama kali memperkenalkan peningkatan kadar
potassium dan menghubungkannya dengan saat kematian, dan John Coe adalah
forensik patologis yang berpengalaman dalam hal ini. Sesudah kematian,
potassium interseluler menembus masuk kedalam retina melalui membran sel
yang setelah kematian menjadi membran yang permeable, dan kemudian masuk
kedalam corpus vitreus. Disini terdapat peningkatan yang nyata dan progressif
dari konsentrasi potassium sesudah mati, tetapi masih menjadi perdebatan apakah
peningkatan ini secara linear atau bifasik. Cara pengambilan humor vitreus ini
tidaklah sulit, hanya dibutuhkan 2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak syringe
no 20. Sering didapati perbedaan kadar potassium mata kiri dan mata kanan dalam
satu individu. Selain itu bila aspirasinya dilakukan secara paksa atau terlalu dekat
dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil pemeriksaan oleh karena potassium
mencapai vitreus dengan jalan menembus retina. Pengaruh suhu juga masih
menjadi perdebatan yang penting.13
Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus adalah konsentrasi
sodium dan chlorida, dimana konsentrasi elektolit - elektrolit ini megalami
penurunan sesudah kematian, dan ini dapat digunakan untuk memeriksa
reabilitasnya satu sama lain, misalnya kadar potassium adalah < 15 mmol/l maka
kadar sodium dan chlorida dapat diperkirakan, dimana penurunan chlorida kurang
dari 1 mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga penurunan
sodium disini tidak signifikan pada beberapa jam pertama, berbeda dengan
potassium yang peningkatannya terjadi secara bermakna. Sturner menemukan cara
pengukuran yang paling populer dalam penentuan potassium vitreus untuk
penentuan saat mati dengan menggunakan rumus :13
7,4 x konsentrasi potassium (mEq/L)- 3,91
Teknik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium sering
memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada tahun 1985
20

mengatakan bahwa penggunaan metode flame fotometrik memberikan nilai 5


mmol/l kurang untuk sodium , 7 mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l
kurang untuk chloride bila

dibandingkan dengan pemeriksaan dengan

menggunakan methode specifik electrode yang modern. Pada orang yang


mengalami saat mati yang lama seperti pada penyakit-penyakit kronis dengan
retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila dibandingkan dengan sudden
death, agaknya gangguan elekrolit premotral pada pasien juga mempengaruhi
hasil pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan dengan mengunakan flame fotometri
dalam mmol/l bila sodium >155 ,chloride > 135, dan urea > 40 ini dipercaya
sebagai indiksasi dari dehidrasi antemortem. Bila sodium dan choride adalah
normal tetapi kelebihan urea adalah 150, diagnosis uremia dapat diterima. Angka
ini berbeda dengan dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah
< 130, chloride < 105 dan potassium >20 mellitus. Problem umum yang sering
ditemukan dalam autopsi adalah mendiagnosa diabetes yang tidak terkontrol dan
hypoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya turun setelah kematian dan
akan mencapai angka nol dalam beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan
6000 analisa , dan dia mendapatkan glukosa vitreus yang lebih dari 11.1 mmol/l
adalah indikator yang tidak variable dari diabetes gula darah rendah antemortem.
Sturner pada tahun 1972 menghubungkan adanya kadar glukosa vitreus yang
kurang dari 1.4 mmol/l marupakan petunjuk adanya gula darah yang rendah
antemortem, tetapi berapapun konsentrasinya interprestasi ini tidak reliable untuk
dapat digunakan sebagai pegangan. Pada hipotermia terdapat juga peningkatan
glukosa vitreus tetapi tidak lebih besar dari 11.1 mmol/l.13
PENGOSONGAN ISI LAMBUNG
Banyak para pathologis memperdebatkan penggunaan isi lambung sebagai
pengukuran saat mati dan menghubungkannya dengan saat makan terakhir
sebelum terjadi kematian. Dasar dari metode pengosongan lambung sebagai
penentuan saat mati adalah bahwa makanan hampir mempunyai waktu yang sama
di lambung sebelum dilepaskan dan masuk kedalam duodenum yang secara fisik
sudah diubah oleh asam lambung , yang diukur pada saat makanan itu ditelan.
Adelson mengatakan secara fisiologis biasanya makanan ringan meninggalkan
21

lambung dalam 1,5 jam sampai 2 jam sesudah makan, makanan yang jumlahnya
sedang membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam untuk meninggalkan lambung, dan
untuk makanan berat memerlukan waktu 4 sampai 6 jam sebelum seluruhnya
dikeluarkan kedalam duodenum. Makanan biasanya mencapai distal ileum antara
6 sampai 8 jam sesudah makan. Modi memberi batasan 4 sampai 6 jam untuk
makan daging dan sayuran dan 6 sampai 7 jam untuk makanan biji-bijian dan
kacang-kacangan. Akan tetapi semua nilai-nilai ini adalah sangat bervariasi dari
tiap individu. Metode terbaru dengan menggunakan teknik radioisotop dalam
penelitian mengenai pengosongan lambung memperlihatkan hal-hal yang
menarik. Bila makanan padat dimakan bersama dengan air maka air akan
meninggalkan lambung lebih cepat terlepas dari sifat atau kandungan kalori dari
bagian yang padat. Akan tetapi cairan yang mengandung kalori ternyata tinggal
lebih lama dalam lambung.13
Pengalaman menunjukan bahwa waktu pengosongan lambung ini tidaklah
konstan, waktu pengosongan lambung yang lama tidak hanya disebabkan oleh
penyakit dalam saluran cerna saja tetapi juga oleh faktor-faktor psikologis atau
trauma fisik terutama yang mengenai kepala.13
PERTUMBUHAN RAMBUT
Pengetahuan mengenai rata-rata tumbuh rambut mula memberi petunjuk
dalam membuat perkiraan kapan saat cukur terakhir. Sejak rambut berhenti
pertumbuhannya pada saat kematian maka panjang dari jenggot mayat mungkin
dapat menjadi pemikiran tentang lamanya waktu antara kematian dan cukur
terakhir. Gonzales dkk, pada tahun 1954 mengatakan rata-rata pertumbuhan
rambut adalah 0,4 mm/hari, sedangkan Balthazard seperti yang dikutip oleh
Derobert dan Le Breton tahun 1951 mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut
adalah 0,5 mm/hari, dan menurut Glaister pada tahun 1973 adalah 1-3
mm/minggu, akan tetapi pada tiap2 individu mempunyai perbedaan dalam rata
pertumbuhan dalam area yang sama, juga variasi rata-rata dari satu tempat ke
tempat lain di muka dan juga berbeda dari satu individu ke individu yang lain.

22

Selain itu variasi musim atau iklim mempengaruhi metabolisme dari tubuh itu
sendiri. Pada pria rata-rata pertumbuhan rambut pipi adalah 0,25 mm/hari dalam
bulan agustus-oktober di antartica, akan tetapi pada temperatur iklim di Lautan
Pasifik dalm bulan April adalah 0,325 mm.13
Pertumbuhan panjang jenggot diukur dengan mencukur mayat, dan
diletakkannya di atntara slide dan gelas objek yang kemudian diukur dibawah
mikroskop 80% dari rambut-rambut ini aka menunjukkan panjang yang sama.13
Observasi terhadap bpertumbuhan rambut jenggot dalam menentukan saat
mati harus dilakukan dalam 24 jam pertama sesudah kematian karena sesuadah ini
kulit akan mengkerut dan ini akan menyebabkan rambut akan lebih menonjol di
atas permukaan dalam 48 jam setelah kematian, fenomena ini yang sering dikira
bahwa rambut masih terus tumbuh setelah kematian.13
TULANG
Gambaran Fisik
Tulang-tulang yang baru mempunyai sisa jaringan lunak yang melekat
pada tendon dan ligamen, khususnya di sekitar ujung sendi.Periosteum kelihatan
berserat, melekat erat pada permukaan batang tulang. Tulang rawan mungkin
masih ada dijumpai pada permukaan sendi. Melekatnya sisa jaringan lunak pada
tulang adalah berbeda-beda tergantung kondisi lingkungan, dimana tulang
terletak. Mikroba mungkin dengan cepat merubah seluruh jaringan lunak dan
tulang rawan, kadang dalam beberapa hari atau pun beberapa minggu. Jika mayat
dikubur pada tempat atau bangunan yang tertutup, jaringan yang kering dapat
bertahan sampai beberapa tahun. Pada iklim panas mayat yang terletak pada
tempat yang terbuka biasanya menjadi tinggal rangka pada tahun-tahun pertama,
walaupun tendon dan periosteumnya mungkin masih bertahan sampai lima tahun
atau lebih.14
Secara kasar perkiraan lamanya kematian dapat dilihat dari keadaan tulang
seperti :1
1. Dari Bau Tulang

23

Bila masih dijumpai bau busuk diperkirakan lamanya kematian kurang dari 5
bulan. Bila tidak berbau busuk lagi kematian diperkirkan lebih dari 5 bulan.
2. Warna Tulang
Bila warna tulang masih kekuning-kuningan dapat diperkirakan kematian
kurang dari 7 bulan. Bila warna tulang telah berwarna agak keputihan
diperkirakan kematian lebih dari 7 bulan.

3. Kekompakan Kepadatan Tulang


Setelah semua jaringan lunak lenyap, tulang-tulang yang baru mungkin
masih dapat dibedakan dari tulang yang lama dengan menentukan kepadatan
dan keadaan permukaan tulang. Bila tulang telah tampak mulai berpori-pori,
diperkirakan kematian kurang dari 1 tahun. Bila tulang telah mempunyai
pori-pori yang merata dan rapuh diperkirakan kematian lebih dari 3 tahun.
Keadaan diatas berlaku bagi tulang yang tertanam di dalam tanah. Kondisi
penyimpanan akan mempengaruhi keadaan tulang dalam jangka waktu tertentu
misalnya tulang pada jari-jari akan menipis dalam beberapa tahun bahkan sampai
puluhan tahun jika disimpan dalam ruangan.14
Tulang baru akan terasa lebih berat dibanding dengan tulang yang lebih tua.
Tulang-tulang yang baru akan lebih tebal dan keras, khususnya tulang- tulang
panjang seperti femur. Pada tulang yang tua, bintik kolagen yang hilang akan
memudahkan tulang tersebut untuk dipotong. Korteks sebelah luar seperti pada
daerah sekitar rongga sumsum tulang, pertama sekali akan kehilangan stroma,
maka gambaran efek sandwich akan kelihatan pada sentral lapisan kolagen pada
daerah yang lebih rapuh. Hal ini tidak akan terjadi dalam waktu lebih dari sepuluh
tahun, bahkan dalam abad, kecuali jika tulang terpapar cahaya matahari dan
elemen lain. Merapuhnya tulang-tulang yang tua, biasanya kelihatan pertama
sekali pada ujung tulang-tulang panjang, tulang yang berdekatan dengan sendi,
seperti tibia atau trochanter mayor dari tulang paha. Hal ini sering karena lapisan
luar dari tulang pipih lebih tipis pada bagian ujung tulang dibandingkan dengan di

24

bagian batang, sehingga lebih mudah mendapat paparan dari luar. Kejadian ini
terjadi dalam beberapa puluh tahun jika tulang tidak terlindung, tetapi jika tulang
tersebut terlindungi, kerapuhan tulang akan terjadi setelah satu abad. Korteks
tulang yang sudah berumur, akan terasa kasar dan keropos, yang benar-benar
sudah tua mudah diremukkan ataupun dapat dilobangi dengan kuku jari.14
a.

Tes Fisika
Seperti pemeriksaan gambaran fisik dari tulang, fluoresensi cahaya ultra

violet dapat menjadi suatu metode pemeriksaan yang berguna. Jika batang tulang
dipotong melintang, kemudian diamati ditempat gelap, dibawah cahaya ultra
violet, tulang-tulang yang masih baru akan memancarkan warna perak kebiruan
pada tempat pemotongan. Sementara yang sudah tua, lingkaran bagian luar tidak
berfluorosensi sampai ke bagian tengah. Dengan pengamatan yang baik akan
terlihat bahwa daerah tersebut akan membentuk jalan keluar dari rongga sumsum
tulang. Jalan ini kemudian pecah dan bahkan lenyap, maka semua permukaan
pemotongan menjadi tidak berfluoresensi. Waktu untuk terjadinya proses ini
berubah-ubah, tetapi diperkirakan efek fluoresensi ultra violet akan hilang dengan
sempurna kira-kira 100 -150 tahun. Tes fisika yang lain adalah pengukuran
kepadatan dan berat tulang, pemanasan secara ultra sonik dan pengamatan
terhadap sifat-sifat yang timbul akibat pemanasan pada kondisi tertentu. Semua
kriteria ini bergantung pada berkurangnya stroma organik dan pembentukan dari
kalsifikasi tulang seperti pengeroposannya.14

25

Garnbar I : a. Tulang berumur 3 -80 tahun. Kelihatan permukaan


pemotongan tulang meman carkan warna perak kebiruan
pada seluruh pemotongan.
b. Setelah satu abad atau lebih sisa fluoresensi mengerut ke
pusat sumsum tulang.
c. Sebelum fluoresensi menghilang dengan sempurna pada
abad berikutnya.14
b. Tes Serologi
Tes yang positif pada pemeriksaan hemoglobin yang dijumpai pada
pemeriksaan permukaan tulang ataupun pada serbuk tulang, mungkin akan
memberikan pernyataan yang berbeda tentang lamanya kematian tergantung pada
kepekaan dari tehnik yang dilakukan. penggunaan metode cairan peroksida yang
hasilnya positif, diperkirakan lamanya kematian sekitar 100 tahun. Aktifitas
serologi pada tulang akan berakhir dengan cepat pada tulang yang terdapat di
daerah berhawa panas.14
Pemeriksaan dengan memakai reaksi Benzidin dimana dipakai campuran
Benzidin peroksida. Jika reaksi negatif penilaian akan lebih berarti. Jika reaksi
positif menyingkirkan bahwa tulang masih baru. Reaksi positif, diperkirakan
umur tulang saat kematian sampai 150 tahun. Reaksi ini dapat dipakai pada tulang
yang masih utuh ataupun pada tulang yang telah menjadi serbuk.14
Aktifitas Immunologik ditentukan dengan metode gel difusion technique
dengan anti human serum.
Serbuk tulang yang diolesi dengan amoniak yang konsentrasinnya rendah,
mungkin akan memberi reaksi yang positif dengan serum anti human seperti
reagen coombs, lama kematian kira-kira 510 tahun, dan ini dipengaruhi kondisi
lingkungan.14
c. Tes Kimia
Tes Kimia dilakukan dengan metode mikro-Kjeld-hal dengan cara
mengukur pengurangan jumlah protein dan nitrogen tulang. Tulang-tulang yang
baru mengandung kira-kira 4,5 % nitrogen, yang akan berkurang dengan cepat.
Jika pada pemeriksaan tulang mengandung lebih dari 4 % nitrogen, diperkirakan

26

bahwa lama kematian tidak lebih dari 100 tahun, tetapi jika tulang mengandung
kurang dari 2,4 %, diperkirakan tidak lebih dari 350 tahun. Penulis lain
menyatakan jika nitrogen lebih besar dari 3,5 gram percentimeter berarti umur
tulang saat kematian kurang dari 50 tahun, jika Nitrogen lebih besar dari 2,5 per
centimeter berarti umur tulang atau saat kematian kurang dari 350 tahun.14
Inti protein dapat dianalisa, dengan metode Autoanalisa ataupun dengan
Cromatografi dua dimensi. Tulang segar mengandung kira-kira 15 asam amino,
terutama jika yang diperiksa dari bagian kolagen tulang. Glisin dan Alanin adalah
yang terutama. Tetapi Fralin dan Hidroksiprolin merupakan tanda yang spesifik
jika yang diperiksa kolagen tulang. Jika pada pemeriksaan Fralin dan
Hidroksiprolin tidak dijumpai, diperkirakan lamanya kematian sekitar 50 tahun.
Bila hanya didapatkan Fralin dan Hidroksiprolin maka perkiraan umur saat
kematian kurang dari 500 tahun. Asam amino yang lain akan lenyap setelah
beratus tahun, sehingga jika diamati tulang-tulang dari jaman purbakala akan
hanya mengandung 4 atau 5 asam amino saja. Sementara itu ditemukan bahwa
Glisin akan tetap bertahan sampai masa 1000 tahun. Bila umur saat kematian
kurang dari 70 -100 tahun, akan didapatkan 7 jenis asam amino atau lebih.14
Jadi banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan membusuknya tulang,
disamping jenis tulang itu sendiri mempengaruhi. Tulang-tulang yang tebal dan
padat seperti tulang paha dan lengan dapat bertahan sampai berabad-abad,
sementara itu tulang-tulang yang kecil dan tipis akan hancur lebih cepat.
Lempengan tulang tengkorak, tulang-tulang kaki dan tulang-tulang tangan, jarijari dan tulang tipis dari wajah akan membusuk lebih cepat, seperti juga yang
dialami tulang-tulang kecil dari janin dan bayi.14

27

IV.KESIMPULAN
Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis,
kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ
internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis,
mati seluler, mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi
akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf
pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler
adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya
penggunaan oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan.1
Bila seseorang meninggal dunia maka siklus oksigen akan terhenti , tubuh
akan mengalami berbagai perubahan jaringan yang disebut perubahan awal
kematian atau tanda kematian tidak pasti dimana susunan saraf pusat akan
mengalami kemunduran dengan cepat ini akan menyebabkan perubahan pada
tubuh menjadi insensibel, reflek cahaya dan reflek kornea hilang, aliran darah,
gerakan nafas berhenti, kulit pucat dan otot mengalami relaksasi. Setelah beberapa
waktu akan timbul perubahan pasca mati yang memungkinkan diagnosis kematian
lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa
lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh pembusukan, mumifikasi dan
adiposera, yang dapat membantu dalam penentuan waktu kematian.1,3,7
Selain itu, terdapat juga metode penentuan cara kematian terkini yaitu,
berdasarkan entomologi forensik, humor vitreus, pengosongan isi lambung,
pertumbuhan rambut dan penelitian tulang.Namun, walaupun dimanfaatkan
semua saranan yang ada, penentuan saat kematian yang tepat adalah tidak
mungkin hanya untuk memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan.13

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Howard C.,Adelman.M.Establishing The Time of Death in : Forensic
Medicine. New York :Infobase Publishing : 2007. p.20-26.
2. Morgan,C.,Nokes, LDM, et al. Postmortem Changes and Determination of
The Time of Death. Forensic Science International (1988) Vol. 39 No. 1, p.
89-95.
3. Dix, J., Graham, M. Time of Death, Decomposition and Identification An
Atlas. New York: CRC Press LLC: 2000. p. 10-27
4. Dix, J., Calaluce, R. Rigor Mortis in : Guide to Forensic Pathology. New
York: CRC Press: 2001. p. 15-25.
5. Shepherd, R. The Medical Aspects of Death In : Shepherd R. Simpsons
Forensic Medicine 12th Edition. London : Arnold : 2003. p. 27-8
6. Pounder, DJ. Lecture Notes Postmortem Changes and Time of Death.
Department of Forensic Medicine University of Dundee. 1995.
7. Cox, WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. New York: Forensic
Science International: 2009.
8. Shkrum, MJ., Ramsay, DA. Postmortem Changes The Great Pretenders in:
Forensic Pathology of Trauma Common Problems for The Pathologist.
New Jersey: Humana Press: 2002. p. 23-47.
9. Indriati Etty. Mati: tinjauan klinis dan antropologi forensik [homepage on
the internet] No date [cited 2011 oktober 02] Available from URL :
http://www.freewebs.com/dekomposisi_posmortem/dekomposisi.htm
10. M. Algozi Agus, Tanatologi [homepage on the internet] No date [cited
2011 oktober 02] Available from URL : http://www. wordpress.com.
11. Nurwidayati.A, Penerapan Entomologi Dalam Bidang Kedokteran : Jurnal
Vektor Penyakit,Vol III No.2. Sulawesi Tengah :2009. p55-59.
12. Halfian , Tanatologi [homepage on the internet] No date [cited 2011
oktober 02] Available from URL:
http://medicinestuffs.com/2010/06/tanatologi.html
13. Ferryal basbet, Perkiraan saat mati [homepage on the internet] No date
[cited
2011
Oktober
04]
Available
from
URL
:
http://www.freewebs.com/forensicpathology/
14. Ritongga Mistar: Penentuan Lama kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang;
USU Digital Library, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.

29

Anda mungkin juga menyukai