Skenario Demam Tifoid
Skenario Demam Tifoid
Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan lebih
tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran
somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah
terlihat typhoid tongue. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O
meningkat. Ibu tersebut bertanya kepada dokter bagaimana cara pencegahan penyakitnya.
SASARAN BELAJAR
Tempat
pengukuran
Aksila
Sublingual
Rektal
Telinga
Jenis termometer
Air
raksa,
elektronik
Air
34,7
37,3;
37,5;
36,4
raksa,
elektronik
Air
Rentang; rerata
suhu normal (oC)
35,5
36,6
raksa,
elektronik
Emisi infra merah
36,6 37,9; 37
35,7
37,5;
36,6
Dema
m
(oC)
37,4
37,6
38
37,6
Demam Septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Bila demam yang tinggi tersebut
turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hetik.
b Demam Remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak
sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
c
Demam Intermiten
Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam
dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila
terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
d Demam Kontinyu
Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada
tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e
Demam Siklik
Pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode
bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren
yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan
ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).
Klasifikasi
Penyebab tersering
Demam dengan
localizing signs
Demam tanpa localizing
signs
Fever of unknown origin
Lama demam
pada
umumnya
<1 minggu
<1minggu
>1 minggu
Penyakit
ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis,
stomatitis herpetika
Bronkiolitis, pneumonia
Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Meningitis, encephalitis
Campak, cacar air
Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Leukemia, lymphoma
Kala azar, cickle cell anemia
Contoh
Bakteremia/sepsis
Sebagian besar virus
(HH-6)
Infeksi saluran kemih
Malaria
Petunjuk diagnosis
Tampak sakit, CRP tinggi,
leukositosis
Tampak baik, CRP normal, leukosit
normal
Dipstik urine
Di daerah malaria
PUO
(persistent
pyrexia of
unknown
origin) atau
FUO
Juvenile idiopathic
arthritis
Pasca
vaksinasi
Vaksinasi triple,
campak
Drug fever
Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1
minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal
mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal
sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang
berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah
investigasi 1 minggu di rumah sakit.1
Contoh
Petunjuk diagnosis
Bakteremia/sepsis
Dipstik urine
Malaria
Di daerah malaria
PUO (persistent
pyrexia of
unknown
origin) atau
FUO
Juvenile idiopathic
arthritis
Pasca vaksinasi
Drug fever
Penyebab Umum
Penyebab Khusus
1
Pirogen endogen
Infeksi
Keganasan
Alergi
Panas karena steroid
Penyakit kolagen
Ensefalitis/ meningitis
Trauma kepala
Perdarahan di kepala yang hebat
Penyinaran
Berkeringat
Menggigil
Sakit kepala
Nyeri otot
Nafsu makan menurun
Lemas
Dehidrasi
Demam yang sangat tinggi, lebih dari 39 derajat celcius, dapat menyebabkan:
1 Halusinasi
2 Kejang
Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda
sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang
berakhir dengan kematian.
LO.2.2.Menjelaskan etiologi demam tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi yang merupakan basil Gram-negatif,
mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakulatif anaerob, Kebanyakkan
strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak
meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme Salmonella typhi tumbuh secara aerob dan mampu
tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60 C (140 F) selama
15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa
hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering
dan bahan tinja. (Karnasih et al, 1994)
Kuman ini mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1
2
3
Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen protein,
lipopolisakarida dan lipid. Sering disebut endotoksin.
Antigen H (flagela), terdapat pada flagela, fimbriae danpili dari kuman, berstruktur kimia
protein.
Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya tidak
bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan
lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.
2.
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau
perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.
Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Usia
12- 29 tahun
30- 39 tahun
> 40 tahun
80
10-20
5-10
Salmonella thypi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
dan mencapai jaringan limfoid plak peyeri di ileum terminalis yang hipertropi.
Bila terjadi komplikasi pendarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina
propia. Masuk aliran limfe mencapai kelenjar limfe mesenterial dan masuk ke aliran
darah melalui duktus torasikus. Salmonella thypi lain dapat mencapai hati melalui
sirkulasi portal dari usus. Salmonella thypi bersarang di plak peyeri, limpa, hati dan
bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.
Endotoksin salmonella thypi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan
tempay kumantersebut berkembang biak. Salmonella thypi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen danleukosit pada jaringan yang meradang
sehingga terjadi demam.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan khusus. Variasi gejala
ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit
dirumahnya. ( Sumarmo et al, 2010)
Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berkepanjangan yaitu setinggi 39 C hingga 40 C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah,
pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak
enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih
sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa
kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5
hari, kemudian hilang dengan sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat
pada sore atau malam.
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).
Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi
perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan
peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh.
Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat
sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran
hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir
minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik,
gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak
dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan
terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan
nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat
disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya
perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang
teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik
merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu
ketiga.
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang
mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang
lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada
infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia
klinik,imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi
penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan
hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.
Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau
perforasi. Pemeriksaan darah dilakukan pada biakan kuman (paling tinggi pada minggu I
sakit), diagnosis pasti Demam Tifoid. (Minggu I : 80-90%, minggu II : 20-25%, minggu
III : 10-15%) Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau
tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED
meningkat (Djoko, 2009)
Urinalis
Tes Diazo Positif : Urine + Reagens Diazo + beberapa tetes ammonia 30% (dalam tabung
reaksi)dikocokbuih berwarna merah atau merah muda (Djoko, 2009)
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).Leukosit dan eritrosit
normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. Biakan kuman (paling tinggi pada
minggu II/III diagnosis pasti atau sakit carrier ( Sumarmo et al, 2010)
Tinja (feses)
Ditemukian banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool), kadang-kadang darah (bloody
stool). Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier posttyphi) pada minggu II atau III
sakit. (Sumarmo et al, 2010)
Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis akut.
Serologi
Pemeriksaan Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thypi. Pada uji widal terjadi suatu
reaksi aglutinasi antara kuman S.thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin . Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu :
1
2
3
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Widal dinyatakan positif bila :
1
2
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali
nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia.
Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini
pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak
sebelumnya.
Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
Merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat
(Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Tifoid/ Paratyphoid
dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/jika lgG positif menandakan
pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. ( John, 2008)
Mikrobiologi
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam
tiroid/paratifoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam
tifoid/ paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/
paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL), darah tidak segera dimasukan
ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit,
sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini
adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan
kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja. (Sumarmo et al, 2010)
Biologi molekular.
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini
di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA probe
yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah
sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang
digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative tidak
menyingkirkan demam tifoid.
Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.
Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 23 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.
Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen H 1: 640
menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas .
Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun biakan
darah positif. (Sumarmo, 2010)
mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, feses dan urine untuk mencegah
penularan.
Nonfarmakologis
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian
antimikroba.
Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum,mandi, buang air kecil, buang air besar akan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. (Djoko, 2009)
Diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama. Pemberian bubur saring bertujuan untukk menghindari komplikasi
pendarahan saluran cerna atau perforasi usus. (Djoko, 2009)
Farmakologis
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai
berikut:
First-line Antibiotics
Obat
Kloramfenikol
Trimetofrim
-Sulfametakzol
Ampicillin/
Amoxycillin
Second-line
Antibiotics
( Fluoroquinolon)
Norfloxacin
Ciprofloxacin
Ofloxacin
Pefloxacin
Fleroxacin
Cephalosporin
Ceftriaxon
Dosis
500 mg 4x /hari
160/800 mg 2x/hari,
4-20 mg/kg bagi 2
dosis
1000-2000
mg
4x/hari ; 50-100
mg/kg , bagi 4 dosis
2 x 400 mg/hari
selama 14 hari
2 x 500 mg/hari
selama 6 hari
2 x 400 mg/hari
selama 7 hari
400 mg/hari selama 7
hari
400 mg/hari selama 7
hari
1-2 gr/hari ; 50-75
Rute
Oral, IV
Oral, IV
Oral, IV, IM
Oral
Oral , IV
Oral
Oral, IV
Oral
IM, IV
Cefotaxim
Cefoperazon
Antibiotik lainnya
Aztreonam
Azithromycin
IM, IV
Oral
IM
Oral
Antibiotik
Ceftriaxon
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Trimetoprim- Sulfametoksazol
Ciprofloksasin
Levofloksasin
92.6
94.1
100
100
100
100
Komplikasi intestinal
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
a
Perdarahan usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Bila sedikit hanya
ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak
terjadi melena.
Perforasi usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah
itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya
dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala
abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, defance muskulare, dan nyeri pada penekanan.
(Djoko, 2009)
2 Komplikasi di luar usus (ekstraintestinal)
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis,
ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.
-
(Djoko, 2009)
DIRI SENDIRI
1. Lakukan vaksinasi terhadap seluruh keluarga. Vaksinasi dapat mencegah kuman masuk dan
berkembang biak. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan
vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak
usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.
2. Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (carrier). Pengawasan diperlukan agar dia tidak
lengah terhadap kuman yang dibawanya. Sebab jika dia lengah, sewaktu-waktu penyakitnya
akan kambuh.
Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin
berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan.
Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau
intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila
mempunyai antibodi anti-Vi 1 g/ml.
Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk kapsul enterocoated atau sirup.
Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong. Untuk anak usia 5 tahun. Reimunisasi tiap
tahun. Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu
sesudah imunisasi.
Kebal Antibiotik
Penelitian menunjukkan, kini banyak kuman Salmonella typhi yang kebal terhadap antibiotika.
Akhirnya, penyakit ini makin sulit disembuhkan. Hanya saja, jika bakteri sudah menyerang otak,
tetap akan membawa dampak. Misalnya, kesadarannya berkurang, kurang cepat tanggap, dan
lambat dalam mengingat. Jadi, jangan sepelekan demam tifoid dan rawat anak baik-baik jika ia
terserang penyakit ini.
Makanan Yang Dianjurkan
1
Makanan harus mudah dicerna, mengandung cukup cairan, kalori, serat, tinggi protein
dan vitamin, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
Jika kembali kontrol ke dokter dan disarankan makan nasi yang lebih keras, harus
dijalankan.
: Bakteria
: Proteobakteria
: Gamma proteobakteria
: Enterobakteriales
: Enterobakteriakceae
: Salmonella
: Salmonella thyposa
Golongan O
D
A
C1
B
D
Seriotip
S typhi
S paratyphi A
S choleraesuis
S typhimurium
S enteritidis
Formula antigenik
9,12 (vi):d:1,2,12:a6,7: c:1,5
1,4,5,12:i:1,2
1,9,12:g,m:-
Penyakit
S. parathypi
S. abortivoequina
S. schottmuelleri
S. typhimurium
S. cholerasius
S. Newport
S. enteritidis
S. gallinarum
S. pullorum
S. typhi
S. Dublin
S. anatum
Demam enteric
7-20 hari
Perlahan
Bertahap, kemudian
plateau, tinggi
Septikemia
Bervariasi
Mendadak
Meningkat
cepat,
kemudian temperatur
menukik spt sepsis
Beberapa minggu
Bervariasi
Awalnya
sering Sering tidak ada
konstipasi,
selanjutnya
diare
berdarah
Positif pada minggu Positif pada saat
1 hingga minggu 5 demam tinggi
penyakit
Positif pada minggu Jarang positif
2, negatif pada awal
penyakit
Enterokolitis
8-48 jam
Mendadak
Biasanya
demam
ringan
2-5 hari
Mual muntah diare
saat awitan
Negatif
Positif segera setelah
awitan
Penisilin
Fosfomisin
Sikloserin
Ristosetin
Vankomisin
Basitrasin
Antibiotika yang mampu menghambat salah satu proses ini, akan menghambat sintesis
protein. Yang tergolong di dalam antibiotik jenis ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Aktinomisin
Rifampisin
Streptomisin
Tetrasiklin
Kloramfenikol
Eritomisin
Klindamisin
Antagonis metabolik
Enzim-enzim seringkali dihambat oleh senyawa-senyawa yang mempunyai struktur
mirip dengan substrat asalnya. Penghambat-penghambatna seperti ini menyatu dengan
enzim sedemikian rupa sehingga mencegah kombinasi substrat enzim dan reaksi
katalitik. Banyak dari penghambat seperti ini analog dengan faktor-faktor pertumbuhan
kuman yaitu faktor-faktor organik yang diperlukan oelh semua kuman untuk
pertumbuhannya. Faktor-faktor pertumbuhannya misalnya vitamin, asam amino, purin
dan pirimidin. Penghambat-penghambatan seperti ini disebut anti metabolit. Seperti:
1. Sulfonamida
2. Sulfon
3. P-Aminosalicylic acid (PAS)
4. Isoniasid
Farmakodinamik
A. Efek Antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Pada proses
sintesis protein kuman ikatan peptida tidak terbentuk.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.
Spektrum antibakteri kloramfenikol meliputi D. pneumoniae, S. pyogenes, S.
viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P.
multocida, C. diphtheriae, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema dan
kebanyakan kuman anaerob.
B. Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh
asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap P. aeruginosa,
Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membran yang
mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.Beberapa strain D. pneumoniae, H.
influenzae dan N. meningitidis bersifat resisten; S. aureus umumnya sensitif, sedang
Enterobactericeae banyak yang telah resisten.
Obat in juga efektif terhadap kebanyakan strain E. coli, K. pneumoniae dan P.
mirabilis, kebanyakan strain Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga
kebanyakan strain P. aeruginosa dan strain tertentu S. typhi.
Farmakokinetik
Pada anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat
yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan
membebaskan kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral digunakan
kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan
kloramfenikol.
Masa paruh eliminasi pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, dan pada bayi yang
umurnya kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Obat ini didistribusikan secar baik ke
berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.
Dalam hati, kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukuronat oleh enzim
glukuronil transferase. Pada pasien gangguan faal hati, waktu paruh lebih panjang.
Kloramfenikol yang diekskresi melalui urin hanya berkisar 5-10% dalam bentuk
aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif.
Kloramfenikol dalam bentuk aktif diekskresi terutama melalui fitrat glomerulus dan
metabolitnya dengan sekresi tubulus.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah
sehingga tidak perlu penguraian dosis. Dosis perlu dikurangi jika terdapat gangguan
fungsi hepar.
C. Interaksi.
Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu
paruh dari kloramfenikol sehingga kadar obat ini dalam darah menjadi subterapeutik.
Adapun dalam dosis terapi, toksisitas obat menjadi lebih tinggi bila diberikan
bersamaan dengan kloramfenikol karena kloramfenikol menghambat biotransformasi
tolbutamid, fenitoin, dikumarol, dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hepar.
LO 4.4 Efek Samping Obat yang Digunakan
Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk, yaitu :
Sindrom Gray
Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tingi (200 mg/kgBB)
dapat menimbulkan Sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2-9 masa terapi, ratarata hari ke-4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan
tidak teratur, perut kembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan
bayi tampak sakit berat. Pada hari berikutnya, tubuh bayi lemas dan berwarna
keabu-abuan; terjadi pula hipotermia.
Efek toksik ini diduga disebabkan oleh :
dianjurkan :
Ampisilin
Amoksisilin
Seftriakson
Kontaindikasi :
Daftar Pustaka
Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13..
Behrman R.E. et al. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15. ab.A.Samik Wahab. Jakarta:
EGC.
Buku Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 1995.
Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am 1996;10:33-44
Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical
methods:
The
history,
physical,
and
laboratory
examinations.
Edisi
ke-3.
:Butterworths;1990.h.990-3.
El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child 2006;91:351-6.
El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N,
penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.124.
Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG, penyunting.
Moffets Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York:
Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73.
http://www.kemangmedicalcare.com diambil pada kamis, 29 maret 2012
http://www.medicastore.com/apotik_online/antibiotika/sefalosporin.htm diambil pada sabtu, 17
April 2010
http://www.medicalcriteria.com/criteria/inf_fuo.htm diambil pada jumat, 28 maret 2012
Karsinah, H.M, Lucky. Suharto. H.W, Mardiastuti. 1994. Batang Negatif Gram dalam Staf
Pengajar FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Nelwan, R.H.H. 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.h.
Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S.,
Morse, S.A. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Santillan RM,Gracia GR, Bevente IH, Garcia EM. 2000. Efficacy of cefixime in the treatment of
typhoid fever. Proc West Pharmacol Soc; 43: 65-66
Setyabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi edisi 5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Sherwood, Lauralee. 2004. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: EGC
Sumarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi 2. Jakarta: EGC.
Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever:
Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-36
www.who.int/bulletin/volumes/86/4/06-039818/en/index.html diambil pada jumat, 28 maret 2012