Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


MAGISTER MANAJEMEN

===========================================
=============================
TUGAS REVIEW JURNAL

MATA KULIAH
NAMA
NIM

: FIRM OPERATIONAL ANALYSIS


: AISHA MUTIARA
: P2CC14045

ABC-VED Analysis and Economic Order


Interval (EOI)-Multiple Items for Medicines
Inventory Control in Hospital
ABSTRAK:
Sekitar sepertiga dari anggaran belanja tahunan di rumah sakit dialokasikan untuk
persediaan, termasuk obat-obatan. Rumah sakit dapat menyimpan persediaan obat
dalam jumlah rendah untuk meminimalkan investasi persediaan tetapi di sisi lain,
dengan rendahnya jumlah tersebut terkadang menyebabkan pelayanan kepada
pasien tidak maksimal. Oleh karena itu, manajemen persediaan yang efektif
diperlukan agar tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan tercapai dan
biaya persediaan tetap dalam batas-batas yang wajar.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi kelompok obat-obatan yang
membutuhkan kontrol manajerial yang lebih besar, karena tidak semua persediaan
perlu dikontrol dengan perhatian yang sama, (2) dan untuk melakukan analisis
ekonomi pada biaya yang dikeluarkan untuk obat-obatan di Instalasi Farmasi,
Rumah Sakit Pemerintah, Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia.
Analisis data pengeluaran obat-obatan dilakukan pada instalasi farmasi dengan
meninjau daftar harga per tahun 2007. Penggabungan analisis ABC (berdasarkan
biaya Kriteria) dan analisis VED dirumuskan untuk melakukan priorititasi.
Sistem pemesanan interval tetap (Economic Order Interval atau EOI) dengan
model multi item diajukan untuk menentukan waktu dan jumlah barang yang
dipesan harus ditempatkan.

Hasil penilitian menunjukkan bahwa 40 jenis obat (11,90%) diklasifikasikan


dalam kategori 1 (AV + BV + CV + AE + AD) untuk dilakukan kontrol manajerial
dengan tinkat perhatian yang tinggi. Aplikasi EOI model muti item terbukti efektif
dalam mengontrol total pengeluaran tahunan.
PENDAHULUAN
Persediaan ialah setiap barang atau sumber daya yang digunakan dan tersedia di
dalam sebuah organisasi (Chase, dkk., 2004). Persediaan meliputi bahan baku,
komponen, barang dalam proses, persediaan, dan barang jadi. Persediaan
merupakan salah satu aset yang paling mahal dari berbagai organisasi dan
mewakili sekitar 50 % dari total modal yang diinvestasikan (Heizer, Render ,
2004). Adanya pengeluaran dalam jumlah yang besar menyebabkan manajemen
persediaan yang efektif sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja berbagai
jenis organisasi (termasuk manufaktur, grosir, eceran, rumah sakit, universitas,
pemerintah, dan lain-lain). Manajemen tersebut nantinya akan berdampak
terhadap fungsi finansial, produksi dan pemasaran dalam suatu organisasi. Fungsi
finansial akan dipengaruhi oleh jumlah likuiditas dan laba atas investasi,
sedangkan fungsi produksi melalui efisiensi dan biaya operasional, dan pemasaran
melalui penjualan serta hubungan pelanggan (Tersine, 1994) .
Berbagai jenis organisasi memiliki persyaratan persediaan yang berbeda.
Organisasi seperti rumah sakit, lembaga keuangan, perguruan tinggi, dan lembaga
pidana adalah jenis organisasi yang memberikan pelayanan kepada konsumen
dengan menggunakan barang dan jasa. Persediaan dalam organisasi tersebut dibeli
dalam bentuk siap jual dan dapat langsung digunakan tanpa suatu pemrosesan atau
konversi.
Sekitar sepertiga dari anggaran belanja tahunan di rumah sakit dialokasikan untuk
pembelian persediaan tersebut, termasuk obat-obatan (Kant S., dkk., 1997) .
Rumah sakit dapat menyimpan persediaan obat dalam jumlah rendah untuk
meminimalkan investasi persediaan tetapi di sisi lain, dengan rendahnya jumlah
tersebut terkadang menyebabkan pelayanan kepada pasien tidak maksimal dan

kurangnya jumlah obat-obatan untuk pasien dalam kondisi kritis dapat


menyebabkan masalah serius . Manajemen persediaan yang efektif oleh karena itu
diperlukan untuk menyeimbangkan investasi persediaan terhadap tuntutan untuk
obat-obatan. Tujuan keseluruhan dari manajemen persediaan adalah untuk
mencapai tingkat pelayanan kepada pelanggan yang memuaskan tercapai dan
biaya persediaan tetap dalam batas-batas yang wajar.
Rumah sakit pada kenyataannya akan menyediakan berbagai jenis obat-obatan
dan mengelola semua barang-barang persediaan yang akan memakan waktu dan
biaya. Pembuat keputusan dalam kondisi sumber daya yang terbatas harus mampu
memanfaatkan sisa sumber daya yang tersedia tersebut dengan cara yang terbaik,
karena tidak semua persediaan perlu dikontrol dengan perhatian yang sama.
Prioritas dengan kata lain harus dikembangkan untuk memungkinkan manajemen
dalam memutuskan jenis barang yang harus menerima upaya pengendalian paling
tinggi. Kant S., dkk., (1997) mengamati bahwa Analisis ABC untuk priorititasi
adalah teknik yang layak dan efisien untuk manajemen persediaan yang efektif di
rumah sakit. Hal ini memungkinkan pengontrolan yang efektif pada lebih dari dua
pertiga total pengeluaran dengan hanya mengendalikan seperempat dari barang.
Thawani, dkk., (2004) dan Gupta, dkk., (2007) mengemukakan bahwa dalam
manajemen persediaan rumah sakit, analisis ABC (berdasarkan kriteria biaya)
harus dikombinasikan dengan analisis VED (berdasarkan kekritisan barang) untuk
lebih memspesifikasi kelompok obat-obatan yang membutuhkan pemantauan
manajerial yang lebih besar. Berdasarkan analisis ABC-VED terdapat dua
keputusan mendasar yang harus dilakukan kemudian dan berhubungan dengan
waktu serta jumlah barang yang dipesan.
Analisis belanja obat-obatan tahunan dalam penelitian ini yaitu di Rumah Sakit "
X " , Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia, menggunakan analisis ABC VED yang
dirumuskan untuk melakukan prioritisasi. Sistem pemesanan interval tetap (EOI )
dengan model multi barang dilakukan dalam penelitian untuk menentukan waktu
dan jumlah pesanan obat yang harus dbarangpatkan.

Studi Pustaka
Persediaan adalah bagian penting dalam melakukan bisnis di berbagai sektor
ekonomi. Adanya persediaan dikarenakan barang yang tersedia dan permintaan
terkadang tidak bersinkronisasi dengan sempurna dan juga membutuhkan waktu
untuk melakukan materialrelated operations (Tersine, 1994). Persediaan
berperanmencapai tujuan dalam perusahaan, antara lain ( Stock andLambert ,
2001) :
1. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mencapai skala ekonomi .
2. Menyeimbangkan penawaran dan permintaan .
3. Spesialisasi di bidang manufaktur .
4. Perlindungan dari ketidakpastian permintaan dan siklus pesanan .
5. Penyangga apabila terjadi critical interfaces dalam rantai persediaan.
Persediaan dapat menjadi sumber konflik antara manajer yang berbeda dalam
organisasi karena manajer yang berbeda memiliki peran yang berbeda dalam
mempergunakan persediaan barang. Peran bertentangan manajer tidak boleh
mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan (Tersine, 1994). Manajemen
persediaan menjadi obejk yang harus diperhatikan untuk mengatasi konflik ini.
Tujuan dari manajemen persediaan adalah untuk menentukan jumlah material di
tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan biaya rendah (Tersine ,
1994) .Manajemen persediaan dengan melibatkan kriteria ekonomi dapat
digunakan untuk membantu mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah
di seputar persediaan. Pemahaman mengenai biaya yang relevan dalam suati
sistem inventori dibutuhkan dalam melakukan manajemen persediaan. Jenis-jenis
biaya persediaan antara lain:

Biaya barang: biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembelian atau


memproduksi suatu barang persediaan. Biaya pembelian umumnya
dinyakatakn sebagai biaya per unit dikalikan dengan kuantitas yang
diperoleh dari hasil pembelian atau yang diproduksi.

Biaya pemesanan/produksi. Biaya ini berhubungan dengan pemesanan


sejumlah barang tertentu atau memesan barang dalam jumlah yang banyak

sekaligus. Biaya ini tidak berhubungan dengan jumlah barang yang


dipesan, namun berhubungan dengan biaya yang diperlukan saat memesan
barang tersebut meliputi biaya transportasi, biaya penerimaan dan lainnya.
Biaya pemesana pada perusahaan yang memproduksi barangnya secara
mandiri juga akan berhubungan dengan penempatan suatu pesanan barang
dan juga called setup costs yang meliputi biaya paperwork dan biaya yang
dibutuhkan untuk menjalankan suatu peralatan yang akan digunakan untuk
proses produksi.

Biaya penyimpanan barang berhubungan dengan aktivitas penyimpanan


barang senagai barang inventori selama periode waktu tertentu. Biaya ini
umumnya dihitung sebagai persentase Rp/unit/tahun. Rentang biaya ini
ialah 15%-30% pertahun. Komponen dari biaya ini antara lain:
Biaya modal. Biaya yang timbul karena hilangnya kesempatan
penggunaan modal untuk pembelian aset-aset lain yang lebi
menguntungkan.
Pajak. Pajak ini dikenakan terhadap barang yang disimpan.
Asuransi biaya yang dikeluarkan untuk menanggung resiko ke
rusakan barang yang disimpan.
Biaya

kekurangan

atau

penyusutan

merupakan penyusut-

an kualitas dari produk yang disimpan.


Biaya Gudang. Barang yang disimpan memerlukan tempat
penyimpanan sehingga timbul biaya gudang. Bila gudang dan
peralatannya disewa maka biaya

undangnya merupakan biaya

sewa sedangkan bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka


biaya gudang merupakan biaya depresi.
Biaya Kadaluarsa (Absolence).

Barang yang disimpan dapat

mengalami penurunan nilai karena perubahan teknologi dan model


seperti barang barang elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya
diukur dengan besarnya penurunan nilai jual dari barang tersebut.
Biaya Administrasi dan Pemindahan. Biaya ini dikeluarkan untuk
mengadministrasi persediaan barang yang ada, baik pada saat
pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya dan

biaya untuk memindahkan barang dari, ke dan di dalam tempat


penyimpanan,

termasuk upah buruh dan peralatan handling.

Biaya simpan perunit dalam manajemen persediaan,diasumsikan


linier terhadap jumlah barang yang disimpan (misalnya :
Rp/unit/tahun).

Biaya kekurangan atau kehabisan barang persediaan


Biaya ini timbul jika persediaan tidak mencukupi permintaan produk atau
kebutuhan bahan. Biaya-biaya yang termasuk biaya kekurangan persediaan
adalah sebagai berikut:
Kehilangan penjualan; biaya yang timbul ketika perusahaan tidak
mampu memenuhi suatu pesanan bagi perusahaan.
Kehilangan langganan: ketika pelanggan yang

merasa

kebutuhannya tidak dapat dipenuhi perusahaan akan beralih


keperusahaan lain.
Biaya pemesanan khusus yaitu agar perusahaan mampu memenuhi
kebutuhan akan suatu barang secara tepat waktu. Pemesanan
khusus biasanya mengakibatkan pertambahan biaya pada biaya
ekspedisi dan harga barang yang dibeli.
Terganggunya proses produksi.
Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial, dan sebagainya.
Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari :
Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi.

Umumnya diukur dari

keutungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi permintaan


atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi ini
diistilahkan sebagai biaya penalti (p) atau hukuman kerugian bagi
perusahaan dengan satuan misalnya: Rp/unit.
Waktu Pemenuhan. Lamanya gudang kosong berarti lamanya
proses produksi terhenti atau lamanya perusahaan tidak mendapat
keuntungan, sehingga waktu menganggur tersebut dapat diartikan
sebagai uang yang hilang. Biaya waktu pemenuhan diukur
berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi gudang
dengan satuan misalnya : Rp/unit
Biaya Pengadaan Darurat. Biaya ini umumnya menimbulkan biaya
yang lebih besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya

dibandingkan pengadaan normal ini dapat dijadikan ukuran untuk


menentukan biaya kekurangan persediaan dengan satuan misalnya :
Rp/setiap kali kekurangan. Biaya ini disebut juga biaya kesempatan
(opportunity cost).
Organisasi harus memastikan segala tindakan yang dilakukan ialah untuk
mengoptimalkan tingkat persediaan dengan total biaya persediaan minimum
tahunan. Pelaksanaan tindakan tersebut harus secara konsisten. Tindakan tersebut
dapat diawalai dengan menganalisis inventori secara terinci. Hasil analisis dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan ukuran optimasi persediaan yang tepat
(Hoppe, 2006). Analisis ABC dapat digunakan sebagai salah satu instrumen
analisis persediaan. Analisis ABC ialah metode untuk membagi persediaan yang
ada menjadi tiga klasifikasi berdasarkan biaya per unit secara tahunan (Heizer dan
Render, 2004). Analisis ABC adalah aplikasi dari Prinsip Pareto yang dibuat untuk
menetapkan kebijakan persediaan yang memfokuskan sebagian besar sumber daya
pada persediaan barang yang sifatnya kritis dan sebagian lainnya pada barang
persediaan yang berifat tidak kritis. Tidak realistis untuk memantau barang-barang
murah dengan intensitas yang sama seperti barang yang sangat mahal. Menurut
Prinsip Pareto, persediaan telah dibagi ke dalam kategori berikut (Gupta, dkk.,
2007):

Barang Kelas A yaitu barang yang hanya mewakili sekitar 10% dari total
jumlah persediaan, tetapi mewakili sekitar 70% dari total penggunaan
biaya persediaan.

Barang Kelas B yaitu barang yang dapat mewakili sekitar 20% dari total
jumlah persediaan, dan mewakili sekitar 20% dari total penggunaan biaya
persediaan.

Barang Kelas C yaitu barang yang dapat mewakili sekitar 10% dari total
jumlah persediaan, dan mewakili sekitar 10% dari total penggunaan biaya
persediaan

Setiap kategori pada klasifikasi tersebut harus ditangani dengan cara yang
berbeda, yaitu dengan lebih banyak perhatian yang ditujukan untuk kategori A,
berkurang terus-menerus dari B dan ke C.

Analisis VED telah umum digunakan bersama-sama dengan analisis ABC dalam
manajemen persediaan di rumah sakit. Analisis VED didasarkan pada kekritisan
barang. Kategori "V" adalah untuk barang yang sangat penting, yaitu tanpa barang
tersebut rumah sakit tidak dapat berfungsi, kategori " E " yaitu untuk barangbarang yang penting, yaitu tanpa yang barang tersebut rumah sakit tetap dapat
berfungsi tetapi dapat mempengaruhi kualitas layanan, dan kategori " D " untuk
barang-barang yang diinginkan, sehingga ketidaktersedianya barang tersebut tidak
akan mengganggu fungsi rumah sakit (Gupta dkk., 2007) .
Dengan menggabungkan analisis ABC dan VED, obat-obatan di rumah sakit dapat
digabungkan ke dalam kelompok berikut (Gupta, dkk., 2007) :
Kelas I : AV + BV + CV + AE + AD
Kelas II : BE + CE + BD
Kelas III : CD
Kelas I adalah kelompok barang dengan prioritas tertinggi dan membutuhkan
perhatian terbesar. Pengelolaan obat-obatan Kelas I oleh para pekerja yang berada
di manajemen puncak perusahaan akan membantu dalam memeriksa anggaran
tahunan dan ketersediaan barang yang ada. Perhatian para pekerja yang berada di
manajemen tingkat menengah ditujukan untuk kelas II, dan perhatian para pekerja
yang berada di manajemen tingkat bawah dikhususkan untuk kelas III.
Berikut dua sistem inventori berdasarkan jumlah dan waktu pemesanan barang
menurut Tersine (1994):

Fixed Order Quantity Systems (EOQ). Jumlah pesanan yang dapat


meminimasi total biaya penyimpanan dikenal dengan EOQ. Metode ini
dapat digunakan untuk mengembangkan metode pengendalian persediaan
lainnya. Pengembangan tersebut dilakukan berdasarkan adanya biaya
variabel dan biaya tetap dari proses produksi atau pemesanan barang.
Dalam

model

EOQ

digunakan

asumsi-asumsi

menyederhanakan sistem persediaan yang ada:

berikut

untuk

Permintaan (kebutuhan) diketahui dengan pasti dan konstan


sepanjang waktu.
Pemesanan kembali dilakukan ketika persediaan mencapai titik nol,
dan akan langsung diterima seketika, sesuai ukuran pemesanan yang
dilakukan, sehingga tidak akan terjadi kekurangan persediaan.
Dalam sistem EOQ, perusahaan akan selalu memesan dengan jumlah unit
dan interval waktu pemesanan yang sama. Sistem ini juga disebut sebagai
sistem- Q , karena jumlah barang yang dipesan (Q) adalah tetap untuk
setiap periode pemesanan. Tingkat persediaan barang ditinjau dengan
transaksi, dan setiap kali posisi persediaan mencapai titik yang telah
ditentukan akan dilakukan pemesanan dengan jumlah unit yang tetap.
Parameter dari sistem ini ialah titik pemesanan kembali (B) dan jumlah
barang yang dipesan.

Fixed Order Interval Systems (EOI) atau sistem persediaan secara periodik
lebih berdasar kepada periode daripada posisi stok persediaan. Sistem
persediaan yang berbasiskan waktu melakukan pesanan berdasarkan suatu
jangka waktu tertentu. Jumlah pesanan bergantung kepada pemakaian
demand selama periode waktu tersebut. Sistem ini juga disebut sebagai
sistem-T, karena interval waktu pemesanan yang konstan. Tingkat
persediaan maksimum untuk setiap barang ditingkatkan, berdasarkan
pemakaian selama lead time dan selang waktu pemesanan. Setelah jangka
waktu tertentu telah berlalu, posisi barang persediaan ditentukan. Barang
yang telah dipesan dbarangpatkan untuk mengisi stok dengan ukuran yang
cukup untuk membawa tingkat persediaan barang tersebut ke tingkat
persediaan maksimum. Oleh karena itu, parameter dari sistem ini adalah
periode tetap (T) dan tingkat persediaan maksimum (E) .
Berikut dua model dari EOI:
EOI dengan satu barang
EOI dengan multi barang
Lebih dari satu jumlah obat di rumah sakit yang harus dbarangpatkan.
Pemasok obat umunya menyediakan banyak barang , dan oleh karena
itu pemesanan yang dilakukan secara bersamaan akan lebih ekonomis.

Hal tersebut menjadi salah satu yang melatarbelakangi pemakaian


sistem EOI dalam penelitian ini.
EOI dapat diperoleh dengan meminimalkan total biaya tahunan dengan
formulasi sebagai berikut ( Tersine , 1994) :

Total biaya tahunan= biaya barang + biaya pemesanan


cost + biaya penyimpanan
n

TC(T)

Pi Ri

i=1

C +nc
T

TF
T2

Pi Ri
i=1

(1)
Minimal interval biaya pemesanan didapatkan melalui turunan pertama
dari total biaya tahunan dengan interval pemesanan (T) dan produksi ialah
sama dengan 0. Rumusan EOI (Rumus 2) dalam setahun berdasarkan hal
tersebut ialah sebagai berikut:
*

T =

2(C+ nc)
n

F Pi Ri
i=1

Persediaan maksimum ketika interval waktu pemesanan dan lead time


disimbolkan dalam hari dan terdapat N hari operasi dalam setiap tahun
dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
RiT
N

E=

Ri L
N

Ri (T + L)
N

(3)

Penggatian T dengan T*kemudian dilakukan sehingga membuat rumusan


total biaya tehunan menjadi:
n

TC (T*) = (1 + FT*)

Pi Ri

(4)

i=1

Metode Penilitian:
Lokasi Penelitian ialah RS X, Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia. Analisis data
dilakukan pada daftar biaya yang dikeluarkan oleh instalasi farmasi pada tahun
2007. Sebagian besar pasien di rumah sakit ini termasuk kalangan masyarakat
kelas ekonomi menengah, sebagian besar obat-obatan yang tersedia termasuk obat
generik. Jumlah total obat adalah 336 buah.

Terdapat sejumlah prosedur untuk mengelompokkan material material inventori


kedalam kelas A, B dan C, antara lain :

Tentukan penggunaan volume per periode waktu (pertahun) dari material-

material yang ingin diklasifikasikan.


Gandakan (kalikan) volume penggunaan per periode waktu (pertahun) dari
setiap material dengan biaya per unitnya guna memperoleh nilai total

penggunaan biaya per periode waktu (pertahun) untuk setiap material itu.
Jumlahkan nilai total penggunaan biaya dari semua material inventory itu

untuk memperoleh nilai total penggunaan biaya agregat (keseluruhan).


Bagi nilai total penggunaan biaya dari setiap biaya inventori itu dengan
nilai total penggunaan biaya agregat, untuk menentukan persentase nilai

total penggunaan biaya dari setiap material inventory itu.


Daftarkan materialmaterial itu dalam rank persentase nilai total

penggunaan biaya dengan urutan menurun dari terbesar sampai terkecil.


Klasifikasikan materialmaterial inventori itu ke dalam kelas A, B dan C
dengan kriteria 20% dari jenis material diklasifikasikan ke dalam kelas A.
30% dari jenis material diklasifikasikan ke dalam kelas B, dan 50% jenis
material diklasifikasikan ke dalam kelas C.

Analisis VED kemudian dilakukan kepada semua obat-obatan


untuk

mengklasifikasikan

persediaan

obat-obatan

menjadi

kategori sangat penting (V), penting (E) dan diinginkan (D). Obatobatan yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup
pasien

dan

harus

tersedia

di

rumah

sakit

setiap

kali

dikelompokkan dalam kategori sangat penting (V). Obat dengan


nilai kebutuhan kritis yang rendah yaitu yang mungkin tersedia di
rumah sakit dikelompokkan dalam kategori penting (E). Obatobatan yang tersisa dengan nilai persediaan kritis yang terendah
yaitu

tidak

adanya

obat

tersebut

tidak

akan

merugikan

kesehatan pasien, termasuk dalam kategori diinginkan (D)


(Thawani, et al., 2004). Seluruh obat-obatan generik yang
terdaftar didistribusikan ke panel dokter, yang terdiri dari
kedokteran umum, kedokteran gigi, kebidanan dan ginekologi,
ahli bedah, internis, dokter anak, oto-rhino-laryngologist, dokter

mata, dokter kulit, dan ahli saraf. Mereka diminta untuk


mengklasifikasikan
penting,

dan

obat-obatan

diinginkan.

tersebut

Penentuan

menjadi

kategori

penting,

obat-obatan

berdasarkan adanya lebih dari 50 anggota% dari panel yang


sependapat.
Sebuah matriks dirumuskan dengan menggabungkan analisis ABC dan VED
digunakan untuk melakukan prioritisasi. Kategori I adalah kelompok dengan
prioritas tinggi, membutuhkan lebih besar perhatian, terdiri dari kategori obatobatan AV, AE, AD, BV, dan BE . Kategori II yaitu dengan prioritas manajemen
yang lebih rendah, terdiri dari kategori obat-obatan BD, CV, CE dan CD. Kategori
III adalah kelompok prioritas terendah, terdiri dari kategori obat-obatan CD . EOI
dengan multi item digunakan untuk menilai persediaan obat-obatan pada Instalasi
Farmasi, Rumah Sakit " X ".
Hasil dan analisis:
Tabel 1
Klasifikasi Obat-obatan berdasarkan analisis ABC
Kelas
A
B
C
Total

Nilai Total
Tahunan (Rupiah)
1,053,716,897
285,952,898
147,651,592
1,487,321,387

Persentasi
nilai tahunan
70,84%
19,23%
9,93%
100%

Jumlah
barang
26
37
273
336

% Jumlah
barang
7,74%
11,01%
81,25%
100%

Berdasarkan tabel di atas, 26 barang (7.74%) menghabiskan 70.84% dari nilai


tahunan dan diklasifikasikan ke dalam kelas A, 37 barang (11.01%) menghabiskan
19.23% dari nilai tahunan dan diklasifikasikan ke dalam kelas B, dan 273 barang
(81.25%) dari nilai tahunan hanya menghabiskan 9.93%, dan diklasifikasikan ke
dalam kelas C.
Kebijakan yang mungkin dibuat berdasarkan pada analisis ABC ialah (Haizer,
2004) :

Sumber pembelian yang dihabiskan untuk pengembangan jaringan


pemasok harus jauh lebih tinggi untuk barang pada kelas A dibandingkan
untuk kelas C.

Barang pada kelas A harus memiliki kontrol persediaan fisik yang ketat ,
dimungkinkan untuk menempatkannya dalam area yang lebih aman, dan
akurasi catatan persediaan untuk Kelas A harus lebih sering diverifikasi.

Peramalan barang pada kelas A harus lebih akurat daripada peramalan


pada kelas B dan kelas C.

Jika hanya mempertimbangkan analisis ABC saja dalam pengendalian persediaan


obat, maka hanya akan efektif dalam mengendalikan 26 barang dalam kelas A,
namun akan mengabaikan sifat penting dari barang dalam kelas B dan kelas C
(310 barang). Oleh karena itu, analisis kebutuhan persediaan didasarkan pada
tingkat kepentingannya atau analisis VED dilakukan. Analisis ini telah umum
digunakan dalam menganalisis manajemen persediaan obat di rumah sakit.
Analisis VED dilakukan untuk semua obat-obatan dan mengklasifikasikan obatobatan tersebut ke dalam kategori sangat penting (V), penting (E), dan diinginkan
(D). Klasifikasi obat-obatan ke dalam Kategori VED merupakan hasil justifikasi
yang dilakukan oleh sekelompok dokter di RS tersebut. Klasifikasi obat-obatan
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Klasifikasi obat-obatan berdasarkan analisis VED
Kateg
ori
V
E
D
Total

Jumla
h
baran
g
22
113
201
336

%
jumlah
baran
g
6,60
33,6
59,8
100

Concurrence of Doctors on Medicines


Classification
100%

90%

80%

70%

60%

50%

3
3

4
4

4
17
21

2
14
26
42

4
40
62
106

16
55
89
160

Berdasarkan tabel di atas 22 barang (6,6%) temasuk dalam kategori sangat


penting (V), 113 barang (33,6%) temasuk dalam kategori penting dan 201 barang
(59,8%) temasuk dalam kategori diinginkan. Apabila hanya mempertimbangkan
analisis VED saja, kelompok yang diambil dari barang pada kategori sangat
penting atau penting saja. Pada kategori diinginkan juga ditemukan berisi barang
yang termasuk dalam kelas A, maka analisis dengan VED saja tidak mungkin
digunakan. Dengan demikian, model penggabungan analisis ABC-VED
disarankan untuk dipakai dalam proses prioritisasi. Hasil dari prioritisasi tersebut
ialah sebagai berikut:

Tabel 3. Matriks ABC-VED


Kelas
A
B
C
Total

V
8
3
11
22

E
5
15
93
113

D
13
19
169
201

Total
26
37
273
336

Berdasarkan matriks ABC - VED pada tabel 3, obat-obatan dapat dikategorisasi


ke dalam kelompok berikut :
Kelas I : AV + BV + CV + AE + AD = 40 barang ( 11,90 % )
Kelas II : BE + CE + BD = 127 barang ( 37,80 % )
Kelas III : CD = 169 barang ( 50,30 % )
Pengelolaan kelas I (40 barang) akan membantu dalam keeping a check terhadap
anggaran tahunan dan ketersediaan. Dalam hal ini, pemasok menyediakan
berbagai barang obat, dan lebih ekonomis untuk memesannya secara bersamaan.
Ketika semua barang dari sumber yang sama dipesan bersamaan, jumlah setiap
barang untuk tiap kali pemesanan akan tergantung pada interval waktu (T) antara
waktu pemesanan untuk seluruh kelompok. Dengan menggunakan rumus 1,
diketahui biaya pemesanan ialah Rp. 58.344,- dan biaya penyimpanannya ialah
5% per tahun, didapatkan T = 0,05 tahun, atau 0,6 bulan atau 18 hari. Setiap 18
hari rumah sakit harus melakukan pemesanan 40 barang lagi. Setelah interval
waktu yang optimal (T) didapat, maka

lead timenya ialah 3 hari, tingkat

persediaan yang diinginkan maksimum untuk setiap barang (Ei) yang ditampilkan
pada tabel 4 diperoleh dengan menggunakan rumus 3.
Tabel 4. Persediaan maksimal dari masing-masing obat-obatan.

Jumlah pemesanan masing-masing barang terletak diantara jumlah atau tingkat


persediaan maksimum setiap barang dan jumlah persediaan barang yang tersisa
saat melakukan pemesanan. (Tersine, 1994).
Total biaya tahunan minimal minimum ialah Rp 1.088.938.964, biaya tersebut
didapat berdasarkan sistem EOI Model muti-item, sedangkan total biaya tahunan
yang telah ditentukan dengan menggunakan metode yang digunakan rumah sakit
saat ini ialah Rp 1.140.534.575. Terdapat penghematan total biaya tahunan sekitar
4,52%.
KESIMPULAN

Analisis ABC - VED membantu untuk mengklasifikasi dan memprioritaskan obatobatan yang memerlukan kontrol manajerial yang lebih baik pada pengeluaran
tahunan dan ketersediaannya di rumah sakit. Empat puluh jenis barang ( 11,90 % )
dikelompokkan ke dalam kelas I (AV + BV + CV + AE + AD) yang memerlukan
kontrol manajerial yang tinggi . Penerapan EOI model multi-item terhadap 40
item kelas I telah menghasilkan total penghematan biaya tahunan 4,52 %
dibandingkan dengan metode yang dipergunakan rumah sakit saat ini .

Anda mungkin juga menyukai