Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANG

ANALISIS KANDUNGAN PADA RESIDU SETELAH LEDAKAN DARI


SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK DALAM PENGUNGKAPAN
TINDAK KRIMINAL
LABORATORIUM FORENSIK CABANG SURABAYA
Oleh :
Khurnia Krisna P.P.

125090207111013

Nofiyanti

125090207111026

Puspita Diah P.

125090207111029

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN
Nama Kegiatan
Tempat

: Praktek Kerja Lapangan

: Laboratorium Forensik Cabang Surabaya

Alamat

: Jalan Ahmad Yani No.116 Surabaya

Pelaksanaan

: 22 Januari 2015 11 Februari 2015

Peserta

: 1. Khurnia Krisna P. P

(125090207111013)

2. Nofiyanti

(125090207111026)

3. Puspita Diah P.

(125090207111029)

Laporan ini diperiksa dan telah disetujui oleh :


Mengetahui,
Pembimbing Laboratorium I

Pembimbing Laboratorium II

Ir. Sudibyo

Drs. Hari Susanto

AKBP NRP. 601 00878

AKBP NRP. 631 10736


Menyetujui,

Ketua Jurusan Kimia


Universitas Brawijaya

Dr. Edi Priyo Utomo, MS.


NIP 195712271986031003

Dosen Pembimbing Kerja Praktik

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufik dan
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Lapang yang
berjudul Analisis Kandungan pada Residu Setelah Ledakan dari Senjata Api dan
Bahan Peledak dalam Pengungkapan Tindak Kriminal. Sholawat serta salam kami
hanturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke jalan yang
benar yakni Islam.
Praktek Kerja Lapang merupakan mata kuliah pilihan bagi mahasiswa Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya yang bertujuan agar
mahasiswa dapat menerapkan teori yang diperoleh dengan contoh kasus yang ada.
Dalam Praktek Kerja Lapang, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi, serta bantuan
secara moral dan spiritual.
2. Dosen Pembimbing
3. Dr. Edi Priyo Utomo, MS. selaku ketua jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas
Brawijaya.
4. Bapak Drs. Hari Susanto selaku pembimbing kerja laboratorium atas ilmu yang diberikan
selama PKL.
5. Bapak Komisaris Besar Polisi . selaku Kepala Laboratorium Forensik POLRI Cabang
Surabaya.
6. Bapak Ajun Komisaris Besar Polisi Ir. Sudibyo selaku Kepala Sub Bidang Laaboratorium
Balistik Metalurgi POLRI Cabang Surabaya.
7. Seluruh Karyawan Laboratorium Forensik POLRI Cabang Surabaya yang telah
membantu dalam praktek kerja.
8. Teman-teman Kerja Praktek selama di Laboratorium Forensik POLRI Cabang Surabaya.
9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyusunun laporan
ini, yang tidak penulis sebutkan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif agar naskah ini menjadi
lebih baik dan lebih berguna di masa yang akan dating.
Malang, Februari 2015
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
1.2.
Rumusan Masalah
1.3.
Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sehubungan dengan tingginya kasus kriminalitas saat ini menimbulkan tingginya
permintaan tindakan visum. Dalam setiap tindakan visum, perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk memperjelas dan membuktikan kebenaran suatu kasus. Karena sebenarnya,
pada setiap kejadian kejahatan hampir selalu ada barang bukti yang tertinggal atau saksi
diam. Bila saksi diam tersebut diteliti dengan memanfaatkan berbagai macam ilmu forensik
(forensic sciences) maka tidak mustahil kejahatan tersebut akan dapat terungkap dan bahkan
korban yang sudah membusuk atau hangus serta pelakunya akan dapat dikenali.
Di dalam menghadapi kasus kriminal, pemakaian senjata api dan bahan peledak
sebagai alat yang dimaksudkan untuk melukai atau mematikan seseorang, maka dokter
sebagai orang yang melakukan pemeriksaan, khususnya atas diri korban, perlu secara hatihati, cermat dan teliti dalam menafsirkan hasil yang didapatnya (Idries, 1997).
Kasus bahan peledak yang masuk dalam penanganan POLRI atau Penegak Hukum
berjenis bahan peledak rendah (low exsplosive) dan bahan peledak kuat (high exsplosive).
Perbedaan jenis bahan peledak tersebut didasarkan pada susunan substituen kimia dari bahan
peledak itu sendiri. Pada tahun 2013 hingga 2015 kasus yang paling banyak terjadi yaitu pada
jenis peledakan low explosive. Contohmya adalah petasan atau mercon. Pembuat dan penjual
petasan merupakan kegiatan yang bersifat illegal. Kandungan pada bahan peledak low
exsplosive antara lain Kalium klorat (KClO3), Kalium nitrat (KNO3), Sulfur (S), Alumunium
(Al), Karbon (C), dan lain sebagainya. Contoh sederhana pada penggunaan KClO 3 adalah
sebagai penyulut korek api gesek. High explosive dapat digunakan untuk bom ikan yang
terdapat kandungan Ammonium Nitric Fuel explosive dan Pb Azida. TNT selain untuk
kalangan militer dapat juga untuk industry pertambangan dan pengeboran. Bahan yang
digunakan pada pertambangan atau pengeboran selain TNT antara lain Pentaelythritol
Tetranitrat (PETN), dinamit, 1,3,5-Trinitro-1,3,5-triazacyclohexane (RDX), 1,3,5,7-tetranitro1,3,5,7- tetrazacyclooctane (HMX), Nitrocellulosa (NC), ANFO, Ammonium Nitric
Aluminium. Bahan peledak tersebut dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu bentuk padat
(Kristal), cair (BBM), dan gas (LPG, LNG, asetilen, dan gas hidrogen). Bahan peledak
berbentuk padat sangat sensitive terhadap tekanan, gesekan, benturan, dan panas. Adanya
ledakan dapat terjadi melalui sumbu bakar (petasan), tumbukan, dan aliran listrik/ elektrik.
Di dalam dunia kriminal, senjata api secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu
senjata api laras panjang dan senjata api laras pendek. Senjata api digunakan dalam tindak
criminal menurut pembuatannya dibedakan menjadi senjata api rakitan dan senjata api
standart pabrik. Contoh senjata api laras panjang adalah shotgun, senjata api jenis ini
memiliki perbedaan pada pelurunya. Shotgun memiliki peluru jenis pelet, dimana peluru ini
berbentuk bulat yang berisi serpihan besi didalamnya. Senjata api laras pendek berisi peluru
yang mengandung black powder dengan komponen kalium nitrat (KNO 3), anion NO3-, karbon
( C ), dan aluminium (Al).
Laboratorium Forensik (Labfor) merupakan lembaga yang berwenang sebagai
penyelidik yang berhak mencari keterangan dan barang bukti atas kasus kriminal yang
terjadi. Dalam penelitian kerja praktek ini akan dilakukan analisis kandungan pada residu

setelah ledakan dari senjata api dan bahan peledak dalam pengungkapan tindak kriminal di
Labfor Cabang Surabaya bidang balistik. Penelitian ini selain digunakan untuk menambah
ilmu dan wawasan penggunaan alat-alat dan metode deteksi kimia pada sampel anorganik
yaitu terutama penerapan bidang ilmu kimia analisis dan kimia anorganik. Selain itu
penelitian ini dilakukan untuk pemenuhan mata kuliah praktek kerja lapang di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.
1.2 Tujuan
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini bertujuan untuk :
a. Mempelajari cara deteksi kandungan logam yang terkandung dalam berbagai sampel.
b. Mengetahui dan mepelajari adanya perbedaan penanganan sampel yang berbeda pada
deteksi tersebut.
c. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penangan sampel dan deteksi
logam pada berbagai sampel.
d. Mengetahui hasil uji kandungan logam pada selongsong peluru dalam menggunakan
senjata api dan bahan peledak di Laboratorium Forensik Cabang Surabaya.
1.3 Kegunaan
1.3.1 Bagi Mahasiswa
a. Mengaplikasikan ilmu kimia yang diperoleh diperkuliahan untuk melakukan
analisis kandungan dan distribusi logam pada senjata api dan bahan peledak
dalam pengungkapan tindak kriminal di Laboratorium Forensik Cabang
Surabaya diharapkan dapat memperoleh pengetahuan mengenai deteksi
logam berdasarkan sampel selongsong peluru.
b. Memperluas pengetahuan, pengalaman dan wawasan sebelum terjun ke dunia
kerja yang sangat kompetitif.
c. Memperdalam dan meningkatkkan kualitas, keterampilan dan kreativitas.
d. Melatih diri agar tanggap dan peka dalam menghadapi situasi dan kondisi
lingkungan kerja.
e. Mengukur kemampuan mahasiswa dalam bersosialisasi dan bekerja pada
lembaga (institusi pemerintah atau swasta) diluar kampus.
f. Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman sebagai generasi terdidik
untuk terjun dalam masyarakat .
1.3.2 Bagi Perguruan Tinggi khususnya Jurusan Kimia
a. Mencetak tenaga kerja yang terampil dan jujur dalam menjalankan tugas.
b. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi sampai sejauh mana kurikulum
yang telah diterapkan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja yang terampil di
bidangnya.
c. Sebagai sarana pengenalan instansi pendidikan perguruan tinggi khususnya
Jurusan Kimia, pada institusi/lembaga pemerintah atau swasta, perusahaan
yang membutuhkan lulusan, atau tenaga kerja yang dihasilkan oleh perguruan
tinggi.
1.3.3 Bagi institusi/lembaga tujuan PKL

a.
b.

Memanfaatkan sumber daya manusia yang potensial.


Sebagai sarana untuk menjembatani hubungan kerjasama antara
institusi/lembaga tujuan PKL dengan perguruan tinggi di masa yang akan
datang, khususnya mengenai rekruitmen tenaga kerja.
c.
Sebagai sarana untuk mengetahui kualitas pendidikan yang ada di
perguruan tinggi.
d.
Membantu menyelesaikan pekerjaan yang terdapat pada institusi
tempat mahasiswa melaksanakan Praktek Kerja Lapangan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ilmu Forensik
2.1.1 Definisi Ilmu Forensik
2.1.2 Ruang Lingkup Ilmu Forensik
2.1.3 Peran Ilmu Forensik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
2.2 Laboratorium Forensik MABES POLRI
2.2.1 Deskripsi Umum Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya
Laboratorium forensik merupakan salah satu laboratorium penelitian tindak pidana
yang ada di Indonesia. Manfaat laboratorium forensik secara umum adalah untuk
menganalisis berbagai macam barang bukti untuk membantu menyidik berbagai kasus
kriminal. Adapun didirikannya laboratorium forensik memuat beberapa tujuan, yaitu :
1. pembuktian proses tindak pidana dengan dasar ilmu forensik;
2. pembuktian secara ilmiah setiap kasus melalui pemeriksaan tingkat laboratorium yang
dilakukan oleh POLRI;
3. meningkatkan kinerja dan keahlian para ahli untuk menggali dan menerapkan ilmu
forensik terhadap berbagai kasus kriminalitas secara empiris untuk membantu
kepentingan menegakkan hukum.
Laboratorium forensik (Labfor) pertama yang ada di Indonesia ada di Jakarta yang
berdiri pada tanggal 15 Januari 1954 dengan dikeluarkan surat Kepala Kepolisian Negara
Nomor : 1/VIII/1954, dibentuklah Seksi Interpol dan Seksi Laboratorium, di bawah Dinas
Reserse Kriminil. Akan tetapi pada tahun 1960, dengan peraturan Menteri Muda Kepolisian
Nomor : 1/PRT/MMK/1960 tanggal 20 Januari 1960, Seksi Laboratorium dipisahkan dari
Dinas Reserse Kriminil Markas Besar Polisi Negara dan ditempatkan langsung di bawah
Komando dan Pengawasan Menteri Muda Kepolisian dengan nama Laboratorium
Departemen Kepolisian.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1963, dengan Instruksi Menteri/Kepala
Staf Angkatan Kepolisian No. Pol : 4/Instruksi/1963 tanggal 25 Januari 1963, dilakukan
penggabungan Laboratorium Departemen Kepolisian dengan Direktorat identifikasi menjadi
Lembaga Laboratorium dan Identifikasi Departemen Kepolisian. Perubahan kembali terjadi
pada tahun 1964, dilakukan pemisahan kembali Direktorat Identifikasi dengan Laboratorium
Kriminal dengan Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian No. Pol :
11/SK/MK/1964 tanggal 14 Pebruari 1964.

Pada tahun 1970, Laboratorium Kriminal yang berada langsung dibawah Kepala
Kepolisian Negara dikembalikan di bawah Komando Utama Pusat Reserse dengan nama
Laboratorium

Kriminil

Koserse

dengan

Surat

Keputusan

Menteri

Pertahanan

Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor: Skep/A/385/VIII/1970. Pada tahun 1992


terjadi perubahan nama dari Laboratorium Kriminal menjadi Laboratorium Forensik
berdasarkan Surat Keputusan Pangab No. Kep/11/X/1992, tanggal 5 Oktober 1992.
Dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 terjadi perubahan nama
dari Korserse menjadi Bareskrim maka sampai sekarang Puslabfor berkedudukan di bawah
Bareskrim Polri atau menjadi Puslabfor Bareskrim Polri, dan sampai saat ini Puslabfor telah
mempunyai 6 Laboratorium Forensik Cabang (Labforcab) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: SKEP/1176/X/1999, yang tersebar dalam
beberapa wilayah hukum sebagai berikut:
1. Labfor Cabang Medan meliputi Polda NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Riau
2. Labfor Cabang Palembang meliputi Polda Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, dan
Bengkulu.
3. Labfor Pusat meliputi Polda Metro Jaya, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat.
4. Labfor Cabang Semarang meliputi Polda Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta.
5. Labfor Cabang Surabaya meliputi Polda Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur.
6. Labfor Cabang Denpasar meliputi Polda Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur.
7. Labfor Cabang Ujung Pandang meliputi Polda Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.

Gambar 1. Wilayah Pelayanan Puslabfor di Indonesia


http://www.labfor.polri.go.id

2.2.2 Sejarah Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya


Sejarah berdirinya laboratorium forensik polri cabang Surabaya berasal dari order
kepala kepolisian negara NO. : 1/ VII / 1954 tanggal 15 Januari 1954, tentang pembentukan
seksi laboratorium pada dinas reserse kriminal / DKN. Laboratorium forensik polri cabang
Surabaya resmi berdiri dengan skep kepala kepolisian negara NO. : 26 / LAB / 1957 tanggal
16 April 1957, dengan initial LABORATORIUM KRIMINIL CABANG SURABAYA.
Tahun 1998 initial LABORATORIUM KRIMINIL CABANG SURABAYA diganti
menjadi LABORATORIUM FORENSIK POLRI CABANG SURABAYA.
Tugas pokok dan fungsi laboratorium forensik polri cabang Surabaya diantaranya,
a.

Melaksanakan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP & Laboratoris Kriminalistik Barang


Bukti

b.

Melaksaan pembinaan dan pengembangan sumber daya Labfor meliputi SDM, Sismet,
Matfasjas dan instrument dalam rangka menjamin mutu pemeriksaan

c.

Menyelenggarakan pembinaan teknis fungsi labfor kepada polri dan pelayanan umum
fungsi labfor kepada masyarakat.

2.2.3 Struktur Organisasi Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya


KALABFOR CAB
WAKALABFOR CAB

KASUBBAGRENMIN

SUBBID
DOKUPALFOR

SUBBID
BALMETFOR

PAUR KEU

SUBBID
FISKOMFOR

SUBBID
NARKOBAFOR

2.2.4 Visi dam Misi Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya


A. Visi :

SUBBID
KIMBIOFOR

Sanyata Karya Dharma


Labfor Cabang Surabaya sebagai fungsi forensik yang mendukung pelaksanaan
penegakkan hukum dengan berbasis sains dan teknologi melalui sinergi komunitas
forensik untuk memberikan kepastian hukum serta mewujudkan aparat penegak
hukum dan masyarakat yang berwawasan forensik.
B. Misi
Berdasarkan pernyataan visi yang dicita-citakan tersebut diatas, selanjutnya diuraikan
dalam misi Labfor Cabang Surabaya yang mencerminkan koridor tugas sebagai
berikut:
1) Melaksanakan pembangunan kekuatan Labfor Cabang Surabaya baik sistem dan
metode personel, materiil, fasilitas, jasa dan kesejahteraan.
2) Memelihara dan meningkatkan profesionalisme personel, meningkatkan upaya
pemeliharaan dan operasional peralatan, serta mengupayakan tercapainya sistem
dan metode pemeriksaan ilmiah yang standart sehingga mampu memberikan hasil
pemerikasaan yang valid (akurat, teliti, dan reproducible).
3) Melaksanakan penggunaan kekuatan Labfor Cabang Surabaya dalam upaya
pembuktian secara ilmiah sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat.
4) Melaksanakan pemeriksaan laboratoris barang bukti dan pemeriksaan teknis di
TKP dalam memberikan dukungan penyelidikan dan penyidikan kepada jajaran
polri serta instansi lain yang terkait.
5) Menyelenggarakan pembinaan teknis fungsi laboratorium forensik kepada aparat
penegak hukum melalui sosialisasi dan bimbingan teknis berdasarkan petunjuk
petunjuk bidang laboratorium forensik.
6) Menyelenggarakan sosialisasi fungsi forensik kepada instantsi di luar Polri
maupun masyarakat, sehingga terwujud masyarakat yang berwawasan forensik.
7) Menyelenggarakan kerjasama dengan instansi terkait berupa MoU dalam rangka
pemeriksaan barang bukti dan Olah TKP guna mencapai Grand Strategi Polri
pada tahap Partnership Building di tahun 2012.
2.2.5 Bidang-bidang Pemerikasaan pada Labfor Cabang Surabaya
a. Sub Bidang Narkoba Forensik (Subbid Narkobafor)
Subbid Narkobiofor menangani pemeriksaan narkotika, psikotropika, dan obat
berbahaya lainnya.

b. Sub Bidang Kimia Biologi Forensik (Subbid Kimbiofor)


Menangani pemeriksaan berupa bahan kimia (pemalsuan hasil/produk industri);
biologi atau serelogi (darah, sperma, urin, air liur); DNA dan toksikologi
(keracunan / peracunan, pencemaran limbah industri)
c. Sub Bidang Dokumen Palsu Forensik (Subbid Dokupalfor)
Menangani pemeriksaan teknis TKP dan analisis laboratorium barang bukti berupa
dokumen palsu, produk cetak, tanda tangan dan tulisan tangan, sampel, ijasah, kartu
kredit, keping CD, dan fotografi untuk membantu proses penyelidikan tindak pidana.
d. Sub Bidang Balistik Metalurgi Forensik (Subbid Balmetfor)
Menangani pemeriksaan balistik metalurgi forensik berupa senjata api, peluru,
logam palsu, nomor mesin, nomor rangka kendaraan bermotor dan nomor mesin
kendaraan, serta bahan peledak.
e. Sub Bidang Fisika Komputer Forensik (Subbid Fiskomfor)
Menangani pemeriksaan berupa tool mark, kendaraan dan pembakaran, laka lantas
dan laka kerja, kebohongan (lie detector), serta komputer forensik.
Pemeriksaan terhadap Barang Bukti harus didahului adanya pengajuan
permintaan

Barang

Bukti. Adapun

yang

berwenang

mengajukan

permintaan

pemeriksaan barang bukti yaitu:


1.
2.
3.
4.
5.

Penyidik POLRI
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Polisi Militer (TNI)
Kejaksaan / Jaksa
Pengadilan Negeri / Hakim

Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan barang bukti adalah:
a. Surat permintaan yang jelas
b. Lampiran surat-surat formal / yuridis / otentik:
a) Laporan Kejadian/ Laporan Polisi / Berita Acara Pemeriksaan TKP
b)
c)
d)
e)

/Laporan Kemajuan
Berita Acara Penyitaan Barang Bukti
Berita Acara Penyisihan Barang Bukti
Berita Acara Pembungkusan dan Penyegelan.
Bila hasil otopsi, sertakan visum et repertum, contoh bahan pengawet

dalam kasus yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia


f) Berita acara / surat mengenai keaslian bahan pembanding dalam kasus
pemalsuan hasil industri, pemalsuan dokumen
g) Surat-surat lain yang dianggap perlu
h) Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis barang bukti tetapi ketentuan
tersebut dikhususkan berdasarkan jenis barang buktinya.
2.3 Bahan Peledak

2.3.1 Pengertian Bahan Peledak


Bahan peledak dapat di defenisikan sebagai suatu bahan atau campuran bahan yang
dengan spontan dapat berubah secara kimia tanpa suplay oksigen dari luar dan melepaskan
energi dalam jumlah besar yang ditandai dengan pengembangan gas panas, atau dengan kata
lain adalah suatu bahan kimia berupa senyawa tunggal atau campuran yang berbentuk padat
atau cair yang apabila dikenai oleh suatu aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal
akan berubah menjadi bahan-bahan yang lebih stabil yang sebagian atau seluruhnya dalam
berbentuk gas dan disertai dengan tekanan dan panas yang sangat tinggi.
Secara legal bahan peledak banyak digunakan dalam dunia industri yang digunakan
dalam pertambangan seperti pada pengeboran minyak, mmenghancurkan batu-batuan
dipegunungan dan kebutuhan pertambangan lainnya, demikian juga banyak digunakan untuk
kepentingan militer misalnya sebagai demolisi, roket, propellant dan kebutuhan militer yang
lain, dimana bahan peledak untuk kedua kegunaan tersebut diatas setelah diproduksi secara
berkala dianalisa untuk quality control. Akan

tetapi secara illegal bahan peledak juga

digunakan oleh kelompok terorist dan pelaku-pelaku kriminal untuk pembuatan bom rakitan
yaitu dengan rancangan sedemikian rupa dengan bahan- bahn lain secara tidak sah untuk
tujuan dapat menimbulkan ledakan ( Lentz, R. Robert 1976 ).
Pada prinsipnya suatu ledakan adalah merupakan reaksi kimia yang terjadi secara
spontan dimana pada umumnya kita mengenal reaksi kimia dapat terjadi secara
termodinamika dan

termokinetika.

Namun demikian pada reaksi kimia bahan peledak

terjadinya suatu reaksi juga sangat dipengaruhi oleh adanya suatu energi gelombang yang
dikenal dengan shock wave dimana jenis reaksi ini dikenal dengan sono chemistry karena
terjadinya reaksi kimia adalah disebabkan oleh energi gelombang dan reaksi ini umumnya
dikelompokkan

dalam reaksi detonasi yaitu merupakan reaksi kimia sangat cepat dan

biasanya berada dalam wilayah kecepatan subsonic yang diawali dengan panas, disertai
dengan shock compression dan membebaskan energi yang mempertahankan shock wave serta
berakhir dengan ekspansi hasil reaksi, tetapi apabila reaksi yang terjadi berada pada
kecepatan dibawah subsonic dikenal dengan deflagrasi (deflagration) yang umumnya
terjadinya reaksi disebabkan oleh adanya konduksi panas.
Bahan peledak secara umum dapat dikelompokkan menjadi bahan peledak organik
misalnya TNT, PETN, RDX, Nitrogliceryne dan lain-lain

yang dapat meledak berupa

senyawa tunggal tanpa membutuhkan penambahan reduktor karena pada reaksinya terjadi
autoredoks, sedangkan bahan peledak anorganik biasanya berfungsi sebagai bahan peledak
berupa campuran senyawa misalnya campuran kalium nitrat, belerang dan karbon black

powder, campuran kalium klorat dan aluminium powder ( flash powder) yang mana reaksinya
adalah berupa reaksi reduksi-oksidasi antara oksidator dan reduktor. Demikian juga sebagai
pemicu ledakan dari kedua jenis bahan peledak ini berbeda yaitu untuk senyawa organik
ledakan terjadi dengan adanya shock wave sedangkan untuk senyawa anorganik ledakan yang
terjadi pada umumnya dipicu oleh adanya konduksi panas (Murray S G, Mechanism of
Explosion in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. 2000).
2.3.2 Penggolongan Bahan Peledak
Penggolongan bahan peledak bukan hanya ditentukan berdasarkan kedua jenis
tersebut diatas tetapi juga dapat dilakukan berdasarkan struktur kimia, kegunaannya,
penempatannya dalam rantai detonasi dan berdasarkan sifat-sifat ledakannya yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Berdasarkan struktur kimianya
1) Bahan peledak nitro organik yang umumnya terdiri dari :
- Nitro Aromatis : asam pikrat, TNT, 2,4 DNT dan lain-lain.
- Nitrate ester : ethyleneglycol Dinitrate (EGDN), Glycerol Trinitrate (NG), Penta
Eryhrithol Tetra Nitrat (PETN) dan lain-lain.
- Nitramine : 1,3,5 trinito 1,3,5 triazacyclo hexane (RDX),1,3,5,7 tetra nitro- 1,3,5,7
tetraza cyclooctane (HMX).
2). Peroksida organik : TATP, HMTD dan lain-lain.
3). Garam organik : ammonium nitrat.
4). Campuran oksidator dan reduktor, black powder, propellant dan lain- lain.
b. Berdasarkan kegunaannya
1). Bahan peledak militer : TNT, PETN, RDX.
2). Bahan peledak industri dinamit, amonium nitrat, emulsion explosives.
3). Bahan peledak improvisasi pembuatan illegal : kalium klorat dan gula ; kalium klorat,
sulfur dan aluminium powder dan lain-lain.
c. Berdasarkan penempatan dalam rangkaian detonasi
1). Primary Explosive : mercury fulminate, lead azide, dan lain-lain.
2). Booster : PETN
3). Main charge : TNT, RDX, black powder, flash powder .
d. Berdasarkan sifat ledakannya

1). High explosive : TNT, RDX.


2). Low explosive : black powder, smokless powder.
2.3.3 Deflagrasi dan Detonasi.
2.3.3.1 Deflagrasi
Suatu bahan peledak dapat mengalami dekomposisi pada kecepatan suara dalam
material tersebut tanpa membutuhkan oksigen dari udara, dan reaksi ini dikenal dengan
deflagrasi. Reaksi ini dapat berjalan karena pelepasan panas dari reaksi, dan produk yang
dihasilkan berbanding terbalik dengan proses dekomposisi bahan peledak tersebut.
Contoh reaksi deflagrasi adalah pembakaran suatu serbuk (powder) atau suatu bahan
rocket. Jenis reaksi suatu bahan peledak apakah termasuk deflagrasi atau detonasi adalah
sangat ditentukan oleh sejauh mana perlakuan terhadap bahan peledak dimaksud.
Titik deflagrasi ( deflagration point ) dapat didefenisikan sebagai satu tempratur
dimana dengan sedikit sampel bahan peledak yang ditempatkan dalam test tube dan dengan
pemanasan dari luar terbakar menghasilkan nyala dan segera terdekomposisi.
Misalnya : 0,5 gram sampel ( bahan peledak) dimasukkan kedalam test tube dan
diimersikan kedalam suatu larutan logam (lebih disukai Wood, s metall ) bath pada suhu
1000C (2120 F), dan kenaikan temprature diatur 200C per menit sampai terjadi deflagrasi
atau mengalami dekomposisi.
Metode ini mempunyai kesamaan dengan metode resmi laid down dalam RID .
Nitroselulosa dan nitroselulosa serbuk ditest dalam satu stirer parrafin bath dan dipanaskan
dengan kenaikan suhu 50 C per menit. Proses deflagrasi disebut juga burning explosive yang
dapat dijelaskan berdasarkan pelepasan energi dan gas melalui suatu reaksi yang terjadi di
permukaan suatu bahan peledak. Pembakaran yang terjadi di permukaan suatu bahan peledak
dapat terjadi karena tersedianya bahan bakar (fuel) didalam bahan itu sendiri dan dioksidasi
oleh oksigen yang yang ada dalam bahan peledak itu sendiri.
Jadi energi yang dikandung dalam sistim melibatkan suatu reaksi kimia yang
kompleks dan menghasilkan pembakaran dengan panas yang lebih tinggi berupa lapisanlapisan di permukaan.
Dengan terjadinya pembakaran dipermukaan maka ini merupakan sumber panas dan
sebagian besar panas tersebut akan terkonduksi ke bahan peledak dan segera menambah atau
memperbesar pembakaran di permukaan sehingga menghasilkan suhu yang lebih tinggi.
Untuk lebih memudahkan memahami uraian diatas dapat dilihat pada Gambar : 2.3 berikut
ini.

Gambar 2.3. Proses pembakaran bahan peledak


Kecepatan pergerakan flame front dikenal dengan kecepatan pembakaran linier (r),
kecepatan pembakaran massa tidak dapat diprediksi, misalnya berapa massa bahan peledak
yang diubah menjadi panas dan gas. Pada peristiwa pembakaran dipermukaan ini terdapat
hubungan antara luas permukaan bahan peledak, dan kecepatan pembakaran linier yang
mempengaruhi mass burning rate yaitu :
Axr
dt dm
2.3.3.2 Detonasi
Pada suatu proses pembakaran biasanya terjadi diakibatkan oleh adanya konduksi
panas terhadap suatu bahan peledak , sedangkan pada proses detonasi umumnya reaksi
terjadi diakibatkan adanya aliran shock wave

yang melewati bahan peledak tersebut

sehingga dapat diartiakan bahwa mekanisme suatu pembakaran pada prinsipnya berbeda
dengan mekanisme detonasi.
Pergerakan shock wave dalam bahan peledak tersebut mempunyai kecepatan setidaktidaknya sama dengan kecepatan suara di dalam bahan peledak itu sendiri dimana kecepatan
suara dalam suatu bahan peledak disekitar 1800 m/det adalah ditentukan sebagai batas
kecepatan minimum terjadinya suatu proses detonasi, namun demikian pada literatur lain ada
juga yang menetapkan batas minimum suatu proses detonasi adalah 1500 m/det.
Pada suatu proses detonasi maupun energi yang dilepaskan dalam suatu detonasi
dapat dijelaskan dengan Gambar : 2.4 berikut ini.
Shockwave diudara dari gelombang detonasi pada ledakan

Gambar 2.4. Proses detonasi suatu bahan peledak


Mekanisme yang terpenting pada proses detonasi antara lain adalah adanya suatu
kondisi compress adiabatic diantara rongga mikroskopis serta effek batas kristal untuk
menghasilkan keadaan hot spot yang bertumbuh sebagai suatu tekanan intensive dari shock
wave yang melewati suatu bahan peledak dimana energi yang dilepaskan dan gas yang
dihasilkan dalam zona reaksi selanjutnya segera didetonasi pada shock front.

Zona reaksi yang mempertahankan tekanan dalam shock front menghasilkan suatu
keadaan kecepatan steady-state

yang dikenal dengan kecepatan detonasi atau disebut

velocity of detonation (VOD).


Berikut ini diberikan beberapa nilai parameter yang berkaitan dengan kecepatan
detonasi untuk bahan peledak senyawa tunggal seperti yang terlihat pada Tabel : 2.1 berikut
ini.
Tabel 2.1. Parameter Detonasi dari beberapa bahan peledak

Ketebalan zona reaksi antara lain tergantung pada bahan peledak tersebut seperti tipe
ledakannya yang berhubungan dengan secepat apa secara kimia dapat terjadi dan juga pada
ukuran muatannya yang secara umum hanya beberapa milimeter. Bentuk atau model shock
wave front tergantung pada garis pemisah muatan, dan secara teoritis ukuran muatan dan titik
inisiasi tidak dapat ditentukan karena shock front segera menyebar keluar secara radial
(Murray S G, Mechanism of Explosion in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel
J,A.,at al. 2000).
2.3.3.3 Kecepatan Detonasi dan Metode Dautriche
Kecepatan detonasi adalah kecepatan penyebaran detonasi dalam suatu peledakan.
Jika density dari suatu bahan peledak berada pada nilai maksimum , dan apabila bahan
peledak yang diisikan kedalam kolom yang mana jumlah dan lebarnya sesuai diameter
kritisnya, maka kecepatan detonasi adalah karakteristik dari masing-masing bahan peledak
tersebut dan tidak dipengaruhi oleh faktor faktor eksternal. Kecepatan detonasi akan
berkurang dengan berkurangnya density dari bahan peledak yang dimasukkan kedalam
kolom. Kecepatan detonasi bahan peledak nitrogliserin dan nitroglikol dalam keadaan
confined dan unconfined sangat berbeda nyata dan nilai ini dikenal dengan detonasi atas
( upper detonation ) dan detonasi bawah ( lower detonation ).
Metode penentuan kecepatan detonasi dengan Dautriche Method dilakukan dengan
memasukkan sampel (bahan peledak) yang akan ditentukan kedalam suatu kolom tertutup
yang biasanya terbuat dari pipa besi. Kemudian dengan ukuran panjang tertentu dari kolom
detonasi dilobangi (membuat loop ) dengan diameter masing-masing sesuai ukuran blasting
caps. Kedua loop tersebut dipasang blasting caps dan dihubungkan dengan detonating cord

yang dilewatkan melalui lembaran atau plat timah (Pb) dimana salah satu ujung plat
merupakan pusat (center) atau pertengahan dari panjang detonating cord.
Salah satu ujung pipa ( kolom detonasi ) dipasang detonator atau juga dapat di tambah
dengan suatu booster, maka apabila diledakkan pertama sekali terjadi ledakan detonator dan
booster kemudian meledakkan main charge dan mencapai blasting caps pertama dan kedua
sehingga kedua blasting caps akan terignisi dan terjadi ledakan detonating cord yang
menimbulkan notch pada plat Pb yang dapat diukur yaitu sebanding dengan kecepatan
gelombang detonasi dari bahan peledak utama ( main charge ) yang terdapat pada kolom
detonasi.
Adapun peralatan untuk menentukan kecepatan detonasi suatu bahan peledak dengan
Dautriche Method merupakan suatu metode yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan
dengan hasil yang cukup akurat. Peralatan ini dapat digambarkan seperti Gambar 2.5 berikut
ini :

Gambar 2.5. Alat Dautriche methode


Akibat meledaknya detonating cord yang menghubungkan kedua blasting caps, maka
gelombang detonasi akan bertemu pada suatu titik dan menimbulkan notch yang dapat diukur
dari pusat detonating cord yang panjangnya ditentukan oleh kecepatan detonasi main charge
dalam kolom detonasi.
Kecepatan detonasi bahan peledak tersebut dapat dihitung jika dibandingkan dengan
kecepatan detonasi detonating cord yang telah diketahui dan dapat dihitung dengan rumus
berikut ini :
dimana Dx = Kecepatan detonasi sampel
detonasi detonating cord

m = Jarak loop pada kolom detonasi

a = Jarak notch dengan pusat detonating cord


2.3.3 Karakteristik Bahan Peledak
2.3.4 Low Explosive
2.3.5 High Explosive
2.4 Analisa Kualitatif

D = Kecepatan

2.4.1 Berdasarkan sifat fisik bahan


2.4.2 Identifikasi Kation
Dalam analisis kualitatif sistematis, kation-kation diklasifikasikan dalam lima
golongan, berdasarkan sifat-sifat kation itu terdapat beberapa reagensia. Reagensia yang
umum dipakai diantaranya : asam klorida, Hidrogen sulfide, Amonium sulfide, dan Amonium
karbonat. Klasifikasi kation berdasarkan atas apakah suatu kation bereaksi dengan reagensia,
reagensia ini dengan membentuk endapan atau tidak boleh dikatakan bahwa klasifikasi kation
yang paling umum didasarkan atas perbedaan kelarutan dari klorida, sulfide, dan karbonat
dari kation tersebut.
Reagensia yang dipakai untuk klasifikasi kation yang paling umum adalah:

HCl

H2S

(NH4)2S

(NH4)2CO3
Klasifikasi ini didasarkan atas apakah suatu kation bereaksi dengan reagen-reagen sia ini

dengan membentuk endapan atau tidak. Klasifikasi katipon yang paling umum didasarkan
atas perbedaan kelarutan dari klorida, sulfat dan karbonat dari kation tersebut
Kelima golongan kation dan ciri-ciri khas golongan-golongan ini adalah sebagai berikut:

GOLONGAN I
Kation golongan I : Timbel(II), Merekurium(I), dan Perak(I)
Pereaksi golongan : Asam klorida encer (2M)
Reaksi golongan : endapan putih timbal klorida (PbCl 2), Merkurium(I) klorida (Hg2Cl2), dan
perak klorida (AgCl)
Kation golongan I membentuk klorida-klorida yang tak larut, namun timbale klorida
sedikit larut dalam air, dan karena itu timbal tak pernah mengendap dengan sempurna bila
ditambahkan asam klorida encer kepada suatu cuplikan ion timbal yang tersisa itu diendapkan
secara kuantitatif dengan H2S dalam suasana asam bersama-sama kation golongan II.
Nitrat dari kation-kation golongan I sangat mudah larut diantara sulfat-sulfat, timbal
praktis tidak larut, sedang perak sulfat jauh lebih banyak. Kelarutan merkurium(I) sulfat

terletak diantara kedua zat diatas. Bromide dan iodide juga tidak larut. Sedangkan
pengendapan timbal halida tidak sempurna dan endapan itu mudah sekali larut dalam air
panas.sulfida tidak larut asetat-asetat lebih mudah larut, meskipun perak asetat bisa
mengendap dari larutan yangagak pekat. Hidroksida dan karbonat akan diendapkan dengan
reagensia yang jumlahnya ekuivalen.tetapi pada reagensia berlebih, ia dapat bergerak dengan
bermacam-macam cara dimana ada perbedaan dalam sifat-sifat zat ini terhadap ammonia.
GOLONGAN II
Kation golongan II : Merkurium(II), timbal(II), bismuth(III), tembaga(II), cadmium(II),
arsenic(III) dan(V), stibium(III), dan timah(II)
Reagensia golongan : hydrogen sulfide(gas atau larutan-air jenuh)
Reaksi golongan : endapan-endapan dengan berbagai warna HgS (hitam), PbS (hitam), Bi2S3
(coklat), As2S3 (kuning), Sb2S3 (jingga), SnS2 (coklat) dan SnS2 (kuning)
Kation-kation golongan II dibagi menjadi 2 sub golongan, yaitu sub. Golongan
tembaga dan sub. Golongan arsenic. Dasar pembagian ini adalah kelarutan endapan sulfide
dalam ammonium polisulfida sub. Golongan tembaga tidak larut dalam reagensia ini. Sulfide
dari sub. Golongan arsenic melarut dengan membentuk garam tio.
GOLONGAN III
Kation golongan III : Fe 2+ , Fe 3+ , Al 3+ , Cr 3+ , Cr 6+ , Ni 2+ , Cu 2+ , Mn 2+ , dan Mn
7+ , Zn 2+
Reagensia golongan : H2S(gas/larutan air jenuh) dengan adanya ammonia dan ammonium
klorida atau larutan ammonium sulfide
Reaksi golongan : endapan dengan berbagai warna FeS (hitam), Al(OH)3 (putih), Cr(OH)3
(hijau), NiS (Hitam), CoS (hitam), MnS (merah jambu), dan Zink sulfat (putih)
Logam golongan ini tidak diendapkan oleh reagensia golongan untuk golongan I dan II tetapi
semua diendapkan dengan adanya ammonium klorida oleh H2S dari larutan yang telah
dijadikan basa dengan larutan ammonia. Logam-logam ini diendapkan sebagai sulfide,
kecuali Al3+ dan chromium yang diendapkan sebagai hidroksida, karena hidroksida yang
sempurna dari sulfide dalam larutan air, besi, aluminium, dan kromium(sering disertai sedikit

mangan) juga diendapkan sebagai hidroksida oleh larutan amonia dengan adanya ammonium
klorida, sedangkan logam-logam lain dari golongan ini tetap berada dalam larutan dan dapat
diendapkan sebagai sulfide oleh H2S. maka golongan ini bisa dibagi menjadi golongan
besi(besi, aluminium, mangan dan zink) atau golongan IIIB.
GOLONGAN IV
Kation golongan IV : Barium, Stronsium, dan Kalsium
Reagensia golongan : terbentuk endapan putih
Reaksi golongan : terbentuk endapan putih
Reagensia mempunyai sifat:
- tidak berwarna dan memperlihatkan reaksi basa
- terurai oleh asam-asam(terbentuk gas CO2)
- harus dipakai pada suasana netral/ sedikit basa
Kation-kation golongan IV tidak bereaksi dengan reagen HCl H2S, ataupun ammonium
sulfide, sedang dengan ammonium karbonat (jika ada ammonia atau ion ammonium dalam
jumlah yang sedang) akan terbentuk endapan putih (BaCO3, SrCO3, CaCO3).
GOLONGAN V
Kation golongan V : Magnesium, Natrium, Kalium dan Amonium
Reagensia golongan : tidak ada reagen yang umum untuk ketiga golongan V ini
Reaksi golongan : Tidak bereaksi dengan HCl, H2S, (NH4)2S, atau (NH4)2CO3
Reaksi-reaksi khusus dan uji nyala dapat dipakai untuk mengidentifikasi ion-ion dan kation
golongan ini. Mg memperlihatkan reaksi-reaksi yang serupa dengan reaksi-reaksi dari
golongan keempat. Magnesium karbonat dengan adanya garam ammonium dapat larut.
Reaksi magnesium tak akan mengendap bersama kation golongan IV. Reaksi ion ammonium
sangat serupa dengan reaksi-reaksi ion kalium, karena jari-jari ion dari kedua ion ini hamper
identik
Sumber : Vogel. 1990
2.4.3 Identifikasi Anion
Analisis anion diawali dengan uji pendahuluan untuk memperoleh gambaran ada
tidaknya anion tertentu atau kelompok anion yang memiliki sifat- sifat yang sama.
Selanjutnya diikuti dengan proses analisis yang merupakan uji spesifik dari anion tertentu.
Pemisahan secara fisik dari anion umumnya tidak penting, karena uji spesifik anion hanya

peka terhadap anion tertentu dan tidak peka untuk anion lainnya. Hanya bila terjadi
interferensi atau gangguan dalam suatu analisis anion oleh anion lain maka diperlukan
langkah awal proses pemisahan. Beberapa uji pendahuluan dan uji identifikasi atau uji
spesifik dapat dilakukan dalam fasa padatan, tetapi untuk memperoleh validitas pengujian
yang tinggi biasanya dilakukan dalam keadaan larutan. Kelarutan bahan-bahan organik
terutama garam akan sangat membantu dalam menetapkan kombinasi antar anion dan kation.
Misalnya, jika larutan zat yang tidak diketahui ditemukan mengandung ion karbonat (CO 32-),
maka hanya dimungkinkan ada kation-kation tertentu seperti K+, Na+ , NH4+, sebab garam
karbonat dari kation lain tidak larut dalam air.
Jika zat yang tidak diketahui tidak larut dalam air, harus dilakukan perlakuan tertentu
dengan pereaksi kimia agar menjadi larut. Beberapa anion tidak stabil dalam larutan asam,
atau bereaksi satu sama lain dalam suasana asam. Bila terjadi keadaan tidak stabil suasan
asam, maka analisis anion harus dilakukan dalam suasana basa.
Penyelidikan sampel dari padatan yang tidak larut untuk analisis anion, dilakuakn
dengan mendidihkan padatan dalam larutan jenuh natrium karbonat. Perlakuan ini digunakan
untuk mengubah anion ke dalam bentuk garam natrium yang larut dan menyisakan kationnya
sebagai karbonat yang tidak larut atau produk dari hidrolisisnya. Perlakuan dengan natrium
karbonat juga dilakaukan untuk campuran yang mengandung logam berat tertentu, agar tidak
terjadi interferensi dalam uji anion. Analisis anion yang sering dilakukan meliputi 11 anion
yang paling umum, yaitu anion sulfida (S2-), sulfit (SO32-), karbonat (CO32-), nitrit (NO2-),
iodida (I-), bromida (Br-), klorida (Cl-), fosfat (PO43-), kromat (CrO42-), nitrat (NO3-), dan
sulfat (SO42-).
2.5 Analisa Instrumen
2.5.1 (Cara Kerja, prinsip dasar, aplikasi)

BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Pelaksanaan
3.2 Tahapan Kerja
3.2.1 Studi Literatur
3.2.2 Identifikasi Masalah

3.2.3 Pengumpulan Data


3.2.4 Pengolahan Data dan Analisis
3.2.5 Laporan
3.3 Uji Kualitatif
3.3.1 Uji Kation (K+)
3.3.2 Uji Oksidator
3.3.3 Uji Klorat ClO3-)
3.3.4 Uji Nitrat (NO3-)
3.3.5 Uji logam Aluminium (Al)
3.3.6 Uji Sulfida (S2-)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Barang Bukti Bahan Peledak pada Petasan
4.2 Analisis Barang Bukti Bahan Peledak pada Sumbu Petasan
4.3 Analisis Barang Bukti pada Residu setelah Ledakan
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997;
p.131-168.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai