125090207111013
Nofiyanti
125090207111026
Puspita Diah P.
125090207111029
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Kegiatan
Tempat
Alamat
Pelaksanaan
Peserta
: 1. Khurnia Krisna P. P
(125090207111013)
2. Nofiyanti
(125090207111026)
3. Puspita Diah P.
(125090207111029)
Pembimbing Laboratorium II
Ir. Sudibyo
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufik dan
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Lapang yang
berjudul Analisis Kandungan pada Residu Setelah Ledakan dari Senjata Api dan
Bahan Peledak dalam Pengungkapan Tindak Kriminal. Sholawat serta salam kami
hanturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke jalan yang
benar yakni Islam.
Praktek Kerja Lapang merupakan mata kuliah pilihan bagi mahasiswa Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya yang bertujuan agar
mahasiswa dapat menerapkan teori yang diperoleh dengan contoh kasus yang ada.
Dalam Praktek Kerja Lapang, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi, serta bantuan
secara moral dan spiritual.
2. Dosen Pembimbing
3. Dr. Edi Priyo Utomo, MS. selaku ketua jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas
Brawijaya.
4. Bapak Drs. Hari Susanto selaku pembimbing kerja laboratorium atas ilmu yang diberikan
selama PKL.
5. Bapak Komisaris Besar Polisi . selaku Kepala Laboratorium Forensik POLRI Cabang
Surabaya.
6. Bapak Ajun Komisaris Besar Polisi Ir. Sudibyo selaku Kepala Sub Bidang Laaboratorium
Balistik Metalurgi POLRI Cabang Surabaya.
7. Seluruh Karyawan Laboratorium Forensik POLRI Cabang Surabaya yang telah
membantu dalam praktek kerja.
8. Teman-teman Kerja Praktek selama di Laboratorium Forensik POLRI Cabang Surabaya.
9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyusunun laporan
ini, yang tidak penulis sebutkan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif agar naskah ini menjadi
lebih baik dan lebih berguna di masa yang akan dating.
Malang, Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
1.2.
Rumusan Masalah
1.3.
Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sehubungan dengan tingginya kasus kriminalitas saat ini menimbulkan tingginya
permintaan tindakan visum. Dalam setiap tindakan visum, perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk memperjelas dan membuktikan kebenaran suatu kasus. Karena sebenarnya,
pada setiap kejadian kejahatan hampir selalu ada barang bukti yang tertinggal atau saksi
diam. Bila saksi diam tersebut diteliti dengan memanfaatkan berbagai macam ilmu forensik
(forensic sciences) maka tidak mustahil kejahatan tersebut akan dapat terungkap dan bahkan
korban yang sudah membusuk atau hangus serta pelakunya akan dapat dikenali.
Di dalam menghadapi kasus kriminal, pemakaian senjata api dan bahan peledak
sebagai alat yang dimaksudkan untuk melukai atau mematikan seseorang, maka dokter
sebagai orang yang melakukan pemeriksaan, khususnya atas diri korban, perlu secara hatihati, cermat dan teliti dalam menafsirkan hasil yang didapatnya (Idries, 1997).
Kasus bahan peledak yang masuk dalam penanganan POLRI atau Penegak Hukum
berjenis bahan peledak rendah (low exsplosive) dan bahan peledak kuat (high exsplosive).
Perbedaan jenis bahan peledak tersebut didasarkan pada susunan substituen kimia dari bahan
peledak itu sendiri. Pada tahun 2013 hingga 2015 kasus yang paling banyak terjadi yaitu pada
jenis peledakan low explosive. Contohmya adalah petasan atau mercon. Pembuat dan penjual
petasan merupakan kegiatan yang bersifat illegal. Kandungan pada bahan peledak low
exsplosive antara lain Kalium klorat (KClO3), Kalium nitrat (KNO3), Sulfur (S), Alumunium
(Al), Karbon (C), dan lain sebagainya. Contoh sederhana pada penggunaan KClO 3 adalah
sebagai penyulut korek api gesek. High explosive dapat digunakan untuk bom ikan yang
terdapat kandungan Ammonium Nitric Fuel explosive dan Pb Azida. TNT selain untuk
kalangan militer dapat juga untuk industry pertambangan dan pengeboran. Bahan yang
digunakan pada pertambangan atau pengeboran selain TNT antara lain Pentaelythritol
Tetranitrat (PETN), dinamit, 1,3,5-Trinitro-1,3,5-triazacyclohexane (RDX), 1,3,5,7-tetranitro1,3,5,7- tetrazacyclooctane (HMX), Nitrocellulosa (NC), ANFO, Ammonium Nitric
Aluminium. Bahan peledak tersebut dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu bentuk padat
(Kristal), cair (BBM), dan gas (LPG, LNG, asetilen, dan gas hidrogen). Bahan peledak
berbentuk padat sangat sensitive terhadap tekanan, gesekan, benturan, dan panas. Adanya
ledakan dapat terjadi melalui sumbu bakar (petasan), tumbukan, dan aliran listrik/ elektrik.
Di dalam dunia kriminal, senjata api secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu
senjata api laras panjang dan senjata api laras pendek. Senjata api digunakan dalam tindak
criminal menurut pembuatannya dibedakan menjadi senjata api rakitan dan senjata api
standart pabrik. Contoh senjata api laras panjang adalah shotgun, senjata api jenis ini
memiliki perbedaan pada pelurunya. Shotgun memiliki peluru jenis pelet, dimana peluru ini
berbentuk bulat yang berisi serpihan besi didalamnya. Senjata api laras pendek berisi peluru
yang mengandung black powder dengan komponen kalium nitrat (KNO 3), anion NO3-, karbon
( C ), dan aluminium (Al).
Laboratorium Forensik (Labfor) merupakan lembaga yang berwenang sebagai
penyelidik yang berhak mencari keterangan dan barang bukti atas kasus kriminal yang
terjadi. Dalam penelitian kerja praktek ini akan dilakukan analisis kandungan pada residu
setelah ledakan dari senjata api dan bahan peledak dalam pengungkapan tindak kriminal di
Labfor Cabang Surabaya bidang balistik. Penelitian ini selain digunakan untuk menambah
ilmu dan wawasan penggunaan alat-alat dan metode deteksi kimia pada sampel anorganik
yaitu terutama penerapan bidang ilmu kimia analisis dan kimia anorganik. Selain itu
penelitian ini dilakukan untuk pemenuhan mata kuliah praktek kerja lapang di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.
1.2 Tujuan
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini bertujuan untuk :
a. Mempelajari cara deteksi kandungan logam yang terkandung dalam berbagai sampel.
b. Mengetahui dan mepelajari adanya perbedaan penanganan sampel yang berbeda pada
deteksi tersebut.
c. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penangan sampel dan deteksi
logam pada berbagai sampel.
d. Mengetahui hasil uji kandungan logam pada selongsong peluru dalam menggunakan
senjata api dan bahan peledak di Laboratorium Forensik Cabang Surabaya.
1.3 Kegunaan
1.3.1 Bagi Mahasiswa
a. Mengaplikasikan ilmu kimia yang diperoleh diperkuliahan untuk melakukan
analisis kandungan dan distribusi logam pada senjata api dan bahan peledak
dalam pengungkapan tindak kriminal di Laboratorium Forensik Cabang
Surabaya diharapkan dapat memperoleh pengetahuan mengenai deteksi
logam berdasarkan sampel selongsong peluru.
b. Memperluas pengetahuan, pengalaman dan wawasan sebelum terjun ke dunia
kerja yang sangat kompetitif.
c. Memperdalam dan meningkatkkan kualitas, keterampilan dan kreativitas.
d. Melatih diri agar tanggap dan peka dalam menghadapi situasi dan kondisi
lingkungan kerja.
e. Mengukur kemampuan mahasiswa dalam bersosialisasi dan bekerja pada
lembaga (institusi pemerintah atau swasta) diluar kampus.
f. Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman sebagai generasi terdidik
untuk terjun dalam masyarakat .
1.3.2 Bagi Perguruan Tinggi khususnya Jurusan Kimia
a. Mencetak tenaga kerja yang terampil dan jujur dalam menjalankan tugas.
b. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi sampai sejauh mana kurikulum
yang telah diterapkan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja yang terampil di
bidangnya.
c. Sebagai sarana pengenalan instansi pendidikan perguruan tinggi khususnya
Jurusan Kimia, pada institusi/lembaga pemerintah atau swasta, perusahaan
yang membutuhkan lulusan, atau tenaga kerja yang dihasilkan oleh perguruan
tinggi.
1.3.3 Bagi institusi/lembaga tujuan PKL
a.
b.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ilmu Forensik
2.1.1 Definisi Ilmu Forensik
2.1.2 Ruang Lingkup Ilmu Forensik
2.1.3 Peran Ilmu Forensik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
2.2 Laboratorium Forensik MABES POLRI
2.2.1 Deskripsi Umum Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya
Laboratorium forensik merupakan salah satu laboratorium penelitian tindak pidana
yang ada di Indonesia. Manfaat laboratorium forensik secara umum adalah untuk
menganalisis berbagai macam barang bukti untuk membantu menyidik berbagai kasus
kriminal. Adapun didirikannya laboratorium forensik memuat beberapa tujuan, yaitu :
1. pembuktian proses tindak pidana dengan dasar ilmu forensik;
2. pembuktian secara ilmiah setiap kasus melalui pemeriksaan tingkat laboratorium yang
dilakukan oleh POLRI;
3. meningkatkan kinerja dan keahlian para ahli untuk menggali dan menerapkan ilmu
forensik terhadap berbagai kasus kriminalitas secara empiris untuk membantu
kepentingan menegakkan hukum.
Laboratorium forensik (Labfor) pertama yang ada di Indonesia ada di Jakarta yang
berdiri pada tanggal 15 Januari 1954 dengan dikeluarkan surat Kepala Kepolisian Negara
Nomor : 1/VIII/1954, dibentuklah Seksi Interpol dan Seksi Laboratorium, di bawah Dinas
Reserse Kriminil. Akan tetapi pada tahun 1960, dengan peraturan Menteri Muda Kepolisian
Nomor : 1/PRT/MMK/1960 tanggal 20 Januari 1960, Seksi Laboratorium dipisahkan dari
Dinas Reserse Kriminil Markas Besar Polisi Negara dan ditempatkan langsung di bawah
Komando dan Pengawasan Menteri Muda Kepolisian dengan nama Laboratorium
Departemen Kepolisian.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1963, dengan Instruksi Menteri/Kepala
Staf Angkatan Kepolisian No. Pol : 4/Instruksi/1963 tanggal 25 Januari 1963, dilakukan
penggabungan Laboratorium Departemen Kepolisian dengan Direktorat identifikasi menjadi
Lembaga Laboratorium dan Identifikasi Departemen Kepolisian. Perubahan kembali terjadi
pada tahun 1964, dilakukan pemisahan kembali Direktorat Identifikasi dengan Laboratorium
Kriminal dengan Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian No. Pol :
11/SK/MK/1964 tanggal 14 Pebruari 1964.
Pada tahun 1970, Laboratorium Kriminal yang berada langsung dibawah Kepala
Kepolisian Negara dikembalikan di bawah Komando Utama Pusat Reserse dengan nama
Laboratorium
Kriminil
Koserse
dengan
Surat
Keputusan
Menteri
Pertahanan
b.
Melaksaan pembinaan dan pengembangan sumber daya Labfor meliputi SDM, Sismet,
Matfasjas dan instrument dalam rangka menjamin mutu pemeriksaan
c.
Menyelenggarakan pembinaan teknis fungsi labfor kepada polri dan pelayanan umum
fungsi labfor kepada masyarakat.
KASUBBAGRENMIN
SUBBID
DOKUPALFOR
SUBBID
BALMETFOR
PAUR KEU
SUBBID
FISKOMFOR
SUBBID
NARKOBAFOR
SUBBID
KIMBIOFOR
Barang
Bukti. Adapun
yang
berwenang
mengajukan
permintaan
Penyidik POLRI
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Polisi Militer (TNI)
Kejaksaan / Jaksa
Pengadilan Negeri / Hakim
Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan barang bukti adalah:
a. Surat permintaan yang jelas
b. Lampiran surat-surat formal / yuridis / otentik:
a) Laporan Kejadian/ Laporan Polisi / Berita Acara Pemeriksaan TKP
b)
c)
d)
e)
/Laporan Kemajuan
Berita Acara Penyitaan Barang Bukti
Berita Acara Penyisihan Barang Bukti
Berita Acara Pembungkusan dan Penyegelan.
Bila hasil otopsi, sertakan visum et repertum, contoh bahan pengawet
digunakan oleh kelompok terorist dan pelaku-pelaku kriminal untuk pembuatan bom rakitan
yaitu dengan rancangan sedemikian rupa dengan bahan- bahn lain secara tidak sah untuk
tujuan dapat menimbulkan ledakan ( Lentz, R. Robert 1976 ).
Pada prinsipnya suatu ledakan adalah merupakan reaksi kimia yang terjadi secara
spontan dimana pada umumnya kita mengenal reaksi kimia dapat terjadi secara
termodinamika dan
termokinetika.
terjadinya suatu reaksi juga sangat dipengaruhi oleh adanya suatu energi gelombang yang
dikenal dengan shock wave dimana jenis reaksi ini dikenal dengan sono chemistry karena
terjadinya reaksi kimia adalah disebabkan oleh energi gelombang dan reaksi ini umumnya
dikelompokkan
dalam reaksi detonasi yaitu merupakan reaksi kimia sangat cepat dan
biasanya berada dalam wilayah kecepatan subsonic yang diawali dengan panas, disertai
dengan shock compression dan membebaskan energi yang mempertahankan shock wave serta
berakhir dengan ekspansi hasil reaksi, tetapi apabila reaksi yang terjadi berada pada
kecepatan dibawah subsonic dikenal dengan deflagrasi (deflagration) yang umumnya
terjadinya reaksi disebabkan oleh adanya konduksi panas.
Bahan peledak secara umum dapat dikelompokkan menjadi bahan peledak organik
misalnya TNT, PETN, RDX, Nitrogliceryne dan lain-lain
senyawa tunggal tanpa membutuhkan penambahan reduktor karena pada reaksinya terjadi
autoredoks, sedangkan bahan peledak anorganik biasanya berfungsi sebagai bahan peledak
berupa campuran senyawa misalnya campuran kalium nitrat, belerang dan karbon black
powder, campuran kalium klorat dan aluminium powder ( flash powder) yang mana reaksinya
adalah berupa reaksi reduksi-oksidasi antara oksidator dan reduktor. Demikian juga sebagai
pemicu ledakan dari kedua jenis bahan peledak ini berbeda yaitu untuk senyawa organik
ledakan terjadi dengan adanya shock wave sedangkan untuk senyawa anorganik ledakan yang
terjadi pada umumnya dipicu oleh adanya konduksi panas (Murray S G, Mechanism of
Explosion in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. 2000).
2.3.2 Penggolongan Bahan Peledak
Penggolongan bahan peledak bukan hanya ditentukan berdasarkan kedua jenis
tersebut diatas tetapi juga dapat dilakukan berdasarkan struktur kimia, kegunaannya,
penempatannya dalam rantai detonasi dan berdasarkan sifat-sifat ledakannya yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Berdasarkan struktur kimianya
1) Bahan peledak nitro organik yang umumnya terdiri dari :
- Nitro Aromatis : asam pikrat, TNT, 2,4 DNT dan lain-lain.
- Nitrate ester : ethyleneglycol Dinitrate (EGDN), Glycerol Trinitrate (NG), Penta
Eryhrithol Tetra Nitrat (PETN) dan lain-lain.
- Nitramine : 1,3,5 trinito 1,3,5 triazacyclo hexane (RDX),1,3,5,7 tetra nitro- 1,3,5,7
tetraza cyclooctane (HMX).
2). Peroksida organik : TATP, HMTD dan lain-lain.
3). Garam organik : ammonium nitrat.
4). Campuran oksidator dan reduktor, black powder, propellant dan lain- lain.
b. Berdasarkan kegunaannya
1). Bahan peledak militer : TNT, PETN, RDX.
2). Bahan peledak industri dinamit, amonium nitrat, emulsion explosives.
3). Bahan peledak improvisasi pembuatan illegal : kalium klorat dan gula ; kalium klorat,
sulfur dan aluminium powder dan lain-lain.
c. Berdasarkan penempatan dalam rangkaian detonasi
1). Primary Explosive : mercury fulminate, lead azide, dan lain-lain.
2). Booster : PETN
3). Main charge : TNT, RDX, black powder, flash powder .
d. Berdasarkan sifat ledakannya
sehingga dapat diartiakan bahwa mekanisme suatu pembakaran pada prinsipnya berbeda
dengan mekanisme detonasi.
Pergerakan shock wave dalam bahan peledak tersebut mempunyai kecepatan setidaktidaknya sama dengan kecepatan suara di dalam bahan peledak itu sendiri dimana kecepatan
suara dalam suatu bahan peledak disekitar 1800 m/det adalah ditentukan sebagai batas
kecepatan minimum terjadinya suatu proses detonasi, namun demikian pada literatur lain ada
juga yang menetapkan batas minimum suatu proses detonasi adalah 1500 m/det.
Pada suatu proses detonasi maupun energi yang dilepaskan dalam suatu detonasi
dapat dijelaskan dengan Gambar : 2.4 berikut ini.
Shockwave diudara dari gelombang detonasi pada ledakan
Zona reaksi yang mempertahankan tekanan dalam shock front menghasilkan suatu
keadaan kecepatan steady-state
Ketebalan zona reaksi antara lain tergantung pada bahan peledak tersebut seperti tipe
ledakannya yang berhubungan dengan secepat apa secara kimia dapat terjadi dan juga pada
ukuran muatannya yang secara umum hanya beberapa milimeter. Bentuk atau model shock
wave front tergantung pada garis pemisah muatan, dan secara teoritis ukuran muatan dan titik
inisiasi tidak dapat ditentukan karena shock front segera menyebar keluar secara radial
(Murray S G, Mechanism of Explosion in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel
J,A.,at al. 2000).
2.3.3.3 Kecepatan Detonasi dan Metode Dautriche
Kecepatan detonasi adalah kecepatan penyebaran detonasi dalam suatu peledakan.
Jika density dari suatu bahan peledak berada pada nilai maksimum , dan apabila bahan
peledak yang diisikan kedalam kolom yang mana jumlah dan lebarnya sesuai diameter
kritisnya, maka kecepatan detonasi adalah karakteristik dari masing-masing bahan peledak
tersebut dan tidak dipengaruhi oleh faktor faktor eksternal. Kecepatan detonasi akan
berkurang dengan berkurangnya density dari bahan peledak yang dimasukkan kedalam
kolom. Kecepatan detonasi bahan peledak nitrogliserin dan nitroglikol dalam keadaan
confined dan unconfined sangat berbeda nyata dan nilai ini dikenal dengan detonasi atas
( upper detonation ) dan detonasi bawah ( lower detonation ).
Metode penentuan kecepatan detonasi dengan Dautriche Method dilakukan dengan
memasukkan sampel (bahan peledak) yang akan ditentukan kedalam suatu kolom tertutup
yang biasanya terbuat dari pipa besi. Kemudian dengan ukuran panjang tertentu dari kolom
detonasi dilobangi (membuat loop ) dengan diameter masing-masing sesuai ukuran blasting
caps. Kedua loop tersebut dipasang blasting caps dan dihubungkan dengan detonating cord
yang dilewatkan melalui lembaran atau plat timah (Pb) dimana salah satu ujung plat
merupakan pusat (center) atau pertengahan dari panjang detonating cord.
Salah satu ujung pipa ( kolom detonasi ) dipasang detonator atau juga dapat di tambah
dengan suatu booster, maka apabila diledakkan pertama sekali terjadi ledakan detonator dan
booster kemudian meledakkan main charge dan mencapai blasting caps pertama dan kedua
sehingga kedua blasting caps akan terignisi dan terjadi ledakan detonating cord yang
menimbulkan notch pada plat Pb yang dapat diukur yaitu sebanding dengan kecepatan
gelombang detonasi dari bahan peledak utama ( main charge ) yang terdapat pada kolom
detonasi.
Adapun peralatan untuk menentukan kecepatan detonasi suatu bahan peledak dengan
Dautriche Method merupakan suatu metode yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan
dengan hasil yang cukup akurat. Peralatan ini dapat digambarkan seperti Gambar 2.5 berikut
ini :
D = Kecepatan
HCl
H2S
(NH4)2S
(NH4)2CO3
Klasifikasi ini didasarkan atas apakah suatu kation bereaksi dengan reagen-reagen sia ini
dengan membentuk endapan atau tidak. Klasifikasi katipon yang paling umum didasarkan
atas perbedaan kelarutan dari klorida, sulfat dan karbonat dari kation tersebut
Kelima golongan kation dan ciri-ciri khas golongan-golongan ini adalah sebagai berikut:
GOLONGAN I
Kation golongan I : Timbel(II), Merekurium(I), dan Perak(I)
Pereaksi golongan : Asam klorida encer (2M)
Reaksi golongan : endapan putih timbal klorida (PbCl 2), Merkurium(I) klorida (Hg2Cl2), dan
perak klorida (AgCl)
Kation golongan I membentuk klorida-klorida yang tak larut, namun timbale klorida
sedikit larut dalam air, dan karena itu timbal tak pernah mengendap dengan sempurna bila
ditambahkan asam klorida encer kepada suatu cuplikan ion timbal yang tersisa itu diendapkan
secara kuantitatif dengan H2S dalam suasana asam bersama-sama kation golongan II.
Nitrat dari kation-kation golongan I sangat mudah larut diantara sulfat-sulfat, timbal
praktis tidak larut, sedang perak sulfat jauh lebih banyak. Kelarutan merkurium(I) sulfat
terletak diantara kedua zat diatas. Bromide dan iodide juga tidak larut. Sedangkan
pengendapan timbal halida tidak sempurna dan endapan itu mudah sekali larut dalam air
panas.sulfida tidak larut asetat-asetat lebih mudah larut, meskipun perak asetat bisa
mengendap dari larutan yangagak pekat. Hidroksida dan karbonat akan diendapkan dengan
reagensia yang jumlahnya ekuivalen.tetapi pada reagensia berlebih, ia dapat bergerak dengan
bermacam-macam cara dimana ada perbedaan dalam sifat-sifat zat ini terhadap ammonia.
GOLONGAN II
Kation golongan II : Merkurium(II), timbal(II), bismuth(III), tembaga(II), cadmium(II),
arsenic(III) dan(V), stibium(III), dan timah(II)
Reagensia golongan : hydrogen sulfide(gas atau larutan-air jenuh)
Reaksi golongan : endapan-endapan dengan berbagai warna HgS (hitam), PbS (hitam), Bi2S3
(coklat), As2S3 (kuning), Sb2S3 (jingga), SnS2 (coklat) dan SnS2 (kuning)
Kation-kation golongan II dibagi menjadi 2 sub golongan, yaitu sub. Golongan
tembaga dan sub. Golongan arsenic. Dasar pembagian ini adalah kelarutan endapan sulfide
dalam ammonium polisulfida sub. Golongan tembaga tidak larut dalam reagensia ini. Sulfide
dari sub. Golongan arsenic melarut dengan membentuk garam tio.
GOLONGAN III
Kation golongan III : Fe 2+ , Fe 3+ , Al 3+ , Cr 3+ , Cr 6+ , Ni 2+ , Cu 2+ , Mn 2+ , dan Mn
7+ , Zn 2+
Reagensia golongan : H2S(gas/larutan air jenuh) dengan adanya ammonia dan ammonium
klorida atau larutan ammonium sulfide
Reaksi golongan : endapan dengan berbagai warna FeS (hitam), Al(OH)3 (putih), Cr(OH)3
(hijau), NiS (Hitam), CoS (hitam), MnS (merah jambu), dan Zink sulfat (putih)
Logam golongan ini tidak diendapkan oleh reagensia golongan untuk golongan I dan II tetapi
semua diendapkan dengan adanya ammonium klorida oleh H2S dari larutan yang telah
dijadikan basa dengan larutan ammonia. Logam-logam ini diendapkan sebagai sulfide,
kecuali Al3+ dan chromium yang diendapkan sebagai hidroksida, karena hidroksida yang
sempurna dari sulfide dalam larutan air, besi, aluminium, dan kromium(sering disertai sedikit
mangan) juga diendapkan sebagai hidroksida oleh larutan amonia dengan adanya ammonium
klorida, sedangkan logam-logam lain dari golongan ini tetap berada dalam larutan dan dapat
diendapkan sebagai sulfide oleh H2S. maka golongan ini bisa dibagi menjadi golongan
besi(besi, aluminium, mangan dan zink) atau golongan IIIB.
GOLONGAN IV
Kation golongan IV : Barium, Stronsium, dan Kalsium
Reagensia golongan : terbentuk endapan putih
Reaksi golongan : terbentuk endapan putih
Reagensia mempunyai sifat:
- tidak berwarna dan memperlihatkan reaksi basa
- terurai oleh asam-asam(terbentuk gas CO2)
- harus dipakai pada suasana netral/ sedikit basa
Kation-kation golongan IV tidak bereaksi dengan reagen HCl H2S, ataupun ammonium
sulfide, sedang dengan ammonium karbonat (jika ada ammonia atau ion ammonium dalam
jumlah yang sedang) akan terbentuk endapan putih (BaCO3, SrCO3, CaCO3).
GOLONGAN V
Kation golongan V : Magnesium, Natrium, Kalium dan Amonium
Reagensia golongan : tidak ada reagen yang umum untuk ketiga golongan V ini
Reaksi golongan : Tidak bereaksi dengan HCl, H2S, (NH4)2S, atau (NH4)2CO3
Reaksi-reaksi khusus dan uji nyala dapat dipakai untuk mengidentifikasi ion-ion dan kation
golongan ini. Mg memperlihatkan reaksi-reaksi yang serupa dengan reaksi-reaksi dari
golongan keempat. Magnesium karbonat dengan adanya garam ammonium dapat larut.
Reaksi magnesium tak akan mengendap bersama kation golongan IV. Reaksi ion ammonium
sangat serupa dengan reaksi-reaksi ion kalium, karena jari-jari ion dari kedua ion ini hamper
identik
Sumber : Vogel. 1990
2.4.3 Identifikasi Anion
Analisis anion diawali dengan uji pendahuluan untuk memperoleh gambaran ada
tidaknya anion tertentu atau kelompok anion yang memiliki sifat- sifat yang sama.
Selanjutnya diikuti dengan proses analisis yang merupakan uji spesifik dari anion tertentu.
Pemisahan secara fisik dari anion umumnya tidak penting, karena uji spesifik anion hanya
peka terhadap anion tertentu dan tidak peka untuk anion lainnya. Hanya bila terjadi
interferensi atau gangguan dalam suatu analisis anion oleh anion lain maka diperlukan
langkah awal proses pemisahan. Beberapa uji pendahuluan dan uji identifikasi atau uji
spesifik dapat dilakukan dalam fasa padatan, tetapi untuk memperoleh validitas pengujian
yang tinggi biasanya dilakukan dalam keadaan larutan. Kelarutan bahan-bahan organik
terutama garam akan sangat membantu dalam menetapkan kombinasi antar anion dan kation.
Misalnya, jika larutan zat yang tidak diketahui ditemukan mengandung ion karbonat (CO 32-),
maka hanya dimungkinkan ada kation-kation tertentu seperti K+, Na+ , NH4+, sebab garam
karbonat dari kation lain tidak larut dalam air.
Jika zat yang tidak diketahui tidak larut dalam air, harus dilakukan perlakuan tertentu
dengan pereaksi kimia agar menjadi larut. Beberapa anion tidak stabil dalam larutan asam,
atau bereaksi satu sama lain dalam suasana asam. Bila terjadi keadaan tidak stabil suasan
asam, maka analisis anion harus dilakukan dalam suasana basa.
Penyelidikan sampel dari padatan yang tidak larut untuk analisis anion, dilakuakn
dengan mendidihkan padatan dalam larutan jenuh natrium karbonat. Perlakuan ini digunakan
untuk mengubah anion ke dalam bentuk garam natrium yang larut dan menyisakan kationnya
sebagai karbonat yang tidak larut atau produk dari hidrolisisnya. Perlakuan dengan natrium
karbonat juga dilakaukan untuk campuran yang mengandung logam berat tertentu, agar tidak
terjadi interferensi dalam uji anion. Analisis anion yang sering dilakukan meliputi 11 anion
yang paling umum, yaitu anion sulfida (S2-), sulfit (SO32-), karbonat (CO32-), nitrit (NO2-),
iodida (I-), bromida (Br-), klorida (Cl-), fosfat (PO43-), kromat (CrO42-), nitrat (NO3-), dan
sulfat (SO42-).
2.5 Analisa Instrumen
2.5.1 (Cara Kerja, prinsip dasar, aplikasi)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Pelaksanaan
3.2 Tahapan Kerja
3.2.1 Studi Literatur
3.2.2 Identifikasi Masalah