Anda di halaman 1dari 4

EKONOMI MINYAK DAN GAS (2)

Pengaruh dari kenaikan harga minyak di dunia telah memberikan dampak positif yang
sangat besar terutama bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia dari hasil minyak dan gas
bumi (migas). Pengaruh dari kenaikan harga minyak dunia juga menyebabkan adanya kenaikan
harga minyak Indonesia yang terlihat dari hasil perkembangan nilai ekspor migas yang pada
1981 mencapai nilai US$ 17,8 miliar (fob) lebih, jika dilihat dari angka Nota Keuangan 1984/85
dimana hasil ekspor minyak dan LNG mencapai puncaknya pada 1981/82 dengan nilai lebih dari
US$19,4 miliar.
Secara presentase jumlah hasil nilai ekspor migas pada 1981/82 yakni lebih dari 82,3
persennya dari seluruh hasil nilai ekspor Indonesia termasuk hasil ekspor non-migas. Ini berarti
hasil non migas hanya sekitar 17,7 persen, untuk itulah nampaknya pemerintah harus terus
berupaya, dana dari migas hampir sepenuhnya digunakan bukan untuk migas, walau
sebenarnya jika terbesar dana dari hasul migas ditanam kembali di usaha migas khususnya untuk
misalnya membangun beberapa kilang minyak ekspor, pasti hasilnya lebih baik.
Jika peranan migas dilihat dari pendapatan negara pada setiap APBN sejak Pelita I hingga
Pelita III, ternyata peran migas sangat besar sekali bagi perekonomian Indonesia. Misalnya,
selama Pelita I jumlah pendapatan dalam negeri dari migas telah mencapai Rp918,4 miliar atau
35,47 persen dari seluruh pendapatan dalam negeri selama Pelita I. Selama Pelita II pendapatan
dari migas sebesar Rp8,1 triliun (terlihat kecil dibanding saat ini yang mencapai Rp300 triliun,
karena kurs Rupiah terhadap Dollar AS saat itu tidak seperti saat ini yang sudah mau menyentuh
Rp12.000 lagi, padahal bila dinilai Dollar AS mungkin tidak berbeda jauh nilainya atau bahkan
sama, berarti ada keuntungan hilang dong karena selisih nilai tukar?, atau 55,1 persen dari
jumlah seluruh pendapatan dalam negeri. Selama Pelita III pendapatan migas seluruhnya
mencapai nilai Rp36,9 triliun lebih atau 66,7 persen dari seluruh jumlah pendapatan dalam
negeri.
Pengaruh Produksi dan Harga Migas Terhadap PDB
Dengan naiknya produksi serta harga migas, sudah jelas pengaruhnya semakin
sangat besar sekali bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, termasuk semakin
besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) di tiga wilayah migas yakni propinsi Aceh,
Kalimantan Timur dan Riau, sekiranya seluruh hasil migas dari setiap propinsi dimasukkan ke
dalam PDRBnya.
Sebagai contoh PDB/GDP Indonesia pada 1969 hanya sebesar Rp2,7 triliun termasuk
hasil dari sektor pertambangan dan penggalian termasuk dari minyak hanya Rp129 miliar atau

hanya 4,75 persen (berdasarkan harga yang berlaku). Baru pada 1974, setelah terjadi perang
Oktober 1973 di Timur Tengah harga minyak dunia mulai melonjak, maka PDB/GDP Indonesia
atas dasar harga yang berlaku menjadi Rp10,7 triliun lebih dimana dari sektor pertambangan dan
penggalian sebesar Rp2,4 triliun atau naik menjadi 22,2 persen dari jumlah PDB, terbesar dari
migas. Pada 1981 jumlah PDB/GDP Indonesia atas dasar harga yang berlaku naik menjadi
Rp54,9 triliun lebih terbesar berasal dari sektor pertambangan dan penggalian yang berjumlah
sekitar Rp13 triliun atau sekitar 24 persen dari jumlah PDB, terbesar dari migas.
Dilihat dari besarnya perkembangan peranan sektor pertambangan dan penggalian dalam
PDB serta perkembangan ekspor migas bisa menjadi bukti apa yang diungkapkan oleh Bruce F
Johnston dan Peter Kilby (1975) bahwa pertama, mengenai negara berkembang yang peranan
sektor pertambangan dalan PDBnya melebihi 2 persen, maka negara tersebut sebagai negara
pengekspor hasil pertambangan.Kedua, bahwa penurunan peranan sektor pertanian dalam
struktur produksi selama pertumbuhan ekonomi, antara lain juga dipengaruhi oleh adanya
peningkatan produksi pertambangan.
Pendapat tersebut menurut penulis masih perlu diberi catatan atau diperbaiki dengan
pertama, bahwa peranan net (produksi minus jumlah konsumsi minus jumlah bagian produksi
para kontraktor/investor) sektor pertambangan dalam PDBnya melebihi 2 persen. Kedua adalah
peningkatan produksi dan harga pertambangan.
Adanya perkembangan produksi dan harga minyak dan LNG memang telah menggeser
peranan sektor-sektor lain terutama sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, yang pada 1969
atas dasar harga yang berlaku berperan sebesar 49,3 persen dari jumlah PDB dan kemudian terus
turun hingga pada 1980 hanya 24,8 persen kemudian naik lagi, sebaliknya peranan sektor
pertambangan dan penggalian dimana terbesar berasal dari hasil minyak dan gas bumi atau LNG,
yang pada 1969 hanya berperan sebesar 4,7 persen kemudian terus meningkat menjadi 22,2
persen pada 1974, kemudian turun lagi pada 1980 dan terus naik lagi menjadi 25,7 persen dan
turun kembali.
Sebagai gambaran nyata peranan migas dalam PDB yang agak rinci sehingga peranan
migas terlihat, misalnya PDB pada 1986 yang berjumlah Rp102,7 triliun diantaranya berasal dari
hasil sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp11,5 triliun yang terbesar dari hasil migas
sebesar Rp10,5 triliun.
Pada 1989 jumlah PDB sebesar Rp167,2 triliun dari sektor pertambangan dan penggalian
sebesar Rp21,8 triliun lebih, terbesar dari migas sebesar Rp19,3 triliun, semuanya atas dasar
harga yang berlaku.
Perubahan-perubahan struktur didasarkan hasil penelitian-penelitian empiris yang
dilakukan oleh Colin Clark, Simon Kuznets dan Hollis Chenery menunjukkan bahwa

peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) maupun PDB mempunyai nilai prediktif dalam arti
kata bahwa suatu tingkat pertumbuhan tertentu dalam PNB dan PDB, disertai oleh
perubahan-perubahan struktural dalam perekonomian.
Dengan adanya perubahan struktur produksi atau perubahan komposisi PDB menurut sektor dan
lapangan usaha biasanya disertai adanya proses pertumbuhan ekonomi atau peningkatan
pendapatan per kapita. Selain dari perubahan dalam struktur produksi, pertumbuhan ekonomi
juga biasanya disertai dengan adanya perubahan-perubahan struktur kesempatan kerja menurut
sektor serta lapangan usaha.
Pengaruh Hasil Migas Terhadap PDRB Penghasil Migas
Apa yang dinyatakan oleh Johnstone dan Kilby, bahwa peningkatan produksi pertambangan atau
pemanfaatan potensi kekayaan alam di luar pertanian, biasanya mempengaruhi kecepatan
penurunan peranan pertanian dalam struktur produksi selama pertumbuhan ekonomi, terbukti hal
itu berlaku juga untuk Indonesia.
Peranan sektor pertambangan terutama yang berasal dari hasil migas baik karena adanya
peningkatan jumlah produksi maupun karena adanya kenaikan-kenaikan harga migas terutama
setelah 1969, yang ternyata telah mempercepat pertumbuhan PDB Indonesia, bahkan telah
mampu menggeser peranan beberapa sektor lainnya termasuk juga tergesernya sektor pertanian
yang sejak semula selalu dominan besarnya bagi PDB Indonesia.
Dari data statistik 1969-1980 dan diperkirakan untuk selanjutnya, bahwa peran migas akan tetap
besar, layaklah untuk mengukur berapa besar peranan migas dalam PDB, maka agak jauh lebih
realistis sekiranya hasil migas dari wilayah migas, yakni di Riau, Aceh dan Kalimantan Timur
dimasukkan di masing-masing PDRBnya.
Bagaimana pertumbuhan PDRB di tiga wilayah migas itu untuk masa 1969-1982, bagaimanapun
peranan migas dalam PDRB dari tiga wilayah manapun merupakan pendapatan pemerintah
pusat, walau jika hasil migas dimasukkan di masing-masing PDRB tiga wilayah migas itu, walau
milik pusat tetapi bisa dijadikan bahan perbandingan bahkan bahan pencocokan terhadap
pertumbuhan PDB Indonesia untuk tahun-tahun yang sama (maka tak heran semenjak otonomi
daerah masing-masing wilayah/daerah penghasil migas menanyakan bagi hasil yang jelas, bila
masih berpandangan hasil migas ke pusat sementara dengan adanya otonomi daerah, secara tidak
langsung, tentu dipertanyakan kemana larinya dana hasil migas?,
Jika diperhatikan apa yang diungkapkan oleh W Richardson, bahwa cara pendekatan analisa
regional dapat dinamakan sebagai ekonomi makro interregional (interregional macroeconomics),
cara ini adalah merupakan penetapan model pendapatan nasional dan model pertumbuhan
nasional terhadap tingkat regional, walaupun harus dicatat bahwa masing-masing daerah juga

diperlakukan sebagai suatu perekonomian terbuka dan dengan demikian model-model tersebut
pun menentukan perdagangan serta arus faktor interregional dan juga pendapatan regional.
Apa yang dinyatakan oleh John Glasson, bahwa model-model pertumbuhan ekonomi nasional
juga dipergunakan untuk menjelaskan penentu-penentu eksternal dari pertumbuhan regional.
Begitu juga Richardson memberikan contoh mengenai penggunaan kelompok model Harrold
Domar dalam analisa regional, formulasi ini merupakan suatu teori yang didominasi permintaan
yang menjelaskan mengenai laju pertumbuhan berdasarkan faktor-faktor permintaan eksogen,
seperti investasi dan ekspor, luas lingkupnya lebih luas lagi dari pada teori basis ekspor, tetapi
juga dibatasi oleh pendekatannya yang bersifat satu pihak dan tingkat agregatnya yang tinggi.
Jika dilihat dari pertumbuhan PDB Indonesia yang semakin besar yang ditunjang dari hasil
sektor pertambangan dan penggalian terutama dari hasil migas dari tiga wilayah migas, yakni
Riau, Aceh dan Kalimantan Timur, memang tidak bisa disangkal lagi bahwa tiga wilayah migas
itu telah banyak berperan atau memberikan warna terhadap perekonomian Indonesia. Walau
harus diakui, bahwa walaupun tiga wilayah migas itu kaya akan sumber daya alam migasnya,
tetapai karena semua hasil migas sebelumnya (sebelum berlakunya UU Otonomi Daerah) dimana
saja merupakan milik pemerintah pusat (negara).
Tetapi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah, maka semakin penting arti PDRB
terutama di wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya, khususnya migas,
sehingga dengan mudahnya untuk menghitung pembagian dana/hasil bagi setiap wilayah.
Di samping itu juga untuk dijadikan cek and ricek antar PDRB dan PDB/GDP yang
ditunjang dari segala hasil sumber alam migas.
Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002.
sumber: http://www.sejarahmigas.co.vu/2013/11/gambaran-ekonomi-dari-migas-bagian-2.html

Anda mungkin juga menyukai