Anda di halaman 1dari 88

PERTANIAN DAN PENGAIRAN

BAB VI

PERTANIAN DAN PENGAIRAN

A. PENDAHULUAN

Pembangunan jangka panjang tahap pertama yang dilaksanakan


secara bertahap, dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakkan landasan yang kuat untuk
pembangunan tahap berikutnya. Titik berat dalam Repelita I sampai dengan
Repelita V adalah pembangunan bidang ekonomi dengan sasaran utama untuk
mencapai struktur ekonomi yang seimbang di mana terdapat kemampuan dan
kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan
pertanian yang tangguh, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat.

Sebelum pembangunan jangka panjang tahap pertama dimulai,


Indonesia merupakan salah satu negara yang termiskin di dunia. Kondisi
ekonomi pada saat itu dapat digambarkan bahwa sebagian besar penduduk,
yang umumnya berada di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan baik
dalam arti tingkat pendapatan maupun dalam arti keadaan gizi. Produksi
pertanian dan industri mengalami stagnasi. Tingkat inflasi dan pengangguran
sangat tinggi. Jumlah devisa sangat terbatas, sehingga tidak mampu
mengimpor barang-barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan di

VI/3
dalam negeri. Dalam keadaan ekonomi semacam ini, di mana sektor
pertanian merupakan sumber lapangan kerja dan pendapatan sebagian besar
masyarakat, penman pembangunan sektor pertanian sangat dominan,
terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, meningkatkan kesempatan
kerja dan pendapatan para petani, meningkatkan devisa serta mendorong
pertumbuhan industri. Perbaikan taraf hidup hanya mungkin dicapai apabila
sektor pertanian dapat digerakkan, sehingga produksi dan produktivitasnya
meningkat. Dalam hubungan ini Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sejak Repelita I sampai dengan Repelita IV menetapkan titik berat
pembangunan ekonomi pada sektor pertanian. Selanjutnya GBHN tahun
1988 menetapkan bahwa prioritas pembangunan diletakkan pada
pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil-hasil
pertanian lainnya, dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang
seimbang antara industri dan pertanian baik dari segi nilai tambah maupun
penyerapan tenaga kerja.

Sesuai dengan arah dan kebijaksanaan pembangunan nasional,


pembangunan pertanian dilaksanakan melalui berbagai program, yang
merupakan kelanjutan dan perluasan dari program-program pembangunan
dalam Repelita-repelita sebelumnya, yang terdiri dari program peningkatan
produksi tanaman pangan, program peningkatan produksi perkebunan,
program peningkatan produksi peternakan, program peningkatan produksi
perikanan dan program peningkatan produksi kehutanan. Program-program
peningkatan produksi tersebut ditunjang dengan program-program lainnya,
seperti program penelitian, program pengembangan prasarana irigasi dan
jalan, dan juga dengan kebijaksanaan harga pangan.

Dengan makin berkembangnya prasarana fisik di pedesaan, para


petani menjadi makin tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,
antara lain terhadap perubahan harga pasar. Kebijaksanaan harga pangan dan
sarana produksi yang ditempuh sejak Repelita I, yang terus dimantapkan
sejak 1988/89 sampai sekarang, merupakan salah satu kebijaksanaan
terpenting dalam rangka mencapai dan memantapkan swasembada pangan
selama kurun waktu Repelita I sampai dengan Repelita V. Kebijaksanaan ini
telah terbukti dapat mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani
serta menjamin daya beli masyarakat. Kebijaksanaan ini sangat bermanfaat
untuk makin meningkatkan efisiensi ekonomi pedesaan, karena makin
berkembangnya kelembagaan pertanian dan prasarana fisik di pedesaan.

VI/4
Tercapainya swasembada pangan dalam tahun 1984 telah
memberikan peluang yang lebih besar bagi pembangunan pertanian untuk
lebih meningkatkan produksi hortikultura, perikanan, peternakan dan
perkebunan, di samping untuk mempertahankan swasembada pangan. Usaha
meningkatkan produksi berbagai komoditi ini dimaksudkan untuk
meningkatkan ekspor hasil-hasil pertanian dan untuk menanggulangi
masalah-masalah kemiskinan bagi petani di lahan kering dan di daerah
pantai. Dengan meningkatnya permintaan akan hasil-hasil pertanian bernilai
tinggi, kebijaksanaan meningkatkan produksi berbagai komoditi tersebut
juga dimaksudkan untuk meningkatkan penyediaan hasil-hasil pertanian
bernilai gizi tinggi. Kebijaksanaan lainnya adalah mendorong peningkatan
investasi swasta dan badan-badan usaha milik negara untuk pengembangan
agribisnis.

Dalam usaha menciptakan dan memantapkan kerangka landasan


untuk tinggal landas, dalam Repelita V selanjutnya program pembangunan
pertanian juga diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien
dan tangguh, sehingga dapat tercipta kerangka landasan yang makin kuat
bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sejak tahun 1988/89
sampai sekarang kebijaksanaan untuk memantapkan kerangka landasan juga
dilakukan melalui usaha peningkatan efisiensi di bidang-bidang produksi,
pengolahan dan pemasaran serta melalui upaya-upaya pengembangan
kelembagaan pertanian rakyat. Dalam pada itu, tujuan untuk memeratakan
kegiatan pembangunan dan meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah selama lima tahun yang lalu juga terus ditingkatkan.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi padi sangat
meningkat. Dalam tahun 1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton; dan
pada tahun 1992 naik menjadi 47.293 ribu ton (Tabel VI-1), yang berarti
meningkat menjadi hampir tiga kali. Perkembangan ini berarti bahwa dalam
periode yang sama produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi
154,0 kg per jiwa. Prestasi yang besar, khususnya di sektor pertanian ini
telah merubah posisi Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di
dunia menjadi negara yang mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984;
dan kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu
selanjutnya juga selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat
Repelita V tetap dapat dipertahankan. Di samping itu meningkatnya
penyediaan pangan selama ini mempunyai pengaruh sangat besar terhadap
usaha mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan,

VI/5
dilihat baik dalam arti tingkat pendapatan maupun dalam arti keadaan gizi
mereka. Apabila dalam tahun 1976 ada sekitar 54 juta orang hidup di bawah
garis kemiskinan, maka pada tahun 1990 jumlah tersebut telah menjadi 27
juta orang. Dalam pada itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor
pertanian meningkat dari 29 juta orang pada tahun 1976 menjadi 42 juta
orang pada tahun 1990 .

Sebagaimana juga dapat dilihat pada Tabel VI-1, selama tahun 1968
sampai dengan tahun 1992, produksi hasil-hasil pertanian terpenting selain
beras juga menunjukkan kenaikan yang sangat berarti. Kalau tahun 1968
produksi jagung dan kedele masing-masing mencapai 3.165 ribu ton dan 420
ribu ton, dan dalam tahun 1992 masing-masing naik menjadi 7.039 ribu ton
dan 1.687 ribu ton, atau masing-masing meningkat menjadi dua kali dan
empat kali. Produksi ikan laut meningkat dari 723 ribu ton pada tahun 1968
menjadi 2.628 ribu ton pada tahun 1992, atau meningkat menjadi hampir
empat kali. Produksi susu meningkat dari 29 juta liter dalam tahun 1968
menjadi 382 juta liter dalam tahun 1992, atau meningkat menjadi tiga belas
kali. Produksi kelapa sawit 181 ribu ton pada tahun 1968 dan pada tahun
1992 naik menjadi 3.162 ribu ton atau meningkat menjadi tujuh belas kali.
Selain itu produksi coklat pada tahun 1968 dapat dikatakan sangat kecil
sekali, yaitu 1,2 ribu ton; sedangkan pada tahun 1992 naik menjadi 175,4
ribu ton.

Dalam lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V


produksi hasil pertanian lainnya tetap meningkat. Dalam kurun waktu
tersebut, peningkatan produksi yang sangat tinggi terjadi pada produksi
kelapa sawit, tembakau dan produksi susu, yaitu masing-masing meningkat
16,1%, 43,7% dan 10,6% per tahun. Sedangkan produksi jagung dan
kedele masing-masing meningkat 7,3% dan 7,8% per tahun. Selanjutnya
produksi ikan laut, ikan darat dan daging masing-masing meningkat 5,4%,
5,3% dan 5,91 per tahun (Tabel VI-1).

Selama tahun 1968 sampai tahun 1992, ekspor hasil pertanian


terpenting umumnya mengalami peningkatan yang sangat berarti, kecuali
kulit ternak dan kacang tanah yang cenderung menurun sebagai akibat
meningkatnya permintaan dalam negeri. Peningkatan ekspor yang sangat
tinggi terjadi pada komoditi ikan segar dan udang yang masing-masing
meningkat menjadi empat puluh tujuh kali dan tiga puluh empat kali.

VI/6
TABEL VI – 1
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam gabah kering giling
5) Dalam juta liter
6) Dalam ton
7) Dalam ribu m3

VI/7
GRAFIK VI - 1
PERKEMBANGAN PRODUKSI BEBERAPA HASIL
PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992

VI/8
Dalam tahun 1968 ekspor ikan segar dan udang masing-masing
mencapai 3,4 ribu ton dan 2,9 ribu ton; dan pada tahun 1992 meningkat
menjadi 160 ribu ton dan 98,5 ribu ton. Ekspor minyak sawit, teh dan
tembakau juga mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dalam tahun
1968 ekspor minyak sawit, teh dan tembakau masing-masing mencapai
152,4 ribu ton, 20,2 ribu ton dan 8,2 ribu ton; dan pada tahun 1992
masing-masing meningkat menjadi 1.174,8 ribu ton, 113,4 ribu ton dan 24
ribu ton (Tabel VI-2).

Di samping itu dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun


keempat Repelita V, ekspor hasil-hasil pertanian umumnya tetap
menunjukkan peningkatan yang sangat berarti. Dalam kurun waktu tersebut,
peningkatan ekspor yang sangat tinggi tetap dialami oleh ekspor ikan segar
dan udang, yaitu masing-masing meningkat 29,9% dan 18,1% per tahun.
Ekspor komoditi lainnya yang juga mengalami peningkatan cukup besar
adalah lada, minyak sawit dan tembakau, yaitu masing-masing meningkat
13,7%, 13,5% dan 11,0% per tahun (Tabel VI-2). Bahkan tingkat
pertumbuhan ekspor lada, minyak sawit dan tembakau lebih tinggi dari
rata-rata pertumbuhan hampir selama 25 tahun. Peningkatan ekspor yang
sangat tinggi ini mempunyai sumbangan yang sangat berarti terhadap
penghasilan devisa negara, di samping meningkatkan volume perdagangan
internasional yang akhirnya meningkatkan kesempatan kerja di sektor
perdagangan dan jasa.

B. TANAMAN PANGAN

1. Padi/Beras

Usaha untuk mencapai swasembada pangan selama tahun 1968


sampai tahun 1984, dan untuk mempertahankannya selanjutnya, sampai
tahun keempat Repelita V, dilaksanakan melalui peningkatan hasil rata-rata
per hektar dengan jalan meningkatkan mutu intensifikasi dan
mengembangkan teknologi tepat guna. Selain itu dilaksanakan juga
peningkatan kegiatan perluasan areal dan diversifikasi tanaman pangan.

Usaha pembangunan pertanian tanaman pangan bukan saja


dimaksudkan untuk meningkatkan produksi, melainkan juga untuk
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, termasuk yang masih

VI/9
TABEL VI – 2
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam ribu m3

VI/10
GRAFIK VI – 2
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR
HASIL PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992

VI/10
hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam hubungan ini kebijaksanaan harga
pangan merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan
pendapatan dan mendorong petani untuk meningkatkan produksi.
Kebijaksanaan harga yang telah diterapkan sejak awal Repelita I ini, untuk
tahun-tahun 1988 sampai sekarang masih sangat sesuai dan merupakan
kebijaksanaan yang konsisten, bersama-sama dengan usaha-usaha yang lain,
dampaknya sangat membantu upaya mempertahankan swasembada pangan
dalam lima tahun terakhir ini. Kebijaksanaan lain meliputi peningkatan usaha
intensifikasi, yang dilaksanakan dengan membina kelompok tani, mendorong
petani menggunakan benih unggul bersertifikat serta menggunakan pupuk
secara efisien, menerapkan teknologi pengendalian hama terpadu, mengelola
air irigasi secara efisien, dan memanfaatkan teknologi pascapanen untuk
mengurangi kehilangan hasil. Dalam kurun waktu tahun 1988 sampai dengan
tahun keempat Repelita V, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
telah diperkenalkan teknologi pupuk tablet.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan petani mengendalikan


organisme pengganggu tanaman, sejak tahun 1986 berdasarkan INPRES
Nomor 3 Tahun 1986 dilaksanakan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang
menekankan pemberantasan hama dengan menggunakan pestisida secara
bijaksana. PHT ini merupakan usaha yang dilaksanakan juga dalam rangka
meningkatkan kemampuan petani untuk menguasai ekologi lahan usaha
taninya dengan jalan mengendalikan hama dan penyakit secara alamiah.
Selanjutnya, dalam rangka mendorong penggunaan pestisida secara lebih
efisien, dan bersamaan dengan itu mengurangi dampak negatip terhadap
lingkungan hidup sebagai akibat penggunaan pestisida secara berlebihan,
subsidi pestisida telah dihapus sejak tahun 1989. Sebagaimana disebutkan di
atas, selain melalui intensifikasi, peningkatan produksi beras dilaksanakan
pula dengan jalan meningkatkan usaha ekstensifikasi. Peningkatan usaha ini
dilaksanakan melalui perluasan jaringan irigasi, pencetakan sawah baru di
daerah irigasi yang telah selesai pembangunannya, dan melalui
pengembangan prasarana ekonomi lainnya.

Sebagai hasil kebijaksanaan pembangunan pertanian pangan yang


ditempuh sejak tahun 1969, dalam tahun 1984 tercapai swasembada pangan.
Dan keadaan ini selanjutnya, juga selama lima tahun terakhir ini terus dapat
dipertahankan. Tercapainya swasembada pangan tersebut dan dapat
dipertahankannya mempunyai sumbangan yang berarti, terutama dalam

VI/12
peningkatan kualitas gizi dan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja dan
pertumbuhan ekonomi di daerah. Sebelum tahun 1984 negara Indonesia
merupakan negara yang mengimpor beras terbesar di dunia, sehingga
dampak terpenting lainnya adalah penghematan devisa negara dan
tersedianya pangan yang cukup bagi sektor industri. Devisa yang dihemat
dapat digunakan untuk impor barang-barang modal bagi keperluan
pengembangan industri. Dampak lainnya adalah kestabilan ekonomi, karena
meningkatnya penyediaan pangan berpengaruh terhadap tingkat inflasi.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 produksi padi telah
meningkat dari 17.156 ribu ton menjadi 47.293 ribu ton atau meningkat
menjadi hampir 3 kali (Tabel VI-1). Ini berarti penyediaan beras meningkat
dari 95,9 kg per jiwa pada tahun 1968 menjadi 154,0 kg per jiwa pada tahun
1992. Peningkatan produksi pangan ini terutama merupakan hasil
peningkatan produktivitas dan luas areal tanaman padi. Hasil rata-rata padi
per ha program intensifikasi dalam tahun 1968 mencapai 2,21 ton; pada
tahun 1992 meningkat menjadi 4,72 ton atau rata-rata meningkat menjadi
dua kali (Tabel VI-3). Peningkatan produktivitas yang sangat tinggi ini
merupakan hasil kebijaksanaan harga pangan dan pembinaan petani secara
berkelompok, yang berhasil mendorong mereka menggunakan bibit unggul
dan pupuk pada tingkat yang sangat tinggi.

Selanjutnya selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat


Repelita V, hasil rata-rata program intensifikasi masih menunjukkan
peningkatan yang cukup berarti, yaitu meningkat 1,1% per tahun (Tabel
VI-3). Meningkatnya produktivitas program intensifikasi ini merupakan
hasil pembangunan yang sangat penting selama lima tahun terakhir ini. Hal
ini disebabkan meskipun lahan usaha tani padi telah mulai menunjukkan
kejenuhan dan terjadinya musim kering yang panjang pada tahun 1991,
tetapi dengan dilaksanakannya kebijaksanaan yang konsisten, hasil rata-rata
program intensifikasi masih tetap meningkat. Kebijaksanaan itu, antara lain
kebijaksanaan harga pangan dengan memperhatikan hubungan yang wajar
antara harga dasar padi dan pupuk, sehingga petani tetap didorong untuk
meningkatkan produksi, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.
Kebijaksanaan ini didukung pula oleh makin meningkatnya penyediaan
fasilitas kredit, meningkatnya mutu penyuluhan, membaiknya pengelolaan
air irigasi, prasarana jalan dan distribusi pupuk serta semakin efisiennya
petani dalam menggunakan pupuk.

VI/13
TABEL VI – 3
1)
PERKEMBANGAN HASIL RATA-RATA DAN LUAS PANEN PADI PROGRAM INTENSIFIKASI
1968 – 1992

1) Angka tahunan
2) Dalam gabah kering giling
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

VI/14
GRAFIK VI – 3
PERKEMBANGAN LUAS PANEN PADI PROGRAM INTENSIFIKASI
1968 – 1992

VI/15
Dalam tahun 1968 penggunaan pupuk mencapai 119.800 ton; dan
dalam tahun 1988 meningkat menjadi 1.879.973 ton, atau meningkat hampir
enam belas kali lipat. Selanjutnya selama lima tahun terakhir, para petani
makin menekankan penggunaan pupuk secara efisien, yang merupakan hasil
peningkatan kegiatan penyuluhan dan penelitian. Dalam hubungan ini
penggunaan pupuk pada tahun 1992 meningkat menjadi 2.364.000 ton
(Tabel VI-6). Hal ini berarti bahwa dibandingkan dengan tahun 1968
penggunaan pupuk meningkat menjadi 19 kali lipat.

Selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, hasil rata-rata padi per
ha secara keseluruhan sangat meningkat, yaitu dari 2,13 ton menjadi 4,35
ton, jadi meningkat menjadi dua kali lebih. Selama lima tahun terakhir
sampai dengan tahun 1992 hasil rata-rata per ha meningkat 1,5% per tahun
(Tabel VI-4). Sebagaimana diuraikan di atas laju kenaikan produktivitas per
ha secara keseluruhan dalam kurun waktu tersebut lebih rendah dari laju
kenaikan produktivitas per ha selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992.
Walaupun demikian produktivitas per ha tetap meningkat sebagai hasil dari
kebijaksanaan harga pangan dan perbaikan pengelolaan air irigasi dan
kelembagaan petani serta sistem distribusi pupuk. Menurunnya laju
pertumbuhan produktivitas disebabkan oleh kejenuhan lahan terhadap
pemupukan dan terjadinya kemarau yang panjang pada tahun 1991. Selama
lima tahun terakhir kenaikan produktivitas padi per ha di luar Jawa lebih
tinggi dibanding dengan kenaikan produktivitas per ha di pulau Jawa; di luar
Jawa 1,8%, di Jawa 1,5% per tahun. Keadaan ini menggambarkan semakin
berhasilnya usaha-usaha perluasan areal dan pembinaan petani di luar Jawa
sejak tahun 1988 sampai dengan tahun keempat Repelita V.

Sejak tahun 1968 luas panen intensifikasi padi telah meningkat dari
1.597 ribu ha menjadi 9.211 ribu ha pada tahun 1992, atau meningkat
menjadi hampir enam kali. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun
keempat Repelita V, luas panen intensifikasi padi tetap meningkat, walaupun
laju pertumbuhannya lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
disebabkan menurunnya luas panen intensifikasi padi pada tahun 1991 seluas
142 ribu ha sebagai akibat musim kemarau yang panjang. Luas panen
intensifikasi padi yang masih meningkat 2,8% per tahun merupakan hasil
pembinaan secara intensif, sehingga luas panen intensifikasi khusus sangat
meningkat. Selama tahun 1987 sampai dengan tahun 1992 luas panen
intensifikasi khusus meningkat lebih dari 50%, yaitu dari 4.922 ribu ha pada
tahun 1987 menjadi 7.544 ribu ha pada tahun 1992 (Tabel VI-3). Kenaikan

VI/16
TABEL VI – 4

PERKEMBANGAN HASIL RATA-RATA PADI PER HA, 1)


1968 – 1992
(ton per ha) 2)

1) Angka tahunan
2) Dalam gabah kering giling
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

VI/17
GRAFIK VI – 4
PERKEMBANGAN HASIL RATA-RATA PADI PER HA,
1968 – 1992

VI/18
luas panen intensifikasi khusus tersebut menggambarkan makin baiknya
kelembagaan petani dan prasarana ekonomi, sehingga memungkinkan
terjadinya pergeseran areal intensifikasi umum ke areal intensifikasi khusus.
Perubahan ini juga menunjukkan keberhasilan pembinaan para petani secara
berkelompok.

Luas panen padi secara keseluruhan selama tahun 1968 sampai


dengan tahun 1992 meningkat dari 8.020 ribu ha menjadi 10.870 ribu ha,
atau meningkat menjadi 1,4 kali. Selama lima tahun terakhir sampai dengan
tahun keempat Repelita V luas panen padi juga meningkat, yaitu 1,9% per
tahun (Tabel VI-5). Meningkatnya luas panen padi tersebut antara lain
merupakan hasil peningkatan intensitas tanaman dan pencetakan sawah baru.
Peningkatan intensitas tanaman tersebut dimungkinkan, karena perbaikan
sistem pengelolaan air irigasi, tersedianya bibit unggul berumur pendek dan
kebijaksanaan harga pangan, sehingga petani dapat menanam padi dua
sampai tiga kali setahun. Dalam Repelita III dan Repelita IV, usaha
pencetakan sawah mencapai sekitar 371 ribu ha. Selama tahun-tahun 1989
sampai dengan tahun keempat Repelita V, pelaksanaan pencetakan sawah
mencapai sekitar 269,6 ribu ha.

Secara keseluruhan, selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992,


total produksi padi rata-rata meningkat 4,3% per tahun. Selama lima tahun
terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, tingkat laju pertumbuhan
produksi padi sedikit lebih rendah dari tingkat laju pertumbuhan produksi
padi dalam tahun-tahun sebelumnya, yaitu 3,4% per tahun (Tabel VI-5).
Penurunan tingkat kenaikan ini terutama disebabkan oleh menurunnya laju
kenaikan produktivitas dan luas panen intensifikasi.

2. Palawija dan Hortikultura

Meskipun selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1984 prioritas


utama peningkatan produksi tanaman pangan diarahkan untuk mencapai
swasembada beras, produksi palawija dan hortikultura secara terus menerus
ditingkatkan pula sebagai pelaksanaan kebijaksanaan diversifikasi.
Penggalakan produksi palawija terutama ditekankan pada peningkatan
produksi ubi kayu, kedele dan jagung. Dengan tercapainya swasembada
beras dan makin meningkatnya pendapatan masyarakat, permintaan akan
hasil-hasil produksi palawija dan hortikultura di dalam negeri meningkat
pula. Jalan yang ditempuh untuk meningkatkan produksi tersebut adalah

VI/19
TABEL VI – 5
1)
PERKEMBANGAN LUAS PANEN DAN PRODUKSI PADI
1968 – 1992

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam gabah kering giling

VI/20
mengembangkan teknologi tepat guna bagi tanaman tumpang sari dan
pergiliran tanaman. Kebijaksanaan diversifikasi tanaman ditunjang dengan
peningkatan efisiensi dalam pengelolaan air irigasi, penerapan teknologi
pascapanen dan kebijaksanaan harga pangan. Kegiatan pergiliran tanaman
dikaitkan dengan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai
usaha pengurangan populasi hama dan penyakit tanaman.

Dengan semakin meningkatnya permintaan kedele di dalam negeri


dan untuk mengurangi impor kedele, selama lima tahun ini, sampai tahun
keempat Repelita V, dilaksanakan intensifikasi penanaman kedele melalui
peningkatan dan perbaikan mutu benih serta perbaikan teknik-teknik
pengolahan lahan.

Peningkatan produksi hortikultura, di samping ditekankan pada


komoditi-komoditi yang mempunyai prospek pasar cukup tinggi, juga
dikaitkan dengan usaha-usaha konservasi lahan dan pengembangan
agribisnis. Dalam hubungan ini penelitian dan pengembangan teknologi
makin ditingkatkan untuk daerah-daerah lahan kering. Penelitian tersebut
mencakup pengembangan varietas unggul dan teknik konservasi, seperti
pembuatan terasering, cekdam dan tanaman lorong. Selain itu investasi
swasta untuk komoditi nenas dan pisang juga makin dikembangkan melalui
penyediaan fasilitas kredit dan pengembangan proses pengolahan hasil oleh
pengusaha swasta.

Hasil-hasil pengembangan produksi palawija digambarkan dalam Tabel


VI-7. Selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 hasil rata-rata per ha
palawija mengalami peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan hasil rata-
rata terbesar terjadi pada komoditi jagung dan kedele. Dalam tahun 1968
hasil rata-rata per ha jagung dan kedele masing-masing telah meningkat dari
9,8 kuintal per ha dan 6,2 kuintal masing-masing menjadi 21,7 kuintal dan
11,2 kuintal dalam tahun 1992 atau masing-masing meningkat menjadi dua
kali lebih dan hampir dua kali.

Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V


hasil rata-rata per ha palawija tetap meningkat, yang merupakan hasil
pembinaan petani melalui kegiatan penyuluhan dan pengembangan sistem
informasi pasar. Tabel VI-7 menggambarkan kecenderungan hal yang sama
dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana hasil rata-rata per ha jagung dan
kedele tetap mengalami kenaikan tertinggi. Sejak tahun 1987 sampai dengan

VI/21
tahun 1992 hasil rata-rata per ha jagung dan kedele masing-masing
meningkat 2,0% dan 1,2% per tahun. Laju kenaikan hasil rata-rata per ha
palawija selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repe-
lita V agak lebih rendah dari laju kenaikan hasil rata-rata per ha
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti,
karena sebagian besar petani palawija telah menggunakan teknologi baru
seperti bibit unggul dan pupuk, di mana laju pertumbuhannya tidak secepat
pada awal penggunaan teknologi baru tersebut.

Selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 luas panen palawija
umumnya meningkat kecuali luas panen ubi kayu dan ubi jalar. Peningkatan
terbesar terjadi pada luas panen kacang tanah dan kedele, yaitu
masing-masing meningkat dari 395 ribu ha dan 677 ribu ha dalam tahun
1968, menjadi 657 ribu ha dan 1.506 ribu ha dalam tahun 1992 (Tabel
VI-7). Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
tingkat kenaikan luas panen palawija jauh lebih tinggi dari laju kenaikan luas
panen dalam tahun-tahun sebelumnya, kecuali luas panen ubi jalar yang
cenderung tetap menurun. Kenaikan luas panen tertinggi terjadi pada kedele
dan terendah pada ubi kayu, yaitu masing-masing 6,5% dan 1,2% per
tahun.

Dengan meningkatnya luas panen dan hasil rata-rata per ha, produksi
palawija umumnya meningkat dengan pesat, kecuali ubi jalar sebagai akibat
menurunnya luas panen. Sejak tahun 1968 total produksi jagung, kedele dan
kacang tanah masing-masing telah meningkat dari 3.165 ribu ton, 420 ribu
ton dan 287 ribu ton; dan pada tahun 1992 masing-masing menjadi 7.039
ribu ton, 1.687 ribu ton dan 674 ribu ton, atau masing-masing meningkat
menjadi dua kali lebih, empat kali dan dua kali lebih (Tabel VI-7). Selama
lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, produksi
jagung, kedele dan kacang tanah meningkat lebih tinggi dari tingkat
kenaikan produksi dalam tahun-tahun sebelumnya, yaitu masing-masing
7,3%, 7,8% dan 4,9% per tahun. Hal ini merupakan hasil pembinaan
kelembagaan petani, kebijaksanaan harga dasar komoditi tersebut dan
peningkatan usaha-usaha diversifikasi.

Selama awal Repelita I sampai dengan tahun 1992, hasil rata-rata


per ha sayuran dan buah-buahan masing-masing meningkat dari 29,9 kuintal
dan 46,6 kuintal menjadi 38,9 kuintal dan 82,5 kuintal (Tabel VI-8). Selama
lima tahun terakhir, sampai tahun keempat Repelita V, hasil rata-rata per ha

VI/22
TABEL VI – 6
1)
PERKEMBANGAN PENGGUNAAN PUPUK PADA PROGRAM TANAMAN PANGAN,
1968 – 1992
(ton zat hara)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/23
GRAFIK VI – 5
PERKEMBANGAN PENGGUNAAN PUPUK
PADA PROGRAM TANAMAN PANGAN,
1968 – 1992

VI/24
TABEL VI – 7
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI, HASIL RATA-RATA DAN LUAS PANEN BEBERAPA JENIS PALAWIJA,
1968 – 1992

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/25
kedua jenis komoditi ini lebih meningkat lagi, yaitu sayuran meningkat
1,9% per tahun dan buah-buahan meningkat 2,8% per tahun.

Luas panen sayuran dan buah-buahan selama tahun 1968 sampai de -


ngan tahun 1992 masing-masing meningkat dari 660 ribu ha dan 488 ribu ha
menjadi 1.126 ribu ha dan 653 ribu ha, atau masing-masing meningkat
menjadi hampir dua kali dan satu kali lebih. Selama lima tahun terakhir
hanya luas panen sayuran yang meningkat, yaitu 9,7% per tahun, sedang
luas panen buah-buahan bahkan menurun dengan 0,9% per tahun.
Penurunan ini disebabkan oleh adanya penurunan luas panen beberapa
komoditi buah-buahan, antara lain papaya, nenas, salak dan jambu.

Dengan meningkatnya hasil rata-rata per ha dan luas panen, produksi


sayuran dan buah-buahan sejak tahun 1968 masing-masing meningkat dari
1.791 ribu ton dan 2.272 ribu ton menjadi 4.377 ribu ton dan 5.388 ribu ton
dalam tahun 1992, atau ' meningkat menjadi dua kali lebih. Produksi sayuran
dalam tahun 1988 dan 1990 mengalami penurunan, yaitu masing-masing
sebesar 4,0% dan 5,9% dibanding tahun sebelumnya. Turunnya tingkat
produksi dalam tahun 1988 disebabkan oleh turunnya hasil rata-rata per ha,
sedangkan penurunan produksi dalam tahun 1990 disebabkan oleh turunnya
luas panen. Keadaan ini menyebabkan selama lima tahun terakhir sampai
dengan tahun keempat Repelita V, produksi sayuran rata-rata meningkat
hanya 0,7% per tahun. Sejak tahun 1987 sampai dengan tahun 1992
produksi buah-buahan umumnya meningkat setiap tahun, kecuali dalam
tahun 1989, yaitu menurun sebesar 14,1% dibanding tahun sebelumnya.
Penurunan produksi ini disebabkan menurunnya luas panen buah-buahan.
Dalam kurun waktu lima tahun tersebut, produksi buah-buahan rata-rata
meningkat 1,8% per tahun (Tabel VI-8).

Produksi palawija dan hortikultura yang sangat meningkat sejak


tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 menggambarkan perkembangan yang
sangat pesat bagi usaha diversifikasi produksi. Perkembangan ini telah
mempunyai dampak yang sangat positif terhadap peningkatan kesempatan
kerja dan pendapatan para petani, penyediaan bahan makanan bernilai gizi
tinggi, pengendalian hama terpadu dan penanggulangan masalah kemiskinan
di daerah lahan kering. Selain itu meningkatnya produksi kedele dan jagung
telah mengurangi volume impor kedua komoditi tersebut, sehingga dapat
menghemat devisa negara.

VI/26
TABEL VI – 8
1)
PERKEMBANGAN LUAS PANEN, PRODUKSI DAN HASIL RATA-RATA HORTIKULTURA,
1968 – 1992

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/27
C. PETERNAKAN

Sejak awal Repelita I sampai dengan akhir tahun Repelita IV


pembangunan peternakan memprioritaskan pengembangan peternakan
rakyat, terutama melalui usaha intensifikasi dan ekstensifikasi. Sejak tahun
1988 penekanan pada pengembangan peternakan rakyat dilanjutkan sampai
dengan tahun keempat Repelita V. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
penyediaan protein hewani sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas
gizi masyarakat, di samping meningkatkan pendapatan para petani peternak
dan kesempatan kerja. Untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat dan
pendapatan petani, pembangunan peternakan ditekankan terutama untuk
meningkatkan populasi dan hasil-hasil ternak unggas dan ternak kecil.
Penekanan itu dilakukan mengingat peternakan unggas dan ternak kecil
dapat memberikan hasil dalam waktu relatif singkat; lagi pula sebagian besar
dimiliki oleh peternak kecil yang berpenghasilan rendah. Pengembangan
peternakan rakyat ini dilakukan dengan jalan mengembangkan perusahaan
pembibitan ayam dan ternak kecil, didukung dengan pengembangan industri
pakan ternak dan penyuluhan. Dalam rangka meningkatkan efisiensi usaha
peternakan ayam dan memungkinkan adanya investasi baru, Keppres Nomor
50 Tahun 1981 yang antara lain bertujuan membatasi skala usaha peternakan,
diganti dengan Keppres Nomor 22 Tahun 1990. Dengan Keppres Nomor
22 Tahun 1990 ini pembatasan skala usaha dikurangi, bahkan bagi
perusahaan ekspor pembatasan skala usaha ditiadakan sama sekali.

Untuk memenuhi permintaan daging dalam negeri yang makin


meningkat, sejak awal Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V
populasi ternak potong diusahakan ditingkatkan. Usaha peningkatan populasi
ternak potong dilakukan terutama dengan jalan meningkatkan produktivitas
ternak rakyat melalui perbaikan genetik ternak dan kawin suntik,
penggemukan sapi, peningkatan penyediaan pakan ternak, dan pencegahan
serta pengendalian penyakit ternak. Selama jangka waktu tersebut,
peningkatan populasi ternak juga dilaksanakan melalui usaha ekstensifikasi,
dengan cara mendorong investasi swasta berskala besar terutama di daerah-
daerah luar Jawa. Usaha ekstensifikasi itu didukung dengan pengembangan
industri pengolahan daging dan obat-obatan, pengembangan prasarana
perhubungan dan penyediaan fasilitas kredit.

Dalam rangka meningkatkan produksi dan mengurangi impor susu,


sejak tahun 1979 sampai dengan tahun 1992 dilaksanakan peningkatan

VI/28
produktivitas ternak sapi perah rakyat dengan cara memperbaiki mutu ternak
melalui kawin suntik, impor bibit unggul sapi perah, mengembangkan
padang penggembalaan, memberantas dan mengendalikan penyakit, dan
melakukan penyuluhan mengenai teknik-teknik pengelolaan usaha. Dalam
rangka meningkatkan efisiensi sistem pemasaran dan mengusahakan
terjaminnya kualitas susu, sejak tahun 1988 sampai dengan tahun 1990
pengembangan ternak perah rakyat dipadukan dengan pengembangan
industri pengolahan susu dan koperasi. Selanjutnya dalam tahun 1990
hubungan kerja sama antara perusahaan inti, disatu pihak, dan petani plasma
serta koperasi di pihak lain, disempurnakan lagi sehingga hak dan tanggung
jawab masing-masing lembaga menjadi makin jelas.

Sebagai hasil dari kebijaksanaan yang diterapkan sejak awal Repe-


lita I sampai dengan tahun 1992, populasi berbagai jenis ternak umumnya
menunjukkan peningkatan yang sangat pesat, terutama ternak unggas, sapi
perah dan sapi potong (Tabel VI-9). Sejak tahun 1968 populasi ayam petelur
dan ayam buras masing-masing meningkat dari 250 ribu ekor dan 61.119
ribu ekor menjadi 50.186 ribu ekor dan 216.008 ribu ekor pada tahun 1992.
Bahkan dalam tahun 1968 ayam pedaging belum ada sama sekali dan
meningkat menjadi 492.630 ribu ekor pada tahun 1992. Sedangkan populasi
sapi perah meningkat dari 45 ribu ekor pada tahun 1968 menjadi 325 ribu
ekor pada tahun 1992, atau meningkat menjadi tujuh kali lebih.

Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V,


populasi ternak tetap menunjukkan peningkatan yang berarti (Tabel VI-9).
Tingkat peningkatan terbesar juga terjadi dalam populasi ternak unggas
terutama ayam pedaging, yaitu rata-rata meningkat 17,9% per tahun. Dalam
tahun 1990 dan 1991 populasi ternak ayam pedaging sangat meningkat,
yaitu masing-masing sebesar 24,2% dan 24,9% dibanding tahun
sebelumnya. Yang demikian terjadi karena usaha di bidang peternakan
unggas dapat memberikan hasil yang lebih cepat. Populasi ayam pedaging
yang meningkat sangat tinggi merupakan hasil kebijaksanaan yang tertuang
dalam Keppres Nomor 22 Tahun 1990. Sebagaimana disebutkan terdahulu,
kebijaksanaan ini memungkinkan peternakan rakyat dan perusahaan
peternakan ayam mencapai skala ekonomi optimal. Meningkatnya populasi
ternak unggas juga berarti bahwa penyediaan protein hewani semakin
meningkat dan merata.

Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V,

VI/29
TABEL VI – 9
1)
PERKEMBANGAN POPULASI TERNAK DAN UNGGAS,
1968 – 1992
(ribu ekor)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Mulai tahun 1980

VI/30
populasi sapi potong dan sapi perah masing-masing meningkat sekitar 2,7%
dan 7,0% per tahun (Tabel VI-9). Populasi ternak lainnya rata-rata
meningkat di atas 2,0% per tahun, kecuali populasi ternak kuda dan kerbau
masing-masing meningkat hanya 1,3% dan 0,7% per tahun. Di samping
populasi yang makin meningkat, kualitas dan produktivitas ternak juga
meningkat, sebagai hasil pelaksanaan kawin suntik, penyebaran bibit ternak
unggul dan pengembangan perusahaan-perusahaan berskala besar. Kegiatan
kawin suntik meningkat dari 90 ribu dosis pada tahun 1977 menjadi 337
ribu dosis pada tahun 1987. Sejak itu meningkat lagi menjadi 2,4 juta dosis
pada tahun 1992; jadi meningkat 274% dari tahun 1977 sampai dengan
1987, dan 612% dalam tahun 1987 sampai dengan 1992. Dari hasil kegiatan
inseminasi buatan pada tahun 1991 dihasilkan keturunan anak sapi perah dan
sapi potong sebanyak 155 ribu ekor pada tahun 1992.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 penyebaran bibit ternak
terus meningkat. Penyebaran bibit ternak ini sangat berarti untuk
meningkatkan produktivitas ternak rakyat, sehingga pendapatan peternak
juga meningkat. Penyebaran bibit kerbau dan kambing/domba meningkat di
atas 18,0% per tahun (Tabel VI-10). Sedangkan penyebaran bibit sapi dan
kuda masing-masing rata-rata meningkat 10,3% dan 16,6% per tahun.
Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V,
penyebaran bibit ternak kerbau dan kambing masing-masing meningkat
sebesar 13,9% dan 58,9% per tahun. Penyebaran bibit kuda sangat
berfluktuasi. Dalam tahun 1989 penyebaran bibit kuda sangat meningkat,
tetapi dalam tahun 1990 dan 1991 mengalami penurunan. Kemudian
meningkat lagi dari 755 ekor dalam tahun 1991 menjadi 1.604 dalam tahun
1992. Fluktuasi penyebaran sangat erat kaitannya dengan tersedianya bibit
unggul kuda. Penyebaran bibit kerbau dalam tahun 1988 dan 1991
mengalami penurunan. Menurunnya penyebaran bibit kerbau tersebut
disebabkan oleh tidak tersedianya bibit unggul kedua jenis ternak tersebut.
Penyebaran bibit kambing dan domba dalam tahun 1991 mengalami kenaikan
yang sangat tinggi, yaitu sebesar 244,6% dibanding tahun sebelumnya.
Kenaikan yang tinggi ini disebabkan tersedianya bibit unggul yang dapat
disebarkan ke petani di daerah-daerah relatif miskin. Penyebaran bibit ternak
babi rata-rata meningkat hanya 0,7% per tahun, sedangkan penyebaran bibit
ternak sapi rata-rata menurun sebesar 2,5% per tahun. Penurunan ini
disebabkan oleh telah berkembangnya perusahaan-perusahaan pembibitan
ternak swasta.

V1/31
TABEL VI – 10
1)
PERKEMBANGAN PENYEBARAN BIBIT TERNAK,
1968 – 1992
(ekor)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/32
Seperti terlihat dalam Tabel VI-11, selama tahun 1968 sampai dengan
tahun 1992, produksi daging, telur dan susu menunjukkan peningkatan yang
sangat berarti. Peningkatan tertinggi terjadi pada produksi susu dan telur,
yaitu masing-masing meningkat dari 29 juta liter dan 51 ribu ton pada tahun
1968 menjadi 382 juta liter dan 535 ribu ton pada tahun 1992, atau
masing-masing meningkat menjadi tiga belas kali dan sepuluh kali lebih.
Dengan meningkatnya produksi susu ini, jumlah impor susu makin
berkurang dan pendapatan peternak sapi perah juga makin meningkat.
Sedangkan produksi daging sejak tahun 1968 meningkat dari 305 ribu ton
menjadi 1.190 ribu ton pada tahun 1992. Dalam lima tahun terakhir, sampai
dengan tahun 1992, produksi daging dan susu tetap meningkat, yaitu
masing-masing 5,8% dan 11,6% per tahun, di mana tingkat peningkatan ini
hampir sama dengan tingkat peningkatan selama hampir 25 tahun, kecuali
tingkat kenaikan produksi telur. Laju pertumbuhan produksi telur yang
sedikit melambat selama lima tahun terakhir karena peternak ayam lebih
mengutamakan produksi ayam pedaging; sebagai akibat meningkatnya
permintaan akan daging ternak ayam selama lima tahun terakhir.

Meningkatnya produksi peternakan dari Repelita I sampai dengan


tahun keempat Repelita V antara lain juga merupakan hasil dari usaha
peningkatan kegiatan penyuluhan peternakan, yang dilaksanakan melalui
peningkatan jumlah tenaga-tenaga vaksinator, inseminator, laboratori dan
kader peternak. Pada awal Repelita I jumlah tenaga inseminator dan
laboratori masing-masing hanya sebanyak 26 orang dan 14 orang; pada akhir
Repelita IV masing-masing meningkat menjadi 2.695 orang dan 534 orang.
Pada tahun 1992 jumlah tenaga inseminator dan laboratori masing-masing
meningkat menjadi 4.232 orang dan 957 orang (Tabel VI-13).

Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil-hasil peternakan


tersebut, konsumsi hasil-hasil ternak di dalam negeri makin meningkat pula.
Jika pada tahun 1969 konsumsi daging, telur dan susu masing-masing
mencapai 2,74, 0,23 dan 1,46 kg per jiwa per tahun, maka pada tahun 1992
konsumsi bahan-bahan tersebut meningkat menjadi 6,34, 2,38 dan 4,89 kg
per jiwa per tahun, atau masing-masing meningkat menjadi 2,3 kali, 10,3
kali dan 3,3 kali. Dengan meningkatnya konsumsi hasil-hasil ternak berarti
konsumsi protein hewani makin meningkat yang akhirnya telah
meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, sehingga
produktivitas kerja mereka makin meningkat pula.

VI/33
TABEL VI – 11
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI DAGING, TELUR DAN SUSU,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam juta liter

VI/34
TABEL VI – 12
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL TERNAK,
1968 – 1992
(ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/35
TABEL VI – 13
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH TENAGA INSEMINATOR DAN VAKSINATOR,
1968 – 1992
(orang)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/36
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, volume ekspor
hasil-hasil ternak, seperti kulit, tulang dan tanduk, menunjukkan penurunan,
masing-masing 4,9% dan 0,6% per tahun. Bahkan selama lima tahun
terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V, volume ekspor kulit
menunjukkan penurunan yang lebih besar, yaitu sebesar 14,5% per tahun.
Penurunan tersebut merupakan akibat dari makin meningkatnya permintaan
di dalam negeri. Sebaliknya selama lima tahun yang lalu volume ekspor
tulang dan tanduk menunjukkan peningkatan sebesar 8,6% per tahun (Tabel
VI-12).

D. PERIKANAN

Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1988 pembangunan


perikanan ditekankan pada pengembangan perikanan rakyat untuk
meningkatkan kualitas gizi masyarakat dan menciptakan kesempatan kerja.
Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V
kebijaksanaan tersebut di atas tetap dilanjutkan dan bahkan makin
ditingkatkan. Dalam menempuh kebijaksanaan itu, peningkatan produksi
perikanan di perairan umum dan perikanan laut pantai diberi prioritas utama
mengingat sebagian besar penduduk berpendapatan rendah mencari nafkah di
daerah-daerah perairan tersebut. Upaya pengembangan ini didukung oleh
usaha pengembangan teknologi, pengembangan pembibitan dan penyuluhan
gizi keluarga.

Pengembangan perikanan rakyat ditekankan pada usaha intensifikasi


melalui pengembangan budi daya air payau dan air tawar dan laut, dan
pemanfaatan waduk-waduk irigasi. Usaha intensifikasi ini antara lain
didukung dengan pembangunan prasarana perikanan, pengembangan
teknologi dan penyediaan sarana produksi. Pembangunan prasarana
perikanan meliputi pembangunan saluran tambak, Pangkalan Pendaratan
Ikan dan Pelabuhan Perikanan Laut. Pengembangan teknologi produksi
mencakup penyediaan benur unggul dan pakan ikan berkualitas tinggi,
perbaikan pengelolaan usaha dan teknik-teknik penangkapan tradisional.

Dalam rangka meningkatkan produksi dan ekspor hasil-hasil


perikanan budi daya air payau, usaha ekstensifikasi ditingkatkan berdasarkan
paket kebijaksanaan 6 Mei 1986. Dalam hal ini perusahaan perikanan negara
dan swasta nasional bertindak sebagai perusahaan inti. Mereka membina

VI/37
petani tambak udang dengan memberikan bimbingan dalam penerapan
teknologi maju dan menyediakan fasilitas pengolahan serta pemasaran hasil.

Selanjutnya investasi swasta di bidang perikanan laut juga makin


didorong melalui pengembangan prasarana perikanan dan penyediaan fasilitas
kredit. Untuk mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat dari para
pengusaha besar perikanan laut, para nelayan tradisional dilindungi dengan
cara antara lain menerapkan pembagian wilayah penangkapan bagi pengusaha
swasta dan nelayan tradisional, sesuai dengan Keppres Nomor 39 Tahun
1980. Keppres tersebut melarang penggunaan kapal trawl di perairan laut
yang mengelilingi pulau Jawa, Bali dan Sumatera.

Dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya laut sehingga


dapat meningkatkan produktivitas optimal dan mempertahankan sumber daya,
maka bagi daerah-daerah perairan pantai yang padat tangkap, seperti pantai
utara Jawa, Bali dan Selat Malaka, pengembangannya diarahkan ke perairan
lepas pantai atau ke bidang usaha lain, seperti budi daya tambak dan budi
daya laut. Sedangkan untuk pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), langkah yang ditempuh adalah mendorong
usaha penangkapan bagi perusahaan patungan dengan perusahaan asing.

Sebagai hasil dari kebijaksanaan tersebut di atas, sejak tahun 1968


sampai dengan tahun 1992, produksi perikanan laut dan perikanan darat
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Dalam kurun waktu tersebut
produksi perikanan laut meningkat menjadi hampir empat kali, yaitu dari
723 ribu ton pada tahun 1968 menjadi 2.628 ribu ton pada tahun 1992.
Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, produksi
ikan laut mengalami kenaikan 5,4% per tahun (Tabel VI-15). Tingkat
kenaikan yang cukup tinggi ini terutama disebabkan makin meningkatnya
investasi swasta dan usaha perikanan rakyat melalui program motorisasi
perahu bagi para nelayan. Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992,
jumlah perahu/kapal motor meningkat dari 5.707 buah menjadi 125.647
buah. Dalam lima tahun terakhir, sampai tahun keempat Repe- lita V,
jumlah perahu/kapal motor tetap meningkat, yaitu sebesar 1,8% per tahun
(Tabel VI-14). Meningkatnya jumlah perahu/kapal motor para nelayan
mempunyai dampak yang besar terhadap peningkatan kualitas usaha nelayan
dan jarak tangkap di laut, sehingga produktivitas dan pendapatan mereka
juga makin meningkat.

VI/38
TABEL VI – 14
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH PERAHU/KAPAL PERIKANAN LAUT,
1968 – 1992
(buah)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/39
GRAFIK VI – 6
PERKEMBANGAN JUMLAH PERAHU/
KAPAL PERIKANAN LAUT,
1968 – 1992

VI/40
Produksi perikanan darat sejak tahun 1968 sampai dengan tahun
1992 mengalami peningkatan yang cukup berarti. Sejak tahun 1968 produksi
ikan darat meningkat dari 437 ribu ton menjadi 844 ribu ton pada tahun
1992 atau meningkat menjadi hampir dua kali (Tabel VI-15). Dalam lima
tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V, produksi
perikanan darat menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dari
peningkatan tahun-tahun sebelumnya, yaitu masing-masing 5,3% dan 2,5%
per tahun. Tingginya peningkatan produksi selama lima tahun yang lalu ini
merupakan hasil peningkatan produksi usaha budi daya perikanan di tambak
dan kolam. Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992 produksi usaha
perikanan di perairan umum menunjukkan sedikit penurunan, karena
terjadinya musim kemarau dalam tahun 1973 dan 1991. Tetapi dalam lima
tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V produksi usaha
perikanan di perairan umum meningkat 1,9% per tahun.

Dengan meningkatnya produksi hasil-hasil perikanan, konsumsi


hasil-hasil perikanan telah meningkat dari 10,6 kg per jiwa pada tahun 1969
menjadi 16,1 kg per jiwa pada tahun 1992. Tingkat konsumsi ikan yang
tinggi ini juga telah memperbaiki gizi masyarakat dan telah membantu
meningkatkan produktivitas kerja. Selain itu meningkatnya produksi
perikanan telah meningkatkan kesempatan kerja, pertumbuhan daerah dan
pendapatan nelayan.

Sejalan dengan peningkatan produksi, kemampuan untuk mengekspor


hasil-hasil perikanan dan menghasilkan devisa juga meningkat (Tabel
VI-16). Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992, ekspor hasil-hasil
utama perikanan meningkat dengan pesat. Sejak tahun 1968 ekspor ikan
hias, ikan segar dan udang segar masing-masing meningkat dari 23 ton,
3.416 ton dan 2.902 ton menjadi 1.200 ton, 160.000 ton dan 98.447 ton
pada tahun 1992, atau meningkat menjadi 52 kali, 47 kali dan 34 kali.
Dalam lima tahun terakhir bahkan ekspor hasil-hasil perikanan lebih
meningkat lagi. Peningkatan ekspor tertinggi dalam kurun waktu tersebut
terjadi pada ekspor ikan segar, yaitu meningkat 29,8% per tahun. Kemudian
diikuti oleh ekspor ikan hias dan udang segar, yaitu masing-masing
meningkat 28,3% dan 18,1% per tahun. Meningkatnya ekspor hasil-hasil
perikanan ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap volume
perdagangan internasional, berkembangnya usaha-usaha pengolahan hasil,
yang akhirnya akan meningkatkan kesempatan kerja di sektor jasa dan
perdagangan, pendapatan nelayan dan devisa negara.

VI/41
TABEL VI – 15
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/42
TABEL VI – 16
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL PERIKANAN,
1968 – 1992
(ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/43
E. PERKEBUNAN

Sejak awal Repelita I, pembangunan perkebunan ditekankan untuk


meningkatkan produksi perkebunan rakyat melalui usaha rehabilitasi,
terutama untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet, kopi, cengkeh
dan kelapa. Usaha rehabilitasi ini dilaksanakan melalui pengenalan bibit
unggul dan teknik-teknik budi daya yang lebih baik. Selanjutnya
peningkatan produksi perkebunan rakyat ditekankan pada usaha intensifikasi
untuk meningkatkan produktivitas hasil per ha. Usaha intensifikasi didukung
oleh pengembangan kelembagaan petani, khususnya dengan cara
mengembangkan unit-unit pelayanan pengembangan (UPP), koperasi dan
lembaga-lembaga keuangan. Di lokasi UPP tersebut didorong juga
perkembangan usaha swasta untuk menangani masalah pengolahan hasil
didukung dengan penyediaan fasilitas kredit, penyuluhan perbaikan kualitas
hasil dan pengembangan prasarana perhubungan serta air bersih.
Pengembangan usaha perkebunan rakyat dikaitkan pula dengan kegiatan
rehabilitasi lahan kritis, pengendalian erosi dan pemanfaatan lahan-lahan
terlantar.

Untuk memacu perkembangan industri, mendorong ekspor hasil-hasil


perkebunan dan meningkatkan kesempatan kerja serta pendapatan petani,
peningkatan produksi perkebunan dilaksanakan pula melalui usaha
ekstensifikasi. Perluasan areal perkebunan ini umumnya dilaksanakan di luar
Jawa melalui peningkatan investasi swasta dan Badan-badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Perluasan areal perkebunan ini dilakukan melalui pola
Perusahaan Inti Rakyat (PM), di mana BUMN di bidang perkebunan
bertindak sebagai perusahaan inti. Perusahaan-perusahaan ini bertugas
membantu pengembangan perkebunan rakyat dan menyediakan teknologi,
fasilitas pengolahan dan pemasaran hasil. Dengan keberhasilan pendekatan
semacam ini dan makin berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta,
peningkatan produksi perkebunan selanjutnya dilaksanakan dengan
mendorong peningkatan investasi swasta. Dalam hal ini perusahaan swasta
bertindak sebagai perusahaan inti yang melaksanakan tugas-tugas seperti
yang dilaksanakan oleh Badan-badan Usaha Milik Negara. Kebijaksanaan ini
dimaksudkan untuk menangani keseluruhan aspek agribisnis yang
membentuk satu kesatuan unit ekonomi, yang mampu berperan sebagai pusat
pertumbuhan wilayah. Selanjutnya pengembangan perkebunan rakyat di
lahan yang belum terjangkau oleh proyek perusahaan inti rakyat (PIR)
d i l a k u k a n d e n g a n c a r a m e n d o r o n g us a h a s w a d a y a p e t a n i . U s a h a

VI/44
pengembangan swadaya ini didukung dengan peningkatan penyediaan bibit,
fasilitas kredit, sarana produksi lainnya dan perluasan jangkauan pelayanan
UPP.

Dalam rangka meningkatkan efisiensi pemasaran dan kemampuan


daya saing ekspor hasil-hasil perkebunan, pembangunan prasarana makin
ditingkatkan. Prasarana tersebut meliputi antara lain jalan-jalan desa dan
kabupaten serta lembaga-lembaga pertanian, seperti koperasi dan kelompok
tani. Dengan meningkatnya prasarana tersebut, kegiatan penyuluhan dan
proses alih teknologi dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.

Sebagai hasil dari kebijaksanaan yang ditempuh sejak awal Repe-


lita I, luas areal perkebunan tanaman tahunan milik rakyat masing-masing
meningkat dari 3.947 ribu ha dan 374 ribu ha pada tahun 1968 menjadi
9.424 ribu ha dan 850 ribu ha pada tahun 1992, atau masing-masing
meningkat menjadi dua kali lebih (Tabel VI-18 dan Tabel VI-19). Selama
lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V luas areal
perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara sangat meningkat. Dalam
tahun 1992 luas areal tanaman tahunan untuk perkebunan rakyat dan
perkebunan besar negara masing-masing mengalami peningkatan yang sama,
yaitu 2,3% per tahun, sehingga masing-masing meningkat dengan 1.021
ribu ha dan 88 ribu ha bila dibandingkan dengan luas tanam pada tahun
1987.

Luas areal perkebunan rakyat dan negara yang sangat meningkat ini
mempunyai anti sangat penting dalam usaha pembangunan daerah dan
penanggulangan masalah-masalah kemiskinan di lahan kering dan rawa, di
samping juga meningkatkan lapangan kerja, ekspor dan devisa negara.
Sampai tahun 1992 perkebunan rakyat dan negara telah berkembang hampir
di 26 propinsi. Bahkan di Propinsi Irian Jaya dan Sulawesi Selatan, yang
sebelumnya tidak mempunyai perkebunan, sampai saat ini perkebunan
rakyat telah berkembang dengan pesat. Selanjutnya luas areal perkebunan
rakyat untuk tanaman musiman sejak akhir Repelita I juga menunjukkan
peningkatan yang berarti, yaitu meningkat dari 223 ribu ha pada tahun
1973, menjadi 584 ribu ha pada tahun 1992 (Tabel VI-18). Sedangkan luas
areal tanaman musiman perkebunan besar negara mengalami penurunan
(Tabel VI-19), sebagai akibat adanya pengalihan lahan dari tanaman
musiman seperti tebu ke tanaman padi dan palawija.

VI/45
Untuk meningkatkan produksi tebu rakyat selama ini dilakukan usaha
intensifikasi. Dalam tahun 1978 usaha intensifikasi tebu rakyat mencapai
77.632 ha; dan dalam tahun 1992 luas areal intensifikasi tebu rakyat
mencapai 207.984 ha, atau meningkat menjadi tiga kali (Tabel VI-17). Tetapi
selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, luas
areal intensifikasi tebu menunjukkan penurunan 0,6% per tahun. Menurunnya
luas areal tebu disebabkan adanya pengalihan penggunaan lahan sawah dari
tanaman tebu menjadi tanaman padi.

Dengan meningkatnya luas areal perkebunan sejak awal Repelita I,


produksi hasil-hasil perkebunan terpenting yang meliputi jenis-jenis
komoditi karat, minyak/kelapa sawit, inti sawit, kelapa/kopra, kopi, teh,
cengkeh, lada, tembakau, gula/tebu dan kapas (Tabel VI-1), mengalami
peningkatan yang berarti. Produksi perkebunan coklat yang sangat
meningkat, di mana peranannya dalam tahun 1968 sangat kecil, yaitu
meningkat dari 1,2 ribu ton menjadi 175,4 ribu ton dalam tahun 1992, atau
meningkat menjadi 146 kali. Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992,
peningkatan produksi tertinggi terjadi juga dalam produksi kapas dan kelapa
sawit, yaitu masing-masing meningkat dari tidak ada sama sekali dan 181
ribu ton pada tahun 1968 masing-masing menjadi 30.383 ton dan 3.162 ribu
ton pada tahun 1992. Selanjutnya produksi cengkeh dan teh juga mengalami
kenaikan yang cukup tinggi, yaitu masing-masing meningkat dari 17 ribu
ton dan 73 ribu ton pada tahun 1968 meningkat menjadi 75 ribu ton dan 163
ribu ton pada tahun 1992. Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun
keempat Repelita V, peningkatan produksi tersebut di atas menunjukkan laju
kenaikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan rata-rata laju kenaikan
selama hampir 25 tahun pembangunan, kecuali produksi kapas dan cengkeh.
Dalam kurun waktu lima tahun tersebut, peningkatan produksi yang sangat
tinggi terjadi pada kelapa sawit, tembakau dan lada, yaitu masing-masing
meningkat 16,1 %, 13,7% dan 7,7% per tahun. Selanjutnya diikuti oleh
produksi cengkeh dan teh, yang masing-masing meningkat 6,4% dan 5,3%
per tahun.

Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992 produksi


perkebunan rakyat umumnya meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada
perkebunan kapas rakyat, yaitu meningkat dari tidak ada sama sekali
menjadi 30.383 ton pada tahun 1992. Peningkatan terbesar selanjutnya
terjadi pada perkebunan rakyat untuk komoditi gula/tebu, tembakau dan
cengkeh. Ketiga komoditi ini masing-masing meningkat dari 203 ribu ton,

VI/46
54 ribu ton dan 17 ribu ton pada tahun 1968; masing-masing menjadi 1.656
ribu ton, 157 ribu ton dan 73 ribu ton pada tahun 1992.

Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repe-


lita V, produksi perkebunan rakyat tetap meningkat, kecuali gula/tebu
(Tabel VI-20). Meskipun produksi gula/tebu selama masa 1968-1992
menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi, selama lima tahun terakhir
mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan oleh adanya
pengalihan penggunaan lahan sawah dari tanaman tebu menjadi tanaman
padi. Sedangkan produktivitas tanaman tebu rakyat di lahan kering belum
mencapai tingkat produktivitas seperti yang terjadi di lahan sawah. Dalam
tahun 1992 produksi tembakau, cengkeh dan teh masing-masing bertambah
sebesar 47 ribu ton, 16 ribu ton dan 8 ribu ton bila dibandingkan dengan
produksi tahun 1987.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi perkebunan


besar swasta pada umumnya mengalami peningkatan yang cukup berarti,
terutama produksi gula/tebu, cengkeh, kelapa/kopra dan kelapa sawit. Sejak
tahun 1968 produksi gula/tebu, kelapa/kopra dan kelapa sawit
masing-masing meningkat dari 23 ribu ton, 2 ribu ton dan 59 ribu ton;
masing-masing menjadi 261 ribu ton, 20 ribu ton dan 1.035 ribu ton pada
tahun 1992. Bahkan komoditi cengkeh, yang belum diproduksi lama sekali
oleh swasta tahun 1968, dalam tahun 1992 meningkat menjadi 2 ribu ton.
Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V,
produksi perkebunan besar swasta mengalami tingkat peningkatan yang
lebih besar bila dibandingkan dengan tingkat peningkatan selama
hampir 25 tahun, kecuali kelapa/kopra yang produksinya relatif tidak
berubah (Tabel VI-21). Dalam kurun waktu tersebut peningkatan produksi
perkebunan besar swasta yang tertinggi terjadi pada kelapa sawit, cengkeh
dan gula/tebu. Ketiga komoditi tersebut masing-masing meningkat 24,4%,
20,0% dan 22,1 % per tahun. Meningkatnya produksi perkebunan swasta
ini, menggambarkan meningkatnya investasi swasta di bidang perkebunan,
yang akhirnya meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan, devisa negara
dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 produksi perkebunan


besar negara meningkat dengan pesat, terutama produksi kelapa sawit, teh
dan kopi, yaitu masing-masing meningkat dari 122 ribu ton, 28 ribu ton dan
7 ribu ton pada tahun 1968; masing-masing menjadi 2.127 ribu ton, 98 ribu

VI/47
TABEL VI – 17
1)
PERKEMBANGAN AREAL TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI,
1968 – 1992
(ha)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Mulai tahun 1975
5) Mulai tahun 1985
6) Mulai tahun 1986
7) Mulai tahun 1988
8) Mulai tahun 1990

VI/48
TABEL VI – 18
1)
PERKEMBANGAN LUAS AREAL PERKEBUNAN RAKYAT,
1968 – 1992
(ha)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/49
TABEL VI – 19
1)
PERKEMBANGAN LUAS AREAL PERKEBUNAN NEGARA,
1968 – 1992
(ha)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/50
TABEL VI – 20
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN RAKYAT,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam ton

VI/51
TABEL VI – 21
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN BESAR SWASTA,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/52
TABEL VI – 22
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN BESAR NEGARA,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/53
TABEL VI – 23
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR KOMODITI PERKEBUNAN,
1968 – 1992
(ribu ton)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/54
ton dan 18 ribu ton pada tahun 1992, bahkan pada tahun 1968 perkebunan
besar negara belum memproduksi tembakau, tetapi dalam tahun 1992
perkebunan besar negara memproduksi tembakau sebesar 4 ribu ton (Tabel
VI-22). Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
produksi perkebunan besar negara umumnya menunjukkan peningkatan yang
lebih besar dibandingkan dengan rata-rata peningkatan selama hampir 25
tahun. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut peningkatan produksi
tertinggi terjadi pada minyak sawit, kopi dan tembakau, yaitu
masing-masing meningkat 13,3%, 7,2% dan 6,7% per tahun.

Dengan terus meningkatnya produksi hasil-hasil perkebunan di atas,


volume ekspor hasil-hasil perkebunan juga menunjukkan peningkatan. Sejak
awal Repelita I sampai dengan tahun 1992, volume ekspor hasil-hasil
perkebunan pada umumnya meningkat, terutama ekspor minyak sawit,
tembakau dan teh. Dalam tahun 1968 ekspor minyak sawit, tembakau dan
teh, masing-masing mencapai 152,4 ribu ton, 8,2 ribu ton dan 20,2 ribu
ton; dan pada tahun 1992 masing-masing meningkat menjadi 1.174,8 ribu
ton, 24 ribu ton dan 113,4 ribu ton, atau masing-masing meningkat menjadi
hampir delapan kali, hampir tiga kali dan hampir enam kali. Selama lima
tahun terakhir, volume ekspor semua hasil-hasil perkebunan terus
meningkat. Kenaikan volume ekspor tertinggi terjadi pada minyak sawit,
lada dan tembakau, yaitu masing-masing meningkat 13,5%, 13,7% dan
11,0% per tahun (Tabel VI-23).

Dengan meningkatnya produksi dan ekspor hasil-hasil perkebunan,


kesempatan kerja, pendapatan petani dan devisa negara juga makin
meningkat. Selain itu keadaan tersebut mempunyai dampak yang positif pula
dalam pengembangan investasi swasta di bidang pengolahan produksi dan
pertumbuhan ekonomi daerah serta pengembangan wilayah.

F. KEHUTANAN

Dalam pembangunan nasional hutan memegang peran ganda yang


penting. Pertama, hutan sebagai sumber alam berperan bukan saja sebagai
pelindung sistem penghasil air untuk berbagai kebutuhan tetapi juga sebagai

VI/55
pemasok bahan baku bagi peningkatan produksi serta perluasan lapangan
kerja dan sekaligus juga sebagai sumber penghasil devisa dan pendapatan
pemerintah. Kedua, hutan memegang peran yang strategis di bidang ekologi.
Hutan Indonesia berfungsi pula sebagai bagian paru-paru dunia, penghidup
karbon dioksida dan penghasil oksigen serta pengatur dan penopang
ekosistem pada umumnya.

Kesadaran mengenai semakin pentingnya peran ganda hutan


Indonesia bagi pembangunan dan menopang ekosistem dunia semakin
meningkat selama PJPT I. Pelaksanaan peran ganda ini membutuhkan
keserasian dan keseimbangan dalam berbagai kebijaksanaan pembangunan,
terutama yang berhubungan langsung dengan pengelolaan hutan. Dalam
kaitan ini maka GBHN 1988 dan GBHN-GBHN sebelumnya memberi
arahan agar kehutanan dikembangkan dengan tujuan meningkatkan produksi
dan memperluas penganekaragaman hasil untuk memenuhi kebutuhan
industri dalam negeri serta memperbesar ekspor, meningkatkan pendapatan
dan taraf hidup masyarakat, mendorong perluasan dan pemerataan
kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta mendukung pembangunan
daerah. Hutan sebagai sumber kekayaan alam penting perlu dikelola dengan
sebaik-baiknya agar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat di masa
kini maupun di masa depan. Untuk itu perlu ditempuh langkah-langkah bagi
kelangsungan fungsi dan kemampuannya dalam melestarikan lingkungan
hidup.

Pada tahap awal pembangunan kehutanan, telah mengalami banyak


masalah dan hambatan. Hambatan utama adalah kurangnya tenaga terampil,
kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan kurangnya kemampu-
an dan pengalaman dunia usaha kehutanan dalam pengelolaan hutan alam.
Akibat dari hambatan-hambatan tersebut maka mutu hutan alam semakin
menurun. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut maka pelaksanaan
pembangunan kehutanan sejak Repelita I sampai dengan Repelita V yang
sedang berjalan ini telah dikembangkan secara bertahap dan mengarah
kepada pembentukan industri kehutanan yang kuat di dalam negeri,
peningkatan ekspor hasil hutan, kesejahteraan dan peran serta masyarakat
serta kelestarian fungsi lingkungan.

Selama Repelita I kebijaksanaan pembangunan kehutanan diarahkan

VI/56
pada upaya untuk memberi iklim yang merangsang bagi penanaman modal.
Kebijaksanaan tersebut menjadi landasan bagi pengembangan sistem Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) yang pelaksanaannya telah berperanan amat
besar dalam peningkatan produksi dan ekspor kayu bulat (log), peningkatan
pendapatan daerah, pengembangan industri perkayuan dan penyediaan
lapangan kerja. Untuk memelihara dan meningkatkan fungsi hutan sebagai
penyangga perikehidupan dan ekosistem, maka ditetapkan kebijaksanaan
agar dalam pengelolaan hutan dengan sistem HPH diterapkan sistem TPI
(Tebang Pilih Indonesia), dan penetapan batas kawasan hutan lindung dan
kawasan konservasi alam yang tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan
produksi. Dalam Repelita II upaya peningkatan produksi hasil hutan
dikembangkan dan selanjutnya dikaitkan dengan usaha pengembangan
industri kehutanan dan upaya pelestarian hutan alam. Pengembangan
industri kehutanan dan pelestarian hutan alam sejak itu semakin ditingkatkan
dari tahun ke tahun.

Kebijaksanaan penetapan kawasan hutan lindung dan kawasan


konservasi diperkuat dengan tata batas yang lebih jelas dan sistem TPI dalam
wilayah HPH disempurnakan dengan larangan menebang pohon-pohon
langka. Selama Repelita III dalam rangka meningkatkan pelestarian hutan
alam, meningkatkan efisiensi industri dalam negeri dan meningkatkan ekspor
hasil kayu olahan, seperti kayu gergajian dan kayu lapis, ekspor kayu bulat
mulai dibatasi dan sejak itu makin dikurangi. Pelestarian fungsi hutan
sebagai ekosistem lebih ditingkatkan. Dalam hubungan dengan upaya
tersebut maka mulai dikembangkan dan disempurnakan rehabilitasi hutan
yang rusak melalui program INPRES Penghijauan dan Reboisasi dan
kegiatan HTI (Hutan Tanaman Industri). Sistem TPI yang dilaksanakan
dalam areal HPH lebih disempurnakan menjadi sistem TPTI (Tebang Pilih
Tanam Indonesia), dan ekspor kayu bulat mulai dibatasi. Sejak tahun pertama
Repelita IV ekspor kayu bulat dihentikan sama sekali. Pengawasan terhadap
pelaksanaan TPTI ditingkatkan disertai dengan kebijaksanaan denda yang
cukup tinggi bagi pelanggaran terhadap sistem TPTI. Kebijakan itu
mempunyai dampak yang sangat membantu terhadap pengembangan usaha
pengolahan hasil hutan di dalam negeri. Kemudian pembangunan hutan
tanaman industri (HTI) lebih ditingkatkan lagi untuk mendukung industri
perkayuan di dalam negeri dan mendukung usaha pelestarian fungsi

VI/57
hutan alam. Upaya tersebut di atas lebih meningkat lagi dalam Repelita V
dengan memperluas dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan hutan alam dan pengembangan hutan masyarakat.
Pengembangan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk
menambah pilihan masyarakat dalam pengembangan usaha, penganeka -
ragaman sumber pendapatan dan perluasan lapangan kerja serta mengurangi
tekanan penduduk terhadap sumber alam hutan. Peningkatan pendapatan
masyarakat di sekitar hutan produksi mulai dikembangkan melalui
kegiatan-kegiatan HPH Bina Desa. HPH Bina Desa adalah upaya penataan,
pembinaan dan pengembangan desa melalui kegiatan pemukiman kembali
dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar areal HPH yang
dibiayai oleh pemegang HPH. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan
menciptakan hubungan yang serasi antara pengusaha hutan dan masyarakat
di sekitarnya. Di samping itu dalam usaha meningkatkan upaya pelestarian
hutan alam diadakan pula pembatasan terhadap produksi kayu bulat dari
hutan alam. Pembatasan tersebut disertai dengan upaya meningkatkan
efisiensi pengolahan hasil hutan dan kayu. Bersamaan dengan itu dalam
Repelita V ditingkatkan pula usaha untuk mendorong kegiatan-kegiatan
untuk meningkatkan ekspor hasil hutan dalam bentuk bahan jadi, seperti
alat-alat rumah tangga dan mebel berbahan baku kayu.

Jumlah produksi kayu bulat di awal Repelita I masih sebesar 5,72


juta M3. Pada tahun terakhir Repelita II produksi kayu bulat mencapai
26,73 juta M3. Setelah mengalami penurunan sampai 24,18 juta M3 pada
akhir Repelita III, maka pada tahun terakhir Repelita IV produksi kayu bulat
naik kembali menjadi 28,48 juta M3, sedikit lebih tinggi dari produksi kayu
bulat tahun 1987/88. Setelah tahun 1987/88 sampai dengan tahun ketiga
Repelita V produksi kayu bulat menurun sehingga setiap tahun rata-rata
mencapai 25,5 juta M3. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh
dinaikkannya pajak ekspor kayu gergajian setengah jadi sejak tahun
1990/91. Penurunan produksi yang terjadi dalam Repelita V diimbangi
dengan peningkatan efisiensi teknis dalam pengolahan hasil hutan.
Perkembangan produksi kayu bulat sejak tahun 1968/69 sampai dengan tahun
keempat Repelita V dapat dilihat dalam Tabel VI-24.

Di samping kayu bulat, yang dihasilkan dari areal HPH di luar Jawa,
negara kita juga menghasilkan kayu jati dari Jawa. Antara tahun 1973/74

VI/58
TABEL VI – 24
1)
PRODUKSI KAYU BULAT RIMBA DAN JATI,
1968/69 – 1992/93

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)
4) S.b. = setara dengan kayu bulat

VI/59
dan tahun 1988/89 produksi kayu bulat jati meningkat dari 676 ribu M3
menjadi 725 ribu M3. Produksi tahun 1988/89 tersebut meningkat sebesar
5,2% dibandingkan dengan produksi tahun 1987/88. Setelah itu, tampaknya
produksi kayu bulat jati sudah mencapai keseimbangan sehingga jumlahnya
tidak mengalami perubahan-perubahan yang berarti. Demikianlah maka
pada tahun 1991/92, misalnya, produksi kayu bulat jati mencapai 778 ribu
M3.

Dibandingkan dengan akhir Repelita I (tahun 1973/74) produksi


kayu olahan pada tahun 1991/92 meningkat sebesar 814%, yaitu dari 1,374
juta M3 menjadi 12,560 juta M3. Tetapi bila dibandingkan dengan
produksi tahun 1987/88, produksi kayu olahan tahun 1988/89 menurun
sebesar 25,9%. Produksi tersebut meningkat lagi menjadi 17,843 juta M3
pada tahun 1989/90. Pada tahun 1990/91 produksi kayu olahan tersebut
menurun sebesar 26,3% dari tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi
karena adanya penurunan ekspor kayu gergajian yang disebabkan oleh
ditempuhnya kebijaksanaan pajak ekspor yang tinggi untuk ekspor kayu
gergajian (Tabel VI-25).

Komposisi produksi dan ekspor kayu olahan dari tahun ke tahun


mengalami perubahan. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel VI-26 pada
tahun 1973/74, misalnya, kayu olahan seluruhnya berupa kayu gergajian.
Pada tahun 1987/88 jenis kayu olahan bertambah dengan bentuk kayu lapis
(39,8%). Sedangkan pada tahun 1991/92 komposisi kayu olahan 3,006 juta
M3 (23,9%) berupa kayu gergajian, 9,123 juta M3 (72,6%) berupa kayu
lapis dan sisanya (3,4%) berupa pulp. Perubahan ini menunjukkan
perubahan struktur industri perkayuan yang berdampak positif kepada
perluasan kesempatan kerja, produktivitas dan nilai tambah. Tenaga kerja
dengan keterampilan lebih tinggi meningkat jumlahnya untuk mengisi
lapangan kerja baru yang terbuka. Nilai tambah yang berasal dari tenaga
kerja juga cenderung meningkat dengan semakin banyaknya tenaga kerja
terdidik yang dimanfaatkan. Nilai tambah yang diraih dari pemanfaatan kayu
juga meningkat.

Produksi kayu gergajian tahun 1988/89 meningkat sebesar 213,3%


dibandingkan dengan produksi tahun 1973/74, tetapi menurun sebesar

VI/60
TABEL VI – 25
1)
PRODUKSI DAN EKSPOR KAYU OLAHAN,
1968/69 – 1992/93
(ribu m3)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)
4) Tidak termasuk hasil industri kecil

VI/61
TABEL VI – 26
1)
REALISASI EKSPOR HASIL HUTAN BERUPA KAYU,
1968/69 – 1992/93
(ribu m3)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)

VI/62
GRAFIK VI – 7
REALISASI EKSPOR HASIL HUTAN BERUPA KAYU,
1968 – 1992/93

VI/63
55,8% bila dibandingkan dengan produksi tahun 1987/88. Pada tahun
1989/90 produksi kayu gergajian tersebut mendekati tingkat produksi tahun
1987/88. Dan pada tahun 1990/91, karena pengaruh kebijaksanaan tersebut
di atas, produksi kayu gergajian menurun sebesar 64,4% dibandingkan
dengan tahun 1989/90. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel VI-25
penurunan ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Kebijaksanaan
peningkatan pajak ekspor kayu gergajian tersebut antara lain bertujuan
meningkatkan kelestarian hutan alam dan peningkatan nilai tambah hasil
ekspor, serta merangsang ekspor hasil hutan yang berupa bahan jadi seperti
mebel, alat rumah tangga, dan komponen rumah.

Sejak akhir Repelita II sampai dengan tahun pertama Repelita V


jumlah industri kayu gergajian terus meningkat. Antara tahun 1978/79 dan
tahun 1987/88 jumlah pengolah kayu gergajian (sawmill) meningkat dari
102 unit menjadi 296 unit dengan pertambangan kapasitas terpasang dari 3,7
juta M3 menjadi 8,8 juta M3. Tetapi setelah tahun 1988/89, jumlah
pengolah kayu gergajian selalu lebih rendah dibandingkan dengan tahun
1987/88 (Tabel VI-30).

Industri kayu gergajian juga memberikan sumbangan dalam ekspor.


Dibandingkan dengan tahun 1973/74, volume ekspor kayu gergajian tahun
1988/89 meningkat sekitar 723,5% yaitu dari 0,388 juta M3 menjadi 3,195
juta M3. Dibandingkan dengan tahun 1987/88, volume ekspor kayu
gergajian tahun 1988/89 meningkat sebesar 12,4%. Pada tahun berikutnya,
tahun 1990/91, volume ekspor tersebut menurun drastis menjadi 626 ribu
M3. Sebagaimana disebutkan di atas, penurunan volume ekspor kayu
gergajian tersebut terjadi karena ditempuhnya kebijaksanaan pajak ekspor
kayu gergajian yang tinggi. Penetapan pajak ekspor yang tinggi tersebut
mempunyai sasaran meningkatkan nilai tambah yang diperoleh dari ekspor,
mengembangkan industri perkayuan dan hutan alam (Tabel VI-26).

Negara tujuan ekspor kayu gergajian adalah Jepang, Korea Selatan,


Australia, negara-negara Eropa, Hongkong, Taiwan dan beberapa negara
Asia lainnya. Pada tahun 1988/89 dan tahun-tahun selanjutnya, volume
ekspor kayu gergajian ke Jepang, Korea Selatan, Australia dan
negara-negara Eropa lainnya mengalami kenaikan, sedangkan ke Hongkong,

VI/64
Taiwan, Singapura, negara-negara Asia lainnya, Belanda, Italia, Amerika
Serikat dan Canada mengalami penurunan (Tabel VI-27).

Kayu lapis mulai diproduksi pada tahun terakhir Repelita II.


Produksi kayu lapis meningkat dari 0,424 juta M3 pada tahun 1978/79
menjadi 6.450 juta M3 pada tahun 1987/88. Produksi kayu lapis terus
meningkat sampai dengan tahun 1990/91 sehingga dalam tahun itu
volumenya mencapai 9,415 juta M3. Dalam tahun 1991/92 produksi kayu
lapis tersebut turun sedikit menjadi 9,123 juta M3 (Tabel VI-25).

Jumlah industri kayu lapis terus meningkat. Antara tahun 1978/79


dan tahun 1987/88 jumlah industri kayu lapis bertambah dari 11 unit
menjadi 107 unit dengan kapasitas terpasang yang meningkat dari 0,5 juta
M3 per tahun menjadi sebesar 6,7 juta M3 per tahun. Jumlah industri kayu
lapis terus meningkat sehingga dalam tahun 1992/93 kapasitas terpasang
industri kayu lapis telah mencapai 8,2 juta M3 per tahun (Tabel VI-30).

Produksi pulp berbahan baku kayu mulai berkembang pada tahun


1988/89 (Tabel VI-25). Perkembangan tersebut sangat didorong oleh
ditempuhnya kebijaksanaan pembangunan hutan tanaman industri sejak
tahun kedua Repelita IV. Produksi pulp dari tahun 1988/89 sampai dengan
tahun 1991/92 rata-rata mencapai sebesar 368 ribu ton per tahun.

Industri kayu lapis berperan besar dalam ekspor. Volume ekspor kayu
lapis pada tahun 1978/79 mencapai 0,070 juta M3 dan meningkat menjadi
6.045 juta M3 pada tahun 1987/88. Volume ekspor dalam tahun 1988/89 naik
sebesar 20,2% dibandingkan dengan volume ekspor tahun 1987/88. Sejak
tahun 1988/89 ekspor kayu lapis meningkat terus sehingga pada tahun
1991/92 mencapai 9.003 juta M3 (Tabel VI-26 dan VI-28). Ekspor kayu lapis
tersebut ditujukan ke 12 negara dengan Jepang dan Hongkong sebagai
penyerap utama (Tabel VI-28).

Kayu jati juga merupakan komoditi ekspor. Dibandingkan dengan


tahun 1968 volume ekspor kayu jati olahan pada tahun 1987/88 menurun
sebesar 30,9%. Pada tahun 1987/88 volume ekspor kayu jati olahan
berjumlah 29 ribu M3, tetapi pada tahun 1988/89 ekspor kayu jati olahan

VI/65
naik mencapai 43 ribu M3. Dibandingkan dengan tahun 1988/89, pada
tahun 1989/90 ekspor tersebut meningkat volumenya dengan sekitar 7%
sehingga menjadi 46 ribu M3, sedangkan nilai devisanya pada tahun itu
menurun sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel VI-26).

Dibandingkan dengan tahun 1973/74, realisasi ekspor hasil hutan


bukan kayu pada tahun 1987/88 volumenya meningkat sebesar 4,5%. Pada
tahun 1988/89 volume ekspor tersebut meningkat sebesar 31,9% dari
volume ekspor tahun sebelumnya, tetapi pada tahun-tahun berikutnya terus
menurun (Tabel VI-29).

Perkembangan ekspor hasil hutan menunjukkan semakin mantapnya


kedudukan ekspor hasil industri kehutanan Indonesia. Pada awalnya negara
tujuan ekspor hasil hutan Indonesia yang penting hanya Jepang. Kemudian
ekspor ke negara-negara perantara seperti Singapura, Taiwan dan Korea
meningkat. Akhirnya tujuan ekspor hasil hutan Indonesia semakin banyak
dan langsung ke negara konsumen di Eropa, Amerika, Jepang dan negara
Asia lainnya. Keadaan ini memberikan dampak yang penting dalam upaya
meningkatkan ketahanan dan nilai tambah ekspor hasil hutan Indonesia.
Industri hasil hutan yang berorientasi ekspor tersebut juga menumbuhkan
penganekaragaman kemampuan pengusaha nasional dan meningkatkan
keanekaragaman keterampilan dan keahlian masyarakat. Keanekaragaman ini
amat penting dalam peningkatan penyediaan lapangan kerja terampil dalam
pengembangan industri perkayuan masa depan yang berorientasi kepada
ekspor barang konsumsi yang berbahan baku hasil hutan. Sejak
diterbitkannya Surat Keputusan HPH yang pertama pada tahun 1967 sampai
dengan tahun 1987/88 jumlah HPH telah mencapai 538 unit. Dari jumlah itu
yang dimiliki oleh perusahaan dengan modal nasional sebanyak 518 unit dan
oleh perusahaan patungan sebanyak 20 unit dengan luas areal pengusahaan
seluruhnya mencapai 54,6 juta ha. Pada tahun 1988/89 jumlah HPH naik
menjadi 545 unit, dan menjadi 567 unit pada tahun 1991/92. Jumlah
penanaman modal patungan terus , menurun menjadi 12 unit pada tahun
1991/92. Dalam tahun keempat Repelita V jumlah HPH mencapai 580 unit
dengan luas areal pengusahaan seluruhnya mencapai 61,4 juta ha (Tabel
VI-31). Sistem HPH telah memberikan dampak yang besar dalam
pengembangan kemampuan dunia usaha di daerah dan dalam usaha

VI/66
membuka daerah-daerah terpencil, meningkatkan pendapatan daerah, dan
mengembangkan tenaga-tenaga terampil di daerah-daerah terpencil.

Pemanfaatan hutan bagi pengembangan industri perkayuan sekaligus


diiringi dengan langkah-langkah bagi pelestarian hutan sebagai sumber alam.
Langkah-langkah penting dalam upaya meningkatkan dan melestarikan
fungsi hutan adalah penetapan dan pemancangan batas-batas kawasan hutan
lindung dan kawasan konservasi alam, penyempurnaan sistem TPTI,
peningkatan pengamanan hutan, dan rehabilitasi hutan yang mutunya
mengalami penurunan. Pemantapan batas kawasan hutan merupakan tahap
awal yang amat penting untuk menjamin kepastian lokasi kawasan hutan.
Sampai dengan tahun 1992/93 telah berhasil ditetapkan batas kawasan hutan
sepanjang 100.901 km. Kawasan hutan berdasarkan fungsi utamanya
dibedakan dalam 3 golongan, yaitu hutan produksi, hutan lindung dan
kawasan konservasi alam. Hanya hutan produksi yang dimanfaatkan untuk
penyediaan bahan baku kayu secara lestari untuk mendukung pengembangan
industri perkayuan dalam negeri. Hutan lindung dan kawasan konservasi
alam dimanfaatkan untuk menghasilkan jasa lingkungan seperti perlindungan
Daerah Aliran Sungai (DAS), perlindungan ekosistem dan fungsi lingkungan
hidup, perlindungan keanekaragaman hayati, penyediaan fasilitas penelitian
alam, dan tujuan wisata alam.

Hasil hutan yang lestari dihasilkan dari hutan produksi tetap seluas
lebih dari 60 juta hektar. Pengelolaan hutan produksi ini dikembangkan
dengan sistem HPH yang dilengkapi dengan sistem TPTI untuk menjamin
kelestarian fungsi hutan. Di samping itu masih ada hutan produksi yang
dapat dikonversikan untuk penggunaan lain yang juga menghasilkan hasil
hutan dalam proses alih gunanya. Penerapan hutan produksi konversi ini
amat penting sebagai upaya penyediaan lahan bagi keperluan pembangunan
yang akan datang tanpa menimbulkan kerusakan fungsi hutan tetap.

Perlindungan fungsi lingkungan ditingkatkan pula melalui program


penyelamatan hutan, tanah dan air yang sampai dengan tahun 1992/93 telah
berhasil mengembangkan kawasan konservasi alam seluas hampir 15 juta ha
dan 7,7 juta ha taman nasional. Banyak taman nasional yang sudah menjadi
tujuan wisata penting dalam pengembangan sektor pariwisata. Dan melalui

VI/67
program rehabilitasi hutan dan tanah kritis berhasil dipulihkan 6 juta hektar
tanah kritis dengan kegiatan konservasi tanah (seluas 4 juta ha) dan reboisasi
(seluas 2 juta ha). Kegiatan-kegiatan tersebut mempunyai dampak yang amat
besar dalam mengurangi bencana banjir dan kekeringan, memperpanjang
usia ekonomis prasarana pembangunan seperti bendungan, saluran irigasi,
dan pelabuhan-pelabuhan. Di samping itu upaya tersebut mempunyai
dampak yang positif terhadap peningkatan keterampilan masyarakat petani
daerah kritis, pembentukan modal di pedesaan, dan penyediaan lapangan
kerja serta sumber pendapatan baru bagi daerah-daerah kritis yang miskin.

Dalam rangka merehabilitasi kawasan hutan yang rusak mulai tahun


1984/85 didorong pengembangan hutan tanaman industri (HTI) melalui
kegiatan swasta. Kegiatan tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 1985/86.
Sampai dengan tahun 1987/88 telah dibangun hutan tanaman industri seluas
76.359 ha di 10 propinsi. Dalam periode Repelita V kegiatan tersebut
meningkat dengan pesat sehingga sampai dengan tahun 1991/92 telah
terbangun hutan tanaman industri seluas 515.521 ha di 25 propinsi (Tabel VI-
32). Perkembangan HTI yang pesat ini antara lain ditunjang oleh insentif
yang cukup menarik untuk pengusaha swasta. Pembangunan HTI ini
memiliki dampak positif yang besar dalam penyediaan sumber pendapatan
dan lapangan kerja baru bagi para peladang berpindah di daerah-daerah
terpencil, pembinaan banyak tenaga terampil yang menjadi aset penting bagi
pembangunan kehutanan yang akan datang, pembentukan sumber daya baru
yang berkelanjutan bagi perluasan industri pulp ' dan kertas di masa depan
serta menambah penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di masa depan,
pembentukan pengusaha-pengusaha, terampil, dan perlindungan lingkungan
hidup. Peranan Indonesia dalam upaya pelestarian hutan Indonesia tersebut
merupakan sumbangan besar bagi Indonesia dan dunia dalam melestarikan
fungsi hutan sebagai paru-paru dunia, penyerap karbondioksida dan
penghasil oksigen dalam kaitannya dengan upaya pengendalian perubahan
iklim dunia, serta pelindung keanekaragaman hayati.

Sebagai upaya penunjang yang penting, jumlah dan mutu tenaga


kerja kehutanan sejak tahun pertama Repelita I sampai tahun keempat
Repelita V ditingkatkan melalui pembangunan dan peningkatan sekolah
kejuruan Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA). Dewasa ini terdapat

VI/68
TABEL VI – 27
1)
EKSPOR KAYU GERGAJIAN DAN OLAHAN KE BEBERAPA NEGARA TUJUAN,
1973/74 – 1992/93

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)

VI/69
TABEL VI – 28
1)
EKSPOR KAYU LAPIS KE BEBERAPA NEGARA TUJUAN,
1978/79 – 1992/93

1) Angka kumulatif sejak Repelita II


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

VI/70
TABEL VI – 29
1)
EKSPOR HASIL HUTAN BUKAN KAYU,
1973/74 – 1992/93

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)

VI/71
TABEL VI – 30

PERKEMBANGAN INDUSTRI HASIL HUTAN


BAHAN BAKU DARI AREAL HPH,
1973/74 – 1992/93 1)

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)

VI/72
TABEL VI – 31
1)
PERKEMBANGAN PENGUSAHAAN HUTAN
1973/74 – 1992/93

1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)

VI/73
TABEL VI – 32
1)
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
1987/88 – 1992/93
(Ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1987/88


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)

VI/74
GRAFIK VI – 8
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
1987/88 – 1992/93

VI/74
TABEL VI – 33

HASIL PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEHUTANAN


1969/70 – 1992/93 1)
(Orang)

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Pendidikan SKMA diberikan s/d akhir Repelita II

VI/74
SKMA di Kadipaten (Jawa Barat), Samarinda (Kalimantan Timur), Pekanbaru
(Riau) dan Ujung Pandang (Sulawesi Selatan). Sumbangan dalam
peningkatan mutu tenaga kerja tersebut juga diperoleh dari pengembangan
Balai Latihan Kehutanan (BLK) di Pematang Siantar (Sumatera Utara),
Pekanbaru, Bogor, Kadipaten, Samarinda, Ujung Pandang, Kupang (NTT)
dan Manokwari (Irian Jaya). Pada tahun 1969 pendidikan SKMA
menghasilkan 100 orang lulusan. Hasil pendidikan SKMA mulai meningkat
pada tahun 1989/90 sehingga dalam tahun 1992/93 pendidikan SKMA yang
ada telah menghasilkan sebanyak 222 orang lulusan (Tabel VI-33). Dengan
perkembangan tersebut sejak tahun 1969. sampai dengan tahun keempat
Repelita V (1992/93) telah dihasilkan lulusan sebanyak 1.428 orang tenaga
menengah bidang kehutanan.

Di samping yang disebutkan di atas ini selama Repelita I sampai


dengan tahun keempat Repelita V dilaksanakan pula kegiatan pendidikan dan
pelatihan kehutanan yang meliputi bidang pengusahaan hutan, reboisasi dan
rehabilitasi lahan, inventarisasi dan tata guna hutan, perlindungan hutan dan
pelestarian alam serta administrasi pembangunan kehutanan. Dalam
bidang-bidang tersebut sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun
1987/88 telah berhasil dilatih sebanyak 45.973 orang. Kegiatan pelatihan
tersebut meningkat dengan pesat sejak tahun 1989/90 dan dalam tahun
1991/92 telah dilatih 8.727 orang serta 5.818 orang dalam tahun 1992/93.
Demikian juga dalam tahun 1992/93. Dengan demikian dalam berbagai
bidang tersebut sampai dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil
dididik dan dilatih sebanyak 86.118 orang (Tabel VI-33).

G. PENGAIRAN

Pembangunan pengairan meliputi semua kebijaksanaan dan kegiatan


yang diarahkan pada peningkatan dan pengembangan sumber-sumber air
untuk menunjang pembangunan pertanian dan industri, mengamankan dan
melindungi daerah pemukiman dan daerah produksi pangan, dan menjamin
air baku bagi kebutuhan rumah tangga. Pembangunan pengairan
dilaksanakan melalui berbagai program, antara lain pemeliharaan dan
perbaikan jaringan irigasi yang sudah ada, pembangunan jaringan irigasi

VI/77
baru, reklamasi daerah rawa pasang surut dan non pasang surut, dan
penyelamatan hutan, tanah dan air, dengan didukung oleh usaha penelitian
dan perencanaan pengembangan sumber daya air.

Selama Repelita I sampai dengan Repelita IV pembangunan


pengairan di arahkan untuk mendukung pencapaian dan pemantapan
swasembada pangan. Dalam hubungan ini prioritas pembangunan pengairan
ditekankan pada usaha merehabilitasi jaringan irigasi yang ada dan perluasan
jaringan irigasi baru. Program pembangunan jaringan irigasi baru umumnya
dilaksanakan di luar Jawa. Maksudnya di samping untuk mengimbangi
berkurangnya areal sawah produktif di Jawa, juga diarahkan untuk
memeratakan kegiatan pembangunan dan mendorong pertumbuhan daerah.
Program ini didukung oleh pengembangan sumber-sumber air baru, antara
lain melalui pembangunan bendung dan waduk. Pembangunan waduk ini
dimaksudkan juga untuk meningkatkan penyediaan air baku bagi keperluan
air minum dan industri, pengendalian banjir dan peningkatan penyediaan
sumber daya listrik.

Dalam Repelita V prioritas pembangunan pengairan seperti tersebut


di atas terus dilanjutkan. Dalam rangka memantapkan swasembada pangan,
kegiatan operasi dan pemeliharaan yang dilaksanakan sejak awal Repelita I
makin ditingkatkan pelaksanaannya dalam Repelita V, di samping
melanjutkan program rehabilitasi dan program pembangunan jaringan irigasi
baru. Dalam hubungan ini partisipasi petani juga makin ditingkatkan melalui
pengembangan sistem iuran pelayanan air dan penyerahan pengelolaan
kawasan-kawasan irigasi yang lebih kecil dari 500 ha kepada lembaga
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).

Pembangunan pengairan, selain untuk mempertahankan swasembada


pangan, juga di arahkan untuk lebih menanggulangi masalah-masalah
kemiskinan di daerah-daerah terisolir, terutama di daerah-daerah rawa, tadah
hujan dan pantai, dan untuk menangani masalah-masalah lingkungan hidup
serta menunjang peningkatan produksi pertanian lainnya, seperti produksi
perikanan tambak dan perkebunan.

Dalam rangka menanggulangi masalah-masalah kemiskinan,


pembangunan pengairan selama lima tahun terakhir diprioritaskan di

VI/78
daerah-daerah tadah hujan dalam bentuk pembangunan irigasi air tanah dan
embung-embung, terutama di daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia.
Pengembangan irigasi semacam ini dikaitkan dengan peningkatan produksi
palawija, penyediaan air minum di pedesaan dan pengembangan padang
penggembalaan ternak. Di daerah rawa pembangunan pengairan di arahkan
untuk mendukung peningkatan produksi perikanan tambak dan perkebunan
kelapa melalui pembangunan jaringan drainase.

Dalam rangka menangani masalah-masalah lingkungan hidup,


pembangunan waduk-waduk dikaitkan pula dengan usaha pelestarian dan
konservasi lahan. Dalam hubungan ini pembangunan jaringan irigasi dan
waduk sejauh keadaan memungkinkan selalu disertai dengan pengembangan
tanaman perkebunan terutama di daerah hulunya dan pengembangan
perikanan air tawar di waduknya.

Selanjutnya pembangunan pengairan juga dilaksanakan untuk


menangani masalah-masalah pengendalian banjir di daerah sentra produksi
dan perkotaan, dan untuk menangani abrasi air laut di berbagai daerah
pantai.

Hasil pelaksanaan program-program pembangunan pengairan sejak


awal Repelita I adalah sebagai berikut:

1. Program Perbaikan dan Pemeliharaan Jaringan Pengairan

Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992, perbaikan jaringan


irigasi meningkat dari 210.330 ha pada tahun 1969/70, menjadi
2.872.513 ha pada tahun 1992, atau meningkat menjadi 13 kali lebih (Tabel
VI-34). Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repe-
lita V, perbaikan jaringan irigasi mengalami peningkatan seluas 454.896 ha
bila dibandingkan dengan luas perbaikan irigasi yang dicapai pada tahun
1987.

Meningkatnya program perbaikan jaringan irigasi sangat bermanfaat


untuk mengembalikan fungsi jaringan irigasi sampai pada tingkat yang
normal, sehingga intensitas tanaman dan produktivitas lahan sawah, bersama

VI/79
dengan penerapan teknologi pertanian, meningkat secara terus menerus.
Dengan demikian produksi padi dapat ditingkatkan terus, yang akhirnya
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani serta makin
berkembangnya perekonomian daerah.

Dalam rangka meningkatkan mutu operasi dan pemeliharaan jaringan


pengairan, sejak tahun 1987 diperkenalkan kegiatan Operasi dan Peme-
liharaan jaringan pengairan yang efisien. Operasi dan pemeliharaan ini
merupakan kegiatan untuk mempertahankan fungsi bangunan dan jaringan
pengairan serta untuk meningkatkan efisiensi sistem distribusi air sehingga
mampu menyediakan air di petak sawah sesuai dengan kebutuhan baik dalam
arti jumlahnya maupun ketepatan waktunya. Sampai dengan tahun terakhir
Repelita IV kegiatan ini baru mencapai areal seluas 635.864 ha; pada tahun
1992 seluruh luas areal yang tercakup telah menjadi 1.480.915 ha (Tabel
VI-34). Program tersebut dilakukan di Jawa, di Sumatera, di Sulawesi, di
Bali dan di Nusa Tenggara Barat.

2. Program Pembangunan Jaringan Irigasi

Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara pembangunan


pengairan ditingkatkan dan di arahkan untuk menyediakan air yang cukup
bagi pertanian, mendukung pembukaan pemanfaatan areal baru termasuk
daerah transmigrasi sekaligus untuk menunjang penyediaan air bagi
masyarakat serta industri dan kelistrikan. Dalam hubungan ini program
pembangunan jaringan irigasi yang dilaksanakan sejak Repelita I untuk
mendukung pencapaian swasembada pangan, dalam lima tahun terakhir
sampai dengan tahun keempat Repelita V pelaksanaan program ini makin
ditingkatkan terutama di daerah-daerah yang masih terisolir. Penekanan
pelaksanaan program ini di daerah terisolir bukan saja bermanfaat untuk
membuka daerah tersebut, tetapi juga berguna untuk menanggulangi
masalah-masalah kemiskinan dan meningkatkan produksi.

Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992 pembangunan


jaringan irigasi meningkat dari 64.212 ha dalam tahun 1969/70, menjadi
1.605.178 ha dalam tahun 1992/93, atau meningkat menjadi hampir 25 kali
(Tabel VI-34). Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat

VI/80
TABEL VI – 34
1)
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PENGAIRAN
1969/70 – 1992/93
(luas areal dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak Repelita I


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam kilometer

VI/81
GRAFIK VI – 34
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PENGAIRAN
1969/70 – 1992/93

VI/82
Repelita V, pembangunan jaringan irigasi mengalami peningkatan seluas
353.343 ha bila dibandingkan dengan luas pembangunan jaringan irigasi
yang dicapai pada tahun 1987/88. Pembangunan jaringan irigasi yang sangat
besar ini menyebabkan luas sawah beririgasi, produksi dan kesempatan kerja
juga meningkat. Pada tahun 1969/70 jumlah sawah beririgasi adalah seluas
1.469.931 ha, pada tahun 1992 meningkat lagi menjadi 4.628.068 ha, atau
meningkat menjadi tiga kali lebih. Dalam Repelita V pembangunan jaringan
irigasi baru umumnya dilaksanakan di wilayah luar Jawa.

Untuk kurun waktu sejak tahun 1969/70 sampai dengan tahun 1992/93,
pelaksanaan program perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi merupakan
salah satu faktor penentu dalam usaha mencapai swasembada pangan. Lagi
pula pembangunan jaringan irigasi selama ini juga sangat membantu usaha
menciptakan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan produktivitas
lahan sawah, mendorong usaha-usaha swasta di bidang konstruksi,
meningkatkan penyediaan air baku untuk air minum, menunjang
pengembangan kapasitas penyediaan listrik dan mendorong berkembangnya
usaha-usaha pertanian yang berwawasan lingkungan.

3. Program Pengembangan Daerah Rawa

Program Pengembangan Daerah Rawa ditujukan untuk mendukung


pengembangan daerah-daerah marginal dan terbelakang. Sejak dimulainya
pelaksanaan program ini dalam Repelita II sampai dengan tahun 1992 daerah
rawa yang berhasil dikembangkan meningkat dari 179.202 ha pada tahun
1978/79 dan pada tahun 1992 menjadi 1.102.540 ha, atau meningkat
menjadi enam kali lebih (Tabel VI-34). Selama lima tahun terakhir, sampai
dengan tahun keempat Repelita V pelaksanaan program pengembangan
daerah rawa mengalami peningkatan seluas 281.609 ha. Program tersebut
dilaksanakan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.
Pengembangan daerah rawa tersebut mempunyai dampak sangat besar
terhadap usaha-usaha meningkatkan kesempatan kerja, produktivitas sumber
daya lahan dan investasi swasta di bidang perkebunan dan perikanan.
Bahkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak produktif sama sekali, pada
saat ini daerah tersebut telah berubah menjadi daerah yang sangat produktif.

VI/83
4. Program Penyelamatan Hutan Tanah dan Air

Pelaksanaan program penyelamatan hutan, tanah dan air, terutama


ditujukan untuk mengendalikan bahaya banjir dan mengembangkan
sumber-sumber daya air melalui perbaikan dan pengaturan alur sungai serta
pembangunan waduk-waduk serba guna untuk irigasi, air minum, industri
dan tenaga listrik. Pada awal Repelita I pelaksanaan program penyelamatan
hutan, tanah dan air berhasil mengamankan areal seluas 73.259 ha dan pada
tahun 1992 meningkat menjadi 1.901.721 ha, atau meningkat menjadi 26
kali. Selma lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V,
pelaksanaan program ini mengalami peningkatan seluas 409.584 ha (Tabel
VI-34). Waduk yang telah selesai dibangun antara lain adalah waduk Wadas
Lintang dan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Selain itu telah dilakukan
pula kegiatan pembangunan lainnya dalam rangka pengamanan wilayah
perkotaan dari bahaya banjir, antara lain, di Bandung, Jakarta, Surabaya,
Banda Aceh, Medan, Padang dan Ujung Pandang. Dalam rangka mendukung
pengamanan daerah pantai akibat abrasi, sejak awal Repelita V, telah
dibangun sarana pelindung pantai di daerah pantai kritis; antara lain di Pantai
Bali dan Pantai Utara Jawa.

Meningkatnya luas areal yang diamankan dan dilindungi melalui


pelaksanaan program ini mempunyai dampak yang sangat besar, terutama
merubah daerah yang tadinya kurang produktif sebagai akibat timbulnya
banjir, menjadi daerah yang sangat produktif baik untuk pertanian maupun
untuk daerah industri dan perumahan. Dengan meningkatnya jumlah waduk
dan bendung, jumlah penyediaan air baik untuk irigasi dan air minum makin
meningkat pula, di samping membantu meningkatkan penyediaan tenaga
listrik.

H. PENDIDIKAN, PENYULUHAN DAN PENELITIAN


PERTANIAN DAN PENGAIRAN

1. Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian

Kemampuan para petani dan nelayan dalam menerapkan berbagai


teknologi dan sikap mereka yang tanggap terhadap situasi pasar merupakan

VI/84
faktor penting yang memungkinkan mereka mampu mengelola sumber daya
yang mereka kuasai secara optimal. Demikian pula kemampuan para petani
untuk menghadapi risiko dan memanfaatkan kesempatan yang terbuka.
Demikianlah maka usaha meningkatkan kemampuan para petani dan nelayan
dan usaha untuk mengembangkan sikap mereka agar makin sesuai dengan
perkembangan kebutuhan pembangunan juga diberi perhatian utama dalam
pembangunan sektor pertanian.

Untuk memungkinkan pelaksanaan usaha-usaha tersebut di atas


berbagai kegiatan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan para petugas
pertanian, tenaga teknisi dan penyuluh pertanian melalui kegiatan pelatihan
dan pendidikan formal. Melalui kegiatan tersebut diupayakan agar para
petugas, di samping dapat makin memiliki pengetahuan di bidang-bidang
teknologi pertanian, finansial dan manajemen yang memadai, juga akan
makin memiliki sifat berdedikasi tinggi.

Sejak awal Repelita II sampai dengan tahun 1992, jumlah Sekolah


Pertanian Pembangunan (SPP) pada tahun 1974/75 meningkat dari 79 unit
menjadi 232 unit pada tahun 1992. Kontak tani meningkat dari 130.252
kelompok menjadi 240.535 kelompok, Balai Latihan Penyuluhan Pertanian
(BLPP) dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) masing-masing meningkat dari
13 unit dan 987 unit pada tahun 1968, dan pada tahun 1992 masing-masing
menjadi 26 unit dan 2.258 unit. BLPP adalah tempat pelatihan para
petugas/penyuluh, sedangkan BPP adalah tempat penyuluh melaksanakan
latihan bagi para petani.

Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repe-


lita V, jumlah SPP, BPP masing-masing mengalami peningkatan sebanyak 28
unit dan 775 unit. Kelompok tani meningkat sebanyak 45.488 unit sedangkan
jumlah BLPP tetap sebanyak 26 unit tidak mengalami kenaikan.

2. Penelitian Pertanian dan Pengairan

Dalam rangka mencapai swasembada pangan, sejak awal Repe-


lita I sampai dengan tahun 1984 program penelitian diprioritaskan, terutama
dengan tujuan untuk mengembangkan varietas-varietas unggul padi, jagung

VI/85
dan kedele, khususnya varietas-varietas dengan produktivitas tinggi dan
tahan terhadap hama penyakit. Selain itu program ini juga meliputi
penelitian sosial ekonomi usaha tani padi, dan penelitian sumber daya alam.
Selanjutnya program penelitian juga di arahkan untuk mengembangkan
produksi pertanian lainnya, seperti kopi, karet, cengkeh, kelapa sawit,
ternak unggas, ternak perah dan potong serta perikanan.

Dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, dan dapat


dipertahankannya sejak itu sampai sekarang, kesempatan untuk
mengembangkan komoditi tanaman pangan lainnya menjadi lebih besar.
Demikianlah maka sejak tahun tersebut perhatian yang lebih besar diberikan
pada penelitian dan pengembangan teknologi produksi untuk
komoditi-komoditi yang mempunyai peluang pasar cukup besar, sedangkan
penelitian dan pengembangan varietas-varietas unggul padi, kedele dan
jagung juga tetap dilaksanakan. Komoditi-komoditi yang mempunyai
peluang pasar cukup tinggi, antara lain adalah buah-buahan, udang,
cakalang, susu, daging, kelapa sawit, coklat dan karet. Dalam pada itu,
sejak tahun 1987 penelitian yang di arahkan untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan faktor produksi, seperti pupuk, dan efisiensi industri
pengolahan hasil-hasil serta limbah pertanian, juga ditingkatkan. Selanjutnya
sejak tahun 1987 penelitian dan pengembangan teknologi pengendalian hama
terpadu juga lebih ditingkatkan.

Dalam rangka mendukung pengembangan lahan marginal kegiatan


penelitian juga di arahkan untuk pengembangan daerah pantai, rawa dan
lahan kering. Penelitian ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, yang
mencakup pengembangan paket teknologi produksi dan penelitian sosial
ekonomi masyarakat. ,

Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992, penelitian di bidang


tanaman pangan telah menghasilkan 62 varietas padi unggul yang berdaya
hasil tinggi, dan 48 varietas palawija. Penelitian di bidang hortikultura telah
menghasilkan berbagai cara mempercepat perbanyakan bibit nenas, durian,
duku dan pisang. Sementara itu, penelitian di bidang peternakan dan
perikanan masing-masing telah menemukan jenis vaksin untuk pencegahan
penyakit ngorok pada sapi dan metode akustik untuk peningkatan
penangkapan ikan laut. Selanjutnya di bidang perkebunan telah dihasilkan

VI/86
klon unggul karet, seperti PR 300 dan PR 261, dan klon unggul kelapa baru
(KB I).

Adapun hasil-hasil pelaksanaan penelitian dan pengembangan


pertanian selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 1992/93
adalah sebagai berikut. Penelitian pertanian telah menghasilkan dan
melepas 5 varietas padi sawah, 1 varietas padi dataran tinggi, 3 varietas padi
pasang surut, dan 7 varietas padi gogo, 2 varietas jagung, 2 varietas
sorghum, 5 varietas kedele, 4 varietas kacang tanah dan 2 varietas ubi jalar.
Selain itu telah dihasilkan pula suatu pola tata guna air, teknologi
pascapanen seperti alat perontok panen dan teknologi pengendalian hama
terpadu. Sementara itu, penelitian hortikultura telah menghasilkan 2 varietas
unggul buah-buahan dan 26 varietas unggul sayuran serta teknologi produksi
bibit jeruk bebas hama dan penyakit.

Penelitian perkebunan telah menghasilkan antara lain, TM12, TM13


dan TM14 untuk karet; DR-2 untuk kakao; Kopi Arabica BP 415 A untuk
kopi; Petaling 1 dan 2 untuk tembakau Virginia. Selanjutnya penelitian ini
juga telah menghasilkan teknologi pengendalian hama Oryctes, Artona,
Hidari dan Sexava sp. untuk tanaman kelapa.

Penelitian Peternakan telah menghasilkan teknologi berupa sistem


pemeliharaan ayam buras secara semi intensif, penggunaan arang aktif dalam
ransum itik yang terkontaminasi aflatoksin, penanganan kulit kelinci jenis
Rex, pemeliharaan jarak beranak optimal dan penggunaan susunan ransum
yang relatif murah. Penelitian perikanan telah menghasilkan teknologi budi
daya pembenihan udang, bandeng, kakap dan lele lokal, penerapan keramba
jaring apung, pengembangan alat tangkap dan teknologi pengolahan minyak
hati dari ikan cucut.

Hasil penelitian sumber daya alam selama lima tahun yang lalu antara
lain meliputi: (1) pemetaan tanah tingkat detail telah dilaksanakan di
Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur, pemetaan tanah tingkat semi
detail seluas 176.750 ha di berbagai propinsi dan pemetaan tanah tinjau
untuk pulau Sumatera, jalur pantai Jawa Barat dan areal HPH di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur; (2) peta kesesuaian lahan dengan skala
1 : 1.250.000 untuk padi, kedele, mangga, pisang, jeruk, kelapa sawit,

VI/87
karet, kopi, kakao, tebu dan kapas di Jawa; (3) peta status Pospor (P) dan
Kalium (K) di Jawa; (4) penggunaan bahan organik dan pemupukan P untuk
meningkatkan produktivitas lahan kering masam; (5) paket teknologi
rehabilitasi dan peningkatan produktivitas tanah lahan alang-alang; dan
(6) studi potensi, kendala dan peluang. pembangunan pertanian di kawasan
timur Indonesia.

Beberapa hasil utama penelitian sosial ekonomi pertanian antara lain


adalah: (1) kerangka pengembangan agro industri skala kecil dan penyerapan
tenaga kerja; (2) pola partisipasi petani pengguna air dalam pembiayaan
pemeliharaan prasarana irigasi; (3) identifikasi wilayah miskin di Indonesia
dan alternatif upaya penanggulangannya; (4) pola pengembangan beberapa
komoditas pertanian; dan (5) alternatif kebijaksanaan harga dan subsidi serta
investasi pertanian.

Hasil penelitian dalam bidang mekanisasi dan alat pertanian antara


lain meliputi: (1) alat pengolahan benih dan pemupukan; (2) alat penyortir
buah jeruk dan apel; (3) alat pencetak makanan ternak; (4) alat pengolahan
tapioka; (5) alat penyortir hasil-hasil perikanan laut; (6) alat pemroses
kakao; (7) alat perontok dan pengering gabah; (8) rekayasa berbagai jenis
pompa air untuk daerah pedesaan; (9) alat pemipil jagung; dan (10) alat
pengolah rumput laut, kakao, kopi, lada, karet dan kapas.

Penelitian dalam bidang bioteknologi mulai merintis pemanfaatan


mikroba untuk peningkatan kesuburan tanah, biokonversi limbah industri
dari pengolahan hasil pertanian, analisa dan pemanfaatan jasad renik dan
enzim. Selain itu dikembangkan pula teknologi pembiakan vegetatif kultur
jaringan kelapa sawit, karet, kopi, lada, pisang, kentang, jeruk dan
anggrek.

Dalam penelitian pengairan diutamakan kegiatan-kegiatan


perencanaan untuk pengembangan sumber daya air yang mencakup strategi
pengembangan wilayah sungai, pengembangan irigasi, reklamasi rawa dan
pantai.

VI/88

Anda mungkin juga menyukai