BAB VI
A. PENDAHULUAN
VI/3
dalam negeri. Dalam keadaan ekonomi semacam ini, di mana sektor
pertanian merupakan sumber lapangan kerja dan pendapatan sebagian besar
masyarakat, penman pembangunan sektor pertanian sangat dominan,
terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, meningkatkan kesempatan
kerja dan pendapatan para petani, meningkatkan devisa serta mendorong
pertumbuhan industri. Perbaikan taraf hidup hanya mungkin dicapai apabila
sektor pertanian dapat digerakkan, sehingga produksi dan produktivitasnya
meningkat. Dalam hubungan ini Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sejak Repelita I sampai dengan Repelita IV menetapkan titik berat
pembangunan ekonomi pada sektor pertanian. Selanjutnya GBHN tahun
1988 menetapkan bahwa prioritas pembangunan diletakkan pada
pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil-hasil
pertanian lainnya, dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang
seimbang antara industri dan pertanian baik dari segi nilai tambah maupun
penyerapan tenaga kerja.
VI/4
Tercapainya swasembada pangan dalam tahun 1984 telah
memberikan peluang yang lebih besar bagi pembangunan pertanian untuk
lebih meningkatkan produksi hortikultura, perikanan, peternakan dan
perkebunan, di samping untuk mempertahankan swasembada pangan. Usaha
meningkatkan produksi berbagai komoditi ini dimaksudkan untuk
meningkatkan ekspor hasil-hasil pertanian dan untuk menanggulangi
masalah-masalah kemiskinan bagi petani di lahan kering dan di daerah
pantai. Dengan meningkatnya permintaan akan hasil-hasil pertanian bernilai
tinggi, kebijaksanaan meningkatkan produksi berbagai komoditi tersebut
juga dimaksudkan untuk meningkatkan penyediaan hasil-hasil pertanian
bernilai gizi tinggi. Kebijaksanaan lainnya adalah mendorong peningkatan
investasi swasta dan badan-badan usaha milik negara untuk pengembangan
agribisnis.
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi padi sangat
meningkat. Dalam tahun 1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton; dan
pada tahun 1992 naik menjadi 47.293 ribu ton (Tabel VI-1), yang berarti
meningkat menjadi hampir tiga kali. Perkembangan ini berarti bahwa dalam
periode yang sama produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi
154,0 kg per jiwa. Prestasi yang besar, khususnya di sektor pertanian ini
telah merubah posisi Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di
dunia menjadi negara yang mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984;
dan kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu
selanjutnya juga selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat
Repelita V tetap dapat dipertahankan. Di samping itu meningkatnya
penyediaan pangan selama ini mempunyai pengaruh sangat besar terhadap
usaha mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan,
VI/5
dilihat baik dalam arti tingkat pendapatan maupun dalam arti keadaan gizi
mereka. Apabila dalam tahun 1976 ada sekitar 54 juta orang hidup di bawah
garis kemiskinan, maka pada tahun 1990 jumlah tersebut telah menjadi 27
juta orang. Dalam pada itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor
pertanian meningkat dari 29 juta orang pada tahun 1976 menjadi 42 juta
orang pada tahun 1990 .
Sebagaimana juga dapat dilihat pada Tabel VI-1, selama tahun 1968
sampai dengan tahun 1992, produksi hasil-hasil pertanian terpenting selain
beras juga menunjukkan kenaikan yang sangat berarti. Kalau tahun 1968
produksi jagung dan kedele masing-masing mencapai 3.165 ribu ton dan 420
ribu ton, dan dalam tahun 1992 masing-masing naik menjadi 7.039 ribu ton
dan 1.687 ribu ton, atau masing-masing meningkat menjadi dua kali dan
empat kali. Produksi ikan laut meningkat dari 723 ribu ton pada tahun 1968
menjadi 2.628 ribu ton pada tahun 1992, atau meningkat menjadi hampir
empat kali. Produksi susu meningkat dari 29 juta liter dalam tahun 1968
menjadi 382 juta liter dalam tahun 1992, atau meningkat menjadi tiga belas
kali. Produksi kelapa sawit 181 ribu ton pada tahun 1968 dan pada tahun
1992 naik menjadi 3.162 ribu ton atau meningkat menjadi tujuh belas kali.
Selain itu produksi coklat pada tahun 1968 dapat dikatakan sangat kecil
sekali, yaitu 1,2 ribu ton; sedangkan pada tahun 1992 naik menjadi 175,4
ribu ton.
VI/6
TABEL VI – 1
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam gabah kering giling
5) Dalam juta liter
6) Dalam ton
7) Dalam ribu m3
VI/7
GRAFIK VI - 1
PERKEMBANGAN PRODUKSI BEBERAPA HASIL
PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992
VI/8
Dalam tahun 1968 ekspor ikan segar dan udang masing-masing
mencapai 3,4 ribu ton dan 2,9 ribu ton; dan pada tahun 1992 meningkat
menjadi 160 ribu ton dan 98,5 ribu ton. Ekspor minyak sawit, teh dan
tembakau juga mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dalam tahun
1968 ekspor minyak sawit, teh dan tembakau masing-masing mencapai
152,4 ribu ton, 20,2 ribu ton dan 8,2 ribu ton; dan pada tahun 1992
masing-masing meningkat menjadi 1.174,8 ribu ton, 113,4 ribu ton dan 24
ribu ton (Tabel VI-2).
B. TANAMAN PANGAN
1. Padi/Beras
VI/9
TABEL VI – 2
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam ribu m3
VI/10
GRAFIK VI – 2
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR
HASIL PERTANIAN TERPENTING,
1968 – 1992
VI/10
hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam hubungan ini kebijaksanaan harga
pangan merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan
pendapatan dan mendorong petani untuk meningkatkan produksi.
Kebijaksanaan harga yang telah diterapkan sejak awal Repelita I ini, untuk
tahun-tahun 1988 sampai sekarang masih sangat sesuai dan merupakan
kebijaksanaan yang konsisten, bersama-sama dengan usaha-usaha yang lain,
dampaknya sangat membantu upaya mempertahankan swasembada pangan
dalam lima tahun terakhir ini. Kebijaksanaan lain meliputi peningkatan usaha
intensifikasi, yang dilaksanakan dengan membina kelompok tani, mendorong
petani menggunakan benih unggul bersertifikat serta menggunakan pupuk
secara efisien, menerapkan teknologi pengendalian hama terpadu, mengelola
air irigasi secara efisien, dan memanfaatkan teknologi pascapanen untuk
mengurangi kehilangan hasil. Dalam kurun waktu tahun 1988 sampai dengan
tahun keempat Repelita V, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
telah diperkenalkan teknologi pupuk tablet.
VI/12
peningkatan kualitas gizi dan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja dan
pertumbuhan ekonomi di daerah. Sebelum tahun 1984 negara Indonesia
merupakan negara yang mengimpor beras terbesar di dunia, sehingga
dampak terpenting lainnya adalah penghematan devisa negara dan
tersedianya pangan yang cukup bagi sektor industri. Devisa yang dihemat
dapat digunakan untuk impor barang-barang modal bagi keperluan
pengembangan industri. Dampak lainnya adalah kestabilan ekonomi, karena
meningkatnya penyediaan pangan berpengaruh terhadap tingkat inflasi.
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 produksi padi telah
meningkat dari 17.156 ribu ton menjadi 47.293 ribu ton atau meningkat
menjadi hampir 3 kali (Tabel VI-1). Ini berarti penyediaan beras meningkat
dari 95,9 kg per jiwa pada tahun 1968 menjadi 154,0 kg per jiwa pada tahun
1992. Peningkatan produksi pangan ini terutama merupakan hasil
peningkatan produktivitas dan luas areal tanaman padi. Hasil rata-rata padi
per ha program intensifikasi dalam tahun 1968 mencapai 2,21 ton; pada
tahun 1992 meningkat menjadi 4,72 ton atau rata-rata meningkat menjadi
dua kali (Tabel VI-3). Peningkatan produktivitas yang sangat tinggi ini
merupakan hasil kebijaksanaan harga pangan dan pembinaan petani secara
berkelompok, yang berhasil mendorong mereka menggunakan bibit unggul
dan pupuk pada tingkat yang sangat tinggi.
VI/13
TABEL VI – 3
1)
PERKEMBANGAN HASIL RATA-RATA DAN LUAS PANEN PADI PROGRAM INTENSIFIKASI
1968 – 1992
1) Angka tahunan
2) Dalam gabah kering giling
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara
VI/14
GRAFIK VI – 3
PERKEMBANGAN LUAS PANEN PADI PROGRAM INTENSIFIKASI
1968 – 1992
VI/15
Dalam tahun 1968 penggunaan pupuk mencapai 119.800 ton; dan
dalam tahun 1988 meningkat menjadi 1.879.973 ton, atau meningkat hampir
enam belas kali lipat. Selanjutnya selama lima tahun terakhir, para petani
makin menekankan penggunaan pupuk secara efisien, yang merupakan hasil
peningkatan kegiatan penyuluhan dan penelitian. Dalam hubungan ini
penggunaan pupuk pada tahun 1992 meningkat menjadi 2.364.000 ton
(Tabel VI-6). Hal ini berarti bahwa dibandingkan dengan tahun 1968
penggunaan pupuk meningkat menjadi 19 kali lipat.
Selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, hasil rata-rata padi per
ha secara keseluruhan sangat meningkat, yaitu dari 2,13 ton menjadi 4,35
ton, jadi meningkat menjadi dua kali lebih. Selama lima tahun terakhir
sampai dengan tahun 1992 hasil rata-rata per ha meningkat 1,5% per tahun
(Tabel VI-4). Sebagaimana diuraikan di atas laju kenaikan produktivitas per
ha secara keseluruhan dalam kurun waktu tersebut lebih rendah dari laju
kenaikan produktivitas per ha selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992.
Walaupun demikian produktivitas per ha tetap meningkat sebagai hasil dari
kebijaksanaan harga pangan dan perbaikan pengelolaan air irigasi dan
kelembagaan petani serta sistem distribusi pupuk. Menurunnya laju
pertumbuhan produktivitas disebabkan oleh kejenuhan lahan terhadap
pemupukan dan terjadinya kemarau yang panjang pada tahun 1991. Selama
lima tahun terakhir kenaikan produktivitas padi per ha di luar Jawa lebih
tinggi dibanding dengan kenaikan produktivitas per ha di pulau Jawa; di luar
Jawa 1,8%, di Jawa 1,5% per tahun. Keadaan ini menggambarkan semakin
berhasilnya usaha-usaha perluasan areal dan pembinaan petani di luar Jawa
sejak tahun 1988 sampai dengan tahun keempat Repelita V.
Sejak tahun 1968 luas panen intensifikasi padi telah meningkat dari
1.597 ribu ha menjadi 9.211 ribu ha pada tahun 1992, atau meningkat
menjadi hampir enam kali. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun
keempat Repelita V, luas panen intensifikasi padi tetap meningkat, walaupun
laju pertumbuhannya lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
disebabkan menurunnya luas panen intensifikasi padi pada tahun 1991 seluas
142 ribu ha sebagai akibat musim kemarau yang panjang. Luas panen
intensifikasi padi yang masih meningkat 2,8% per tahun merupakan hasil
pembinaan secara intensif, sehingga luas panen intensifikasi khusus sangat
meningkat. Selama tahun 1987 sampai dengan tahun 1992 luas panen
intensifikasi khusus meningkat lebih dari 50%, yaitu dari 4.922 ribu ha pada
tahun 1987 menjadi 7.544 ribu ha pada tahun 1992 (Tabel VI-3). Kenaikan
VI/16
TABEL VI – 4
1) Angka tahunan
2) Dalam gabah kering giling
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara
VI/17
GRAFIK VI – 4
PERKEMBANGAN HASIL RATA-RATA PADI PER HA,
1968 – 1992
VI/18
luas panen intensifikasi khusus tersebut menggambarkan makin baiknya
kelembagaan petani dan prasarana ekonomi, sehingga memungkinkan
terjadinya pergeseran areal intensifikasi umum ke areal intensifikasi khusus.
Perubahan ini juga menunjukkan keberhasilan pembinaan para petani secara
berkelompok.
VI/19
TABEL VI – 5
1)
PERKEMBANGAN LUAS PANEN DAN PRODUKSI PADI
1968 – 1992
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam gabah kering giling
VI/20
mengembangkan teknologi tepat guna bagi tanaman tumpang sari dan
pergiliran tanaman. Kebijaksanaan diversifikasi tanaman ditunjang dengan
peningkatan efisiensi dalam pengelolaan air irigasi, penerapan teknologi
pascapanen dan kebijaksanaan harga pangan. Kegiatan pergiliran tanaman
dikaitkan dengan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai
usaha pengurangan populasi hama dan penyakit tanaman.
VI/21
tahun 1992 hasil rata-rata per ha jagung dan kedele masing-masing
meningkat 2,0% dan 1,2% per tahun. Laju kenaikan hasil rata-rata per ha
palawija selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repe-
lita V agak lebih rendah dari laju kenaikan hasil rata-rata per ha
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti,
karena sebagian besar petani palawija telah menggunakan teknologi baru
seperti bibit unggul dan pupuk, di mana laju pertumbuhannya tidak secepat
pada awal penggunaan teknologi baru tersebut.
Selama tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 luas panen palawija
umumnya meningkat kecuali luas panen ubi kayu dan ubi jalar. Peningkatan
terbesar terjadi pada luas panen kacang tanah dan kedele, yaitu
masing-masing meningkat dari 395 ribu ha dan 677 ribu ha dalam tahun
1968, menjadi 657 ribu ha dan 1.506 ribu ha dalam tahun 1992 (Tabel
VI-7). Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
tingkat kenaikan luas panen palawija jauh lebih tinggi dari laju kenaikan luas
panen dalam tahun-tahun sebelumnya, kecuali luas panen ubi jalar yang
cenderung tetap menurun. Kenaikan luas panen tertinggi terjadi pada kedele
dan terendah pada ubi kayu, yaitu masing-masing 6,5% dan 1,2% per
tahun.
Dengan meningkatnya luas panen dan hasil rata-rata per ha, produksi
palawija umumnya meningkat dengan pesat, kecuali ubi jalar sebagai akibat
menurunnya luas panen. Sejak tahun 1968 total produksi jagung, kedele dan
kacang tanah masing-masing telah meningkat dari 3.165 ribu ton, 420 ribu
ton dan 287 ribu ton; dan pada tahun 1992 masing-masing menjadi 7.039
ribu ton, 1.687 ribu ton dan 674 ribu ton, atau masing-masing meningkat
menjadi dua kali lebih, empat kali dan dua kali lebih (Tabel VI-7). Selama
lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, produksi
jagung, kedele dan kacang tanah meningkat lebih tinggi dari tingkat
kenaikan produksi dalam tahun-tahun sebelumnya, yaitu masing-masing
7,3%, 7,8% dan 4,9% per tahun. Hal ini merupakan hasil pembinaan
kelembagaan petani, kebijaksanaan harga dasar komoditi tersebut dan
peningkatan usaha-usaha diversifikasi.
VI/22
TABEL VI – 6
1)
PERKEMBANGAN PENGGUNAAN PUPUK PADA PROGRAM TANAMAN PANGAN,
1968 – 1992
(ton zat hara)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/23
GRAFIK VI – 5
PERKEMBANGAN PENGGUNAAN PUPUK
PADA PROGRAM TANAMAN PANGAN,
1968 – 1992
VI/24
TABEL VI – 7
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI, HASIL RATA-RATA DAN LUAS PANEN BEBERAPA JENIS PALAWIJA,
1968 – 1992
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/25
kedua jenis komoditi ini lebih meningkat lagi, yaitu sayuran meningkat
1,9% per tahun dan buah-buahan meningkat 2,8% per tahun.
VI/26
TABEL VI – 8
1)
PERKEMBANGAN LUAS PANEN, PRODUKSI DAN HASIL RATA-RATA HORTIKULTURA,
1968 – 1992
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/27
C. PETERNAKAN
VI/28
produktivitas ternak sapi perah rakyat dengan cara memperbaiki mutu ternak
melalui kawin suntik, impor bibit unggul sapi perah, mengembangkan
padang penggembalaan, memberantas dan mengendalikan penyakit, dan
melakukan penyuluhan mengenai teknik-teknik pengelolaan usaha. Dalam
rangka meningkatkan efisiensi sistem pemasaran dan mengusahakan
terjaminnya kualitas susu, sejak tahun 1988 sampai dengan tahun 1990
pengembangan ternak perah rakyat dipadukan dengan pengembangan
industri pengolahan susu dan koperasi. Selanjutnya dalam tahun 1990
hubungan kerja sama antara perusahaan inti, disatu pihak, dan petani plasma
serta koperasi di pihak lain, disempurnakan lagi sehingga hak dan tanggung
jawab masing-masing lembaga menjadi makin jelas.
VI/29
TABEL VI – 9
1)
PERKEMBANGAN POPULASI TERNAK DAN UNGGAS,
1968 – 1992
(ribu ekor)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Mulai tahun 1980
VI/30
populasi sapi potong dan sapi perah masing-masing meningkat sekitar 2,7%
dan 7,0% per tahun (Tabel VI-9). Populasi ternak lainnya rata-rata
meningkat di atas 2,0% per tahun, kecuali populasi ternak kuda dan kerbau
masing-masing meningkat hanya 1,3% dan 0,7% per tahun. Di samping
populasi yang makin meningkat, kualitas dan produktivitas ternak juga
meningkat, sebagai hasil pelaksanaan kawin suntik, penyebaran bibit ternak
unggul dan pengembangan perusahaan-perusahaan berskala besar. Kegiatan
kawin suntik meningkat dari 90 ribu dosis pada tahun 1977 menjadi 337
ribu dosis pada tahun 1987. Sejak itu meningkat lagi menjadi 2,4 juta dosis
pada tahun 1992; jadi meningkat 274% dari tahun 1977 sampai dengan
1987, dan 612% dalam tahun 1987 sampai dengan 1992. Dari hasil kegiatan
inseminasi buatan pada tahun 1991 dihasilkan keturunan anak sapi perah dan
sapi potong sebanyak 155 ribu ekor pada tahun 1992.
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 penyebaran bibit ternak
terus meningkat. Penyebaran bibit ternak ini sangat berarti untuk
meningkatkan produktivitas ternak rakyat, sehingga pendapatan peternak
juga meningkat. Penyebaran bibit kerbau dan kambing/domba meningkat di
atas 18,0% per tahun (Tabel VI-10). Sedangkan penyebaran bibit sapi dan
kuda masing-masing rata-rata meningkat 10,3% dan 16,6% per tahun.
Selama lima tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V,
penyebaran bibit ternak kerbau dan kambing masing-masing meningkat
sebesar 13,9% dan 58,9% per tahun. Penyebaran bibit kuda sangat
berfluktuasi. Dalam tahun 1989 penyebaran bibit kuda sangat meningkat,
tetapi dalam tahun 1990 dan 1991 mengalami penurunan. Kemudian
meningkat lagi dari 755 ekor dalam tahun 1991 menjadi 1.604 dalam tahun
1992. Fluktuasi penyebaran sangat erat kaitannya dengan tersedianya bibit
unggul kuda. Penyebaran bibit kerbau dalam tahun 1988 dan 1991
mengalami penurunan. Menurunnya penyebaran bibit kerbau tersebut
disebabkan oleh tidak tersedianya bibit unggul kedua jenis ternak tersebut.
Penyebaran bibit kambing dan domba dalam tahun 1991 mengalami kenaikan
yang sangat tinggi, yaitu sebesar 244,6% dibanding tahun sebelumnya.
Kenaikan yang tinggi ini disebabkan tersedianya bibit unggul yang dapat
disebarkan ke petani di daerah-daerah relatif miskin. Penyebaran bibit ternak
babi rata-rata meningkat hanya 0,7% per tahun, sedangkan penyebaran bibit
ternak sapi rata-rata menurun sebesar 2,5% per tahun. Penurunan ini
disebabkan oleh telah berkembangnya perusahaan-perusahaan pembibitan
ternak swasta.
V1/31
TABEL VI – 10
1)
PERKEMBANGAN PENYEBARAN BIBIT TERNAK,
1968 – 1992
(ekor)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/32
Seperti terlihat dalam Tabel VI-11, selama tahun 1968 sampai dengan
tahun 1992, produksi daging, telur dan susu menunjukkan peningkatan yang
sangat berarti. Peningkatan tertinggi terjadi pada produksi susu dan telur,
yaitu masing-masing meningkat dari 29 juta liter dan 51 ribu ton pada tahun
1968 menjadi 382 juta liter dan 535 ribu ton pada tahun 1992, atau
masing-masing meningkat menjadi tiga belas kali dan sepuluh kali lebih.
Dengan meningkatnya produksi susu ini, jumlah impor susu makin
berkurang dan pendapatan peternak sapi perah juga makin meningkat.
Sedangkan produksi daging sejak tahun 1968 meningkat dari 305 ribu ton
menjadi 1.190 ribu ton pada tahun 1992. Dalam lima tahun terakhir, sampai
dengan tahun 1992, produksi daging dan susu tetap meningkat, yaitu
masing-masing 5,8% dan 11,6% per tahun, di mana tingkat peningkatan ini
hampir sama dengan tingkat peningkatan selama hampir 25 tahun, kecuali
tingkat kenaikan produksi telur. Laju pertumbuhan produksi telur yang
sedikit melambat selama lima tahun terakhir karena peternak ayam lebih
mengutamakan produksi ayam pedaging; sebagai akibat meningkatnya
permintaan akan daging ternak ayam selama lima tahun terakhir.
VI/33
TABEL VI – 11
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI DAGING, TELUR DAN SUSU,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam juta liter
VI/34
TABEL VI – 12
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL TERNAK,
1968 – 1992
(ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/35
TABEL VI – 13
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH TENAGA INSEMINATOR DAN VAKSINATOR,
1968 – 1992
(orang)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/36
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, volume ekspor
hasil-hasil ternak, seperti kulit, tulang dan tanduk, menunjukkan penurunan,
masing-masing 4,9% dan 0,6% per tahun. Bahkan selama lima tahun
terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V, volume ekspor kulit
menunjukkan penurunan yang lebih besar, yaitu sebesar 14,5% per tahun.
Penurunan tersebut merupakan akibat dari makin meningkatnya permintaan
di dalam negeri. Sebaliknya selama lima tahun yang lalu volume ekspor
tulang dan tanduk menunjukkan peningkatan sebesar 8,6% per tahun (Tabel
VI-12).
D. PERIKANAN
VI/37
petani tambak udang dengan memberikan bimbingan dalam penerapan
teknologi maju dan menyediakan fasilitas pengolahan serta pemasaran hasil.
VI/38
TABEL VI – 14
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH PERAHU/KAPAL PERIKANAN LAUT,
1968 – 1992
(buah)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/39
GRAFIK VI – 6
PERKEMBANGAN JUMLAH PERAHU/
KAPAL PERIKANAN LAUT,
1968 – 1992
VI/40
Produksi perikanan darat sejak tahun 1968 sampai dengan tahun
1992 mengalami peningkatan yang cukup berarti. Sejak tahun 1968 produksi
ikan darat meningkat dari 437 ribu ton menjadi 844 ribu ton pada tahun
1992 atau meningkat menjadi hampir dua kali (Tabel VI-15). Dalam lima
tahun terakhir, sampai dengan tahun keempat Repelita V, produksi
perikanan darat menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dari
peningkatan tahun-tahun sebelumnya, yaitu masing-masing 5,3% dan 2,5%
per tahun. Tingginya peningkatan produksi selama lima tahun yang lalu ini
merupakan hasil peningkatan produksi usaha budi daya perikanan di tambak
dan kolam. Sejak awal Repelita I sampai dengan tahun 1992 produksi usaha
perikanan di perairan umum menunjukkan sedikit penurunan, karena
terjadinya musim kemarau dalam tahun 1973 dan 1991. Tetapi dalam lima
tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V produksi usaha
perikanan di perairan umum meningkat 1,9% per tahun.
VI/41
TABEL VI – 15
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/42
TABEL VI – 16
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR HASIL-HASIL PERIKANAN,
1968 – 1992
(ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/43
E. PERKEBUNAN
VI/44
pengembangan swadaya ini didukung dengan peningkatan penyediaan bibit,
fasilitas kredit, sarana produksi lainnya dan perluasan jangkauan pelayanan
UPP.
Luas areal perkebunan rakyat dan negara yang sangat meningkat ini
mempunyai anti sangat penting dalam usaha pembangunan daerah dan
penanggulangan masalah-masalah kemiskinan di lahan kering dan rawa, di
samping juga meningkatkan lapangan kerja, ekspor dan devisa negara.
Sampai tahun 1992 perkebunan rakyat dan negara telah berkembang hampir
di 26 propinsi. Bahkan di Propinsi Irian Jaya dan Sulawesi Selatan, yang
sebelumnya tidak mempunyai perkebunan, sampai saat ini perkebunan
rakyat telah berkembang dengan pesat. Selanjutnya luas areal perkebunan
rakyat untuk tanaman musiman sejak akhir Repelita I juga menunjukkan
peningkatan yang berarti, yaitu meningkat dari 223 ribu ha pada tahun
1973, menjadi 584 ribu ha pada tahun 1992 (Tabel VI-18). Sedangkan luas
areal tanaman musiman perkebunan besar negara mengalami penurunan
(Tabel VI-19), sebagai akibat adanya pengalihan lahan dari tanaman
musiman seperti tebu ke tanaman padi dan palawija.
VI/45
Untuk meningkatkan produksi tebu rakyat selama ini dilakukan usaha
intensifikasi. Dalam tahun 1978 usaha intensifikasi tebu rakyat mencapai
77.632 ha; dan dalam tahun 1992 luas areal intensifikasi tebu rakyat
mencapai 207.984 ha, atau meningkat menjadi tiga kali (Tabel VI-17). Tetapi
selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, luas
areal intensifikasi tebu menunjukkan penurunan 0,6% per tahun. Menurunnya
luas areal tebu disebabkan adanya pengalihan penggunaan lahan sawah dari
tanaman tebu menjadi tanaman padi.
VI/46
54 ribu ton dan 17 ribu ton pada tahun 1968; masing-masing menjadi 1.656
ribu ton, 157 ribu ton dan 73 ribu ton pada tahun 1992.
VI/47
TABEL VI – 17
1)
PERKEMBANGAN AREAL TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI,
1968 – 1992
(ha)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Mulai tahun 1975
5) Mulai tahun 1985
6) Mulai tahun 1986
7) Mulai tahun 1988
8) Mulai tahun 1990
VI/48
TABEL VI – 18
1)
PERKEMBANGAN LUAS AREAL PERKEBUNAN RAKYAT,
1968 – 1992
(ha)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/49
TABEL VI – 19
1)
PERKEMBANGAN LUAS AREAL PERKEBUNAN NEGARA,
1968 – 1992
(ha)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/50
TABEL VI – 20
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN RAKYAT,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Dalam ton
VI/51
TABEL VI – 21
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN BESAR SWASTA,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/52
TABEL VI – 22
1)
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERKEBUNAN BESAR NEGARA,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/53
TABEL VI – 23
1)
PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR KOMODITI PERKEBUNAN,
1968 – 1992
(ribu ton)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
VI/54
ton dan 18 ribu ton pada tahun 1992, bahkan pada tahun 1968 perkebunan
besar negara belum memproduksi tembakau, tetapi dalam tahun 1992
perkebunan besar negara memproduksi tembakau sebesar 4 ribu ton (Tabel
VI-22). Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
produksi perkebunan besar negara umumnya menunjukkan peningkatan yang
lebih besar dibandingkan dengan rata-rata peningkatan selama hampir 25
tahun. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut peningkatan produksi
tertinggi terjadi pada minyak sawit, kopi dan tembakau, yaitu
masing-masing meningkat 13,3%, 7,2% dan 6,7% per tahun.
F. KEHUTANAN
VI/55
pemasok bahan baku bagi peningkatan produksi serta perluasan lapangan
kerja dan sekaligus juga sebagai sumber penghasil devisa dan pendapatan
pemerintah. Kedua, hutan memegang peran yang strategis di bidang ekologi.
Hutan Indonesia berfungsi pula sebagai bagian paru-paru dunia, penghidup
karbon dioksida dan penghasil oksigen serta pengatur dan penopang
ekosistem pada umumnya.
VI/56
pada upaya untuk memberi iklim yang merangsang bagi penanaman modal.
Kebijaksanaan tersebut menjadi landasan bagi pengembangan sistem Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) yang pelaksanaannya telah berperanan amat
besar dalam peningkatan produksi dan ekspor kayu bulat (log), peningkatan
pendapatan daerah, pengembangan industri perkayuan dan penyediaan
lapangan kerja. Untuk memelihara dan meningkatkan fungsi hutan sebagai
penyangga perikehidupan dan ekosistem, maka ditetapkan kebijaksanaan
agar dalam pengelolaan hutan dengan sistem HPH diterapkan sistem TPI
(Tebang Pilih Indonesia), dan penetapan batas kawasan hutan lindung dan
kawasan konservasi alam yang tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan
produksi. Dalam Repelita II upaya peningkatan produksi hasil hutan
dikembangkan dan selanjutnya dikaitkan dengan usaha pengembangan
industri kehutanan dan upaya pelestarian hutan alam. Pengembangan
industri kehutanan dan pelestarian hutan alam sejak itu semakin ditingkatkan
dari tahun ke tahun.
VI/57
hutan alam. Upaya tersebut di atas lebih meningkat lagi dalam Repelita V
dengan memperluas dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan hutan alam dan pengembangan hutan masyarakat.
Pengembangan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk
menambah pilihan masyarakat dalam pengembangan usaha, penganeka -
ragaman sumber pendapatan dan perluasan lapangan kerja serta mengurangi
tekanan penduduk terhadap sumber alam hutan. Peningkatan pendapatan
masyarakat di sekitar hutan produksi mulai dikembangkan melalui
kegiatan-kegiatan HPH Bina Desa. HPH Bina Desa adalah upaya penataan,
pembinaan dan pengembangan desa melalui kegiatan pemukiman kembali
dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar areal HPH yang
dibiayai oleh pemegang HPH. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan
menciptakan hubungan yang serasi antara pengusaha hutan dan masyarakat
di sekitarnya. Di samping itu dalam usaha meningkatkan upaya pelestarian
hutan alam diadakan pula pembatasan terhadap produksi kayu bulat dari
hutan alam. Pembatasan tersebut disertai dengan upaya meningkatkan
efisiensi pengolahan hasil hutan dan kayu. Bersamaan dengan itu dalam
Repelita V ditingkatkan pula usaha untuk mendorong kegiatan-kegiatan
untuk meningkatkan ekspor hasil hutan dalam bentuk bahan jadi, seperti
alat-alat rumah tangga dan mebel berbahan baku kayu.
Di samping kayu bulat, yang dihasilkan dari areal HPH di luar Jawa,
negara kita juga menghasilkan kayu jati dari Jawa. Antara tahun 1973/74
VI/58
TABEL VI – 24
1)
PRODUKSI KAYU BULAT RIMBA DAN JATI,
1968/69 – 1992/93
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)
4) S.b. = setara dengan kayu bulat
VI/59
dan tahun 1988/89 produksi kayu bulat jati meningkat dari 676 ribu M3
menjadi 725 ribu M3. Produksi tahun 1988/89 tersebut meningkat sebesar
5,2% dibandingkan dengan produksi tahun 1987/88. Setelah itu, tampaknya
produksi kayu bulat jati sudah mencapai keseimbangan sehingga jumlahnya
tidak mengalami perubahan-perubahan yang berarti. Demikianlah maka
pada tahun 1991/92, misalnya, produksi kayu bulat jati mencapai 778 ribu
M3.
VI/60
TABEL VI – 25
1)
PRODUKSI DAN EKSPOR KAYU OLAHAN,
1968/69 – 1992/93
(ribu m3)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)
4) Tidak termasuk hasil industri kecil
VI/61
TABEL VI – 26
1)
REALISASI EKSPOR HASIL HUTAN BERUPA KAYU,
1968/69 – 1992/93
(ribu m3)
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)
VI/62
GRAFIK VI – 7
REALISASI EKSPOR HASIL HUTAN BERUPA KAYU,
1968 – 1992/93
VI/63
55,8% bila dibandingkan dengan produksi tahun 1987/88. Pada tahun
1989/90 produksi kayu gergajian tersebut mendekati tingkat produksi tahun
1987/88. Dan pada tahun 1990/91, karena pengaruh kebijaksanaan tersebut
di atas, produksi kayu gergajian menurun sebesar 64,4% dibandingkan
dengan tahun 1989/90. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel VI-25
penurunan ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Kebijaksanaan
peningkatan pajak ekspor kayu gergajian tersebut antara lain bertujuan
meningkatkan kelestarian hutan alam dan peningkatan nilai tambah hasil
ekspor, serta merangsang ekspor hasil hutan yang berupa bahan jadi seperti
mebel, alat rumah tangga, dan komponen rumah.
VI/64
Taiwan, Singapura, negara-negara Asia lainnya, Belanda, Italia, Amerika
Serikat dan Canada mengalami penurunan (Tabel VI-27).
Industri kayu lapis berperan besar dalam ekspor. Volume ekspor kayu
lapis pada tahun 1978/79 mencapai 0,070 juta M3 dan meningkat menjadi
6.045 juta M3 pada tahun 1987/88. Volume ekspor dalam tahun 1988/89 naik
sebesar 20,2% dibandingkan dengan volume ekspor tahun 1987/88. Sejak
tahun 1988/89 ekspor kayu lapis meningkat terus sehingga pada tahun
1991/92 mencapai 9.003 juta M3 (Tabel VI-26 dan VI-28). Ekspor kayu lapis
tersebut ditujukan ke 12 negara dengan Jepang dan Hongkong sebagai
penyerap utama (Tabel VI-28).
VI/65
naik mencapai 43 ribu M3. Dibandingkan dengan tahun 1988/89, pada
tahun 1989/90 ekspor tersebut meningkat volumenya dengan sekitar 7%
sehingga menjadi 46 ribu M3, sedangkan nilai devisanya pada tahun itu
menurun sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel VI-26).
VI/66
membuka daerah-daerah terpencil, meningkatkan pendapatan daerah, dan
mengembangkan tenaga-tenaga terampil di daerah-daerah terpencil.
Hasil hutan yang lestari dihasilkan dari hutan produksi tetap seluas
lebih dari 60 juta hektar. Pengelolaan hutan produksi ini dikembangkan
dengan sistem HPH yang dilengkapi dengan sistem TPTI untuk menjamin
kelestarian fungsi hutan. Di samping itu masih ada hutan produksi yang
dapat dikonversikan untuk penggunaan lain yang juga menghasilkan hasil
hutan dalam proses alih gunanya. Penerapan hutan produksi konversi ini
amat penting sebagai upaya penyediaan lahan bagi keperluan pembangunan
yang akan datang tanpa menimbulkan kerusakan fungsi hutan tetap.
VI/67
program rehabilitasi hutan dan tanah kritis berhasil dipulihkan 6 juta hektar
tanah kritis dengan kegiatan konservasi tanah (seluas 4 juta ha) dan reboisasi
(seluas 2 juta ha). Kegiatan-kegiatan tersebut mempunyai dampak yang amat
besar dalam mengurangi bencana banjir dan kekeringan, memperpanjang
usia ekonomis prasarana pembangunan seperti bendungan, saluran irigasi,
dan pelabuhan-pelabuhan. Di samping itu upaya tersebut mempunyai
dampak yang positif terhadap peningkatan keterampilan masyarakat petani
daerah kritis, pembentukan modal di pedesaan, dan penyediaan lapangan
kerja serta sumber pendapatan baru bagi daerah-daerah kritis yang miskin.
VI/68
TABEL VI – 27
1)
EKSPOR KAYU GERGAJIAN DAN OLAHAN KE BEBERAPA NEGARA TUJUAN,
1973/74 – 1992/93
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)
VI/69
TABEL VI – 28
1)
EKSPOR KAYU LAPIS KE BEBERAPA NEGARA TUJUAN,
1978/79 – 1992/93
VI/70
TABEL VI – 29
1)
EKSPOR HASIL HUTAN BUKAN KAYU,
1973/74 – 1992/93
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)
VI/71
TABEL VI – 30
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Juli 1992)
VI/72
TABEL VI – 31
1)
PERKEMBANGAN PENGUSAHAAN HUTAN
1973/74 – 1992/93
1) Angka tahunan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara (April sampai dengan Desember 1992)
VI/73
TABEL VI – 32
1)
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
1987/88 – 1992/93
(Ha)
VI/74
GRAFIK VI – 8
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
1987/88 – 1992/93
VI/74
TABEL VI – 33
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Pendidikan SKMA diberikan s/d akhir Repelita II
VI/74
SKMA di Kadipaten (Jawa Barat), Samarinda (Kalimantan Timur), Pekanbaru
(Riau) dan Ujung Pandang (Sulawesi Selatan). Sumbangan dalam
peningkatan mutu tenaga kerja tersebut juga diperoleh dari pengembangan
Balai Latihan Kehutanan (BLK) di Pematang Siantar (Sumatera Utara),
Pekanbaru, Bogor, Kadipaten, Samarinda, Ujung Pandang, Kupang (NTT)
dan Manokwari (Irian Jaya). Pada tahun 1969 pendidikan SKMA
menghasilkan 100 orang lulusan. Hasil pendidikan SKMA mulai meningkat
pada tahun 1989/90 sehingga dalam tahun 1992/93 pendidikan SKMA yang
ada telah menghasilkan sebanyak 222 orang lulusan (Tabel VI-33). Dengan
perkembangan tersebut sejak tahun 1969. sampai dengan tahun keempat
Repelita V (1992/93) telah dihasilkan lulusan sebanyak 1.428 orang tenaga
menengah bidang kehutanan.
G. PENGAIRAN
VI/77
baru, reklamasi daerah rawa pasang surut dan non pasang surut, dan
penyelamatan hutan, tanah dan air, dengan didukung oleh usaha penelitian
dan perencanaan pengembangan sumber daya air.
VI/78
daerah-daerah tadah hujan dalam bentuk pembangunan irigasi air tanah dan
embung-embung, terutama di daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia.
Pengembangan irigasi semacam ini dikaitkan dengan peningkatan produksi
palawija, penyediaan air minum di pedesaan dan pengembangan padang
penggembalaan ternak. Di daerah rawa pembangunan pengairan di arahkan
untuk mendukung peningkatan produksi perikanan tambak dan perkebunan
kelapa melalui pembangunan jaringan drainase.
VI/79
dengan penerapan teknologi pertanian, meningkat secara terus menerus.
Dengan demikian produksi padi dapat ditingkatkan terus, yang akhirnya
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani serta makin
berkembangnya perekonomian daerah.
VI/80
TABEL VI – 34
1)
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PENGAIRAN
1969/70 – 1992/93
(luas areal dalam ha)
VI/81
GRAFIK VI – 34
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN PENGAIRAN
1969/70 – 1992/93
VI/82
Repelita V, pembangunan jaringan irigasi mengalami peningkatan seluas
353.343 ha bila dibandingkan dengan luas pembangunan jaringan irigasi
yang dicapai pada tahun 1987/88. Pembangunan jaringan irigasi yang sangat
besar ini menyebabkan luas sawah beririgasi, produksi dan kesempatan kerja
juga meningkat. Pada tahun 1969/70 jumlah sawah beririgasi adalah seluas
1.469.931 ha, pada tahun 1992 meningkat lagi menjadi 4.628.068 ha, atau
meningkat menjadi tiga kali lebih. Dalam Repelita V pembangunan jaringan
irigasi baru umumnya dilaksanakan di wilayah luar Jawa.
Untuk kurun waktu sejak tahun 1969/70 sampai dengan tahun 1992/93,
pelaksanaan program perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi merupakan
salah satu faktor penentu dalam usaha mencapai swasembada pangan. Lagi
pula pembangunan jaringan irigasi selama ini juga sangat membantu usaha
menciptakan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan produktivitas
lahan sawah, mendorong usaha-usaha swasta di bidang konstruksi,
meningkatkan penyediaan air baku untuk air minum, menunjang
pengembangan kapasitas penyediaan listrik dan mendorong berkembangnya
usaha-usaha pertanian yang berwawasan lingkungan.
VI/83
4. Program Penyelamatan Hutan Tanah dan Air
VI/84
faktor penting yang memungkinkan mereka mampu mengelola sumber daya
yang mereka kuasai secara optimal. Demikian pula kemampuan para petani
untuk menghadapi risiko dan memanfaatkan kesempatan yang terbuka.
Demikianlah maka usaha meningkatkan kemampuan para petani dan nelayan
dan usaha untuk mengembangkan sikap mereka agar makin sesuai dengan
perkembangan kebutuhan pembangunan juga diberi perhatian utama dalam
pembangunan sektor pertanian.
VI/85
dan kedele, khususnya varietas-varietas dengan produktivitas tinggi dan
tahan terhadap hama penyakit. Selain itu program ini juga meliputi
penelitian sosial ekonomi usaha tani padi, dan penelitian sumber daya alam.
Selanjutnya program penelitian juga di arahkan untuk mengembangkan
produksi pertanian lainnya, seperti kopi, karet, cengkeh, kelapa sawit,
ternak unggas, ternak perah dan potong serta perikanan.
VI/86
klon unggul karet, seperti PR 300 dan PR 261, dan klon unggul kelapa baru
(KB I).
Hasil penelitian sumber daya alam selama lima tahun yang lalu antara
lain meliputi: (1) pemetaan tanah tingkat detail telah dilaksanakan di
Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur, pemetaan tanah tingkat semi
detail seluas 176.750 ha di berbagai propinsi dan pemetaan tanah tinjau
untuk pulau Sumatera, jalur pantai Jawa Barat dan areal HPH di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur; (2) peta kesesuaian lahan dengan skala
1 : 1.250.000 untuk padi, kedele, mangga, pisang, jeruk, kelapa sawit,
VI/87
karet, kopi, kakao, tebu dan kapas di Jawa; (3) peta status Pospor (P) dan
Kalium (K) di Jawa; (4) penggunaan bahan organik dan pemupukan P untuk
meningkatkan produktivitas lahan kering masam; (5) paket teknologi
rehabilitasi dan peningkatan produktivitas tanah lahan alang-alang; dan
(6) studi potensi, kendala dan peluang. pembangunan pertanian di kawasan
timur Indonesia.
VI/88