Anda di halaman 1dari 502

NOTA KEUANGAN

DAN
RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN 1989/1990

REPUBLIK INDONESIA
Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BAB I
UMUM

Di tengah-tengah perkembangan ekonomi dunia yang sulit dan tidak menentu yang
masih terus berlangsung, bangsa Indonesia mengakhiri Pelita IV dlan kini memasuki tahap
pembangunan lima tahun kelima atau Pelita V. Bagi bangsa Indonesia, Pelita V mempunyai arti
strategis yang cukup penting dan menentukan, karena Pelita V selain merupakan akhir dari
rencana pembangunan jangka panjang dua puluh lima tahun pertama, adalah juga merupakan
periode pemantapan persiapan memasuki tahap tinggal landas dalam Pelita VI. Di dalam
menyongsong tahap pembangunan yang mempunyai makna sejarah yang penting bagi masa
depan bangsa, serta dalam menjawab tantangan perkembangan perekonomian dunia yang tidak
menguntungkan yang terus membayangi jalannya pembangunan sejak akhir Pelita III, maka
Pemerintah telah mengambil serangkaian kebijaksanaan ekonomi yang sangat penting,
mendasar dan struktural sejak memasuki awal Pelita IV. Berbagai langkah kebijaksanaan
ekonomi tersebut ditujukan untuk meletakkan landasan yang kuat bagi tahap pembangunan
mendatang, serta meningkatkan efisiensi dari alokasi sumber ekonomi guna mendorong
perluasan kegiatan ekonomi, penanaman modal, dan ekspor nonmigas. Serangkaian ke-
bijaksanaan Pemerintah yang dilaksanakan sejak tahun 1983 yang meliputi kebijaksanaan di
berbagai bidang ekonomi telah membawa perubahan yang mendasar dalam perekonomian
Indonesia, khususnya dalam faktor-faktor yang mendukung perekonomian nasional, investasi,
penerimaan negara serta ekspor. Meningkatnya ketahanan ekonomi nasional tersebut antara lain
tercermin dari produk domestik bruto Indonesia yang masih mampu berkembang sebesar 3,6
persen dalam tahun 1987 dibandingkan dengan pertumbuhannya dalam tahun 1982 yang hanya
meningkat sebesar 2,2 persen, yaitu pada awal terjadinya resesi ekonomi dunia.

Dalam situasi perekonomian dunia yang terbuka, perekonomian Indonesia tidaklah


dapat berdiri sendiri atau meleposkan diri dari pengaruh ekonomi dunia, khususnya terhadap
negara-negara mitra dagang dan negara-negara yang mempunyai pengaruh dominan terhadap
perekonomian Indonesia. Kenyataan tersebut kembali mencerminkan betapa terkaitnya
pertumbuhan negara-negara berkembang pada umumnya termasuk Indonesia, terhadap
perkembangan ekonomi di negara-negara industri maju, baik sebagai negara-negara tujuan
ekspornya, maupun sebagai sumber arus dana pembangunan dan penanaman modal.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 2


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Perkembangan ekonomi dunia yang mengalami masa pertumbuhan yang cukup menggem-
birakan dalam dekade 60-an, mulai mengalami kemunduran dan kemerosotan dalam tahun 70-
an. Perkembangan ini tercermin dari penurunan produk domestik bruto di negara-negara industri
maju secara keseluruhan, dari 5,0 persen dalam dekade 60-an menjadi 3,1 persen dalam dekade
70-an. Kemerosotan ekonomi tersebut diawali dengan krisis moneter internasional dimana
sistem moneter Bretton Woods mulai ditinggalkan dengan peleposan konvertibiIitas dolar
Amerika terhadap emas dalam tahun 1971. Perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya
goncangan dan ketegangan finansial di negara-negara industri, terutama di dalam menyesuaikan
nilai tukar mata uangnya. Ketegangan tersebut diperkuat oleh meningkatnya defisit anggaran
belanja daripada sebagian negara-negara tersebut, karena dilakukannya investasi secara besar-
besaran sehingga menimbulkan inflasi yang cukup tinggi serta menaikkan biaya produksi.
Namun penyebab utama dari menurunnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju,
selain disebabkan oleh krisis moneter yang mengakibatkan kelesuan dalam perdagangan
internasional, juga oleh krisis energi berupa kenaikan harga minyak bumi yang cukup tinggi
dipasaran internasional, selarna tahun 70-an. Kenaikan harga minyak bumi tersebut erat
kaitannya dengan kenaikan permintaan minyak dunia guna mendukung peningkatan investasi
dan pembangunan di negara-negara industri maju dan tindakan negara-negara OPEC untuk
menyesuaikan harga minyak bumi selaras dengan perkembangan inflasi.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh serangkaian krisis ekonomi tersebut menimbulkan
iklim ketidakpostian yang cukup besar dari negara-negara industri dan menimpulkan pengaruh
yang buruk terhadap sektor riil, sehingga menurunkan tingkat produksi dan meningkatkan
pengangguran. Di sebagian besar negara-negara industri maju, meningkatnya laju inflasi dan
meluasnya defisit fiskal akibat dari melonjaknya harga minyak bumi telah dihadapi dengan
berbagai langkah dan kebijaksanaan ekonomi makro yang restriktif dan anti inflasi. Hal ini
antara lain tercermin dari penurunan pertumbuhan uang beredar di negara-negara industri yang
tergabung dalam kelompoktujuh (G - 7) dari sekitar 10 persen dalam tahun 1979 menjadi sekitar
6 persen dalam tahun 1980. Namun usaha untuk mengekang inflasi tersebut dengan
menggunakan perangkat suku bunga dan pengurangan defisit anggaran telah membawa
perekonomian dunia ke dalam kesulitan yang lebih parah lagi, yaitu kemerosotan kegiatan
ekonomi (resesi) yang cukup dalam. Resesi ekonomi dunia ini tidak saja ditandai dengan
merosotnya rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara industri menjadi minus 0,3 persen
dalam tahun 1982 dari sebesar 1,5 persen dalam tahun sebelumnya, tetapi juga diwarnai oleh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 3


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kenaikan suku bunga, pengurangan arus dana ke luar negeri, kemerosotan harga barangbarang
komoditi primer, serta menguatnya senti men proteksionisme di berbagai negara.
Kemerosotan harga minyak bumi danbeberapa komoditi primer lainnya merupakan
penyebab terpenting daripada kesulitan yang dihadapi oleh banyak negara berkembang,
khususnya negara-negara berkembang pengekspor minyak termasuk Indonesia. Kemerosotan
tersebut terutama diakibatkan oleh penurunan permintaan dunia terhadap komoditi primer pada
umumnya, selain semakin berhasilnya usaha negara-negara industri maju di dalam
meningkatkan konservasi energi. Keadaan tersebut besar pengaruhnya terhadap negara-negara
berkembang, oleh karena penurunan harga komoditi primer tersebut terjadi bersamaan dengan
kemerosotan harga minyak bumi. Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang dalam
tahun 70-an tidak terpengaruh oleh kemerosotan ekonomi di negara-negara industri, maka pada
awal 80-an telah merosot secara tajam dari rata-rata sebesar 5,4 persen dalam tahun 70-an
menjadi 1,7 persen dalam tahun 1982. Hal ini terutama diakibatkan oleh kelesuan produksi dan
terhambatnya ekspor komoditi primer dan tradisional ke negara-negara industri maju serta
lambatnya ekonomi negara-negara berkembang di dalam menyesuaikan dengan perubahan
ekonomi dunia.
Tahun 1982 pada umumnya dianggap sebagai tahun puncak kemerosotan ekonomi
dunia, yang gejalanya telah mulai terasa sejak tahun 1970-an. Namun di lain pihak, tahun 1982
dapat dianggap sebagai titik balik dari pada usaha besar pemerintah di negara-negara maju
maupun di negara-negara berkembang untuk meningkatkan dan menyehatkan keadaan
perekonomian dalam negerinya melalui penyesuaian-penyesuaian kebijaksanaan ekonomi yang
bersifat struktural. Akan tetapi upaya-upaya tersebut sering menciptakan situasi dimana masing-
masing negara lebih berorientasi kepada kepentingan perekonomian nasionalnya sendiri,
sehingga mempersulit berkembangnya kerjasama aritarnegara, baik antara negara maju dan
negara berkembang maupun antarnegara maju dan antarnegara berkembang sendiri. Langkah-
langkah yang dijalankan oleh negara-negara industri maju sejak 1982, yang cenderung bersifat
proteksionistis dan sangat hati-hati tersebut, telah menyebabkan proses pemulihan kembali
ekonomi dunia berjalan sangat lambat. Pertumbuhan produk domestik bruto dari negara-negara
industri maju yang tergabung dalam kelompok OECD kembali menurun dalam tahun 1985 dan
1986, setelah menunjukkan peningkatan dalam tahun 1984. Rata-rata pertumbuhan ekonomi
negara-negara tersebut dalam kurun waktu 1983 - 1987 hanya meningkat sebesar 3,4 persen per
tahun. Selaras dengan perkembangan tersebut, tingkat pengangguran di beberapa negara di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 4


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Eropa, khususnya Inggris, Perancis, dan Italia, masih cukup tinggi, yang dalam periode 1983 -
1987 rata-rata menunjukkan tingkat pengangguran di atas 10 persen. Sedangkan sebaliknya,
tingkat inflasi telah menunjukkan penurunan dari titik puncak sebesar 9,3 persen yang terjadi
dalam tahun 1980 menjadi 5,0 persen dalam tahun 1983 dan 2,9 persen dalam tahun 1987.
Penurunan tingkat inflasi tersebut merupakan salah satu upaya pokok pemerintah negara-negara
industri dalam periode tersebut untuk menyehatkan keadaan perekonomiannya.
Berbeda halnya dengan negara-negara industri maju lainnya, yang menggunakan
kebijaksanaan ekonomi kontraksi untu\< mengatasi masalah-masalah makro ekonominya,
Amerika Serikat menerapkan kebijaksanaan yang bersifat ekspansif terutama untuk mendorong
pertumbuhan dunia usaha dan sektor perbankannya, yang mengalami kemerosotan usaha akibat
resesi. Perbedaan kebijaksanaan fiskal yang ditempuh oleh negara-negara industri maju di dalam
menghadapi kelesuan ekonomi nasionalnya, telah membawa perekonomian dunia ke arah
ketidakpostian yang lebih besar. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya ketidakseimbangan finansial
dan neraca pembayaran yang semakin besar antara negara-negara industri maju, terutama antara
Amerika Serikat di satu pihak dengan Jepang dan Jerman Barat di lain pihak. Pengaruh
ketidakseimbangan tersebut telah menimbulkan berbagai kesulitan bagi negara-negara
berkembang, terutama dalam bentuk gejolak kurs valuta asing, peningkatan suku bunga, dan
kemerosotan pertumbuhan produksi dan perdagangan dunia. Kebijaksanaan ekspansif yang
ditempuh pemerintah Amerika Serikat adalah melalui kombinasi antara pengurangan
penerimaan pajak dan peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga di satu pihak terjadi
peningkatan investasi, tetapi di lain pihak menimbulkan defisit APBN yang semakin besar.
Sementara itu jumlah investasi yang dilakukan oleh sektor dunia usaha terus menunjukkan
peningkatan, terutama akibat dari pembaharuan kebijaksanaan perpajakan yang lebih
menguntungkan bagi pertumbuhan perekonomian dan dunia usaha. Peningkatan investasi swasta
yang cukup tinggi tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan yang sama dalam jumlah tabungan
sehingga hal ini mengakibatkan meningkatnya suku bunga dan menimbulkan kesulitan dalam
neraca pembayarannya. Perkembangan kegiatan dunia usaha yang dicerminkan dalam
peningkatan investasi swasta tersebut telah mengakibatkan rasio antara jumlah tabungan dan
kebutuhan investasi swasta dengan produk nasional bruto (PNB) berubah dari surplus sebesar
3,2 persen dalam tahun 1982 menjadi defisit sebesar 1,2 persen dalam tahun 1987. Dengan
defisit anggaran belanja yang terus membesar, hal ini telah mengakibatkan peningkatan defisit
transaksi berjalan Amerika Serikat. Sebaliknya Jepang dan Jerman Barat yang menganut

Departemen Keuangan Republik Indonesia 5


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kebijaksanaan fiskal yang lebih restriktif telah semakin memantapkan perekonomiannya melalui
pengendalian permintaan dalam negeri dan pengembangan ekspor, sehingga berhasil
menciptakan surplus neraca pembayaran yang besar. Perkembangan di dalam perekonomian
dalam negeri Amerika Serikat tersebut telah menyebabkan makin besarnya kesenjangan suku
bunga antara dolar Amerika dengan mata uang negara industri, yang mendorong terjadinya
apresiasi mata uang dolar Amerika di pasar uang internasional. Antara akhir 1981 dan awal
1985 nilai riil dolar Amerika telah meningkat sebesar 35 persen terhadap mata uang kuat lainnya,
sehingga serna kin memperburuk ketidakseimbangan neraca perdagangan. Selain daripada itu
arus pemasukan modal ke Amerika Serikat dalam kurun waktu yang sama telah meningkat
dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat telah merubah kedudukan
Amerika Serikat dari negara pengekspor modal menjadi negara pengimpor modal terbesar di
dunia. Pada akhir 1986 jumlah hutang bersih Amerika Serikat telah merupakan 6,5 persen
daripada PNB dan dalam waktu yang bersamaan, Jepang dan Jerman Barat telah menjadi negara
pengekspor modal utama dengan kekayaan luar negeri bersih tercatat masing-masing sebesar 8,5
dan 10,5 persen daripada PNB.

Membesarnya defisit ganda Amerika Serikat tersebut, khususnya defisit dalam neraca
pembayaran yang telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan tidak pernah terjadi
sebelumnya, merubah pandangan negara-negara industri lainnya serta kalangan dunia usaha
pada umumnya. Nilai dolar Amerika dianggap tidak mewakili nilai sebenarnya, sehingga sejak
Maret 1985 nilai dolar Amerika terus menunjukkan penurunan. Perkembangan nilai tukar mata
uang yang tidak menentu tersebut semakin menyadarkan negara-negara di dunia, khususnya
negara-negara industri maju, untuk mengurangi ketidakseimbangan eksternal melalui
penyesuaian-penyesuaian kebijaksanaan ekonomi makronya. Hal ini telah membawa negara-
negara tersebut kepada serangkaian pertemuan seperti Plaza Accord dalam tahun 1985, Louvre
Accord dalam tahun 1987, Venice Summit dalam tahun 1987, dan beberapa pertemuan yang
diadakan pada akhir 1987 dan April 1988 guna menyatukan langkah dan kebijaksanaan yang
paling menguntungkan bagi semua negara. Dalam hal ini, penyelesaian masalahnya harus
didukung oleh semua negara secara bersama-sama, terutama oleh Negara-negara yang
mempunyai ketidakseimbangan eksternal yang besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan
Jerman Barat. Bagi negara-negara industri, kestabilan nilai mata uang dolar Amerika merupakan
salah satu faktor utama pendukung kestabilan ekonomi dalam negeri. Nilai dolar Amerika yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 6


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

terlalu rendah, bagi negara-negara OECD terutama Jepang dan Jerman Barat akan dapat
mengurangi daya saing ekspor mereka yang pada gilirannya melemahkan perekonomian secara
keseluruhan. Sedangkan bagi Amerika Serikat, sungguhpun depresiasi dolar dapat menaikkan
daya saing komoditi ekspornya, tetapi juga dapat mengakibatkan situasi yang jauh lebih buruk,
seperti meningkatnya inflasi, mengurangi kepercayaan dunia internasional terhadap dolar
Amerika dan menghambat pemasukan modal swasta. Krisis bursa saham dalam bulan Oktober
1987 merupakan salah satu contoh nyata betapa rapuhnya pasar modal dunia akibat dari
jatuhnya kepercayaan dunia usaha dan para pemilik modal terhadap nilai dolar dan ekonomi
Amerika Serikat.

Bagi negara-negera berkembang, perkembangan ekonomi dunia yang penuh gejolak


dan sedang bergerak ke arah keseimbangan makro tersebut, akan berpengaruh melalui dua jalur
utama, yaitu perdagangan dan pembiayaan pembangunan. Perdagangan luar negeri pada
dasarnya merupakan kegiatan terdepan yang menyerap pengaruh yang ditimbulkan oleh kemelut
ekonomi dunia. Dalam hal ini negara-negara berkembang, terutama sejak tahun 1985 telah
mendapat tekanan beruntun dari perkembangan perekonomian dunia yang kurang
menguntungkan tersebut. Pertama, sebagai akibat dari lemahnya pertumbuhan ekonomi dan
meningkatnya tindakan proteksionisme di negara-negara industri maju, sehingga permintaan dan
harga komoditi ekspor dari negara-negara berkembang pada umumnya mengalami penurunan.
Penurunan yang terbesar terjadi dalam permintaan terhadap bahan mentah bagi keperluan
industri, termasuk hasil-hasil pertanian dan hasilk-hasil tambang seperti minyak bumi. Kedua,
kemerosotan nilai dolar Amerika terhadap mata uang negara-negara industri maju lainnya telah
mengurangi nilai riil devisa hasil ekspor negara-negara berkembang, terutama untuk membiayai
impor barang dan jasa yang dinyatakan dalam mata uang di luar dolar Amerika. Pengaruh nyata
dari penurunan kegiatan dan nilai ekspor bagi negara-negara berkembang adalah penurunan
daya beli, oleh karena banyak dari negara-negara berkembang mempunyai ketergantungan yang
besar terhadap penerimaan dari sektor perdagangan luar negeri.
Pengaruh lainnya dari perkembangan ekonomi dunia yang tidak dapat dielakkan oleh
banyak negara berkembang adalah berkurangnya arus dana dari negara-negara maju ke negara-
negara berkembang. Negara-negara maju cenderung untuk mementingkan pertumbuhan dan
perekonomian dalam negerinya dan menekan tingkat inflasi melalui kenaikan suku bunga
pinjaman. Sebagai akibatnya beban hutang luar negeri negara-negara berkembang semakin

Departemen Keuangan Republik Indonesia 7


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

meningkat pula. Namun kenaikan beban hutang luar negeri negara-negara berkembang terutama
disebabkan oleh kenaikan jumlah pinjaman luar negeri yang sangat besar, yang dilakukan oleh
negara-negara berkembang dalam pertengahan kedua tahun 70-an guna mengusahakan
tercapainyaa pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pinjaman luar negeri tersebut sebagian besar
berupa kredit komersial dari lembaga-lembaga keuangan di negaracnegara industri maju, yang
mengalami surplus dana akibat dari meningkatnya surplus neraca pembayaran negara-negara
pengekspor minyak di kawasan Teluk. Sebagai akibatnya, pada saat perekonomian dunia mulai
mengalami kemunduran dan berpengaruh terhadap penurunan produksi dan ekspor dari negara-
negara berkembang, banyak dari negara-negara berkembang tersebut mengalami kesulitan di
dalam membayar kembali hutang-hutangnya. Kombinasi dari dua keadaan tersebut, penurunan
penerimaan ekspor dan meningkatnya beban hutang luar negeri, telah membawa perekonomian
negara-negara berkembang ke dalam keadaan eksternal yang tidak menguntungkan, bahkan
cenderung mengakibatkan kesulitan yang berkepanjangan. Di samping itu negara-negara
berkembang juga dipengaruhi oleh perubahanperubahan dalam pola investasi dan perdagangan
internasional yang cenderung bergerak meluas secara global. Semakin terbukanya
perekonomian negara-negara di dunia yang tercermin dari meningkatnya perdagangan
internasional dan penanaman modal asing telah meningkatkan saling keterkaitan antarnegara
dan antar kelompok-kelompok negara di dunia. Meluasnya pergerakan modal antarnegara
tersebut dimungkinkan oleh semakin meluasnya kegiatan usaha lembaga keuangan, baik bank
maupun lembaga keuangan bukan bank, seperti LKBB, perusahaan asuransi dan leasing, yang
mempunyai daerah operasi yang luas di berbagai kawasan negara di dunia. Lembaga keuangan
demikian akan dapat menyalurkan dana dari negara-negara yang kelebihan dana pada negara-
negara yang kekurangan, sehingga dapat menyatukan pasar uang antarnegara ke dalam satu
pasar uang dunia yang besar. lnternasionalisasi lembaga keuangan ini juga didukung oleh
semakin berkembangnya sekuritisasi dan penciptaan instrumen moneter yang dapat
memperlancar proses pergerakan modal antarnegara. Sekuritisasi tersebut menyangkut
penerbitan dan pemasaran surat-surat berharga yang dilakukan oleh sektor dunia usaha di dalam
membiayai kegiatannya. Penerbitan dan pemasaran surat-surat berharga tersebut seringkali
didukung oleh sektor perbankan sehingga kegiatan ini selain menyatukan pasar uang dan pasar
modal juga memperluas alternatif penyediaan dana dan investasi antarnegara. Dalam hat ini,
penciptaan berbagai instrumen moneter dan operasi pengelolaan keuangan yang semakin luas,
seperti penyediaan fasilitas swap untuk mata uang dan suku bunga, serta fasilitas pembelian

Departemen Keuangan Republik Indonesia 8


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mata uang dan komoditi perdagangan secara berjangka untuk menjaga diri terhadap fisiko
keuangan, telah menyebabkan semakin menyatunya sektor keuangan dunia, yang tidak terhalang
oleh batas pasar dan batas negara seperti yang terjadi dalam beberapa dekade sebelumnya.
Implikasi utama dari perkembangan tersebut adalah adanya kecenderungan peningkatan
kegiatan investasi dan pergerakan modal antarnegara selaras dengan perkembangan
internasionalisasi lembaga-lembaga keuangan dlan penggunaan instrumen keuangan yang
semakin meningkat sebagai alat penyimpan kekayaan (financial investment). Di samping itu,
pengerahan modal antarnegara sebagian akan bersifat spekulatif dan jangka pendek, oleh karena
modal-modal tersebut akan bergerak sesuai dengan harapan keuntungan investasi yang ada di
setiap negara. Dalam kaitannya dengan perubahan ekonomi dunia tersebut, negara-negara
berkembang juga harus bersiap diri terhadap kemungkinan melemahnya kaitan antara
pertumbuhan industri dan permintaan terhadap bahan mentah dan kesempatan kerja yang
disebabkan oleh adanya kemajuan teknologi yang membutuhkan permintaan bahan mentah dan
tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan teknologi yang digunakan dalam beberapa
dekade sebelumnya. Sementara itu, patut pula diperhatikan pengaruh dari semakin
mengelompoknya perekonomian dunia ke dalam kelompok-kelompok besar kerjasama ekonomi
antarnegara, sehingga cenderung akan semakin menjauhkan sistem perekonomian dunia dari
sistem perdagangan bebas. Perubahan-perubahan tersebut membawa implikasi pada keharusan
untuk menyesuaikan berbagai perumusan kebijaksanaan moneter, fiskal, dan perdagangan oleh
setiap negara, terlebih bagi negara-negara berkembang, oleh karena kelompok negara-negara
tersebut mempunyai kekakuan struktur ekonomi yang lebih besar daripada negara-negara
industri maju. Selain daripada itu harus diusahakan agar negara-negara berkembang karena
kedudukannya yang lemah, tidak selalu dirugikan akibat dari setiap perubahan dalam
perekonomian dunia tersebut.
Sebagai salah satu negara berkembang yang mempunyai sifat perekonomian terbuka
dan peranan sektor eksternal cukup besar terhadap perekonomian, perekonomian Indonesia
mempunyai kepekaan yang besar terhadap perkembangan ekonomi dunia. Perkembangan yang
bersifat eksternal tersebut, bersama-sama dengan perkembangan di dalam negeri, telah
memberikan warna dan makna tersendiri bagi posang surut perkembangan perekonomian
Indonesia selama dua dasawarsa terakhir. Harus disyukuri bahwa Indonesia dikaruniai
kandungan minyak bumi yang cukup besar, dan penerimaan dari ekspor minyak bumi telah
dapat digunakan sebaik-baiknya untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 9


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dunia internasional melalui peningkatan pendapatan dan taraf hidup rakyat ke tingkat yang lebih
layak. Bangsa Indonesia juga harus bersyukur bahwa dengan telah berakhirnya era minyak,
usaha pembangunan di Indonesia masih tetap dapat dilanjutkan, bahkan dengan keyakinan,
ketegaran dan landasan ekonomi yang jauh lebih kuat dari pada masa-masa sebelumnya. Dan ini
adalah merupakan modal dasar yang paling berharga bagi bangsa Indonesia di dalam usahanya
untuk terns melanjutkan pembangunan nasional di masa-masa yang akan datang, di tengah-
tengah keadaan perekonomian yang merangkak lamban dan penuh ketidakpostian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa merosotnya harga minyak bumi sejak tahun 1982 telah
memberikan dampak yang luas bagi perekonomian Indonesia. Pengaruhnya tidak saja terasa
pada keseimbangan neraca pembayaran, tetapi juga memberikan pengaruh yang dalam terhadap
penerimaan dan investasi negara yang tercermin pada pengeluaran pembangunan dalam APBN.
Investasi sektor swasta juga banyak bergantung pada kredit perbankan yang berkaitan erat
dengan tersedianya dana pembangunan dari sektor minyak. Usaha-usaha keras yang dilakukan
oleh negara-negara OPEC untuk mempertahankan harga minyak pada tingkat yang cukup wajar
berakhir dengan kejatuhan harga minyak yang lebih parah lagi dalam tahun 1986, akibat dari
membanjirnya persediaan minyak yang jauh melebihi kebutuhan dunia. Meningkatnya
persediaan minyak bumi di pasaran dunia tersebut berkaitan erat dengan tidak dipatuhinya
kesepakatan batas produksi minyak oleh beberapa anggota OPEC, di samping meningkatnya
produksi minyak di luar negara-negara OPEc. Keadaan tersebut yang diperkirakan masih akan
berlangsung dalam beberapa tahun mendatang, serta proses penentuan harga minyak yang
seringkali lebih didasarkan pada aspek spekulatif dibandingkan dengan proses penentuan harga
berdasarkan keadaan pasar yang sebenarnya, semakin mengisyaratkan pada negara-negara
pengekspor minyak, termasuk Indonesia, untuk tidak lagi mengandalkan penerimaan minyak
sebagai sokoguru pembangunan seperti pada masa-masa sebelumnya. Permasalahan yang paling
utama bagi Indonesia dari kemerosotan harga minyak, yang sebelumnya mempunyai peranan
yang sangat besar dalam penerimaan devisa dan anggaran penerimaan negara, adalah
merosotnya sumber pembiayaan yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Kesulitan tersebut semakin diperkuat intensitasnya dengan merosotnya pendapatan masyarakat
dan kegiatan usaha akibat dari melemahnya harga dan permintaan dunia terhadap ekspor
komoditi primer pada umumnya. Di dalam mengatasi masalah tersebut maka kebijaksanaan
Pemerintah di bidang ekonomi yang dilaksanakan sejak 1983 diarahkan untuk lebih menggali

Departemen Keuangan Republik Indonesia 10


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sumber pembiayaan pembangunan nasional di luar migas guna mengatasi berbagai kendala
kesenjangan dana yang menghambat usaha pembangunan ekonomi Indonesia, terutama melalui
peningkatan penerimaan dalam negeri dari sektor perpajakan dan peningkatan penerimaan
ekspor non migas. Kesenjangan pembiayaan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang
pada umumnya termasuk Indonesia adalah berasal dari kesenjangan antara kebutuhan untuk
melakukah penanaman modal (investasi) dengan kemampuan perekonomian nasional untuk
memobilisasi dana pembangunan, serta antara kebutuhan impor dengan hasil devisa yang
diperoleh dari kegiatan ekspor.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh kemerosotan ekonomi dunia dan penurunan harga
ekspor migas terhadap keuangan negara terlihat dengan jelas pada penerimaan dalam negeri
Pemerintah yang hanya meningkat sebesar 1,7 persen dalam tahun 1982/1983, sehingga hat ini
berpengaruh terhadap kecilnya peningkatan volume APBN 1982/1983 yang hanya mengalami
kenaikan sebesar 3,1 persen. Perkembangan tersebut adalah merupakan titik balik dari
perkembangan APBN dalam tahun-tahun sebelumnya, yang dalam periode 1969/1970 -
1981/1982 menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 39,1 persen setiap tahunnya. Besarnya
pengaruh penurunan harga minyak tersebut terhadap APBN terutama disebabkan karena
penerimaan minyak bumi dan gas alam masih berperan sangat besarterhadap penerimaan dalam
negeri. Dalam Pelita III penerimaan minyak bumi dan gas alam beperan rata-rata sebesar 66,9
persen dalam penerimaan dalam negeri, sedangkan dalam Pelita IV peranannya telah menurun
menjadi sekitar 50 persen. Sekalipun telah terjadi penurunan, peranan migas dalam Pelita IV
masih cukup besar dan masih sangat berpengaruh terhadap perkembangan penerimaan negara
secara keseluruhan, sehingga pada saat harga minyak dunia merosot secara tajam dalam tahun
1986, volume APBN dalam tahun 1986/1987 harus mengalami penurunan. Penurunan tersebut
adalah merupakan penurunan APBN untuk pertama kalinya dalam sejarah pembangunan
ekonomi Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor migas berperan sangat besar di dalam
meningkatkan penerimaan negara dan pembangunan nasional. Namun ketergantungan yang
besar dari penerimaan negara dan investasi nasional terhadap penerimaan migas adalah
merupakan salah satu kelemahan utama dari perekonomian Indonesia di masa lampau.
Perkembangan dalam tahun 1986 tersebut telah memberikan pelajaran dan sekaligus hikmah
yang besar terhadap perubahan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Tekanan yang sangat
berat terhadap keuangan negara tersebut telah semakin memperkuat upaya dan tekad Pemerintah
untuk mempercepat perubahan struktur penerimaan negara, dengan meningkatkan sumber-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 11


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sumber ekonomi dalam negeri di luar migas, terutama yang bersumber dari penerimaan pajak.

Dengan mengerahkan segala daya upaya dan seluruh potensi nasional, usaha untuk
merubah kepincangan dalam struktur penerimaan negara telah membawa hasil yang sangat
memuaskan. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1989/1990 yang
disusun 3 tahun setelah APBN 1986/1987, telah menunjukkan perubahan yang besar dalam
penerimaan negara dari sektor dalam negeri di luar migas, baik peranannya maupun jumlahnya.
Sekitar 47 persen dari volume RAPBN 1989/1990 yang direncanakan berimbang pada tingkat
Rp 36.574,9 milyar adalah berasal dari penerimaan dalam negeri di luar migas. Keadaan ini
merupakan kebalikan dari struktur penerimaan negara dalam tahun pertama pe!aksanaan Pelita
IV, dimana penerimaan migas jauh lebih besar daripada penerimaan di luar migas. Dalam
komposisi penerimaan dalam negeri, penerimaan dari sektor di luar migas dalam RAPBN
1989/1990 mencapai 68,7 persen dan sisanya 31,3 persen berasal dari penerimaan migas.
Penerimaan dalam negeri di luar migas dalam RAPBN 1989/1990 yang direncanakan mencapai
Rp 17.350,1 milyar tersebut, menunjukkan peningkatan sebesar Rp 4.402,9 milyar (34,0 persen)
dibandingkan dengan APBN 1988/1989, sedangkan sebaliknya penerimaan dari sektor migas
mengalami penurunan dari Rp 8.855,8 milyar dalam APBN 1988/1989 menjadi Rp 7.899,7
milyar dalam RAPBN 1989/1990. Dengan demikian secara keseluruhan penerimaan dalam
negeri dalam RAPBN 1989/1990 masih mengalami peningkatan sebesar 15,8 persen dari
penerimaan dalam negeri tahun sebelumnya, yaitu dari sebesar Rp 21.803,0 milyar dalam tahun
1988/1989 menjadi sebesar Rp 25.249,8 milyar dalam tahun 1989/1990. Penerimaan dalam
negeri tersebut merupakan 69 persen dari keseluruhan penerimaan negara yang menunjukkan
peningkatan sebesar 26,3 persen dari APBN 1988/1989.
Peningkatan yang cukup tinggi dalam penerimaan dalam negeri tersebut mutlak
diperlukan untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan pembangunan nasional sekaligus pula
untuk mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar negeri. Di dalam tahun-tahun
mendatang penerimaan pembangunan yang bersumber dari bantuan luar negeri tersebut akan
terus ditekan semaksimal mungkin, sejalan dengan peningkatan penerimaan negara dari sektor
di luar migas. Sedangkan bantuan luar negeri yang ada hanya akan digunakan untuk membiayai
proyek-proyek yang berprioritas tinggi yang mengacu pada peningkatan ekspor nonmigas dan
peningkatan tarat hidup rakyat secara luas. Pengalokasian dana pembangunan pada berbagai
proyek yang produktif tersebut adalah merupakan salah satu kunci keberhasilan program

Departemen Keuangan Republik Indonesia 12


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembangunan secara keseluruhan. Di samping itu peningkatan penerimaan dalam negeri juga
diperlukan untuk membiayai peningkatan dalam pengeluaran rutin yang dalam RAPBN
1989/1990 direncanakan mengalami kenaikan cukup besar. Namun, haruslah selalu diusahakan
agar penerimaan dalam negeri meningkat lebih cepat daripada peningkatan pengeluaran rutin
agar dapat diperoleh tabungan Pemerintah yang cukup memadai.

Pengeluaran rutin dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan akan meningkat sebesar


16,8 persen sehingga mencapai Rp 23.445,0 milyar. Peningkatan pengeluaran rutin yang cukup
besar tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kenaikan gaji pegawai negeri, anggota ABRl,
dan pensiunan, baik di pusat dan di daerah, yang telah dilaksanakan sejak bulan Januari 1989.
Hal ini menunjukkan kesungguhan tekad Pemerintah untuk meningkatkan dan memperhatikan
kesejahteraan pegawai apabila kemampuan keuangan negara untuk melalukan hal itu
memungkinkan. Di samping itu, kenaikan gaji pegawai juga dimaksudkan untuk meningkatkan
gairah dan semangat kerja aparatur Pemerintah sehingga diharapkan adanya peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dan mutu pelaksanaan tugas Pemerintah. Peningkatan gaji
pegawai negeri tersebut sulit untuk dilaksanakan dalam tahun-tahun sebelumnya, oleh karena
Pemerintah menghadapi kendala yang cukup berat untuk menaikkan penerimaan dalam negeri
di satu pihak, sedangkan di lain pihak pengeluaran Pemerintah terus mengalami peningkatan,
terutama sebagai akibat dari peningkatan kewajiban Pemerintah bagi pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri.

Perbaikan penghasilan pegawai negeri dan ABRI termasuk pensiunan dan kenaikan
tunjangan beras akibat dari kenaikan harga gabah telah meningkatkan belanja pegawai dalam
RAPBN 1989/1990 menjadi sebesar Rp 5.996,5 milyar atau bertambah sekitar 24 persen dari
tahun sebelumnya. Selain daripada itu pengeluaran rutin juga masih sangat dipengaruhi oleh
kenaikan dalam pembayaran hutang luar negeri yang dalam RAPBN 1989/1990 diperkirakan
mencapai Rp 12.088,0 milyar. Sekalipun terjadi peningkatan sebesar Rp 1.480,0 milyar dari
APBN 1988/1989, namun peranan pembayaran hutang luar negeri terhadap pengeluaran rutin
menurun dari sebesar 52,9 persen dalam APBN 1988/1989 menjadi 51,6 persen dalam RAPBN
1989/1990. Kenaikan dalam pembayaran hutang luar negeri tersebut berkaitan erat dengan
perubahan nilai tukar beberapa mata uang negara-negara industri maju terhadap dolar Amerika
dan rupiah dalam beberapa tahun terakhir ini.
Prinsip efisiensi dan efektivitas yang senantiasa mendasari setiap pengeluaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 13


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Pemerintah pada dasarnya akan terus diterapkan dan bahkan ditingkatkan dalam tahun-tahun
mendatang, guna menghasilkan tabungan Pemerintah yang memadai. Tabungan Pemerintah
dalam RABPN 1989/1990 diperkirakan dapat mencapai Rp 1.804,8 milyar, sebagai hasil dari
peningkatan penerimaan dalam negeri yang lebih besar daripada pengeluaran rutin. Jumlah
tersebut sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tabungan Pemerintah dalam APBN
1988/1989 yang mencapai Rp 1.737,0 milyar. Tabungan Pemerintah tersebut, bersama-sama
dengan penerimaan pembangunan telah meningkatkan tersedianya dana untuk anggaran
pembangunan yang diperkirakan mencapai Rp 13.129,9 milyar. Mengingat peranannya yang
strategis bagi pembentukan investasi nasional guna menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi
dalam Pelita V, maka anggaran pembangunan tersebut akan diarahkan untuk pembiayaan
proyek-proyek yang benar-benar produktif, efisien dan menyerap banyak tenaga kerja.

RAPBN tahun 1989/1990 adalah merupakan tahun pertama pelaksanaan pembangunan


dalam Pelita V, yang pada dasarnya mencerminkan langkah-langkah dan rencana Pemerintah
untuk melaksanakan program-program pembangunan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun
mendatang dengan memperhatikan prioritas dan sasaran yang ingin dicapai dalam Pelita V.
Salah satu sasaran dalam Repelita V yang berkaitan erat dengan penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi
sebesar 5 persen per tahun. Sasaran tersebut mengisyaratkan adanya kebutuhan modal yang
cukup besar yang harus dibiayai oleh tabungan Pemerintah bersama sama dengan tabungan
masyarakat. Apabila pembentukan tabungan masyarakat tersebut dewasa ini giat dilaksanakan
melalui peningkatan ekspor nonmigas dan melalui pengembangan pasar uang dan pasar modal,
maka pembentukan tabungan Pemerintah harus diusahakan melalui kenaikan penerimaan negara,
terutama penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas, yang sebagian besar berasal dari
penerimaan pajak. Dalam rangka mencapai sasaran pertumbuhan pembangunan sebesar 5 persen
tersebut, penerimaan dalam negeri di luar migas harus dapat ditingkatkan rata-rata sebesar 23
persen per tahun sehingga dalam keseluruhan Pelita V penerimaan nonmigas akan berjumlah Rp
130,4 trilyun. Peningkatan penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas yang cukup tinggi
tersebut diperlukan untuk mengimbangi penurunan penerimaan migas dan kenaikan dalam
pengeluaran rutin yang diperlukan untuk mempertahankan kelancaran roda pemerintahan.
Dengan kenaikan penerimaan dalam negeri yang lebih cepat dari kenaikan pengeluaran rutin,
tabungan Pemerintah diperkirakan akan terus meningkat selama Pelita V, dan akan mencapai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 14


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sebesar Rp 18,9 trilyun pada akhir Pelita V, sehingga secara keseluruhan akumulasi tabungan
Pemerintah yang akan terbentuk dalam Pelita V diperkirakan mencapai Rp 47,1 trilyun.
Tabungan Pemerintah tersebut bersama-sama dengan bantuan luar negeri akan membentuk dana
pembangunan yang dalam keseluruhan Pelita V direncanakan mencapai Rp 107,5 trilyun.
Jumlah tersebut adalah sekitar 49 persen dari keseluruhan kebutuhan dana investasi yang
diperlukan dalam Pelita V, yaitu sebesar Rp 219,6 trilyun, sehingga sisanya sebesar 51 persen
atau sebesar Rp 112,1 trilyun harus dibiayai oleh tabungan masyarakat. Dari keseluruhan
penerimaan dalam negeri yang dibutuhkan dalam Pelita V tersebut, sektor migas diperkirakan
akan menyumbang sekitar 27 persen atau sebesar Rp 49,5 trilyun. Ini berarti bahwa penerimaan
negara dari sektor pajak dan penerimaan bukan migas lainnya akan menjadi tulang punggung
dari beban pembiayaan investasi nasional di masa-masa mendatang. Dana pembangunan, yang
terdiri dari tabungan Pemerintah dan bantuan luar negeri diperkirakan meningkat dengan
kecepatan yang semakin besar dalam beberapa tahun terakhir Pelita V, dengan peningkatan
tabungan Pemerintah lebih cepat daripada peningkatan bantuan luar negeri. Hal ini didasarkan
pada perkiraan bahwa kenaikan penerimaan pajak dan penerimaan dalam negeri nonmigas
lainnya dalam beberapa tahun terakhir Pelita V akan semakin besar, sejalan dengan
meningkatnya jumlah wajib pajak.

Sadar terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi di dalam Pelita V mendatang,
terutama untuk memobilisasi dana, baik dari sektor Pemerintah maupun sektor swasta, guna
membiayai investasi nasional yang mencukupi bagi pencapaian sasaran dalam Pelita V, telah
mendasari kebijaksanaan dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia di dalam jangka panjang,
yang menyangkut aspek kebijaksanaan ekonomi makro, perdagangan luar negeri, dan alokasi
sumber-.sumber ekonomi. Rangkaian kebijaksanaan tersebut senantiasa diusahakan agar
merupakan suatu kebijaksanaan yang saling melengkapi, konsisten, dan mendasar, yang
meletakkan landasan yang kuat bagi terselenggaranya kelangsungan dan peningkatan
pembangunan di masa-masa mendatang. Arah pokok dari strategi ekonomi Pemerintah tersebut,
terutama dalam periode lima tahun mendatang ditujukan untuk menciptakan iklim yang mampu
untuk menggerakkan segenap potensi nasional dalam usaha memobiIisasi semua sumber
ekonomi untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dan menggalakkan ekspor nonmigas.

Semenjak Pelita I Pemerintah telah pula melakukan berbagai kebijaksanaan di bidang


ekonomi dan moneter untuk mendorong ekspor melalui penciptaan nilai tukar rupiah yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 15


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

realistis, penekanan tingkat inflasi, pemberian kredit ekspor dan fasiIitas fiskal bagi kegiatan
ekspor, perluasan dan kemudahan memperoleh informasi, serta jaminan asuransi bagi
kelancaran pembayaran dari importir di luar negeri. Indonesia juga secara bertahap telah
meninggalkan strategi ekspor yang mengandalkan pada satu atau sedikit komoditi ekspor,
terutama yang bertumpu pada komoditi ekspor primer, yang cenderung mempunyai daya saing
yang lemah. Struktur ekspor demikian tidak mempunyai ketahanan ekonomi yang kokoh,
sehingga sulit untuk dapat bertahan terhadap perubahan-perubahan permintaan dan harga yang
cenderung menunjukkan pola yang semakin tidak menentu dalam beberapa tahun terakhir ini.
Hal tersebut menyebabkan posisi negara-negara berkembang mempunyai kedudukan yang
lemah di dalam penentuan harga terhadap negara-negara yang lebih mengkhususkan ekspomya
pada barang-barang hasil industri dan komoditi berteknologi tinggi.

Sejak semula disadari bahwa peluang untuk meningkatkan ekspor nonmigas, tidak bisa
diharapkan dari adanya perubahan dan perbaikan dari keadaan eksternal semata, melainkan
harus pula diupayakan melalui penyesuaian-penyesuaian dan perbaikan struktur ekonomi dan
produksi yang lebih efisien dan dengan dukungan masyarakat dan dunia usaha secara luas.
Struktur produksi yang efisien tidak hanya berakibat terhadap penurunan biaya produksi
sehingga memungkinkan terciptanya pembentukan modal yang lebih besar, tetapi juga
mempunyai daya saing yang lebih besar dan lebih kenyal terhadap perubahan-perubahan
eksternal yang terjadi. Bagi Indonesia peningkatan ekspor nonmigas mempunyai peranan yang
sangat strategis, yaitu tidak saja sebagai salah satu sumber penerimaan devisa nasional yang
dapat dipergunakan untuk membiayai impor barang modal, tetapi juga sebagai sumber utama
kegiatan perekonomian dalam negeri dan perluasan kesempatan kerja. Selain daripada itu
pengembangan ekspor nonmigas mutlak diperlukan untuk mengimbangi ketidakpostian
penerimaan dari sektor migas. Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan untuk meningkatkan
penerimaan devisa dirasakan semakin mendesak, terutama untuk mengurangi ke-
tidakseimbangan neraca pembayaran yang masih mengalami tekanan cukup berat akibat dari
peningkatan impor barang jasa dan membesarnya beban pembayaran hutang luar negeri akibat
dari apresiasi beberapa mata uang kuat dunia terhadap rupiah dan dolar Amerika. Dalam
hubungannya dengan pembayaran hutang luar negeri, peningkatan hasil ekspor nonmigas akan
sangat membantu di dalam menciptakan perbandingan pembayaran hutang luar negeri yang
jatuh tempo dengan penerimaan hasil ekspor (DSR), yang lebih wajar. Pemerintah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 16


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mengupayakan agar pada akhir Pelita V mendatang tingkat DSR ditekan sehingga menjadi
kurang dari 25 persen. Sasaran penurunan rasio tersebut mengandung makna bahwa peningkatan
pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri di dalam kurun waktu lima tahun
mendatang diusahakan untuk tidak lebih meningkat lagi dan di lain pihak ekspor nonmigas
harus terus dipacu agar dapat meningkat dengan kecepatan yang cukup tinggi. Berbeda halnya
dengan ekspor migas, ekspor komoditi di luar migas mempunyai kaitan strategis yang sangat
penting dan langsung terhadap usaha pengembangan kegiatan perekonomian pada umumnya
dan dunia usaha pada khususnya. Penerimaan dari ekspor nonmigas akan secara langsung
berpengaruh terhadap kegiatan investasi, produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat,
oleh karena ekspor nonmigas sebagian besar dilakukan oleh sektor swasta. Pola demikian akan
merubah struktur sumber dana pengembangan perekonomian Indonesia yang sebelumnya
bertitik berat pada sektor Pemerintah, yang terutama diperoleh dari penerimaan migas, menjadi
sumber daya yang bertumpu pada sektor swasta melalui pembentukan modal masyarakat.
Dengan demikian sekalipun ekspor nonmigas relatif kecil sumbangannya terhadap anggaran
pendapatan dan belanja negara, namun mempunyai kaitan dan pengaruh langsung terhadap
neraca pembayaran, keadaan moneter dan pendapatan nasional. Di samping itu kegiatan ekspor
nonmigas akan berpengaruh terhadap peningkatan lapangan kerja, oleh karena jenis kegiatan
tersebut, khususnya ekspor hasil-hasil pertanian dan industri kecil, pada umumnya bersifat padat
karya.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah untuk mendorong ekspor nonmigas yang


dikeluarkan secara berkesinambungan sejak tahun 1983, seperti Inpres No.4 tahun 1985,
kebijaksanaan 6 Mei 1986, kebijaksanaan devaluasi September 1986, kebijaksanaan 25 Oktober
1986, kebijaksanaan 15 Januari 1987, kebijaksanaan 24 Desember 1987, kebijaksanaan 27
Oktober 1988, kebijaksanaan 21 November 1988, dan kebijaksanaan 20 Desember 1988
menunjukkan kesungguhan dan upaya besar Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan devisa
dari ekspor nonmigas dan meleposkan ketergantungan terhadap hasil penerimaan devisa dari
ekspor minyak bumi dan gas alam secara bertahap dan posti upaya tersebut telah mulai
menampakkan hasilnya dengan meningkatnya penerimaan devisa dari ekspor nonmigas dengan
kecepatan yang sangat mengesankan. Bahkan sejak tahun 1987/1988, keseluruhan penerimaan
hasil ekspor nonmigas telah melebihi penerimaan ekspor migas. Dalam tahun 1987/1988
kenaikan devisa hasil ekspor nonmigas meningkat sangat mengesankan, yaitu sebesar 41,2

Departemen Keuangan Republik Indonesia 17


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

persen dari tahun sebelumnya, dengan penerimaan keseluruhan mencapai US $ 9.502 juta.
Dibandingkan dengan nilainya dalam tahun ke empat Pelita III, atau sejak awal ditempuhnya
serangkaian kebijaksanaan deregulasi, maka nilai ekspor telah berkembang rata-rata sebesar
20,0 persen, sementara tingkat pertumbuhannya dalam lima tahun sebelumnya, yaitu antara
tahun 1977/1978 - 1982/1983 hanya. meningkat rata-rata sebesar 2,0 persen. Meningkat
pesatnya ekspor bukan migas, berbarengan dengan merosotnya penerimaan migas, telah
menyebabkan peranan ekspor bukan migas yang dalam tahun 1982/1983 baru sebesar 21,0
persen dari nilai total ekspor, dalam tahun 1988/1989 diperkirakan meningkat menjadi lebih dari
60,0 persen. Dalam tahun 1988/1989 ekspor nonmigas diperkirakan akan mencapai US $ 11.225
juta atau mengalami peningkatan sebesar 18,1 persen dari tahun 1987/1988. Ini berarti bahwa
rata-rata ekspor nonmigas per bulan dalam tahun 1988/1989 diperkirakan mencapai sekitar US $
935 juta, atau meningkat sekitar 66 persen dari rata-rata ekspor per bulan dalam 2 tahun
sebelumnya.

Meningkatnya penerimaan ekspor nonmigas tersebut telah memberikan landasan yang


lebih kuat terhadap perekonomian Indonesia pada umumnya dan neraca pembayaran pada
khususnya, terutama di dalam menghadapi kendala dari ketidakpostian harga minyak bumi.
Sekalipun demikian tidaklah berarti bahwa penerimaan dari sektor migas menjadi tidak penting
dan dapat diabaikah. Dalam tahun 1988/1989 penerimaan ekspor minyak bumi dan gas alam
diperkirakan mencapat US $ 7.478 juta, atau merupakan 40 persen dari keseluruhan penerimaan
ekspor, sedangkan dalam penerimaan dalam negeri dalam APBN penerimaan dari sektor migas
masih berperan sekitar 41 persen. Dengan posisi demikian sumbangan penerimaan dari sektor
minyak masih mempunyai peranan yang sangat penting, baik bagi keseimbangan neraca
pembayaran maupun bagi penerimaan negara. Hal inilah antara lain yang menyebabkan
Pemerintah senantiasa berupaya untuk mencegah penurunan harga minyak bumi ke tingkat yang
lebih rendah lagi melalui penggalangan kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara OPEC
lainnya di dalam mematuhi kuota yang telah ditentukan, di samping menghimbau negara-negara
di luar OPEC untuk tidak meningkatkan produksi di atas kebutuhan minyak dunia.

Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1988/1989 pada umumya masih


dipengaruhi oleh berbagai perkembangan dalam perekonomian dalam negeri dan perekonomian
dunia yang tercermin dalam perkembangan ekspor, impor, jasa-jasa, dan lalu lintas modal.
Sebagai akibat dari meningkatnya impor dan menurunnya ekspor dari yang direncanakan dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 18


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

APBN, realisasi defisit transaksi berjalan dalam tahun 1988/1989 diperkirakan akan meningkat
menjadi US $ 1.941 juta dari sebesar US $ 654 juta yang direncanakan. Jumlah defisit tersebut
relatif tidak jauh berbeda dengan defisit transaksi berjalan dalam tahun 1987/1988 sebesar US $
1.707 juta. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1988/1989 juga dipengaruhi oleh
penurunan defisit transaksi jasa, dari yang direncanakan sebesar US $ 7.042 juta menjadi US $
6.845 juta. Sementara itu pemasukan modal pemerintah dan swasta telah mengalami kenaikan
dari rencananya, namun peningkatan yang cukup besar dalam pembayaran pokok hutang luar
negeri yang mencapai US $ 3.909 juta, telah menyebabkan neraca pembayaran dalam tahun
1988/1989 diperkirakan mengalami defisit sebesar US $ 176 juta. Cadangan devisa, yang
merupakan salah satu barometer dari kemampuan Pemerintah untuk melunasi kewajiban-
kewajiban luar negeri serta untuk melakukan impor barang/jasa yang diperlukan perekonomian,
setelah mencapai titik terendahnya dalam tahun 1982/1983, telah dapat dipulihkan lagi dengan
terjadinya surplus neraca pembayaran dalam tahun-tahun berikutnya. Dalam tahun 1986/1987
cadangan de visa menunjukkan sedikit penurunan karena merosotnya harga minyak bumi ke
tingkat yang sangat rendah dan penurunan hasil ekspor migas tersebut tidak dapat diimbangi
oleh penurunan nilai impor dalam jumlah yang sama. Sedangkan dalam tahun 1987/1988 dan
1988/1989 ekspor nonmigas telah mulai menggantikan ekspor migas dan dengan peningkatan
ekspor nonmigas yang sangat cepat dalam dua tahun tersebut telah dapat meningkatkan kembali
cadangan devisa nasional pada tingkat yang sangat menggembirakan. Cadangan devisa dalam
tahun 1988/1989 diperkirakan tetap berada di atas ambang aman cadangan devisa minimum
yang biasa dipakai sebagai tolok ukur, yaitu mencukupi untuk 3 bulan kebutuhan impor.

Sejalan dengan menurunnya ekspor migas dan usaha mendorong ekspor nonmigas guna
mempertahankan laju pembangunan pada tingkat yang layak, telah semakin penting dan
mendesak usaha-usaha untuk meningkatkan peranserta dan dukungan masyarakat dan sektor
swasta dalam kegiatan pembangunan. Pada dasarnya kebijaksanaan ini selain lebih sesuai
dengan alas demokrasi ekonomi agar pembangunan di Indonesia didukung oleh seluruh potensi
ekonomi nasional sehingga selain lebih mempunyai ketahanan juga akan lebih meningkatkan
penggalian dan penggunaan sumber-sumber dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri
secara optimal. Peranserta sektor swasta tersebut diharapkan akan semakin berkembang dengan
semakin baiknya iklim yang merangsang tumbuhnya dunia usaha yang diciptakan Pemerintah
melalui serangkaian kebijaksanaan yang selama ini telah dilakukan. Salah satu upaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 19


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Pemerintah dalam hubungan tersebut adalah dengan mengurangi peraturan dan birokrasi yang
berlebihan, yang pada dasarnya merupakan salah satu sumber dari pada ketidakefisienan dan
ketidakpostian usaha. Langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang
ekonomi yang dilakukan Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir pada dasarnya dimaksudkan
untuk memperbaiki iklim usaha serta menekan ekonomi biaya tinggi, sehingga akan lebih
menjamin tercapainyaa harga atau biaya yang lebih wajar, di samping akan mendorong investasi
baru dan meningkatkan efisiensi penggunaan dana. Sebagai langkah nyata di dalam mendukung
peranan sektor swasta dalam pengerahan sumber-sumber dana masyarakat dimulai dengan
kebijaksanaan deregulasi perbankan 1 Juni 1983. Deregulasi perbankan 1 Juni 1983 tersebut
dipandang sebagai tonggak awal perubahan kebijaksanaan Pemerintah, yang intinya bertujuan
untuk mengalihkan sumber dana yang sebelumnya bertumpu pada sektor Pemerintah kepada
sumber dana yang berasal dari masyarakat. Dengan memberikan kebebasan kepada sektor
perbankan untuk mengerahkan dana masyarakat, diharapkan bahwa dana-dana yang selama ini
terhimpun dalam masyarakat dapat digali dan disalurkan untuk membiayai kegiatan usaha
sektor swasta dan dunia usaha pada umumnya. Di dalam rangka memobiIisasi dana-dana
masyarakat yang belum tersalurkan ke sektor-sektor yang produktif, khususnya dana-dana yang
terhimpun di-daerah pedesaan, Pemerintah mulai tahun 1984 telah mengembangkan program
simpanan pedesaan (Simpedes), untuk membangkitkan gairah masyarakat pedesaan menabung
pada lembaga-Iembaga keuangan. Upaya-upaya tersebut diatas telah menghasilkan peningkatan
dana yang luar biasa, khususnya dalam bentuk dana deposito. Deposito berjangka dalam kurun
waktu lima tahun ini yaitu di:iIam periode Mei 1983 - Mei 1988 telah meningkat sebesar Rp
17,8 trilyun, yang berarti meningkat enam kali lebih besar dibandingkan dengan kenaikannya
dalam periode lima tahun sebelumnya. Dana yang dihimpun tersebut dalam kurun waktu yang
sama telah berhasil disalurkan untuk membiayai investasi di berbagai bidang ekonomi dalam
bentuk kredit sebesar Rp 24,3 trilyun atau meningkat rata-rata sebesar 24,0 persen per tahun. Di
masa mendatang, peranan sumber dana yang berasal dari masyarakat akan lebih ditingkatkan,
oleh karena sumber dana masyarakat tersebut dinilai lebih menguntungkan dan mempunyai
daya tahan, terutama di dalam menghadapi fluktuasi perekonomian dunia yang tidak menentu.
Upaya untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan melalui
pengerahan dana masyarakat tidak terlepos dari usaha untuk mengembangkan lembaga
keuangan, baik dari segi kelembagaannya, sistem, maupun jenis usahanya. Kebijaksanaan
Pemerintah untuk mendorong usaha lembaga keuangan tersebut diarahkan selain untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 20


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mengembangkan sektor lembaga keuangan di luar perbankan, seperti lembaga keuangan bukan
bank (LKBB), perusahaan asuransi, perusahaan leasing, dan perusahaan jasa pembiayaan
lainnya, juga ditujukan untuk memperluas penyebaran lembaga-lembaga keuangan ke daerah-
daerah di Indonesia dengan lebih merata. Penyebaran lembaga-Iembaga keuangan ke daerah-
daerah tersebut antara lain ditujukan untuk lebih mengembangkan kegiatan ekonomi dan
investasi di daerah-daerah, sehingga akan membantu pemerataan kegiatan pembangunan,
pemerataan pendapatan dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi antara daerah perkotaan
dan daerah pedesaan. Guna memungkinkan penyebaran dan perluasan operasi perbankan ke
daerah, Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan 27 Oktober 1988, yang antara lain mencakup
pemberian kemudahan pembukaan kantor bank dan cabang lembaga keuangan bukan bank serta
pendirian bank campuran dan pembukaan kantor-kantor cabang bank asing. Sedangkan Paket
kebijaksanaan 20 Desember 1988 yang merupakan kelanjutan dari perluasan dari kebijaksanaan
1 Juni 1983 dan kebijaksanaan 27 Oktober 1988, lebih menekankan pada pengembangan
lembaga keuangan di luar bank, meliputi pasar modal, lembaga pembiayaan dan asuransi. Guna
melengkapi lembaga-lembaga keuangan yang telah ada, Pemerintah telah memberikan
kesempatan untuk mendirikan usaha di bidang lembaga pembiayaan yang mencakup kegiatan
sewaguna usaha (leasing), anjak piutang, modal ventura, perdagangan surat berharga, usaha
kartu kredit dan usaha pembiayaan konsumen. Selain itu telah pula diberikan kemudahan untuk
mendirikan perusahaan asuransi nasional dan perusahaan asuransi campuran, serta
pengembangannya ke daerah-daerah bagi perusahaan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 21


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.1. Pendahuluan
Sebagai awal dari tahap kedua pembangunan jangka panjang, RAPBN 1989/1990, yang
merupakan penjabaran operasional daripada Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1988,
berfungsi sebagai jembatan penghubung antara pelaksanaan pembangunan sebelumnya dengan
pelaksanaan pembangunan dalam Pelita V. Dengan demikian segenap langkah kebijaksanaan
yang akan ditempuh dalam masa tersebut pada hakekatnya merupakan kelanjutan yang
berkesinambungan dalam proses pembangunan jangka panjang. Berbeda dengan yang dihadapi
dalam Pelita III dan Pelita IV, masalah berat yang diperkirakan masih akan dirasakan dalam
Pelita V adalah masih rendahnya penerimaan dari sektor migas, berbagai pergeseran
perdagangan internasional yang mengarah kepada ketidakseimbangan hubungan perdagangan
antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, memburuknya keseimbangan
moneter internasional, dan beberapa masalah lainnya yang tidak bisa dipisahkan dengan
perkembangan ekonomi.
Dalam hubungan dengan hal-hat di atas, pelaksanaan pembangunan yang dicapai hingga
tahun terakhir Pelita IV telah berhasil menempatkan perekonomian nasional pada posisi yang
memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai masalah, baik yang bersumber dari dalam
maupun luar perekonomian nasional. Walaupun penerimaan migas dalam tahun terakhir Pelita
IV mengalami kemerosotan, namun kemampuan sumber-sumber dalam negeri secara
keseluruhan telah mengalami banyak kemajuan. Dalam pada itu volume APBN, yang
merupakan salah satu tolok ukur daripada kegiatan pemerintah, mengalami pertumbuhan seiring
dengan bertambahnya proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan. Dalam Pelita I,
besarnya dana anggaran yang disediakan melalui APBN tercatat sebesar Rp 3.283,2 milyar,
sementara dalam Pelita II telah naik menjadi Rp 18.019,4 milyar atau telah meningkat lebih dari
empat kalinya. Sedangkan dalam Pelita III, jumlah tersebut telah meningkat lagi menjadi Rp
66.393,7 milyar, dan dalam empat tahun pelaksanaan Pelita IV telah mencapai Rp 91.063,0
milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 22


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Meningkatnya volume APBN sejak Pelita I diatas tidak berarti bahwa seluruhnya
dialokasikan bagi kepentingan investasi pemerintah melalui pengeluaran pembangunan, karena
sebagian diantaranya dialokasikan untuk membiayai jalannya pelaksanaan pemerintahan,
termasuk di dalamnya untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutang. Dalam hubungan ini,
investasi yang telah dikeluarkan pemerintah melalui alokasi pengeluaran pembangunan dalam
setiap APBN, telah mampu mendorong tumbuhnya hasil-hasil produksi nasional yang tercermin
dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dalam setiap Pelita. Dalam Pelita I, II, dan III,
pengeluaran pembangunan yang disalurkan melalui APBN menunjukkan perkembangan yang
makin meningkat, yaitu dari sebesar Rp 1.232,8 milyar dalam Pelita I, menjadi sebesar Rp
9.126,4 milyar dalam Pelita II, dan sebesar Rp 34.129,2 milyar dalam Pelita III. Sedangkan
dalam empat tahun pelaksanaan Pelita IV jumlah tersebut telah meningkat lagi menjadi sebesar
Rp 38.634,4 milyar. Di sisi lain, hasil pembangunan yang telah dicapai juga menunjukkan
peningkatan. Besarnya POB (tahun kalender) dalam Pelita I mencapai Rp 20.945,4 milyar,
sedangkan dalam Pelita II telah meningkat menjadi Rp 80.596,2 milyar, atau telah meningkat
hampir tiga kalinya. Selanjutnya dalam Pelita III jumlah POB tersebut telah meningkat pula
menjadi Rp 264.828,9 milyar, dan selama empat tahun pelaksanaan pembangunan dalam Pelita
IV telah meningkat lagi menjadi Rp 392.117,2 milyar. Peningkatan tersebut bukan semata-mata
disebabkan oleh peranan pemerintah melalui APBN, tetapi juga merupakan hasil dari
pengerahan sumber dana yang berasal dari masyarakat. Namun demikian sumbangan
pemerintah yang dilaksanakan melalui dana APBN sangat mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi di masa yang lalu.

Sejak Pelita I investasi sektor pemerintah melalui APBN, yang diukur berdasarkan
rasio/perbandingannya terhadap POB, telah menunjukkan peningkatan, yaitu masing-masing
sebesar 5,9 persen dalam Pelita I, 11,3 persen dalam Pelita II, dan 12,9 persen selama Pelita III.
Sedangkan selama empat tahun pelaksanaan Pelita IV di mana penerimaan migas molai
menyusut, rasio tersebut telah menurun menjadi sekitar 9 persen.

Menurunnya kemampuan pembiayaan pembangunan sebagai akibat melemahnya harga


minyak, telah mulai diperkirakan menjelang PeIita IV. Namun demikian baru memasuki
pertengahan pelaksanaan Pelita IV, tekanan tersebut mulai terasa, yaitu ketika harga minyak
yang semula diperkirakan sebesar US$ 25 per barel dalam APBN 1986/1987, dalam realisasinya
turun dengan sangat tajam, sehingga mencapai harga di bawah US$ 10 per barel dalam bulan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 23


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Agustus 1986. Meskipun sempat terjadi kegoncangan, namun berkat langkah-langkah


penyesuaian yang dilaksanakan sejak awal Pelita IV, perekonomian nasional telah mampu
meredamnya sehingga tidak menimbulkan akibat yang fatal. Langkah-langkah deregulasi dan
debirokratisasi yang telah mendorong semakin mapannya keadaan perekonomian nasional
dalam masa-masa mendatang tetap akan dilanjutkan, sebagai upaya untuk menghadapi berbagai
hambatan yang bakal muncul di masa-masa selanjutnya yang penuh ketidakpastian.
Rangkaian kebijaksanaan yang sangat mendukung kebijaksanaan fiskal dalam APBN
adalah pembaharuan sistem perpajakan, yang telah berhasil mengerahkan sumber dana dari
sektor perpajakan. Apabila dalam tahun terakhir Pelita III jumlah penerimaan dari sektor
perpajakan baru mencapai Rp 4.393,5 milyar, atau sekitar 7,5 persen dari produk domestik bruto
nonmigas (POB nonmigas), maka dalam tahun pertama Pelita IV, yaitu tahun awal berlakunya
undang-undang perpajakan yang baru, telah meningkat menjadi Rp 4.788,3 milyar atau sekitar 7
persen dari POB nonmigas. Sedangkan daiam tahun keempat Pelita IV jumlah tersebut telah
meningkat menjadi Rp 8.779,4 milyar, atau sekitar 9,1 persen dari POB nonmigas. Di samping
merupakan hasil dari pembaharuan perpajakan, keberhasilan tersebut tidak dapat dipisahkan dari
serangkaian kebijaksanaan di sektor-sektor yang lain, seperti moneter, perdagangan luar negeri,
dan industri, yang telah dilaksanakan dalam masa sebelumnya. Rangkaian kebijaksanaan
tersebut berbentuk berbagai Paket kebijaksanaan deregulasi, dan yang terakhir dilengkapi
dengan Paket Kebijaksanaan 27 Oktober, Paket Kebijaksanaan 21 November dan Paket
Kebijaksanaan 20 Desember tahun 1988. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut akan terus
disempurnakan sehingga diharapkan akan mampu menciptakan suatu perekonomian yang makin
mapan untuk menghadapi segenap tantangan di masa mendatang.

Meningkatnya peranan dari sektor perpajakan merupakan suatu langkah kemajuan


dalam prinsip pengelolaan APBN, mengingat sumber penerimaan tersebut tidak secara langsung
dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia sebagaimana halnya dengan penerimaan migas.
Dengan tetap dilandasi pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis yang akan
diterapkan dalam Pelita V, maka meningkatnya peranan sumber di luar migas tersebut berarti
memperkuat ketahanan ekonomi dan mempertinggi kemampuan untuk membangun. Dalam
kaitan ini dalam RAPBN 1989/1990 pelaksanaan proyek pembangunan tetap akan diselaraskan
dengan kemampuan penyediaan sumber dana terutama yang bersumber dari luar migas, dan
disesuaikan dengan pemilihan prioritas yang telah direncanakan dalam Repelita V. Sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 24


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

itu, pelaksanaannya tetap akan berpijak kepada Trilogi Pembangunan, terutama untuk mencapai
tingkat kemajuan pembangunan yang merata ke seluruh wilayah tanah air, serta mampu
mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN hingga 1988/1989

2.2.1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN


Sampai dengan pelaksanaan tahun terakhir Pelita IV, anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) tetap merupakan sarana utama untuk menjangkau berbagai sasaran yang
direncanakan dalam Repelita IV, yang sekaligus merupakan perwujudan dari pelaksanaan
amanat seluruh rakyat yang dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sebagai pelaksanaan operasional daripada Repelita, kebijaksanaan yang diterapkan dalam
APBN senantiasa diselaraskan dengan prioritas sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu
lima tahunan dengan didasarkan pada Trilogi Pembangunan. Pada hakekatnya Trilogi
Pembangunan merupakan pedoman pelaksanaan pembangunan, yang berintikan tiga rangkaian
upaya pokok yang mengacu pada pemerataan hasil-hasil pembangunan, pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemantapan stabilitas. Sebagai salah satu perangkat
utama Pemerintah untuk mencapai sasaran yang diinginkan, APBN diarahkan agar fungsi
utamanya yaitu fungsi alokasi daripada sumber-sumber ekonomi, fungsi distribusi melalui
pengalokasian dana ke berbagai daerah dan tingkat pendapatan, dan fungsi stabilisasi ekonomi
melalui pengaturan yang seimbang antara penerimaan dan pengeluaran, dapat diterapkan sesuai
dengan prioritas sasaran yang hendak dicapai dalam setiap Repelita.

Dalam Pelita I, Trilogi Pembangunan mengutamakan stabilitas, tanpa mengurangi arti


pentingnya tujuan-tujuan lain, yaitu pertumbuhan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Skala prioritas dalam periode tersebut memang menghendaki diutamakannya stabilitas, terutama
di bidang ekonomi, sehingga kebijaksanaan APBN yang disusun saat itu cenderung mengarah
pada upaya penekanan laju inflasi yang pada masa sebelumnya tidak terkendali pada tingkat
yang sangat tinggi. Dalam kaitan ini upaya yang ditempuh saat itu adalah meninggalkan
kebijaksanaan anggaran defisit yang digunakan sebelumnya, dan menggantikannya dengan
prinsip pengelolaan anggaran yang berimbang dan dinamis. Prinsip tersebut membawa
konsekuensi bahwa Pemerintah harus mengupayakan keseimbangan pengeluaran negara dengan
kemampuan menghimpun dana penerimaan pada saat yang bersamaan. Selanjutnya pembiayaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 25


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

yang bersumber dari dalam negeri senantiasa diusahakan agar selalu meningkat sehingga
peranan penerimaan yang berasal dari luar negeri benar-benar berfungsi sebagai pelengkap.
Berbekal dari hasil-hasil yang telah dicapai dalam Pelita I, terutama keberhasilan dalam
menata kestabilan sosial, politik, dan ekonomi, prioritas pembangunan pada periode lima tahun
berikutnya lebih diarahkan pada upaya pertumbuhan yang tinggi. Sedangkan tujuan pemerataan
hasil-hasil pembangunan dan upaya mempertahankan tingkat stabilitas mendapatkan prioritas
berikutnya dalam Trilogi Pembangunan pada masa tersebut. Dalam pelaksanaannya,
kebijaksanaan tersebut mendapatkan dukungan dari sektor migas, sejalan dengan meningkatnya
harga minyak bumi di pasaran internasional. Di samping itu penerimaan dari sektor perpajakan
juga telah meningkat. Penerimaan migas yang dalam Pelita I mencapai Rp 918,4 milyar, dalam
Pelita II telah meningkat menjadi Rp 8.097,9 milyar, yang berarti telah meningkat hampir
delapan kalinya. Sedangkan penerimaan di luar migas meningkat pula dari Rp 1.656,2 milyar
dalam Pelita I menjadi Rp 6.605,2 milyar dalam Pelita II, atau suatu peningkatan hampir tiga
kalinya. Berdasarkan peningkatan sumber dana yang bersumber dari dalam negeri tersebut,
pengeluaran pembangunan yang dialokasikan untuk investasi pada proyek-proyek pembangunan
mengalami peningkatan pula. Bila dalam Pelita I pengeluaran pembangunan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi tersebut baru mencapai Rp 1.232,8 milyar, maka dalam Pelita II jumlah
tersebut telah meningkat menjadi Rp 9.126,4 milyar, yang berarti telah meningkat lebih dari
enam kalinya.
Sejalan dengan semakin banyaknya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai dalam
Pelita I dan II, maka dalam Pelita III dan IV Pemerintah bertekad untuk lebih mengutamakan
pembagian yang merata atas hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai, sehingga pada
gilirannya akan mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dengan maksud tersebut,
prioritas sasaran pembangunan dalam Trilogi pembangunan dalam periode tersebut
menempatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan pada urutan utama, sedangkan pertumbuhan
dan stabilitas ditempatkan pada urutan berikutnya. Penerapan prinsip anggaran berimbang yang
telah ditempuh sejak pelaksanaan pembangunan dalam Pelita I terbukti telah mampu mendorong
dengan pesat tumbuhnya perekonomian nasional, sekaligus menyelamatkannya dari berbagai
tantangan yang menghambatnya. Pada masa dimana pelaksanaan pembangunan berhasil
menghimpun dana yang besar sebagaimana terjadi pada saat melimpahnya penerimaan minyak,
prinsip anggaran berimbang telah mampu memberikan pemanfaatan dana pada proyek-proyek
yang produktif yang langsung membawa pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 26


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

banyak. Sementara itu pada saat situasi keuangan negara menghadapi masa-masa sulit,
sebagaimana terjadi pada tahun-tahun terakhir Pelita IV, prinsip tersebut telah menuntun kepada
langkah pemilihan prioritas yang lebih tajam, yakni diutamakan hanya pada sektor-sektor yang
sangat penting dan mempunyai nilai strategis dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitannya dengan upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan, seraya tetap
mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan pemeliharaan stabilitas yang telah
dicapai, upaya pendistribusian dana melalui APBN di samping dialokasikan ke berbagai proyek
yang berprioritas tinggi dan produktif, juga dikaitkan dengan alokasi sektoral dan regional.
Dalam hubungannya dengan alokasi sektoral, Repelita telah memberikan batasan dan petunjuk
mengenai sektor-sektor yang dikehendaki oleh rakyat melalui wakil-wakilnya, untuk diberi
prioritas dalam alokasi anggaran. Seperti diketahui, dalam Repelita I prioritas diberikan kepada
sektor pertanian, sektor perhubungan dan pariwisata, serta sektor pembangunan daerah dan
regional. Dalam Repelita II prioritas diberikan kepada sektor pertanian, sektor perhubungan dan
pariwisata, sektor pembangunan daerah dan regional, serta sektor pertambangan dan energi.
Selanjutnya dalam Repelita III penekanan diberikan kepada sektor pertambangan dan energi,
sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian, serta sektor pendidikan. Sedangkan dalam
Pelita IV terlihat penekanan pada sektor pertanian dan pengairan, sektor perhubungan dan
pariwisata, sektor pertambangan dan energi, serta sektor pendidikan. Selanjutnya mengenai
prioritas sektor-sektor pembangunan dalam setiap Repelita dapat dilihat dalam Tabel II.l.
Upaya peningkatan dana pembangunan yang diperlukan bagi proyek-proyek pem-
bangunan tersebut di atas berkaitan erat dengan perkembangan struktur penerimaan negara.
Dengan merosotnya harga minyak mentah sejak tahun 1982, upaya yang dilaksanakan untuk
meningkatkan tabungan Pemerintah terutama dilakukan melalui sumber-sumber dalam negeri di
luar sektor migas, khususnya sejak menurunnya secara drastis harga minyak bumi dalam tahun
1986. Usaha tersebut dilakukan terutama melalui pembaharuan sistem perpajakan nasional. Di
pihak lain, peningkatan tabungan Pemerintah dibatasi pula oleh makin meningkatnya
pengeluaran rutin. Walaupun sejauh mungkin diadakan penghematan-penghematan,
pengeluaran rutin tidak demikian mudah untuk dibatasi, mengingat jenis pengeluaran ini
menampung pembiayaan bagi gaji aparatur pemerintahan serta pembayaran kembali hutang luar
negeri. Demikian pula pembiayaan bagi pemeliharaan hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai selama ini, tidak demikian mudah untuk diturunkan begitu saja tanpa menimbulkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 27


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

akibat yang merugikan.


Meskipun telah menunjukkan peningkatan yang pesat, perkembangan penerimaan dalam
negeri di luar sektor migas belum berhasil menciptakan tabungan Pemerintah yang memadai.
Sehubungan dengan hal ini, untuk mendukung tersedianya dana pembangunan yang memadai
bagi pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang direncanakan, maka bantuan luar negeri
yang diterima berupa penerimaan pembangunan dalam APBN masih tetap diperlukan.
Selanjutnya dalam rangka pengalokasian dana pembangunan yang berhasil dihimpun,
prioritas pengeluaran pembangunan dijabarkan dalam bentuk pemilihan sektor-sektpr
pembangunan yang benar-benar mendapat prioritas yang dilaksanakan oleh departemen dan
lembaga negara. Meskipun tidak diserahkan kepada pemerintah daerah, lokasi dari pada proyek-
proyek yang dilaksanakan, seperti proyek irigasi, jalan raya, komunikasi, dan fasilitas prasarana
lainnya secara langsung meningkatkan pendapatan dan lapangan kerja bagi daerah dimana
proyek tersebut dilaksanakan. Di samping itu pengeluaran dalam bentuk proyek-proyek regional
seperti proyek-proyek dalam rangka program Inpres, baik Inpres Dari I, Inpres kabupaten, dan
Inpres desa, senantiasa ditingkatkan untuk memperbaiki prasarana-prasarana di daerah pedesaan,
sehingga proyek tersebut mampu menciptakan lapangan kerja bagi penduduk di daerah dimana
proyek tersebut berada.

Di samping melalui alokasi pengeluaran pembangunan, distribusi pendapatan dan


hasil-hasil pembangunan yang lebih merata ditempuh pula melalui pengaturan di bidang
pengeluaran rutin. Untuk itu, melalui Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 1984, pembelian
barang dan jasa operasional Pemerintah diprioritaskan kepada golongan pengusaha kecil dan
mengutamakan pembelian barang-barang hasil produksi dalam negeri.

Dalam pada itu, upaya pemeiataan juga diusahakan dapat dicapai melalui kebijak-
sanaan di bidang penerimaan negara. Sehubungan dengan hat tersebut, struktur pajak sejak awal
Pelita IV tidak saja diarahkan untuk menggerakkan penerimaan negara, tetapi juga ditujukan
untuk menciptakan iklim berusaha yang lebih baik, sistem perpajakan yang lebih sederhana,
mudah dipahami dan dilaksanakan, serta menjamin kepostian hukum. Dibandingkan dengan
sistem perpajakan yang lama, struktur pajak baru tersebut lebih menunjang proses pemerataan,
mengingat sistem lama mempunyai bentuk aturan yang lebih rumit serta mengandung
ketidakpostian hukum sehingga justru menimbulkan peluang ketidakadilan yang menyimpang
dari fungsi pemerataan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 28


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.1
PENGELUARAN PEMBANGUNAN, PELITA I - PELITA IV 1)
( dalam milyar rupiah )

SEKTOR Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV 1)

1. Pertanian dan pengairan 267,8 1.745,3 4.235,2 5.663,6


2. Industri 3) 85,7 686,1 2.320,1 2.245,3
3. Pertambangan dan Energi 4) .108,0 967,5 5.175,0 5.202,6
4. Perhubungan dan Pariwisata 261,6 1.631,8 4.457,0 5.641,6
5. Perdagangan dan Koperasi - 37,5 521,9 879,6
6. Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2,5 198,9 1.797,5 1.578,8
7. Pembangunan Daerah, Desa, dan Kota 5) 210,0 1.024,5 2.894,1 3.509,8
8. A g a m a 6) 3,7 26,0 195,9 193,6
9. Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan
Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa 7) 83,8 758,1 3.397,1 5.009,1
10. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial Peranan
Wanita, Kependudukan dan Keluarga
Berencana 27,3 262,0 1.184,0 1.269,1
11. Perumahan Rakyat dan Pemukiman 8) 23,7 195,3 845,9 1.327,0
12. H u k u m - 35,9 259,8 214,1
13. Pertahanan dan Keamanan Nasional 27,3 333,7 2.377,1 2.360,4
14. Penerangan, refs, dan Komunikasi Sosial - 87,9 178,5 177,6
15. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian 9) 60,1 133,1 671,6 824,1
16. Aparatur Pemerintah 212,8 1.019,2 750,0
17. Pengembangan Dunia Usaha 10) 71,3 790,0 1.758,5 942,8
18. Sumber Alam dan Lingkungan Hidup - - 840,8 845,2

J U M LA H 1.232,8 9.126,4 34.129,2 38.634,3

1) Termasuk bantuan proyek Pembagian sektor dalam Pelita 1 adalah 13 sektor, Pelita 11 17 sektor,
Pelita III dan IV 18 sektor. Nama sektor dalam Pelita I tidak seluruhnya sama dengan Pelita II.
2) Sampai dengan tahun keempat Pelita IV
3) Dalam Pelita I dan II nama sektor adalah Industri dan Pertambangan
4) Dalam Pelita Idan II nama sektor adalah Tenaga Listrik
5) Dalam Pelita I dan II nama sektor adalah Pembangunan Daerah dan Regional
6) Dalam Pelita I nama sektor adalah Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa .
7) Dalam Pelita I nama sektor adalah Pendidikan don Kebudayaan
8) Dalam Pelita I nama sektor adalah Kesejahteraan Sosial
9) Merupakan jumlah realisasi sektor-sektor 5, 14, 15 don 16.
10) Dalam Pelita I nama sektor adalah Penyertaan Modal Pemerintah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 29


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Berdasarkan gambaran di atas, jelas bahwa pokok-pokok kebijaksanaan yang ditempuh


dalam pengelolaan APBN sejak awal Pelita I hingga tahun anggaran 1988/1989, pada
hakekatnya merupakan suatu rangkaian kebijaksanaan yang utuh dan berkesinambungan. Di
dalam tahun anggaran 1989/1990, yang merupakan tahun pertama dari Pelita V, kebijaksanaan
APBN tidak banyak berbeda daripada tahun 1988/1989. Usaha pokok yang akan dilaksanakan
adalah menciptakan tabungan Pemerintah sebesar-besarnya, khususnya melalui peningkatan
penerimaan dalam negeri di luar migas. Usaha peningkatan penerimaan dalam negeri di luar
migas ini akan dilakukan dengan segenap daya dan tenaga, oleh karena penerimaan dalam
negeri dari sektor migas tidak dapat diharapkan lagi untuk memberikan dukungan yang cukup
bagi kebutuhan investasi yang diperlukan bagi pencapaian tingkat pertumbuhan seperti yang
direncanakan. Untuk itu Pemerintah akan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan, baik di
segi peraturan perundangan, kesiapan aparatur perpajakan, maupun di dalam usaha agar wajib
pajak mematuhi dan memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya. Di dalam hal ini partisipasi
daripada segenap warga negara makin diperlukan untuk berhasilnya pencapaian tujuan bersama
tersebut.

2.2.2. Penerimaan dalam negeri


Penerimaan dalam negeri secara saris besar terdiri dari penerimaan minyak bumi dan
gas alam dan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam. Dalam perkembangannya dari
tahun ke tahun, sumbangan kedua jenis penerimaan ini mengalami perubahan, sejalan dengan
kegiatan perekonomian dalam tahun yang bersangkutan. Dalam tahun 1969/1970 sektor
perdagangan luar negeri merupakan sumber penerimaan dalam negeri yang terbesar, sejalan
dengan besarnya volume impor barang-barang konsumsi pada saat itu. Sementara itu
administrasi perpajakan belum mendapatkan penanganan secara serius dan masih didasarkan
pada undang-undang pajak warisan zaman kolonial. Di pihak lain harga minyak bumi pada saat
itu masih sangat rendah, yang berkisar pada harga sebesar US$ 1,67 per barel.
Memasuki Pelita ke II, harga minyak bumi mulai menunjukkan peningkatan, yang
dalam tahun 1974/1975 telah mencapai sekitar US$ 11,70 per barel. Sejak saat itu peranan
penerimaan minyak bumi mulai meningkat sehingga melebihi penerimaan dari sektor di luar
minyak bumi dan gas alam. Penerimaan minyak bumi dan gas alam yang pada awal Pelita I baru
mencapai sebesar Rp 65,8 milyar, pada akhir Pelita II telah meningkat menjadi sebesar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 30


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Rp 2.308,7 milyar atau meningkat sekitar 34 kali. Sedangkan sektor perpajakan pada saat yang
sama hanya meningkat sekitar 10 kali, yaitu dari sebesar Rp 177,9 milyar menjadi sebesar Rp
1.957,4 milyar. Keadaan ini terus berlanjut hingga mencapai puncaknya dalam tahun 1981
dimana harga ekspor minyak bumi Indonesia mencapai sebesar US$ 35,00 per barel.
Selanjutnya selama Pelita III peranan penerimaan sektor minyak bumi terus menunjukkan
peningkatan, sehingga dalam tahun 1981/1982 mencapai sekitar 70 persen dari seluruh
penerimaan dalam negeri.
Memasuki Pelita IV perkembangan harga minyak bumi di pasaran dunia mengalami
perubahan yang sangat cepat dan sulit diperkirakan. Sebagai akibatnya bila dalam masa
sebelumnya penerimaan dari minyak bumi dan gas alam menunjukkan peningkatan, maka
melemahnya harga minyak bumi sejak tahun 1982 yang mencapai titik terendah hingga di
bawah US$ 10 per barel pada bulan Agustus 1986, membawa dampak yang tidak mengun-
tungkan berupa menurunnya jumlah dan peranan penerimaan negara dari sektor minyak bumi
dan gas alam. Perkembangan harga minyak secara lebih rinci dari tahun 1969 sampai dengan
tahun 1988 disajikan dalam Tabel II.2.
Kerawanan yang dapat ditimbulkan dari ketergantungan pembiayaan pembangunan
terhadap penerimaan minyak bumi dan gas alam, telah lama disadari oleh pemerintah. Oleh
karena itu untuk mengurangi ketergantungan tersebut dilakukan berbagai upaya pengerahan
sumber dana dari dalam negeri di luar migas, khususnya dari sektor perpajakan, yaitu dengan
diundangkannya Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang keduanya
berlaku efektif mulai 1 Januari 1984. Sedangkan Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang
dikeluarkan pada saat yang bersamaan, mulai berlaku efektif sejak 1 April 1985. Selanjutnya
peraturan tersebut dilengkapi pula dengan Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan dan Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai. Rangkaian
kebijaksanaan tersebut telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, yaitu berupa
peningkatan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam terutama yang bersumber dari sektor
perpajakan. Di samping itu telah pula berhasil diciptakan suatu iklim perpajakan yang mampu
meningkatkan penerimaan yang lebih besar, di samping iklim yang lebih baik bagi tumbuhnya
dunia usaha. Untuk lebih membangkitkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya pajak
bagi kelangsungan pembangunan, maka beberapa tahun pertama setelah diundangkannya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 31


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kebijaksanaan undang-undang tersebut, secara intensif telah dilakukan berbagai penyuluhan


perpajakan, baik secara langsung ataupun melalui media audio visual dan media cetak. Usaha
ini diimbangi pula dengan peningkatan pelayanan oleh aparat perpajakan yang dibantu dengan
program komputerisasi data perpajakan. Keberhasilan program ini terlihat dari semakin
meningkatnya jumlah wajib pajak, terutama setelah pemerintah memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengajukan pengampunan pajak pada tahun 1984. Di samping itu untuk lebih
mengefektifkan asas penetapan sendiri (self assessment) berdasarkan undang-undang perpajakan
baru, yang lebih menekankan tanggung jawab, kejujuran dan keterbukaan masyarakat sebagai
wajib pajak, maka dalam beberapa tahun pertama pelaksanaan sistem perpajakan baru tersebut,
tidak dilakukan kegiatan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Sementara itu terhadap wajib pajak
yang penyetoran pajaknya lebih dari yang seharusnya, proses pengembalian kelebihan setoran
pajaknya juga dipercepat.
Kebijaksanaan di bidang perpajakan dalam tahun 1988/1989 meliputi pemantapan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam tahun-tahun sebelumnya, seraya
melakukan penyempurnaan administrasi dan organisasi. Di bidang administrasi dilakukan
komputerisasi serta pembakuan dan penyederhanaan administrasi perpajakan. Di bidang
organisasi dilakukan pembenahan sesuai dengan berubahnya sistem perpajakan dari sistem
penghitungan dan penetapan pajak oleh petugas pajak (official assessment) menjadi sistem
penghitungan pajak oleh wajib pajak sendiri (self assessment). Pembaharuan ini meliputi
perubahan dalam struktur, tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak yang disesuaikan dengan
tuntutan tugas-tugas yang ada pada undang-undang pajak yang baru. Di samping itu telah pula
dilakukan berbagai macam pendidikan dan latihan untuk meningkatkan keterampilan dan
keahlian dari aparat perpajakan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan perpajakan yang menyangkut pajak
penghasilan terasa semakin baik, terlihat dari membaiknya tingkat kesadaran para wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban pajaknya, sebagai hasil dari semakin mantapnya pelaksanaan
undang-undang pajak penghasilan. Meningkatnya kesadaran pajak tersebut dapat dilihat antara
lain dari tingkat kepatuhan pengembalian surat pemberitahuan pajak (SPT). Sementara itu untuk
lebih meningkatkan penerimaan pajak telah pula dilakukan pemberian pengakuan dan
penghargaan kepada para wajib pajak yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya
dengan baik. Di samping itu terus pula dilakukan peningkatan pelayanan serta peningkatan
pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya, serta melakukan pengenaan sanksi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 32


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

hukum atas wajib pajak yang tidak patuh.

Sementara itu kebijaksanaan pemerintah di bidang pajak pertambahan nilai diarahkan


untuk lebih memantapkan pelaksanaan Undang-undang nomor 8 tahun 1983 yang telah berjalan
dengan baik. Kebijaksanaan yang telah diambil selama ini bukan hanya bertujuan untuk
menghimpun dana bagi pembangunan tetapi juga diarahkan untuk mendorang tumbuh dan
berkembangnya industri dalam negeri. Selain itu terhadap pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan milik pemerintah yang dibiayai dengan dana dari luar negeri berupa hibah atau
pinjaman, maka kewajiban pembayaran pajak pertambahan nilainya tetap ditanggung oleh
pemerintah. Sedangkan untuk lebih mendorong tumbuhnya perekonomian nasional yang
semakin sehat serta guna memberi rangsangan bagi sektor-sektor tertentu, maka terhadap
pengusaha kena pajak diberikan penangguhan pembayaran pajak pertambahan nilai atas
pembelian impor mesin-mesin yang langsung digunakan dalam proses produksinya.

Di bidang bea masuk, kebijaksanaan yang telah diambil pemerintah di samping sebagai
upaya untuk meningkatkan sumber penerimaan negara, juga diarahkan untuk mengatur impeL
Setelah mempunyai peranan yang cukup besar dalam penerimaan dalam negeri selama Pelita I,
peranan penerimaan bea masuk telah semakin menurun. Hal ini bukan saja karena
meningkatnya peranan penerimaan migas khususnya dalam Pelita II dan Pelita III, akan tetapi
juga berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi dan perkembangan impor untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan makin majunya industri dalam negeri,
maka komposisi impor bertambah menjadi lebih banyak terdiri dari bahan baku dan barang
modal. Dalam kaitan ini beberapa paket kebijaksanaan penyesuaian di bidang impor telah
dilakukan secara berkesinambungan. Guna memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap
produksi dalam negeri yang memberikan nilai tambah yang tinggi dan banyak menyerap tenaga
kerja, terhadap bahan baku dan barang jadi yang telah dapat dihasilkan di dalam negeri,
dikenakan bea masuk yang lebih tinggi. Untuk bahan baku yang belum diproduksi di dalarn
negeri, sedangkan pemanfaatannya sangat diperlukan dalam proses produksi, pengenaan
taripnya ditetapkan lebih rendah dari sebelumnya. Sementara itu untuk menunjang kegiatan
industri terutama industri yang menghasilkan barang-barang ekspor, tarip bea masuknya juga
disederhanakan, sehingga menjadi bervariasi antara 0 sampai 60 persen. Sedangkan guna
melindungi industri dalam negeri, telah diatur pengenaan tarip bea masuk dan bea masuk
tambahan untuk 190 nomor tarip pos.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 33


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.2

HARGA EKSPOR MINYAK BUMI INDONESIA


( dalam US $ per barel )

Tahun Harga minyak Migas

1969 Januari 1,67


1971 April 2,21
1972 April 2,96
1973 April 3,73
1974 April 11,70
1975 Oktober 12,80
1977 Januari 13,55
1979 Januari 13,90
April 15,65
Desember 25,50
1980 Januari 27,50
Februari 29,50
Mei 31,50
1981 Januari 35,00
1982 November 34,53
1983 Maret 29,53
1984 Desember 29,53
1985 Februari 28,53
1986 Januari 25,13
Februari 21,00
Maret 14,45
April 10,66
Juni 12,11
Agustus 9,83
September 12,20
Desember 13,07
1987 Januari 15,39
Februari 17,58
Juli 18,83
Desember 16,93
1988 Januari 17,22
Februari 17,20
Maret 15,45
April 16,04
Mei 16,46
Juni 16,45
Juli 15,24
Agustus 14,55
September 13,88
Oktober 11,98
November 12,35
Desember 13,46 *)

*) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 34


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Di bidang cukai, pemerintah senantiasa melakukan penyesuaian harga pita dan harga
dasar penetapan cukai. Kebijaksanaan cukai yang menyangkut bidang cukai tembakau, cukai
gula, cukai bir, dan cukai alkohol sulingan, telah pula dilakukan penyempurnaan. Pengenaan
cukai tembakau senantiasa diarahkan agar mampu memberikan sumbangan yang semakin besar
kepada penerimaan negara, di samping diupayakan untuk mendorong semakin tumbuh dan
berkembangnya industri-industri tembakau dan rokok agar dapat menyerap tenaga kerja yang
lebih besar.
Sementara itu untuk lebih menggalakkan ekspor komoditi nonmigas, kebijaksanaan
pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan diarahkan untuk mendorong ekspor barang jadi,
membatasi ekspor bahan mentah, serta untuk menjaga kelestarian sumber alam. Untuk itu tarip
pajak ekspor untuk beberapa komoditi tertentu, seperti rotan dan kayu gergajian, telah dinaikkan
guna lebih menggalakkan industri pengolahan dalam negeri. Untuk maksud tersebut, maka
mulai 1 Juli 1988 pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan larangan ekspor rotan mentah
dan rotan setengah jadi. Sedangkan untuk lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya industri
pengolahan kayu dan menjaga kelestarian lingkungan alam, serta dalam rangka meningkatkan
kesempatan kerja, pemerintah telah menetapkan tarip 30 persen terhadap ekspor kayu gergajian.
Sedangkan untuk komoditi nonmigas lainnya seperti kelapa sawit dan minyak kelapa sawit, agar
dapat bersaing di pasaran internasional, pajak ekspornya telah diturunkan menjadi nol persen.
Pajak bumi dan bangunan (PBB), yang menggantikan iuran pembangunan daerah (Ipeda) dan
pajak kekayaan, juga memberikan peranan yang cukup besar bagi penerimaan dalam negeri dari
sumber di luar minyak bumi dan gas alam. Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 12
tahun 1985, telah pula dikeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan yang terus disempurnakan
dalam tahun-tahun berikutnya. Pelaksanaan pajak bumi dan bangunan telah menunjukkan
berbagai kemajuan yang terlihat dari pelayanan administrasi yang semakin baik, dan perbaikan
sistem inventarisasi obyek pajaknya. Di samping itu langkah-Langkah perbaikan dalam
penerbitan surat pemberitahuan pajak terhutang serta pengawasan pembayarannya diharapkan
akan makin meningkatkan penerimaan jenis pajak ini. Semakin baiknya dukungan yang
diberikan oleh pemerintah daerah ikut pula mendukung keberhasilan pelaksanaan undang-
undang ini. Di bidang pajak lainnya, hasil dari pelaksanaan Undang-undang nomor 13 tahun
1985 tentang bea meterai telah semakin efektif dalam mendukung peningkatan penerimaan bea
meterai. Di bidang penerimaan bukan pajak, usaha-usaha peningkatan efisiensi BUMN yang
telah diambil pada masa sebelumnya telah mampu mendorong meningkatnya keuntungan, yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 35


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pada giIirannya meningkatkan bagian pemerintah daripada laba BUMN. Di samping itu telah
pula diadakan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan penerimaan bukan pajak di berbagai
departemen atau lembaga.
Berbagai upaya yang telah diambil pemerintah tersebut telah menunjukkan hasil yang
menggembirakan, yang terlihat dari meningkatnya penerimaan dalam negeri, khususnya berupa
pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Penerimaan pajak penghasilan yang dalam
tahun 1983/1984 mencapai jumlah sebesar Rp 1.932,3 milyar telah meningkat menjadi Rp
2.121,0 milyar dalam tahun 1984/1985, dan Rp 2.313,0 milyar dalam tahun 1985/1986.
Selanjutnya dalam tahun 1987/1988 telah meningkat lagi menjadi sebesar Rp 2.663,4 milyar,
atau meningkat sebesar 25,6 persen dibandingkan dengan periode awal Pelita IV. Kenaikan ini
sangat membesarkan hati mengingat dalam tahun-tahun tersebut perekonomian nasional sedang
menghadapi kendala-kendala yang cukup berat. Sedangkan di bidang pajak pertambahan nilai
penerimaannya juga mengalami peningkatan. Dalam tahun 1984/1985 penerimaan ini baru
berjumlah sebesar Rp 878,0 milyar, sedangkan dalam tahun 1987/1988 realisasinya telah
mencapai sebesar Rp 3.390,4 milyar yang berarti meningkat menjadi hampir tiga kalinya.
Perkembangan berbagai jenis penerimaan pajak sejak 1969/1970 - 1987/1988 secara rinci dapat
dilihat dalam Tabel II.3.

Kenaikan penerimaan dari sektor perpajakan ini telah menyebabkan penerimaan dalam
negeri semakin tangguh, karena sedikit demi sedikit telah mampu melepaskan
ketergantungannya pada penerimaan minyak bumi dan gas alam. Namun demikian penerimaan
dari sektor minyak masih merupakan sumber dana yang penting, di samping sebagai
penyumbang devisa yang besar yang diperlukan bagi pembangunan. Harga minyak yang turun
drastis dalam tahun 1986/1987, berangsur-angsur telah membaik walaupun belum begitu
menggembirakan. Kalau dalam bulan Agustus 1986 harga minyak mentah Indonesia di pasaran
dunia telah mencapai titik yang rendah yaitu sebesar US$ 9,83 per barel, maka pada awal tahun
1988 harga minyak telah mencapai sebesar US$ 17,22 per barel, sedikit menurun menjadi US$
17,20 dalam bulan Februari 1988, dan dalam bulan Maret 1988 turun lagi menjadi US$ 15,45
per barel.
Akibat dari keadaan tersebut, penerimaan dalam negeri dalam tahun 1986/1987 untuk
pertama kalinya mengalami penurunan atau lebih rendah dari tahun sebelumnya, yaitu dari
sebesar Rp 19.252,8 milyar dalam tahun 1985/1986 menjadi hanya sebesar Rp 16.140,6 milyar,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 36


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

atau 16,2 persen lebih rendah. Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya penerimaan dari
sektor minyak bumi dan gas alam, yaitu dari sebesar Rp 11.144,4 milyar dalam tahun 1985/1986
menjadi sebesar Rp 6.337,6 milyar, yang berarti terjadi penurunan sebesar 43,1 persen, yang
tidak dapat diimbangi oleh penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam yang dalam periode
tersebut meningkat sebesar 20,9 persen. Sementara itu membaiknya harga minyak dalam tahun
1987 telah membawa pengaruh yang menggembirakan pada penerimaan dalam negeri, sehingga
penerimaan dalam negeri dalam tahun 1987/1988 mencapai jumlah sebesar Rp 20.803,3 milyar,
atau naik sebesar 28,9 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh
meningkatnya penerimaan minyak bumi dan gas alam sebesar 58,5 persen, sedangkan
penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam meningkat sebesar 9,7 persen dari periode yang
sama tahun sebelumnya. Selanjutnya perkembangan penerimaan dalam negeri yang meliputi
penerimaan migas dan penerimaan di luar migas sejak 1969/1970 - 1987/1988 dapat dilihat
dalam Tabel II.4 dan Grafik II.1.

2.2.3. Penerimaan pembangunan

Arah kebijaksanaan pembangunan, sebagaimana tertuang dalam Garis-garis Besar


Haluan Negara, menyatakan bahwa kebutuhan pembiayaan bagi pembangunan diutamakan
untuk dibiayai oleh sumber dari dalam negeri, sedangkan bantuan luar negeri hanya berlaku
sebagai unsur pelengkap, sepanjang tidak ada ikatan politik, syarat-syaratnya tidak mem-
beratkan, serta penggunaannya ditujukan hanya untuk proyek-proyek yang berprioritas dan
bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan disadarinya bahwa dana pembiayaan bagi pem-
bangunan yang dapat dihimpun dari dalam negeri belum memadai, sementara usaha-usaha
pembangunan yang telah dicapai sekarang ini perlu terus dilanjutkan agar arah dan tujuan
pembangunan tidak terganggu, maka pemerintah masih memandang perlu adanya dana bantuan
luar negeri yang pemanfaatannya pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
ekonomi nasional dalam melaksanakan pembangunan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 37


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.3
PENERIMAAN PAJAK, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
Tahun Pajak Pajak Bea Pajak Ipeda + Pajak Pajak
Pertambahan Cukai Kekayaan/paj Jumlah
Anggaran Penghasilan 1) Nilai 2) Masuk Ekspor Bangunan Lainnya
PELITA I
1969/1970 43 31 57,7 32,1 7,4 0,1 3,5 174,8
1970/1971 52,7 40,4 70,7 38,9 25 0,1 4,5 232,3
1971/1972 68 46,4 69,4 40,4 28,1 0,2 7,3 259,8
1972/1973 87,9 62,3 73,2 47,3 32,7 15,4 6,7 325,5
1973/1974 140,3 105,3 128,2 61,7 68,6 20 11,6 535,7
PELITA II
1974/1975 225,8 153,8 160,6 74,4 70,3 28,5 16,5 729,9
1975/1976 305,9 191,7 174 97,3 61,6 35,9 17,1 883,5
1976/1977 381,9 264,5 257,4 130,7 61,7 44,3 11,7 1.152,20
1977 /1978 503,8 318 286,9 181,9 81,2 55,6 15,7 1.443,10
1978/1979 617,2 346,6 295,3 252,9 166,2 68 19,8 1.766,00
PELITA III
1979/1980 792,5 329,4 316,7 326,4 389,1 74,6 21,2 2.249,90
1980/1981 1.112,20 460,7 448 437,9 305 91,9 36 2.891,70
1981/1982 1.367,10 533,9 536,2 544,2 128,5 100,3 38,2 3.248,40
1982/1983 1.706,50 707,6 521,9 620,1 82,5 112,5 61,2 3.812,30
1983/1984 1.932,30 830,6 557 773,2 104 144,9 51,5 4.393,50
PELITA IV
1984/1985 2.121,00 878 530,1 872,6 91 180,6 115 4.788,30
1985/1986 2.313,00 2.326,70 607,3 943,7 50,5 224,5 151,2 6.616,90
1986/1987 2.270,50 2.900,10 960,1 1.055,80 78,8 190 190,4 7.645,70
1987/1988 2.663,40 3.390,40 938,4 1.105,70 183,5 275,1 222,9 8.779,40
1988/1989 3.762,10 4.787,60 1.068,30 1.331,50 144,4 322 272 11.687,90
a) APBN
1) sampai dengan tahuh 1983/1984, terdiri dari pajak pendapatan, pajak perseroan, MPO dan PBDR
2) sampai dengan tahun 1984/1985, terdiri dari pajak penjualan dan pajak penjualan impor.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 38


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l II.4
PENERIMAAN MIGAS DAN PENERIMAAN DI LUAR MIGAS,
1969/1970 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
Penerimaan Penerimaan Penerimaan
Tahun minyak bumi di luar minyak bumi
dan gas alam dan gas alam dalam negeri
PELITA I
1969/1970 65,8 177,9 243,7
197.0/1971 99,2 245,4 344,6
1971/1972 140,7 287,3 428
1972/1973 230,5 360,1 590,6
1973/1974 382,2 585,5 967,7
PELITA II
1974/1975 957,2 796,5 1.753,70
1975/1976 1.248,00 993,9 2.241,90
1976/1977 1.635,30 1.270,70 2.906,00
1977 /1978 1.948,70 1.586,70 3.535,40
1978/1979 2.308,70 1.957,40 4.266,10
PEL ITA III
1979/1980 4.259,60 2.437,20 6.696,80
1980/1981 7.019,60 3.207,40 10.227,00
1981/1982 8.627,80 3.584,80 12.212,60
1982/1983 8.170,40 4.247,90 12.418,30
1983/1984 9.520,20 4.912,50 14.432,70
PELITA IV
1984/1985 10.429,90 5.475,60 15.905,50
1985/1986 11.144,40 8.108,40 19.252,80
1986/1987 6.337,60 9.803,00 16.140,60
1987/1988 10.047,20 10.756,10 20.803,30
1988/1989 1) 8.855,80 12.947,20 21.803,00
1) APBN

Menjelang awal Pelita I, ketika bangsa Indonesia memulai pembangunan berencana


lima tahunannya, dihadapi keadaan ekonomi yang benar-benar sangat memprihatinkan, dengan
angka inflasi yang tinggi, langkanya bahan kebutuhan pokok, dan kesulitan-kesulitan lainnya.
Semuanya ini merupakan hambatan bagi pelaksanaan pembangunan, di pihak lain dana
pembiayaan dalam negeri belum dapat digali sepenuhnya. Berdasarkan keadaan tersebut, pada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 39


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

awal Pelita I bantuan luar negeri banyak berperan sebagai alat stabilisasi harga, melalui bantuan
proyek dan bantuan program. Bantuan luar negeri ini mempunyai peranan yang renting,
khususnya bantuan program yang berupa valuta asing dan bantuan pangan, seperti pupuk,
insektisida, dan karas, yang terlihat dengan berhasil ditekannya angka inflasi pada tingkat yang
wajar. Karena masih sulitnya mobilisasi dana dari dalam negeri, maka selama Pelita I bantuan
luar negeri merupakan 55,4 persen dari dana pembangunan, yaitu dari dana pembangunan yang
berhasil dikumpulkan selama Pelita I sebesar Rp 1.278 milyar, Rp 708,6 milyar diantaranya
berasal dari bantuan luar negeri. Memasuki Pelita II perekonomian nasional sudah cukup
tangguh, sehingga penerimaan dalam negeri sudah mulai meningkat dengan pesat. Dengan
demikian dana pembangunan yang dikumpulkan dari dalam negeri berupa tabungan pemerintah,
yaitu selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, telah meningkat dalam
jumlah yang besar. Peningkatan dana pembangunan dari dalam negeri ini menyebabkan peranan
bantuan luar negeri menjadi semakin keeil. Dalam Pelita II bantuan luar negeri hanya
merupakan 36,2 persen dari seluruh dana pembangunan. Dengan berhasilnya pembangunan
ekonomi terutama di sektor pertanian, peranan bantuan program yang berupa bantuan pangan
menjadi semakin berkurang. Sementara itu dengan semakin membaiknya harga minyak bumi
serta ditemukannya bahan baru yaitu gas alam telah mendorong peningkatan penerimaan dalam
negeri dalam jumlah yang semakin besar. Sebagai akibatnya maka dalam Pelita III bantuan luar
negeri peranannya dalam dana pembangunan hanya tinggal sekitar 30 persen.

Sementara itu APBN tahun 1986/1987 disusun atas dasar perkiraan harga minyak
mentah sebesar US$ 25 per bare!. Dengan terjadinya penurunan harga minyak yang drastis dan
cepat hingga mencapai tingkat di bawah US$ 10 per barel pada bulan Agustus 1986, maka hal
itu telah menyebabkan menurunnya kemampuan penerimaan dalam negeri terutama yang
bersumber dari migas, yang sangat mengganggu keseimbangan pelaksanaan APBN. Rendahnya
penerimaan dalam negeri yang direncanakan tersebut, apabila tidak dilakukan langkah-langkah
khusus, akan mengharuskan diadakannya penyesuaian berupa penurunan pengeluaran
pembangunan, terutama bagi proyek-proyek yang sedang dilaksanakan yang dananya
diharapkan dari penerimaan dalam negeri. Dalam hal ini, guna menghindari kerugian yang
makin besar bila proyek yang sedang berjalan tersebut terpaksa dihentikan, maka pemerintah
mengambillangkah darurat dengan mengambil kebijaksanaan untuk mencairkan sebagian
pinjaman luar negeri untuk dirupiahkan dan dimasukkan dalam APBN sebagai bantuan program.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 40


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dengan kebijaksanaan tersebut, bantuan program yang dalam masa lima tahun sebelumnya rata-
rata hanya sebesar Rp 42,7 milyar, dalam tahun 1986/1987 realisasinya meningkat menjadi Rp
1.957,5 milyar. Selanjutnya hingga tahun 1988/1989 sumbangan penyediaan sumber dana dalam
negeri dari sektor migas justru menunjukkan tingkat yang makin rendah. Di lain pihak,
meskipun penerimaan di luar migas telah mampu meningkat dengan pesat, namun karena
kebutuhan dana pembangunan yang tinggi maka dana pembiayaan rupiah yang diperlukan
tersebut belum mampu dipenuhi dari sumber dalam negeri. Dalam hubungan ini maka
pemerintah melakukan berbagai usaha guna mendapatkan dana bantuan luar negeri yang bersifat
lunak yang dapat dirupiahkan untuk mempertahankan tingkat investasi yang direncanakan, yang
pada gilirannya dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan pada tingkat yang diinginkan.
Rincian perkembangan penerimaan pembangunan dapat dilihat dalam Tabel 11.5.

2.2.4. Pengeluaran rutin


Pengeluaran rutin mencakup berbagai pengeluaran negara yang diperlukan untuk
membiayai kegiatan operasional pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, guna men-
dukung pelaksanaan program pembangunan. Di samping itu, pengeluaran rutin juga me-
nampung pos-pos yang berkaitan dengan pembayaran hutang pemerintah di dalam dan di luar
negeri, serta berbagai pengeluaran untuk pemeliharaan kekayaan negara. Sebagai bagian dari
pengeluaran negara, pengeluaran rutin mempunyai peranan dan fungsi yang cukup penting di
dalam memperlancar roda pemerintahan. Sekalipun pengeluaran tersebut tidak secara langsung
berkaitan dengan kegiatan pembentukan modal untuk tujuan peningkatan produksi, namun
pengeluaran rutin berpengaruh luas di dalam menunjang tercapainyaa hasil-hasil pembangunan,
melalui kelancaran kegiatan pemerintahan, penyediaan dan peningkatan fasilitas kerja, serta
peningkatan kapasitas dan motivasi kerja daripada segenap aparatur pemerintah. Usaha
peningkatan kesejahteraan pegawai serta pendayagunaan kekayaan negara secara lebih optimal
melalui penyediaari biaya operasi dan pemeliharaan yang ditujukan bagi kelancaran kegiatan
pemerintahan adalah sama pentingnya dengan upaya peningkatan investasi baru. Perhatian ke
arah itu pada saat ini telah mendapat penekanan yang lebih besar, selaras dengan usaha untuk
meningkatkan pembangunan di bidang fiisik. Perkembangan pengeluaran rutin secara terinci
sejak tahun 1969/1970 - 1988/1989 dapat diikuti dalam Tabel II.6 dan Grafik 11.2.
Salah satu pengeluaran yang cukup besar dalam pengeluaran rutin adalah pengeluaran
untuk pembayaran gaji dan pensiun bagi pegawai negeri sipil dan anggota ABRI. Pengeluaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 41


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tersebut bersama-sama dengan pengeluaran lain-lain seperti tunjangan beras, biaya makan, dan
lain-lain yang berhubungan dengan pembiayaan kegiatan aparatur pemerintah, baik di dalam
maupun di luar negeri, dikelompokkan dalam pos belanja pegawai. Dalam Pelita III rata-rata
belanja pegawai setiap tahunnya mencapai 33,8 persen daripada seluruh belanja rutin, sehingga
merupakan kelompok yang menyerap dana terbesar dalam pengeluaran rutin. Sedangkan dalam
Pelita IV peranannya menunjukkan sedikit penurunan akibat dari membesarnya pembayaran
hutang luar negeri dalam beberapa tahun terakhir.
Pengeluaran untuk belanja pegawai senantiasa mendapat perhatian utama pemerintah, karena
pengeluaran ini secara langsung berhubungan dengan kesejahteraan pegawai negeri secara
keseluruhan. Hal ini terlihat dari usaha pemerintah untuk meningkatkan gaji pegawai negeri
sipil dan anggota ABRI serta pensiunan secara bertahap. Sejak tahun 1979/1980 sampai dengan
1985/1986, pemerintah setiap tahunnya meningkatkan pendapatan aparat pemerintahan, baik
melalui kenaikan gaji dan pensiun maupun melalui pemberian gaji bulan ke tigabelas.
Pemberian kenaikan gaji dan tunjangan tersebut didasarkan pada kenaikan biaya hidup di satu
pihak dan kemampuan keuangan pemerintah di lain pihak. Keterbatasan keuangan negara dalam
beberapa tahun terakhir telah menyebabkan tidak dapat disesuaikannya gaji pegawai negeri dan
anggota ABRI dalam tahun 1986/1987 dan tahun 1987/1988. Keadaan tersebut erat kaitannya
dengan merosotnya harga minyak mentah dunia secara cepat dalam tahun 1986/1987 dan tidak
menentunya harga minyak mentah di pasaran dunia semenjak itu. Di lain pihak penerimaan
pemerintah dari sektor non migas, terutama dalam tahun 1986/1987 dan 1987/1988, masih
belum dapat sepenuhnya menggantikan penurunan penerimaan di sektor migas. Hal ini telah
mengakibatkan berkurangnya kemampuan pemerintah di dalam meningkatkan anggaran
pengeluarannya, termasuk untuk memperbaiki kesejahteraan aparatnya. Gambaran
perkembangan belanja pegawai sejak tahun 1969/1970 - 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel
11.7. Di samping itu dalam beberapa tahun terakhir ini kewajiban pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri pemerintah semakin meningkat, yaitu dari sebesar Rp 3.303,1 milyar dalam
tahun 1985/1986 menjadi Rp 10.608,0 milyar dalam APBN 1988/1989. Tekanan-tekanan
tersebut telah semakin membatasi ruang gerak pemerintah, sekaligus menyulitkan pemerintah di
dalam mengalokasikan anggaran pengeluaran negara pada bidang-bidang lainnya, baik untuk
pengeluaran rutin maupun pembangunan.
Keterbatasan kemampuan keuangan negara tersebut juga telah mengakibatkan
pengeluaran pemerintah untuk belanja barang semakin terbatas. Sejak tahun 1986/1987

Departemen Keuangan Republik Indonesia 42


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengeluaran untuk pos ini menunjukkan penurunan secara bertahap, yaitu dari sebesar Rp
1.367,1 milyar dalam tahun 1985/1986 menjadi Rp 1.366,5 milyar dalam tahun 1986/1987 dan
terus menurun hingga Rp 1.329,3 milyar dalam tahun 1987/1988. Dengan penurunan tersebut
perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan efisiensi dan penajaman prioritas pada setiap
pengeluaran pemeritah, khususnya di dalam pengeluaran untuk operasional perkantoran, seperti
penggunaan listrik, telepon, gas, dan air, pembelian inventaris kantor, serta pemeliharaan rumah
dinas dan kendaraan bermotor. Upaya efisiensi tersebut tidaklah harus dilakukan dengan
mengurangi pembelian barang, jasa, dan selektivitas pengadaannya, namun lebih ditekankan
pada pemanfaatan yang maksimal daripada peralatan dan kekayaan pemerintah yang sudah ada.
Dengan demikian efisiensi yang dilakukan tersebut tidak akan berakibat pada menurunnya
kegiatan kerja, bahkan sebaliknya diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan prestasi
kerja secara optimal dengan biaya yang tersedia.
Dalam rangka peningkatan efisiensi tersebut, sekaligus untuk mendorong langkah-
langkah debirokratisasi, pemerintah telah menyempurnakan tata cara pengadaan barang dan jasa
keperluan pemerintah, yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden No. 29 tahun 1984.
Dalam ketentuan baru yang dituangkan dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1988, tatacara
pengadaan barang tidak perlu lagi dilakukan secara terpusat, namun dapat dilaksanakan oleh
kantor, satuan kerja, dan proyek, di lingkungan departemen dan lembaga pemerintah, termasuk
pemerintah daerah, badan usaha milik negarajdaerah, dan bank-bank milik negara sendiri,
dengan memperhatikan petunjuk dari Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan Industri
dan Pembangunan. Dalam peraturan tersebut juga ditetapkan pejabat yang berwenang untuk
mengambil keputusan mengenai pemenang dalam pelelangan. Kepala kantor, satuan kerja, atau
pemimpin proyek, diberikan wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengadaan yang
bernilai sampai dengan Rp 500 juta, sedangkan Direktur Jenderal atau pejabat yang setingkat
berwenang memutuskan untuk pengadaan yang bernilai di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 1
milyar. Selanjutnya Menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen atau pejabat yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 43


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l II.5
PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam milar rupiah)

Tahnn Bantuan 1) Bantuan Jumlah


Program Proyek
PELITA I
1969/1970 65,7 25,3 91
1970/1971 78,9 41,5 120,4
1971/1972 90,5 45 135,5
1972/1973 95,5 62,3 157,8
1973/1974 89,8 114,1 203,9
PELITA II
1974/1975 36,1 195,9 232
1975/1976 20,2 471,4 491,6
1976/1977 10,2 773,6 783,8
1977 /1978 35,8 737,6 773,4
1978/1979 48,2 987,3 1.035,50
PELIT A III
1979/1980 64,8 1.316,30 1.381,10
1980/1981 64,1 1.429,70 1.493,80
1981/1982 45,1 1.663,90 1.709,00
1982/1983 15,1 1.924,90 1.940,00
1983/1984 14,9 3.867,50 3.882,40
PELITA IV
1984/1985 69,3 3.408,70 3.478,00
1985/1986 69,2 3.503,40 3.572,60
1986/1987 1.957,50 3.794,70 5.752,20
1987/1988 727,8 5.430,20 6.158,00
1988/1989 2) 1.163,00 5.997,60 7.160,60
1) Sejak 198611987, bantuan program termasuk bantuan luar negeri
2) APBN.

setingkat adalah yang berwenang untuk pengadaan yang bernilai di atas Rp 1 milyar sampai
dengan Rp 3 milyar. Dalam hal pengadaannya bernilai di atas Rp 3 milyar, pelaksanaannya
harus mendapat keputusan dari Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan
Pengawasan Pembangunan. Dalam hubungan ini, setiap pengadaan barang dan jasa tersebut
harus mendapat pemeriksaan kemudian (post-audit) oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), untuk diteliti dalam hal kebenaran jumlah, kualitas barang dan jasa,
serta kewajaran harganya.

Di dalam pengeluaran rutin juga ditampung pengeluaran untuk subsidi kepada daerah,
yaitu untuk membantu pemerintah daerah di dalam membiayai kegiatan operasional
pemerintahan dan pelaksanaan program-program pemerintah yang dilaksanakan di daerah.
Sebagian besar dari pemberian subsidi tersebut digunakan untuk pembayaran gaji/pensiun dan
tunjangan bagi pegawai daerah otonom dan pegawai negeri sipil pusat yang diperbantukan pada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 44


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

daerah, seperti guru Inpres, dokter, dan paramedis. Di samping itu subsidi daerah otonom juga
mencakup pemberian bantuan biaya operasional kepada rumah sakit pendidikan, rumah sakit
khusus dan umum, masing-masing di daerah tingkat I dan tingkat II, serta bantuan pengganti
sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) untuk sekolah dasar negeri. Bantuan keuangan bagi
daerah otonom pada dasarnya mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan pemerataan
pembangunan ke seluruh daerah di Indonesia. Hal ini berkaitan erat dengan masih relatif kecil
dan tidak meratanya pendapatan asli daerah, dan dalam rangka mencapai perimbangan keuangan
yang lebih serasi antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Dengan demikian di samping untuk
mencapai pengembangan kegiatan pembangunan yang lebih merata secara nasional, subsidi
kepada daerah otonom diarahkan untuk mendukung pelaksanaan program-program pemerintah
pusat yang dilaksanakan di daerah-daerah secara lebih baik. Sekalipun demikian berbagai upaya
telah dilakukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan cara menggali potensi
sumber dana daerah dengan lebih intensif. Secara bertahap bantuan keuangan dari pemerintah
pusat diharapkan dapat dikurangi dan daerah-daerah dapat lebih mandiri di dalam membiayai
kegiatan pembangunannya.

Selaras dengan semakin meningkatnya usaha pembangunan ke daerah-daerah,


khususnya untuk mengembangkan sektor pertanian, sektor pendidikan dan sektor kesehatan,
subsidi kepada daerah otonom juga semakin meningkat. Dalam tahun terakhir Pelita IV (tahun
1988/1989), subsidi daerah otonom telah mencapai Rp 2.893,0 milyar, atau sekitar 14 persen
dari seluruh anggaran rutin. Sedangkan pada akhir Pelita III, yaitu da!am tahun 1983/1984
jumlah subsidi yang diberikan baru mencapai Rp 1.547,0 milyar. Sebagian dari peningkatan
subsidi tersebut diakibatkan oleh kenaikan jumlah pegawai baru Inpres dan non Inpres, bantuan
kepada pamong desa di desa yang berpenghasilan kurang, serta pemberian gaji bagi lurah dan
perangkatnya. Dalam hubungan ini subsidi daerah otonom mempunyai pengaruh yang cukup
luas terhadap kesejahteraan pegawai dan pensiunan di daerah serta kelancaran operasional
pemerintah daerah pada umumnya. Guna lebih memantapkan kesinambungan pembangunan
daerah di masa-masa yang akan datang, struktur keuangan daerah diusahakan untuk lebih
bertumpu pada sumber pendapatan asli daerah, sedangkan dana dari instansi pusat akan
merupakan pendamping/pelengkap bagi dana pendapatan asli daerah tersebut.

Selain subsidi kepada daerah otonom, pengeluaran rutin juga menampung beberapa
subsidi untuk tujuan stabilisasi ekonomi. Subsidi tersebut berupa subsidi bahan bakar minyak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 45


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

(BBM), yang dimaksudkan untuk menutupi selisih antara biaya produksi dengan penerimaan
hasil penjualan BBM di dalam negeri. Beberapa jenis BBM, seperti super, premium, avtur, dan
avgas .sebenarnya memberikan laba pada pemerintah, oleh karena harga jualnya melebihi biaya
produksi rata- ratanya. Namun untukjenis BBM lainnya, terutama minyak tanah, minyak diesel,
dan solar, harga jualnya lebih rendah daripada biaya produksi rata-ratanya. Sampai saat ini
minyak tanah merupakan salah satu jenis BBM yang paling banyak digunakan oleh masyarakat,
terutama untuk kebutuhan rumahtangga. Dalam tahun 1988/1989 jumlah yang dikonsumsi
masyarakat diperkirakan mencapai 6.942 kilo liter, atau merupakan 26,0 persen dari keseluruhan
konsumsi BBM dalam negeri. Sedangkan minyak diesel dan minyak solar pada umumnya
digunakan sebagai sumber daya pembangkit listrik dan bahan bakar angkutan jalan raya.
Subsidi BBM pada dasarnya banyak ditentukan oleh harga minyak bumi di pasaran
internasional. Semakin tinggi harga minyak bumi di pasaran dunia, semakin tinggi pula biaya
produksi untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM, sehingga dengan harga jual di dalam
negeri yang tidak berubah, kenaikan harga tersebut akan menimbulkan beban subsidi yang
membesar. Pemberian subsidi BBM terbesar tercatat dalam tahun 1981/1982, yang mencapai Rp
1.316,4 milyar, namun dengan semakin menurunnya harga minyak bumi sejak 1982, subsidi
BBM juga terus menunjukkan penurunan. Bahkan dalam tahun 1986/1987 pemerintah
memperoleh laba sebesar Rp1.101,0 milyar dari hasil penjualan BBM dalam negeri, sebagai
akibat dari menurunnya harga minyak bumi di pasaran internasional. Dalam tahun 1987/1988
realisasi subsidi BBM kembali meningkat menjadi Rp 401,8 milyar, yang terutama disebabkan
oleh makin tingginya harga minyak mentah di pasaran internasional sebagai akibat dari semakin
terkendalinya produksi minyak mentah dunia. Subsidi lainnya yang pernah diberikan
pemerintah diantaranya adalah subsidi pangan, yaitu subsidi terhadap impor beras dan gandum
guna menjaga kestabilan harga bahan makanan pokok tersebut di pasaran dalam negeri. Subsidi
pangan tersebut diberikan pada saat Indonesia harus mengimpor bahan makanan guna menjaga
dan memperkuat stok dalam negeri. Pemberian subsidi impor pangan yang berlangsung antara
tahun 1979-1982 tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1980/1981 dengan jumlah subsidi
sebesar Rp 281,7 milyar. Namun dengan semakin tingginya produksi dalam negeri sehingga
dieapai swasembada pangan maka subsidi impor pangan sejak tahun 1983/1984 tidak diberikan
lagi. Pada dasarnya setiap pemberian subsidi adalah bersifat sementara, yaitu untuk mengurangi
guncangan dan peningkatan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dalam periode
tertentu. Oleh karenanya subsidi hanya akan diberikan pada jenis pengeluaran tertentu dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 46


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dalam periode tertentu saja. Perkembangan subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun
1969/1970 - 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel II.8.
T a b e l II.6
PENGELUARAN RUTIN, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah )
Belanja Belanja Subsidi Bunga dan Lain-
Tahun Daerah Cicilan Jumlah
pegawai barang Otonom Hutang lain
-1 -2 -3 -4 -5 -6 (7) .
PELITA I
1969/1970 103,8 50,3 44,1 14,4 3,9 216,5
1970/1971 131,4 62,6 56,2 25,6 12,4 288,2
1971/1972 163,4 67,1 66,8 46,6 5,2 349,1
1972/1973 200,4 95,4 83,9 53,4 5 438,1
1973/1974 268,9 110,1 108,6 70,7 155 713,3
PELITA II
1974/1975 420,1 175,2 201,9 73,7 145,2 1.016,10
1975/1976 593,9 304,9 284,5 78,5 70,8 1.332,60
1976/1977 636,6 339,8 313 189,5 150,9 1.629,80
1977/1978 893,2 376,8 478,4 228,3 172,2 2.148,90
1978/1979 1.001,60 419,5 522,3 534,5 265,8 2.743,70
PELITA III
1979/1980 1.419,90 569 669,9 684,1 718,9 4.061,80
1980/1981 2.023,30 670,6 976,1 784,8 1.345,20 5.800,00
1981/1982 2.277,10 922,7 1.209,10 931,1 1.637,60 6.977,60
1982/1983 2.418,10 1.041,20 1.315,40 1.224,50 997,1 6.996,30
1983/1984 2.757,00 1.057,10 1.547,00 2.102,60 948,1 8.411.8
PELrrA IV
1984/1985 3.046,80 1.182,80 1.883,30 2.776,50 539,6 9.429,00
1985/1986 4.018,30 1.367,10 2.489,00 3.323,10 754 11.951,50
1986/1987 4.310,60 1.366,50 2.649,70 5.058,10 174,4 13.559,30
1987/1988 4.616,90 1.329,30 2.815,60 8.204,60 515,1 17.481,50
1988/19891) 4.816,30 1.333,20 2.893,00 10.648,00 375,5 20.066,00
1)APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 47


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l 11.7
BELANJA PEGAWAI, 1969/1970 - 988/1989
( dalam milyar rupiah)
Tunjangan Gaji dan Uang Lain-lain Belanja
Tahun belanja pegawai Jumlah
beras pensiun makan peg. d.n. I. n.
-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7
PELITA I
1969/1970 28,8 56,4 10,7 3,8 4,1 103,8
1970/1971 33,5 70,6 11,7 10,8 4,8 131,4
1971/1972 31,9 99,7 12,1 14,5 5,2 163,4
1972/1973 31,3 131,6 14,6 17,3 5,6 200,4
1973/1974 50,6 173,9 16,8 20,2 7,4 268,9
PELITA II
1974/1975 59,5 301,7 24,4 24,7 9,8 420,1
1975/1976 111,9 400 43,5 25,8 12,7 593,9
1976/1977 114,9 424,8 45,7 36,9 14,3 636,6
1977/1978 126,2 672,9 47,8 31,5 14,8 893,2
1978/1979 132,8 760,3 51,2 33,6 23,7 1.001,60
PELITA III
1979/1980 179,9 1.053,90 109,9 47,1 29,1 1.419,90
1980/1981 252 1.482,90 193,2 61,2 34 2.023,30
1981/1982 253,3 1.660,40 240,5 79,5 43,4 2.277,10
1982/1983 289,9 1.749,00 254,9 78,6 45,7 2.418,10
1983/1984 346,1 1.996,00 261,3 87,6 66 2.757,00
PELITA IV
198411985 407 2.206,60 271,4 89,7 72,1 3.046,80
1985/1986 402 3.072,60 300,4 161,1 82,2 4.018,30
1986/1987 406,1 3.330,00 288,3 176,6 109,6 4.310,60
1987/1988 450,6 3.561,00 299,1 176,3 129,9 4.616,90
1988/1989l) 482,5 3.739,20 323,2 140,8 130,6 4.816,30
l)APBN

Sementara itu pos pengeluaran terbesar dalam kelompok pengeluaran rutin dalam
beberapa tahun terakhir ini adalah pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri.
Semenjak tahun 1986/1987 pos ini telah melampaui besarnya penyediaan anggaran untuk
belanja pegawai, yang dalam waktu-waktu sebelumnya merupakan pos pengeluaran rutin
terbesar. Peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang secara cepat sebenarnya telah mulai
dirasakan semenjak akhir tahun 70-an, yaitu pada saat nilai rupiah tidak lagi dikaitkan
sepenuhnya dengan dolar Amerika. Namun kenaikan pembayaran hutang luar negeri pada
dasarnya diakibatkan oleh kenaikan hutang luar negeri yang jatuh tempo serta oleh kenaikan
kurs valuta asing. Penyebab utama dari kenaikan pembayaran bunga dan cicillan hutang luar
negeri dalam 3 tahun terakhir adalah apresiasi mata uang yen Jepang dan mata uang negara-
negara industri maju lainnya terhadap dolar Amerika, di samping perubahan kurs rupiah ter-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 48


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

hadap valuta asing. Seperti diketahui pemerintah telah mengambil kebijaksanaan devaluasi
dalam tahun 1978, 1983 dan 1986 sehingga mengakibatkan kenaikan kurs valuta asing dalam
jumlah yang cukup besar. Kenaikan-kenaikan tersebut telah mengakibatkan proporsi pem-
bayaran hutang luar negeri dalam pengeluaran rutin semakin membesar. Dalam tahun
1986/1987 proporsi pembayaran hutang luar negeri mencapai 37,3 persen dari seluruh
pengeluaran rutin, yang terus meningkat menjadi 46,7 persen dalam tahun 1987/1988, dan
menjadi sebesar 52,9 persen dalam tahun 1988/1989.
Sebagian dari pengeluaran rutin juga digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran khusus,
seperti Pemilihan Umum, upah pungut PBB, serta pembayaran jasa-jasa pos dan giro, termasuk
bebas porto, bagi kegiatan surat menyurat dinas pemerintah. Pengeluaran-pengeluaran tersebut
karena beragam sifatnya dikelompokkan dalam pos pengeluaran rutin lainnya.

2.2.5. Tabungan Pemerintah


Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi atau pembentukan modal
nasional adalah melalui pengadaan tabungan pemerintah. Tabungan pemerintah tersebut dapat
ditingkatkan apabila kenaikan penerimaan dalam negeri bergerak lebih cepat daripada kenaikan
pengeluaran rutin. Dalam sejarah pembangunan ekonomi semenjak Pelita I, tabungan
pemerintah menunjukkan peningkatan yang besar pada saat harga minyak bumi di pasaran
intemasional meningkat. Hal ini terutama terjadi antara tahun 1973/1974 dan tahun 1974/1975,
serta antara 1979/1980 dan tahun 1980/1981, yang menyebabkan penerimaan dalam negeri
meningkat dengan kenaikan yang cukup besar dan jauh melebihi kenaikan pengeluaran rutin.
Sejak awal Pelita I sampai dengan tahun kedua Pelita IV tabungan pemerintah terus
menunjukkan kenaikan yang mantap dengan kenaikan rata-rata sebesar 99,7 persen per tahun
dalam Pelita II, dan sebesar 59,1 persen per tahun dalam Pelita Ill. Peningkatan tabungan
pemerintah ini bersama-sama dengan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri,
merupakan sumber dana/modal pemerintah yang digunakan bagi investasi pada berbagai proyek
pembangunan, yang dalam APBN dicerminkan dalam pos pengeluaran pembangunan.
Tabungan pemerintah yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya mencapai
jumlah tertinggi dalam tahun 1985/1986, dengan jumlah tabungan pemerintah sebesar Rp
7.301,3 milyar. Namun dengan merosotnya harga minyak bumi secara cepat dalam tahun
1986/1987, tabungan pemerintah telah pula merosot tajam, sehingga dalam tahun 1986/1987
jumlah tabungan pemerintah hanya mencapai Rp 2.581,3 milyar atau menurun sebesar 64,6

Departemen Keuangan Republik Indonesia 49


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan tabungan pemerintah tersebut terjadi
oleh karena peningkatan penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas belum dapat
mengimbangi penurunan penerimaan dari sektor migas yang cukup tajam. Dalam tahun
T a b e l II.8
SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK
1969/1970 -1988/1989
(dalam milyar rupiah)

Tahun Anggaran Subsidi pangan Subsidi bahan bakar


PELITA I i k
1969/1970 - -
1970/1971 - -
1971/1972 - -
1972/1973 - -
1973/1974 153,4 -
PELITA II
1974/1975 141 -
1975/1976 50 -
1976/1977 39,1 -
1977/1978 - 65,1
1978/1979 43,5 197
PELITA III
1979/1980 124,9 534,9
1980/1981 281,7 1.021,70
1981/1982 223,5 1.316,40
1983/1984 1,1 961,5
1984/1985 - 928,1
PELITA IV
1984/1985 - 506,7
1985/1986 - 374,2
1986/1987 - -
1987/1988 - 401,8
) - 266,5
1988/19891

1) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 50


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1987/1988 tabungan pemerintah kembali meningkat menjadi Rp 3.321,8 milyar. Hal ini
berkaitan erat dengan upaya pemerintah untuk menggali sumber-sumber penerimaan pemerintah
dari sektor nonmigas, disamping agak membaiknya harga minyak mentah di pasaran dunia. Di
dalam hal ini upaya untuk meningkatkan tabungan pemerintah tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan pengeluaran rutin. Kebijaksanaan ini telah mendasari jumlah tabungan
pemerintah yang direncanakan sebesar Rp 1.737,0 milyar dalam APBN 1988/1989.
Perkembangan tabungan pemerintah sejak tahun 1969/1970 hingga tahun 1988/1989 dapat
diikuti dalam Tabel 11.9 dan Grafik 11.3.

2.2.6. Pengeluaran pembangunan

Pelaksanaan pembangunan nasional dalam tahun anggaran 1988/1989 ini telah berada
dalam tahun terakhir Pelita IV. Setahap demi setahap serta secara berkesinambungan dan
berencana sejak Pelita I hingga Pelita IV, terus diupayakan peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan seluruh rakyat. Untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi tersebut
diperlukan adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yang sangat ditentukan
oleh besarnya investasi yang dilakukan setiap tahunnya, baik di sektor negara maupun di sektor
swasta. Sejak Pelita I hingga sekarang, investasi di sektor negara dilaksanakan melalui anggaran
pengeluaran pembangunan berupa tabungan Pemerintah dan bantuan luar negeri pada berbagai
sektor ekonomi. Dalam periode Pelita II dan Pelita III, tingkat investasi yang dilakukan di sektor
negara cukup tinggi, yang dimungkinkan karena adanya penerimaan minyak bumi dan gas alam
yang cukup besar. Namun pada saat ini penerimaan yang besar dari sektor minyak bumi dan gas
alam sebagai sumber dana investasi tidak dapat diharapkan lagi. Penurunan harga minyak bumi
sejak tahun 1982 telah menurunkan penerimaan dalam negeri, yang berarti pula memperkecil
dana yang tersedia bagi anggaran belanja negara. Oleh karena itu peran serta sektor masyarakat
dan dunia usaha dalam pembangunan perlu semakin dikembangkan dan ditingkatkan. Dalam
rangka itulah sejak beberapa tahun yang lampau hingga saat ini Pemerintah telah
mengambillangkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi, yang mencakup berbagai
kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan dana investasi bagi pembangunan, antara
lain melalui peningkatan ekspor nonmigas, peningkatan penerimaan pajak, dan pengerahan
dana-dana masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan dan perbankan.
Terbatasnya dana pembangunan yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan investasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 51


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l II.9
TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/1970 - 1988/1989
(dalam milyar rupiah)

Tahun Anggaran Jumlah Kenaikan

PELITA I
1969/1970 27,2
1970/1971 56,4 29,2
1971/1972 78,9 22,5
1972/1973 152,5 73,6
1973/1974 254,4 101,9

PELITA II
1974/1975 737,6 483,2
1975/1976 909,3 171,7
1976/1977 1.276,20 366,9
1977/1978 1.386,50 110,3
1978/1979 1.522,40 35,9

PELITA III
1979/1980 2.635,00 1.112,60
1980/1981 4.427,00 1.792,00
1981/1982 5.235,00 808
1983/1984 5.422,00 187
1984/1985 6.020,90 598,9
PELITA IV
1984/1985 6.476,50 455,6
1985/1986 7.301,30 824,8
1986/1987 2.581,30 -4.720,00
1987/1988 3.321,80 740,5
1988/19891) 1.737,00 -1.584,80

1) APBN

mengharuskan disusunnya prioritas bagi investasi. Sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai,
dana anggaran pembangunan dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan tahapan yang
direncanakan dalam Repelita. Dalam Pelita I pembangunan dititikberatkan pada sektor pertanian
dengan sektor industri sebagai pendukung, dimana pada tahap tersebut peningkatan pendapatan
nasional yang tinggi menjadi perhatian utama. Dalam tahap selanjutnya sektor pertanian tetap
menjadi titik berat pembangunan bersama dengan sektor industri yang mengolah bahan mentah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 52


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menjadi bahan baku. Pada tahap ini pemenuhan kebutuhan pokok rakyat mendapat perhatian
pertama. Selanjutnya pada tahapan ke tiga, pembangunan diarahkan pada sektor pertanian yang
menuju swasembada pangan bersama dengan sektor industri yang mengolah bahan baku
menjadi barang jadi, dimana pada tahap ini penyebaran pemerataan pendapatan nasional guna
mengurangi kesenjangan antara golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah sangat diperhatikan. Sedangkan pada tahapan
ke empat titik berat diletakkan pada sektor pertanian untuk melanjutkan swasembada pangan
dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik berat
maupun industri ringan, dim ana pada tahapan ini peningkatan kualitas hidup manusia
mendapatkan perhatian utama.
Sesuai dengan Trilogi Pembangunan, pembangunan yang dilaksanakan tidaklah
semata-mata ditujukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun
juga sekaligus dikaitkan dengan usaha pemerataan, baik dalam menikmati hasil-hasil
pembangunan maupun dalam memikul beban pembangunan. Dalam rangka itu, dalam
pelaksanaannya alokasi dana pembangunan senantiasa memperhatikan pula penyebaran proyek-
proyek pembangunan sektoral ke seluruh daerah di Indonesia, yang disesuaikan dengan potensi
kemampuan daerah masing-masing. Di samping itu, dilakukan pula alokasi dana pengeluaran
pembangunan pada proyek-proyek daerah melalui program Instruksi Presiden (Inpres). Program
ini menyangkut program bantuan dana pembangunan untuk Dari I, kabupaten, dan desa,
program penyediaan prasarana pendidikan dasar, prasarana kesehatan dan prasarana pasar,
program bantuan penunjangan jalan, serta program reboisasi dan penghijauan. Melalui
pengalokasian dana tersebut diharapkan dapat dikurangi kesenjangan pembangunan antara satu
daerah dan daerah lainnya, serta kesenjangan yang terjadi antara golongan masyarakat
berpenghasilan tinggi dengan golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Selanjutnya
pemilihan proyek-proyek diarahkan pada proyek-proyek yang produktif dan efisien serta banyak
menyerap tenaga kerja.
Sejalan dengan arah dan tujuan yang hendak dicapai, maka di dalam pelaksanaan
proyek-proyek pembangunan, telah diambil kebijaksanaan untuk mengutamakan pengusaha
nasional, khususnya pengusaha ekonomi lemah. Dalam hat pekerjaan proyek tersebut perlu
ditangani bukan oleh pengusaha ekonomi lemah, maka pengusaha tersebut diharuskan
mengikutsertakan pengusaha ekonomi lemah di tempat proyek berada atau yang terdekat dengan
tempat tersebut, baik sebagai sub kontraktor ataupun sebagai pemasok barang, bahan, dan jasa.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 53


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Selanjutnya bila suatu pekerjaan proyek masih harus ditangani oleh kontraktor atau konsultan
asing, karena belum dapat dilakukan atau karena persyaratan teknisnya belum dapat dipenuhi
oleh kontraktor atau konsultan nasional, maka kontraktor atau konsultan asing tersebut
diharuskan bekerjasama dengan kontraktor atau konsultan nasional. Sementara itu dalam
pengadaan barang dan jasa, diambil kebijaksanaan bahwa sepanjang telah dapat diproduksi di
dalam negeri maka harus digunakan barang dan jasa hasil produksi dalam negeri. Sedangkan
apabila pelaksanaan proyek berbantuan luar negeri di sertai dengan syarat bahwa
pemboronganjpembelian barang dan jasa hanya dapat dilakukan secara terbatas di negara
pemberi bantuan, maka diusahakan agar hat itu terbatas pada pemboronganjpembelian barang
dan jasa yang benar-benar belum dapat dihasilkan atau belum ada kemampuan untuk dapat
dihasilkan di dalam negeri. Dengan cara demikian diharapkan dapat terbuka kesempatan kerja
bagi masyarakat di sekitar lokasi tempat proyek berada dan daerah sekitarnya, yang berarti pula
memberikan sumber pendapatan bagi penduduk daerah. Perkembangan pengeluaran
pembangunan sejak tahun 1969/1970 hingga tahun 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel II.10
dan Tabel II.11.
Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata, di samping dilakukan melalui penyebaran
pembangunan proyek-proyek sektoral ke seluruh penjuru tanah air, juga dilakukan melalui
pembangunan proyek-proyek daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah masing-masing
dengan bantuan dana dari Pemerintah pusat. Alokasi pengeluaran pembangunan pada proyek-
proyek khusus ini diharapkan dapat membantu daerah dalam meningkatkan kemampuan dan
partisipasi masyarakatnya dalam pembangunan. Alokasi pengeluaran pembangunan
padaproyek-proyek tersebut secara umum dikenal dengan nama proyek lnpres, yang terdiri dari
subsidi desa, subsidi kabupaten, dan subsidi Dari I, di samping bantuan yang bersifat khusus
untuk proyek-proyek tertentu yang langsung menyentuh masyarakat yang berpenghasilan
rendah, seperti proyek-proyek pembangunan sekolah dasar, pusat kesehatan masyarakat, jalan
kabupaten, penghijauan dan reboisasi, serta pembangumin pasar. Selain daripada itu
pembangunan daerah juga dibiayai oleh dana hasil pungutan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 54


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l II.10
PENGELUARAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 - 1988/1989
(dalam milyar rupiah)

Pembiayaan
Tabungan Penerimaan
Tahun Anggaran Jumlah 1) Pemerintah Pembangunan

PELITA I
1969/1970 118,2 27,2 91
1970/1971 176,8 56,4 120,4
1971/1972 214,4 78,9 135,5
1972/1973 310,3 152,5 157,8
1973/1974 458,3 254,4 203,9
PELITA II
1974/1975 969,6 737,6 232
1975/1976 1.400,90 909,3 491,6
1976/1977 2.060,00 1.276,20 783,8
1977/1978 2.159,90 1.386,50 773,4
1978/1979 2.557,90 1.522,40 1.035,50
PELITA III
1979/1980 4.016,10 2.635,00 1.381,10
1980/1981 5.920,80 4.427,00 1.493,80
1981/1982 6.944,00 5.235,00 1.709,00
1982/1983 7.362,00 5.422,00 1.940,00
1983/1984 9.903,30 6.020,90 3.882,40
PELITA IV
1984/1985 9.954,50 6.476,50 3.478,00
1985/1986 10.873,90 7.301,30 3.572,60
1986/1987 8.333,50 2.581,30 5.752,20
1987/1988 9.479,80 3.321,80 6.158,00
1988/1989 2) 8.897,60 1.737,00 7.160,60

1) Termasuk saldo anggaran lebih


2) A P B N

Departemen Keuangan Republik Indonesia 55


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l II.11
PENGELUARAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 - 1988/1989 1)
(dalam milyar rupiah)
Departemen/ Daerah/ Jumlah
Tahun Anggaran Lainnya 2)
Lembaga Inpres
PELIT I
1969/1970 79,8 5,5 7,6 92,9
1970/1971 83 32,7 12,4 128,1
1971/1972 102,6 37,3 11 150,9
1972/1973 150 57,8 28,1 235,9
1973/1974 167,3 85,7 83,8 336,8
PELITA II
1974/1975 221,6 158,3 386 765,9
1975/1976 384,9 234,2 307,2 926,3
1976/1977 590,9 285 405 1.280,90
1977 /1978 744,5 366,3 308,4 1.419,20
1978/1979 851 431,1 286,2 1.568,30
PELITA III
1979/1980 1.480,30 548,9 668,7 2.697,90
1980/1981 2.533,20 807,6 1.145,60 4.486,40
1981/1982 2.724,60 1.134,00 1.417,60 5.276,20
1982/1983 3.260,90 1.090,40 1.083,40 5.434,70
1983/1984 3.219,60 1.447,50 1.364,60 6.031,70
PELITA IV
1984/1985 3.474,40 1.526,20 1.542,60 6.543,20
1985/1986 4.466,50 1.502,60 1.400,60 7.369,70
1986/1987 2.003,50 1.466,50 1.067,30 4.537,30
1987/1988 1.384,60 1.334,30 1.328,30 4.047,20
1988/1989 3) 1.120,40 1.372,80 406,8 2.900,00
I) Diluar bantuan proyek
2) Terdiri dari PMP, LLP dan Subsidi Pupuk
3) A P B N

Besamya alokasi anggaran untuk berbagai bentuk bantuan pembangunan daerah


tersebut, selain ditentukan oleh kemampuan keuangan negara, juga didasarkan pada beberapa
faktor yang berkaitan dengan masing-masing wilayah, yaitu banyaknya penduduk dan luasnya
wilayah. Keikutsertaan daerah dalam menentukan proyek-proyek yang akan dibangun pada
masing-masing daerah diwujudkan melalui peranan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) didalam merumuskan dan mengusulkan program dan proyek bagi masing-masing
daerah. Dengan demikian proyek-proyek yang akan dibangun dapat lebih sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah serta sejalan dengan proyek-proyek pembangunan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 56


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

lainnya di daerah, sehingga dapat dinikmati manfaat yang sebesar- besamya dari proyek-proyek
tersebut. Di samping itu melalui proyek pembangunan tersebut telah ditingkatkan pula
partisipasi penduduk dan daerah dalam pembangunan.
Sementara itu bentuk bantuan daerah lainnya, yaitu pembangunan sekolah dasar, pusat
kesehatan masyarakat, jalan kabupaten, penghijauan dan reboisasi, serta pembangunan pasar, di
samping dapat meningkatkan mutu lingkungan hidup daerah pedesaan, dapat secara langsung
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar proyek tersebut melalui lapangan
kerja yang diciptakannya. Melalui program pembangunan sekolah dasar yang telah berlangsung
sejak tahun 1973/1974, telah dibangun beribu-ribu prasarana pendidikan sekolah dasar yang
dilengkapi dengan sarana pendidikan lainnya. Program dalam rangka pencerdasan rakyat ini
mempunyai tujuan untuk memberikan kesempatan belajar bagi anak- anak tingkat usia sekolah
dasar di seluruh penjuru tanah air. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa bila pada
permulaan pelaksanaan program ini baru dibangun sebanyak 6.000 unit gedung sekolah dasar,
dalam tahun 1982/1983 selain pembangunan lebih daripada 20.000 gedung sekolah dasar juga
telah dibangun rumah kepala sekolah dan penjaga sekolah, serta penyediaan buku-buku dan
peralatan olah raga. Selain itu mengingat pemeliharaan hasil pembangunan merupakan faktor
yang renting, maka dalam program tersebut termasuk pula rehabilitasi terhadap sekolah dasar
yang telah ada. Dalam tahun anggaran terakhir Pelita IV ini, melalui program ini direncanakan
pembangunan sebanyak 400 unit gedung sekolah dasar, penambahan ruang kelas sebanyak
1.000 unit, rehabilitasi gedung sekolah dasar sebanyak 166.380 gedung, pembangunan rumah
kepala sekolah dan penjaga sekolah sebanyak 200 gedung, serta penyediaan buku bacaan
sebanyak 8 juta buku dan buku Paket A sebanyak 10 juta buku. Perkembangan mengenai Inpres
sekolah dasar sejak tahun 1973/1974 - 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel II.12.
Apabila melalui program Inpres sekolah dasar ingin dicapai peningkatan taraf hidup
melalui upaya peningkatan tingkat kecerdasan masyarakat, maka dalam Inpres kesehatan
diusahakan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kedua usaha tersebut sama pentingnya
dalam menyiapkan suatu masyarakat yang mempunyai kualitas yang tinggi sebagai pelaku
pembangunan. Melalui program Inpres kesehatan yang telah dilaksanakan sejak tahun
1973/1974, telah berhasil dibangun beribu-ribu pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan
Puskesmas pembantu, serta rumah bagi tenaga medis. Selain itu telah disediakan pula sarana
bagi penyediaan air bersih, serta sarana pembuangan kotoran dan air limbah. Dalam tahun
1988/1989 direncanakan pembangunan sebanyak 5 buah Puskesmas, 80 Puskesmas pembantu,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 57


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

150 buah rumah tenaga medis, serta penyediaan obat-obatan senilai Rp 450,00 per penduduk. Di
samping itu akan dilakukan pula rehabilitasi terhadap 1.200 buah Puskesmas dan Puskesmas
pembantu yang telah ada, serta penyediaan air bersih sebanyak 8.500 buah. Gambaran mengenai
perkembangan Inpres kesehatan sejak tahun 1973/1974 - 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel
II.13.
Pelaksanaan pembangunan selain memberikan hasil-hasil yang telah dilihat dan
dirasakan hingga. saat ini, kadang-kadang menimbulkan pula dampak negatif terhadap
lingkungan hidup. Penebangan hutan secara liar telah mengakibatkan turunnya produktivitas
tanah dan mutu lingkungan hidup serta bencana alam lainnya. Sehubungan dengan itu guna
memperbaiki keadaan sumber alam, baik tanah, hutan, maupun air khususnya di daerah kritis,
sejak tahun 1976/1977 telah dialokasikan pengeluaran pembangunan untuk Inpres penghijauan
dan reboisasi. Dalam tahun 1988/1989 telah disediakan anggaran pembangunan untuk kegiatan
ini sebesar Rp 16,2 milyar, yang akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
penghijauan dan reboisasi. Perkembangan Inpres penghijauan dan reboisasi sejak tahun
1976/1977 - 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel II.14.
Program Inpres lainnya adalah Inpres pembangunan jalan kabupaten, yang digunakan
untuk perbaikan jalan-jalan dan jembatan-jembatan di seluruh kabupaten. Melalui kelancaran
arus lalu-lintas yang didapat dengan adanya pembangunan prasarana tersebut dimungkinkan
peningkatan kegiatan ekonomi penduduk serta terbukanya daerah yang semula terisolir,
sehingga akan menunjang proyek-proyek pembangunan di daerah. Perkembangan mengenai
Inpres penunjang jalan sejak tahun 1979/1980 - 1988/1989 dapat dilihat dalam Tabel II.15.
Berbagai macam proyek inpres yang telah diuraikan di atas, selain memberikan manfaat
langsung berupa prasarana dan sarana yang dihasilkan karena adanya proyek-proyek tersebut,
sekaligus juga telah menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, yang berarti pula
memberikan sumber pendapatan bagi rakyat banyak. Dengan demikian melalui proyek-proyek
ini diharapkan adanya pemerataan pendapatan yang lebih baik.

Suatu bentuk pembiayaan pembangunan daerah yang berasal dari hasil daerah itu
sendiri adalah pembiayaan pembangunan dengan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB),
yang sebelumnya dikenal sebagai iuran pembangunan daerah dan telah dipadu dengan pajak
kekayaan. Pajak daerah yang dipungut dengan koordinasi Pemerintah pusat ini merupakan suatu
sumber pembiayaan yang potensial bagi daerah, karena sumber pembiayaan ini berasal dari

Departemen Keuangan Republik Indonesia 58


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

daerah dan akan kembali digunakan untuk pembangunan proyek-proyek di daerah. Dengan
demikian untuk dapat meningkatkan proyek-proyek pembangunan di daerahnya, pemerintah
daerah sangat berkepentingan untuk meningkatkan pemungutan pajak ini. Sumber pembiayaan
proyek-proyek pembangunan daerah ini, yang dalam tahun 1987/1988 telah mencapai sebesar
Rp 222.8 milyar, dalam APBN 1988/1989 direncanakan mencapai sebesar Rp 260,8 milyar.
Selain dialokasikan pada berbagai proyek sektoral dan regional, pengeluaran pem-
bangunan juga dialokasikan dalam bentuk penyertaan modal pemerintah (PMP) pada berbagai
bidang usaha, baik yang menyangkut penyediaan jasa-jasa dan pelayanan bagi masyarakat
maupun yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan koperasi. Penyertaan modal
pemerintah tersebut dialokasikan antara lain di bidang-bidang pertanian, perkebunan, industri,
perhubungan, pariwisata dan perkreditan, yang diharapkan dapat mempercepat jalannya
pembangunan ekonomi. Besarnya alokasi dana pembangunan pada PMP tersebut selalu
disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Sejak Pelita I hingga tahun ke empat Pelita
IV, alokasi dana untuk PMP ini telah mencapai jumlah lebih kurang sebesar Rp 3.832,8 milyar.
Sedangkan dalam tahun anggaran 1988/1989 untuk penyertaan modal pemerintah hanya
dialokasikan dana sebesar Rp 87,5 milyar karena adanya keterbatasan pada keuangan negara.
Sementara itu pengeluaran pembangunan yang dialokasikan untuk subsidi pupuk dalam tahun
1988/1989 adalah sebesar Rp 200,0 milyar. Pemberian subsidi pupuk yang dilakukan sejak
tahun 1973/1974 ini diperlukan untuk mempertahankan harga pupuk dan pestisida yang stabil
pada tingkat yang dapat terjangkau petani, sehingga dapat menunjang peningkatan produksi
pertanian menuju swasembada pangan. Lebih kecilnya alokasi subsidi tersebut dibandingkan
dengan periode-periode sebelumnya sangat erat kaitannya dengan keadaan keuangan negara.
Dalam rangka mendorong peningkatan efisiensi, baik dalam memproduksi maupun dalam
penggunaan pupuk, maka mulai bulan Januari 1989Pemerintah akan menaikkan harga pupuk,
yaitu harga pupuk urea dari sebesar Rp 135,00 per kilogram dinaikkan menjadisebesar Rp
165,00 per kilogram, dan harga pupuk TSP dari sebesar Rp 135,00 per kilogram dinaikkan
menjadi sebesar Rp 170,00 per kilogram. Sedangkan harga pestisida yang subsidinya semula
sebesar 55 persen dikurangi menjadi sebesar 40 persen, dan selanjutnya mulai bulan Januari
1989 pemberian subsidi pestisida akan dihapuskan. Dengan demikian jumlah subsidi pupuk dan
pestisida yang harus disediakan dalam APBN dapat dikurangi.

Pengeluaran pembangunan mencakup pula pembiayaan untuk beberapa macam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 59


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengeluaran pembangunan lainnya, yang dialokasikan untuk berbagai program pada bidang-
bidang yang mendapat prioritas dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pem-
bangunan. Dalam tahun 1988/1989 dialokasikan dana sebesar Rp 119,3 milyar, yang antara lain
direncanakan untuk proyek keluarga berencana dan kependudukan, sensus nasional, serta
pengembangan statistik dan lain-lain. Perkembangan mengenai pengeluaran pembangunan di
luar bantuan proyek sejak tahun 1983/1984 dapat dilihat dalam Tabel 11.16 dan Grafik 11.4,
sedangkan mengenai perkembangan realisasi pelaksanaan APBN sejak Pelita I dapat dilihat
dalam Tabel 11.17.

2.3. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1989/1990

2.3.1. Ringkasan

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1989/1990 merupakan


pelaksanaan operasional tahun pertama dari Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima
(Repelita V). Dengan demikian segenap kebijaksanaan yang tertuang di dalam RAPBN tersebut
merupakan penjabaran daripada Pelita V, yang pada hakekatnya mengarah kepada upaya
menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang,
sehingga dalam Pelita VI pembangunan nasional dapat memasuki proses tinggal landas untuk
mewujudkan pembangunan dengan kekuatan sendiri. Rencana pembangunan yang tertuang
dalam RAPBN 1989/1990 tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijaksanaan yang telah
ditempuh dalam APBN dalam masa sebelumnya, di samping dipengaruhi pula oleh keadaan
global perekonomian internasional hingga saat-saat terakhir. Berbagai tekanan yang bersumber
dari menurunnya penerimaan sektor migas, masih belum seimbangnya struktur perdagangan
internasional, dan belum membaiknya situasi moneter internasional, diperkirakan masih
merupakan tantangan yang akan memperberat pelaksanaan pembangunan dalam tahun pertama
Pelita V mendatang. Dalam keterbatasan tersebut, peranan investasi pemerintah yang disalurkan
melalui APBN dalam tahun 1989/1990 masih tetap merupakan faktor penting untuk mendorong
pertumbuhan perekonomian nasional walaupun diperkirakan tidak seperti ketika sumber minyak
masih memberikan sumbangan yang besar bagi dana pembangunan. Selanjutnya di samping
penyusunan RAPBN 1989/1990 didasarkan kepada Repelita V, dan dipersiapkan alas dasar
hasil-hasil yang telah dicapai pada pelaksanaan APBN-APBN sebelumnya, serta dengan
mempertimbangkan perkembangan perekonomian intemasional, penyusunannya juga

Departemen Keuangan Republik Indonesia 60


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menyiratkan kebijaksanaan-kebijaksanaan strategis dan mendasar yang harus ditempuh untuk


mendukung keseluruhan rencana dalam tahun 1989/1990.
T a b e l II.12
INPRES SEKOLAH DASAR, 1973/1974 - 1988/1989

Rumah Kepala Buku Peralatan Jumlah


Tahun Pembangunan Pembangunan Rehabilitasi Sekolah dan Bacaan Olah Raga Bantuan
Gedung SD Ruang Kelas Gedung SD Guru 2) (juta) (paket) (MilyarRp)
1973/1974 6.000 - - 6,6 17,2
1974/1975 6.000 - - 6,9 - 19,7
1975/1976 10.100 10.000 - 7,3 - 49,9
1976/1977 10.000 - 16.000 - 8,6 57,3
1977 /1978 15.000 - 15.000 7,3 - 85
1978/1979 15.000 15.000 15.000 - 8,5 - 111,8
1979/1980 10.000 15.000 15.000 5.000 12,5 155,8
1980/1981 14.000 20.000 20.000 7.500 14 - 249,8
1981/1982 15.000 25.000 25.000 9.500 15 - 374,5
1982/1983 22.600 35.000 25.000 20.000 30 50.000 267,4
1983/1984 13.140 15.700 21.000 50.000 32 96.000 549,3
1984/1985 2.200 12.500 28.500 60.000 32,6 96.000 572
1985/1986 3.200 12.500 31.000 60.000 32,6 157.799 526,1
1986/1987 3.243 7.748 24.565 9.890 16,3 157.500 495,9
1987/1988 831 1.300 157.500 2.400 22,9 3) - 193,3
1988/1989 1) 400 1.000 166.380 200 10 112,5

1) APBN
2) Di daerah terpencil
3) Termasuk 14,9 juta buku paket A ( 20 jilid ) untuk pemberantasan buta huruf .

T a b e l II.13
INPRES KESEHATAN, 1973/1974 - 1988/1989
Obat Rehabilitasi Jumlah
Puskesmas Puskesmas Puskesmas Dokter Puskesmas/ Air Bersih
Tahun per jiwa Baru Pembantu Keliling Paramedis Puskesmas Pedesaan Bantuan
(Rp) Pembantu (milyar Rp)
1973/1974 1 2) - - - - -
1974/1975 - 500 - - - - 10.500 5,3
1975/1976 50 500 - - - 1.500 15.500 15,2
1976/1977 65 350 - - 750 823 15.000 20,8
1977 /1978 65 24 363 600 750 20.061 26,3
1978/1979 70 300 241 338 213 27.900 26,9
1979/1980 90 200 750 125 250 - 25.900 30
1980/1981 150 200 1.000 250 250 - 28.400 50,4
1981/1982 200 200 2.000 500 500 2.300 75.700 78,8
1982/1983 250 200 2.000 500 660 2.900 83.825 80,3
1983/1984 250 200 1.250 500 660 2.500 94.350 87,3
1984/1985 250 100 1.500 500 700 2.500 85.000 64,6
1985/1986 275 100 1.500 500 500 2.600 90.000 110,6
1986/1987 325 100 1.000 200 450 1.600 59.325 107,7
- -
1987/1988 400 80 20 455 5.092 74,03)
1988/19892) 450 5 80 - 150 1.200 8.500 91,1
1) APBN
2) Rp 2 juta per Puskesmas
3) Termasuk melatih 7.500 orang medis dan paramcdis,
serta penempatan 8.300 orang medis dan paramedis.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 61


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l II.14
INPRES PENGHIJAUAN DAN REBOISASI,
1976/1977 -1988/1989

Jumlah Bantuan
Tahun (dalam milyar rupiah)

1976/1977 16
1977/1978 24,5
1978/1979 36
1979/1980 40,8
1980/1981 48,6
1981/1982 70,4
1982/1983 49,6
1983/1984 59,4
1984/1985 61,2
1985/1986 42,5
1986/1987 30,6
1987/1988 16,2
1988/1989 1) 16,2
1) APBN

T a b e 1 II.15
INPRES PENUNJANG JALAN, 1979/1980 - 1988/1989

Tahun Jalan Jembatan Jumlah (milyar Rp)


(km) (m)
1979/1980 2.088 3.692 13
1980/1981 4.360 4.246 25,9
1981/1982 11.466 15.385 54,8
1982/1983 7.607 19.660 42,4
1983/1984 7.500 19.400 64,6
1984/1985 7.500 19.050 101,2
1985/1986 6.085 2.521 70,1
1986/1987 3.905 5.717 74,9
1987/1988 5.871 7.320 164,2
1988/1989 1) 16.241 4.400 180
1) A P B N

Departemen Keuangan Republik Indonesia 62


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Berbagai kebijaksanaan penting yang diharapkan akan ditempuh dalam tahun


1989/1990 pada hakekatnya merupakan upaya pemerintah untuk menjawab tantangan yang
mewarnai rencana penyusunan anggaran, baik yang berasal dari sisi penerimaan negara, maupun
dari sisi pengeluaran negara. Di sisi peneriman negara, masalah rendahnya penerimaan dari
sektor migas tetap merupakan masalah pokok yang harus diperhitungkan dalam menyusun
rencana pembiayaan pembangunan. Sementara itu upaya pengerahan dana dari dalam negeri
yang berasal dari penerimaan pajak, merupakan tugas berat yang harus dipikul dalam tahun
1989/1990 agar rencana yang sudah disusun dapat dipenuhi. Sementara itu pengeluaran rutin
memerlukan peningkatan alokasi dana, terutama karena tekad pemerintah untuk menaikkan gaji
pegawai negeri dan ABRI, serta meningkatnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri.

Harga minyak yang belum menunjukkan kemantapan akhir-akhir ini menjadi masalah
yang pelik dalam menentukan rencana penerimaan minyak dalam RAPBN 1989/1990.
Pengalaman pahit yang pernah terjadi pada pelaksanaan APBN 1986/1987 memberikan
pelajaran, bahwa penentuan harga yang realistis dan lebih hati-hati mutIak diperlukan dalam
memperhitungkan penerimaan migas, agar pelaksanaan rencana yang telah disusun tidak
terbengkalai dan justru menimbulkan banyak kerugian. Berdasarkan pertimbangan tersebut
pemerintah menetapkan harga US$ 14,00 per barel sebagai dasar penyusunan RAPBN
1989/1990, dengan tingkat produksi sesuai dengan kesepakatan OPEC yaitu sebesar 1,4 juta
barel per hari termasuk kondensat. Di samping itu upaya pengerahan sumber dana di luar migas,
yang telah dimulai sejak awal Pelita IV, dalam tahun 1989/1990 akan semakin mendapatkan
penanganan yang serius. Sistem perpajakan baru yang telah mampu memobilisasi dana
perpajakan nasional akan semakin dikembangkan selaras dengan kemajuan perekonomian
nasional dan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Upaya
pengerahan dana di luar migas, terutama yang bersumber dari sektor perpajakan, telah
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dalam Tabel 11.18 dapat dilihat bahwa peranan
penerimaan dari sektor perpajakan, sedikit demi sedikit telah mampu mengganti peranan
penerimaan dari sektor migas.
Peranan penerimaan minyak bumi yang dalam tahun 80-an mampu menyumbangkan sekitar 70
persen dari seluruh penerimaan dalam negeri, dalam tahun terakhir Pelita IV telah menurun
menjadi sekitar 41 persen, dan dalam tahun pertama Pelita V, yaitu tahun 1989/1990,
diperkirakan akan menurun lagi menjadi sekitar 31 persen. Penurunan peranan sektor migas

Departemen Keuangan Republik Indonesia 63


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tersebut telah diimbangi dengan meningkatnya peranan penerimaan di luar migas, khususnya
sektor perpajakan, yaitu dari sekitar 53 persen dalam tahun 1988/1989 meningkat menjadi 59
persen dari seluruh penerimaan dalam negeri dalam tahun 1989/1990. Untuk mendukung
keadaan tersebut, dalam tahun 1989/1990 akan dilakukan ekstensifikasi dan intensifikasi di
bidang perpajakan dalam batas-batas peraturan perundangan yang berlaku. Di bidang pajak
penghasilan, akan ditingkatkan pemanfaatan data dan informasi yang berkaitan dengan usaha
pengenaan pajak, baik data industri, perdagangan maupun data pendukung lain, untuk bahan
penelitian kebenaran laporan pemberitahuan pajak penghasilan badan sebagaimana telah dirintis
masa sebelumnya. Langkah yang sama juga dilakukan di bidang pajak penghasilan
perseorangan, melalui kerjasama yang lebih baik dengan instansi terkait, terutama dengan
Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perumtel, dan Polri, khususnya untuk memperoleh data
pembayaran listrik, telpon, dan pemilikan mobil mewah. Dalam kaitan dengan usaha
meningkatkan investasi dan pengembangan pasar modal, melalui perlakuan yang lebih adil
terhadap pendapatan masyarakat yang diperoleh dari penanaman modal dalam bentuk saham,
maka pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga deposito yang semula ditangguhkan, sejak
bulan November 1988 mulai dikenakan dengan tarif 15 persen dan bersifat final. Selain daripada
itu pajak pertambahan nilai (PPN) yang semula belum diberlakukan untuk jasa-jasa
telekomunikasi dan perhubungan, direncanakan akan dikenakan awal tahun 1989, sedangkan
PPN atas jasa yang semula hanya dikenakan bagi jasa kontraktor, dalam tahun 1989/1990
direncanakan akan diperluas pula sehingga mencakup pada jasa manajemen. Selanjutnya tarif
pajak penjualan atas barang mewah terhadap beberapa jenis barang tertentu dalam tahun
1989/1990 akan dinaikkan. Untuk meningkatkan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB)
akan terus dilakukan penyempurnaan pendataan PBB, penyesuaian klasifikasi nilai jual obyek
pajak (NJOP), serta peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah.
Dalam RAPBN 1989/1990 penerimaan dalam negeri direncanakan berjumlah sebesar
Rp 25.249,8 milyar, yang meliputi penerimaan migas sebesar Rp 7.899,7 milyar dan penerimaan
di luar migas sebesar Rp 17.350,1 milyar. Apabila dibandingkan dengan penerimaan dalam
negeri dalam APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 21.803,0 milyar, berarti terdapat peningkatan
sebesar 15,8 persen. Sedangkan bila penerimaan migas yang direncanakan dalam RAPBN
1989/1990 dibandingkan dengan penerimaan migas dalam tahun sebelumnya, berarti terdapat
penurunan sebesar 10,8 persen, sementara penerimaan di luar migas mengalami peningkatan
sebesar 34,0 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 64


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e 1 II.16
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK
1984/1985 -1988/1989
( dalam milyar rupiah)

Jenis pengeluaran 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1)


I. Pembiayaan Departemen / Lembaga 3.474,40 4.466,50 2.003,50 1.384,60 1.120,40
2. Pembiayaan Pembangunan bagi Daerah 1.526,20 1.502,60 1.466,50 1.334,30 1.372,80
a. Inpres pembangunan desa 92,8 98,6 86.4 102,2 112
b. Inpres pembangunan kabupaten 194,6 188,6 188,1 263 267,2
c. Inpres Pembangunan Dari 1 253 287,3 293,1 290,4 324
d. Inpres sekolah dasar 572 526,1 495,9 193,3 112,5
c. (npres Puskesmas 64,6 110,6 107,7 74 91,1
f. Inpres Pcnghijauan dan reboisasi 61,2 42,5 30,6 16,2 16,2
g. Inpres pembangunan jalan dan jembatan !DI,I 70,1 74,9 164,2 180
h. Inpres pembangunan prasarana pasar 25,5 4,4 11,5 3 3
i. Timor Timur 4,2 6,9 7,3 5,2 6
j. Pembangunan daerah dengan
dans Ipeda/PBB 157,2 167,5 171 222,8 260,8
3. Pembiayaan lainnya 1.542,60 1.400,60 1.067,30 1.328,30 406,8
a. Subsidi pupuk 731,6 477,1 467,3 756,4 200
b. Penyertaan modal pemerintah 336,1 412,3 85,9 57,4 87,5
c. Lain-lain 474,9 511,2 514,1 514;5 119,3
Jumlah 6.543,20 7.369,70 4.537,30 4.047,20 2.900,00
1) A P B N

Tab e l II.17
PELAKSANAAN APBN DALAM PELITA I, II, III DAN IV
(1969/1970 - 1988/1989)
( dalam milyar rupiah)

PEL ITA I 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975

Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi Repelita Realisasi
Penerimaan dalam negeri 228 243,7 276 344,6 324 428 374 590,6 428 967,7 1.630,00 2.574,60
Pengeluaran rutin 204 216,5 243 288,2 281 349,1 319 438,1 357 713,3 1.404,00 2.005,20
Tabungan Pemerintah 24 27,2 33 56,4 43 78,9 55 152,5 71 254,4 226 569,4
Bantuan luar negeri 99 91 120 120,4 180 135,5 209 157,8 225 203,9 833 708,6
a. bantuan program (. 63,0 ) (. 65,7 ) (. 75,0) (. 78,9 ) (. 85,0 ) (. 90,5 ) (. 85,0) (. 95,5 ) (. 85,0) (. 89,8 ) (. 393,0) (. 420,4 )
b, bantuan proyek (. 36,0) (. 25,3 ) E 45,0 ) (. 41,5 ) (. 95,0) (. 45,0 ) (. 124,0 ) (. 62,3 ) (. 140,0 ) (. 114,1 ) (. 440,0 ) (. 288,2 )
Dana pembangunan 123 118,2 153 176,8 723 214,4 264 310,3 296 458,3 1.059,00 1.278,00
Pengeluaran pembangunan 123 118,2 153 169,6 223 195,9 264 298,2 296 450,9 1.059,00 1.232,80
a. rupiah (. 87,0 ) (. 92,9 ) (. 108,0) -128,1 (. 128,0) -150,9 -140 -235,9 -156 -336,8 (. 619,0) -944,6

Departemen Keuangan Republik Indonesia 65


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.18
PERANAN PENERIMAAN DARI SEKTOR MIGAS,
SEKTOR PERPAJAKAN, DAN SEKTOR BUKAN PAJAK, APBN 1988/1989 DAN RAPBN 1989/1990
(dalam persentase)

Jenis Penerimaan APBN RAPBN


1988/1989 1989/1990
1 Minyak bumi dan gas alam 40,6 31,3
2 Di luar minyak bumi dan gas alam 53,6 59
3 Penerimaan bukan pajak 5,8 9,7
Jumlah penerimaan dalam negeri 100 100

Sementara itu pengelolaan anggaran pengeluaran rutin pada hakekatnya tetap


melanjutkan kebijaksanaan masa sebelumnya, yaitu senantiasa melakukan langkah-langkah
efisiensi dan penghematan dengan keterbatasan dana yang tersedia, tanpa mengurangi kualitas
dan jumlah pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan makin luasnya aktivitas pelayanan,
serta semakin banyaknya hasil-hasil pembangunan yang memerlukan perawatan, maka jumlah
anggaran rutin dalam tahun 1989/1990 tetap mengalami peningkatan. Peningkatan ini di
samping disebabkan oleh bertambahnya pengeluaran gaji dan pensiun sebagai akibat dari
bertambahnya pegawai, kenaikan gaji berkala, dan kenaikan golongan/jabatan, juga disebabkan
oleh tekad pemerintah untuk menaikkan gaji dan pensiun pegawai negeri dan anggota ABRI,
yang pada gilirannya diharapkan akan mampu mendorong produktivitas kerja dalam
mengemban tugas-tugas pembangunan. Selanjutnya terjadi pula peningkatan untuk pengeluaran
subsidi daerah otonom, yang berkaitan erat dengan meningkatnya belanja pegawai daerah,
sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai tersebut.
Sedangkan peningkatan yang cukup besar terjadi pada pengeluaran untuk pembayaran bunga
dan cicilan hutang, terutama akibat semakin besamya hutang yang telah jatuh tempo, serta
meningkatnya nilai mata uang asing terhadap rupiah. Berdasarkan hal pertimbangan tersebut,
besarnya pengeluaran rutin dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan sebesar Rp 23.445,0 milyar,
atau sekitar 64,1 persen dari seluruh pengeluaran negara. Apabila dibandingkan dengan yang
direncanakan dalam APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 20.066,0 milyar, berarti terdapat
peningkatan sebesar 16,8 persen.

Berdasarkan rencana penerimaan dalam negeri sebesar Rp 25.249,8 milyar dan


pengeluaran rutin sebesar Rp 23.445,0 milyar, maka dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 66


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dapat dihimpun tabungan pemerintah sebesar Rp 1.804,8 milyar. Apabila dibandingkan dengan
rencana tabungan Pemerintah tahun sebelumnya sebesar Rp 1.737,0 milyar, berarti terdapat
peningkatan sebesar Rp 67,8 milyar atau 3,9 persen. Selanjutnya tabungan pemerintah tersebut
bersama-sama dengan bantuan program, akan digunakan untuk pembiayaan berbagai proyek
pembangunan. Menurunnya penyediaan dana rupiah dari dalam negeri, khususnya dari sektor
migas, telah diupayakan untuk diimbangi dengan pengerahan penerimaan yang bersumber di
luar migas, terutama dari sektor perpajakan. Meskipun usaha tersebut telah menghasilkan
peningkatan penerimaan dari sektor pajak yang cukup pesat, namun tuntutan pembiayaan
proyek-proyek pembangunan yang semakin besar, menimbulkan berbagai tekanan dalam
penyediaan dana rupiah. Dalam kaitan ini pemerintah telah mengadakan pendekatan kepada
negara-negara donor untuk memperoleh dana pinjaman jangka panjang yang bersifat lunak.
Pendekatan yang dilaksanakan Pemerintah tersebut membawa hasil yang positip, bahkan
beberapa negara donor telah memberikan pinjaman lunak yang dapat dirupiahkan yang
digunakan untuk mendukung pembiayaan daripada proyek-proyek pembangunan yang
dilaksanakan dalam tahun anggaran 1988/1989 dan 1989/1990. Dengan berbagai pertimbangan
di atas, penerimaan pembangunan dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan mencapai jumlah
sebesar Rp 11.325,1 milyar, yang meliputi bantuan program sebesar Rp 1.798,9 milyar, dan
bantuan proyek sebesar Rp 9.526,2 milyar. Dalam bantuan program sebesar Rp 1.798,9 milyar
tersebut termasuk bantuan luar negeri yang dirupiahkan sebesar Rp 1.727,3 milyar. Apabila
dibandingkan dengan penerimaan pembangunan yang direncanakan dalam APBN 1988/1989
yang besarnya Rp 7.160,6 milyar, berarti penerimaan pembangunan dalam RAPBN 1989/1990
tersebut meningkat sebesar 58,2 persen. Berdasarkan penerimaan pembangunan yang
direncanakan sebesar Rp 11.325,1 milyar, ditambah dengan kemampuan menghimpun dana dari
dalam negeri berupa tabungan pemerintah yang direncanakan sebesar Rp 1.804,8 milyar, maka
dalam RAPBN 1989/1990 akan dapat disediakan dana pembangunan sebesar Rp 13.129,9
milyar, yang selanjutnya dipergunakan sebagai pembiayaan pembangunan berbagai proyek yang
direncanakan, baik sektoral maupun regional. Pengelolaan dana pembangunan secara sektoral
akan senantiasa diselaraskan dengan sektor-sektor yang mendapatkan prioritas utama dalam
Pelita V, yang dilaksanakan oleh seluruh departemen/lembaga non departemen. Sedangkan
penyebaran proyek-proyek antara berbagai daerah serta alokasi dana yang bersifat khusus
regional diusahakan merata ke seluruh tanah air. Di samping itu pengeluaran pembangunan juga
menampung pengeluaran untuk subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah, dan lain-lain

Departemen Keuangan Republik Indonesia 67


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengeluaran pembangunan. Berdasarkan pengalokasian dana tersebut, pengeluaran pem-


bangunan dalam RAPBN 1989/1990 yang direncanakan sebesar Rp 13.129,9 milyar, dialo-
kasikan sebagai pengeluaran departemen/lembaga sebesar Rp 1.474,0 milyar, pembiayaan
Inpres sebesar Rp 1.241,9 milyar, dan pengeluaran pembangunan lain sebesar Rp 887,8 milyar.
Sementara itu besarnya pengeluaran bantuan proyek dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan
sebesar Rp 9.526,2 milyar. Bila dibandingkan dengan rencana pengeluaran pembangunan dalam
APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 8.897,6 milyar, berarti pengeluaran pembangunan dalam
RAPBN 1989/1990 tersebut telah meningkat sebesar 47,6 persen.

2.3.2. Penerimaan dalam negeri


Dalam melaksanakan prinsip anggaran berimbang dan dinamis yang tetap diper-
tahankan dalam Pelita V, penerimaan dalam negeri merupakan kunci penentu kesinambungan
pembangunan. Hal ini terjadi karena besarnya dana yang tersedia untuk pengeluaran pem-
bangunan sangat tergantung kepada kemampuan menghimpun dana di dalam negeri, sedangkan
sumber dana dari luar negeri dipergunakan sebagai pelengkap. Dengan demikian pengerahan
sumber-sumber dana dari dalam negeri di luar migas, merupakan suatu langkah keharusan agar
proses pembangunan yang telah berlangsung tidak mengalami hambatan. Dalam RAPBN
1989/1990, penerimaan dalam negeri direncanakan sebesar Rp 25.249,8 milyar, yang meliputi
penerimaan minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 7.899,7 milyar, dan penerimaan di luar
minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 17.350,1 milyar. Bila dibandingkan dengan penerimaan
dalam negeri yang direncanakan dalam APBN 1988/1989 yang besamya Rp 21.803,0 milyar,
berarti terdapat peningkatan sebesar Rp 3.446,8 milyar atau 15,8 persen.

2.3.2.1. Penerimaan dari minyak bumi dan gas alam


Dalam situasi harga minyak yang masih belum mantap seperti saat terakhir ini, adalah
suIit sekali memperkirakan besarnya harga minyak yang akan terjadi pada tahun mendatang.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh negara-negara produsen minyak, bahkan bukan
saja negara-negara OPEC tetapi juga negara-negara di luar OPEC, namun ketidakseimbangan
yang terjadi antara penawaran dan permintaan minyak di pasaran internasional, telah
menyebabkan belum mantapnya keseimbangan harga yang terjadi. Sementara itu belajar dari
pengalaman sebelumnya, ternyata perkembangan harga minyak tidak saja ditentukan oleh
faktor-faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan politik, dan kebijaksanaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 68


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

terkait lainnya, baik dari negara-negara produsen maupun negara-negara konsumen. Keadaan di
atas menyebabkan bertambah pekanya perkembangan harga minyak bumi, terutama untuk
masa-masa mendatang. Namun demikian kesepakatan yang terjadi dalam pertemuan antara
negara-negara anggota OPEC dalam bulan November 1988 yang lalu diharapkan akan
mendorong tercapainyaa kestabilan harga minyak di masa mendatang. Dalam hubungan ini, di
dalam menyusun proyeksi penerimaan minyak bumi dan gas alam dalam RAPBN 1989/1990,
pemerintah berdasarkan berbagai pertimbangan, telah menggunakan harga sebesar US$ 14 per
bMaret sebagai dasar perhitungan penerimaan migas. Sedangkan tingkat produksi disesuaikan
dengan kesepakatan OPEC, yakni sebesar 1,4 juta barel per hari termasuk kondensat. Dengan
asumsi demikian, maka dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan akan diperoleh penerimaan
yang berasal dari minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 7.899,7 milyar, yang terdiri dari
penerimaan minyak bumi sebesar Rp 6.702,9 milyar dan penerimaan gas alam sebesar Rp
1.196,8 milyar. Rencana penerimaan ini berarti 10,8 persen lebih rendah dari yang direncanakan
dalam APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 8.855,8 milyar.

2.3.2.2. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam


Semakin pentingnya pengembangan sumber-sumber penerimaan di luar minyak bumi
dan gas alam telah mulai disadari sejak tahun awal Pelita IV. Keadaan tersebut tumbuh di kala
situasi pasaran minyak bumi internasional menunjukkan gejala yang kian tak menentu. Hal ini
tidak saja dapat membawa pengaruh kepada turunnya kemampuan menghimpun penerimaan
negara dari sektor migas, tetapi merembet pula kepada kerawanan upaya menghimpun devisa
yang diperlukan. Menyadari berbagai tantangan yang muncul berkaitan dengan semakin
buruknya pasaran minyak tersebut, Pemerintah bertekad untuk mengambil langkah-langkah
kebijaksanaan yang tepat, baik yang langsung berhubungan dengan pengerahan sumber-sumber
di luar migas, maupun upaya penggalakan ekspor nonmigas guna menghimpun dana devisa,
serta upaya lainnya yang dimaksudkan untuk menyusun suatu perekonomian nasional yang
lebih tahan terhadap gejolak perekonomian dunia.
Upaya pengerahan sumber-sumber dana dalam negeri di luar migas dimulai dengan
pembaharuan sistem perpajakan nasional, yang dilaksanakan melalui diundangkannya tiga
undang-undang perpajakan menggantikan beberapa peraturan perundangan yang ditetapkan
sejak jaman kolonial Belanda. Tiga undang-undang yang menandai pembaharuan sistem
perpajakan nasional tersebut dikeluarkan menjelang dimulainya pelaksanaan Pelita IV, yaitu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 69


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Undang-undang Nomor 6 tahun 1983, Undang-undang Nomor 7 tahun 1983, dan Undang-
undang Nomor 8 tahun 1983, masing-masing mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan, pajak penghasilan, serta pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak
penjualan atas barang mewah. Selanjutnya dalam tahun 1985 sistem baru tersebut dilengkapi
dengan dua peraturan baru, yakni Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 mengenai Pajak Bumi
dan Bangunan, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Pembaharuan tersebut memiliki makna yang sangat penting bagi sistem perpajakan
nasional, mengingat dalam sistem yang baru tersebut terjadi perubahan yang sangat mendasar.
Sistem perpajakan yang baru tersebut memberikan peluang bukan saja kepada upaya
pengumpulan dana pembangunan yang lebih besar, tetapi lebih dari itu telah mendorong para
wajib pajak untuk berlaku lebih dewasa dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Dalam
sistem ini, wajib pajak diberikan kebebasan untuk menghitung, menetapkan, dan membayar
pajaknya sendiri, sementara aparatur perpajakan dituntut untuk siap melayani dan melakukan
pengawasan yang diperlukan. Hal ini berarti masyarakat diberi hak sekaligus kewajiban untuk
menopang kesinambungan pembangunan, melalui pembayaran pajak dalam jumlah yang
seharusnya dibayar.
Di samping upaya pengerahan dana di luar migas dari bidang perpajakan, upaya
meningkatkan penerimaan di luar migas berupa bea masuk, cukai, dan penerimaan bukan pajak
juga senantiasa mendapatkan penanganan. Upaya yang dilakukan di bidang bea masuk, di
samping bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, juga diusahakan agar memberikan
iklim yang lebih mendukung tumbuhnya industri dalam negeri, berkembangnya mekanisme
perdagangan yang lebih sehat, serta menumbuhkan lapangan kerja, dan tujuan terkait lainnya,
yang pada gilirannya diharapkan mampu mendorong terwujudnya perekonomian yang tangguh.
Demikian pula berbagai upaya telah dilakukan di bidang cukai dan penerimaan bukan pajak,
yang sasarannya bukan semata-mata pada upaya menghimpun dana, tetapi diarahkan pula untuk
mencapai tujuan pembangunan lainnya.
Upaya pengerahan sumber penerimaan di luar migas tersebut telah menunjukkan hasil
yang memuaskan. Dalam Pelita I dapat dihimpun penerimaan dalam negeri di luar migas
sebesar Rp 1.656,2 milyar, dan dalam Pelita II dan Pelita III jumlah tersebut telah meningkat
masing-masing menjadi Rp 6.605,2 milyar dan Rp 18.389,8 milyar, yang berarti meningkat
298,8 persen dan 178,4 persen dari Pelita sebelumnya. Sementara itu, selama 4 tahun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 70


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pelaksanaan Pelita IV jumlah tersebut telah mencapai Rp 34.143,1 milyar, atau hampir 20 kali
lebih tinggi dari realisasinya dalam Pelita I. Peningkatan yang cukup tajam dalam Pelita IV
tersebut tidak terlepos dari upaya pengerahan sumber-sumber perpajakan dengan semakin
mapannya sistem perpajakan yang baru. Dalam tahun 1984/1985 yang merupakan tahun
pertama Pelita. IV, jumlah realisasi penerimaan dalam negeri di luar migas adalah sebesar Rp
5.475,6 milyar, sementara pada APBN 1988/1989, yang merupakan tahun terakhir Pelita IV,
jumlah tersebut direncanakan menjadi Rp 12.947,2 milyar, yang berarti telah meningkat136,5
persen, atau suatu peningkatan rata-rata sekitar 24 persen per tahun selama Pelita IV.
Di bidang pajak penghasilan, usaha pembaharuan yang telah dimulai sejak empat tahun
yang silam akan terus dilanjutkan, seraya tetap mencari berbagai usaha peningkatan pelayanan,
pembinaan, pengawasan, serta usaha-usaha lain yang diharapkan mampu meningkatkan
penerimaannya. Kemantapan daripada undang-undang pajak penghasilan yang baru terlihat
antara lain dari taripnya yang sederhana, yang ditentukan dalam posal 17 Undang-undang Pajak
Penghasilan tahun 1983. Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp10 juta dikenakan tarip 15
persen, di atas Rp10 juta sampai dengan Rp50 juta dikenakan tarip 25 persen, dan di atas Rp50
juta dikenakan tarip 35 persen. Sementara itu dalam tahun pertama Pelita V besarnya
pendapatan tidak kena pajak (PTKP) tetap berlaku seperti masa sebelumnya. Kepada wajib
pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP yang besarnya Rp960.000,- untuk diri
wajib pajak, dan tambahan sebesar Rp480.000,- bagi wajib pajak yang sudah kawin, sementara
bagi wajib pajak yang isterinya memiliki penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak
ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain, tambahan pengurangan
tersebut adalah sebesar Rp 960.000,-. Selanjutnya juga diberikan masing-masing sebesar
Rp480.000,- untuk setiap anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus, serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, dengan jumlah paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.

Dalam tahun 1989/1990, berbagai kebijaksanaan khusus yang telah diterapkan di


bidang pajak penghasilan pada masa sebelumnya diharapkan akan membawa iklim yang
sernakin baik. Kebijaksanaan yang berkaitan dengan penyesuaian harga/nilai perolehan harta
perusahaan yang dikeluarkan pemerintah dalam tahun 1986 sehubungan dengan kebijaksanaan
devaluasi, diharapkan akan membantu para pengusaha di dalam menyehatkan posisi
keuangannya, sehingga dalam situasi perekonomian yang semakin baik dalam tahun mendatang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 71


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

akan memperbesar potensi penerimaan pajak penghasilan. Selanjutnya dalam rangka


pernbangunan proyek milik pemerintah yang dibiayai dengan dana yang berasal dari bantuan
luar negeri, pemerintah masih tetap mempertahankan kebijaksanaan untuk menanggung pajak
penghasilan yang terhutang oleh para kontraktor dan pemasok proyek milik pemerintah. Hal
tersebut dimaksudkan agar dana yang diperoleh dari bantuan luar negeri tersebut semata-mata
digunakan untuk pembiayaan proyek yang bersangkutan, dan tidak untuk membayar pajak,
sesuai dengan keinginan daripada pemberi bantuan. Beberapa pengenaan pajak penghasilan
yang diatur secara khusus lainnya, seperti pemungutan pajak penghasilan melalui bank devisa,
serta kebijaksanaan khusus mengenai perhitungan penghasilan dan pajak terhutang pada jenis-
jenis usaha tertentu, dalam tahun mendatang masih akan tetap dipertahankan. Sebagaimana
diketahui, pembayaran PPh posal 23 dan PPh posal 25 bagi pengusaha angkutan laut dan udara
yang melintasi jalur internasional, sangat sukar dilaksanakan apabila tidak diambil
kebijaksanaan khusus untuk masalah tersebut. Dalam hubungan ini pemerintah telah
rnenetapkan kebijaksanaan besarnya PPh tersebut, yaitu masing-masing sebesar 1,25 persen dari
penghasilan brute untuk usaha charter angkutan laut dan udara yang melintasi jalur internasional,
dan sebesar 1,25 persen dari penghasilan bruto untuk usaha non charter. Selanjutnya secara
khusus pemerintah mengatur pula ketentuan atau norma penghitungan penghasilan netto
(deemed profit) bagi pengusahapengeboran minyak bumi, pedoman/standar gaji (deemed salary)
bagi karyawan asing pendatang (expatriate), dan norma penghitungan penghasilan ken a pajak
(deemed taxable income) bagi karyawan asing yang bekerja pada perusahaan pengeboran
minyak dan gas bumi. Dalam hubungannya dengan upaya peningkatan penerimaan jumlah pajak
ini, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang subyek pajak, terutama dimaksudkan untuk
memberikan penegasan lebih lanjut terhadap subyek pajak yang selama ini belum diatur secara
jelas dalam undang-undang, seperti pendapatan olah raga, karang taruna, LKMD, dan sejenisnya,
yang menerima atau memberikan penghasilan, baik secara terus menerus maupun hanya secara
berkala.
Setelah beberapa tahun pelaksanaan sistem perpajakan yang baru berjalan, hasilnya
telah dapat dirasakan berupa peningkatan dana yang dapat dihimpun dari sektor perpajakan.
Dalam tahun 1989/1990 upaya peningkatan penerimaan pajak penghasilan mendapatkan
perhatian yang lebih besar, mengingat potensi yang dapat digarap di bidang pajak ini masih jauh
lebih rendah daripada potensi yang sebenarnya. Untuk itu berbagai persia pan telah dilakukan
untuk mengembangkan potensi yang belum digarap sebelumnya. Dalam kaitan ini, guna

Departemen Keuangan Republik Indonesia 72


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menumbuhkan perlakuan yang adil terhadap pengenaan pajak bagi pemilik surat berharga di
pasar modal dan pemilik deposito, maka terhadap bunga deposito terhitung sejak Nopember
1988 dikenakan pajak penghasilan yang taripnya 15 persen. Walaupun kebijaksanaan tersebut
lebih ditekankan kepada tujuan untuk menciptakan iklim usaha yang menunjang pengembangan
pasar modal, tetapi pada saat yang sama diperkirakan akan mampu pula meningkatkan
penerimaan pajak penghasilan.
Selanjutnya upaya lain yang diharapkan mampu meningkatkan penerimaan jenis pajak
ini adalah pemantapan kebijaksanaan penyuluhan, penerangan, dan pengawasan yang telah
dilakukan sebelumnya. Untuk itu tatap muka yang telah dilakukandengan kalangan pengusaha
besar di beberapa daerah, penagihan tunggakan, serta pemantauanjmonitoring penerimaan
mingguan yang telah dirintis, akan terus dilaksanakan. Demikian pula seruan dalam berbagai
media masa agar wajib pajak yang belum memiliki NPWP tetapi merupakan wajib pajak
potensial, segera mendaftar, serta himbauan bagi wajib pajak untuk menyempurnakan SPT yang
diisinya, diharapkan akan membawa pengaruh yang menguntungkan pada masa mendatang. Di
samping itu, koordinasi antar berbagai instansi terkait terus dilaksanakan, terutama untuk
menjaring wajib pajak baru dan mengadakan kontrol terhadap kebenaran laporan yang dibilat
para wajib pajak. Sementara itu pengamanan pengembalianjrestitusi pajak senantiasa akan terus
ditingkatkan, sehingga pelaksanaannya serna kin tertib. Berdasarkan berbagai langkah yang
telah dilaksanakan dan beberapa pertimbangan kebijaksanaan yang akan ditempuh dalam situasi
perekonomian yang diharapkan lebih baik dari tahun sebelumnya, maka dalam RAPBN tahun
1989/1990 direncanakan pajak penghasilan sebesar Rp 4.947,6 milyar. Bila dibandingkan
dengan yang direncanakan dalam APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 3.762,1 milyar, berarti
terdapat peningkatan sebesar 31,5 persen.
Sementara itu, langkah-langkah yang akan ditempuh di bidang pajak pertambahan nilai,
pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan yang telah dijalankan pada tahun
sebelumnya, terutama dalam rangka memantapkan pelaksanaan undang-undang pajak
pertambahan nilai. Semenjak diberlakukannya secara efektif undang-undang pajak pertambahan
nilai tahun 1985, berbagai kemajuan telah dicapai dalam pengembangan jenis pajak tidak
langsung ini. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari peningkatan yang tajam dari penerimaan jenis
pajak ini, yang pada masa-masa lalu peningkatannya sangat lambat. Dalam tahun 1984/1985,
ketika masih dipungut sebagai pajak penjualan dan pajak penjualan impor, jenis penerimaan
pajak ini baru mencapai Rp 878,0 milyar, sedangkan dalam tahun 1985/1986, yang merupakan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 73


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tahun pertama pelaksanaan pajak pertambahan nilai, penerimaannya meni_gkat menjadi Rp


2.326,7 milyar, yang berarti meningkat hampir tiga kalinya. Loncatan yang sangat besar ini
merupakan hasil nyata dari pelaksanaan undangundang pajak pertambahan nilai, yang di
samping memiliki dasar pengenaan yang semakin luas, juga mampu menjaring wajib pajak yang
lebih banyak. Upaya menjaring wajib pajak potensial tersebut akan terus diupayakan dalam
tahun-tahun mendatang, mengingat penggarapan jenis pajak ini juga masih jauh lebih rendah
daripada potensi yang sebenamya. Dengan demikian peluang untuk meningkatkan jenis pajak
ini di tahun 1989/1990, masih cukup besar. Kebijaksanaan di bidang pajak pertambahan nilai
yang telah diterapkan dalam tahun sebelumnya, dalam tahun 1989/1990 tetap akan dilanjutkan.
Tarip tunggal10 persen dalam pelaksanaannya sangat membantu menciptakan kesederhanaan
dan kemudahan dalam pemungutanjenis pajak ini. Selanjutnya pengenaan tarip 0 persen atas
barang-barang ekspor akan dilanjutkan, sehingga pada gilirannya diharapkan akan mampu
mendorong lebih lanjut kegiatan ekspor non migas di masa mendatang. Sedangkan untuk pajak
penjualan barang mewah (PPnBM) tarip yang dikenakan adalah 10 persen dan 20 persen,
tergantung kepada tingkat kemewahan barang tersebut. Demikian pula tetap diupayakan
pengamanan penerimaan pajak pertambahan nilai, terutama yang menyangkut ketentuan khusus
pemungutan atas pengusaha kena pajak (PKP) rekanan pemerintah yang menerima pembayaran
dari Kantor Perbendahar_an Negara (KPN), dan penunjukan wajib pungut pajak pertambahan
nilai. Dalam hal ini bila para PKP rekanan pemerintah menerima pembayaran melalui KPN,
maka KPN diberi kewenangan untuk memotong dan menyetor ke kas negara pajak pertambahan
nilai yang menjadi kewajiban pengusaha ken a pajak yang bersangkutan. Selanjutnya upaya
peningkatan pajak pertambahan nilai dalam tahun 1989/1990 akan dilakukan dengan tetap
melanjutkan langkah yang telah dilaksanakan masa sebelumnya, khususnya dalam menjaring
wajib pajak potensial, serta bentuk pengamanan lainnya. Untuk itu monitoring penerimaan
mingguan pajak pertambahan nilai akan terus dikembangkan terutama dalam rangka mengambil
langkah-Langkah cepat untuk mengatasi bila. ada penyimpangan dari rencana semula.
Sementara itu kerja sama dengan instansi terkait yang berhubungan dengan data-data perpajakan
akan semakin ditingkatkan.
Dalam rangka meningkatkan potensi penerimaan pajak pertambahan nilai, dalam tahun
1989/1990 direncanakan pula akan diberlakukan pungutan PPN untuk beberapa jenis
barang/jasa, yaitu atas jasa telekomunikasi dan jasa angkutan udara dalam negeri. Sementara itu
PPN jasa yang semula hanya dikenakan atas jasa konstruksi, direncanakan akan diperluas pula

Departemen Keuangan Republik Indonesia 74


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

hingga mencakup jasa manajemen. Berdasarkan berbagai langkah yang telah dilaksanakan
tersebut, serta dengan memperkirakan semakin baiknya keadaan perekonomian nclsional, dalam
RAPBN 1989/1990 direncanakan penerimaan pajak pertambahan nilai sebesar Rp 5.830,9
milyar. Bila dibandingkan dengan yang direncanakan dalam APBN 1988/1989 yang besarnya
Rp 4.787,6 milyar, berarti terdapat peningkatan sebesar 21,8 persen.
Di bidang pajak bumi dan bangunan (PBB),langkah-langkah kebijaksanaan yang akan
ditempuh dalam tahun 1989/1990 pada hakekatnya merupakan tahap lanjutan dari pelaksanaan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan yang menggantikan
pajak kekayaan dan Ipeda pada masa sebelumnya. Berbeda dengan peraturan sebelumnya yang
menggunakan subyek pajak sebagai sasaran utama dalam pungutan pajak, maka dalam pajak
bumi dan bangunan, obyek pajak dijadikan sasaran dalam menentukan pemungutan pajaknya.
Hal ini akan sangat mempermudah dalam pelaksanaan pemungutan pajaknya. Berbagai
peraturan pelaksanaan telah dikeluarkan pemerintah, terutama sebagai upaya untuk mendorong
berkembangnya jenis pajak yang diperuntukkan bagi daerah ini. Untuk itu terus pula dilakukan
kerjasama yang semakin baik dengan pemerintah daerah, terutama dalam rangka intensifikasi
pemungutannya. Dalam tahun 1989/1990, tarip tunggal sebesar 0,5 persen dari nilai jual kena
pajak (NJKP) tetap dilanjutkan, sedangkan besarnya NJKP sangat tergantung kepada nilai jual
obyek pajak (NJOP) yang besarnya disesuaikan dengan perkembangan tingkat harga tanah dan
banguran. Sementara ini ditetapkan bahwa besarnya NJKP adalah 20 persen dari NJOP.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan
penerimaan pajak bumi dan bangunan yang besarnya Rp 638,5 milyar. Apabila dibandingkan
dengan rencananya dalam APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 322,0 milyar, berarti terdapat
peningkatan sebesar 98,3 persen.
Sementara itu, kebijaksanaan yang akan ditempuh di bidang cukai pada dasarnya masih
merupakan kelanjutan kebijaksanaan yang telah ditempuh sebelumnya, yaitu di samping
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor cukai, juga diarahkan untuk mengatur
pemakaian beberapa jenis barang tertentu seperti bir dan alkohol sulingan. Dalam tahun
1989/1990, penerimaan cukai tembakau diharapkan masih akan memberikan sumbang an yang
paling besar dibandingkan dengan jenis cukai lainnya, yaitu cukai gula, cukai bir, dan cukai
alkohol sulingan. Dalam RAPBN 1989/1990 penerimaan cukai diharapkan akan mencapai Rp
1.487,0 milyar, atau 11,7 persen lebih tinggi dari APBN 1988/1989.
Di bidang penerimaan bea masuk, kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 75


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

samping ditujukan untuk menghimpun penerimaan negara, juga digunakan untuk tujuan
pengaturan lainnya, seperti perlindungan produksi dalam negeri atas barang impor, penyediaan
bahan baku dan barang modal bagi sektor industri, dan penyediaan lapangan kerja. Dalam hal
ini, kebijaksanaan pabean dalam tahun 1989/1990 tercermin dari berbagai kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilaksanakan hingga memasuki awal tahun 1989/1990.
Beberapa kebijaksanaan penting di bidang pabean yang diharapkan akan membawa pengaruh
positip bagi perekonomian nasional antara lain dihapuskannya system pengaturan bukan tarip
(non tariff barrier) yang digantikan dengan sistem pengaturan melalui tarip (tariff barrier).
Pelaksanaannya dilakukan dengan dihapuskannya tata niaga terhadap barang-barang tertentu
dan digantikan dengan pengaturan tarip bea masuk yang lebih tinggi terhadap barang-barang
yang dihapuskan tata niaganya tersebut. Sementara itu guna lebih mendorong pertumbuhan
industri dalam negeri, terhadap bahan baku/penolong yang sangat diperlukan untuk industri
dalam negeri, sedangkan bahan baku/penolong tersebut belum diproduksikan di dalam negeri,
telah diberikan fasilitas pembebasan/keringanan atas bea masuknya. Dalam kaitan dengan
masalah tersebut guna mendorong berkembangnya tataniaga perdagangan di antara sesama
negara ASEAN, dalam tahun 1988 telah ditambah beberapa keringanan bea masuk terhadap
impor atas hasil-hasil produksi negara-negara ASEAN dalam rangka Asean Preferential Trading
Arrangement (ASEAN PTA). Selanjutnya dalam rangka lebih menyempumakan proses
penyelesaian barang impor dan sistem pentarifan, akan dilaksanakan pula Customs Fast Release
System (CFRS), serta penyesuaian buku tarif bea masuk Indonesia dengan Harmonized
Commodity Description and Coding System (HS) sejak Januari 1989. Berdasarkan usaha-usaha
tersebut di atas dalam RAPBN 1989/1990 penerimaan bea masuk direncanakan akan mencapai
Rp 1.421,2 milyar, yang berarti 33,0 persen lebih tinggi dari APBN 1988/1989.

Pajak ekspor merupakan jenis penerimaan yang pungutannya dikenakan kepada


kegiatan ekspor. Kebijaksanaan yang ditempuh di bidang ini pada hakekatnya dikaitkan dengan
upaya penggalakan ekspor nonmigas berupa barang jadi dengan mengenakan pajak ekspor
terhadap ekspor bahan baku/mentah. Kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat mendorong
berkembangnya industri dalam negeri, yang pada gilirannya diharapkan mampu menyediakan
lapangan kerja. Kebijaksanaan tersebut dilakukan melalui pengenaan tarif yang tinggi untuk
bahan baku/mentah, terutama bahan baku yang sangat diperlukan oleh industri dalam negeri.
Sebaliknya, sesuai dengan arah kebijaksanaan untuk mendorong ekspor nonmigas, pajak ekspor

Departemen Keuangan Republik Indonesia 76


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tidak dikenakan bagi ekspor hasil industri dan kerajinan tangan. Dengan demikian, meskipun
ekspor nonmigas dalam waktu terakhir ini meningkat dengan cepat sebagai hasil dari
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilakukan, namun penerimaan pajak
ekspor tidak akan selalu mampu meningkat secara proporsional. Penerimaan pajak ekspor dalam
RAPBN 1989/1990 direncanakan sebesar Rp 159,8 milyar atau naik sebesar 10,7 persen dari
penerimaan APBN tahun 1988/1989.

Penerimaan pajak lainnya yang meliputi penerimaan bea meterai dan bea lelang dalam
RAPBN 1989/1990 direncanakan sebesar Rp 424,6 milyar. Dengan semakin berkembangnya
transaksi dalam perekonomian, dan didukung oleh kesederhanaan Undangundang Nomor 13
tahun 1985 yang mengatur bea meterai, serta semakin tertibnya pengelolaan kegiatan lelang,
diharapkan rencana penerimaan tersebut mampu dicapai dalam tahun mendatang. Bila
dibandingkan dengan penerimaan yang direncanakan dalam APBN 1988/1989 yang besamya
Rp 272,0 milyar, berarti meningkat dengan 56,1 persen. Di bidang penerimaan bukan pajak,
upaya yang dilakukan pada masa sebelumnya, baik berupa peningkatan penerimaan bukan pajak
daripada berbagai departemen/lembaga nondepartemen, maupun penerimaan dari laba bank dan
badan usaha milik negara (BUMN) akan terus ditingkatkan. Demikian pula upaya peningkatan
sumber penerimaan bukan pajak lainnya akan terus mendapatkan penanganan dalam tahun
1989/1990. Upaya peningkatan penerimaan bukan pajak yang bersumber dari
departemen/lembaga dilaksanakan melalui penertiban administrasi, penyetoran, dan
pengawasannya, sedangkan peningkatan laba BUMN diusahakan melalui peningkatan efisiensi
operasional dan manajemennya. Dalam RAPBN 1989/1990, penerimaan bukan
pajakdirencanakan mencapai Rp 2.047,6 milyar, yang apabila dibandingkan d_ngan penerimaan
yang sama dalam APBN 1988/1989 berarti mengalami peningkatan sebesar 62,6 persen.
Sementara itu, jenis penerimaan dalam negeri di luar migas yang berupa laba bersih minyak
dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan akan mencapai Rp 392,9 milyar. Penerimaan tersebut
diperoleh dari hasil penjualan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri yang diperkirakan
melebihi biaya yang diperlukan untuk penyediaan bahan bakar minyak tersebut dalam tahun
1989/1990, yang didasarkan atas dasar perkiraan harga minyak mentah sebesar US$ 14,00 per
bMaret. Dengan adanya penerimaan laba bersih minyak dalam tahun 1989/1990, maka perincian
penerimaan dalam negeri di luar migas dalam RAPBN 1989/1990 menjadi sebagaimana
tercantum dalam Tabel lI.19.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 77


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

2.3.3. Penerimaan pembangunan

Guna menunjang rencana pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5 persen per tahun
selama Pelita V, sangat dibutuhkan dana investasi yang memadai. Sumber dana yang
dibutuhkan tersebut tidak sepenuhnya mampu dipenuhi oleh tabungan pemerintah, namun harus
didukung pula oleh tabungan masyarakat dan sumber dari luar negeri. Dalam kaitan ini, sumber
yang berasal dari tabungan pemerintah sejak menurunnya harga minyak bumi pada pertengahan
pelaksanaan Pelita IV yang lalu, telah mengalami tekanan yang cukup berat. Meskipun upaya
pengerahan sumber-sumber dari dalam negeri di luar migas telah dilaksanakan sejak awal Pelita
IV, namun peningkatannya belum mampu sepenuhnya menggantikan peranan penerimaan migas.
Dalam hubungan ini peranan sumber dana dari luar negeri dalam tahun pertama Pelita V ini
masih diperlukan, di samping terus ditingkatkannya peranan tabungan masyarakat/swasta di
masa mendatang.

Dana yang berasal dari luar negeri yang dikelola pemerintah melalui penerimaan
pembangunan di dalam setiap APBN meliputi penerimaan bantuan program dan bantuan proyek.
Pada saat sumber penerimaan dari migas cukup tinggi, sehingga mampu membentuk tabungan
pemerintah yang cukup besar, hampir seluruh penerimaan pembangunan adalah berupa bantuan
proyek. Sementara itu bantuan program hanya dalam bentuk hasil penjualan bantuan pangan dan
bukan pangan di dalam negeri setelah dikurangi dengan biaya pemasarannya. Selanjutnya
dengan munculnya berbagai kesulitan keuangan negara dalam penyediaan pembiayaan rupiah,
sehubungan dengan merosotnya harga minyak akhir-akhir ini, pemerintah berusaha mencari
bantuan luar negeri yang dapat dirupiahkan yang selanjutnya dapat dipakai untuk membiayai
kebutuhan pembiayaan rupiah di dalam negeri. Bantuan luar negeri dalam bentuk rupiah ini
masih diperlukan dalam tahun 1989/1990, terutama karena penerimaan migas yang rendah
sedangkan tabungan pemerintah yang diperkirakan dapat dihimpun tidak mencukupi kebutuhan
investasi di sektor negara. Berdasarkan perkembangan di atas, dalam RAPBN 1989/1990
direncanakan penerimaan pembangunan sebesar Rp 11,325,1 milyar, yang meliputi bantuan
program sebesar Rp 1.798,9 milyar dan bantuan proyek sebesar Rp 9.526,2 milyar. Di dalam
bantuan program sebesar Rp 1.798,9 milyar tersebut termasuk Rp 1.727,3 milyar bantuan luar
negeri dalam bentuk rupiah. Bila dibandingkan dengan penerimaan pembangunan yang
direncanakan dalam APBN 1988/1989 yang besarnya Rp 7.160,6 milyar, penerimaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 78


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembangunan dalam RAPBN 1989/1990 tersebut mengalami peningkatan sebesar 58,2 persen.

2.3.4. Pengeluaran rutin

Dalam setiap kebijaksanaan ekonomi, pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara


optimal merupakan salah satu faktor yang selalu harus dipertimbangkan, oleh karena alokasi
yang optimal memungkinkan tercapainya_ tujuan yang maksimal dengan sumber-sumber
ekonomi dan kendala-kendala yang ada. Strategi inilah yang senantiasa mendasari setiap
kebijaksanaan pengeluaran Pemerintah, terutama di dalam mengalokasikan sumber dana
pemerintah bagi tujuan pembiayaan operasional pemerintahan dan pembangunan. Dalam
beberapa tahun terakhir, penerapan kebijaksanaan ini semakin ditingkatkan lagi, yaitu untuk
mendapatkan hasilguna dan dayaguna yang paling optimal dari setiap pengeluaran pemerintah,
di dalam menunjang pertumbuhan dan kestabilan ekonomi serta pemerataan pembangunan.
Dalam kerangka tersebut, penetapan anggaran belanja rutin didasarkan pada dua kriteria.
Pertama, anggaran rutin yang disediakan harus dapat menunjang kelancaran kegiatan
operasional pemerintahan, dan kedua, mengusahakan pembentukan tabungan pemerintah yang
memadai, agar dapat menunjang penyediaan dana bagi tujuan pembangunan. Anggaran belanja
rutin selama ini mencakup pengeluaran-pengeluaran bagi pembayaran gaji pegawai negeri dan
pensiunan, biaya operasional dan pemeliharaan peralatan barang-barang milik Pemerintah,
bantuan kepada pemerintah daerah, dan pemberian subsidi untuk menunjang kestabilan harga
beberapa jenis barang kebutuhan pokok masyarakat. Selain daripada itu, anggaran belanja rutin
juga menampung pos nonoperasional berupa pembayaran kembali hutang dan bunga pinjaman
luar negeri, yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup besar,
sehingga pos pembayaran hutang luar negeri sejak tahun 1986/1987 merupakan bagian yang
terbesar dalam pengeluaran rutin.
Dalam hubungan ini, peningkatan nilai tukar mata uang yen dan mata uang negara-
negara industri maju lainnya yang cukup besar terhadap dolar Amerika, telah sangat
mempengaruhi peningkatan pembayaran hutang luar negeri Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh karena lebih dari separuh hutang luar negeri Indonesia dinyatakan dalam yen
dan beberapa mata uang negara Eropa. Di pasar uang internasional, nilai tukar dolar Amerika
telah merosot sekitar 52 persen dan 44 persen, masing-masing terhadap yen Jepang dan mark
Jerman, dalam periode April 1985 - November 1988. Sedangkan di pasar lokal, nilai yen telah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 79


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

melonjak lebih dari 3 kali lipat dalam 5 tahun terakhir, yaitu dari Rp 4,47 pada akhir Maret
1983/1984 menjadi Rp 14,00 pada akhir November 1988 untuk setiap yen. Ini berarti nilai pem-
bayaran hutang luar negeri yang dinyatakan dalam yen dalam periode dimaksud akan meningkat
lebih dari 3 kali lipat dari nilai pembayaran hutang yang didasarkan pada nilai tukar semula.
Di dalam tahun-tahun mendatang jumlah pembayaran bunga dan deilan hutang luar
negeri masih tetap akan bergantung pada perubahan-perubahan dalam nilai tukar mata uang
antar negara-negara industri, khususnya terhadap dolar Amerika. Hal ini disebabkan oleh karena
sistem pembayaran hutang luar negeri didasarkan pada nilai tukar yang berlaku pada saat
pembayaran kembali dilakukan. Dalam tahun 1989/1990, jumlah pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri diperkirakan berjumlah sebesar Rp 12.088,0 milyar, yang berarti terjadi
peningkatan sebesar 14 persen dibandingkan dengan APBN 1988/1989.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan aparat pemerintah yang terdiri
dari pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan pensiunan, belanja pegawai dalam RAPBN
1989/1990 akan mengalami peningkatan sekitar 24 persen dari tahun sebelumnya, yaitu untuk
menampung kenaikan gaji pegawai dan pensiunan, serta kenaikan biaya lauk pauk dan
tunjangan beras. Seperti diketahui bahwa dalam tiga tahun terakhir, yaitu sejak 1986/1987, gaji
pegawai belum dimungkinkan untuk dinaikkan karena keterbatasan keuangan negara
sehubungan dengan merosotnya harga minyak bumi. Namun dengan usaha keras untuk merubah
struktur penerimaan negara yang di masa yang lalu terlalu bertumpu pada sektor migas, secara
bertahap penerimaan di luar migas yang berasal dari penerimaan berbagai jenis pajak telah dapat
ditingkatkan. Dalam tahun 1988/1989 penerimaan di luar migas telah mencapai sekitar 59,4
persen dari penerimaan dalam negeri, dan dalam tahun 1989/1990 diperkirakan akan dapat
mencapai sebesar 68,7 persen. Semakin kuatnya landasan sumber penerimaan negara tersebut di
satu pihak, dan kenaikan biaya hidup di lain pihak, telah rnendorong pernerintah untuk
rnernberikan kenaikan gaji pegawai sesuai dengan kemampuan keuangan negara sejak bulan
Januari 1989. Dalam RAPBN 1989/1990 belanja pegawai secara keseluruhan diperkirakan
rnencapai Rp 5.966,5 milyar. Jurnlah tersebut telah menampung kenaikan tunjangan beras dan
biaya makan/lauk pauk akibat dari kenaikan harga gabah rnulai 1 Januari 1989 dan kenaikan
pembiayaan kepegawaian lainnya. Secara terinci belanja pegawai dalarn RAPBN 1989/1990
rnencakup tunjangan beras sebesar Rp 616,4 milyar, gaji dan pensiun sebesar Rp 4.607,8 rnilyar,
biaya rnakan/lauk pauk sebesar Rp 370,7 milyar, lain-lain belanja pegawai dalam negeri sebesar
Rp 206,6 milyar, dan belanja pegawai luar negeri sebesar Rp165,0 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 80


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Oleh karena peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai mempunyai dampak yang
besar terhadap usaha pembangunan, yaitu melalui peningkatan motivasi dan dedikasi pegawai di
dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, pemerintah senantiasa mempertimbangkan peningkatan
kesejahteraan pegawai negeri dan pensiun apabila peluang untuk melakukan hal tersebut benar-
benar memungkinkan. Selain belanja pegawai, pengeluaran untuk belanja barang, yang
mencakup pengeluaran untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan barang-barang/peralatan
milik negara, merupakan salah satu aspek penting di dalam menunjang keberhasilan
pembangunan. Anggaran untuk pengeluaran ini selain digunakan untuk pengadaan peralatan
bagi kegiatan operasional pemerintahan juga digunakan untuk tetap mempertahankan dayaguna
yang optimal dari setiap kekayaan nasional, seperti bangunan, peralatan, inventaris kantor, dan
kekayaan milik pemerintah lainnya. Peningkatan biaya operasional dan pemeliharaan bersama-
sama dengan peningkatan kesejahteraan pegawai, akan menciptakan kondisi kerja yang lebih
baik dan meningkatkan efisiensi serta kapasitas aparatur pemerintahan. Aspek ini yang didalam
masa-masa mendatang akan mendapat perhatian yang lebih besar dari pemerintah di dalam
pengalokasian pengeluaran negara. Dalam RAPBN 1989/1990 belanja barang direncanakan
sebesar Rp 1.476,6 milyar, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 10,8 persen dari APBN
tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut sebagian besar, atau 91,1 persen, digunakan untuk
pembiayaan di dalam negeri, sedangkan sisanya digunakan bagi pembiayaan di luar negeri.
Peningkatan dalam belanja barang tersebut tidak berarti bahwa asas penghematan dan efisiensi
dalam pengadaan barang yang ditekankan pemerintah selama ini diabaikan. Asas tersebut akan
tetap dipertahankan dan bahkan ditingkatkan sejalan dengan membesarnya kegiatan-kegiatan
pemerintah. Dalam rangka peningkatan efisiensi itulah maka kebijaksanaan pemerintah dimasa-
masa yang akan datang akan diarahkan pada pencapaian perimbangan yang lebih baik, antara
pengadaan barang dan jasa dan pendirian proyek-proyek baru, dengan pemeliharaan terhadap
kekayaan negara dan hasil pembangunan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 81


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.20
PERANAN JENIS-JENIS PENGELUARAN
DALAM PENGELUARAN RUTIN, APBN 1988/1989 DAN RAPBN 1989/1990
(dalam persentase)

APBN RAPBN
Jenis Pengeluaran 1988/1989 1989/1990
I. Belanja pegawai 37,2 39,7
(Pusat) -24 -25,5
(Daerah) -13,2 -14,2
II. Belanja barang 6,6 6,3
III. Pembayaran hutang luar negeri 52,9 51,6
IV. Lainnya *) 3,3 2,4
Jumlah pengeluaran rutin 100 100

*) termasuk belanja non pegawai SDO dan pembayaran hutang dalam negeri.

Tabel II.21
PENGELUARAN RUTIN
.APBN 1988/1989 DAN RAPBN 1989/1990
(dalam milyar rupiah)

APBN RAPBN Kenaikan (+)/


Jenis pengeluaran 1988/1989 1989/1990 Penurunan (-)
(1) Belanja pegawai 4.816,30 5.966,50 + 1.150,20
(2) Belanja barang 1.333,20 1.476,60 + 143,4
(3) Subsidi daerah otonom 2.893,00 3.594,10 + 701,1
(4) Pembayaran bunga dan cicilan hutang 10.648,00 12.236,80 + 1.588,80
(5) Pengeluaran rutin lainnya 375,5 171 - 204,5
Jumlah pengeluaran rutin 20.066,00 23.445,00 + 3.379,00

Tabel II.22
BELANJA PEGAWAI
APBN 1988/1989 DAN RAPBN 1989/1990
(dalam milyar rupiah)
Jenis pengeluaran APBN RAPBN Kenaikan (+)/
1988/1989 1989/1990

(1) Tunjangan Beras 482,5 616,4 133,9


(2) Gaji dan pension 3.739,20 4.607,80 868,6
(3) Biaya makan/lauk-pauk 323,2 370,7 47,5
(4) Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 140,8 206,6 65,8
(5) Belanja pegawai luar negeri 130,6 165 34,4
Jumlah belanja pegawai 4.816,30 5.966,50 1.150,20

Departemen Keuangan Republik Indonesia 82


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Subsidi daerah otonom (SDO), yang merupakan bantuan dari pemerintah kepada daerah-
daerah di dalam mengatasi pembiayaan rutinnya, dalam RAPBN 1989/1990 dianggarkan
sebesar Rp 3.594,1 milyar. Jumlah tersebut adalah 24,2 persen di alas anggaran tahun
sebelumnya yang berjumlah Rp 2.893,0 milyar. Kenaikan yang cukup besar tersebut berkaitan
erat dengan peningkatan yang terjadi pada belanja pegawai, dengan adanya kenaikan gaji
pegawai sejak Januari 1989. Sebagaimana diketahui bahwa gaji pegawai daerah, termasuk guru-
guru sekolah dasar dan tenaga medis di Puskesmas serta pegawai-pegawai daerah lainnya yang
termasuk dalam program Inpres dan non Inpres, sampai saat ini masih ditanggung oleh
pemerintah pusat. Dengan demikian kenaikan gaji pegawai mempunyai pengaruh langsung
terhadap kenaikan SDO secara keseluruhan, karena sebagian besar dari SDO tersebut digunakan
bagi pemberian gaji/pensiun pegawai-pegawai daerah. Di samping itu SDO juga menampung
tunjangan beras dan biaya-biaya lain yang berhubungan dengan belanja operasional pegawai
daerah. Keseluruhan belanja pegawai pada SDO dalam tahun 1989/1990 diperkirakan mencapai
Rp 3.340,6 milyar, atau meningkat sebesar Rp 684,5 milyar (25,8 persen) dibandingkan dengan
anggaran SDO dalam tahun sebelumnya. Kenaikan yang cukup besar tersebut juga digunakan
untuk pengangkatan pegawai-pegawai baru, khususnya tenaga pendidik, tenaga kesehatan, dan
penyuluh pertanian, yang masih sangat diperlukan pengembangannya di daerah-daerah dalam
rangka membantu peningkatan kecerdasan rakyat dan kesehatan masyarakat, serta peningkatan
produksi pertanian. Selain itu juga disediakan dana bagi kegiatan operasional dan pemeliharaan
kekayaan negara di daerah-daerah, yang seluruhnya berjumlah Rp 253,5 milyar. Dana tersebut
antara lain digunakan untuk pemberian subsidi pengganti sumbangan pembina an pendidikan
SD negeri, pengadaan barang dan jasa untuk keperluan operasional pemerintah daerah, serta
bantuan kepada semua rumah sakit umum daerah tingkat II.

Dalam tahun 1989/1990, pengeluaran rutin lainnya direncanakan sebesar Rp 171,0


milyar, yang berarti terjadi penurunan sebesar Rp 204,5 milyar dari anggaran yang disediakan
dalam tahun sebelumnya sebesar Rp 375,5 milyar. Turunnya penyediaan anggaran bagi
pengeluaran ini terutama disebabkan oleh karena pemerintah tidak perlu memberikan subsidi
BBM dalam tahun 1989/1990, sehubungan dengan perkiraan bahwa harga minyak bumi dalam
tahun 1989/1990 adalah sebesar US $ 14 per barelnya. Dengan asumsi melemahnya harga
minyak bumi dalam tahun 1989/1990 tersebut, pemerintah bahkan diperkirakan akan
memperoleh kelebihan penerimaan dari penjualan BBM di dalam negeri sehingga menambah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 83


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

penerimaan negara berupa penerimaan dalam negeri. Sedangkan pengeluaran rutin lainnya
antara lain ditujukan bagi pembiayaan jasa-jasa pos dan giro, bebas porto, biaya pemungutan
PBB, dan beberapa jenis pengeluaran lainnya.

2.3.5 Tabungan Pemerintah


Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri melalui peningkatan
penerimaan pajak dan sumber-sumber penerimaan lainnya di luar migas dimaksudkan selain
untuk mengimbangi penurunan penerimaan dari sektor migas, juga untuk menciptakan tabungan
pemerintah yang memadai sehingga dapat menunjang pembentukan modal yang cukup bagi
tujuan investasi. Peningkatan penerimaan dalam negeri tersebut akan terus diupayakan melalui
usaha-usaha perluasan wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak, penyempurnaan
administrasi, penyederhanaan prosedur perpajakan, dan pembenahan aparatur perpajakan, di
samping peningkatan penerimaan bukan pajak. Potensi penerimaan pajak di Indonesia masih
cukup besar, terutama yang berasal dari pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, dan pajak
bumi dan bangunan, yang terlihat dari masih relatif kecilnya jumlah wajib pajak yang terdaftar
dan kecilnya rasio antara penerimaan pajak dengan pendapatan nasional brute di Indonesia
dibandingkan dengan beberapa negara-negara berkembang lainnya. Demikian pula penerimaan
pemerintah di luar pajak masih dapat ditingkatkan, antara lain melalui intensifikasi penyetoran
dan perbaikan administrasi. Selain dari pada itu juga diusahakan untuk menepati kesepakatan
OPEC yang menyangkut harga minyak bumi dan pengendalian tingkat produksi, agar
penerimaan dari sektor migas tetap dapat memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
penerimaan dalam negeri secara keseluruhan. Peningkatan penerimaan dalam negeri pada
gilirannya akan menghasilkan tabungan pemerintah yang lebih besar.
Setelah mengalami kenaikan yang cukup menyolok dari tahun ke tahun sejak awal
Pelita I, tabungan pemerintah mulai menunjukkan penurunan sejak tahun ketiga Pelita IV.
Dalam tahun 1986/1987 tabungan pemerintah tercatat sebesar Rp 2.581,3 milyar, yang
merupakan sekitar 35 persen dari tabungan pemerintah pada tahun sebelumnya yang tercatat
sebesar Rp 7.301,3 milyar. Dalam tahun 1987/1988 tabungan pemerintah menunjukkan sedikit
peningkatan sehingga mencapai Rp 3.321,8 milyar, namun jumlah tersebut masih jauh lebih
rendah dari jumlah tabungan pemerintah tertinggi yang dicapai dalam tahun 1985/1986. Bahkan
dalam tahun 1988/1989 tabungan pemerintah diperkirakan hanya akan mencapai sebesar Rp

Departemen Keuangan Republik Indonesia 84


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1.737,0 milyar, suatu jumlah yang kurang lebih sama dengan tabungan pemerintah pada akhir
Pelita II. Penurunan-penurunan realisasi tabungan pemerintah yang terjadi sejak tahun ketiga
pelaksanaan Pelita IV tersebut terutama disebabkan oleh kemerosotan harga minyak mentah di
pasaran dunia yang mempengaruhi penerimaan dalam negeri, di samping meningkatnya
pengeluaran rutin.
Tabungan pemerintah dalam tahun 1989/1990 masih akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang mempengaruhi tabungan pemerintah dalam tahun-tahun sebelumnya, seperti
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dan harga minyak mentah di pasaran
intemasional. Pembayaran hutang luar negeri diperkirakan masih akan meningkat dalam tahun
1989/1990 sehingga akan mencapai Rp 12.088,0 milyar, sedangkan harga rata-rata ekspor
minyak mentah Indonesia diperkirakan hanya akan mencapai US $ 14,00 untuk setiap barelnya,
yang berarti 2 dolar lebih rendah dibandingkan dengan asumsi yang digunakan dalam APBN
sebelumnya. Perkembangan dalam kedua faktor tersebut diperkirakan akan semakin menekim
tabungan pemerintah, baik dari sisi penerimaan dalam negeri maupun dari sisi pengeluaran rutin.
Tekanan tersebut semakin meningkat oleh karena dalam tahun 1989/1990 pemerintah
merencanakan untuk menaikkan gaji pegawai negeri, pensiunan dan anggota ABRI yang akan
meningkatkan belanja pegawai. Dengan demikian, sekalipun penerimaan dalam negeri di luar
sektor migas dapat ditingkatkan dengan kenaikan yang cukup tinggi, tabungan pemerintah
dalam tahun 1989/1990 relatif masih tetap rendah. Dengan gambaran penerimaan dalam negeri
dan pengeluaran rutin seperti yang diuraikan di alas, tabungan pemerintah yang dapat terbentuk
dalam tahun 1989/1990 diperkirakan sebesar Rp 1.804,8 milyar.

2.3.6. Pengeluaran pembangunan


Sesuai dengan kebijaksanaan yang ditempuh dalam rangka menunjang program
pembangunan tahun pertama Pelita V, yang merupakan pelaksanaan pembangunan jangka
panjang 25 tahun pertama, maka pengeluaran pembangunan dalam RAPBN 1989/1990
direncanakan sebesar Rp 13.129,9 milyar, yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp
3.603,7 milyar dan pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek sebesar Rp9.526,2
milyar. Jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan dalam RAPBN1989/1990 tersebut
menunjukkan kenaikan sebesar Rp 4.232,3 milyar (47,6 persen) dari APBN 1988/1989, dimana
pembiayaan rupiah mengalami kenaikan sejumlah Rp 703,7 milyar (24,3 persen) dan
pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek mengalami kenaikan sejumlah Rp

Departemen Keuangan Republik Indonesia 85


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.528,6 milyar (58,8 persen).


Dengan berpijak pada prioritas yang ditetapkan dalam Repelita V, pengeluaran
pembangunan dalam RAPBN 1989/1990, baik pembiayaan rupiah maupun pengeluaran
pembangunan dalam bentuk bantuan proyek, dialokasikan ke dalam berbagai proyek, baik yang
berkaitan dengan sektor ekonomi, maupun sektor sosial budaya dan sektor-sektor lainnya.
Adapun titik berat pembangunan ditekankan pada sektor pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya, serta sektor industri,
khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
Secara sektoral, pengeluaran pembangunan dalam RAPBN 1989/1990 dialokasikan
terutama kepada sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor
pendidikan dan kebudayaan, sektor pertambangan dan energi, serta sektor pembangunan daerah,
desa dan .kota. Sektor perhubungan dan pariwisata memperoleh alokasi sebesar Rp 2.522,1
milyar, sektor pertanian dan pengairan mendapat alokasi sebesar Rp 1.994,2 milyar, sektor
pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa memperoleh alokasi sebesar Rp 1.683,2 milyar, sektor pertambangan energi mendapat
alokasi sebesar Rp 1.614,7 milyar, dan sektor pembangunan daerah, desa dan kota mendapat
alokasi sebesar Rp 1.552,3 milyar.
Anggaran pembangunan sektor perhubungan dan pariwisata dialokasikan pada berbagai
sub sektor. Bagi sub sektor prasarana jalan, alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.380,3
milyar akan dipergunakan untuk biaya operasi dan pemeliharaan jalan negara dan jalan propinsi
lebih kurang sepanjang 27.000 km, jalan kabupaten lebih kurang sepanjang 35.000 km,
peningkatan jalan dan jembatan, baik negara maupuri propinsi, sepanjang 2.130 km, serta jalan
kabupaten sepanjang 4.680 km. Alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 295,7 milyar bagi
sub sektor perhubungan darat direncanakan untuk rehabilitasi jalan kereta api sepanjang 158 km,
pembangunan jembatan kereta api dan sinyal, rehabilitasi kereta api listrik (KRL) dan kereta api
disel (KRD) sebanyak 94 buah, pemasangan rambu-rambu sungai, serta pembangunan dermaga
di Pulau Batam, Labuhan Bajo, Teluk Batang, Pulau Baai-Lembar, dan Meulaboh. Selanjutnya
alokasi dana sebesar Rp 285,5 milyar bagi sub sektor perhubungan laut direncanakan untuk
pengembangan fasilitas pelabuhan laut, antara lain berupa dermaga, lapangan container, dan
lapangan penumpukan. Bagi sub sektor perhubungan udara, alokasi dana sebesar Rp 378,2
milyar direncanakan untuk peningkatan landasan udara, baik di bandara-bandara maupun di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 86


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

lapangan perintis. Bagi sub sektor pos dan telekomunikasi, alokasi daha sebesar Rp144,9 milyar
direncanakan untuk pembangunan kantor pos di kecamatan terpencil dan perluasan jaringan
telepon dan telex. Sedangkan bagi sub sektor pariwisata, alokasi anggaran pembangunan sebesar
Rp 37,5 milyar direncanakan untuk melanjutkan usaha peningkatan, pengembangan dan
pendayagunaan sumber potensi kepariwisataan nasional, sehingga menjadi kegiatan ekonomi
yang dapat diandalkan untuk memperbesar penerimaan devisa, serta memperluas kesempatan
berusaha dan lapangan kerja.
Selanjutnya dalam sektor pertanian dan pengairan, dalam rangka peningkatan kualitas
dan kuantitas usaha intensifikasi, alokasi anggaran pembangunan untuk sub sektor pertanian
sebesar Rp 1.416,1 milyar akan digunakan untuk biaya peningkatan penyuluhan pertanian oleh
sebanyak 1.859 penyuluh pertanian sposialis (PPS) dan 32.957 penyuluh pertanian lapangan
(PPL). Selain itu akan digunakan pula untuk pencetakan sawah, pengadaan benih, ekstensifikasi
tanaman perkebunan, pembuatan tambak dan paket pengembangan aneka ikan. Sedangkan bagi
sub sektor pengairan, alokasi dana sebesar Rp 578,1 milyar direncanakan untuk perbaikan
jaringan pengairan seluas 32.245 ha, operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan seluas
831.600 ha, pembangunan irigasi baru seluas 49.296 ha, pematangan rawa seluas 45.450 ha,
peningkatan tambak seluas 4.531 ha, dan pembangunan tambak seluas 445 ha. Selain itu juga
akan digunakan untuk pemeliharaan sungai, serta pengamanan wilayah pertanian, wilayah
perkotaan, dan wilayah pantai.
Alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp1.509.8 milyar untuk sub sektor pendidikan
dan generasi muda akan dipergunakan untuk pembangunan gedung SD, SMP dan SMA,
masing-masing sebanyak170 buah, 50 buah dan 15 buah, serta pengembangan SMTA kejuruan
sebanyak 45 buah. Selain itu juga digunakan untuk biaya operasi dan pemeliharaan gedung SD,
SMP, SMA dan penyelesaian pemindahan/perluasan kampus beberapa perguruan tinggi,
penyediaan buku bacaan, penataran guru, dan pengadaan peralatan pendidikan.
Anggaran pembangunan sebesar Rp 1.614,7 milyar yang dialokasikan pada sektor
pertambangan dan energi, sebesar Rp 1.433,4 milyar direncanakan terutama untuk membiayai
berbagai kegiatan pembangunan pada sub sektor energi, antara lain penyelesaian pusat
pembangkit tenaga listrik sebesar 669 MW, listrik pedesaan sebanyak 1.838 desa, jaringan
transmisi sepanjang 570 kms, gardu tegangan sebesar 170 MVA, jaringan induk menengah
sepanjang 10.085 kms, gardu distribusi sebesar 1.997 MVA, dan jaringan tegangan rendah
sepanjang 14.534 kms.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 87


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Anggaran pembangunan yang dialokasikan untuk sektor pembangunan daerah, desa dan
kota sebesar Rp 1.552,3 milyar direncanakan untuk membiayai Inpres Dari I dengan alokasi
sebesar Rp 12,0 milyar per Dari I, Inpres kabupaten dengan alokasi sebesar Rp 1.450,00 per
jiwa dan Inpres desa dengan alokasi sebesar Rp 1,5 juta per desa, serta program penataan ruang
daerah dan penataan agraria. Sebagian besar dana Inpres ini digunakan untuk biaya operasi dan
pemeliharaan jalan propinsi, kabupaten dan jaringan irigasi.
Sektor lain yang juga mendapat alokasi yang cukup besar dalam RAPBN 1989/1990 an
tara lain adalah sektor pertahanan dan keamanan nasional, sektor perumahan rakyat dan
pemukiman, serta sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peran an wanita, kependudukan dan
keluarga berencana.
Keberhasilan dan kelangsungan pembangunan memerlukan suatu kondisi pertahanan dan
keamanan (Hankam) yang mantap. Oleh karena itu pembangunan di bidang Hankam merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional. Di samping ditujukan untuk
membangun kemampuan bangsa dalam menghadapi segala macam ancaman dan gangguan baik
dari luar maupun dari dalam negeri, pembangunan bidang Hankam juga ditujukan untuk
mendukung pelaksanaan, sekaligus mengamankan hasil-hasil serta menjamin kelanjutan
pembangunan nasional.Sejalan dengan itu alokasi anggaran pembangunan untuk sektor Hankam
sebesar Rp 812,6 milyar dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan untuk membiayai berbagai
program pembangunan, baik yang menyangkut prasarana maupun sarana untuk meningkatkan
kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan.
Dalam RAPBN 1989/1990, sektor perumahan dan pemukiman juga mendapat perhatian
yang cukup besar, sebagaimana tercermin dari anggaran pembangunan yang dialokasikan untuk
sektor tersebut yaitu sebesar Rp 620,1 milyar. Dana ini direncanakan untuk pembangunan
rumah sederhana sebanyak 70.000 unit, penyediaan rumah sewa sederhana sebanyak 2.500 unit,
pemugaran perumahan des a sebanyak 54.000 unit, serta perbaikan kampung dan peremajaan
kola. Di samping itu dana tersebut juga akan digunakan untuk peningkatan kapasitas produksi
air bersih sebesar 52.400 liter per detik serta air bersih pedesaan.
Anggaran pembangunan untuk sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita,
kependudukan dan keluarga berencana terutama dialokasikan pada sub sektor kesehatan serta
sub sektor kependudukan dan keh.iarga berencana. Alokasi dana sebesar Rp 249,8 milyar bagi
sub sektor kesehatan akan digunakan untuk pembangunan Puskesmas sebanyak 100 buah,
Puskesmas pembantu sebanyak 1.000 buah, Puskesmas keliling sebanyak 500 buah, rehabilitasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 88


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Puskesmassebanyak 1.800 buah, dan penyediaan air bersih pedesaan sebanyak 80.000 buah.
Selain itu dana tersebut juga akan digunakan untuk biaya operasional Puskesmas dan Puskesmas
pembantu, perbaikan gizi, serta pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, khususnya
peningkatan cakupan immunisasi terhadap 10,6 juta anak bayi dan 5,5 juta ibu hamil. Bagi sub
sektor kependudukan dan keluarga berencana dana sebesar Rp 159,3 milyar akan dipergunakan
untuk peningkatan poserta keluarga berencana baru sebanyak 4,4 juta jiwa, KB aktif sebanyak
9,9 juta jiwa, dan peningkatan pendidikan keluarga berencana.
Selain dilihat dari sudut sektoral, pengeluaran pembangunan rupiah juga dapat dilihat
menu rut alokasi per jenisnya. Berdasarkan alokasi tersebut, pengeluaran pembangunan rupiah
dalam RAPBN 1989/1990 sebesar Rp 3.603,7 milyar terbagi menjadi tiga kelompok jenis
pengeluaran, yaitu pengeluaran yang dialokasikan melalui berbagai departemenjlembaga negara
sebesar Rp 1.474,0 milyar, pengeluaran khusus pembangunan daerah sebesar Rp 1.759,1 milyar,
dan pengeluaran pembangunan lainnya sebesar Rp 370,6 milyar.
Pengeluaran pembangunan melalui departemenjlembaga negara dimaksudkan untuk
pembangunan sektoral, yang tanggung jawab pengelolaannya dilakukan oleh masing-masing
departemenjlembaga negara sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing,
termasuk proyek-proyek pembangunan yang dikelola oleh Departemen Pertahanan dan
Keamanan. Dibandingkan dengan APBN 1988/1989, pengeluaran pembangunan rupiah untuk
berbagai departemenjlembaga negara dalam RAPBN 1989/1990 tersebut menunjukkan kenaikan
sebesar 31,6 persen.
Pengeluaran pembangunan dalam RAPBN 1989/1990 untuk pembangunan daerah,
yaitu berupa berbagai program Inpres dan pembangunan dengan dana penerimaan pajak bumi
dan bangunan (PBB) direncanakan sebesar Rp 1.759,1 milyar. Jumlah tersebut terbagi dalam
pengeluaran Inpres pembangunan desa sebesar Rp 112,0 milyar, Inpres pembangunan kabupaten
sebesar Rp 270.0 milyar, In pres pembangunan Dari I sebesar Rp 324,0 milyar, In pres sekolah
dasar sebesar Rp 100,0 milyar, Inpres pusat kesehatan masyarakat sebesar Rp 122,2 milyar,
Inpres penghijauan dan reboisasi sebesar Rp 16,2 milyar, Inpres pembangunan pasar sebesar Rp
3,0 milyar, dan Inpres pembangunan prasarana jalan dan jembatan sebesar Rp 294,5 milyar.
Selain itu termasuk di dalam alokasi bantuan pembangunan daerah adalah alokasi bantuan
pembiayaan daerah melalui dana pajak bumi dan bangunan sebesar Rp 517,2 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 89


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.23
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR
APBN 1988/1989 DAN RAPBN 1989/1990
(dalam milyar rupiah)
APBN RAPBN
1988/1989 1989/1990

1 Sektor Pertanian dan Pengairan 1.299,70 1.994,20


2 Sektor Industri 234,4. 341,8
3 Sektor Pertambangan dan Energi 1.217,40 1.614,70
4 Sektor Perhubungan dan Pariwisata 1.654,40 2.522,10
5 Sektor Perdagangan dan Koperasi 147,4 199,9
6 Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi 226 335,3
7 Sektor Pembangunan Daerah, Desa dan Kota 1.032,20 1.552,30
8 Sektor Agama 17,8 26,4
9 Sektor Pendidikan, Generasi Muda,
Kebudayaan Nasional, dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 1.075,60 1.683,20
10 Sektor Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan
Wanita, Kependudukan dan Keluarga Berencana 289,2 434
11 Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman 438,3 620,1
12 Sektor Hukum 21,1 28,9
13 Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional 555 812,6
14 Sektor Penerangan, Pers, dan Komunikasi Sosial 31,4 46,2
15 Sektor IImu Pengetahuan, Tehnologi dan Penelitian 193,6 278,9
16 Sektor Aparatur Pemerintah 71,6 99,2
17 Sektor Pengembangan Dunia Usaha 207,9 291,3
18 Sektor Sumber Alam dan Ungkungan Hidup 175,8 248,8

Peranserta masyarakat yang merupakan unsur penting dalam pelaksanaan pem-


bangunan, sejak awal Pelita I telah diperhatil<an. Hal tersebut tercermin dengan dialokasi-
kannya dana dalam Inpres pembangunan desa, yang dimaksudkan untuk lebih mendorong usaha
swadaya masyarakat dalam proses pembangunan. Dalam RAPBN 1989/1990 dana yang
dialokasikan untuk Inpres bantuan pembangunan desa adalah sebesar Rp 112,0 milyar yang
dialokasikan bagi 68.019 desa. Dengan demikian masing-masing desa akan menerima bantuan
pembangunan sebesar Rp 1,5 juta termasuk sejumlah Rp 300 ribu untuk pendidikan
kesejahteraan keluarga (PKK).
Inpres bantuan pembangunan kabupaten (Dari II), yang secara langsung maupun tidak
langsung dimaksudkan untuk menciptakan dan memperluas kesempatanjlapangan kerja, dalam
Pelita V masih akan terus dilaksanakan. Dalam RAPBN 1989/1990 anggaran yang dialokasikan
untuk Inpres bantuan pembangunan Dari II ini berjumlah Rp 270,0 milyar. Jumlah ini berarti

Departemen Keuangan Republik Indonesia 90


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sedikit lebih tinggi dari alokasi dalam tahun sebelumnya. Inpres bantuan pembangunan
kabupaten tersebut ditentukan atas dasar bantuan perjiwa sebesar Rp 1.450,00, bantuan
minimum sebesar Rp 200,0 juta per kabupaten, dan dengan jumlah penduduk sebanyak 175,6
juta orang.
Guna meningkatkan keselarasan pembangunan sektoral dan regional, meratakan hasil-
hasil pembangunan, meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antardaerah, dan meningkatkan
partisipasi daerah dalam pembangunan, Pemerintah telah memberikan bantuan dana yang
dialokasikan dalam Inpres bantuan daerah tingkat (Dari) I. Anggaran yang disediakan untuk
Inpres tersebut berjumlah Rp 324,0 milyar bagi 27 daerah tingkat I (propinsi), dengan ketentuan
besarnya bantuan adalah sebesar Rp 12,0 milyar untuk tiap daerah tingkat I.
Dalam upaya memberikan lebih banyak kesempatan belajar pada anak-anak usia
sekolah dasar, terutama yang berada di daerah terpencil, daerah transmigrasi dan pemukiman
baru, seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam RAPBN 1989/1990 dialokasikan pula dana untuk
Inpres sekolah dasar sebesar Rp 100,0 milyar. Dana tersebut diperuntukkan bagi pembangunan
gedung sekolah dasar sebanyak 170 unit khususnya untuk SD kecil di daerah terpencil dan
daerah transmigrasi/PIR, penambahan ruang kelas sebanyak 250 unit, rehabilitasi dan
pemeliharaan gedung sekolah dasar sebanyak 164.000 unit, pembangunan rumah kepala sekolah
dan guru sebanyak 150 unit, serta penyediaan buku bacaan sebanyak 8,0 juta buku dan peralatan
olah raga sebanyak 1.000 paket.
Alokasi untuk Inpres sarana kesehatan masyarakat dalam RAPBN 1989/1990 adalah
sebesar Rp 122,2 milyar. Melalui Inpres yang terutama ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini, direncanakan akan dibangun
sebanyak 100 Puskesmas, sebanyak 1.000 Puskesmas pembantu, sebanyak 500 Puskesmas
keliling, serta sebanyak 500 rumah dokter dan paramedis. Selain itu dana tersebut juga akan
digunakan untuk pengadaan dan penyediaan obat-obatan sebesar Rp 450,00 per jiwa, air bersih
di pedesaan sebanyak 80.000 buah serta rehabilitasi 1.800 gedung Puskesmas dan Puskesmas
pembantu.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 91


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.24
PENGELUARAN PEMBANGUNAN RUPIAH KHUSUS UNTUK DAERAH
APBN 1988/1989 DAN RAPBN 1989/1990
(dalam milyar rupiah)

Jenis pengeluaran APBN 1988/1989 RAPBN 1989/1990

(
1 ) In pres pembangunan desa 112,0 112,0
(2) In pres pembangunan kabupaten 267,2 270,0
(3) In pres pembangunan Dari I 324,0 324,0
(4) In pres sekolah dasar 112,5 100,0
(5) Inpres Puskesmas 91,1 122,2
(6) In pres penghijauan dan reboisasi 16,2 16,2
(7) Inpres pembangunan jalan dan jembatan 180,0 294,5
(8) Inpres pembangunan prasarana pasar 3,0 3,0
(9) Timor Timur 6,0 - 1)
(10) Pembangunan daerah dengan dana PBB 260,8 517,2

Jumlah 1.372,8 1. 759,1

1) Dialokasikan melalui departemen/lembaga secara sektoral

Selanjutnya anggaran bagi program Inpres penghijauan dan reboisasi, yang dalam
RAPBN 1989/1990 direncanakan sebesar Rp 16,2 milyar, akan digunakan untuk program
penghijauan seluas 96.000 ha dan biaya petugas lapangan penghijauan sebanyak 5.187 orang,
program reboisasi seluas 19.000 ha, dan biaya petugas lapangan reboisasi sebanyak 1.243 orang.
Sedangkan anggaran bagi program Inpres pembangunan jalan dan jembatan, yang dalam
RAPBN 1989/1990 direncanakan sebesar Rp 294,5 milyar, akan dipergunakan untuk
melanjutkan peningkatan jalan propinsi sepanjang 1.450 km, peningkatan jalan kabupaten
sepanjang 4.680 km, serta peningkatan jalan kotamadya dan kota administratif sepanjang 220
km.
Dalam RAPBN 1989/1990 alokasi untuk Inpres prasarana pasar direncanakan sebesar
Rp 3,0 milyar. Melalui bantuan pembangunan prasarana pasar yang diwujudkan dalam subsidi
bunga bagi kredit yang dipakai pemerintah daerah di dalam membangun prasarana pasar, terus
diupayakan peningkatan tempat berjualan dengan sewa murah bagi para pedagang kecil

Departemen Keuangan Republik Indonesia 92


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

golongan ekonomi lemah.


Alokasi pengeluaran pembangunan lainnya dalam RAPBN 1989/1990 direncanakan
sebesar Rp 370,6 milyar, meliputi pembiayaan subsidi pupuk sebesar Rp 155,0 milyar,
penyertaan modal pemerintah (PMP) sebesar Rp 58,0 milyar, dan pembiayaan lain-lain
pembangunan sebesar Rp 157,6 milyar. Dalam kaitannya dengan subsidi pupuk, mulai bulan
Januari 1989 Pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk menaikkan harga dasar gabah dan
palawija, harga pestisida, serta harga pupuk. Kebijaksanaan tersebut ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan para petani dan sekaligus untuk lebih memantapkan swasembada
pangan. Di samping itu mulai awal tahun 1989, pemerintah juga akan menghapuskan pemberian
subsidi kepada pengadaan pestisida. Adanya kenaikan harga pupuk dan penghapusan subsidi
pestisida yang diikuti dengan efisiensi di dalam penggunaannya, diharapkan akan mengurangi
jumlah subsidi yang diperlukan. Sementara itu dengan terbatasnya dana yang tersedia dalam
RAPBN 1989/1990, maka dana PMP hanya digunakan untuk investasi yang berprioritas tinggi
dan merupakan sumber pembiayaan terakhir, setelah diupayakan dana yang ada dalam
perusahaan dan pinjaman dari sektor perbankan. Hal yang sama juga diterapkan dalam lain-lain
pembangunan, yaitu digunakan hanya untuk program-program penting yang bersifat khusus,
seperti program keluarga berencana, program perumahan rakyat, dan proyek pengembangan
statistik. Rincian mengenai Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
1989/1990 dapat diikuti dalam Tabel lI.25.

2.4. Pengawasan keuangan negara dan pembangunan


Pembangunan nasional yang dilaksanakan sejak Pelita I hingga Pelita III telah
memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Namun dalam beberapa tahun terakhir upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat ini telah menghadapi hambatan berupa keterbatasan
dalam penyediaan dana bagi pembangunan, yang terutama bersumber pada perkembangan harga
minyak bumi yang kurang menguntungkan. Dalam periode sebelum Pelita IV harga minyak
bumi masih mendukung tersedianya dana dari sumber migas, namun mulai tahun-tahun terakhir
Pelita IV menunjukkan gejala penurunan. Sehingga dalam PeIita V dan selanjutnya pelaksanaan
penggalian sumber dana dari luar migas dan pemanfaatan dana yang tersedia secara lebih
terarah, efisien dan efektif pada kegiatan-kegiatan yang produktif, merupakan kebutuhan yang
mendesak. Sejalan dengan itu, agar pelaksanaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana
dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, peranan pengawasan yang sejak Pelita II telah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 93


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

ditempatkan sejajar dengan perencanaan dan pelaksanaan terasa makin bertambah penting. Hal
ini disebabkan pula karena pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia akan segera
memasuki tahap yang sangat menentukan, yaitu merupakan penutup dari pembangunan jangka
panjang 25 tahun pertama, yang sekaligus merupakan ancang-ancang untuk memasuki
pembangunan jangka panjang 25 tahun kedua. Untuk itu, pada akhir masa pembangunan jangka
panjang 25 tahun pertama diharapkan dapat tercipta kondisi pengawasan yang dapat lebih
mendorong terwujudnya kelancaran pembangunan dan aparatur negara yang bersih dan
berwibawa, sehingga mampu menjadi sala_atu kerangka yang mantap bagi tahap tinggallandas.
Oleh karena itu dalam Pelita IV Pemerintah telah mengambil langkah-Langkah kebijaksanaan
untuk meningkatkan dan menyempurnakan tugas dan fungsi pengawasan. Sebagai hasiInya pada
akhir Pelita IV telah tercipta suatu tata cara pengawasan yang dapat membentuk landasan bagi
terwujudnya sistem pengawasan yang terpadu. Sejalan dengan upaya penyempurnaan dan
peningkatan pengawasan, dalam Pelita IV Pemerintah juga telah melakukan pengembangan
pengawasan sosial, dan mulai tahun 1988/1989 diselenggarakan penataran pengawasan melekat.
Guna menunjang keberhasilan berbagai upaya di atas diperlukan adanya kemampuan aparatur
pengawasan fungsional yang memadai, yang dilaksanakan melalui berbagai penataran dan
latihan terhadap pegawai teknis aparat pengawasan fungsional. Sedangkan untuk
menyelenggarakan pemeriksaan dan pelaporan hasil pemeriksaan yang sama di antara aparat
pengawasan fungsional, telah diterbitkan pula norma pemeriksaan aparat pengawasan
fungsional Pemerintah.
Peningkatan dan penyempurnaan pengawasan dilakukan tidak hanya terhadap
pengawasan fungsional melainkan juga terhadap pengawasan melekat. Pengawasan fungsional
dilakukan oleh aparat fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), Inspektorat Jenderal dan aparat pengawasan lembaga Pemerintah non departemen,
serta inspektorat wilayah propinsi dan kabupaten/kotamadya. Sedangkan pengawasan melekat
merupakan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung untuk dapat
mengarahkan seluruh kegiatan organisasi yang dipimpinnya didalam merealisasikan rencana
dan tujuan yang ditetapkan. Kebijaksanaan pengawasan fungsional secara nasional digariskan
oleh Presiden, kemudian wakil Presiden secara terus menerus memimpin dan mengikuti
pelaksanaan pengawasan. Selanjutnya Menteri Koordinator Bidang Ekuin dan Wasbang
mengkoordinasikan penyiapan draft penyusunan kebijaksanaan pengawasan yang digariskan
Presiden, dan akhirnya Kepala BPKP menyelenggarakan koordinasi teknis pelaksanaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 94


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional


berdasarkan program kerja pengawasan tahunan (PKPT) yang disusun BPKP berdasarkan
usulan PKPT masing-masing aparat pengawasan fungsional, serta sesuai dengan petunjuk
Menko Ekuin dan Wasbang. Hasil-hasil pengawasan oleh para pejabat yang berwenang
dipergunakan sebagai dasar untuk mengambil tindak lanjut guna menyelesaikan masalah-
masalah yang diidentifikasikan oleh aparat pengawasan fungsional. Penyelenggaraan tindak
lanjut tersebut dikoordinasikan oleh Menko Ekuin dan Wasbang serta dibantu oleh Kepala
BPKP. Kemudian hasil-hasil pengawasan fungsional dievaluasi oleh BPKP dan dibahas secara
umum oleh Menko Ekuin dan Wasbang dan dipakai sebagai bahan petunjuk bagi penyusunan
program kerja pengawasan tahunan berikutnya. Setelah diuji pelaksanaannya, selama lima tahun
terakhir tata cara pengawasan fungsional yang mengatur prosedur penyusunan rencana
pengawasan, pelaksanaan pengawasan hingga pelaporan serta pelaksanaan tindak lanjutnya,
telah merupakan tata cara pengawasan fungsional yang sesuai dengan susunan organisasi
pemerintahan sampai saat ini, meskipun masih perlu dimantapkan pelaksanaannya di masa-masa
yang akan datang.

Sejak berlakunya tata cara baru di bidang pengawasan, kebijaksanaan pengawasan


yang tadinya tersebar di beberapa tangan telah diintegrasikan dalam satu tangan. Kurang adanya
koordinasi dalam pelaksanaan pengawasan telah dapat diatasi dengan disusunnya PKPT secara
nasional oleh BPKP, sehingga tumpang tindih dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan fungsional dapat dikurangi dan pemerataan pemeriksaan dapat dilakukan ke seluruh
wilayah Indonesia. Selain itu pelaksanaan pemeriksaan, pelaporan hasil pemeriksaan, dan
laporan triwulan hasil pengawasan, serta pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan,
disampaikan oleh seluruh aparat pengawasan fungsional kepada BPKP yang bertindak sebagai
koordinator teknis pengawasan. Selanjutnya para pejabat yang menerima laporan hasil
pengawasan diwajibkan mengambH langkah-langkah tindak lanjut hasil pengawasan, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian BPKP dan aparat
pengawasaplainnya memantau terus pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan tersebut.
Kepala BPKP secara berkala (tiga bulan sekali) menyampaikan laporan mengenai
perkembangan pengawasan dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan tersebut kepada
Pemerintah. Demikian pula untuk keperluan rapat koordinasi pengawasan yang dipimpin Wakil
Presiden, Kepala BPKP melaporkan hasil evaluasi pelaksanaan kebijaksanaan pengawasan yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 95


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

telah digariskan. Penyempurnaan tata kerja pengawasan fungsional juga telah berhasil
mempertegas dan memperjelas hubungan kerja di antara aparat pengawasan fungsional pusat
dan daerah serta pengawasan fungsional dengan instansi-instansi lainnya, sehingga makin
memperlancar tercapainyaa tujuan pengawasan yang ditetapkan. Demikian pula kedudukan dan
fungsi aparat pengawasan fungsional terhadap pengawasan atasan makin dipertegas, sehingga
menambah kejelasan mekanisme pengawasan yang harus ada di dalam setiap unit organisasi
pemerintahan pada khususnya dan dalam tubuh aparatur pemerintah pada umumnya.

Sementara itu usaha untuk mengembangkan pengawasan sosial dilakukan dengan cara
menyebarluaskan pengertian dan kesadaran pengawasan, baik di jajaran aparatur pemerintah
maupun di kaiangan masyarakat. Pengawasan sosial dapat lebih memperkokoh perkembangan
siklus pengelolaan yang baik dari para pimpinan, dan sangat diperlukan sebagai pendukung
keberhasilan kegiatan operasional pengawasan itu sendiri. Oleh karena itu untuk menampung
informasi pengaduan dari masyarakat, pemerintah telah membuka Tromol Pos 5000.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan dan menyempurnakan pengawasan, mulai tahun
1988/1989 pemerintah menyelenggarakan penataran pengawasan melekat. Penataran tersebut
diikuti oleh seluruh pejabat eselon I, II dan III pemerintah pusat dan pemerintah daerah, badan
us aha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMO), serta lembaga lainnya yang
dianggap perillo Penyelenggaraan penataran tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
dan budaya pengawasan melekat pada khususnya dan fungsi pengawasan umumnya, sehingga
pengawasan dapat berjalan secara wajar, efektif, dan efisien, serta meningkatkan
pendayagunaan pengawasan melekat dalam tubuh aparatur pemerintah dan disiplin kerja.
Adapun sasaran yang hendak dicapai dari penataran ini adalah menghidupkan seluruh fungsi
manajemen, menjadikan pengawasan melekat unsur pengawasan yang pokok dengan
pengawasan fungsional-sebagai penunjang, serta meningkatkan peranan para pimpinan dalam
melaksanakan pengawasan melekat. Pada akhimya diharapkan sasaran tugas umum
pemerintahan dan pembangunan dapat dicapai secara efisien dan efektif, serta dapat dihindarkan
terjadinya penyimpangan pelaksanaan, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan.
Selain itu dengan adanya pengawasan melekat diharapkan pula hambatan-hambatan dalam tugas
umum pemerintahan dan pembangunan yang selama ini masih sering dijumpai akan berangsur-
angsur menjadi hilang.
Di samping penataran pengawasan melekat basi para pejabat pemerintah pusat dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 96


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

daerah, mengingat pelaksanaan pengawasan terutama amat ditentukan oleh manusia sebagai
pelaksananya, maka dituntut adanya kemampuan tenaga pengawas yang cukup memadai. Untuk
itu melalui penataran dan latihan basi pegawai teknis aparat pengawasan fungsional, telah
ditingkatkan mutu keterampilan dan keahlian tenaga pengawas. Penataran dan latihan tersebut
meliputi pemeriksaan operasional, penyidikan, pengawas keuangan "C", pemahaman tugas-
tugas satuan pengawasan BUMN, orientasi pemeriksaan keuangan negara, pendidikan pengatur
tata usaha setaraf ajun akuntan, dan penataran pengendalian pengawasan. Dalam empat tahun
pertama Pelita IV telah ditatar 6.570 tenaga pengawas dari BPKP dan aparat pengawasan
fungsional lainnya, dengan rincian dalam tahun 1984/1985 sebanyak 1.443 orang, dalam tahun
1985/1986 sebanyak 1.706 orang, dalam tahun 1986/1987 sebanyak 1.643 orang, dan dalam
tahun 1987/1988 sebanyak 1.778 orang. Melalui berbagai penataran dan latihan tersebut
diharapkan adanya peningkatan kemampuan aparatur pengawasan fungsional dalam mencegah
terjadinya kesalahan dan penyimpangan yang tidak diharapkan serta terjadinya pemborosan dan
kebocoran. Selain penataran dan latihan yang diselenggarakan oleh BPKP, beberapa departemen
dan lembaga telah pula menyelenggarakan berbagai kursus, ceramah, penataran, dan latihan di
bidang pengawasan basi para pejabat dan tenaga pengawas.
Di samping penataran dan latihan, untuk memperlancar tugas para tenaga pengawas
dibekali dengan berbagai pedoman. Dalam Pelita IV telah diterbitkan norma pemeriksaan aparat
pengawasan fungsional pemerintah yang berisi pedoman mengenai standar-standar pemeriksaan,
yaitu patokan untuk pemeriksa, pelaksanaan pemeriksaan, dan laporan hasil pemeriksaan.
Sebagai kelanjutan dari pedoman tersebut telah diterbitkan pula petunjuk pelaksanaan mengenai
persyaratan basi pemeriksa di lingkungan aparat pengawasan fungsional pemerintah, yang berisi
rincian dan penjelasan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan yang harus
dimiIiki oleh pemeriksa. Dengan pedoman tersebut diharapkan pemeriksaan dan pelaporan hasil
pemeriksaan di antara aparat pengawasan fungsional dapat diselenggarakan dengan mutu yang
sama. Sementara itu sebagai pegangan dan ukuran mutu di bidang pemeriksaan basi pimpinan
dan petugas satuan pengawas intern badan usaha miIik negarajbadan usaha miIik daerah (SPI
BUMNjBUMD) maupun basi para pejabat lain yang karena fungsinya mempunyai pengaruh
terhadap SPI BUMNjBUMD telah pula diterbitkan norma pemeriksaan SPI BUMN/BUMD.
Adapun untuk memperkuat pengawasan BUMN dan mendorong berfungsinya SPI BUMN,
BPKP memantau pelaksanaan tugas SPI tersebut melalui rencana kerja dan laporan realisasinya
yang harusdibilat oleh clireksi BUMN yang bersangkutan. Agar dapat mencakup seluruh aspek

Departemen Keuangan Republik Indonesia 97


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

yang memerlukan rincianrincian operasionalisasinya, maka di masa yang akan datang


penyusunan pedoman-pedoman dan petunjuk-petunjuk tehnis di bidang pengawasan serta
rincian dan penjelasan norma-norma pemeriksaan akan terus dilanjutkan. Sedangkan petunjuk
dan rincian penjelasan yang telah ada secara terus menerus akan dikaji ulang agar tetap dapat
mengimbangi perkembanganperkembangan yang terjadi dalam bidang manajemen
pemerintahan termasuk pengawasan melekat, teknologi, sosial dan sebagainya.

Dengan berpegang pada kebijaksanaan yang telah ditempuh di atas, kegiatan


pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah selama lima tahun
Pelita IV adalah sebagai berikut. Dalam tahun 1984/1985 telah dilakukan pemeriksaan atas
68.610 obyek, dalam tahun 1985/1986 sebanyak 54.081 obyek, dalam tahun 1986/1987
sebanyak 52.576 obyek, dalam tahun 1987/1988 sebanyak 44.1.75 obyek, dan dalam tahun
1988/1989 sebanyak 46.869 obyek pemeriksaan. Menurunnya kegiatan pemeriksaan terutama
disebabkan karena pemeriksaan diarahkan kepada kualitas pemeriksaan, dan disesuaikan dengan
kemampuan tenaga, tersedianya waktu, dan biaya. Peningkatan kualitas pemeriksaan antara lain
dicapai dengan adanya kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam memilih sasaran-sasaran
pengawasan, disamping adanya kegiatan pembangunan dan kegiatan umum pemerintahan yang
perlu mendapatkan prioritas khusus dalam pengawasan. Rincian kegiatan pemeriksaan
berdasarkan program kerja pengawasan tahunan (PKPT) dari seluruh aparat pengawasan
fungsional Pemerintah selama Pelita IV dapat diikuti dalam Tabel 11.26.
Selain kegiatan pemeriksaan seperti yang dituangkan dalam PKPT, juga telah
dilaksanakan pemeriksaan khusus dan perluasan pemeriksaan, yang pada umumnya terjadi
karena adanya kasus-kasus yang perlu didalami, baik yang berasal dari temuan pemeriksaan
maupun yang berasal dari informasi masyarakat. Pendalaman pemeriksaan tersebut pada
umumnya memerlukan dukungan tenaga yang terampil serta sarana dan prasarana yang dapat
meningkatkan mobilitas tenaga.
Melalui kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat fungsional pemerintah, baik
pus at maupun daerah, selama empat tahun pertama Pelita IV telah berhasil ditemukan temuan
pemeriksaan masing-masing sebanyak 22.687 kasus dalam tahun 1984/1985,30.042 kasus dalam
tahun 1985/1986, 36.429 kasus dalam tahun 1986/1987, dan 38.392 kasus dalam tahun
1987/1988. Temuan-temuan pemeriksaan tersebut yang disertai dengan saransaran tindak lanjut
yang diperlukan telah disampaikan kepada para menterijpimpinan lembaga/pimpinan instansi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 98


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

lain.nya dan para pejabat yang berkepentingan. Meningkatnya jumlah temuan dari tahun ke
tahun menunjukkan intensitas pemeriksaan setiap tahunnya cukup meningkat. Mengingat dalam
masa-masa mendatang perlu adanya peningkatan kualitas temuan pemeriksaan, maka dukungan
keterampilan pegawai dan mobilitas pegawai mempunyai arti yang penting. Rincian lebih lanjut
hasil temuan pemeriksaan selama empat tahun pertama Pelita IV dapat diikuti dalam Tabel II.27
Sejalan dengan peningkatan kualitas pemeriksaan, pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara pada satuan-satuan kerja makin diperluas ruang lingkupnya.
Dalam hal ini pemeriksaan tidak hanya terbatas pada ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tetapi juga mencakup penilaian sampai sejauh mana satuan kerja
tersebut telah dapat menyelesaikan tugas-tugasnya sebagaimana yang diharapkan, sehingga
dapat mendukung tercapainyaa tujuan-tujuan yang direncanakan. lPemeriksaan terhadap
pembiayaan anggaran pembangunan proyek-proyek Pelita dan proyekproyek daerah
dilaksanakan terhadap proyeknya sendiri dan terhadap program-programnya. Analisa terhadap
hambatan-hambatan yang menyebabkan program dan proyek tidak mencapai target yang
ditetapkan juga terus dilanjutkan.
Sehubungan dengan ditetapkannya kebijaksanaan pemerintah untuk tidak lagi
menggunakan sistem SlAP sejak tahun 1986/1987, yang disertai dengan seleksi terhadap
proyek- proyek yang dapat dilanjutkan dalam tahun berikutnya, maka dalam tahun ke tiga dan
ke em pat Pelita IV telah dilaksanakan pemeriksaan serentak terhadap proyek-proyek yang terse
bar di berbagai departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Pemeriksaan serentak
dalam tahun 1986/1987 dilakukan secara selektif terhadap 387 proyek/bagian proyek pada 2.0
departemen dan 7 lembaga pemerintah nondepartemen, sedangkan pemeriksaan serentak yang
diadakan dalam tahun 1987/1988 telah diperluas terhadap lebih kurang 2.6.0.0 proyek yang
terdapat pada seluruh departemen/lembaga pemerintah nondepartemen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 99


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.26
KEGIATAN PEMERIKSAAN 1984/1985 - 1988/1989
( dalam satuan obyek pemeriksaan )

Satuan Proyek BUMN/BUMD


Tahun Kerja Pembangunan dan
Pusat dan Cabangnya
Daerah
1984/1985 45.240 20.205 3.165
1985/1986 34.061 16.390 3.630
1986/1987 32.853 16.259 3.464
1987/1988 27.072 13.377 3.726
1988/1989 30.356 12.663 3.850

Sejalan dengan meningkatnya proyek-proyek yang memperoleh bantuan luar negeri


dalam Pelita IV, dan sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah untuk meningkatkan dana serap
proyek-proyek berbantuan luar negeri tersebut, maka telah diprioritaskan pemeriksaan akuntan
terhadap proyek-proyek tersebut. Agar proyek tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat,
sehingga meningkatkan dana serap dana bantuan luar negeri, telah ditempuh berbagai upaya
penyempurnaan segi ketatalaksanaan proyek-proyek berbantuan luar negeri. Hasil pemeriksaan
akuntan terhadap pertanggungjawaban keuangan proyek-proyek pembangunan yang
memperoleh bantuan luar negeri dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat, dan hasil
pemeriksaannya menunjukkan perkembangan yang serna kin baik, seperti tercermin dari
pernyataan akuntan yang dikeluarkan terhadap laporan keuangan proyek-proyek yang
bersangkutan. Perkembangan hasil perneriksaan akuntan terhadap proyek-proyek berbantuan
luar negeri dapat diikuti dalarn Tabel 11.28.
Selanjutnya melalui penugasan dari tim pengendali pengadaan barang/peralatan
Pemerintah, BPKP telah melakukan pengujian dan penelitian terhadap berbagai masalah yang
timbul dalam pelaksanaan pembangunan proyek-proyek besar, antara lain masalah tambahan
biaya karena adanya perubahan kontrak, perubahan/pengurangan pekerjaan, eskalasi harga, dan
adanya _laim dari kontraktor. Selama 4 tahun pertama Pelita IV berturut-turut telah dilakukan
pengujian dan penelitian terhadap 87 buah, 126 buah, 130 buah, dan 158 buah penugasan. Hasil
pengujian dan penelitian tersebut menghasilkan koreksi yang bersifat mencegah/menghemat
pengeluaran negara.
Di samping pemeriksaan akuntan terhadap laporan keuangan proyek-proyek berbantuan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 100


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

luar negeri, dalam Pelita IV secara rutin setiap tahun juga dilakukan pemeriksaan akuntan
terhadap laporan keuangan BUMN dan BUMD tertentu, untuk menilai apakah badanbadan
usaha tersebut dapat bekerja atas dasar anggaran yang ditetapkan, mengurus dana secara sehat,
serta mempertanggungjawabkan keuangannya secara tertib. Pemeriksaan akuntan terhadap
laporan keuangan BUMN dan BUMD setiap tahun makin meningkat jumlahnya. Hal ini
disebabkan antara lain makin banyak badan-badan usaha yang sebelumnya mengalami
kelambatan, saat ini telah dapat mempercepat penyusunan pertanggungjawaban keuangannya.
Perkembangan hasil pemeriksaan akuntan terhadap laporan keuangan BUMN, dan BUMD dapat
diikuti dalam Tabel II.29.
Tabel II.28
HASIL PEMERIKSAAN AKGNTAN TERHADAP
PROYEK-PROYEK BERBANTGAN LGAR NEGERI 1984/1985 - 1987/1988

Pernyataan Pendapat Akuntan (%)


Tahun Jumlah Proyek yang Menyetujui dengan Tidak setuju/menolak
diperiksa Menyetujui tanpa syarat syarat memberikan pendapat
1984/1985 124 7.0,1 % 21,70% 8,20%
1985/1986 162 8.0,2% 17,30% 2,50%
1986/1987 355 73,50% 21,40% 5,10%
1987/1988 441 69,90% 24,90% 5,20%

Tabel II,29
HASIL PEMERIKSAAN AKUNTAN TERHADAP
LAPORAN KEUANGAN BUMN DAN BUMD 1984/1985 - 1987/1988

Pernyataan Pendapat Akuntan (%)


Tahun Jumlah Laporan yang Menyetujui dengan Tidak setuju/menolak
diperiksa Menyetujui tanpa syarat syarat memberikan pendapat
1984/1985 359 56,30% 31,50% 12,20%
1985/1986 328 46,90% 41,20% 11,90%
1986/1987 485 40,00% 46,90% 13,10%
1987/1988 510 52,00% 34,70% 13,30%

Departemen Keuangan Republik Indonesia 101


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sebagai langkah penting berikutnya dari pemeriksaan pengawasan adalah tindak lanjut
hasil-hasilpengawasan tersebut. Pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan dari tahun ke tahun
terus meningkat, terutama dalam tahun 1987/1988. Hal ini disebabkan makin bertambahnya
perhatian pimpinan departemen/lembaga/instansi lainnya terhadap hasil-hasil pengawasan, dan
makin meningkatnya dorongan aparat fungsional terhadap pelaksanaan tindak lanjut, yaitu
dengan cara pemantauan terus menerus terhadap temuan-temuan pemeriksaan yang belum ada
tindak lanjutnya. Pelaksanaan tindak lanjut tersebut berbentuk penyerahan prestasi barang atau
jasa, tindakan administratif/pendisiplinan pegawai, penyempurnaan kelembagaan,
penyempurnaan ketatalaksanaan, dan penyempurnaan kepegawaian serta tuntutan ganti rugi,
perbendaharaan, denda, dan sebagainya. Selama 4 tahun pertama Pelita IV pelaksanaan tindak
lanjut berturut-turut berjumlah sebanyak 28 buah, 92 buah, 2.358 buah, dan 6.102 buah.
Perkembangan lebih terinci daripada pelaksanaan tindak lanjut dalam periode 198411985 -
1987/1988 dapat diikuti dalam Tabel II.30.
Melalui pemantauan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional atas temuan-
temuan pemeriksaan yang merugikan negara, selama tahun 1984/1985 hingga 1987/1988 telah
diselamatkan uang negara sebesar Rp 43.487 juta. Selain itu melalui koreksi audit yang
dilaksanakan oleh BPKP telah dapat dilakukan penghematan pengeluaran negara sebesar Rp
826.268 juta dan penambahan penerimaan negara sebesar Rp 387.781 juta. Rincian lebih lanjut
mengenai penyelamatan uang negara dan koreksi audit dalam tahun 1984/1985 1987/1988 dapat
diikuti dalam Tabel II.31
Selanjutnya masih berkaitan dengan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan,
Pemerintah terus melanjutkan langkah-Langkah perbaikan di bidang penertiban dan penindakan
terhadap berbagai penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan serta berbagai penyimpangan
yang menghambat pembangunan dan peningkatan efisiensi nasionaI. Diserahkannya kasus-
kasus yang diduga mengandung unsur tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum oleh
aparat pemerintahan yang berwenang merupakan bukti dan wujud dari konsistensinya
kebijaksanaan pemerintah dalam membangun aparat pemer:intah yang bersih dan berwibawa.
Pada masa mendatang akan terus diupayakan peningkatan pelaksanaan tindak lanjut secara lebih
efektif, baik melalui peningkatan efektifitas pengawasan atasan langsung maupun hasil-hasil
pengawasan fungsionaI. Sebagai dukungan terhadap us aha penyempumaan dan pengembangan
sistem pengawasan dalam tubuh aparatur pemerintah dan BUMN/BUMD, dalam Pelita IV ini

Departemen Keuangan Republik Indonesia 102


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel II.31
PENYELAMATAN UANG NEGARA DAN KOREKSI AUDIT, 1984/1985 - 1987/1988
(dalamjuta rupiah)

Tahun Penyelamatan Koreksi audit


uang negara Penghematan penerimaan
pengeluaran negara negara
1984/1985 853 40.689
1985/1986 2.288 592.442 193.747
1986/1987 12.442 95.201 80.608
1987/1988 27.904 97.936 113.426
Jumlah 43.487 826.268 387.781

oleh BPKP telah dHakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari sistem pengawasan yang
dewasa ini berlaku. Sejalan dengan itu langkah-Langkah penyempurnaan dan pengembangan
yang telah dHakukan berdasarkan sistem pengawasan yang terpadu akan dilanjutkan terus. Pada
akhimya diharapkan dalam aparatur pemerintah benar-benar tercermin adanya siklus
manajemen yang mantap, yaitu berjalannya fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan secara serasi, seimbang dan saling terkait. Dalam rangka menunjang
penyempumaan sistem pengawasan, khususnya yang berkaitan dengan pengadaan barang dan
jasa yang dibutuhkan departemen dan berbagai instansi pemerintah, bank-bank milik pemerintah
serta, badan-badan usaha milik negara dan daerah, pada akhir tahun 1987/1988 telah
dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1988 yang mengatur batas wewenang
mengambil keputusan mengenai penetapan pelelangan. Dengan adanya Inpres tersebut, maka
pengadaan barang dan jasa yang bemilai di alas Rp 3,0 milyar harus mendapatkan persetujuan
dari Menko Ekuin dan Wasbang. Dengan berlakunya Inpres tersebut, maka melalui Keppres
Nomor 6 Tahun 1988 telah dicabut berbagai ketentuan yang mengatur dan berkaitan dengan
pengadaan barang/peralatan pemerintah, antara lain mengenai tim pengendali pengadaan
barang/peralatan pemerintah, tala cara pelaksanaan pembayaran dalam rangka pengadaan
barang/peralatan pemerintah, tim pengendali pengadaan barang dan peralatan pemerintah di
departemen/lembaga dan ketentuan-ketentuan dalam Keppres Nomor 29 Tahun 1984 yang
menyangkut pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan tim pengendali pengadaan barang
dan peralatan pemerintah pusat dan departemen/lembaga. Dengan berlakunya ketentuan yang
baru itu, usulan-usulan yang diajukan oleh departemen/lembaga/BUMN dan BUMD kepada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 103


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Menko Ekuin dan Wasbang diteliti pula oleh BPKP. Selanjutnya terhadap pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa oleh kantor, satuan kerja, dan proyek di lingkungan
departemen/lembaga, Pemda, BUMN, dan BUMD diadakan pula pemeriksaan kemudian (post
audit) oleh BPKP untuk meneliti kebenaran jumlah, kualitas barang dan jasa, serta kewajaran
harganya. Dengan ketentuan yang baru tersebut diharapkan adanya kelancaran proses
pengadaan barang dan peralatan, perkembangan tanggung jawab para pejabat di
departemen/lembaga/BUMN/ BUMD, serta peningkatan penggunaan barang dan jasa hasil
produksi dalam negeri. Hal ini sekaligus akan rnengembangkan dunia usaha dan kesempatan
kerja dan dapat diperoleh harga yang paling menguntungkan, baik dari segi mutu, biaya, dan
kebijaksanaan yang digariskan pemerintah.
.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 104


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BAB III
MONETER DAN PERKREDITAN

3.1. Pendahuluan

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), disebutkan bahwa tujuan dari
kebijaksanaan moneter adalah untuk menunjang tercapainyaa stabilitas ekonomi serta kegiatan
pembangunan nasional guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Pelaksanaan kebijaksanaan
tersebut yang dilakukan terutama melalui pengaturan jumlah uang beredar dan kebijaksanaan
perkreditan, telah memberikan basil berupa makin terpeliharanya kestabilan, tercapainyaa
pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan berusaha, yang selanjutnya menunjang
perluasan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan.

Menjelang awal Pelita IV, perekonomian Indonesia mengalami tekanan berat, yang
terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak dan beberapa komoditi ekspor utama
lainnya dipasaran dunia, berlanjutnya resesi ekonomi dunia, dan tindakan proteksi dari negara-
negara industri. Tekanan yang berat tersebut tercermin pada memburuknya neraca pembayaran
dan turunnya penerimaan negara dari sektor migas, sehingga menghambat kegiatan
perekonomian di dalam negeri. Untuk mengatasi dampak negatif dari pengaruh perkembangan
ekonomi dunia tersebut, Pemerintah telah mengambil berbagai kebijaksanaan yang terutama
ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan migas sebagai sumber dana
pembangunan.
Di bidang moneter, pada tanggal 1 Juni 1983 Pemerintah telah mengambillangkah
kebijaksanaan yang mendasar berupa deregulasi di bidang moneter dan perbankan, yang dikenal
dengan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983. Kebijaksanaan tersebut pada dasarnya menekankan
pada penghapusan pagu kredit perbankan dan pengurangan penyediaan kredit likuiditas Bank
Indonesia, dimana kredit likuiditas hanya disediakan bagi pembiayaan kredit yang berprioritas
tinggi. Selain dari itu kepada bank diberikan kebebasan dalam menetapkan suku bunga kredit
dan persyaratan kredit lainnya bagi pemberian kredit bukan prioritas tinggi. Di bidang
penghimpunan dana, bank-bank pemerintah diberikan kebebasan pula untuk menetapkan sendiri
suku bunga deposito, yang sebelumnya diatur dan ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dengan diarnbilnya kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 tersebut, Pemerintah dalam


mengatur jumlah uang beredar tidak lagi menggunakan piranti moneter secara langsung yaitu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 105


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pagu perkreditan, tetapi lebih mengutamakan penggunaan piranti moneter secara tidak langsung,
yaitu penetapan cadangan wajib, operasi pasar terbuka, fasilitas diskonto dan bujukan moral.
Dalam rangka kebijaksanaan operasi pasar terbuka, oleh Bank Indonesia pada tanggal 1
Pebruari 1984 telah diterbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan mulai tanggal 1 Pebruari
1985 di perkenalkan perdagangan surat berharga pasar uang (SBPU). Sementara itu fasilitas
diskonto yang diperkenalkan pada tanggal 1 Pebruari 1984 merupakan bantuan dari Bank
Sentral sebagai upaya terakhir bagi bank-bank untuk mengatasi kesulitan dana yang bersifat
sementara.

Kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 didalam pelaksanaannya telah memberikan hasil


yang menggembirakan. Jumlah dana yang dapat dihimpun oleh bank-bank, dalam lima tahun
setelah dilaksanakannya kebijaksanaan 1 Juni 1983 tersebut, telah meningkat sebesar Rp 21,8
trilyun atau rata-rata sebesar 25 persen tiap tahunnya. Dana yang dihimpun tersebut juga telah
berhasil disalurkan untuk membiayai investasi dan produksi yang tercermin pada meningkatnya
pemberian kredit perbankan sebesar Rp 24,3 trilyun atau rata-rata meningkat sebesar 24 persen
per tahun. Bahkan deposito berjangka dalam periode yang sama (Mei 1983 - Mei 1988) telah
meningkat sebesar Rp 17.764,4 milyar, atau rata-rata sebesar 40 persen per tahun, yang berarti
meningkat 6 kalinya dibandingkan dengan kenaikannya dalam periode lima tahun sebelum
dilaksanakannya kebijaksanaan tersebut (Mei 1978 - Mei 1983). Perkembangan tersebut tidak
terlepos dari meningkatnya suku bung a deposito yang didorong oleh usaha bank-bank didalam
menghimpun dana masyarakat. Oleh karena hal ini pada gilirannya telC;\h menyebabkan suku
bung a pinjaman meningkat, Pemerintah dalam tahun 1985 secara bertahap mempengaruhi
likuiditas perekonomian dan suku bunga melalui instrumen moneter seperti SBI, SBPU dan
fasilitas diskonto. Langkah-langkah tersebut telah berhasil menurunkan suku bung a simpanan
dan pinjaman.
Dengan menurunnya harga minyak mentah dalam tahun 1986, upaya mengatasi
tekanan pada neraca pembayaran seraya meningkatkai1 kegiatan perekonomian dan pemerataan
pendapatan serta menjaga kestabilan harga dalam negeri, menjadi semakin berat. Kebijaksanaan
moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga memang akan dapat mendorongkegiatan
perekonomian, akan tetapi penurunan suku bunga tersebut juga dapat mendorong aliran modal
keluar negeri sehingga memperberat tekanan pada neraca pembayaran. Disamping itu,
kebijaksanaan moneter yang ekspansif akan dapat mendorong kenaikan harga sehingga

Departemen Keuangan Republik Indonesia 106


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

memperlemah daya saing barang-barang produksi dalam negeri, baik untuk barang-barang
ekspor maupun barang-barang impeL Untuk mencegah pengaruh yang lebih buruk lagi terhadap
neraca pembayaran, maka Pemerintah dalam bulan September 1986 mengambil tindakan
devaluasi, yang lazimnya diikuti dengan kebijaksanaan moneter yang ketat untuk mencegah
kenaikan harga. Tindakan devaluasi rupiah tersebut, yang dilengkapi dengan kebijaksanaan 25
Oktober 1986 dan 15 Januari 1987; sebagai tindak lanjut kebijaksanaan 6 Mei 1986, telah
berhasil menekan defisit transaksi berjalan dalam tahun 1986/1987 dari kerriungkinan defisit
yang leblh besar lagi.

Dalam tahun keempat Pelita IV, atau tahun 1987/1988, perekonomian Indonesia masih
menghadapi berbagai tantangan walaupun tidak seberat seperti yang dialami tahun sebelumnya.
Perekonomian dunia yang belum menunjukkan perbaikan yang berarti disertai pasaran minyak
yang belum menentu, telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap
perkembangan moneter Indonesia dalam tahun tersebut. Tantangantantangan yang dihadapi di
bidang moneter khususnya berupa spekulasi pembelian valuta asing, terutama disebabkan oleh
kekhawatiran sementara kalangan masyarakat akan terjadinya devaluasi rupiah lagi dan atau
pengendalian devisa. Kekhawatiran masyarakat tersebut yang dimungkinkan pula oleh adanya
kelebihan likuiditas yang cukup besar dalam masyarakat, telah menyebabkan gejolak
permintaan terhadap valuta asing sejak akhir 1986 dan peningkatan suku bunga. Untuk
menanggulangi dampak negatif dari tindakan spekulasi tersebut , pada bulan Mei dan Juni 1987
Pemerintah telah mengambil serangkaian kebijaksanaan moneter yang cukup ketat. Usaha
tersebut dilakukan dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan fasilitas
diskonto, tingkat rediskonto surat-surat berharga pasar uang (SBPU) dan menurunkan pagu
SBPU secara bertahap. Disamping itu, dalam minggu ketiga bulan Juni 1987 Pemerintah
mengambil pula tindakan berupa pengalihan dana beberapa badan usaha milik negara (BUMN)
yang ada pada perbankan untuk ditanamkan dalam SB!. Segera setelah diambilnya langkah
kebijaksanaan tersebut gejolak pembelian valuta asing dapat diatasi.

Dalam memasuki tahun terakhir Pelita IV, perkembangan monete,r menunjukkan


keadaan yang tenang, sejalan dengan kebijaksanaan di bidang moneter yang tetap diarahkan
kepada upaya lebih memantapkan kestabilan harga, dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta
pemerataan pembangunan melalui peningkatan pelaksanaan program kredit untuk pengusaha
golongan ekonomi lemah. Rangkaian kebijaksanaan moneter yang ditempuh Pemerintah, yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 107


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

saling menunjang dengan kebijaksanaan lainnya, menghasilkan makin terkendalinya inflasi dari
tahun ketahun. Perkembangcm laju inflasi rata-rata tahunan dalam Pelita III telah lebih rendah
dibandingkan dengan Pelita I dan II. Bahkan dalam Pelita IV ini'
tingkat inflasi rata-rata per tahun di perkirakan tidak akan melebihi 10 %, suatu perkembangan
tingkat inflasi yang paling rendah dibandingkan dengan Pelita-pelita sebelumnya. Keadaan yang
menggembirakan ini justru berlangsung pada saat hendak memasuki Pelita V dan di tengah-
tengah upaya meningkatkan ekspor bukan migas. Semakin terkendalinya tingkat inflasi, di
dukung oleh nilai tukar rupiah yang realistis, merupakan unsur utama berkembangnya ekspor
bukan migas sehingga dapat menekan defisit transaksi berjalan. Apabila dalam tahun 1986/1987
defisit transaksi berjalan mencapai puncaknya sebesar US $ 4,0 milyar dalam kurun waktu
Pelita IV, maka dalam dua tahun terakhir Pelita IV ini telah turun menjadi sekitar US $ 1,7
milyar.

Terpeliharanya kestabilan harga-harga dalam masa pembangunan dibawah Orde Baru


tidak terlepos dari upaya pengendalian likuiditas perekonomian yang senantiasa disesuaikan
dengan kebutuhan atau permintaan likuiditas perekonomian oleh masyarakat. Sejak diambilnya
kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, uang kuasi (dana deposito dan tabungan masyarakat) telah
merupakan unsur yang penting dari likuiditas perekonomian. Sampai dengan akhir September
1988, jumlah uang kuasi telah mencapai sebesar Rp 26.477 milyar dan uang beredar sebesar Rp
13.082 milyar, yang terdiri dari uang kartal sebesar Rp 6.014 milyar dan uang giral sebesar Rp
7.068 milyar. Jumlah likuiditas perekonomian yang diperlukan oleh masyarakat berkembang
sejalan dengan peningkatan produksi nasional dan tingkat monetisasi perekonomian.
Penambahan jumlah uang beredar yang terarah dan tepat akan merangsang investasi dan
memperluas kegiatan sektor-sektor yang produktif dalam masyarakat, sehingga pada gilirannya
akan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan. Sebaliknya jumlah uang beredar yang
melebihi keinginan dan kebutuhan masyarakat, hanya akan memperbesar kemungkinan bagi
kegiatan yang kurang produktif. Sejak awal Pelita I, peningkatan jumlah uang beredar pada
umumnya melebihi kenaikan tingkat harga. Hal ini berarti bahwa jumlah uang beredar pada
umumnya berada pada tingkat yang dapat mendorong produksi, sehingga tidak menimbulkan
inflasi yang tinggi. Sekalipun demikian, perbandingan jumlah likuiditas perekonomian terhadap
pendapatan nasional di Indonesia dapat dikatakan masih relatif rendah dibandingkan dengan
beberapa negara berkembang pada umumnya. Hal ini erat kaitannya dengan masih rendahnya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 108


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tingkat monetisasi perekonomian, struktur perekonomian yang masih belum seimbang, kegiatan
dan jasa pelayanan sektor lembaga keuangan dan perbankan yang belum meluas, serta masih
relatif tingginya tingkat inflasi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tersebut di atas.
Upaya untuk lebih meningkatkan peranan sektor keuangan dan moneter dalam
mendorong perekonomian dan pembangunan nasional, melalui pengerahan dana masyarakat
yang lebih optimal dan penyalurannya secara lebih efektif dan efisien, memerlukan suatu sistem
dan iklim moneter dan keuangan yang lebih mendukung. Menyadari akan hal tersebut, serta
dihadapkan kepada tantangan yang semakin berat di dalam menyongsong Pelita V, maka
Pemerintah pada tanggal 27 Oktober 1988 telah mengambillangkah kebijaksanaan di bidang
moneter-keuangan, lembaga keuangan, dan perbankan, yang sangat penting dan mendasar.
Kebijaksanaan deregulasi di bidang keuangan, moneter dan perbankan ini pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan deregulasi perbankan 1 Juni 1983, yang bertujuan
untuk lebih meningkatkan pengerahan dana masyarakat, menunjang ekspor bukan migas,
meningkatkan effisiensi lembaga keuangan dan perbankan, meningkatkan kemampuan
Pemerintah dalam mengendalikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter, dan mendorong
pengembangan pasar modal. Paket kebijaksanaan tersebut mencakup antara lain pengenaan
pajak atas bunga deposito berjangka, kemudahan pembukaan kantor bank, pembukaan kantor
cabang lembaga keuangan bukan bank (LKBB), pendirian bank swasta baru, pendirian bank
perkreditan rakyat, penerbitan sertifikat deposito, penurunan cadangan minimum bank,
perluasan tabungan, perluasan bank devisa, pendirian bank campuran, dan pembukaan kantor
cabang pembantu bank asing. Sebagai tindak lanjut serta melengkapi kebijaksanaan tersebut,
maka Pemerintah pada tanggal 20 Desember 1988 telah mengambil serangkaian kebijaksanaan
di bidang pasar modal, asuransi dan lembaga-Iembaga pembiayaan. Berdasarkan kebijaksanaan
baru tersebut dunia swasta diizinkan untuk mendirikan pasar modal atau bursa efek, di buka
peluang yang luas bagi pendirian asuransi, lembaga-Iembaga pembiayaan seperti anjak piutang
(factoring), pembiayaan konsumen (consumers finance), modal ventura (venture capital) serta
mengizinkan kembali berdirinya perusahaan leasing. Kebijaksanaan baru tersebut bertujuan
untuk mengembangkan pasar modal, memperluas alternatif sumber pembiayaan untuk
mendukung produksi, serta menunjang pengerahan dana masyarakat dan mendukung kelestarian
pembangunan. Dengan kebijaksanaan deregulasi 27 Oktober 1988 dan 20 Desember 1988
tersebut diharapkan akan lebih banyak lagi dana masyarakat yang dapat dikerahkan, tidak hanya
di daerah perkotaan, melainkan juga sampai ke daerah dan desa-desa. Selanjutnya dana tersebut

Departemen Keuangan Republik Indonesia 109


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dapat disalurkan keberbagai kegiatan dengan lebih seimbang antar kota dan desa, antara
pengusaha yang kuat dan lemah, secara lebih efisien dan efektif. Dengan paket kebijaksanaan
tersebut, semua lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank serta pasar modal, didorong
untuk bekerja lebih efisien dalam suasana persaingan yang lebih sehat.

3.2. Perkembangan harga dan upah

Stabilitas ekonomi adalah merupakan salah satu alas pembangunan ekonomi


sebagaimana yang ditetapkan dalam trilogi pembangunan. Hal itu karena kestabilan ekonomi
merupakan prasyarat yang penting bagi kelancaran serta berhasilnya pembangunan ekonomi,
khususnya didalam menciptakan iklim ekonomi yang mampu meningkatkan gairah masyarakat
untuk menabung dan mendorong kegiatan investasi. Selain daripada itu kestabilan ekonomrakan
meningkatkan daya saing ekspor serta produksi dalam negeri terhadap barangbarang impor,
serta mengurangi penggunaan dana yang spekulatip, sekaligus meningkatkan efisiensi
penggunaannya bagi tujuan yang produktip. Sebaliknya tingkat inflasi yang tinggi akan
mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap nilai uang, yang akan menekan
tabungan dan investasi serta dapat menghambat usaha peningkatan ekspor. Oleh karena itu
Pemerintah senantiasa berusaha untuk mengendalikan inflasi, yang dilaksanakan melalui usaha-
usaha terpadu antara kebijaksanaan moneter dengan penyediaan kebutuhan akan barang dan jasa
serta pendistribusiannya yang merata ke seluruh pelosok tanah air.

Upaya tersebut telah memberikan hasil yang cukup menggembirakan, berupa makin
terkendalinya laju inflasi dari tahun ke tahun. Dalam Pelita 1\ dan Pelita 11\ laju inflasi pada
umumnya jauh lebih Jendah dibandingkan dengan laju infla_i dalam Pelita I, bahkan dalam
Pelita IV laju inflasi rata-rata per tahun diperkirakan dapat dikendalikan di bawah 10 persen.
Tingkat inflasi dalam periode 9 bulan pertama tahun 1988/1989 tercatat sebesar 4,55 persen.
Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi dalam periode yang sama tahun
sebelumnya, yang mencapai sebesar 7,37 persen. Dengan demikian laju inflasi dalam ke-
seluruhan tahun 1988/1989 diperkirakan akan lebih rendah daripada laju inflasi dalam tahun
sebelumnya. Apabila diamati dari tahun ke tahun selama Pelita IV, terlihat bahwa tingkat inflasi
tertinggi terjadi dalam tahun 1986/1987 dan 1987/1988,dengan rata-rata laju inflasi diatas 8
persen. Sedangkan dalam tahun pertama dan kedua Pelita IV, laju inflasi berada pada tingkat 3,6
persen dan 5,7 persen per tahun.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 110


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Perkembangan harga barang dan jasa secara umum dapat pula dilihat dari per-
kembangan indeks harga perdagangan besar. Dalam tahun 1988 sampai dengan bulan Agustus
1988, indeks harga perdagangan besar untuk semua sektor, terkecuali sektor impor, mengalami
kenaikan. Indeks harga umum perdagangan besar dalam tahun 1988 sampai dengan bulan
Agustus, meningkat sebesar 5,6 persen. Peningkatan ini masih lebih keeil jika dibandingkan
dengan peningkatan indeks umum harga perdagangan besar pada periode yang sama tahun
sebelumnya, yang mencapai angka sebesar 19,8 persen. Sektor yang meneatat kenaikan indeks
terbesar adalah sektor pertambangan dan penggalian dan sektor pertanian, masing-masing
sebesar 20,5 persen dan 11,7 persen.
Perkembangan harga mata uang asing di pasar Jakarta dalam periode AprilNopember
1988 pada umumnya mengalami peningkatan terhadap rupiah. Peningkatan harga berbagai mata
uang asing tersebut berkaitan dengan usaha pemerintah Amerika Serikat untuk memperbaiki
defisit neraca perdagangan, adanya kenaikan tingkat suku bunga, serta berkaitan dengan naiknya
nilai tukar dolar Amerika terhadap pound sterling Inggris, mark Jerman Barat, dan franc
Perancis. Depresiasi beberapa mata uang utama dunia tersebut telah mempengaruhi harga emas,
baik di pasar Jakarta maupun di pasar internasional. Di pasar Jakarta harga emas dalam periode
yang sama turun sebesar 3,59 persen, sedang di pasar internasional khususnya di pasar London
harganya turun sebesar 7,23 persen.
Sementara itu perkembangan yang eukup menggembirakan terjadi pada harga beberapa
komoditi ekspor utama Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Harga beberapa
komoditi ekspor utama Indonesia, seperti karet, kopra, minyak sawit, dan timah, mengalami
kenaikan. Komoditi ekspor yang mengalami peningkatan eukup besar adalah karet, kopra, dan
timah. Harga karet RSS III di pasar New York dalam peri ode April-Nopember 1988 meningkat
sebesar 12,4 persen. Dalam peri ode yang sama harga kopra di pasar Manila dan London
meningkat masing-masing sebesar 9,73 persen dan 5,46 persen, sedangkan di pasar dalam
negeri harga kopra meningkat sebesar 10,62 persen. Sementara itu harga minyak sawit dan
timah putih di pasar London dalam peri ode yang sama meningkat masing-masing sebesar 7,98
persen dan 9,22 persen. Meningkatnya harga komoditi tersebut berkaitan dengan meningkatnya
permintaan dari negara-negara industri, di samping mutu yang semakin membaik.
Sejalan dengan kenaikan harga, maka upah maksimum dan upah minimum dari
berbagai sektor ekonomi dalam tahun 1988 juga mengalami peningkatan. Kenaikan upah
maksimum tertinggi terjadi di sektor pertambangan dengan peningkatan sebesar 46,9 persen,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 111


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sedangkan kenaikan upah minimum tertinggi terjadi pada sektor jasa-jasa yaitu sebesar 42,7
persen. Sedangkan upah maksimum maupun upah minimum di sektor listrik dan perhubungan
tidak mengalami perubahan.

3.2.1. Indeks harga konsumen


Perkembangan laju inflasi yang berdasarkan pada indeks harga 150 maeam barang dan
jasa, selama tahun anggaran 1988/1989 sampai dengari bulan Desember 1988 meningkat
sebesar 4,55 persen. Dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun
sebelumnya yang mencapai 7,37 persen, maka inflasi yang terjadi dalam peri ode April-
Desember 1988 ini adalah lebih rendah. Laju inflasi dalam peri ode April-Desember 1988
banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga dalam bulan Mei dan Juli 1988, yang berperan sebesar
44,8 persen dalam pembentukan inflasi dalam peri ode tersebut. Apabila diperind lebih lanjut
penyebab inflasi dalam dua bulan tersebut, maka kenaikan inflasi dalam bulan Mei 1988 erat
kaitannya dengan kenaikan harga yang terjadi dalam bulan puasa, di mana terjadi lonjakan
permintaan masyarakat terhadap bahan makanan dan sandang untuk menyambut Idul Fitri.
Indeks harga makanan meningkat sebesar 1,74 persen, yang disebabkan oleh kenaikan indeks
harga dari berbagai subkelompok dalam kelompok makanan, kecuali subkelompok padi-padian,
ubi-ubian dan hasil-hasilnya. Sedangkan indeks harga san dang meningkat sebesar 1,62 persen,
yang disebabkan oleh kenaikan indeks harga pada semua subkelompok sandang secara merata.
Dalam pada itu kenaikan harga yang terjadi pada bulan Juli 1988 terutama sekali disebabkan
oleh kenaikan harga dalam kelompok makanan sebesar 2,05 persen. Kenaikan ini dipengaruhi
oleh ker.aikan harga yang cukup mencolok dari subkelompok padi-padian, ubi-ubian dan hasil-
hasilnya dan subkelompok lemak dan minyak, yang n:tasing-masing meningkat sebesar 6,99
persen dan 7,36 persen. Pada subkelompok padi-padian, ubi-ubian dan hasil-hasilnya, kenaikan
harga yang mencolok terjadi pada harga beras. Dari 14 kota propinsi, kenaikan harga beras yang
terendah yaitu sekitar 0,96 persen terjadi di Ujung Pandang, sedangkan yang tertinggi yaitu
sekitar 16 persen terjadi di Padang.

Secara keseluruhan, kenaikan inflasi dalam peri ode April-Desember 1988 berasal dari
kenaikan indeks harga kelompok makanan sebesar 6,34 persen, kelompok perumahan sebesar
3,80 persen, kelompok sandang sebesar 3,20 persen, dan kelompok aneka barang dan jasa
sebesar 2,46 persen. Seperti halnya dalam periode yang sama tahun sebelumnya, dalam tahun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 112


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1988/1989 kelompok makanan merupakan kelompok penyebab utama kenaikan inflasi. Namun
demikian, kenaikan harga kelompok makanan dalam tahun anggaran 1988/1989 jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kenaikan harga kelompok makanan dalam periode yang sama
tahun sebelumnya, yang mencapai angka sebesar 12,46 persen. Perkembangan indeks harga
konsumen beserta perinciannya dapat dilihat pada Tabel III.1, Tabel III.2

Tingkat inflasi di ibukota propinsi di Indonesia dalam peri ode April- Desember 1988
bervariasi antara 1,09 persen sampai 18,12 persen. Kota propinsi yang mengalami kenaikan
inflasi paling tinggi dalam periode tersebut adalah Ambon, yang mengalami kenaikan indeks
harga sebesar 18,12 persen. Tingginya laju inflasi yang terjadi di Ambon disebabkan oleh
kenaikan harga yang cukup besar pada subkelompok bumbu-bumbilan, subkelompok sayur-
sayuran, dan subkelompok ikan segar, masing-masing sebesar 89,30 persen, 34,31 persen, dan
104,80 persen. Sedangkan beberapa ibukota lainnya hanya mengalami laju inflasi di bawah 10
persen, bahkan ibukota Palembang hanya mengalami kenaikan inflasi yang relatip kecil yaitu
sebesar 1,09 persen.

3.2.2. Harga beberapa barang konsumsi utama

Harga barang dan jasa yang mempunyai andil cukup besar dalam pembentukan
inflasi nasional adalah harga barang kebutuhan pokok di beberapa ibukota propinsi. Oleh karena
itu pengamatan atas perkembangan harga beberapa barang konsumsi utama tersebut akan dapat
memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai perkembangan inflasi secara nasional.
Salah satu barang konsumsi utama yang sangat besar pengaruhnya terhadap laju inflasi nasional
adalah beras. Di beberapa ibu kota propinsi, kenaikan harga beras sudah mulai dirasakan sejak
bulan Juni 1988 dan mencapai kenaikan tertinggi dalam bulan Juli dan Agustus 1988. Kenaikan
harga beras yang tercermin dari perkembangan indeks harga beras dalam bulan-bulan tersebut,
terjadi hampir di semua ibukota propinsi dengan mencatat kenaikan berkisar antara 0,33 persen
dan 16,00 persen. Kenaikan indeks harga beras tertinggi dalam bulan Juli 1988 terjadi di Padang
sebesar 16,00 persen, yang memberikan andil inflasi sebesar 2,01 persen. Namun demikian
secara keseluruhan dalam periode April-Oktober 1988, kenaikan indeks harga beras tertinggi
terjadi di Mataram yang meningkat sebesar 31,78 persen, sedangkan kenaikan harga terendah
terjadi di Ujung Pandang sebesar 1,08 persen. Kenaikan harga beras dalam periode tersebut
antara lain disebabkan oleh kurang berhasilnya paneD yang terjadi di beberapa daerah penghasil

Departemen Keuangan Republik Indonesia 113


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

padi, di samping terdapatnya kemungkinan spekulasi yang dilakukan oleh para pedagang beras.

T epung terigu yang juga merupakan salah satu barang kebutuhan pokok selain beras,
juga mengalami kenaikan harga. Namun berbeda halnya dengan beras, kenaikan harga tepung
terigu bulanan dalam peri ode April-Oktober 1988 relatip kecil. Harga tepung terigu di ibukota
propinsi dalam bulan Oktober 1988 bervariasi antara Rp 564,17 dan Rp 712,50 per kilogram,
dengan harga terendah terjadi di Ujung Pandang dan harga tertinggi terjadi di Jayapura. Kota
propinsi yang mencatat kenaikan harga tepung terigu tertinggi dalam periode April-Oktober
1988 adalah Pontianak sebesar 8,94 persen.

Harga guia pasir juga mengalami kenaikan bertahap dalam peri ode April-Oktober 1988,
namun kenaikannya relatip kecil. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya persediaan gula
posir yang cukup di berbagai daerah. Kenaikan yang cukup mencolok terutama terjadi dalam
bulan Juni 1988. Dalam periode April-Oktober 1988, kenaikan harga Quia posir tertinggi terjadi
di Jayapura, yang mencapai 10,43 persen, yaitu dari Rp 815, - per kilogram dalam bulan Maret
1987 menjadi Rp 900,- per kilogram dalam bulan Oktober 1988.

Harga berbagai jenis tekstil dalam periode April-Oktober 1988 di berbagai daerah pada
umumnya menunjukkan perkembangan yang relatip stabil. Dalam bulan Oktober, harga tekstiI
di berbagai kota bervariasi antara Rp 500,- per meter sampai dengan Rp 1.464,50 per meter.
Kenaikan harga tekstiI yang cukup besar dalam periode April-Oktober 1988 antara lain terjadi
di DKI Jakarta, Jayapura, dan Semarang.

3.2.3. Harga emas dan mata uang asing

Perkembangan harga emas di dalam maupun di luar negeri masih menunjukkan adanya
hubungan yang erat dengan perubahan nilai tukar dolar Amerika terhadap mata uang asing
lainnya. Sejalan dengan peningkatan nilai tukar dolar Amerika terhadap mata uang asing lainnya,
dalam periode April-Nopember 1988, harga emas di luar negeri yaitu di bursa London
mengalami penurunan sebesar 7,23 persen. Sedangkan dalam peri ode yang sama, harga di pasar
dalam negeri, khususnya Jakarta, untuk ketiga jenis emas yaitu emas 24 karat, 23 karat dan 22
karat menunjukkan penurunan yang sama besarnya, yaitu masing-masing turun sebesar 3,59
persen. Bila dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya perkembangan harga
emas selama periode April-Nopember 1988 menunjukkan penurunan, di mana dalam tahun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 114


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel III.2
INDEKS HARGA KONSUMEN, 1979/1980 - 1988/1989
( 1977/1978 = 100 )
Aneka barang
Makanan Perumahan Umum
Akhir periode Sandang
dan Jasa
1979/1980 Maret 144,82 146,7 173,82 139,58 147,14
1980/1981 Maret 172,6 171,83 192,82 161,88 172,14
1981/1982. Maret 183,38 200,12 200,27 183,9 189,63
1982/1983 Maret 189,7 228,76 204,6 210,57 205,99
1983/1984 Maret 220,54 263,88 215,14 229,77 233,42
1984/1985 Maret 224,34 273,47 221,08 248,07 242,07
1985/1986 Maret 238,23 291,15 228,68 260,58 256,07
1986/1987 Maret 261,84 308,16 256,06 289,44 279,49
1987/1988 Juni 271,83 310,43 266,11 291,65 285,79
September 279,21 312,72 268,39 295,13 290,49
Desember 296,14 321,45 270,35 297,91 300,75
Maret 300,53 322,9 271,23 299,94 303,52
1988/1989 April 303,28 324,91 272,68 301,28 305,7
Mei 308,57 325 277,1 301,91 308,53
Juni 310,23 326,45 277,33 302,08 309,72
Juli 316,6 327,61 278,18 303,67 313,16
Agustus 318,12 328,77 278,79 305,13 314,44
September 316,55 329,69 279,35 306,05 314,28
Oktober 317,29 332,97 279,27 306,45 315,51
Nopember 318,95 334,93 279,77 307,16 316,9
Desember 320,07 335,35 280,02 307,38 317,56

T a b e l III.3
INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN D1 17 KOTA, 1979/1980 - 1988/1989
( 1977/1978 = 100 )
Akhir periode Medan Padang Palembang Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar
1979/1980 Maret 149,51 148,09 156,98 143,02 147,21 149,1 152,82 148,73 147,57
1980/1981 Maret 171,33 177,61 188,24 160,77 175,19 179,89 183,09 185,29 177,62
1981/1982 Maret 183,3 191,3 204,08 . ,175,99 194,21 197,24 203,58 206,51 208,57
1982/1983 Maret 199,93 210,58 223,02 189,84 214,79 218,28 220,98 223,79 239,33
. 1983/1984 Maret 227,01 238,88 257,37 215,22 243,86 239,78 255,48 255,28 262,82
1984/1985 Maret 23,98 241,05 260,54 224,34 252,42 246,97 263,86 266,69 278,63
1985/1986 Maret 249,59 250,62 275,59 236,74 270,03 259,81 282,63 280,62 311,41
1986/1987 Maret 274,93 269,68 292,91 257,76 294,43 284,3 306,86 309,49 342,26
1987/1988 Juni 279,08 269,35 298 263,12 303,19 291,72 315,59 316,52 349,66
September 279,19 274,8 301,59 266,88 310,63 299,77 320,41 322,17 356,68
Desember 291,98 288,61 306,28 276,46 321,01 312,81 337,03 330,79 372,89
Maret 295,04 288 316,66 279,29 323,46 313,45 337,04 333,63 384,98
19881.1989 April 301,04 286,74 319,83 280,15 327,45 315,12 339,82 335,82 393,59
Mei 307,46 293,55 321,02 282,07 329,41 317,98 340,51 340,68 395,5
Juni 309,06 292,51 320 213,3 331,3 319,37 345,06 340,41 394,46
Juli 311,82 302 323,14 286,69 335,35 323,95 347,17 343,28 401,81
Agustus 311,29 296,91 322,38 287,66 337,33 325,32 347,59 346,79 400,7
September 312,8 298,05 322,46 286,99 335,94 327,27 347,16 347,17 396,34
Oktober 324,39 295,34 323,47 286,9 334,96 327,17 348,68 349,43 393,35
Nopember 323,87 294,3 322,5 287,98 336,9 328,07 350,24 353,79 402,86
Desember 326,34 299,32 320,16 288,91 335,73 329,73 352,2 -352,78 403,12

Departemen Keuangan Republik Indonesia 115


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.3 (lanjutan)

Akhir periode Mataram Kupang Pontianak Banjarmasin Manado Ujung Pandang Ambon Jayapura
1979/1980 Maret 148,29 150,42 148,55 163,97 149,2 145,24 135,52 128,93
1980/1981' Maret 175,17 175,51 161,45 191,49 179,67 164,46 144,37 157,35
1981/1982 Maret 1.92,53 193,91 180,95 208,81 193,53 191,42 160,28 180,66
1982/1983 Maret 214,57 218,04 197,81 219,97 209,31 201,52 177,7 214,87
1983/1984 Maret 230,55 227,47 223,4 253,95 235,81 223,56 216,13 231,68
1984/1985 Maret 234,55 229,63 229,93 262,44 239,2 235,71 215,68 236,6
1985/1986 Maret 254,48 250,01 248,95 274,96 259)4 246,89 208,93 241,23
1986/1987 Maret 280,42 280,04 272,04 298,59 292,79 263,16 225,75 274,42
1987/1988 Juni 292,72 288,74 277,79 308,32 299,99 269,32 238,38 266,78
September 296,8 286,58 288,05 308,19 305,41 273,92 261,17 270;84
Desember 309,85 290,49 293,08 328,85 318,74 281,87 269,44 273,51
Maret 309,98 296,05 298,3 330,99 313,85 282,79 . 266,99 292,84
1988/1989 April 311,11 297,13 299,27 336,88 314,14 283,36 272,81 298,12
Mei 313,43 297,94 302,86 338,96 315,69 283,92 274,64 303,11
Juni 315,39 298,24 305,42 339,3 321,67 284,97 298,63 299,1
Juli 320,56 302,15 311,3 339,86 327,86 285,79 314,31 298,85
Agustus 326,91 301,76 313,57 341,61 328,27 286,21 316,39 299,6
September 326,57 301,88 313,93 340,08 323,38 286,4 318,93 304,43
Oktober 330,32 303,18 316,36 338,82 323,19 286,96 324,32 306,02
Nopember 333,17 304,28 317,2 339,17 323,85 288,79 293,4 306,89
Desember 335,93 306,54 316,53 339,12 327,82 290,62 315,88 306,07

Tabel III.4
TEKSTIL DI BEBERAPA KOTA BESAR, 1974/1975 - 1988/1989

Kota Jenis barang 1974/1975 1979/1980 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Oktober
Bandung Beras ( Rp/kg ) 103,33 221,19 315,68 364,95 377,23 475,26 547,38
Tepung terigu ( Rp/kg) 100,-- 193,74 416,67 437,5 478,33 549,33 584,38
Gula posir ( Rp/kg) 170,-- 287,92 642,71 650,-- 650,-- 741,-- 791,25
Tekstil; (Rp/m) 220,-- 571,67 716,67 800,-- 1.266,33 1.283,33 1.358,33
Y ogyakarta Beras ( Rp/kg) 90,-- 183,11 254,26 285,14 304,32 413,43 481,41
Tepung terigu ( Rp/kg ) 95,-- 178,34 399,83 420,63 478,8 565,14 575,87
Gula posir ( Rp/kg ) 159,5 272,5 602,71 614,58 633,12 688,67 750,84
Tekstil ; ( Rp/m ) 246,67 450,-- 569,44 550,--' 633,33 850,-- 875,--
Semarang Beras ( Rp/kg ) 103,33 206,97 267,33 263,33 292,5 402,65 449,4
Tepung terigu ( Rp/kg) 96,67 188,54 409,38 429,59 475,-- 550,-- 590,21
Gula posir ( Rp/kg) 165,-- 278,12 611,-- 623,75 634,33 700,-- 750,42
Tekstil ; ( Rp/m ) 193,33 327,5 579,17 608,33 828,33 865,83 1.464,58
Surabaya Beras ( Rp/kg) 104,-- 179,55 269,8 292,6 315,6 414,97 507,25
Tepung terigu ( Rp/kg) 90,-- 175,18 402,39 425,88 475,-- 550,-- 582,54
Gula posir ( Rp/kg ) 160,-- 269,34 602,65 614,82 635,96 692,59 752,48
Tekstil ; ( Rp/m ) 245,-- 400,-- 512,43 601,49 846,65 950,-- 955,51
Medan Beras ( Rp/kg) 105,-- 210,11 332,83 367,03 403,-- 510,-- 675,--
Tepung terigu ( Rp/kg) 100,-- 195,5 422,5 447,-- 505,-- 600,-- 600,--
Gula posir ( Rp/kg) 170,-- 290,75 646,25 649,21 661,76 750,-- 800,--
Tekstil ; ( Rp/m ) 200,-- 400,-- 525,-- 525,-- 650,-- 1.000,-- 1.100,--
Banjarmasin Beras ( Rp/kg) 93,75 210,1 331,25 335,11 331,39 562:50:00 500,--
Tepung terigu ( Rp/kg ) 100,-- 176,11 435,-- 450,-- 490,-- 603,-- 600,--
. Gula posir ( Rp/kg) 165,-- 281,57 635,-- 650,-- 665,-- 760,-- 800,--
Tekstil ; ( Rp/m ) 175,-- 400,-- 550,-- 550,-- 920,-- 1.000,-- 1.000,--
Ujung Pan dang Beras ( Rp/kg) 105,-- 200,-- 377,5 425,-- 469,-- 450,-- 450,--
Tepung Terigu ( Rp/kg) 90,-- 178,75 400,-- 400,-- 475,-- 550,-- 564,17
Gula posir ( Rp/kg ) 165,-- 278,75 650,-- 650,-- 675,-- 725,13 800,--
Tekstil ; ( Rp/m ) 200,-- 600,-- 650,-- 700,-- 800,-- 1.000,-- 1.000,--
Denpasar Beras ( Rp/kg ) 92,5 245,-- 400,-- 446,58 450,-- 475,-- 550,--
Tepung Terigu ( Rp/kg ) 100,-- 190,-- 420,-- 425,-- 500,-- 575,-- 600,--
Gula posir ( Rp/kg ) 165,-- 273,75 613,75 625,-- 650,-- 700,-- 750,--
Tekstil ; ( Rp/m ) 210,-- 300,-- 500,-- 500,-- 500,-- 500,-- 500,--

Departemen Keuangan Republik Indonesia 116


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1987 mengalami kenaikan sebesar 20,67 persen untuk harga emas di pasar London, dan di pasar
Jakarta mengalami kenaikan yang sama yaitu sebesar 17,56 persen untuk emas 24 karat, 23
karat, 22 karat. Penurunan harga emas di pasar Jakarta terjadi dalam bulan Mei, Juli, Agustus,
September dan Oktober 1988, di mana penurunan terbesar terjadi dalam bulan Oktober 1988,
yaitu masing-masing turun sebesar 2,90 persen untuk emas 24 karat, 23 karat dan 22 karat.
Sedangkan harga emas di pasar London mengalami penurunan harga dalam bulan April, Juni,
Agustus, dan September 1988, dengan penurunan yang terbesar terjadi dalam bulan September,
yaitu dari US$ 429.55 menjadi US$ 394.75 per troy ounce, atau turun sebesar 8,10 persen.
Penurunan harga emas tersebut disebabkan oleh langkah kebijaksanaan negara-negara industri
maju, terutama Inggris dan Amerika Serikat, yang sejak berakhirnya KIT Toronto pada tanggal
21 Juni 1988 secara terkoordinasi telah menaikkan tingkat suku bung a untuk mengatasi bahaya
inflasi. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta dan di pasar London dapat dilihat pada Tabel
III.5.
Dalam pada itu nilai tukar mata uang asing di pasar Jakarta dalam periode AprilNopember 1988
pada umumnya mengalami peningkatan terhadap rupiah. Apresiasi berbagai mata uang asing
terhadap rupiah ini disebabkan oleh penurunan yang cukup besar defisit neraca perdagangan
Amerika Serikat sehingga mendorong naiknya nilai tukar dolar Amerika terhadap beberapa
mata uang G-5 (Inggris, Jerman Barat, dan Perancis). Sebagai akibatnya rupiah menurun
nilainya baik terhadap dolar Amerika maupun terhadap mata uang asing lainnya. Untuk mata
uang Asia, dolar Hongkong, dolar Singapura dan yen Jepang harganya mencatat kenaikan
masing-masing sebesar 3,09 persen, 6,13 persen, dan 6,79 persen. Sedangkan harga mata uang
Eropa Barat, seperti mark Jerman Barat, franc Swiss, dan guilder Belanda secara umum
mengalami penurunan, masing-masing sebesar 0,72 persen, 2,20 persen, dan 1,08 persen,
kecuali pound sterling Inggris mengalami kenaikan sebesar 2,24 persen. Dalam peri ode April-
Nopember 1988, nilai tukar mata uang dolar Amerika menunjukkan kenaikan yang bervariasi
antara Rp 4,80 sampai dengan Rp 11,80, di mana kenaikan yang terbesar terjadi dalam bulan
Juli 1988, yaitu dari Rp 1.683,50 menjadi Rp 1.695,30 atau naik sebesar 0,70 persen. Hal ini
erat hubungannya dengan gejolak di bursa luar negeri, antara lain karena menurunnya defisit
neraca perdagangan dan naiknya tingkat suku bunga di Amerika Serikat. Kenaikan dolar
Amerika yang cukup tajam, baik di Tokyo di mana nilai tukar yen terhadap dolar dalam bulan
Juli 1988 mencapai ¥ 134,20, maupun di Eropah Barat, menyebabkan Bank of Japan ikut
melakukan intervensi pasar dengan cara menjual dolar Amerika dan membeli mark Jerman.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 117


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Pembelian mark ini dilaksanakan karena mark tidak hanya mengalami depresiasi terhadap dolar
Amerika tetapi juga terhadap pound sterling dan yen. Depresiasi mata uang mark Jerman Barat
dalam tahun 1988 ini disebabkan oleh penurunan suku bunga di negara tersebut, yang tidak
sejalan dengan perkembangan tingkat suku bunga internasional. Penurunan nilai tukar mata
uang mark Jerman yang cukup besar terjadi dalam bulan Juli 1988, yaitu dari Rp 962,50
menjadi Rp 921,87 atau sebesar 4,22 persen. Mata uang pound sterling juga mengalami
depresiasi, yang menyebabkan bank-bank komersial di Inggris atas isyarat dari Bank of England
telah menaikkan tingkat suku bunga (base lending rate) dalam bulan Juli dan Agustus 1988.
Usaha tersebut dilaksanakan untuk mengatasi inflasi di Inggris, di mana nilai pound sterling
dalam periode tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,24 persen. Sedangkan mata uang yen
Jepang dalam periode tersebut mengalami apresiasi yang diakibatkan oleh menguatnya kembali
mata uang dolar Amerika setelah KIT di Toronto, di mana peningkatan harga yang cukup besar
terjadi dalam bulan Oktober 1988 sebesar 4,97 persen. Dalam pada itu mata uang Asia lainnya,
terutama dolar Hongkong dan dolar Singapura mengalami peningkatan harga yang relatip ked I
selama periode tersebut, di mana kenaikan yang terbesar terjadi dalam bulan Juli 1988 untuk
dolar Hongkong, yaitu dari Rp 218,70 menjadi Rp 220,- atau naik sebesar 0,59 persen, sedang
untuk dolar Singapura terjadi dalam bulan Oktober 1988, yaitu dari Rp 850,25 menjadi Rp
881,40 atau naik sebesar 3,66 persen.
Secara umum, harga mata uang asing terhadap rupiah di pasar Jakarta tidak terlepos
dari perkembangan nilai tukar mata uang antar negara di pasar internasional. Di lain pihak
perubahan nilai tukar mata uang antar negara sangatIah dipengaruhi oleh perkembangan suku
bunga internasional. Kecenderungan naiknya suku bunga di beberapa negara industri maju
adalah dalam rangka menanggulangi meningkatnya laju inflasi di dalam negerinya serta
kemerosotan nilai tukar mata uangnya. Dengan demikian situasi ini bukan hanya dirasakan oleh
mata uang yang lemah atau yang terus dibayangi oleh kemungkinan adanya devaluasi, tetapi
juga dirasakan oleh mata uang yang terkenal kuat, seperti halnya mata uang mark Jerman Barat.
Perkembangan harga beberapa mata uang asing di pasar Jakarta dapat dilihat pada Tabel III. 6.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 118


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l IIII.5
HARGA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN DI PASAR LONDON,
1969/1970 - 1988/1989

Akhir periode Jakarta London


24' 23' 22' US $/troy ounce
1969/1970 Maret 490,-- 470,-- 450,-- 35.32
1970/1971 Maret 510,-- 480,-- 450,-- 37.38
1971/1972 Maret 620,-- 580,-- 450,-- 48.40
1972/1973 Maret 1.050,-- 1.000,-- 950,-- 90.00
1973/1974 Maret 1.775,-- 1.675,-- 1.575,-- 111.75
1974/1975 Maret 2.312,50 2.212,50 2.100,-- 177.50
1975/1976 Maret 1.837,50 1.737,50 1.637,50 129.55
1976/1977 Maret 2.050,-- 1.950,-- 1.850, -- 149.13
1977 /1978 Maret 2.350,-- 2.260,-- 2.150,-- 179.75
1978/1979 Maret 5.080,-- 4.880,-- 4.680,-- 239.75
1979/1980 Maret 10.750,-- 9.750,-- 9.000,-- 547.25
1980/1981 Maret 10.100,-- 9.593,75 9.100,-- 576.75
1981/1982 Maret 7.150,-- 6.725,-- 6.375,-- 316.25
1982/1983 Maret 9.980,-- 9.534,-- 9.048,-- 413.00
1983/1984 Maret 12.390,-- 11.890,-- 11.140,-- 393.00
1984/1985 Maret 11.225,-- 10.675,-- 10.125,-- 313.88
1985/1986 Maret 12.650,-- 11.975,-- 11.362,-- 351.03
1986/1987 Maret 21.000,-- 19.950,-- 18.900,-- 408.25 1)
1987/1988 Juni 24.176,25 22.967,44 21.758,63 446.25
September 23.951,25 22.753,69 21.421,13 458.20
Oesember 25.670,-- 24.424,50 23.142,-- 481.35
Maret 23.945,-- 22.747,50 21.550,40 456.30
1988/1989 April 24.475,-- 23.251,25 22.027,50 449.00
Mei 24.455,-- 23.232,20 22.009,50 455.55
Juni 24.565,-- 23.336,70 22.108,50 435.80
Juli 23.962,50 22.764,3& 21.566,25 435.80
Agustus 23.720,-- 22.534,-- 21.348,-- 429.55
.. September 23.270,-- 22.106,-- 20.943,-- 394.75
Oktober 22.593,75 21.464,13 20.334,38 411.55
Nopember 23.085,-- 21.930,70 20.776,50 423.30
1) Sejak bulan April 1986 didasarkan kepada harga pasaran terakhir tiap bulan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 119


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.2.4. Harga barang-barang ekspor


Komoditi ekspor bukan migas Indonesia pada umumnya masih didominasi oleh komoditi
pertanian seperti karet, kopra, kopi, lada, di samping timah. Namun harga komoditi ekspor
primer tersebut, terutama di pasar internasional, pada umumnya lemah. Hal ini di samping
disebabkan oleh adanya persaingan yang tajam dari komoditi sejenis dari beberapa negara
produser, juga karena adanya proteksi yang cukup ketat dari negara-negara industri serta sulit
tercapainyaa kesepakatan harga antara negara-negara yang memproduksi barang sejenis.
Keadaan yang demikian itu telah mengakibatkan fIuktuasi harga yang cukup besar dari waktu
ke waktu. Dibandingkan dengan harga yang dicapai dalam bulan Oktober 1988, maka harga
barang-barang ekspor di pasar internasional dalam bulan Nopember 1988 pada umumnya
mengalami penurunan, kecuali untuk kopra, kopi robusta, lada putih dan lada hitam. Walaupun
demikian, perkembangan harga beberapa barang ekspor bukan migas Indonesia dalam periode
April-Nopember 1988 pada umumnya masih cukup menggembirakan jika dibandingkan dengan
tingkat harga yang dicapai pada bulan Maret 1988. Beberapa barang komoditi ekspor seperti
karel, timah, kopra dan minyak sawit dalam periode tersebut menunjukkan kenaikan harga yang
cukup berarti, dengan variasi kenaikan harga yang cukup besar. Di pasar New York, harga karet
jenis RSS III dalam periode tersebut mengalami peningkatan sebesar 12,4 persen. Kenaikan
harga karet di pasar New York lebih banyak dipengaruhi oleh depresiasi mata uang dollar
Amerika yang mengakibatkan harga-harga dalam indeks harga dollar itu meningkat. Sebaliknya
di pasar London dan Singapura harga karet RSS III terse1:>ut turun masing-masing sebesar 9,3
persen dan 13,1 persen. Bersamaan dengan itu, harga karet jenis RSS I di pasar Jakarta juga
mengalami penurunan sebesar 7,4 persen. Apabila diamati lebih jauh, harga karet tertinggi
dalam periode April-Nopember 1988 di pasar Jakarta terjadi dalam bulan Juni 1988 yang
mengalami kenaikan sebesar 5,4 persen, yaitu dari Rp 1.829,- per kilogram dalam bulan Mei
1988 menjadi Rp 1.928 per kilogram dalam bulan Juni 1988. Setelah itu harga karet terus
melemah sehingga dalam periode April-Nopember 1988 harga terendah terjadi dalam bulan
Nopember 1988 sebesar Rp 1.586,- per kilogram. Sementara itu, harga karet jenis RSS III baik
di pasar New York, London, dan Singapura memperlihatkan perkembangan yang menurun,
setelah dalam bulan Juni 1988 di pasar New Yark dan bulan Juli 1988 di pasar London dan
Singapura harganya sempat mencatat kenaikan tertinggi. Melemahnya harga karet di pasar
Singapura dipengaruhi oleh gejala menurunnya harga yang terjadi di pasar Jepang yaitu di
Tokyo dan Kobe, di samping juga masih lemahnya minat beli kalangan negara konsumen,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 120


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.6
HARGA BEBERAPA MATA UANG ASING DI JAKARTA, 1969/1970 -
( harga jual dalam rupiah per satuan )
Jenis mata uang
Akhir periode US $ Yen £ UK $ Sing $ DM Swiss F NFL
1969/1970 Maret 379,-- - 858,5 63,-- 123,--
1970/1971 Maret 378,-- - 882,-- 62,-- 123,--
1971/1972 Maret 413,-- - 1.035,-- 72,5 146,-- 127,-- 125,--
1972/1973 Maret 414,-- - 980,-- 80,-- 162,-- 140,-- - 140,--
1973/1974 Maret 415,-- 1,25 920,-- 81,-- 166,-- 153,-- 110,-- 143,--
1974/1975 Maret 415,-- 1,25 950,-- 83,-- 173,-- 160,-- 125,-- 153,--
1975/1976 Maret 415,-- 1,25 830,-- 82,-- 165,-- 153,-- 130,-- 147,--
1976/1977 Maret 415,4 1,25 694,-- 88,-- 167,-- 167,-- 145,-- 157,--
1977 /1978 Maret 412,-- 1,6 780,-- 89,-- 179,-- 196,-- 205,-- 184,--
1978/1979 Maret 627,8 3,15 1.302,40 134,-- 291,8 341,6 376,-- 323,2
1979/1980 Maret 632,5 2,57 1.422,50 129,75 289,75 347,25 365,25 314,5
1980/1981 Maret 632,-- 3,09 1.431,25 123,5 304,75 302,75 335,25 274,--
1981/1982 Maret 653,75 2,81 1.197,50 115,5 312,-- 276,5 348,75 251,25
1982/1983 Maret 761,8 3,25 1.151,-- 117 , 40 366,8 318,4 370,-- 284,8
1983/1984 Maret 1.020, -- 4,47 1.465,-- 131,2 478,2 386,-- 465,2 341,--
1984/1985 Maret 1.103,50 4,33 1.270, -- 144,5 490,5 337,-- 395,-- 298,5
1985/1986 Maret 1.131,50 6,39 1.690,-- 149,-- 527,25 505,75 594,25 444,--
1986/1987 Maret 1.650,80 10,96 2.640,-- 215,-- 774,2 904,-- 1.077,60 797,60 I)
1987/1988 Juni 1.650,10 11,53 2.701,88 215,88 783,48 913,23 1.098,03 807,03
September 1.650,50 11,55 2.725,-- 215,-- 789,75 911,46 1.102,15 809,03
Desember 1.654,40 12,95 3.037,50 216,33 826,8 1.016,40 1.247,80 911,3
Maret 1.665,20 13,11 3.056,50 217,-- 830,5 994,1 1.204,20 883,1
1988/1989 April 1.670,80 13,37 3.140,-- 217, -- 837,-- 1.000,37 1.208,62 889,38
Mei 1.675,60 13,4 3.145,50 217,7 836,8 991,-- 1.189,70 883,6
Juni 1.683,50 13,29 2.913,-- 218,7 830,6 962,5 1.156,10 854,3
Juli 1.695,30 12,78 2.897,50 220,-- 831,3 921,87 1.109,30 815,--
Agustus 1.701,70 12,74 2.896,-- 220,5 835,6 903,-- 1.077,60 797,--
September 1.707,20 12,67 2.884,-- 221,4 838,6 914,8 1.086,20 808,7
Oktober 1.714,75 13,3 2.975,-- 222,63 850,25 939,88 1.111,50 832,38
Nopember 1.722,70 14,-- 3.125,-- 223,7 881,4 986,"80 1.177,70 873,6

sehingga persediaan yang ada pada negara-negara produsen karet menjadi berlebihan. Keadaan
tersebut telah pula mempengaruhi perkembangan harga karet di pasar dalam negeri yang
memperlihatkan perkembangan yang menurun. Dalam pada itu, harga kopra di pasar Jakarta,
dalam periode April-Nopember 1988 meningkat sebesar 10,6 persen, sedangkan di pasar
internasional baik di pasar Manila maupun London, harga komoditi kopra mengalami
peningkatan yang cukup menggembirakan masing-masing sebesar 9,7 persen dan 5,5 persen.

Perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional juga memperlihatkan


peningkatan yang cukup menggembirakan. Di pasar London, harga minyak sawit pada akhir
"bulan Nopember 1988 ditutup dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga dalam bulan
Maret 1988, sehingga selama peri ode April-Nopember 1988 harga minyak sawit mengalami
peningkatan hampir sebesar 8,0 persen. Sementara itu, harga timah di pasar London setelah
mengalami penurunan dalam bulan April 1988, dalam bulan-bulan berikutnya mulai mem-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 121


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

perlihatkan peningkatan yang menggembirakan. Harga tertinggi tercatat dalam bulan September
1988. Setelah itu, harganya kembali menurun sampai mencapai harga terendah pada bulan
Nopember 1988. Walaupun demikian, selama periode April-Nopember 1988 harga komoditi
timah di pasar London meningkat sebesar 9,2 persen. Kenaikan harga beberapa komoditi ekspar,
baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional, merupakan hat yang sangat
menggembirakan sebab akan menunjang usaha peningkatan penerimaan ekspor bukan migas.
Apabila harga komoditi ekspar karel, kopra, dan minyak sawit mengalami pening katan,
komoditi ekspor lainnya seperti lada putih, kepi robusta, baik di pasar dalam negeri maupun di
pasar internasional, mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan. Harga kepi
robusta sejak Mei 1988 dari bulan ke bulan terus melemah, dengan harga terendah terjadi pada
bulan Oktober 1988. Harga kepi robusta di pasar New York setelah merosot sejak bulan Mei
1988, sempat meningkat pada bulan September 1988. Namun pada bulan berikutnya harganya
menurun lagi pada tingkat yang paling rendah selama April-Oktober 1988, sehingga dalam
periode tersebut, harga kepi robusta di pasar Jakarta maupun di pasar New York telah merosot
masing-masing sebesar 35,7 perSE!n dan 9,4 persen. Melemahnya harga kepi ini antara lain
disebabkan oleh adanya gejala meningkatnya posokan kepi di pasar internasional, disamping
mutu kepi yang belum menguntungkan. Namun dengan ditetapkannya kembali kuota ekspor
kepi bagi negara-negara penghasil kepi yang tergabung dalam organisasi kepi internasional
(ICO), diharapkan akan dapat memperbaiki harga kepi Indonesia di pasar kuota maupun bukan
kuota. Pengaruhnya sudah mulai dapat dilihat yaitu berupa peningkatan harga y<::ng terjadi
pada bulan Nopember 1988. Pada bul_n tersebut harga kepi robusta baik di pasar Jakarta
maupun di Pasar New York meningkat masing-masing sebesar 11,1 persen dan 0,7 persen
dibandingkan dengan harga pada bulan sebelumnya. Sementara itu, lada putih di pasar London
dan lada hitam di pasar New York dalam periode AprilNopember 1938, mencatat harga yang
stabil, .walaupun dalam bulan April 1988 harga lada hitam sempat meningkat sebesar 0,8 persen.
Sebaliknya harga lada putih di pasar Jakarta dalam periode April-Oktober 1988 terus merosot,
dengan mencatat harga terendah dalam bulan Oktober 1988 sebesar Rp 3.750,- per kilogram.
Turunnya harga lada di pasar dalam negeri tidak terlepos dari pengaruh keadaan pasar
internasional yang agak lesu, yang mengakibatkan stok lada pada petani bertambah.
Perkembangan harga beberapa barang ekspor di pasar dalam negeri dan pasar internasional
dapat terlihat pada Tabel III.7, Tabel III.8

Departemen Keuangan Republik Indonesia 122


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.2.5. Indeks harga perdagangan besar


Indeks harga perdagangan besar, yang dibagi dalam lima sektor utama dan mencakup komoditi
yang diperdagangkan atau diperjualbelikan dari berbagai negara, dipergunakan sebagai indikator
untuk menilai perkembangan harga barang perdagangan di Indonesia. Indeks umum harga
perdagangan besar tahun 1977-1985 disusun berdasarkan tahun dasar 1975, sedangkan untuk
periode berikutnya disusun berdasarkan tahun dasar 1983. Hal ini dilakukan dengan maksud
untuk memperoleh tahun dasar yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan perkembangan tingkat
harga yang terjadi. Indeks umum harga perdagangan besar dalam tahun 1988 sampai dengan
bulan Agustus meningkat sebesar 5,6 persen. Dari kelima sektor tersebut, yang mengalami
peningkatan harga tertinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 20,5 persen.
Sementara itu indeks harga di sektor pertanian dan sektor industri meningkat masing-masing
sebesar 11,72 persen dan 8,4 persen. Apabila indeks harga di sektor ekspor meningkat sebesar
6,8 persen, maka indeks harga di sektor impor mencatat penurunan sebesar 8,9 persen. Keadaan
yang demikian memberikan gambaran adanya perbaikan dalam dasar penukaran barang-barang
hasil komoditi Indonesia. Dalam peri ode 1983-1988 indeks harga perdagangan besar mencatat
kenaikan indeks harga yang tertinggi, baik dilihat secara umum maupun per sektor.
Perkembangan indeks harga perdagangan besar dapat dilihat pada Tabel III.9.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 123


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.7
HARGA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI JAKARTA, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam rupiah per kilogram)
Kopra
Akhir periode RSS I ( Sulawesi -) Lada putih Kopi robusta
1969/1970 Maret 125,66 50,18 295,-- 126,57
1970/1971 Maret 106,1 65,4 199,25 156,--
1971/1972 Maret 103,12 58,2 257,6 120,62
1972/1973 Maret 199,77 79,7 431,4 293,09
1973/1974 Maret 305,56 192,43 752,19 360,46
1974/1975 Maret 178,35 94,51 526,25 245,82
1975/1976 Maret 243,59 89,18 455,37 507,--
1976/1977 Maret 278,29 215,5 1.100,-- 2.090,--
1977/1978 Maret 306,47 233,33 917,5 862,5
1978/1979 Maret 626,66 256,67 1.276,25 1.169,--
1979/1980 Maret 777,94 242,26 1.162,50 1.225,--
1 Maret 690,21 263,4 822,5 968,75
1981/1982 Maret 508,48 243,8 880,-- 783,6
1982/1983 Maret 701,09 219,8 956,-- 1.025,--
1983/1984 Maret 1.006,25 535,07 2.665,-- 1.275,--
1984/1985 Maret 706,-- 405,-- 3.050,-- 1.350,--
1985/1986 Maret 815,31 291,66 5.768,-- 3.000,--
1986/1987 Maret 1.344,-- 438,-- 7.461,-- 2.200,--
1987/1988 Juni 1.406,-- 432,-- 7.202,-- 2.300,--
September 1.618,-- 426,-- 8.356,-- 2.450,--
Desember 1.666, -- 466,67 7.975,-- 2.650,--
Maret 1.713,-- 518,-- 7.703,-- 2.800,--
1988/1989 April 1.752,-- 517,-- 7.964,-- 2.750,--
Mei 1.829,-- 540,-- 7.950,-- 2.450,--
Juni 1.928, -- 583,-- 7.428,-- 2.750,--
Juli 1.848, -- 583,-- 6.218,-- .2.000,--
Agustus 1.852,-- 560,83 4.912,-- 1.900,--
September 1.788,-- 547,66 4.260,-- 1.900,--
Oktober 1.7 46,50 565,-- 3.750,-- 1.800,--
Nopember 1.586,-- 573,-- 4.768,-- 2.000,--

Departemen Keuangan Republik Indonesia 124


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.8
HARGA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL,
1969/1970- 1988/1989

RSS III Kopra Kopi Robusta Lada putih Lada hitam Timah putih Minyak sawit
Akhir periode US $ ct/lb Hrp Ikg Sir $ Ct/kg us $/It US $/It us $ ctllb us $ It/lb us $/lb Hr £/mt Hr £/1t
(New York) (London) (Singapura) (Manila) (London) eks Palembang (London) (New York) (London) Malaysia
(New York) (London)
1969/1970 Maret 29,88 20,65 59,35 205,-- 240,53 33,65 49,77 *) 57,72 1.578,54 109,58
1970/1971 Maret 17,08 14,6 98,83 176,28 208,55 39,28 42,73 55,6 1.472,20 117,6
1971/1972 Maret 16,01 12,6 83,2 115,92 141,84 36,43 47,4 45,-- 1.477,60 81,35
197/1973 Maret 26,4 24,59 137.45 201,5 221,21 42,28 60,5 52,25 1.736,50 115,--
1973/1974 Maret 42,43 39,98 203,96 767,67 899,6 62,31 98,93 79,92 3.524,-- 276,87
1974/1975 Maret 27,83 24,89 117,8 258,93 304,6 42,86 831,75 1)**) 90,-, 3.043,26 197,85
1975/1976 Maret 35,88 41,22 179,05 178,46 192,5 78,15 972,-- 79,14 3.594,05 218,503)
1976/1977 Maret 39,67 38,86 186,44 456,76 551,5 . 294,56 1.646,-- 117,31 6.155,94 591,74
1977/1978 Maret 43,52 48,34 196,43 422,-- 437,06 117,92 4) 1.890,-- 116,67 5.917,50 319,5
1978/1979 Maret 51,7 59,87 247,44 664,5 796,45 120,17 1.506,20 86,52 7.328,-- 679,61
1979/1980 Maret 69,43 66,35 300,91 520,76 516,75 154,75 1.390,-- 95,67 7.906,83 612,--
1980/1981 Maret 65,06 57,25 240,63 406.25 389,43 104,52 1.000,-- 83,-- 6.084,13 602,33
1981/1982 Maret 43,24 48,24 163,5 327,05 330,25 114,48 1.288,80 73,-- 7.070,78 505,17
1982/1983 Maret 54,36 73,58 200,56 329,58 321,69 114,69 1.320, -- 64,-- 8.957,-- 376,5
1983/1984 Maret 56,84 80,2 225,31 747,-- 744,15 127,48 2.448,-- 90,2 8.472,-- 739,5
1984/1985 Maret 40,22 70,8 162,29 559,06 5) 516,41 116,49 3.428,25 131,05 9.996,99 418,4
1985/1986 Maret 41,3 56,35 159,83 197,50 . 191,38 159,21 6.375,-- 202,-- 3.786,--6) 256,64
1986/1987 Maret 43,93 58,65 175,65 246,67 243,75 85,38 5.692,50 222,8 4.284,10 315,21
1987/1988 Juni 48,92 59,69 195,26 305,-- 286,92 80,78 5.842,-- 240,-- 4.142,96 340,--
September 53,65 67,27 214,37 340,-- 317,5 91,21 6.756,25 235,-- 4.159,32 346,25
Desember 51,52 62,72 214,31 381,63 357,67 101,03 5.800,-- 236,-- 3.810,60 427,52
Maret 46,51 64,93 217,26 366,81 359,25 99,26 5.800,-- 236,-- 3.767,39 381,5
1988/1989 April 42,72 67,23 231,06 352,-- 352,33 129,21 5.800,-- 238,-- 3.660,26 458,5
Mei 49,57 72,73 247,23 362,13 356,67 99,59 5.800,-- 238,-- .689,88 425;85
Juni 61,-- 74,75 244,5 388,75 376,67 92,43 5.800,-- 238,-- 3.997,84 452,08
Juli 60,83 78,31 255,88 453,33 450,56 83,28 5.800,-- 238,-- 4.253,33 494,72
Agustus 60,78 76,99 252,7 440,-- 411,67 80,04 5.800,-- 238,-- 4.382,05 446,88
September 55,14 66,21 219,-- 400,22 382,14 97,8 5.800,-- 238,-- 4.437,73 425,54
Oktober 52,34 63,03 200,75 393,57 378,24 89,96 5.800,-- 238,-- 4.218,21 430,29
Nopember 52,27 58,87 188,83 402,5 378,85 90,59 - ***) - ***) 4.114,70 411,96

T a b e l III.9
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR 1977 - 1988
( 1975 = 100)
Tahun Pertanian Pertambangan Industri Impor Ekspor Indeks Kenaikan
Dan penggalian umum indeks (%)
1977 145 130 128 108 116 122 -
1978 162 144 139 118 127 114 - 6,56
1979 213 175 178 153 246 195 + 71,05
1980 262 218 210 174 375 253 + 29,74
1981 302 266 234 192 414 282 + 11,46
1982 336 311 257 201 430 302 + 7,09
1983 382 339 301 244 514 357 + 18,21
19841) 113 109 103 113 111 111 + 11
1985 118 117 115 119 112 116 + 4,5
1986 128 125 123 129 85 116 + 0
1987 145 132 143 158 118 142 + 22,41
1988 2) 162 159 155 144 126 150 + 5,63

1) Sejak 1984, tabun dasar 1983 = 100. 2) Sampai dengan bulan Agustus.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 125


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.2.6. Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi


Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi daIam tahun 1988 sampai
dengan bulan Agustus mengalami peningkatan sebesar 7,58 persen. Kenaikan ini masih lebih
kecil jika dibandingkan dEmgan kenaikannya dalam tahun sebelumnya sebesar 10,9 persen.
Dari 5 jenis bahan bangunan/konstruksi, kenaikan indeks harga tertinggi terjadi pada jenis
pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan yaitu sebesar 9,9 persen. Jenis
bangunan/konstruksi Iainnya inengalami peningkatan yang besarnya berkisar antara 7,6 persen
untuk jenis bang_nan tempat tinggal dan bangunan bukan temp at tinggal, sampai dengan 8,3
persen pada jenis bangunan lainnya. Tingginya perkembangan indeks harga perdagangan besar
pada jenis pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan tersebut berkaitan dengan
pesatnya pembangunan di sektor tersebut. Perkembangan indeks harga perdagangan besar bahan
bangunan/ konstruksi dapat diikuti pada Tabel III.10.

3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor ekonomi


Kebijaksanaan gaji dan upah yang dilakukan Pemerintah selama ini, di samping
berusaha untuk menuju ketingkat kebutuhan fisik minimum, juga untuk mewujudkan per-
bandingan upah yang wajar di ant_ra berbagai jabatan dan sektor. DaIam tahun 1988, upah
minimum dan maksimum di berbagai sektor mengalami beberapa perbaikan, dengan tingkat
kenaikan upah minimum bervariasi antara 0,1 persen sampai 42,7 persen. Sektor yang
mengalami kenaikan upah minimum tertinggi adalah jasa-jasa, sedangkan kenaikan terendah
terjadi di sektor pertambangan. Sementara itu upah maksimum mengalami kenaikan antara 0,3
persen sampai 46,9 persen, dengan kenaikan tertinggi terjadi di sektor pertambangan, sedangkan
kenaikan terendah terjadi di sektor lain-lain. Beberapa sektor yang tidak mengalami peningkatan,
baik upah maksimum maupun upah minimum, adalah sektor listrik dan sektor perhubungan.
Perkembangan upah minimum dan maksimum dapat dilihat pada Tabel III.11.

3.4. Perkembangan uang beredar dan perubahan faktor-faktor yang


mempengaruhinya
Jumlah uang beredar (M 1), yang terdiri atas uang kartal dan uang giral, sampai dengan bulan
September 1988 mencapai Rp 13.082 milyar, atau naik sebesar 3,6 persen dalam periode April-
September 1988 (Tabel III.I2). Kenaikan uang beredar tersebut terutaina terjadi pada uang kartal
yang dalam bulan September 1988 mencapai Rp 6.014 milyar atau naik sebesar 2,4 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 126


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sedangkan uang giral meningkat sebesar 4,7 persen sehingga mencapai Rp 7.068 milyar.
Dengan perkembangan tersebut, peranan uang giral dalam bulan September 1988 menjadi 54,0
persen. Jumlah likuiditas perekonomian (M2) sampai dengan bulan September 1988 mencapai
Rp 39.559 milyar, atau meningkat sebesar 11,0 persen dalam periode April-September 1988
(Tabel III.13). Kenaikan likuiditas perekonomian tersebut terjadi baik pada uang beredar (Ml)
maupun pada uang kuasi.
Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan uang beredar, dalam
semester 1-1988/1989, sektor tagihan kepada lembaga/perusahaan dart perorangan memberi
pengaruh menambah sebesar Rp 5.653 milyar. Pengaruh menambah tersebut terjadi karena
tagihan kepada lembaga/perusahaan Pemerintah meningkat sebesar Rp 603 milyar, yang
mencerminkan peningkatan pinjaman perbankan dalam membiayai kebutuhan modal kerfa dart
investasi dari lembaga/perusahaan Pemerintah. Sementara itu, tagihan kepada perusahaan
swasta dart perorangan mengalami kenaikan sebesar Rp 5.050 milyar. Dipihak lain, sektor
aktiva luar negeri bersih dart sektor lainnya memberi pengaruh mengurang, masingmasing
sebesar Rp 1.416 milyar dart Rp 875 milyar. Sedangkan sektor deposito dari tabungan memberi
pengaruh mengurangi jumlah uang beredar sebesar Rp 3.443 milyar, yang pada sisinya yang
lain berarti memberikan pengaruh menambah likuiditas perekonomian dalam jumlah yang sama.
3.5. Perkiraanjumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit perbankan
dalam tahun 1989/1990
Dalam usaha menunjang pencapaian tujuan-tujuan pembangunan, Pemerintah
melaksanakan suatu kebijaksanaan moneter yang secara kuantitatif dituangkan dalam suatu
perencanaan moneter. Dalam hal ini, kebijaksanaan moneter juga mempunyai tujuan berjangka
panjang, seperti kestabilan harga, pertumbuhan ekonomi, keseimbangan neraca pembayaran,
dart pemerataan hasil pembangunan. Tujuan jangka panjang tersebut perlu didukung oleh
sasaran jangka pendek, seperti likuiditas bank-bank (bank reserves), dart sasaran jangka
menengah seperti uang beredar, kredit perbankan, cadangan devisa, dart sebagainya. Sasaran
jangka pendek dart menengah untuk mencapai sasaran jangka panjang tersebut dituangkan ke
dalam suatu perencanaan moneter.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 127


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l III.11
UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM D1 BERBAGAI SEKTOR, 1976 - 1988
( rupiah perbulan )

Sektor 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1)
( Rata-rata upah minimum)
1. Perkebunan 9.101 10.932 12.993 14.919 17.606 21.877 25.485 27.207 31.974 38.688 43.861 46.362 50.266
2. Pertambangan 37.187 41.061 44.118 46.826 60.069 64.510 69.423 72.540 83.421 95.896 102.999 145.973 146.081
3. Industri 28.589 29.178 34.720 36.255 42.137 46.299 57.278 65.570 75.405 83.291 92.072 98.627 115.701
4. Bangunan 20.665 24.498 25.881 26.381 29.105 29.893 35.025 36.718 50.209 53.29 78.837 96.356 96.236
5. Listrik 14.262 14.262 17.318 20.494 21.050 27.279 33.843 40.121 48.039 60.901 80.608 80.608 80.608
6. Perdagangan/bank/asuransi 25.782 29.754 32.914 34.681 42.112 53.245 63.009 67.283 77.735 90.117 136.121 159.142 209.313
7. Perhubungan 23.114 27.051 35.128 36.116 41.972 50.517 60.662 69.475 79.896 85.724 110.756 115.509 115.509
8. Jasa-jasa 29.158 29.158 29.158 30.977 33.270 39.391 50.927 56.491 64.965 71.597 71.597 71.597 102.146
9. Lain-Iain/pegawai negeri 14.300 16.280 16.280 16.280 26.500 32.400 32.400 32.400 35.760 46.327 55.500 55.500 55.500
( Rata-rata upah maksimum )
1. Perkebunan 138.214 150.211 172.530 176.036 191.411 262.721 277.328 289.408 303.878 320.979 489.919 513.054 590.384
2. Pertambangan 209.827 269.179 280.337 309.528 448.725 550.025 554.975 620.200 651.210 690.147 988.727 1.084.653 1.593.079
3. Industri 297.238 333.647 409.246 442.956 496.738 556.348 672.658 712.165 747.773 798.678 1.181.116 1.359.182 1.856.189
4. Bangunan 173.590 205.778 287.166 294.840 370.994 455.424 509.021 524.395 550.614 635.958 703.621 1.144.860 1.188.131
5. Listrik 89.595 135.046 150.196 219.832 231.719 320.299 351.723 465.529 465.520 517.672 551.809 551.809 551.809
6. Perdagangan/bank/asuransi 189.030 250.416 297.695 320.799 361.254 440.503 532.146 656.676 689.510 724.383 999.892 1.193.838 1.193.838
7. Perhubungan 172.419. 205.527 248.405 268.536 382.665 492.624 527.361 554.632 582.363 612.592 732.898 923.062 923.062
8. Jasa-jasa 227.235 228.752 228.752 275.233 322.339 359.035 381.078 393.412 413.082 441.213 576.436 576.436 680.100
9. Lain-lain/pegawal negeri 84.700 241.200 241.200 241.200 291.500 307.400 307.400 307.400 307.400 368.880 368.880 368.880 369.800
1) Sampai dengan bulan Juni

Cara penyusunan perencanaan rnoneter dari suatu periode akan berbeda dengan periode yang
lain, yaitu disesuaikan dengan perkembangan kebijaksanaan moneter yang terjadi dart alat-alat
kebijaksanaan moneter yang digunakan. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum 1 Juni 1983
pengendalian dan pengawasan perkembangan moneter dilakukan dengan pagu perkreditan yang
didasarkan atas perkiraan pertambahan likuiditas perekonomian atau uang beredar. Dengan
dikeluarkannya kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, maka penyusunan perencanaan moneter
telah disesuaikan, yaitu dilakukan melalui pengendalian yang disebut uang primer dengan
menggunakan alat-alat moneter tidak langsung. Alat-alat moneter tidak langsung tersebut
meliputi cadangan minimum bank-bank, fasilitas diskonto, operasi pasar terbuka (melalui
penerbitan SBI dart SBPU) serta imbauan. Di dalam operasi pasar terbuka, SBI dan SBPU
mempunyai peranan yang penting dalam perencanaan moneter, di mana penjualan SBI kepada
perbankan akan menyebabkan kontraksi dan pembelian SBI akan menyebabkan ekspansi
likuiditas perbankan. Demikian juga halnya dengan fasilitas diskonto dan SBPU, dimana
penarikan fasilitas diskonto oleh bank dan diskonto-ulang SBPU oleh lembaga sekuritas pada
Bank Indonesia akan merupakan ekspansi uang primer, dan pelunasan fasilitas diskonto serta
pembelian kembali SBPU akan merupakan kebalikannya. Apabila pada suatu waktu
pertambahan uang primer telah melampaui perkiraan, maka diperlukan penjualan SBI dalam
jumlah yang cukup besar dengan menawarkannya pada tingkat suku bunga yang menarik. Atau
dengan peralatan yang lain melalui kenaikan suku bunga fasilitas diskonto dan SBPU. Apabila
pada suatu waktu jumlah uang primer tidak mencapai target yang diperkirakan maka dilakukan
kebijaksanaan yang sebaliknya. Dengan demikian, pengaturan suku bunga alat-alat moneter
tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi suku bunga yang ditawarkan bank-bank,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 128


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

yang juga merupakan sasaran kebijaksanaan moneter. Dengan memakai perencanaan moneter
tersebut, dan perkiraan bahwa tingkat inflasi kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya, serta
dengan memperkirakan perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1989/1990 dan
pelaksanaan APBN yang seimbang, maka jumlah uang beredar pada akhir Maret 1990
diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar Rp 16.512 milyar, likuiditas perekonomian akan
berjumlah sekitar Rp 57.789 milyar, sedangkan kredit perbankan akan berjumlah sekitar Rp
60.106 milyar. Dengan demikian selama tahun anggaran 1989/1990, jumlah uang beredar
diperkirakan akan bertambah sebesar Rp 2.268 milyar (16,0 persen), likuiditas perekonomian
akan bertambah sebesar Rp 12.849 milyar (29,0 persen) dan kredit perbankan akan bertambah
sebesar Rp 15.164 milyar (33,7 persen).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 129


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel III.12
JUMLAH UANG BEREDAR, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
Jumlah Uang beredar
Pada akhir Uang kartal Uang giral
tahun/bulan Posisi Perubahan (%)
Triwulanan
Posisi % Posisi % Tahunan /bulanan
1969/1970 Maret 126 59,7 85 40,3 211 61,1
1970/1971 Maret 167 61,9 103 38,1 270 28
1971/1972 Maret 210 58,3 150 41,7 360 33,3
1972/1973 Maret 291 54,9 239 45,1 530 47,2
197311974 Maret 421 53,7 363 46,3 784 47,9
197411975 Maret 538 52,4 489 47,6 1.027 31
1975/1976 Maret 659 46,1 769 53,9 1.428 39
1976/1977, Maret 853 47 962 53 1.815 27,1
1977/1978 Maret 1.036 49,1 1.075 50,9 2.111 16,3
1978/1979 Maret 1.369 48,9 1.431 51,1 2.800 32,6
1979/1980 Maret 1.774 46,7 2.023 53,3 3.797 35,6
1980/1981 Maret 2.229 42,8 2.985 57,2 5.214 37,3
1981/1982 Maret 2.542 37,5 4.233 62,5 6.775 29,9
198211983 Maret 3.000 40,7 4.379 59,3 7.379 8,9
1983/1984 Maret 3.554 44,1 4.501 55,9 8.055 9,2
1984/1985 Juni 4.047 49,5 4.136 50,5 8.183 - 1,6
September 3.641 45.7 4.320 54,3 7.961 - -1,7
Desember 3.712 43,3 4.869 56,7 8.581 7,8
Maret 3.785 42,1 5.203 57,9 8.988 11,6 4,7
1985/1986 Juni 4.276 45,4 5.152 54,6 9.428 4,9
September 4.268 45,3 5.146 54,7 9.414 - -0,2
Desember 4.440 43,9 5.664 56,1 10.104 17,7 7,3
Maret 5.044 48,1 5.431 51,9 10.475 16,5 3,7
1986/1987 Juni 4.834 46,7 5.521 53,3 10.355 - - I, I
September 5.173 46,2 6.019 53,8 11.192 8,1
Desember 5.338 45,7 6.339 54,3 11.677 15,6 4,3
Maret 5.673 49,3 5.827 50,7 11.500 9,8 - 1,5
1987/1988 Juni 5.624 48,5 5.964 51,5 11.588 0,8
September 5.605 46,8 6.367 53,2 11.972 - 3,3
Desember 5.782 45,6 6.903 54,4 12.685 8,6 6,0
Maret 5.873 46,5 6.753 53,5 12.626 9,8 - 0,5
1988/1989 April 6.011 47,1 6.748 52,9 12.759 - 1,0
Mei 6.049 47,4 6.713 52,6 12.762 - 0,2
Juni 6.022 46,1 7.030 53,9 13.052 - 2,3
Juli 6.079 46,6 6.949 53,4 13.028 - 0,2
Agustus 6.004 46,3 6.954 53,7 12.958 - 0,5
September 1) 6.014 46,0 7.068 54,0 13.082 0,9

I) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 130


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel III.13
LIKUIDITAS PEREKONOMIAN, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam
Likuiditas perekonomian 3)
Pada akhir Uang beredar l) Uang kuasi 2)
tahun/bulan Perubahan (%)
Posisi
Triwulanan
Posisi % Posisi /bulanan
1969/1970 Maret 211 79,3 55 266
1970/1971 Maret 270 73,9 95 365
1971/1972 Maret 360 65,7 188 548
1972/1973 Maret 530 68,9 239 769
1973/1974 Maret 784 65,1 419 1.203
1974/1975 Maret 1.027 64,8 557 1.584
1975/1976 Maret 1.428 63,1 834 2.262
1976/1977 Maret 1.815 63,8 1.029 2.844
1977/1978 Maret 2.111 64,5 1.164 3.275
1978/1979 Maret 2.800 67,4 1.355 4.155
1979/1980 Maret 3.797 65,4 2.006 5.803
1980/1981 Maret 5.214 65,9 2.692 7.906
1981/1982 Maret 6.775 66,7 3.376 10.151
1982/1983 Maret 7.379 60,3 4.868 12.247
1983/1984 Maret 8.055 51,1 7.704 15.759
1984/1985 Maret 8.988 46,2 10.459 19.447
1985/1986 Maret 10.475 43,3 13.693 24.168
1986/1987 Juni 11.355 42,5 13.995 24.350 0,8
September 11.192 40,8 16.188 27.380 12,4
Desember 11.677 42,2 15.984 27.661 1,0
Maret 11.500 40,3 16.991 28.491 3,0
1987/1988 Juni 11.588 39,6 17.666 29.254 2,7
September 11.972 37,8 19.672 31.644 8,2
Desember 12.685 37,4 21.200 33.885 7,1
Maret 12.626 35,4 23.034 35.660 5,2
1988/1989 April 12.759 35,2 23.517 36.276 1,7
Mei 12.762 34,8 23.920 36.682 1,1
Juni 13.052 34,4 24.850 37.902 3,3
Juli 13.028 33,9 25.398 38.426 1,4
Agustus 12.958 33,1 26.166 39.124 1,8
September"J 13.082 33,0 26.477 39.559 1,1
1) Uang beredar dalarn arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, biasa dinyatakan dengan simbol M1.
2)) Terdiri
p atas deposito
g berjangka dan tabungan
, y gserta rekening
y valuta asing
g milik swasta
, domestik. g
beredar dalam arti sempit dan uang kuasi.
4) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 131


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.14
PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR,
1969/1970 - 1988/1989

Sektor 1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977


I. Aktiva luar negeri bersih - 15 17 61 124 153 1 - 320 445
II. Pemeri.ntah -4 - 19 16 - 20 - 24 25 - 410 - 387
III. Tagihan kepada lembaga/perusahaan
dan perorangan 150 128 132 225 470 548 1.265 719
1. Tagihan kepada lembaga/perusahaan
pemerintah 26 24 13 43 33 309 928 350
2. Tagihan kepada perusahaan swasta
daD perorangan 124 104 119 182 437 239 337 322
IV. Uang kuasi I) - 28 - 40 - 82 - 53 -180 -138 - 277 -195
V. Lainnya - 23 - 27 - 37 -106 -165 -193 143 -195
Jumlah Dang beredar 80 59 90 170 254 243 401 387
- Uang kartal 45 40 43 81 130 117 121 194
- Uang giral 35 19 47 89 124 126 280 193

Tab e l 111.14
Sektor 1977/1978 1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985
I. Aktiva luar negeri bersih 590 808 2.545 2.214 -11 134 3.184 2.809
II. Pemerintah -293 -291 -1.140 -1.876 -131 581 -2.220 -2.878
III. Tagihan kepada lembaga/perusahaan
dan perorangan 308 1.606 809 1.837 2.604 3.039 2.636 3.465
I. Tagihan kepada lembaga/perusahaan
pemerintah 63 974 250 540 683 382 278 138
2. Tagihan kepada perusahaan swasta
dan perorangan 365 632 559 1.297 1.921 2.657 2.358 3.327
IV. Uang kuasi 1) -135 -191 -650 -687 -684 -1.492 -2.836 -2.755
V. Lainnya -175 -1.243 -567 -71 -217 -1.658 -88 292
Jumlah Uang beredar 295 689 997 1.417 1.561 604 676 933
- Uang kartal 182 333 405 455 313 459 554 231
- Uang giral 113 356 592 962 1.248 145 122 702

Tab e I III.14 (lanjutan)


1988/1989
Sektor
1985/1986 1986/1987 1987/1988 April Mei Juni Joli Agts. Sept Z)
t. Aktiva luar negeri bersih 1.014 2.372 2.357 -406 -117 -219 -982 424 -116
II. .Pemerintah 1.199 -1.503 1.822 272 -489 33 317 2 402
III. Tagihan kepada lembaga/perusahaan
Dan perorangan 3.834 5.567 8.200 564 1.040 516 1.573 1.222 738
I. Tagihan kepada
Pemerintah 177 640 533 -18 325 -604 736 54 110
2. Tagihan kepada perusahaan swasta
Dan perorangan 3.657 4.927 7.667 582 715 1.120 837 1.168 628
IV. Uang kuasi 1) -3.234 -3.298 -6.043 -483 -403 -930 -548 -768 -311
V. Lainnya -1.326 -2.113 -5.210 186. -28 890 -384 -950 -589
Jumlah Uang beredar 1.487 1.025 1.126 133 3 290 -24 -70 124
- Uang kartal 1.259 629 200 138 38 - 27 57 - 75 10
- Uang giral 228 396 926 -5 - 35 317 - 81 5 114

1) Terdiri atas deposilo berjangka daft tabungan dalam rupiah maupun valuta asing soria giro valuta asing milik penduduk.
2) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 132


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.6. Pembinaan dan pengerahan dana perbankan dan lembaga keuangan


3.6.1. Lembaga keuangan perbankan
Sejalan dengan pengembangan kegiatan sektor swasta dalam pembangunan, dunia
perbankan Indonesia dituntut untuk lebih meningkatkan peranannya dalam mengerahkan
sumber dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam hal ini kebijaksanaan
Pemerintah untuk mengembangkan dan membina sektor perbankan tetap diarahkan untuk
membina dan menumbuhkan sistem perbankan yang sehat dan professional. Untuk itu
serangkaian langkah kebijaksanaan telah diambil, terakhir sekali berupa paket kebijaksanaan 27
Oktober 1988 yang menyangkut peningkatan pengerahan dana masyarakat, peningkatan ekspor
bukan migas, peningkatan efisiensi perbankan dan lembaga keuangan, peningkatan kemampuan
pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan moneter, serta penciptaan iklim pengembangan pasar
modal. Usaha-usaha untuk memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral dan jasa-
jasa perbankan, terutama di tempat-tempat yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia, terus
dilakukan. Dalam 5 tahun pelaksanaan Pelita IV telah ditunjuk 9 kantor cabang sebagai
penyelenggara kliring lokal. Dengan penunjukan tersebut, pada akhir Agustus 1988 jumlah
kliring lokal yang diselenggarakan oleh bank Pemerintah di seluruh Indonesia menjadi 34 buah.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan jasa perbankan, sekaligus menggalakkan kegiatan
pasar uang, sejak 1 Oktober 1987 bank-bank diberikan kesempatan untuk melakukan transfer ke
kota lain ataa kelebihan dana yang diperhitungkan melalui kliring. Pada tahap pertama,
kesempatan tersebut diberikan kepada bankbank peserta kliring di Jakarta, Surabaya, dan
Bandung. Dalam rangka pembinaan perbankan, sejak Juli 1987 telah dilakukan penyempurnaan
ketentuan mengenai penggolongan pinjaman menurut kolektibilitas. Penyempurnaan tersebut
dilakukan dengan memberikan kelonggaran keringanan batas waktu penetapan tunggakan bunga,
yaitu dari 2 bulan menjadi 3 bulan. Selanjutnya diatur pula ketentuan mengenai pinjaman yang
diselamatkan, yaitu pinjaman yang semula tergolong diragukan atau macet yang diusahakan
untuk diperbaiki, melalui penjadwalan kembali (reschedulling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Sebagai upaya untuk memperluas jenis
jasa perbankan dan memperlancar penerimaan negara dari pemungutan pajak, sejak Juni 1987
bank umum pemerintah ditunjuk sebagai pelaksana untuk menampung setoran pajak bumi dan
bangunan (PBB) dari para wajib pajak. Sementara itu, dalam melaksanakan Keputusan Presiden
no. 29 tahun 1984 mengenai pelaksanaan pekerjaan pemborongan dan pembelian yang
pembiayaannya bersumber dari APBN, dalam tahun 1987/88 bank dan lembaga keuangan yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 133


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

memenuhi persyaratan diizinkan untuk menerbitkan jaminan, demi kelancaran pelaksanaan


pekerjaan tersebut. Sehubungan dengan itu, telah ditunjuk 90 bank dan 1 lembaga keuangan
lainnya yang dapat menerbitkan jaminan, yang terdiri atas 5 bank umum pemerintah, 1 bank
pembangunan pemerintah, 60 bank umum swasta nasional, 23 bank pembangunan daerah, 1
bank pembangunan swasta, dan 1 perusahaan asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja.
Di tengah-tengah keterbatasan keadaan keuangan negara serta situasi dan lingkungan
ekonomi dunia yang tidak menguntungkan, sektor perbankan, lembaga keuangan lainnya, dan
pasar modal, memegang posisi yang sangat menentukan dalam menunjang pembangunan yang
memberikan reran lebih besar kepada sektor swasta. Hal itu adalah karena sektor tersebut
mempunyai rungsi yang sangat penting sebagai penghubung antara masyarakat penabung
dengan masyarakat investor atau pengusaha. Setelah kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, paket
kebijaksanaan 27 Oktober 1988 merupakan langkah penyempurnaan yang sangat mendasar dan
berdampak luas. Kebijaksanaan tersebut merupakan bagian serta kelanjutan dari langkah
deregulasi dan debirokratisasi ekonomi, bertujuan agar sektor keuangan dan perbankan dapat
lebih efisien dan secara lebih optimal mengerahkan dana-dana masyarakat, mendorong ekspor
non migas, serta meningkatkan gairah investasi melalui pasar modal. Di dalam menuju
terwujudnya sistem keuangan-perbankan yang lebih sehat dan efisien melalui persaingan yang
lebih sehat dan wajar, serta di dalam meningkatkan pengerahan dana masyarakat, maka diambil
langkah-langkah kebijaksanaan berupa pemberian kemudahan-kemudahan atas pembukan
kantor bank, pembukaan kantor cabang lembaga keuangan bukan bank, pendirian bank swasta
baru, pendirian dan usaha bank perkreditan rakyat, penerbitan sertifikat deposito dan perluasan
tabungan. Demikian pula berdasarkan kebijaksanaan baru tersebut BUMN dan BUMO dapat
menempatkan dananya pada bank-bank yang bukan milik pemerintah dan pemerintah daerah,
asalkan tidak melebihi 50 persen dari jumlah dana yang ditempatkan. Di samping itu juga
diIakukan kebijaksanaan perluasan jumlah bank dan kantor cabang, serta pelonggaran batas
maksimum pemberian kredit. Kemudahan yang diberikan dalam rangka pendirian bank baru
ataupun perluasan jaringan perbankan sampai ke pedesaan dikenakan persyaratan yang lebih
ringan, yaitu bahwa bank yang bersangkutan selama 24 bulan terakhir minimal dalam 20 bulan
tergolong sehat termasuk permodalannya, dan dalam masa selebihnya sekurang-kurangnya
tergolong cukup sehat. Sementara itu, usaha pembukaan kantor cabang pembantu dan kantor-
kantor lainnya di bawah kantor cabang cukup dengan memberitahukan kepada Bank Indonesia.
Sejalan dengan usaha mendorong perdagangan luar negeri khususnya ekspor bukan migas,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 134


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Paket 27 Oktober 1988 ini juga memberikan kemungkinan perluasan bank devisa, dimana
cabang-cabang dari bank devisa nasional yang semula memerlukan izin untuk berfungsi sebagai
bank devisa, kini dapat secara otomatis berfungsi sebagai bank devisat Bank devisa yang ber-
sangkutan cukup melaporkan kepada Bank Indonesia. Selain itu juga dibuka kemungkinan
untuk mendirikan bank campuran yang dapat didirikan oleh satu atau lebih bank nasional
Indonesia dan satu atau lebih bank asing di luar negeri. Sementara itu bank asing yang telah ada
dan tergolong sehat, termasuk permodalannya, dapat membuka kantor cabang pembantu, baik di
Jakarta maupun di 6 kota besar lainnya, yakni Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar,
dan Ujung Pandang. Berbagai kemudahan dan keringanan yang diberikan oleh Pemerintah
tersebut dimaksudkan pula untuk mendorong kegiatan ekonomi sampai ke daerahdaerah.
Namun demikian berbagai kemudahan ini tetap akan diimbangi dengan sistem pengawasan yang
efektif untuk melindungi dana masyarakat. Perkembangan jumlah bank dan kantor bank dapat
dilihat dalam Tabel III.15.

3.6.2. Perkembangan dana perbankan


Perekonomian Indonesia dalam pelaksanaan semester pertama tahun terakhir Pelita IV masih
menghadapi berbagai tantangan dan hambatan sehubungan dengan belum membaiknya
perekonomian dunia, khususnya di negara-negera industri. Demikian juga pasaran minyak dunia
masih menunjukkan perkembangan yang belum menentu, disertai dengan tingginya beban
pembayaran hutang luar negeri. Keadaan ini sangat mempengaruhi kemampuan Pemerintah
dalam membiayai usaha-usaha pembangunan. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut,
Pemerintah terus berusaha agar mobilisasi dana masyarakat melalui perbankan dapat lebih
ditingkatkan, dan penyalurannya ke sektor-sektor usaha yang produktif dapat lebih efisien.
Untuk itu tetap diupayakan peningkatan efisiensi dan profesionalisme perbankan, terpeiiharanya
tingkat suku bunga yang dapat meningkatkan kegairahan masyarakat untuk menabung, serta
mendorong kegiatan investasi khususnya yang berkaitan dengan ekspor. Langkah-Langkah yang
diambil oleh Pemerintah di bidang pengerahan dana dalam lima tahun pelaksanaan Pelita IV
dimulai dengan kebijaksanaan 1 Juni 1983. Sebagaimana diketahui dalam rangka meningkatkan
pengerahan dana tersebut Pemerintah memberikan kebebasan pada bank-bank untuk
menetapkan suku bunga deposito. Dengan iklim yang diciptakan melalui kebijaksanaan 1 Juni
1983 tersebut, sektor perbankan telah berhasil menghimpun dana dalam jumlah yang cukup
besar, yaitu sebesar Rp 35.323,6 milyar, sampai dengan akhir September 1988. Dengan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 135


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

demikian dana perbankan selama Pelita IV (sampai dengan September 1988), telah berkembang
dengan Rp 21.986,5 milyar, atau ratarata naik sekitar 25 persen, tiap tahunnya. Usaha
peningkatan pengerahan dana perbankan oleh Pemerintah melalui kebijaksanaan 27 Oktober
1988, selain dilakukan dengan memperluas jasa pelayanan perbankan sampai ke daerah-daerah,
juga dilakukan melalui penurunan likuiditas wajib minimum. Penurunan likuiditas wajib
minimum dari 15 persen menjadi 2 persen akan mendorong perbankan untuk lebih giat dalam
pengumpulan dana oleh karena biayanya menjadi lebih rendah. Di samping itu perpanjangan
jangka waktu swap dari maksimum 6 bulan menjadi maksimum 3 tahun, dengan premi swap
yang realistis, pada gilirannya akan dapat merangsang pemasukan modal atau dana dari luar
negeri.

T a b e l III.15
JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DI INDONESIA,
1969/1970 - 1987/1988
Tahun 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78
Bank-bank umum
Bank-bank umum pemerinlah
- Jumlah bank 5 5 5 5 5 5 5 5 5
- Jumlah kanlar 597 600 598 601 604 614 671 679 684

Bank-bank umum swasta nasi onal


- Jumlah bank 126 129 126 114 107 97 91 85 83
- Jumlah kanlar 283 287 285 270 264 259 257 261 270
Bank asing/campuran
- Jumlah bank 11 11 11 11 11 11 11 11 11
- Jumlah kanlar 15 16 16 18 20 21 21 21 20
Bank-bank pembangunan

Bank-bank pembangunan pemerinlah


- Jumlah bank 1 1 1 1 1 1 1 1 1
- Jumlah kanlar 21 19 19 19 11 11 11 11 11
Bank-bank pembangunan daerah
- Jumlah bank 25 25 26 26 26 26 26 26 26
- Jumlah kanlar 61 68 92 98 105 112 123 130 140
Bank pembangunan swasla
- Jumlah bank
- Jumlah kanlar
Bank-bank labungan
Bank-bank labungan pemerintah
- Jumlah bank 1 1 1 1 1 1 1
- lumlah kanlar 7 7 7 7 7 7 7
Bank-bank tabungan swasta
- lumlah bank 1l 10 10 10 10 7 7 7 6
- lumlah kanlar 11 10 10 10 10 7 7 7 6
Jumlah bank umum, bank pemba-
ngunan dan bank tabungan
- lumlah bank 181 183 181 169 162 149 143 137 134
- lumlah kanlar 996 1.008 1.028 1.024 1.022 1.032 1.098 1.117 1.140
Bank-bank perkreditan rakyal I)
- Bank desa 5.091 5.299 2.387 2.387 3.505 3.556 3.563 3.566 3.574
- Lumbung desa 3.317 3.317 1.667 1.667 2.212 2.211 2.211 2.208 2.202
- Bank pasar 166 228 74 74 110 132 139 141 152
- Bank pegawai - - - - -
Jumlah bank seluruhnya 8.755 9.027 4.311 4.299 5.989 6.048 6.056 6.052 6.062
Jumlah kanlor seluruhnya 9.665 9.943 5.158 5.154 6.849 6.931 7.011 7.032 7.068

Departemen Keuangan Republik Indonesia 136


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab el I II.15 ( lanjutan)


Tahun 1978/79 1979/80 1980/81 1981182 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
Bank-bank umum
Bank-bank umum pemerintah
- Jumlah bank 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
- lumlah kantor 688 689 701 712 727 739 749 764 780 798
Bank-bank umum swasta nasional
- lumlah bank 78 77 75 71 70 69 69 68 65 64
- lumlah kantor 274 285 294 297 317 351 390 431 464 512
Bank asing/campuran
- lumlah bank 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11
- lumlah kantor 20 20 20 20 20 21 21 21 21 21
Bank-bank pembangnnan
Bank-bank pembangunan pemerintah
- lumlah bank 1 1 1 1 1 I 1 1 1 1
- lumlah kantor 11 11 19 19 22 22 22 22 22 22
Bank-bank pembangunan daerah
- lumlah bank 26 26 , 26 26 27 27 27 27 27 27
- lumlah kantor 144 150 158 174 185 194 201 215 228 238
Bank pembangunan swasta
- lumlah bank 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
- lumlah kantor ] 1 1 1 1 1. ] 3 3 6
Bank-bank tabungan
Bank-bank tabungan pemerintah
- lumlah bank I 1 1 1 1 1 1 1 1 1
- lumlah kantor 8 8 8 ]2 ]2 12 12 12 15 15
Bank-bank tabungan swasta
- lumlah bank 4 2 2 2 2 2 I 1 2 2
- lumlah kantor 4 2 2 2 2 2 1 1 28 28
Jumlah bank umum, bank pemba-
ngunan dan bank tabungan
- lumlah bank 127 124 122 118 118 117 116 115 113 112
- lumlah kantor 1.150 1.166 1.203 1.237 1.286 1.342 1.397 1.469 1.561 1.640
Bank-bank perkreditan rakyat I)
- Bank desa 3.564 3.537 3.536 3.546 3.561 3.574 3.581 3.566 3.550 3.542
- Lumbung desa 2.154 2.143 2.142 2.090 2.081 2.079 2.078 2.078 2.063 2.063
- Bank pasar 152 152 154 164 167 169 172 175 175 177
- Bank pegawai 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Jum1ah bank seluruhnya 5.997 5.957 5.955 5.919 5.928 5.940 5.948 5.935 5.902 5.895

Jumlah kantor se1uruhnya 7.020 6.999 7.0j6 7.038 7.096 7.165 7.229 7.289 7.350 7.423

1) Jumlah bank/kantor
Jumlah kantor terdiri atas kantor pusat. kantor cabang dan kantor cabang pembanlu.

3.6.2.1. Giro
,Dana giro sebelum deregulasi perbankan 1 Juni 1983 merupakan sumber dana
perbankan yang utama. Akan tetapi peranannya kini menurun, dibandingkan dengan sumber
dana deposito. Penurunan dalam peranan ini adalah karena tumbuh pesatnya dana deposito
berjangka sejak deregulasi 1 Juni 1983. Selama Pelita IV ini, sampai dengan September 1988,
dana giro perbankan hanya berkembang sebesar Rp 2.631,1 milyar atau rata-rata sebesar 8,0
persen setiap tahunnya, dibandingkan dengan pertumbuhan dana deposito berjangka, yang
dalam periode yang sama telah berkembang sejumlah Rp 18.155,5 milyar atau rata-rata sebesar
35,0 persen. Hal ini disebabkan terutama oleh suku bunga deposito yang jauh lebih menarik,
disamping jasa pelayanan perbankan dalam hal pelayanan jasa giro yang masih perlu diperluas
serta mutunya ditingkatkan. Usaha untuk meningkatkan dana giro, serta memperluas dan
mempelancar laiulintas pembayaran giral dilaksanakan melalui perluasan pelayanan dan jasa-
jasa perbankan kepada masyarakat, terutama di tempat-tempat yang tidak terdapat kantor Bank
Indonesia. Dalam 5 tahun pelaksanaan Pelita IV telah ditunjuk 9 kantor cabang sebagai
penyelenggara kliring lokal. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan jasa perbankan sekaligus

Departemen Keuangan Republik Indonesia 137


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menggalakkan kegiatan pasar liang, sejak 1 Oktober 1987 bank-bank diberikan kesempatan
untuk melakukan transfer ke kota lain atas kelebihan dana yang diperhitungkan melalui kliriing.
Pada tahap pertama, kesempatan tersebut diberikan kepada bank-bank peserta kliring di
beberapa kota tertentu. Melalui kemudahan dalam pendirian bank serta kantor-kantor cabang
serta bank perkreditan rakyat serta persaingan yang sehat sebagaimana dituangkan dalam
kebijaksanaan Oktober 1988, struktur atau portfolio dana perbankan akan lebih menguntungkan
sejalan dengan usaha pengembangan lalu lintas giral.

3.6.2.2. Deposito berjangka


Hingga saat ini dana deposito berjangka merupakan sumber dana perbankan yang
terbesar. Perkembangan yang pesat tersebut berlangsung sejak dilaksanakannya deregulasi
perbankan pada 1 Juni 1983, dimana bank-bank diberikan kebebasan dalam menetapkan suku
bunganya. Perkembangan dana deposito yang pesat ini telah menjadikan deposito berjangka
sebagai komponen yang utama dari likuiditas perekonomian. Dari posisi likuiditas
perekonomian sebesar Rp 39.811 milyar pada akhir September 1988, lebih dari 66 persen
merupakan deposito berjangka. Selama Pelita IV sampai dengan akhir September 1988,
deposito berjangka telah berkembang sebesar Rp 18.155,5 milyar atau tumbuh rata-rata sebesar
35 persen tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, kenaikan terbesar terjadi dalam deposito
berjangka 12 bulan, 3 bulan dan 1 bulan, yang berjumiah Rp 15.122,8 milyar atau 83 persen dari
jumlah kenaikan. Kenaikan pesat yang terjadi pada jenis-jenis deposito berjangka tersebut
tercermin pada posisinya, yang apabila pada akhir Maret 1983 adalah sebesar 62,7 persen, pada
akhir September 1988 telah naik menjadi 78 persen dari jumlah keseluruhan deposito berjangka.
Dilihat dari bank penghimpun dana deposito berjangka, peranan bank urn urn swasta nasional
menunjukkan kenaikan yang pesat. Apabila pada akhir Maret 1983 jumlah dana yang dihimpun
baru sebesar Rp 726,0 milyar atau sebesar 20 persen dari keseluruhan jumlah dana deposito
berjangka, maka sampai dengan akhir September 1988 telah meningkat menjadi 32 persen.
Sedangkan porsi atau peranan deposito berjangka pada bank Pemerintah dalam periode waktu
yang sama tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Pertumbuhan yang sangat berarti dalam
deposito berjangka tersebut tidak terlepas dari factor-faktor suku bunganya yang menarik,
terpeliharanya tingkat inflasi, dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Dalam rangka
meningkatkan investasi dan pengembangan pasar modal, dengan memberikan perlakuan yang
lebih adil terhadap pendapatan masyarakat yang diperoleh dari penanaman modal dalam bentuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 138


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

saham, maka berdasarkan kebijaksanaan Oktober 1988 penghasilan atas bunga deposito
berjangka dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 persen dan bersifat final.

3.6.2.3. Tabungan

Program pengerahan dana masyarakat melalui perbankan, selain giro dan deposito juga
dilaksanakan melalui tabungan. Program tabungan yang diperkenalkan sejak tahun 1971 adalah
tabungan pembangunan nasional (Tabanas) dan tabungan asuransi berjangka (Taska). Sejalan
dengan perluasan lembaga perbankan ke seluruh daerah, kesadaran masyarakat untuk menabung
terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Peningkatan dalam tabungan ini
didukung oleh jumlah lembaga perbankan yang makin banyak, serta penawaran fasilitas dan
suku bung a yang menarik. Untuk lebih meningkatkan minat masyarakat dalam menabung,
pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas bunga tabungan tetap ditangguhkan. Pada tanggal 1 Juli
1987 suku bunga tabanas diseragamkan, yaitu 15 persen setahun tanpa batas saldo tabungan,
sedangkan suku bunga Taska adalah 9 persen setahun, dan apabila ditarik sebelum jatuh waktu
suku bunganya hanya 6 persen pertahun. Jumlah tabungan perbankan yang berhasil dihimpun
sampai dengan bulan September 1988 tercatat sebesar Rp 1.837,8 milyar, dimana Tabanas
adalah merupakan komponen tabungan yang terbesar, yaitu Rp 1.387,7 milyar atau 75,5 persen
dari keseluruhan tabungan. Perkembangan tabungan perbankan dapat diikuti pada Tabel III.19.
Dalam rangka mendukung program tabungan, khususnya untuk masyarakat di pedesaan,
sejak tahun 1984 telah diperkenalkan jenis simpanan pedesaan (Simpedes), yang dilaksanakan
oleh BRI unit desa. Sampai dengan akhir September 1988, dana yang berhasil dihimpun dalam
bentuk tabungan tersebut adalah sebesar Rp 265,2 milyar, dengan jumlah penyimpan sejumlah
1.393.907 orang. Dalam periode Januari-September 1988, kenaikan Simpedes mencapai sebesar
Rp 82,6 milyar atau 45,2 persen. Perkembangan Simpedes dapat diikuti pada Tabel III.20.

3.6.3. Pasar uang


Dengan diambilnya kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, Pemerintah dalam mengatur
jumlah uang beredar tidak lagi menggunakan peralatan moneter secara langsung, yaitu pagu
kredit perbankan, kredit likuiditas, dan penetapan suku bunga, akan tetapi lebih mengutamakan
penggunaan peralatan moneter secara tidak langsung, yaitu penetapan cadangan wajib, operasi
pasar terbuka, fasilitas diskonto, dan pengarahan oleh Bank Indonesia (moral suasion). Untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 139


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

melaksanakan kebijaksanaan operasi pasar terbuka, oleh Bank Indonesia pada 1 Februari 1984
telah diterbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan pada tahun 1985 diperkenalkan
perdagangan surat berharga pasar uang (SBPU). Sementara itu fasilitas diskonto
disediakan dalam dua macam, yaitu fasilitas diskonto I untuk mengatasi kesulitan likuiditas
bank-bank sehari-hari, dan fasilitas diskonto II untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang
disebabkan oleh terjadinya kesenjangan antara rencana penarikan dana dengan penarikan kredit
jangka menengah dan panjang oleh nasabah dalam pengelolaan dana oleh bank-bank. Dalam
kaitan dengan penggunaan alat-alat moneter tersebut, bila yang diingini adalah kebijakan
moneter yang ketat, maka Bank Indonesia akan memperbesar penjualan SBI dengan menaikkan
tingkat diskontonya sehingga akan menyerap kelebihan likuiditas bank-bank, yang pada
gilirannya melalui pasar sekunder (secondary market) akan dapat menyerap kelebihan likuiditas
di luar sistem moneter. Kebijaksanaan moneter yang ketat juga dapat dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan menaikkan suku bunga fasilitas diskonto. Sebaliknya, apabila dikehendaki
kebijaksanaan moneter yang ekspansif, maka Bank Indonesia akan mengurangi penjualan SBI,
menurunkan suku bunga fasilitas diskonto, dan mendorong transaksi SBPU, melalui pengaturan
suku bunga diskonto ulang SBPU. Sejalan dengan dilaksanakannya kebijaksanaan operasi pasar
terbuka, pasar uang memainkan peranan yang penting bagi pelaksanaan kebijaksanaan moneter.
Secara umum pasar uang dapat diartikan sebagai pasar dimana diperdagangkan dana atau surat
berharga yang mempunyai jangka waktu kurang dari satu tahun. Namun demikian dalam pasar
uang yang aktif, acapkali dilaksanakan pula transaksi surat-surat berharga yang jatuhwaktunya
lebih dari satu tahun. Pasar uang dapat terdiri atas pasar diskonto, yakni pasar uang yang dalam
pelaksanaan pinjam meminjamnya menggunakan sarana surat berharga jangka pendek, dan
pasar uang paralel yaitu transaksi yang didasarkan atas kepercayaan seperti pinjaman pasar uang
antar bank. Peralatan yang digunakan dalam pasar uang sampai saat ini meliputi pasar uang
antar bank, sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga pasar uang (SBPU) dan sertifikat
deposito. Dalam rangka lebih meningkatkan perkembangan pasar uang, sekaligus untuk
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada bank dan LKBB di dalam memanfaatkan surat
sanggup (promes) sebagai sumber pendanaan dan penanaman dana sementara, sejak Januari
1988 telah diperkenalkan fasilitas revolving underwriting facility (RUF). Fasilitas tersebut
diberikan dengan menerbitkan surat berharga jangka pendek dan dapat diperpanjang sampai
batas maksimum 3 tahun. Dapat dikemukakan bahwa fasilitas RUF ini melibatkan 3 fihak, yaitu
pihak penerbit, pihak penjamin, meliputi bank umum pemerintah dan Bapindo, serta pihak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 140


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

poserta tender yang terdiri dari bank dan LKBB. Sebagai langkah pertama dalam tahun 1988,
PT Ficorinvest bertindak sebagai penerbit.
Tabel III.16
DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANK 1), 1971/1972 – 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
Pemerintah Bank swasta nasional 2) Bank Pembangunan Daerah Bank asing Jumlah
Pada akhir
Rupiah Valuta Jumlah Rupiah Valuta Jumlah Rupiah Valuta Jumlah Rupiah Val uta Jumlah Rupiah Valuta Jumlah
asing asing asing asing asing
1971/1972 Maret 249,2 37,4 286,6 27,1 1,6 28,7 8,4 - 8,4 26,8 46,2 73 311,5 85,2 396,7
1972/1973 Maret 363,4 72,8 436,2 32,8 3,3 36,1 15 - 15 47,8 55 102,8 459 131,1 590,1
1973/1974 Maret 522,2 177,9 700,1 50,5 3,3 53,8 38,7 38,7 69,9 101 170,9 681,3 282,2 963,5
1974/1975 Maret 768,6 212,4 891 81,4 6,6 88 39,6 39,6 99,2 93,8 193 988,8 312,8 1.301,60
1975/1976 Maret 1.189,90 203,5 1.393,40 118,2 7 125,2 56,9 - 56,9 111,8 113,8 225,6 1.476,80 324,3 1.801,10
1976/1977 Maret 1.546, I 219,5 1.765,60 159,3 19,4 178,7 68,4 68,4 126,7 113 239,7 1.900,50 351,9 2.252,40
1977/1978 Maret 1.708,10 233,6 1.941,70 206 20,5 226,5 99,7 99,7 155,9 124,8 280,7 2.169,70 378,9 2.548,60
1978/1979 Maret 2.038,60 406,1 2.444,70 265 23,4 288,4 174,6 - 174,6 178,5 178,4 356,9 2.656,70 607,9 3.264,60
1979/1980 Maret 2.780,40 859,8 3.640,20 382,1 28,4 410,5 201,7 201,7 265,1 227 492,1 3.629,30 1.115,20 4.744,50
1980/1981 Maret 4.077,40 1.006,30 5.083,70 609,3 19,6 628,9 308,3 - 308,3 333,7 224,4 558,1 5.328,70 1.250,30 6.579,00
1981/1982 Maret 5.098,80 1.098,60 6.197,40 887,6 40,7 928,3 326,4 - 326,4 454,6 353,2 807,8 6.767,40 1.492,50 8.259,90
1982/1983 Maret 5.149,10 1.957,50 7.106,60 1.137,80 213,6 1.351,40 256,5 356,5 626,1 750,1 1.376,20 7.269,50 2.921,20 10.190,70
1983/1984 Maret 6.874.1 2.206,50 9.080,60 2.020,30 219,7 2.240,00 496,7 - 496,7 793,5 726,3 1.519,80 10.184,60 3.152,50 13.337,10
1984/1985 Maret 8.533,80 2.320,20 10.854,00 2.752,80 479,8 3.232,60 668,5 668,5 964,6 968,1 1.932,70 12.919,70 3.768,10 16.687,80
1985/1986 Maret 10.682,70 2.620,50 13.303,20 4.047,40 698,4 4.745,80 760,4 760,4 895,6 1.137,90 2.033,50 16.386,10 4.456,80 20.842,90
1986/1987 Juni 10.798,60 2.041,20 12.839,80 4.508,20 627,2 5.135,40 777,4 - 777,4 1.056,90 1.044,80 2.101,70 17.141,10 3.713,20 20.854,30
September 11.624,70 2.765,50 14.390,20 4.859,70 823,2 5.682,90 852 - 852 1.136,60 1.508,40 2.645,00 18.473,00 5.097,10 23.570,10
Desember 12.412,70 2.780,30 15.193,00 4.682,50 752,8 5.435,30 796,5 796,5 773,4 1.312,70 2.086,10 18.665,10 4.845,80 23.510,90
Marel 12.354,40 2.871,00 15.225,40 5.185,20 713,4 5.898,60 748,3 748,3 908,3 1.279,40 2.187,70 19.196,20 4.863,80 24.060,00
1987/1988 Junl 12.589,40 3.107,50 15.696,90 5.482,60 847,5 6.330,10 798,5 798,5 961,8 1.321,50 2.283,30 19.832,30 5.276,50 25.108,80
September 14.256,60 2.821,20 17.077,80 6.676,20 732,1 7.408,30 874,2 - 874,2 1.013,70 \.163,1 2.176,80 22.820,70 4.716,40 27.537,10
Desember 15.315,40 2.795,30 18.110,70 7.189,00 851,3 8.040,30 954,3 954,3 975,6 1.249,90 2.225,50 24.434,30 4.896,50 29.330,80
Maret 15.966,20 2.849,10 18.815,30 7.728,40 1.097,70 8.826,10 938,3 - 938,3 1.046,50 1.343,70 2.390,20 25.679,40 5.290,50 30.969,90
1988/1989 April 16.089,30 2.915,10 19.004,40 7.952,20 1.157,70 9.109,90 948,3 - 948,3 1.051,30 1.351,50 2.402,80 26.041,10 5.424,30 31.465,40
Me I 16.163,00 3.043,00 19.206,00 8.340,30 1.213,90 9.553,50 1.032,00 - 1.032,00 1.119,60 1.318,70 2.438,30 26.654,90 5.574,90 32.229,80
Juni 17.050,60 3,027,1 20.077,70 8.579,60 1.301,70 9.881,30 1.110,20 - 1.110,20 1.068,00 1.404,50 2.472,50 27.808,40 5.733,30 33.541,70
JuII 17.056,50 3.008,20 20.064,70 8.896,30 1.382,70 10.179,00 1.125;6 - 1.125,60 1.064,80 1.424,30 2.489,10 28.143,20 5.715,20 33.858,40
Agustus 17.345,90 3.036,30 20.382,20 9.098,70 1.328,00 10.426,70 1.184,90 1.184,90 1.091,00 1.472,10 2.563,10 28.720,50 5.836,40 34.556,90

September 3) 17.742,90 3.093,20 20.836,10 9.307,00 1.352,80 10.659,80 1.212,00 - 1.212,00 1.116,00 1.499,70 2.615,70 29.377,90 5.945,70 35.323,60
I) Termasuk millk Pemerintah pusat dan bukan penduduk.
2) Terdirl dart bank swasla nasional devisa, bank swasta nasional bukan devisa, bank pembangunan swasta dan bank labungan swasla.
Angka sementara.

Tabel III.17
DANA PERBANKAN MENURUT JENISNYA 1), 1971/1972 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah )
Giro Deposito 2) Tabungan

Pada akhir Rupiah Valuta Jumlah Rupiah Valuta Jumlah Tabanas Tabungan3) Jumlah Jumlah
asing asing Taska lainuya
1971/1972 Maret 152,6 52 204,6 145,3 33,2 178.5 8,9 4,7 13,6 396,7
1972/1973 Maret 254,3 58,6 312,9 172,3 72.5 244,8 26,9 5.5 32,4 590,\
197311974 Maret 379,8 101.2 481 26],5 8],0 442.5 34,] 5,9 40 963.5
197411975 Maret 523,9 106,5 630,4 407,7 206,2 613,9 51,2 6 57,2 1.301,60
1975/1976 Maret 759.4 113,2 872,6 629.4 211,1 840,5 81.8 6,2 88 1.801.1
1976/1977 Maret 993,8 115 1.108,80 779,6 236,9 1.016.5 120,6 6.5 127,1 2.252,40
\977/1978 Maret 1.085,60 131 1.2]6,6 906,7 247,9 1.154,60 167,6 9,8 ]77,4 2.548,60
1978/1979 Maret 1.510,20 231,8 1.742,00 938 376,1 1.314,10 195,7 12,8 208,5 3.264,60
1979/1980 Maret 2.339.3 676,8 3.016,10 1.038,30 438,4 1.476,70 237,5 14,2 25],7 4.744,50
1980/1981 Maret 3.586,20 895,6, 4.481,80 1.389,40 354,7 1.744,10 321.5 31,6 353.1 6.579,00
1981/1982 Maret 4.511,50 996.1 5.507,60 1.818,00 496.4 2.314,40 399,8 38,1 437,9 8.259,90
1982/1983 Maret 4.322,80 1.591.6 5.914,40 2.407,60 1.329,60 3.737,20 483,8 55,3 539,1 10.190,70
198311984 Maret 4.634.5 1.715,90 6.350,40 4.9]2,2 1.436,60 6.348,80 576 6],9 637,9 13.337,10
1984/1985 Maret 5.601,00 1.586,70 7.187,70 6.544,60 2.181,40 8.726,00 700 74,1 774,1 16.687,80
1985/1986 Maret 6.085,40 955,3 7.040,70 9.088,90 3.501,50 12.590,40 1.059,40 152,4 1.211,80 20.842,00
]986/1987 Juni 6.009,40 939,3 6.948,70 9.886,60 2.773,90 12.660,50 1.045,30 199,8 1.245,10 20.854,30
September 6.477,90 1.428.5 7.906,40 ]0.778,6 3.668,60 14.447,20 1.074,50 142 1.2]6,5 23.570,10
Desember 6.753,10 1.403,50 8.156,60 10.525,20 3.442,30 13.967.5 1.218,30 168,5 1.386,80 23.510,90
Maret 6.162.3 1.399,50 7.561,80 11.447,50 3.464,30 14.9] \,8 1.286,60 299,8 1.586,40 24.060,00
\987/1988 Juni 6.468,80 1.631.2 8.100,00 11.797,80 3.645,30 15.443.1 1.212,50 353,2 1.565,70 25.108,80
September 6.910,60 1.302.4 8.213,00 14.491,00 3.414,00 17.905,00 1.175,60 243.5 1.491.7 27.537.1
Desember 7.440,80 1.355,30 8.796,10 15.366,10 3.541,20 18.907,30 1.331,30 296,1 1.627,40 29.330,80
Maret 7.\88,7 1.291,90 8.480,60 16.655,70 3.998,60 20.654,30 1.401,60 433,4 1.835,00 30.969,90
1988/1989 April 7.104.5 1.3\7,1 8.421,60 17.074,70 4.107,20 21.181,90 1.403,50 458,4 1.861.9 31.465.4
Mei 7.327,30 1.448,80 8.776,10 17.497,40 4.]26.1 21.623.5 1.398,00 432,2 1.830,20 32.229,80
Juni 7.854,70 1.348,80 9.203,50 18.166,20 4.384,50 22.550,70 1.387,60 399,9 1.787,50 33.541,70
Jul; 7.695,20 1.183,30 8.878.5 18.684.3 4.531.9 23.216,20 1.375.2 388,5 1.763,70 33.858,40
Agustus 7.541,70 1.305,00 8.846,70 19.375,30 4.531,40 23.906,70 1.387,50 4]6,0 1.803,50 34.556,90
September.4) 7.666,90 1.314,60 8.981,50 19.873,20 4.631,10 24.504,30 1.388,00 449,8 1.837,80 35.323,60

1) Termasuk dana milik Pemerintah pusat dan bukan penduduk


2) Termasuk sertifikat deposito
3) Termasuk tabungan pegawai dan setoran ongkos naik haji'
4) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 141


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel III.18
DEPOSITO BERJANGKA SELURUH BANK, 1972 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
I
1 bulan ) 3 bulan 6 bulau 12 bulan
Pada akhir Rupiah Valula Jumlah Rupiah Valula Jumlah Rupiah Valula Jumlah Rupiah Valula Jumlah
asiug asing asiug asiug
1972 Desember 7,4 4,1 11,5 14,5 7,6 22,1 13,8 47,3 61,1 23,1 9,7 32,8
1973 Desember 9,8 7 16,8 19,1 13 32,1 81,1 70,6 88,7 30,3 17,3 47,6
1974 Desember 16,2 12,6 28,8 32 23,1 55,1 30,4 121,7 152,1 50,9 30,8 81,9
1975 Desember 24,4 ]3,2 37,6 48 24 72 45,6 153,4 199 76,3 30,5 106,8
1976 Desember 28,9 19 47,9 41,7 11,7 53,4 52,6 182,2 . 234,8 112,1 5,5 1 ]7,6
1977 Desember 63,9 17,3 8],2 49,5 9,7 59,2 9],6 172,9 264,5 81,8 8,9 90,7
1978 Desember 73,5 48,7 122,2 42,6 37,5 80,1 104,1 255,4 359,5 97,2 14,2 111,4
1979 Desember 102,9 50 152,9 31,9 42,4 74,3 126,3 345,6 471,9 99,1 28,3 ]27,4
1979/1980 Marel 108,6 32,4 141 54,1 28,9 83 139,2 35],2 490,4 103,1 24 127,1
1980/1981 Maret 180,1 5,9 216 106,1 31,1 137,2 199,2 271,3 470,5 162,7 14,8 ]77,5
1981/1982 Maret 226,2 142,3 368,5 160,3 33,5 193,8 229 304,6 533,6 249,9 14,6 264,5
1982/1983 Maret 483 454,9 937,9 255,9 116,3 372.2 282,2 7]9,3 1.001,50 334,8 35,7 370,5
/983/1984 Maret 1.0]0,3 479,3 1.489,60 631,8 187,5 819,3 890,6 719,3 1.609,90 1.619,80 50 1.669,80
1984/1985 Maret 1.100,90 1.021,80 2.122,70 955 461,5 1.416,50 1.171,30 559,6 1.730,90 2.778,00 137,8 2.915,80
1985/1986 Maret 1.094,70 2.118,90 3.213,60 1.339,80 689,4 2.029,20 1.579,50 408,2 1.987,70 4.3]9,4 284,6 4.604,00
1986/1987 Juni 1.257,10 1.480,20 2.737,90 1.365,50 592,4 1.957,90 1.672,00 366,9 2.038,90 4.758,90 333,3 5;092,2
September 1,368,4 2.368,90 3.737,30 1.663,10 638,4 2.301,50 1.776,30 349,6 2.125,90 5.163,10 309,2 5.472,30
Desember 1.280,10 1.817,00 3.097,10 1.448,00 725,3 2.173,30 1.767,00 430,6 2.197,60 5.227,60 468 5.695,60
Maret 1.458,50 1.849,40 3.307,90 1.767,60 781,7 2.549,30 1.582,80 424,8 2.007,60 5.786,10 407,1 6.193,20
1987/1988 Juni 1.820,20 1.916,70 3.736,90 1.656,90 774,5 2.431,40 1.624,70 476,1 2.100,80 5.575,50 457,6 6.033,10
September 3.169,60 1.850,70 5.020,30 3.726,90 743,8 4.470,70 1.265,70 330,6 1.596,30 5.384,30 470,4 5.854,70
Desember 3.313,60 1.931,10 5.244,70 3.331,50 691,4 4.022,90 1.542,80 416,3 1.959,10 6.060,80 478,5 6.539,30
Maret 3.751,40 2.163,90 5.915,30 3.256,50 836,7 4.093,20 2.071,20 508,5 2.579,70 6.106,20 486 6.592,20
1988/1989 April 3.706,00 2.263,30 5.969,30 3.473,30 824,9 4.298,20 2.122,20 54],8 2.664,00 6.211,40 47],7 6.683,10
Me i 3.456,60 2.246,60 5.703,20 4.021,90 844,6 4.866,50 2.099,90 554,] 2.654,00 6.290,80 480 6.770,80
Juni 3.374,00 2.477,20 5.85],2 4.433,50 844,5 5.278,00 2.250,20 559,3 2.809,50 6.392,20 501,8 6.894,00
JuIi 3.]62,8 2.615,80 5.778,60 4.521,00 843,5 5.364,50 2.600,50 563 3.163,50 6.478,00 507,9 6.985,90
Agustus 3) 3.759,00 2.517,40 6.276,40 4.393,30 908,4 5.301,70 2.720,50 555,7 3.276,20 6.509,40 548,2 7.057,60
September 3.855,60 2.577,70 6.433,30 4.506,20 928 5.434,20 2.791,50 566,6 3.358,10 '6.676,7 557,3 7.234,00
1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu don deposito on call.
2) termasuk deposito berjangka waktu 9 bulan doh 18 bulan.
3)Angka sementara.

Tabel III.18( lanjutan )


24 bulan Lainnya 2) Jumlah
Pada akbir Rupiab Valuta Jumlah Rupiah Valuta Jumlah Rupiah Valuta Jumlah
asing asing asing
1 972 Desember 92,7 1,4 94,1 11,6 0,2 11,8 163,1 70,3 233,4
1973 Desember 121,7 14,9 136,6 15,1 2 17,1 214,1 124,8 338,9
I 974 Desember 204,2 30 234,2 25,5 3,8 29,3 359,2 222,0' 581,1
1 975 Desember 306,4 - 306,4 38,2 0,2 38,4 538,9 221,3 760,2
1 976 Desember 522,8 522,8 4,7 4,7 762 218,4 980,4
1977 Desember 605,5 605,5 2,7 0,1 2,8 895 208,9 1.103,90
1 978 Desember 612,1 0,1 612,2 2 - 2 931,5 355,9 1.287,40
I 979 Desember 611,9 0,3 612,2 18,9 0,6 19,5 991 467,2 1.458,20
1979/1980 Maret 618 0,3 618,3 15,3 1,6 16,9 1.038,30 438,4 1.476,70
1980/1981 Maret 721 0,3 721,3 20,3 1,3 21,6 1.389,40 354,7 1.744,10
1981/1982 Maret 855 0,1 855,1 97,5 1,3 98,8 1.817,90 496,4 2.314,30
1982/1983 Maret 949,5 1,4 950,9 102,2 2 104,2 2.407,60 1.329,60 3.737,20
1983/1984 Maret 591,2 0,2 591,4 168,5 0,3 168,8 4.912,20 1.436,60 6.348,80
1984/1985 Maret 379,1 0,1 379,2 160,3 0,6 160,9 6.544,60 2.181,40 8.726,00
1985/1986 Maret 631 0 631 124,5 0,4 124,9 9.088,90 3.501,50 12.590,40
1986/1987 Juni 641,7 0,1 641,8 190,8 1 191,8 9.886,60 2.773,90 12.660,50
September 651,1 0,2 651,3 156,6 2,3 158,9 10.778,60 3.668,60 14.447,20
Desember 470,6 0,8 671,4 131,9 0,6 132,5 10.525,20 3.442,30 13.967,50
Maret 639,6 0,4 640 212,9 0,9 213,8 11.447,50 3.464,30 14.911,80
1987/1988 Juni 898,3 1,7 900 222,2 18,7 240,9 11.797,80 3.645,30 15.443,10
September 719,4 1 720,4 225,1 17,5 242,6 14.491,00 3.414,00 17.905,00
Desember 909,6 1,4 911 207,8 22,5 230,3 15.366,10 3.541,20 18.907,30
Maret 1.239,00 0,4 1.239,40 231,4 3,1 234,5 16.655,70 3.998,60 20.654,30
1988/1989 April 1.326,80 2,4 1.329,20 235 3,1 238,1 17.074,70 4.107,20 21.181,90
Me i 1.404,80 0,4 1.405,20 223,4 0,4 205,8 17.497,40 4.126,10 21.623,50
Juni 1.497,20 1,1 1.498,30 219,1 0,6 219,7 18.166,20 4.384,50 22.550,70
JuIi 1.635,80 0,4 1.636,20 286,2 1,3 287,5 18.684,30 4.531,90 23.216,20
Agustus 1.721,90 0,4 1.722,30 271,2 1,3 272,5 19.375,30 4.531,40 23.906,70
September 1.765,00 0,4 1.765,40 278,2 1,1 279,3 19.873,20 4.631,10 24.504,30
1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu dan deposito on call'.
2) Termasuk deposito berjangka waktu 9 bulan dan 18 bulan.
3) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 142


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.19
TABUNGAN PERBANKAN, 1971/1972 -1988/1989
(dalam milyar rupiah)
Tabungan
Pada akhir Tabanas Taska lainnya 1) Jumlah
1971/1972 Maret 8,8 0,1 4,7 13,6
1972/1973 Maret 26,8 0,1 5,5 32,4
1973/1974 Maret 34 0,1 5,9 40
1974/1975 Maret 51,1 0,1 6 57,2
1975/1976 Maret 81,7 0,1 6,2 88
1976/1977 Maret 120,4 0,2 6,5 127,1
1977/1978 Maret 167,5 0,1 9,8 177,4
1978/1979 Maret 195,6 0,1 12,8 208,5
1979/1980 Maret 237,4 0,1 14,2 251,7
1980/1981 Maret 321,4 0,1 31,6 353,1
1981/1982 Maret 399,6 0,2 38,1 437,9
1982/1983 Maret 483,5 0,3 55,3 539,1
1983/1984 Maret 575,6 0,4 61,9 637,9
1984/1985 Maret 699,4 0,6 74,1 774,1
1985/1986 Maret 1.059,00 0,4 152,4 1.211,80
1986/1987 Juni 1.844,90 0,4 199,8 1.245,10
September 1.073,90 0,6 142 1.216,50
Oesember 1.217,90 0,4 168,5 1.386,80
Maret 1.285,90 0,7 299,8 1.586,40
1987/1988 Juni 1.212,00 0,5 353,2 1.565,70
September 1.175,10 0,5 243,5 1.419,10
Oesember 1.330,80 0,5 296,1 1.627,40
Maret 1.401,10 0,5 433,4 1.835,00
1988/1989 April 1.403,10 0,4 458,4 1.861,90
Mei 1.397,70 0,3 432,2 1.830,20
Juni 1.387,20 0,4 399,9 1.787,50
Juli 1.374,80 0,4 388,5 1.763,70
Agustus 1.387,20 0,3 416 1.803,50
September!) 1.387,70 0,3 449,8 1.837,80
I) Termasuk tabungan pegawai dan seloran ongkos naik hajj.
2) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 143


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.20
SIMPANAN PEDESAAN, 1984/1985 - 1988/1989

Akhir waktu Penyimpan Posisi


(orang) (dalam
1984/1985 Maret 4.550 0,3
1985/1986 Juni 8.622 0,4
September 25.829 2,7
Desember 36.563 5,1
Maret 46.046 6,8
1986/1987 Juni 105.104 15,5
September 244;428 42,2
Desember 418.945 82,4
Maret 710.540 107,3
1987/1988 Juni 592.319 122
September 850.052 144
Desember 969.160 182,6
Maret 1.086.156 206,2
1988/1989 April 1.106.681 207,4
Mei 1.140;477 200,7
Juni 1.173.911 214,6
Juli 1.224.911 229,4
Agustus 1.278;427 243,5
September 1) 1.393.907 265,2
1) Angka sementara

3.6.3.1. Dana antar bank


Pasar uang antar bank yang telah dilaksanakan sejak 1 April 1974 dimaksudkan guna
membentuk suatu pasar uang yang terorganisasi serta untuk mendapatkan rentabilitas yang
optimal bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas atau dana, dan kesempatan bagi bank
yang mengalami kekurangan dana dalam kliring untuk memperoleh dana dengan cepat. Dalam
semester 1-1988/1989, nilai transaksi yang terjadi di pasar uang antar bank di Jakarta naik 32
persen dibandingkan semester yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 4.476 milyar menjadi
Rp 5.928 milyar. Sedangkan suku bunga rata-rata tertimbang dalam periode yang sama
mengalami penurunan sebesar 0,96 persen yaitu dari 15,78 persen menjadi 14,82 persen.
Berdasarkan paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988, batas ITiaksimum pinjaman antar bank
(sebesar 15 persen dari dana pihak ketiga) ditiadakan. Perkembangan transaksi pasar uang antar
bank ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan likuiditas perbankan, perdagangan SBI dan
SBPU, dan kebijaksanaan fasilitas diskonto. Perkembangan pasar uang antar bank dapat diikuti
pada Tabel III.21.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 144


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.6.3.2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Dalam semester 1-1988/1989 penerbitan SBI berjumlah Rp 12.344 milyar atau naik 54
persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 7.995 milyar.
Dengan memperhitungkan SBI yang telah jatuh waktu, maka posisi SBI pada akhir September
1988 adalah sebesar Rp 1.065 milyar. Hal tersebut dipengaruhi oleh penyesuaian dalam
perdagangan SBI, di mana sejak 23 Juli 1987 penjualan SBI oleh Bank Indonesia dilakukan
secara lelang harian. Berdasarkan paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 ditetapkan bahwa
lelang SBI yang semula hanya dilaksanakan sesuai kebutuhan dan dilaksanakan berupa lelang
harian, kini ditambah dengan Ielang tetap mingguan.

_3.6.3.3. Surat berharga pasar uang (SBPU)


Dalam rangka peningkatan kemampuan pelaksanaan kebijaksanaan moneter, maka berdasarkan
paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988, telah diadakan penyempurnaan beberapa peralatan
kebijaksanaan moneter, khususnya operasi pasar terbuka. SBI dan SBPU yang semula hanya
berjangka waktu tujuh hari, sekarang ditambah dengan yang berjangka panjang sampai enam
bulan. Selama semester 1-1988/1989, pembelian dan penjualan SBPU oleh lembaga sekuritas
masing-masing sama besarnya yakni Rp 2.102 milyar, sedangkan dalam semester yang lalu
jumlah pembelian adalah sebesar Rp 19.898 milyar dan jumlah penjualan Rp 18.937 milyar.
Penurunan tersebut disebabkan karena diubahnya sistem pagu SBPU dari mengikat menjadi
tidak mengikat dan pembelian dilakukan secara lelang.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 145


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

PASAR UANG ANTAR BANK DI JAKARTA, 1977 - 1988


Nilai Suku bunga
Mas a transaksi rata-rata tertimbang
(milyar (persen per tahun)
1977 1.025 7,23
1978 1.522 7,39
1979 1. 795 12,82
1980 1.364 12,91
1981 3.395 16,31
1982 4.746 17,26
1983 8.591 12,9
1984 12.250 19,39
Januari - Maret 3.474 18,08
April - Juni 3.216 16,05
Juli - September 4.164 25,74
Oktober - Desember 1.396 11,36
1985 8.055 9,95
Januari - Maret 1.775 11,19
April - Juni 1.446 10,63
Juli - September 2.731 8,42
Oktober - September 2.1 03 10,42
1986 8.022 13,79
Januari - Maret 2.107 13,33
April - Juni 1.840 13,71
Juli - September 1.828 12,48
Oktober - Desember 2.247 13,4
1987 9.323 14,5
Januari - Maret 2.235 15,02
April - Juni 2.245 17,73
Juli - September 2.231 13,81
Oktober - Desember 2.612 11,86
1988
Januari 1.081 12,28
Pebruari 1.054 13,55
Maret 1.263 14,47
April 927 14,34
Me i 940 15,59
Juni 1.017 14,05
Juli 1.002 14,83
Agustus 1.147 15,03
September 895 15,08

3.6.3.4. Sertifikat deposito


Sertifikat deposito adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah, yang merupakan
surat pengakuan hutang dari bank dan LKBB yang dapat dijualbelikan di pasar uang. Selama
semester 1-1988/1989, jumlah peredaran sertifikat deposito dapat dikatakan tidak mengalami

Departemen Keuangan Republik Indonesia 146


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

perubahan, sehingga posisinya pada akhir September 1988 tetap sekitar Rp 221 milyar.
Berdasarkan kebijaksanaan Oktober 1988 sertifikat deposito hanya dapat diterbitkan dalam
rupiah dengan nilai nominal sekurang-kurangnya Rp 1 juta dan dengan jangka waktu sekurang-
kurangnya 30 hari dan selama-lamanya 24 bulan. Fungsi sertifikat deposito, di samping sebagai
sarana pengerahan dana masyarakat juga sebagai sarana pengembangan pasar uang, karena
sifatnya sangat likuid, yaitu dapat diperjualbelikan serta dapat dipergunakan sebagai jaminan
kredit. LKBB yang selama ini tidak diizinkan untuk menerbitkan sertifikat deposito, kini
diperkenankan dan tidak diperlukan izin dalam penerbitannya. Melalui kebijaksanaan tersebut
diharapkan perdagangan sertifikat deposito akan lebih berkembang. Perkembangan sertifikat
deposito dapat diikuti pada Tabel III.22.

3.6.3.5. Surat-surat berharga lembaga keuangan bukan bank (LKBB)


Dalam rangka pengembangan pasar uang dan modal, dalam tahun 1970 Pemerintah
telah membuka kemungkinan untuk mendirikan lembaga keuangan, di luar lembaga perbankan,
lembaga perasuransian dan lembaga keuangan lainnya, yang diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri. Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) tersebut merupakan badan
usaha yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dengan mengeluarkan
kertas-kertas berharga. Berdasarkan kebijaksanaan Oktober 1988, kini LKBB dapat menerbitkan
pula sertifikat deposito, yang berarti memperluas penghimpunan dana yang telah ada, yang
dilakukan oleh sektor perbankan. Dana-dana yang dihimpun oleh lembaga-lembaga keuangan
itu digunakan untuk membiayai perusahaan-perusahaan dalam bentuk pinjaman, melalui
pembelian kertas-kertas berharga atau penyertaan dalam pemodalan. Dengan demikian bagi
perusahaan-perusahaan akan tersedia sumber pembiayaan lain di samping yang berasal dari
perbankan. Selain daripada itu lembaga keuangan tersebut membantu perusahaan-perusahaan
dan badan-badan, baik swasta maupun Pemerintah, dalam menerbitkan dan memperdagangkan
surat-surat berharga. Dana yang dapat dihimpun oleh LKBB ini sampai dengan September 1988
berjumlah sebesar Rp 2.659 milyar, atau sejak tahun 1976 rata-rata telah naik sebesar 33,3
persen setiap tahunnya. Dari jumlah dana sebesar Rp2.659 milyar pada akhir September 1988
tersebut, sebesar Rp 1.378 milyar merupakan dana yang diperoleh dari penerbitan surat-surat
berharga pasar uang, yang menunjukkan kenaikan sebesar Rp124 milyar, dibandingkan dengan
keadaanya pada akhir Maret 1988.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 147


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.6.4. Suku bunga


Dalam upaya untuk mendorong kegiatan perekonomian, Pemerintah senantiasa berusaha
mempengaruhi suku bunga, yang sejak 1 Juni 1983 dirasa relatif tinggi. Usaha tersebut
dilakukan antara lain dalam tahun 1985/1986 dengan menurunkan tingkat suku bunga SBPU
dari 20,5 persen menjadi 17,0 persen, tingkat bunga fasilitas diskonto Bank Indonesia dari 21,0
persen menjadi 18,5 persen, dan tingkat suku bunga SBI dari 16,0 persen menjadi 14,0 persen
setahun. Sehubungan dengan usaha-usaha tersebut, suku bunga rata-rata tertimbang deposito
berjangka rupiah yang pada akhir Maret 1985 sebesar 19,3 persen telah menurun menjadi 16,2
persen pada akhir Maret 1986 dan 15,3 persen pada akhir Maret 1987. Adapun untuk suku
bunga Tabanas sejak 1 Juli 1987 diberlakukan suku bunga tungg_1 yaitu 15 persen setahun.
Suku bunga Taska besamya tetap 9 persen setahun untuk Taska yang diangsur penuh selama 1
tahun, sedangkan apabila ditarik sebelum waktunya hanya 6 persen setahun. Sementara itu
usaha mengurangi likuiditas perekonomian dalam rangka menanggulangi spekulasi valuta asing
dalam bulan Mei dan Juni 1987, telah mendorong terjadinya kenaikan suku bunga yaitu menjadi
berkisar 14,5 persen sampai dengan 24,0 persen setahun dalam bulan Juli 1987. Pada bulan-
bulan berikutnya secara berangsur-angsur tindakan spekulasi dapat diatasi, dan suku bunga telah
mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 15,5 persen sampai dengan 20,0 persen dalam
bulan November 1987, dan menjadi sekitar 15,0 persen sampai dengan 20,0 persen pada akhir
Maret 1988. Selanjutnya dalam bulan Mei 1988 suku bunga deposito berjangka berkisar antara
15,5 persen sampai dengan 20,0 persen, yang disebabkan oleh peningkatan suku bunga deposito
berjangka bank asing. Secara keseluruhan, suku bung a rata-rata tertimbang deposito berjangka
rupiah meningkat dari 15,3 persen pada akhir tahun 1986/1987 menjadi 18,1 persen pada akhir
Agustus 1988. Sejalan dengan hal tersebut, suku bunga rata-rata pinjaman modal kerja tidak
berprioritas tinggi terus menurun dari 23,4 persen pada akhir Desember 1984 menjadi 21,0
persen pada akhir Maret 1987, sedangkan dalam tahun 1987/1988 mengalami peningkatan
sehingga menjadi 22,0 persen dan selanjutnya sampai dengan akhir Juni 1988 tetap berkisar
22,0 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 148


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l III.22
SERTIFIKAT DEPOSITO, 1970/1971- 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
Bank Bank-bank
waktu Pemerintah Bank asing nasional Jumlah
Maret - 0,3 - 0,3
Maret 1,3 0,8 - 2,1
Maret 6,2 1,5 - 7,7
Maret 48,6 8,1 - 56,7
Maret 70 9,5 - 79,5
Maret 70 24,4 - 94,4
Maret 14,5 32,2 - 46,7
Maret 13,7 43,9 - 57,6
Maret 15,7 14,1 - 29,8
Maret 28 18,8 - 46,8
Maret 55,9 26,6 - 82,5
Maret 51,2 22,8 - 74
Maret 91,2 10,9 - 102,1
Maret 346,2 30,1 - 376,3
Maret 418,4 26 0,4 444,8
Maret 184,3 57 1,4 242,7
Juni 110,2 50,9 1,9 163
September 38,1 2,2 133,8
Desember 94 32,5 4,6 131,1
Maret 86 32,1 1,6 119,7
Juni 75,3 41,2 4,5 121
September 68,3 52,4 91,6 212,3
Desember 69,2 43,9 87,6 200,7
Maret 63,8 39 118,9 221,7
April 63 38,5 121,4 222,9
Mei 63,2 41,4 135,7 240,3
Juni 68,2 39,7 145,2 253,1
Juli 55,4 31,8 136,4 223,6
Agustus 53,3 31,1 148 232,4
September 51,7 29,8 139,2 220,7

3.6.5. Pasar modal


Pengerahan dan penghimpunan dana masyarakat selain melalui lembaga keuangan
perbankan dan bukan bank dilaksanakan pula melalui pasar modal. Selain menambah sumber-
sumber pengerahan dana masyarakat di luar perbankan, pasar modal juga merupakan sumber
dana yang sangat potensial basi perusahaan yang membutuhkan dana jangka panjang.Sedangkan
kehadiran pasar modal basi masyarakat merupakan tambahan alternatif investasi yang selama ini

Departemen Keuangan Republik Indonesia 149


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dirasakan masih terbatas di Indonesia. Di negara-negara yang telah maju, penanaman dana
melalui pembelian saham dan obligasi pada umumnya dinilai lebih menarik, karena disamping
memberikan dividen memberikan pula keuntungan yang diperoleh dari perubahan harga surat-
surat berharga tersebut. Oleh karenanya di beberapa negara maju, pengerahan dana masyarakat
melalui pasar modal telah lebih besar daripada jumlah dana perbankan. Terbatasnya pengerahan
dana dunia usaha di Indonesia dari penerbitan saham terutama disebabkan oleh masih sedikitnya
perusahaan-perusahaan yang memasarkan saham. Padahal salah satu persyaratan pasar modal
yang kuat antara lain adalah cukup banyaknya jumlah perusahaan yang memenuhi persyaratim
untuk menjual sahamnya di pasar modal, cukup banyaknya jumlah saham yang dijualbelikan,
tersedianya lembaga-Iembaga penunjang kegiatan pasar modal, dan berkembangnya pasar
sekunder sebagai arena transaksi surat-surat berharga di luar pasar perdana. Untuk mengatasi
hambatan tersebut, maka P_merintah berdasarkan kebijaksanaan bulan Desember 1987 telah
menyederhanakan dan memperingan persyaratan bagi perusahaan yang akan melakukan emisi
efek di bursa. Persyaratan bahwa perusahaan yang akan memasyarakatkan saham atau
obligasinya harus memperoleh keuntungan sebesar 10 persen dalam tahun terakhir tidak lagi
diperlukan, tetapi ditetapkan cukup hanya dengan mendapat laba saja. Selain itu persyaratan
emisi yang semula harus dilengkapi oleh perusahaan dengan 8 buah dokumen kini
disederhanakan menjadi 3 buah dokumen saja. Sedangkan keputusan pemberian izin oleh
Pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tersebut tidak akan lebih lama dari 30 hari.
Kemudian untuk menarik lebih banyak perusahaan di dalam memasyarakatkan saham juga
dilakukan melalui pembentukan bursa paralel, yang memungkinkan perusahaan-perusahaan
yang kurang memenuhi persyaratan untuk dapat memasyarakatkan sahamnya ke bursa. Hal ini
dimungkinkan oleh karena bursa paralel mempunyai syarat dan kualifikasi yang lebih ringan.
Guna mendukung kepercayaan masyarakat dan sekaligus memperluas pasar efek, telah dibentuk
suatu lembaga yang berfungsi memelihara likuiditas efek dengan cara membeli dan menjual
efek tertentu di bursa paralel (market maker), yang sekaligus mempunyai peranan sebagai
penjamin emisi. Upaya untukmengembangkan transaksi di bursa paralel juga dilakukan dengan
mengizinkan pemodal asing untuk ikut serta dalam perdagangan efek. Hal ini cukup penting di
dalam meningkatkan jumlah perusahaan yang ikut serta, dan memperluas jenis-jenis efek yang
diperjualbelikan, sehingga memungkinkan tercapainyaa dinamika pasar, baik di pasar perdana
maupun di pasar sekunder, serta dapat mendorong pemasukan modal dari luar negeri. Kemudian
dalam rangka menciptakan iklim yang lebih mendukung bagi berkembangnya pasar modal,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 150


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dalam bulan Oktober 1988 yang lalu telah diambil kebijaksanaan untuk memberikan perlakuan
pajak yang seimbang antara penghasilan yang berasal dari bunga deposito berjangka dan
sertifikat deposito dengan penghasilan dari saham atau surat berharga lainnya. Berdasarkan
kebijaksanaan tersebut penghasilan atas bunga deposito berjangka dikenakan pajak penghasilan
(PPh) sebesar 15 persen dan bersifat final. Selain daripada itu untuk menunjang pasar modal,
ditetapkan pula bahwa perluasan modal bank dan LKBB dapat dilakukan dengan cara
penerbitanjpenjualan saham baru melalui pasar modal, disamping peningkatan penyertaan oleh
para pemegang saham yang acta. Sebagai tindak lanjut dari paket 27 Oktober 1988, dalam
rangka memperluas alternatif sumber pembiayaan untuk mendukung produksi serta menunjang
pengerahan dana masyarakat, dan mendukung kelestarian pembangunan, Pemerintah telah
mengeluarkan paket kebijaksanaan 20 Desember 1988. Dibidang pasar modal berdasarkan
kebijaksanaan tersebut dunia swasta diizinkan untuk menyelenggarakan pasar modal.
Ditetapkan bahwa badan usaha tersebut harus berbentuk perseroan terbatas (PT); dengan modal
disetor minimal Rp 500 juta; dan seluruh sahamnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau
badan hukum yang tidak mengandung unsur asing. Selain dari pada itu Pemerintah juga
memberikan kesempatan penerapan sistem perusahaan terdaftar (listed companies), disamping
sistem saham terdaftar (listed shares) yang telah berjalan selama ini. Sistem perusahaan
terdaftar adalah sistem di mana para emiten perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek
Jakarta dapat mencatat saham-saham lain dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh
untuk diperdagangkan di bursa tersebut. Emiten yang menjual sahamnya ke masyarakat,
meskipun efeknya tercatat di bursa efek lain, dapat mencatatkan efek-efeknya di bursa efek
Jakarta. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diingini, Pemerintah melarang dilakukannya
insider trading, yaitu melakukan perdagangan efek dengan menggunakan informasi tentang
keadaan dan kebijaksanaan emiten yang masih bersifat rahasia. Oleh karena itu pengurus dan
pengawas perusahaan emiten dalam membeli saham-saham perusahaan yang terdaftar dalam
bursa efek hanya boleh membeli saham sebanyak-banyaknya 10 persen dari jumlah saham
perusahaan yang tercatat. Dengan demikian pasar modal diharapkan akan dapat lebih berfungsi
sebagai sarana pembiayaan jangka panjang dalam pembangunan nasional, karena hingga kini
pasar modal khususnya pasar saham hanya dimanfaatkan oleh sektor swasta terutama yang
berlokasi di Jakarta. Dengan lebih terbukanya perusahaan untuk menyelenggarakan pasar modal
serta lebih banyaknya perusahaan yang ikut aktif di pasar modal, termasuk perusahaan-
perusahaan kecil yang mempunyai prospek yang baik serta perusahaan-perusahaan yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 151


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

memerlukan dana yang berlokasi di daerah, pasar modal di masa datang diharapkan akan lebih
berkembang.

Pasar modal di Indonesia sampai saat ini didukung oleh 32 perusahaan, 24 perusahaan
diantaranya memasarkan saham dan selebihnya sejumlah 8 perusahaan memasarkan obligasi.
Dengan demikian jumlah yang memasarkan saham sampai saat ini tidak mengalami perubahan,
sedangkan perusahaan yang memasarkan obligasi dibandingkan dengan tahun yang lalu telah
bertambah dengan 5 perusahaan, yaitu PT Astra International.nc, PT Bumi Daya-IBJ Leasing,
PT Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia (Uppindo), Bank Pembangunan Daerah Jawa
Timur, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Adapun dana yang berhasil diserap oleh
pasar modal sampai dengan akhir Nopember 1988 melalui penerbitan saham adalah berjumlah
Rp 156,0 milyar, sedangkan melalui penerbitan obligasi berjumlah Rp 880,7 milyar. Sementara
itu dalam tahun 1988/1989 PT Danareksa tidak menerbitkan baik sertifikat saham maupun
sertifikat dana baru, sehingga sampai akhir Nopember 1988 PT Danareksa masih tetap
mengeluarkan 7 macam sertifikat, yaitu 3 macam sertifikat saham dengan nilai Rp 12,9 milyar
dan 4 macam sertifikat dana dengan nilai Rp 155,0 milyar, atau keseluruhannya berjumlah Rp
167,9 milyar. Hal ini berarti bahwajumlah tersebut tidak mengalami perubahan dibandingkan
tahun sebelumnya. Rincian perusahaan yang memasarkan saham, obligasi dan pengerahan dana
dari penjualan surat-surat berharga tersebut dapat diikuti pada Tabel lII.23, Tabel lII.24, dan
Tabel lII.25.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 152


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.23
PERUSAHAAN/BADAN USAHA YANG TELAH MEMASYARAKATKAN SAHAM MELALUI PASAR MODAL SAMPAI
DENGAN NOPEMBER 1988
Perusahaan Jumlah emisi Kumulalif Harga Nilai pasar Kumulatif
(saham) (saham) (Rp/saham) (Juta Rp) (Juta Rp)
I. PT Semen Cibinong
- Emisi I 2.116 342.116 10.000 3.421,2 3.421,2
- Emisi II 214.980 557.096 3416.750 3.600,9 7.022,1
2. PT Cenlex
- Emisi I 116.000 673.096 5.500 638,0 7.660,1
- Emisi II 584.000 1.257.096 5.000 2.920,0 10.580,1
3. PT BAT Indonesia 6.600.000 7.857.096 2.500 16.500,0 27.080,1
4. PT Tificorp 1.100.000 8.957.096 7.250 7.975,0 35.055,1
5. PT Richardson Vicks Indonesia 420.000 9.377.096 3.000 1.260,0 36.315,1
6. PT Goodyear Indonesia 6.150.000 15.527.096 1.250 7.687,5 44.002,6
7. PT Merck Indonesia 1.680.000 17.207.096 1.900 3.192,0 47.194,6
8. PT Multi Bintang Indonesia 3.520.012 20.727.108 1.570 5.526,4 52.721,0
9. PT Unilever Indonesia 9.200.000 29.927.108 3.175 29.210,0 81.931,0
10. PT Sepatu Bata Indonesia 1.950.000 31.877.108 1.275 2.486,3 84.417,3
11. PT Unitex 733.500 32.610.608 1.475 1.081,9 85.499,2
12. PT Sucaco 4.800.000 37.410.608 1.100 5.280,0 90.779,2
13. PT Bayer Indonesia 2.324.100 39.734.708 1.325 3.079,4 93.858,6
14. PT Panin Bank Indonesia
- Emisi I 1.637.500 41.372.208 3.475 5.690,3 99.548,9
- Emisi II 3.162.500 44.534.708 3.550 11.226,9 110.775,8
15. PT Squib Indonesia 972.000 45.506.708 1.050 1.020,6 111.796,4
16. PT Asuransi Jiwa Panin Putra 1.020.000 46.526.708 2.950 3.009,0 114.805,4
17. PT Sari Husada
- Emisi I 1.040.000 47.566.708 1.850 1.924,0 116.729,4
- Emisi II 217.720 47.784.428 1.870 407,1 117.136,5
18. PT Panin Union Isurance LId 765.000 48.549.428 1.150 879,8 118.016,3
19. PT Regnis Indonesia 523.500 49.072.928 1.540 806,2 118.822,5
20. PT Pfizer Indonesia 600.000 49.672.928 1.425 855,0 119.677,5
21. PT Delta Jakarta
- Emisi I 347.400 50.020.328 2.950 1.024,8 120.702,3
- Emisi II 41.688 50.062.016 2.950 123,0 120.825,3
- Emisi III 1.719 50.063.735 2.440 4,2 121.829,5
22. PT Prapatan Hotel 1.665.976 51.729.711 1.050 1.749,3 122.578,8
23. PT Jakarta International Hotel
- Emisi I 6.618.600 58.348.311 1.500 9.927,9 132.506,7
- Emisi II 6.633.700 64.982.011 3.500 23.217,9 155.724,6
24. PT Prodenta Indonesia 221.000 65.203.011 1.450 320,5 156.045,1

Departemen Keuangan Republik Indonesia 153


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l III.25
SERTIFIKAT YANG DITERBITKAN OLEH PT.DANAREKSA
SAMPAI DENGAN NOPEMBER 1988

Nama sertifikat Jumlah emisi Kumulatif Nilai efektif Kumulatif


berdasarkan
( lembar) ( lembar) hargaperdana (juta (juta Rp)
Rp)

Sertifikat Saham PT. Semen Cibinong 232.900 232.900 2.792,3 2.792,3


Sertifikat Saham PT. BAT Indonesia 400 . 000 632.900 5.062,5 7.854,8
Sertifikat Saham PT. Unilever Indonesia 787.400 1.420.300 5.000,0 12.854,8
Sertifikat Dana PT. Danareksa Unit Umum 7.500.000 8.920.300 75.000,0 87.854,8
Seri A, B, C, D, E
Sertifikat Dana PT. Danareksa Unit Pendapatan I 3.500.000 12.420.300 35.000,0 122.854,8
Sertifikat Dana PT. Danareksa Unit Pendapatan II 2.000.000 14.420.300 20.000,0 142.854,8
Sertifikat Dana PT. Danareksa Unit Pendapatan III 2.500.000 16.920.300 25.000,0 167.854,8

3.6.6. Asuransi

Perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan yang bergerak di bidang penjualan


jasa-jasa pertanggungan, juga mempunyai peranan yang penting dalam usaha pengumpulan
dana masyarakat. Sejalan dengan gerak perkembangan ekonomi, peranan jasa asuransi akim
meningkat pula. Kebijaksanaan Pemerintah di bidang perasuransian di masa mendatang selain
ditujukan kepada pengembangannya sebagai sarana pemupukan modal, juga ditujukan untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, baik asuransi kerugian
dan reasuransi, asuransi jiwa, maupun asuransi sosial.
Melalui paket kebijaksanaan deregulasi 20 Desember 1988 telah dibuka kembali
pemberian ijin bagi pendirian perusahaan asuransi nasional yang meliputi asuransi kerugian,
asuransi jiwa, reasuransi, broker asuransi, adjuster asuransi dan aktuaria, serta perusahaan
asuransi campuran. Tata cara perijinan pendirian perusahaan asuransi nasional disederhanakan
dari dua tahap menjadi satu tahap, dan kini tanpa ijin prinsip. Sedangkan syarat permodalan
minimum bagi usaha asuransi nasional untuk asuransi kerugian ditetapkan dari Rp 1,5 milyar
menjadi Rp 3 milyar, di lain pihak bagi perusahaan reasuransi dari Rp 20 milyar menjadi Rp 10
milyar, untuk broker asuransi ditetapkan sebesar .RP 500 juta, yang semula Rp 100 juta, dan
untuk perusahaan asuransi jiwa, syarat permodalan minimum kini menjadi Rp 2 milyar yang
sebelumnya Rp 1,5 milyar. Sedangkan bagi usaha adjuster asuransi dan usaha aktuaris tidak
ditetapkan persyaratan permodalannya. Untuk menjamin kesehatan perusahaan asuransi, maka
telah ditetapkan ketentuan tentang batas tingkat solvabilitas (solvency margin), dim ana bagi
perusahaan asuransi kerugian sekurang-kurangnya 10 persen dari premi netto, dan untuk
perusahaan asuransi jiwa sekurangkurangnya 1 per mil dari jumlah uang pertanggungan dengan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 154


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

jumlah minimal sama dengan 10 persen dari modal disetor. Untuk memasarkan produk asuransi
jiwa tidak diperlukan ijin lagi, sehingga perusahaan asuransi jiwa dapat lebih leluasa
mengembangkan produk yang lebih efisien serta bermanfaat bagi masyarakat. Dalam kaitannya
dengan produk asuransi jiwa yang dapat dipertanggungjawabkan, maka setiap produk asuransi
jiwa harus memperoleh pengesahan dari aktuaria yang independent. Disamping itu, melalui
Paket 20 Desember 1988 tersebut, perusahaan asuransi jiwa dapat dengan bebas memasarkan
polisnya dengan menggunakan mata uang rupiah ataupun mata uang asing sesuai dengan
permintaan masyarakat. Selain dari pacta itu perusahaan asuransi diberikan pula kemudahan
untuk membuka cabangnya di daerah-daerah serta dibuka kembali kesempatan untuk
mendirikan perusahaan asuransi campuran. Untuk itu dipersyaratkan bahwa perusahaan tersebut
harus berbentuk perseroan terbatas, dimana saham pihak nasional disyaratkan sekurang-
kurangnya 20 persen dan pihak asing sebesar-besarnya 20 persen. Demikian pula perusahaan
asuransi asing tersebut adalah perusahaan yang bonafide dan memiliki reputasi yang baik serta
telah menjalankan usahanya minimal 5 tahun. Mengenai syarat permodalan minimum bagi
pendirian perusahaan asuransi campuran tersebut ditentukan untuk asuransi kerugian sebesar Rp
15 milyar, reasuransi sebesar Rp 30 milyar, broker asuransi sebesar Rp 3 milyar, dan asuransi
jiwa sebesar Rp 4,5 milyar.

Premi bruto yang diperoleh industri asuransi (asuransi jiwa, asuransi sosial, asuransi
kerugian dan reasuransi) dalam tahun 1987 berjumlah Rp 1.237,1 milyar. Jika dibandingkan
dengan pendapatan nasional, jumlah tersebut masih relatif rendah, yang menunjukkan bahwa
industri asuransi masih harus lebih ditingkatkan. Perkembangan kegiatan asuransi di Indonesia
dapat diikuti dalam Tabel III.26. Total klaim yang dibayar oleh industri asuransi sampai tahun
1987 berjumlah sebesar Rp 445,2 milyar, dan jumlah aset industri asuransijuga meningkat dari
tahun ke tahun. Dari tahun 1983 sampai tahun 1987 jumlah aset industri asuransi telah
meningkat rata-rata sebesar 27 persen per tahun, sehingga aset perusahaan asuransi jiwa
mencapai sebesar Rp 677,1 milyar, asuransi sosial sebesar Rp 1.767,5 milyar, serta asuransi
kerugian dan reasuransi sebesar Rp 1.012,7 milyar. Sampai dengan tahun 1987 di Indonesia
terdapat 25 buah perusahaan asuransi jiwa, 5 buah perusahaan asuransi sosial, 68 perusahaan
buah asuransi kerugian, dan 4 buah perusahaan reasuransi, serta 6 buah kantor perwakilan
perusahaan asuransi asing. Disamping itu untuk mendukung kegiatan perasuransian, masih
terdapat pula 48 buah perusahaan broker asuransi, dan 12 buah perusahaan adjuster.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 155


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Berbeda dengan asuransi kerugian dan reasuransi serta asuransi jiwa, asuransi sosial
keanggotaannya bersifat wajib, sehingga diatur dalam perundang-undangan. Kelima buah
perusahaan asuransi sosial yang terdapat di Indonesia saat ini kesemuanya adalah miIik
pemerintah, yaitu PT Jasa Raharja yang bergerak di bidang asuransi kerugian, khususnya
asuransi wajib bagi kendaraan bermotor; perum Husada Bhakti yang berkecimpung dalam
industri asuransi kerugian, khususnya perlindungan kesehatan; perum Asabri yang bertujuan
memberikan perlindungan bagi anggota ABRI termasuk pegawai sipil yang dipekerjakan oleh
ABRI; PT (Persero) Taspen yang menghimpun dana dan memberikan perlindungan bagi
pegawai negeri; serta perum Astek yang memberikan perlindungan keselamatan kerja, jiwa dan
kompensasi kepada para pekerja. Melihat jumlah aset industri asuransi sosial dalam tahun 1987
sebesar Rp 1.767,5 milyar, sementara investasinya berjumlah Rp 1.580,8 milyar, maka hal ini
berarti bahwa hampir 90 persen dari asetnya berbentuk investasi. Premi brute asuransi kerugian
dan reasuransi keseluruhannya berjumlah Rp 840,1 milyar, yang terdiri dari "direct business"
(pos langsung dalam negeri) sebesar Rp 818,0 milyar dan premi reasuransi dari luar . negeri
sebesar Rp 22,1 milyar. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, maka terdapat peningkatan premi
brute sebesar Rp 234,5 milyar (38,7 persen).

3.6.7. Lembaga keuangan bukan bank


Lembaga keuangan bukan bank (LKBB), yang untuk pertama kali diperkenalkan di
Indonesia di tahun 1972, merupakan sarana yang renting untuk pengembangan pasar uang dan
modal serta membantu perusahaan-perusahaan dalam bentuk pemberian pinjaman, penyertaan,
serta penanaman surat-surat berharga. Hal ini berarti LKBB berperan memperluas cara
penghimpunan dana yang telah ada, yaitu melalui giro, deposito, dan tabungan, yang dilakukan
oleh perbankan. LKBB dapat digolongkan ke dalam LKBB jenis pembiayaan pembangunan dan
LKBB jenis investasi. LKBB jenis pembiayaan pembangunan kegiatannya memberikan
pembiayaan dalam bentuk pinjaman jangka panjang atau menengah serta penyertaan saham
pada perusahaan. Sedangkan LKBB jenis investasi mempunyai aktivitas memberikan
perantaraan dalam penerbitan dan menjamin terjualnya surat-surat berharga (underwriting).
Disamping itu terdapat pula LKBB jenis khusus yang bergerak di bidang tertentu seperti
pembiayaan perumahan (PT Papan Sejahtera). Kemudian dalam rangka memperluas alternatif
sumber pembiayaan bagi dunia usaha, mendukung produksi serta menunjang pengerahan dana
masyarakat, selain jenis LKBB tersebut di atas, maka kini diperkenalkan pula pendirian badan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 156


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

usaha jenis jasa pembiayaan lainnya, seperti anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen
(consumers finance), serta modal ventura (venture capital).
Kebijaksanaan Pemerintah dalam mengembangkan LKBB adalah diarahkan untuk
mengembangkan sektor keuangan di luar perbankan dan menggiatkan pasar uang dan modal,
dalam rangka peningkatan pengerahan dana masyarakat. Sektor ini juga melayani kebutuhan
masyarakat yang memerlukan jasa pembiayaan yang lebih khusus, yang tidak terjangkau oleh
sektor perbankan. Di dalam perkembangannya, karena kegiatan pasar modal yang belum begitu
meningkat, maka LKBB juga bergerak di pasar uang melalui pengeluaran "promisory note".
T a b e l III.26
TOTAL ASET, PREMI BRUTO, TUNTUTAN GANTI RUGI DAN DANA INVESTASI
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN ASURANSI,
1983 - 1987
( dalam milyar rupiah)
Tahun 1983 1984 1985 1986 1987
Total Aset
Asuransi jiwa 252 319,2 408,6 566,5 677,1
Asuransi sosial 613,6 790,3 1.051,00 1.455,60 1.767,50
Asuransi kerugian & reasuransi 1) 464,5 561 694,3 748,2 1.012,70
Jumlah 1.330,10 1.670,50 2.153,90 2.770,30 3.457,30
Premi bruto
Asuransi jiwa 181,2 240,6
Asuransi sosial 140,2 172,6 157,7 148 156,4
Asuransi kerugian & reasuransi 1) 447,8 396,8 555,1 605,6 840,1
Jumlah 588 569,4 712,8 934,8 1.237,10
Tuntutan ganti rugi
Asuransi jiwa 248,5 118,5
Asuransi sosial 151,2 144,5 335,3 22,4 15,8
Asuransi kerugian & reasun1.llsi 1) 249,3 372,4 362,8 348,1 310,9
Jumlah 400,5 516,9 698,1 619 445,2
Dana investasi
Asuransi jiwa 169,9 220,5 278,9 413,1 490,7
Asuransi sosial 570,4 732,5 966,4 1.284,30 1.580,80
Asuransi kerugian & reasuransi 1) 159,9 251,9 343,4 538,7 584,2
Jumlah 900,2 1.204,90 1.588,70 2.236,10 2.655,70

1) Termasuk PT Askrindo don PT ASEI.

berdasarkan kebijaksanaan keuangan moneter Oktober 1988, kepada LKBB diperkenankan


menerbitkan sertifikat deposito tanpa diperlukan izin dalam penerbitannya. Dengan demikian
LKBB merupakan mitra usaha bagi sektor perbankan di dalam mengerahkan dana masyarakat
dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Sejak pendirian LKBB yang pertama dalam
tahun 1972, jumlahnya dari tahun ke tahun selalu bertambah. Jika dalam tahun 1972 hanya
terdapat satu LKBB, maka selama Pelita IV telah berjumlah 14 buah, yang terdiri dari 9 buah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 157


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

jenis LKBB investasi, 3 buah jenis LKBB pembiayaan pembangunan, dan 2 buah LKBB jenis
lainnya. Sumber dana LKBB sampai dengan September 1988 berjumlah Rp 2.659 milyar, yang
antara lain terdiri dari surat berharga yang diterbltkan sebesar Rp 1.378 milyar (52 persen), dan
pinjaman yang diterima sebesar Rp 820 milyar (31 persen). Dibandingkan dengan jumlahnya
dalam tahun 1976, sumber dana LKBB telah meningkat dengan rata-rata 32 persen per tahun,
dengan perincian sumber dana LKBB jenis pembangunan meningkat dengan rata-rata 35 persen
per tahun, dan sumber dana LKBB jenis investasi meningkat dengan rata-rata 31 persen per
tahun. Perkembangan sumber dana LKBB dapat dilihat dalam Tabel III.27.
Dalam kaitannya dengan Paket 27 Oktober 1988, berbagai kemudahan yang diberikan
kepada lembaga keuangan perbankan juga diberikan kepada LKBB. LKBB diperkenankan
untuk mendirikan satu kantor cabang di masing-masing kota Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Medan, Ujung Pandang, dan Denpasar. Sebagai syarat pembukaan kantor cabang ini,
maka LKBB yang bersangkutan selama 24 bulan terakhir, minimal dalam 20 bulan, harus
tergolong sehat termasuk permodalannya dan selebihnya sekurang-kurang nya tergolong cukup
sehat. LKBB yang selama ini tidak diijinkan untuk menerbitkan sertifikat deposito, sekarang
diperkenankan dan tanpa memerlukan ijin, baik dari Departemen Keuangan maupun dari Bank
Indonesia. Selain kepada bank, dalam rangka meningkatkan daya tahan dan memelihara
kesehatannya, LKBB dikenakan pula batas maksimum pemberian kredit. (legal lending limit)
kepada debitur dan debitur group, serta pemegang saham dan pengurus. Sementara itu untuk
meningkatkan kemampuan pengendalian kebijaksanaan moneter dan penyaluran dananya secara
lebih optimal, maka penurunan likuiditas wajib minimum dari 15 persen menjadi 2 persen dari
jumlah kewajiban kepada pihak ketiga juga berlaku bagi LKBB. Selanjutnya dalam rangka
pengembangan pasar modal, partisiptisi LKBB dapat dilakukan dengan cara
penerbitan/penjualan saham baru melalui pasar modal, disamping peningkatan penyertaan oleh
para pemegang saham yang ada. Sebagai kelanjutan dari berbagai kebijaksanaan deregulasi
sebelumnya, maka Pemerintah telah pula mengeluarkan paket kebijaksanaan 20 Desember 1988,
yang dimaksudkan untuk mengembangkan lembaga-lembaga atau badan usaha jasa pembiayaan
yang dapat meningkatkan sumber pembiayaan investasi dan produksi, seperti anjak piutang,
modal ventura, perdagangan surat berharga, usaha kartu kredit, dan usaha pembiayaan
konsumen, baik oleh swasta nasional, koperasi, maupun oleh usaha campuran. Lembaga-
lembaga pembiayaan tersebut harus berbentuk perseroan terbatas. Seperti halnya dengan
lembaga keuangan perbankan, maka dalam paket deregulasi 20 Desember 1988 tersebut juga

Departemen Keuangan Republik Indonesia 158


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

diberikan kesempatan bagi LKBB untuk melakukan perdagangan surat-surat berharga, usaha
kartu kredit, usaha anjak piutang, dan usaha pembiayaan konsumen sebagai bagian dari kegiatan
usahanya.

3.6.8. Leasing
Secara umum leasing (sewa guna usaha) dapat diartikan sebagai suatu sistem
pembiayaan pengadaan barang modal oleh perusahaan secara terarah dengan biaya serendah
mungkin, dengan kemungkinan memiliki barang modal tersebut pada akhir kontrak. Kegiatan
usaha ini di Indonesia dimulai sejak 1974, dim ana terdapat 3 bentuk usaha leasing yaitu finance
lease, service lease, dan operational lease. Finance lease menyangkut masalah
pembelanjaan/pembiayaan, sedangkan service lease disamping menyangkut masalah pem-
belanjaan/pembiayaan juga meliputi jaminan berfungsinya alat. Sementara itu operational lease
mencakup aspek pembelanjaan/pernbiayaan dan jaminan berfungsinya alat, yang dikaitkan
dengan kemampuan dan hasil-hasil produksinya. Jenis usaha jasa pembiayaan ini, yang
merupakan salah satu alternatif bagi usaha pembiayaan, menunjukkan perkembangan yang amat
pesat sejak awal tahun 1980-an, yang tercermin dari jumlah perusahaan leasing dan pembiayaan
leasenya. Kegiatan pembiayaan perkembangan leasing ini meliputi pengadaan barang-barang
modal untuk berbagai sektor perekonomian, seperti sektor transportasi, sektor industri, sektor
konstruksi, sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor perkantoran dan sektor kes_hatan.
Diperkirakan dalam tahun-tahun mendatang jenis us aha jasa pembiayaan ini akan berkembang
lebih pesat sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan.
Perkembangan usaha kegiatan usaha leasing dapat diikuti dalam Tabel 111.28. Sampai
dengan akhir Agustus 1988 jumlah perusahaan leasing yang telah memperoleh ijin usaha
seluruhnya berjumlah 83 buah perusahaan, yang terdiri dari 1 perusahaan negara, 47 perusahaan
swasta nasional, dan 35 perusahaan patungan (joint venture), dengan nilai pembiayaan lease

Departemen Keuangan Republik Indonesia 159


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.27
SUMBER DANA LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK,
1975/76 - 1988/89
( dalam milyar rupiah)
Tahun 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/811) 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89
Jenis pembangunan
Call money
Sural berharga diterbitkan 1 1 1 5 9 11 11 44 66 91 113 137 181 238
Pinjaman yang diterima 5 7 9 14 26 40 66 88 119 164 197 239 392 487
Pinjaman subordinasi 2 2 2 2 2 2 2 2 6 8 10 15 27 23
Modal sendiri 8 7 8 13 15 22 22 26 31 38 47 52 62 70
lumlah 16 17 20 34 52 75 101 160 222 301 367 443 662 818
Jenis Investasi
Call money 1 1 7 13 14 6 36 36 47 39 76 141
Sural berharga diterbitkan 13 34 66 83 156 253 353 478 550 679 929 900 1.073 1.140
Pinjaman yang diterima 33 38 35 63 48 80 85 197 215 428 830 343 373 333
Pinjaman subordinasi 3 3 5 9 9 9 12 29 30 57 57 97 91 92
Modal sendiri 7 9 10 9 12 18 25 37 51 67 85 109 130 135
lumlah 57 85 116 164 232 373 489 747 882 1.267 1.948 1.488 1.743 1.841
Jumlah
Call money. 1 1 - 7 13 14 6 36 36 47 39 76 141
Sural berharga diterbitkan 14 35 67 88 165 264 364 522 616 770 1.042 1.037 1.254 1.378
Pinjaman yang diterima 38 45 44 77 74 120 151 285 334 592 1.027 582 765 820
Pinjaman subordinasi 5 5 7 II 11 11 14 31 36 65 67 112 118 115
Modal sendiri 15 16 18 22 27 40 47 63 82 105 132 161 192 205
Jumlah 73 102 136 198 284 448 590 907 1.104 1.568 2.315 1.931 2.405 2.659

1) Sejak tahun 1981, termasuk LKBB jenis pembiayaan pemiJikan rumah.

..

Tab e l III.28
PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA LEASING, 1975 - 1987
( dalam juta rupiah)

Tahun 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987
Jumlah perusahaan 2) 3 5 5 5 5 5 8 17 35 47 72 79 83
Nilai kontrak 680 1.299 3.258 5.256 8.067 22.639 32.472 97.629 276.535 419.190 484.019 645.460 1.195.443
1nvestasi bersih 4.740 13.986 32.593 43.421 23.237 25.231 42.231 81.568 284.815 474.952 620.680 835.948 1.307.685
Total aset 5.836 17.414 35.684 48.469 28.335 34.619 59.955 114.030 390.929 633.116 844.048 1.136.748 1.472.464
Total equity 2.227 5.335 5.995 7.717 10.196 1.846 21.124 38.029 73.417 80.161 154.025 207.588 227.188
Posisi pinjaman 3)
- dalam negeri 3.312 2.885 1'2.003 98.801 146.964 237.875 268.465 339.678
- luar negeri (ribilan US $) - 8.775 20.339 49.648 166.477 261.225 235.478 205.418 332.170
t) Angka sementara
2) Satuan
3) Pinjaman jangka pendek, dimulai sejak tahun 1980.

sampai dengan 1987 mencapai Rp 1.195.443 jute. Dalam tahun 1975, jumlah perusahaan
tersebut baru 3 buah, dengan nilai lease sebesar Rp 680 jute. Sebagian besar pembiayaan leasing
ini terutama untuk sektor transportasi, disusul kemudian oleh sektor industri pengolahan
(manufaktur). Pembiayaan leasing dalam tahun 1984 mencapai 66,2 persen dari total asetnya,
dan dalam tahun 1987 telah mencapai 81,2 persen. Sedangkan dilihat dari perkembangan equity
perusahaan leasing selama 4 tahun terakhir ini, make tampak bahwa kenaikan equity dalam
tahun 1987 relatif kecil. Hal ini antara lain disebabkan oleh mengecilnya keuntungan yang
diterima oleh perusahaan leasing, satu dan lain hal disebabken karena meningkatnya jumlah
pembiayaan yang macet. Ditilik dari posisi pinjaman perusahaan leasing, make pinjaman dalam
negeri dan luar negeri dari perusahaan-perusahaan leasing umumnya masih terbatas pede
pinjaman jangka pendek (kurang dari satu tahun), sementara itu pinjaman jangka menengah dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 160


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

panjang jumlahnya relatif kecil. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut,
seperti dengan penerbitan surat-surat berharga melalui pager modal ataupun bursa paralel.
Sampai dengan Agustus 1988 baru PT Bumi Daya IBJ Leasing yang telah menerbitkan obligasi
melalui pasar modal sebesar Rp 10 milyar dengan jangka waktu 3 tahun. Sementara itu masih
terdapat beberapa perusahaan leasing yang berada dalam taraf persiapan untuk menerbitkan
surat-surat berharga melalui pasar modal. Sejalan dengan semakin berkembang dan pentingnya
usaha pembiayaan leasing ini, diharapkan akan segera dapat disusun undang-undang tentang
usaha lembaga pembiayaan ini. Sambil menunggu selesainya penyusunan undang-undang
tersebut, make dalam rangka melanjutkan semangat deregulasi, dengan paket kebijaksanaan 20
Desember 1988 dibuka kembali pemberian ijin usaha leasing, baik oleh perusahaan nasional
(swasta atau koperasi) maupun usaha campuran (patungan asing).

3.6.9. Dana pensiun


Dana pensiun didalam perkembangannya merupakan sumber dana yang cukup
potensial untuk dikembangkan. Ketentuan yang berlaku sampai seat ini pede prinsipnya adalah
bahwa pembentukan dana pensiun di dalam suatu badan usaha adalah merupakan inisiatif dari
pemberi kerja, serta dimaksudkan untuk membantu para karyawan dalam menghadapi hari tua.
Sehubungan dengan itu pengelolaan dana pensiun sebagian besar dilakukan melalui suatu
yayasan, dimana pengelolaan uang yang berasal dari iuran pemberi kerja, iuran karyawan, dan
hasil investasi, berada di tangan pengurus yayasan yang bertanggung jawab kepada pemberi
kerja. Dalam rangka menertibkan penyelenggaraan program pensiun, terutama yang dilakukan
oleh baden usaha milik negara maupun swasta, serta mengingat pentingnya peranan yang.cukup
potensial kegiatan ini sebagai sumber dana serta jaminan sosial bagi karyawan, Pemerintah
tengah mempersiapkan rancangan undang-undang tentang dana pensiun. Pengaturan
penyelenggaraan program pensiun berupa undangun dang dipandang sangat perlu, mengingat
berdasarkan Undang-Undang no. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, dana pensiun, baik
berupa iuran maupun hasil investasi dana yang terhimpun, bukan merupakan obyek pajak.
Sambil menunggu diajukannya rancangan undangundang tersebut, maka pembinaan dan
penertiban dana pensiun yang dilakukan Pemerintah selama ini yaitu dengan memberikan
pengesahan berdirinya dana penSilIn oleh Menteri Keuangan dalam rangka memenuhi Undang-
undang no. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah
senantiasa mendukung upaya untuk mensejahterakan karyawan, sambil meningkatkan kesadaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 161


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menabung masyarakat untuk hari tuanya. Hingga saat ini sudah terdapat 102 yayasan dana
pensiun yang telah disahkan, serta beberapa yayasan dana pensiun yang telah mengajukan
permohonan pendiriannya. Dalam rangka peralihan perubahan sistem pembayaran pensiun
pegawai negeri dari beban APBN kepada beban dana pensiun, maka PT (Persero) Taspen telah
ditugaskan untuk menyelenggarakan proyek percontohan pembayaran pensiun di Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, sejak bulan pembayaran Januari 1987. Disamping
itu mulai Januari 1989 mendatang, direncanakan pelaksanaan pembayaran santunan program
Taspen, Astek, dan pensiun bagi pegawai negeri sipil di wilayah Jawa, akan disalurkan lewat
bank pembangunan daerah (BPD). Sekiranya usaha proyek percontohan ini dinilai berhasil,
maka pola kerjasama serupa akan pula diterapkan di wilayah Sumatera. Posisi iuran dana
pensiun pegawai negeri sipil yang terhimpun melalui PT (Persero) Taspen sampai dengan akhir
Nopember 1988 telah mencapai jumlah hampir Rp 2 trilyun, sebagian besar diantaranya
ditanamkafl dalam bentuk deposito berjangka, obligasi, dan sertifikat Bank Indonesia (SBI).

3.6.10. Lembaga-lembaga perkreditan lainnya

Lembaga-lembaga kredit lainnya mencakup kegiatan pegadaian, lumbung desa, dan


bank desa. Dalam kehidupan masyarakat golongan ekonomi lemah, keberadaan lembaga
perkreditan rakyat semacam ini sangatIah diperlukan. Menyadari akan peranan lembaga tersebut,
Pemerintah berdasarkan kebijaksanaan Oktober 1988 telah mengeluarkan ketentuan yang
berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan bank perkreditan rakyat. Demikian juga
peranan Perjan Pegadaian dalam masa pembangunan masih tetap diperlukan, khususnya dalam
rangka penyaluran dana (pinjaman bukan bank) kepada masyarakat golongan ekonomi lemah
khususnya di pedesaan. Pada umumnya antara bulan Oktober sampai dengan Maret merupakan
masa sulit paceklik bagi kaum tani dan nelayan. Pada masa tersebut kaum tani mulai
melaksanakan musim tanam dan menunggu hasil panen, sementara itu para nelayan menunggu
datangnya musim barat. Disamping itu juga para orang tua murid dalam tahun ajaran baru (Juni
sampai dengan Agustus) pada umumnya memerlukan dana untuk keperluan tahun ajaran baru.
Dalam periode waktu yang sulit tersebut bagi masyarakat petani dan nelayan di pedesaan serta
anggota masyarakat lain pada umumnya, telah sangat dibantu oleh kehadiran Perjan Pegadaian.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan modal kerja yang semakin meningkat, Perjan Pegadaian
memperoleh pinjaman dari Bank Indonesia atas jaminan Pemerintah. Dalam tahun anggaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 162


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1987/1988 pinjaman dari Bank Indonesia berjumlah Rp 15 milyar, dan dalam tahun anggaran
1988/1989 tersedia sejumlah Rp 20 milyar. Unit operasional Perjan Pegadaian, yang merupakan
cabang-cabang Perjan Pegadaian di seluruh Indonesia berjumlah 483 unit, yang tersebar di ibu
kota propinsi sebanyak 63 unit, di kota madyal kabupaten sebanyak 121 unit, dan 299 unit
tersebar di kota kecamatan. Perputaran penyaluran kredit Perjan Pegadaian dari tahun ke tahun
menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat rata-rata sekitar 31 persen per tahun.

Selain Perjan Pegadaian, lembaga perkreditan rakyat lainnya di daerah juga cukup
penting peranannya, yaitu antara lain bank desa, lumbung desa, bank pasar, serta bank pegawai.
Lembaga-Iembaga tersebut dapat digolongkan sebagai bank perkreditan rakyat (BPR). Selain
dari itu, badan kredit kecamatan, lumbung pitih nagari, lembaga pembangunan desa, serta kredit
untuk rakyat kecil, juga tergolong bank perkreditan rakyat. Berdasarkan Paket kebijaksanaan 21
Oktober 1988, Pemerintah mengatur kembali kedudukan hukum dari lembaga-lembaga
perkreditan rakyat tersebut di atas agar menyesuaikan bentuk lembaga tersebut menjadi BPR
dengan bentuk hukum yang sesuai. Berdasarkan ketentuan tersebut BPR dapat didirikan dan
berbentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas, ataupun koperasi. Disamping itu Paket
kebijaksanaan tersebut mengatur kembali tempat pendirian dan tempat usaha BPR hanya di
kecamatan dan di desa luar ibukota negara, ibukota Dari I, dan Dari II. BPR yang saat ini
beroperasi di ibukota negara, ibukota Dari I dan Dari II, selambat-Iambatnya 2 tahun setelah
dikeluarkannya kebijaksanaan ini harus sudah ditingkatkan menjadi bank umum atau bank
pembangunan. Dalam usaha untuk mengerahkan dana masyarakat, BPR dapat menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan. Pemberian kreditnya terutama
diperuntukkan bagi pengusaha kecil atau masyarakat pedesaan. Dalam Tabel III.29 dapat dilihat
kegiatan bank desa, lumbung desa, serta pegadaian. Sampai dengan 1987 bank desa berjumlah
3.324 buah, sementara itu lumbung desa berjumlah 2.065 buah. Walaupun posisi pemberian
kredit bank perkreditan rakyat ini relatif kecil, namun kehadirannya sangat diperlukan oleh
golongan ekonomi lemah.

3.7. Pemanfaatan dana


3.7.1. Kredit perbankan
3.7.1.1. Kredit menurut sektor perbankan
Kebijaksanaan Pemerintah di bidang perkreditan pada dasarnya tetap dilandasi oleh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 163


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kebijaksanaan 1 Juni 1983, yaitu mengutamakan kemampuan perbankan dalam pemberian


kreditnya dengan dana yang dapat dihimpun dari masyarakat. Untuk lebih meningkatkan serta
memperluas jangkauan jasa pelayanan kredit perbankan dalam rangka mendorong kegiatan
perekonomian, khususnya ekspor non migas, dan pemerataan berusaha, maka oleh pemerintah
telah diambil berbagai langkah kebijaksanaan penting yang dituangkan dalam kebijaksanaan
keuangan moneter Oktober 1988. Langkah tersebut meliputi kemudahan dalam pembukaan
kantor bank, izin pendirian pembukaan kantor cabang lembaga keuangan bukan bank (LKBB),
bank swasta baru, dan bank perkreditan rakyat (BPR). Kemudahan dalam pembukaan dan
pendirian bank tersebut diharapkan akan memperluas jasa pelayanan perkreditan bank di daerah.
Sedangkan dalam rangka pemerataan kegiatan berusaha dan untuk lebih meningkatkan
effesiensi bank, maka ditentukan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang
dapat diberikan oleh bank dan LKBB kepada debitur dan debitur grup, pemegang saham, dan
pengurus.
Pemberian kredit perbankan sampai dengan akhir bulan September 1988 mencapai
jumlah sebesar Rp 40.504 milyar, atau bila dibandingkan dengan posisinya pada akhir bulan
Maret 1988 telah meningkat sebesar Rp 5.423 milyar (15,5 persen). Dalam periode yang sama
tahun sebelumnya, pemberian kredit perbankan meningkat sebesar Rp 3.882 milyar (13,9
persen). Bagian terbesar dari kredit perbankan tersebut disalurkan oleh bank-bank pemerintah
(termasuk Bank Indonesia), yaitu sebesar Rp 27.941 milyar (69,0 persen), oleh bank-bank
swasta nasional termasuk bank pembangunan daerah sebesar Rp 10.943 milyar (27,0 persen),
sedangkan sisanya disalurkan oleh cabang-cabang bank asing dan campuran. Di lihat dari
keadaannya 5 tahun yang lalu atau dalam bulan Maret 1983, peranan bank pemerintah dalam
menyalurkan kredit telah menurun, sebaliknya peranan bank swasta nasional termasuk cabang
bank asing meningkat. Pada akhir Maret 1983, bank pemerintah menyalurkan 80 persen lebih
dari kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan, sedangkan pada akhir bulan September 1988
hanya sebesar 69,0 persennya. Kenaikan kredit perbankan sebesar Rp 5.423 milyar (15,5 persen)
dalam semester 1-1988/1989 berasal dari kenaikan kredit bank-bank pemerintah sebesar Rp
3.584 milyar (14,7 persen), bank-bank swasta nasional sebesar Rp 1.739 milyar (18,9 persen),
dan cabang-cabang bank asing sebesar Rp 100 milyar (6,6 persen).

3.7.1.2. Kredit perbankan menurut sektor ekonomi


Kebijaksanaan perkreditan dalam Pelita IV merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 164


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

moneter 1 Juni 1983 yang pada dasarnya menekankan pada pemberian kebebasan kepada bank-
bank pemerintah dalam menetapkan persyaratan perkreditannya, penyediaan fasilitas kredit
likuiditas Bank Indonesia yang hanya disediakan bagi pinjaman yang berprioritas tinggi, serta
pengarahan kredit yang sejauh mungkin ditujukan kepada kegiatan investasi yang produktif dan
banyak menyerap tenaga kerja, meningkatkan produksi barang ekspor bukan migas,
mengembangkan usaha golongan ekonomi lemah, dan mendorong pemberian kredit pemilikan
rumah (KPR).
Khususnya dalam rangka mendorong ekspor bukan migas, maka telah dilakukan
penyempurnaan kebijaksanaan di bidang kredit ekspor, di samping kebijaksanaan yang
menyangkut segi kelembagaan penyalur kreditnya, sebagaimana yang tertuang dalam paket
kebijaksanaan Oktober 1988. Penyempurnaan kredit ekspor tersebut meliputi, antara lain
perluasan penerima kredit ekspor, yang tidak hanya untuk eksportir pedagang tetapi juga
meliputi kredit bagi pemasok bahan baku untuk keperluan produksi ekspor, perluasan
keringanan persyaratan pemberian kredit ekspor, penyediaan kredit investasi untuk produksi
barang ekspor, penyediaan fasilitas jaminan kredit ekspor dari PT Asuransi Ekspor Indonesia
(ASEI), dan pemberian kredit ekspor dengan penyediaan kredit likuiditas dari Bank Indonesia.
Selain dari itu penanaman modal asing (PMA) patungan dapat pula memperoleh fasilitas kredit
ekspor. Perluasan fasilitas kredit ekspor diharapkan akan dapat menurunkan biaya produksi bagi
nasabah yang tidak melakukan ekspor sendiri, dan sekaligus menjamin tersedianya bahan baku
bagi industri hilir yang melakukan ekspor dengan harga yang layak. Perluasan ini dimungkinkan
melalui penggunaan mekanisme L/C dalam negeri (L/C DN). Selain daripada itu dalam
pemberian kredit ekspor terdapat berbagai kemudahan dan keringanan dalam hal suku bunga
pinjaman, pembiayaan sendiri, dan jaminan. Dalam hat kredit ekspor untuk memenuhi
keperluan modal kerja, keringanan diberikan berupa suku bunga pinjaman yang rendah, yaitu
hanya 9 persen setahun untuk barang primer dan 11,5 persen setahun untuk bukan primer.
Selanjutnya nasabah juga hanya menyediakan dana sendiri sebesar 15 persen dibandingkan
dengan yang lazimnya dikenakan bank-bank pelaksana untuk kredit modal kerja lainnya sekitar
25 persen sampai 35 persen. Selain dari itu fasilitas kredit ini juga tidak mensyaratkan adanya
jaminan tambahan di luar barang proyek yang dibiayai dengan kredit tersebut, bahkan
disediakan jaminan kredit ekspor dari PT ASEI untuk mengatasi resiko tidak menerima
pembayaran dari luar negeri dan resiko kredit ekspor bagi bank. Keringanan dan kemudahan
diberikan juga bagi pembiayaan investasi untuk sektor produksi barang ekspor tertentu yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 165


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

bersifat strategis, seperti kredit untuk bidang perkebunan untuk keperluan penanaman,
rehabilitasi, serta modemisasi tanaman karet, kepi, kelapa sawit, kelapa hibrida, dan coklat,
dengan suku bunga preferensial. Kredit investasi tersebut diberikan dalam rangka perkebunan
besar swasta nasional perkebunan swasta nasional (PBSNjPSN), perkebunan inti rakyat (PIR)
untuk inti dan plasma, dan PIR Trans. Guna pembiayaan investasi di bidang industri ekspor juga
telah dimanfaatkan bantuan dana dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan
Bank Pembangunan Asia. Bantuan dana tersebut diteruskan kepada bank-bank yang
menyalurkannya dalam bentuk kredit investasi dengan suku bung a yang reI at if lebih rendah
dibandingkan dengan suku bunga komersial dan jangka waktu yang lebih panjang dari kredit
investasi biasa. Kredit investasi ini dilaksanakan baik oleh bank-bank pemerintah maupun
beberapa bank swasta dan LKBB. Kredit investasi yang dibiayai dengan bantuan dana tersebut
dapat pula dimanfaatkan oleh semua perusahaan yang berproduksi untuk ekspor. Untuk
meningkatkan dukungan terhadap pembiayaan kredit ekspor, kredit ekspor dapat diberikan tidak
hanya oleh bank devisa akan tetapi pula oleh bank swasta bukan devisa, bank pembangunan
daerah, dan LKBB. Selain dari pada itu kepada perusahaan PMDN, dan PMA joint venture yang
melakukan ekspor (dengan batas ekspor minimal tertentu), dapat pula menikmati kredit investasi,
antara lain dengan memanfaatkan fasilitas lembaga-Iembaga internasional seperti dari Bank
Dunia. dan Bank Pembangunan Asia. Dalam rangka peningkatan ekspor non migas, maka
berdasarkan kebijaksanaan Oktober 1988 telah diberikan kemudahan dalam persyaratan bank
menjadi bank devisa, dimungkinkannya pendirian bank campuran, diizinkannya cabang-bank
asing membuka kantor cabang pembantu di en am kota besar diluar Jakarta, perizinan tanpa
batas bagi pedagang valuta asing,serta penyempurnaan mekanisme swap. Penggolongan sektor
ekonomi dalam penyaluran kredit adalah didasarkan alas International Standard Industrial
Classification (ISlC) 1968. Berdasarkan penggolongan tersebut kredit perbankan dapat
dikelompokkan alas kredit untuk sektor pertanian, pertambangan, perindustrian, perdagangan,
jasa-jasa dan lain-lain. Sampai dengan akhir semester I-1988/1989, sektor perindustrian dan
sektor perdagangan merupakan bidang penyerap kredit terbesar, yaitu masing-masing sebesar
Rp 13.228 milyar dan Rp 12.853 milyar atau 32,7 persen dan 31,7 persen dari seluruh
pemberian kredit perbankan. Menyusul kemudian kredit untuk sektor jasa-jasa, sektor pertanian,
dan sektor lainnya. Peningkatan pemberian kredit dalam semester pertama tahun 1988/1989
sebesar Rp 5.423 milyar telah digunakan terutama bagi kegiatan di sektor perdagangan sebesar
Rp 1.856 mi!yar, sektor perindustrian sebesar Rp 1.300 milyar, dan sektor lain-lain sebesar Rp

Departemen Keuangan Republik Indonesia 166


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1.047 milyar. Dilihat dari perkembangannya selama Pelita IV, sampai dengan September 1988,
kredit untuk masing-masing sektor rata-rata telah berkembang sebesar lebih dari 20 persen
setiap tahunnya. Perkembangan kredit perbankan dalam rupiah dan mata uang asing menurut
sektor ekonomi dapat diikuti dalam Tabel 111.30 dan Grafik 111.9.

_3.7.1.3. Kredit investasi


Program kredit investasi mulai dilaksanakan sejak awal Pelita I, yang dimungkinkan
setelah tercapainyaa kestabilan ekonomi, menyusul keberhasilan program stabilisasi dan
rehabilitasi Orde Baru dalam tahun 1966. Kredit investasi disediakan bagi kegiatan usaha yang
membutuhkan pembiayaan jangka panjang, baik berupa usaha yang sedang berjalan maupun
untuk pembukaan usaha baru. Program kredit investasi ini disamping yang berskala besar, juga
disediakan bagi pengusaha-pengusaha kecil yang membutuhkan dana jangka panjang seperti
misalnya dalam bentuk fasilitas kredit investasi kecil (KIK), dan kredit umum pedesaan
(Kupedes). Guna mendorong investasi dan produksi dalam negeri, kredit investasi senantiasa
diusahakan ditingkatkan dan persyaratannyapun disempurnakan agar pemanfaatannya dapat
lebih optimal. Upaya tersebut dilakukan melalui penyempurnaan beberapa ketentuan mengenai
kredit investasi, yang antara lain menyangkut perluasan pemberian kredit dalam rangka kredit
investasi sampai dengan Rp 75 juta, pemberian pinjaman investasi kepada KUD guna
pembiayaan sarana produksi pertanian di daerah, dan perluasan pemberian kredit investasi
dengan pola perusahaan inti rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR-Trans).
Pemberian kredit investasi dengan demikian diarahkan kepada sasaran peningkatan produksi
dalam negeri, khususnya produksi barang ekspor bukan migas, serta memperluas kesempatan
kerja.
Dalam hal kredit investasi dan modal kerja sampai dengan Rp 75 juta, mulai bulan Juni
1988 tersedia bagi pengusaha yang mempunyai harta sampai Rp 600 juta, yang semula dibatasi
bagi pengusaha yang mempunyai jumlah kekayaan bersih sampai Rp 40 juta untuk bidang usaha
perdagangan dan jasa, serta tidak melebihi Rp 100 juta untuk bidang industri dan konstruksi.
Sedangkan ketentuan tentang pemilikan modal dan pen gurus sama dengan ketentuan kredit
KIK/KMKP. Disamping itu, bila nasabah sedang menikmati fasilitas KIK dan KMKP dan
membutuhkan tambahan kredit karena ekspansi usahanya, dapat meminta kredit investasi dan
kredit modal kerja sampai jumlah Rp 150 juta.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 167


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Pemberian kredit investasi yang disetujui sampai dengan bulan September 1988
mencapai sejumlah Rp 13.917 milyar. Pinjaman investasi tersebut sebagian besar dialokasikan
untuk pembiayaan pacta ketiga sektor utama, yaitu sektor industri sebesar Rp 4.246 milyar (30,5
persen), sektor jasa-jasa sebesar Rp 4.180 milyar (30,0 persen), dan sektor pertanian sebesar Rp
3.315 milyar (23,8 persen). Sektor lainnya, termasuk sektor perdagangan dan sektor
pertambangan, menyerap sebesar 15,7 persen. Dalam lima tahun terakhir ini kredit investasi
untuk sektor jasa-jasa dan sektor pertanian berkembang dengan eepat, rata-rata sebesar 35,0
persen tiap tahunnya untuk kedua sektor itu. Sementara itu kredit investasi untuk sektor industri,
sungguhpun mengambil porsi yang eukup besar, pertumbuhannya tidak seeepat kedua sektor
tadi. Kredit investasi untuk sektor jasa-jasa meliputi kredit untuk jasajasa konstruksi,
pengangkutan, listrik, gas dan air.

Posisi kredit investasi (jumlah pinjaman setelah dikurangi dengan pembayaran kembali)
pacta akhir bulan September tahun 1988 mencapai jumlah sebesar Rp 10.477 milyar, atau 75,0
persen dari jumlah yang disetujui. Dari jumlah pinjaman tersebut, sebesar Rp 9.956 milyar
disalurkan oleh bank-bank pemerintah (termasuk Bank Indonesia), sedangkan bank umum
swasta nasional, bank pembangunan daerah, dan bank asing, seeara keseluruhan menyalurkan
sebesar Rp 521 milyar. Dibandingkan dengan posisi kredit investasi pacta akhir Maret 1988,
posisi kredit investasi mengalami peningkatan sebesar Rp 1.267 milyar (13,7 persen).
Perkembangan kredit investasi dapat diikuti pada Tabel III.31 dan Grafik III.10.

T a b e l III.30
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972i1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979
Sektor -
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret
Bank-bank Pemerintah 1) 234 334 460 596 951 1.288 1.780 2.214 2.530 4.664
Produksi 2) - - 241 411 485 823 1.185 1.331 3.300
Perdagangan - 254 359 546 677 660 767 881
Lain-lain - 101 181 257 280 369 432 483
Bank-bank swasta nasional 3) 22 28 35 55 72 98 149 211 286 382
Produksi - 15 21 29 45 64 82 111
Perdagangan - - 22 23 29 62 94 130 181
Lain-lain - 18 28 40 42 53 74 90
Cabang-cabang bank asing
dan Campuran 4 11 15 34 64 63 76 99 144 207
Produksi - 13 25 22 33 42 75 104
Perdagangan - - 14 15 15 27 39 47 71
Lain-lain - - 7 24 26 16 18 22 32
Jumlah kredit perbankan 4) 260 373 510 685 1.087 1.449 2.005 2.524 2.960 5.253
Produksi - - 269 457 536 901 1.291 1.488 3.515
Perdagangan - 290 397 590 766 793 944 1.133
Lain-lain - 126 233 323 338 440 528 605
Kredit dalam valuta asing - 6 24 85 127 305 984 1.193 1.115 387

Departemen Keuangan Republik Indonesia 168


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.3O ( lanjutan )

1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/1988 1988/1989
Sektor Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Jyni Sept. Des. Maret April Mei Jnni Jnli Agnts. Sept.6)
Bank-bank Pemerintah 1) 5.451 6.934 8.985 11.242 12.575 14.460 16.238 20.075 21.752 22.565 23.023 24.357 24.797 25.719 26.503 26.746 27.342 27.941
Pertanian 395 592 867 1.115 1.255 1.326 1.728 2.083 2.271 2.337 2.506 2.732 2.822 2.883 2.990 3.057 3.118 3.171
Pertambangan 1.800 1.817 1.642 1.213 666 375 253 385 356 427 375 279 287 435 346 352 347 366
Perindustrian 1.586 1.912 2.408 3.781 4.507 5.417 5.810 7.402 7.802 8.244 8.630 9.483 9.571 9.802 9.916 10.065 10.366 10.374
Perdagangan 938 1.523 2.491 3.114 3.881 4.333 4.837 5.540 6.280 6.420 6.317 6.618 6.769 7.188 7.161 7.615 7.799 7.692
lasa-jasa 581 839 1.186 1.515 1.620 2.163 2.437 2.657 2.917 3.090 3.218 3.597 3.616 3.620 3.780 3.829 3.869 3.927
Lain-lain 151 251 391 504 646 846 1.173 2.008 2.126 2.047 1.977 1.648 1.732 1.791 2.310 1.828 1.843 2.411
Bank-bank swasta nasiona.3) 531 784 1.163 1.726 2.583 3.814 5.120 6.558 7.266 7.803 8.423 9.204 9.467 9.714 10.174 10.385 10.739 10.943
Pertanian 13 23 31 39 50 64 95 110 119 127 145 158 166 170 188 198 210 201
Pertambangan I 2 2 4 4 5 9 10 8 10 15 13 17 15 18 23 15
Perindustrian 120 154 228 409 664 1.038 1.354 1.619 1.651 1.822 1.788 1.911 1.949 2.048 2.133 2.238 2.197 2.293
Perdagangan 204 382 580 780 1.127 1.554 2.007 2.649 3.050 3..283 3.571 4.004 4.141 4.194 4.389 4.392 4.616 4.725
lasa-jasa 116 147 249 370 669 1.044 1.316 1.562 1.716 1.839 1.984 2.088 2.123 2.162 2.255 2.306 2.406 2.424
Lain-lain 78 77 83 126 69 110 343 609 720 724 925 1.028 1.075 1.123 1.194 1.233 1.287 1.285
Cabang-cabang bank asing
dan campnran 345 436 587 737 977 1.062 1.072 1.219 1.367 1.366 1.406 1.520 1.554 1.567 1.525 1.579 1.565 1.620
Pertanian 3- - - 2 4 4 4 5 I 3 3 3 3 3 3
Pertambangan 1 I- - - - - - - - - - - 3
Perindustrian 203 272 344 412 543 543 473 487 538 524 499 534 553 558 526 556 545 561
Perdagangan 79 121 192 241 289 318 316 315 355 351 359 375 371 390 407 416 404 436
lasa-jasa 24 21 33 62 129 154 160 184 221 235 258 293 296 299 267 280 268 276
Lain-lain 35 21 18 22 16 47 121 229 249 252 285 317 331 317 322 321 345 344
Jumlah kredit perbankan 5) 6.327 8.154 10.725 13.705 16.135 19.336 22.430 27.852 30.385 31.734 32.852 35.081 35.818 37.000 38.202 38.710 39.646 40.504
Pertanian 411 615 898 1.154 1.305 1.390 1.825 2.197 2.394 2.468 2.656 2.891 2.991 3.056 3.181 3.258 3.331 3.375
Pertambangan 1.801 1.819 1.644 1.215 670 379 258 394 366 435 385 294 300 452 361 373 370 381
Perindustrian 1.909 2.338 2.980 4.602 5.714 6.998 7.638 9.508 9.991 10.590 10.917 11.928 12.073 12.408 12.575 12.859 13.108 13.228
Perdagangan 1.221 2.026 3.263 4.135 5.297 6.205 7.159 8.504 9.685 10.054 10.247 10.997 11.281 11.772 11.957 12.423 12.819 12.853
lasa-jasa 721 1.007 1.458 1.947 2.418 3.361 3.913 4.403 4.854 5.164 5.460 5.978 6.035 6.081 6.302 6.415 6.543 6.627
Lain-lain 264 349 492 652 731 1.003 1.637 2.846 3.095 3.023 3.187 2.993 3.138 3.231 3.826 3.382 3.475 4.040
I) Termasuk Bank Indonesia, tidak termasuk Bank Tabungan Negara
2) Sejak Maret 1979 termasuk pinjaman val uta asing kepada Pertamina yang dinyatakan dalam rupiah
3) Termasuk Bank Pembangunan Daerah
4) Sampai dengan akhir Maret 1979 adalah posisi kredit dalam rupiah, termasuk kredit investasi, KIK don KMKP
5) Kredit dalam rupiah don valuta asing, termasuk kredit investasi, KIK don KMKP
6) Angka sementara

3.7.1.4. Kredit untuk golongan ekonomi lemah


Dalam rangka memberi kesempatan berusaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi
lemah, dalam Pelita IV Pemerintah memperluas fasilitas kredit untuk golongan ekonomi lemah,
antara lain dengan menyediakan kredit modal kerja dalam rangka Keppres No. 29/1984 dan
kredit modal kerja sampai dengan Rp 75 juta. Kredit dalam rangka Keppres No. 29/1984
disediakan bagi pengusaha pelaksana borongan pekerjaan atau kontrak pembelian yang dana
pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), badan usaha milik negara, dan bank-bank pemerintah.
Kredit modal kerja sampai dengan Rp 75 juta disediakan bagi pengusaha ekonomi lemah dalam
rangka peningkatan kelanearan dan perluasan usaha. Sementara itu berbagai program kredit
kecil lainnya terus diusahakan dikembangkan seperti kredit investasi keeil (KIK), kredit
perumahan rakyat bank tabungan negara (KPR-BTN), kredit candak kulak (KCK) dan
sebagainya. Dalam pemberian kredit untuk golongan ekonomi lemah tersebut, perbankan lebih
mengutamakan pada penilaian kelayakan usahanya dari pada jaminan kebendaannya. Sedangkan
mengenai aspek pengamanannya, untuk melindungi kedua belah pihak juga dilakukan
perlindungan asuransi dari PT Askrindo untuk kredit yang tergolong beresiko tinggi, dan
jaminan perum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) khusus untuk kredit yang
diberikan kepada koperasi. Guna mendorong dan membantu bank-bank pelaksana dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 169


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

memberikan kredit prioritas tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas kredit likuiditas
yang bersuku bunga rendah. Terbukanya kemungkinan pendirian bank umum swasta, termasuk
bank perkreditan rakyat, berdasarkan kebijaksanaan Oktober 1988 akan lebih mendekatkan
pusat-pusat kegiatan perekonomian yang produktif di pedesaan dengan sumber dana yang digali
dari daerah itu sendiri.
Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani
serta peranan koperasi unit desa (KUD), dalam tahun 1985 Pemerintah menyediakan fasilitas
kredit usaha tani (KUT) melalui KUD untuk intensifikasi padijpalawija dengan suku bunga yang
rendah dan jangka waktu yang cukup lama. Perkembangan KUT sampai dengan akhir
September 1988 berjumlah sebesar Rp 143,1 milyar, termasuk didalamnya kredit untuk program
operasi khusus (Opsus) didalam rangka intensifikasi jagung dan intensifikasi kedelai, serta
kredit untuk program operasi khusus jalur pantai utara (Pantura) dalam rangka intensifikasi padi
dan supra Insus padi. Program kredit ini mempunyai peranan strategis sebagai sarana stabilisasi
dan peningkatan produksi pangan.
Kemudian sejak Juni 1988 ditetapkan bahwa pengusaha dapat menikmati fasilitas
KIK/KMKP bila mempunyai jumlah harta yang tidak melebihi Rp 300 juta, yang semula
dibatasi sampai Rp 20 juta kekayaan bersih. Selain itu bagi pengusaha juga dipersyaratkan
bahwa sekurang-kurangnya 50 persen dari modal disetor dimiliki orang Indonesia asli dan
sebagian besar dari masing-masing pengurus adalah orang Indonesia asli, atau sekurang-
kurangnya 75 persen dari modal disetor dimiliki orang Indonesia asli. Selanjutnya agar lebih
fIeksibel, dalam waktu yang sama nasabah dapat menggunakan KIK dan KMKP sampai
penarikan setinggitinginya Rp 30 juta dan dana sendiri tidak mutIak disediakan oleh nasabah.

Tab e l III.31
KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1969/1970 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)
1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973//974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983
Sektor Muet Maret Maret Muet Maret Maret Maret Muet Muet Maret Muet Maret Maret Maret
Ymg diseuqui perbankan 31 78 115 147 175 198 170 343 361 448 661 3.751 4.571 5.996
Pertanian 8 20 11 12 18 19 36 48 69 86 114 243 355 644
Industri 11 35 61 75 84 100 110 137 143 154 212 968 1.314 2.164
Pertambangan 1 - - 1 1 - 5 5 5 10 6 1.973 2.002 1.934
Perdagangan - - - - - - - - - - - 49 84 121
Jasa - Jasa 1) 11 22 40 54 62 66 104 137 127 185 306 485 661 800
Lain – lain 1 1 3 5 10 13 15 16 18 13 24 34 155 333
Posisi pinjaman 17 49 77 107 119 143 196 263 188 343 463 3.311 3.759 4.605
Pertanian 6 13 6 8 10 13 29 41 57 71 78 117 219 389
Industri 5 20 45 58 61 73 82 97 109 118 158 917 1.190 1.958
Pertambangan 1 - - - - - 5 4 3 2 2 1.806 1.623 1.182
Perdagangan - - - - - - - - - - - 39 67 99
Jasa - jasa 1) 5 15 25 39 41 47 70 11l 107 143 207 361 521 676
Lain-lain - 1 1 2 7 10 10 10 12 9 18 71 139 301

Departemen Keuangan Republik Indonesia 170


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.31( lanjutan )
1983/1984 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/1989
Sektor Maret Maret Maret Maret Juni Sept. Des. Maret April Mei Junii Juli Agust Sept.)

Yang disetujui perbankan 5.652 7.037 7.624 9.935 10.385 10.725 11.1% 11.911 12.129 12.465 12.677 13.251 13.795 13.917
Pertanian 792 1.225 1.526 2.147 2.246 2,187 2.584 2.629 2.686 2.770 2.813 3.157 3.244 3.315
Industri 2.573 3.044 3.041 3.243 3.416 3.447 3.540 3.712 3.798 3.896 3.865 4.029 4.483 4.246
Pertambangan 753 676 227 382 356 433 382 263 286 439 348 350 350 368
Perdagangan 150 256 301 350 358 328 355 385 404 469 450 571 580 620
Jasa - jasa 2) 892 1.148 1.594 2.733 2.960 3.180 3.273 3.812 3.840 3.752 3.947 3.982 3.967 4.180
Lain - lain 492 688 935 1.080 1.049 1.050 1.062 1.110 1.115 1.139 1.130 1.162 1.171 1.188
Posisi pilq8D1an 4.732 5.381 6.109 7.614 7.926 8.203 8.685 9.210 9.400 9.656 9.789 10.048 10.327 10.477
Pertanian 495 666 984 1.300 1.404 1.450 1.644 1.744 1.805 1.825 1.900 1.969 2.028 2.049
Industri 2.316 2.566 2.539 3.213 3.296 3.334 3.531 3.765 3.848 3.921 4.017 4.065 4.190 4.246
Pertambangan 632 345 222 368 322 392 342 230 242 383 305 307 301 319
Perdagangan. 106 OO 277 314 327 301 325 355 369 396 392 413 421 441
Jasa - jasa 2) 752 984 1.281 1.415 1.552 1.679 1.801 2.033 2.050 2.021 2.073 2.177 2.256 2.273
Lain - lain 431 620 806 1.004 1.025 1.047 1.042 1.083 1.086 1.110 1.102 1.117 1.131 1.149

1) Sejak April 1980 termasuk kredit investasi dalam valuta asing


2) Sampai dengan Maret 1980, termasuk kredit untuk sektor perdagangan 3) Angka sementara

Dalam rangka pengembangan koperasi, Pemerintah berusaha membina lembaga


koperasi agar badan usaha koperasi lebih mampu berperan dalam mengembangkan usaha
golongan ekonomi lemah. Sejak bulan Mei 1988, Pemerintah menyempurnakan persyaratan
kredit koperasi untuk anggotanya dengan lebih mengarahkan pemberian kredit perbankan
kepada badan usaha koperasi yang lebih sehat, dan anggota koperasi yang lebih aktif dalam
kegiatan usaha koperasi. Kredit koperasi untuk anggotanya akan tersedia bagi koperasi yang
dapat memenuhi syarat-syarat, antara lain badan usaha koperasi harus mempunyai akte
pendirian dengan pengesahan Menteri Koperasi, pen gurus yang dipilih anggota, keuangannya
sehat, serta mampu hidup dan berkembang pada bidang usaha produksi barang dan jasa. Selain
itu, Pemerintah akan lebih memperhatikan penyaluran kredit perbankan kepada anggota
koperasi berdasarkan peranan anggota dalam kegiatan usaha koperasi, pengalaman anggota
dibidang usaha yang dibiayai dengan kredit, dan sikap anggota dalam memenuhi kewajibannya
kepada badan usaha. Kredit untuk anggotanya disediakan dengan persyaratan yang cukup ringan
dan jangka waktu yang cukup lama. Suku bunga kredit adalah 12 persen setahun. Untuk kredit
investasi, jangka waktu kredit ditetapkan maksimum 10 tahun dengan masa tenggang
maksimum 4 tahun, sedangkan kredit modal kerja adalah 1 tahun.
Posisi kredit umum pedesaan (Kupedes) sampai dengan akhir Agustus tahun 1988
berjumlah sebesar Rp 500,2 milyar, yang diberikan kepada sekitar 4.660 ribu nasabah, dengan
jangkauan program yang meluas keseluruh pelosok tanah air. Program Kupedes dan Simpedes
ini diharapkan akan lebih menanamkan kesadaran masyarakat pedesaaan bahwa sumber
pembiayaan kredit adalah dari masyarakat sendiri, dan untuk itu perlu dimanfaatkan sebaik-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 171


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

baiknya. Untuk membantu para bakul/pedagang keeil pedesaan telah dilaksanakan program
kredit eandak kulak (KCK). Sampai dengan akhir September 1988 posisi KCK telah mencapai
jumlah sebesar Rp 14,8 milyar, sedangkan jumlah nasabah kumulatif KCK sampai dengan akhir
September 1988 adalah sebesar 16.602 ribu. KCK ini disalurkan melalui BUUD/KUD yang
tersebar diseluruh pelosok tanah air.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 172


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l III.32
KREDIT INVESTASI KECIL (KIK) DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN (KMKP)
1973/1974 - 1988/1989
( dalam milyar rupiah)

KIK KMKP

Akhir waktu Permohonan yang disetujui Permohonan yang disetujui


Jumlah Nilai Posisi Jumlah Nilai Posisi
(dalam ribuan) (dalam ribuan)
1973/1974 Maret 5 6 4 3 4 3
1974/1975 Maret 11 19 16 16 18 14
1975/1976 Maret 20 34 26 83 41 27
1976/1977 Maret 31 55 40 184 75 46 .
1977/1978 Maret 42 79 53 335 124 65
1978/1979 Maret 57 113 68 438 188 93
1979/1980 Maret 79 190 118 664 349 181
1980/1981 Maret 125 366 249 953 656 384
1981/1982 Maret 176 583 374 1.330 1.256 704
1982/1983 Maret 220 737 414 1.526 1.629 815
1983/1984 Maret 241 847 387 1.685 2.007 867
1984/1985 Maret 256 946 356 1.871 2.448 931
1985/1986 Maret 272 1.054 326 2.053 2.869 889
1986/1987 Maret 290 1.175 311 2.214 3.431 879
1987/1988 Juni 290 1.207 301 2.226 3.563 900
September 289 1.226 292 2.224 3.741 909
Desember 295 1.268 297 2.278 3.780 903
Maret 304 1.302 311 2.315 3.895 943
1988/1989 April 305 1.315 317 2.330 3.955 940
Mei 301 1.321 319 2.304 3.921 952
Juni 303 1.335 319 2.257 3.965 965
Juli 307 1.344 327 2.261 4.046 978
Agustus 305 1.355 328 2.269 4.093 986
September l) 307 1.362 330 2.271 4.098 990
1) Angka sementara

Investasi Eksplditasi Jumlah


-
Akhir waktu Nasabah Nilai yang Posisi Nasabah Nilai yang Posisi Nasabah Nilai yang Posisi
(Kumulatif) dipinjamkan (Kumulatif) dipinjamkan (Kumulatif) dipinjamkan
(Kumulatif) (Kumulatif) (Kumulati)
1983/1984 Maret 3.861 0,9 0,6 107.182 23,1 30,1 111.043 24 30,7
1984/1985 Maret 30.648 10 7,2 832.082 205,5 135,4 862.730 215,5 142,6
1985/1986 Meret 55.573 20,5 10,4 1.866.145 548,6 249,7 1.921.718 569,1 260,1
1986/1987 Maret 81.698 33,9 13,2 3.003.640 1.050,10 360,6 3.085.338 1.084,00 373,8
1987/1988 Juni 88.235 37,9 14,5 3.292.224 1.193,80 388,7 3.380.459 1.231,70 403,2
September 94.878 42,2 15,8 3.550.078 1.327,30 400,2 3.644.956 1.369,50 416
Oesember 101.538 46,4 15,8 3.816.567 1.471,90 413,3 3.918.105 1.518,30 429,1
Maret 107.046 50,4 16,5 4.104.441 1.632,40 466 4.211.487 1.682,80 482,5
1988/1989 April 110.056 52,5 18,4 4.214.274 1.699,40 467,6 4.324.330 1.751,90 486
Me i 112.698 54,3 19,1 4.292.979 1.744,90 472,1 4.405.677 1.799,20 491,2
Juni 115.108 56,1 19,3 4.376.289 1.794,10 474,7 4.491.397 1.850,20 494
Juli 117.201 57,6 20 4.457.346 1.842,30 480,1 4.574.547 1.899,90 500,1
Agustus 1) 119.149 59,3 20,3 4.541.278 1.889,60 479,9 4.660.427 1.948,90 500,2

1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 173


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang terus meningkat, diselenggarakan


program kredit pemilikan rumah (KPR) dengan sumber pembiayaan yang berasal dari APBN,
kredit likuiditas Bank Indonesia, dan dana BTN yang dihimpun dari masyarakat. Dalam
pembayaran cicilan uang muka KPR berlaku ketentuan bahwa terhadap tabungan uang muka
(TUM) KPR diberikan bunga tabungan. Mulai 12 Desember 1988 harga jual rumah semua tipe
dari Perumnas dan yang menggunakan fasilitas KPR-BTN dinaikkan sebesar 14 persen.
Kenaikan tersebut berlaku terhadap penjualan rumah yang sedang dalam proses kesepakatan,
sedangkan yang telah mencapai kesepakatan harga sebelum tanggal tersebut di atas, walau
masih dalam proses akad kredit, tidak dikenakan harga baru. Sampai dengan bulan September
1988 telah disalurkan KPR sebesar Rp 2.118,6 milyar, untuk membangun 468.001 unit rumah.
Rumah-rumah tersebut dibangun oleh Perum Perumnas sebanyak 156.252 unit dengan nilai
keseluruhan sebesar Rp 317,6 milyar, dan dibangun oleh perusahaan lainnya sebanyak 311.749
unit dengan nilai sebesar Rp 1.800,9 milyar.

3.7.2. Penanaman dana asuransi

Penghimpunan dana asuransi terutama berasal dari premi asuransi yang kemudian
ditanamkan ke dalam bentuk deposito berjangka dan surat-surat berharga. Dana investasi
seluruh perusahaan asuransi dalam tahun 1987 adalah sebesar Rp 2.655,6 milyar, yang sebagian
besar merupakan dana investasi perusahaan asuransi sosial. Sedangkan dana investasi
perusahaan asuransi jiwa dan asuransi kerugian (termasuk reasuransi) masingmasing sebesar
18,5 persen dan 22 persen. Bila dibandingkan dengan keadaan dalam tahun 1983, penanaman
dana seluruh perusahaan asuransi telah meningkat dengan lebih dari 31 persen per tahun.
Pertumbuhan dana investasi yang eukup tinggi ini disebabkan oleh pertumbuhan dana investasi
yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi sebesar 38,26 persen, disusul
kemudian oleh perusahaan asuransi jiwa sebesar 30,35 persen, serta perusahaan asuransi sosial
sebesar 29,02 persen. Dalam tahun 1987, investasi yang dilakukan oleh industri asuransi adalah
berupa deposito berjangka sebesar Rp 2.122,6 milyar (80 persen) dan surat-surat berharga
sebesar Rp 186,9 milyar (7 persen). Perkembangan dana investasi perusahaan asuransi dapat
dilihat dalam Tabel III.34 dan Grafik III.11.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 174


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

3.7.3. Penanaman dana lembaga keuangan bukan bank

Dana yang dihimpun oleh LKBB digunakan untuk membantu membiayai perusahaan-
perusahaan dalam bentuk pinjaman melalui pembelian kertas-kertas berharga atau penyertaan
dalam permodalan. Dengan demikian bagi perusahaan-perusahaan akan tersedia sumber
pembiayaan lain disamping yang berasal dari perbankan. LKBB dapat membantu perusahaan-
perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara dalam menerbitkan dan
memperdagangkan surat-surat berharga. Pertumbuhan penanaman dana LKBB sejak 1976
sampai dengan September 1988 berkembang rata-rata sebesar 32 persen per tahun. Jumlah
penanaman dana LKBB sampai dengan September 1988 berjumlah sebesar Rp 2.603 milyar.
Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen adalah merupakan penanaman dana dalam bentuk surat
berharga. Sampai dengan September 1988, penanaman dana kedalam surat-surat berharga oleh
LKBB jenis pembangunan dan LKBB jenis investasi masing-masing adalah sebesar Rp 300
milyar (15 persen) dan Rp 1.754 milyar (85 persen). Perkembangan pen ana man dana LKBB
dapat dilihat dalam Tabel III.35.

3.7.4. Penanaman dana leasing


Seperti halnya lembaga-Iembaga keuangan lainnya, tingkat keuntungan perusahaan
leasing akan sangat tergantung pada kemampuannya untuk melakukan/menyalurkan investasi
dengan baik. Sejak berdirinya usaha leasing di Indonesia sampai saat ini, dari berbagai sektor
usaha leasing, bidang usaha sektor pengangkutan adalah yang paling menarik bagi pengusaha
leasing. Hal ini disebabkan resiko dari usaha leasing sektor pengangkutan relatif lebih kecil dari
sektor-sektor lainnya. Selain dari pada itu pasar sekunder untuk barang modal sektor
pengangkutan relatif sudah berkembang. Semakin berkembangnya industri leasing ini
ditunjukkan oleh semakin meluasnya jenis usaha leasing. Apabila dalam tahun 1986 hanya
terdapat 7 sektor usaha leasing (transportasi, industri, konstruksi, pertanian, pertambangan,
perkantoran, dan kesehatan), maka dalam tahun 1987 sektor usahanya meluas mencakup
posawat terbang, dan dalam tahun 1988 sudah terdapat usaha leasing dalam sektor jasa-jasa
konsultan. Meningkatnya usaha leasing ini dapat pula dilihat dari nilai investasi bersih yang
dilakukan usaha leasing. Sampai dengan tahun 1987 jumlah investasi bersih usaha leasing
telah mencapai Rp 1.307,7 milyar yang, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya telah
meningkat sebesar 56 persen. Perkembangan investasi bersih usaha leasing dapat dilihat dalam
Tabel III.28.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 175


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel III.34
DANA INVESTASI SEKTOR ASURANSI, 1969 - 1987
(dalam juta rupiah)
Asuransi Asuransi Asuransi
Tahun kerugian Jumlah
jiwa dan reasuransi sosial

1969 30' 1.103 1.560 2.693


1970 . 222 2.073 2.631 4.926
1971 404 4.344 3.163 7.911
1972 961 5.475 3.756 10.192
19'73 2.051 8.889 4.872 15.812
1974 2.527 12.827 8.188 23.542
1975 7.743 18.322 21.333 47.398
1976 11.264 25.247 36.198 72.709
1977 18.085 32.530 60.267 110.882
1978 29.064 39.481 92.004 160.549
1979 40.609 54.983 126.939 222.531
1980 59.405 77.246 177.531 314.182
1981 83.560 105.288 296.405 485.253
1982 111.182 151.629 411.903 674.714
1983 169.946 159.860 570.391 900.197
1984 220.544 251.894 732.498 1.204.936
1985 278.918 343.395 966.436 1.588.749
19'86 413.054 538.694 1.284.334 2.236.082
1987 490.690 584.181 1.580.765 2.655.636

T a b e l III.35
PENANAMAN DANA LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK, 1975/76 - 1988/89
(dalam milyar rupiah)
Tahun 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1) 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89
Jenis pembangunan
Call money - - - -- - - - - - - - -
Sural berharga dimiliki 8 7 5 12 19 29 35 69 110 149 182 201 241 300
Pinjaman yang diberikan 6 8 13 19 25 36 56 72 101 136 172 231 406 461
Penyertaan modal - - - - 3 5 7 10 6 5 5 6 7 7
Lain-lain 1 1 1 1 1 2 - 2 1 3 2 4 8 13
lumlah 15 16 19 32 48 72 98 153 218 293 361 442 662 781
Jenis Investasi
Call money 1 1 1 - 1 1 2 10 14 8 11 6 9 29
Sural berharga dimiliki 53 81 109 156 224 361 475 653 846 1.230 1.905 1.446 1.691 1.754
Pinjaman yang diberikan - - - - - - - - - - - - -
Penyertaan modal - -- - 1 3 4 7 8 8 9 11 36 36
Lain-lain - - 3 1 - - 1 2 4 8 5 5 4 3
lumlah 54 82 113 157 226 365 482 672 872 1.254 1.930 1.468 1.740 1.822
Jumlab
Call money 1 1 1 - 1 1 2 10 14 8 11 6 9 29
Surat berharga dimiliki 61 88 114 168 243 390 510 722 956 1.379 2.087 1.647 1.932 2.054
Pinjaman yang diberikan 6 8 13 19 25 36 56 72 101 136 172 231 406 461
Penyertaan modal - - - - 4 8 11 17 14 13 14 17 43 43
Lain-lain 1 1 4 2 1 2 1 4 5 11 7 9 12 16
lumlah 98 132 189 274 437 580 825 1.090 1.547 2.291 1.910 2.402 2.603

1) Sejak tahun 1981, termasuk LKBB jenis pembiayaan pemilikan rumah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 176


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BAB IV
PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN

4. 1. Pendahuluan

Perekonomian dunia dalam tahun 1988 mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan,


walaupun masih diselingi gejolak nilai tukar antara mata uang-mata uang utama dunia,
tingginya tingkat bunga, dan ketimpangan dalam neraca perdagangan antar negara-negara
industri utama. Hal ini terlihat pada kemajuan ekonomi yang cukup berarti yang dialami oleh
negara-negara industri yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). Amerika Serikat tampaknya mulai mampu mengurangi defisit anggaran
belanja dan neraca perdagangannya. Sementara itu Jepang juga mulai berhasil dibandingkan
dengan waktu yang lalu dalam mengurangi surplus neraca perdagangan dan di saat yang
bersamaan dapat pula mengembangkan perekonomiannya dengan meningkatkan permintaan
domestik. Amerika Serikat yang tetap merupakan penggerak ekonomi dunia, dimana GNP-nya
mencakup 40,4 persen dari GNP semua negara OECD, telah berhasil meningkatkan laju
pertumbuhan ekonominya dari 3,4 persen dalam tahun 1987 menjadi 4,0 persen dalam tahun
1988. Jepang dengan GNP-nya sebesar 14,0 persen dari GNP seluruh negara OECD tetap
mengalami pertumbuhan dengan laju yang relative tinggi, yang diperkirakan bisa mencapai 5,8
persen dalam tahun 1988 dibandingkan dengan 4,2 persen dalam tahun 1987. Kedua negara
industri utama tersebut adalah mitra dagang dan ekonomi Indonesia yang terpenting, sehingga
kemajuan ekonomi mereka bisa memberikan dampak positif kepada Indonesia. Kemajuan
ekonomi negara-negara industri tersebut diperkirakan akan berlanjut dalam tahun-tahun
mendatang, sehingga manfaatnya bagi Indonesia juga diharapkan akan berkesinambungan.
Di lain pihak harga minyak bumi di pasar internasional yang membaik dalam tahun
1987/1988, mulai menunjukkan harga yang kurang mantap dan hal ini nampaknya akan
membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi neraca pembayaran Indonesia. Walaupun
demikian, langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi yang disertai dengan membaiknya
harga barang-barang ekspor tertentu di pasar dunia, telah meningkatkan nilai ekspor bukan
migas dengan cukup pesat.

Di samping itu, perubahan nilai tukar antara mata uang-mata uang internasional,
terutama antara yen Jepang dan dolar Amerika yang masih berlanjut, memberikan dampak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 177


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

negative terhadap perekonomian dalam negeri. Perkembangan tersebut antara lain


mengakibatkan beban pembayaran pinjaman luar negeri menjadi semakin berat, sehingga
menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran. Berbagai perkembangan tersebut melatar
belakangi proyeksi neraca pembayaran Indonesia dalam tahun 1989/1990.

4.2. Perkembangan ekonomi dan moneter internasional dalam tahun 1988


Dalam tahun 1988 laju pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai 3,8 persen,
atau meningkat 0,6 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 3,2 persen.
Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dunia tersebut ditandai oleh kenaikan pertumbuhan
ekonomi hampir di semua negara-negara industri. Di luar dugaan semula, kelompok negara
industri tersebut berhasil meningkatkan kembali kegiatan ekonominya setelah jatuhnya harga di
bursa saham New York bulan Oktober tahun 1987. Jepang, Amerika Serikat, Jerman Sarat,
Perancis, dan Kanada, mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup meyakinkan yaitu masing-
masing sebesar 5,8 persen, 4,0 persen, 2,9 persen, 2,9 persen, dan 4,2 persen. Dengan demikian
laju pertumbuhan ekonomi rata-rata keseluruhan negara industri dalam tahun 1988
diproyeksikan akan dapat mencapai sekitar 3,9 persen, atau lebih tinggi dibandingkan dengan
laju pertumbuhan sebesar 3,3 persen dalam tahun 1987. Pertumbuhan ekonomi yang agak cepat
tersebut terutama didorong oleh investasi perusahaan yang diharapkan dapat meningkat sebesar
10 persen, serta berbagai faktor lainnya seperti perubahan harga energi, kondisi moneter yang
relatif longgar, keberhasilan dalam menekan inflasi, kurs mata uang yang lebih stabil, serta
makin membaiknya koordinasi kebijaksanaan ekonomi di antara negara-negara industri utama.
Negara-negara berkembang secara keseluruhan nampaknya masih belum memperoleh
banyak manfaat dari kegiatan ekonomi negara-negara industri tersebut. Apabila dalam tahun
1987 laju pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang hanya mencapai 3,4 persen, maka
dalam tahun 1988 diperkirakan dapat mencapai 3,6 persen. Negara-negara berkembang di
Afrika, walaupun mengalami pertumbuhan tetapi masih relatif rendah dan sebaliknya negara-
negara berkembang di Amerika Latin relatif mengalami kemunduran ekonomi, dimana
pertumbuhan ekonominya hanya mencapai 1,4 persen, atau menurun 1,1 persen bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang besamya 2,5 persen. Dalam pada itu negara-
negara berkembang di Asia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yang
diperkirakan dapat mencapai sekitar 7,3 persen dalam tahun 1988. Naiknya tingkat pertumbuhan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 178


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

ekonomi negara-negara berkembang di Asia terutama disebabkan oleh keberhasilan negara-


negara tersebut dalam berbagai penyesuaian struktural, khususnya dalam rangka meningkatkan
daya saing komoditi ekspor di pasar internasional. Di samping itu, perbaikan harga mata
dagangan ekspor dan peningkatan daya beli masyarakat ikut pula berperan dalam meningkatkan
pertumbuhan tersebut. Sementara itu tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN,
seperti Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand, dalam tahun 1988 diperkirakan mengalami
peningkatan pula masing-masing menjadi 7,4 persen, 6,5 persen, 10,0 persen, dan 10,0 persen
(Lihat Tabel IV.l).
Kecenderungan membaiknya perekonomian dunia mengakibatkan angka pengangguran
hampir di semua negara-negara industri mengalami penurunan, walaupun masih dalam tingkat
yang cukup tinggi. Dalam tahun 1988, tingkat pengangguran di Jepang, Amerika Serikat,
Inggris, dan Kanada diperkirakan menurun masing-masing menjadi 2,6 persen, 5,5 persen, 8,4
persen, dan 7,7 persen. Penurunan angka pengangguran tersebut terjadi karena diberikannya
perangsang fiskal dan berbagai macam kelonggaran bagi pengusaha agar dapat memperbesar
kesempatan kerja (lihat Tabel IV.2).

Sementara itu laju inflasi rata-rata keseluruhan negara maju dalam tahun 1988 relatif
dapat dikendalikan sehingga tidak mengalami kenaikan atau sama dengan tahun sebelumnya,
yaitu 2,9 persen. Laju inflasi di Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Perancis dalam tahun 1988
diperkirakan menurun masing- masing menjadi sekitar 3,2 persen, 1,8 persen, dan 2,6 persen,
sedangkan laju inflasi di Italia dan Kanada dalam periode tersebut diperkirakan masing-masing
mencapai sebesar 5,1 persen dan 3,9 persen. Sebaliknya Jepang dan Inggris merlgalami
kenaikan laju inflasi masing-masing menjadi 0,9 persen dan 5,2 persen.

Naiknya permintaan dalam negeri dan menurunnya nilai beberapa mata uang
mengakibatkan laju inflasi di negara-negara berkembang secara keseluruhan meningkat menjadi
59,0 persen dalam tahun 1988 dari 40,0 persen dalam tahun sebelumnya. Walaupun laju inflasi
di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia menurun menjadi masing-masing 14,0 persen
dan 8,0 persen dalam tahun 1988, namun sebaliknya negara-negara berkembang di Amerika
Latin dan Eropa justru mengalami peningkatan inflasi dalam periode tersebut, yaitu menjadi
masing-masing 252,7 persen dan 41,2 persen. Sejalan dengan perkembangan tersebut, laju
inflasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Philipina, Singapura,
Thailand, dan Brunei Darussalam juga mengalami kenaikan, masing-masing menjadi 2,5 persen,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 179


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l IV.l
LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA-NEGARA INDUSTRI,
NEGARA-NEGARA BERKEMBANG. DAN ASEAN, 1979 - 1988
( dalam persentase)
1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988
A. Negara-negara industri 3,4 1,4 1,5 - 0,3 2,8 5 3,3 2,7 3,3 3,9
1. Jepang 5,3 4,3 3,7 3,1 3,3 5 4,8 2,5 4,2 5,8
2. Amerika Serikat 2,5 -0,2 1,9 -2,5 3,6 6,8 3,4 2,8 3,4 4
3. Jerman Barat 3,9 1,5 - -1 1,9 3,3 1,9 2,3 1,8 2,9
4. Inggris 2,7 -2,5 -1,1 1,5 3,2 2,6 3,7 3,2 4,4 4
5. Perancis 3,2 1,6 1,2 2,5 0,7 1,4 1,6 2,1 2,2 2,9
6. Italia 4,9 3,9 1,1 0,2 1,1 3,2 2,9 2,9 3,1 3
7. Kanada 3,9 1,5 3,7 -3,2 3,2 6,3 4,6 3,2 4 4,2
.
B. Negara-negara berkembang 4,3 3,4 1,8 1,7 1,9 4 3,5 4,2 3,4 3,6
1. Afrika 3,3 3,6 2 1,2 -1,3 0,8 3,7 2,1 2,3 2,6
2. A s i a 4,5 5,5 5,8 5,2 7,6 7,8 6,3 6,4 6,8 7,3
3. Amerika Latin 6,1 6 0,2 -1,1 -2,4 3,5 3,5 3,9 2,5 1,4
4. Eropa 3,8 0,1 - 1,1 1,9 4,3 2,4 4,1 2,5 2,6
C. Negara-negara ASEAN
1. Malaysia 9,3 7,8 7,5 4,7 4,3 7,8 -1 1,2 5,2 7,4
2. Philipina 6,9 4,4 3,7 2,7 1,3 -5,5 -3,8 2 5,7 6,5
3. Singapura 9,4 10,3 9,9 6,3 7,9 8,2 -1,7 1,8 8,8 10
4. Thailand 6,1 5,8 6,3 4,1 6 4,7 4 4,9 7,1 10
5. Brunei Darussalam - - - - - 4 1 4 2 1
6. Indonesia 6,3 9,9 7,9 2,2 4,2 6 2,5 4 3,62)
1) Perkiraan
2) Angka semenlara

8,9 persen, 2,0 persen, 5,0 persen, dan 1,5 persen dari 0,8 persen, 3,8 persen, 0,5 persen, 2,5
persen, dan 1,3 persen. Selanjutnya tingkat inflasi Indonesia dalam periode tersebut diperkirakan
mengalami penurunan menjadi 5,5 persen dari 8,9 persen dalam tahun sebelumnya (Lihat Tabel
IV.3).
Walaupun ekonomi dunia memperlihatkan kondisi yang lebih baik, namun belum
sepenuhnya pulih seperti yang pernah terjadi dalam tahun 1984 dimana laju pertumbuhan
ekonomi dunia pada waktu itu berhasil mencapai tingkat tertinggi yaitu sebesar 4,5 persen. Hal
tersebut disebabkan masih banyaknya persoalan yang harus dihadapi oleh negara-negara maju,
yang sampai sekarang belum dapat mengatasi secara tuntas defisit perdagangao dan anggaran,
fIuktuasi nilai tukar antar mata uang, pengangguran, inflasi, suku bunga yang tinggi, serta
kesulitan yang masih dialami negara-negara berkembang dalam membayar kembali hutang-
hutang luar negerinya. Bila faktor-faktor tersebut berkelanjutan dikhawatirkan ekonomi dunia
bisa memburuk kembali.
Ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran antara lain tercermin pada tingginya defisit
transaksi berjalan Amerika Serikat serta besarnya surplus transaksi berjalan Jepang dan
Republik Federasi Jerman (RFJ). Defisit transaksi berjalan Amerika Serikat dalam tahun 1988

Departemen Keuangan Republik Indonesia 180


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

diperkirakan mencapai sebesar US $ 128,9 milyar, atau lebih rendah bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya sebesar US $ 154,0 milyar, sedangkan surplus transaksi berjalan Jepang dan
Republik Federasi Jerman dalam periode yang sama diperkirakan masing-masing mencapai
sebesar US $ 78,0 milyar dan US $ 44,9 milyar (lihat Tabel IV.4). Untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, negara-negara maju telah mengambil berbagai upaya, terutama dalam
bentuk koordinasi di dalam mengambil kebijaksanaan ekonomi. Amerika Serikat telah berusaha
menurunkan defisit anggaran belanjanya, sedangkan Jepang dan Republik Federasi Jerman,
yang mengalami surplus transaksi berjalan yang besar, telah berusaha pula untuk meningkatkan
permintaan dalam negeri terhadap barang-barang impor. Untuk mengatasi ketidakstabilan nilai
tukar antar mata uang utama dunia, pemerintah 7 negara-negara industri pada pertemuan puncak
di Toronto dalam bulan Juni 1988, telah memperbarui kembali kesepakatan mereka mengenai
pasar mata uang internasional. Pemerintah negara-negara industri tersebut beserta bank-bank
sentralnya secara bersama-sama akan menempuh kebijaksanaan untuk mempertahankan kurs
dolar Amerika Serikat pada tingkat yang wajar.

T a b e l IV.2
TINGKAT PENGANGGURAN DI NEGARA-NEGARA INDUSTRI, 1979 - 1988
( dalam persentase )

1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988
1. Jepang 2,1 2 2,2 2,4 2,7 2,7 2,6 2,8 2,8 2,6
Serikat 5,9 7,2 7,6 9,7 9,6 7,5 7,2 7 6,2 5,5
Barat 3,3 3,3 4,6 6,7 8,1 8,1 8,2 7,9 7,9 7,9
4. Inggris 4,3 5,4 8,5 9,9 10,8 11,1 11,3 11,4 10,3 8,4
5. Perancis 6,2 6,3 7,4 8,1 8,3 9,7 10,2 10,4 10,6 10,6
6. Italia 7,7 7,6 7,9 8,6 9,9 10 10,3 11,1 12 12
7. Kanada 7,4 7,4 7,5 11,1 11,9 11,3 10,5 9,6 8,9 7,7

1) Perkiraan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 181


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.3
LAJU INFLASI NEGARA-NEGARA INDUSTRI,
NEGARA-NEGARA BERKEMBANG, DAN ASEAN, 1979 - 1988
( dalam persentase )
1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988
A. Negara-negara industri 8,1 9,3 8,8 7,2 5 4,2 3,7 3,4 2,9 2,9
1. Jepang 3 3,8 3,2 2 0,7 1,2 1,6 1,8 -0,2 0,9
2. Amerika Serikat 8,8 9,1 9,6 6,4 3,8 3,7 3 2,7 3,3 3,2
3. Jerman Barat 4 4,8 4 4,4 3,3 2 2,2 3,1 2,1 1,8
4. Inggris 14,5 19,8 11,5 7,6 5,3 4,3 5,9 3,6 4,8 5,2
5. Perancis 10,1 13,2 11,4 11,8 9,7 7,4 5,9 5,1 2,8 2,6
6. Italia 15,9 20,7 18,5 16,2 15 11,3 8,9 7,5 5,6 5,1
7. Kanada 10 10,6 10,8 8,7 5 3,1 2,9 2,5 4,3 3,9
B. Negara-negara berkembang 21,1 26,8 25,9 25,4 33 38,6 38,9 29,8 40 59
1. Afrika 16,6 16,2 21,2 13,1 18,9 20,4 13,2 15,3 15,8 14
2. As i a 8 13,1 10,5 6,4 6,6 7,3 7,1 7,8 8,8 8
3. Amerika Latin 46,6 55,7 60,7 66 ,8 108,6 131,8 143,5 88,3 131,2 252,7
4. Eropa 22,2 31,8 23,6 33,1 22,8 25,4 25,4 24,8 30,3 41,2
C. Negara-negara ASEAN 3,6 6,7 9,7 5,8 3,7 3,9 0,4 0,6 0,8 2,5
1. Malaysia 16,5 17,6 12,4 10,2 10 50,3 23,1 0,7 3,8 8,9
2. Philipina 4 8,5 8,2 3,9 1,2 2,6 0,5 -1,4 0,5 2
3. Singapura 9,9 19,6 12,7 5,2 3,8 1,6 2,4 1,9 2,5 5
4. Thailand - - - - 1,2 3 1,9 0,7 1,3 1,5
5. Brunei Darussalam 6. Indonesia 21,8 15,9 7,1 9,7 11,5 8,8 4,3 8,8 8,9 5,5

1) Perkiraan

Tab e l IV.4
NERACA TRANSAKSI BERJALAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI,
NEGARA-NEGARA BERKEMBANG, DAN PENGEKSPOR MINYAK, 1979 – 1988
( milyar US $ )
1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1)
A. Negara-negara industri 2) -23,1 -58,1 -16,3 -20 -17,5 -58,1 -48,6 -16,3 -42,9 -45,2
1. Jepang -8,8 -10,7 4,8 6,9 20,8 35 49,2 85,8 87 78
2. Amerika Serikat -1 1,9 6,9 -8,7 - 46,3 - 107,1 - 115,1 - 138,8 - 154,0 - 128,9
3. Jerman Barat 6 -13,8 -3,6 5,1 5,3 9,8 16,4 39,1 45 44,9
4. Inggris -1,4 7,1 13,7 7,8 5,7 2,7 4,2 0,2 -2,6 -19
5. Perancis 5,2 -4,2 -4,8 -12,1 -4,7 -0,8 -0,3 2,9 -4,1 -3
6. Italia 5,5 -9,9 -9,5 -6,4 1,4 -2,3 -3,5 2,6 -1 -2,8
7. Kanada -4,2 -1 -5,1 2,3 2,5 2,1 -1,4 -7,6 -8 -8,6
B. Negara-negara berkembang 6,4 30,6 -47,8 -86,4 -63,1 -33,3 -24,3 -40,7 0,3 -17,6
1. Bukan Pengekspor Minyak -45 -65,8 -82,5 -68,2 -43,5 -28 -26,6 -8,6 4,3 5,3
2. Pengekspor Minyak 51,4 96,4 34,8 -18,2 -19,6 -5,4 2,3 -32,1 -3,9 -22,9
3. Indonesia 3) 2,2 2,1 -2,8 -7 -4,2 -2 -1,8 -4,1 -1,7 -1,9
]) Perkiraan
2) Termasuk transfer resmi (official transfer)

+Menurunnya kurs dolar Amerika Serikat terhadap mata uang internasional lainnya
serta masih tingginya tingkat bunga pinjaman, mengakibatkan pula semakin beratnya beban
hutang luar negeri negara-negara berkembang pengimpor modal. Apabila jumlah hutang-hutang
negara berkembang pengimpor modal dalam tahun 1987 berjumlah sebesar US $ 1.155,5 milyar,
maka dalam tahun 1988 jumlah hutang tersebut meningkat menjadi sebesar US $ 1.178,2 milyar.
Demikian pula pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri negara-negara berkembang
dalam periode yang sama diperkirakan mengalami peningkatan dari sebesar US $ 141,4 milyar
menjadi sebesar US $ 156,4 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 182


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu situasi pasaran minyak internasional masih belum menunjukkan


kepastiannya. Harga minyak sejak adanya kesepakatan bulan Desember 1987 mengalami
perkembangan yang menurun dan mencatat tingkat yang paling rendah dalam dua tahun terakhir
ini. Merosotnya harga minyak tersebut terutama disebabkan oleh tidak dipatuhinya kuota
produksi sebesar 15,06 juta barel per hari, seperti yang ditetapkan dalam sidang para Menteri
Perminyakan Negara-negara OPEC yang berlangsung di Wina, Austria dalam bulan Desember
1987, serta tindakan beberapa negara OPEC yang menjual minyaknya dengan potongan harga
dibawah harga patokan OPEC. Selain itu peningkatan produksi minyak negara-negara di luar
OPEC turut pula mempengaruhi penurunan harga minyak bumi. Kekhawatiran akan terus
merosotnya harga minyak membuat negara-negara produsen di luar OPEC memprakarsai
pertemuan negara-negara produsen dan eksportir minyak di luar OPEC di London, lnggris, pada
awal bulan Maret 1988. Dalam pertemuan tersebut telah dicapai kesepakatan tentang perlunya
langkah-langkah pasti untuk menstabilkan harga minyak dan mendukung keputusan OPEC.
Namun pertemuan negara-negara penghasil minyak di luar OPEC tersebut tidak mendukung
pertemuan selanjutnya antara OPEC dan non-OPEC yang berlangsung di Wina dalam bulan
April 1988, dimana pertemuan tersebut tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai berapa
besar produksi OPEC yang perlu diturunkan untuk mengimbangi penurunan ekspor minyak
non-OPEC sebesar 5 persen. Untuk mengatasi berlanjutnya penurunan harga minyak, dalam
Konferensi tingkat Menteri Perminyakan OPEC ke-84 yang berlangsung di Wina, Austria,
dalam bulan Nopember 1988, telah berhasil dicapai kesepakatan tentang pagu produksi baru
sebesar 18,5 juta barel per hari, dan perlunya mempertahankan harga patokan sebesar US $
18,00 per barel untuk semester I tahun 1989.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF)


dan Bank Dunia juga berusaha untuk memperbaiki keadaan ekonomi dunia dan stabilitas
moneter internasional tersebut dialog. Bantuan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia ini
diharapkan akan menjadi katalisator dalam usaha menarik dana ke negara-negara berkembang,
yang pada gilirannya diharapkan akan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang khususnya dan perekonomian dunia pada umumnya. Usaha-usaha IMF antara lain
dilakukan melalui upaya untuk mendorong kestabilan nilai tukar mata uang dunia dan
mendorong negara-negara anggota untuk terus melakukan program penyesuaian yang dikaitkan
dengan bantuan yang diberikan kepada negara yang bersangkutan. Dalam rangka meningkatkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 183


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

bantuan kepada negara anggota, pada tanggal 1 Januari 1988 IMF mulai menawarkan jenis
program bantuan baru yang dikenal dengan enhanced structural adjusment facility (ESAF).
Bantuan ini merupakan perluasan dari structural adjusment facility (SAF) yang telah
dioperasikan sejak tahun 1986. Bantuan dalam rangka ESAF tersebut terutama disediakan untuk
negara -negara anggota yang berpendapatan rendah dan yang berhak untuk mendapatkan
bantuan bersyarat lunak dari International Development Assistance (IDA). Sementara itu
bantuan keuangan Bank Dunia lebih ditujukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi,
terutama di negara-negara berkembang. Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan bantuan
Bank Dunia, negara-negara anggota telah menyetujui kenaikan modal umum dan modal khusus
badan tersebut, masing-masing sebesar US $ 74,8 milyar dan US $ 7 milyar. Dalam rangka
meningkatkan bantuan IDA ke negara-negara berkembang yang tergolong miskin, negara-
negara anggota juga telah menyetujui agar meningkatkan modal IDA sebesar US $ 12,4 milyar,
yang direncanakan untuk pemberian pinjaman sampai dengan tahun 1990. Selain itu negara-
negara anggota telah pula menyetujui kenaikan modal International Finance Corporation (IFC)
sebesar US $ 650 juta untuk lebih meningkatkan aliran modal, terutama ke negara-negara
anggota yang sedang berkembang. Dalam pada itu, untuk lebih merangsang aliran dana investasi
dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, Bank Dunia melakukan upaya dengan
membentuk Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) yang akan memberikan
jaminan kepada penanam modal asing terhadap kemungkinan timbulnya resiko-resiko bukan
komersial alas investasi mereka. Lembaga tersebut telah disahkan untuk mulai beroperasi pada
tanggal 6 Juni 1988.
Usaha-usaha untuk meningkatkan perdagangan dunia dilakukan pula melalui upaya
sejumlah negara berkembang dalam berbagai bentuk kebijaksanaan. Beberapa negara
berkembang mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rates system)
serta mengurangi pembatasan di bidang perdagangan. Di samping itu sejumlah negara
mengganti sistem pembatasan perdagangan dari sistem kuota menjadi sistem tarif. Demikian
pula sistem klasifikasi barang berdasarkan kode CCCN diganti dengan Harmonized System
yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan perdagangan internasional.
Di bidang regional, kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN terus ditingkatkan
terutama di bidang perdagangan, industri, keuangan, dan perbankan. Pada sidang Menteri-
menteri ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers Meeting) ke 20 di Thailand bulan
Oktober 1988, telah disetujui penambahan jumlah mata dagangan yang berhak menerima

Departemen Keuangan Republik Indonesia 184


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

fasiIitas preferential trading arrangement (PIA) guna mengembangkan perdagangan antar negara
ASEAN menjadi 14.462 unit atau bertambah 1.679 unit dari PIA yang berlaku sebelumnya. Dari
seluruh jenis komoditi yang masuk dalam PIA tersebut, 3.261 unit diantaranya berhak
mendapatkan margin of preferences (MOP), yaitu pengurangan bea masuk, sampai sebesar 50
persen atas impor suatu negara ASEAN dari negara-negara ASEAN lainnya, sedangkan sisanya
hanya berhak mendapatkan pengurangan sebesar 25 persen.
Sekalipun telah banyak upaya dan langkah-langkah yang diambil Pemerintah untuk
mengatasi masalah-masalah di bidang ekonomi, namun perekonomian nasional masih harus
berhadapan dengan berbagai tantangan akibat ketidakpastian/arah pembangunan ekonomi dan
moneter internasional yang ada pada waktu ini. Oleh karena itu kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi akan terus dilanjutkan untuk meningkatkan efisiensi nasional guna mendorong
ekspor bukan migas, pertumbuhan ekonomi, serta usaha pemerataan pendapatan.

4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri


Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri dan neraca pernbayaran yang meliputi
kebijaksanaan ekspor, impor, jasa- jasa, dan lalu lintas modal, dalam tahun 1988/1989 ditujukan
untuk meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi tantangan-tantangan
yang diakibatkan oleh perkembangan perekonomian dunia yang belum menentu. Tantangan-
tantangan tersebut antara lain adalah gejolak nilai tukar antar mata uang utama, tingginya
tingkat bunga, turunnya harga minyak bumi, dan tindakan proteksionisme yang berlanjut dari
beberapa negara industri. Kebijaksanaan tersebut pada hakekatnya merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang berintikan pada usaha
peningkatan efisiensi ekonomi, mendorong ekspor bukan migas, mengarahkan impor,
mengembangkan sektor jasa-jasa, dan memanfaatkan modal luar negeri sebaik-baiknya.
4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor
Perkembangan harga minyak bumi di pasar internasional dalam tahun 1988 kembali
mengalami penurunan setelah mengalami sedikit perbaikan dalam tahun sebelumnya. Harga
spot minyak jenis arabian light crude (ALC) yang dalam bulan September 1986 masih sekitar
US $ 11,27 per barel, meningkat menjadi sekitar US $ 16,70 per barel dalam bulan September
1987, namun dalam bulan yang sama tahun 1988 menurun lagi mendekati US $ 11,00 per barel.
Dalam usaha mempertahankan harga patokan sebesar US $ 18,00 per barel yang ditetapkan
dalam sidang OPEC sebelumnya, negara-negara anggota OPEC dalam sidangnya yang ke 82 di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 185


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Wina (Austria) dalam bulan Desember 1987 berhasil menetapkan pagu produksi sebesar 15,06
juta barel per hari dan memperbarui ketentuan kuota bagi negara-negara anggotanya yang
berlaku untuk semester I tahun 1988. Selanjutnya dalam sidang OPEC ke 83 yang juga diadakan
di Wina dalam bulan Juni 1988 telah disepakati untuk memperpanjang berlakunya kuota
produksi tersebut sampai akhir tahun 1988. Nampaknya karena berbagai alasan, keputusan
tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi oleh beberapa negara anggota OPEC, sehingga produksi
minyak OPEC melebihi pagu produksi yang telah ditetapkan, dan hal ini merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan lemahnya harga minyak bumi di pasar dunia.
Dalam usaha memperbaiki harga minyak bumi, menteri perminyakan negara-negara
anggota OPEC dalam sidangnya yang ke 84 di Wina bulan Nopember 1988 telah sepakat untuk
menetapkan pagu produksi yang lebih tinggi, yaitu sebesar 18,5 juta barel per hari untuk
semester I tahun 1989 dan tetap mempertahankan harga patokan sebesar US $ 18,00 per barel.
Dengan penetapan pagu yang lebih tinggi diharapkan negara-negara anggota OPEC dapat
mematuhi kesepakatan tersebut. Walaupun tercapai kesepakatan di antara negara-negara
anggota OPEC, harga minyak bumi di pasar dunia belum menunjukkan perbaikan seperti yang
diharapkan, dan ini merupakan kendala dalam usaha memperbaiki neraca pembayaran Indonesia.
Dengan situasi harga minyak bumi yang tidak menentu tersebut maka penerimaan devisa dari
sektor migas menjadi sangat labil dan ini lebih mendorong perlunya untuk terus meningkatkan
penerimaan devisa dari sektor bukan migas. Peningkatan peranan sektor bukan migas tidak saja
penting untuk mempertahankan neraca pembayaran tetapi juga dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja.

Sebagai kelanjutan dan masih dalam rangkaian kebijaksanaan deregulasi dan


debirokratisasi yang dimulai tahun 1983, maka dikeluarkan paket 24 Desember 1987 yang
mencakup ketentuan di bidang produksi, ekspor, impor, pariwisata, dan penanaman modal. Di
bidang ekspor dilakukan penyederhanaan perizinan, dimana ditentukan bahwa untuk melakukan
ekspor, eksportir tidak lagi diharuskan memiliki angka pengenal ekspor (APE), APE sementara,
dan APE terbatas, tetapi cukup memiliki izin usaha dari Departemen Perdagangan atau
departemen teknis lainnya. Dikecualikan daripada itu adalah ekspor barang-barang tertentu yang
diatur tata niaganya yang hanya dapat dilakukan oleh eksportir terdaftar, dan barang-barang
yang diawasi yang ekspornya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Perdagangan
atau pejabat yang ditunjuk. Di bidang pariwisata diadakan penyederhanaan perizinan untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 186


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

membangun hotel, restoran, wisata bahari/tirta, biro perjalanan, dan obyek wisata, dari sebanyak
33 jenis izin menjadi izin sementara usaha pariwisata (ISUP) dan izin tetap usaha pariwisata
(ITUP). Selanjutnya untuk menunjang ekspor bukan migas, terutama meningkatkan pelayanan
kemudahan ekspor, maka dikeluarkan Keppres No 27 tahun 1988 tanggal 28 Juli 1988 antara
lain mengenai pembentukan Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data
Keuangan. Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 1988 dikeluarkan paket kebijaksanaan dalam
bidang keuangan, moneter, dan perbankan, yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengerahan
dana masyarakat, meningkatkan efisiensi lembaga keuangan dan perbankan, serta lebih
menyehatkan iklim pengembangan pasar modal. Dalam paket tersebut syarat pendirian bank
devisa, bank campuran, pembukaan kantor cabang pembantu bank asing, serta izin usaha
pedagang valuta asing dipermudah sehingga diharapkan dapat lebih mendorong ekspor bukan
migas. Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 kemudian disusul dengan kebijaksanaan 21 Nopember
1988, yang mencakup penyempurnaan tata niaga impor, deregulasi di bidang perdagangan,
industri dan pertanian, pemberian kemudahan pada produksi untuk ekspor, serta deregulasi di
bidang perhubungan laut. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan investasi,
memperlancar distribusi barang-barang, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, yang
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional terutama meningkatkan ekspor
bukan migas, yang pada gilirannya akan memperluas kesempatan kerja.

Di bidang perkreditan, untuk lebih mendorong ekspor bukan migas maka jangkauan
kredit ekspor diperluas meliputi kredit bagi pemasok bahan baku untuk keperluan produksi
barang ekspor, serta diadakan perluasan keringanan persyaratan pemberian kredit ekspor, kredit
investasi untuk produksi barang ekspor, penyediaan jaminan kredit ekspor, dan pemberian kredit
ekspor dengan penyediaan kredit likwiditas dari Bank Indonesia. Demikian pula penanaman
modal asing (PMA) usaha patungan dapat memperoleh fasilitas kredit ekspor .
Sementara itu searah dengan kebijaksanaan pemerintah untuk terus meningkatkan
ekspor barang-barang yang sudah diolah dan sebagai usaha memperbesar nilai tambah serta
memperluas kesempatan kerja, maka terhitung mulai tanggal 1 Juli 1988 ekspor rotan setengah
jadi dilarang. Demikian pula mulai tanggal 20 September 1988 tidak diperbolehkan mengekspor
kayu chips dan kayu gergajian yang bernilai rendah. Di samping langkah-langkah tersebut,
pemerintah terus melakukan bimbingan dan pembinaan kepada eksportir agar dapat melakukan
terobosan pasar dan mengembangkan produk-produk baru, serta meningkatkan kwalitas maupun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 187


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

desain baru. Dalam kaitan ini maka pengiriman misi dagang ke luar negeri, pameran dagang,
dan pendirian pusat-pusat promosi ekspor di luar negeri, terus ditingkatkan.

Dalam pada itu partisipasi dalam kerja sama internasional terus dilanjutkan dan
ditingkatkan, antara lain dalam organisasi kopi internasional (International Coffee Organization,
ICO), masyarakat lada internasional (International Pepper Community, IPC) asosiasi negara-
negara produsen timah (Association of Tin Producing Countries, ATPC), dan asosiasi negara
penghasil karet alam (Association of Natural Rubber Producing Countries, ANRPC) , agar dapat
dicapai harga dan volume perdagangan yang diharapkan. Dalam rangka kerjasama ini maka
dalam sidang ICO di London yang berakhir tanggal 2 Oktober 1988 telah diputuskan kuota kopi
global untuk tahun 1988/1989 sebesar 56 juta karung atau 3,36 juta ton, dimana Indonesia
memperoleh kuota sebesar 5,19 persen yaitu meningkat 0,44 persen dari kuota tahun 1987f 1988
sebesar 4,75 persen. Selanjutnya dalam rangka mengembangkan perdagangan antar negara
anggota ASEAN, maka dalam pertemuan para menteri ekonomi ASEAN yang ke 20 dalam
bulan Oktober 1988 di Thailand, telah disepakati untuk menambah jumlah mata dagangan yang
berhak menerima fasilitas preferential trading arrangement (PTA) dengan 1679 unit dari yang
berlaku sebelumnya, sehingga menjadi 14.462 unit, yang mulai berlaku pada akhir bulan
Oktober 1988. Dari seluruh jenis komoditi yang masuk dalam PT A tersebut, sebanyak 3.261
unit diantaranya berhak atas pengurangan bea masuk sampai 50 persen bagi impor suatu negara
ASEAN dari negara ASEAN lain, sedangkan sisanya berhak atas pengurangan bea masuk
sebesar 25 persen.

4.3.2. Kebijaksanaan di bidang impor

Kebijaksanaan di bidang impor merupakan bagian dari kerangka kebijaksanaan neraca


pembayaran secara keseluruhan. Dengan demikian kebijaksanaan yang sedang dan telah
ditempuh senantiasa diarahkan untuk menunjang pengembangan industri dalam negeri, menjaga
tersedianya barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, mengarahkan penggunaan devisa, dan
menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Sehubungan dengan itu telah diusahakan untuk
sejauh mungkin menggunakan tarif bea masuk untuk melindungi industri dalam negeri, dan
menyempurnakan tata niaga impor atas beberapa jenis bahan baku penolong yang sudah dapat
diproduksi di dalam negeri.

Dalam pada itu untuk lebih menyempurnakan penyederhanaan pengaturan di bidang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 188


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

impor, Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijaksanaan 15 Januari 1987. Dalam


kebijaksanaan ini prosedur impor daripada 300 tarif pos yang meliputi industri-industri tekstil,
besi baja, industri kendaraan bermotor, serta industri mesin dan mesin listrik, telah
disederhanakan. Dari sejumlah itu, 103 tarif pos dibebaskan tata niaganya dan diganti dengan
kebijaksanaan tarif, 142 tarif pos dipindahkan dari sistim tata niaga ke sistim importir terdaftar
atau importir produsen, dan 55 tarif pos lainnya diberikan penurunan atau pembebasan bea
masuk. Di bidang industri tekstil, produsen benang diijinkan mengimpor kapas, di samping
diwajibkan untuk menggunakan kapas dari dalam negeri. Khusus untuk tekstil bermotif batik,
hanya boleh diimpor oleh Persero niaga dan untuk jenis ini dikenakan kuota nol. Peraturan di
bidang industri besi baja antara lain berisikan bahwa PT Krakatau Steel hanya diijinkan
mengimpor 76 tarif pos dari sebanyak 89 tarif pos. Selanjutnya dalam rangka menunjang
pengembangan industri dalam negeri, Pemerintah telah memberikan pembebasan atau
keringanan tarif bea masuk serta pembebasan dari pengaturan tata niaga sebelumnya, atas
barang-barang tertentu yang masih harus diimpor. Kemudahan juga diberikan kepada
perusahaan-perusahaan industri strategis tertentu, yaitu dalam hal perusahaan akan mengimpor
barang-barang berupa mesin, peralatan, komponen, dan bahan penolong lain yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan produksinya, perusahaan tersebut diijinkan mengimpor sendiri
secara langsung tanpa melalui jasa importir atau pihak ketiga lainnya. Demikian pula untuk
menunjang pengembangan industri perakitan di dalam negeri, diberikan pembebasan bea masuk
atas pemasukan beberapa jenis barang tertentu dalam keadaan terbongkar sama sekali (CKD),
bagian dan perlengkapan, serta bahan baku untuk tujuan perakitan kendaraan bermotor.
Sebagai bagian daripada rangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, dalam
bulan Desember telah dikeluarkan paket kebijaksanaan 24 Desember 1987, yang antara lain
menyangkut pengaturan impor. Untuk memberi kemudahan bagi pembangunan Industri,
sejumlah barang yang termasuk dalam 65 tarif pos diturunkan bea masuknya, sedangkan dalam
rangka perlindungan industri dalam negeri, sebanyak 91 komoditi industri dinaikkan bea
masuknya. Selain daripada itu sebanyak 111 tarif pos dibebaskan dari tata niaga, jumlah agen
diperkecil dari sebanyak 278 menjadi 70 agen tunggal, serta diberikan kemudahan untuk
mendorong perkembangan industri barang-barang perhiasan dan permata. Dalam paket ini juga
diberikan fasilitas untuk impor peti kemas, fasilitas untuk pemasukan barang contoh,
penibentukan terminal peti kemas di pedalaman, ketentuan mengenai barang ekspor yang
dimasukkan kembali ke Indonesia, serta ketentuan lebih lanjut tentang kawasan berikat.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 189


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu untuk lebih mendorong investasi, telah dikeluarkan ketentuan mengenai
pemilikan saham nasional dalam PMA dan dimungkinkannya pendirian kantor perwakilan
perusahaan asing di wilayah Indonesia.
Selanjutnya untuk memberikan kelonggaran bagi produsen agar dapat mengimpor
barang dan bahan baku tanpa dikenakan ketentuan tata niaga, telah dilakukan penyempurnaan
berupa penurunan persentase jumlah produksi barang untuk diekspor dari 85 persen menjadi 65
persen, kecuali untuk pakaian jadi yang masih diberlakukan ketentuan lama yaitu 85 persen.
Sedangkan khusus perusahaan bukan PMA/PMDN yang memproduksi barang kurang dari 65
persen untuk diekspor, dapat mengimpor rnesin dan peralatan pabrik dengan kemudahan tata
niaga, termasuk barang-barang yang tercantum dalam daftar negatif yang dikeluarkan oleh
instansi yang terkait. Tindakan deregulasi lainnya menyangkut pembebasan dari pengaturan tata
niaga terhadap beberapa barang tertentu, meliputi 28 jenis barang dari kelompok makanan,
minuman, dan buah-buahan, serta 154 barang dari 7 kelompok industri. Barang-barang dari
kelompok industri tersebut terdiri dari 61 barang dari kelompok industri logam, 59 barang dari
kelompok industri alat-alat berat, 22 barang dari kelompok kendaraan bermotor, dan 12 barang
dari 4 kelompok industri lainnya. Khusus untuk kelompok industri kendaraan bermotor, 13
barang diantaranya dilarang untuk diimpor dalam keadaan terpasang (CBU). Sementara itu
pengkaitan impor dengan pembelian kapas dalam negeri telah ditunda pelaksanaannya sampai
ada ketentuan lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena pemasaran kapas produksi dalam negeri
sudah lancar, di samping untuk meningkatkan efisiensi industri tekstil pada umumnya dan
industri pemintalan pada khususnya.
Di bidang perpajakan, untuk meningkatkan daya saing ekspor bukan minyak dan gas,
Pemerintah memperluas pembebasan bea masuk dan bea masuk tambahan, serta
menangguhkan/mengembalikan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang
mewah (PPnBM) atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan berikat serta
barang contoh. Fasilitas ini berlaku juga bagi perusahaan bukan PMA/PMDN yang hanya
mengekspor sebagian hasil produksinya. Selain dari pada itujuga telah diperluas jenis barang-
barang impor yang PPN nya ditanggung Pemerintah, seperti makanan ternak/unggas, kertas
koran, dan peralatan untuk transfusi darah. Dalam pada itu untuk memperlancar kegiatan
perekonomian, impor peti kemas tidak dipungut PPN impor, sedang impor peti kemas bekas
dibebaskan dari prosedur pabean.
Dalam pada itu mengingat bahwa sistem klasifikasi barang berdasarkan CCCN yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 190


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dipakai sekarang ini sudah tidak memadai lagi dengan adanya perkembangan perdagangan
internasional yang cepat selama dekade terakhir ini, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari
1989 Pemerintah akan menerapkan sistem baru yaitu Harmonized System, yang dipandang lebih
sesuai dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Harmonized System adalah suatu sistem
klasifikasi barang secara sistimatis, baik untuk kepentingan pabean, statistik, maupun
transportasi. Penerapan Harmonized System ini akan memberikan keseragaman secara
internasional dalam penggolongan barang untuk kepentingan tarif bea dan cukai, serta tarif
angkutan, di samping mempermudah penyusunan analisa dan membuat perbandingan statistik
perdagangan dunia secara luas dan terpadu. Selanjutnya dengan penerapan sistem ini
dimungkinkan perumusan kebijaksanaan Pemerintah, baik menyangkut tarif maupun tata niaga
secara lebih cepat. Demikian pula importir maupun produsen dalam negeri dapat lebih mudah
menemukan klasifikasi barang maupun pembebanan impor serta pengaturan lainnya yang
berlaku terhadap produk yang diimpor. Mengingat bahwa negara mitra dagang utama Indonesia
sudah menggunakan Harmonized System, maka penerapan sistem tersebut oleh Indonesia akan
sangat menunjang ekspor bukan migas, karena para eksportir akan lebih mudah mengetahui
beban dan hambatan yang akan dihadapi di negara pengimpor dan fasilitas yang dapat
dimanfaatkan. Secara keseluruhan sistem ini mempermudah kerjasama dengan negara-negara
lain terutama dalam bidang perdagangan internasional, baik bilateral, regional maupun
internasional.
Sementara itu dalam rangka memperluas kerjasama perdagangan diantara negara-
negara ASEAN, Pemerintah pada tanggal 18 Oktober 1988 telah menambah jenis barang yang
memperoleh keringanan bea masuk. Adapun besarnya keringanan bea masuk yang diberikan
bervariasi tergantung jenis barangnya, yaitu sekitar 25 sampai 50 persen dari tarif akhir. Jumlah
barang yang mendapatkan keringanan bea masuk adalah sebanyak 2.745 jenis. Dari jumlah
tersebut 1.872 jenis barang diberikan keringanan 25 persen, 515 jenis barang diberikan
keringanan 30 persen, 356 jenis barang diberikan keringanan 50 persen, sedangkan untuk ragi
alam aktif dan sarung tangan karet bedah diberikan keringanan 35 persen. Keringanan bea
masuk tersebut sudah mencakup pemberian keringanan bea masuk sebesar 50 persen dari tarif
akhir terhadap produk-produk ASEAN Industrial Complementation yang diimpor dalam rangka
ASEAN PTA'S.
Sebagai pelengkap paket kebijaksanaan deregulasi di bidang impor yang telah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 191


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

ditetapkan sebelumnya, dan dalam rangka untuk semakin meningkatkan efisiensi perekonomian
nasional, dalam bulan November 1988 Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijaksanaan
baru. Paket kebijaksanaan ini menyangkut penyempurnaan tata niaga impor, perubahan tarif bea
masuk, dan kelonggaran perijinan. Di bidang tata niaga impor, salah satu pokok di dalam
kebijaksanaan tersebut adalah pengaturan impor sebagai perlindungan bukan tarif yang
digantikan dengan perlindungan melalui penetapan tarif bea masuk dan bea masuk tambahan.
Kelompok barang-barang impor yang diubah pengaturannya tersebut adalah sebanyak 318 tarif
pos, yang meliputi kelompok barang industri kimia sebanyak 82 tarif pos, diantaranya 33 tarif
pos berupa berbagai jenis plastik, kelompok barang industri logam sebanyak 30 tarif pos,
kelompok barang industri makanan dan minuman sebanyak 50 tarif pos, kelompok barang
industri tekstil sebanyak 110 tarif pos, serta kelompok hasil-hasil pertanian dan produk industri
pengolahan hasil pertanian sebanyak 46 tarif pos. Dari sebanyak 318 tarif pos tersebut, sejumlah
301 tarif pos dibebaskan dari tata niaga impor. Selanjutnya dalam rangka memberikan
perlindungan yang wajar bagi produsen dalam negeri untuk menekan biaya-biaya impor bahan
baku/penolong, maka bea masuk/bea masuk tambahan daripada 180 tarif pos telah diubah, yaitu
penurunan tarif efektif terhadap 86 tarif pos, perubahan dari tarif spesifik menjadi tarif ad
valorem terhadap 22 tarif pos, dan peningkatan tarif bea masuk, karena adanya perubahan dari
perlindungan bukan tarif menjadi perlindungan berdasarkan tarif terhadap 72 tarif pos.
Di bidang perijinan, angka pengenal impor (API) telah disempurnakan, yaitu yang
sebelumnya hanya berlaku untuk 5 tahun dan hanya dapat digunakan untuk melakukan impor
dari kota domisili perusahaan, sekarang berlaku sepanjang perusahaan masih melakukan usaha
sebagai importir dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Demikian juga dengan angka
pengenal impor terbatas (APIT) yang dimiliki perusahaan dalam rangka PMA maupun PMDN,
berlaku sepanjang perusahaan masih melakukan usaha sebagai produsen. Dalam pada itu untuk
menggairahkan kegiatan berusaha bagi importir umum (tU), Pemerintah melakukan seleksi
lebih lanjut supaya status importir umum tersebut dapat menjadi importir umum plus (IU+).
Yang dimaksudkan dengan importir umum plus adalah importir yang dengan bonafide dapat
mengimpor semua barang di luar yang ditata niagakan. Importir dipandang bonafide bila
memiliki angka pengenal impor, merupakan pembayar pajak yang baik, dan tidak melanggar
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 192


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

4.4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1988/1989


Perkembangan ekonomi Indonesia, khususnya neraca pembayaran, dalam tahun
1988/1989 masih dihadapkan dengan berbagai tantangan yang cukup berat berupa per-
kembangan perekonomian dunia yang belum menentu, tindakan proteksionisme dari negara-
negara industri yang terus berlanjut, belum stabilnya nilai tukar antar mata uang utama, serta
harga minyak bumi yang menurun. Menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah terus me-
lanjutkan dan menyempurnakan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dimulai
sejak beberapa tahun yang lampau, untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mendorong
ekspor bukan migas, memelihara kesinambungan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
serta meningkatkan kesempatan kerja. Kebijaksanaan tersebut telah memberikan hasil yang
cukup menggembirakan, yang antara lain terlihat dari perkembangan neraca pembayaran yang
masih memadai, walaupun penerimaan devisa dari sektor migas menurun. Realisasi nilai ekspor
dalam tahun 1988/1989 diperkirakan berjumlah US $ 18.703 juta, sedangkan pengeluaran
devisa untuk impor dan jasa-jasa masing-masing sebesar US $ 13.799 juta dan US $ 6.845 juta.
Dengan demikian transaksi berjalan mengalami defisit sebesar US $ 1.941 juta, yaitu sedikit
lebih tinggi dibandingkan keadaan transaksi berjalan dalam tahun 1987/1988 yang mengalami
defisit sebesar US $ 1.707 juta. Sementara itu di bidang lalu lintas modal diperkirakan terdapat
pemasukan modal netto sebesar US $ 2.238 juta. Selanjutnya dengan adanya selisih yang belum
dapat diperhitungkan yang diperkirakan sebesar negatif US $ 473 juta, maka secara keseluruhan
neraca pembayaran dalam tahun 1988/1989 mengalami defisit sebesar US $ 176 juta.
Perkembangan neraca pembayaran sejak awal Pelita I hingga tahun 1988/1989 secara terinci
dapat diikuti dalam Tabel IV.5.

4.4.1. Ekspor

Perkembangan harga minyak bumi di pasaran internasional dalam tahun 1988 yang
kurang mantap, sebagai akibat kelebihan produksi diatas permintaan, telah mempengaruhi
penerimaan devisa dari sektor migas. Realisasi nilai ekspor migas dalam tahun 1988/1989
diperkirakan berjumlah US $ 7.4 78 juta, yang berarti 15,4 persen lebih rendah bila
dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya sebesar US $ 8.841 juta. Sebaliknya
dengan menguatnya harga barang ekspor tertentu di pasaran internasional dan dampak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 193


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kebijaksanaaan deregulasi dan debirokratisasi yang positif, maka nilai ekspor bukan migas
meningkat cukup berarti, sehingga mencapai US $ 11.225 juta, atau 18,1 persen lebih tinggi bila
dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar US $ 9.502 juta. Dengan demikian
secara keseluruhan nilai ekspor tahun 1988/1989 berjumlah sebesar US $ 18.703 juta, atau
mengalami kenaikan 2,0 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar US $ 18.343
juta. Perkembangan tersebut mengakibatkan pangsa nilai ekspor bukan migas terhadap nilai
ekspor total dalam tahun 1988/1989 meningkat menjadi sebesar 60,0 persen, dari sebesar 51,8
persen dalam tahun 1987/1988.
Sementara itu realisasi nilai ekspor minyak bumi dan gas alam dalam periode April -
Agustus 1988 menunjukkan jumlah US $ 3.512,0 juta, sedangkan dalam periode yang sama
tahun sebelumnya berjumlah US $ 3.798,5 juta, yang berarti menurun sebesar 7,5 persen.
Penurunan tersebut disebabkan oleh berkurangnya nilai ekspor minyak bumi sebesar 16,1 persen,
sedangkan nilai ekspor gas alam sebaliknya mengalami peningkatan 17,4 persen, yang terutama
disebabkan oleh kenaikan dalam volume ekspornya. Realisasi nilai ekspor minyak bumi dan gas
alam sejak awal Pelita I hingga tahun 1988/1989 dapat diikuti dalam Tabel IV.G.

Dalam pada itu realisasi nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam mengalami
kenaikan yang pesat. Kalau dalam periode April-Agustus 1987 nilai ekspornya berjumlah US $
3.382,2 juta, maka dalam periode yang sama tahun 1988 mencapai jumlah sebesar US $ 4.705,6
juta, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 39,1 persen. Peningkatan yang cukup besar
tersebut disebabkan oleh kenaikan nilai ekspor hasil industri sebesar 44,4 persen, nilai ekspor
hasil pertanian sebesar 19,0 persen, dan nilai hasil tambang sebesar 43,5 persen.
Realisasi nilai ekspor hasil pertanian dalam periode April - Agustus 1988 berjumlah US
$ 832,5 juta, yang berarti US $ 132,8 juta lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi ekspor
dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US $ 699,7 juta. Kenaikan tersebut

Departemen Keuangan Republik Indonesia 194


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.5
NERACA PEMBAYARAN, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam juta US $ )
persentase persentase persentase persentase
1969/1970 1970/1971 perubahan 1971/1972 perubahan 1972/1973 perubahan 1973/1974 perubahan
I. Barang-batang daD jasa-jasa
1. Ekspor, fob + 1.044 + 1.204 + 15,3 + 1.374 + 14,1 + 1.939 + 41,1 + 3.613 + 86,3
minyak bumi dan gas alain + 384 + 443 + 15,4 + 590 + 33,2 + 965 + 63,6 + 1.708 + 77
bukan minyak bumi dan gas alam + 660 + 761 + 15,3 + 784 + 3 + 974 + 24,2 + 1.905 + 95,6
2. Impor fob - 1.097 - 1.102 + 0,5 - 1.248 + 13,2 - 1.651 + 32,3 - 3.074 + 86,2
minyak bumi dan gas alam 88 - 94 + 6,8 132 + 40,4 159 + 20,5 461 + 189,9
bukan minyak bumi dan gas alam - 1.009 - 1.008 - 0,1 - 1.116 + 10,7 - 1.492 + 33,7 - 2.613 + 75,1
3. Jasa-jasa 448 - 490 + 9,4 574 + 17,1 845 + 47,2 - 1.295 + 53,3
minyak bumi dan gas alam - 204 - 214 + 4,9 - 254 + 18,7 407 + 60,2 606 + 48,9
bukan minyak bumi dan gas alam 244 276 + 13,1 320 + 15,9 - 438 + 36,9 - 689 + 57,3
4. Transaksi berjalan 501 - 388 - 22,6 448 + 15,5 557 + 24,3 - 756 + 35,7
minyak bumi dan gas alam + 92 + 135 + 46,7 + 204 + 51,1 + 399 + 95,6 + 641 + 60,7
bukan minyak bumi dan gas alam 593 523 11,8 652 + 24,7 956 + 46,6 - 1.397 + 46,1
II. S D Rs + 35 + 28 - 20 + 30 + 7,1 - - -
III. Pemasnkan modal Pemerintah + 371 + 369 - 0,5 + 400 + 8,4 + 481 + 20,3 + 643 + 33,7
1. Bantuan program + 308 + 283 8,1 + 286 + 1,1 + 336 + 17,5 + 281 - 16,4
2. Bantuan proyek dan lain-lain + 63 + 86 + 36,5 + 114 + 32,6 + 145 + 27,2 + 362 + 149,7
IV. LaIn Hntas modallainnya + 27 + 115 + 325,9 + 190 + 65,2 + 480 + 152,6 + 549 + 14,4
V. Pembayaran huffing pokok - 31 - 47 + 51,6 - 78 + 66 66 15,4 - 81 + 22,7
VI. Jumlah I sId V - 99 + 77 + 94 + 338 + 355
VII. Selisih yang belum dapat diperhitungkan + 56 - 95 + 6 + 87 + 5
VIII. Lalu Hntas moneter + 43 + 18 - 100 - 425 360

Tabel IV.5 ( lanjutan )


persimtase persentase persentase persentase persentase
1973/1974 1974/1975 perubahan 1975/1976 perubahan 1976/1977 perubahan 1977/1978 perubahan 1978/1979 perubahan
I. Barang-barang daD jasa-jasa
1. Ekspor, fob + 3.613 + 7.186 + 98,9 + 7.146 0,6 + 9.213 + 28,9 + 10.860 + 17,9 + 11.353 + 4,5
minyak bumi daD gas alam + 1.708 + 5.153 + 201,7 + 5.273 + 2,3 + 6.350 + 20,4 + 7.353 + 15,8 + 7374 + 0,3
bukan minyak bumi daD gas alam + 1.905 + 2.033 + 6,7 + 1.873 - 7,9 + 2.863 + 52,9 + 3.507 + 22,5 + 3.979 + 13,5
2. Impor, fob - 3.074 - 5.097 + 65,8 - 5.409 + 6,1 - 7.173 + 32,6 7.866 + 9,7 8.443 + 7,3
minyak bumi daD gas alam - 461 - 1.275 + 176,6 930 27,1 - 1.753 + 88,5 1.490 15 1.711 + 14,8
bukan minyak bumi daD gas alam - - 2.613 - 3.822 + 46,3 - 4.479 + 17,2 - 5.420 + 21 - 6.376 + 17,6 6.732 + 5,6
3. Jasa-jasa - 1.295 - 2.227 + 72 - 2.591 + 16,3 - 2.842 + 9,7 - 3.684 + 29,6 4.065 + 10,3
minyak bumi daD gas alam 606 - 1.240 + 104,6 - 1.205 2,8 887 26,4 - 1.418 + 59,9 1.653 + 16,6
bukan minyak bumi daD gas alam - - 689 987 + 43,3 - 1.386 + 40,4 - 1. 955 + 41,1 2.266 + 15,9 2.412 + 6,4
4. Transaksi berjalan 756 - 138 81,7 - 854 + 518,8 802 - 6,1 690 - 14 1.155 + 67,4
minyak bumi daD gas alam + 641 + 2.638 + 311,5 + 3.138 + 19 + 3.710 + 18,2 + 4.445 + 19,8 + 4.010 9,8
bukan minyak bumi daD gas alam - - 1.397 - 2.776 + 98,7 - 3.992 + 43,8 - 4.512 + 13 5.135 + 13,8 5.165 + 0,6
II. S D Rs - - - - - - - + 64 -
III. Pemasukan modal Pemeriutah + 643 + 660 + 2,6 + 1.995 + 202,3 + 1.823 8,6 + 2.106 + 15,5 + 2.208 + 4,8
1. Hantuan program + 281 + 180 35,9 + 74 58,9 + 147 + 98,6 + 157 + 6,8 + 94 - 40,1
2. Hantuan proyek dan lain-lain + 362 + 480 + 32,6 + 1.921 + 300,2 + 1.676 12,8 + 1.949 + 16,3 + 2.114 + 8,5
IV. Lalu !intas modal laiunya + 549 131 - 123,9 - 1.075 + 720,6 + 38 + + 176 + 363,2 + 392 + 122,7
V. Pembayarau hutang pokok - 81 - 89 + 9,9 - 77 - 13,5 - . 166 + 115,6 761 + 358,4 632 - 17
VI. Jumlah I sid V + 355 + 302 11 + 893 + 831 + 877
VII. Se!isih yang belum dapat
diperhitungkan + 5 - 311 - 353 + 108 - 180 - 169
VIII. Lalu !iotas moneter - 360 + 9 + 364 - 1.001 - 651 - 708

Tabel
1978/1979 1979/1980rsenlase 1980/1981 persenlase 198111982 persenlase 198211983 persenlase 1983/1984 persenlase
pernbahan pernbahan pernbahan pernbahan pernbahan
I. Barang-barang daD jasa-jasa
1. Ekspor, fob + 11.353 + 18.511 + 63 + 22.885 + 23,6 + 22.994 + 0,5 + 18.672 - 18,8 + 19.816 + 6,1
minyak bumi daD gas alam + 7.374 + 12.340 + 67,3 + 17.298 + 40,2 + 18.824 + 8,8 + 14.744 - 21,7 + 14.449 - 2
bukan minyak bumi daD gas alam + 3.979 + 6.171 + 55,1 + 5.587 9,5 + 4.170 25,4 + 3.928 - 5,8 + 5.367 + 36,6
2. Impor, fob - 8.443 - 10.722 + 27 - 14.242 + 32,8 - 17.911 + 25,8 - 18.496 + 3,3 - 16.304 - lU
minyak bumi daD gas alam - 1.711 - 2.672 + 56,2 - 3.681 + 37,8 - 4.916 + 33,6 - 4.365 11,2 - 3.489 - 20,1
bukan minyak bumi daD gas alam - 6.732 - 8.050 + 19,6 - 10.561 + 31,2 - 12.995 + 23 -14.131 + 8,7 - 12.815 - 9,3
3. Jasa-jasa - 4.065 - 5.591 + 37,5 - 6.512 + 16,5 - 7.8'13 + 20,9 - 7.215 - 8,4 7.663 + 6,2
minyak bumi daD gas alam - 1.653 - 2.693 + 62,9 3.016 + 12 - 4.147 + 37,5 - 3.213 22,5 - 3.589 + 11,7
bukan minyak bumi daD gas alam - 2.412 - 2.898 + 20,1 3.496 + 20,6 3.726 + 6,6 - 4.002 + 7,4 - 4.074 + 1,8
4. Transaksi berjalan 1.155 + 2.198 + 290,3 + 2.131 - 3 - 2.790 - 230,9 7.039 + 152,3 - 4.151 41
minyak bumi daD gas alam + 4.010 + 6.975 + 73,9 + 10.601 + 52 + 9.761 - 7,9 + 7.166 - 26,6 + 7.371 + 2,9
bukan minyak bumi daD gas alam - 5.165 - 4.777 - 7,5 - 8.470 + 77,3 - 12.551 + 48,2 - 14.205 + 13,2 - 11.522 - 18,9
II. SDRs + 64 + 65 + 1,6 + 62 - 4,6 - - - - - -
III. Pemasukan modal Pemerinlah + 2.208 + 2.690 + 21,8 + 2.684 - 0,2 + 3.521 + 31,2 + 5.011 + 42,3 + 5.793 + 15,6
1. Bantuan program + 94 + 239 + 154,3 + 118 - 50,6 + 50 57,6 + 21 - 58 + 84 + 300
2. Bantuan proyek daD lain-lain + 2.114 + 2.451 + 15,9 + 2.566 + 4,7 + 3.471 + 35,3 + 4.990 + 43,8 + 5.709 + 14,4
IV. Lalu Hnlas modallainnya + 392 - 1.318 -436,2 - 361 -72,6 + 1.140 + 415,8 + 1.795 + 57,5 + 1.191 - 33,6
V. Pembayaran hutang pokok - 632 - 692 + 9,5 - 615 - 11,1 - 809 + 31,5 - 926 + 14,5 - 1.010 + 9,1
VI. Jumlah I sid V + 877 + 2.943 + 3.901 + 1.062 - 1.159 + 1.823
VII. SeHsih yang belum dapat
diperhitungkan - 169 - 1.253 - 1.165 - 2.050 - 2.121 + 247
VIII. Lalu Hntas moneter - 708 - 1.690 - 2.736 + 988 + 3.280 - 2.070

Departemen Keuangan Republik Indonesia 195


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.6
NILAI EKSPOR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1969/1970 - 1988/1989
( dalam jutaUS $)
Minyak persentase
Tahun bumi Gas alam Jumlah perubahan
-1 -2 -3 (4) = (2+3) -5
1969/1970 384 - 384
1970/1971 443 - 443 + 15,4
1971/1972 590 - 590 + 33,2
1972/1973 965 - 965 + 63,6
1973/1974 1.708 - '1.708 + 77
1974/1975 5.153 - 5.153 201,7
1975/1976 5.273 - 5.273 + 2,3
1976/1977 6.350 - 6.350 + 20,4
1977/1978 7.191 162 7.353 + 15,8
1978/1979 6.858 516 7.374 + 0,3
1979/1980 10.995 1.345 12.340 + 67,3
1980/1981 15.187 2.111 17.298 + 40,2
1981/1982 16.482 2.342 18.824 + 8,8
1982/1983 12.283 2.461 14.744 - 21,7
1983/1984 12.050 2.399 14.449 - 2
1984/1985 10.625 3.369 13.994 - 3,1
1985/1986 8.816 3.621 12.437 - 11,1
1986/1987 4.798 2.168 6.966 - 44
1987/1988 6.159 2.682 8.841 + 26,9
1988/1989 1)
(April - Agustus) 2.370 1.142 3.512

didukung oleh meningkatnya nilai ekspor dari sebagian besar komoditi hasil pertanian, kecuali
beberapa komoditi yang nilainya menurun. Sebagai salah satu penghasil devisa yang potensial,
nilai ekspor udang dalam periode April-Agustus 1988 mencapai US $ 214,9 juta, dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang baru berjumlah US $ 156,4 juta.
Perkembangan tersebut berarti menunjukkan peningkatan sebesar 37,4 persen. Kenaikan nilai
ekspor udang yang cukup tinggi dimungkinkan terutama oleh keberhasilan budi daya udang
tambak sehingga volume ekspor udang meningkat. Ekspor kopi yang merupakan penghasil
devisa utama dari hasil pertanian, nilai ekspornya dalam periode April-Agustus 1988 meningkat
sebesar 13,9 persen bila dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga mencapai jumlah
US $ 272,8 juta. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor kopi,
walaupun harganya belum mantap sebagai dampak kenaikan produksi kopi Brazil yaitu sebagai
produsen kopi utama di dunia. Sementara itu dengan berkurangnya penawaran teh di pasar dunia
oleh negara produsen teh utama India, yaitu sebagai akibat kenaikan konsumsi teh dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 196


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

negerinya, telah mempengaruhi harga teh di pasar dunia sehingga nilai ekspor teh meningkat
dari sebesar US $ 43,0 juta dalam bulan April-Agustus 1987 menjadi US $ 50,5 juta dalam
periode yang sama tahun 1988. Selanjutnya peningkatan yang cukup besar juga terdapat pada
ekspor karet yaitu sebesar 37,0 persen, lada hitam sebesar 10,0 persen, biji coklat sebesar 2,6
persen, gaplek (manioc) sebesar 135,8 persen, ikan tuna dan lainnya sebesar 64,0 persen, dan
ubur-ubur kerang lainnya sebesar 47,1 persen. Dipihak lain beberapa komoditi seperti lada putih,
dan tembakau, nilai ekspornya mengalami penurunan, masing-masing sebesar 1,1 persen dan
35,6 persen.

Dalam pada itu ekspor hasil industri, yang merupakan harapan dan tumpuan utama
dalam usaha meningkatkan ekspor bukan migas, berkembang lebih menggembirakan. Di
samping nilai ekspornya meningkat dengan pesat, juga basis ekspornya makin meluas dan
macam barang yang diekspor bertambah banyak sehingga perkembangan ekspornya diharapkan
semakin mantap. Kalau dalam periode April-Agustus 1987 nilai ekspor hasil industri berjumlah
US $ 2.587,7 juta, maka dalam periode yang sama tahun 1988 telah mencapai US $ 3.736,5 juta,
yang berarti mengalami kenaikan 44,4 persen. Ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi untuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi telah dapat meningkatkan daya
saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, di samping adanya perubahan kurs antar valuta
asing serta devaluasi rupiah dalam tahun 1986. Dengan kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi maka alokasi sumber-sumber ekonomi akan menjadi lebih baik dan harga barang
akan lebih kompetitif. Hal ini selanjutnya dapat menumbuhkan iklim usaha yang lebih baik
untuk investasi, meningkatkan efisiensi maupun penemuan - penemuan baru, yang selanjutnya
dapat meningkatkan daya saing barang ekspor bukan migas di pasar internasional. Dilihat dari
perkembangan ekspor per jenis barang, nampak bahwa ekspor kayu tetap memegang peranan
utama dengan nilai sebesar US $ 1.136,5 juta, yang berarti mencakup 30,4 persen dari
penerimaan devisa ekspor hasil industri. Jumlah tersebut adalah 23,8 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan realisasi nilai ekspor kayu dalam periode yang sama tahun sebelumnya
yang berjumlah US $ 918,2 juta. Nilai ekspor tersebut terdiri dari ekspor kayu lapis sebesar US
$ 830,6 juta, kayu gergajian sebesar US $ 225,9 juta, dan kayu olahan lainnya sebesar US $ 80,0
juta. Sementara itu peningkatan yang cukup pesat juga terdapat pada ekspor hasil industri tekstil
seperti pakaian jadi yang nilai ekspornya meningkat 30,2 persen, kain tenun meningkat dengan
53,1 persen, dan tekstil lainnya meningkat dengan 50,7 persen, sehingga nilainya masing-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 197


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

masing menjadi US $ 313,9 juta, US $ 199,2juta, dan US $ 71,0 juta.


Prospek yang cukup cerah juga dialami oleh barang-barang yang banyak menyerap
tenaga kerja dan mencakup barang hasil kerajinan tradisional, seperti barang anyaman, meubel,
serta kulit dan barang dari kulit, yang nilai ekspornya meningkat masing-masing 74,3 persen,
142,2 persen, dan 49,3 persen. Selanjutnya perkembangan menggembirakan juga dialami oleh
ekspor hasil industri timah, aluminium, karet olahan, bungkil kopra, minyak atsiri, minyak
kelapa sawit, semen, stearin, alat-alat listrik, pupuk urea, kertas dan barang dari kertas, serta
kaca dan barang dari kaca, dimana nilai ekspornya meningkat antara 6,3 persen dan 262,3
persen. Sebaliknya nilai ekspor rotan dan bahan kimia mengalami penurunan, masing-masing
sebesar 67,4 persen dan 20,8 persen, yang terutama disebabkan oleh penurunan dalam volume
ekspornya. Turunnya nilai ekspor rotan berkaitan dengan dilarangnya ekspor rotan mentah dan
rotan setengah jadi guna meningkatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri. Sementara itu
membaiknya harga barang tambang di luar migas di pasar dunia telah menyebabkan nilai ekspor
hasil tambang di luar migas dalam periode April-Agustus 1988 mencapai US $ 132,2 juta, yang
berarti 43,5 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai ekspor dalam periode yang sama
tahun sebelumnya sebesar US $ 92, 1 juta. Kenaikan tersebut didukung oleh meningkatnya nilai
ekspor bijih tembaga sebesar 39,9 persen, bijih nikel sebesar 95,7 persen, bijih timah sebesar
211,1 persen, batubara sebesar 77,2 persen, dan hasil tambang lainnya sebesar 6,8 persen.
Sebaliknya nilai ekspor bauksit mengalami penurunan sebesar 9,4 persen, yang disebabkan oleh
penurunan di dalam volume ekspomya. Perkembangan realisasi ekspor bukan minyak dan gas
yang lebih terinci dapat diikuti dalam Tabel IV.7.

Ditinjau dari negara tujuan, Amerika Serikat dan Jepang tetap merupakan pembeli
utama barang ekspor Indonesia selama periode April-Agustus 1988, dengan jumlah masing--
masing sebesar US $ 1.377 juta dan US $ 3.402 juta, atau 16,8 persen dan 41,4 persen dari total
nilai ekspor dalam periode tersebut. Sementara itu ekspor ke negara-negara ASEAN berjumlah
sebesar US $ 881 juta atau 10,7 persen dari keseluruhan ekspor. Diantara negara-negara
ASEAN, Singapura menempati urutan pertama dengan nilai sebesar US $ 714 juta, yang
kemudian disusul dengan Malaysia sebesar US $ 79 juta, Muangthai sebesar US $ 61 juta,
Philipina sebesar US $ 25 juta, dan Brunei Darussalam sebesar US $ 2 juta. Perkembangan
ekspor menurut negara tujuan yang lebih terinci dapat diikuti dalam Tabel IV.8.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 198


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

4.4.2. Impor
Realisasi nilai impor secara keseluruhan dalam tahun 1988/1989 diperkirakan berjumlah
US $ 13.799 juta. Dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 1987/1988 yang berjumlah
US $ 12.952 juta, berarti terjadi peningkatan sebesar US $ 847 juta (6,5 persen). Dari jumlah
nilai impor tahun 1988/1989 tersebut, nilai impor minyak bumi dan gas alam (migas)
diperkirakan sebesar US $ 2.144 juta, yang berarti US $ 211 juta lebih rendah dari realisasinya
dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah US $ 2.355 juta. Sementara itu
perkiraan realisasi impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1988/1989 berjumlah
sebesar US $ 11.655 juta, atau menunjukkan peningkatan sebesar US $ 1.058 juta (10,0 persen)
dibandingkan dengan realisasinya sebesar US $ 10.597 juta dalam tahun 1987/1988.
Rangkaian kebijaksanaan di bidang impor yang telah dilaksanakan dalam tahun
1987/1988, telah mempengaruhi perkembangan impor bukan migas. Realisasi impor bukan
migas dalam periode April-Agustus 1988 berjumlah sebesar US $ 5.013,1 juta, yang berarti
suatu kenaikan sebesar US $ 379,0 juta (8,2 persen) dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya yang berjumlah US $ 4.634,1 juta. Peningkatan ini terjadi baik pada impor
barang konsumsi, bahan baku/penolong, maupun barang modal. Realisasi impor barang
konsumsi dalam periode April-Agustus 1988 berjumlah sebesar US $ 287,2 juta, atau terdapat
peningkatan sebesar US $ 61,7 juta (27,4 persen) dibandingkan dengan realisasinya dalam
periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US $ 225,5 juta. Peningkatan nilai impor dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 199


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel IV.7
NILAI EKSPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1969/1970 - 1988/1989
( dalam juta US $ )
persentase persentase persentase persentase
Jenis barang 1969/1970 1970/1971 pernbaban 1971/1972 pernbahan 197211973 pernbahan 1973/1974 pernbahan
I.' Hasil-hasil pertanian 186,9 302,7 + 62 405,8 + 34,1 576,4 + 42 933,8 + 62
1. Getah karet 11,7 12 + 2,6 12.5 + 4,2 14,7 + 17,6 20,2 + 37,4
2. K 0 p i 62,1 65,8 + 6 60,8 7,6 77,3 + 27,1 82,8 + 7,1
3. Udang (segar/beku) 1,7 6,8 + 300 18,4 + 170,6 36,7 + 99,5 64,2 + 74,9
4. T e h 11,3 22,4 + 98,2 33,7 + 50,4 29,5 12,5 31,1 + 5,4
5. Lada hitam 5,9 5,6 5,1 17 + 203,6 15,7 7,6 18,4 + 17,2
6. Lada putih 3 3,5 + 16,7 8,7 + 148,6 7,7 11,5 9,4 + 22,1
7. Rotan 0,7 1 + 42,9 1 + 0 1,6 + 60 2,1 + 31,3
8. Tembakau 5 6,9 + 38 18,9 + 173,9 32,4 + 71,4 38,7 + 19,4
9. Biji coklat 0,1 0,2 + 100 0,6 200 0,7 + 16,7 0,9 + 28,6
10. Gaplek ( manioc) 2,5 9,6 284 14,5 + 51 10,8 25,5 8,7 19,4
11. 1kan tuna don lainnya 0,3 0,4 + 33,3 0,8 + 100 0,6 25.0 0,9 + 50
12. Ubur-ubur 1 kerang lainnya 0,2 0,5 + 150 1 + 100 1,2 + 20 1,9 + 58,3
13. Lainnya 82,4 168 + 103,9 217,9 + 29,7 347,5 + 59,5 654,5 + 88,3
11. Hasil-hasil indnstIi 311,1 362,4 + 16,5 320,6 11,5 414,4 + 29,3 709,2 + 71,1
1. Kayu lapis 0,1
2. Kayu gergajian 1,8 2,4 + 33,3 2,3 4,2 7,2 + 213 19,8 + 175
3. Kayu olahan lain 0,1 0,2 + 100 0,5 + 150 1,1 + 120 2,3 + 109,1
4. Timah ( unwrought) 14,1 13 7,8 27 + 107,7 44,5 + 64,8 77,5 + 74,2
5. Aluminium ( unwrought) 0,1 0,1 0 0,1 0,5 + 400
6. Pakaian jadi 0,2 0,7 + 250
7. Kain tenunan 1 1,4 + 40 1,4 0 1,9 + 35,7 2,8 + 47,4
8. Tekstillainnya 0,3 0,3 0 0,3 0 0,3 0 0,8 + 166,7
9. Karet olahan 218,7 234,1 + 7 201,8 13,8 225,5 + 11,7 393,6 + 74,5
10. Bungkil kopra 2,7 7,4 + 174,1 12,2 + 64,9 14,1 + 15,6 19,4 + 37,6
11. Minyak atsiri 1 2.6 + 160 4,4 + 69,2 6,1 + 38,6 10,3 + 68,9
12. Minyak kelapa sawit 26,7 37,5 + 40,4 43,8 + 16,8 48,5 + 10,7 91,9 + 89,5
13. Semen
14. Stearin
15. Barang anyaman 0,1 0,2 + 100 0,1 50 0,2 + 100 0,5 + 150
16. Meubel (rotan, kayo, bImbo) 0,1 0,2 + 100
17. Bahan kimia 1,4 0,3 78,6 2,1 + 600 4,8 + 128,6 7,6 + 58,3
18. Alat-alat listrik 0,9 1,8 + 100 3,8 + 111,1 9,8 + 157,9 12,4 + 26,5
19. Kulit don barIng dart kulit 4,6 5,8 + 26,1 6,9 + 19 11,1 + 60,9 13,3 + 19,8
20. Pupuk urea
21. Kertas don barang dart kertas
22. Kaca don barang dart kaca
23. Lainnya 37,6 55,3 + 47,1 14 74,7 38,9 + 177,9 55,5 + 42,7
III, Hasil-hasil tamhang di luar migas 32,9 55,9 + 69,9 49,S - 11,4 55,9 + 12,9 106,2 + 90
1. Bijih tembaga 0,8 9,4 + 1.075,00 50,4 + 436,2
2. Bijih nikel 4 7,6 + 90 12,6 + 65,8 10,9 13,5 10,2 6,4
3. Bauksit 1,3 5,1 + 292,3 6,2 + 21,6 6,4 + 3,2 6,7 + 4,7
4. Bijih timah (tin) 27,5 42,5 + 54,5 28 34,1 26,9 3,9 36,3 + 34,9
5. Batubara
6. Lainnya 0,1 0,7 + 600 1,9 + 171,4 2,3 + 21.1 2,6 + 13

IV. Hasil-hasillainuya 0,8 1,1 + 37,S 0,7 36,4 2,2 + 214,3 6,1 + 177,3

Jnmlah 531,7 722,1 + 35,8 776,6 + 7,5 1.048,90 + 35,1 1.755,30 + 67,3

Departemen Keuangan Republik Indonesia 200


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.7 (lanjutan)


persenlase persenlase persenlase persenlase persenlase
Jenis barang 1974/1975 perubaban 1975/1976 pernbaban 1976/1977 perubahan 1977/1978 pernbahan 197811979 perubahan
I. Hasil-hasil pertanian 1.015,60 + 8,8 849 - 16,4 1.358,00 + 60 2.144,30 + 57,9 2.022,40 5,7
1. Getah karet 19,6 3 0.9 95,4 22,Y + 2.444,40 37 + 61,6 37,3 + 0,8
2. K0pi 87,5 + 5,7 109,8 + 25,5 263,1 + 139,6 644,2 + 144,8 487,7 24,3
3. Udang (segar/beku) 81,3 + 26,6 85,6 + 5,3 113,7 + 32,8 156,5 + 37,6 166,3 + 6,3
4. T e h 48,5 + 55,9 49,1 + 1,2 56,8 + 15,7 126,9 + 123,4 94,2 25,8
5. I.ada hitam 14,5 21,2 13,2 9 31,2 + 136,4 37,7 + 20,8 41,4 + 9,8
6. I.ada putih 7,5 20,2 11,5 + 53,3 19,6 + 70,4 37,9 + 93,4 23,9 36,9
7. Rotan 3,2 + 52,4 2,8 12,5 8,8 + 214,3 18,7 + 112,5 35,3 + 88,8
8. Tembakau 34,9 9,8 25 28,4 34,5 + 38 58,3 + 69 51,2 12,2
9. Biji coklat 1,7 + 88,9 1,4 17,6 2,7 + 92,9 6 + 122,2 7,6 + 26,7
10. Gaplek ( manioc) 26 + 198,9 17,3 33,5 10,6 38,7 14,4 + 35,8 30,6 + 112,5
11. 1kan tuna daD lainnya 1,5 + 66,7 2,2 + 46,7 4,6 + 109,1 10,3 + 123,9 7,9 23,3
12. Ubur-ubur 1 kerang lainnya 1,3 31,6 3,3 + 153,8 3,3 0 3,8 + 15,2 5,9 + 55,3
13. I.ainnya 688,1 + 5,1 526,9 23,4 786,2 + 49,2 992,6 + 26,3 1.033,10 + 4,1
II. Hasil-hasil induslri 858,5 + 21,1 840,6 - 2,1 1.377,80 + 63,9 1.479,90 + 7,4 1.778,30 + 20,2
1. Kayu lapis 0,2 0,9 + 350 3,8 + 322,2 9,9 + 160,5
2. Kayu gergajian 24,3 + 22,7 37,1 + 52,7 64,9 + 74,9 51 21,4 118,4 + 132,2
3. Kayu olahan lain 2 13 1,7 15 2,8 + 64,7 5,5 + 96,4 19 + 245,5
4. Timah ( unwroughl ) 108,9 + 40,5 89,3 18 208,2 + 133,1 228,4 + 9,7 318 + 39,2
5. Aluminium ( unwrought ) 0,8 + 60 0,4 50 0,3 25 0,2 33,3 1,8 + 800
6. Pakaian jadi 0,8 + 14,3 3,3 + 312,5 4,5 + 36,4 6,4 + 42,2 18,5 + 189,1
7. Kain lenunan 2,7 3,6 1,9 29,6 2 + 5,3 3,5 + 75 4,2 + 20
8. Tekstillainnya 0,2 75 0,1 50 1,4 + 1.300." 0,3 78,6 2,1 + 600
9. Karet olahan 425,5 + 8,1 38,8 90,9 548,8 + 1.314,40 566,8 + 3,3 724,8 + 27,9
10. Bungkil kopra 26,4 + 36,1 27 + 2,3 37,2 + 37,8 34 8,6 34 0
11. Minyak alsiri 16,6 + 61,2 8,9 46,4 13,2 + 48,3 11,8 10,6 13,5 + 14,4
12. Minyak kelapa sawit 159,3 + 73,3 136,9 14,1 140,3 + 2,5 191,8 + 36,7 208,5 + 8,7
13. Semen - 4,8
14. Stearin
15. Barang anyaman 1,3 + 160 1,2 - 7,7 2,8 + 133,3 2,8 0 3,6 + 28,6
16. Meubel (rotan, kayo, bambu) 0,3 + 50 0,2 33,3 0,7 + 250 0,5 28,6 0,9 + 80
17. Bahan kimia 13 + 71,1 11 15,4 13,7 + 24,5 9,8 28,5 8,2 16,3
18. Alat-alal listrik 6,4 48,4 20 + 212,5 14,2 29 40,3 + 183,8 63,3 + 57,1
19. Kulil daD barang dari kulil 10,1 24,1 10,6 + 5 21,8 + 105,7 17,9 17,9 28,2 + 57,5
20. Pupuk urea 42,7 30,3 29
21. Kerlas daD barang dad kertas - 10,4 15,6 + 50 5,5 64,7 0,2 96,4
22. Kaca daD barang dari kaca 0,1 - 0,3
23. I.ainnya 59,9 + 7,9 441,5 + 637,1 284,5 35,6 256,9 9,7 165,8 35,5

III. Hasil-hasil lambang di Inar migas 201,2 + 89,5 122,3 - 39,2 136 11,2 152,9 + 12,4 99,1 35,2
1. Bijih lembaga 113,3 + 124,8 51,7 - 54,4 85,1 + 64,6 89,5 + 5,2 64,2 28,3
2. Bijih nikel 18,2 + 78,4 17,9 1,6 34,3 + 91,6 29,4 14,3 14,7 50
3. Bauksil 6,6 1,5 5,4 - 18,2 7,3 + 35,2 10,1 + 38,4 9,1 9,9
4. Bijih limah (tin) 60,1 + 65,6 38,6 35,8 0,8 97,9 19,6 + 2.350,00 7,7 60,7
5. Batubara 0,2 0,4 + 100 0,8 + 100
6. I.ainnya 3 + 15,4 8,7 + 190 8,3 4,6 3,9 53 2,6 33,3
IV. Hasil-hasillainnya 5,4 - 11,5 2,8 48,1 4,2 + 50 15,1 + 259,5 21,5 + 42,4
Jumlah 2.080,70 + 18,5 1.814,70 12,8 2.876,00 + 58,5 3.792,20 + 31,9 3.921,30 + 3,4

Departemen Keuangan Republik Indonesia 201


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l IV.7 (Ianjutan)
persentase persentase persentase persentase persentase
Jenis barang 1979/1980 pernbahan 1980/1981 perubahan 1981/1982 perubahan 1982/1983 perubahau 1983/1984 perubahau
I. Hasil-basil pertanian 3.092,50 + 52,9 2.623,70 15,2 1.448,70 44,8 1.291,10 - 10,9 1.501,40 + 16,3
1. Getah karet 35.2 5.6 80,1 + 127,6 37,2 - 53,6 38,6 + 3,8 43,8 + 13,5
2. K 0 P i 663,6 + 36,1 594,6 10,4 325.2 45,3 362,6 + 11,5 466,7 + 28,7
3- Udang (segar/beku) 204,8 + 23,2 174,7 14,7 160.1 8,4 193,6 + 20,9 197,8 + 2,2
4. Teh 94,8 + 0,6 108,1 + 14 94,3 12,8 92,5 1,9 139,8 + 51,1
5. Lada hitam 18,! - 56,3 24,7 + 36,5 21,8 11,7 18,5 15,1 35,1 + 89,7
6. Lada putih 26,9 + 12,6 24,8 7,8 26,7 + 7,7 20,8 22,1 21,5 + 3,4
7. Rotan 81,9 + 132 68,5 16,4 70 + 2,2 75,1 + 7,3 78,8 + 4,9
8. Tembakau 55,1 + 7,6 62,6 + 13,6 49,9 20,3 35,2 29,5 40,8 + 15,9
9. Biji coklat 10,6 + 39,5 9,3 12,3 16,8 + 80,6 17 + 1,2 28,2 + 65,9
10. Gaplek ( manioc) 59,7 + 95,1 47 21,3 30 36,2 9,6 - 68 33,3 + 246,9
11. Ikon tuna don lainnya 14,4 + 82,3 32,4 + 125 29,2 9,9 30,9 + 5,8 24,6 20,4
12. Ubur-ubur/kerang lainnya 5,2 11,9 4,2 19,2 12,5 + 197,6 11,7 - 6,4 9,4 19,7
13. Lainnya 1.822,20 + 76,4 1.39, 7 23,6 575 58,7 385 33 381,6 0,9
II. Hasil-basil industn 2.601,50 + 46,3 2.898,20 + 11,4 2.577,40 11,1 2.427,40 5,8 3.429,90 + 41,3
1. Kayu lapis 38 + 283,8 74,3 + 95,5 188,3 + 153,4 315,9 + 67,8 569,7 + 80,3
2. Kayu gergajian 258,8 + 118,6 242,4 6,3 220,7 9 225,6 + 2,2 271,3 + 20,3
3 Kayu olahan lain 10,8 43,2 24,4 + 125,9 44,5 + 82,4 46,1 + 3,6 34,5 25,2
4. Timah (unwrought) 397,4 + 25 407,6 + 2,6 468,9 + 15 315,6 - 32,7 304,9 3,4
5. Aluminium (unwrought) 0,8 55,6 1,2 + 50 1,1 - 8,3 46 + 4.081,80 164,4 + 257,4
6. Pakaian jadi 86,5 + 367,6 74,7 13,6 118,4 + 58,5 117,9 - 0,4 188,2 + 59,6
7. Kain tenunan 61,6' + 1.366,70 31,5 48,9 32,9 + 4,4 34,4 + 4,6 124,5 + 261,9
8. Tekstil lainnya 5,1 + 142,9 4,5 11,8 2,1 53,3 1 52,4 26,7 + 2.570,00
9. Karet olahan 935,2 + 29 1.103,20 + 18 727,8 34 576,3 20,8 884,4 + 53,5
10. Bungkil kopra 45,3 + 33,2 46,3 + 2,2 31,8 31,3 39 + 22,6 27,7 - 29
11. Minyak atsiri 13,3 1,5 20,8 + 56,4 16,9 18,8 22,1 + 30,8 30,4 + 37,6
12. Minyak kelapa sawit 193,1 7,4 254,6 + 31,8 99,2 61 114 + 14,9 80,4 29,5
13. Semen 30,4 + 533,3 13,6 55,3 21,3 + 56,6 3,5 83,6 10,8 + 208,6
14. Stearin 1,7 5 + 194,1 5 0 16,3 + 226 24,9 + 52,8
15. Barang anyman 10,6 + 194,4 6,3 40,6 6,6 + 4,8 8 + 21,2 8,7 + 8,8
16. Meubel (rotan, kayo, bambu) 2 + 122,2 2,9 + 45 1,6 44,8 2,4 + 50 3,3 + 37,5
17. Bahan kimia 8,6 + 4,9 29 + 237,2 29,7 + 2,4 15,6 47,5 7,3 53,2
18. Alat-alat hstrik 85 + 34,3 93,4 + 9,9 96,8 + 3,6 126,8 + 31 153,4 + 21
19. Kuht don barang dari kulit 41,7 + 47,9 24,9 40,3 28,5 + 14,5 29,8 + 4,6 31,2 + 4,7
20. Pupuk urea 32,5 + 7,3 28,8 11,4 5,8 79,9 8,7 + 50 55,3 + 535,6
21. Kertas don barang dari kertas 9,2 + 4.500,00 0,8 91,3 1 + 25 4,9 + 390 9,1 + 85,7
22. Kaca don barang dari kaca 2,1 + 600 2,3 + 9,5 2,7 + 17,4 3,8 + 40,7 9 + 136,8
23. Lainnya 331,8 + 100,1 405,7 + 22,3 425,8 + 5 353,7 16,9 409,8 + 15,9

III. Hasil-basil tambang di luar migas 153,2 + 54,6 246,1 + 60,6 205,2 16,6 170,3 17 170,5 + 0,1
1. Bijih tembaga 95,2 + 48,3 114,8 + 20,6 132,5 + 15,4 115,2 13,1 107 7,1
2. Bijih nikel 26,3 + 78,9 37,8 + 43,7 31,5 16,7 19,3 38,7 13,9 28
3. Bauksit 12,7 + 39,6 14,9 + 17,3 12,7 14,8 10,5 17,3 12,6 + 20
4. Bijih timah (tin) 14,8 + 92,2 69,8 + 371,6 7,8 88,8 8,7 + 11,5 7,1 18,4
5. Batubara 2 + 150 3,6 + 80 6,7 + 86,1 8,1 + 20,9 15,5 + 91,4
6. Lainnya 2,2 15,4 5,2 + 136,4 14 + 169,2 8,5 39,3 14,4 + 69,4
IV. Hasil-basil hUnuya 36 + 67,4 50,6 + 40,6 50,8 + 0,4 74,2 + 46,1 307,9 + 315

Jumlab 5.883,20 + 50 5.818,60 - 1,1 4.282,10 - 26,4 3.963,00 - 7,5 5.409,70 + 36,5

Departemen Keuangan Republik Indonesia 202


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel IV.7 (lanjutan)

persentase persenlase persenlase persenlase 1987/1988 1988/19892) persenlase


Jenis barang 1984/1985 pernbahan 1985/1986 pernbahan 1986/1987 pernbahan 1987/1988 pernbahan (Apr-Agst) (Apr-Agst) pernbahan
1. Hasil-hasil pertanian 1.502,00 + 0,1 1.480,90 1,4 1.702,30 + 15 1.687,40 - 0,9 699,7 832,5 + 19
1. Gelah karel 43,6 0,5 38,8 11 44.5 + 14,7 53 + 19,1 20 27,4 + 37
2. K 0 p i 566,9 + 2.1,5 633.0 + 11,7 743,2 + 17,4 498,9 32,9 239,6 272,8 + 13,9
3. Udang (segar/beku) 185,3 6,3 222,2 + 19,9 295,6 + 33 376,3 + 27,3 156,4 214,9 + 37,4
4. T e h 221,6 + 58,5 140,1 36,8 103,8 25,9 116 + 11,8 43 50,5 + 17,4
5. Lada biram 41,4 + 17,9 35,7 13,8 53,9 + 51 52,4 2,8 23,1 25,4 + 10
6. Lada pulih 24,6 + 14,4 47,2 + 91,9 96,2 + ,103,8 102,9 + 7 37,3 36,9 1,1
7. Tembakau 33,7 17,4 51 + 51,3 61 +. 19,6 57,5 5,7 30,9 19,9 35,6
8. Biji coklat 55,4 + 96,5 61,7 + 11,4 53,6 13,1 66,4 + 23,9 27,4 28,1 + 2,6
9. Gaplek (manioc) 1) 35,3 + 6 42,8 + 21,2 50,9 + 18,9 91,3 + 79,4 12,3 29 + 135,8
10. Ikon tuna don lainnya 19,3 21,5 22,7 + 17,6 30,7 + 35,2 60,8 + 98 22,8 37,4 + 64
11. Ubur-ubur/kerang lainnya 14,2 + 51,1 6,7 52,8 12,9 + 92,5 20,3 + 57,4 6,8 10 + 47,1
12. Lainnya 260,7 31,7 179 31,3 156,1 12,8 191,6 + 22,7 80,1 80,2 + 0,1
II. Hasil-hasil ind.sln 4.118,30 + 20,1 4.354,50 + 5,7 4.622,20 + 6,1 7.438,20 + 60,9 2.587,70 3.736,50 + 44,4
1. Kayu lapis 708,5 + 24,4 838,7 + 18,4 1.151,10 + 37,2 1.918,40 + 66,7 697,1 830,6 + 19,2
2. Kayu gergajian 286,9 + 5,8 309 + 7,7 383,1 + 24 485,2 + 26,7 168,8 225,9 + 33,8
3. Kayu olahan lain 49,4 + 43,2 49,8 + 0,8 61 + 22,5 157,8 + 158,7 52,3 80 + 53
4. Timah (unwrought) 278,1 8,8 239,2 14 109,9 54,1 172 + 56,5 64,6 73,6 + 13,9
5. Aluminium (unwrought) 213,8 + 30 214 + 0,1 216,1 + 1 264,1 + 22,2 111,1 125,1 + 12,6
6. Pakaian jadi 316,3 + 68,1 428,2 + 35,4 466 + 8,8 650,9 + 39,7 241 313,9 + 30,2
7. Kain tenunan 159,3 + 28 220,7 + 38,5 206,2 6,6 365,4 + 77,2 130,1 199,2 + 53,1
8. Tekslil lainnya 36,7 + 37,5 57,6 + 56,9 43,1 25,2 114,6 + 165,9 47,1 71 + 50,7
9. Karel olahan 848,5 4,1 678,2 20,1 709,6 + 4,6 1.023,20 + 44,2 365,2 509,6 + 39,5
10. Bungkil kopra 14,4 48 34,9 + 142,4 34,7 0,6 44,5 + 28,2 12,5 17,8 + 42,4
11. Minyak alsiri 60,2 + 98 52,8 12,3 39,2 25,8 39,6 + 1 16 17 + 6,3
12. Rot a n 95,3 + 20,9 71,8 24,7 94,6 + 31,8 166,4 + 75,9 64,8 21,1 67,4
13. Minyak kelapa sawit 75,1 6,6 181,4 + 141,5 108,3 - 40,3 182,7 + 68,7 42,5 86,5 + 103,5
14. Semen 14,7 + 36,1 22,1 + 50,3 46,4 + lio,o 58,7 + 26,5 23,6 30,9 + 30,9
15. Stearin 62,6 + 151,4 34,3 45,2 29,7 - 13,4 42,7 + 43,8 18,3 20,5 + 12
16. Barang anyaman 9,7 + 11,5 14,3 + 47,4 24,7 + 72,7 56,1 + 127,1 17,1 29,8 + 74,3
17. Meubel (rolan, kayu, bambuI 5,1 + 54,5 6,3 + 23,5 9,6 + 52,4 34,8 + 262,5 10,9 26,4 + 142,2
18. Bahan kimia 52,2 + 615,1 62,2 + 19,2 50,8 18,3 70,2 + 38,2 26,5 21 20,8
19. Alat'alat listrik 168,5 + 9,8 152,8 9,3 63,5 58,4 61,7 2,8 24,7 37,2 + 50,6
20. Kulil dan barang dari kulil 44,5 + 42,6 42,4 4,7 53,4 + 25,9 73,3 + 37,3 21,7 32,4 + 49,3
21. Pupuk urea 35,5 - 35,8 94,1 +. 165,1 105,8 + 12,4 105,1 0,7 31,8 53,1 + 67
22. Kertas don barang dari kertas 21,9 + 140,7 20,9 4,6 40,4 + 93,3 113,2 + 180,2 48,6 62 + 27,6
23. Kaca don barang dari kaca 10,6 + 17,8 9,2 13,2 14,1 + 53,3 44 + 212,1 11,4 41,3 + 262,3
24. Lainnya 550,5 + 34,3 519,6 5,6 560,9 + 7,9 1.193,60 + 112,8 340 810,6 + 138,4
III. Hasil-hasil tambang di I.ar migas 198,5 + 16,4 200,1 + 0,8 237,3 + 18,6 280,4 + 18,2 92,1 132,2 + 43,5
1. Bijih lembaga 119,8 + 12 119,6 - 0,2 158,4 + 32,4 192 +. 21,2 60,2 84,2 + 39,9
2. Bijih nikel 16,2 + 16,5 17 + 4,9 18 + 5,9 19,4 + 7,8 6,9 13,5 + 95,7
3. Bauksit 13,5 + 7,1 9,5 29,6 6 36,8 6 0 3,2 2,9 - 9,4
4. Bijih timah (tin) 5,5 22,5 5,6 + 1,8 4,1 26,8 3,3 19,5 0,9 2,8 + 211,1
5. Balubara 30,4 + 96,1 34,1 + 12,2 29,1 14,7 28,9 0,7 9,2 16,3 + 77,2
6. Lainnya 13,1 9 14,3 + 9,2 21,7 + 51,7 30,8 + 41,9 11,7 12,5 + 6,8
IV. Hasil-hasillainnya 108,4 - 64,8 14,9 86,3 13,7 - 8,1 8,2 40,1 2,7 4,4 + 63
Jnmlah 5.927,20 + 9,6 6.050,40 + 2,1 6.575,60 + 8,7 9.414,20 + 43,2 3.382,20 4.705,6' 39,1

Departemen Keuangan Republik Indonesia 203


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.8
NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1984/1985 - 1988/1989
( dalam juta US $ )
persentase persentase persentase persenta.e persentase
1984/1985 dari 1985/1986 dari 1986/1987 dari 1987/1988 dari 1988/1989 dart
jumlah jumlah jumlah jumlah (Apr-Agst) jumlah
I. A S I A 14.173 66,00% 12.001 65,40/. 8.687 64,20% 12.432 67,90% 5.559 67,60%
ASEAN 2.362 1.843 1.327 1.883 881
- Malaysia 96 73 . 84 118 79
- Muangthai 100 94 59 105 61
- Philipina 194 188 86 81 25
- Singapura 1.972 1.487 1.096 1.576 714
- Brunei Darussalam 0 1 2 3 2
Hongkong 306 356 340 425 242
Jepang 10.135 8.446 5.885 7.98] 3.402
Asia lainnya 1.370 1.356 1.135 2.143 1.034
II. A F R I K A 138 0,6 % 180 1,0 % 161 1,2 % 172 11,9 % 120 1,5 %
III.AMERIKA 5.349 24,9 % 4.498 24,5 % 2.880 21,3 % 3.449 18,8% 1.429 17,4 %
- USA 4.342 4.145 2.745 3.292 1.377
-Kanada 44 53 61 101 38
- Amerika lainnya 963 300 74 56 14
IV. AUSTRALASIA 465 2,2 % 212 1,2 % 225 1,6 % 372 2,0 % 163 2,0 %
- Australia 299 123 154 347 143
- Oceania lainnya 166 89 71 25 20
V. E R 0 P A 1.359 6,3 % 1.456 7,9% 1.579 \1,7 % 1.898 10,4 % 946 11,5 %
MEE 1.064 1.166 1.336 1.694 873
- Inggris 152 197 195 246 158
- Belanda 379 398 445 534 258
- Jerman Barat 236 282 328 388 185
Belgia & Luxemburg 65 52 98 129 79
- Peraneis 56 76 95 112 68
- Denmark 5 3 7 14 8
- Irlandia 1 2 4 8 7
- Italia 169 151 150 184 79
- Yunani 1 3 6 3 1
- Portugal 0 2 8 12 6
- Spanyol 0 0 0 64 24
Rusia 76 55 61 67 13
Eropa lainnya 219 235 182 137 60
'-
JUMLAH 21.484 100,0% 18.347 100,0% 13.532 lO,O% 18.323 100,00/0 8.217 100,0%

kelompok ini hampir terjadi pada semua jenis barang konsumsi. Demikian pula bila dilihat dari
peranannya terhadap nilai impor bukan migas keseluruhan, persentase peranannya mengalami
peningkatan dari 4,9 persen menjadi 5,7 persen.
Selanjutnya realisasi impor bahan baku/penolong dalam periode April-Agustus 1988
berjumlah sebesar US $ 2.797,6 juta, sedangkan realisasinya dalam periode yang sama tahun
sebelumnya adalah sebesar US $ 2.569,8 juta, yang berarti terjadi peningkatan sebesar US $
227,8 juta (8,9 persen). Meningkatnya nilai impor ini disebabkan oleh meningkatnya impor
beberapa jenis bahan baku/penolong, seperti bahan kimia, bahan-bahan kertas, benang tenun,
besi baja dan logam, bahan-bahan karet dan plastik, serta alat-alat listrik. Dilihat dari persentase
nilai impor bahan baku/penolong terhadap nilai impor bukan migas secara keseluruhan, terlihat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 204


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

adanya kenaikan yaitu dari 55,4 persen menjadi 55,8 persen.


Sementara itu realisasi impor barang modal dalam periode April-Agustus 1988
berjumlah sebesar US $ 1.928,3 juta, atau US $ 89,5 juta (4,8 persen) lebih tinggi bila
dibandingkan dengan realisasinya dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah
US $ 1.838,8 juta. Lebih tingginya nilai impor barang modal ini disebabkan terutama adanya
peningkatan impor mesin-mesin, generator listrik, dan alat pengangkutan. Namun bila dilihat
peranannya terhadap realisasi nilai impor bukan migas seca:a keseluruhan, terlihat adanya
penurunan dari 39,7 persen menjadi 38,5 persen. Nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam
sejak awal Pelita I hingga tahun 1988/1989 dapat diikuti dalam Tabel IV.9.
Berdasarkan negara asal, realisasi nilai impor bukan migas dalam periode April-Agustus 1988
sebagian besar berasal dari Asia, Eropa, dan Amerika. Nilai impor dari Asia berjumlah sebesar
US $ 2.460,4 juta, bagian terbesar daripadanya berasal dari Jepang, kemudian baru negara-
negara ASEAN, Taiwan, RRC, dan Korea Selatan. Peranan nilai impor yang berasal dari Asia
terhadap nilai impor secara keseluruhan, dalam periode April-Agustus 1988 adalah sebesar 49,1
persen. Sementara itu dalam periode yang sama, nilai impor dari Eropa berjumlah sebesar US $
1.219,9 juta, dimana impor dari Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) masih merupakan bagian
terbesar, baru diikuti negara-negara Swiss, Swedia, dan Norwegia. Persentase nilai impor dari
Eropa terhadap nilai impor secara keseluruhan berjumlah 24,3 persen, yang berarti lebih kecil
dibandingkan dengan persentase nilai impor dari Asia. Selanjutnya pangsa impor dari Amerika
berjumlah sebesar US $ 1.001,2 juta, yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, dengan
persentase dari nilai impor secara keseluruhan sebesar 20,0 persen, ini berarti persentase nilai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 205


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.9
NILAI IMPOR BUKAN MINYAK BUM I DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG,
1969/1970 - 1988/1989
( cir, dalam juta US $ )
persentase persentasl persentase persentase persentase
Jenis barang 1969/1970 dari 1970/1971 dari 1971/1972 dari 1972/1973 dari' 1973/1974 dari
jumlah jumlah jumlah jumlah jumlah
I. Barang konsumsi 180,7 22,1 178,1 17,7 157,0 13,2 293,7 16,2 544,1 18,9
1. Beras 46,9 44,1 27,3 132,6 367,8
2. T e k s t i I 28,3 16,0 11,9 23,0 13,2
3. Susu; makanan, minuman dan
buah-buahan 23,7 34,0 31,9 22,3 48,6
4. Tembakau dan olahannya 7,3 1,8 2,6 4,1 6,3
5. Sabun dan kosmetik 1,0 1,4 1,7 3,5 7,7
6. Alat-alat rumah tangga 10,9 12,3 15,8 6,7 24,6
7. Lainnya 62,6 68,5 65,8 101,5 75,9
II. Bahan baku/penolong 399,7 48,8 475,6 47,3 562,3 47,3 790,4 43,7 1.257,9 43,7
1. Bahan kimia 60,3 69,6 80,0 115,2 171,0
2. Bahan oba:t-obatan 12,9 14,3 13,6 18,8 31,6
3. Pup u k 27,6 19,5 35,2 46,2 68,8
4. Bahan-bahan kertas 21,3 26,9 25,2 30,1 53,3
5. Benang tenun 54,3 55,3 56,5 106,2 206,5
6. Semen, kapuT dan bahan
bangunan bilatan pabrik 11,3 13,8 18,2 25,8 46,5
7. Besi baja daD logam 61,5 72,6 113,2 186,6 351,4
8. Bahan-bahan karet daD plastik 1,3 1,2 1,1 19,0 78,3
9. Bahan bangunan 6,1 10,8 16,3 25,7 56,0
10. Alat-alat listrik 1,0 1,2 0,9 5,7 23,0
11. Lainnya 142,1 190,4 202,1 211,1 171,5
III. Barang modal 238,7 29,1 352,6 35,0 470,6 39,5 724,5 40,1 1.079,0 37,4
1. Mesin-mesm 115,8 183,8 247,8 373,2 588,4
2. Generator listrik 5,3 7,6 10,9 31,9 87,1
3. Alat telekomunikasi 16,9 19,2 21,0 32,4 46,9
4. Peralatan listrik 7,2 11,0 12,3 16,4 31,3
5. Alat pengangkutan 44,7 62,9 81,4 141,2 301,3
6. Lainnya 48,8 68,1 97,2 129,4' 24,0
Jumlab 819,1 100,0 1.006,3 100,0 1.189,9 100,0 1.808,6 100,0 2.881,0 100,0

Tabel IV.9 ( lanjutan )


persentase persentase persentase persentase persentase
Jenis barang 1974/1975 dari 1975/1976 dari 1976/1977 dari 1977/1978 dari 1978/1979 dari
jumlab jumlab jumlah jumlah jumlab
C t. Barang konsumsi 659,0 16,9 519,0 11,8 831,2 15,3 1.176,4 21,3 1.202,9 19,5
r Beras 426,8 234,7 408,4 677,7 592,3
2. Tekstil 15,9 13,5 21,6 26,6 23,9
3. Susu, makanan, minuman dan
buah-buahan 77,7 130,7 173,4 238,1 256,1
4. Tembakau dan olahannya 11,6 7,9 13,5 15,3 16,0
5. Sabun dID kosmetik 7,4 8,6 17,1 19,5 20,5
6. Alat-alat rumah tangga 31,9 27,8 42,5 43,5 56,9
7. Lainnya 87,7 95,8 154,7 155,8 237,2
II. Baban bakli/penolong 1.816,0 46,S 2.151,1 48,9 2.156,4 39,6 2.185,1 39,6 2.616,1 42,S
1. Bahan kimia 239,9 273,4 332,3 392,5 461,9
2. Bahan obat-obatan 33,8 33,0 45,4 42,1 48,3
3. Pup u k 305,6 316,5 22,1 31,9 55,2
4. Bahan-bahan kertas 58,9 70,7 109,6 117,2 123,2
5. Benang tenun 229,5 254,2 307,8 322,5 293,3
6. Semen, kapuT dan bahan
bangunan bilatan pabrik 76,2 61,9 60,4 29,4 23,7
7. Besi baja dan logam 467,8 585,2 587,7 597,4 760,4
8. Bahan-bahan karet dan plastik 99,9 128,9 165,4 175,3 223,5
9. Bahan bangunan 77,4 111,0 165,7 155,4 115,7
10. Alat-alt listrik 38,4 62,7 97,6 84,2 90,3
11. Lainnya 188,6 253,6 262,4 237,2 420,6
III. Barang modal 1.430,4 36,6 1.730,1 39,3 2.453,6 45,1 2.152,9 39,1 2.335,4 38,0
1. Mesin-mesm 738,7 804,9 1.125,8 944,7 1.113,1
2. Generator listrik 141,0 167,2 264,2 203,2 187,2
3. Alat telekomunikasi 60,7 122,0 355,4 200,9 122,5
4. Peralatan listrik 45,3 61,7 131,2 125,3 134,1
5. Alat pengangkutan 415,2 530,4 531,5 615,8 734,6
6. Lainnya 29,5 43,9 45,5 63,0 43,9
Jumlah 3.905,4 100,0 4.400,2 100,0 5.441,2 100,0 5.514,4 100,0 6.154,4 100,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 206


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l IV.9 ( laujutan )

Persentase Persentase Persentase Persentase Persentase


Jenis barang 1979/1980 dari 1980/1981 dari 1981/1982 dari 1982/1983 dari 1983/1984 dari
jumlah jumlah jumlah jumlah jumlah
I. Banmg !lonsums! 1.173,4 17,0 1.599,7 17,6 1.703,4 14,2 1.423,0 10,3 901,7 7,9
1. Beras 597,3 721,9 175,1 165,1 373,1
2. Tekstil 32;3 42,7 70,6 59,9 32,4
3. Susu, makanan, minuman dan
buah-buahan 219,8 434,7 731,3 544,2 150,8
4. Tembakau dan olahannya 17,2 30,1 30,8 40,3 11,3
5. Sabun dan kosmetik 24,9 21,9 20,8 20,0 15,1
6. Alat-alat rumah tangga 51,9 69,7 83,0 88,2 68,6
7. Lainnya 230,0 278,7 591,8 505,3 250,4
n. Bahan bab/penolong 3.188,9 , 46,3 4.093,3 44,9 1.541,3 46,2 6.118,8 44,5 5.442,4 47,8
1. Bahan kimia 661,1 702,1 974,6 1.020,8 1.061,7
2. Bahan obat-obatan 57,S 75,7 101,7 109,6 103,9
3. Pup u k 65,7 132,7 172,8 210,2 82,8
4. Bahan-bahan kertas 129,2 172,3 198,3 210,1 177,0
5. Benang tenun 431,8 415,7 466,8 410,7 377,1
6. Semen, kaput daD bahan
bangunan bilatan pabrik 23,1 42,3 41,S 70,0 29,8
7. Besi blija dan logam 910,6 1.226,9 1.567,5 1.827,2 1.303,9
8. Bahan-bahan karet dan plastik 295,7 371,0 343,3 436,6 423,0
9. Bahali bangunan 106,6 215,3 332,3 374,8 233,2
10. Alat-alat listrik 80,7 117,0 168,8 207,9 169,9
11. Lainnya 426,9 622,3 173,7 1.240,9 1.480,1
III. Huang modal 2.529,0 36,7 3.415,5 37,5 4.755,6 39,6 6.223,5 45,2 5.053,8 44,3
l. -Mesin-mesin 1.340,5 1.624,2 1.669,9 2.259,6 1.626,2
2. Generator listrik 249,8 218,4 179,5 201,4 136,9
3. Alat telekomunikasi 128,8 134,9 133,9 144,3 118,8
4. Peralatan listrik 135,0 165,5 234,0 269,9 283,8
5. Alat pengangkutan 623,5 1.049,6 1.263,1 1.571,5 1.275,4
6. Lainnya 51,4 117,9 1.275,2 l. 776,8 1.612,7
Jnmlah 6.891,3 100,0 9.108,5 100,0 12.000,3 100,0 13.765,3 100,0 11.397,9 100,0

Tabel IV.9 ( lanjutan )


persentase persentase persentase persentase persentase persentase
Jenis barang 1984/1985 dari 1985/1986 dari 1986/1987 dari 1987/1988 dari 1987/1988 dari 1988/19891) dari
jumlah jumlah jnmlah jumlah (April-Agnstus) jumlah (April-Agustus) Jumlah
I. Barang konsumsi 603,5 5,6 465,2 5,3 564,3 5,6 560,5 5,5 225,5 4,9 287,2 5,7
I. Beras 72,3 6,0 7,8 12,8 8,9 O,
2. Tekstil 29,9 35,0 40,9 39,7 13,4 23,2
3. Susu, makanan, minuman daD
buah-buahan 105\5 103,6 147,9 141,6 49,6 96,1
4. Tembakau daD olahannya 25,5 22,1 25,4 21,0 7,9 15,8
5. Sabun daD kosmetik 17,7 18,4 28,7 24,1 9,8 12,0
6. Alat-alat rumah tangga 60,4 56,3 72,7 58,8 21,5 22,4
7. Lainnya 288,2 223,8 240,9 262,5 114,4 117,5
II. Bahan baku/penolong 5.749,8 53,1 4.925,9 55,9 5.600,3 55,1 6.398,5 55,2 . 2.569,8' 55,4 2.797,6 55,8
I. Bahan kimia 1.322,5 1.199,5 1.242,9 1:353,4 541,7 612;2
2. Bahan obat-obatan 84,2 80,5 102,3 97,9 49,0 49,7
3. Pup u k 95,6 33,7 25,8 75,9 28,2 26,4
4. Bahan-bahan kertas 174,2 141,0 130,3 145,8 48,7 57,0
5. Benang tenun 390,6 344,7 413,2 523,3 217,1 247,6
6. Semen, kapUT daD bahan
bangunan bilatan pabrik 13,0 6,9 4,5 3,7 2,1 1,4
7. Besi hajJ daD logam 1.204,6 977,3 1.083,3 1.220,5 446,0 546,6
8. Bahan-bahan karet daD plastik 504,1 407,0 528,4 . 594,2 253,8 262,1
9. Bahan bangunan 195,4 195,0 198,1 194,4 . . 98,9 65,6
10. Alat-alat listrik 164,0 103,4 76,3 98,0 30,6 37,1
11. Lainnya 1.601,6 1.436,9 1.795,2 '2.091,4 853,7 891,9
III. Barang modal 4.477,8 41,3 3.420,7 38,8 3.997,1 39,3 4.600,6 39,3 1.838,8 39,7 1.928,3 38,5
1. Mesin-mesin 1.416,9 1.291,2 1.601,2 2.069,5 825,0 902,0
2. Generator listrik 123,9 85,7 200,0 167,7 60,7 90,8
3. Alat telekomunikasi 220,5 168,7 170,5 295,5 86,8 87,3
4. Peralatan listrik 258,5 228,3 300,7 282,5 107;4 107,9
5. Alat pengangkutan 1.356,1 562,1 717,7 553,4 159,6 200,5
6. Lainnya 1.101,9 1.084,7 1.007,0 1.232,2 599,3 539,8
Jumlah 10.831,1 100,0 8.811,8 100,0 10.161,7 100,0' 11.559,6 100,0 4.634,1 100,0 5.013,1 100,0

impor dari Amerika lebih kecil daripada persentase nilai impor dari Asia dan Eropa.
Perkembangan realisasi nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam menurut negara asal yang
lebih terinci dapat dilihat pada Tabel IV.10.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 207


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

4.4.3. Pengeluaran jasa-jasa (netto)


Berbagai langkah kebijaksanaan dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa di
bidang jasa-jasa dan sekaligus menghemat pengeluaran devisa, terus dilanjutkan. Dalam kaitan
ini Pemerintah telah menyederhanakan perizinan untuk membangun hotel dan sarana-sarana
pariwisata, seperti yang tercakup dalam paket kebijaksanaan Desember 1987, dalam rangka
lebih mendorong lagi perkembangan sektor pariwisata. Sejalan dengan semakin meningkatnya
arus wisatawan asing yang berasal dari Singapura ke Pulau Batam, maka Pemerintah telah
memberikan kemudahan prosedur keimigrasian dalam bentuk pemberian pos khusus bagi
wisatawan penduduk Singapura untuk kunjungan wisata ke Pulau Batam. Dalam pada itu guna
lebih mempermudah keluar masuknya wisatawan, maka Pemerintah telah pula menetapkan
pelabuhan laut Tanjung Pinang dan bandar udara Sepinggan sebagai pelabuhan/bandar udara
tempat memperoleh visa pada saat kedatangan. Penambahan frekwensi penerbangan
intemasional dan pembukaan jalur-jalur penerbangan baru yang dilakukan oleh Garuda
belakangan ini, juga berkaitan dengan upaya meningkatkan arus kunjungan wisatawan asing ke
Indonesia. Sementara itu kebijaksanaan pengiriman tenaga-tenaga kerja Indonesia ke luar negeri
yang dewasa ini lebih ditekankan pada tenaga-tenaga kerja trampil, dimaksudkan pula untuk
menambah penerimaan devisa yang bersumber dari penghasilan para tenaga kerja tersebut.
Berdasarkan perkembangan yang terjad!, pengeluaran devisa jasa-jasa setelah dikurangi dengan
penerimaan devisanya, baik jasa-jasa migas maupun jasa-jasa bukan migas, dalam tahun
1988/1989 diperkirakan sebesar US $ 6.845 juta. Dibandingkan dengan realisasinya dalam
tahun 1987/1988 yang besamya US $ 7.098 juta, maka jumlah tersebut adalah US $ 253 juta
(3,6 persen) lebih rendah. Dari jumlah keseluruhan tersebut, pengeluaran jasa-jasa migas
diperkirakan mengalami penurunan sebesar US $ 533 juta (19,5 persen), yaitu dari US $ 2.726
juta dalam tahun 1987/1988 menjadi US $ 2.193 juta pada tahun 1988/1989. Sementara itu
pengeluaran devisa untuk jasa-jasa bukan migas dalam tahun 1988/1989 diperkirakan sejumlah
US $ 4.652 juta, yang bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang besarnya US $
4.372juta, menunjukkan kenaikan sebesar US $ 280 juta (6,4 persen). Pengeluaran jasa-jasa
bukan minyak bumi dan gas alam yang lebih tinggi dalam tahun 1988/1989 tersebut adalah
akibat dari meningkatnya pengeluaran jasa dalam rangka pengangkutan barang-barang impor
(freight) dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri pemerintah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 208


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

4.4.4. Lalu lintas modal dan transfer

Keterbatasan penerimaan devisa yang diperoleh, baik dari ekspor minyak dan gas
maupun ekspor barang dan jasa di luar minyak dan gas, membatasi kemampuan di dalam
penyediaan dana pembangunan yang berasal dari dalam negeri. Oleh karena itu pemasukan
modal, baik dalam bentuk pemasukan modal resmi maupun moda1 lainnya, masih tetap
diperlukan guna mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran dan kelangsungan
pembangunan ekonomi nasional. Kebijaksanaan pemasukan modal resmi tidak terlepas dari
maksud dan tujuan pinjaman luar negeri, yaitu bahwa pinjaman luar negeri hanya akan
digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang berprioritas tinggi yang ditujukan untuk
meningkatkan ekspor dan yang langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara luas.
Selanjutnya tetap dipertimbangkan kemampuan untuk membayar kembali hutang-hutang
tersebut di masa-masa yang akan datang. Demikian pula kebijaksanaan di bidang pemasukan
modal swasta diharapkan dapat lebih menggalakkan kegiatan usaha di sektor swasta, agar
keadaan ekonomi kembali bergairah dan pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada
tingkat yang diinginkan serta tercapainya peningkatan kesempatan kerja.

Berdasarkan usaha-usaha tersebut diatas, lalu lintas modal yang merupakan hasil bersih
pemasukan modal resmi dan pemasukan modal lainnya setelah dikurangi dengan pembayaran
cicilan pokok hutang luar negeri, dalam tahun 1988/1989 diperkirakan mencapai jumlah sebesar
US $ 2.238 juta. Apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 1987/1988 yang
berjumlah sebesar US $ 3.235 juta, pemasukan modal bersih tersebut mengalami penurunan
sebesar US $ 997 juta. Penurunan tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya pemasukan modal
lainnya disamping peningkatan pembayaran hutang pokok luar negeri, walaupun pemasukan
modal resmi mengalami peningkatan. Pemasukan modal resmi dalam tahun 1988/1989
berjumlah sebesar US $ 5.091 juta dan bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun
1987/1988 yang berjumlah sebesar US $ 4.575 juta terjadi peningkatan sebesar US $ 516 juta.
Naiknya pemasukan moda1 resmi tersebut disebabkan oleh meningkatnya pinjaman dengan
syarat lunak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 209


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel IV.I0
NILAI IMPOR BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
MENU RUT NEGARA ASAL, 1984/1985 - 1988/1989
( CIF, dalam jota US $ )
Persentase Persentase Persentase Persentase Persent.,
Negara 1984/1985 dari 1985/1986 dari 1986/1987 dari 1987/1988 dari 1988/1989 I) dari
jnmlah jnmlah jnmlah Jnmlah (April-Agusts) jnmlah

I As i a 4.770,7 44,0 4.233,9 48,1 5.305,5 52,2 6.039,1 52,2 2.460,4 49,1
1. Jepang 3.152,6 2.672,8 3.253,0 3.560,6 1.356,5
2. A SEA N 519,4 402,0 967,8 844,9 353,2
- Muangthai 65,6 48,2 73,6 89,9 38,2
- Singapura 340,5 293,8 779;0 534.9 230,0
- Philipina 12,0 26,4 55,4 52,6 6,7
- Malaysia 101,3 32,5 58,7 166,5 78,2
- Brunai Darussalam - 1,1 1,1 1,0 0,1
3. Hongkong 62,6 61,7 100,3 105,2 55,2
4. Korea selatan 210,6 191,9 171,3 330,2 145,0
5. Taiwan 352,6 297,3 388,3 483,3 239,8
6. R R C 210,5 270,3 348,7 404,9 182,7
7. Lainnya 262,4 337,9 76,1 310,0 12,U
II. E r 0 p a 2.560,0 23,6 1.976,4 22,4 2.354,7 23,2 2.927,2 25,3 1.219,9 24,3
1. ME E 1.865,7 1.700,5 1.993,5 2.366,8 1.021,9
- Inggris 278,8 339,6 327,3 317,8 136,5
- Belanda 275,7 177,2 215,0 309,2 82,5
- Perancis 74,4 289,1 309,0 385,5 245,7
- Jerman Barat 915,9 578,5 787,3 868,1 327,9
- Belgia & Luxemburg 101,3 98,8 105,5 146,6 53,0
- Denmark 17,4 18,8 27,2 23,0 7,1
- Irlandia 8,5 8,4 5,5 5,5 2,3
- Italia 113,8 101,3 165,5 246,7 86,1
- Portugal 1,2 1,8 3,5 4,3 2,2
- Yunani 0,4 0,2 0,5 2,0 1,3
- Spanyol 78,3 86,8 47,2 58,1 77,3
2. Swiss 87,2 73,8 120,7 138,3 58,0
3. Norwegia 47,6 17,5 16,4 24,4 10,1
4. Swedia 105,3 102,4 120,0 133,2 38,2
5. Lainnya 454,2 82,2 104,1 264,5 91,7
III. Arne r i k a 2.881,6 26,6 1.905,2 21,6 1.908,2 18,8 1.867,7 16,2 1.001,2 20,0
1. Amerika Serikat 2.413,8 1.519,2 1.496.2 1.340,2 820,0
2. K a n a d a 329,7 200,7 21\,9 335,3 96,2
3. Lainnya 138,1 185,3 200,1 192,2 85,0
IV. Auslralasia 461,2 4,3 528,2 6,0 468,5 4,6 563,5 4,9 284,3 5,7
1. Australia 387,1 454,3 394,2 487,5 240,2
2. Oceania Lainnya 74,1 73,9 74,3 76,0 44,1
V. Afrika 157,6 1,5 168,1 1,9 124,8 1,2 162,1 1,4 47,3 0,9
Jumlah 10.831,1 100,0 8.811,8 100,0 10.161,7 100,0 11.559,6 100,0 5.013,1 100,0
I) Angka sementara

Pelunasan hutang pokok luar negeri Pemerintah dalam tahun 1988/1989 diperkirakan
mencapai jumlah sebesar US $ 3.909 juta, atau meningkat sebesar US $ 860 juta bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah US $ 3.049 juta. Peningkatan tersebut
terutama berkaitan erat dengan semakin besarnya kewajiban pembayaran hutang dari tahun-
tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh semakin bertambahnya hutang luar negeri yang jatuh
tempo serta meningkatnya nilai beberapa valuta asing seperti yen Jepang, deutsche mark, dan
poundsterling terhadap dolar Amerika. Dalam beberapa tahun terakhir ini debt service ratio
(DSR) menunjukkan angka yang agak tinggi oleh karena terjadinya peningkatan beban

Departemen Keuangan Republik Indonesia 210


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembayaran hutang, yang terutama disebabkan kemerosotan harga minyak dan peningkatan
nilai beberapa mata uang asing utama terhadap dolar Amerika. Untuk mengatasi hal tersebut,
dari segi pinjaman telah diusahakan agar pinjaman baru yang diterima adalah yang bersyarat
lunak, baik dari segi bunga, jangka waktu pinjaman, maupun syarat-syarat lainnya. Disamping
itu di bidang ekspor, telah pula dilakukan langkah-langkah untuk menggalakkan ekspor bukan
migas melalui penyempurnaan sistem tata niaga ekspor, perluasan keringanan persyaratan
pemberian kredit ekspor, keringanan di bidang perijinan, serta kemudahan cara.pengembalian
pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang
ekspor. Demikian juga selalu diusahakan nilai tukar yang mengambang terkendali dan realistik
guna menjaga daya saing barang-barang ekspor di pasaran luar negeri.

Selanjutnya pemasukan modal dalam rangka penanaman modal asing dalam tahun
1988/1989 diperkirakan mencapai US $ 930 juta, atau meningkat sebesar US $ 116 juta bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar US $ 814 juta. Peningkatan pemasukan modal
asing ini disebabkan oleh upaya yang lebih aktif dan terpadu, seperti kegiatan promosi,
penyederhanaan prosedur perijinan, pemberian kredit ekspor dengan suku bunga rendah, serta
lebih diperluasnya bidang usaha penanaman modal melalui daftar skala prioritas (DSP).

4.5. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun 1989/1990

Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun 1989/1990 diwarnai oleh perkembangan


harga minyak bumi di pasar internasional yang sangat labil, dan ini dapat mengakibatkan
tekanan-tekanan yang cukup berat pada neraca pembayaran tahun 1989/1990. Di lain pihak
perkembangan nilai ekspor bukan migas, impor, jasa-jasa bukan migas, serta lalu lintas modal
diperkirakan cukup memadai sehingga diharapkan dapat mengurangi pengaruh negatif dari
lemahnya harga minyak bumi terhadap neraca pembayaran. Transaksi berjalan dalam tahun
1989/1990 diperkirakan akan mengalami defisit sebesar US $ 2.436 juta dan pemasukan modal
netto diperkirakan berjumlah US $ 3.311 juta. Dengan demikian neraca pembayaran dalam
tahun 1989/1990 secara keseluruhan akan mengalami surplus sebesar US $ 875 juta.

4.5.1. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam

Nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1989/1990 diperkirakan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 211


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

berjumlah US $ 13.020 juta, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 16,0 persen bila
dibandingkan realisasi tahun 1988/1989 sebesar US $ 11.225 juta. Perkiraan tersebut didasarkan
atas asumsi-asumsi sebagai berikut :

(1) Situasi perekonomian dan perdagangan dunia dalam tahun 1988/1989 yang tidak menentu
diperkirakan akan terus berlanjut dalam tahun 1989/1990, sehingga masih memberi tekanan
kepada neraca pembayaran Indonesia, khususnya dalam hal harga minyak mentah dan
perkembangan kurs valuta asing daripada negara-negara industri.

(2) Kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang memberi dampak positif pada ekspor
bukan minyak bumi dan gas alam, akan dilanjutkan dalam tahun 1989/1990.

4.5.2. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam

Diperkirakan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1989/1990
berjumlah sebesar US $ 13.245 juta. Dibandingkan dengan realisasi nilai impor bukan minyak
bumi dan gas alam tahun 1988/1989 yang berjumlah US $ 11.655 juta, berarti terjadi
peningkatan sebesar US $ 1.590 juta. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam
dalam tahun 1989/1990 tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut :
(1) Dengan dilaksanakannya kebijaksanaan deregulasi, kegiatan perekonomian diperkirakan
akan meningkat, sehingga industri di dalam negeri akan memerlukan bahan baku/penolong
yang lebih banyak, untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun pasar ekspor.
(2) Dengan adanya penurunan/pembebasan tariff bea masuk, baik sebagian maupun seluruhnya
terhadap sejumlah bahan baku/penolong, maka impor secara keseluruhan akan meningkat.
(3) Kebijaksanaan deregulasi juga berpengaruh terhadap bidang usaha penanaman modal,
meningkatnya usaha penanaman modal akan menyebabkan pemasukan barang modal yang
lebih besar.
(4) Meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan pula permintaan terhadap barang-
barang impor dan barang-barang hasil produksi dalam negeri yang mengandung unsur
barang impor.

4.5.3. Perkiraan penerimaan minyak bumi dan gas alam (netto)

Berdasarkan perkiraan harga minyak bumi di pasar internasional dalam tahun 1989/
1990 yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1988/1989, yaitu sebesar US $ 14 per barel,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 212


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

maka penerimaan devisa netto dari minyak bumi dan gas alam diperkirakan sebesar US $ 2.729
juta, atau menurun 13,1 persen dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 1988/1989 yang
berjumlah US $ 3.141 juta. Perkiraan tersebut didasarkan atas penerimaan devisa dari ekspor
minyak bumi dan gas alam sebesar US $ 7.245 juta, serta pengeluaran devisa untuk impor migas
dan jasa-jasa migas, masing-masing sebesar US $ 2.093 juta dan US $ 2.423 juta.

4.5.4. Perkiraan pos lainnya

Pos lainnya seperti pengeluaran jasa-jasa bukan minyak bumi dan gas alam netto,
pemasukan modal pemerintah, pemasukan modallainnya, serta pembayaran cicilan pokok
hutang luar negeri pemerintah, dalam tahun 1989/1990 diperkirakan masing-masing sebesar US
$ 4.940 juta, US $ 6.382 juta, US $ 1.010 juta, dan US $ 4.081 juta. Perkiraan pengeluaran jasa-
jasa bukan minyak bumi dan gas alam netto didasarkan atas perkiraan penerimaan dan
pengeluaran jasa-jasa tersebut dalam tahun 1989/1990, sedangkan penerimaan pemasukan
modal pemerintah, pemasukan modal lainnya, dan pembayaran cicilan pokok hutang luar negeri
didasarkan atas rencana penerimaan bantuan luar negeri serta faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi lalu lintas modal. Perkiraan neraca pembayaran tahun 1989/1990 dapat diikuti
pada Tabel IV.II.
Tabel IV.11
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN, 1989/1990
( dalam juta US $ )

1989/1990
Perkiraan

I. Barang-barang dan jasa-jasa


1. Ekspor, fob + 20.265
minyak bumi dan gas alam + 7.245
bukan minyak bumi dan gas alam + 13.020
2. Impor, fob - 15.338
minyak bumi dan gas alam - 2.093
bukan minyak bumi dan gas alam - 13.245
3. Jasa-jasa -7.363
minyak bumi dan gas alam 2.423
bukan minyak bumi dan gas alam 4.940
4. Transaksi berjalan 2.436
minyak bumi dan gas alam 2.729
bukan minyak bumi dan gas alam 5.165
II. SDRs
IIII. Pemasukan modal pemerintah 6.382
1.Bantuan program 2.302
2. Bantuan proyek dan lain-lain 4.080
IV. Lalu lintas modal lainnya 1.010
V. Pembayaran hutang -4.081
VI. Jumlah (I sId V ) 875
VII. Selisih yang belum dapat iperhitungkan
VIII. Lalu lintas moneter -875

Departemen Keuangan Republik Indonesia 213


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BABV
HASIL-HASIL PEMBANGUNAN DAN PENDAPATAN NASIONAL

5.1. Pendahuluan
Untuk mewujudkan kerangka landasan masyarakat adil dan makmur, pembangunan
ekonomi yang dilaksanakan selama Pelita IV telah berhasil meletakkan suatu struktur ekonomi
yang seimbang, dengan menitikberatkan pada bidang industri yang kuat dan dukungan sektor
pertanian yang tangguh. Berbagai hambatan dan tantangan berupa perkembangan ekonomi
dunia yang tidak menentu senantiasa dapat ditanggulangi melalui pelbagai kebijaksanaan di
bidang ekonomi, keuangan, industri dan investasi, sehingga dalam dasawarsa delapan puluhan
ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh di atas rata-rata negara berkembang pada umumnya.
Sebagai hasil daripada pembangunan ekonomi tersebut, pada akhir Pelita IV telah
terlihat adanya perkembangan industri yang menghasilkan mesin dan komponen-komponennya,
serta meningkatnya produk dan nilai tambah industri pengolahan, sehingga dapat memenuhi
permintaan dalam negeri dan ekspor. Bahkan peletakan dasar-dasar industri dengan peralatan
canggih sudah mulai dilaksanakan dengan bekerjasama dengan pihak luar negeri. Di samping
itu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mempertahankan swasembada beras
melalui berbagai kegiatan intensifikasi dan panca usaha telah berhasil meningkatkan produksi
rata-rata per hektar. Keberhasilan meletakkan landasan yang kuat di bidang pembangunan
ekonomi tersebut dapat berjalan dengan baik oleh karena adanya dukungan yang mantap di
bidang pembangunan politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan yang telah dilakukan
oleh pemerintah selama ini. Dalam pada itu untuk melihat hasil-hasil pembangunan secara
kuantitatif dapat diikuti melalui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Sejak awal Pelita
I sampai dengan tahun 1987, PDB atas dasar harga yang berIaku di masing-masing lapangan
usaha pada umumnya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Di samping itu hasil-hasil
pembangunan tercermin pula dalam bentuk kualitatif antara lain pada kemajuan yang dicapai di
bidang kesehatan, pendidikan, mental, kesadaran hukum, dan politik.
Dengan demikian pada awal PeIita V telah dapat diletakkan dasar-dasar yang kuat yang
merupakan modal dasar untuk memantapkan jalannya pembangunan mencapai era tinggal
landas dalam Pelita VI.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 214


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.2. Hasil pembangunan bidang prasarana


5.2.1. Perhubungan, telekomunikasi dan pos
Sebagaimana sektor jasa pada umumnya, pembangunan sektor perhubungan,
telekomunikasi dan pos berkaitan erat dengan dimensi ruang dan waktu yang dihadapi oleh
suatu negara, yang antara lain tergantung pada karakteristik geografis wilayah, baik fisik, dan
topografis beserta sumber alam yang ada di dalamnya, maupun kekuatan sosial ekonomi yang
ada, seperti sentra-sentra pemukiman penduduk, industri, dan lain sebagainya. Dalam hat ini
peranan dan fungsi perhubungan, telekomunikasi dan pos adalah untuk menyediakan jasa yang
seimbang, terpadu, dan saling mengisi, untuk menunjang kelancaran arus barang, mobilitas
penumpang, dan penyampaian berita, agar mampu menjadikan hubungan yang lebih dekat
antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam waktu tempuh yang semakin singkat.
Sehubungan dengan itu dalam Pelita IV kemampuan sektor perhubungan, telekomunikasi dan
pos terus ditingkatkan melalui penambahan prasarana dan sarana dan fasilitas penunjang lainnya,
sejalan dengan perkembangan teknologi, serta sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat. Dengan demikian diharapkan akan dapat tercapai keseimbangan dan keserasian
pertumbuhan di berbagai bidang dan aspek kehidupan.

5.2.1.1. Perhubungan darat

Peningkatan dan pembangunan di bidang jalan dan jembatan adalah sejalan dengan
perkembangan jumlah sarana angkutan jalan raya yang tersedia untuk angkutan umum,
angkutan pribadi milik masyarakat, dan angkutan barang perdagangan, selain memperluas
daerah jangkauan angkutannya di seluruh Indonesia. Pelaksanaan peningkatan jaringan jalan
dan jembatan diutamakan pada pemeliharaan dan peningkatan jalan, agar dapat memper-
tahankan kondisi jalan dan jembatan sesuai dengan masa pelayanannya, yang pada akhirnya
dapat melayani pertumbuhan lalu lintas yang semakin meningkat. Sejalan dengan peningkatan
kapasitas prasarana jalan, maka untuk menjaga kelancaran, keamanan, ketertiban, dan
keselamatan lalu lintas angkutan jalan raya telah ditingkatkan pula fasilitas pengaturan lalu
lintas, antara lain berupa alat pengujian kelayakan kendaraan bermotor, rambu-rambu lalu lintas,
tanda jalan, pagar pengaman jalan, lampu-lampu pengatur lalu lintas, dan kendaraan patroli,
serta meningkatkan kesadaran masyarakat berlalu lintas di jalan raya. Dalam tahun 1986, jumlah
armada angkutan jalan raya berjumlah 2.327.947 buah, yang terdiri dari 1.121.609 buah mobil

Departemen Keuangan Republik Indonesia 215


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

penumpang, 949.686 buah truk, dan 256.652 buah bis. Dalam tahun 1987 jumlah tersebut telah
meningkat menjadi 2.726.010 buah, yang terdiri atas 1.221.235 buah mobil penumpang,
1.157.787 buah truk, dan 346.988 buah bis. Selain itu telah pula dikembangkan armada bis
perintis, yang dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan angkutan umum, khususnya di
wilayah-wilayah yang potensial tetapi belum berkembang dan di daerah terisolir. Dalam Pelita
IV sampai dengan akhir bulan Agustus 1988 telah dioperasikan 222 buah bis perintis. Rincian
armada angkutan jalan raya dapat diikuti pada Tabel V.l.
Pembangunan di bidang angkutan kereta api dalam Pelita IV telah dilakukan terutama
dengan melanjutkan rehabilitasi dan peningkatan prasarana dan sarana angkutan kereta api, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan mutu pelayanan kepada masyarakat, sesuai
dengan peningkatan pembangunan serta peningkatan produksi yang cukup besar. Selain itu telah
pula ditingkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaannya, agar dapat berfungsi sebagai
angkutan umum yang murah, tertib, dan aman. Dalam empat tahun pertama Pelita IV, antara
lain telah direhabilitasi/ditingkatkan jalan kereta api sepanjang 1.324 km, sejumlah jembatan
yang terdiri dari 314 buah jembatan atas dan 16 buah jembatan bawah, 371 unit perangkat sinyal
dan pintu jalan perlintasan, 32 unit alat telekomunikasi, 206 lok disel, 82 buah lok KRL/KRD,
530 buah kereta penumpang, dan 4.074 buah gerbong. Selain daripada itu telah pula dilakukan
penambahan 152 buah lok disel, 68 buah lok KRL/ KRD, 152 buah kereta penumpang, dan
1.643 buah gerbong. Perkembangan rehabilitasi di bidang perkeretaapian secara terinci dapat
diikuti dalam Tabel V.2.
Hasil-hasil pembangunan tersebut telah dapat meningkatkan pelaksanaan kegiatan
operasi, sehingga lebih banyak kereta api yang berangkat dan datang tepat waktu, serta
meningkatkan jarak tempuh rata-rata bagi pelayanan angkutan penumpang jarak jauh maupun
dekat. Demikian pula halnya di bidang angkutan barang, jasa pelayanan angkutan kereta api
telah menjadi salah satu jenis pelayanan angkutan yang semakin dapat diandalkan. Dalam
hubungan tersebut telah dilakukan pembangunan terminal peti kemas, yang bertujuan selain
meningkatkan kegiatan perkeretaapian, juga memberikan kemudahan dalam upaya peningkatan
ekspor nonmigas. Dewasa ini telah dibuka terminal peti kemas di Gedebage (Bandung), dan
Perujakan (Cirebon), serta sedang dipersiapkan untuk dibuka di Jebres - Solo (Jawa Tengah) ,
Rambipuji (Jawa Timur) , Kertapati (Sumatera Selatan), Kisaran dan Tebing Tinggi (Sumatera
Utara). Berbagai pembangunan di bidang kereta api tersebut telah mengakibatkan peningkatan
pemakaian jasa kereta api, baik untuk penumpang maupun barang. Dalam tahun 1987 jumlah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 216


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel
ARMADA ANGKUTAN
( dalam
Tahun Bis Mobil Mobil Jumlah
1969 20.497 95.660 212.123 328.280
1970 23.451 99.814 235.816 359.081
1971 22.562 112.878 256.988 392.428
1972 26.488 131.175 277.210 434.873
1973 20.368 144.060 307.739 428.167
1974 31.439 166.356 337.701 535.496
1975 35.900 189.480 377.990 603.370
1976 39.389 220.692 419.240 679.321
1977 46.644 268.098 471.099 785.841
1978 57.835 328.022 531.206 917.063
1979 69.545 383.648 581.531 1.034.274
1980 86.166 478.066 639.464 1.203.696
1981 112.078 590.538 722.441 1.425.057
1982 134.430 657.104 791.019 1.582.553
1983 160.260 717.873 869.940 1.748.073
1984 184.333 809.504 841.717 1.835.554
1985 228.196 844.391 997.252 2.069.839
1986 1) 256.652 949.686 1.121.609 2.327.947
1987 2) 346.988 1.157.787 1.221.235 2.726.010
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

angkutan penumpang meningkat menjadi sebanyak 50,2 juta orang dari sebanyak 49,6 juta
orang dalam tahun sebelumnya. Sedangkanjumlah angkutan barang dalam tahun 1987
meningkat menjadi 9,1 juta ton dari 7,7 juta ton dalam tahun 1986. Perkembangan pemakaian
jasa angkutan kereta api yang lebih terinci dapat diikuti pada Tabel V.3.
Angkutan sungai, danau dan penyeberangan merupakan salah satu jasa pelayanan utama
yang telah membuka hubungan ke daerah-daerah pedalaman dan daerah-daerah terpencil, serta
telah dapat melancarkan arus barang dan penumpang. Untuk menunjang hal tersebut, telah
dilakukan peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan, antara lain melalui pengadaan kapal, pembangunan dermaga dan terminal, serta
peningkatan fasilitas keselamatan pelayaran. Hasil yang dicapai dalam tahun 1987/1988 antara
lain adalah berupa pembangunan 3 buah dermaga penyeberangan, sebuah terminal
penyeberangan, sebuah terminal sungai, 3 buah kapal penyeberangan, serta pembersihan alur

Departemen Keuangan Republik Indonesia 217


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sungai sepanjang 1.135 km. Di samping itu juga telah dilakukan peningkatan operasional,
penyempurnaan kelembagaan, serta pembinaan usaha masyarakat di bidang angkutan sungai,
danau, dan penyeberangan. Dalam pada itu pengembangan angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan dilaksanakan bersama- sama dengan pengembangan angkutan jalan raya.
Dengan demikian baik pelayanan angkutan jalan raya maupun angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan, telah ditingkatkan rnenjadi satu kesatuan hubungan yang terpadu.
Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan mengutamakan proyek lanjutan agar segera dapat
terwujud dan langsung dapat beroperasi, serta tersedianya jasa angkutan sepanjang tahun secara
tetap dan teratur. Sebagai hasil dari pembangunan di bidang sungai, danau dan penyeberangan,
volume arus penumpang, barang, dan kendaraan dalam tahun 1987 telah mencapai sebanyak
masing-masing 21.209.881 orang, 3.498.482 ton, dan 1.971.237 buah.

5.2.1.2. Perhubungan laut


Pembangunan di bidang perhubungan laut ditujukan untuk memenuhi peningkatan
permintaan jasa transportasi laut guna menunjang kelancaran barang antar pulau, ekspor/ impor
nonmigas, kelancaran arus barang dan penumpang, serta peningkatan keterpaduan antarmoda
angkutan. Di samping itu juga ditujukan untuk mendukung program pemerataan dengan
membuka hubungan dengan daerah terpencil, serta peningkatan keselamatan pelayaran. Dalam
hubungan ini, telah dilaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan kapasitas prasarana dan
sarana perhubungan laut, serta efisiensi dan efektivitas pengelolaannya, agar dapat
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan pembangunan di bidang perhubungan.
laut dalam tahun keempat Pelita IV dilakukan secara bertahap, dengan merehabilitasi,
mengganti, dan meningkatkan kapasitas sarana dan prasarana yang tersedia, meliputi armada
pelayaran, fasilitas pelabuhan, telekomunikasi pelayaran, fasilitas pengamanan laut/pantai, dan
fasilitas jasa maritim.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 218


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.3
PEMAKAIAN JASA KERETA API, 1969 - 1987
Penumpang Barang
Tahun Jumlah Penumpang km Jumlah Barang ton. km
(juta orang) (juta orang) (juta ton) (juta ton)
1969 55,4 3.422 4 859
1970 52,4 3.466 3,9 855
1971 50,9 3.623 4,2 949
1972 40,1 3.352 4,6 1.038
1973 29,4 2.727 5 1.069
1974 25,4 3.466 4,5 1.116
1975 23,8 3.534 3,9 959
1976 20,1 3.371 3,3 701
1977 21 3.082 3,9 814
1978 29,2 4.751 4,2 1.022
1979 37,7 5.981 4,2 1.016
1980 40,7 6.229 4,3 980
1981 39,9 6.080 4,8 1.016
1982 43,3 6.271 5,3 1.063
1983 47,4 6.313 5,4 951
1984 47,1 7.260 6,3 1.094
1985 47,5 7.051 6,9 1.341
1986 49,6 7.327 7,7 1.485
1987 1) 50,2 7.755 9,1 1.902
1) Angka sementara

Di bidang armada pelayaran terus dilakukan peremajaan armada pelayaran niaga


nusantara dengan membatasi beroperasinya kapal-kapal yang berusia di atas 25 tahun. Sejak
dikeluarkannya larangan tersebut sampai dengan tahun 1987/1988 telah dibesituakan sebanyak
129 kapal berkapasitas 143.299 DWT. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
kapasitas operasi kapal yang laik laut dan dapat mendorong industri perkapalan di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah melakukan kebijaksanaan terpadu pengembangan
armada niaga nusantara dengan industri kapal, melalui program Caraka Jaya. Dalam pada itu
pola pelayaran nusantara dan pelayaran lokal terus disempurnakan, untuk menunjang kelancaran
arus barang dan penumpang termasuk transmigrasi, kegiatan pemasaran, serta pengembangan
wilayah terutama di Indonesia bagian timur. Pola jaringan pelayaran nusantara tersebut
disesuaikan dengan jaringan yang dilayani kapal pelayaran lokal, sehingga tercapai sistem
pelayaran yang terpadu dengan biaya rendah. Dalam tahun 1986/1987 jumlah muatan yang
diangkut oleh armada pelayaran nusantara adalah sebesar 8.171.644 ton barang dan 862.800
penumpang, dengan memakai 259 kapal yang berkapasitas seluruhnya 391.031 DWT.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 219


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Kemudian dalam tahun 1987/1988 jumlah barang yang diangkut telah meningkat menjadi
sebanyak 9.067.997 ton dan penumpang sebanyak 1.250.099 orang, dengan memakai 255 kapal
dengan kapasitas armada sebesar 434.919 DWT. Dalam periode tersebut telah terjadi penurunan
jumlah kapal, karena adanya pembesituaan kapal yang berusia di atas 25 tahun. Sementara itu
untuk memenuhi sarana angkutan penumpang yang semakin meningkat, sejalan dengan
meningkatnya pembangunan nasional, telah dioperasikan 7 buah kapal khusus penumpang
secara tetap dan teratur untuk melayani wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jawa,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur
(NIT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku, dan Irian Jaya. Perkembangan secara terinci
mengenai armada pelayaran niaga nusantara dapat diikuti dalam Tabel V.4.

Dalam menunjang keterpaduan sistem palayaran nasional dalam negeri, jasa angkutan
pelayaran lokal telah dibina dan diarahkan untuk melayani pola trayek dari pelabuhan-
pelabuhan pengumpul ke pelabuhan utama secara teratur, sehingga dapat menunjang pelayaran
nusantara. Walaupun jumlah kapal yang dioperasikan bervariasi sebagai akibat penggantian
kapal tua dengan kapal baru, kapasitas dan muatan armada menunjukkan kecenderungan
meningkat. Dalam tahun 1986 armada pelayaran lokal berjumlah 992 kapal, dengan kapasitas
144,1 ribu BRT dan jumlah muatan sebesar 2.745 ribu ton barang. Sedangkan dalam tahun 1987
jumlahnya telah meningkat masing-masing menjadi 994 kapal, 148,7 ribu BRT, dan 3.171 ribu
ton barang. Data mengenai barang dan muatan pelayaran lokal secara lebih terinci dapat diikuti
dalam Tabel V.5.

Sementara itu di dalam rangka meningkatkan jasa angkutan laut, khususnya untuk
melayani angkutan ke dan dari daerah terpencil, telah dibina dan dikembangkan peranan
pelayaran rakyat. Pembinaan dan pengembangan pelayaran rakyat tersebut telah membantu
memperlancar angkutan laut dalam menunjang perdagangan antarpulau, terutama dalam
mengangkut hasil-hasil produksi dari lokasi terpencil yang volumenya relatif terbatas dan
kurang ekonomis apabila dilayani oleh kapal-kapal besar. Pada umumnya armada pelayaran
rakyat dikelola oleh pengusaha ekonomi lemah. Oleh karena itu pembinaan dan pengem-
bangannya dilakukan melalui usaha koperasi, berupa bantuan teknik dalam pembuatan
prototype dan motorisasi perahu layar agar penggunaan kapasitas armada yang tersedia menjadi
lebih efisien. Dalam tahun 1986/1987 armada pelayaran rakyat berjumlah 3.641 kapal dengan
kapasitas 194.448 BRT dan jumlah muatan sebesar 2.735.610 ton barang. Kemudian dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 220


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tahun 1987/1988 jumlahnya telah meningkat, masing-masing menjadi 3.701 kapal, 197.362
BRT, dan 2.817.600 ton barang.
Untuk memperluas angkutan laut ke daerah-daerah terpencil dan terisolir, telah
dikembangkan jasa angkutan laut perintis sebagai upaya mendorong pemerataan pembangunan
nasional dan kelancaran tugas Pemerintah. Sehubungan dengan itu pelayaran perintis
ditingkatkan melalui penambahan frekuensi pelayaran, pengaturan pelayaran, penambahan
pelabuhan yang disinggahi, serta penambahan trayek bagi pelayaran perintis yang telah tumbuh
dengan baik menjadi pelayaran komersial. Dalam tahun 1986/1987 jumlah armada perintis yang
dioperasikan berjumlah 21 kapal, yang melayari 21 trayek dan menyinggahi 192 pelabuhan,
sedangkan jumlah muatan yang diangkut adalah seberat 19.735 ton barang dan sebanyak
115.672 orang. Kemudian dalam tahun 1987/1988 jumlah tersebut berturut-turut menjadi 14
kapal, melayari 16 trayek, menyinggahi 165 pelabuhan, dengan muatan 24.418 ton barang dan
141.100 orang. .
Pelayaran samudera menyediakan jasa angkutan laut intemasional yang melayani
pengangkutan barang dari dan ke luar negeri terutama untuk barang-barang ekspor Indonesia.
Sehubungan dengan itu di bidang pelayaran samudera terus diupayakan peningkatan efisiensi
pengelolaan perusahaan dan penyesuaian jumlah armada dengan kebutuhannya. Dalam tahun
1986 armada pelayaran samudera memiliki 35 kapal dengan kapasitas 446 ribu DWT dengan
jumlah muatan sebanyak 15.686 ribu ton. Walaupun dalam tahun 1987 jumlah armada tetap
sama dan kapasitas kapal menurun, namun jumlah muatan yang diangkut telah meningkat
menjadi sebanyak 18.985 ribu ton. Perkembangan armada dan muatan pelayaran samudera
dapat diikuti dalam Tabel V.6.
Sementara itu pembangunan bidang pelayaran yang melayani pengangkutan barang-
barang khusus juga terus ditingkatkan, baik dengan menambah jumlah armada maupun
kapasitas dan intensitas pelayarannya. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi
bidang industri seperti semen, pupuk, minyak kelapa sawit, dan kayu olahan, serta hasil-hasil
tambang di dalam negeri. Kenaikan tersebut pada gilirannya telah meningkatkan kegiatan
pelayaran khusus ke seluruh pelosok Nusantara. Dalam tahun 1987/1988 jumlah armada
pelayaran khusus adalah sebanyak 2.954 kapal dengan kapasitas 2.045.685 DWT, 525.482 BRT,
dan 541.296 HP, serta muatan yang diangkut berjumlah 65.468.000 ton yang terdiri dari muatan
padat dan cair.
Tersedianya fasilitas pelabuhan adalah sangat penting bagi kelancaran jasa angkutan laut,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 221


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

terutama dalam menunjang kegiatan sandar kapal dan bongkar muat barang yang makin
meningkat. Oleh sebab itu terus ditingkatkan pembangunan fasilitas pelabuhan, melalui
rehabilitasi, penggantian, perluasan, dan pembangunan baru, baik untuk fasilitas dermaga,
fasilitas gudang, dan fasilitas lapangan penumpukan, maupun untuk peralatan bongkar muat.
Hasil yang dicapai di bidang peningkatan fasilitas pelabuhan dalam tahun 1987/1988 meliputi
antara lain pembangunan dermaga baru seluas 12.700 meterpersegi dan pembangunan gudang
baru seluas 2.000 meter persegi. Perkembangan secara terinci tentang pembangunan fasilitas
pelabuhan dapat diikuti dalam Tabel V.7. Selanjutnya dalam rangka memperlancar ke luar
masuknya kapal dari dan ke pelabuhan, setiap tahun dilakukan pengerukan alur-alur pelayaran
dan kolam pelabuhan. Dalam tahun 1987/1988 lumpur yang dikeruk pada alur-alur pelayaran
dan kolam pelabuhan berjumlah 6,9 juta meterkubik. Perkembangan hasil pengerukan
pelabuhan dapat diikuti pada Tabel V.8. Pembangunan fasilitas keselamatan pelayaran ditujukan
untuk mencegah dan menanggulangi kecelakaan, serta meningkatkan kelancaran pelaksanaan
angkutan laut. Usaha peningkatan fasilitas keselamatan pelayaran dilaksanakan dengan
mengadakan rehabilitasi, serta penambahan dan modernisasi peralatan keselamatan pelayaran,
yang mencakup sarana bantu navigasi, kesyahbandaran, dan kesatuan penjaga iaut dan pantai
(KPLP), serta rintangan bawah air. Dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan penggantian dan
penambahan antara lain sebanyak 4 unit menara suar, sebuah unit rambu suar, dan 21 unit
pelampung suar. Perkembangan secara terinci tentang pembangunan keselamatan pelayaran
dapat diikuti dalam Tabel V.9.
5.2.1.3. Perhubungan udara
Pembangunan di bidang perhubungan udara terus dilakukan dengan usaha-usaha
rehabilitasi dan peningkatan prasarana dan sarana penerbangan, peningkatan frekuensi
penerbangan, peningkatan kemampuan landasan udara, modernisasi peralatan keselamatan
penerbangan, penambahan dan peremajaan armada kapal terbang, dan peningkatan mutu
pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu dalam tahun kelima Pelita IV dilaksanakan penye-
lesaian bandar udara yang telah memiliki rencana induk dan rencana teknik terinci, termasuk
pembangunan bandar udara internasional Soekarno-Hatta tahap kedua, penyelesaian proyek
peningkatan keselamatan penerbangan sesuai dengan perkembangan teknologi yang memadai,
dan pengembangan lapangan terbang perintis untuk dapat melayani pengoperasian posawat tipe
CN-235, serta meningkatkan kemampuan pelayanan bandar udara.
Perkembangan jasa angkutan udara dari tahun ke tahun telah menunjukkan peningkatan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 222


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sejalan dengan lajunya pembangunan nasional, yang tercermin antara lain dari meningkatnya
jumlah penumpang dan barang yang diangkut. Dalam tahun 1986 jumlah penumpang dan
barang dalam negeri yang diangkut masing-masing adalah sebanyak 5.837.161 orang dan
60.763 ton, sedangkan dalam tahun 1987 telah meningkat masing-masing menjadi 6.160.205
orang dan 71.052 ton. Demikian pula perkembangan angkutan luar negeri, yang apabila dalam
tahun 1986 jumlah penumpang dan barang yang diangkut masing-masing sebanyak 1.283.693
orang dan 35.654 ton, maka dalam tahun berikutnya telah meningkat masing-masing menjadi
1.489.189 orang dan 45.589 ton. Peningkatan ini antara lain disebabkan oleh pembukaan
beberapa pelabuhan udara menjadi pintu masuk wisatawan internasional, sebagai kelanjutan dari
kebijaksanaan yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk menunjang keberhasilan pariwisata
dalam negeri maupun luar negeri, telah dilakukan antara lain pemberian keringanan tarif
angkutan udara bagi wisata remaja, peningkatan penerbangan borongan dari luar negeri
langsung ke tempat-tempat obyek wisata, serta melakukan persetujuan hubungan udara bilateral
dengan 30 negara asing. Perkembangan penerbangan sipil dalam negeri dan luar negeri secara
terinci dapat diikuti dalam Tabel V.10 dan Tabel V.11
T a b e l V.4
ARMADA PELAYARAN NIAGA NUSANTARA, 1969 - 1988
Jumlah Kapal-kapal yang
Kapal beroperasi
Tahun Kapal DWT Kapal DWT
1969 182 184.350 130 138.004
1970 273 267.759 232 234.685
1971 282 321.669 215 238.535
1972 282 321.669 282 321.669
1973 267 284.931 267 284.931
1974 300 272.411 300 272.411
1975 305 311.950 305 311.950
1976 340 330.419 340 330.419
1977 316 310.570 316 310.570
1978 322 312.000 322 312.000
1979 373 386.954 373 386.954
1980 390 406.378 390 406.378
1981 361 425.428 361 425.428
1982 397 503.375 397 503.375
1983 387 486.824 387 486.824
1984 356 454.919 356 454.919
1985 275 414.382 275 414.382
1986 259 391.031 259 391.031
1987 1) 255 434.919 255 434.919
1988 2) 274 503.490 274 503.490
1) Angka diperbaiki
. Z) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 223


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel. V.5
ARMADA DAN MUATAN PELAYARAN LOKAL, 1969 - 1987
Tahun Kapasitas diangkut
Jumlah kapal ( ribu BRT ) ( ribu ton)
1969 803 60,7 1.162
1970 777 90 1.278
1971 623 83 1.479
1972 679 86 1.543
1973 980 92,6 1.208
1974 965 92,6 938
1975 858 92,8 1.278
1976 1.277 132,1 1.382
1977 1.348 147,9 1.822
1978 1.448 155,6 1.899
1979 1.389 163,2 1.970
1980 1.081 154,8 2.200
1981 1.090 161,4 2.271
1982 1.049 129,4 2.445
1983 1.058 133,1 2.481
1984 992 121,8 2.521
1985 1.036 130,8 2.678
1986 992 144,1 2.745
1987 1) 994 148,7 3.171
1) Angka sementara
T a b e 1 V.6
ARMADA DAN MUATAN PELAYARAN
SAMUDERA, 1969 - 1988
Tahun Jumlah Kapasitas Muatan yang diangkut
kapal ( ribu DWT ) ( ribu ton)
1969 39 318 1.343
1970 48 386 1.913
1971 59 489 2.650
1972 53 467 6.923
1973 41 387 9.917
1974 45 339 5.967
1975 47 412 5.406
1976 50 450 10.452
1977 54 491 12.121
1978 52 513 12.120
1979 50 513 14.095
1980 58 668 16.752
1981 61 802 16.638
1982 62 827 18.465
1983 51 732 18.964
1984 48 623 18.965
1985 35 446 12.718
1986 35 446 15.686
1987 1) 35 440 18.985
1988 2) 35 446 17.877

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 224


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.8
HASIL PENGERUKAN PELABUHAN, 1969/1970 - 1987/1988

Persentase
Tahun Target Realisasi terhadap target
1969/1970 11 16 145
1970/1971 10 11,5 115
1971/1972 15,6 16,6 106
1972/1973 16 16 100
1973/1974 16 16 100
1974/1975 16 16 100
1975/1976 16 16,7 104
1976/1977 16 17,5 109
1977/1978 19 21,4 113
1978/1979 20,1 16,7 83
1979/1980 15,04 15,73 104
1980/1981 17,08 19,84 116
1981/1982 17,2 19,45 113
1982/1983 16,89 18,5 109
1983/1984 15,7 16,36 104
1984/1985 14,42 13,09 91
1985/1986 13,7 13,1 96
1986/1987 1) 11,6 11,6 100
1987/1988 2) 6,9 6,9 100
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
Keterangan: Jumlah lumpur yang dikeruk dinyatakan dalam juta M3
hopper (lumpur bercampur air).
Untuk tahun 1979/1980 sId 1983/1984 (angka diperbaiki), jumlah
lumpur yang dikeruk dinyatakan dalam M3 situsdi!.

Selain jasa angkutan komersial telah pula dikembangkan jasa angkutan udara khusus
bagi jemaah Indonesia yang melakukan ibadah hajj di tanah suci. Jemaah hajj yang diangkut
dalam tahun 1986 berjumlah 57.367 orang, kemudian menurun menjadi 54.350 orang dalam
tahun 1987, dan meningkat kemba1i menjadi 54.410 orang dalam tahun 1988. Di samping itu
terus dikembangkan pula angkutan udara perintis, yang dilaksanakan melalui peningkatan
hubungan udara ke daerah-daerah terpencil, serta penambahan jaringan dan frekuensi
penerbangan perintis dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam tahun 1987 jumlah
penumpang dan barang yang diangkut masing- masing telah mencapai sebanyak 380.048 orang
dan 1.896.800 kilogram.
Pembangunan prasarana angkutan udara berupa pembangunan/peningkatan bandar udara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 225


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

(Bandara) dalam Pelita IV terus ditingkatkan. Kemampuan landasan bandara Hasanuddin


(Ujungpandang), yang semula dapat didarati pesawat DC-9 telah dapat pula didarati pesawat
DC-10/ A-300. Demikian pula Bandara Blang Bintang (Banda Aceh) dari pesawat F28 menjadi
DC-9, Bandara Sam Ratulangi (Manado) dari DC-9 menjadi DC-10/A-300, Bandara Panarung
(Palangkaraya) dari F-27 menjadi F-28, Bandara Sentani (Jayapura) dari F-28 menjadi DC-9,
Adisumarmo (Surakarta) dari F-28 menjadi DC-9, serta Bandara EI Tari (Kupang) dari F -28
menjadi DC -9. Dalam pada itu sarana angkutan udara dalam periode yang sama telah pula
meningkat, sehingga jumlah armada udara dengan tipe pesawat sayap tetap dan tipe pesawat
sayap berputar telah menjadi sebanyak 782 buah. Dari jumlah tersebut 164 pesawat digunakan
untuk penerbangan berjadwal, 196 pesawat digunakan untuk penerbangan tidak berjadwal, dan
450 pesawat untuk penerbangan umum.
Sementara itu peningkatan keselamatan penerbangan, yang terdiri dari fasilitas
telekomunikasi dan fasilitas navigasi, telah dilaksanakan dengan merehabilitasi dan mengganti
peralatan yang lama atau yang habis masa pemakaiannya dengan peralatan baru yang sesuai
dengan perkembangan teknologi. Dalam empat tahun pertama Pelita IV kemampuan fasilitas
keselamatan penerbangan antara lain meliputi peralatan aerodrome flight information service
(AFIS) di 21 lokasi, aerodrome control (ADC) di 27 lokasi, approach control office (APP) di 36
lokasi, area control centre (ACC) di 5 lokasi, very high frequency-extended range (VHF-ER) di
16 lokasi, regional and domestic air route area (RDARA) di 15 lokasi, automatic message
switching centre (AMSC) di 6 lokasi, radio link di 7 lokasi, non directional beacon (NOB) di
176 lokasi, very high omni range (VOR) di 37 lokasi, distance measuring equipment (DME) di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 226


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.1O
PENERBANGAN SIPIL DALAM NEGER, 1969 - 1987
Jam terbang Ton.km tersedia
Km pesawat Penumpang Barang Ton.km terjual
Tahun ( ribu ) ( ribu ) ( ton) ( ribu ) ( ribu ) ( ribu )

1969 12.162 499 4.129 45 52.506 34.920


1970 16.480 770 4.940 54 80.185 51.045
1971 20.458 993 7.015 61 102.494 68.501
1972 26.942 1.235 11.094 74 125.502 82.209
1973 33.194 1.649 13.790 85 213.925 115.062
1974 42.448 2.126 19.252 106 264.461 114.401
1975 46.972 2.323 22.619 116 302.570 164.955
1976 55.377 2.782 28.781 137 378.925 196.602
1977 59.142 3.373 32.908 151 396.519 233.290
1978 65.958 3.980 35.822 166 422.400 263.716
1979 70.150 4.246 39.560 176 463.918 279.250
1980 78.439 4.664 45.268 190 521.483 321.233
1981 87.546 5.588 50.459 212 616.433 373.166
1982 87.626 5.538 56.834 233 800.589 387.597
1983 88.163 5.286 49.772 277 808.072 374.776
1984 92.877 5.448 49.087 235 828.372 379.171
1985 95.793 5.364 53.874 238 844.325 373.874
1986 1) 96.703 5.837 60.763 235 830.812 404.897
1987 2) 98.821 6.160 71.052 253 857.976 444.977
1) Angka diperbaiki
2) Angka se:nentara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 227


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.l1
PENERBANGAN SIPIL KE LUAR NEGERI, 1969 - 1987
Km pesawat Penumpang Barang Ton.km terjual
Ton.km tersedia
Tahun ( ribu ) ( ribu ) ( ton) jam tel ang ribu ) ribu )
1969 5.385 98.937 3.326 7.941 46.302 31.451
1970 6.883 79.287 4.019 7.872 84.549 40.831
1971 6.555 80.651 7.354 9.444 102.815 47.151
1972 7.237 85.963 2.304 10.451 122.427 56.073
1973 7.340 97.098 3.125 10.340 127.384 62.674
1974 7.506 109.840 3.574 10.429 180.340 80.620
1975 8.779 134,675 3.635 11.791 216.824 87.914
1976 10.696 169.985 3.318 14.377 291.371 97.412
1977 14.115 245.217 3.953 17.016 369.607 146.353
1978 19.424 733.839 9.884 29.480 526.918 193.543
1979 22.136 748.378 10.042 34.101 653.135 240.804
1980 24.341 923.057 17.791 37.624 731.272 335.510
1981 24.240 1.158.743 20.562 34.741 1.166.893 449.329
1982 26.302 1.083.269 22.718 34.499 1.348.512 531.404
1983 24.011 1.048.943 28.366 36.835 1.175.122 545.791
1984 24.748 945.672 31.179 34.135 1.382.372 606.354
1985 27.647 1.267.918 35.318 39.877 1.523.700 634.329
1986 1) 31.733 1.283.693 35.654 48.850 1.576.818 663.718
1987 2) 40.057 1.489.189 47.589 57.364 2.343.285 1.050.443
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

37 lokasi, automatic terminal information service (ATIS) di 11 lokasi, instrument landing


system (ILS) di 16 lokasi, serta runway visual range (RVR) di 19 lokasi
Di dalam rangka menunjang keselainatan masyarakat, khususnya keselamatan
pelayaran dan penerbangan, telah dilaksanakan peningkatan kemampuan bidang meteorologi
dan geofisika dalam menyediakan informasi tentang sifat-sifat cuaca, iklim dan geofisika dan
segala yang terjadi di atmosfir. Dewasa ini semakin disadari pentingnya informasi meteorologi
dan geofisika, yang merupakan tantangan untuk dapat me layani kebutuhan informasi me-
teorologi dan geofisika secara cepat, tepat, murah, dan mudah dimengerti. Sehubungan dengan
itu telah dilakukan pembangunan berbagai jaringan stasiun yang disesuaikan dengan kebutuhan
nasional dan internasional, serta dikembangkan penelitian atas metode-metode ramalan
meteorologi dan geofisika. Dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan Agustus) telah terdapat 112
buah stasiun meteorologi, 28 buah stasiun geofisika, 342 buah stasiun klimatologi dan iklim,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 228


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

4.756 buah stasiun penguapan dan hujan, serta 89 buah stasiun meteorologi pertanian khusus
(SMPK).

5.2.1.4. Telekomunikasi dan pos

Pembangunan di bidang telekomunikasi telah memberikan produksi jasa tele-


komunikasi, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan dengan luar negeri, yang terus
meningkat. Selanjutnya untuk menghadapi jumlah permintaan jasa telekomunikasi yang terus
meningkat pula, selama Pelita IV telah dilaksanakan pengembangan telekomunikasi berupa
perluasan jaringan, dan peningkatan mutu pelayanan jasa telepon dan telex. Di samping itu
peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat, juga dilakukan dengan meningkatkan
keberhasilan panggil (successful call), serta mempercepat penyelesaian pengaduan masyarakat
mengenai ganggungan sambungan telekomunikasi. Selanjutnya telah diperbanyak jenis jasa
telekomunikasi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mempergunakan teknologi
tinggi, dengan tetap mengusahakan pemanfaatan produksi dalam negeri. Demikian pula
dilakukan diversifikasi usaha di bidang telekomunikasi dan informatika melalui pemanfaatan
teknologi secara maksimal untuk meningkatkan penyelenggaraan jasa nilai tambah (Jasnita).
Pembangunan telekomunikasi yang dilaksanakan dalam Pelita IV telah menampakkan
hasil yang cukup menggembirakan. Dalam bidang telekomunikasi, sistem yang digunakan tidak
terlepas dari perkembangan teknologi telekomunikasi, sehingga sentral telepon lokal dengan
sistem manual yang masa operasi ekonominya sudah habis mulai digantikan dengan sentral
telepon otomat (STO). Apabila dalam tahun 1987/1988 telah terdapat sentral telepon otomat
(STO) sebanyak 211 buah dengan kapasitas 794.976 satuan sambungan (SS) dan tersambung
sebanyak 649.454 SS, maka pada akhir bulan Juni 1988 telah dapat ditingkatkan menjadi 215
buah dengan kapasitas 824.694 SS, dan tersambung sebanyak 677.525 SS. Dalam pada itu
jumlah sentral telepon manual dalam tahun 1987/1988 tercatat sebanyak 503 buah dengan
kapasitas 117.046 SS, dan tersambung sebanyak 87.624 SS. Pada akhir bulan Juni 1988,
walaupun jumlah sentral telepon manual menurun menjadi sebanyak 499 buah, namun
kapasitasnya telah ditingkatkan menjadi sebanyak 120.033 SS, dan tersambung sebanyak 92.345
SS. Demikian pula hubungan interlokal dengan sistem manual secara bertahap telah diganti
dengan sistem otomat, dan dimasukkan ke dalam jaringan sambungan langsung jarak jauh
(SLJJ). Sampai dengan akhir bulan Juni 1988, pelayanan SLJJ di Indonesia sudah menjangkau

Departemen Keuangan Republik Indonesia 229


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

118 kota. Bersamaan dengan itu hubungan telepon internasional dengan sistem manual dan semi
otomatis juga telah diganti secara bertahap dengan sambungan langsung internasional (SLI).
Sampai dengan akhir bulan Juni 1988 telah dapat dilakukan hubungan telepon internasional
melalui SLI dengan 135 negara di seluruh penjuru dunia. Sementara itu di bidang telex,
sebagian besar pengiriman dan penerimaan telegram telah disalurkan melalui jaringan generasi
telex (Gentex). Sampai dengan akhir bulan Juni 1988 jumlah kantor Gentex dalam negeri telah
meningkat menjadi sebanyak 255 buah, sedangkan sentral telex dalam negeri telah mencapai
sebanyak 36 buah dengan kapasitas 17.300 SS, dan tersambung 13.986 SS. Di lain pihak kantor
telegram dalam negeri menurun menjadi sebanyak 659 buah. Perkembangan jumlah sentral dan
kapasitas telepon yang lebih terinci dapat diikuti dalam Tabel V.12.
Sejalan dengan hasil-hasil tersebut, perkembangan produksi telekomunikasi umum
dalam negeri juga terus mengalami peningkatan, baik untuk jasa telepon, telex, maupun
telegram. Apabila jumlah pulsa telepon dalam tahun 1986, baik lokal maupun SLJJ, tercatat
sebesar 5.898.044,2 ribu pulsa, maka dalam tahun 1987 telah meningkat menjadi 6.781.269,7
ribu pulsa, dan pada akhir bulan Juni 1988 telah mencapai 3.607.658,7 ribu pulsa. Demikian
pula pemakaian telepon interlokal manual, dalam tahun 1986 tercatat sebanyak 10.726,2 ribu
pulsa, dalam tahun 1987 meningkat menjadi 11.904,9 ribu pulsa, dan pada akhir Juni 1988, telah
mencapai 6.294,4 ribu pulsa. Sementara itu banyaknya telegram dalam negeri dalam tahun 1987
juga mengalami peningkatan, yaitu menjadi sebanyak 11.090,2 ribu ttgm, sedangkan telegram.
luar negeri mencapai sebanyak 57,4 ribu ttgm. Perkembangan pemakaian jasa telekomunikasi
secara lebih terinci dapat diikuti dalam Tabel V.13.

Sementara itu selama empat tahun pertama PeIita IV terus ditingkatkan penggunaan
perangkat telekomunikasi produksi dalam negeri berupa sambungan telepon kendaraan bergerak
(STKB). Dalam bulan Mei 1988, telah tersedia STKB generasi A dan B dengan kapasitas 2.176
SS dan telah tersambung sebanyak 2.122 SS, sedangkan STKB generasi C dengan kapasitas
10.000 SS telah tersambung sebanyak 5.285 SS. Dalam pada itu bidang pengendalian frekuensi
ditujukan untuk menciptakan tertib dan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio yang
merupakan asset nasional. Untuk itu terus ditingkatkan pengawasan dan penertiban penggunaan
frekuensi radio, serta terus dilakukan pembinaan terhadap para pemakai frekuensi radio.

Kegiatan di bidang jasa pos dan giro terus diarahkan untuk memperluas jangkauan
pelayanan sampai ke pelosok desa, daerah transmigrasi, daerah terpencil, dan daerah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 230


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pemukiman baru lainnya. Laju perkembangan permintaan yang semakin pesat, serta makin
kritisnya masyarakat terhadap kuaIitas dan kuantitas pelayanan yang diberikan, merupakan
tantangan bagi rerum Pos dan Giro untuk selalu berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanannya. Sehubungan dengan itu, kebijaksanaan pembangunan pos dan giro dalam PeIita
IV dilakukan dengan memperluas, meningkatkan dan memantapkan jangkauan pelayanan
melalui pembangunan/pengadaanjasa pos dan giro, baik di daerah pedesaan maupun di daerah
perkotaan, dan sekaligus meningkatkan hubungan pos dengan luar negeri. Selain itu dilakukan
pula peningkatan mutu pelayanan, efisiensi, produktivitas, profesionalisme, dan modernisasi
pelayanan dengan penambahan jenis fasilitas pos dan giro, serta terus memasyarakatkan
pemakaian kode pos. Keberhasilan dalam memperluas jangkauan dan peningkatan pelayanan
pos dan giro, telah mampu meningkatkan jumlah dan mutu produksi jasa pos dan giro dalam
berbagai bentuknya, seperti lalu lintas surat, paket pos, dan wesel pos.
Dalam empat tahun pertama Pelita IV (sampai dengan Juni 1988) potensi rerum Pos dan Giro
telah meliputi 313 buah kantor pos besar , 1.978 buah kantor pos pembantu, 532 buah kantor
pos tambahan, 9 buah sentral giro, 27 buah sentral giro gabungan, 1.689 buah rumah pos, 476
buah pos keliling kota, 2.757 buah pos keliling desa, 71 buah agen pos, 3.196 buah depot benda
pos dan meterai, serta 12.555 buah bis surat. Di samping itu jangkauan pos telah mencapai
3.531 kecamatan dari sebanyak 3.554 kecamatan yang ada, sedangkan di lokasi transmigrasi
telah mencapai 7281okasi dari 781lokasi transmigran yang ada. Demikian pula produksi jasa
pos secara keseluruhan terus mengalami peningkatan. Apabila dalam tahun 1986 surat pos
mencapai sebanyak 446,4 juta, maka dalam tahun 1987 telah meningkat menjadi 475,5
juta, dan dalam tahun 1988 (sampai dengan Juni) telah mencapai 189,1 juta. Demikian pula
wesel pos dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan dari sebesar Rp 327,22 milyar
menjadi Rp 367,35 milyar, dan Rp 204,07 milyar. Disamping itu peredaran giro dan cek pos
juga mengalami peningkatan dari Rp 3.761,1 milyar menjadi Rp 4.550,32 milyar dan Rp 124,91
milyar. Perkembangan arus lalu lintas pos dan giro yang lebih terinci dapat diikuti dalam Tabel
V.14.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 231


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.12
JUMLAH SENTRAL DAN KAPASITAS
TELEPON, 1969 - 1988
( sentral dalam buah, kapasitas dalam satuan sambungan)
Otomat Manual
Tabun
Sentral Kapasitas Sentral Kapasitas
1969 26 84.660 506 122.718
1970 28 90.660 504 102.167
1971 33 95.300 496 96.142
1972 33 110.860 506 101.782
1973 34 121.460 504 101.920
1974 37 125.500 507 104.092
1975 39 144.100 507 99.563
1976 45 160.600 507 104.896
1977 54 218.320 503 107.292
1978 69 367.200 493 108.253
1979 101 460.100 468 87.772
1980 137 524.860 457 73.762
1981 156 549.520 469 79.054
1982 164 557.963 503 86.579
1983 170 576.797 509 89.336
1984 175 601.309 508 96.426
1985 182 674.448 511 104.890
1986 195 728.000 509 110.555
19871) 211 794.976 503 117.046
1988 2) 215 824.694 499 120.033
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara sampai dengan bulan Juni

5.2.2. Pekerjaan Umum


Pembangunan prasarana dan sarana pekerjaan umum yang dilaksanakan secara
bertahap telah menunjukkan hasil yang semakin nyata dan telah dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Selain daripada itu pembangunan antardaerah juga makin seimbang dan kualitas
lingkungan hidup makin meningkat, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Namun demikian
dalam melaksanakan pembangunan pekerjaan umum dalam Pelita IV tidak terlepos dari
tantangan dan hambatan, yang dapat mengakibatkan terganggunya kemampuan pelayanan di
dalam menunjang dan mendukung pembangunan pelbagai sektor lainnya. Sehubungan dengan
hal tersebut, dalam mengimbangi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, baik kualitas

Departemen Keuangan Republik Indonesia 232


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

maupun kuantitasnya, maka langkah-langkah dalam pembangunan di bidang pekerjaan umum


antara lain diprioritaskan pada pemeliharaan dan perbaikan prasarana dan sarana yang sudah ada
dan mempertahankannya agar tetap berfungsi, meneruskan proyek-proyek lanjutan yang cepat
dapat diselesaikan dan cepat berfungsi, dan proyek-proyek yang dapat menyerap tenaga kerja,
serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

T a b e l V.13
PEMAKAIAN JASA TELEKOMUNIKASI, 1969 - 1988
( dalam ribuan)
1969 1970 1971 1971 1973 1974 1975 197'

TELEPON
a. Lokal SUI (pulsa) 176.513,90 157.463,70 182.426,70 217.776,10 240.865,30 758.760,20 796.918,50 1.136.158,00
b. Interlokal Manual
- Jumlah call 5.877,0 6.419,1 7.558,1 7.916,6 9.427,9 10.096,9 10.013,2 11.011,9
- Jumlah menit 30.532,5 30.579,6 30.233,3 39.332,5 50.889,2 51.430,9 48.950,1 58.718,8
c. Intemasional
- Jumlah call 62,4 151,3 202,3 208,8 257,8 331,1 414,3 629,3
- Jumlah menit 277,0 1.190,8 1.249,1 1.364;8 1.219,1 2.302,1 3.196,2 .431,1
TELEGRAM
a. Dalam. Negeri
- Jumlah ttgni 2.084,8 2.133,0 2.389,9 2.696,5 3.459,0 3.776,1 3.574,1 4.070,4
- Jumlah utang 55.817,0 60.059,0 62.827,0 74.576,0 105.247,0 113.527,5 106.345,6 124.2,",1
b. Luar Negeri
- Jumlah ttgm 389,4 391,0 379,2 411,4 488,3 493,7 470,1 400,3
- Jumlah utang 12.665,6 11.990,3 11.381,3 11.961,1 15.023,1 15.419,7 14.730,8 13.239,2
TELEX
a. Dalam Negeri (pulsa) 3.701,1 4.934,0 6.786,7 7.876,2 9.925,3 12.684,7 17.164,9 23.321,9
b. Luar Negeri
- Jumlah call 25,7 68,3 124,8 185,7 276,4 368,8 563,4 663,0
- Jumlah meRit - - - - - - - -

Ta bel V.13 (lanjutan)


1977 1978 1979 1- 1981 1982
TELEPON
a. Lokal SUJ (pulsa) 1.543.184,70 2.169.647,90 2.524.807,40 3.353.442,00 4.297.047,00 4.949.036,00
b. Interlokal Manual
- Jumlah call 13.741,0 14.830,4 12.114,8 10.868,5 10.212,6 10.632,3
- Jumlah menit 72.083,1 75.753,3 70.315,2 63.158,8 64.174,5 67.621,5
c. Intemasional
- Jumlah call 772,0 964,5 1.094,4 1.396,0 2.376,7 2.622,2
- Jumlah menit 5.426,8 6.619;9 7,446,1 8.864,4 12.480,1 16.849,5
TELEGRAM
a. Dalam Negeri
- Jumlah ttgm 4.403,6 4.905,4 5.503,5 6.452,4 6.920,6 7.141,8
- Jumlah tata 134.402,2 150.103,1 167.885,3 191.073,1 205.372,5 214.668,9
b. Luar Negeri
- Jumlah ttgm 351,3 307,6 267,7 231,6 205,9 140,7
- Jumlah tata 11.529,4 9.682,4 7.930,3 6.790,4 7.271,6 4.548,1
TELEX
a. Dalam Negeri (pulsa) 27.926,3 35.894,3 43.297,1' 56.903,7 82.479,7 271.864,0
b. Luar Negeri
- Jumlah call 992,2 1.284,0 1.673,1 2.190,5 2.735,7 2.284,6
- Jumlah menit

Departemen Keuangan Republik Indonesia 233


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Ta bel V.13 (Ianjutan)


1983 1984 1985 1986 1987 1988 1)
TELEPON
a. Lokal SUI (puIsa) 5.147.335,4 5.365.553,6 5.504.145,3 5.898.044,2 6.781.269,7 3.607.658,7
b. Interlokal Manual
- Jumlah call 10.038,2 9.884,3 9.814,8 10.726,2 11.904,9 6.294,4
- Jumlah menit 53.551,8 57.028,0 57.421,5 65.221,9 72.445,3 33.094,1
c. Intemasional
- Jumlah call 3.120,1 3.644,6 4.211,2 5.275,5 8.057,2 4.738,1
- Jumlah menit 18.793,1 20.900,6 22.959,1 26.712,5 34.068,4 19.237,7
TELEGRAM
a. Dalam Negeri
- Jumlah ttgm 7.958,9 8.418,7 9.086,7 10.377,2 11.090,2 5.765,1
- Jumlah kata 240.073,6 265.682,5 284.489,5 320.987,7 336.891,2 178.440,7
b. Luar Negeri
- Jumlah ttgm 104,6 81,3 67,6 60,1 57,4 29,3
- Jumlah kata 3.327,5 2.503,6 2.182,4 1.971,9 1.827,6 859,6
TELEX
a. Dalam Negeri (pulsa) 336.399,6 378.442,5 421.185,3 435.363,5 471.889,6 249.923,1
b. Luar Negeri
- Jumlah call 3.650,0 4.247,7 4.221,7 4.298,2 3.850,1 1.672,3
- Jumlah menit - 12.446,4 12.643,3 12.732,2 11.180,4 4.927,6

I) Angka sememara

T a b e l V.14
ARUS LALU LINTAS POS DAN GIRO, 1969 – 1988
-
Surat pos Weselpos Peredaran giro Tabungan pada
Tahun dalam Negeri daft cek pos Negara
( juta ) ( milyar rupiah) ( milyar rupiah ) ( juta rupiah)
1969 147,00 14,90 97,63 59,37
1970 159,00 20,81 106,65 146,05
1971 181,90 26,48 124,30 317,65
1972 196,00 32,53 157,26 499,52
1973 176,50 45,65 204,19 1.414,98
1974 187,23 63,30 325,61 2.325,82
1975 199,84 81,29 426,43 4.358,18
1976 200,56 99,48 471,45 7.042,17
1977 236,70 121,71 660,59 10.908,80
1978 252,29 138,81 840,34 15.526,00
1979 265,86 174,56 1.113,16 20.705,80
1980 276,20 126,94 1.558,70 32.338,06
1981 272,75 152,08 1.933,42 42.850,29
1982 299,23 183,77 2.208,42 58.064,31
1983 348,00 445,80 2.569,41 81.063,60
1984 392,00 255,01 3.398,44 86.067,00
1985 450,80 285,10 3.769,66 115.832,00
1986 446,40 327,22 3.761,10 137.243,70
1987 1) 475,53 367,35 4.550,32 142.978,71
1988 2) 189,10 204,07 124,91 7.810,99
1) Angka diperbaiki
2) Angka semenlara s/d bulan Juni

5.2.2.1. Pengairan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 234


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Dalam usaha mendukung pembangunan pertanian, khususnya dalam mempertahankan


swasembada pangan dan peningkatan produksi pangan, pembangunan di bidang prasarana dan
sarana pengairan dalam arti luas telah semakin ditingkatkan. Selain itu usaha tersebut
dilaksanakan untuk menunjang intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, terutama untuk
tanaman yang dapat meningkatkan ekspor nonmigas. Kegiatan tersebut meliputi pembangunan
jaringan irigasi baru, pemeliharaan dan perbaikan jaringan-jaringan irigasi yang sudah ada, serta
pengembangan daerah rawa menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan ikan. Selain
dari pada itu dilaksanakan pula usaha-usaha pengamanan daerah produksi pertanian dari
bencana banjir maupun bencana gunung berapi, dan penyediaan air baku untuk industri, serta
pembangunan waduk serbaguna. Selanjutnya untuk daerah-daerah yang tidak tersedia potensi
sumber air permukaan, telah dilakukan pula pengembangan air tanah.
Sebagai hasil dari pembangunan pekerjaan umum, maka dalam tahun 1987/1988 telah
dapat diselesaikan perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi pada areal seluas 153.290 hektar.
Pelaksanaan dari kegiatan tersebut antara lain meliputi kegiatan di daerah irigasi Serayu,
Semarang Barat, Warujayeng-Turi-Tunggorono, Way Seputih-Sekampung, dan Jeneberang. Di
samping itu untuk menjaga agar jaringan-jaringan tersebut tetap berfungsi dengan baik sehingga
dapat menunjang tingkat produksi pangan yang sudah dicapai dewasa ini, maka telah
ditingkatkan intensitas pengelolaannya melalui kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan waduk-
waduk dan jaringan pengairan besar. Sementara itu prioritas utama pembangunan jaringan
irigasi adalah pembangunan irigasi kecil dan sedang, sehingga dapat menjangkau daerah-daerah
terpencil dan dapat dimanfaatkan dalam waktu sekitar satu sampai tiga tahun. Dalam tahun
1987/1988 telah dilaksanakan pembangunan jaringan irigasi seluas 59.930 hektar, yang antara
lain berlokasi di daerah Jambu Aye, Sungai Dareh, Sitiung, Posaman, Way Rarem, Namu Sira-
Sira, Teluk Lada, Citanduy, Padawaras, Kedu Selatan, dan Wonogiri. Selanjutnya bagi daerah-
daerah pertanian kering dan rawan, serta yang langka air permukaannya terus dilaksanakan
kegiatan pengembangan air tanah, baik untuk keperluan pertanian maupun kebutuhan rumah
tangga. Kegiatan tersebut antara lain dilaksanakan di daerah Yogyakarta Selatan, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Timor Timur.

Pemanfaatan daerah rawa untuk perluasan areal pertanian dan pemukiman dilak-
sanakan dengan melanjutkan kegiatan pengembangan daerah rawa. Kegiatan tersebut
diprioritaskan bagi wilayah-wilayah yang segera dapat dimanfaatkan untuk menunjang program

Departemen Keuangan Republik Indonesia 235


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

peningkatan produksi pangan dan program transmigrasi. Sehubungan dengan itu telah dilakukan
pembangunan tata saluran reklamasi lahan pasang surut di Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan melalui proyek-
proyek reklamasi rawa bukan pasang surut dilakukan di daerah-daerah Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Pengembangan daerah rawa dalam tahun
1987/1988 masih tetap melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama ini, sedangkan
hasil dari pelaksanaan kegiatan tersebut telah mencakup areal seluas 18.000 hektar, yang
sebagian besar merupakan lahan yang potensial untuk usaha tani.

Sementara itu telah dilaksanakan penanganan secara khusus, melalui kegiatan


pengaturan dan pengamanan sungai, terhadap sungai-sungai yang melintasi daerah yang sudah
berkembang tetapi kondisinya sudah sangat kritis sehingga sering terjadi luapan. Usaha tersebut
sekaligus dapat menyelamatkan daerah-daerah penting dan produktif, seperti daerah produksi
pertanian, daerah pemukiman yang padat, daerah perindustrian, serta daerah jaringan
transportasi. Sedangkan mengenai penanganan masalah banjir yang bersifat lokal, telah
dilakukan usaha-usaha perbaikan dan pengamanan terhadap sungai-sungai yang sering
menunjukkan kegiatan yang cukup besar. Di samping itu usaha penanggulangan bencana alam
karena banjir antara lain dilakukan dengan melakukan pengerukan dasar sungai, pelurusan aliran,
pembuatan sodetan, perlindungan dan perkuatan tebing, pembuatan tanggul, pembuatan saluran
banjir, pembuatan pintu-pintu banjir dan lain-Iainnya, termasuk latihan penanggulangan banjir,
baik bagi para petugas maupun bagi penduduk setempat. Dalam tahun 1987/1988 kegiatan
penyelamatan hutan, tanah, dan air telah mencakup areal seluas 50.900 hektar, melalui proyek-
proyek pengaturan dan pengamanan sungai besar yang dikelola secara khusus. Selanjutnya
untuk menanggulangi bencana banjir lahar akibat letusan gunung berapi telah dilakukan
pembuatan bangunan pengendali seperti checkdam dan kantong-kantong pasir. Perkembangan
pembangunan di bidang pengairan dapat dilihat dalam Tabel V.15.

5.2.2.2. Perumahan rakyat dan pemukiman


Pembangunan perumahan rakyat dan pernukiman dilaksanakan dalam upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengadaan perumahan dengan kondisi lingkungan
yang sehat, serta menciptakan iklim yang dapat merangsang dan mendorong partisipasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 236


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

masyarakat. Hal tersebut diwujudkan melalui berbagai kegiatan, baik yang bersifat pengadaan
fisik maupun pembinaan, pengaturan, serta penyuluhan, di daerah perkotaan dan pedesaan.
Untuk itu kebijaksanaan pembangunan perumahan dalam Pelita IV di samping meningkatkan
dan mengembangkan pembangunan perumahan, diarahkan pula untuk mewujudkan kerangka
tinggal landas. Dalam hubungan ini, wawasan pembangunan perumahan sebagai kebutuhan
dasar, telah berkembang menjadi wawasan perumahan dan pemukiman sebagai satu kesatuan
fungsional.
Dalam empat tahun Pelita IV, kegiatan pembangunan perumahan dan pemukiman
secara bertahap telah dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengadaan dan
perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman. Namun demikian pembangunan perumahan
dan pemukiman juga masih tetap menghadapi kendala-kendala yang untuk menangguIanginya
memerlukan pendekatan-pendekatan tertentu, khususnya dari segi kebijaksanaan dan koordinasi
penanganannya. Sehubungan dengan itu, dalam Pelita IV kebijaksanaan pembangunan
perumahan dan pemukiman terutama ditujukan pada peningkatan pembangunan perumahan dan
pemukiman yang dapat terjangkau masyarakat, khususnya yang berpenghasilan rendah. Di
samping itu juga ditujukan untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, dalam rangka
mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, perkembangan kota dan desa yang tertib dan berdaya
guna, serta serasi dengan pengembangan wilayah. Demikian pula dilakukan pemantapan sistem
pembiayaan perumahan serta berbagai perangkat peraturan, yang dapat mendorong
kesinambungan pembangunan perumahan dan pemukiman dalam jangka panjang. Selanjutnya
ditingkatkan pula peranserta dunia usaha swasta dan masyarakat, khususnya di bidang
pembiayaan pembangunan perumahan dan pemukiman, sedangkan pemberian bantuan
pembangunan dari pemerintah diprioritaskan untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Pembangunan perumahan rakyat sejauh mungkin diusahakan agar merupakan prakarsa
dan usaha masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah pusat lebih banyak berfungsi
sebagai perintis dan pendoroog bagi terwujudnya cita-cita masyarakat, agar setiap keluarga
dapat memiliki dan menghuni rumah yang layak, dalam lingkungan perumahan yang sehat,
aman, dan serasi. Sehubungan dengan itu usaha pengadaan perumahan sederhana, terutama
untuk masyarakat berpenghasilan rendah, akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan melaIui
fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) yang diberikan oleh Perumnas dan Bank Tabungan
Negara (BTN). Jenis rumah yang dibangun berupa rumah inti dengan luas bangunan 15-21
meterpersegi yang dapat dikembangkan oleh pemilik rumah, dan rumah sederhana dengan luas

Departemen Keuangan Republik Indonesia 237


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

bangunan 36- 70 meterpersegi, serta rumah susun (flat) dengan ukuran 36-54 meterpersegi.
Dalam Pelita IV sampai dengan bulan Juli tahun 1988 Perum Perumnas telah membangun
rumah siap huni sebanyak 97.179 unit, sedangkan untuk membantu penyediaan perumahan
khusus bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas telah diberikan
fasilitas KPR oleh PT Papan Sejahtera. Mengenai perumahan nonPerumnas, dalam Pelita IV
sampai dengan bulan Juli 1988 telah berhasil dibangun sebanyak 11.178 unit rumah, sedangkan
pembangunan perumahan non-Perumnas dengan dukungan KPR-BTN telah mencapai sebanyak
278.365 unit rumah. Dalam hubungan ini beberapa bank swasta telah diikutsertakan dalam
penyaluran KPR, tetapi masih terbatas pada masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Perkembangan pembangunan perumahan rakyat oleh Perum Perumnas secara terinci dapat
diikuti dalam Tabel V.16.

Kegiatan perbaikan kampung dan lingkungan perumahan kota untuk meningkatkan


prasarana lingkungan, dilaksanakan melalui perbaikan jalan, penanganan sampah, perbaikan
saluran pembuangan, penyediaan sarana mandi cuci kakus (MCK), pelayanan air bersih, dan
perbaikan kawasan lingkungan pasar. Perbaikan lingkungan perumahan kota, melalui perintisan
perbaikan kampung, dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan di 427 kota yang meliputi 17.639
ha. Sedangkan perintisan perbaikan rumah di kota telah dilaksanakan pada 2.520 unit rumah,
yang selanjutnya akan dikembangkan oleh masyarakat dengan sistem berantai. Selanjutnya
perintisan perbaikan lingkungan pasar telah pula dilaksanakan di 106 kota yang meliputi 748,6
hektar, serta peremajaan kota seluas 16 hektardi kota-kota besar dan terbatas pada peremajaan
kawasan perumahan. Demikian juga usaha peningkatan mutu perumahan desa dilaksanakan
melalui kegiatan pemugaran perumahan dan lingkungan desa secara terpadu (P2LDT). Di
samping kegiatan tersebut, juga dilakukan kegiatan melalui orientasi kelompok kerja P2LDT
(OKK-P2LDT), yang pada prinsipnya sama dengan kegiatan P2LDT, namun perbedaannya
hanya pada segi sasaran lokasi desanya. Dengan upaya-upaya tersebut, dalam Pelita IV sampai
dengan bulan Juli 1988 telah dilakukan kegiatan pemugaran perumahan dan lingkungan desa
pada 7.221 lokasi desa, yang terdiri dari 4.781 lokasi desa ditangani dengan kegiatan P2LDT
(termasuk 127 lokasi desa nelayan dan 257 lokasi desa penanggulangan khusus/bencana alam),
serta 2.440 lokasi desa yang ditangani dengan model OKK-P2LDT.
Sebagai salah satu usaha penyediaan sarana pembinaan dan pengembangan generasi
muda, maka telah dilaksanakan pembangunan asrama mahasiswa. Selain merupakan tempat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 238


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tinggal, asrama mahasiswa juga merupakan wahana untuk menumbuhkan dan memupuk
kesadaran para mahasiswa untuk berperanserta dalam pembangunan. Dalam Pelita IV sampai
dengan bulan Juli 1988 telah dapat diselesaikan bangunan asrama mahasiswa yang pada tahap
pertama meliputi beberapa perguruan tinggi, yaitu Universitas Brawijaya (Malang), Universitas
Sebelas Maret (Sala), Universitas Syiah Kuala (Banda Aceh), dan Universitas Sumatera Utara
(Medan) , yang masing-masing mempunyai kapasitas huni sebanyak 600 orang, 594 orang, 588
orang, dan 552 orang. Selain itu telah pula diselesaikan pembangunan asrama mahasiswa
Universitas Sam Ratulangi (Manado) yang berkapasitas huni sebanyak 400 orang, sedangkan
asrama mahasiswa Universitas Patimura (Ambon) dengan kapasitas huni sebanyak 256 orang
sedang dalam proses pembangunan. Adapun pengelolaan asrama mahasiswa dilakukan oleh
koperasi mahasiswa dengan pembinaan dari rektor dan pimpinan universitas yang bersangkutan.
Dalam hal kegiatan penyehatan lingkungan pemukiman, dalam Pelita IV telah dirintis
rehabilitasi drainage yang meliputi sekitar 200 kota kecil, sedang, dan besar, yang dilaksanakan
melalui sistem padat karya. Selain itu perintisan sistem pembuangan sampan akan terus
ditingkatkan dan diperIuas sebagai penunjang usaha perbaikan saluran pembuangan air hujan.
Untuk kota-kota besar akan diusahakan penanganan persampahan dengan skala lebih besar
melalui sistem pembiayaan membayar kembali (swadaya). Selanjutnya sistem pembuangan air
kotor telah dan akan dikembangkan terus, terutama untuk menanggulangi dan mengurangi
pencemaran air di kawasan yang padat. Kemudian akan terus dilakukan kegiatan penanganan
sistem pembuangan air limbah industri, penanggulangan pencemaran air, pembinaan sistem
penyehatan lingkungan pemukiman transmigrasi, serta pemukiman kembali. Dalam Pelita IV
sampai dengan bulan Juli 1988 telah dapat dilaksanakan pembangunan sistem jaringan drainage
pada 245 kota, penanganan persampahan pada 266 kota, dan penanganan air limbah pada 43
kota.
Dalam rangka meningkatkan penyediaan air bersih dan memperIuas jangkauan
pelayanannya, baik untuk masyarakat di daerah perkotaan maupun pedesaan, kegiatan
pengelolaan air bersih diprioritaskan pada pemanfaatan kapasitas produksi yang sudan terpasang
serta perIuasan jaringan distribusi. Sedangkan pembangunan instalasi baru dibatasi hanya pada
kota-kota yang benar-benar memerIukannya, dan ibukota kecamatan yang belum memiliki
instalasi air bersih. Di samping itu akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan pembinaan terhadap
perusahaan daerah air minum (PDAM). Dalam Pelita IV sampai dengan bulan Juli 1988,
kapasitas produksi air bersih untuk daerah perkotaan telah mencapai 6.970 liter/detik,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 239


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sambungan ke rumah-rumah telah mencapai 326.760 buah, dan hidran umum mencapai
sebanyak 2.996 buah.

Tabel V.16
PEMBANGUNAN PERUMAHAN RAKYAT OLEH PERUMNAS, 1978/1979 - 1988/1989
( dalam unit rumah)
1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983

Propins! Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah 3) rumab Rumah 3) Rumah Rumob 3) Rumob
sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana Inti Jumlah sederbono Inll Jomlob

I. D.I. Ace h - - - 388 - 388 388 - 388 388 - 388


2. Sumatera Utara 3.948 898 4.846 1.412 2.479 3.891 2.342 1.252 3.594 1.754 8 1.734 7.552 5.457 13.009
3. Sumatera Barat 368 368 500 - 500 1.192 1.192 - - - 1.764 1.764
4. Riau - - - 400 600 1.000 612 600 1.212 612 600 1.212
5. Ja m b i - - - - - 500 200 700
6. Sumatera Selatan - 90 450 540 306 680 986 148 452 600 406 1.094 L500
7. Bengkulu - - 158 286 444 - - 286 158 444
8. Lampung - - 522 300 822 522 510 1.032 140 58 198
9. DKI Jakarta 11.216 12.018 23.234 2.186 7.200 9.386 1.864 2) 522 2.386 I I 12.212 9.087 21.299
10. Jawa Barat 5.250 4.230 9.480 1.020 3.576 4.596 1.190 1.666 2.856 746 882 1.628 9.606 15.098 24.704
11 Jawa Tengah 1.946 1.230 3.176 8 2.500 2.508 830 830 4.400 2.500 6.900 4.584 3.730 8.314
12. DJ. Yogyakarta 1.166 - 1.166 34 - 34 64 64 1.230 - 1.230
13. Jawa Timur 3.046 1.222 4.268 400 3.500 3.900 194 1.542 1.736 1.200 1.300 2.500 4.872 6.264 11.136
14. B a Ii - 240 1.774 2.014 - - - -
15. Nusa Tenggara Barat 100 100 508 354 862 514 500 1.014 500 764 1.264
16. Nusa Tengga.. Timur 140 140 324 321 534 534 534 534
17. Kalimantan Barat 1.078 - 1.078 1.0.78 - 1.078 - - 200 300 500 -
18. Kalimantan Tengah - - - - - - - 216 - 216 216 - 216
19. Kalimantan Selatan - - 216 216 - 500 500 300 - 300
20. Kalimantan Timur 200 200 - - - 502 304 806 - 200 200
21. Sulawesi Utara - - 120 120 656 656 32 - 32 688 - 688
22. Sulawesi Tengah 340 340 400 400 - - - 400 - 400
23. Sulawesi Selatan 1.070 768 1.838 134 - 134 480 480 - 2.504 - 2.504
24. Sulawesi Ten8gara - - 250 250 282 282 4 - 4 278 - 278
25. M a I u k u - - - 300 200 500 300 200 500 300 200 500
26. Irian Jaya - - - - - 200 200
27. Timor Timur - - 356 216 572
Jumlah 29,288 20,366 49,654 7,712 19,805 27,517 13,914 9,696 23,610 12,050 7,953 20,003 49,580 42.510 92,090

Tabel V.16 (Ianjutan)


1983/1984 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 I) 1988/19895)

Propinsi Rumah Rnmah Rumah Rnmah Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah
sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana Inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhan. inti Juml.h
I. 0,1. Ace h - - - - - 236 236 100 100 42 42
2 Sumatera Utara - ' 606 606 - - - - 632 2,97 3.602 212 1.271 1.483 364 1.270 1.634
3 Sumatera Barat 74 168 242 130 1.238 1.368 28 78 106 160 156 316
4 Ria u - - 172 128 300 42 42 150 204 354
5 Jam b i 149 638 787 82 436 518 6 6 56 56 47 - 47
6 Sumatera Selatan - - - 142 72 214 310 132 442 64 181 245 348 109 457 177 240 417
7 Bengkulu - - 120 78 198 136 - 136 125 - 125 6 6 12
8 Lampung - - - - 5 2 7 176 109 285 8 8 16
9 DKI Jakarta 935 935 - 103 - 103
10 Jawa Barat 1.620 706 2,326 584 1.084 1.668 1.910 4,844 6,754 1.192 1.488 2,68 4,696 8,184 12,88 1.838 2.454 4,292
II, Jawa Tengah 333 727 1.060 200 2.310 2.510 386 944 1.330 78 104 182 501 4.086 4.587 887 2,614 3.501
12 0,1. Yogyakarta 200 1.518 1.718 - - - - 120 120 - -
13 Jawa Timur 478 2,988 3,466 738 950 1.688 1.373 1.373 771 1.074 1.845 256 133 389 480 420 900
14 B a Ii 10 148 158 - - 98 72 170 407 - 407 31 122 153
15 Nusa Tenggara Barat - - 130 130 6 6 12 71 188 189
16 Nusa Tenggara Timur - - - 49 131 180 - - 64 56 120 41 41 156 106 262
17 Kalimantan Barat - - - - 454 454 - - - - 198 110 308
18 Kalimantan Tengah - - - - 86 28 114 17 83 100
19 Kalimantan Selatan 520 304 806 - - 190 190 85 82 167 30 82 112
20 Kalimantan Timur - 432 432 - - - 25 25 18 18 30 70 100
21. Sulawesi Utara 43 238 281 322 154 476 - - - 122 122
22 Sulawesi Tengah 171 218 3? - - - 50 79 129
23 Sulawesi Selatan - - - 400 400 - - 943 1.323 2.266 90 90 353 385 738
24 Sulawesi Tenggara - - - - - II III 122
25 M, I u k u - - - 50 50 - - 78 158 236
26 Irian Jaya - 148 536 684 74 36 110 83 224 307 87 68 155
27 Timor Timur - - - 44 26 70
Jumlah 4.441 8.523 12.964 2.339 6.241 8.580 3,408 8.681 12.089 4.996 7.474 12.470 7.505 14.360 21.865 5.277 8.734 14.011

I) Angka diperbaiki
2) Termasuk Tangerang dan Depok
3)Sejak tahun 1980/1981 pada rumah sederhana termasuk rumah susun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 240


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.2.2.3. Prasarana jalan dan jembatan


Kegiatan pembangunan jalan dan jembatan ditujukan untuk pemantapan sarana fisik
jaringan jalan yang tersebar di seluruh Indonesia, agar dapat menampung peningkatan arus lalu
lintas yang merupakan urat nadi perekonomian. Peningkatan jalan dan jembatan diutamakan
pada arus jalan yang nilai sosial ekonominya tinggi, sedangkan kegiatan penunjangan jalan
dimaksudkan untuk membuka daerah-daerah yang mempunyai potensi sosial ekonomi, serta
untuk membuka daerah-daerah terpencil. Terbukanya daerah potensial dan daerah terpencil
yang sebelumnya sukar dicapai akan memberikan kemudahan pada masyarakat setempat untuk
dapat meningkatkan hasil produksi, sehingga usaha pemerataan pembangunan dan
pengembangan wilayah dapat dicapai. Selain itu tersedianya jaringan jalan yang meluas pada
tingkat pelayanan yang semakin memadai telah meningkatkan kemudahan bagi masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan hidup sehari -hari maupun untuk melakukan
kegiatan usaha. Keadaan ini telah merangsang pertumbuhan produksi barang dan jasa yang
semakin efektif menuju terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam tahun keempat Pelita IV pembangunan jalan dan jembatan dilakukan
sesuai dengan fungsi masing-masing ruas jalan, tanpa membedakan status jalan tersebut sebagai
jalan negara, jalan propinsi atau jalan kabupaten. Pembangunan jalan disesuaikan dengan
fungsinya, yaitu jalan untuk jangkauan pelayanan jarak jauh (jalan arteri) , jalan-jalan basi
pelayanan jalan menengah (jalan kolektor) , dan jalan-jalan untuk pelayanan setempat (jalan
lokal). Dalam kenyataannya sebagian besar jalan negara danjalan propinsi berfungsi sebagai
jalan arteri dan jalan kolektor, sedangkan jalan kabupaten lebih banyak berfungsi sebagai jalan
lokal. Dengan demikian peningkatan dan pembangunan jalan telah dilakukan sebagai suatu
kesatuan jaringan jalan agar dapat melayani pertumbuhan lalu lintas. Selanjutnya telah pula
dikembangkan metode-metode pekerjaan peningkatan jalan yang disesuaikan dengan kapasitas
daya dukung sumber alam dan dengan usaha peningkatan penggunaan bahan baku yang
diperoleh di dalam negeri.
Sementara itu untuk meningkatkan pembangunan daerah potensial, terutama daerah
produksi pertanian dan perkebunan, telah ditingkatkan pula pembangunan jalan lokal yang
meliputi kegiatan penunjangan, peningkatan dan pembangunan jalan baru di daerah kabupaten.
Dengan demikian akan dapat dirangsang usaha peningkatan produksi di daerah pedesaan serta
diperlancar pemasarannya. Selanjutnya melihat pertumbuhan lalulintas antara lain di kola
Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan yang meningkat sangat cepat, telah dilanjutkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 241


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembangunan jalan-jalan bebas hambatan (jalan tol) yang disesuaikan dengan rencana kola-kola
tersebut. Sedangkan dalam rangka membantu melancarkan arus lalulintas padat di dalam kota
Jakarta, sedang dibangun jalan layang bebas hambatan, yang dalam pembangunan dan
pengelolaannya dilakukan kerjasama dengan pihak swasta nasional.
Dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan
dan jembatan, yang meliputi perbaikan kerusakan-kerusakan yang bersifat setempat pada ruas-
ruas jalan arteri dan kolektor, terutama pada ruas jalan yang sudah mantap, sehingga jalan dan
jembatan tersebut tetap terpelihara sepanjang 27.169 kilometer. Sementara itu kegiatan yang
dilakukan di bidang penunjangan jalan dan jembatan mencapai 14.313 kilometer. Kegiatanini
dimaksudkan untuk menunjang program pemerataan dan mendorong kegiatan ekonomi daerah
sampai dengan tingkat kabupaten, terutama daerah produksi pangan, perkebunan rakyat,
kerajinan rakyat, serta merupakan pembuka bagi daerah-daerah baru dalam melakukan kegiatan
pembangunan. Di samping itu terhadap ruas-ruas jalan dan jembatan yang kepadatan lalu
lintasnya tinggi, telah dilakukan peningkatan jalan dan jembatan, yang mencapai sepanjang
3.992 kilometer. Sedangkan dalam rangka membuka hubungan lalu lintas ke daerah-daerah
terpencil dan daerah pemukiman transmigrasi serta daerah perkotaan yang padat lalu lintasnya,
telah dilakukan pembangunan jalan dan jembatan baru, masing-masing sepanjang 365 kilometer
dan 11.746 meter.

Pembangunan prasarana jalan dan jembatan dalam tahun kelima Pelita IV akan terus
dilanjutkan, yang mengarah pada terwujudnya wilayah yang makin seimbang antara tingkat
pertumbuhannya dengan pencapaian sasaran fungsional yang lebih baik. Oleh karena itu
prioritas diberikan kepada penanganan jaringan jalan yang ada, dengan memantapkan jaringan
jalan sesuai dengan fungsinya, yaitu jalan arteri, jalan-jalan kolektor, dan jalan lokal. Sedangkan
kemampuan peningkatan struktur maupun kapasitasnya dilaksanakan secara bertahap, sesuai
dengan proyeksi perkembangan beban lalu lintasnya. Di samping itu pelaksanaan pembangunan
jalan dan jembatan tersebut diprioritaskan pada peningkatan jalan dan jembatan, serta
pembangunan jalan dan jembatan baru di daerah terpencil dan daerah perbatasan. Perkembangan
pembangunan di bidang prasarana jalan dan jembatan secara terinci dapat dilihat pada Tabel
V.1 7.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 242


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.17
PEMBANGUNAN DI BIDANG PRASARANA JALAN DAN JEMBATAN,
1969/1970 - 1988/1989

1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84
Jalan (km)
1. Pemeliharaan 1) - 10.482 30.034 23.745 18.730 10.419 8.887 8.982 9.956 8.858 4.889 5.673 7.154 9.414 4.841
2. Rehabilitasi 920 1.387 1.544 1.605 994 1.779 829 1.294 1.356 2.226 - - - - -
3. Peningkatan 746 735 507 920 684 546 757 916 1.165 1.262 936 1.685 2.367 3.272 2.448
4. Pembangunan barn 27 47 - 111 51 230 145 148 110 60 68 221 521 400 174
5. Penunjangan 2) - - - - - - - - - - 21.074 18.583 16.566 18.331 90.547

Jembatan (m)
1. Pemeliharaan 1) - - - - - 2.464 2.390 2.782 5.526 12.602 6.075 8.013 8.010 8.212 10.751
2. Rehabilitasi 4.825 6.399 2.482 3.894 4.029 3.502 3.515 6.789 5.317 - - - - - -
3. Peningkatan 1.580 1.579 4.928 3.700 2.916 2.132 3.502 4.787 4.224 4.560 2.610 3.397 125 4.393 3.887
4. Pembangunan barn 1.500 1.579 4.928 3.700 688 1.305 840 1.514 1.199 913 375 1.454 2.105 2.108 826
5. Penunjangan 2) - - - - - - - - - - 28.011 27.651 25.103 36.488 24.055

Tab e 1 V.17 ( Ianjutan )

Program 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 1988/19893)

1. Rehabilitasilpemeliharaan jalan
daD jembatan ( km ) 12.603 13.734 11.133 27.169 15.550
2. Penunjangan jalan daD jembatan ( km ) 12.089 11.518 12.200 14.313 29.102
3. Peningkatan jalan ( km) 2.739 3.410 2.265 3.992 2.297
4. Penggantian jembatan ( m ) 4.549 9.332 4.465 11.746 14.537
5. Pembangunan jalan ( km) 135 124 64 365 174

J) Sejak Pelita III, pemeliharaan menjadi satu dengan rehabilitasi


2) Dalam Pelita I dun II, penunjangan menjadi satu dengan peningkatan 3) Angka sementara
Catatan: Sejak tahun ]98411985 jalan menjadi satu dengan jembatan

5.2.3. Kependudukan dan transmigrasi


5.2.3.1. Kependudukan
Tantangan yang dihadapi di bidang .kependudukan terutama pada masalah per-
tumbuhan penduduk, penyebaran penduduk yang belum menguntungkan, serta masalahmasalah
yang berkaitan dengan kualitas penduduk. Sehubungan dengan itu, kebijaksanaan dan langkah-
langkah di bidang kependudukan telah dilakukan secara terpadu dengan usaha pembangunan di
bidang lainnya. Upaya pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program keluarga
berencana (KB) telah ditingkatkan, sehingga hasilnya dalam Pelita IV memberikan gambaran
yang cukup menggembirakan. Program KB mempunyai tujuan ganda, yang pertama adalah
mengembangkan norma keluarga kecil yang memungkinkan keluarga meningkatkan
kesejahteraan dengan lebih cepat, dan yang kedua adalah untuk mengendalikan pertumbuhan
penduduk, sehingga manfaat pembangunan nasional dapat lebih dirasakan. Dengan adanya
kesinambungan program KB dari tahun ke tahun, telah dapat diturunkan tingkat kelahiran (CBR)
menjadi 28,7 perseribu penduduk, sehingga pada akhir Pelita IV pertumbuhan penduduk akan
diharapkan dapat ditekan menjadi kurang dari 2 persen. Di samping itu meningkatnya pelayanan
kesehatan, pencegahan penyakit melalui imunisasi, perbaikan gizi makanan, serta kebersihan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 243


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

lingkungan, telah menyebabkan tingkat kernatian, khususnya tingkat kematian bayi, menurun
dengan cepat. Penurunan tersebut sangat mempengaruhi tingkat kematian pada umumnya,
sehingga pada akhir Pelita IV tingkat kematian (CDR) menjadi 10 perseribu penduduk.
Perkembangan penduduk Indonesia, kepadatan, serta proyeksinya sampai dengan tahun 1988
dapat dilihat dalam Tabel V.18.

T a b e l V.18
PENDUDUK INDONESIA DAN KEPADATANNYA PADA TAHUN 1971
SERTA PROYEKSINYA SAMPAI DENGAN TAHUN 1988
( dalam ribu jiwa)
Tahun Polan Indonesia
Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya
Jumlah penduduk
1971 1) 76.086 20.808 5.155 8.527 8.632 119.209
1976 85.289 24.282 5.924 9.812 9.888 135.190
1977 87.076 24.989 6.079 10.070 10.128 138.342
1978 88.904 25.724 6.240 10.334 10.377 141.579
1980 1) 91.269 28.016 6.723 10.410 11.072 147.490
1981 93.340 29.028 6.942 10.665 11.340 151.315
1982 95.103 29.962 7.143 10.887 11.567 154.662
1983 96.893 30.929 7.350 11.112 11.799 158.083
1984 98.700 31.927 7.563 11.341 12.048 161.579
1985 100.560 32.959 7.783 11.575 12.274 165.153
1986 102.349 33.998 8.004 11.803 12.506 168.662
1987 103.748 34.735 8.181 12.071 12.878 171.613
1988 105.755 35.835 8.445 12.288 13 .266 175.589
Kepadatan I Km2
1971 1) 576 44 10 45 15 62
1976 633 45 11 43 17 67
1977 650 46 11 44 18 68
1978 663 47 11 46 18 70
1980 1) 590 59 12 55 19 77
1981 706 61 12 56 19 79
1982 719 63 13 58 20 81
1983 733 65 13 59 20 83
1984 747 67 14 60 20 84
1985 760 70 14 61 21 86
1986 774 72 15 62 21 88
1987 784 73 15 63 22 89
1988 800 76 16 65 23 91
Perkembangan
rata-rata per tahun
1971 - 1988 1,96% 3,25% 2,95% 2,17% 2,56% 2,30%
1) Angka sensus

Dalam pada itu telah ditingkatkan pula upaya untuk menyerasikan penyebaran
penduduk, antara lain melalui program transmigrasi, program antarkerja antardaerah (AKAD),
kebijaksanaan investasi, dan kebijaksanaan pembangunan daerah. Selain daripada itu, berbagai
kebijaksanaan pembangunan tetap diarahkan bagi pertumbuhan kota-kota sedang dan kecil,
sehingga arus perpindahan penduduk tidak hanya menuju ke kota-kota besar tertentu tetapi lebih

Departemen Keuangan Republik Indonesia 244


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tersebar ke kota-kota lainnya. Di samping itu peningkatan sumberdaya manusia yang dapat
diartikan sebagai peningkatan kualitas penduduk, dilaksanakan melalui upaya pembinaan,
pengembangan, dan pemanfaatan potensi sumberdaya manusia dengan meningkatkan
pembangunan di berbagai sektor. Peningkatan kualitas penduduk, baik fisik maupun nonfisik,
akan meningkatkan ketahanan penduduk dalam menghadapi dampak pembangunan terhadap
nilai-nilai sosial budaya.

Pembinaan dan penempatan tenaga kerja melalui program- program pembangunan,


baik sektoral maupun regional, perlu ditingkatkan mengingat masalah kependudukan mem-
punyai hubungan yang erat dengan ketenagakerjaan. Untuk itu di dalam melaksanakan
pembinaan dan penempatan tenaga kerja, telah dilaksanakan kebijaksanaan yang bersifat
menyeluruh dan terpadu dengan titik berat pada perluasan kesempatan kerja yang produktif dan
menguntungkan yang sekaligus dapat meningkatkan upaya pemerataan pendapatan dan kegiatan
pembangunan nasional. Adapun kebijaksanaan pembinaan dan penempatan tenaga kerja di
wujudkan dalam bentuk program pembangunan desa, program penggunaan dan penyebaran
tenaga kerja, program latihan kerja dan produktivitas, serta program hubungan dan perlindungan
tenaga kerja.

Program pembangunan desa ditujukan untuk mengatasi masalah kurangnya ke-


sempatan kerja bagi tenaga penganggur atau penganggur musiman yang kurang terampil di
daerah pedesaan, yang dilaksanakan melalui kegiatan padat karya gaya baru (PKGB). Kegiatan
ini antara lain meliputi rehabilitasi jalan, saluran air, terasering, penghijauan, perbaikan
lingkungan hidup, dan prasarana desa lainnya. Sebagai hasil kegiatan PKGB, dalam tahun
1987/1988 telah dapat diserap tenaga kerja sebanyak 3.517.496 hari kerja (mandays) yang
tersebar di 191 kecamatan miskin dan padat penduduk untuk membangun jalan desa, sa luran air,
terasering, dan prasarana desa lainnya. Melalui program ini dilaksanakan pembuatan/rehabilitasi
jalan desa dan saluran tersier masing-masing sekitar 571,5 kilometer dan 593,8 kilometer, serta
pembuatan sawah baru, terasering, dan penghijauan seluas 12 hektar. Dalam tahun 1988/1989
(sampai dengan bulan Juli) kegiatan tersebut telah dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
289.399 hari kerja (mandays) untuk membangun prasarana dan sarana yang tersebar di 105
kecamatan miskin dan padat penduduk.

Program pembangunan dan penyebaran tenaga kerja bertujuan untuk menyebarkan dan
memanfaatkan tenaga kerja terdidik ke pedesaan, baik tenaga kerja sarjana maupun sarjana

Departemen Keuangan Republik Indonesia 245


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

muda. Program penyusunan dan penyebaran tenaga kerja dilaksanakan melalui kegiatan
pengerahan tenaga kerja sukarela/badan usaha tenaga kerja sarjana Indonesia (TKS/BUTSl),
serta kegiatan antarkerja dan sistem informasi pasar kerja. Dalam tahun 1987/1988 tidak ada
pengerahan baru TKS/BUTSl, namun masih ada lanjutan penugasan TKS/BUTSl sebanyak
7.811 orang. Selanjutnya dalam tahun 1988/1989 pengerahan TKS/BUTSl telah dihapuskan,
dan sebagai gantinya diadakan bimbingan tenaga kerja terdidik dengan target penugasan
sebanyak 280 orang. Di samping itu sistem informasi pasar kerja guna meningkatkan mobilitas
tenaga kerja juga terus dikembangkan dan disempurnakan. Dalam tahun 1987/1988, jumlah
pencari kerja yang terdaftar adalah sebanyak 918.197 orang, namun tersedianya lowongan kerja
tercatat sebanyak 162.903 orang, dan tenaga kerja yang berhasil ditempatkan adalah sebanyak
121.160 orang. Sementara itu penggunaan dan penyebaran tenaga kerja untuk mengatasi
kekurangan tenaga kerja tertentu di suatu daerah, dilaksanakan melalui mekanisme antarkerja
antardaerah (AKAD) dan antarkerja lokal (AKL), sedangkan untuk memenuhi permintaan
tenaga kerja di luar negeri dilaksanakan melalui mekanisme antarkerja antamegara (AKAN).
Dalam tahun 1987/1988 telah disalurkan tenaga kerja melalui kegiatan AKAD, AKAL, dan
AKAN masing-masing sebanyak 37.399 orang, 121.160 orang, dan 62.181 orang.
Dalam rangka meningkatkan daya guna tenaga kerja yang cukup besar dalam
pembangunan nasional, telah dilakukan program latihan kerja dan produktivitas yang ditujukan
untuk meningkatkan keterampilan yang bersifat kejuruan, serta latihan kepemimpinan dan
kewiraswastaan. Dalam tahun 1987/1988, jumlah tenaga kerja yang dilatih melalui balai latihan
kerja (BLK) industri, pertanian, balai pengembangan produktivitas daerah (BPPD), unit
produktivitas nasional (UPN), dan mobil training unit (MTU), seluruhnya mencapai sebanyak
34.939 orang. Sementara itu program hubungan dan perlindungan tenaga kerja ditujukan untuk
mengatasi masalah hubungan ketenagakerjaan dan pengawasan norma kerja, yang dilaksanakan
melalui pembinaan organisasi serikat pekerja dan peningkatan kesejahteraan pegawai.
Pembinaan organisasi diutamakan kepada peningkatan mutu agar serikat pekerja dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Pembentukan dan pembinaan serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) di
unit perusahaan yang dimulai sejak tahun 1973 sampai dengan bulan Juni 1988 telah meliputi
8.720 unit.

5.2.3.2. Transmigrasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 246


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Pembangunan transmigrasi merupakan upaya untuk turut mengatasi masalah-masalah


yang bersumber dari penyebaran penduduk dan tenaga kerja yang kurang seimbang antara satu
daerah dengan daerah yang lain. Dengan demikian pelaksanaan transmigrasi sekaligus
memperluas landasan bagi usaha pembangunan pada umumnya, baik di daerah asal maupun di
daerah penerima, terutama di sektor yang mampu memperluas kesempatan kerja. Oleh karena
sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di dalam
penyediaan lapangan kerja, maka usaha pengembangan pertanian secara langsung dikaitkan
dengan pemindahan penduduk dan tenaga kerja dari daerah-daerah yang relatif padat
penduduknya ke daerah-daerah yang masih jarang penduduknya, termasuk daerah-daerah
kawasan hutan yang seharusnya berfungsi sebagai hutan lindung, margasatwa, cagar alam, dan
lain-lain. Sedangkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah transmigrasi, telah
diusahakan pengembangan industri, khususnya industri yang mengolah hasil-hasil pertanian.
Demikian pula diupayakan pengembangan sektor perdagangan dan koperasi, khususnya dalam
pengadaan kebutuhan sehari-hari dan pemasaran hasil-hasil produksi daerah transmigrasi.
Pembangunan transmigrasi selama ini telah memberikan manfaat yang berarti, tidak
saja di daerah asal tetapi juga di daerah penerima. Meskipun demikian, dari hasil- hasil yang
dicapai masih diperlukan tindakan-tindakan perbaikan dan penyempurnaan, baik yang
menyangkut sasaran kuantitatif maupun sasaran kualitatif, dan kualitas pelaksanaan transmigrasi
itu sendiri. Diharapkan pelaksanaan transmigrasi yang lebih baik akan dapat memberikan
sumbangan yang lebih besar untuk menyiapkan landasan yang kuat bagi kelanjutan
pembangunan di berbagai bidang di masa mendatang. Salah satu indikator utama yang dapat
digunakan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan transmigrasi ialah jumlah unit pemukiman
transmigrasi (OPT) yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Pembinaan lanjutan suatu
lokasi pemukiman transmigrasi baru dapat diserahkan kepada pemerintah daerah bilamana telah
memenuhi kriteria yang ditetapkan. Selama tahun pertama hingga tahun keempat Pelita IV telah
dapat diserahkan 493 OPT yang meliputi 245.256 kepala keluarga (KK), sedangkan dalam tahun
terakhir Pelita IV akan diserahkan 245 OPT yang meliputi 101.397 KK. Secara keseluruhan
jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama
Pelita I sampai dengan Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) teIah berhasil
ditempatkan sebanyak 1.294.299 KK, termasuk pemindahan selama Pelita IV sebanyak 629.607
KK. Perkembangan hasil penempatan transmigran dapat diikuti dalam Tabel V.19.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 247


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Untuk menunjang program transmigrasi, dalam Pelita IV telah dilaksanakan kegiatan-


kegiatan penyiapan pemukiman yang meIiputi seleksi lokasi, penyusunan rencana teknik satuan
pemukiman, dan peningkatan mutu pemukiman transmigrasi, yang dimaksudkan untuk
menentukan volume penyelenggaraan transmigrasi. Melalui kegiatan penyiapan lahan
pemukiman selama PeIita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah berhasil dibuka 34.062
hektar (ha) lahan pekarangan, 136.250 ha lahan usaha I, serta 295.851,25 ha lahan usaha II yang
dibuka oleh transmigran. Demikian pula melalui kegiatan penyiapan bangunan pemukiman telah
berhasil dibangun rumah sebanyak 134.692 buah, sarana air bersih sebanyak 20.376 buah, dan
bangunan fasilitas umum sebanyak 3.729 buah. Di samping itu juga telah dilakukan
pembangunan jalan sepanjang 13.566 km, jembatan sepanjang 31.525 m, serta rehabilitasi jalan
dan jembatan masing-masing sepanjang 4.116 km dan 19.771 m.
Untuk mendukung program pembangunan transmigrasi, juga telah dilakukan kegiatan
penyiapan areal pemukiman, yang meliputi pencadangan areal, pengukuran dan pengkaplingan,
serta penertiban sertifikat. Sebagai hasil daripada kegiatan tersebut selama Pelita IV (sampai
dengan bulan Agustus 1988) telah dilakukan pencadangan areal seluas 2.461.526 ha, serta
pengukuran dan pengkapIingan seluas 81.477 ha lahan pekarangan, 75.606 ha lahan usaha I, dan
59.808 ha lahan usaha II. Di samping itu dapat dilaksanakan penertiban sertifikat lahan
pekarangan seluas 12.924 ha, 13.116 ha lahan usaha I, dan 9.335 ha lahan usaha II. Demikian
pula telah dilakukan pendayagunaan lingkungan kesehatan pada 20 OPT, konservasi tanah dan
air pada 51 OPT, adaptasi usaha tani campuran pada 27 OPT, serta rehabilitasi lingkungan pada
14 OPT.
Dalam pada itu melalui pembinaan sosial budaya, telah dilakukan pelayanan kesehatan
yang antara lain berupa pembangunan 49 unit pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) , 388
unit Puskesmas pembantu, pengadaan 49 orang tenaga dokter, 1.210orang paramedis, dan
2.072.066 paket obat-obatan, serta 4.562 paket peralatan kesehatan.
Sedangkan untuk pelayanan pendidikan telah dilakukan pembangunan 1.740 unit
sekolah dasar (SD), 146 unit sekolah menengah pertama (SMP), dan 12 unit sekolah menengah
atas (SMA), serta pengadaan 6.985 orang guru SD Inpres, 1.048 orang guru SMP, dan 125
orang guru SMA. Demikian pula telah dilakukan pembinaan usaha ekonomi melalui
pengembangan tanaman keras, yang antara lain berupa pengadaan 54.000 batang bibit tanaman
kopi, 36.726 batang cengkeh, 71.473 batang kelapa, 62.440 batang lada, 148.139 batangj eruk,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 248


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dan 5.000 batang rambutan. Sedangkan melalui pengembangan petemakan telah dilakukan
pengadaan ternak kambing sebanyak 15.006 ekor dan 147.428 ekor ayam.
Tab e l V.19
HASIL PENEMPATAN TRANSMIGRASI, 1969/1970 - 1988/1989
TERMASUK TRANSMIGRASI SWAKARSA ( kepala keluarga )

Persentase
Tahun Target Realisasi realisasi
Pelita I 46.566 46.268 99,4
1969/1970 4.489 3.933 87,6
1970/1971 3.865 4.338 112,2
1971/1972 4.600 4.171 90,7
1972/1973 11.200 11.414 101,9
1973/1974 22.412 22.412 100
Pelita II 82.959 82.959 100
1974/1975 11.000 11.00 100
1975/1976 8.100 8.100 100
1976/1977 13.910 13.910 100
1977/1978 22.949 22.949 100
1978/1979 27.000 27.000 100
Pelita III 500.000 535.474 107,1
1979/1980 50.000 79.861 159,7
1980/1981 75.000 78.359 104,5
1981/1982 100.000 100.552 100,6
1982/1983 125.000 127.970 102,4
1983/1984 150.000 148.732 99,2
Pelita IV 750.000 629.607 83,9
1984/1985 125.000 101.888 81,5
1985/1986 135.000 166.347 123,2
1986/1987 150.000 172.859 115,2
1987/1988 165.000 51.643 31,3
1988/1989 1) 175.000 136.870 78,2
Jumlah 1.379.525 1.294.299 93,8
1) Angka sementara ( sampai dengan
Agustus )

5.3. Hasil-hasil pembangunan bidang ekonomi


5.3.1. Pertanian
Pembangunan sektor pertanian yang meliputi subsektor tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, dan perikanan, sampai dengan akhir Pelita IV tetap melanjutkan upaya
mempertahankan swasembada pangan dan peningkatan produksi pertanian. Hal itu adalah dalam
rangka memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan baku industri di dalam negeri serta
peningkatan ekspor, yang sekaligus meningkatkan pendapatan petani dan devisa negara. Dengan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 249


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

demikian selama Pelita IV sektor pertanian masih tetap berperan sebagai katalisator
pertumbuhan ekonomi, penghasil komoditi ekspor nonmigas, sumber mata pencaharian pokok
bagi sebagian besar penduduk, serta penyedia kesempatan kerja. Demikan pula swasembada
pangan khususnya beras yang telah dicapai pada awal Pelita IV terus dilanjutkan pelestariannya,
terutama yang menyangkut aspek kuantitas, kualitas, maupun penganekaragaman sumber
pangan. Untuk mencapai tujuan tersebut telah ditetapkan Trimatra pembangunan pertanian,
yang merupakan kebijaksanaan dasar yang meliputi keterpaduan komoditi, keterpaduan wilayah
dan keterpaduan usaha tani. Di samping itu telah ditetapkan pula empat langkah utama atau
catur usaha, yang merupakan usaha pokok berupa intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan
rehabilitasi. Pelaksanaan dari kebijaksanaan dasar dan usaha pokok pembangunan pertanian
tersebut diarahkan kepada terciptanya asas pemerataan, di samping tetap diusahakan adanya
pertumbuhan yang cukup tinggi, serta tetap dijaga kelestariannya. Penyempurnaan kegiatan
penyuluhan, pendidikan, penelitian, dan pemilihan teknologi pertanian tepat guna lebih
ditingkatkan untuk disebarkan ke seluruh masyarakat tani sebagai usaha pendukung laju
kegiatan pembangunan pertanian. Dengan adanya upaya-upaya tersebut diharapkan dalam
jangka panjang dapat menunjang tercapainyaa struktur ekonomi yang seimbang, yaitu
terciptanya pertanian yang tangguh yang mampu mendukung industri yang maju. Gambaran
umum hasil upaya di sektor pertanian sampai dengan tahun kelima Pelita IV dapat diikuti
melalui Tabel V.20.

5.3.1.1. Tanaman pangan


Pembangunan subsektor tanaman pangan yang dilaksanakan sejak Pelita I sampai
dengan Pelita IV telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan, terutama dari produksi
tanaman pangan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 250


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.20
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERTANIAN TERPENTING, 1969 - 1988
( dalam ribu ton, kecuali untuk susu dalam juta liter)

Jenis basil 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978
1.Beras 12.249 13.140 13.724 13.183 14.607 15.276 15.]85 15.845 15.876 17.525
2. Jag u n g 2.292 2.825 2.606 2.254 3.690 3.011 2.903 2.572 3.143 4.029
3. Ubi kayu 10.917 10.478 10.690 10.385 11.186 13.031 12.546 12.191 12.488 12.902
4. Ubi ja1ar 2.260 2.175 2.211 2.066 2.387 2.469 2.433 2.381 2.460 2.083
5.Kede1ai 389 498 516 518 541 589 590 522 523 617
6. Kacang tanah 267 281 284 282 290 307 380 341 409 446
7. Ikan 1aut 785 808 820 836 889 949 997 1.082 1.158 1.227
8. Ikan d;uat 429 421 424 433 389 388 393 401 414 420
9.Dasing 309 314 332 366 379 403 435 449 468 475
10. T e 1 u r 58 59 68 78 81 98 112 116 131 151
I1.Susu 29 29 36 38 35 57 51 58 61 62
12. K are t 778 802 804 808 815 817 782 856 838 844
13. Minyak sawit 189 217 249 270 289 348 397 431 483 532
14. Inti sawit - - - - - - - 94
15. Ke]apa / kopra 1.221 1.200 1.149 1.311 1.237 1.341 1.375 1.532 1.518 1.575
16. K 0 p i 175 185 196 214 150 149 160 194 197 223
17. T e h 62 64 71 51 67 65 70 73 76 91
18. Cengkeh 12 15 14 13 22 15 15 20 39 21
19. Lad a 17 17 24 18 29 27 23 37 43 46
20. Tembakau 84 78 76 79 80 77 82 89 84 81
21. Gu1a tebu 922 873 1.041 1.133 1.010 1.237 1.227 1.319 1.438 1.516
22. K a pos 3 3 2 1,5 1,1 2,9 2,4 0,9 0,9 0,5

Tab el V.20 (lanjutan)


Jenis basil 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1) 1985 1) 1986 1) 19871) 1988 2)
1.Beras 17.872 20.163 22.286 22.837 24.005 25.933 26.542 27.014 27.253 28.285
2. Jag u n g 3.606 3.991 4.509 3.235 5.086 5.288 4.329 5.920 5.154 6.229
3. Ubi kayu 13.751 13.726 13.301 12.988 12.102 14.167 14.057 13.312 14.356 15.419
4. Ubi jalar 2.194 2.079 2.094 1.676 2.213 2.157 2.161 2.090 2.013 2.272
5.Kedelai 680 653 704 521 536 769 870 1.227 1.161 1.316
6. Kacang tanah 424 470 475 437 460 535 528 642 523 585
7. lkan taut 1.318 1.395 1.408 1.491 1.682 1.713 1.822 1.923 2.029 2.185
8. Ikan darat 430 455 506 507 532 548 574 607 641 676
9.Dasing 486 571 596 629 650 742 808 879 927 954
to. Tel u r 164 259 275 297 319 355 370 437 495 547
11. Susu 72 78 86 117 143 179 . 192 220 227 266
12. K are t 898 1.020 963 899 1.007 1.032 1.055 1.040 1.141 1.189
13. Minyak sawit 642 701 748 884 982 1.144 1.243 1.269 1.477 2.018
14. Inti sawit 108 126 135 157 166 246 258 265 287 416
15. Kelapa I kopra 1.582 1.759 1.812 1.723 1.607 1.750 1.920 2.091 2.001 2.047
16. K 0 p i 228 285 295 281 305 327 311 339 358 394
17. T e h 125 106 110 93 110 124 127 136 135 144
18. Cengkeh 35 39 40 33 41 48 43 54 57 61
19. Lad a 47 37 39 34 46 43 41 40 48 41
20. Tembakau 87 116 118 106 109 108 161 164 115 123
21. Gula tebu 1.601 1.831 1.700 1.618 1.628 1.806 1.899 2.017 2.127 2.458
22. Kapas 0,6 3 11 18 13 24 24 19 23 27
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Di antara berbagai keberhasilan pembangunan subsektor tanaman pangan adalah


tercapainya swasembada sejak tahun 1984 dan adanya peningkatan produksi beberapa komoditi
tanaman lainnya. Keadaan ini merupakan landasan yang kuat untuk mencapai swasembada
pangan secara umum, guna mewujudkan pertanian yang tangguh. Peningkatan produksi pangan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 251


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

khususnya beras yang mengesankan selama ini, di samping disebabkan adanya perluasan areal
pertanian tanaman pangan yang dilaksanakan melalui pencetakan sawah, rehabilitasi lahan kritis,
perbaikan tata guna air, dan pembinaan pertanian pangan di wilayah transmigrasi, juga
disebabkan oleh adanya usaha intensifikasi yang terutama didukung oleh teknologi produksi dan
perbaikan pendayagunaan sarana produksi, seperti bibit dan benih unggul, pupuk, pestisida,
serta perbaikan irigasi. Sejalan dengan perkembangan penggunaan saran a produksi, semakin
berkembang pula kegiatan terpadu daripada penyuluhan pertanian, dan penyediaan sarana
produksi pertanian dan kredit, yaitu dengan mengetrapkan rekayasa sosial seperti supra Insus
pada padi. Pola supra Insus yang telah dilaksanakan sejak musim tanam tahun 1987 adalah
merupakan intensifikasi khusus (Insus) antarkelompok tani pelaksana Insus dalam hamparan
usaha tani seluas minimal satu unit tertier, yang didukung dengan kerjasama antarkelompok tani
sewilayah kerja penyuluh pertanian (WKPP) dan wiIayah kerja balai penyuluh pertanian
(WKBPP). Dengan demikian dapat dioperasikan 10 unsur teknologi supra Insus berupa
pengaturan pola tanam, pengolahan tanah secara sempurna, penggiliran varitas padi dalam
setahun, penggunaan benih bermutu tinggi, populasi tanaman lebih dari 200 ribu rumpun per
hektar, pengendalian hama penyakit secara terpadu, pemupukan berimbang, penggunaan pupuk
pelengkap cair, perbaikan tataguna air di tingkat usaha tani, serta perlakuan panen dan pasca
panen yang baik. Untuk menunjang usaha tersebut sampai dengan tahun 1988 telah diangkat
30.427 orang tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan 1.559 orang penyuluh pertanian
spesialis (PPS) yang tersebar di wilayah kerja penyuluh pertanian (WKPP) di 27 propinsi.
Dengan demikian kelompok tani, yang merupakan basis penyuluhan dan wahana untuk
menumbuhkan partisipasi petani dalam pembangunan, telah semakin berkembang. Sejalan
dengan itu kelembagaan pelayanan di tingkat terdekat pada petani, terutama BRI unit desa,
koperasi unit desa (KUD), dan kios sarana produksi terus meningkat, baik jumIah maupun mutu
pelayanannya. Dari Tabel V.21 dapat terlihat perkembangan realisasi penyaluran kredit kepada
petani padi sampai dengan bulan September 1988.
Pada awal Pelita IV Indonesia telah berhasil mencapai swasembada dalam penyediaan
beras secara nasional, yaitu pada saat produksi mencapai 25,9 juta ton pada tahun 1984. Dalam
tahun-tahun berikutnya terus terjadi peningkatan, sehingga pada tahun 1987 mencapai 27,3 juta
ton, dan dalam tahun 1988 diperkirakan mencapai 28,3 juta ton, sedangkan produksi beras
sampai bulan Agustus 1988 telah mencapai 24,4 juta ton. Dengan luas panen seluas 9.943 ribu
hektar, rata-rata produksi beras perhektarmeningkatdari 2, 75ton pada tahun 1987 menjadi 2,84

Departemen Keuangan Republik Indonesia 252


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

ton pada tahun 1988 atau berarti meningkat 3,3 persen (lihat Tabel V.22). BerhasiInya
peningkatan produksi beras dalam tahun pertama sampai dengan tahun kelima Pelita IV
disebabkan oleh meningkatnya areal luas panen setiap tahunnya, serta meningkatnya areal luas
tanam intensifikasi padi dan areal tanam intensifikasi khusus/insus (lihat Tabel V.23).
Sejalan dengan upaya pengembangan tanaman pangan, produksi palawija terutama
jagung, kedelai, dan kacang tanah dalam tahun 1988 diperkirakan akan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan produksi ubi kayu dan ubi jalar masih
banyak dipengaruhi oleh keadaan iklim, curah hujan, cuaca, serta lahan yang dipergunakan,
dimana lahan tersebut kadang-kadang bergeser menjadi lahan padi dan sayuran. Namun
demikian produksi ubi kayu dan ubi jalar dalam tahun 1988 diperkirakan masih mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan produksi palawija tersebut
karena adanya penyebaran bibit dan benih varitas unggul, pelaksanaan Bimas palawija,
pelayanan kredit sarana produksi, kegiatan pengapuran lahan pertanian, serta kegiatan penelitian
dan penyuluhan yang intensif. Perkembangan mengenai produksi palawija dan penyaluran
kredit bagi petani palawija masing-masing dapat diikuti dalam Tabel V.24 dan Tabel V.25.
Sebagaimana terlihat pada Tabel V.26, selama pelaksanaan Pelita IV produksi
hortikultura dan luas panennya mengalami perkembangan yang bervariasi, antara lain
disebabkan karena tidak normalnya iklim dan curah hujan, serta adanya gangguan hama
penyakit. Berhubung dengan itu pengembangan produksi hortikultura tetap ditekankan pada
pengembangan produksi sayur-sayuran dan buah-buahan di sekitar kota yang mudah
pemasarannya, pengembangan industri pengolahan dan pengawetan buah-buahan dan sayur-
sayuran yang telah ada, serta pembentukan industri pengolahan dan pengawetan di daerah
sentra-sentra produksi hortikultura. Hasil produksi hortikultura dalam tahun 1987 secara
keseluruhan telah mengalami peningkatan sebesar 0,9 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hal tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan produksi sayur-sayuran sebesar
4,3 persen, yaitu dari sebesar 4.171,0 ribu ton dalam tahun 1986 menjadi sebesar 4.349,0 ribu
ton dalam tahun berikutnya. Peningkatan hasil produksi tanaman pangan berhubungan erat
dengan penggunaan pupuk dan pestisida, sejalan dengan semakin luasnya areal panen dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 253


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.21
PENYALURAN KREDIT BIMAS, INMAS DAN KUT PADI, 1971/1972 - 1988/1989
( dalam juta rupiah dan ribu orang)

Tahun Realisasi penyaluran Pengembalian Jumlah petani


Kredit kredit poserta
1971/1972 9.806,40 9.452,70 1.538,40
1972/1973 15.216,80 14.455,70 2.017,40
1973/1974 36.485,90 33.640,20 3.106,90
1974/1975 53.087,90 48.422,80 3.603,20
1975/1976 72.256,70 64.930,60 3.581,90
1976/1977 71.282,40 61.869,20 3.004,10
1977 /1978 1) 62.512,10 52.755,40 2.470,40
1978/1979 60.283,60 50.361,50 2.151,10
1979/1980 49.480,20 42.588,10 1.606,40
1980/1981 50.101,90 40.761,50 1.519,80
1981/1982 59.823,30 43.183,20 1.740,20
1982/1983 2) 81.660,50 57.342,10 520,2
1983/1984 33.612,70 24.905,70 723,3
1984/1985 8.622,50 6.960,20 200,9
1985/1986 3) 9.585,80 8.838,10 673
1986/1987 13.113,90 11.815,50 787
1987/1988 74.842,40 40.279,20 3.001
1988/1989 4) 33.230,60 2.976,00 1.143
I) Termasuk Kredit inmas padi yang mulai berlangsung MT 1977/1978 sId MT 1979/1980
2) Sejak MT 1982/1983 s/d MT 1984/1985 termasuk Bimas yang disalurkan melalui KUD
3) Sejak MT 1985/1986 kredit Bimas dan inmas dilayani melalui pola Kredit Usaha Tani;
MT 1985/1986 dan MT 1986/1987 jumlah posertanya KUD;
MT 1987/1988 jumlah pesertanya 1.874 KUD dan 1.127 Kelompok Tani;
MT 198811989 jumlah pesertanya 1.103 KUD dan 40 Kelompok Tani.
4) Posisi sampai dengan akhir September 1988.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 254


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V. 22
AREAL PANEN DAN PRODUKSI BERAS, 1969 - 1988
Produksi
beras Rata-rata
Tahun Areal panen produksi beras
( ribu ha ) ( ribu ton) ( ton / ha )
1969 8.014 12.249 1,53
1970 8.135 13.140 1,62
1971 8.324 13.724 1,65
1972 7.898 13.183 1,67
1973 8.403 14.607 1,74
1974 8.509 15.276 1,3
1975 8.495 15.185 1,79
1976 8.369 15.845 1,89
1977 8.360 15.876 1,9
1978 8.929 17.525 1,96
1979 8.803 17.872 2,03
1980 9.005 20.163 2,34
19.81 9.382 22.286 2,38
1982 8.988 22.837 2,54
1983 9.162 24.005 2,62
1984 9.764 25.933 2,66
1985 9.902 26.542 2,68
1986 1) 9.988 27.014 2,7
1987 1) 9.923 27.253 2,75
1988 1) 10,299 28.285 2,84
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

meningkatnya program Insus. Perkembangan penggunaan pupuk dan pestisida secara


keseluruhan dapat diikuti melalui Tabel V.27 dan Tabel V.28. Kenaikan penggunaan pupuk
terutama disebabkan oleh meningkatnya penggunaan pupuk jenis N dan K20, yaitu dari masing-
masing sebesar 1.148,4 ribu ton dan 61,1 ribu ton dalam tahun 1986, menjadi 1.238,8 ribu ton
dan 87,7 ribu ton dalam tahun 1987, atau meningkat sebesar 7,9 persen dan 43,5 persen.
Sedangkan meningkatnya penggunaan pestisida terutama disebabkan oleh bertambahnya
penggunaan jenis insektisida, yang mengalami kenaikan sebesar 1,6 persen, yaitu dari sebesar
17.654,0 ton dalam tahun 1986 menjadi sebesar 17.943,0 ton dalam tahun 1987.

5.3.1.2. Tanaman perkebunan


Pembangunan subsektor perkebunan sampai akhir pelaksanaan Pelita IV ditujukan
kepada peningkatan produksi dan ekspor nonmigas, serta memenuhi kebutuhan dalam negeri
terutama untuk keperluan industri. Usaha tersebut dilaksanakan melalui upaya peremajaan,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 255


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

rehabilitasi, penganekaragaman komoditi, pemanfaatan lahan kering dan lahan transmigrasi,


pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna, penyuluhan dan pembinaan terpadu,
penyediaan sarana dan pelayanan kredit, pengembangan proses pengolahan, serta pe-
nyempurnaan informasi pemasaran hasil. Di samping itu pembangunan subsektor perkebunan
juga berperan dalam upaya pemecahan masalah-masalah nasional, terutama dalam menunjang
penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan petani produsen, pemerataan pengembangan
wilayah, mendukung program transmigrasi, serta peningkatan pemanfaatan sumber daya alam
dan pelestariannya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut telah diterapkan 4 pola
pengembangan perkebunan, yang mencakup pola perusahaan inti rakyat (PIR), pola unit
pelaksana proyek (UPP), pola swadaya, dan pola pengembangan perkebunan besar swasta
nasional (PBSN). Keempat pola pengembangan tersebut merupakan upaya untuk menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, dimana petani yang tidak mempunyai lahan dan modal ditangani
melalui pola PIR yang terkait dengan kegiatan transmigrasi, sedangkan petani yang hanya
mempunyai lahan tetapi kemampuan modalnya terbatas ditangani dengan pola UPP. Petani yang
sudah mempunyai potensi untuk berkembang ditangani melalui pola swadaya, dengan dibantu
pemerintah untuk hal-hal yang bersifat partial, sehingga swadaya dari masyarakat petani
tersebut dapat terdorong untuk berkembang. Sedangkan para pengusaha yang mempunyai modal
dan kemampuan, didorong untuk berpartisipasi di dalam pengembangan perkebunan besar, baik
dengan pola PBSN, fasilitas penanaman modal dalam negeri (PMDN), ataupun sebagai inti dari

Departemen Keuangan Republik Indonesia 256


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.23
LUAS PANEN BIMAS DAN INMAS PADI 1), 1969 - 1987
( dalam ribu hektar)
Bimas Inmas
Tahun Jumlah
Biasa Baru Biasa Baru
1969 926 383 722 99 2.130
1970 803 445 571 334 2.153
1971 827 569 867 525 2.788
1972 621 582 1.166 800 3.169
1973 662 1.170 1.076 1.080 3.988
1974 474 2.202 410 638 3.724
1975 425 2.258 343 611 3.637
1976 321 2.103 370 819 3.613
1977 272 1.797 669 1.512 4.250
1978 236 1. 724 800 2.088 4.848
1979 197 1.374 851 2.601 5.023
1980 125 1.249 858 3.284 5.516
1981 119 1.265 868 3.934 6.186
1982 1.219
77 701 4.346 6.343
1983 68
1.240 724 4.663 6.695
1) Sampai dengan tahun 1979 tidak termasuk lnsus.

T a b e l V.24
LUAS PANEN DAN PRODUKSI PALAWIJA, 1969 -1988
( dalam ribu hektar untuk luas panen, dan ribu ton untuk produksi)
Jagung Ubi kayu Ubi jalar Kacang tanah Kedelai
Tahun
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
panen panen panen panen panen
1969 2.435 2.292 1.467 10.917 369 2.260 372 267 554 389
1970 2.939 2.825 1.398 10.478 357 2.175 380 281 695 498
1971 2.626 2.606 1.406 10.690 357 2.211 376 284 680 516
1972 2.160 2.254 1.468 10.385 338 2.066 354 282 697 518
1973 3.433 3.690 1.429 11.186 379 2.387 416 290 743 541
1974 2.667 3.011 1.509 13.031 330 2.469 411 307 768 589
1975 2.445 2.903 1.410 12.546 311 2.433 475 380 752 590
1976 2.095. 2.572 1.353 12.191 301 2.381 414 341 646 522
1977 2.567 3.143 1.364 12.488 326 2.460 507 409 646 523
1978 3.025 4.029 1.383 12.902 301 2.083 506 446 733 617
1979 2.594 3.606 1.439 13.751 287 2.194 473 424 784 680
1980 2.735 3.991 1.412 13.726 276 2.079 506 470 732 653
1981 2.955 4.509 1.388 13.301 275 2.094 508 475 810 704
1982 2.061 3.235 1.324 12.988 220 1.676 461 437 606 521
1983 3.0m 5.086 1.220 12.102 280 2.213 480 460 639 536
1984 3.086 5.288 1.350 14.167 264 2.157 538 535 859 769
1985 2.440 4.329 1.292 14.057 256 2.161 510 528 896 870
1986 1) 3.143 5.920 1.170 13.312 253 2.090 601 642 1.254 1.227
1987 1) 2.626 5.154 1.222 14.356 229 2.013 551 523 1.101 1.161
1988 2) 3.179 6.229 1.292 15.419 262 2.272 606 585 1.230 1.316
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 257


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.25
PENYALURAN KREDIT BIMAS DAN KUT PALAWIJA, 1973/1974 - 1988/1989
(dalam juta rupiah dan ribu orang)

Tahun Realisasi penyaluran Pengembalian Jumlah petani


Kredit kredit peserta
1973/1974 1.277,30 1.192,50 143,8
1974/1975 5.367,90 4.352,80 360,5
1975/1976 9.074,40 7.399,50 442,5
1976/1977 8.917,30 7.110,00 348,7
1977/1978 6.894,80 5.562,60 235,7
1978/1979 1) 6.496,40 5.097,50 195,1
1979/1980 5.230,40 4.306,90 159,7
1980/1981 6.211,90 4.286,60 146,3
1981/1982 9.304,70 5.444,50 245,6
1982/1983 10.958,40 6.433,10 235,4
1983/1984 4.009,70 2.560,90 78,3
1984/1985 1.031,00 715,7 23,4
1985/1986 2) 1.456,00 1.154,30 214
1986/1987 1.135,30 977,2 205
1987/1988 3.167,20 1.349,50 296
1988/1989 3) 2.107,70 26,1 166
1) MT 1978/1979 termasuk Bimas Palawija tumpangsari.
2) Sejak MT 1985/1986 kredit Bimas Palawija dilayani melalui pola Kredit Usaha Tani;
MT 1985/1986, MT 1986/1987 dan MT 1988/1989 jumlah pesertanya masing-masing KUD;
MT 1987/1988.jumlah pesertanya 287 KUD don 9 Kelompok Tani.
3) Posisi sampai dengan akhir September 1988.

proyek pola PIR. Demikian pula usaha pembangunan perkebunan besar negara yang terdiri dari
PNP dan PTP lebih ditingkatkan peranannya sebagai kebun inti dalam pembukaan wilayah baru
untuk usaha perkebunan dengan pola PIR.

Seperti terlihat pada Tabel V.29, berhasilnya usaha perkebunan rakyat dalam tahun
1987 ditandai dengan meningkatnya hasil karet, kopi, cengkeh, teh, dan lada, masing-masing
sebesar 13,0 persen, 5,1 persen, 7,7 persen, 3,2 persen dan 20,0 persen. Demikian pula dengan
tanaman semusim seperti gula tebu dan kapas, yang dalam tahun 1987 masing-masing mencapai
1.599,0 ribu ton dan 23,0 ribu ton, atau meningkat sebesar 2,0 persen dan 21,1 persen dari tahun
sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh adanya upaya peningkatan
produktivitas tanaman dalam rangka meningkatkan pendapatan petani yang berasal dari areal

Departemen Keuangan Republik Indonesia 258


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

proyek tebu rakyat intensifikasi (TRI) dan intensifikasi kapas rakyat (IKR), pada wilayah-
wilayah utama yang mendapat dukungan kredit program massal. Sedangkan hasil produksi
perkebunan rakyat kelapa/kopra dan tembakau, dalam tahun 1987 belum menunjukkan kenaikan
karena sedang dilakukannya peremajaan tanaman dan adanya penyakit tanaman. Meskipun
hampir keseluruhan hasil perkebunan rakyat dalam tahun ke empat Pelita IV telah meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun usaha -usaha ke arah peningkatan produksi dan
produktivitasnya terus diupayakan.
T a b e l IV.26
LUAS PANEN DAN PRODUKSI HORTIKULTURA,
1969 -1987
( dalam ribu bektar untuk luas panen, dan ribu ton untuk produksi )
Buah-buahan
Tahun Sayuran
Luas panen Produksi Luas panen Produksi
1969 600 1.791 488 2.272
1970 641 1.832 533 3.332
1971 715 2.067 554 3.435
1972 694 2.120 666 3.906
1973 676 2.295 696 4.249
1974 647 2.293 614 4.731
1975 531 1.889 623 3.743
1976 459 1.641 528 2.725
1977 558 1.83} 445 3.624
1978 642 1.927 436 2.709
1979 660 1.861 529 3.512
1980 673 2.127 541 4.206
1981 921 2.068 561 4.336
1982 632 2.038 560 4.226
1983 738 2.474 542 3.867
1984 J) 1.043 3.239 634 4.587
1985 J) 1.051 3.516 578 4.155
1986 J) 1.231 4.171 774 5.128
1987 2) 816 4.349 645 5.033
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 259


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.27
PENGGUNAAN PUPUK UNTUK TANAMAN PANGAN, 1969 -1987
( dalam ribu ton kadar pupuk )

Tahun N PzOs KzO


1969 155,2 36,2 1
1970 162,1 31,3 3,6
1971 219,2 24,2 1
1972 262,3 43,5 2,3
1973 312 65,3 1,9
1974 290,3 95,7 6,8
1975 311,3 110,2 1
1976 313,3 99,3 3
1977 442,4 104,7 9,7
1978 478,9 126,9 11,7
1979 550,9 129,9 17,8
1980 787,3 210,9 13,9
1981 946 299,2 14,9
1982 1.060,10 354,6 43,3
1983 986,2 322,9 60,1
1984 1.137,30 388,1 74,7
1985 1.117,70 408,8 67,4
1986 1) 1.148,40 634,7 61,1
1987 z) 1.238,80 490,4 87,7
1) Angka diperbaiki
2) Angka semen!ara

Dalam hal perkebunan besar swasta, dalam Pelita IV telah dilaksanakan usaha untuk
meningkatkan kemampuan manajemen dan teknis, usaha rehabilitasi perkebunan dengan
fasilitas kredit bank, serta pengembangan pola PIR dengan inti perkebunan besar swasta,
Sampai dengan tahun 1987 telah banyak hasil-hasil yang dapat dicapai oleh perkebunan besar
swasta, seperti meningkatnya produksi karet, teh, gula tebu, dan minyak sawit, masing-masing
sebesar 23,5 persen, 5,6 persen, 48,1 persen dan 11,0 persen dari tahun sebelumnya (lihat Tabel
V.30).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 260


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.28
PENGGUNAAN PESTISIDA UNTUK TANAMAN PANGAN, 1969 - 1987
( dalam ton)

Tahun Insektisida Rodentisida 1)


1969 1.209,30 33,7
1970 1.075,60 52,5
1971 1.555,60 53
1972 1.410,00 53
1973 1.504,20 116
1974 1.638,00 46,8
1975 2.464,00 84
1976 3.432,50 158
1977 4.268,10 113
1978 4.165,00 121
1979 4.191,10 79
1980 6.386,90 78,1
1981 8.943,20 19,5
1982 11.254,80 109,5
1983 14.258,50 171,2
1984 2) 14.373,00 88
1985 3) 15.193,00 82
1986 4) 17.654,00 87
1987 5) 17.943,00 68

1) Ekivalen Zinkphospide
2) Angka diperbaiki
3) Angka semen!ara

Selain usaha-usaha yang telah dilakukan pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta,
usaha pembangunan diarahkan juga kepada peningkatan efisiensi perkebunan besar negara, baik
dengan mengembangkan teknologi baru maupun dengan meningkatkan efisiensi pengolahan
sesuai dengan perkembangannya. Di samping itu PNP/PTP lebih ditingkatkan lagi peranannya
di dalam bidang perkebunan rakyat, sebagai kebun inti dalam pembukaan wilayah baru
perkebunan dengan pola PIR. Seperti terlihat dalam Tabel V .31, produksi dari perkebunan
besar negara yang berupa minyak sawit, inti sawit, kopi, tembakau, dan gula tebu, dalam tahun
1987 telah mencapai masing-masing sebesar 1.093 ribu ton, 214 ribu ton, 16 ribu ton, 7 ribu ton,
dan 371 ribu ton. Apabila dibandingkan dengan produksinya dalam tahun 1986 yang masing-
masing sebesar 923 ribu ton, 192 ribu ton, 13 ribu ton, 5 ribu ton, dan 343 ribu ton, berarti
terdapat peningkatan masing-masing sebesar 18,4 persen, II,5 persen, 23,1 persen, 40,0 persen,
dan 8,2 persen. Selanjutnya jenis tanaman perkebunan baru, yaitu coklat, selama empat tahun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 261


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

terakhir ini juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, dan dalam tahun 1987 produksinya
mengalami peningkatan sebesar 31,6 persen dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya,
sehingga mencapai sebanyak 25 ribu ton.

Tab e l V.29
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERKEBUNAN RAKYAT, 1969 - 1987
( dalam ribu ton)
Kelapa/ Gula Temba-
Tahun Karet kopra Kopi Cengkeh Teh tebu kau Lada Kapas

1969 558 220 162 11 22 220 75 17 2,4


1970 571 1.198 170 15 21 196 69 17 2,6
1971 572 1.147 178 14 24 221 69 24 1,3
1972 559 1.308 196 13 7 247 74 18 1,5
1973 599 1.233 140 22 14 199 69 29 1,1
1974 571 1.335 132 15 14 250 69 27 2,9
1975 536 1.370 144 15 14 223 74 23 2,4
1976 610 1.527 178 17 13 267 78 37 0,9
1977 584 1.513 181 37 14 352 72 43 0,9
1978 612 1.554 206 21 17 485 68 46 0,5
1979 616 1.561 209 35 17 498 73 47 0,6
1980 715 1.630 276 34 21 1.203 69 37 3
1981 642 1.765 290 29 24 1.364 100 40 11
1982 585 1.707 262 32 17 1.352 97 34 17,7
1983 673 1.605 287 44 23 1.254 102 46 13
1984 704 1.737 303 47 24 1.393 104 43 24
1985 720 1.905 288 41 30 1.450 156 41 24
1986 1) 709 2.075 316 52 31 1.568 159 40 19
1987 1) 801 1.985 332 56 32 1.599 108 48 23
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Secara keseluruhan sampai dengan tahun 1987, produksi hasil-hasil perkebunan telah
mengalami banyak peningkatan. Namun demikian keadaan harga pasar internasional daripada
beberapa komoditi perkebunan. dewasa ini kurang mendukung pengembangan produksi di
dalam negeri. Demikian pula munculnya negara-negara produsen baru bagi komoditi-komoditi
perkebunan tersebut, menambah ketatnya persaingan dalam upaya pemasaran hasilnya. Di
samping itu kualitas hasil produksi masih sering kurang memenuhi standar internasional,
terutama karena lemahnya penanganan pasca panen. Hal ini terutama disebabkan oleh karena
bagian terbesar produksi komoditi perkebunan dihasilkan oleh perkebunan rakyat, yang pada
umumnya lemah dalam permodalan dan penguasaan teknologinya. Hal tersebut pada gilirannya
mempengaruhi nilai ekspor dari komoditi utama perkebunan Indonesia. Perkembangan volume
dan nilai ekspor hasil utama perkebunan dapat diikuti dalam Tabel V.32 dan Tabel V.33.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 262


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.30
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERKEBUNAN BESAR SWASTA, 1969 -1987
( dalam ribu ton)
Kelapa Gula Minyak Inti
Tahun Karet kopra Kopi Cengkeh Teh tebu sawit sawit
1969 110 1 55 1,1 9 72 60 13
1970 113 2 6 0,08 9 74 70 15
1971 114 2 7 0,05 10 122 79 18
1972 123 3 6 0,17 7 130 81 17
1973 109 4 4 0,11 10 118 82 18
1974 108 6 7 0,17 11 127 104 21
1975 109 5 6 0,14 10 126 126 24
1976 104 5 6 0,15 11 152 145 27
1977 107 5 6 1,6 11 162 147 29
1978 110 21 7 0,2 15 71 165 22
1979 112 21 8 0,2 16 73 168 23
1980 120 33 6 0,4 18 84 221 38
1981 127 25 9 0,4 14 116 266 41
1982 125 11 6 0,2 16 72 285 47
1983 133 14 8 0,6 17 88 710 96
1984 124 13 10 0,9 18 83 329 69
1985 124 15 10 1,3 17 106 339 71
1986 1) 115 16 10 1,4 18 106 346 73
1987 2) 142 16 10 1 19 157 384 73
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 263


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.31
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERKEBUNAN NEGARA, 1969 - 1987
( dalam ribu ton)

Minyak Tembakau Gula


Tahun Karet sawit Inti sawit Teh Kopi tebu
1969 110 129 23 31 8 9 630
1970 118 147 33 34 9 9 603
1971 118 170 39 37 11 7 708
1972 121 189 42 37 12 5 756
1973 137 207 46 43 6 11 293
1974 138 244 52 40 10 8 860
1975 137 271 57 46 10 8 878
1976 142 286 56 49 10 11 902
1977 147 338 64 51 10 12 924
1978 162 367 72 59 10 13 960
1979 170 474 85 92 11 14 1.030
1980 186 499 90 68 13 15 273
1981 193 533 100 72 16 9 220
1982 189 599 110 61 13 9 195
1983 201 710 97 70 10 9 291
1984 204 815 177 82 14 4 330
1985 211 904 187 80 13 5 343
19861) 216 923 192 87 13 5 343
1987 2) 198 1.093 214 84 16 7 371

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 264


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.32
VOLUME EKSPOR HASIL UTAMA PERKEBUNAN, 1969 - 1987
(dalam ribu ton)
Kopra dan
Tahun Karet Minyak sawit Inti sawit Teh Kopi Tembakau Lada kopra
1969 857,5 179,1 42,7 36,1 127,1 5,7 16,7 349,1
1970 79,2 159,2 42,4 41,1 104,3 11 2,6 393,1
1971 789,3 209 48,6 44,8 74,3 18,3 24,2 322,5
1972 774,6 236,5 51,4 44 107 26,7 25,7 327,1
1973 890,2 262,7 39,2 39,6 100,8 33,3 25,6 282
1974 840,4 281,2 28,5 55,7 111,8 33,6 15,7 252,6
1975 788,3 386,2 21 45,9 128,4 19,6 15,2 329,1

1976 811,5 405,6 25,6 47,5 136,4 20,5 28,8 396,7


1977 800,2 404,6 25,2 51,3 160,4 25,9 30,9 335,9
1918 918,2 412,3 7,3 61,6 222,3 27,3 38 324,4
1979 986,9 437,3 30,6 65,9 230,7 24,9 25,7 313,7
1980 987,9 434,3 32,6 75,8 239,4 28,9 30,9 402,2
1981 909,5 176,4 23,6 83,2 225,3 27,5 35 332
1982 861,2 231,6 6,2 76,3 234,5 19,4 37,3 337,1
1983 1.041,30 372,2 14,1 76,5 259,6 25,7 47 328,4
1984 1) 1.121,70 157,9 14,7 95,8 312,5 23 38,9 140
1985 I) 1.080,60 468,5 98 100,8 300,1 21,1 26,8 381
1986 1) 1.046,50 566,9 37 89,7 310,3 24,9 30,8 375,7
1987 2) 1.082,00 470,9 - 80,6 286 19 28,5 381,4
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

T a b e l V.33
NILAI EKSPOR HASIL UTAMA PERKEBUNAN, 1969 - 1978
(dalam juta US $)

Jenis komoditi 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978
Karet 220,7 260,9 222,2 195,9 395 487,3 365 535,1 593,8 720,5
Kopra dan bungkil kopra 20,5 35,1 26,2 17,6 23,6 23,2 28,9 31,2 38,1 35
Kopi 51,3 65,8 72,4 77,4 101,3 101,1 250 634 509,7 655,4
Tembakau 13,8 11,5 19,9 30 44,9 35,5 37,8 39,2 61,1 59,3
Minyak sawit 22,2 36,5 46,3 42 72,5 lr.;6,0 158,1 142,8 192,8 208,3
Inti sawit 4,2 5,2 5,5 3,7 4,8 8,4 5,1 3,7 5,8 1,5
Lada 10,4 2,9 24,7 20,5 28 24,6 22,8 46,2 65,6 69,8
Teh 9,7 17,3 28,7 31,4 30,2 43,6 53,1 55 121 92,3
Bunga, biji pala dan cengkeh 1,6 2,1 1,8 2,1 1,7 2,5 5 9,7 10,9 11,2
Rempah-rempah lainnya 4) 3,5 4,3 4,4 3,4 6,5 6,1 3,7 5,6 7,8 9
J umIah 357,8 441,4 435,1 419 684,6 989,5 780,5 1.117,70 1.730,90 1.716,60

Departemen Keuangan Republik Indonesia 265


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T ab e l V.33 (lanjutan)

Jenis komoditi 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1) 1985 1) 1986 1) 1987 2)

Karet 1.002,80 1.113,30 884,6 605,4 858,8 958,1 720,4 720,4 949,3
Kopra dan bungkil kopra 41,6 52 37,4 34,9 32,9 21,3 31,7 34,8 39,1
K0pi 654,8 654,8 373,9 344 446,1 575,5 580 829,8 535,5
Tembakau 60,3 68,1 52,1 38,1 47,6 44,6 44 72,3 57
Minyak sawit 253,7 215,4 78,1 82,6 119 75,5 181 112,9 120,4
Inti sawit 11 8 4,8 1,1 3 2,6 4,8 0,6 -
Lada 47,3 51,7 46,8 46,7 52,3 64,9 77,9 139,6 148,2
Teh 91,7 94,9 95,5 116,8 124,3 226,6 151,3 101,4 106,1
Bunga, biji pala dan cengkeh 10,9 27,9 80,3 0,33) 0,43) 17,3 13,5 14,8 32,24)
Rempah-rempah lainnya S) 0,3 - - - - --
Jumlah 2.175,00 2.286,00 1.653,50 1.269,90 1.684,40 1.986,40 1.804,60 2.026,60 1.987,80
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Hanya cengkeh
4) Hanya pala
5) Sejak tahun 1980 sid tahun 1983 tidak ada nilai ekspor, untuk tahun 1984 sid 1987 data belum tersedia,

5.3.1.3. Peternakan

Pembangunan subsektor peternakan diarahkan kepada peningkatan populasi ternak dan


produksi hasil ternak, dalam rangka memenuhi konsumsi pangan protein hewani, penyediaan
bahan baku industri di dalam negeri, peningkatan ekspor dan substitusi impor . guna
meningkatkan penerimaan dan menekan penggunaan devisa, membuka lapangan kerja, serta
meningkatkan pendapatan peternak. Sehubungan dengan itu peningkatan populasi dan mutu
ternak diupayakan melalui penyediaan dan penyebaran bibit unggul, pemeliharaan kesehatan
ternak, penyuluhan, pengembangan usaha makanan ternak, dan pemanfaatan limbah pertanian.
Untuk itu telah dibangun beberapa pusat pembibitan ternak sapi dan hijauan makanan ternak,
serta sentra-sentra inseminasi buatan di berbagai tempat. Sedangkan untuk mencukupi
kebutuhan makanan ternak dalam bentuk konsentrat, sampai dengan tahun 1988 telah didirikan
68 pabrik ransum makanan ternak. Kemudian untuk pemeliharaan kesehatan temak telah
diupayakan peningkatan mutu dan jumlah vaksin serta obat-obatan produksi dalam negeri, yang
kegiatannya ditunjang oleh laboratorium diagnostik dan balai penyidikan penyakit hewan.
Sementara itu upaya peningkatan produktivitas ternak telah dilakukan melalui penyuluhan dan
pembinaan keterampilan kelompok-kelompok petani peternak.

Hasil daripada berbagai usaha yang telah dilaksanakan di subsektor peternakan dalam
tahun keempat Pelita IV antara lain tercermin dari meningkatnya populasi ternak. Dari Tabel
V.34 terlihat bahwa dalam tahun 1987 keseluruhan populasi ternak telah mengalami
peningkatan sebesar 13,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut

Departemen Keuangan Republik Indonesia 266


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

terutama disebabkan oleh meningkatnya populasi ayam dan sapi, walaupun populasi ternak
lainnya mengalami sedikit penurunan. Sejalan dengan kenaikan populasi ternak, produksi
daging, telur dan susu juga mengalami peningkatan. Seperti terlihat dalam Tabel V.35, selama
tahun 1987 hasil ketiga produk tersebut masing-masing telah mencapai 926,9 ribu ton, 494,6
ribu ton, dan 227,0 juta liter. Apabila dibandingkan dengan produksi dalam tahun 1986 yang
masing-masing berjumlah 879,0 ribu ton, 437,0 ribu ton, dan 219,9 juta liter, maka produksi
daging telah meningkat sebesar 5,4 persen, produksi telur sebesar 13,2 persen, dan produksi
susu sebesar 3,2 persen. Meskipun secara keseluruhan produksi di subsektor peternakan dalam
tahun 1987 mengalami peningkatan, namun karena kebutuhan akan daging dan konsumsi
protein hewani di dalam negeri terus meningkat, sebagai akibatnya volume ekspor ternak besar
tidak dapat berkembang. Perkembangan volume dan nilai ekspor ternak serta hasil-hasilnya
dapat diikuti pada Tabel V.36 dan Tabel V.37.

5.3.1.4. Perikanan
Sasaran pembangunan subsektor perikanan sampai dengan akhir Pelita IV ditujukan
kepada peningkatan produksi perikanan melalui budidaya di daerah pantai, daerah tambak dan
air tawar, usaha penangkapan di daerah pantai dan lepas pantai, serta usaha pendayagunaan zona
ekonomi eksklusif dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya perikanan dan
lingkungan hidup. Peningkatan produksi perikanan tersebut pada gilirannya meningkatkan pula
ekspor hasil perikanan, konsumsi ikan, dan bahan baku industri dalam negeri, yang sekaligus
akan memperluas lapangan kerja dan berusaha, meningkatkan pendapatan nelayan dan petani
ikan, serta menunjang pembangunan daerah terutama desa pantai.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 267


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.34
POPULASI TERNAK, 1969 - 1988
( dalam ribu ekor)
Sapi
Tahun Sapi perahan Kerbau Kambing Domba Babi Kuda Ayam ltik
1969 6.447 52 2.976 7.544 2.998 2.378 642 62.476 7.269
1970 6.130 59 2.976 6.336 3.362 3.169 692 63.438 7.370
1971 6.245 66 2.976 6.943 3.146 3.382 665 75.640 10.416
1972 6.286. 68 2.882 7.189 2.996 3.350 693 82.627 12.404
1973 6.637 78 2.489 6.793 3.457 2.768 645 84.380 11.124
1974 6.380 86 2.415 6.517 3.403 2.906 600 93.100 13.620
1975 6.242 90 2.432 6.315 3.374 2.707 627 98.475 14.125
1976 6.237 87 2.284 6.906 3.603 2.947 631 102.382 15.182
1977 6.217 91 2.292 7.232 3.804 2.979 659 107.493 16.032
1978 6.330 93 2.312 8.051 3.611 2.902 615 114.987 17.541
1979 6.362 94 2.432 7.659 4.071 3.183 596 121.357 18.089
1980 6.440 103 2.457 7.691 4.124 3.155 616 174.712 21.078
1981 6.516 113 2.488 7.790 4.177 3.364 637 184.556 22.426
1982 6.594 140 2.513 7.891 4.231 3.587 658 197.132 23.361
1983 6.660 162 2.538 8.049 4.316 3.677 665 211.302 25.436
1984 9.236 203 2.743 9.025 4.698 5.112 569 306.954 24.690
1985 9.318 208 3.245 9.629 4.884 5.560 668 331.159 23.870
1986 9.516 222 3.496 10.738 5.284 6.216 715 375.475 27.002
1987 1) 9.564 225 3.251 10.094 5.187 6.020 667 437.223 26.032
1988 2) 9.805 264 3.263 10.372 3.365 6.369 671 502.004 26.568

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
Tab e I V.35
PRODUKSI DASING, TELUR DAN SUSU, 1969 - 1988
( dalam ribu ton untuk dasing dan telur, dalam juta liter untuk susu )

Tahun Daging Telur Susu


1969 309,4 57,7 28,9
1970 313,7 58,6 29,3
1971 332,2 68,4 35,8
1972 366,1 77,5 37,7
1973 379,4 81,4 35
1974 403,1 98,1 56,9
1975 435 112,2 51
1976 448,7 115,6 58
1977 467,7 131,4 60,7
1978 475 151 62
1979 486 164,1 72
1980 571 259,4 78,4
1981 596 275,2 85,8
1982 628,6 297 117,6
198 650 318,6 142,9
1984 742,2 354,4 178,5
1985 808,4 369,9 191,9
1986 879 437 219,9
1987 1) 926,9 494,6 227
1988 2) 953,9 547 266,1
1) Angka diperbaiki
2) Angka semen!ara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 268


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.36
VOLUME EKSPOR TERNAK DAN HASIl-HASILNYA,1969 - 1987
( dalam ribu ekor untuk temak, dalam ribu ton untuk kulit dan tulang )
Temak Kulit
Tabun Tulang
Sapi Kerban Sapi Kerbau Kambing Domba
1969 38,2 18,7 3,4 0,6 1,8 1 10,6
1970 59,4. 29,1 2,3 0,7 1,5 0,6 8,1
1971 50,6 22,4 2,4 0,5 1,3 0,7 8,1
1972 54,2 28 3,3 0,6 1,4 0,8 9,5
1973 51,1 11,5 2,6 0,5 1,1 0,7 5,6
1974 45 13,2 1,5 0,4 0,8 0,9 9,2
1975 31,9 4,2 0,4 0,1 1,5 0,9 . 7,2
1976 24,5 2,1 1,4 0,1 2,3 0,8 9,4
1977 9 0,2 1,1 0,2 2,1 0,9 3
1978 0,4 0 1,4 0,1 2,3 1 7,9
1979 0 0 2,1 0,1 2,6 0,9 9,2
1980 0 0 0,4 19,3 1) 2,8 0,5 5,2
1981 0 0 0,6 2,8 1) 3,6 0,7 4,4
1982 0 .0 0,7 18,7 1) 3 0,9 2,5
1983 0 0 1,2 9,7 1) 3,4 0,8 0
1984 0 0 4,2 22,2 1) 2,8 0,8 1,6
1985 0 0 2,7 6,8 1) 2,8 0,7 2,4
1986 2) 0 0 3,4 5,9 1) 1,9 0,7 3,5
1987 2) 0 0 1,4 7.4 1) 2,3 0,5 1,9
1) Angka dalam ton
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 269


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.37
NILAI EKSPOR TERNAK DAN HASIL-HASILNYA, 1969 - 1987
( dalam ribu US $ )
Ternak Kulit
Tahun Tulang Jumlah
Sap i Kerbau Sap i Kerbau Kambing Domba
1969 596 221 1.134,40 170,3 1.985,60 693,6 52,5 4.883,40
1970 1.391,00 98,3 1.560,60 385,5 2.412,50 652 172,5 6.672,40
1971 1.262,50 485,8 1.691,20 137,1 2.243,70 1.046,70 255,6 7.122,60
1972 2.315,10 1.226,80 3.193,00 398 3.196,90 1.401,20 169 11.900,00
1973 3.636,20 813,6 3.341,70 398,1 4.704,00 2.308,40 105,3 15.307,30
1974 7.471,30 1.658,30 1.790,30 395,1 3.010,30 2.248,30 195,9 16.769,50
1975 5.824,90 712,9 425,9 109,2 5.433,90 3.087,40 164,5 15.758,70
1976 3.949,30 299 1.922,20 147 11.421,30 4.423,00 590,5 22.752,30
1977 1.582,90 26 1.627,90 157,4 9.926,70 6.083,30 393,9 19.798,10
1978 70,3 0 2.516,80 139 11.810,20 7.677,30 524,1 22.737,70
1979 0 0 5.368,40 299,7 24.843,30 10.843,90 626,6 41.981,90
1980 0 0 990,4 69 18.026,50 6.822,60 615,3 26.523,80
1981 0 0 1.800,00 30 14.974,50 7.792,30 535,2 25.132,00
1982 0 0 2.246,30 154,6 14.694,70 7.966,10 124,6 25.186,30
1983 0 0 3.662,30 83,2 13.007,10 7.245,30 0 23.997,90
1984 0 0 12.707,00 39,8 14.988,00 8.954,40 3,2 36.692,40
1985 0 0 10.755,40 100,7 15.042,60 9.699,90 261,4 35.860,00
1986 I) 0 0 14.827,00 99 13.759,0 11.166,8 357 40.208,80
1987 2) 0 0 12.275,80 125,1 15.527,80 12.925,60 227,3 41.081,60

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Untuk menunjang usaha tersebut telah diupayakan pengembangan dan pemanfaatan


teknologi tepat guna, penyuluhan dan pembinaan, penyediaan sarana dan prasarana, peningkatan
kemampuan pemasaran, partisipasi swasta,. penyediaan fasilitas kredit perbankan berupa kredit
investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), dan kredit yang berasal dari
proyek perkreditan pedesaan bagi petani tambak di Jawa dan Sulawesi Selatan. Kegiatan
penyuluhan selama Pelita IV dilaksanakan terhadap 4 buah unit pembinaan penangkapan ikan
(UPPI) , 5 buah unit pembinaan budidaya air payau (UPBAP) ,serta penyediaan sarana peraga
berupa 7 unit kapal, 37 unit tambak, 48 unit kolam, 6 unit kolam air deras, dan 3 unit sarana
budidaya ikan dalam sangkar. Kegiatan penyuluhan tersebut didukung oleh 158 orang penyuluh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 270


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pertanian spesialis (PPS) dan 1.467 orang tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang
berIatar belakang pendidikan perikanan. Sementara itu program intensifikasi tambak (Intam)
yang pada awal Pelita IV hanya mencakup propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan dan Daerah Istimewa Aceh, pada tahun-tahun selanjutnya selama pelaksanaan
Pelita IV telah diperluas ke propinsi Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Di samping itu peranserta sektor swasta dalam
membudidayakan udang melalui pola perusahaan inti rakyat (PIR) udang telah semakin
meningkat. Guna menunjang usaha budidaya tambak tersebut, sampai akhir Pelita IV telah
selesai dibangun dan direhabilitasi saluran tambak sepanjang 804,5 Km, 4 buah balai benih
udang (BBU), serta 5 buah balai benih udang windu (BBUW). Sedangkan pengembangan
produksi budidaya ikan air tawar, yang meliputi budidaya kolam air tenang, kolam air deras,
karamba, dan budidaya ikan di sawah, terutama diarahkan pada peningkatan produksi untuk
konsumsi dalam negeri. Pengembangan produksi ikan air tawar tersebut didukung oleh
pengembangan balai benih ikan (BBI) sebanyak 46 buah, serta pengembangan pembenihan ikan
milik rakyat. Demikian pula kegiatan yang dilaksanakan dalam pengembangan perikanan
perairan umum, antara lain berupa pengembangan cara penangkapan dan pengembangan
budidaya ikan dalam sangkar atau jala terapung. Dalam pada itu beberapa perairan pantai telah
padat tangkap dan bahkan telah kritis sumbernya, seperti di perairan pantai utara Jawa, selat Bali,
selat Malaka, dan pantai barat Sulawesi Selatan. Di lain pihak masih banyak daerah yang
potensial, sehingga pengembangannya diarahkan pada rasionalisasi pemanfaatan sumber,
dengan sasaran mencapai tingkat produktivitas yang optimal dan sekaligus mempertahankan
kelestariannya. Oleh karena itu bagi wilayah perairan pantai yang padat tangkap dan kritis,
pengembangannya diarahkan dengan memperluas daerah penangkapan ke perairan lepas pantai
sampai daerah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) melalui modernisasi penangkapan,
atau mengalihkan ke bidang usaha lain berupa budidaya laut atau budidaya tambak. Untuk
menunjang pengembangan produksi perikanan laut sampai akhir Pelita IV, telah dibangun dan
direhabilitasi sebanyak 154 buah pangkalan pendaratan ikan, 23 buah pelabuhan perikanan
pantai, 2 buah pelabuhan perikanan nusantara dan 1 buah perikanan samudra. Sedangkan upaya
peningkatan produksi ikan tuna/cakalang, pengembangannya ditempuh melalui pengembangan
usaha armada semut dan pengembangan alat bantu rumpon sebagai media pengumpul ikan, serta
pola pengembangannya diarahkan pada pola PIR. Selanjutnya untuk memanfaatkan sumberdaya
perikanan di perairan ZEEI, telah diupayakan untuk mendorong BUMN perikanan, perusahaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 271


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

swasta nasional, dan perusahaan patungan, untuk menanamkan investasinya. Berkaitan dengan
hal tersebut, sejak April 1986 pemerintah telah memberikan izin kepada perusahaan swasta
nasional untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan dengan menggunakan kapal asing.
Sampai dengan 17 Juni 1988 jumlah kapal asing yang beroperasi di ZEEI telah mencapai 479
buah. Sehubungan dengan pesatnya peningkatan jumlah kapal asing yang beroperasi di perairan
ZEEI, maka pada tanggal 23 Juni 1988 telah dikeluarkan peraturan untuk mengendalikan
pemanfaatan sumberdaya ikan di ZEEI. Sejak tanggal tersebut pemerintah tidak mengeluarkan
lagi surat izin penangkapan ikan baru bagi kapal asing yang menggunakan alat tangkap gillnet
atau pukat ikan, sehingga sampai dengan 7 Juli 1988 jumlah kapal asing yang telah diberikan
izin penangkapan di ZEEI berjumlah 637 buah. Di samping itu peranan sektor swasta dalam
proses peningkatan produksi perikanan, penyerapan tenaga kerja, pengolahan, dan pemasaran
hasil perikanan, telah semakin ditingkatkan dan terutama diarahkan pada pola PIR. Penanganan
kegiatan-kegiatan perikanan yang komersial, seperti pembangunan gudang pendingin (cold
storage), tempat pembenihan ikan (hatchery), unit pengolahan, pabrik es, dan truk-truk
pendingin, pemasarannya lebih diarahkan pada sektor swasta. Dalam kaitan ini pemerintah akan
lebih banyak menitikberatkan pada pembangunan prasarana perikanan, penyuluhan dan latihan
keterampilan, pembinaan kelestarian sumberdaya perikanan, serta penyediaan kredit. Dengan
langkah demikian diharapkan akan mendorong investasi swasta di bidang agro-industri.
Hasil dari berbagai usaha yang telah dilakukan dan fasilitas yang telah diberikan pada
subsektor perikanan dalam tahun terakhir Pelita IV tercermin antara lain dari produksi ikan yang
diperkirakan mencapai 2.861 ribu ton, atau 7,2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi tahun sebelumnya sebesar 2.670 ribu ton. Seperti terlihat dalam Tabel V.38, sebagian
besar hasil produksi ikan adalah dari hasil ikan laut, sedang sisanya sebesar 676 ribu ton adalah
berupa ikan darat. Peningkatan produksi ikan tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan alat-alat penangkap ikan modern, juga karena bertambahnya jumlah perahu
penangkap ikan. Sampai dengan tahun 1987, jumlah perahu penangkap ikan mencapai 319.920
buah atau meningkat sebesar 0,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang terutama
berupa peningkatan jumlah perahu motor tempel dan kapal motor. Perkembangan lebih lanjut
mengenai jumlah perahu penangkap ikan dapat diikuti melalui Tabel V.39.
Semakin meningkatnya produksi perikanan dan semakin meningkatnya kampanye
makan ikan di masyarakat, ternyata mempengaruhi tingkat konsumsi ikan. Apabila konsumsi
ikan pada awal Pelita IV baru mencapai 13,8 kilogram perkapita, dalam tahun 1985 meningkat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 272


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menjadi 14,2 kilogram perkapita, dalam tahun 1986 menjadi 14,7 kilogram perkapita, dan dalam
tahun 1987 menjadi 15,1 kilogram perkapita, sedangkan dalam tahun 1988 diperkirakan
mencapai 15,4 kilogram perkapita. Sehubungan dengan hal itu peningkatan produksi perikanan
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri, di samping diarahkan pada peningkatan
produksi perikanan laut, pengembangannya lebih banyak ditempuh melalui pengembangan
produksi budidaya air tawar dan perikanan perairan umum di daerah-daerah padat penduduk.
Khusus bagi golongan penduduk yang berpenghasilan rendah, upaya pencukupan kebutuhan
konsumsi ikan melalui pengembangan aneka ikan akan tetap dilanjutkan dan dimantapkan
pelaksanaannya. Sementara itu ekspor ikan dalam tahun 1988 diperkirakan akan mencapai nilai
sebesar US $ 569,6 juta, atau menunjukkan peningkatan sebesar 19,8 persen apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai nilai sebesar US$ 475,5 juta (lihat
Tabel V.40). Dalam hal ini peningkatan produksi perikanan untuk tujuan ekspor diprioritaskan
pada peningkatan produksi budidaya udang dan penangkapan tuna/cakalang, yang disertai pula
dengan usaha peningkatan produksi komoditi-komoditi lain yang mempunyai nilai dan peluang
pasar yang baik di luar negeri, seperti bawal, kakap, kerapu, ekor kuning, kepiting, teripang,
rumput laut dan ikan hias. Diversifikasi komoditi ekspor seperti tuna/cakalang dari bentuk ikan
beku ke produk olahan ikan kaleng, serta diversifikasi negara tujuan ekspor adalah salah satu
upaya yang akan dikembangkan dalam meningkatkan ekspor hasil perikanan.
T a b e l V.38
PRODUKSI IKAN, 1969 - 1988
( dalam ribu ton)

Tahun Ikan laut Ikan darat Jumlah


1969 785 429 1.214
1970 808 421 1.229
1971 820 424 1.244
1972 836 433 1.269
1973 889 389 1.278
1974 949 388 1.337
1975 997 393 1.390
1976 1.082 401 1.483
1977 1.158 414 1.572
1978 1.227 420 1.647
1979 1.318 430 1.748
1980 1.395 455 1.350
1981 1.408 506 1.914
1982 1.491 507 1.998
1983 1.682 532 2.214
1984 1.713 548 2.261
1985 1.822 574 2.396
1986 1.923 607 2.530
1987 1) 2.029 641 2.670
1988 2) 2.185 676 2.861

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 273


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.39
JUMLAH PERAHU PENANGKAP IKAN, 1970 - 1988
( dalam buah )

Tahun Perahu/kapal motor Perahu tanpa motor Jumlah


1970 6.034 289.402 295.436
1971 7.176 289.402 296.578
1972 8.818 286.463 295.281
1973 12.267 230.615 242.882
1974 13.205 257.164 270.369
1975 14.931 242.221 257.152
1976 17.481 228.244 245.725
1977 20.316 228.228 248.544
1978 25.992 222.121 248.113
1979 32.101 225.804 257.905
1980 44.990 226.356 271.346
981 51.056 225.949 277 .005
1982 85.083 215.466 300.549
1983 86.351 220.706 307.057
1984 93.711 219.929 313.640
1985 95.623 220.823 316.446
1986 98.965 219.130 318.095
19871) 101.730 218.190 319.920
1988 2) 105.420 218.190 323.610
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

5.3.2. Kehutanan
Kebijaksanaan pembangunan kehutanan sebagai bagian dari kebijaksanaan pem-
bangunan secara keseluruhan dilaksanakan secara berkesinambungan dengan pelaksanaan
pembangunan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu sasaran pokok pembangunan kehutanan
dalam Pelita IV adalah mengupayakan peningkatan ekspor nonmigas melalui peningkatan
ekspor hasil hutan olahan dalam negeri, yang sekaligus meningkatkan penerimaan devisa dan
perluasan kesempatan kerja. Untuk itu kegiatan pembangunan kehutanan meliputi inventarisasi
dan tata guna hutan, perlindungan dan pelestarian alam, reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi
lahan, serta pengusahaan hutan. Selain kegiatan tersebut, diupayakan pula peningkatan kegiatan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan pendayagunaan aparatur,
serta sarana penunjang lainnya.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 274


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.3.2.1. Inventarisasi tata guna hutan


Pelaksanaan kegiatan inventarisasi dan tata guna hutan bertujuan untuk menjamin
kemantapan dan kepastian dalam pengurusan dan pengelolaan sumber daya hutan. Ke-
bijaksanaan tersebut lebih mengutamakan pada penyiapan prakondisi pengurusan dan
pengelolaan hutan, yang meliputi kegiatan-kegiatan inventarisasi hutan, pengukuran dan
perpetaan, serta pemolaan tata guna hutan. Kegiatan inventarisasi hutan antara lain dilakukan
melalui penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit dan potret udara dari berbagai
skala, serta inventarisasi terrestris. Sedangkan untuk mengatasi tumpang tindih kegiatan
pengumpulan dan pengolahan datanya telah dilaksanakan pula pembangunan pusat data
kehutanan. Dari berbagai kegiatan ini, dalam empat tahun pertama Pelita IV inventarisasi hutan
telah dapat menjangkau areal kawasan hutan seluas 97.047 ribu hektar, masing-masing berasal
dari hasil survei lapangan seluas 2.120 ribu hektar, dari inventarisasi areal hutan produksi yang
dapat dikonversi seluas 10.170 ribu hektar, dari hasil survei melalui potret udara seluas 21.359
ribu hektar, dan sebanyak 63.398 ribu hektar lainnya merupakan hasil survei udara melalui jasa
satelit.
Dalam pada itu pengukuran dan perpetaan kehutanan dilakukan melalui pengukuran
jaringan titik kontrol dan ground control point (GCP), serta pembuatan dan pengadaan peta-peta
kehutanan. Sedangkan dalam rangka penyediaan peta-peta untuk keperluan kehutanan, telah
dibentuk pula pusat perpetaan kehutanan (mapping centre) di Darmaga Bogor. Sehubungan
dengan itu dalam periode tersebut telah dilakukan pengukuran jaringan titik kontrol sepanjang
1.356 kilometer, serta pengukuran GCP sepanjang 270 kilometer.
Sementara itu kegiatan pemolaan tata guna hutan dilakukan melalui penatagunaan makro
(indikatif) dan penatagunaan mikro (definitif). Penatagunaan makro dilakukan dalam bentuk
penyusunan tataguna hutan kesepakatan dan penyusunan pola-pola pemanfaatan lahan.
Sedangkan penatagunaan mikro dilakukan dalam bentuk pemancangan batas kawasan hutan
tetap di lapangan dan penataan hutan pada tingkat unit-unit pengelolaan hutan. Kegiatan lain
yang dilaksanakan adalah penyediaan lahan kawasan hutan untuk keperluan lokasi transmigrasi
dan budidaya pertanian non transmigrasi. Mengingat luas kawasan hutan di Pulau Jawa masih
belum optimal, maka telah diusahakan pula identifikasi perambahan hutan yang dimaksudkan
untuk memugar dan memperluas kawasan hutan sehingga dapat berperan secara optimal sesuai
dengan fungsinya.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 275


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V. 40
VOLUME DAN NILAI EKSPOR HASIL-HASIL PERIKANAN, 1969 - 1988
( Volume dalam ton, nUai dalam ribu US $ )
Udang 1) Ikan segar Katak Ikan bias Lain - lain Jumlab
Tahun
Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai .Volume Nilai

1969 5.637 878 2.332 326 28 9 42 20 13.387 1.111 21.426 2.444


1970 7.333 4.278 1.247 169 652 286 104 38 12.724 2.188 22.060 6.959
1971 15.319 14.697 4.118 892 568 384 103 29 10.648 2.992 30.756 18.994
1972 23.411 29.809 3.865 471 867 749 109 37 12.823 3.875 41.156 34.941
1973 28.787 57.562 5.868 678 2.867 3.774 286 56 14.370 6.115 52.178 68.185
1974 32.721 84.571 7.106 1.145 1.182 1.258 305 54 13.639 5.316 54.953 92.344
1975 25.121 78.431 4.693 1.505 1.553 2.768 321 92 9.050 5.395 40.738 88.191
1976 31.463 116.991 7.041 2.378 3.160 3.924 350 61 12.375 8.026 54.389 131.380
1977 31.627 140.233 11.049 5.154 1.980 5.355 358 65 12.496 12.211 57.510 163.018
1978 32.620 161.955 13.907 7.851 2.325 6.236 359 96 14.274 17.286 63.486 193.424
1979 34.943 200.483 16.810 10.334 2.657 7.184 399 114 13.655 18.712 68.464 236.827
1980 31.934 180.904 31.308 19.373 1.612 4.754 473 136 13.378 21.187 78.705 226.354
1981 24.971 162.827 29.540 21.163 2.778 9.431 364 114 17.625 31.852 75.178 225.387
1982 25.575 181.640 45.114 29.833 1.517 3.585 217 98 17.195 31.255 89.618 249.416
1983 26.166 194.447 33.903 19.818 3.296 8.753 197 166 24.803 31.864 88.365 257.048
1984 28.025 195.552 23.131 14.593 2.200 4.122 204 190 22.135 33.601 75.095 248.063
1985 30.980 202.729 26.990 18.380 2.800 6.571 235 471 ' 23.485 31.320 84.490 259.450
19862) 36.101 284.875 34.818 23.022 3.752 13.139 859 1.238 31.913 51.843 107.443 374.117
1987 2) 44.267 352.485 52.526 41.993 3.076 8.952 530 1.609 39.979 70.484 140.378 475.523
19883) 54.000 448.200 35.000 34.300 3.970 14.070 780 3.640 36.250 69.360 130.000 569.570
1) Segar dan awet
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

Sebagai tindak lanjut dari tataguna hutan kesepakatan (TGHK) yang telah diselesaikan
untuk 22 propinsi di luar pulau Jawa, selama empat tahun pertama Pelita IV telah dilakukan
penataan batas luar kawasan hutan sepanjang 19.690 kilometer. Demikian pula dalam rangka
penyediaan lahan hutan untuk penggunaan transmigrasi, budidaya pertanian, pertambangan dan
lain-lain, telah dilaksanakan kegiatan penelaahan areal yang akan dikonversikan, baik di peta
maupun di lapangan. Penyediaan lahan untuk nonkehutanan tersebut adalah seluas 13.569,8 ribu
hektar, yang meliputi areal transmigrasi seluas 5.668,8 ribu hektar, areal perkebunan seluas
2.700 ribu hektar, areal peternakan, perikanan, dan tanaman pangan seluas 301 ribu hektar, serta
areal pertambangan seluas 4.900 ribu hektar. Sedangkan dalam rangka pemugaran dan perluasan
kawasan hutan telah pula dilakukan pemanfaatan lahan bekas bahaya gunung Merapi di
Yogyakarta pada areal seluas 250 hektar.

5.3.2.2. Perlindungan hutan dan pelestarian alam


Upaya perlindungan hutan dan pelestarian alam dalam rangka konservasi sumberdaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 276


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

alam dan ling kungan hidup bertujuan untuk menjaga keberadaan plasma nutfah dan kekhasan
kelestarian potensi sumberdaya alam beserta ekosistemnya dari kemungkinan bahaya kerusakan
dan penurunan kuantitas maupun kualitasnya, agar mampu memberikan perlindungan terhadap
proses ekologi serta penyangga kehidupan manusia. Kegiatan perlindungan hutan dan
pelestarian alam dilaksanakan melalui upaya konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan,
pengembangan kawasan taman nasional, pengelolaan hutan lindung, pembinaan wisata alam,
pembinaan cinta alam, pemantauan (monitoring) dampak lingkungan, serta pengamanan dan
perlindungan hutan.

Pelaksanaan konservasi di dalam kawasan hutan ditempuh melalui kegiatan peng-


alokasian, serta pengelolaan dan pembinaan hutan suaka alam dan sumber plasma nutfah.
Sedangkan kegiatan konservasi di luar kawasan hutan ditempuh melalui pelaksanaan in-
ventarisasi dan identifikasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi undang--
undang, penangkaran flora dan fauna, pembinaan koleksi botani, serta kegiatan pengamanan
terhadap daerah pengungsian satwa dan daerah perlindungan di darat dan di perairan. Melalui
Usaha konservasi di dalam kawasan dalam Pelita IV telah dapat dilaksanakan areal kawasan
suaka alam/hutan wisata seluas 12.818,1 ribu hektar yang tersebar di 334 lokasi di seluruh
Indonesia. Areal tersebut terdiri dari 185 unit kawasan konservasi cagar alam seluas 7.126,0 ribu
hektar, 70 unit suaka margasatwa dengan luas 5.013,9 ribu hektar, 59 unit taman wisata dengan
luas 235,0 ribu hektar, 13 unit taman buru dengan luas 369,1 ribu hektar, dan 7 unit taman laut
dengan luas 74,1 ribu hektar. Di samping itu terdapat pula 20 unit taman nasional seluas 4.776,9
ribu hektar, yaitu antara lain taman nasional di Ujung Kulon, gunung Gede Pangrango, gunung
Leuser, Baluran, pulau Komodo, Bali Barat, Kutai, Oumoga Bone, Bukit Barisan Selatan,
Tanjung Puling, kepulauan Seribu, gunung Kerinci-Seblat, gunung BromoTengger-Semeru,
gunung Meru-Betiri, Lore Lindu, serta Manusella. Sedangkan konservasi lainnya dilaksanakan
melalui sistem taman nasional, masing-masing taman nasional Way Kambas di Lampung,
Pangandaran di Jawa Barat, Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, dan taman nasional
di Jawa Tengah. Selain daripada itu, dalam rangka kegiatan konservasi di dalam kawasan,
terutama guna menjamin keberadaan, keaslian, keindahan, keanekaragaman, dan kekhasan
setiap tipe ekosistem dan gejala alam lainnya, penunjukan kawasan konservasi yang merupakan
cadangan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan
sosial budaya di masa datang akan terus dikembangkan dan dimantapkan. Prioritas penunjukan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 277


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

adalah tipe-tipe ekosistem yang belum banyak terwakili, antara lain ekosistem goa-goa kapur,
hutan rawa, hutan gambut, jenis flora langka dan ekosistem perairan. Sernentara itu kegiatan
konservasi di luar kawasan hutan yang telah dilaksanakan sampai dengan tahun keempat Pelita
IV meliputi inventarisasi flora dan fauna terhadap 526 jenis satwa dan 36 jenis tumbuhan yang
dilindungi undang-undang, serta 20 jenis biota laut yang diusulkan untuk dilindungi. Usaha
pelestarian plasma nutfah yang terancam kepunahan dilaksanakan dengan memberikan
perlindungan terhadap 526 jenis satwa, masing- masing terdiri dari 100 jenis mamalia, 372 jenis
aves, 28 jenis reptilia dan amphibia, 6 jenis pisces, serta 20 jenis insecta. Sedangkan pembinaan
populasi berbagai jenis satwa liar, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi,
ditingk.atkan melalui inventarisasi populasi, pengembangbiakan/penangkaran, serta pembinaan
dan rehabilitasi habitatat, sehingga kelestarian populasi dan pemanfaatannya dapat tetap
terjamin. Hal ini dilakukan melalui pengaturan izin pemanfaatan, disertai dengan pengawasan
dan pengaturan perdagangannya, baik untuk pasar domestik maupun untuk ekspor. Sebagai hasil
dari kegiatan tersebut, dalam tahun 1987/1988 telah diperoleh devisa dari ekspor berbagai jenis
satwa liar senilai US $ 11.600,0 ribu. Dalam rangka mendukung dan mendorong industri
pariwisata, maka pembangunan dan pengusahaan hutan wisata terutama diarahkan untuk
mengembangkan taman wisata, taman buru di dalam kawasan hutan, serta taman laut dan areal
di luarnya. Demikian juga kegiatan di lokasi tersebut diusahakan sesuai dengan tujuan
pengunjung dan daya dukung kawasan yang telah dan akan ditunjuk. Sampai dengan tahun ke
empat Pelita IV, pengembangan hutan wisata terdiri dari 59 lokasi taman wisata dengan luas
235,0 ribu hektar, 13 lokasi taman buru dengan luas 369,1 ribu hektar, dan 7 lokasi taman laut
dengan luas 74,1 ribu hektar. Bersamaan dengan itu telah pula diresmikan pembangunan taman
hutan raya (Tahura) Bung Hatta di Sumatera Barat, Tahura Ir. H. Juanda di Jawa Barat, dan
pembuatan rencana Tahura Bukit Suharto di Kalimantan Timur, Tahura Sisingamangaraja XII di
Sumatera Utara, dan Tahura Bengkulu di Bengkulu.
Upaya pembinaan cinta alam dilaksanakan melalui kegiatan penyuluhan, bimbingan,
pendidikan, dan penelitian, untuk menyadarkan masyarakat agar mau melaksanakan dan
mengamankan upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk menunjang
pelaksanaannya antara lain telah berhasil dilakukan penyusunan bahan-bahan penyuluhan
seperti materi ceramah, naskah film dan slide, penyiapan pedoman-pedoman teknik pendakian
gunung, pendidikan konservasi bagi para guru dan organisasi pecinta alam, peningkatan
kesadaran cinta alam dan lingkungan hidup melalui Pramuka Saka Wana Bakti, pembinaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 278


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kerjasama dengan sektor lain, serta melaksanakan penataran terhadap 30 orang pemuda dan 30
orang wanita sebagai kader konservasi. Sedangkan untuk rnencegah menurunnya produktivitas
sumberdaya alam, tanah, dan air, agar dapat memperbesar manfaat hutan secara optimal dan
lestari, maka pengamanan dan pencegahan terhadap gangguan hutan terus ditingkatkan. Untuk
itu dalam rangka pengamanan hutan dan hasil hutan telah dilaksanakan studi wilayah kering,
evaluasi terhadap jenis-jenis pohon yang dilindungi, studi efektivitas sistem pengamanan hutan,
studi peningkatan tenaga polisi khusus (Polsus) kehutanan, serta pemantauan kerusakan hutan
dan cara penanggulangannya. Di samping itu juga ditetapkan prosedur perijinan dan pengadaan
senjata api, penyusunan pola pembinaan hutan lindung, pendayagunaan 12 buah sarana
angkutan helikopter dalam operasi pengamanan hutan di daerah, penyusunan pola
penanggulangan dan penyelesaian kasus-kasus pencurian hasil hutan, penanggulangan gangguan
margasatwa (gajah), penyempurnaan pola pengamanan hutan, pelaksapaan operasi pengamanan
hutan terpadu pada 18 propinsi, dan penanggulangan kebakaran hutan.

Dalam rangka pengelolaan hutan lindung telah dilaksanakan kegiatan identifikasi


kawasan hutan lindung, studi pembentukan kesatuan pemangkuan hutan lindung, serta menjalin
koordinasi perlindungan dan pengamanan kawasan hutan lindung. Kegiatannya dititikberatkan
pada perencanaan dan inventarisasi kawasan, penelaahan areal, dan pengukuhan kawasan.
Untuk menunjang berbagai kegiatan tersebut, sampai dengan tahun keempat Pelita IV telah
dicadangkan kawasan hutan lindung seluas 30,3 juta hektar. Sedangkan untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaannya telah pula dilakukan monitoring terhadap permasalahan yang
menyangkut hutan lindung di 13 propinsi, masing-masing mengenai penyerobotan areal hutan
lindung di Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tenggara, Aceh, Lampung, dan Jambi, serta masalah tumpang tindih dengan berbagai
peruntukan lahan lain di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Riau.

Guna menjaga agar keberadaan sumberdaya alam hutan dapat terjamin secara lestari,
telah dilaksanakan pemantauan dampak lingkungan. Adapun kegiatannya meliputi studi
pencemaran lingkungan di daerah aliran sungai, pemantauan dampak lingkungan di areal
pertambangan, pemantauan dampak lingkungan akibat eksplditasi dan industri HPH, serta
pemantauan dampak ling kung an akibat pengunjung di kawasan konservasi. Hasil kegiatan
selama empat ta1mn PeIita IV telah dapat dilaksanakan pada 21 lokasi di dalam kawasan
konservasi, dan 8 lokasi di luar kawasan konservasi, serta telah pula berhasil disiapkan 2 (dua)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 279


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

judul pedoman pengkajian dampak Iingkungan akibat pertambangan dan pengunjung, serta 1
(satu) buah rencana kerja pemantauan dampak lingkungan (Amdal).

5.3.2.3. Reboisasi, penghijauan, dan rehabilitasi lahan

Pelaksanaan reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi hutan terus ditingkatkan dalam


rangka mewujudkan fungsi hidroorologis dan tata Iingkungan kawasan hutan, serta mening-
katkan produksi hasil hutan. Sejalan dengan itu dilaksanakan pula upaya untuk memuIihkan,
meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan sehingga dapat berfungsi secara optimal
sebagai unsur produksi, media pengaturan tata air, dan perlindungan alam lingkungan.

Kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dilaksanakan melalui Inpres bantuan
penghijauan dan reboisasi mulai tahun 1976/1977. Dalam empat tahun PeIita IV kegiatan
reboisasi lahan kritis telah berhasil mencapai areal seluas 240.095 hektar, sedangkan dalam
tahun 1988/1989 telah dicapai tahap persia pan untuk memenuhi target seluas 25.193 hektar.
Sementara itu dalam rangka pelaksanaan penghijauan, dalam empat tahun PeIita IV telah
dilakukan pembuatan 2.048 unit petak percontohan, pembuatan 994 buah dam pengendali, dan
pembukaan 35.515 hektar hutan rakyat. Sedangkan kegiatan penghijauan dalam periode tersebut
telah menjangkau areal seluas 796.015 hektar, di samping telah pula dilaksanakan peremajaan
areal hutan serta pemeliharaan, penanaman, dan pembebasan areal bekas tebangan oleh
pemegang HPH. Dalam tahun 1985 kegiatan peremajaan hutan baru mencapai areal seluas
50.000 hektar sebagai hasil pelaksanaan 40 unit HPH, atau sekitar 7,5 persen dari jumlah HPH
yang ada. Sedangkan dalam tahun 1986 kegiatan yang sama telah mencapai areal seluas 290.160
hektar, sebagai hasil pelaksanaan 47 unit HPH atau sekitar 8,7 persen dari jumlah HPH yang ada.
Sementara itu melalui kegiatan pemeliharaan dan perbaikan areal bekas teban_ang
melaksanakan oleh 60 unit HPH dalam tahun 1985 dapat dihasilkan tegakan sisa areal bekas
tebangan seluas 130.000 hektar, penanaman areal bekas tebangan dengan tanaman seluas 95.685
hektar, pembebasan areal bekas tebangan seluas 72.390 hektar, dan pemeliharaan areal bekas
tebangan seluas 35.706 hektar. Sedangkan dalam tahun 1986 pemegang HPH yang telah
melaksanakan pemeliharaan dan perbaikan areal bekas tebangan mengalami penurunan menjadi
47 unit HPH atau 8,7 persen dari 538 unit HPH yang ada.

Adapun hasil kegiatannya masing-masing meliputi tegakan sisa bekas tebangan seluas
117.744 hektar, penanaman\areal bekas tebangan dengan tanaman seluas 67.674 hektar,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 280


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembebasan areal bekas tebangan seluas 63.170 hektar, dan pemeliharaan areal bekas tebangan
seluas 37.495 hektar. Realisasi reboisasi dan penghijauan secara terinci dapat diikuti rnelalui
Tabel V.41.
Dalam pada itu penanganan konservasi tanah untuk jangka pendek dikonsentrasikan
pada 36 daerah aliran sungai (DAS) prioritas, dengan lebih rnengutamakan pada 22 DAS super
prioritas dalam rangka pengamanan bangunan vital yang ada di bawahnya seperti irigasi,
pengendalian banjir serta rencana kekeringan. Sementara itu agar kegiatan rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah dasar dilakukan secara terarah, pelaksanaannya diarahkan secara terkonsentrasi
di 164 sub daerahaliran sungai (DAS) prioritas terpilih, yang terletak di 36 DAS prioritas.
Dalam tahun 1986/1987 telah berhasil disusun rencana yang menyeluruh dan terpadu mengenai
para rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) di 12 DAS, dan rencana teknik lapangan
(RTL) di 22 DAS. Demikian pula dalam tahun 1987/1988 telah berhasil disusun rencana yang
sama dalam bentuk pola RLKT di 11 DAS, dan rencana teknik lapangan di 23 sub-DAS.
Selanjutnya dalam tahun 1988/1989 telah disusun rencana para RLKT di 15 DAS, dan rencana
teknik lapangan di 27 sub-DAS, serta pengembangan teknologi konservasi pada 5 tipe
agroklimat. Sementara itu pengembangan pengelolaan DAS secara terpadu di daerah Solo,
Jratun Seluna, Brantas, Citanduy, dan Cimanuk, yang telah dilaksanakan sejak tahun 1977/1978
terus dilanjutkan dalam rangka pembina an sumber daya alam dan lingkungan hidup secara
terpadu.
Selanjutnya dalam rangka penanganan lahan kritis, sebagai upaya penyelamatan
kerusakan sumberdaya hutan, diusahakan pula pemukiman kembali peladang berpindah yang
dilakukan di dalam maupun di luar kawasan hutan. Untuk itu dalam usaha pemukiman kembali
(resettlement) peladang berpindah secara menyeluruh, telah ditetapkan rencana umum jangka
panjang (10 tahun) guna menangani seluruh peladang berpindah yang berjumlah sekitar 1 (satu)
juta KK. Pelaksanaannya diintegrasikan dengan kegiatan transmigrasi, pengembangan
perkebunan inti rakyat (PIR), dan berbagai program lainnya. Sehubungan dengan itu, guna
menunjang keberhasilan penyelamatan hutan, tanah dan air, dilakukan penyuluhan terhadap
masyarakat di sekitar kawasan hutan agar mereka mampu memperbaiki, memelihara, dan
menjaga kelestariannya. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut,
maka pelaksanaannya ditempuh melalui pembuatan unit percontehan, pengawetan tanah dan
usaha pertanian menetap, serta penyuluhan langsung oleh para petugas lapangan penghijauan
(PLP) dengan jalan memberikan latihan dalam setiap kunjungan atau melalui mimbar sarasehan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 281


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu dalam rangka menunjang pengadaan bahan baku industri pengolahan hasil hutan
telah dilakukan pembangunan hutan tanaman industri yang diarahkan pada kawasan hutan
produksi, baik di dalam maupun di luar HPH, dengan mengutamakan areal hutan tidak produktif
berupa tanah kosong atau padang alang-alang. Pembangunan hutan tanaman industri dalam
tahun 1986/1987 telah mencakup areal seluas 27.100 hektar, yang tersebar di propinsi Sumatera
Utara, Riau, Jambi, Aceh, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Sarat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Tab e l V.41
AREAL PENGHIJAUAN DAN REBOISASI, 1969_- 1988
( dalam hektar )
Tahun Penghijauan Reboisasi
1969 149.573 33.174
1970 98.681 25.315
1971 102.259 22.118
1972 107.355 35.650
1973 104.500 53.402
1974 149.802 50.682
1975 70.623 89.658
1976 302.697 170.543
1977 632.689 204.148
1978 665.991 276.544
1979 578.400 213.000
1980 558.100 179.700
1981 501.900 147.000
1982 378.600 118.400
1983 1) 305.139 186.300
1984 1) 290.505 61.830
1985 1) 247.266 78.603
1986 1). 185.494 84.768
1987 1) 72.750 14.894
1988 1) 102.150 25.193

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 282


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.42
PENGUSAHAAN HUTAN SAMPAI DENGAN OKTOBER 1988 1)

Jenis dan sifat usaha Jumlah Luar areal Investasi


(unit) (ribu ha) (milyar
l.Perusahaan yang merupakan usaha nasional 520 53.633 19.568,60
2. Perusahaan patungan 20 2.465 197,1
3. Perusahaan dalam rangka PMA - - -
Jumlah perusahaan yang telah 540 56.098 2.165,70
1) Angka sementara

5.3.2.4. Pengusahaan hutan

Sasaran kebijaksanaan pengusahaan hutan diarahkan untuk meningkatkan hasil


produksi hutan, pengembangan industri pengolahan hasil hutan, serta mendukung program
penyerapan tenaga kerja. Sehubungan dengan itu upaya peningkatan hasil produksi hutan
dilaksanakan dengan meningkatkan intensitas pengelolaan hutan melalui pengembangan unit-
unit pengelolaan, berupa kesatuan pengusahaan hutan produksi alam (KPHP alam),
pengembangan hutan tanaman melalui KPHP tanaman, penyusunan pola umum pengusahaan
hutan yang merupakan kerangka landasan dalam pengusahaan hutan, penertiban pengusahaan
hutan, serta pemantapan sistim pengendalian dan pengawasan pengusahaan hutan. Sementara itu
dalam rangka pendayagunaan hutan dan peranserta masyarakat dalam pembinaan hutan milik
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan pemanfaatan
hutan milik diarahkan pada pengembangan aneka usaha kehutanan. Selain itu agar pengusahaan
hutan berjalan sesuai dengan azas kelestarian dan ekonomi perusahaan yang rasional, telah
dilaksanakan pula pembinaan kemampuan manajemen ketenagakerjaan, pembinaan struktur
pengusahaan hutan, kelembagaan, serta penciptaan iklim berusaha yang sehat. Sampai dengan
tahun ke empat Pelita IV, kegiatan pengusahaan hutan telah menjangkau areal tataguna hutan
kesepakatan (TGHK) seluas 64 juta hektar dengan status hutan produksi terbatas dan hutan
produksi tetap. Dari jumlah tersebut diperkirakan sekitar 15 juta hektar merupakan areal non
produktif berupa tanah kosong, alang-alang, dan hutan sekunder. Dalam pemanfaatan
sumberdaya alam untuk pembangunan nasional, Pemerintah juga memberikan kesempatan
modal swasta nasional dan asing untuk ikut serta mengelola hutan. Sampai dengan bulan
Oktober 1988 telah dikeluarkan 540 surat keputusan hak pengusahaan hutan (HPH) untuk areal
seluas 56.098 ribu hektar. Perkembangan jumlah perusahaan, luas areal, dan jumlah investasi
pengusahaan hutan dapat dilihat pada Tabel V.42.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 283


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sejalan dengan adanya pengaturan pengusahaan hutan melalui HPH dan kebijaksanaan
pembatasan ekspor kayu bulat (gelondongan), maka produksi kayu bulat dalam tahun 1987/1988
telah mencapai 30.400 ribu meter kubik, atau mengalami peningkatan 14,4 persen bila
dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya sebesar 26.583 ribu meter kubik. Sementara
itu efisiensi pemanfaatan kayu mengalami peningkatan, sehingga dapat mengurangi limbah
(waste). Selain produksi kayu bulat yang dihasilkan pada areal HPH, terdapat juga kayu bulat
Jati yang terutama dihasilkan di pulau Jawa oleh Perum Perhutani. Produksi kayu bulat Jati
mengalami penurunan dari 798 ribu meter kubik dalam tahun 1986/1987 menjadi 689 ribu meter
kubik dalam tahun 1987/1988. Sebagian besar produksi kayu bulat Jati dipergunakan oleh
industri di dalam negeri untuk pembuatan mebel, sebagai bahan bangunan, dan sebagai bahan
untuk memperindah bagian muka kayu lapis.
Kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat telah berhasil menaikkan jumlah industri
pengolahan kayu dalam negeri dan jumlah ekspor kayu olahan, walaupun baru pada tahapan
tingkat industri mekanis, seperti penggergajian dan kayu lapis. Di samping itu kebijaksanaan
tersebut juga telah berhasil mengembangkan industri sekunder seperti industri mebel, industri
pulp, dan kertas. Selanjutnya untuk meningkatkan pertumbuhan industri kayu olahan di dalam
negeri, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan larangan ekspor bahan chips dan kayu
gergajian bermutu rendah yang berlaku sejak 20 September 1988. Dalam tahun 1987/1988
produksi kayu gergajian telah mengalami peningkatan sebesar 31,0 persen dari produksi tahun
sebelumnya sehingga mencapai 9,8 juta meter kubik. Dengan membaiknya keadaan pasar kayu
lapis Indonesia di pasaran internasional, maka produksi kayu lapis dalam tahun 1987/1988
mengalami peningkatan sebesar 41 persen dari tahun sebelumnya sehingga rnencapai sebanyak
7,5 juta meter kubik. Demikian pula industri kayu lapis telah berkembang menjadi 101 unit
dengan kapasitas terpasang 8,0 juta meter kubik per tahun. Sedangkan industri penggergajian
telah mencapai 296 unit dengan kapasitas terpasang 8,8 juta meter kubik per tahun. Di samping
itu terdapat pula 5 unit industri papan partikel dengan kapasitas terpasang 200 ribu meter kubik
per tahun, 32 unit industri block board dengan kapasitas terpasang 400 ribu meter kubik per
tahun, serta industri chipmill dengan kapasitas terpasang 470 ribu meter kubik per tahun.
Pengembangan ekspor hasil hutan, terutama hasil kayu olahan, dilakukan melalui upaya
diversifikasi produk dan pasar, peningkatan kualitas dan pengendalian mutu, efisiensi angkutan,
pembinaan eksportir, pengembangan informasi dan promosi, serta upaya menghilangkan
hambatan-hambatan di negara pembeli, baik berupa tarif maupun nontarif. Dengan adanya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 284


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

usaha-usaha tersebut, realisasi ekspor kayu lapis dalam tahun 1987/1988 telah mencapai jumlah
sebesar 6,0 juta meter kubik dengan nilai sebesar US $ 1.974,5 juta, yang berarti volume ekspor
meningkat 42,5 persen sedangkan nilai devisanya meningkat sebesar 80,7 persen dari realisasi
tahun sebelumnya. Sementara itu realisasi ekspor kayu gergajian dalam tahun 1987/1988
mencapai 2,8 juta meter kubik dengan nilai sebesar US $ 684,6 juta, atau mengalami kenaikan
volume ekspor sekitar 7,8 persen dan nilai devisa sekitar 31,0 persen dari yang dapat dicapai
dalam tahun 1986/1987. Dalam periode yang sama, ekspor veneer mencapai 63,2 ribu meter
kubik dengan nilai sebesar US $ 17,6 juta, sedangkan realisasi ekspor hasil hutan bukan kayu
yang meliputi damar, rotan, arang, kopal, getah jelutung, dan lain sebagainya mencapai 61,6
ribu ton dengan nilai sebesar US $ 55 juta. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
realisasi ekspor hasil hutan bukan kayu mengalami penurunan volume sebesar 54,6 persen dan
nilai devisa sekitar 50,0 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan ekspor rotan yang
diakibatkan adanya larangan ekspor rotan bahan mentah dalam bulan Oktober 1986.
Perkembangan produksi dan ekspor kayu dapat dilihat dalam Tabel V.43, sedangkan peranan
masing - masing jenis kayu terhadap volume ekspor kayu dapat dilihat pada Tabel V.44.

Pemasaran dalam negeri untuk kayu gergajian dan kayu lapis dalam tahun 1986/1987
masing-masing mencapai 4.800 ribu meter kubik dan 1.060 ribu meter kubik. Guna
memperlancar arus pengiriman kayu dari luar Jawa dan Bali, serta menjamin persediaan kayu
dalam jumlah yang cukup, maka dalam tahun 1985/1986 telah dibangun pusat perkayuan di
Marunda untuk melayani penyediaan bahan baku kayu di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat
bagian barat. Sedangkan dalam tahun 1986 telah dilakukan pengadaan tanah dan pembuatan
design bagi pembangunan pusat perkayuan di Kanci-Cirebon dan Jenu-Tuban. Sementara itu
untuk pembangunan pusat perkayuan di luar pulau Jawa, telah dilakukan studi-studi penyiapan
pembangunan pada lokasi di Alalak-Kalimantan Selatan, Muara Subak-Jambi, Pontianak-
Kalimantan Barat, serta Sampit-Kalimantan Tengah.

Mengingat potensi, peranan dan prospeknya yang semakin baik, maka komoditi hasil hutan
bukan kayu yang penting dalam perdagangan, seperti rotan, terpentin, gondorukem, arang,
minyak kayu putih, buah tengkawang, getahjelutung,kopal, damar, sutera alam, lebah madu,
sagu, kemiri, karet hutan, dan kemenyan, akan dikembangkan secara intensif dan profesional,
mulai dari penanaman, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran, dalam bentuk pola usaha
bapak angkat atau pola plasma dan inti. Dalam hal ini BUMN dan pemegang HPH didorong

Departemen Keuangan Republik Indonesia 285


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

untuk dapat berperan sebagai bapak angkat dan perusahaan inti. Sementara itu rotan merupakan
penghasil devisa paling besar di antara seluruh hasil hutan bukan kayu dan mempunyai prospek
yang makin cerah pada masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu untuk menjaga kelestarian
sumber telah diusahakan dan dikembangkan pembuatan pilot proyek pengembangan budidaya
rotan di beberapa propinsi di Indonesia. Selanjutnya untuk mengembangkan pertumbuhan
industri ekspor barang jadi rotan di dalam negeri dan menjamin tersedianya bahan baku rotan

T a b e l V.43
PRODUKSI DAN EKSPOR KAYU, 1969 – 1988
Produksi (ribu m3) Ekspor
Tahun Kayu Kayu Volume daripada Nilai
jati rimba Jumlah (ribu m3) Produksi (US $ juta)
1969 520 7.587 8.107 3.596 44,3 26
1970 568 11.856 12.424 7.412 59,6 100,6
1971 770 12.968 13.738 10.760 78,4 168,6
1972 597 17.120 17.717 13.981 78,4 230,7
1973 676 25.124 25.800 19.488 75,5 583,9
1974 620 22.660 23.280 18.448 79,2 725,7
1975 595 15.701 16.296 13.921 85,4 501,6
1976 480 20.947 21.427 18.521 86,4 733,3
1977 573 22.366 22.936 . 19.306 83,3 961,4
1978 475 26.256 26.731 19.285 72,1 1.008,70
1979 495 25.520 26.015 18.305 72,2 187
1980 613 21.702 22.315 12.853 57,5 1.451,00
1981 578 14.024 14.602 6.408 43,8 664
1982 692 13.236. 13.928 3.162 22,7 313,1
1983 718 23.462 24.180 8.964 49,5 1.269,70
1984 758 26.958 27.716 9.356 47,8 1.342,30
1985 777 23.500 24.277 8.378 51,8 1.413,80
1986 798 26.583 27.381 7.315 44,9 1.634,50
1987 1) 689 30.400 31.089 9.250 49,2 2.675,80
1988 2) 703 8.735 9.438 5.054 87,8 1.313,10
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

tanpa mengganggu kelestarian tanaman rotan, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan


larangan ekspor rotan bahan mentah sejak 8 Oktober 1986, dan larangan ekspor rotan barang
setengah jadi mulai 1 Juli 1988.

5.3.3. Perindustrian
Sebagai bagian dari usaha pembangunan ekonomi jangka panjang, pembangunan sektor

Departemen Keuangan Republik Indonesia 286


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

industri diarahkan pada terciptanya struktur ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang, yaitu
struktur ekonomi dengan titik berat industri yang maju dan didukung oleh pertanian yang
tangguh. Pembangunan sektor industri harus mampu meningkatkan efisiensi dan peranannya
dalam perekonomian nasional, baik dari segi nilai tambah maupun dalam penciptaan lapangan
kerja. Dengan demikian, di samping untuk meningkatkan nilai tambah, pembangunan sektor
industri ditujukan pula untuk memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, me-
nyediakan barang dan jasa yang bermutu dengan harga yang bersaing, baik di pasar dalam
negeri ataupun pasar luar negeri; meningkatkan ekspor dan menghemat devisa; menunjang
pembangunan daerah dan sektor-sektor pembangunan lainnya, serta sekaligus mengembangkan
penguasaan teknologi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kebijaksanaan pembangunan industri
yang ditempuh dalam Pelita IV bertumpu pada Pola Pengembangan Industri Nasional, atau
langkah-langkah strategis utama, yang meliputi pendalaman dan pemantapan struktur industri,
yang sejauh mungkin dikaitkan dengan sektor pertanian dalam arti luas, dan sektor
pertambangan.

Walaupun kondisi ekonomi masih cukup berat, pelaksanaan pembangunan sektor


industri sampai dengan tahun keempat Pelita IV, telah mampu memberikan sumbangan yang
semakin nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kemajuan tersebut erat kaitannya
dengan proses konsolidasi yang telah dilakukan dalam tahun 1983/1984, yaitu konsolidasi
dalam arti luas, baik dalam manajemen, keuangan, teknis, teknologi, dan pemantapan bidang
pemasaran. Konsolidasi tersebut menjadi mantap sejak tahun 1985, tercermin dari tercapainyaa
tingkat pertumbuhan sektor industri dalam tahun 1987/1988 sebesar 7,8 persen, yang melampaui
tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3,6 persen. Sejalan dengan itu, sebagian besar
industri nasional telah bangkit kembali sehingga mampu memberikan sumbangan yang semakin
besar terhadap peningkatan ekspor nonmigas.
Untuk lebih menunjang pertumbuhan sektor industri, ditempuh langkah-langkah
deregulasi bagi cabang-cabang industri yang mampu bersaing di pasar intemasional, melalui
penyempurnaan tarif bea masuk bagi industri dasar, aneka industri (industri hilir), serta industri
kecil yang berorientasi ekspor. Langkah tersebut ditempuh sejak tahun 1984, dan terus
disempurnakan sehingga mencakup 6.200 komoditi industri nasional.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 287


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.44
JENIS-JENIS KAYU DALAM PERSENTASE DARIPADA VOLUME
EKSPOR KAYU, 1) 1970 - 1987
Tahun Meranti Ramin Aghatis Jati Pulai Kapur Lain-lain Jumlah
keruing
1970 68,5 9,3 5,8 0,6 1,6 1,1 13,1 100
1971 62,7 10,4 2,9 0,3 0,2 0,1 22,6 100
1972 62,7 11,9 2,5 0,4 0,4 1,1 21 100
1973 58 8,3 3,9 0,8 1,7 6,9 19,9 100
1974 64,3 5 6 0,2 2,2 8,9 13,4 100
1975 68 6 3 0,3 1 10 11,7 100
1976 64,5 6,9 2,2 0,3 2,9 10,2 13 100
1977 63,4 5,8 1,9 0,4 4 10,1 14,4 100
1978 66 5,5 1,8 0,2 2,3 10,6 13,6 100
1979 58,9 3,9 1,9 0,2 1,8 11,7 21,6 100
1980 57,8 3,8 1,7 0,1 2,7 10,7 23,2 100
1981 54,1 3,2 2 0,2 2,9 10,8 26,8 100
1982 56,7 14,6 1,2 0,7 0,7 14,4 11,7 100
1983 70,2 14,6 2,7 0,8 1,7 4,5 5,5 100
1984 1) 63,7 0 4,1 1,8 1,7 6 22,7 100
1985 3) - - - - - - - -
1986 3) - - - - - - - -
1987 3) - - - - - - - -
i) Kbusus untuk ekspor kayu bulat
2) Angka diperbaiki
3) Angka tidak tersedia, tarena ada iannpn etspor kayu bulat.

Setelah melalui periode konsolidasi dalam arti luas, prioritas pengembangan industri
nasional dalam Pelita IV diarahkan pada pengembangan ekspor nonmigas hasil industri kecil,
aneka industri, industri kimia dasar, serta industri mesin dan logam dasar. Upaya-upaya tersebut
dapat meningkatkan penerimaan devisa dan mendorong pertumbuhan industri, baik industri
pelaku ekspor ataupun industri yang terkait dan industri penunjang, serta kegiatan jasa-jasa yang
dapat mendorong lapangan kerja dalam arti luas.

Dengan telah diletakkannya kerangka landasan dalam pengaturan, pembinaan serta


pengembangan industri nasional yang diikuti oleh pelaksanaan langkah-langkah deregulasi
secara kontinyu, arah industri nasional semakin jelas dan pertumbuhannya semakin mantap. Hal
itu ditunjukkan oleh semakin meningkatnya jumlah ekspor nonmigas yang terutama terdiri dari
hasil-hasil industri, sehingga melebihi hasil ekspor migas, yang sekaligus menunjukkan bahwa
ketergantungan terhadap ekspor migas telah semakin berkurang. Keadaan ini telah diikuti oleh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 288


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

bertambahnya jumlah dan nilai produksi, tumbuhnya wiraswasta-wiraswasta nasional sebagai


pelaksana ekonomi, serta timbulnya dampak positif bagi pembangunan ekonomi nasional,
dengan terciptanya lapangan kerja baru dan tumbuhnya kegiatan ekonomi lainnya.
Dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1987, pertumbuhan sektor industri terlihat
semakin menggembirakan, yaitu rata-rata sebesar 10,2 persen per tahun, yang berarti telah
melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yang rata-rata sebesar 4,0 persen. Kemajuan
tersebut juga terjadi pada industri pengolahan produk nonmigas dengan tingkat pertumbuhan
rata-rata sebesar 6,1 persen per tahun. Sementara itu peranan sektor industri dalam pembentukan
produk domestik bruto (PDB) sampai tahun 1987 telah meningkat menjadi 13,93 persen,
dibandingkan dengan 12,73 persen dalam tahun 1984. Nilai produksi dari aneka industri,
industri dasar dan industri kecil secara keseluruhan yang dalam tahun 1983 baru mencapai Rp
11.028,9 milyar, dalam tahun 1987 telah meningkat menjadi Rp 43376,9 milyar atau mengalami
kenaikan rata-rata sebesar 99,3 persen per tahun. Sedangkan nilai produksi selama empat tahun
pertama Pelita IV, rata-rata mencapai Rp 33.532,4 milyar per tahun dengan pertumbuhan rata-
rata sebesar 20,0 persen per tahun. Untuk periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni 1988,
nilai produksi sektor industri di luar industri kecil mencapai Rp 22.732,8 milyar. Perkembangan
beberapa hasil industri disajikan secara lebih terinci dalam Tabel V.45.
Peranan sektor industri terhadap ekspor nonmigas dan terhadap ekspor keseluruhan
dalam tahun 1987/1988, masing-masing adalah sebesar 78,28 persen dan 40,55 persen, yang
kemudian meningkat dalam periode bulan Januari - Juli 1988 menjadi 81,1 persen terhadap
ekspor nonmigas dan 45,4 persen terhadap ekspor keseluruhan. Dalam tahun 1987/ 1988, ekspor
hasil industri, telah mencapai nilai sebesar US $ 7.438,2 juta, yang berarti meningkat sebesar
60,92 persen dari jumlah yang dicapai dalam tahun 1986/1987, yang baru senilai US $ 4.622,2
juta. Perkembangan ekspor hasil industri perlu ditingkatkan lagi di masa-masa mendatang,
mengingat peluang ekspor masih terbuka luas, khususnya ke negara-negara Asia Pasifik, Timur
Tengah, dan negara-negara anggota MEE. Peluang lain yang terbuka untuk pengembangan
ekspor adalah kuatnya daya saing hasil-hasil industri Indonesia sebagai akibat kebijaksanaan
devaluasi tahun 1986, kenaikan nilai beberapa mata uang asing utama terhadap dolar Amerika,
terdapatnya tenaga kerja yang kompetitif, tersedianya sumber daya alam, serta pemanfaatan
fasilitas GSP yang masih bisa ditingkatkan khususnya ke USA, Jepang dan negara-negara MEE.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 289


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.3.3.1. Industri mesin dan logam dasar

Subsektor industri mesin dan logam dasar, sebagai penghasil barang modal dan produk
antara yang berfungsi sebagai bahan baku, ataupun sebagai bagian dari suatu sistem peralatan,
mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi proses industrialisasi yang sedang
berlangsung. Sehubungan dengan itu, dalam GBHN diamanatkan bahwa pengembangan
subsektor industri mesin dan logam dasar sejak tahun 1983/1984 diutamakan pada usaha
peningkatan kemampuan dalam pembuatan mesin-mesin dan peralatan pabrik yang sangat
diperlukan oleh sektor industri dan sektor ekonomi lainnya.

Sampai dengan tahun keempat Pelita IV, perkembangan industri dalam subsektor
industri mesin dan logam dasar pada umumnya mengalami peningkatan, baik dalam volume
produksi, nilai produksi, maupun jenis komoditi yang dihasilkan, walaupun beberapa hasil
industri telah mengalami penurunan. Kemajuan tersebut antara lain terjadi pada industri-industri
baja olahan, eletronika profesional, serta kendaraan bermotor niaga dan komponennya. Selain
itu, juga terjadi peningkatan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri di bidang
peralatan dan pembuatan pabrik secara utuh seperti pabrik crumb rubber, CPO, gula,
pengolahan rotan, industri pupuk ZA, TSP, amonia-urea, dan industri pulp-kertas. Hal tersebut
ditandai oleh meningkatnya nilai produksi, sekaIigus masuknya beberapa komoditi, ke dalam
pasaran ekspor, khususnya produk logam dasar.

Subsektor industri mesin dan logam dasar mencakup berbagai cabang industri,
beberapa di antara cabang industri tersebut mengalami peningkatan dalam hasil produksinya
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1987/1988, cabang-cabang industri
yang mengalami peningkatan adalah industri mesin dan peralatan pertanian rata-rata sebesar
20,95 persen, industri. alat-alat berat/konstruksi sebesar 28,79 persen, industri peralatan Iistrik
rata-rata sebesar 27,15 persen, industri elektronika profesional rata-rata sebesar 80,79 persen,
industri kendaraan bermotor rata-rata sebesar 56,84 persen, industri kereta api rata-rata sebesar
82,81 persen, industri pesawat terbang rata-rata sebesar 146,89 persen, industri mesin dan
peralatan pabrik rata-rata sebesar 67,30 persen, industri logam dan produk dasar rata-rata
sebesar 10,51 persen, serta industri bukan baja rata-rata sebesar 36,54 persen. Peningkatan
produksi subsektor industri mesin dan logam dasar dalam tahun tersebut didukung oleh semakin
kuatnya kewiraswastaan nasional setelah melalui restrukturisasi, baik permodalan maupun
teknis/teknologi oleh swasta maupun BUMN dalam rangka meningkatkan daya saing untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 290


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pasar dalam negeri maupun ekspor. Rincian mengenai perkembangan produksi masing-masing
unit produksi dari subsektor industri mesin dan logam dasar, disajikan dalam Tabel V.46.

Tabel V.45
BEBERAPA BASIL INDUSTRI, 1969/1970 - 1988/1989

Jenis prodnksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79
1. Tekstil Uuta meter) 449,8 598,3 732 852 926,7 974 1.017,10 1.247,00 1.332,50 1.576,00
2. Barang tenun (ribu ba1) 182,1 217 239 262 316,2 364 445,4 662,9 678,3 837,3
3. Assembling mobil (ribu buah) 5 2,9 16,9 23 36,7 65,6 78,9 75,3 83,9 108,7
4. Assembling sepeda motor (ribu buah) 21,4 31,1 50 100 150 251 300 167,6 271,8 330,5
5. Pupuk
- Urea (ribu ton) 85,4 102,9 108,4 120,0 115,7' 209,1 387,4 406,0 990,0 1.437,2
- Z A (ribu ton) - 49,7 122,8 129,1 113,8 105,2 93,3 141,0
6. S e men (ribu ton) 542,0 568,4 530,4 722,3 819,0 828,9 1.241,4 1.979,3 2.878,6 3.629,0
7. Ban kendaraan bermotor (ribu buah) 366,4 401,5 507,7 857,6 1.351,5 1.704,0 1.796,0 1.883,3 2.339,1 2.540,4
8. Gelas dan botol (ribu ton) 12,2 11,0 7,4 16,6 37,2 34,8 32,3 36,4 59,9 63,7
9. Kaca polosllembaran (ribu ton) - - - 22,3 21,6 29,5 30,9 43,6 51,4
10. Aluminium sulfat (ribu ton) - 3,0 7,2 11,6 17,2 14,3 13,7 15,1 18,5 18,8
11. Asam sulfat (ribu ton) 3,6 8,6 11,2 17,7 8,6 15,3 18,9 19,8 24,5
12. K e r t a s (ribu ton) 17,0 22,2 30,1 39,6 47,2 43,2 46,7 54,4 83,5 155,2
13. Minyak ke1apa (ribu ton) 263,0 258,2 260,7 264,5 264,5 265,0 268,4 276,2 276,3 319,1
14. Minyak goreng (ribu ton) 27,0 26,0 27,2 28,8 28,7 29,4 30,6 32,6 31,3 37,8
15. Sabun cuei (ribu ton) 133,0 132,2 132,4 132,0 131,3 148,9 164,6 175,5 194,9 218,5
16. Rokok kretek (milyar batang) 19,9 20,5 21,4 23,7 30,2 30,6 33,3 37,9 40,9 43,5
17. Rokok putih (milyar batang) 11,0 13,7 14,7 16,8 20,4 21,9 23,5 22,6 23,1 25,7
18. Korek api Uuta kotak) 269,0 322,0 348,0 475,3 566,0 707,0 780,0 772,0 506,1 539,8

Tabel V.45 (lanjutan)

Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79
19. Tapal gigi (juta tube) 15 25 26 30 32 46 107,8 103,6 104,4 108,5
20. Deterjen (ribu ton) - 4 5,6 5,2 6,6 7 34,9 34,4 38,5 44,2
21. Aceu (ribu buah) 32 56,2 262 130 140 180 220 480 575 90
22. R a d i 0 (ribu buah) 363,5 393,2 416 700 900 1.000,00 1.000,00 1.1 00,0 1.000,00 1.536,00
23. Televisi (ribu buah) 4,5 4,7 65 60 70 135 166 210 460 733,2
24. Assembling mesinjahit (ribu buah) 14 13,5 262 340 800 40C,0 520 400 484 600
25. Baterai kering (juta buah) 54 55,2 72 72 132 144 240 420 442 420
26. Plat song (ribu ton) 8,5 34,4 66,6 69,6 70 70 145 156 185 185
27. Kawat baja (ribu ton) - - - 15 30 30 43,4 84,6 98 100
28. Besi spong (ribu ton) - - - - -
29. Lampu pijar/TL (juta buah) 3,5 5,5 6 12,3 18 18,9 21 26 24,8 30,4
30. Besi beton (ribu ton) 4,5 10 74 75 120 115 202 296,3 240 300
31. Air conditioner (ribu buah) 4,5 4,7 31,8 20 20 24 23 30 29,3 26,4
32. Kabellistrik/telekom (ribu ton) 1 4 6 7 9 9 9 12,5 15,7
33. Kapal baja barn (ribu BRT) 7,1 15 15 15 22,9 25,4 22 27,2 19,4 16,9
34. S p ray e r (ribu buah) - - - - 40 20 15 20 15,3 36,5
35. Vet sin (ribu ton) - - - - 7,3 7,4 7,5 8,1 10 21,6
36. Mesin disel (ribu unit) - - - 2 8 8 24 25,3 30,4
37. Susu kental manis (juta peti) - - - 1,5 2,4 2,2 t) 2,5 3,5 4,4 4,1

Departemen Keuangan Republik Indonesia 291


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.45 (lanjutan)

Jenis prodnksi 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/881) 1988/89 3) 1987/1988
I. Tekstil Gula melee) 1.910,00 2.027,30 2.094,00 1.708,90 2.347,20 2.401,60 2.498,70 2.761,50 2.925,60 - 2) 5,9
2. Barang lenun (ribu bal) 998 1.184,00 1.223,00 1.551,00 1.662,00 1.781,60 I. s:/6, 8 2.147,80 2.275,70 -2) 6
3. Assembling mobi1 (ribu buah) 102,5 172,5 209,9 188,4 155,8 154,7 139,8 162,4 160,4 38 -1,2
4. Assembling sepeda motor (ribu buah) 221,6 410 503,3 377,4 379,3 272,2 226,8 310,8 249,6 66,5 -19,7
5. Pupuk
- Urea (ribu Ion) 1.827,0 1.985,1 2.006,7 1.944,1 2.255,01) 3.044,01) 3.690,0 3.957,0 4.154,0 1.083,0 5,0
- Z A (ribu ton) 147,8 180,8 195,2 . 209,6 208,0 356,01) 482,0 575,0 604,0 133,5 5,0
6. S e men (ribu Ion) 4.705,1 5.581,8 6.844,2 7.650,0 8.102,21) 8.858,4 t) 10.026,71) 11.323,31) 12.331,1 2.799,1 8,9
7. Ban kendaraan bermolor (ribu buah) 2.898,4 3.320,0 3.816,9 3.885,6 3.673,3 3.944,0 4.085,91) 4.935,3 5.085,6 1.457,2 3,0
8. Gelas dan botol (ribu Ion) 68,4 77,3 84,8 93,1 102,0 108,0 125,1 125,2 126,1 32,1 0,7
9. Kaca polos/lembaran (ribu ton) 67,3 106,2 89,9 100,7 146,91) 152,1 182,21) 189,3 255,3 71,3 34,9
10. Aluminium sulfal (ribu Ion) 12,9 15,4 17,7 17,8 31,01) 39,0 34,01) 45,1 48,6 16,0 7,8
11. Asam su1fal (ribu Ion) 50,9 39,8 37,2 32,2 224,01) 411,0 715,1 774,61) 812,0 208,5 4,9
12. K e r I a s (ribu ton) 214,2 232,0 246,6 296,9 369,2 452,71) 551,91) 714,31) 905,7 252,7 26,8
13. Minyak kelapa (ribu Ion) 452,0 610,0 480,0 442,1 381,7 267,1 396,0 256,5 445,6 119,2 73,7
14. Minyak goreng (ribu Ion) 266,2 278,9 326,4 326,2 342,0 605,1 490,0 587,8 663,7 187,5 12,9
15. Saban cuci (ribu Ion) 202,9 213,0 207,8 213,0 199,0 160,0 161,4 162,3 164,2 41,4 1,2
16. Rokok krelek (mityar balang) 41,5 50,5 55,6 61,1 68,2 79,7 84,1 96,3 112,3 29,9 16,6
17. Rokok putih (mityar balang) 28,6 33,4 28,4 27,1 28,0 26,9 24,11) 21,2 21,5 5,6 1,4
18. Korek api Guta kolak) 553,0 586,2 664,8 681,4 817,0 1.525,3 2.214,0 2.364,0 2.425,4 690,0 2,6

Tabel V.45 (lanjutan)


Jenis prodnksi 1979/80 1980/81 1981182 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1) 1988/1989 3) 1989/1990
19. Tapal gigi (juta tube) 1I3,9 123 137,5 145 165,1 240 351 474,7 484,2 140,5 2
20. Deterjen (ribu ton) 46,5 54,4 63,9 66,8 75,5 1I8,0 144,6 160,5 162,1 47,3 1
21. Accu (ribu buah) 1.747,20 3.319,70 3.651,60 3.521,00 4.080,00 5.399,30 5.687,90 5.844,10 6.150,60 1.519,20 5,2
22. R a d i a (ribu buah) 1.018,80 1.110,50 1.154,90 1.589,90 1.503,10 1.576,60 1.883,40 1.694,80 1.080,10 325 -36,3
23. Televisi (ribu buah) 659,8 730,1 846,9 653,5 622,8 772,8 750 700,4 640 141,9 -8,6
24. Assembling mesin jahit (ribu buah) 477,6 525,4 551,6 393,5 290,2 253 170,5 127,5 136,7 15,8 7,2
25. Baterai kering (juta buah) 462 526,7 553,6 576,6 633,6 771,8 952,1 1.000,00 1.000,60 251,4 0,1
26. Plat seng (ribu ton) 250 294,2 301,5 316,7 332,0 1) 253 274 195,5 186 31,8 -4,9
27. Kawat baja (ribu ton) 108 143,2 159,7 128,3 1I0,0 150 98,8 1I5,3 120 31,9 4,1
28. Besi spans (ribu ton) 9,6 281,9 384,5 391 541 756,5 1.086,50 1.282,90 1.337,00 216,3 4,2
29. Lampu pijar/TL (juta buah) 29,9 33,8 36,5 35,7 55,1 53,2 85,9 87,7 91,7 23,3 4,6
30. Besi beton (ribu ton) 500 640,5 671,8 743,8 724 649 671,2 716,1 895 212,3 25
31. Air conditioner (ribu buah) 47,4 73,5 53,6 55 68,9 58,7 53,11) 47 48,9 14,7 4
32. Kabellistrik/te1ekom (ribu ton) 17,4 19,1 18,7 47 50 52(1 1) 58,1 1) 58,6 58,8 14,7 0,3
33. Kapal baja baru (ribu BRT) 35,2 40,4 41,3 32,4 7,9 20,9 18,2 7,7 18 4,9 133,8
34. S p ray e r (ribu buah) 78 134,2 154,3 159,7 170 188,3 229,6 242,6 248,6 62,3 2,5
35. Vetsin(ributon) 20 26,2 33,5 33,4 35,5 37,1 39,1 48,5 56,5 - 16,5
36. Mesin dise! (ribu unit) 25 34,1 69,4 64,6 58,6 48,3 41,5 23,9 31,5 8,5 31,8
37. Susu kental manis (juta peti) 4,8 5,5 5,2 5,2 5,3 5,1 5,2 4,7 1) 4,8 2,3 2,1
1) Angka diperbaiki
2) Data tidak tersedia
3) Angka sementara

5.3.3.2. Industri kimia dasar


Pembangunan subsektor industri kimia dasar sejauh mungkin diarahkan pada
pendalaman struktur industri, yang pelaksanaannya dikaitkan dengan sektor ekonomi lainnya,
seperti sektor pertambangan dan sektor pertanian dalam arti luas, dengan memperhatikan skala
ekonomi dan kemantapan pasar, serta kondisi ekonomi yang berlaku, baik secara nasional
maupun internasional. Selain itu, kebijaksanaan pada subsektor industri kimia dasar juga
berorientasi pada pola pengembangan industri nasional, yang berisi enam butir kebijaksanaan.
Sejalan dengan pengembangan subsektor tersebut, ditentukan berbagai jenis industri kimia dasar
yang diprioritaskan pembangunannya, yaitu industri sellulosa yang meIiputi industri pulp skala
besar, industri pupuk nitrogen, amonia, industri pupuk fosfat, industri pestisida, khususnya yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 292


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mendorong pengembangan industri pembuatan bahan aktif pestisida, industri kimia dasar
anorganik, industri petrokimia, industri organik, dan peningkatan pengolahan serta diversifikasi
pengolahan mineral. Selain itu diusahakan pula peningkatan kapasitas nasional pada ekspor
industri ban serta ekspor semen. Hal lain yang tercakup dalam kebijaksanaan industri kimia
dasar adalah sistem keterkaitan antara sektor industri, penerapan dan pengembangan teknologi,
yang meliputi peningkatan usaha penguasaan teknologi nasional dalam bidang pengembangan
proses dan produk, rancang bangun dan perekayasaan industri, serta dukungan dalam hal
pembuatan peralatan/mesin-mesin di dalam negeri. Di samping itu juga dilakukan usaha
pengembangan ekspor, melalui penentuan komoditi-komoditi andalan yang akan dikembangkan,
seperti industri amonia, industri semen, industri kaca, industri pulp dan kertas, serta industri
organik dan industri anorganik. Sampai dengan tahun kelima Pelita IV, subsektor industri kimia
dasar mengalami perkembangan yang semakin mantap. Hal ini merupakan hasil dari berbagai
upaya pembinaan yang telah dilakukan oleh Pemerintah, serta adanya tanggapan yang positif
dari dunia usaha. Dalam tahun 1987/1988 subsektor industri kimia dasar, yang mencakup empat
cabang industri serta menghasilkan 54 macam komoditi, mengalami perkembangan produksi
pada 45 komoditinya, yaitu 3 komoditi dari cabang industri sellulosa dan karet, 5 komoditi dari
cabang industri agrokimia, 15 komoditi cabang industri organik, serta 22 komoditi dari cabang
industri anorganik.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 293


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.46
BEBERAPA HASIL INDUSTRI LOGAM DASAR, 1969/1970 - 1988/1989

Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/89
1. Assembling mobil (ribu buah) 5 2,9 16,9 23 36,7 65,6 78,9 75,3 83,9 108,7
2. Plat seng (ribu ton) 8,5 34,4 66,6 69,6 70 70 145 156 185 185
3. Besi spong (ribu ton) - - - - - - - - - -
4. Besi beton (ribu ton) 4,5 10 74 75 120 115 202 296,3 240 300
5. Kapal baja bam (ribu BRT) 7,1 15 15 15 22,9 25,4 22 27,2 19,4 16,9
6. Mesin penggilas jalan (Unit) 200 200 200 200 360 575 f75,0 546 400 120
7. Huller (ribu unit) 2,2 - - 2,5 3,5 3,5 4 1 0,8 2,2
8. Kawat baja (ribu ton) - - - 15 30 30 43,4 84,6 98 100
9. Mesin disel (ribu unit) - - - - 2 8 8 24 25,3 30,4
10. Ekstrusi aluminium (ribu ton) - - - - - 4 2,4 2,4 2,6 2,8
11. Aluminium sheet (ribu ton) - - - 3 5,2 6,5 9,7 9,7
12. Posawat terbang (buah) - - - - 2 3 7 16
13. Posawat helikopter (buah) - - - - - - 13 6 16
14. Ingot baja (ribu ton) - - - - - - 116 136 67,2 80
15. Pipa air/gas/minyak (ribu ton) - - - - - - 35 38 45 47,3
16. Pipa listrik (ribu ton) - - - - - 50 55 60 66
17. Pipa baja spiral (ribu ron) - - - - - - 12 13,5 15 5
18. Radiator (ribu buah) - - - - - - 15 17,3 27 52
19. Pis ton (ribu buah) - - - - - 50 57,5 180 135
20. Tabung gambar (ribu buah) - - - - - - 12,5 26,7 55
21. Transformator (ribu buah) - - - - - 8 1,2 1,2 1,4
22. Traktor tangan (unit) - - - - - 30 30 44 280
23. Traktor mini (unit) - - - - - - - - 25
24. Generator/genset (buah)

1) Angka diperbaiki
2) Data tidak tersedia
3) Angka sementara

Tab e l V.46 (lanjutan)


Jenis produksi 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 I) 1988/89 3)
1. Assembling mobil (ribu buah) 102,5 172,5 209,9 188,4 155,8 153,7 I) 139,8 162,4 160,4 38
2. Plat seng (ribu ton) 250 294,2 301,5 316,7 332,0 I) 253 274 195,5 186 31,8
3. Besi spons (ribu ton) 99,6 281,9 384,5 391 541 756,5 1.086,50 1.282,90 1.337,00 216,3
4. Besi beton (ribu ton) 500 640,5 671,8 743,8 724 649 671,2 716,1 895 212,3
5. Kapal baja bam (ribu BRT) 35,2 40,4 41,3 32,4 7,9 20,9 18,2 7,7 18 4,9
6. Mesin penggilas jalan (unit) 450 316 431 409 404 277 340 173 8 4
7. Huller (ribu unit) 2,5 1,8 1,1 1,7 0,5 1,8 2,8 1,2 2 0,2
8. Kawat baja (ribu ton) 108 143,2 159,7 128,3 110 150 98,8 115,3 120 31,9
9. Mesin disel (ribu unit) 25 34,1 69,4 64,6 52,81) 48,3 41,6 23,9 31,5 8,5
10. Ekstrusi aluminium (ribu ton) 6,1 8,2 10,7 12,3 11 10 11 12 12,5 3,7
11. Aluminium sheet (ribu ton) 9,5 11,8 13,7 15,1 8 24,5 26,5 24,7 29 8,2
12. Posawat terbang (buah) 16 12 17 21 6 8 8 5 - 2) - 2)
13. Posawat helikopter (buah) 16 12 12 21 24,0 I) 19 7 12 - 2) - 2)
14. Ingot baja (ribu ton) 122,4 397,1 436 693 883,0 I) 901,0 I) 1.023,10 1.144,60 1.337,00 291,2
15. Pipa air/gas/minyak (ribu ton) 47,3 63,1 102 122,2 131,1 135,8 - 2) - 2) - 2) - 2)
16. Pipa listrik (ribu ton) 75,3 60,2 109,6 114,1 84,3 87,4 - 2) - 2) - 2) - 2)
17. Pipa baja spiral (ribu ton) 7 30,5 31,4 46,2 31,0 I) 16,3 I) 40,5 30,5 34 10,5
18. Radiator (ribu buah) 100 160,4 173,1 170,7 41,8 138,9 121,1 137 128,5 30,8
19. Pis ton (ribu buah) 135 140 81,1 125 270,1 297,1 326,8 400 663,2 - 2)
20. Tabung gambar (ribu buah) 25 59,8 73,2 - 2) - 2) - 2) - 2) - 2) - 2) - 2)
21. Transformator (ribu buah) 1,4 2,3 3,9 4,7 5,7 5,8 12,1 8,0 I) 9,5 I) 4,1
22. Traktor tangan (unit) 550 877 1.074,00 1.271,00 1.065,00 1.091,00 973 1.891,00 3.000,00 600
23. Traktor mini (unit) 150 192 65 116 68 71 43 29 30 7
24. Generator/genset (buah) 8.279,00 8.820,00 16.875,00 20.859,00 33.771,00 32.450,00 20.833,00 15.000,0 379
1) Angka diperbaiki
2) Data tidak tersedia
3) Angka sementara

Cabang industri sellulosa dan karet, sebagai penghasil kertas dan pulp, ban kendaraan
bermotor, ban sepeda motor dan ban sepeda, dalam tahun 1987/1988 menunjukkan
perkembangan yang cukup baik. Hal itu tercermin dari tingkat produksi yang dicapai oleh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 294


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

industri-industri dalam cabang tersebut, yaitu kertas pulp, ban kendaraan bermotor, serta ban
sepeda motor, yang rata-rata meningkat sebesar 19,39 persen. Peningkatan tersebut terjadi
karena adanya tambahan pabrik-pabrik baru serta perluasan pabrik, sehingga meningkatkan
kapasitas terpasang sekaligus dapat menghasilkan ekspor. Di samping itu juga disebabkan
adanya produksi kertas koran yang mulai dihasilkan dalam tahun 1985/1986 dengan kapasitas
terpasang sebesar 180,0 ribu ton.

Sejalan dengan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, hampir semua komoditi
dalam cabang industri agrokimia, yaitu pupuk urea, pupuk ZA, pupuk TSP, amonia ekses, serta
bahan aktif pestisida dan pupuk fosfat mengalami peningkatan produksi. Dalam tahun
1987/1988 cabang industri agrokimia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10,56 persen.
Sedangkan produksi beberapa komoditi lainnya, walaupun tetap menunjukkan adanya kenaikan,
tetapi lebih lamban dari tahun sebelumnya. Pada komoditi pupuk urea, hal itu terjadi karena
pada kurun waktu tersebut, sebagian besar pabrik pupuk urea telah berproduksi pada tingkat
yang optimal, bahkan beberapa diantaranya telah melampaui kapasitas terpasang. Selain
daripada itu, dalam tahun 1987 salah satu unit pabrik urea dari unit Pusri I yang berkapasitas
terpasang 10,0 ribu ton per tahun telah dihentikan produksinya, berhubung kondisi tekno
ekonomisnya sudah tidak efisien lagi. Adapun peningkatan produksi pupuk TSP, dalam tahun
1987/1988 disebabkan adanya peningkatan kapasitas terpasang sejalan dengan peningkatan
kebutuhan jenis pupuk tersebut. Perluasan kapasitas terpasang juga dilaksanakan dalam industri
pupuk l.A, yaitu dengan telah selesainya pembangunan dua unit pabrik baru pada PT Petrokimia
Gresik, masing-masing sebesar 200,0 ribu ton per tahun. Adapun bahan aktif pestisida yang
mulai dihasilkan dalam tahun pertama Pelita IV, seperti diazinon, BPMC dan MIPC, juga
mengalami perkembangan yang makin lamban. Hal itu terjadi karena adanya kebijaksanaan
pemerintah untuk membatasi peredaran beberapa jenis insektisida. Sedangkan industri yang
mengalami penurunan produksi adalah formulasi pestisida sebagai akibat adanya Inpres No.3
tahun 1986 tanggal 5 Nopember 1986, yang melarang penggunaan 57 jenis insektisida untuk
tanaman padi, serta adanya kemarau panjang dalam tahun 1987.
Kapasitas produksi beberapa komoditi dalam cabang industri kimia organik juga
mengalami peningkatan selama PeIita IV, baik dengan adanya kenaikan produksi ataupun
karena adanya produksi komoditi baru. Komoditi-komoditi yang mengalami kenaikan produksi
adalah resin perekat/formaIin sebesar 73,2 persen, alkyl benzene sebesar 10,2 persen, serta

Departemen Keuangan Republik Indonesia 295


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

alkohol dan spiritus sebesar 7,2 persen. Tercapainya laju pertumbuhan tersebut, karena produksi
cabang industri tersebut dipasarkan untuk ekspor. Selain itu, terdapat produk-produk lainnya
yang mulai dihasilkan dalam PeIita IV, yaitu polystyrene, OOP, methanol, alkyl benzene, heavy
alkylate, sorbito arang aktif, poly propylene, PVC compound, PTA, serta komoditi phataIic
anhydride yang baru dihasilkan dalam tahun 1987/1988.
Kemajuan yang dicapai oleh cabang-cabang industri tersebut juga terjadi pada sebagian
besar komoditi pada cabang industri kimia anorganik. Kenaikan produksi pada semen portland
sebesar 8,9 persen, dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan dalam negeri dan adanya ekspor
komoditi tersebut. Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dalam negeri dan ekspor,
maka produksi kaca lembaran mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 34,9
persen. Sedangkan kenaikan produksi asam sulfat dan zat asam masing-masing sebesar 4,8
persen dan 10,1 persen, disebabkan oleh peningkatan kapasitas terpasang yang ada, serta
meningkatnya kebutuhan komoditi tersebut oleh industri hilir/ konsumen, seperti kertas, tekstil,
pupuk Z.A,'dan TSP. Di samping itu, peningkatan produksi juga terjadi pada komoditi asam
chlorida sebesar 98,3 persen, calsium carbonat sebesar 38,4 persen, serta nitrous oksida dan
argon, masing-masing sebesar 30,9 persen dan 4,8 persen. Perkembangan tersebut pada
umumnya disebabkan oleh meningkatnya kapasitas terpasang yang ada, serta adanya
peningkatan permintaan, baik dari dalam negeri ataupun untuk ekspor. Gambaran yang lebih
terinci mengenai perkembangan produksi subsektor industri kimia dasar disajikan dalam
Tabel V.47.

5.3.3.3. Aneka industri


Subsektor aneka industri merupakan penghasil produk-produk hilir berupa barang-
barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Berdasarkan karakteristik
tersebut, maka langkah-langkah yang ditempuh untuk mengembangkan subsektor tersebut
antara lain dengan mengarahkan industri-industri yang berkapasitas besar dan berteknologi
modern untuk melayani pasaran luar negeri, sedangkan kebutuhan dalam negeri dipenuhi
dengan produksi dari industri yang berteknologi padat karya. Dengan demikian, pembangunan
subsektor tersebut mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan industri secara
keseluruhan, terutama untuk memperkokoh keterkaitan antara industri besar dan industri hilir.
Di sarnping itu juga mampu mendorong usaha pembangunan daerah, dengan memanfaatkan
bahan baku dari dalam negeri.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 296


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Dalam tahun keempat PeIita IV, subsektor aneka industri, yang meliputi cabang industri
pangan, industri tekstil, industri kimia, industri alat-alat listrik dan logam, serta industri bahan
bangunan dan umum, mengalami peningkatan pada sebagian besar komoditi yang
diproduksinya. Dari 91 komoditi yang dipantau, 74 komoditi di antaranya mengalami
peningkatan produksi, sedang 17 komoditi lainnya mengalami penurunan, karena adanya
kejenuhan pasar dalam negeri, sedangkan untuk dipasarkim di luar negeri kurang kompetitif.
Selain itu, komoditi-komoditi yang bersangkutan juga menghadapi masalah rendahnya daya
saing terhadap produksi lain sebagai efek dari diversifikasi produk serta adanya inefisiensi,
adanya penurunan permintaan dari luar negeri, perubahan selera konsumen dan turunnya daya
beli masyarakat, serta berkurangnya supply bahan baku dari luar negeri. Tingkat perkembangan
yang terjadi pada subsektor tersebut dalam tahun 1987/1988 juga beraneka ragam di antara
masing-masing komoditi, sejak dari tingkat perkembangan di bawah 10 persen per tahun yang
terjadi pada sekitar 49 komoditi, diikuti oleh tingkat perkembangan antara 10 sampai 30 persen
per tahun yang terjadi pada 20 komoditi, serta tingkat perkembangan di atas 30 persen per tahun
yang terjadi pada 5 komoditi.
Terjadinya peningkatan produksi berbagai komoditi dalam subsektor aneka industri,
secara tidak langsung disebabkan oleh adanya penggunaan barang-barang substitusi impor,
adanya keterkaitan antarindustri melalui sistem subkontrol, pertumbuhan industri dalam negeri
yang ditunjang oleh adanya pengaturan kembali tata niaga, upaya peningkatan nilai tambah
komoditi ekspor nonmigas, serta adanya berbagai kemudahan lain yang menyangkut berbagai
jenis industri dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam paket kebijaksanaan 6 Mei 1986 dan
Paket 24 Desember 1987 tentang deregulasi dan debirokratisasi. Peningkatan produksi tersebut
terjadi pada industri yang menunjang sektor pertanian, sebagai akibat adanya
intensifikasijekstensifikasi sektor pert_nian, yang meliputi industri karung plastik, jaring ikan,
pipa PVC, dan sebagainya. Selain itu, juga terjadi pada industri yang memenuhi kebutuhan
rakyat banyak, yaitu industri minyak kelapa, minyak goreng sawit, susu kental manis, susu
bubuk, sabun mandi dan sabun cuci industri yang menunjang kegiatan sektor
bangunanjkonstruksi, baik perumahan, gedung perkantoran, ataupun sarana fisik lainnya, seperti
genteng semen dan marmer; industri yang menunjang listrik masuk desa, seperti industri tiang
listrik dari beton, lampu pijar/TL dan kipas angin; industri yang menunjang sektor pendidikan,
yaitu ball point, sepatu karet/kanvas dan sebagainya; serta industri yang memiliki pasar ekspor,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 297


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

yaitu antara lain kayu gergajian, makanan ternak, pakaian jadi, decorative plywood, serta rotan
olahan.

Tab e l V.47
BEBERAPA BASIL INDUSTRI KIMIA DASAR, 1969/1970 - 1988/1989

Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79
Pu a. Urea (ribu ton) 85,4 102,9 108,4 120 115,7 209,1 387,4 406 990 1.437,20
b. ZA (ribu ton) - - - 49,7 122,8 129,1 113,8 105,2 93,3 141
c. TSP (ribu ton) - - - ... -
2. K e r t a s (ribu ton) 17 22,2 30,1 39,6 47,2 43,2 46,7 54,4 83,5 155,2
3. S e men (ribu ton) 542 568,4 530,4 722,3 819 828,9 1.241,40 1.979,30 2.878,60 3.629,00
4. Ban kendaraan bermotor (ribu buah) 366,4 401,5 507,7 857,6 1.351,50 1.704,00 1.796,00 1.883,30 2.339,10 2.540,40
5. Ban sepeda motor (ribu buah) - - - 792 1.432,80 1.200,00 1.520,00 1.658,20
6. Kaca Polosllembaran (ribu ton) - - 22,3 21,6 29,5 30,9 43,6 51,4
7. Aluminium sulfat (ribu ton) - 3 7,2 11,6 17,2 14,3 13,7 15,1 18,5 18,8
8. Asam sulfat (ribu ton) - 3,6 8,6 11,2 17,7 8,6 15,3 18,9 19,8 24,5
9. Sad a (ribu ton) 0,4 0,9 1,8 2,8 2,9 4,2 8,8 8,8 9,5 8,5
10. Zat asam (ribu M3) 2,2 2,8 3,5 3,7 4,6 4,8 4,9 6,3 6,8 7,2
11. Asam arang (ribu ton) 0,5 - - 2,1 0,8 2,5 2,3 2,8 3,5
12. Acetylene (ribu M3) - - - 99,2 123,8 241,2 289,1 305 335
13. Pestisida (ribu ton) - 0,4 1 2,3 2,5 10,2 9,1
14. Synthetic resin (ribu ton) - - - - - 0,5 1,9 3,2 31,3 14
15. Bahan kimia tekstil (ribu ton) - - -. - - 0,5 0,5 0,5 0,6 4,5
16. Zink oksida (ribu ton) - - - - - - 0,1 471,4 801 810
17. Bahan peledak (ribu ton) - - - - 1.150,00 1.284,00 1.250,00 1.189,00 1.154,00 1.550,00
18. Asam chlorida (ribu ton) 0,4 0,9 1,2 3,7 4,5 2,2 3,9 4 4,3 5,3

Tab e l V.47 (Ianjutan)

Jenis produksi 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/881) 1988/893)
1. Pupuk: a. Urea (ribu ton) 1.827,00 1.985,10 2.006,70 1.994,10 2.255,01) 3.044,01) 3.690,00 3.957,00 4.154,00 1.083,00
b. ZA (ribu ton) 147,8 180,8 195,2 209,6 208 356,01) 482 575 604 133,5
c. TSP (ribu ton) 114,4 465 559,3 577,4 783 1.027,01) 1.051,00 1.169,01) 1.177,30 294
2. K e r t a s (ribu ton) 214,2 232 246,6 296,9 369,2 452,71) 551,91) 714,31) 905,7 252,7
3. S e men (ribu ton) 4.705,10 5.851,80 6.844,20 7.650,00 8.102,21) 8.858,41) 10.026,71) 11.322,31) 12.331,10 2.799,10
4. Ban kendaraan bermotor (ribu buah) 2.898,40 3.320,00 3.816;9 3.885,60 3.673,30 3.944,00 4.085,91) 4.935,30 5.085,60 1.457,20
5. Ban sepeda motor (ribu buah) 2.070,50 2.319,70 2.801,30 2.567,10 2.438,50 2.230,00 "'2.312,9 3.093,00 3.969,70 1.391,00
6. Kaca polosllembaran (ribu ton) 67,3 106,2 89,9 100,7 146,91) 152,1 182,21) 189,3 255,3 71,3
7. Aluminium sulfat (ribu ton) 12,9 15,4 17,7 17,8 31,01) 39 34,01) 45,1 48,6 16
8. Asam sulfat (ribu ton) 50,9 39,8 37,2 32,2 244,01) 411 715,1 774,61) 812 208,5
9. Sad a (ribu ton) 17,6 18,8 15,6 29 14,41) 23 33,81) 35,11) 36,7 10
10. Zat asam (ribu M3) 8,2 8,1 9,5 9,5 31,71) 46,7 49,31) 54,3 59,8 17,1
11. Asam arang (ribu ton) 2,2 4,7 4,9 4,6 11,81) 19,01) 19,1 20,01) 21 7,6
12. Acetylene (ribu M3) 246,7 511,6 534,5 600 1.504,01) 1.824,00 1.596,00 1.637,00 1.687,00 432,7
13. Pestisida (ribu ton) 20,8 25,7 33,6 48 40,91) 53,11) 54,8 58,1 48,3 9,3
14. Synthetic resin (ribu ton) 31 51,2 57,2 81 37,1 38,2 45,5 46,2 51,9 -
15. Bahan kimia tekstil (ribu ton) 6,4 11,8 25,4 45,1 10,51) 10,71) 12,6 15,1 15,2 4
16. link oksida (ribu ton) 1,1 1,3 0,7 1 2,31) 2,6 3,01) 3,8 4,5 1,3
17. Bahan peledak (ribu ton) 1,9 0,7 0,5 0,6 0,5 0,7 0,7 0,6 0,7 0,3
18. Asam chlorida (ribu ton) 11 10,9 9,6 10,5 lDi) 14, II) 24,3 38,61) 76,5 6

1) Angka diperbaiki
2) Data tidak tersedia
3) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 298


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Dalam cabang industri pangan, komoditi yang mengalami perkembangan produksi di


atas 30 persen per tahun adalah minyak goreng kelapa dan margarine, masing-masing sebesar
73,7 persen dan 40,3 persen. Sedangkan dalam cabang industri tekstil, terjadi pada zat warna
tekstil sebesar 43,4 persen. Kondisi perkembangan serupa juga terjadi pada komoditi ballast dari
cabang industri alat-alat listrik dan logam sebesar 144,9 persen, serta dalam cabang industri
bahan bangunan dan umum yang terjadi pada komoditi ball pdint sebesar 175,3 persen.
Sementara itu, komoditi-komoditi yang mengalami perkembangan antara 10 sampai 30
persen per tahun, pada cabang industri pangan adalah minyak goreng sawit, makanan temak,
serta tonic food drink dan instant coffee. Kemudian dalam cabang industri tekstil, peningkatan
tersebut terjadi pada komoditi serat rayon, serat polyester, benang pintal, kain tenun, serta kain
rajut dan pakaian jadi. Adapun dalam cabang industri kimia, terjadi pada komoditi formika dan
sepatu karet. Dalam cabang industri alat-alat listrik dan logam, peningkatan serupa terjadi pada
komoditi kikir. Sedangkan dalam cabang industri bahan bangunan dan umum, perkembangan
produksi terjadi pada komoditi plywood, organ, piano dan pianika, decorative plywood, serta
marmer dan rotan.
Selanjutnya, komoditi-komoditi dalam cabang industri pangan yang mengalami
perkembangan di bawah 10 persen adalah rokok putih, susu bubuk, industri bekuan, tepung
terigu, buah-buahan dan sayur-sayuran dalam kaleng, serta kembang gula. Di lain pihak,
komoditi dari cabang industri tekstil yang mengalami peningkatan tersebut adalah benang
filament nylon. Selain itu, komoditi dari cabang industri kimia yang mengalami peningkatan
serupa adalah pipa PVC, kulit imitasi, korek api, tapal gigi, tinta cetak, crumb rubber, serta
karung plastik dan jaring ikan. Tingkat perkembangan tersebut juga terjadi pada komoditi-
komoditi dalam cabang industri alat-alat listrik dan logam, yaitu accu, batery kering, loud
speaker, refrigerator, sprayer, serta air condition. Komoditi-komoditi dari cabang industri bahan
bangunap. dan umum yang mengalami peningkatan di bawah 10 persen adalah kayu gergajian,
gelas dan hotel, ashes semen, sanitair, kulit sapi/kulit kerbau, serta karung goni dan payung.
Perkembangan produksi subsektor aneka industri disajikan secara lebih terind dalam Tabel V.48.
5.3.3.4. Industri kecil
Sebagai bagian dari usaha pembangunan ekonomi dan industri nasional, pembangunan
subsektor industri kecil termasuk industri kerajinan, industri rumah tangga, industri informal
dan tradisional masih dilanjutkan serta diarahkan untuk memperluas lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, meningkatkan ekspor, menumbuhkan kemampuan dan kemandirian

Departemen Keuangan Republik Indonesia 299


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

berusaha, serta meningkatkan pendapatan pengusaha kecil dan perajin. Selanjutnya, hal itu
direalisir melalui pelaksanaan dan peningkatan bimbingan teknis dan kepengusahaan, termasuk
pemasyarakatan berbagai hasil penelitian, peningkatan produktivitas dan mutu produksi,
peningkatan penyediaan bahan baku, permodalan dan perkreditan, serta perluasan pemasaran
hasil produksi di dalam dan luar negeri. Selain itu, dalam melaksanakan pembangunan industri
kecil, juga diusahakan agar terdapat kaitan yang erat antara industri kecil, industri menengah
dan industri besar, serta adanya peningkatan peranan koperasi.
Usaha pembinaan industri kecil dilakukan melalui beberapa langkah, antara lain dengan
pembinaan sentra-sentra industri yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia khususnya di
pedesaan. Sampai dengan tahun 1987/1988, jumlah sentra yang dibina menurut jenis industri
adalah sebanyak 1.286 sentra pada industri pangan, 938 sentra pada industri kecil sandang dan
kulit, 890 sentra pada industri kecil kayu dan barang-barang dari kayu, 3 sentra pada industri
kecil kertas dan barang-barang kertas, 81 sentra pada industri kimia dan barang-barang kimia,
692 sentra pada industri barang-barang galia'n bukan logam, 30 sentra pada industri kecil dasar
logam (pengeeoran), 460 sentra pada industri keeil barang-barang logam, mesin dan
peralatannya, 28 sentra industri jasa dan 203 sentra industri lain-lain. Pembinaan sentra-sentra
tersebut, selain dibiayai dengan dana dari APBN dan APBD, juga dengan memanfaatkan
semaksimal mungkin berbagai kemudahan yang dimiliki oleh industri besar dan menengah, baik
milik swasta, BUMN, ataupun balai-balai penelitian yang ada. Selain itu, pada sentra-sentra
inJustri tersebut dibangun unit pelayanan teknis (UPT), yang selain berfungsi sebagai layanan
produksi termasuk disain dan enjinering, juga untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan
keterampilan perajin. Pembangunan UPT-UPT tersebut ditujukan untuk program keterkaitan,
khususnya untuk mendapatkan hasil produksi yang bermutu.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 300


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.48
BEBERAPA HASIL ANEKA INDUSTRI, 1969/1970 - 1988/1989
Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971172 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79
I. Tekstil (juta meter) 449,8 598,3 732 852 926,7 974 1.017,00 1.247,00 1.332,50 1,576,0
2. Benang tenon (ribu bal) 182,1 217 239 262 316,2 364 445,4 622,9 678,3 837,3
3. Margarine (ribu ton) 7,5 7 7,5 7,3 8,1 10,7 10,7 13,1 15,3 17,7
4. Minyak kelapa (ribu ton) 263 258,2 260,7 264,5 264,5 265 2681 276,3 319,1 319,1
5. Minyak goreng (ribu ton) 27 26 27,2 28,8 28,7 29,4 30,6 32,6 31,2 37,8
6. Saban cuci (ribu ton) 133 132,2 132,4 132 131,3 148,9 164,6 175,5 194,9 218,5
7. Deterjen (ribu ton) - 4 5,6 5,2 6,6 7 34,9 33,4 38,5 44,2
8. Rokok kretek (milyar batang) 19 20,5 21,4 23,7 30,2 30,6 33,3 37,9 40,9 43,5
9. Rokok putih (milyar batang) 11 13,7 14,7 16,8 20,4 21,9 23,5 22,6 23,1 25,7
10. Korek api (juta kotak) 269 322 348 475,3 566 707 780 772 506,1 539,8
11. Tapal gigi (juta tube) 15 25 26 30 32 46 107,8 103,6 104,4 108,5
12. Assembling sepeda motor (ribu buah) 21,4 31,1 50 100 150 251 300 267,6 271,8 330,5
13. A c c u (ribu buah) 32 56,2 262 130 140 380 220 480 575 690
14. R a d i 0 (ribu buah) 363,5 393,3 416 700 900 1.000,00 1.000,00 1.100,00 1.000,00 1.536,00
15. Televisi (ribu buah) 2) 4,5 4,7 65 60 70 135 166 210 260 733,2
16. Assembling mesin jahit (ribu buah) 14 13,5 262 340 800 400 520 400 484 600
17. Baterai kering (juta buah) 54 55,2 72 72 132 144 240 420 442 420
18. Lampu pijar/TL (juta buah) 3,5 5,5 6 12,3 18 18,9 21 26 24,8 30,4
19. Air conditioner (ribu buah) 4,5 4,7 31,8 20 20 24 23 30 29,3 26,4
20. Kabellistrik/telekom (ribu ton) 1 4 6 9 9 9 9 12,5 15,7
21. Susu bubuk (ribu ton) 1,7 3,8 9,6 13,5
22. Susu kental manis (juta peti) 1,5 2,4 2,2 2,5 3,5 4,4 4,1
23. Susu Cair (juta liter) 2,5 4 3,9 3,6

Tabel V.48 (Ianjutan)

Jenis produksi 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1) 1988/89 4)
1. Tekstil Guta meter) 1.910,00 2.027,30 2.094,00 1.708,90 2.347,20 2.401,60 2.498,70 2.761,50 2.925,60 - 3)
2. Benang tenun (ribu bal) 998 1.184,00 1.233,00 1.551,00 1.662,00 1.781,60 1.877,2 I) 2.147,80 2.275,70 _3)
3. Margarine (ribu ton) 18,5 19,3 19,6 30,1 35,5 34,1 16,8 19,1 26,8 9,4
4. Minyak kelapa (ribu ton) 452 610 480 442,1 381,7 267,1 396 256,5 445,6 119,2
5. Minyak goreng (ribu ton) 266,2 278,9 326,4 326,2 342 605,1 490 587,8 663,7 187,5
6. Sabun cuci (ribu ton) 202,9 213 207,8 213 199 160 161,4 162,3 164,2 41,4
7. Deterjen (ribu ton) 46,5 54,4 63,9 66,8 75,5 118 144,1f 160,5 162,1 47,3
8. Rokok kretek (milyar batang) 41,5 50,5 55,6 61,1 68,2 79,7 84,1 96,3 112,3 29,9
9. Rokok putih (mityar batang) 28,6 33,4 28,4 27,1 28 26,9 24,1 I) 21,2, 21,5 5,6
10. Korek api Guta kotak) 553 586,2 664,8 681,4 817 1.525,30 2.214,00 2.364,00 2.425,40 690
11. Tapal gigi Guta tube) 113,9 123 137,5 145 165,1 240 351 474,7 484,2 140,5
12. Assembling sepeda motor (ribu buah) 221,6 410 503,3 577,4 379,3 272,2 226,8 310,8 249,6 66,5
13. Ace u (ribu buah) 1.747,20 3.319,70 3.651,60 3.521,00 4.080,00 5.399,30 5.687,90 5.844,10 6.150,60 1.519,20
14. R a d i 0 (ribu buah) 1.018,80 1.110,50 1.154,90 1.589,90 1.503,10 1.576,60 1.883,40 1.649,80 1.080,10 325
15. Televisi (ribu buah) 2) 659,8 730,1 846,9 653,5 622,8 772,8 750 700,4 640 141,9
16. Assembling mesin jahit (ribu buah) 477,6 525,4 551,6 393,5 290,2 253 170,5 127,5 136,7 15,8
17. Baterili kering Guta buah) 462 526,7 553,6 576,6 633,6 771,8 952,1 1.000,00 1.000,60 251,4
18. Lampu pijar/TL Guta buah) 29,9 33,8 36,5 35,7 55,1 53,2 85,9 87,7 91,7 23,3
19. Air conditioner (ribu buah) 47,4 73,5 53,6 55 68,9 58,7 53,2 47 48,9 14,7
20. Kabellistrik/telekom (ribu ton) 17,4 19,1 18,7 47 50 52,2 58,1 58,6 58,8 14,7
21. Susu bubuk (ribu ton) 16,8 26,5 28,3 27,6 27,9 29,5 28,6 27,3 28,7 7,5
22. Susu kental manis Guta peti) 4,8 5,5 5,2 5,2 5,3 5,1 5,2 4,7 I) 4,8 2,3
23. Susu calf Guta liter) 5,9 8,5 9,2 11,1 18,6 25,1 17 18,2 16,1 4,2
1) Angka diperbaiki
2)Mulai tahun 1978/1979, terdiri dari TV hitam putih don TV berwarna
3)Data tidak tersedia
4)Angka sementara

Selanjutnya, untuk meningkatkan kemampuan usaha, terutama dalam pemasaran hasil


produksi dan pengadaan bahan baku, para perajin didorong untuk membentuk koperasi industri
kecil dan kerajinan (Kopinkra). Perintisan pendirian Kopinkra diakukan oleh Departemen
Koperasi dan Departemen Tenaga Kerja, yang sampai saat ini telah mencapai jumlah 1.019
buah yang tersebar di 13 propinsi. Sehubungan dengan itu, juga dilaksanakan program

Departemen Keuangan Republik Indonesia 301


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

keterkaitan dengan pola bapak angkat yang melibatkan BUMN, baik dalam lingkungan
Departemen Perindustrian ataupun departemen lain, serta perusahaan swasta nasional. Peran
bapak angkat dalam memasarkan hasil-hasil produksi industri keciI khususnya untuk ekspor
sangat besar dan terus meningkat. Kemampuan bapak angkat dalam memasarkan hasil produksi
merupakan kunci keberhasilan pembinaan industri kecil. Oleh karena itu, BUMN dan
perusahaan swasta yang memiliki kemampuan dan kelebihan dalam manajemen aspek-aspek
perdagangan, sistem pengolahan usaha, tenaga ahli dan aspek usaha lainnya, terutama yang
berlokasi di kawasan-kawasan industri dapat menjadi bapak angkat bagi industri kecil di sekitar
lokasinya. Di lain pihak, telah dirintis keterkaitan dengan pengusaha pasar swalayan dan pusat
pertokoan melalui assosiasi pusat perbelanjaan dan pertokoan Indonesia (AP3I) dan PT Sarinah,
khususnya dalam meningkatkan pemasaran hasil industri keen untuk kebutuhan masyarakat,
sella keterkaitan dengan para eksportir swasta dan BUMN untuk menangani ekspor komoditi
industri kecil, terutama yang belum ditangani oleh pihak swasta. Untuk itu telah ditugaskan
beberapa BUMN supaya menjadi bapak angkat bagi sentra industri kecil yang menghasilkan
komoditi ekspor. Perusahaan yang mendapat tugas menjadi bapak angkat antara lain adalah
Pupuk Iskandar Muda untuk komoditi minyak nilam, PT Pupuk Kujang untuk komoditi batu aji
dan kerajinan bambu, PT Krakatau Steel untuk Quia merah dan emping mlinjo, PT Petro Kimia
Gresik untuk komoditi minyak kenanga dan sarana ibadah, serta PT Sarinah untuk barang-
barang kerajinan. Selain menangani ekspor komoditi tersebut, BUMN juga diberi tugas
pembinaan berupa bimbingan teknis produksi, pengadaan bahan baku, dan pengawasan mutu.
Pengembangan industri kecil yang dilaksanakan pada waktu-waktu yang lalu telah
menghasilkan berbagai dampak positif, antara lain dapat mendorong lajunya usaha pem-
bangunan desa yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga desa, serta pada akhirnya
akan meningkatkan ketahanan nasional. Selain itu, dalam misinya untuk menciptakan lapangan
kerja yang seluas-Iuasnya, tenaga kerja yang diserap selama empat tahun Pelita IV telah
mencapai 1.066.853 orang. Bila dibandingkan dengan sasaran penyerapan tenaga kerja untuk
industri kecil dalam Pelita IV sebanyak 930.000 orang, jumlah tersebut telah melampaui sasaran.
Sedangkan penyerapan tenaga kerja oleh subsektor industri kecil dalam tahun 1987/1988 adalah
sebesar 5.490.697 orang, yang berarti telah meningkat sebesar 1,1 persen bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 5.433.336 orang. Jumlah produksi yang dicapai
dalam tahun 1987/1988 yang bernilai sebesar Rp 9.018,3 milyar, menunjukkan terjadinya
peningkatan sebesar 5,3 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 8.562,9 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 302


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Perkembangan lainnya adalah dalam hal jumlah unit usaha, yang dalam tahun 1987/1988 telah
meningkat menjadi 1.713.820 unit. Di samping itu, terdapat kecenderungan bahwa penyebaran
unit usaha menurut lokasi pulau telah menuju ke luar pulau Jawa. Hal itu tercermin dari jumlah
populasi unit usaha di pulau Jawa, yang dalam tahun 1984 sebesar 76,6 persen telah turun
menjadi 74,4 persen dalam tahun 1987, sekaligus diimbangi dengan kenaikan populasi di luar
pulau Jawa, dari sebesar 23,4 persen dalam tahun 1984 menjadi 25,6 persen dalam tahun 1987.
Terjadinya perkembangan tersebut menunjukkan semakin mantapnya proses pemerataan
pembangunan ke seluruh wilayah tanah air.

5.3.4. Pertambangan dan energi


Sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat penting bagi perekonomian
nasional, karena peranannya sebagai sumber utama penerimaan negara untuk membiayai
pembangunan, dan sebagai pendukung utama konsumsi energi nasional. Oleh karena itu
pembangunan sektor pertambangan dilaksanakan dengan terus melanjutkan serta meningkatkan
inventarisasi, pemetaan, eksplorasi, dan eksplditasi kekayaan alam yang berupa sumber mineral
dan energi dengan memanfaatkan teknologi yang tepat, sehingga produksi dan ekspor
pertambangan serta penerimaan negara dapat meningkat. Selain itu juga diarahkan pada
pemanfaatan sebesar mungkin kekayaan tambang bagi pembangunan nasional berupa
penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, serta memperluas kesempatan berusaha dan
lapangan kerja.
Untuk menunjang pembangunan sektor pertambangan dan energi ini, dalam bidang
geologi dan sumber daya mineral telah dilakukan peningkatan kegiatan pemetaan, penyelidikan
dan penelitian geologi, serta inventarisasi dan evaluasi sumber daya mineral. Kegiatan
penyelidikan yang telah dilakukan antara lain mencakup bidang sumber daya mineral, yang
meliputi kegiatan penyelidikan mineral logam, kegiatan penyelidikan batubara dan gambut,
serta kegiatan penyelidikan geokimia. Selain itu juga dilakukan penyelidikan geologi tata
lingkungan, yang terdiri dari pemetaan hidrogeologi bersistem, penyelidikan geologi teknik dan
gerakan tanah, penyelidikan dan pengamatan gunung api untuk menemukan sumber-sumber
panas bumi, penyelidikan dan pemetaan geologi berupa kegiatan pemetaan geologi bersistem,
pemetaan gaya berat dan pemetaan geologi kuarter, serta penyelidikan geologi dan geofisika
marin, berikut energi yang terkandung di dalamnya.
Dari berbagai penyelidikan yang dilakukan tersebut diperoleh informasi penting

Departemen Keuangan Republik Indonesia 303


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mengenai potensi dan prospek sumber daya mineral, serta data lainnya yang bermanfaat basi
penelitian dan pengembangan di masa depan. Potensi surnber-sumber mineral yang ditemukan
yaitu berupa mineral logam, mineral industri dan batuan, serta batubara dan gambut. Potensi
mineral logam dasar yang terdiri dari tembaga, timbal dan seng ditemukan di Sumatera Utara,
Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Halmahera. Di samping itu telah ditemukan
logam mulia di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat, serta logam besi di
Lampung, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan jenis bahan galian yang berupa
mineral industri dan batuan, seperti bentonit, ditemukan di Jawa Timur, Aceh, Jawa Barat, dan
Lombok Tengah; toseki di Sulawesi Selatan; feldspar di Aceh, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Timur dan Sulawesi Tengah; dolomit di Aceh; batugamping ditemukan di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY); silika di Aceh dan Riau; agregat di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur; trass di Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, serta batumulia yang
berlokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah. Adapun jenis
bahan galian lain yang diperoleh adalah berupa batubara di Aceh, Riau, Sumatera Barat, dan
Kalimantan Barat, serta gambut di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah.
Dalam subsektor minyak bumi dan gas alam, kebijaksanaan ditujukan pada usaha
pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri dan pengurangan ketergantungan terhadap konsumsi
energi minyak bumi. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, dewasa ini kapasitas ilan-
kilang minyak Indonesia untuk mengolah minyak bumi telah meningkat menjadi 817 ribu barel
per hari dibanding sebesar 725 ribu barel per hari dalam tahun ketiga Pelita IV. Dengan telah
beroperasinya kilang-kilang perluasan tersebut maka sejak tahun ketiga Pelita IV tidak lagi
dilakukan pengolahan minyak di luar negeri. Hasil bahan bakar minyak (BBM) dari kilang
tersebut, cukup untuk penyediaan kebutuhan BBM dalam negeri sampai dengan akhir Pelita IV.
Sehubungan dengan itu, telah dilakukan upaya pengurangan ketergantungan terhadap energi
minyak bumi, dengan meningkatkan produksi dan pemanfaatan gas bumi, yang merupakan
sumber energi terpenting setelah minyak bumi. Hasil dari upaya tersebut terlihat dari semakin
meningkatnya produksi maupun pemanfaatan gas bumi dalam tahun keempat Pelita IV apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sumber energi lainnya yang dapat dimanfaatkan
adalah energi panas bumi, yang sampai saat ini pemanfaatannya masih relative kecil. Perlu
ditambahkan bahwa dengan selesainya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang
II dan III, produksi panas bumi telah mengalami perkembangan hingga mencapai 142,25 MW.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 304


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Di samping itu dalam subsektor minyak bumi dan gas alam, sedang dibangun beberapa proyek,
yaitu proyek Musi RCC, proyek Asphalt Plaju dan Gresik, proyek LPG Arun dan Bontang,
proyek LNG Badak Train E, dan proyek Paraxylene Cilacap.

5.3.4.1. Minyak bumi dan gas alam


Dalam tahun keempat PeIita IV ( 1987/1988) produksi minyak bumi Indonesia adalah
sebesar 484 juta barel, yang berarti 104 juta barel atau 17,7 persen di bawah target yang telah
ditetapkan sebesar 588 juta barel. Produksi minyak bumi tersebut terdiri dari 425 juta barel
minyak mentah dan 59 juta barel kondensat. Bila dibandingkan dengan produksi tahun ketiga
PeIita IV sebesar 499 juta barel, maka produksi minyak bumi dalam tahun keempat ini turun
sebesar 3,01 persen. Untuk tahun 1988/1989, sampai bulan Mei 1988 produksi minyak bumi
Indonesia adalah sebesar 41,9 juta barel, yang terdiri dari 36,8 juta barel minyak mentah dan 5,1
juta barel kondensat. Adapun jumlah ekspor minyak bumi dalam tahun keempat PeIita IV
(1987/1988) apalah sebesar 361 juta barel, yang terdiri dari 289 juta barel minyak mentah dan
kondensat,serta 72 juta barel hasil kilang minyak. Ekspor minyak mentah dalam tahun tersebut
mengalami penurunan dalam volume sebesar 0,3 persen bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya sebesar 290 juta barel, tetapi mengalami kenaikan dalam nilai sebesar 28,4 persen,
yaitu dari US $ 4.798 juta dalam tahun 1986/1987 menjadi US $ 6.159 juta. Sedangkan ekspor
hasil kilang minyak dalam tahun tersebut mengalami kenaikan sebesar 22,2 persen, yaitu dari
US $ 54,1 juta dalam tahun 1986/1987 menjadi US $ 66,1 juta. Sebagian besar dari hasil-hasil
minyak yang diekspor adalah berupa low sulfur waxy residue (LSWR) yang merupakan produk
samping dari hasil pengolahan minyak dalam negeri untuk menghasilkan BBM. Perkembangan
produksi dan ekspor minyak bumi secara lebih terinci disajikan dalam Tabel V.49.
Untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan produksi serta cadangan minyak dan
gas bumi,kegiatan eksplorasi senantiasa dilakukan dan ditingkatkan. Kegiatan eksplorasi yang
dilakukan selama Pelita IV antara lain meliputi kegiatan penyeIidikan seismik dan pemboran
eksplorasi. Kegiatan penyelidikan seismik dalam tahun keempat Pelita IV mengalami penurunan
sebesar 10,7 persen dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari sebesar 33.693 km dalam tahun
1986/1987 menjadi 30.084 km. Sedangkan kegiatan pemboran eksplorasi mengalami penurunan
sebesar 21,5 persen, yaitu dari 121 sumur dalam tahun 1986/1987 menjadi 95 sumur. Sementara
itu selama bulan April sampai Juni 1988 telah dapat direalisir kegiatan penyelidikan seismik
sepanjang 13.964 km dan pemboran eksplorasi sebanyak39 buah sumur.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 305


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sampai saat ini, bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan sumber energi utama
bagi konsumsi dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, volume pemasaran BBM
dalam negeri dalam tahun keempat PeIita IV adalah sebesar 165 juta barel, yang berarti 12 juta
barel atau 7,6 persen lebih tinggi bila dibanding dengan jumlah yang dicapai dalam tahun
sebelumnya sebesar 153,3 juta bare!. Pemasaran hasil minyak lainnya yang berupa minyak
pelumas mengalami penurunan sebesar 23,1 persen, yaitu dari 2.146 ribu barel dalam tahun
1986/1987, menjadi 1.650 ribu barel. Sedangkan pemasaran produk khusus/bahan kimia dalam
tahun 1987/1988 mengalami peningkatan sebesar 22,0 persen dibanding tahun sebelumnya.
Untuk mengimbangi perkembangan kebutuhan konsumsi dalam negeri, di samping
diusahakan peningkatan jumlah produksi, juga diusahakan untuk memperlancar penyaluran
BBM kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah telah mengambil kebijaksanaan dengan
memperbaiki pola distribusi dan pola angkutan laut serta pengembangan sarana pembekalan,
yang meliputi sarana timbun, sarana muat/bongkar, transit terminal, sarana angkutan laut, dan
lain sebagainya. Di lain pihak, pengolahan minyak bumi di kilang-kilang dalam negeri juga
mengalami peningkatan. Dalam tahun keempat Pelita IV, pengolahan minyak bumi di dalam
negeri telah mencapai 238,6 juta barel atau rata-rata sebesar 651,9 ribu barel per hari. Hal itu
menunjukkan bahwajumlah minyak bumi yang diolah di dalam negeri dalam tahun 1987/1988
telah mengalami peningkatan sebesar 21,2 juta barel atau 9,8 persen bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya sebesar; 217,4 juta bare!. Walaupun jumlah tersebut lebih rendah bila
dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan untuk tahun 1987j 1988 sebesar 240 juta barel,
tetapi sejak tahun ketiga Pelita IV, Indonesia sudah tak perlu lagi mengolah minyak buminya di
luar negeri serta impomya bisa dikurangi. Jumlah produksi tersebut dapat tercapai dengan
selesainya perluasan kilang Oumai unit hydrocracker, serta perluasan kilang Cilacap dan
Balikpapan. Perkembangan yang terinci dari volume pengilangan minyak mentah disajikan
dalam Tabel V.50.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 306


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel. V.49
PRODUKSI DAN EKSPOR MINYAK BUMI, 1969/1970 - 1987/1988
( dalam juta barel )

Tahun Produksi Ekspor l)


1969/1970 284 241,3
1970/1971 314 267,1
1971/1972 341,5 287,7
1972/1973 412,3 359,7
1973/1974 508,4 439,1
1974/1975 485,1 406,9
1975/1976 497,9 424,5
1976/1977 568,3 486,8
1977/1978 616,5 535,2
1978/1979 589,2 504,9
1979/1980 577,2 447
1980/1981 581,1 442
1981/1982 570,5 427
1982/1983 459 341
1983/1984 517,6 418
1984/1985 507,1 409
1985/1986 487,7 345
1986/1987 499 290
1987/1988 2) 484 361
1) Mulai tahun 1979/1980 termasuk hasil minyak, dan LPG
2) Angka semcmtara

Sesuai dengan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan konsumsi energi


terhadap minyak bumi dan usaha pengembangan energi altematif, produksi/penyediaan gas
bumi dalam tahun 1987/1988 keseluruhannya berjumlah 1.760 juta MSCF, atau mengalami
peningkatan sebesar 6,2 persen dari jumlah yang dicapai dalam tahun ketiga Pelita IV sebesar
1.658 juta MSCF. Meningkatnya konsumsi gas bumi disebabkan oleh pemakaian gas bumi
untuk LNG, industri pupuk, untuk pengganti BBM di kilang Balikpapan dan pabrik semen,
sebagai penolong proses produksi dan sebagai energi pada pabrik baja, serta digunakan untuk
gas kota di Jakarta, Bogor, Cirebon, dan Medan oleh Perum Gas Negara. Bahkan pada akhir
bulan Juli 1987 telah diresmikan penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor
di wilayah DKI Jakarta. Di samping itu Indonesia juga telah mampu mengekspor hasil kilang
minyak yang berupa LNG dan LPG ke Jepang, USA, dan negara-negara lain, termasuk negara-
negara ASEAN. Rincian perkembangan produksi dan pemanfaatan gas bumi disajikan dalam
Tabel V.51.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 307


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.3.4.2. Timah
Sejak tahun 1983 harga komoditi timah di pasar internasional telah merosot tajam
sebagai akibat dari resesi perekonomian dunia yang berkepanjangan, pemakaian bahan
pengganti timah sebagai bahan baku pembuatan kaleng, serta terjadinya kelebihan produksi
timah. Pada saat ini kemerosotan harga tersebut telah berhenti dan harga telah mulai membaik.
Walaupun belum sebaik harga yang berlaku dalam tahun 1982/1983 sebesar US $ 16.629,per
metrik ton, tetapi harga komoditi timah di pasar Internasional sampai bulan Juni 1988 telah
meningkat dari US $ 5.500,- per metrik ton dalam tahun 1986/1987 menjadi US $ 6.758,- per
metrik ton dalam bulan Juni 1988. Perkembangan harga tersebut mempunyai pengaruh positif
terhadap produksi timah Indonesia, karena 95 persen dari jumlah produksi tersebut ditujukan
untuk ekspor.

Dalam hal produksi, telah terjadi peningkatan sebesar 4,5 persen, yaitu dari 24,6 ribu ton dalam
tahun 1986/1987 menjadi 25,7 ribu ton dalam tahun 1987/1988. Dan jumlah tersebut sebagian
besar dipasarkan untuk ekspor, yaitu dalam tahun 1987/1988 sebesar 25,4 ribu ton, yang berarti
terjadi kenaikan sebesar 16,0 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 21,9 ribu ton.
Berkaitan dengan hai itu, maka dalam usaha meningkatkan nilai tambah produksi logam timah,
dalam tahun 1988 telah mulai dioperasikan pabrik solder di pulau Batam, yang hasilnya di
samping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga untuk diekspor. Rincian perkembangan
produksi dan ekspor timah disajikan pada Tabel V.52.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 308


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.50
VOLUME PENGILANGAN MINYAK MENTAH,
1969/1970-1987/1988 (dalam juta barel)

Tahun Minyak mentah yang persentase


diolah 1) kenaikan
( in-take)
1969/1970 75,8 --
1970/1971 86 -13,5
1971/1972 93.1 8,3
1972/1973 103 10,6
1973/1974 128,9 25,1
1974/1975 115,5 -10,4
1975/1976 117,8 2
1976/1977 116,6 1,1
1977/1978 161,3 38,3
1978/1979 158,2 -2
1979/1980 189 19,5
1980/1981 182,2 -3,6
1981/1982 183,7 0,8
1982/1983 182,7 -0,5
1983/1984 196,7 7,7
1984/1985 181,3 -7,8
1985/1986 206,9 14,1
1986/1987 217,4 5,1
1987/1988 2) 238,6 9,8

T a b e l V.51
PRODUKSI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI,
1974/1975 -1987/1988
(dalam milyar kakikubik)

Tahun Produksi Pemanfaatan


1974/1975 2Qp,2 .78,4
1975/1976 239,2 85,2
1976/1977 344,4 148,1
1977/1978 633,1 366,7
1978/1979 868,2 650,6
1979/1980 1.028,80 795,1
1980/1981 1.042,20 813,1
1981/1982 1.136,20 914,8
1982/1983 1.100,00 932
1983/1984 1.288,20 1.132,50
1984/1985 1.548,30 1.419,80
1985/1986 1.582,00 1.450,00
1986/1987 1.658,00 1.518,00
1987/1988 1) 1,760,0 . 1.617,0

1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 309


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.3.4.3. Nikel
Bijih nikel yang dihasilkan oleh PT Aneka Tambang dari daerah tambang Pomalaa
(Sulawesi Tenggara) dan pulau Gebe (Maluku) di samping untuk ekspor juga diolah menjadi
feronikel. Sedangkan bijih nikel dari daerah tambang Kolaka (Sulawesi Tenggara) yang
diproduksi oleh PT International Nickel Indonesia (Inco) digunakan seluruhnya untuk bahan
nikel matte (nikel kasar). Feronikel yang dihasilkan oleh PT Aneka Tambang dalam tahun
1987/1988 mengalami penurunan sebesar 16,4 persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari 4.403,8
ton kadar Ni menjadi 3.680,9 ton kadar Ni. Penurunan ini terutama disebabkan oleh perlu
diadakannya perbaikan tungku yang telah dipergunakan secara terus menerus selama 10 tahun.
Keadaan tersebut juga mengakibatkan sebagian feronikel lndonesia terpaksa diolah di Jepang.
Penurunan produksi juga terjadi pada komoditi nikel matte yang dihasilkan oleh PT
International Nickel Indonesia (Inco), yaitu dari jumlah produksi sebesar 31.823 ton kadar Ni +
Co dalam tahun 1986/1987 menurun 19,0 persen menjadi 25.761 ton kadar Ni + Co dalam tahun
1987/1988. Hal itu disebabkan oleh timbulnya gangguan dengan terbakarnya salah satu trafo
tungku pengolah bijih nikel dan gangguan longsornya saluran air pembangkit tenaga listrik yang
menjadi sumber tenaga penggerak seluruh pabrik.
Sejak bulan Juli 1987 hingga akhir bulan Agustus 1988, harga nikel di pasar Internasional telah
mengalami peningkatan bila dibanding dengan waktu-waktu sebelumnya, yaitu dari 2.647,05
poundsterling per metrik ton dalam tahun 1986/1987 menjadi 7.879,48 poundsterling pada akhir
bulan Agustus 1988. Dengan peningkatan tersebut maka produksi bijih nikel yang dihasilkan
oleh PT Aneka Tambang dalam tahun 1987/1988 telah mengalami peningkatan menjadi sebesar
1.782,2 ribu ton atau paik 6,0 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
berjumlah 1.680,6 ribu ton. Demikian juga ekspor bijih nikel dan nikel matte, mengalami
peningkatan dari sebesar 1.291,5 ton dan 28.293 ton kadar Ni + Co, dalam tahun 1986/1987
masing- masing menjadi sebesar 1.407,9 ton dan 29.415 ton kadar Ni + Co dalam tahun
1987/1988. Sedangkan ekspor feronikel mengalami penurunan sebesar 6,6 persen, yaitu dari
4.390,2 ton kadar Ni dalam tahun 1986/1987 menjadi 4.098,9 ton kadar Ni dalam tahun 1987/1988.
Perkembangan produksi dan ekspor bijih nikel secara lebih terinci disajikan dalam Tabel V.53.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 310


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.52
PRODUKSI DAN EKSPOR TIMAH, 1969/1970 - 1987/1988
( dalam ribu ton)

Tahun Produksi Ekspor


Bijih timah Logam timah
1969/1970 17,9 - 16,4
1970/1971 19,1 - 17,4
1971/1972 20,5 - 19,1
1972/1973 21,5 - 20,7
1973/1974 22,9 14,8 21
1974/1975 25,5 15 23,6
1975/1976 25,1 18,8 20,7
1976/1977 23,3 23,2 26,5
1977/1978 26,2 24,6 24,3
1978/1979 27,4 24,3 25,6
1979/1980 30,2 28,4 27,2
1980/1981 33,6 31,2 31,3
1981/1982 35,9 33 32,8
1982/1983 33 30,2 27,7
1983/1984 25,4 25,8 25
1984/1985 21,7 23,2 20,9
1985/1986 20,9 24,5 21,6
1986/1987 24,9 24,6 21,8 1)
1987/1988 2) 27,3 25,7 25,4
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

5.3.4.4. Tembaga

Hingga dewasa ini sumber utama produksi tembaga Indonesia adalah di Tembagapura
(Irian Jaya) yang diusahakan oleh Freeport Indonesia Incorporated. Hasil dari pengusahaan tam
bang tembaga itu berupa konsentrat tembaga dengan kandungan logam emas dan logam perak,
yang keseluruhannya untuk ekspor. Walaupun harga tembaga yang berlaku dalam tahun
1987/1988 sebesar US $ 105/lb sudah lebih baik daripada harga dalam tahun 1986/1987, tetapi
usaha pengembangan cadangan bijih tembaga di tempat lainnya di Indonesia, seperti di
Sangkaropi (Sulawesi Selatan) dan Gunung Umbung, Bogor (Jawa Barat) dinilai belum
menguntungkan untuk dilaksanakan pada kondisi harga yang berlaku saat ini.

Produksi konsentrat tembaga dalam tahun 1987/1988 telah mengalami perkembangan


sebesar 5,4 persen bila dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu dari sebesar 254,7 ribu ton,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 311


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menjadi 268,4 ribu ton. Perkembangan ekspor konsentrat tembaga dalam tahun 1987/1988
menunjukkan peningkatan sebesar 7,9 persen, yaitu dari 249,8 ribu ton dalam tahun 1986/1987
menjadi 269,6 ribu ton. Perkembangan produksi dan ekspor konsentrat tembaga secara lebih
terinci disajikan dalam Tabel V.54.

5.3.4.5. Pasir besi


Usaha penambangan pasir besi yang telah berproduksi secara teratur adalah yang
diusahakan oleh PT Aneka Tambang di daerah Cilacap, Jawa Tengah. Selama Pelita IV,
sebagian besar produksinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik semen di
pulau Jawa. Ekspor pasir besi hanya dimungkinkan apabila terdapat permintaan dengan tingkat
harga yang cukup menguntungkan dan dalam jumlah yang sesuai dengan kemampuan
penambangannya.
Produksi pasir besi dalam tahun 1987/1988 mengalami peningkatan sebesar 37,9 persen
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari sebesar 155,3 ribu ton dalam tahun
1986/1987 menjadi 214,2 ribu ton. Dalam hubungan ini, untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan pasir besi, sehubungan dengan makin menipisnya sumber pasir besi di daerah
Cilacap, telah dibuka daerah tambang baru di Kutoarjo, Jawa Tengah. Rincian perkembangan
produksi dan ekspor posir besi, disajikan dalam Tabel V.55.

5.3.4.6. Batubara
Pengembangan usaha pertambangan batubara Indonesia terutama ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan batubara dalam negeri. Sehubungan dengan hal itu dilakukan pengembangan
pertambangan batubara Bukit Asam (Sumatera Selatan) yang hasilnya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan batubara bagi PL TU Suralaya, Jawa Barat. Di samping itu juga dilakukan
pengembangan pertambangan batubara Ombilin (Sumatera Barat) untuk memenuhi kebutuhan
batubara bagi pabrik-pabrik semen dan industri lainnya di dalam negeri, khususnya bagi pabrik
semen Indarung di Sumatera Barat, pabrik semen Andalas di DI Aceh, pabrik semen Nusantara
di Jawa Tengah, dan pabrik semen di Jawa Barat. Sedangkan usaha pengembangan batubara di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur adalah untuk menyiapkan kebutuhan batubara bagi
PL TU yang sedang dan akan dibangun, serta bagi kebutuhan lainnya.
Sejak akhir Pelita Ill, beberapa perusahaan tambang batubara swasta nasional di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 312


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Kalimantan Timur telah mulai berproduksi, yang sebagian besar hasilnya ditujukan untuk
ekspor. Selain itu, di beberapa tempat lainnya telah pula diusahakan tambang batubara dalam
skala kecil oleh beberapa perusahaan swasta nasional dan Koperasi Unit Desa (KUD) pemegang
kuasa pertambangan (KP), yaitu di13engkulu oleh perusahaan swasta nasional, di Jawa Barat
oleh perusahaan swasta nasional dan KUD, serta di Sulawesi Selatan oleh pabrik semen Tonasa
bersama swasta nasional dan koperasi.
Produksi batubara dalam tahun keempat Pelita IV mengalami peningkatan sebesar 44,2
persen, yaitu dari 2.349,9 ribu ton dalam tahun 1986/1987 menjadi sebesar 3.389,0 ribu ton
dalam tahun 1987/1988. Perkembangan serupa juga terjadi pada penjualan dalam negeri, yang
dalam tahun 1986/1987 masih sebesar 1.251,1 ribu ton, telah meningkat dengan 71,6 persen
menjadi 2.147,3 ribu ton. Di lain pihak ekspor batubara yang dalam tahun 1986/1987 telah
mencapai jumlah 863,2 ribu ton mengalami penurunan sebesar 12,1 persen dalam tahun
1987/1988, sebagai akibat adanya kemerosotan harga dan kelesuan pemasaran, sehingga
menjadi 758,4 ribu ton. Rincian perkembangan produksi batubara disajikan dalam Tabel V.56.

Tab e l V.53
PRODUKSI DAN EKSPOR BIJIH NIKEL,
1969/1970 -1987/1988 ( dalam ribu ton)

Tahun Produksi Ekspor


1969/1970 311 232
1970/1971 689 538,4
1971/1972 850 764,7
1972/1973 971,5 737,5
1973/1974 989,9 830,4
1974/1975 781,1 853,2
1975/1976 751,2 707,6
1976/1977 1.177,40 924,5
1977/1978 1.316,70 830
1978/1979 1.778,00 887,6
1979/1980 1.771,50 1.192,40
1980/1981 1.339,30 1.238,70
1981/1982 1.598,10 1.207,50
1982/1983 1.591,20 897,5
1983/1984 1.353,30 788,7
1984/1985 946,3 926,7
1985/1986 986,9 916,8
1986/1987 1.680,60 1.291,50
1987/1988 1) 1. 782,2 1.407,90
1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 313


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.54
PRODUKSI DAN EKSPOR KONSENTRAT TEMBAGA
1972/1973 - 1987/1988
( dalam ribu ton kering )

Tahun Produksi Ekspor


1972/1973 9,7 8,3
\973/1974 125,9 114,2
1974/1975 212,6 207,2
1975/1976 201,3 194,2
1976/1977 223,3 216,8
1977/1978 189,1 220,6
1978/1979 184,9 167,8
1979/1980 188,5 187,1
1980/1981 178,3 176,6
1981/1982 197,5 209,7
1982/1983 225,4 221,6
1983/1984 199,7 202,8
1984/1985 200,2 203,6
1985/1986 233,1 213,3
1986/1987 254,7 249,8
1987/1988 1) 268,4 269,6

1) Angka semen!ara

Tab e l V.55
PRODUKSI DAN EKSPOR POSIR BESI,
1970/1971 - 1987/1988 ( dalam ribu ton)

Tahun Produksi Ekspor


1970/1971 53,8 -
1971/1972 298,2 242,7
1972/1973 237,6 276,2
1973/1974 321,7 283,6
1974/1975 349,2 348,6
1975/1976 346,2 290,1
1976/1977 299,7 276,9
1977/1978 317,2 291,2
1978/1979 120,2 66,5
1979/1980 78,5 9,5
1980/1981 68,3 35,1
1981/1982 105,6 25,5
1982/1983 135,7 10,3
1983/1984 122,1 12
1984/1985 91,4 -
1985/1986 137,3 12,2
1986/1987 155,3 5,5
1987/1988 1) 214,2
1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 314


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.3.4.7. Emas dan perak

Dalam kelesuan harga yang terjadi pada sebagian besar komoditi hasil tambang di
pasar internasional yang hingga saat ini masih berlangsung, emas merupakan satu-satunya
komoditi tambang yang harganya relatif stabil pada tingkat di atas US $ 400 per troy.onz, yaitu
mencapai US $ 480,50 pada awal tahun 1988 dan US $ 430,00 pada bulan Agustus 1988.
Perkembangan harga yang demikian itu menjadi daya tarik bagi para pengusaha tambang emas,
sehingga menimbulkan demam emas (gold rush) di mana-mana, termasuk Indonesia.
Sehubungan dengan hal itu, selama lima tahun terakhir ini jumlah kuasa pertambangan (KP)
emas selalu lebih besar dibandingkan dengan KP pada bahan galian lainnya. Dengan keadaan
demikian itu, maka timbul banyak usaha penambangan liar di 7 daerah propinsi, yaitu semua
propinsi di Kalimantan, dan propinsi-propinsi Sulawesi Utara, Jambi dan Bengkulu. Daerah
penghasil emas dan perak utama adalah daerah tambang Cikotok (Jawa Barat) yang diusahakan
oleh PT Aneka Tambang, dan daerah tambang Lebong Tandai (Bengkulu) yang diusahakan oleh
PT Lusang Mining. Selain itu, emas dan perak juga dihasilkan oleh Freeport Indonesia
Incorporated di Tembagapura (Irian Jaya) yang terkandung dalam konsentrat tembaga yang
dihasilkan oleh daerah tambang tersebut.
Produksi emas dalam tahun keempat Pelita IV adalah sebesar 570,8 kilogram, yang
menunjukkan adanya penurunan sebesar 7,9 persen dibanding tahun sebelumnya yang
berjumlah 619,6 kilogram. Dalam tahun tersebut juga telah dilakukan penjualan dalam negeri
sebesar 306,5 kilogram. Ini berarti telah terjadi penurunan jumlah penjualan dalam negeri
sebesar 45,2 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar 559,1 kilogram. Produksi perak dalam
tahun 1987 /88 telah mengalami peningkatan sebesar 17,2 persen dibanding tahun sebelumnya,
yaitu dari sebanyak 5,8 ton dalam tahun 1986/1987 menjadi 6,8 ton. Adapun jumlah penjualan
dalam negeri dalam tahun keempat Pelita IV, adalah sebesar 6,0 ton yang menunjukkan
kenaikan sebesar 30,4 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4,6 ton. Data yang lebih
terinci mengenai perkembangan produksi dan penjualan dalam negeri daripada emas dan perak
disajikan dalam Tabel V.57 dan Tabel V.58.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 315


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.56
PRODUKSI BATU BARA, 1969/1970 - 1987/1988
( dalam ribu ton)
Tahun Produksi Persentase
kenaikan
1969/1970 176 -
1970/1971 175,4 -0,4
1971/1972 196,8 12,2
1972/1973 177,2 -10
1973/1974 145,9 -17,7
1974/1975 171,6 17,6
1975/1976 204 18,9
1976/1977 183,3 -10,1
1977 /1978 248,5 35,6
1978/1979 256 3
1979/1980 267,3 4,4
1980/1981 329,3 23,2
1981/1982 376,2 14,2
1982/1983 456,5 21,3
1983/1984 977,8 114,2
1984/1985 1.647,30 68,5
1985/1986 1.942,10 17,9
1986/1987 2.349,90 21
1987/1988 2) 3.389,00 44,2
1) Mulai tahun 1983/1984 termasuk produksi swasta nasional dan koperasi
2) Angka sementara

5.3.4.8. Bauksit

Daerah penghasil utama bauksit adalah di pulau Tembiling, pulau Kelong dan pulau
Dendang, yang pengusahaannya dilakukan oleh PT Aneka Tambang. Sebagian besar produksi
bauksit diekspor ke Jepang yang merupakan satu-satunya negara pengimpor bauksit Indonesia.
Produksi bauksit dalam tahun keempat Pelita IV mengalami penurunan sebesar 4,7 persen dari
tahun sebelumnya, yaitu dari 636,4 ribu ton dalam tahun 1986/1987 menjadi 606,5 ribu ton
dalam tahun 1987/1988. Sedangkan ekspor bauksit dalam tahun 1987/1988 sebesar 564,4 ribu
ton, menunjukkan adanya peningkatan sebesar 9,9 persen bila dibanding tahun sebelumnya
sebesar 513,6 ribu ton. Jumlah ini lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah ekspor yang
dicapai sebelum Jepang melakukan restrukturisasi industri logamnya, sebagai akibat dari
tingginya biaya energi untuk peleburan logam. Dengan keadaan tersebut maka produksi
aluminum yang menggunakan bahan baku bauksit dari Indonesia juga mengalami penurunan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 316


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Data yang lebih terinci tentang perkembangan produksi dan ekspor bauksit disajikan dalam
Tabel V.59.

5.3.4.9. Granit
Pengusahaan bahan tambang batu granit, selain dilakukan oleh PT Karimun Granite di
pulau Karimun, juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil di Kalimantan Barat, pulau
Bangka dan pulau Belitung. Produksi batu granit terdiri dari dua jenis, yaitu batu granit yang
digunkan sebagai bahan bangunan (batu pecah), serta batu granit poles yang merupakan bahan
baku batu hias untuk dinding atau lantai (batu poles). Dalam tahun keempat Pelita IV, produksi
batu granit berjumlah sebesar 1.180,7 ribu ton batu pecah dan 5,1 ribu meter kubik batu poles,
yang berarti terjadi penurunan sebesar 17,0 persen pacta produksi batu pecah dan peningkatan
sebesar 131,8 persen pada produksi batu poles, bila dibandingkan dengan jumlah produksi yang
dicapai dalam tahun sebelumnya yang berjumlah 1.421,8 ribu ton batu pecah dan 2,2 ribu meter
kubik batu poles. Dalam tahun yang sama, jumlah penjualan batu pecah dan batu poles dalam
negeri mengalami peningkatan masing-masing sebesar 16,4 persen dan 228,6 persen dari
realisasi dalam tahun sebelumnya, yaitu dari 287,7 ribu ton batu pecah dan 1,4 ribu meter kubik
batu poles dalam tahun 1986/1987 menjadi 334,9 ribu ton dan 4,6 ribu meter kubik dalam tahun
1987/1988.
Tab el V.57
PRODUKSI DAN PENJUALAN DALAM NEGERI LOGAM EMAS,
1969/1970-1987/1988
( dalam kilogram )
Tahun Produksi Penjualan
1969/1970 261 -
1970/1971 255,4 -
1971/1972 343,4 288,4
1972/1973 332,3 324
1973/1974 327,3 262,5
1974/1975 260 290
1975/1976 321,5 398
1976/1977 349,2 269
1977/1978 252,3 250,9
1978/1979 220,3 186,2
1979/1980 197,4 246,1
1980/1981 224,7 170,7
1981/1982 172,6 251,2
1982/1983 262,4 261
1983/1984 261,1 1) 223,5
1984/1985 212 283,9
1985/1986 304,6 559,1
1986/1987 619,6 306,5
1987/1988 2) 570,8

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 317


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.58
PRODUKSI, PENJUALAN DALAM NEGERI DAN EKSPOR
LOGAM PERAK, 1969/1970 - 1987/\988
( dalam ton)
Tahun Produksi Penjualan Ekspor
1969/1970 10,5 - -
1970/1971 9,2 - -
1971/1972 8,1 - -
1972/1973 9,2 2,6 6,7
1973/1974 8,4 3,8 7,3
1974/1975 6,1 2,1 4
1975/1976 4,2 0,3 1
1976/1977 3,1 3,9 -
1977/1978 2,8 3,1 -
1978/1979 2,2 2,4 -
1979/1980 1,8 1,8 -
1980/1981 2,3 2,4 -
1981/1982 1,9 1,9 -
1982/1983 3,1 2,9 -
1983/1984 1,7 1,7 -
1984/1985 2,2 2,2 -
1985/1986 2,3 2,8 -
1986/1987 5,8 4,6 -
1987/1988 1) 6,8 6 -
1) Angta sementara

Tab e l V.59
PRODUKSI DAN EKSPOR BAUKSIT, 1969/1970 - 1987/1988
( dalam ribu ton)

Tahun Produksi Ekspor


1969/1970 907 863,6
1970/1971 1.207,70 1.182,20
1971/1972 1.288,10 1.211,70
1972/1973 1.240,20 1.255,00
1973/1974 1.204,70 1.266,40
1974/1975 1.284,20 1.267,30
1975/1976 935,8 919,8
1976/1977 1.048,50 1.105,70
1977/1978 1.221,80 11.151,90
1978/1979 964,9 981,6
1979/1980 1.160,70 1.168,30
1980/1981 1.269,90 1.197,90
1981/1982 1.015,10 885,1
1982/1983 721 792,6
1983/1984 841,9 861,2
1984/1985 1.009,60 960,6
1985/1986 721 807,3
1986/1987 636,4 513,6
1987/1988 1) 606,5 564,4
1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 318


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sedangkan jumlah ekspor batu granit yang dicapai dalam tahun 1987/1988 sebesar
907,1 ribu ton batu pecah dan 0,7 ribu meter kubik batu poles, menunjukkan terjadinya
penurunan sebesar 29,8 persen untuk batu pecah dan peningkatan sebesar 16,7 persen untuk
batu poles bila dibanding dengan jumlah yang dicapai tahun sebelumnya sebesar 1.291,8 ribu
ton batu pecah dan 0,6 ribu meter kubik batu poles. Rincian data produksi dan ekspor batu granit
disajikan dalam Tabel V.60.

5.3.4.10 Bahan tambang lainnya

Hasil-hasil tambang yang dikelompokkan sebagai bahan tambang lainnya adalah bahan
galian yang tergolong dalam kelompok bahan galian golongan C atau bahan galian bukan
strategis dan bukan vital, yang meliputi mangaan, aspal, yodium, belerang, fosfat, ashes, kaolin,
pasir kwarsa, marmer, feldspar, kalsit, bentonit, gamping, lempung, gips, dolomit dan pasir taut.
Pengelolaan bahan-bahan tambang tersebut diserahkan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah tingkat I, dan selanjutnya dilaksanakan oleh perusahaan daerah, badan usaha
milik negara, perusahaan swasta nasional, koperasi, ataupun unit-unit usaha rakyat dalam
ukuran kecil. Pengembangan produksi berbagai hasil tambang tersebut, selain ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri dan konstruksi, juga untuk menghasilkan devisa,
menunjang pertumbuhan pembangunan dan perekonomian daerah, serta untuk memperluas
lapangan usaha dan lapangan kerja baru.

Konsumen utama bahan galian golongan ini antara lain adalah industri kecil, pabrik
kertas, industri kimia dan konstruksi bangunan. Karena pengelolaan bahan tambang tersebut
pada umumnya dilakukan oleh pengusaha kecil, maka dalam melaksanakan usahanya harus
selalu diberikan pernbinaan dan petunjuk-petunjuk teknis supaya hasilnya memenuhi standar
sebagai bahan baku bagi industri ataupun konstruksi bangunan. Selain itu juga agar usaha
penambangannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan ataupun membahayakan ke-
selamatan manusia dan para pekerja.

Dalam tahun 1987/1988, beberapa macam bahan tambang golongan ini telah
mengalami kenaikan produksi, seperti yodium, fosfat, posir kwarsa, marmer, gamping, lempung,
gips, dan dolomit. Sedangkan sebagian besar lainnya telah mengalami penurunan. Mengenai
pemasarannya di dalam negeri, sebagian besar bahan galian ini mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun jenis bahan galian yang diekspor adalah kaolin,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 319


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pasir kwarsa, dan pasir laut. Data yang lebih terinci mengenai produksi bahan tambang
golongan ini disajikan dalam Tabel V.61.

5.3.4.11. Tenaga listrik


Dalam Pelita IV, peningkatan kesejahteraan rakyat kota dan desa, serta usaha untuk mendorong
kegiatan ekonomi khususnya sektor industri, merupakan tujuan dari usaha pengembangan
ketenagalistrikan di Indonesia. Dalam Undang- undang No. 15 tahun 1985 tentang
ketenagalistrikan, dinyatakan bahwa pembangunan ketenagalistrikan juga ditujukan pada
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, serta pada usaha
untuk mendorong kegiatan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, di samping dilakukan
pengelolaan ketenagalistrikan melalui perencanaan yang menyeluruh dan terpadu dengan
sasaran-sasaran yang realistis, juga dijabarkan dalam pelaksanaan yang konkrit dengan disertai
pemantauan yang memadai. Untuk itu penyediaan dan pelayanan tenaga listrik ditujukan bagi
pemanfaatan umum secara terus menerus dan merata, yang diimbangi dengan mutu keandalan
dan keselamatan yang memadai, dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau.
Sedangkan pelaksanaan pembangunan proyek-proyek tenaga listrik diusahakan agar dapat
diselesaikan sesuai dengan jadwai dan strategi prioritas proyek, sinkron dan optimal, serta
dengan biaya yang seefisien mungkin.

Sejalan dengan usaha-usaha pengembangan yang telah dilakukan, maka pembangunan


pusat pembangkit tenaga listrik dalam tahun 1987/1988 telah mengalami peningkatan sebesar
20,9 persen, yaitu dari kapasitas 562.668 megawatt (MW) dalam tahun 1986/1987 menjadi
680.153 MW. Di samping itu, dalam tahun yang sama telah pula dilakukan rehabiIitasi dan
pembangunan jaringan transmisi, gardu induk, dan jaringan transmisi distribusi. Perkembangan
basil pelaksanaan proyek- proyek tenaga listrik disajikan dalam Tabel V.62. .
Peningkatan sarana produksi tenaga listrik mengakibatkan meningkatnya kapasitas dan
produksi listrik. Realisasi produksi tenaga listrik dalam tahun 1987/1988 adalah sebesar 21,56
juta megawatt hour (MWH), yang berarti mengalami kenaikan sebesar 10,8 persen
dibandingkan dengan jumlah produksi tahun sebelumnya sebesar 19,45 juta MWH. Peningkatan
tersebut pada akhirnya juga meningkatkan jumlah penjualan tenaga listrik dalam tahun
1987/1988 sebesar 15,5 persen, yaitu dari 14,79 juta MWH dalam tahun 1986/1987 menjadi
17,08 juta MWH. Dalam tahun yang sama, besarnya daya tersambung dan daya terpasang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 320


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.61
PRODUK BAHAN GALIAN 1), 1972 - 1987
( dalam ton kecuali marmer dalam m 2 slabs dan pasir bangunan dalam m 3)
Jenis 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979
1. Bahan-bahan semen:
a. Gamping 411.976 995.767 1.114.079 1.374.433 2.120.909 3.724.575 1.657.528 2.690.439
b. Lempung 76.610 164.287 219.066 270.893 379.569 653.782 332.152 583.552
2. Mar mer 9.717 12.232 13.520 19.828 25.944 35.216 33.946 25.216
3. Asp a I 115.580 95.149 75.170 115.697 104.990 138.739 161.817 80.601
4. Y 0 diu m 9,6 19,4 25,9 33,1 27 11,9 7,3 25,3
5. Man g a a n 7.522 15.965 18.228 14.192 8.780 6.847 5.889 6.909
6. Bel era n g 900 1.951 2.349 3.944 3.483 1.697 1.763 180
7. F 0 s fat 1.320 819 5.563 7.902 7.465 3.598 6.071 5.323
3. As b e s - 223 283 92 - 50 31 -
9. Kaolin 12.906 29.609 25.971 30.528 29.323 38.006 37.115 58.529
10. Posir kwarsa 44.148 64.161 62.688 85.979 110.809 221.441 310.051 106.244
11. Feldspar - - - - 2.756 1.648 6.616 13.721
12. K a I sit - - - - - - 3.485 2.764
13. Posir bangunan - - - - - - - -
14. Bentonit - - - - - - 4.191 2.847
15. G ips - - - - - - - 290

1) Sampai dengan 1977/1978, dihitung menurut tahun calender


2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 321


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.61 (lanjutan)


Jenis 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 4)
1. Bahan-bahan semen:
a. Gamping 7.504.343 8.405.170 11.001.889 11.856.786 9.933.355 3) 12.184.363 3) 12.783.8293) 15.966.432
b. Lempung 1. 717.569 1.702.869 1.837.366 2.182.988 1.523.573 3) 2.158.638 2.134.856 2.771.301
2. Mar mer 25.315 28.842 28.969 24.374 27.7883) 30.1013) 3.530 5.645
3. Asp a I 173.018 276.626 192.563 725.752 471.239 450.633 242.055 84.889
4. Y 0 diu m 29,3 25,3 28,9 25,2 25 13,4 5,8 82,3
5. Man g a a n 2.730 14.748 17.894 8.318 700 1.143 1.423 1.196
6. Bel era n g 197 497 1.144 3.646 3.555 4.023 4.524 3.941
7. F 0 s fat 12.026 7.295 5.631 5.763 1.917 525 601 3.098
8. A s b e s 15 10 35 74 - 2) 20 30 - 2)
9. K a 0 I i n 72.002 75.513 61.144 60.145 75.901 118.334 3) 129.897 3) 122.045
10. Posir kwarsa 270.887 153.473 962.653 330.246 3) 505.7093) 741.2863) 781.432 877.579
11. Feldspar 12.226 17.839 14.038 11.939 13.4163) 24.496 17.995 15.019
12. K a I sit 1.704 784 1.241 _2) 171 41 692 653
13. Posir bangunan 4.900 181.450 138.250 12.970 360.151 3) 391.787 3) - 2) 259.614
14. Bentonit 6.995 3.973 7.597 10.006 9.509 11.859 3) 10.500 7.962
15. G ips 453 855 570 658 772 - 2) - 2) 1.367

1) Merupakan hasil usaha swasta nasional, perusahaan daerah don lain-lain 2) Data tidal tersedia
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

masing-masing telah mencapai 10,71 juta kilovolt amper (KV A) dan 6.869,28 MW yang berarti
masing-masing menunjukkan peningkatan sebesar 15,4 persen dan 10,8 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, yang masing-masing sebesar 9,28 juta KVA dan 6.200,20 MW.
Perkembangan produksi tenaga listrik hingga tahun keempat Pelita IV disajikan dalam Tabel
V.63. Untuk mengimbangi peningkatan terhadap permintaan tenaga listrik yang terus ber-
kembang, maka terus diusahakan pula peningkatan sarana produksi yang disesuaikan dengan
kebijaksanaan umum di bidang energi. Hal ini tercermin dengan dibangunnya pusat tenaga
listrik, yang di samping menggunakan bahan bakar minyak juga menggunakan batubara, panas
bumi, dan gas alamo Selain daripada itu, azas pemerataan juga merupakan unsur pertimbangan
yang tetap diperhatikan. Untuk itu dalam tahun anggaran 1988/1989 yang sedang berjalan, telah
dilaksanakan program listrik pedesaan yang mencakup sekitar 1990 desa di seluruh pelosok
tanah air dengan tambahan lebih kurang 549.730 konsumen.

5.3.5. Perdagangan dalam negeri


Perdagangan dalam negeri merupakan proses yang melibatkan berbagai kegiatan dalam
penyaluran barang dan bahan dari sektor produksi sampai kepada konsumen di dalam negeri.
Dengan demikian kegiatan perdagangan dalam negeri mempunyai peranan mempertemukan
keinginan produsen untuk memperoleh jaminan pemasaran basil produksi mereka dengan harga

Departemen Keuangan Republik Indonesia 322


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

yang wajar, dengan permintaan konsumen untuk memperoleh barang yang diinginkannya pada
saat yang tepat dengan harga yang terjangkau. Sehubungan dengan itu, dalam PeIita IV
pembangunan di bidang perdagangan dalam negeri mencakup langkahlangkah untuk menjaga
kemantapan harga, menyempurnakan prasarana pemasaran, meningkatkan peranan para
pedagang nasional khususnya para pedagang golongan ekonomi lemah dalam kegiatan
perdagangan, memperluas pasaran barang-barang produksi dalam negeri, serta meningkatkan
dayaguna penyaluran barang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, maka dalam tahun
1988/1989 (sampai dengan Juni 1988) untuk menjaga kemantapan harga dan terpenuhinya
kebutuhan barang dan bahan, telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kelancaran
arus barang dan bahan, baik antardaerah maupun antarpulau, mengusahakan penurunan biaya
pemasaran, serta mengendalikan perkembangan harganya. Di samping itu ditingkatkan pula
koordinasi an tara sektor produksi, pemasaran, dan angkutan, agar pengadaan dan penyaluran
barang dan bahan dapat diselenggarakan menurut jadwal waktu dan jumlahnya sesuai dengan
kebutuhan. Selanjutnya untuk menjaga kemantapan harga dan penyaluran komoditi strategis,
seperti semen, pupuk, bahan baku minyak goreng, besi baja, dan komoditi lainnya, pengaturan
tataniaganya terus disempurnakan.
Dalam rangka memantapkan pengadaan dan harga semen, telah dilakukan pengaturan
tataniaganya yang meliputi pengamanan penyediaan (suplai) dan persediaan (stok) minimum,
serta penetapan alokasi bulanan menurut pabrik dan daerah. Di samping itu untuk menciptakan
tingkat harga yang wajar dan terkendali di tingkat konsumen, ditetapkan harga pedoman
setempat (HPS) di ibukota propinsi, serta pemantauan suplai, stok, dan harga semen dari
distributor sampai ke pengecer di daerah. Sedangkan untuk menjaga stabilitas penyaluran dan
harga semen, telah ditetapkan bahwa sedikit-dikitnya harus ada dua merek semen yang beredar
di satu daerah.
Untuk mendorong perkembangan industri dalam negeri, di samping untuk peng-
hematan devisa, telah ditetapkan pengaturan tataniaga pengadaan barang-barang jadi dari besi
dan baja yang berasal dari impor, penunjukan importirnya, serta penetapan harga jual bahan
baku besi baja impor. Selain itu juga ditetapkan kebijaksanaan mengenai pembeIian bahan baku
di dalam negeri, pemantauan harga untuk mengendalikan tingkat harganya, serta
penyederhanaan tataniaga atas impor barang jadi dari besi atau baja untuk jenis tertentu. Di
samping itu untuk meningkatkan efisiensi industri pemintalan dan industri tekstil dalam negeri,
telah dilakukan penyederhanaan tataniaga pengadaan serat karas, baik yang berasal dari

Departemen Keuangan Republik Indonesia 323


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

produksi dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan pengaturan tataniaga kertas koran
ditujukan untuk mendorong industri percetakan buku-buku pengetahuan dan penerbitan pers di
dalam negeri. Pengaturan tataniaga kertas koran antara lain meliputi penunjukan distributor
tataniaga kertas koran produksi dalam negeri dan penetapan harga kertas koran.
Pengadaan dan penyaluran pupuk dan pestisida bersubsidi diarahkan untuk peng-
amanan program pemerintah di bidang produksi pangan. Untuk itu diadakan pengaturan
tataniaga pupuk dan pestisida bersubsidi, baik impor maupun produksi dalam negeri, serta
pembinaan sistem penyaluran dan pemasarannya yang sesuai dengan jenis, jumlah, waktu, dan
lokasi yang ditetapkan. Selanjutnya untuk meningkatkan peranan KUD sebagai penyalur pupuk
dan pestisida bersubsidi, telah ditetapkan bahwa penyaluran pupuk dan pestisida bersubsidi
untuk petani secara bertahap dialihkan kepada KUD, dan ditargetkan seluruh penyalurannya
dapat dilakukan melalui KUD paling lambat dalam bulan April 1989. Selanjutnya pada bulan
Oktober 1988, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menaikkan harga gabah dan
palawija terhitung mulai tanggal 1 Januari 1989, serta mengurangi subsidi pupuk dan pestisida
mulai tanggal 6 Oktober 1988, sedangkan khususnya subsidi pestisida akan dihapuskan
terhitung mulai tanggal 1 Januari 1989. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk
meriingkatkan pendapatan petani, dan lebih memantapkan swasembada pangan. Dalam
hubungan ini juga dianjurkan kepada para petani agar menghemat penggunaan pupuk dan
pestisida, serta menggunakannya secara selektif dan memperhatikan lingkungan hidup.

Tab el V.62
HASIL PELAKSANAAN PROYEK-PROYEK TENAGA LISTRIK, 1974/1975 - 1987/1988
Uraian 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980 1980/1981
1. Rehabilitasi / pembangurian
tenaga listrik (MW) 114,57 116,69 274,25 419,06 236,03 435,574 12,419
2. Rehabilitasi / pemhangunan
jaringan transmisi (Kms) 89 639,73 150,83 751,4 530,27 303,276 1.052,31
3. Rehabilitasi / pembangunan
gardu induk ( buah / MV A ) 11/147 21/355,2 3/75,63 15/570,5 1.611.543,60 3/521 7/368
4. Rehabilitasi / pembangunan
jaringan distribusi
-Jaringan tegangan menengah ( Kms ) 328,31 478,74 1.684,14 2.035,66 1.958,07 1.968,79 3.044,23
- Jaringan tegangan rendah ( Kms ) 388,04 320,38 1.109,45 2.921,61 1.628,58 1.411,47 2.342,22
- Gardu distribusi (buah) 325 526 4.508 3.470 1.532 1.637 2.204

Departemen Keuangan Republik Indonesia 324


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e I V.62 (lanjutan)


Uraian 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985 1985/1986 1986/1987 1987/1988 2)
1. Rehabilitasi / pembangunan
tenaga listrik (MW) 504 355,72 495,640 1) 601,904 832,48 562,668 680,153
2. Rehabilitasi / pembangunan
jaringan transinisi (Kms) 806,3 1.355,90 963,86 289,59 953,221 901,52 718,76
3. Rehabilitasi / pembangunan
gardu induk ( buah / MY A ) 14/1.108 19/1.094 21/1.106 10/250,5 16/639 11/8.082 81708
4. Rehabilitasi / pembangunan
jaringan distribusi
- Jaringan tegangan menengah ( Kl)1s ) 3.437,87 3.564,49 3.878,79 2.428,12 3.293,31 3.947,76 9.809,85
- Jaringan tegangan rendah ( Kms ) 2.477,05 3.129,83 4.603,67 1.977,169 I) 3.400,727 1) 5.178,64 11.830,78
- Gardu distribusi (buah) 3.166 3.290 3.946 2.046 3.624 4.382 9.592
I) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
Kms : Kilometer sirkuit

Tab e l V.63
PRODUKSI, PENJUALAN, DAYA TERSAMBUNG
DAN DAYA TERPASANG TENAGA LISTRIK, 1972/1973 -1987/1988
Produksi Penjualan Daya Daya
Tahun tenaga tenaga tersambung terpasang
listrik (MWH) listrik (MWH) (KV A) (MW)
1972/1973 2.949.477 1.892.609 934.617 850,16
1973/1974 3.006.669 2.214.950 1.076.264 970,77
1974/1975 3.345.241 2.444.107 1.261.815 1.116,84
1975/1976 3.770.294 2.803.613 1.426.376 1.129,40
1976/1977 4.127.390 3.081.817 1.594.482 1.376,50
1977/1978 4.740.660 3.532.027 1.933.511 2.862,74
1978/1979 5.722.816 4.286.921 2.459.052 2.413,38
1979/1980 7.004.288 5.343.406 3.063.354 2.535,92
1980/1981 8.420.385 6.473.026 3.744.236 1) 2.554,80
1981/1982 10.137.910 7.845.456 I) 4.502.788 3.032,49
1982/1983 11.846.151 9.072.596 5.269.251 3.405,98
1983/1984 13.296.410 10.023.619 6.126.669 3.934,99
1984fl985 14.776.524 11.041.451 7,120.682 4.567,77 I)
1985/1986 16.898.638 12.644.168 8.151.297 5.634,82
1986/1987 19.454.758 14.785.954 9.282.076 6.200,20
1987/1988 2) 21.559.294 17.076.844 10.710.693 6.869,'28
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Pengaturan tataniaga cengkeh dimaksudkan selain agar petani cengkeh dapat menjual
hasil produksinya dengan harga yang wajar, juga untuk menjaga kelancaran produksi dan
distribusi cengkeh, serta untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri
terutama industri rokok. Untuk itu dalam pengaturan tataniaga cengkeh antara lain ditetapkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 325


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

bahwa pembelian/pengumpulan cengkeh dari petani hanya dapat dilakukan oleh KUD yang
telah diseleksi kemampuannya. Selanjutnya pengadaan dan pemasaran cengkeh milik KUD
dilaksanakan dengan sistem lelang, serta kualitas cengkeh diberi toleransi kadar air 10 persen
dan kadar kotoran 5 persen. Sedangkan bagi pedagang antarpulau yang mengantarpulaukan
cengkeh tidak melalui lelang dikenakan denda 5 persen dari harga dasar lelang.

Pengaturan tataniaga perdagangan bahan baku minyak goreng yang terdiri dari kopra,
minyak kelapa, dan minyak sawit, di samping diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan di dalam
negeri, juga ditujukan kepada penerimaan devisa. Untuk itu dalam pengaturan tataniaga kopra
dan minyak kelapa antara lain ditetapkan bahwa pedagang kopra aotarpulau yang telah
memperoleh alokasi dan melunasi kewajiban iurannya dapat langsung melakukan
pembelian/pengumpulan kopra dari petani. Selain itu juga dilakukan pemantauan harga minyak
goreng yang terjadi pada tingkat penyalur dan pengecer. Sedangkan tataniaga minyak kelapa
sawit diatur dengan menetapkan dan mengarahkan alokasi minyak kelapa sawit untuk setiap
pabrik dan industri yang mer:nakai bahan baku tersebut, pengaturan persyaratan penyerahan
minyak kelapa sawit produsen kepada pabrik dan industri, dan menentukan jumlah ekspor dan
impor yang diperbolehkan.

Dalam pada itu stabilitas harga bahan kebutuhan pokok diusahakan dengan tidak
melalui pengaturan langsung, kecuali komoditi beras, gula pasir, tepung terigu, dan kedelai,
yang pengadaan dan penyalurannya dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Sementara
itu pengaturan tataniaga garam ditujukan untuk memantapkan pengadaan garam dari segi
jumlah, harga, dan mutu, balk untuk kepentingan konsumen maupun untuk produsen petani
garam. Sedangkan garam konsumsi yang diedarkan adalah garam beryodium produksi dalam
negeri. Adapun kebutuhan garam non yodium untuk kebutuhan industri, yang apabila untuk
pemenuhan kebutuhannya masih perlu dilakukan impor, diadakan pengaturan tersendiri. .
Dalam rangka menjamin keseimbangan antara produksi susu dan pengembangan
industri pengolahannya di dalam negeri, telah dilakukan pengaturan tataniaga susu, yang antara
lain meliputi penunjukan importir serta penetapan jumlah dan jenis bahan baku susu yang dapat
di impor. Di samping itu untuk memanfaatkan bahan baku susu produksi dalam negeri secara
optimal serta meningkatkan pendapatan peternak sapi perah, telah ditetapkan perbandingan
pengadaan antara bahan baku susu produksi dalam negeri dengan bahan baku yang boleh di
impor, yaitu satu berbanding dua.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 326


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Kebijaksanaan penyempurnaan prasarana fisik perdagangan dalam negeri dalam Pelita


IV antara lain diwujudkan dalam bentuk pembangunan dan pemugaran pasar, serta pusat
pertokoan atau perbelanjaan dengan menggunakan dana Inpres. Dengan adanya deregulasi
perbankan pada Juni 1983, maka penyediaan dana pembangunan untuk program Inpres pasar
dan pertokoan dialihkan dari penggunaan dana Inpres pasar menjadi partisipasi langsung pihak
bank. Kebijaksanaan tersebut untuk meningkatkan kelancaran arus barang dari produsen ke
konsumen, serta tersedianya tempat berusaha bagi para pedagang, khususnya golongan ekonomi
lemah. Sementara itu kebijaksanaan penyempurnaan prasarana kelembagaan ditujukan untuk
memberikan kemudahan, kepostian, dan perluasan kesempatan berusaha kepada masyarakat.
Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan melalui pendaftaran perusahaan sebagai pelaksanaan
Undang-Undang No.3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan, dengan maksud untuk
menyediakan sumber informasi resmi dan terbuka bagi semua pihak yang berkepentingan
mengenai dunia usaha dan perusahaan di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk terciptanya iklim
usaha yang baik dan pemberian kesempatan berusaha di bidang perdagangan terutama
perusahaan kecil dan menengah, telah dilakukan penyederhanaan surat izin usaha perdagangan
(SIUP). Adapun penyederhanaan SIUP antara lain meliputi masa berlakunya SIUP bagi
pedagang kecil dan menengah, yang tidak lagi dibatasi selama pedagang tersebut menjalankan
usahanya, sedangkan SIUP bagi pedagang besar diperpanjang 5 tahun sekali, dan tidak adanya
pembedaan SIUP barang dan jasa.
Dalam pada itu penyempurnaan prasarana jasa dilaksanakan dengan menginventarisasi
kegiatan usaha jasa makelar, ,konsultan, adjuster, penimbang bersumpah, serta beberapa usaha
jasa lainnya. Adapun penyempurnaan prasarana penunjang dilaksanakan dengan pembinaan
tenaga freight forwarder serta pendataan jumlah gudang dan ruangan. Untuk mewujudkan dan
menjamin tertib alat ukur untuk melindungi kepentingan umum, konsumen, dan produsen, telah
terus dikembangkan dan ditingkatkan kemetrologian, terutama metrologi lokal.
Untuk meningkatkan peranan pedagang nasional khususnya go long an ekonomi lemah,
terus dilanjutkan kebijaksanaan pembatasan penggunaan tenaga kerja warga Negara asing, serta
kebijaksanaan untuk memberikan prioritas kepada pemborong dan rekanan golongan ekonomi
lemah setempat dalam pengadaan barang, peralatan, dan jasa keperluan Pemerintah. Dalam
upaya memberikan kemudahan bagi para pengusaha nasional untuk pemasaran hasil
produksinya, maka dalam bulan Maret 1988 pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan
penyederhanaan tatacara pengadaan barang, peralatan, dan jasa keperluan pemerintah. Selain itu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 327


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dilakukan pula pembinaan para pedagang golongan ekonomi lemah melalui penataran,
penyuluhan, latihan, dan konsultasi. Selain daripada itu para pedagang tersebut tetap diberi
kemudahan, antara lain berupa bantuan modal kerja dengan tingkat bunga rendah,pengusahaan
tempat usaha yang layak dan murah melalui Inpres pasar dan pertokoan, pengikutsertaan dalam
kegiatan perdagangan yang diatur pemerintah, serta bantuan pemasaran melalui fasilitas
pameran dagang dan pekan-pekan penonjolan yangdiadakan, balk di dalam maupun di luar
negeri. Demikian pula telah dilakukan pembinaan sektor informal di bidang perdagangan, yang
bertujuan agar pedagang-pedagang informal tidak menjadi beban pembangunan. Untuk
memudahkan pembinaan tersebut telah dilakukan pendataan mengenai jumlah, lokasi, dan
fasilitas yang diterima pedagang-pedagang informal.

Kebijaksanaan untuk memperluas pasar barang-barang produksi dalam negeri telah


dilakukan dengan melanjutkan ketentuan, yang menetapkan bahwa setiap pengadaan barang dan
jasa keperluan pemerintah wajib menggunakan produksi dalam negeri. Namun apabila karena
sesuatu hal tidak terpenuhi sepenuhnya dari dalam negeri, maka dapat dipenuhi dari luar negeri
dengan pengaturan secara terpisah. Di lain pihak adanya keterbatasan informasi pasar dapat
mengakibatkan perkembangan harga yang tidak wajar yang melemahkan kedudukan produsen
dalam persaingan dan penentuan harga jual, serta mengganggu kelangsungan produksi. Untuk
itu terus diupayakan pemberian informasi pasar kepada pihakpihak yang uerkepentingan,
sehingga tujuan mewujudkan efisiensi pemasaran untuk menunjang peningkatan produksi dapat
tercapai dengan lebih baik. Selain itu informasi pasar juga ditujukan untuk memperlancar arus
barang dan jasa, sehingga dapat menciptakan keadaan harga yang layak dan stabil. Adapun
kegiatan informasi pasar yang telah dilakukan selama ini meliputi informasi aspek harga dan
informasi aspek nonharga, yang disebarkan melalui media massa dan secara langsung melalui
petugas penyuluh lapangan perdagangan.

Untuk lebih meningkatkan lagi perekonomian nasional, maka pada tanggal 21


November 1988 Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijaksanaan deregulasi di bidang
perdagangan, industri, pertanian, dan perhubungan laut. Kebijaksanaan tersebut pada intinya
adalah untuk meningkatkan investasi, terutama melalui peningkatan ekspor nonmigas,
kelancaran distribusi barang di dalam negeri, peningkatan efisiensi produksi nasional, dan
sekaligus untuk memperluas kesempatan kerja. Dalam bidang perdagangan, antara lain tidak
diatur lagi tataniaga impor daripada 301 nomor pos tarif, termasuk plastik dan baja. Di samping

Departemen Keuangan Republik Indonesia 328


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

itu telah pula dicabut larangan kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan, serta lebih
menyederhanakan lagi ketentuan mengenai SIUP. Dengan dilaksanakannya berbagai kebi-
jaksanaan di bidang perdagangan dalam negeri tersebut, telah diperoleh gambaran sampai
dengan bulan Juni 1988 yang cukup menggembirakan. Upaya untuk menjaga kemantapan harga
dan meningkatkan penyaluran barang, baik kebutuhan pokok maupun barang strategis, tidak
mengalami gejolak kekurangan barang. Hal tersebut tampak dari relatif stabilnya perkembangan
harga barang, dengan harga perubahan yang relatif keeil. Sementara itu beberapa jenis barang
renting mengalami perkembangan sebagai berikut. Seiring dengan lajunya pembangunan
nasional, maka kapasitas produksi semen Indonesia terus meningkat, yang terutama disebabkan
oleh adanya ekspansi dan penambahan pabrik semen baru. Sebagai akibatnya maka kebutuhan
semen dalam negeri telah dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri sendiri. Adapun
realisasi produksi semen tahun 1988 (sampai dengan Juni) telah mencapai sekitar 5.203 ribu ton,
sedangkan realisasi penyalurannya sekitar 4.554 ribu ton.

Sementara itu pengadaan beberapa produk besi baja jenis tertentu untuk kebutuhan
dalam negeri telah dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri, bahkan beberapa jenis
produk besi baja telah dapat diekspor. Dalam tahun 1988 (sampai dengan Mei), pengadaan besi
baja untuk kebutuhan dalam negeri, baik yang berasal dari hasil produksi dalam negeri maupun
impor, berjumlah sekitar 1.555 ribu ton. Di lain pihak realisasi ekspor besi baja pada periode
yang sama telah mencapai sekitar 118 ton. Untuk melindungi pemasaran besi baja produksi
dalam negeri, telah ditetapkan harga jual beberapa jenis besi baja impor dan besi baja produk
dalam negeri.

Dalam pada itu produk dalam negeri serat karas, yang merupakan bahan baku industri
permintalan untuk diolah menjadi benang tenun dan selanjutnya merupakan bahan baku industri
tekstil, dalam tahun 1987/1988 telah berjumlah sekitar 5 ribu ton. Di samping itu pengadaan
kertas koran dalam negeri untuk kebutuhan pers nasional telah dapat pula dipenuhi dari produksi
dalam negeri. Penyaluran kertas koran ke daerah-daerah telah semakin meningkat, baik dari segi
jumlah maupun frekuensi pengadaannya, sesuai dengan kebutuhan penerbit. Dalam tahun 1988
(sampai dengan Juni), realisasi produksi, pengadaan, dan penyaluran kertas koran masing-
masing berjumlah sekitar 64,5 juta ton, 84,5 juta ton, dan 69,4 juta ton.

Demikian pula realisasi pengadaan pupuk bersubsidi untuk masa tanam (MT) 1988
(April- Juni) telah berjumlah sekitar 1.276 ribu ton, dan jumlah realisasi penyalurannya sekitar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 329


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1.110 ribu ton. Sementara itu realisasi pengadaan pestisida bersubsidi untuk MT 1987/1988
(sampai dengan Juni) telah berjumlah sekitar 14 ribu ton/kiloliter (setara liquid powder), dan
realisasi penyalurannya sekitar 9 ribu ton/kiloliter. Demikian pula pelaksanaan lelang cengkeh
pada tahun 1987 telah mencapai sebanyak 10.769.718, 19 kilogram, yang berarti peningkatan
sebesar 4.553.143,69 kilogram bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak
6.216.574,50 kilogram. Meningkatnya volume lelang tersebut disebabkan mulai berjalannya
tradisi lelang di daerah produksi cengkeh. Sedangkan harga cengkeh rata-rata di daerah
bervariasi mengikuti perkembangan harga di daerah konsumen. Kebutuhan akan minyak goreng
di dalam negeri dirasakan semakin hari kian meningkat, terutama karena pertambahan penduduk
dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Sehubungan dengan itu realisasi penyaluran bahan
baku minyak goreng untuk kebutuhan dalam negeri tahun 1988 (sampai dengan Juli) telah
mencapai sekitar 136 ribu ton, sedangkan realisasi produksinya berjumlah sekitar 388 ribu ton.
Dalam pada itu pengaturan tataniaga susu telah memberikan manfaat terutama bagi peternak
susu untuk meningkatkan produksinya. Dalam tahun 1987 produksi susu telah berjumlah sekitar
533 juta liter. Sementara itu pengadaan garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri selama
ini tidak menunjukkan adanya permasalahan. Dalam tahun 1987 produksi garam telah berjumlah
sekitar 1.502 ribu ton, dan jumlah yang telah disalurkan sekitar 968 ribu ton.

Sebagai hasil dari ,fenyempumaan. prasarana fisik, sampai dengan semester I tahun
1988 telah dapat dilaksanakan pembangunan dan pemugaran sekitar 2.802 pasar, yang dapat
menampung sekitar 517:176 pedagang. Selain dari pada itu telah pula dibangun 10 pasar, yang
tersebar di daerah perbatasan dan transmigrasi. Sedangkan melalui penyempumaan prasarana
kelembagaan, sejak tahun 1985 telah dilaksanakan pendaftaran perusahaan, sebagai pelaksanaan
undang-undang wajib daftar perusahaan, yang sampai dengan akhir bulan Juli 1988 telah
terdaftar sebanyak 484.814 perusahaan. Selain dari pada itu adanya penyederhanaan sistem
perizinan usaha perdagangan telah menyebabkan jumlah perusahaan nasional yang memperoleh
SIUP terus meningkat. Dalam tahun 1988 (sampai dengan Juli) telah diterbitkan sebanyak
1.133.230 buah.

Sementara itu melalui pembinaan prasarana jasa, sampai dengan akhir tahun 1987 telah
tercatat 32 perusahaan jasa surveyor dengan 79 cabang, 77 perusahaan penilai dengan 12 cabang,
tersebar di seluruh Indonesia. Selanjutnya perusahaan jasa konsultan sampai dengan Maret 1988
terdaftar sebanyak 2.399 perusahaan, dan 143 perusahaan sewa beli. Demikian pula melalui

Departemen Keuangan Republik Indonesia 330


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

penyempumaan prasarana penunjang, dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan pendidikan dan
latihan terhadap 90 orang tenaga freight forwarder, sedangkan gudang dan ruangan telah
berjumlah sebanyak 123.418 buah dan 65.410 buah. Sebagai pelaksanaan undang-undang
metrologi, dalam tahun 1988 (sampai dengan Mei) telah dilaksanakan tera sah alas alat-alat ukur,
tukar, timbang dan perlengkapannya (UTIP) sebanyak 913.815 buah, dan tera ulang sah alat
UTIP sebanyak 1.657.877 buah.
Dalam upaya meningkatkan peranan pedagang nasional khususnya golongan ekonomi
lemah, telah ditingkatkan pembinaan terhadap pedagang golongan ekonomi lemah. Sebagai
hasil pembinaan peningkatan keterampilan dan kewiraswastaan dalam Pelita IV, telah dapat
dibina pedagang dari golongan ekonomi lemah sebanyak 120.401 orang. Demikian pula terus
ditingkatkan pembinaan sektor informal, yang sampai dengan akhir 1987 telah dapat didata
sebanyak 411.593 orang yang terdapat di 2.716 Iokasi. Di samping itu dilakukan pula pameran
dagang untuk mempromosikan barang-barang produksi dalam negeri, dan hasil daripada
kegiatan tersebut sampai dengan akhir tahun 1987, telah berhasil dibina pedagang nasional
sebanyak 21.861 orang. Sementara itu untuk lebih meningkatkan penyebaran informasi pasar,
telah ditingkatkan pula kemampuan petugas penyuluh lapangan perdagangan. Dalam tahun
1987/1988 telah dilakukan bimbingan teknis dan latihan informasi pasar terhadap 73 orang
petugas penyuluh lapangan perdagangan.

5.3.6. Koperasi

. Dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi, maka peranan koperasi akan terus
ditingkatkan agar tumbuh menjadi lembaga ekonomi yang kuat dan mampu menjadi wadah
utatna bagi pembinaan dan pengembangan kemampuan berusaha, terutama bagi golongan
ekonomi lemah. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilakukan usaha-usaha untuk lebih
memasyarakatkan kesadaran berkoperasi, agar koperasi dapat tumbuh dan berkembang sebagai
gerakan dari kalangan masyarakat sendiri. Oleh karena itu langkah-langkah pembinaan serta
penyuluhan yang tepat guna bagi pengembangan koperasi terus ditingkatkan, sehingga koperasi
dapat meningkatkan kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip ekonomi dan mampu bersaing
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut,
kebijaksanaan yang ditempuh dalam tahun keempat Pelita IV dilaksanakan melalui dua program
pokok, yaitu program pembinaan kelembagaan koperasi dan program pengembangan usaha

Departemen Keuangan Republik Indonesia 331


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

koperasi. Untuk mendukung kedua program pokok tersebut dilaksanakan pula dua program
penunjang, yaitu program pendidikan dan penelitian koperasi.

Pembinaan kelembagaan koperasi dilaksanakan berdasarkan kepada sendi-sendi dasar


koperasi, dengan mengutamakan pembinaan organisasi, tatalaksana, dan pengawasan.
Pembinaan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penghayatan setiap anggota koperasi
mengenai arti koperasi dalam kehidupannya, meningkatkan partisipasi para anggota,
meningkatkan kemampuan anggota pengurus dan badan pemeriksa dalam memimpin dan
mengelola koperasi, serta menyempurnakan organisasi dan tatalaksana koperasi. Sebagai
pelaksanaan daripada pembinaan. tersebut, telah diselenggarakan berbagai pendidikan, kursus,
latihan, dan penataran, khusus bagi para anggota pengurus, badan pemeriksa, para manajer dan
para pembantunya. Di samping itu juga diselenggarakan konsultasi untuk menyempurnakan
tertib organisasi dan administrasi, serta memberikan penyuluhan kepada para anggota dan
memberikan penerangan. mengenai perkoperasian kepada masyarakat umum.
Sementara itu pembinaan pengembangan usaha koperasi diarahkan untuk me-
mantapkan dan mengembangkan kemampuan usaha yang dilakukan oleh koperasi primer,
terutama koperasi unit desa (KUD). Pembinaan tersebut diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan dalam penyediaan kebutuhan para anggota dan masyarakat sekitarnya, penyediaan
sarana produksi, pengelolaan hasil produksi dan pemasarannya, serta penyediaan kesempatan
untuk kegiatan simpan pinjam. Sehubungan dengan hal tersebut telah diselenggarakan
pendidikan, kursus-kursus, dan latihan keterampilan usaha bagi para anggota pengurus dan
anggota badan pemeriksa, para manajer dan pembantunya, serta memberikan konsultasi dan
bimbingan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan usaha.
Selanjutnya melalui kegiatan penunjang telah diselenggarakan latihan keterampilan dan pena-
taran bagi para petugas pembina, baik bagi yang telah bertugas maupun bagi pembina yang baru.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan data yang diperlukan bagi penetapan kebijaksanaan
pembangunan koperasi, telah dilaksanakan kegiatan penelitian mengenai kelembagaan dan
kegiatan usaha-usaha koperasi.

Melalui pembinaan kelembagaan, jumlah koperasi telah mengalami peningkatan, yaitu


dari sebanyak 30.446 buah dalam tahun 1986, menjadi sebanyak 31.162 buah dalam tahun 1987.
Sejalan dengan bertambahnya jumlah koperasi, jumlah anggota koperasi juga mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Bila dalam tahun 1986 jumlah anggota koperasi primer barn

Departemen Keuangan Republik Indonesia 332


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sebanyak 21.576 ribu orang, maka dalam tahun berikutnya telah menjadi 25.545 ribu orang.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa wadah koperasi telah menyebar hampir ke seluruh
lapisan masyarakat. Perkembangan jumlah BUUD dan KUD seeara terinci dapat diikuti dalam
Tabel V.64.

Walaupun jumlah BUUD/KUD makin meningkat, namun jumlah modal yang diperoleh
dari para anggota koperasi masih sangat terbatas, karena pada umumnya anggota koperasi terdiri
dari golongan ekonomi lemah. Untuk itu dalam rangka lebih meningkatkan swadaya koperasi,
kegiatan pengumpulan modal, baik melalui intensifikasi pemasukan simpanan anggota maupun
melalui penyisihan sebagian sisa hasil usahanya, terus ditingkatkan. Perkembangan jumlah dan
simpanan koperasi seeara terinci dapat diikuti dalam Tabel V.65. Sementara itu usaha
perkreditan yang disalurkan oleh koperasi juga mengalami peningkatan, terutama berupa kredit
eandak kulak (KCK), yaitu kredit yang diperuntukkan bagi pedagang dan pengusaha keeil.
Kredit tersebut yang dapat diperoleh dari KUD dengan prosedur yang sederhana dan bunga
ringan, terus mengalami peningkatan tidak hanya dalam volumenya tetapi juga jumlah
nasabahnya. Apabila dalam tahun 1987/1988 jumlah nasabah penerima kredit adalah sebanyak
15.984.499 orang dengan jumlah kredit sebesar Rp 225.103,4 juta, maka dalam tahun
1988/1989 (sampai dengan bulan Juli) jumlah tersebut telah meningkat masing-masing menjadi
16.474.498 orang dan Rp 237.483,0 juta.
Peranan KUD dalam pengadaan dan pemasaran pangan nampak dari perkembangan
pembelian gabah dan beras dari petani. Keikutsertaan KUD dalam pengadaan pangan untuk
sarana penyangga nasional dimulai sejak tahun 1973, yang dimaksudkan agar KUD memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan usahanya. Adapun jumlah KUD yang ikut serta
dalam pengadaan pangan dalam tahun 1987/1988 adalah sebanyak 1.673 buah, dengan jumlah
beras yang terkumpul sebanyak 1.136,8 ribu ton, sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai
dengan bulan September) jumlah KUD yang ikutserta adalah sebanyak 1.980 buah dengan
jumlah beras sebanyak 1.064,6 ribu ton. Dalam kaitannya dengan peningkatan produksi pangan,
koperasi/KUD ikut serta secara aktif menyalurkan pupuk dan insektisida/pestisida kepada petani.
Dalam musim tanam (MT)tahun 1987, 1.308 unit KUD menyalurkan pupuk sebanyak 210.006
ton, dan 397 unit KUD menyalurkan insektisida/pestisida sebanyak 20.284 kg/liter. Sedangkan
dalam MT tahun 1988, sebanyak 1.034 unit KUD menyalurkan 1.276.056 ton pupuk dan 607
unit KUD menyalurkan sebanyak 563.087 kg/liter insektisida/pestisida.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 333


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Koperasi unit desa (KUD) juga telah mengusahakan pemasaran komoditi-komoditi


perkebunan rakyat seperti kopra, cengkeh dan lain sebagainya. Dalam tahun 1987/1988,
koperasi yang ikut memasarkan kopra adalah sebanyak 106 buah, dengan jumlah pembelian
sebanyak 11,8 ribu ton yang bemiiaiRp 3.342,9 juta, sedangkan jumlah penjualannya mencapai
16,6 ribu ton yang bemilai Rp 3.480,2 juta. Kemudian dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan
bulan Oktober) terdapat 135 buah koperasi yang melaksanakan pembelian 36,1 ribu ton kopra
seharga Rp 11.299 juta dan menjual 34,8 ribu ton kopra bemilai Rp 11.577 juta. Di samping itu
dalam pelaksanaan kebijaksanaan harga dasar cengkeh, tahun 1987/1988 terdapat 68 buah
koperasi yang melaksanakan pembelian cengkeh, yang berhasil mengumpulkan 234,4 ton
seharga Rp 1.437,3 juta, dan menjual sebanyak 198,6 ton seharga Rp 1.201,0 juta. Sedangkan
dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Oktober) tercatat 269 buah koperasi yang
membeli 3.980,7 ton cengkeh dengan nilai Rp 23.544,9 juta, dan menjuaI3.195,6 ton cengkeh
bemilai Rp 20.759,9 juta. Selain itu KUD yang berada di pulau Jawa sejak tahun 1981
memperoleh kesempatan untuk ikut aktif di bidang tebu rakyat intensifikasi (TRI), dengan
maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada para petani tebu terutama dalam penyediaan
paket kredit dan pemasaran gula. Dalam tahun 1987/1988, jumlah KUD yang bergerak di
bidang TRI adalah sebanyak 593 buah yang menyalurkan kredit sebesar Rp 150.964,2 juta,
sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Oktober) terdapat 526 buah KUD
yang menangani kredit sebesar Rp 73.074,5 juta. Dalam pada itu penyaluran gula pasir yang
dilakukan KUD dalam tahun 1987 mencapai 549.633,0 ton, sedangkan sampai bulan Mei 1988
telah disalurkan sebanyak 549.568,5 ton.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 334


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.64
JUMLAH BUUD DAN KUD SELURUH INDONESIA MENURUT PROPINSI, 1974 - 1988 1)
1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981
No. Propinsi BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD
1. D.1. Aceh 27 22 31 48 27 57 7 83 12 103 12 103 12 105 12 103
2. Sumalera Vtara - 205 261 - 284 288 - 297 - 307 7 3\1 5 342
3. Sumalera Baral 57 100 53 233 7 185 21 185 7 232 7 232 7 232 4 235
4. Ria u 9 \I 12 \I 11 22 5 57 7 47 7 47 7 48 7 47
5. Jam b i 6 40 10 50 5 57 9 24 99 99 99 99
6. Sumatera Selatan 12 15 13 20 33 53 48 38 78 36 37 81 21 108 16 144
7. Bengkulu 1 15 25 1 43 - 49 36 57 - 66 6 68
8. Lampung 20 52 5 83 5 101 \12 - \18 - \18 - \18 1 156
9. Jawa Barat 250 342 261 330 267 269 226 682 195 731 195 731 195 731 196 750
10. Jawa Tengah 206 282 \18 402 93 437 88 454 80 471 86 492 86 492 67 522
11. 0.1. Yogyakarta 45 10 3 504 - 57 - 57 57 62 62 62
12. Jawa Timur 34 13 572 91 570 \13 577 \16 526 189 526 189 486 231 199 538
13. B a I i 5 46 8 52 5 55 - 61 - 63 67 2 69 72
14. Nusa Tenggara Barat 9 5 9 5 2 12 24 16 25 16 25 16 25 16 9 92
15. Nusa Tenggara Timur 23 45 23 51 25 55 15 71 8 84 8 84 9 92 57 66
16. Timor Timur - - - - - - 1 - 1
17. Kalirhantan Barat 2 32 4 44 - 52 - 78 - 80 80 - 154 154
18. X;:limantan Tengah 7 44 7 19 \I 19 \I 19 10 35 10 39 4 64 4 64
19. Kalimantan Selatan \I 47 7 79 5 99 3 106 2 \16 2 \15 1 \17 3 119
20. Kalimanlan Timur - 2 - 2 6 4 4 6 4 10 1 26 1 26 1 27
21. Sulawesi Vlara 26 4 19 12 20 14 28 13 6 85 1 90 1 90 1 90
22. Sulawesi Tengah 6 7 12 15 9 20 18 17 69 17 69 17 91
23. Sulawesi Selalan 228 69 141 172 106 229 68 288 71 302 71 302 71 302 71 302
24. Sulawesi Tenggara 34 40 1 56 1 63 3 73 \I 75 11 77 15 79
25. M a I u k u 2 - 2 2 - - 4 - 4 T 24 26
26. Irian Jaya 5 3 4 2 6 3 10 8 18 8 27 25 27 15
JUMLAH 991 1.442 1.311 2.551 1.213 2.297 1.759 2.886 J.\I3 3.309 1.086 3.441 973 3.660 792 4.173

Tabel V.64 (Ianjutan)


1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 3)
No. Propinsi BPP BPP BPP BPP
BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD KUD KUD KUD KUD KUD KUD KUD KUD
1. DJ. Aceh - 843 48 296 15 298 247 297 257 301 270 307 279 325
2. Sumatera Utara - 350 133 413 114 428 413 435 413 446 420 461 429 477
3. Sumatera Barat 4 234 233 276 274 281 277 292 277 318 282 321 288 344
4. Ria u 7 47 33 170 113 178 148 192 145 223 159 248 202 287
5. Jam b i i18 34 148 155 163 159 179 159 208 177 227 179 255
6. Sumatera Selatan 16 177 16 295 47 310 184 337 323 384 347 418 364 512
7. Bengkulu - 103 500 154 115 156 156 159 156 164 161 176 161 180
8. Lampung - 147 51 199 87 209 136 212 18? 215 189 215 189 216
9. Jawa Barat 132 871 872 994 1.019 993 1.061 1.003 1.0612) 1.003 1.061 1.043 1.015 1.049
10. Jawa Tengah 67 521 584 386 388 599 588 586 5882) 585 588 585 588 585
11. DJ. Yogyakarta - 61 61 62 61 62 61 61 61 61 61 61 61 61
12. Jawa Timur 48 695 490 731 672 736 672 760 747 760 747 750 754 753
13. B a I i - 72 72 84 81 84 82 87 83 85 83 85 84 88
14. Nusa Tenggara Barat 57 66 115 145 144 147 144 138 144 145 147 147 149 150
15. NusA Tenggara Timur 8 116 8 101 50 110 77 126 132 112 134 112 134 122
16. Timor Timur 10 18 - 61 14 67 38 61 38 66 42 66 46 66
17. Kalimantan Barat 1 26 1 203 92 204 187 212 187 215 187 224 196 229
18. Kalimantan Tengah 4 64 8 133 139 94 139 103 169 107 191 115 210
19. Kalimantan Selatan 130 66 160 110 164 169 186 164 196 166 207 172 225
20. Kalimantan Timur 153 - 158 48 206 168 222 168 237 177 237 198 276
21. Sulawesi Utara - 105 122 123 32 123 95 124 III 124 118 149 118 227
22. Sulawesi Tengah 190 19 126 88 127 128 133 146 151 146 162 146 175
23. Sulawesi Selatan 71 301 71 399 316 417 385 418 385 450 407 450 408 450
24. Sulawesi Tenggara 14 79 57 120 65 140 137 170 145 178 155 187 155 206
25. M a I u k u 70 - ]20 31 123 130 135 130 140 130 140 130 146
26. Irian Jaya 47 30 47 69 78 61 94 61 106 90 118 90 133
486 5.587 3.641 6.126 4.131 6.542 5.997 6.758 6.373 7.042 6.551 7.287 6.650 7.747
1) Dengan adanya INPRES 4 Tahun 1984 nama BUUD diganti menjadi BPP-KUD
2) Termasuk KUD yang belum berbadan hukum tetapi sudah ada BPP-KUD-nya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 335


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

JUMLAH DAN SIMPANAN KOPERASI, 1969 - 1988


Jumlah koperasi (buah) Simpanan koperasi ( Rp juta)
Tahun Primer Pusat Gabungan Induk Jumlah Primer Pusat Gabungan Induk Jumlah
1969 13.315 548 78 8 13.949 940,5 215,4 71,8 522,8 1.750,50
1970 15.445 698 105 15 16.263 1.521,60 331,3 185,,3 1.237,90 3.276,10
1971 15.941 675 124 15 16.775 2.344,50 445,7 357,7 1.531,00 4.678,90
1972 17.261 659 119 15 18.054 3.344,90 291,6 222,8 1.118,10 4.977,40
1973 18.970 683 127 15 19.795 4.516,90 284,7 189 1.797,50 6.788,10
1974 22.404 655 126 15 23.200 6.282,30 333,5 353,2 1.797,50 8.766,50
1975 22.864 666 137 12 23.679 9.683,10 513,8 345 2.844,80 13.386,70
1976 22.394 678 130 12 23.214 12.741,80 519,4 365,4 1.139,80 14.766,40
1977 18.652 638 128 12 19.430 14.060,70 624,8 156,2 781,9 15.623,60
1978 16.693 593 113 31 17.430 18.067,20 802,8 200,7 1.003,50 20.074,20
1979 16.933 543 118 31 17.625 19.873,60 883,2 220,8 1.104,00 22.081,60
1980 18.450 548 99 39 19.136 51.097,90 1.628,70 273,1 1.639,20 54.638,90
1981 20.456 571 113 44 21.184 74.191,00 2.831,20 634,4 3.235,60 80.892,20
1982 22.714 532 60 19 23.325 _1) _1) - 1) - 1) 103.071,00
1983 24.550 532 60 19 25.161 _1) -1) - 1) - 1) 124.991,00
1984 25.829 531 52 20 26.432 _1) _1) - 1) - 1) 131.958,50
1985 27.500 531 52 20 28.103 -1) _1) - 1) - 1) 178.088,90
1986 29.819 535 72 20 30.446 _1I -1) - 1) - 1) 414.995,10
1987 30.257 523 72 20 30.872 _1) _1I - 1) - 1) 435.146,00
1988 2) 32.120 510 69 20 32.719 _1) _1) - 1) - 1) 245.804,00
1) Data tidak tersedia
2) Data per Oktober 1988

Di bidang perikanan rakyat, koperasi telah melakukan pembinaan usaha, terutama di


daerah-daerah yang mempunyai potensi perikanan rakyat yang besar, seperti Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,
Maluku, dan beberapa daerah lainnya. Dalam tahun 1987, jumlah koperasi perikanan rakyat
adalah sebanyak 669 buah dengan anggota sebanyak 153.369 orang dan nilai usaha sebesar Rp
88.756,0 juta. Selanjutnya dalam tahun kelima Pelita IV (sampai dengan bulan Oktober)
walaupun jumlah koperasi dan anggotanya masing-masing tetap sebanyak 669 buah dan
153.369 orang, namun nilai usahanya telah meningkat menjadi Rp 99.620,0 juta.

Demikian juga di bidang petemakan rakyat, KUD ikut melakukan kegiatan secara
intensif meliputi penyaluran bibit unggul, penyaluran makanan temak, penyaluran obatobatan
dan alat-alat kesehatan temak, serta pemasaran produk temak yang dihasilkan. Dalam tahun
keempat Pelita IV terdapat sebanyak 499 buah koperasi yang mempunyai anggota sebanyak
53.855 orang, serta nilai usahanya sebesar Rp 92.724,0 juta. Sedangkan dalam tahun 1988/1989
(sampai dengan bulan Oktober) telah meningkat menjadi sebanyak 499 buah koperasi, dengan
53.986 anggota dan nilai usaha sebesar Rp 106.648,6 juta. Sementara itu dalam tahun
1987/1988 jumlah koperasi susu telah mencapai 183 buah dengan anggota sebanyak 59.524

Departemen Keuangan Republik Indonesia 336


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

petemak. Sedangkanjumlah sapi betina yang dimiliki dan jumlah susu yang dapat ditampung
oleh anggota koperasi, masing-masing sebanyak 176.048 ekor dan 307,4 juta liter. Kemudian
dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Oktober), jumlah sapi yang dimiliki dan susu
yang dapat ditampung masing-masing mencapai 174.528 ekor sapi betina dan 151,8 juta liter
susu sapi.
Sebagaimana telah dilakukan dalam tahun-tahun lalu, kebijaksanaan untuk membantu
usaha kerajinan rakyat dan industri kecil dilakukan dengan meningkatkan kerjasama, baik
antarkoperasi maupun antara koperasi dengan badan usaha lainnya, dengan prinsip saling
menguntungkan, seperti dalam pengadaan bahan baku, produksi, serta pemasaran hasilnya.
Perlu ditambahkan bahwa karena kegiatan kerajinan rakyat dan industri kecil kebanyakan
tersebar di daerah-daerah pedesaan dan menyerap banyak tenaga kerja, maka langkah-langkah
ini akan terus ditingkatkan dan disempurnakan sekaligus untuk menjadikan koperasi sebagai
soko guru ekonomi Indonesia. Dalam tahun 1986/1987 jumlah koperasi yang mengelola dan
mengkoordinir pengrajin adalah sebanyak 1.010 buah, beranggotakan sebanyak 199.902 orang,
dengan usaha senilai Rp 341.027,0 juta. Sedangkan dalam tahun 1987/1988 telah meningkat
menjadi sebanyak 1.288 buah yang beranggotakan 276.969 orang, dengan nilai usaha sebesar
Rp 392.181,0 juta. Sementara itu penggabungan industri kecil yang memproduksi tahu dan
tempe ke dalam koperasi tahu dan tempe Indonesia (Kopti) telah diwujudkan sejak tahun 1979.
Dalam tahun 1987/1988 jumlahnya mencapai sebanyak 71 buah, dengan anggota 23.357 orang,
meliputi modal sebesar Rp 65.860,0 juta, dan telah menyalurkan sebanyak 170.428,0 ton kedelai.
Koperasi jasa yang bergerak di bidang jasa angkutan, pembinaannya telah dilakukan
secara intensif sejak awal Pelita III. Dalam hubungan ini koperasi telah mengelola jasa angkutan
darat, angkutan laut, dan angkutan sungai. Dalam tahun kelima PeIita IV (sampai dengan bulan
Oktober) , koperasi di bidang angkutan darat berjumlah 291 buah dengan jumlah anggota
sebanyak 34.815 orang, dan jumlah armada sebanyak 9.976 unit. Di samping itu di bidang
angkutan laut/sungai terdapat 37 buah koperasi yang jumlah anggotanya sebanyak 6.705 orang,
dengan armada sebanyak 2.018 unit. Sementara itu us aha pengembangan pemasaran listrik di
pedesaan dilakukan oleh koperasi bersama-sama dengan PLN, .Sehingga koperasi-koperasi
tersebut bertanggung jawab atas pemanfaatan listrik yang disediakan oleh PLN. Dalam tahun
kelima PeIita IV (sampai dengan bulan Oktober), jumlah koperasi/ KUD yang berperan sebagai
distributor listrik pedesaan telah mencapai sebanyak 890 buah dengan kemampuan distribusi
yang meliputi 2.807 desa, denganjumlah langganan sebanyak 1.199.774 rumah. Selanjutnya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 337


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dalam usaha pembinaan koperasi yang lebih berhasil dan berdaya guna, telah pula ditingkatkan
pendidikan dan keterampilan petugas pembina di lingkungan Departemen Koperasi, di samping
juga dilakukan kegiatan penelitian perkoperasian.

5.3.7. Pengadaan dana cadangan pangan


Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata,
pemerintah melakukan pengendalian penyediaan pangan sehingga tersedia dalam waktu dan
jumlah yang cukup, serta pada harga yang terjangkau oleh dana beli masyarakat. Usaha-usaha
pengendalian penyediaan pangan dilakukan melalui pengadaan dalam negeri, serta penyediaan,
penyebaran, dan penyaluran pangan ke seluruh Indonesia. Dalam melaksanakan pengendalian
kecukupan pangan pemerintah berorientasi kepada harga, yaitu dengan menetapkan harga dasar
untuk melindungi produsen dan harga eceran tertinggi untuk melindungi konsumen. Penetapan
harga dasar dimaksudkan agar para petani tidak dirugikan oleh perkembangan harga beras yang
tidak menentu, khususnya penurunan harga pada waktu panen. Dengan mantapnya harga
tersebut maka petani terdorong untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan harga eceran
tertinggi dimaksudkan untuk menjaga harga pangan di pasaran tetap stabil dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat. Penetapan harga dasar gabah sudah ditetapkan sejak tahun 1969,
kemudian menyusul harga dasar jagung dalam tahun 1977. Sedangkan penetaRan harga dasar
komoditi palawija yang lain, seperti kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, dimulai pada tahun
1979. Khusus untuk kacang tanah, Pemerintah hanya menetapkan harga dasarnya selama tiga
tahun berturut-turut, yaitu 1979/1980 hingga 1981/1982. Setelah periode tersebut, ternyata
kacang tanah telah mempunyai harga yang baik di pasaran,. sehingga pemerintah menganggap
tidak perlu lagi menetapkan harga dasarnya. Gambaran perkembangan harga dasar padi dan
gabah dapat diikuti melalui Tabel V.66.
Melihat perkembangan harga dasar padi dan gabah tersebut, tampak usaha pemerintah
untuk merangsang produksi serta meningkatkan pendapatan petani dengan cara menaikkan
harga dasar setiap tahun. Apabila pada awal Pelita IV, harga dasar gabah kering giling (GKG)
adalah sebesar Rp 165 per kilogram, maka pada tahun 1988/1989 terhitung mulai Februari 1988
telah meningkat menjadi Rp 210 per kilogram. Selanjutnya terhitung mulai 1 Januari 1989
diputuskan untuk menaikkan lagi harga dasar tersebut menjadi Rp 250 per kilogram.
Peningkatan harga dasar ini telah memberikan dampak positif pada peningkatan produksi
tanaman pangan seperti beras, jagung, dan kedelai, yang produksinya telah meningkat menjadi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 338


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sekitar 2 hingga 3 kali lipat sejak ditetapkannya harga dasar. Peningkatan produksi ini,
khususnya beras, telah membawa Indonesia dari negara pengimpor beras menjadi negara yang
berswasembada beras. Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan produksi beras tersebut dicapai
karena pengaruh peningkatan harga dasar sebesar 40 persen, sedangkan pengaruh faktor-faktor
lain, seperti peningkatan penggunaan pupuk, varitas unggul, irigasi, dan pengetahuan petani,
adalah sebesar 60 persen.

Berkaitan dengan kebijaksanaan pengadaan gabah/beras dalam tahun 1987/1988,


Pemerintah telah melakukan pengadaan gabah/beras dalam negeri sebanyak 1.416,1 ribu ton.
Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Juli) jumlah pengadaan beras telah
mencapai 1.391,5 ribu ton (lihat Tabel V.67). Dengan tersedianya beras dalam jumlah yang
cukup, maka perkembangan harga beras di pasaran umum dapat dikendalikan dalam batasbatas
kewajaran. Pengendalian harga tersebut antara lain dilakukan melalui penyebaran dan
penyaluran beras ke seluruh daerah, baik untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri dan
karyawan tertentu, maupun untuk umum melalui operasi pasar. Secara keseluruhan, beras yang
Tabel V.66
BARGA DASAR PADI DAN GABAH, 1974/1975 - 1989/1990
( dalam rupiah per kilograna )
Tahun Padi Padi Gabah Gabah Gabah
1974/1975 30 31,3 38,5 40,6 42,3
1975/1976 42 44,5 54,5 57,5 58,5
1976/1977 50 52,5 64 67,5 68,5
1977/1978 51 54 66,5 70 71
1978/1979 54 57 70,5 74 75
1979/1980 - - - - 85
1980/1981 - - - - 105
1981/1982 - - - - 120
1982/1983 - - - - 135
1983/1984 - - - - 145
1984/1985 - - - - 165
1985/1986 - - - - 175
1986/1987 - - - - 175
1987/1988 - - - - 190
1988/1989 - - - - 210,00 1)
1989/1990 - - - - 250,00 2
1) Berlaku mulai 1 Februari 1988 2) Berlaku mulai 1 Januari 1989

Departemen Keuangan Republik Indonesia 339


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.67
PENGADAAN BERAS DALAM NEGERI DAN IMPOR, 1970/1971 - 1988/1989
( dalam ribu ton )
Impor
Tahun Pembelian Jumlah
dalam negeri Bantuan Komersial
1970/1971 494 635 129 1.258
1971/1972 532 484 40 1.056
1972/1973 138 612 622 1.372
1973/1974 268 166 1.059 1.498
1974/1975 536 172 965 1.673
1975/1976 539 6 664 1.209
1976/1977 410 423 1.083 1.916
1977/1978 404 438 1.870 2.712
1978/1979 881 320 957 2.158
1979/1980 431 683 1.923 3.037
1980/1981 1.635 282 914 2.831
1981/1982 1.934 94 344 2.372
1982/1983 1.933 _1) 508 2.441
1983/1984 1.210 205 909 2.324
1984/1985 1.282 53 130 1.465
1985/1986 1.943 _1) _1) 1.943
1986/1987 1.586 _1) 41 2) 1.627
1987/19883) 1.214 _1) 792) 1.293
1988/1989 4) 1.500 _1) 1302) 1.630
]) Tidak ada Impor
2) Pengembalian pinjaman
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

disalurkan dalam tahun 1987/1988 adalah sebanyak 2.331 ribu ton atau 19 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 1.954 ribu ton. Gambaran
perkembangan harga beras eceran kualitas menengah dapat diikuti melalui Tabel V.68.
Dalam hubungan dengan pengadaan pangan ini, pemerintah terus mendorong peranan
KUD untuk ikut serta berpartisipasi dalam menggerakkan pasar desa. Selanjutnya untuk lebih
meningkatkan keterkaitan antara kebijaksanaan pangan dengan koperasi, baik di bidang
pengadaan dan penyaluran, maka sejak tanggal1 Juni 1983 kepada koperasi diberikan kredit
dengan suku bunga rendah yakni 12 persen per tahun. Sedangkan untuk memperkuat dana saing
dan membantu pemupukan modal, kepada KUD telah diberikan margin tataniaga yang lebih

Departemen Keuangan Republik Indonesia 340


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

besar dalam pengadaan gabah/beras daripada non-KUD Dalam pengadaan gabah/ beras selama
Pelita IV, KUD telah dapat mengalokasikan sekitar 70 hingga 85 persen gabah/ beras dari total
pengadaan nasional. Di samping pengadaan pangan, KUD juga diikutsertakan dalam pemasaran,
pengangkutan pangan, dan penyediaan sarana lepas panen. Dalam bidang pemasaran terutama
dengan mengikutsertakan koperasi pedagang pasar dan koperasi serba usaha dalam
menyalurkan/memasarkan bahan pokok. Selanjutnya dalam bidang pengangkutan, telah
diikutsertakan perahu-perahu layar motor (PLM) yang tergabung dalam koperasi untuk
mengantarpulaukan bahan pangan milik pemerintah.

Di samping usaha-usaha tersebut juga telah dilakukan pembinaan dengan melengkapi


sarana lepas panen yang dioperasikan oleh KUD. Dalam Pelita IV telah dilaksanakan kegiatan
pengadaan dan perbaikan sarana lepas panen, serta latihan pengoperasiannya. Kebijaksanaan ini
dimaksudkan untuk memperkecil susut lepas panen, dan pembinaan lebih lanjut terus akan
dilakukan.
Dalam rangka pembinaan KUD, usaha diarahkan kepada pengembangan KUD mandiri.
Kemandirian ini dititikberatkan kepada aspek-aspek kualitas KUD serta pertumbuhan
kemampuan dalam melaksanakan manajemen yang terbuka dan rasional di dalam pengelolaan
organisasi serta usahanya. Di samping itu juga dimaksudkan untuk menumbuhkan kemampuan
dalam menggerakkan dan memadukan pengembangan sumber-sumber dana dan kemampuan
para anggotanya untuk lebih meningkatkan produktivitas. Dengan demikian inti dari
pengembangan KUD mandiri adalah kemandirian dari anggota KUD itu sendiri. Sementara itu
untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras, pemerintah telah melaksanakan program
penganekaragaman pangan, antara lain dengan mendorong dan menggalakkan penggunaan sagu
dan jagung sebagai pendamping beras dalam menu sehari-hari. Program ini khususnya
ditekankan pada daerah-daerah yang semula memang pola konsumsinya mempergunakan bahan
pangan tersebut. Untuk menunjang program tersebut serta untuk meningkatkan mutu gizi
masyarakat, telah pula dilaksanakan pengadaan dan penyaluran palawija dan tepung terigu.

5.3.8. Kepariwisataan
Indonesia memiliki obyek-obyek wisata yang cukup potensial, yang ditunjang pula oleh
beraneka ragam adat kebudayaan, yang memungkinkan untuk menjadi suatu daerah tujuan
wisata internasional. Menyadari potensi ini, maka dalam pembangunan di bidang kepariwisataan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 341


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

citra pariwisata Indonesia terus ditingkatkan. Meningkatnya citra pariwisata Indonesia tidak saja
akan mendorong meningkatnya arus wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia, tetapi juga
akan mempercepat penyebaran kawasan wisata. Dengan demikian diharapkan kegiatan
kepariwisataan dapat menghasilkan lebih banyak devisa dan memperluas kesempatan kerja,
yang merupakan salah satu masalah nasional yang harus ditanggulangi di tahun-tahun
mendatang.
Dalam upaya meningkatkan pembangunan pariwisata, dalam Pelita IV telah dilakukan
usaha untuk mengembangkan dan memperluas daerah tujuan wisata (DTW) di luar 10 DTW
yang telah dikembangkan, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur, NTB, NIT, Maluku, dan
Sumatera Selatan. Di samping itu juga dilakukan pembinaan serta pemanfaatan kekayaan dan
keindahan alam, bangunanjmonumen peninggalan sejarah, dan obyek-obyek wisata khusus
sebagai daya tarik bagi wisatawan. Sementara itu untuk menciptakan ik!im usaha dan investasi
yang mendukung industri pariwisata, dilakukan upaya penyederhanaan perizinan dan retribusi di
bidang usaha pariwisata, yang meliputi usaha hotel, biro perjalanan, restoran, dan wisata
baharijtirta, serta memberikan kemudahan-kemudahan dalam investasi. Sedangkan pembinaan
dan pengembangan industri pariwisata dilakukanantara lain melalui peningkatan mutu, jenis,
dan nilai jual berbagai produk wisata, serta menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi
tenaga-tenaga industri pariwisata. Kemudian peningkatan volume dan frekuensi lalu lintas
wisatawan asing dilakukan melalui perluasan pasar dan pembebasan visa bagi peserta konvensi
dan wisatawan dari negara-negara potensial, serta memanfaatkan kebijaksana an angkutan dan
penambahan pintu masuk. Sedangkan untuk wisatawan domestik, khususnya bagi wisata remaja,
diberikan keringanan-keringanan, penyediaan sarana dan prasarana dengan harga yang
terjangkau, serta memantapkan sadar wisata masyarakat. Demikian pula dilaksanakan upaya
pemasaran dan promosi pariwisata secara terpadu dengan meningkatkan dan memantapkan citra
produk wisata Indonesia di pasar wisata dunia, serta meningkatkan kemampuan daya saing
produk wisata.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 342


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.68
HARGA BERAS KUALITAS MENENGAH DI BEBERAPA KOTA BESAR, 1974/1975 - 1988/1989
( dalam rupiah per kilogram)
BuIan
Kota Tahun
April Mel Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januuari Februari Maret
1974/ 1975 84,63 77,94 76,59 76,88 76,74 76,76 75,88 82,12 90,76 93,1 95,58 99,53
1975 / 1976 94,52 91,87 91,98 96,52 101,34 108,33 110,25 120,07 126,87 126,87 125,21 120,35
1976/ 1977 119,22 111,28 115,14 117,8 121,19 121,91 121,49 121,85 123,31 126,13 125,93 126,02
1977 / 1978 125,41 125,66 125,93 126,32 125,24 125 125,74 132,69 133,54 134,91 135,01 137,08
1978 / 1979 128,9 128,55 128,35 129,72 129,15 128,36 135,55 140,29 140,32 140,56 144,58 152,1
1979/ 1980 150,36 159,99 178,64 185,78 185,1 183,6 187,43 187,55 187,27 188,12 188,28 184,02
JAKARTA 1980/ 1981 182,17 185,34 184,46 184,14 183,82 186,6 208,22 213 213,41 213,94 214,74 215,42
1981 / 1982 215,88 213,88 213,88 213,28 213,56 213,56 215,5 225 224,43 228,28 234,36 232,5
1982 / 1983 230,36 230,36 230,36 230,36 230,36 232,99 233,42 242,53 253,62 270,69 268,6 261,73
1983 / 1984 259,04 285,87 285,87 285,87 286,45 288,39 288,39 292,01 300,16 321,35 322,19 318,81
1984/ 1985 289,64 289,3 289,3 292,67 300,66 309,42 357,82 365,52 365,52 365,52 367,04 328,17
1985 /1986 302,87 302,82 302,82 302,82 302,82 302,82 302,82 302,82 316,92 315,67 313,81 308,15
1986/ 1987 307,09 304,62 293,27 292,11 302,78 306,42 313,92 329,77 338,29 351,8 375,52 329,94
1987/ 1988 322,41 322,28 323,25 328,51 349,74 388,68 396,2 430,09 439,4 478,81 505,48 507,47
1988 / 1989 I) 496,86 445,44 444,38 529,5
1974 / 1975 80,46 77,99 75,32 75,4 76,75 75,37 75 79,77 88,42 87,22 90,46 93,99
1975 / 1976 86,69 80,22 85,3 93,98 95,79 102,72 107,31 127,68 127,68 125,18 124,33 120,03
1976/ 1977 109,25 109,08 117,8 123,57 124,56 125,18 125 125 125 125 125 124,42
1977 / 1978 118,03 124 126,34 127,02 126,82 125 127,11 132,64 134,11 134,79 132,5 131,79
1978 / 1979 122,15 124,6 124,42 129,48 133,88 127,72 136,53 141,84 141,6 140,79 146,41 146;92
1979 / 1980 140,21 153,46 171,7 180,53 179,33 175 179,33 180 180 182,26 180,66 180,66
BANDUNG 1980/1981 172,98 177,71 179,77 186,68 180,01 181,39 203,02 221,03 221,03 216,42 215,37 203,73
1981 / 1982 200 198,75 202,04 209,13 209,13 202,37 224,56 228,76 231,17 230,83 228,15 221,19
1982 / 1983 210,38 207,62 206,48 211,96 212,13 236,53 252 263,65 260 261 255,83 243,7
1983 / 1984 230,1 223,04 220,83 232,81 285,03 313,53 318,17 317,08 325,98 313,77 334,22 310,47
1984/ 1985 258,62 249,84 251,42 250,16 264,96 276,1 283,74 313,23 317,2 334,29 361,58 322,21
1985 / 1986 267,98 264,72 261,66 262,96 266,27 266,15 266,15 273,6 312,59 305,34 284,52 270,81
1986/ 1987 284,13 279,74 281,42 297,06 310,49 319,69 359,06 366,6 373,42 374,14 370,36 340,66
1987 / 1988 321,12 323,25 322,41 343,54 349,97 395,89 404,38 422,37 437,99 434,29 441 440,71
1988 / 1989 I) 435,35 423,35 430,34 460,38

I) Angta sementara

Tabel V.68 (lanjutan)


B ulan
Kota Tahun
April Mei Joni Joli Agostos September Oktober November Desember Jandari Februari Maret
1974/ 1975 116,56 112,1 115,92 112,01 112,01 109,69 102,95 90,79 101,32 106,95 113,78 105,2
1975 / 1976 119,29 118,79 117,99 115,58 111,26 105,23 105,23 107,5 122,38 129,13 130,16 134,59
1976/ 1977 130,2 132,28 132,86 134,53 137,85 139,66 133,62 139,1 139,04 142,44 142,73 142,5
1977 / 1978 142,34 142,34 142,13 142,1 142,23 142,23 142,26 146,47 147,23 146,36 152,65 149,71
1978/ 1979 151,6 151,83 1$2,43 152,46 147,86 141,91 145,06 151,Q4. 152,94 155,12 164,11 164,96
1979/ 1980 164,96 173,1 180,01 187,69 189,26 186,36 181,68 183,19 183,04 183,41 185,09 185,05
PALEMBANG 1980/1981 186 198,08 197,71 195 195 196,15 200 207,2 219,61 215 215 215
1981 / 1982 216,27 217,25 228 231,66 231,66 109,69 229,99 227,09 227,09 226,61 226,61 229,66
1982/1983 238,77 239,1 239,1 239,1 239,1 247,2 265,67 265,67 273,31 293,12 297,24 297,24
1983 / 1984 297,02 297 297 297 297,08 299,12 335,1 334,42 303,52 298,32 337,69 349,99
1984/1985 300,51 300,51 300,51 300,51 295,44 290,37 290,37 290,37 290,37 293,32 304,11 305,56
1985 / 1986 305,56 305,56 305,56 305,56 305,56 317,5 358,52 430 413,23 410 339,31 376,67
1986/1987 358,86 361,34 361,32 361,32 361,32 360,66 348,97 333,06 325,21 307,14 300,51 300,51
1987/1988 376,67 376,67 376,67 376,67 380,42 431,67 480 450 450 450 450 446
1988 / 1989 I) 435 425 426,67 436,67
1974 / 1975 106,25 106,25 106,25 106,25 90,33 77,61 75 79,44 101,41 97,87 95,73 92,82
1975/1976 88,58 87,82 94,42 103,39 89,92 83,06 85,05 100,88 106,13 121,67 128,2 130,14
1976/ 1977 131,47 131,25 130,39 121,21 110,28 112,91 121,95 120,58 125,53 124,7 125,32 132,43
1977 / 1978 132,25 133,2 133,75 133,2 126,58 118,75 121,92 130,2 130 131,25 131,25 131,29
1978 / 1979 132 132,45 131,69 133,77 134,05 127,08 126,68 131,25 147,76 157,33 170,46 157,34
1979/ 1980 155 158,55 168,12 173,17 175,13 179,72 178,46 185,87 184,1 182,5 186,6 187
BANJARMAS1N 1980/ 1981 201,98 214,37 206,26 209,95 205,95 205,64 205,51 205,51 206,64 206,74 208,68 209,19
1981 / 1982 209,83 211,27 216,48 220,47 221,31 221,31 221,31 221,31 232,79 239,46 242,43 242,91
1982/ 1983 242,91 242,91 242,91 242,91 242,91 242,9] 246,98 250,66 256,66 266,41 260,65 268,65
1983/1984 308,12 312,21 312,21 312,21 312,21 312,21 3]6,79 318,55 323,22 356,92 332,11 333,46
1984/ 1985 331,5 331,25 331,25 331,25 331,25 331,15 331,15 330,4 330,3 331,21 335,11 335,11
1985 / 1986 331,5 331,5 331,5 331,5 331,5 335,5 345,75 380,5 411,25 414,25 448,16 456,86
1986/ 1987 333,46 333,46 333,16 333,46 333,44 332,86 332,55 331,45 331,25 331,25 331,25 331,25
1987/1988 335,11 335,11 335,11 332,21 331,39 331,39 331,39 331,39 331,39 331,39 331,39 331,39
1988/19891) 512,41 525,19 498,41 468,75

1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 343


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tahun V.68 (Ianjutan)

B ulan
Kota Tahun
April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret
1974/1975 69 71,46 72,35 74,32 74,03 74,58 73,73 85,58 89,19 90,62 90,37 88,65
1975/1976 83,65 81,85 86,9 90,19 96,48 109,17 109,99 112,9 124,88 126,28 125,96 117,81
1976/1977 109,18 109,18 111,71 112,05 122,12 125,25 126,55 128,43 128,9 127,97 125,86 121,13
1977 11978 114,72 118,75 122,71 125,84 128,42 131,2 132,59 136,59 132,52 128,78 128,56 130
1978/1979 122,52 121,43 128,45 133,3 134,81 136,78 139,57 142,46 139,39 141,41 144,63 148,22
1979/1980 145,61 156,24 164,56 167,6 165,96 165,26 169,2 172,87 178,67 184,66 186,2 181,77
SURABAYA 1980/1981 180 184,23 185 179,83 178 182,15 204,11 212,1 212,9 212,68 212,84 206,51
1981/1982 194,76 195,8 195,23 198,13 199,46 199,19 205,2 212,72 221,48 230,72 229,34 207,71
1982/1983 200,28 201,57 208,96 209,99 211,12 247,06 253,91 257 283,23 292,36 280,98 273,1
1983 11984 257,07 252,36 252,11 255,22 262,46 268,52 274,28 277,5 279,42 320,5 290,36 283,98
1984 /1985 266,12 263,55 262,5 262,59 267,85 279,2 281,78 286,57 289,86 293,37 294,6 291,51
1985 1 1986 272,54 275 275,6 275,1 275 276,63 276,13 275,27 277,62 276,74 273,39 270,56
1986 11987 280,91 280,17 280,13 280,25 282,94 296,83 338,65 334,67 328,1 324,99 324,34 315,6
1987 1 1988 297,84 300,77 306,1 306,77 309,62 337,17 371,57 412,76 414,65 412,62 425,46 414,97
1988/19891) 402,47 394,8 425,52 440,02
1974 11975 101,55 97,88 97,76 93,6 90,6 85,18 85,6 102,17 108,07 110,17 107,55 104,2
1975 11976 141,03 115,71 114,54 116,83 125,4 128,71 133,84 132,87 133,47 129,66 199,88 116,75
1976/1977 118,2 126,25 128,25 130 125,9 125 129,19 137,77 135,2 122,12 130,42 127,28
1977 1 1978 135,16 138,76 135 137,72 139,12 139,23 140;18 144,42 144,5 143,94 134,41 133
1978/1979 128,26 130,73 134,27 146,1 144,65 144,66 145,15 154,54 161,17 162,9 156,33 150
1979/1980 150 162,5 169,08 183 181,25 184,6 185,15 189,32 190,6 190 189,64 185,31
MEDAN 1980 11981 185 197,1 198,81 198,81 205,41 202,69 206,31 223,64 225 222,53 218,15 216,58
1981/1982 213,02 212,8 212,8 211,87 210 208,98 211,38 231,57 245,5 252,54 250,63 234,51
1982 1 1983 232,69 234,32 234,62 225 222,6 220 226,1 235,16 269,35 280 280 280
1983 11984 288,4 297,83 302,31 304,59 315 363,85 338,2 315 315 310,77 303,4 300
1984 11985 300 300 300 300 298,85 290 290 298,23 339,21 334,2 328,43 310,43
1985 11986 306,71 306,71 306,71 308,61 312,46 312,46 312,46 323,48 330,56 337,14 337,59 336,56
1986/1987 332,16 331,42 331,33 331,38 332,77 347,88 390,23 383,22 383,68 386,95 384,3 376,68
1987 1 1988 373,68 373,65 373,62 383,62 384,87 405,37 431,12 438,41 438,19 438,19 438,44 438,19
1988 1 1989 1) 450 450 467,5 486,25

1) Angka sementara

Tabel V.68 (lanjutan)


B ulan
Kota Tahun
April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret
1974 / 1975 75,06 74,78 75,08 77,32 75,05 76,51 77,97 84,75 88,27 90,55 85,15 90
1975 / 1976 85,69 86,59 92,31 97,67 101,39 111,86 119,45 120,07 122,18 125,71 124,61 123,09
1976/ 1977 111,97 111,63 119,34 120 128,53 128,43 124,12 124 124 124,79 123,7 116,63
1977 / 1978 111,72 118,5 120 120 126,48 128,02 129,5 132,48 132,14 131,01 130,92 124,69
1978 / 1979 120,3 123,91 125,13 127,53 129,48 132,25 138,9 140,91 139,88 139,69 144,58 148,93
1979/1980 153,61 159,25 171,06 172,7 174,27 178,72 180,51 183,3 186,91 189,85 184,63 175,82
SEMARANG 1980/1981 175,43 179,91 180,92 180,34 179,95 185,56 208,46 216,59 2-1"7,78 218,49 215,71 199,52
1981/1982 195,52 194,17 193,68 194,85 196,61 201,64 224,18 231,7 236,56 243,94 244,16 225,59
1982/1983 207,46 196,22 199 206,04 211,93 241,63 256,96 259,86 264,96 275 271,29 267,29
1983 /1984 237,65 236,25 237,52 239,89 266,19 282,53 293,38 304,01 305,62 320,64 326,88 291,04
1984/1985 243,41 234,54 235,33 295,6 254,42 286,86 285,22 299,78 301,66 324,04 313,05 283,79
1985 /1986 261,09 266,76 265 267,36 265,15 263,42 265,41 267,85 283,3 280,48 255,97 245,9
1986/1987 264,69 265,86 270,3 272,32 281,98 305,06 362,25 365,1 364,44 361,33 345,68 290,21
1987/1988 285,76 302,39 304,91 313,16 328,98 373,02 398,28 423,36 421,38 420,84 419,16 402,65
1988/19891) 385,39 380,77 408,92 442,26
1974/1975 66,09 66,8 66,92 69,18 68,37 67,65 68,64 77,74 85,65 84,48 79,64 80,69
1975 /1976 73,37 77,12 84,81 91,16 96,02 103,44 107,48 120,15 123,19 123,68 120,58 117,2
1976/1977 107,36 108,16 115,3 117,8 124,15 125 122,78 122,5 123,64 125 123,66 114,6
1977 /1978 113,98 114,36 115,15 119,06 125,4 127,42 125 125 125 125 125 125
1978 /1979 120 120,12 121,92 125,4 124,61 127,08 133,46 135 133,95 134,52 146,41 145
1979/1980 145 157,31 178,97 167,5 167,5 167,5 169,1 172,4 172,5 172,5 172,5 172,5
YOGYAKARTA 1980/1981 172,57 176,37 178,81 180 178,3 181,31 212,96 226 227,5 229,9 226,67 199,04
1981 /1982 190,38 195,6 200 199,4 197,41 200,38 217,78 225,59 233,19 245,28 233,53 209,19
1982 /1983 183,31 189,48 191,46 197,6 202,29 247,15 217,78 225,59 233,19 291,25 289,62 274,92
1983 /1984 245,96 241,88 239,88 247,15 257,94 283,53 296,21 297,13 304,68 312,76 334,9 319,9
1984/1985 267,12 264,39 265,48 266,19 296,96 298,4 308,95 327,92 327,23 349,78 369,78 339,87
1985/1986 283,2 286,01 285,35 283,49 283,29 289,71 289 283,62 300,76 299,76 279,76 272,82
1986/1987 302,34 299,62 309,38 309,38 316,96 331,06 375,04 378,9 372,45 375,26 368,83 354,63
1987/1988 345,22 346,33 351,86 357,46 372,61 401,71 389,94 414,59 418,71 415,22 427,68 373,34
1988/1989 1) 377,56 375,75 376,41 399,09

1) Angka semen!ara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 344


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.68 (Ianjutan)

BuIan
Kota Tabun
April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jandari Jebrnari Maret
1974 / 1975 78,76 75.00 75 89,44 94,06 92,5 89,4 89,03 100 95,8 97,29 97,5
1975 / 1976 99,8 92,12 88,6 90 90 97,4 96,5 96 107,5 112,08 115 115
1976/1977 120,4 120.00 115 120 120 120 120 120,19 122,5 125 125 119,5
1977 /1978 115 115 113,46 196 110 110 110,96 117;60 126,75 125 125 119,5
1978/1979 126 127,21 125 125 125 121,45 120 123,8 125 130,77 142,39 140
1979 /1980 140.00 145,38 148,6 156,54 160,83 165 165 174,2 181 185 185 185
UJUNG PANDANG 1980 /1981 185 185 180,62 180 180 180 182,03 185 190,77 200 206,25 206,15
1981 /1982 200 200 191,54 194,07 200 200 202 206,4 220,19 230 226,04 225
1982 /1983 225 225 225 225 225 229 234,2 247,69 275,2 275,5 277,29 276,11
1983 /1984 273,6 273,69 270 270 270 270 274,4 275 285,58 298,65 299,6 294,81
1984 /1985 275 275 275 271,3 270 270 270,56 290,6 291,2 297,31 313,12 307,8
1985/1986 287,7 280 280 280 280 280 280 278,85 285,J 282,08 280 276,8
1986/1987 294,4 287,92 280 280 280 283,08 263,7 323,75 345,19 325 325 316,6
1987 / 1988 315 315 315 317,5 133,75 362 372,5 420 421,67 422,5 427,5 425
1988/1989 1) 411,25 400 400 406,25

1) Angka sementara

Perkembangan pariwisata nasional dalam Pelita IV telah memberikan gambaran yang


menggembirakan. Apabila arus wisatawan asing yang masuk ke Indonesia dalam tahun 1986
sebanyak 825.035 wisatawan, maka dalam tahun 1987 telah meningkat menjadi sebanyak
1.060.347 wisatawan atau kenaikan sebesar 28,5 persen. Melihat dari kedatangan para
wisatawan, sebagian besar datang melalui bandara Soekarno-Hatta (Jakarta) yaitu sebanyak
465.458 orang, Ngurah Rai (Denpasar) sebanyak 296.338 orang, Polonia (Medan) sebanyak
86.105 orang, Sekupang (Batam) sebanyak 145.627 orang, dan lain-lain pintu utama sebanyak
66.819 orang. Sementara itu selama semester pertama tahun 1988 jumlah wisatawan asing
melalui 3 pintu masuk utama telah mencapai 441.330 orang, yaitu melalui Jakarta sebanyak
234.260 wisatawan, Denpasar sebanyak 164.357 wisatawan, dan Medan sebanyak 42.713
wisatawan. Dengan meningkatnya arus wisatawan tersebut, maka penerimaan devisa dalam
tahun 1987 telah meningkat menjadi sebesar US $ 954,6 juta atau kenaikan sebesar 61,6 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar US $ 590,5 juta. Sedangkan
penerimaan devisa selama semester pertama 1988 telah mencapai sebesar US $ 384,5 juta.
Perkembangan bidang kepariwisataan dapat diikuti dalam Tabel V.69.

Di bidang sarana wisata telah dibangun sejumlah kamar hotel, baik melalui pem-
bangunan hotel-hotel baru maupun melalui rehabilitasi kamar-kamar yang sudah ada, dan
penambahan fasilitas-fasilitas lain seperti restoranjrumah makan, jasaboga, serta biro-biro
perjalanan. Dalam tahun 1986, kamar hotel yang tersedia pada berbagai jenis hotel adalah
sebanyak 79.262 kamar, dan dalam tahun 1987 telah mengalami peningkatan yang pesat yaitu
menjadi sebanyak 99.256 kamar. Sedangkan dalam semester pertama tahun 1988 jumlah kamar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 345


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

telah tersedia- sebanyak 91.765 kamar. Sejalan dengan itu, jumlah biro perjalanan dalam tahun
1987 telah pula meningkat menjadi sebanyak 506 buah dari sebanyak 502 buah pada tahun
sebelumnya, dan dalam semester pertama tahun 1988 telah meningkat menjadi sebanyak 654
buah. Perkembangan tersebut telah memberikan dampak positif terhadap jumlah tenaga kerja
yang tertampung dalam industri pariwisata. Apabila dalam tahun 19a6 jumlah tenaga kerja yang
tertampung dalam industri pariwisata sebanyak 254.786 orang, maka dalam tahun 1987 telah
meningkat menjadi sekitar 390.000 orang. Demikian pula dalam semester pertama tahun 1988
jumlah tenaga kerja yang tertampung dalam industri pariwisata telah meningkat menjadi sekitar
427.600 orang.

5.3.9. Penanaman modal

Dalam rangka mendorong kegiatan penanaman modal dan menyempurnakan pelayanan


kepada para investor, selama Pelita IV telah dikeluarkan serangkaian kebijaksanaan yang pada
dasamya ditujukan untuk meningkatkan arus penanaman modal di Indonesia. Diawali dengan In
pres No.5 Tahun 1984 tentang pedoman penyederhanaan dan pengendalian perizinan bidang
usaha, maka tala cara permohonan dan persetujuan serta fasilitas penanaman modal, baik untuk
penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) telah
disempumakan dan disederhanakan melalui surat keputusan badan koordinasi penanaman modal
(BKPM) No. 15 Tahun 1984, dan No.1 0 Tahun 1985. Demikian pula mengenai perizinan
daerah, seperti tatacara penyediaan tanah, pemberian hak alas tanah, pemberian izin bangunan
serta izin gangguan, telah disempurnakan melalui peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun
1984 dan No. 12 Tahun 1985.
Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan penanaman modal, maka prosedur
kelancaran arus barang juga telah ditata kembali melalui lnpres No.4 Tahun 1985. Kemudian
melalui serangkaian deregulasi dan debirokratisasi, yang diawali dengan paket 6 Mei 1986,
paket 25 Oktober 1986, paket 15 Januari 1987, paket 24 Desember 1987, paket 27 Oktober 1988,
paket 21 November 1988 dan paket 20 Desember 1988. Pemerintah terus berusaha agar iklim
usaha di Indonesia sejauh mungkin dapat lebih merangsang para investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, yang pada gilirannya dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan ekspor nonmigas, meningkatkan lapangan kerja, serta meningkatkan kegiatan
arus wisatawan ke dalam negeri. Sebagai tindak lanjut dari berbagai kebijaksanaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 346


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kebijaksanaan tersebut, di bidang perizinan penanaman modal telah dilakukan penyederhanaan


prosedur aplikasi penanaman modal, sehingga jangka waktu penyelesaian perizinan dapat
dipersingkat menjadi tidak lebih dari 6 minggu untuk PMA, dan 4 minggu untuk PMDN.
Kemudian mengenai jenis perizinan di sektor industri telah disederhanakan dari 4 buah menjadi
2 buah, yaitu izin tetap dan izin perluasan. Mengenai jangka waktu perizinannya, yang semula
dibatasi sekarang berlaku selama perusahaan tersebut masih berproduksi dan berlaku untuk
berbagaijenis komoditi industri. Demikian pula dilakukan penyederhanaan terhadap perizinan di
sektor pariwisata, khususnya perhotelan, yang semula diperlukan 33 jenis perizinan sekarang
hanya 2 izin, yaitu izin sementara usaha pariwisata (ISOP) dan izin tetap usaha pariwisata
(ITOP). Di samping itu juga dalam hat perizinan daerah telah diterapkan sistem pelayanan
tunggal yang dikoordinir oleh badan koordinasi penanaman modal daerah (BKPMD).
Sedangkan untuk kegiatan penanaman modal dalam kawasan berikat, wewenang
kepengurusannya telah dilimpahkan dari BKPM kepada pengusaha kawasan berikat. Sejak saat
itu izin usaha dan izin-izin lainnya diberikan oleh pengusaha kawasan berikat atas nama Menteri
yang bersangkutan.
Tab e l V.69
PERKEMBANGAN DI BIDANG PARIWISATA, 1969 - 1988
Tahun Wisatawan Kamar hotel Biro perjalanan devisa Tenaga kerja
( orang) ( kamar) (buah) (juta US $ ) ( orang)
1969 86.100 2.972 297 10,8 7.233
1970 123.319 3.390 359 16,2 8.278
1971 178.7Sl 3.671 545' 22,6 10.048
1972 221.178 4.850 242 27,6 -1)
1973 270.303 5.510 253 40,9 -1)
1974 313.452 11.000 414 54,4 48.300
1975 366.293 12.766 437 62,3 53.960
1976 401.237 21.925 453 70,6 -1)
1977 433.393 42.356 464 81,3 -1)
1978 468.614 42.575 467 94,3 -1)
1979 501.430 31.406 295 250,7 86.398
1980 561.178 34.300 330 289 94.360
1981 600.151 38.308 409 309,1 112.156
1982. 592.046 38.627 426 358,8 113.928
1983 638.855 38.627 436 439,5 113.928
1984 700.910 .79.262 449 519,7 165.321
1985 749.351 79.262 452 2) 525,3 165.321
1986 825.035 79.262 502 590,5 254.786
1987 1.060.347 99.256 506 954,6 390.000
1988 3) 549.508 91.765 654 384,5 427.607
1) Data tidak tersedia
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara s/d bulan Juni

Departemen Keuangan Republik Indonesia 347


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu dengan telah diberlakukannya Kepres No. 15 Tahun 1987 mengenai
penyempumaan daftar skala prioritas (DSP), maka bidang-bidang usaha yang terbuka untuk
PMA juga terbuka untuk PMDN dan patungan antara non-PMA/PMDN. Sedangkan bidang-
bidang usaha yang tidak terbuka bagi PMA dan hanya terbuka bagi PMDN dan non-PMA/
PMDN, dapat dibuka untuk PMA apabila pada saat pembentukan perusahaan PMA tersebut
mengikutsertakan koperasi sebagai pemegang saham minimal sebanyak 20 persen. Selanjutnya
bagi seluruh bidang usaha yang tertutup dalam DSP, dapat dibuka dalam rangka PMA/PMDN
maupun non-PMAjPMDN apabila sebagian besar dari hasil produksinya yaitu sebanyak 65
persen diekspor. Mengenai bidang-bidang usaha yang hanya terbuka bagi non-PMAjPMDN,
dapat dibuka bagi PMDN apabila dalam PMDN tersebut diikutsertakan saham koperasi minimal
sebanyak 20 persen atau sahamnya go-public sebanyak 20 persen. Khusus untuk penanaman
modal yang akan bergerak dalam sektor perkebunan kelapa sawit, diharuskan mengikuti pola
perkebunan inti rakyat (PIR) dan dapat dimulai dengan perbandingan usaha antara kebun inti
dan kebun plasma sebesar 40 dibanding 60, dan secara bertahap dalam jangka 10 tahun menjadi
20 dibanding 80. Demikian pula bagi penanaman modal yang akan bergerak dalam bidang
budidaya udang diharuskan mengikuti pola tambak inti rakyat (TIR).

Dalam rangka untuk lebih memberikan ketenangan bagi para investor yang melakukan
usaha di Indonesia, maka izin operasi PMA yang semula diberikan selama 30 tahun, kini dapat
diperpanjang selama 30 tahun lagi apabila perusahaan PMA tersebut meningkatkan
permodalannya dalam rangka perluasan. Demikian pula terhadap pemilikan saham nasional
pada perusahaan patungan, juga telah dipermudah persyaratannya. Semula penyertaan saham
nasional pada perusahaan PMA sekurang-kuranga 20 persen dan dalam jangka waktu 10 tahun
harus ditingkatkan menjadi 51 persen, dengan kemungkinan perpanjangan waktu sampai dengan
15 tahun. Kebijaksanaan tersebut sekarang dipertegas dengan pemberian kawasan berikat dan
sebagai pengekspor 100 persen hasil industrinya dapat didirikan dengan penyertaaan saham
nasional sebesar 5 persen. Kemudian bagi perusahaan PMA yang nilai investasinya sebesar US
$ 10 juta, atau berlokasi di daerah tertentu, atau yang mengekspor . sebesar 65 persen dari hasil
produksinya, maka usahanya dapat didirikan dengan penyertaan saham nasional sekurang-
kurangnya sebesar 5 persen, dan untuk selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi 20 persen dalam
jangka waktu 10 tahun, dan kemudian harus menjadi 51 persen dalam jangka waktu 15 tahun
atau selambat-Iambatnya dalam jangka waktu 20 tahun. Di samping hal-hal tersebut, terhadap

Departemen Keuangan Republik Indonesia 348


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

perusahaan PMA yang seluruh hasil produksinya untuk ekspor atau bidang-bidang usaha seperti
jasa konsuItasi dan perekayasaan, yang semula investasinya harus sekurang-kurangnya senilai
US $ 1 juta, telah diizinkan menanamkan investasi/modalnya di bawah US $ 1 juta. Sedangkan
dalam hal perlakuan pemerintah terhadap para investor, perusahaan PMA akan mendapat
perlakuan yang sama dengan perusahaan PMDN apabila minimal 51 persen sahamnya dimiliki
saham nasional, atau 45 persen sahamnya dimiliki saham nasional dengan syarat 20 persen dari
jumlah seluruh saham dijual melalui pasar modal.

Dalam pada itu untuk lebih menambah daya tarik para investor dan sekaligus dapat
menimbulkan manfaat ekonomi dan sosial yang besar, maka terhadap PMA yang menanamkan
modalnya di luar perusahaan, antara lain telah diberikan keleluasaan untuk memperluas
usahanya. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, bagi PMA tersebut dapat mengadakan
reinvestasi labanya dalam perusahaan PMA itu sendiri. Apabila bidang usaha yang dilakukan
oleh PMA tersebut dalam DSP sudah tertutup bagi modal asing, maka sesuai dengan
kebijaksanaan baru, laba usahanya dapat diinvestasikan dengan cara membeli saham PMDN dan
non PMA/PMDN yang telah ada di Indonesia dengan ketentuan tidak boleh melebihi 80 persen
dari modal sahamnya. Sedangkan bagi perusahaan PMDN atau non-PMA/PMDN yang telah
terbeli sahamnya oleh perusahaan PMA, statusnya berubah menjadi PMA dan harus tunduk
pada undang-undang No.1 Tahun 1967. Di samping masih banyak fasilitas/keleluasaan yang
lain, maka bagi perusahaan asing yang telah memenuhi persyaratan juga diizinkan mendirikan
kantor perwakilan wilayah perusahaaan untuk mengurus kepentingan perusahaan atau
perusahaan- perusahaan di suatu wilayah yang mencakup beberapa negara di samping di
wilayah Indonesia sendiri.

Berkembangnya investasi dalam rangka penanaman modal juga dipengaruhi oleh


adanya berbagai perangsang yang disediakan pemerintah berupa fasilitas bebas pajak ataupun
fasilitas keringanan pajak, walaupun masa pemberian fasilitas tersebut hanya bersifat terbatas.
Berkenaan dengan hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan, antara
lain berupa pemberian pembebasan/keringanan bea masuk terhadap barangbarang tertentu dan
penyempurnaan klasifikasi barang pos tarip tertentu pada buku tarip bea masuk Indonesia tahun
1985. Di samping itu telah dikeluarkanpula berbagai penyempumaan/ penyederhanaan
ketentuan di bidang impor, pemberian fasilitas swap, serta penangguhan pajak pertambahan
nilai (PPN) untuk bidang jasa nonkonstruksi selama 5 tahun yang pajak pertambahan nilai (PPN)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 349


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

untuk bidang jasa nonkonstruksi selama 5 tahunyang kemudian bisa dibayar bertahap secara
cicilan. Diharapkan dengan berbagai kebijaksanaan tersebut ketimpangan dalam kegiatan
investasi dapat diperkecil dan sebaliknya tahap pembangunan yang mantap dan merata dapat
segera terwujud.

5.3.9.1. Penanaman modal dalam dalam negeri

Pemanfaatan modal swasta nasional untuk penunjang pembangunan ekonomi telah


berlangsung sejak berlakunya undang-undang No.6 Tahun 1968. Dalam perkembangannya
selama lima tahun terahkir ini telah terjalin hubungan yang serasi dan saling menunjang antara
pengusaha besar dan pengusaha kecil, termasuk koperasi. Dari tahun 1968 sampai dengan akhir
tahun 1987/1988, tercatat sebanyak 4.350 proyek PMDN dengan nilai reneana investasi sebesar
Rp 49.940,4 milyar yang telah mendapat persetujuan pemerintah. Dari seluruhjumlah proyek
yang telah disetujui tersebut, sebagian telah memasuki tahap berproduksi, sebagian lagi masih
dalam tahap persiapan dan percobaan, serta sebagian lagi yang telah melakukan kegiatan
perluasaan sebagai langkah untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Selanjutnya dalam
tahun 1988/1989 sampai dengan bulan Agustus 1988, telah diberikan persetujuan pemerintah
kepada 314 proyek yang meliputi nilai rencana investasi sebesar Rp 4.843,0 milyar. Dengan
demikian dari sejak tahun 1968 sampai dengan bulan Agustus 1988, telah diberikan persetujuan
kepada sebanyak 4.664 proyek, yang meliputi nilai rencana investasi sebesar Rp 54.783,4 milyar.
Proyek-proyek tersebut mencakup berbagai sektor usaha yang tersebar di berbagai daerah
diseluruh wilayah Indonesia.
Seperti terlihat dalam Tabel V.70, sektor usaha perindustrian menduduki tempat yang
tertinggi dalam menyerap kegiatan investasi tersebut. Dari tahun 1968 sampai dengan akhir
tahun 1987/1988, usaha industri mencakup sebanyak 2.872 proyek, atau 66,02 persen dari
seluruh penanaman modal yang telah mendapat persetujuan pemerintah. Nilai reneana
investasinya adalah sebesar Rp 32.994,2 milyar atau 66,06 persen dari seluruh nilai investasi.
Ditinjau dari hasil produksinya telah terjadi pergeseran dalam proyek-proyek industri yang
diminati oleh para investor, yaitu apabila sampai pada akhir Pelita III yang paling banyak
diminati adalah industri semen dan barang logam, maka dalam Pelita IV telah bergeser ke
industri kimia dasar daD pertanian. Selanjutnya apabila dilihat dari lokasi proyek, meskipun
pulau Jawa tetap sebagai favorit investor untuk menanamkan modalnya, sesuai dengan jumlah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 350


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dan luasnya pasar, jumlah penduduk serta tenaga kerja yang tersedia, dalam Pelita IV
penyebaran lokasi/daerah proyek sudah mulai mengarah ke beberapa daerah diIuar pulau Jawa.
Hal tersebut sejalan dengan upaya pemerintah dalam merangsang penyebaran lokasi proyek
melalui penyediaan saran a dan prasarana perhubungan yang lebih mamadai, pembukaan lokasi
baru yang dikaitkan dengan transmigrasi, serta kemudahan-kemudahan yang diberikan seeara
khusus kepada proyek-proyek yang didirikan di luar pulau Jawa. Dengan melihat lokasinya, dari
reneana investasi sebesar Rp 12.199,0 milyar dalam tahun 1987/1988, Jawa Barat paling banyak
diminati investor dengan nilai investasi sebesar Rp 4.154,05 milyar, kemudian DKI Jaya dengan
nilai investasi sebesar Rp 913,30 milyar, dan Irian Jaya dengan nilai investasi sebesar Rp 855,24
milyar. Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988), lokasi proyek
yang paling banyak tetap terdapat di Jawa Barat dengan rencana investasi sebesar Rp 2.099,25
milyar, menyusul Jawa Timur dan DKI Jakarta dengan nilai investasi masing-masing sebesar Rp
353,31 milyar dan Rp 242,36 milyar. Perkembangan )ebih terinci mengenai proyek-proyek
penanaman modal dalam negeri yang telah disetujui pemerintah menurut lokasi usaha dapat
diikuti dalam Tabel V.71.

Tab e I V.70
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT BIDANG USAHA, 1968 - 1988/1989
( s.d Agustus 1988 )
1984/1985 I) 1985/1986 I) 1986/1987 I) 1987/1988 I) 1988/1989 I) 11968-1988/1989 2)
No. Bidang Usalaa Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi REKAPITIJLASI
Proyek (Rp Jnta) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp. MUyar)
1. Pertanian 24 249.134 56 580.059 90 2.298.861 66 1.285.038 26 573.250 356 6.229,50
2. Kehutanan 2 5.389 4 22.375 8 42.036 9 679.094 3 237.027 325 2.217,20
3. Perikanan 7 56.148 29 221.177 43 225.608 71 435.133 30 209.627 214 1.425,90
4. Pertambangan 7 14.986 10 57.256 15 126.074 19 229.354 7 27.309 84 1.790,20
5. Perindustrian 169 1. 764.696 178 1.960.830 251 2.277.401 418 8.275.509 208 2.842.219 3.080 35.836,40
6. Konstruksi 11 85.616 17 135.272 8 71.160 3 70.059 2 3.723 60 648,6
7. Perumahan/Real Estate 10 93.016 19 261.526 20 250.941 16 214.552 8 667.053 133 2.181,20
8. Perhotelan 19 325.806 13 164.771 13 44.103 17 277.201 10 174.932 176 1.798,20
9. Pengangkutan 3 7.589 7 83.497 16 157.082 18 383.650 12 78.135 144 1.233,20
10. Perdagangan daD Jasa 7 27.300 12 231.595 33 194.330 33 349.439 8 29.747 92 1.423,20
JUMLAH 259 2.629.680 345 3.718.358 497 5.687.596 670 12.199.029 314 4.843.022 4.664 54.783,40

I) Proyek baru daD perluasan.


2) Jumlab proyek daD investasi berasal dari proyek baru, perluasan, perubaban, alib status daD yang dibatalkan/mengundurkan diri.

5.3.9.2. Penanaman modal asing

Keikutsertaan pihak swasta asing dalam kegiatan investasi di Indonesia adalah


merupakan pelengkap dalam kegiatan investasi yang diperlukan, sebagai sarana dalam proses
percepatan pembangunan ekonomi. Unsur pelengkap pada hakekatnya dimaksudkan bahwa
diundangnya pihak swasta asing untuk turut serta dalam kegiatan investasi tersebut adalah untuk
mengisi sektor-sektor yang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak swasta nalsional,
karena masalah teknologi, manajemen, ataupun permodalan. Di samping itu diikutsertakannya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 351


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pihak swasta asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia juga dimaksudkan sebagai langkah
langsung atau tidak langsung untuk lebih menumbuhkan atau meningkatkan kehidupan dunia
usaha di Indonesia. .

Sejak ditetapkannya undang-undang No.1 Tahun 1967, permohonan penanaman modal


asing (PMA) yang telah disetujui pemerintah sampai dengan akhir tahun 1987/1988 adalah
sebanyak 959 proyek, dengan nilai rencana investasi sebesar US $ 18.829,5 juta. Jumlah
tersebut termasuk proyek-proyek baru dan perluasan, akan tetapi tidak termasuk proyek-proyek
yang dicabut atau dibatalkan izin usahanya karena pengalihan usaha dari PMA menjadi PMDN,
likuidasi perusahaan, pengunduran diri, atau karena kesulitan-kesulitan lain. Selanjutnya dalam
tahun 1988/1989, sampai dengan bulan Agustus 1988 telah diberikan lagi persetujuan
pemerintah kepada 59 proyek yang meliputi nilai rencana investasi sebesar US $ 1.875,1 juta.
Tidak berbeda dengan kegiatan investasi yang diselenggarakan dalam rangka PMDN,
sektor industri juga merupakan sektor usaha yang paling menarik bagi kegiatan investasi yang
diselenggarakan dalam rangka PMA. Sejak tahun 1967 sampai dengan akhir 1987/1988, di
sektor industri terdapat sebanyak 547 proyek telah disetujui pemerintah dengan rencana
investasi sebesar US $ 14.101,5 juta, yang berarti 57,04 persen dari seluruh proyek PMA yang
disetujui, atau sebesar 74,89 persen dari seluruh rencana investasinya berada pada sektor
industri. Urutan berikutnya yang diminati oleh investor asing adalah sektor pertambangan dan
sektor jasa konstruksi. Gambaran yang lebih terinci mengenai proyek-proyek dalam rangka
PMA yang telah disetujui pemerintah menurut sektor usaha sampai dengan bulan Agustus 1988
dapat diikuti dalam Tabel V.72.
Sementara itu kalau dilihat lokasi proyeknya maka pulau Jawa tetap merupakan lokasi yang
paling diminati, sebagaimana halnya dengan proyek-proyek PMDN. Sejak diundangkannya
undang-undang'No. 1 Tahun 1967 sampai dengan akhir tahun 1987/1988, proyek-proyek dalam
rangka PMA paling banyak berlokasi di DKI Jakarta, yaitu meliputi 310 buah proyek dengan
nilai investasi sebesar US $ 4.201,1 juta. Selanjutnya adalah di daerah Jawa Barat dengan
sebanyak 249 buah proyek dan jumlah investasisebesar US $ 6.003,1 juta (secara terinci lihat
dalam Tabel V.73). Sedangkan menurut negara asal investor, dalam periode yang sama temyata
Jepang tetap yang paling banyak menanamkan modalnya di Indonesia, baik ditinjau dari jumlah
proyeknya maupun nilai investasinya. Gambaran yang lebih terinci mengenai perkembangan
PMA menurut negara asal dapat dilihat dalam Tabel V.74.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 352


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.71
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT LOKASI USAHA, 1968 - 1988/1989
( s/d Agustus 1988 )
1984/1985 1) 1985/1986 1) 1986/1987 1) 1987/1988 1) 1988/1989 1) 1968 - 1988/1989 Z)
No. Lokasl Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi REKAPITULASI
Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta) Preyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta)
1. DKI Jakarta 37 616.718 61 615.178 63 414.304 57 913.300 22 242.360 744 6.673,80
2. Jawa Barat 65 713.947 85 987.586 131 1.490.500 194 4.154.054 122 2.099.257 1.210 17.851,10
3. Jawa Tengah 20 141.805 24 328.644 28 148.337 43 782.569 16 331.947 372 3.728,00
4. OJ. Yogyakarta 3 3.884 7 35.781 10 50.330 17 78.895 6 27.190 75 253,4
5. Jawa Timur 32 506.006 46 394.222 63 395.825 57 672.896 36 353.315 611 5.225,50
6. OJ. Aceh 3 20.658 3 59.496 8 100.558 11 45.356 7 118.952 59 1.200,60
7. Sumatera Utara 12 146.845 13 152.407 31 389.898 27 362.089 20 210.331 229 2.956,70
8. Sumatera Barat 7 26.855 4 67.316 12 58.296 7 49.195 4 107.773 87 766,5
9. Ria u 15 95.422 17 165.751 20 760.841 29 503.311 9 230.006 141 2.522,30
10. Jam b i 4 15.718 2 23.585 7 459.923 8 328.217 3 119.641 53 1.071,80
11. Bengkulu 3 30.381 5 45.124 4 55.198 8 82.384 1 19.720 23 264,5
12. Lampung 5 27.887 10 83.554 8 131.004 20 284.188 3 146.851 92 1.002,10
13. Sumatera Se1atan 6 29.990 7 73.011 17 99.963 34 533.108 11 47.286 140 1.764,30
14. Kalimantan Barat 6 21.808 7 22.898 11 213.590 22 693.286 11 160.352 140 1.468,00
15. Kalimantan Timur 6 64.244 9 508.255 16 422.253 21 438.560 4 230.526 183 2.657,60
16. Kalimantan Tengah 3 6.858 1 3.870 2 26.990 3 23.538 3 16.422 79 265,5
17. Kalimantan Selatan 3 7.347 4 25.184 11 61.239 17 128.161 2 56.816 80 609,4
18. Sulawesi Utara 1 2.673 4 16.459 3 93.876 11 119.816 3 37.311 51 448,8
19. Sulawesi Tengah 1 1.190 3 14.264 5 15.089 16 273.378 1 14.783 47 492,7
20. Sulawesi Tenggara - 1 1.140 1 16.024 - - - 9 504,7
21. Sulawesi Selatan 11 86.925 12 22.080 15 180.594 18 65.067 9 59.642 120 736,4
22. M a I u k u 2 3.369 2 2.209 4 21.786 9 51.947 7 23.650 62 372,9
23. B a I i 5 11.694 4 17.606 10 25.597 11 165.977 8 47.469 63 495,8
24. Nusa Tenggara Barat 3 19.282 9 39.986 8 20.266 6 33.888 1 475 29 115,9
25. Nusa Tenggara Timur 2 3.642 4 9.636 4 5.572 11 29.418 4 7.493 27 86,1
26. Irian Jaya 3 24.532 1 3.116 4 28.489 13 855.243 1 132.945 44 1.347,00
27. Timor Timur - - - - 1 1.241 1 1.060 0 0 2 2,3
Jumlah 258 2.629.680 345 3.718.358 4973) 5.687.596 671 3) 12.199.029 314 4.843.022 4.770 54.783,40

1) Proyek baru dan perluasan.


2) Jumlah proyek daD in.eslasi berasa. dari proyek barn, perluasan, perubahan. alih slalus dan yang dibalalkan/mengundurkan diri.
3) ,Terdapal 1 proyek di beberapa lokasi.

Tabel V.72
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL ASING YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT BIDANG USAHA, 1967 - 1988/1989
( s/d Agustus 1988 )
1984/1985 1) 1985/1986 1) 1986/1987 1) 1987/1988 1) 1988/1989 1) 1967 - 1988/1989 2)
No. Bidang Usaba
Jnmlab Investasi Jnmlab Investasi Jumlab Investasi Jumlab Investasi Jnmlab Investasi REKAPITULASI
Proyek (US$. Juts) Proyek (US$. Jnts) Proyek (US$. Juts) Proyek (US$. Juts) Proyek (US$. Jnts) Proyek (US$. Juts)
I. Pertanian 1 3,6 6 9,2 15 132,7 2 119,9 h 1,1 57 441,5
2. Kehutanan - - - - 2 2,1 0 3,6 3 22,3 31 420,2
3. Perikanan 2 25,8 2 11,1 3 8,2 4 91,9 9 74,5 28 158,9
4. Pertambangan 7 - '- 41 - 60 0 0 0 119 1.539,90
5. Perindustrian 55 1.145,60 49 653,1 66 616,2 60 2.194,00 32 1.744,70 579 15.845,60
6. Konstruksi 5 23,6 16 153 11 65,8 3 4,3 4 1,9 95 412,5
7. Peru mahan/Real Estate - - - - 0 0 2 15,5 28 528,5
8. Perhotelan 2 84 - - - - 10 355 3 47,1 30 793,7
9. Pengangkutan 1 4,2 - - 2 70 1 213 1 2,5 12 398,3
10. Perdagangan don Jasa - - 1 28,8 11 65,1 14 87,2 4 6,1 39 165,5
JUMLAH 73 1.286,80 74 855,2 151 960,1 155 3.068,90 59 1.875,10 1.018 20.704,60
1) Proyek barn don perluasan.
2) Jumlah proyek don investasi berasal dan proyek barn, perluasan, peru bahan, alih status don yang dibatalkan/mengundurkan diri.

5.4. Hasil pembangunan bidang sosial


5.4.1. Pendidikan, kebudayaan, penelitian dan pengembangan teknologi

Prioritas pembangunan di sektor pendidikan dan kebudayaan dimaksudkan untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 353


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang modern, namun tetap berlandaskan
pada kepribadian bangsa Indonesia. Untuk itu selama Pelita IV pembangunan di sektor
pendidikan diwujudkan dalam kegiatan yang mengarah pada peningkatan kecerdasan dan
keterampilan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, budi pekerti, kepribadian, serta
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air bagi seluruh bangsa. Oleh karena
masalah pendidikan juga merupakan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, maka selain
dilaksanakan di sekolah, pendidikan juga dilakukan dalam lingkungan keluarga serta
masyarakat. Diharapkan pada gilirannya setiap anggota masyarakat dapat belajar menguasai
ilmu pengetahuan, teknologi, berbagai keahlian dan kemahiran, serta berkarya secara mandiri
bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Sementara itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembangunan nasional,
pengembangan kebudayaan diarahkan untuk memantapkan identitas bangsa serta meningkatkan
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Hal ini diperlukan dalam rangka
memperkuat kepribadian, memperkokoh jiwa kesatuan dan persatuan, serta mempertebal rasa
harga diri dan kebanggaan nasional. Guna menjamin terwujudnya sasaran tersebut, dalam Pelita
IV telah dilaksanakan berbagai langkah dan kebijaksanaan yang meliputi program
kepurbakalaan, kesejarahan dan permusiuman, pengembangan seni budaya, program
kebahasaan, kesusasteraan, perbukuan dan perpustakaan, program inventarisasi kebudayaan,
serta program pembinaan penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam rangka menunjang pembangunan jangka panjang, peranan ilmu pengetahuan, teknologi
dan penelitian, sebagai salah satu kunci pokok keberhasilan pembangunan, juga makin
ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah nasional bagi tercapainyaa
keseimbangan antara sektor pertanian dan industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat
sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan. Agar pertumbuhan ilmu dan teknologi
dapat berjalan dengan lancar dan searah dengan prioritas pembangunan, maka segala usaha
diarahkan untuk menanggulangi trikendala riset dan teknologi nasional, yaitu keterbatasan pada
kualitas, kuantitas tenaga ahli dan peneliti, keterbatasan pada prasarana dan sarana, serta
keterbatasan pada dana. Untuk itu kebijaksanaan riset dan teknologi (Ristek) dalam Pelita IV
diarahkan kepada berbagai program/ proyek riset dan teknologi yang langsung dapat menunjang
pemecahan masalah-masalah pembangunan, antara lain dengan meningkatkan jumlah, mutu
tenaga riset dan teknologi, prasarana dan sarana riset dan teknologi, serta penerapan teknologi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 354


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tepat guna. Pelaksanaannya dituangkan ke dalam 5 program utama nasional (Punas) Ristek yang
meliputi sektor kebutuhan dasar manusia, sumber alam dan energi, industrialisasi, pertahanan
dan keamanan, sosial ekonomi, dan budaya, falsafah, serta hukum dan perundang-undangan.

5.4.1.1. Pendidikan formal dan nonformal


Kebijaksanaan peningkatan mutu pendidikan pada pendidikan formal dan nonformal
selama Pelita IV diarahkan pada usaha mewujudkan kemampuan dan kesiapan warga dalam
menghadapi masa de pan sesuai dengan tantangan dan harapan lingkungan, termasuk kehidupan
yang semakin kompleks dengan adanya kemajuan iImu dan perkembangan teknologi. Setiap
jenis dan jenjang pendidikan diintegrasikan kepada pendidikan yang membiasakan berfikir tertib,
dengan tetap menginterpretasikan makna hidup dan meningkatkan martabat manusia.
Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan di dalam dan di luar sekolah pada tingkat
pendidikan dasar, dilakukan dalam rangka melaksanakan program wajib belajar. Usaha tersebut termasuk
pula penjangkauan kelompok-kelompok masyarakat yang kurang mampu, cacat, ataupun yang bertempat
tinggal di daerah terpencil dan kurang mendapat fasilitas pendidikan yang tersedia. Sedangkan perluasan
kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah dilakukan dengan meningkatkan daya tampung
sekolah menengah tingkat pertama (SMTP) dan di berbagai kegiatan pendidikan luar sekolah, serta
meningkatkan partisipasi perguruan swasta pada umumnya. Selanjutnya pembina an terhadap anak
berbakat tetapi kurang mampu antara lain dilakukan melalui pemberian beasiswa pada murid sekolah
negeri dan swasta. Usaha tersebut diarahkan pada pengembangan bakat atau keunggulan mereka, agar
lebih dapat berguna bagi diri sendiri dan masyarakat.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 355


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.73
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL ASING YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT LOKASI USAHA, 1967 - 1988/1989
( s/d Agustus 1988 )
1984/1985 1) 1985/1986 1) 198611987 1) 1987/1988 1) 198811989 1) 1967 - 198811989 2)
No. L o k a s i Jumlah Investasi Jumlah Investasi Jnmlah Iuvestasi Jumlah Investasi Jumlah Investasi REKAPITULASI
Proyek (Rp Jnla) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Jnla) Proyek (Rp Jnla) Proyek (Rp Juta) Proyek (Rp Juta)

1. DKI Jakarta 30 325,7 31 233,1 39 260,2 29 489,7 14 98,1 324 4.299,20


2. Jawa Barat 25 835 24 468,7 39 539,8 36 1.039,90 20 591,9 269 6.595,00
3. Jawa Tengah - - I 1 2 57,1 3 37,5 I 12 30 455,1
4. D.I. Yogyakarta - - - - - - - - I- - - -
5. Jawa Timur 4 65,9 5 58,4 10 30 11 185,1 4 34,8 83 1.246,30
6. D.I. Aceh - - I 9,3 7 7,5 I 916 - - 11 640,7
7. Sumatera Vtara I - 2 8,8 10 37,2 3 109,1 I 28 41 2.620,40
8. Sumalera Baral 3 8,5 2 1,4 4 12 3 5,1 - - 10 35,7
9. Ria u 4 22,3 4 58 2 1,3 3 24 4 353,3 26 558,5
10. Jam b i - - - - I - 3 - - - 5 23,8
II. Bengkulu - - - - - I 3 - - - - -
12. Lampung I 3,6 I 2,3 I - 2 2 - - 9 76,5
13. Sumatera Selatan - - - - 4 1,1 3 2,1 - - 17 967,7
14. Kalimantan Baral 2 - - - 4 - 12 - I 24,3 24 63,6
IS. Kalimanlan Timur I - I 11 2 2,2 12 5,8 I 5,9 34 287,5
16. Kalimanlan Tengah 2 - - - 7 1,1 9 8 I 8,4 33 160,4
17. Kalimantan Selalan I 11,9 - - I 2,4 5 8,1 I 2,1 IS 84,7
18. Sulawesi Vtara - - - - 2 - 6 25 - - 10 102,7
19. Sulawesi Tengah - - - - I - 3 - 2 24,3 6 25,3
20. Sulawesi Tenggara - - - - - - 2 6,6 2 13 5 34,4
21. Sulawesi Selalan - - - - I 1,2 I 1 - - 14 1.233,20
22. M a I u k u - - - - 4 - - - - - 8 12,4
23. B a I i - - - - - - 7 199,9 5 12,1 18 309,8
24. Nusa Tenggara Barat - - - - 2 - - - - - - -
25. Nusa Tenggara Timur - - I 1,8 3 7,1 2 0,8 - - 7 17,5
26. Irian 'Iaya I 13,9 I 2,2 I - 3 3,2 2 667 19 954,1
27. Timor Timur
Jnmlah 75 1.286,80 74 855,1 151 960,1 155 3.068,90 59 1.875,10 1.059 20.704,60

1) Proyek baru dan perluasan


2) Jumlah proyek daD investasi berasal dan proyek barn, perluasan, peru bahan, alih status dan yang dibatalkan/mengundurkan diri.

Tabel V.74
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL ASING YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT NEGARA ASAL, 1967 - 1988/1989
( s/d Agustus 1988 )
1984/1985 I) 1985/1986 I) 1986/1987 t) 1987/1988 I) 1988/1989 t) 1967 - 1988/1989 2)
No. Bidaog Usaha Jomlah Investasi Jomlah Investasi Jomlah Investasi Jomlah Investasi Jomlah Investasi REKAPlTULASI
Proyek (US$. Jota) Proyek (US$. Jota) Proyek (US$. Jota) Proyek (US$. Jola) J"°yek (US$. Jota) Proyek (US$. Jola)

I. Amerika Serikat 9 94.8 14 138,8 15 157,2 8 59,3 3 669,3 95 1.911,70


2. Kanada - - - - - 4 6,9 - 8 26,7
3. Jepang 21 140,5 20 176,2 24 36,5 25 552,5 9 126,8 238 6.103,80
4. Korea Selatan 1 9,9 2 48,7 1 12 9 54,2 6 38,3 31 285,3
5. Hongkong 10 656,7 4 49,8 5 10,2 14 260,6 4 66 120 2.265,40
6. Taiwan - - 1 18,5 5 267,1 7 632,6 14 419,5
7. Singapore 1 4,2 - - 12 89,9 3 9,4 12 62,5 44 435
8. Malaysia - - 1 2,5 1 1 8 10 35,5
9.. Philipina 1 0,2 1 2,8 2 1 2,8 5 12,9
10. India 1 1,3 1 190 - - - - - 11 186,6
11. Australia 2 18,9 3 26,1 27 25,5 42 45,7 3 2 92 282,2
12. Belgia 1 - 1 4,6 ] 5,8 - 12 89,5
13. Denmark - - - - 2 3,2 - 7 76,4
14. Peraneis 5 11,4 5 37,8 2 6,2 2 44,3 2 6,2 18 200,5
15. Belanda 8 42,3 3 5 10 40,6 7 358,4 2 5,7 63 1.325,70
16. Jerman Barat 5 31 3 81,2 4 18,3 8 1.279,10 2 3 42 1.818,00
17. Inggris 5 154,1 8 21,6 13 48,4 14 61,7 3 29,6 78 468,2
18. Swiss 3 75,2 - 2 1,5 - - 2 17,5 16 186,5
19. Panama - - 4 28,6 0 6,5 - 19 204
20. Thailand - - - - - - - 4 35,8
21. Gabungan Negara 2 46,3 4 14 18 43,1 7 29,2 3 191 71 3.268,50
22. Negara lainnya - - 5 48,5 9 110,1 2 21,2 1 24,6 20 1.066,50
JUMLAH 75 1.286,80 74 855,1 151 960,1 155 3.068,90 59 1.875,10 1.018 20.704,60
1) Proyek barn dan perluasan.
2) Jumlah proyek dan investasi berasal dart proyek barn, perluasan, peru bahan, alih status dan yang dibatalkan/mengundurkan diri.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 356


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Untuk lebih memantapkan dan meningkatkan mutu pendidikan, serta memperluas


kesempatan pendidikan, telah diusahakan pembangunan gedung-gedung sekolah baru dengan
memperhatikan lokasi penyebarannya, serta pembangunan ruang perpustakaan, ruang
keterampilan, dan latihan praktek. Di samping itu juga melalui pengadaan buku pelajaran, buku
bacaan, dan alat-alat peraga, serta pemeliharaan seluruh prasarana dan sarana pendidikan.
Sedangkan dalam usaha meningkatkan pemerataan pendidikan antardaerah, serta untuk
menyerasikan penyebaran penduduk dan tenaga kerja, diberikan perhatian khusus kepada
peningkatan sarana pendidikan pada kota-kota sedang/kecil lainnya. Mengenai pendidikan
kejuruan dan keterampilan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, telah dikembangkan
mekanisme yang menggerakkan usaha pendidikan kejuruan dan keterampilan dalam suatu
sistem yang utuh dan mantap, agar terdapat kesinambungan antara sector pendidikan dan
kepentingan sektor yang memerlukannya yaitu sektor usaha/kerja. Berbagai jenis pendidikan
kejuruan dan keterampilan disesuaikan dengan berbagai kesempatan kerja, sejalan dengan
perencanaan tenaga kerja nasional.
Selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988), pengembangan tenaga
pendidikan juga telah diarahkan pada pemenuhan kebutuhan jumlah, peningkatan mutu dan
kesejahteraan, serta usaha penyusunan persyaratan minimal tenaga pendidikan. Pemenuhan
kebutuhan jumlah tenaga tersebut dimaksudkan untuk menunjang upaya perluasan kesempatan
memperoleh pendidikan. Peningkatan mutu dan kesejahteraan tenaga kependidikan
dimaksudkan agar mereka dapat melaksanakan tugas mendidik secara utuh, yaitu tugas
profesional untuk mengajarkan iImu kepada anak didik, tugas kemanusiaan, dan tug as
kemasyarakatan, yang sesuai dengan tuntutan UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sedangkan penyusunan persyaratan minimal dimaksudkan untuk meningkatkan mutu tenaga
kependidikan yang akan dilaksanakan secara bertahap.
Sementara itu pembinaan terhadap perguruan swasta dimaksudkan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangannya, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas masingmasing
perguruan swasta dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga untuk pembangunan. Usaha
tersebut antara lain berupa penerapan sistem akreditasi, bantuan guru dan tenaga teknis lainnya,
bantuan pembangunan ruang belajar dan laboratorium, serta penyediaan buku pelajaran dan
buku perpustakaan. Sedangkan terhadap perguruan tinggi, tetap diarahkan untuk melaksanakan
wawasan almamater dalam upaya menjadikan lembaga iImiah dan kampus sebagai wadah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 357


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

masyarakat iImiah. Untuk menunjang kegiatan tersebut daya tampung perguruan tinggi terus
ditingkatkan sesuai dengan kemampuan yang ada. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga
yang mempunyai keterampilan teknis dan keahlian profesional, maka politeknik makin
dikembangkan dan ditingkatkan. Mengenai usaha integrasi dan konsolidasi kegiatan mahasiswa
serta cendekiawan, khususnya dalam rangka pengembangan sikap iImiah dan profesi, maka
penyelenggaraan kegiatan sikap iImiah yang berupa usaha nyata dilakukan melalui ikatan genal
mahasiswa sejenis (ISMS). Terhadap perguruan tinggi sv:asta juga tetap ditingkatkan mutu dan
daya tampung secara lebih terarah dan terpadu, agar dapat menyelenggarakan pendidikan secara
memadai. Dalam pada itu pendidikan masyarakat telah diarahkan agar setiap warga masyarakat
sedini mungkin dan sepanjang hidupnya mendapat kesempatan menuntut iImu yang dapat
berguna dan mengarah kepada lapangan matapencaharian. Hal itu dilaksanakan melalui
perwujudan masyarakat belajar, bekerja, dan berusaha.
Dari berbagai kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam Pelita IV tersebut, perluasan
dan pemerataan kesempatan belajar pada pendidikan tingkat dasar antara lain dilaksanakan
dengan usaha meningkatkan nilai partisipasi murni pendidikan dasar, yaitu persentasejumlah
murid pendidikan dasar terhadap jumlah penduduk usia 7 sampai dengan 12 tahun. Apabila pada
akhir Pelita III (tahun 1983/1984) nilai partisipasi murni adalah sebesar 94,5 persen, maka
dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Juni 1988) telah mencapai 96,5 persen. Nilai
partisipasi mumi menjelang akhir tahun PeIita IV tersebut berdasarkan jumlah murid pada akhir
PeIita III sebanyak 25,2 juta dan penduduk usia 7 sampai dengan 12 tahun menjelang akhir
PeIita IV sebanyak 26,2 juta. Perlu diketengahkan bahwa jumlah murid pendidikan dasar secara
keseluruhan (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, termasuk murid di bawah 7 tahun dan di
atas 12 tahun) telah meningkat dari 29,1 juta pada tahun 1983/1984, menjadi 30,1 juta dalam
tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988). Dengan semakin meningkatnya jumlah
anak usia sekolah, usaha peningkatan kesempatan belajar di tingkat sekolah dasar terutama
ditempuh melalui pengembangan lebih dari 9.500 unit gedung sekolah baru yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air. Selain itu selama PeIita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) juga
telah diadakan penambahan 60.530 ruang kelas baru pada sekolahsekolah yang sudah ada dan
ditunjang dengan pengadaan 166,6 ribu guru yang meIiputi guru kelas, guru agama, guru olah
raga dan kesehatan, serta guru sekolah dasar luar biasa (SDLB) sebagai penambah tenaga
pendidik maupun sebagai pengganti yang telah pensiun atau meninggal. Demikian pula dalam
periode yang sama, telah dilaksanakan pembangunan gedung taman kanak-kanak (TK) pembina

Departemen Keuangan Republik Indonesia 358


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tingkat kabupaten di sejumlah propinsi, dan juga dibangun sebanyak 16 gedung sekolah luar
biasa (SLB) di tingkat propinsi, termasuk rehabilitasi untuk 7 TK negeri dan SLB.

Dalam rangka peningkatan mutu SD, telah dilakukan pengadaan buku pelajaran pokok
sebanyak 140.048 ribu eksemplar, buku bacaan/perpustakaan SD sebanyak 81.152 ribu
eksemplar, alat-alat peraga untuk pendidikan moral Pancasila (PMP), pendidikan sejarah
perjuangan bangsa (PSPB), olah raga/kesehatan, bahasa Indonesia, matematika, iImu-iImu alam,
iImu-iImu sosial, kesenian dan keterampilan sebanyak 872.406 perangkat, serta penataran guru
dan pembina sebanyak 595.001 orang. Di samping itu telah dilaksanakan pula pengadaan buku
kurikulum dan pedoman guru/penyelenggara sebanyak 786 ribu set. Sedangkan dalam rangka
pembinaan SLB, juga telah dilakukan penambahan guru bagi SLB/ SDLB/ pendidikan terpadu,
serta tenaga administrasi dan tenaga tata usaha. Di samping itu dilaksanakan pula penempatan
1.144 orang guru pembina dengan disertai penyediaan buku kurikulum sebanyak 547.000
eksemplar, buku pelajaran pokok SLB sebanyak 260.598 eksemplar, buku pedoman guru
sebanyak 52.000 eksemplar, serta pengadaan alat peraga SLB sebanyak 2.086 perangkat. Dalam
kaitannya dengan peningkatan mutu tenaga kependidikan, telah ditatar sebanyak 1.439 orang
guru dan pembina SLB.

Sementara itu nilai partisipasi untuk sekolah menengah tingkat pertama/SMTP, yaitu
persentase jumlah murid pendidikan menengah tingkat pertama terhadap jumlah penduduk usia
13 - 15 tahun, dalam PeIita IV juga telah meningkat, dari sebesar 48,8 persen pada akhir PeIita
III menjadi 55,2 persen menjelang akhir PeIita IV. Kenaikan tersebut meIiputi jumlah 4,3 juta
murid pendidikan SMTP dibandingkan dengan 10,6 juta penduduk usia 13 - 15 tahun pada
tahun 1983/1984, menjadi 6,7 juta murid pendidikan SMTP dibandingkan dengan 12,3 juta
penduduk usia 13 - 15 tahun dalam tahun 1988/1989. Sedangkan persentase peminat yang
melanjutkan pendidikan ke pendidikan menengah tingkat pertama, yaitu persentase jumlah
masukan pada pendidikan menengah tingkat pertama terhadap jumlah lulusan dari SD tahun
sebelumnya, telah meningkat dari sebanyak 69,2 persen dalam tahun 1983/1984, menjadi
sebanyak 69,6 persen dalam tahun 1988/1989. Kenaikan tersebut meliputi 1.700 ribu masukan
pendidikan menengah tingkat pertama dalam tahun 1983/1984, dibandingkan dengan 2.480 ribu
lulusan SD tahun 1982/1983, menjadi 2.450 ribu masukan pendidikan menengah tingkat
pertama dalam tahun 1988/1989, dibandingkan dengan 3.390 ribu lulusan SD tahun 1987/1988.
Dalam rangka peningkatan pembinaan nilai dan sikap kepribadian siswa sekolah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 359


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

menengah, antara lain dilakukan penataran P-4 bagi 15.716.670 siswa SMTP dan SMTA
termasuk siswa madrasah tsanawi,yah (MT) dan madrasah aliyah (MA), pengadaan 48.580.000
eksemplar bahan penataran P-4, serta pengadaan 40.550 peta Indonesia wawasan nusantara.
Selain itu juga dilakukan penataran bagi 10.338 orang instruktur, guru dan pengurus organisasi
siswa intra sekolah (OSIS), serta terhadap 1.950 orang guru pembina egis dan usaha kesehatan
sekolah (UKS). Selanjutnya untuk menunjang peningkatan kemampuan tenaga profesional telah
ditatar 187.981 orang guru penatar P-4 dan 159.822 instruktur/guru PMP. Demikian pula telah
dilakukan peningkatan wawasan kependidikim bagi guru agama Islam tingkat SMTP dan
SMTA kepada 1.302 orang. Usaha lain untuk meningkatkan kesempatan belajar pada tingkat
pendidikan menengah tingkat pertama ditempuh dengan memperluas daya tampung sekolah,
yaitu dengan dilaksanakannya pembangunan 791 unit gedung baru SMP berikut tambahan kelas
baru sebanyak 7.454 ruang, serta pembangunan 34 asrama murid dan 143 perumahan guru,
rehabilitasi 753 gedung SMTP, dan penambahan 1.146 unit perabot pengganti yang rusak.
Demikian pula dalam rangka peningkatan mutu SMTP, dilakukan pembangunan ruang
laboratorium ilmu-ilmu alam, ruang kerja, dan peragaan ilmu-ilmu sosial, ruang perpustakaan;
ruang keterampilan, pengadaan buku kurikulum lengkap untuk SMTP negeri dan swasta,
pengadaan kurikulum bidang studi, buku pelajaran pokok, buku pegangan guru, serta buku
perpustakaan. Selain itu juga dilaksanakan pengadaan alat pelajaran matematika, alat praktek
kesenianfalat praktek olah raga dan kesehatan, alat peraga bahasa, alat peraga ilmu-ilmu sosial,
serta alat pelajaran praktek ilmu-ilmu alamo Untuk itu selama Pelita IV (sampai dengan bulan
Agustus 1988) telah dilaksanakan pembangunan 346 ruang laboratorium ilmu-ilmu alam untuk
SMTP negeri dan swasta, 497 ruang perpustakaan, pengadaan 2.140 set buku kurikulum dan
23.540 set buku kurikulum bidang studi PMP, 31.751,6 ribu eksemplar buku perpustakaan
SMTP dan SMT A, pengadaan 4.907 perangkat alat praktek kesenian, 5.587 perangkat alat
praktek olah raga, 10.577 perangkat alat peraga PMP dan PSPB, 1.692 perangkat alat peraga
IPS, dan 12.811 perangkat alat pelajaran praktek IPS-SMTP. Selanjutnya telah dilakukan
penataran terhadap 5.325 guru bidang studi SMP swasta, 4.390 kepala sekolah swastafinstruktur
SMTP, dan 2.500 orang penyelenggara sekolah swasta, serta penataran terhadap 1.980 pendidik
kejuruan guru (PKG) bahasa Indonesia, dan 81.933 orang PKG matematika,IPA, dan bahasa
Inggris. Dalam rangka peningkatan relevansi pendidikan, telah dibangun 578 ruang
keterampilan, dan pengadaan sebanyak 3.470 perangkat alat keterampilan, pembangunan ruang
praktek untuk 49 sekolah teknik (ST) dart 26 SKKP/SMTP kejuruan, serta pengadaan peralatan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 360


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

praktek sebanyak 485 unit bagi sekolah teknologi lainnya. T erhadap SMTP terbuka disediakan
perangkat modul, dart .dilakukan penambahan guru bidang studi langka, penataran guru, kepala
sekolah, dart para penyelenggara/pendiri SMTP swasta/yayasan/terbuka, serta pemberian
akreditasi terhadap SMTP swasta.

Sementara itu nilai partisipasi kasar untuk pendidikan sekolah menengah tingkat
atas/SMTA, yaitu persentase jumlah murid pendidikan menengah atas terhadap jumlah
penduduk usia 16 - 18 tahun, dalam Pelita IV juga telah menunjukkan peningkatan, dari 26,4
persen dalam tahun 1983/1984 menjadi 37,4 persen dalam tahun 1988/1989. Kenaikan tersebut
meliputi sebanyak 2,5 juta murid pendidikan menengah tingkat atas dibandingkan dengan 9,8
juta penduduk usia 16 - 18 tahun dalam tahun 1983/1984, meningkat menjadi 4,2 juta murid,
dibandingkan dengan 11,2 juta penduduk usia 16-18 tahun dalam tahun 1988/1989. Sedangkan
dari hasil perhitungan, persentase peminat yang melanjutkan ke pendidikan menengah tingkat
atas, yaitu persentase jumlah masukan pada tingkat pendidikan menengah tingkat atas terhadap
jumlah lulusan dari pendidikan menengah tingkat pertama pada tahun sebelumnya, adalah 87,4
persen dalam tahun 1983/1984, menjadi 83,0 persen dalam tahun1 1988/1989. Perubahan
tersebut meliputi sebanyak 1.020 ribu masukan pendidikan menengah tingkat atas tahun
1983/1984 dibandingkan dengan 1.120 ribu lulusan pendidikan menengah tingkat pertama pada
tahun 1982/1983, menjadi sebanyak 1.570 ribu masukan pendidikan menengah tingkat atas
tahun 1988/1989 dibandingkan dengan 1.910 ribu lulusan pendidikan menengah tingkat pertama
dalam tahun 1987/1988.

Guna menunjang usaha peningkatan kesempatan belajar pada pendidikan menengah


tingkat atas tersebut, di samping telah dilaksanakan pembangunan 207 unit sekolah baru
masing-masing dengan sembilan ruang kelas, penambahan ruang kelas baru sebanyak 3.331
ruang, dart rehabilitasi ruang kelas pada 310 sekolah, juga telah dilaksanakan pengangkatan
guru baru yang berasal dari daerah sekolah sendiri sejumlah 37.379 orang. Upaya lainnya adalah
peningkatan mutu pendidikan dengan dibangunnya 121 ruang laboratorium ilmu-ilmu alam
untuk SMT A negeri dart swasta, dart 61 ruang perpustakaan untuk SMT A negeri. Selain
itujuga dilakukan penataran terhadap 5.268 orang guru bidang studi SMTA negeri, 9.746 guru
SMTA swasta, 210 orang kepala sekolah, 3.060 orang untuk pendidikan kejuruan guru (PKG)
IPA/matematika, 5.600 orang untuk sanggar PKG IPA, 1.188 orang khusus untuk sanggar PKG
matematika, 30 orang calon instruktur PKG bahasa Indonesia, dart 71 instruktur/guru akuntansi.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 361


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Di samping itu juga telah dilakukan penataran terhadap 7.960 kepala sekolah dari guru bidang
studi senior di berbagai SMTP /SMT A, pangadaan 7.163 set bahan kurikulum lengkap, 777.401
perangkat buku kurikulum bidang studi, 1.419 perangkat alat peraga matematika SMTA negeri
dart swasta, 1.509 perangkat kesenian, 1.803 perangkat alat laboratorium kerja dari peragaan
ilmu-ilmu sosial, serta penelusuran minat dart kemampuan siswa.
Untuk pendidikan keguruan, juga dilaksanakan penambahan ruang kelas, ruang
penunjang dan asrama murid pada 143 SPG (sekolah pendidikan guru), 6 SPGLB (sekolah
pendidikan guru luar biasa), 39 SGO (sekolah guru olahraga), pengangkatan 3.278 guru,
penataran 36.959 guru/ pembina, serta pengadaan 2.668,9 ribu eksemplar buku pelajaran/
pedoman guru, 515,1 ribu eksemplar buku perpustakaan, dan 1.376 alat pendidikan. Selain itu
dilaksanakan pengadaan alat pelajaran, dan media pendidikan untuk spa dan SPGLB sebanyak
885 unit, untuk SGO sebanyak 29 unit, dan alat pelajaran SPG dan SPGLB sebanyak 193 unit.
Demikian pula terhadap peningkatan relevansi pendidikan menengah kejuruan, juga telah
dilaksanakan penataran 1.607 guru dan- 606 kepala sekolah, baik negeri maupun swasta. Selain
itu disediakan buku pedoman guru sebanyak 1.230.720 eksemplar untuk SMTA kejuruan negeri
dan swasta, bukuipelajaran sebanyak 200.000 eksemplar, buku perpustakaan sebanyak 627.504
eksemplar, serta alat dan perabot sebanyak 3.370 unit. Sedangkan untuk pendidikan kejuruan
dan teknologi, di samping telah dibangun 10 sekolah menengah teknik (STM) pertanian,
dikembangkan 145 STM umum 3 dan 4 tahun, juga diadakan pengangkatan 5.647 tenaga guru
sekolah menengah kejuruan tingkat atas (SMKTA).

Dalam pada itu menjelang akhir PeIita IV lulusan SMTA yang dapat ditampung
menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari 224.000
orang dalam tahun 1983/1984 menjadi 339.200 orang dalam tahun 1988/1989. Jumlah
persentase mahasiswa dibandingkan dengan kelompok penduduk usia 19 - 24 tahun, naik dari
5,3 persen dalam tahun 1983/1984 menjadi 8,6 persen dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan
bulan Juni), yaitu dari 823.500 mahasiswa terhadap 15.667.600 penduduk usia 19 - 24 tahun,
menjadi 1.680.200 mahasiswa terhadap 19.464.700 penduduk usia 19-24 tahun.

Guna memperluas kesempatan belajar pada pendidikan tinggi, telah diprioritaskan


peningkatan daya tampung universitas- universitas. Untuk itu selama Pelita IV (sampai dengan
bulan Agustus 1988) telah dibangun saran a dan prasarana belajar, yaitu ruang kuliah seluas
791.323 meterpersegi, ruang laboratorium seluas 165.406 meterpersegi, ruang perpustakaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 362


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

_eluas 87.622 meter persegi, serta rehabilitasi gedung seluas 32.284 meterpersegi. Di samping
itu telah dan sedang dalam tahap penyelesaian pengadaan buku perpustakaan sebanyak 351.600
buah, pengadaan/penerbitan buku ilmiah sebanyak 34.000 buah, serta pengadaan peralatan
pendidikan sebanyak 4.311 perangkat.

Peningkatan mutu pendidikan tinggi dilaksanakan melalui penataran-penataran atau


pendidikan terhadap dosen, dan dalam periode yang sama telah dan sedang dilaksanakan
penataran terhadap 23.074 dosen, serta melalui pendidikan posca sarjana/doktor, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, kepada sebanyak 14.368 dosen. Selanjutnya untuk pengembangan
dan pembinaan masyarakat akademik telah dilakukan kegiatan penelitian sebanyak 3.250 judul,
demikian pula dalam upaya pengabdian pada masyarakat telah dilaksanakan kuliah kerja nyata
yang diikuti oleh 95.021 mahasiswa. Khusus untuk pendidikan Pancasila telah diberikan
penataran P-4 pola 100 jam kepada 711.074 mahasiswa baru universitas/institut negeri, dan
sekitar 165.000 mahasiswa baru perguruan tinggi swasta. Terhadap perguruan tinggi swasta
telah dilakukan penataran dan penilaian kembali terhadap status, pemberian bantuan prasarana
dan sarana secara selektif, serta bantuan yang bersifat pemerataan. Di samping itu usaha-usaha
peningkatan terhadap perguruan tinggi swasta tetap dilakukan melalui sistem akreditasi,
stratifikasi pendidikan, peningkatan institusi/kelembagaan, serta peningkatan manajemen dan
sistem informasi pendidikan tinggi.

Dalam rangka membina dan me rangsang para murid/mahasiswa yang berbakat dan
berprestasi, telah diberikan beasiswa pada murid-murid tingkat SD sebanyak 23.275 orang,
sekolah menengah tingkat pertama sebanyak 15.432 orang, sekdiah menengah tingkat atas
sebanyak 11.626 orang, dan perguruan tinggi sebanyak 17.769 mahasiswa. Di samping itu
diberikan juga tunjangan beasiswa kepada 82 putra Irian Jaya, dan 193 putra Timor Timur.

Selain melalui pendidikan formal, usaha peningkatan perluasan kesempatan belajar


dilaksanakan pula melalui pendidikan nonformal (pendidikan di luar sekolah). Untuk itu selama
Pelita IV telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan melalui kelompok belajar pendidikan dasar
(Kejar Paket A), yang dipadukan dengan pendidikan matapencaharian (Upajiwa) kepada
8.958.290 orang, kelompok belajar usaha (Kejar Usaha) serta kursus-kursus lainnya kepada
1.800.000, orang, pembangunan, perluasan dan rehabilitasi 87 buah sanggar kegiatan belajar
(SKB) dan 3 buah balai pendidikan masyarakat, serta pencetakan buku Paket A dan buku
pelengkapnya sebanyak 98.717.365 eksemplar termasuk melalui program Inpres SD. Sedangkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 363


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

untuk pembinaan generasi muda, sasaran yang diutamakan adalah warga masyarakat usia 15 -
30 tahun dengan kegiatan-kegiatan latihan kepemimpinan dan keterampilan pemuda, serta
bimbingan aktivitas generasi muda yang mencakup sekitar 580.000 orang dan sekitar 560.000
pramuka.

Perlu diketengahkan bahwa selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988),
melalui program pengembangan sistem pendidikan juga telah dilakukan kegiatan-kegiatan
pengiriman dan pemberangkatan 6.315 tenaga pengajar/pejabat untuk tugas belajar ke luar
negeri, 2.025 tenaga pengajar/pejabat untuk menghadiri konperensi/seminar/lokakarya ke luar
negeri, dan persetujuan kepada 12.800 mahasiswa untuk belajar ke luar negeri atas biaya sendiri
atau melalui sponsor. Untuk penerimaan mahasiswa asing yang belajar seni tradisional, bahasa
Indonesia, dan bahasa daerah, telah diterima 101 orang atas darmasiswa RI, selain persetujuan
penerimaan 1.155 orang mahasiswa asing untuk belajar pada lembaga pendidikan di Indonesia
atas biaya sponsor atau sendiri. Dalam rangka penerimaan tamu asing untuk program
pendidikan telah tercatat 556 orang, baik atas undangan pemerintah maupun biaya sendiri atau
sponsor, sedangkan untuk pelaksanaan kerjasama teknik telah ditempatkan sejumlah 1.761
orang tenaga edukatif dan konsultan pada lembaga pendidikan/unit kerja di lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di samping itu telah diadakan mutasi 13 orang Atase
Pendidikan dan Kebudayaan dan seorang Wakil RI untuk Unesco, dan kepala sekolah/guru
sekolah Indonesia pada 16 sekolah di luar negeri. Telah pula diadakan beberapa kali
konperensi/seminar/lokakarya yang bersifat internasional/regional, diantaranya konperensi
Seamec ke XXIII di Bali. Perkembangan mutu pendidikan dan penyediaan sarana belajar di
berbagai pendidikan dapat diikuti dalam Tabel V.75 dan Tabel V.76.

5.4.1.2. Kebudayaan
Kebijaksanaan di subsektor kebudayaan dalam Pelita IV antara lain dimaksudkan untuk
memantapkan kesadaran bersejarah, serta mendorong penalaran dan sikap positif terhadap
perkembangan budaya, ilmu, dan teknologi. Penekanannya adalah untuk membangkitkan bangsa
Indonesia terhadap rasa kebanggaan nasional. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut selama
Penta IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah dilaksanakan kegiatan inventarisasi
kebudayaan daerah di 27 propinsi Indonesia, penelitian 494 naskah kebudayaan daerah,
peneHtian 455 judul bahasajsastra Indonesia, dan penelitian 99 situs purbakala.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 364


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Dalam ,rangka pelestarian kepurbakalaan, kesejarahan dan permuseuman, dalam


periode yang sama telah berhasil dipugar 34 bangunan (dead monument), dan 50 bangunan
(Hving monument) di 132 lokasi. Di samping itu telah diadakan pemeliharaan 4.696 situs
peninggalan sejarah dan purbakala, pengadaan koleksi museum sebanyak 14.506 buah yang
terdiri atas 9 jenis koleksi, dan pembangunan/rehabilitasi gedung museum negeri seluas 27.039
meterpersegi. Sementara itu dalam rangka mengembangkan seni budaya nasional telah
dilaksanakan kegiatan yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas seni budaya. Usaha tersebut
diwujudkan dengan memberikan penghargaan alas hasil karya seni para seniman beserta
organisasinya, dan pengadaan saranajprasarana penunjangnya. Untuk itu selama Pelia IV
(sampai dengan bulan Agustus 1988) telah diadakan lomba seni tingkat nasional sebanyak 8 kali,
tingkat propinsi sebanyak 130 kali, dan tingkat kabupaten/kotamadya sebanyak 966 kali. Di
samping itu juga telah diadakan pagelaran kesenian di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
sebanyak 70 kali, dan dukungan kesenian ke luar negeri sebanyak 31 kali. Sedangkan untuk
pembangunan taman budaya, selain telah dilaksanakan penyediaan tanah seluas 75.480
meterpersegi juga telah dilaksanakan pembangunan gedung seluas 20.143 meterpersegi berikut
penataan lingkungan seluas 24.123 meterpersegi. Guna pemerataan pengembangan seni budaya
di setiap daerah, dalam periode yang sama telah berhasil dibagikan peralatan kesenian sebanyak
3.984 unit kepada taman budaya propinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan, organisasi
kesenian, dan daerah-daerah transmigrasi.
Pemantapan pengembangan kebahasaan, kesusasteraan, perbukuan, dan perpustakaan
nasional dilaksanakan melalui penyelesaian penyusunan kamus besar bahasa Indonesia, buku
tatabahasa baku, kamus bahasa daerah, kamus istilah, dan daftar istiIah. Selain itujuga dilakukan
pengadaan buku untuk perpustakaan wilayah sebanyak 1.971.570 eksemplar, majalah
pengetahuan umun 351.000 eksemplar, serta penerbitan naskah buku bacaan sastra Indonesia
dan daerah sebanyak 100 judul. Kegiatan-kegiatan lain selama Pelita IV (sampai dengan bulan
Agustus 1988) adalah kerjasama kebahasaan antara Indonesia dan Malaysia, sidang-sidang
kebahasaan, dan kegiatan pembinaan bahasa melalui TVRl/RRI sebanyak 220 kali.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 365


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e I V.75
PEMBINAAN MUTU PENDIDIKAN DI BERBAGAI TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL, 1973/1974 - 1988/1989

No. Kegiatan 1973174 1974175 1975/76 1976177 1977178 1978179 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/894)

1. Penataran guru/pembina (orang)


- Pendidikan dasar 8.053 105.994 231.200 372.600 369.161 364.521 385.157 479.524 547.467 299.393 304.018 275.480 229.8013) 45.240 35.5133) 8.967
- Pendidikan menengah 5.284 2.072 5.675 6.565 7.176 6.376 18.032 23.512 25.177 25.2143) 17.292 23.7733) 33.7733) 16.123 35.7963) 7.619
- Pendidikan tinggi (dosen) 945 1.084 1.088 1.505 1.015 489 4.812 3.879 4.140 10.000 10.360 2.855 8.143 - 12.0463) 0
2. Pengadaan buku pelajaran
(ribu eksemplar) 1)
- Pendidikan dasar 25.840 4.544 43.823 60.000 58.960 105.811 41.468 68.800 31.840 45.400 56.488 16.2003) 10.0003) 93.099 18.5203) 2.200
- Pendidikan menengah 106 1.606 2.407 11.048 21.400 29.441 19.946 17.913 16.5023) 16.5003) 18.004 13.300 - 31.092 56.6763) 1.725
3. Pengadaan buku perpustakaan
(ribu eksemp!ar)
- Pendidikan dasar 6.600 6.900 7.316 8.600 7.314 8.500 12.500 14.000 15.000 30.000 32.000 32.0003) 32.) 16.5003) 52
- Pendidikan menengah - 413 979 422 1.040 1.000 1.095 424 228 1.000 1.538 11.133 1.575 995 465.162
- Pendidikan tingsi 11 16 25 30 62 61 51 28 36 40 46 105 123 60 52 12
4. Pengadaan alat peragalpraktek/
ke t e ram pi I an/I a bo rato ri u m/b ahasa
- Matematika/IPAIIPS (unit) - 20.000 24.960 22.150 116.000 88.580 110.000 80.420 5.531 162.0343) 518.7) 29.182 159.0843) 3.314
- Pendidikan menengah 2.852 2.271 652) 1042) 424 3.023 2.307 4.258 5.795 7.513 7.9163) 8.4963) 10.9103) 1.8843) 3.009
- Pendidikan tinggi 19 32 35 35 31 39 76 50 273 270 724 417 892 2.868 58 76

I) Scjat tab un 1979/1980 termasuk buku PMP don kurikulum 2) SMP


3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

Tab e l V.76
PENYEDIAAN SARANA GEDUNG DAN GURU BAGI PENDIDIKAN FORMAL, 1973/1974 - 1988/1989

No. Kegiatan 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982183 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988189 6)
I. Pembangunan gedung (unit)
- Pendidikan dasar (a 3 ruing tells) 6.000 6.000 10.000 10.000 15.000 15.000 10.000 14.000 15.000 22.600 13.140 2.000 2.950 - 656 0
- Pendidikan menengah - - - 125 135 155 162 246 390 1.150 878 610 254 120 455) 29
- Pendidikan tinggi - - - - - 6 10 11 11 11 11 11 11 0 0
2. Pembangunan ruing tells baru
- Pendidikan dasar (ruang) - - - - 15.000 15.000 15.000 20.000 25.000 35.000 15.700 12.500 12.500 - 26.035 1.750
- Pendidikan menengah (ruang) t) - - 1.200 1.300 1.205 1.725 1.900 2.202 1.614 6.000 6.003 5.420 4.823 88 199 327
- Pendidikan tinggi (m2) 23.261 14.051 16.192 30.000 37.207 52.334 54.500 89.750 103.500 175.347 218.683 123.767 88.305 238.533 185.990 154.728
3. Rehabilitasilpengembangan (sekolah)
- Pendidikan dasar 2) - 10.000 16.000 15.000 15.000 15.000 20.000 25.000 25.000 21.000 28.500 31.000 - 19.7005) 6.000
- Pendidikan menengah - 1.219 703 179 103 92 286 608 923 1.154 1.202 784 522 7 1375) 282
- Pendidikan tinggi (m2 4.610 7.151 8.105 9.194 27.225 24.380 24.435 239.629 67.080 48.020 50.184 14.085 1.800 - 16.3995) 0
4. Pengangkatan/penempatan guru (orang) )
- Pendidikan dagar 3) 18.000 18.000 50.000 60.000 60.000 75.000 50.000 50.000 103.350 121.100 91.830 23.300 72.950 - 12.350
- Pendidikan menengah - - 4.075 364) 8.460 7.390 5.320 10.480 12.600 19.672 28.488 32.250 16.738 1.778 2.310
- Pendidikan tinggi (dosen) - - - - - 10.500 21.000 32.946 33.790 36.144 36.845 48.034 - 16.3995) 0

1) Terdiri dari SMP & SMA, termasuk ruang laboralorium, roang keterampilan dan roang perpustakaan 2) Meliputi SO Negeri, SO Swasta, MI Swasta
3) Termasuk guru agama dan tenaga teknis lainnya
4) SPG
5) Anska diperbaiki
6) Angka sementara

Dalam pada itu untuk memberikan pembinaan kepada para penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka kegiatannya terutama diarahkan kepada pembinaan budi
luhur bangsa Indonesia. Adapun hasil-hasil yang telah dicapai selama Pelita IV (sampai dengan
bulan Agustus 1988), antara lain telah dilaksanakan inventarisasi dan dokumentasi sebanyak 15
naskah mengenai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, peningkatari
komunikasi antarpenghayat sebanyak 62 kali, ceramah budaya spiritual di 17 propinsi, serta
penyebaran/informasi 171 naskah melalui RRI/TVRI dan media cetak.

5.4.1.3. IImu pengetahuan, tekndiogi, dan peneIitian

Kebijaksanaan pengembangan teknologi dan penelitian salah satu di antaranya


dimaksudkan untuk memperoleh dan menyempurnakan proses nilai tambah dari pengelolaan
sumberdaya alam dan suinberdaya manusia. Selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus ]
988), kegiatan penelitian lebih diarahkan pada persiapan peningkatan pengetahuan ilmiah dan
teknologi untuk tahap industrialisasi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan penelitian di-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 366


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kelompokkan menurut sektor-sektor, yaitu sektor kebutuhan dasar manusia, sektor sumberdaya
alam dan energi, sektor industri, sektor pertahanan dan keamanan, dan sektor sosial ekonomi,
budaya, hukum dan perundang-undangan. Di samping itu dalam periode yang sama juga tetap
ditingkatkan program-program pembina an tenaga riset dan teknologi, prasarana, dan sarana,
disertai dengan us aha untuk meningkatkan koordinasi program, kerja sama antarlembaga,
sistem informasi riset dan teknologi, serta pemasyarakatan kegiatan riset dan teknologi.

Berdasarkan klasifikasi kegiatan penelitian menurut program - program utama nasional


riset dan teknologi (Punas-Ristek) selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988), dalam
sektor kebutuhan dasar manusia telah dilaksanakan penelitian dan pengembangan pertanian dan
teknologi pangan. Dari sektor tersebut antara lain telah dihasilkan penelitian tanaman pangan,
hortikultura, tanaman industri, perkebunan, perikanan, peternakan, dan penelitian usaha tani.

Dari penelitian tanaman pangan antara lain telah dihasilkan sebanyak 70 varitas padi
unggul, 53 di antaranya merupakan hasil persilangan di Indonesia. Dengan diketemukannya
varitas baru tersebut, rata-rata hasil padi/gabah kering telah dapat meningkat dari 1 ton per
hektar menjadi 2 - 3 ton perhektar. Hasil tersebut masih dapat ditingkatkan menjadi 3 - 4 ton
perhektar apabila menggunakan varitas unggul Mahakam, Barito, dan Kapuas. Terhadap daerah
yang curah hujannya kurang, telah dapat dihasilkan varitas padi jenis dodokan dan jongkok yang
siap dipanen setelah umur 100 sampai 105 hari. Selanjutnya terhadap penelitian hortikultura
telah dihasilkan berbagai varitas unggul sayuran, seperti 3 varitas tomat yang mampu
berproduksi tinggi dan tahan terhadap penyakit layu bakteri. Kemudian 2 varitas unggul kentang,
1 varitas unggul kubis, 4 varitas unggul bawang merah, 2 varitas unggul bayam, 3 varitas unggul
petai, dan 2 varitas unggul bawang putih.
Dalam penelitian tanaman industri, dalam periode yang sama telah dihasilkan 4 varitas kelapa
yang tahan terhadap penyakit gugur buah, dengan potensi prbduksi rata-rata 4 ton kopra
perhektar pertahun. Di samping itu juga telah dihasilkan 3 varitas kelapa hibrida, dengan usia
nonproduktif diperpendek dari 7 tahun menjadi 4 tahun. Sedangkan untuk tanaman perkebunan,
telah dihasilkan berbagai varitas/klon unggul, antara lain 8 varitas unggul tebu, 14 calon klon
teh kering berpotensi produksi 4.500 kilogram pertahun perhektar, 12 varitas kelapa sawit, 6
klon kopi robusta, dan 9 klon kopi arabika, 3 klon kakao, dan 9 klon kakao bulk, serta 4 varitas
tembakau yang mampu menghasilkan 1,2 - 1,9 ton krosok perhektar.
Penelitian terhadap perikanan antara lain mencakup penelitian cara pembibitan ikan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 367


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dengan produksi tinggi, mudah berkembang biak dan tahan penyakit, pembudidayaan ikan air
tawar, ikan air payau, dan ikan1aut, serta pembudidayaan ikan bermutu ekspor. Di samping itu
juga berhasil diketemukan cara pengendalian hama dan penyakit ikan/non-ikan, penelitian
potensi daerah-daerah penangkapan ikan, teknologi penangkapan ikan, dan teknologi pasca
panen perikanan. Selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah dihasilkan ikan
dengan pertumbuhan lebih cepat, rasio konversi pakan yang lebih efisien (4,5 -30 persen) dan
hasil panen per hektar yang 5 - 15 persen lebih tinggi. Kemudian yang penting adalah kebutuhan
benih dalam negeri dapat dipenuhi tanpa impor, yaitu melalui teknik pembenihan hipofisasi dan
pemeliharaan larva lele (catfish) Bangkok dalam air dengan kadar garam 3,2 persen. Selanjutnya
penelitian terhadap peternakan, antara lain telah berhasil diatasi penyakit keluron (Brucellosis)
yang mengakibatkan sterilitas, keguguran, turunnya produksi susu dan tenaga tarik yang ban yak
menyerang sapi ataupun babi. Sedangkan dalam rangka penelitian usaha tani yang diarahkan
untuk mendukung peningkatan pendapatan petani, antara lain telah dilaksanakan penanganan
lahan pagans surut dan rawa di daerah Karang Agung (Sumatera Selatan) serta di daerah Alabio
(Kalimantan). Kegiatan penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk mendukung program
transmigrasi di wilayah yang bersangkutan. Di samping itu penelitian usaha tani di wilayah
daerah aliran sungai (DAS) , telah dilaksanakan di DAS Cibaduy (Jawa Barat), DAS
Jratunseluna (Jawa Tengah), dan DAS Brantas (Jawa Timur).
Sementara itu dalam sektor sumberdaya alam dan energi selama Pelita IV (sampai
dengan bulan Agustus 1988), antara lain telah dilaksanakan penelitian dan pengembangan
sumberdaya energi, sumber mineral, survei pemetaan sumber alam, dan penelitian ke-
dirgantaraan. Penelitian dan pengembangan teknologi di subsektor energi diarahkan untuk
mendukung dan mempersiapkan kebijaksanaan umum pertambangan minyak dan gas bumi,
pengusahaan panas bumi, dan pengembangan sumber-sumber energi baru. Untuk itu dalam
rangka mempersiapkan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN), dalam tahun 1987/1988 telah dimulai
pembangunan PLTN tahap pertama. Selain itu, untuk mendukung usaha diversifikasi
pemanfaatan sumber energi telah dilakukan pula penelitian dan pembuatan peta radiasi matahari
yang dapat membuktikan bahwa daerah Nusa Tenggara Timur (NIT) lebih cocok untuk
pemanfaatan energi matahari dengan solar gel.
Penelitian dan pengemlbangan sumber mineral dimaksudkan untuk mempersiapkan
suatu gambaran yang lengkap tentang potensi beberapa jenis sumber mineral, air tanah, kualitas
dan bentuk eekungan, serta studi kelayakan pertambangan skala keeiI. Dalam rangka itu, antara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 368


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

lain telah diIanjutkan penelitian cadangan uranium di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan
Maluku, dan Irian Jaya. Kemudian, selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) dari
hasiI kegiatan survei dan pemetaan sumber alam telah dilaksanakan kegiatan pemetaan dasar,
agroekologi, geologi dan hidrogeologi, serta pemetaan kemampuan tanah yang merupakan data
tentang situasi sumber alam dan kondisi lingkungan berbagai lahan di Indonesia. Dalam rangka
penelitian kedirgantaraan, kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan untuk peningkatan pelayanan
dan penggunaan data satelit, peningkatan kemampuan roket dan satelit, peningkatan kualitas
komunikasi dirgantara, dan pengkajian aspek kemajuan iImu pengetahuan dan teknqlogi
kedirgantaraan.

Sementara itu dari Punas-Ristek, untuk sektor industri telah dilaksanakan penelitian
dan pengembangan pada sektor industri penerbangan, transportasi darat, industri e'lektronika
dan telekomunikasi, serta industri rekayasa. Pada subsektor industri penerbangan, selama Pelita
IV (sampai dengan bulan Agustus -1988) antara lain telah dibangun sejumlah laboratorium di
Serpong (Jawa Barat), laboratorium uji konstruksi (LUK), laboratorium aerogas dinamika dan
getaran (LADG), dan laboratorium terowongan angin dengan keeepatan rendah untuk
menunjang penelitian penerbangan. Manfaat terowongan penelitian tersebut adalah untuk
meneliti ciri-ciri Ie pos landas dan pendaratan suatu posawat terbang, mengetahui prestasi
jelajah dengan kecepatan sedang, pengembangan alat-alat angkat tinggi, dan interferensi
komponen. Sedangkan untuk transportasi darat, dalam periode yang sama telah dapat diproduksi
di dalam negeri antara lain gerbong batubara, gerbong barang pengangkut pupuk, dan kereta
penumpang.

Dalam subsektor industri elektronika dan telekomunikasi, antara lain diteliti sistem
komunikasi telepon dengan frekuensi division multiplexing (FDM), yang mencakup penelitian
ekstraksi saluran yang menggunakan prossesor mikro sehingga mutu data dan mutu bicara
semakin baik. Demikian pula telah dapat diteliti modulasi isyarat (signal) satelit orbit kutub
(polar). Oleh karena sateIit kutub tersebut melintasi daerahkhatulistiwa 2 kali sehari selama
sepuluh menit setiap kaIinya dan dengan ketinggian rendah, maka modulasi isyarat mampu
menerima berbagai data Indonesia dengan cepat dan lebih murah, serta dapat membantu
peraneangan peralatan komunikasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Selanjutnya di
subsektor industri rekayasa, antara lain telah dapat diproduksi alat fisika kesehatan, alat cacah
nukIir, alat kedokteran nukIir, dan berbagai perlengkapan kerja dengan radiasi. Di samping itu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 369


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sampai dengan tahun 1987/1988 juga telah dapat dikembangkan kemampuan membuat
akselerator berukuran sedang dan peralatan mekanik untuk laboratorium.

Dalam PeIita IV, Punas-Ristek sektor pertahanan dan keamanan antara lain diarahkan
untuk menunjang peningkatan kemampuan pertahanan dan keamanan negara seeara efisien dan
efektif, dan disesuaikan dengan kemampuan negara. Untuk program pengkajian strategik telah
diIakukan berbagai proyeksi dan perkiraan rumusan kebijaksaan Iptek - Hankam serta perkiraan
strategik menjelang tahun 2.000. Di samping itu juga telah dilakukan berbagai pengkajian
terhadap perkembangan lingkungan.
Sejalan dengan rencana pemerintah dalam Pelita IV, Punas- Ristek di sektor sosial
budaya, falsafah, ekonomi dan hukum, diarahkan untuk menunjang usaha pembangunan
nasional di sektor tersebut. Untuk dapat memperkirakan dampak dari penerapan berbagai
teknologi baru bagi masyarakat pedesaan sebagai akibat pembangunan masyarakat Indo-
nesiadari agraris menuju masyarakat industri, telah dilaksanakan penelitian mengenai dampak
sosiaI. Demikian pula telah dilaksanakan penelitian pola kecenderungan hubungan antara arus
modal asing dengan tabungan domestik. Kegiatan penelitian di sektor tersebut terus ditingkatkan
sehingga hasil-hasilnya dapat merupakan masukan bagi perguruan tinggi serta lembaga swasta
dan pemerintah.
5.4.2. Agama
Salah satu sasaran kebijaksanaan pembangunan adalah meningkatkan kualitas manusia
dan masyarakat. Dengan demikian selain melaksanakan pembangunan di sektor ekonomi yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah sekaligus juga berusaha
menumbuhkan dan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menciptakankeselarasan, keserasian, dan kesinambungan,
baik dalam hidup manusia maupun dalam hubungannya dengan masyarakat dan alam sekitarnya.
Oleh karena itu dalam rangka lebih menserasikan perikehidupan masyarakat,
Pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan pembangunan di sektor agama yang
dimaksudkan sebagai landasan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasionaI.

5.4.2.1. Pembinaan tata kehidupan beragama


Kebijaksanaan pembangunan di subsektor pembinaan tata kehidupan beragama dalam
tahun terakhir Pelita IV, ditujukan untuk lebih meningkatkan dan melanjutkan hasil- basil yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 370


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

telah dicapai dalam tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu terus diupayakan agar pembangunan
sektor agama, khususnya pada subsektor pembinaan tata kehidupan beragama, dapat diharapkan
menjadi bagian yang terpadu bagi pencapaian tujuan pembangunan nasionaI. Untuk itu terus
dilakukan berbagai program utama, yang antara lain meliputi program peningkatan kehidupan
beragama, program penerangan dan bimbingan hidup beragama, serta program peningkatan
pelayanan ibadah haji.
Salah satu usaha untuk meningkatkan sarana kehidupan beragama adalah melalui
pengadaan kitab suci, yang jumlahnya ditingkatkan dari tahun ke tahun. Hal ini terutama
dimaksudkan agar setiap keluarga, selaku umat beragama, dapat memiliki kitab suci sebagai
pegangan hidupnya sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehubungan dengan hal itu,
selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah dapat diterbitkan kitab suci dari
berbagai agama sebanyak 4.985 ribu buah, atau sekitar 49,0 persen dari target yang telah
ditetapkan dalam Pelita IV yaitu sebanyak 10.000 ribu buah. Jumlah pengadaan kitab sud
tersebut antara lain terdiri atas kitab suci AI Qur'an sebanyak 3.730 ribu buah, Injil Protestan
sebanyak 487 ribu buah, Injil Katolik 414 ribu buah, kitab suci agama Hindu sebanyak 280 ribu
buah, dan kitab suci agama Budha sebanyak 74 ribu buah.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam menunjang
pelaksanaan undang-undang perkawinan yang secara tidak langsung dapat membantu
pelaksanaan program nasional keluarga berencana dan kependudukan, maka terus dilakukan
pembangunan balai nikah dan balai sidang pengadilan agama. Adapun jumlah balai nikah yang
telah dibangun selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) adalah sebanyak 1.258
buah, sedangkan untuk balai sidang agama adalah sebanyak 42 buah, dengan rincian sebanyak
29 buah balai sidang pengadilan agama tingkat pertama dan sebanyak 13 buah untuk tingkat
banding. Jumlah tersebut belum termasuk 70 buah perluasan balai sidang pengadilan agama,
yang terdiri atas 58 buah untuk balai sidang pengadilan agama, tingkat pertama dan sebanyak 12
buah untuk tingkat banding.
Sementara itu kegiatan lain dalam usaha meningkatkan kehidupan beragama adalah
pemberian bantuan untuk pembangunan ataupun rehabilitasi tempat-tempat ibadah. Apabila
pada awal tahun Pelita IV jumlah tempat ibadah dari berbagai agama yang telah mendapat
bantuan pembangunanjrehabilitasi baru mencapai 3.791 buah, maka menjelang akhir Pelita IV
(sampai dengan bulan Agustus 1988) telah mencapai 14.363 buah tempat ibadah. Bantuan
pembangunanjrehabilitasi tempat ibadah tersebut telah merangsang kegiatan swadaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 371


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tempat ibadah yang semakin meningkat. Peningkatan
kebutuhan tempat ibadah tersebut antara lain disebabkan karena makin bertambah luasnya
pemukiman baru serta meningkatnya jumlah usia remaja yang diwajibkan oleh agamanya untuk
menunaikan ibadah.
Program penerangan dan bimbingan hidup beragama meliputi penerangan dan dakwah
agama, peningkatan kerukunan hidup beragama, serta bimbingan pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) bagi umat beragama. Pelaksanaan penyuluhan
agama, selain diberikan kepada masyarakat umum, juga diutamakan kepada kelompok
masyarakat tertentu, seperti masyarakat suku terasing, transmigran, narapidana, dan tuna susila.
Selama pelaksanaan Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah diberikan bimbingan
hidup beragama secara Islam terhadap 2.036 kelompok masyarakat, antara lain terdiri dari
karyawan, narapidana, dan warga transmigran, dengan disertai pemberian brosur/buku mengenai
agama dan paket dakwah, masing-masing sebanyak 2.397 ribu eksemplar dan 64 ribu set paket.
Sebagaimana halnya kepada umat Islam, dalam peri ode yang sama telah dilaksanakan pula
penyuluhan agama Kristen Protestan antara lain kepada 920 kelompok dari berbagai lapisan
masyarakat, serta penyediaan 160 ribu eksemplar brosur/buku agama dan 12 ribu set paket
dakwah. Demikian pula terhadap umat agama Katolik selain telah diberikan brosurjbuku
sebanyak 77 ribu eksemplar dan paket dakwah sebanyak 6 ribu set, juga telah dilaksanakan
penyuluhan agama kepada 493 kelompok suku terasing, warga transmigran, dan lain-lain.
Kemudian bagi umat agama Hindu dan Budha, selain telah dilaksanakan penyuluhan terhadap
299 kelompok masyarakat, juga diberikan brosur /buku mengenai agama dan paket dakwah,
masing-masing sebanyak 128 ribu eksemplar dan 500 set paket, sebagai sarana penunjangnya.
Dalam rangka lebih meningkatkan kerukunan hidup beragama, Pemerintah terus
melaksanakan pembinaan kerukunan hidup beragama yang ditujukan baik kepada umat seagama
maupun antarumat beragama. Musyawarah antarpara pemuka agama/ulama selain dimaksudkan
untuk menanamkan rasa saling pengertian dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan,
juga dimaksudkan untuk meningkatkan kerukunan hidup antarumat seagama. Berkenaan dengan
hat tersebut selama pelaksanaan Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah
dilaksanakan musyawarah intern beragama dan musyawarah antarumat beragama masing-
masing di 51 1okasi dan di 28 lokasi. dengan dilengkapi pengadaan 40.700 buah buku pedoman
pembinaan kerukunan hidup beragama.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 372


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu untuk memasyarakatkan P-4 di kalangan umat beragama. juga telah
dilaksanakan berbagai usaha dan pendekatan agama. Usaha-usaha tersebut antara lain berupa
penyusunan buku-buku pedoman bimbingan pelaksanaan P-4. yang dijiwai ajaran agama. dan
penataran sejumlah tenaga pembina, penerang, maupun penyuluh agama. Selama pelaksanaan
Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah ditatar tenaga pembina tingkat pusat
sebanyak 180 orang pemuka agama. Di samping itu telah ditatar sebanyak 3.230 orang tenaga
pembimbing dan pembina untuk tingkat daerah. dengan disertai penyediaan sebanyak 115.000
eksemplar buku pedoman dan buku petunjuk pelaksanaan pemasyarakatan P-4.
Sebagai usaha untuk lebih meningkatkan penghayatan dan pengamalan agama,
khususnya terhadap umat Islam, maka Pemerintah secara berkala setiap 2-3 tahun sekali
melaksanakan musabaqah tillawatil _ur'an (MTQ) tingkat nasional. Sebagaimana dalam periode
sebelumnya. juara- juara MTQ tingkat nasional yang diadakan dalam tahun 1988 di Bandar
Lampung juga diikutsertakan dalam MTQ tingkat intemasional. Dalam kesempatan tersebut
wakillndonesia telah menjuarai MTQ yang diadakan di Kuala Lumpur dalam bulan Mei 1988.
sehingga pada gilirannya prestasi tersebut dapat lebih mengharumkan nama bangsa dan negara.
Sejalan dengan kebijaksanaan di sektor agama, maka di subsektor urusan hajj
kegiatannya terutama ditujukan untuk penyempumaan fasilitas dan pelayanan dalam perjalanan
ibadah hajL Usaha-usaha tersebut antara lain meliputi pembangunan/perluasan asrama hajj,
penataran kepada para petugas dan jemaah. serta perbaikan prosedur administrasi. Kesemuanya
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan pelaksanaan ibadah hajj, sehingga ibadah basi
umat Islam dapat dilaksanakan dengan lancar, tertib dan aman. serta memenuhi syarat-syarat
agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Di samping itu program tersebut juga ditujukan
untuk tercapainyaa jemaah hajj yang mabrur, berjiwa pembangunan. yang dapat menghayati dan
mengamalkan Pancasila. serta mampu membina masyarakat dan Iingkungannya. Oleh karena itu
dalam rangka menunjang tujuan tersebut, selama PeIita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988)
telah dilaksanakan pembangunan/ rehabilitasi dan perluasan asrama hajj di 10 propinsi, yaitu di
kota- kola Surabaya, Banjarmasin, Banda Aceh, Palembang, Riau, Jambi, Padang, Bandar
Lampung, Palangkaraya, dan Jayapura, yang keseluruhan bangunannya mencapai luas 15.608
meterpersegi. Untuk . mengetahui perkembangan jumlah hajj dapat diikuti pada Tabel V. 77.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 373


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.4.2.2. Pembinaan pendidikan agama

Kebijaksanaan pembinaan pendidikan agama tingkat dasar dan menengah dalam PeIita
IV dititikberatkan pada peningkatan mutu pendidikan umum pada perguruan agama/ madrasah
dan pendidika,p agama pada sekolah-sekolah umum. Sehubungan dengan itu telah dilaksanakan
berbagai usaha pembangunan antara lain meIiputi pembangunan/rehabilitasi madrasah,
penataran guru, pengadaan buku-buku pelajaran, dan pengadaan sarana pendidikan lainnya.

Sampai saat ini jumlah lembaga pendidikan agama tingkat dasar/madrasah ibtidaiyah
negeri (MIN) mencapai 376 buah yang memerlukan sekitar 2.860 ruang belajar. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut maka selama pelaksanaan PeIita IV (sampai dengan bulan
Agustus 1988) telah dilaksanakan pembangunan/rehabilitasi sebanyak 655 ruang belajar. Secara
keseluruhan selama PeIita I sampai dengan PeIita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah
dilakukan rehabilitasi dan pembangunan sebanyak 1.788 ruang. Hal tersebut berarti bahwa
kebutuhan sarana.ruang baru tercapai sekitar 37 persen dari kebutuhan nyata. Oleh karena itulah
di samping tetap memberikan bantuan kepada MIN, Pemerintah selama PeIita IV juga
memberikan bantuan kepada 55.843 madrasah ibtidaiyah swasta (MIS) yang tersebar di seluruh
pelosok tanah air. Selanjutnya dalam rangka peningkatan mutu MIN, dalam periode yang sama
telah dilaksanakan penataran kepada 4.318 guru agama MIN serta diberikan bantuan berupa
pengadaan buku pelajaran sebanyak 12.478 ribu eksemplar.

Sebagaimana halnya pada madrasah ibtidaiyah, usaha peningkatan mutu pendi-


dikanjuga dilaksanakan pada madrasah tsanawiyah negeri (MTsN). Selama PeIita IV (sampai
dengan bulan Agustus 1988) telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang meIiputi rehabilitasif
perluasan ruang belajar, pengadaan buku pelajaran dan bantuan alai peraga laboratorium serta
penataran guru, masing-masing sebanyak 1.018 ruang belajar, 5.151 ribu eksemplar, dan 421 set
alai peraga, serta penataran terhadap 4.318 orang guru. Bersamaan dengan itu dalam rangka
pembangunan pendidikan nonformal dan pembinaan kader- kader pembangunan desa, usaha-
usaha pembinaan kepada pondok- pondok posantren juga terus disempurnakan. Untuk itu dalam
periode yang sama telah diberikan bantuan berupa penyediaan buku pelajaran dan perpustakaan
kepada 1.264 pondok posantren, penataran tenaga kepada 920 orang, penyediaan alai
keterampilan/praktek kepada 224 pondok posantren, dan pembangunan bengkel
kerja/rehabilitasi gedung di 196 pondok posantren.
Dalam pada itu pelaksanaan pembinaan pendidikan agama tingkat lanjutan atas terutama

Departemen Keuangan Republik Indonesia 374


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

ditujukan untuk meningkatkanmutu pendidikan pada madrasah aliyah, pendidikan guru agama
(PGA), dan pendidikan agama pada sekolah umum tingkat lanjutan atas. Selama Pelita IV
(sampai dengan bulan Agustus 1988) telah dilaksanakan peningkatan mutu pendidikan daripada
madrasah aliyah negeri (MAN), meliputi antara lain pembangunan/rehabilitasi 443 ruang belajar
MAN, pangadaan buku pedoman/pelajaran bagi guru dan murid sebanyak 1.292 ribu buah, dan
penataran terhadap 3.040 guru/pembina. Sedangkan untuk meningkatkan pelaksanaan
pendidikan agama pada sekolah umum, yaitu dari tingkat sekolah dasar, menengah tingkat
pertal11a dan menengah tingkat atas, maka dalam periode yang sama telah dan sedang
dilaksanakan berbagai usaha pembangunan, antara lain penyediaan 11.968 ribu eksemplar buku
pelajaran - dan 51.526 unit alat peraga/pendidikan, serta penataran bagi 52.640 guru agama.

Peningkatan mutu dan pembina an pendidikan agama tingkat tinggi dilaksanakan


terhadap perguruan tinggi agama melalui berbagai usaha, seperti pembangunan prasarana dan
saran a pendidikan, peningkatan mutu star pengajar melalui studi pumasarjana dan program
doktor; serta peningkatan kegiatan penelitian masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Untuk
itu selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah dilaksanakan pembangunan dan
rehabilitasi gedung untuk ruang kuliah dan fasilitas lain seluas 36.700 meterpersegi.
Dalamperiode yang sama, di samping telah dilaksanakan pengadaan buku iImiah sebanyak
121.825 eksemplar, dalam rangka kegiatan pengabdian masyarakat, juga dilaksanakan kegiatan
kuliah kerja nyata (KKN) yang melibatkan sebanyak 13.702 mahasiswa. Sedangkan untuk
meningkatkan mutu akademis para clasen Institut Agama Islam Negeri (lAIN), perguruan tinggi
umum, dan perguruan tinggi agama lainnya (Protestan, Katolik, Hindu dan Budha), telah
diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengikuti program pendidikan lanjutan (program
poscasarjana dan program :l.oktor - S2 dan S3) baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam
pelaksanaannya, selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah dikirimkan
sebanyak 356 caJon program poscasarjana dan doktor, dan yang telah berhasillulus sebanyak 63
orang program S2 dan sebanyak 23 orang doktor.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 375


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.77
JUMLAH JEMAAH HAJJ, 1969/1970 - 1988/1989
( orang)
H aj i H aj i
Tahun melalui laut melalui udara Jumlah
1969/1970 8.681 611 9.292
1970/1971 12.845 1.227 14.072
1971/1972 . 19.781 2.511 22.292
1972/1973 16.039 6.305 22.344
1973/1974 17.071 23.449 40.520
1974/1975 15.575 53.828 69.403
1975/1976 9.612 45.366 54.978
1976/1977 7.351 18.238 25.589
1977/1978 12.124 23.146 35.270
1978/1979 - 73.035 73.035
1979/1980 - 41.697 41.697
1980/1981 - 74.897 74.897
1981/1982 - 66.961 66.961
1982/1983 - 55.246 55.246
1983/1984 - 48.317 48.317
1984/1985 - 38.153 38.153
1985/1986 - 40.130 40.130
1986/1987 - 57.628 1) 57.628
1987/1988 - 56.679 56.679
1988/1989 - 54.411 54.411
Jumlah 119.079 781.835 900.914

1) Angka diperbaiki

5.4.3. Kesehatan dan keluarga berencana


Salah satu ukuran bagi kemajuan suatu bangsa di antaranya adalah tingkat kesehatan
rakyatnya. Oleh karena itu kesehatan rakyat senantiasa mendapat perhatian, dan merupakan
prioritas yang tinggi dalam program pembangunan nasional. Melalui program pelayanan
kesehatan yang lebih luas dan merata, serta dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,
akan dapat diwujudkan derajat kesehatan yang sebaik-baiknya bagi setiap penduduk. Hal ini
pada gilirannya merupakan modal yang sangat berharga bagi kelangsungan jalannya
pembangunan tahap berikutnya. Sejalan dengan strategi pembangunan nasional tersebut, selama
Pelita IV pembangunan di sektor kesehatan diarahkan pada peningkatan kemampuan setiap
penduduk untuk hidup sehat, dan dapat mengatasi sedini mungkin masalah kesehatan, terutama
melalui pencegahan dan penyembuhan. Di samping itu juga diarahkan pada pengurangan
kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang diderita oleh penduduk, terutama

Departemen Keuangan Republik Indonesia 376


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

penyakit menular, penyakit yang hanya dapat dicegah dengan imunisasi, serta penyakit sebagai
dampak dari bahan yang berbahaya bagi kesehatan. Untuk itu kegiatan tersebut ditunjang, baik
dengan pengadaan obat maupun balai pengobatan yang dapat terjangkau oleh masyarakat, serta
peningkatan kemampuan tenaga kesehatan.

Sementara itu dalam rangka mendukung usaha peningkatan derajat kesehatanbagi


seluruh masyarakat, dan sekaligus untuk mengusahakan terciptanya kesejahteraan ekonomi dan
sosial, maka dilaksanakanlah program keluarga bereneana (KB). Program tersebut dimaksudkan
untuk mencapai keseimbangan yang baik antara jumlah, keeepatan pertambahan penduduk, dan
perk_bangan produksi nasional. Untuk itu seeara operasional program KB dilaksanakan melalui
dua usaha besar, yaitu menurunkan tingkat kesuburan guna mendukung berhasilnya program
pembangunan nasional, serta melembagakan, membudayakan norma keluarga keeil yang
bahagia daD sejahtera sebagai pola hiqup keluarga untuk mencapai pembangunan manusia
seutuhnya, Kedua usaha tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam tiga dimensi target, yakni
perluasanjangkauan, pembinaan, dan pelembagaan pembudayaan KB. Usaha mencapai tujuan
pembangunan, baik di sektor kesehatan maupun pada program KB, dilakukan seeara terpadu
dengan sektor-sektor lainnya di dalam suatu sistem kesehatan dan program KB nasional.

5.4.3.1. Pelayanan kesehatan


Upaya peningkatan pelayanan kesehatan ditujukan untuk memberi pelayanan kesehatan
seeara lebih merata dan sedekat mung kin kepada masyarakat, terutama penduduk pedesaan dan
daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah, daerah terpeneil dan pemukiman
transmigrasi, serta daerah perbatasan. Untuk mencapai tujuan tersebut telah diupayakan
peningkatan pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan, yang dilaksanakan
melalui pus at kesehatan masyarakat (Puskesmas) , Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling
lengkap dengan prasarana dan sarananya, penyediaan obat-obatan, tenaga dokter dan paramedis,
serta pengadaan alat komunikasi jarak jauh single side band (SSB). Demikian pula telah
diupayakan periingkatan fungsi dan citra Puskesmas, peningkatan mutu dan eakupan pelayanan
kesehatan ibu dan aDak (KIA) untuk menunjang penurunan angka kematian bayi, serta
peningkatan peranserta masyarakat melalui pendekatan pus at kesehatan masyarakat desa
(PKMD) yang diwujudkan melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu). Di samping itu
ditingkatkan pula kesehatan aDak usia sekolah dalam rangka menunjang wajib belajar, serta

Departemen Keuangan Republik Indonesia 377


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengembangan pelayanan kesehatan Balita dan pelayanan kesehatan usia lanjut. Sebagai
hasilnya di dalam upaya pendekatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam tahun
1987/1988, telah terdapat sebanyak 5.639 Puskesmas, 17.372 Puskesmas pembantu, 3.516
Puskesmas keliling, 199.614 Posyaridu, serta 275 buah SSB. Dalam rahgka meningkatkan
peranserta -masyarakat di bidang pelayanan kesehatan telah berhasil dibentuk PKMD di 3.000
desa. Perkembangan sarana pelayanan kesehatan masyarakat dapat diikuti pada Tabel V.78.

Agar penyediaan obat-obatan bagi Puskesmas dan rumah sa kit Dari IIlebih memadai,
telah diadakan penyesuaian jumlah dengan nilai satuannya, yang apabila dalam tahun 19861
1987 nilai satuan obat adalah sebesar Rp 400 per kapita, maka dalam tahun 1987/1988 telah
dinaikkan menjadi sebesar Rp 450 per kapita. Dalam pada itu melalui program In pres dalam
tahun 1986/1987 telah dapat dilaksanakan penempatan sebanyak 600 dokter umum, 100 dokter
gigi, 3.253 paramedis, dan 5.000 pekarya kesehatan. Dalam tahun 1987/1988 jumlah tenaga
kesehatan yang ditempatkan masing-masing sebanyak 1.000 dokter umum, 100 dokter gigi,
6.000 paramedis, dan 2.600 pekarya kesehatan. Perkembangan jumlah beberapa jenis tenaga
kesehatan dapat diikuti pada Tabel V.79.

Sementara itu pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) serta keluarga bereneana (KB)
ditujukan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, yang merupakan inti dalam kesehatan
keluarga. Adapun pelayanan tersebut diarahkan untuk mencapai keluarga keeil sehat sejahtera
dalam rangka menuju norma keluarga keeil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Untuk mendukung
pelaksanaan KIA, dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan pembina an terhadap 98 ribu orang
dukun bayi yang dilengkapi dengan sarananya, dan latihan dukun bayi terhadap 110 ribu orang.
Di samping itu juga telah dilaksanakan usaha kesehatan sekolah (UKS), yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat dan derajat kesehatan anak sekolah serta
menciptakan lingkungan yang sehat, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang seeara
harrnonis dan optimal. Upaya yang dilakukan antara lain berupa pemeriksaan berkala untuk
menemukan gejala-gejala penyakit seeara dini dan pemberian pengobatan tahap pertama,
pendidikan kesehatan tentang peneegahan penyakit, serta pembinaan kesehatan ling kung an dan
perbaikan gizi. OKS dilaksanakan pada sekolah dasar (SD), sekolah menengah tingkat pertama
(SMTP) , sekolah menengah tingkat atas (SMT A), serta sekolah agama. Apabila dalam tahun
1986/1987 telah dilaksanakan OKS yang meneakup 34.344 SD dan 4.740 SL TP ISLA, maka
dalam tahun 1987/1988 telah meneakup 45.792 SD dan 6.320 SLTP/SLA.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 378


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu dengan makin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan


pelayanan kesehatan juga semakin meningkat, yang dilayani melalui Puskesmas dan program
kesehatan lainnya yaitu rumah sakit. Tersedianya saran a pelayanan beserta unsur penunjangnya,
tersedianya dokter ahli, dan lebih mantapnya sistem rujukan, adalah serangkaian kebijaksanaan
yang ditempuh untuk lebih mendayagunakan rumah sakit termasuk rumah sakit swasta. Untuk
itu dalam tahun keempat Pelita IV telah dilakukan antara lain peningkatan pelayanan di rumah
sa kit kelas D, peningkatan kelas rumah sakit dari kelas C menjadi C plus, penempatan dokter
sposialis, melanjutkan pembangunan rumah sakit satelit, serta pembinaan rumah sakit swasta
agar dapat lebih mampu meningkatkan fungsi sosialnya. Dalam hubungan ini telah dilakukan
pengadaan 20 set peralatan dokter sposialis, meningkatkan 8 rumah sa kit kelas C menjadi kelas
B, serta 28 rumah sa kit kelas D menjadi kelas C. Sedangkan dalam tahun

Tabel V.78
JUMLAH SARANA PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT,
1973/1974 - 1988/19891)
( buah )
Puskesmas Puskesmas Balai BKIA 3) Pelayauan
Tahun Puskesmas Pembantu 2) Keliling 3) Terpadu
1973/1974 2.343 - - 7.124 6.801 -
1974/1975 3.113 - - 7.124 6.928 -
1975/1976 3.443 - - 4.602 2.744 -
1976/1977 3.893 - - 4.180 2.412 -
1977/1978 4.053 - - 4.180 2.412 -
1978/1979 4.353 - 604 4.180 2.412 -
1979/1980 4.553 7.342 729 - - -
1980/1981 4.753 8.342 979 - - -
1981/1982 4.953 10.342 1.479 - - -
1982/1983 5.153 12.342 1.979 - - -
1983/1984 5.353 13.636 '2.479 - - -
1984/1985 5.453 15.136 2.979 - - 25.000
1985/1986 5.553 16.636 3.479 - - 39.000
1986/1987 5.639 17.302 3.516 - - 133.786
1987/1988 5.639 17.372 3.516 - - 199.614
1988/1989 4) 5.639 17.413 3.516 - - - 5)
- - -
I) Angka kumulatif
2) Merupakan peningkatan dari BKIA dan Balai Pengobatan
3) Sejak ]975/1976 berkurangnya jumlah BKIA dan Balai
Pengobatan karena diintegrasikan ke dalam Puskesmas
4) Angka sementara
5) Data belum tersedia

Departemen Keuangan Republik Indonesia 379


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab el V.79
JUMLAH BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN
1973/1974 -1987/1988

Tahun Dokter Perawat 1) Bidan 1) Perawat Penjenang


kesehatan kesehatan
1973/1974 6.221 7.736 8.323 - 24.248
1974/1975 7.644 8.066 9.160 - 26.262
1975/1976 8.279 9.856 10.710 - 28.707
1976/1977 8.977 - - 23.926 30.972
1977 /1978 9.805 - - 27.711 33.237
1978/1979 10.456 - - 31.061 35.577
1979/1980 11.681 - - 32.854 35.361
1980/1981 12.931 - - 35.520 35.698
1981/1982 15.400 - - 37.693 35.678
1982/1983 16.000 - - 40.000 35.679
1983/1984 2) 17.647 - - 44.651 47.836
1984/1985 3) 1.300 - - 3.619 2.210
1985/1986 3) 1.229 - - 3.861 1.232
1986/1987 3) 1.317 - - 4.675 6.840
1987/1988 3) 1.591 - - 7.281 5.557

1) Sejak tahun 197611977 perawat don bidan ditetapkan menjadi tenaga perawat kesehatan
2) Angka kumulatif
3) Angka tahunan
4) Sejak tahun 198311984 terdiri dari tenaga paramedis nonperawat don pekarya kesehatan.

1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus) telah ditingkatkan 21 rumah sakit kelas D menjadi
kelas C, serta melanjutkan pembangunan rumah sakit umum pusat (RSUP) di Ujung Pandang
dan Manado. Dalam pada itu rumah sakit mata di Bandung telah berfungsi sebagai rumah sakit
rujukan tertinggi di bidang penyakit mata, yang sekaligus dimanfaatkan sebagai tempat
pendidikan. Adapun pelayanan kesehatan mata dalam tahun 1987/1988 telah dapat dilakukan di
1.420 Puskesmas.
Terselenggaranya pemerataan pelayanan kesehatan jiwa merupakan salah satu usaha
pembinaan kesehatan yang ingin dicapai dalam pembangunan. Dalam rangka usaha tersebut
telah dilakukan peningkatan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit umum (RSU)
dan Puskesmas, kerjasama/rujukan lintas sektoral, peningkatan peranserta masyarakat, dan
upaya lain yang bersifat menunjang, seperti penelitian dan sistem informasi kesehatan jiwa.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 380


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Untuk itu dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di 90
Puskesmas dan 72 RSU. Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus)
telah dan akan diintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa di 82 Puskesmas dan 85 RSU,
melanjutkan pembangunan rumah sakit jiwa (RSJ), meningkatkan pelayanan gangguan mental
organik dan pencegahannya, serta peningkatan rehabilitasi mental. Di samping itu juga telah
dilakukan peningkatan mutu pelayanan kesehatan RSJ di pusat dan daerah, pengembangan dan
pemantapan pelayanan kesehatan jiwa, peningkatan mutu dan jenis tenaga ahli, pengadaan alat
kesehatan dan obat, peningkatan kerjasama luar negeri, serta pengembangan survei
pengumpulan data bidang kesehatan jiwa.

Di samping itu ditingkatkan pula pelayanan kesehatan gigi kepada masyarakat,


terutama masyarakat berpenghasilan rendah di desa maupun di kota, yang diutamakan pada
kegiatan preventif promotif yang terdiri dari peningkatan kebersihan mulut, pemakaian fluor,
pengobatan darurat, rujukan dan penyuluhan, dengan pengembangan teknologi tepatguna bagi
kesehatan gigi. Untuk menunjang hal tersebut telah dilaksanakan pula perluasan dan
peningkatan usaha kesehatan gigi sekolah (UKGS). Dalam pada itu juga telah dilakukan
peningkatan sistem pelayanan kesehatan gigi melalui survei epidemiologi, survei pengumpulan
data kadar flour dalam pasta gigi, serta standardisasi/metodologi di daerah, yang meliputi
standardisasi pelayanan dan UKGS di Puskesmas dan pemantapan standardisasi pelayanan di
rumah sakit. Di samping itu juga telah disediakan obat-obatan preventif, penempatan pendidikan
tambahan dokter gigi di bidang spesialisasi kedokteran gigi, pengadaan peralatan pusat
kesehatan gigi dan mulut, serta pembinaan jalur pelayanan kesehatan gigi dan mulut sampai ke
unit keluarga oleh tenaga terlatih/terampil.

Sejalan dengan usaha peningkatan pelayanan kesehatan dan sekaligus untuk menopang
pelaksanaannya, maka daya guna dan peralatan laboratorium terutama di daerah-daerah
terpencil semakin ditingkatkan. Untuk itu antara lain telah dilakukan peningkatan pelayanan
laboratorium kesehatan, koordinasi semua laboratorium kesehatan pemerintah dan swasta,
peningkatan pelayanan rujukan kesehatan di semua tingkat secara timbal balik, peningkatan
kemampuan dan mutu pelayanan laboratorium, peningkatan manajemen dan hukum
kelaboratoriuman, peningkatan prasarana dan sarana laboratorium, serta pengembangan
operasional laboratorium. Dalam rangka peningkatan pelayanan laboratorium kesehatan, dalam
tahun 1987/1988 telah dilaksanakan pelbagai kegiatan antara lain rehabilitasi terhadap satu balai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 381


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

laboratorium kesehatan (BLK), penambahan sarana listrik dan air di 2 BLK, serta pengadaan
peralatan untuk mengganti sebagian peralatan yang telah tidak berfungsi dan untuk
meningkatkan kemampuan pemeriksaan di 15 BLK. Di samping itu dilakukan pendidikan
terhadap 8 orang ahli patologi laboratorium rumah sakit kelas C, bimbingan teknis terhadap 230
laboratorium rumah sakit dan Puskesmas di 27 propinsi, serta pendidikan dan latihan teknis
laboratorium terhadap 505 orang di dalam negeri dan 10 orang di luar negeri. Selain itu juga
telah dilakukan pemeriksaan hepatitis virus B di 27 BLK, dan acquired immune deficiency
syndrome (AIDS) di 3 BLK, serta dalam rangka pemantapan mutu laboratorium bidang kimia
klinik telah dilakukan pembinaan terhadap 200 laboratorium pemerintah dan 250 laboratorium
swasta. Sedangkan di bidang hematologi telah dilakukan pembinaan terhadap 105 laboratorium
pemerintah dan 208 laboratorium swasta.

5.4.3.2. Pemberantasan penyakit menular

Dalam usaha untuk mengurangi jumlah penderita sakit, angka kematian, dan jumlah
penderita yang mengalami cacat tubuh akibat penyakit menular, kegiatan pemberantasan terus
ditingkatkan. Prioritas pemberantasannya ditujukan terhadap penyakit menular yang
menyebabkan angka penderita dan kematian yang tinggi serta menyerang terutama pada
golongan anak-anak dan penduduk pada usia produktif, penyakit menular yang berjangkit pada
daerah yang mempunyai undang-undang karantina, penyakit menular yang pemberantasannya
dalam rangka pengaturan internasional, serta penyakit yang terutama menyerang penduduk
daerah pedesaan atau penduduk yang berpenghasilan rendah di daerah perkotaan. Dalam pada
itu prioritas kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kategori pertama
adalah imunisasi, pemberantasan malaria, kholera/gastroentenitis, TBC paru-paru,
penanggulangan wabah dan penyediaan air bersih. Sedangkan kategori kedua meliputi
pemberantasan penyakit demam berdarah, penyakit kaki gajah (filariasis), penyakit demam
keong (scbistosomiasis), penyakit anjing gila (rabies), patek, dan penyakit kelamin. Di samping
itu dilakukan pula pengamatan terhadap penyakit menular dan serangga penular penyakit serta
pemberantasan penyakit kusta, penyakit cacing tambang dan parasit perut lainnya, pembinaan
kesehatan jemaah haji, karantina, serta upaya penyehatan lingkungan pemukiman. Sementara itu
pelayanan langsung pemberantasan penyakit menular pada masyarakat tetap dilaksanakan oleh
Puskesmas, kecuali untuk beberapa kegiatan yang masih memerlukan penanganan secara khusus

Departemen Keuangan Republik Indonesia 382


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

seperti penyemprotan rumah dan pengobatan massal untuk menanggulangi penyakit malaria.
Dalam Pelita IV (sampai dengan Agustus), telah dilakukan pengumpulan dan pemeriksaan
terhadap sekitar 28,6 juta sediaan darah penderita, pemberian obat kepada sekitar 29 juta
penderita tersangka malaria, dan penyemprotan terhadap sekitar 7,2 juta buah rumah. Dalam
peri ode yang sama telah pula dilakukan pemberantasan penyakit demam berdarah (arbovirosis) ,
yang meliputi pemberantasan jentik nyamuk pada sekitar 2,7 juta rumah dengan menggunakan
racun serangga abate (abatisasi massal), dan penanggulangan focus (penyemprotan) pada sekitar
19,5 ribu lokasi di daerah wabah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, angka kematian
akibat demam berdarah mengalami penurunan dari 8,1 persen dalam Pelita I menjadi 4,6 persen
dalam Pelita IV. Pemberantasan penyakit kaki gajah (filariasis) dalam Pelita IV (sampai dengan
Agustus) dilakukan melalui pemeriksaan terhadap sekitar 487.418 sediaan darah malam dan
pengobatan terhadap 305.761 penderita. Dalam rangka pemberantasan penyakit demam keong
(schistosomiasis), dalam periode yang sama telah dilakukan survei di 33 daerah rawan dan
pengambilan lebih dari 263.130 sediaan tinja, serta tindakan preventif terhadap lebih dari 36.259
penderita tersangka di daerah endemis yaitu sekitar danau Lindu (Sulawesi Tengah). Di samping
itu dalam periode yang sama dilakukan pula pemberantasan penyakit rabies dan pos melalui
pengumpulan dan pemeriksaan terhadap 4.507 sediaan darah tersangka rabies, dan pengobatan
terhadap 41.380 orang yang digigit oleh hewan tersangka rabies. Sementara itu dalam rangka
pemberantasan penyakit pos, dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus) telah
dilakukan pengobatan terhadap 22 orang tersangka pos. Selanjutnya juga dilakukan
pemberantasan terhadap penyakit anthrax, yakni penyakit menular yang bersumber dari
binatang di daerah endemis anthrax yaitu Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Timor Timur.
Dalam Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus), telah dilakukan pengumpulan dan pemeriksaan
terhadap 1.275 sediaan darah tersangka anthrax dan pengobatan terhadap 1.250 orang penderita
tersangka anthrax.
Sejalan dengan pemberantasan penyakit menular yang bersumber dari binatang, telah
pula dilakukan pemberantasan penyakit yang berasal dari penularan langsung. Dalam Pelita IV
(sampai dengan bulan Agustus), sebagai usaha penanggulangan penyakit TBC paru-paru antara
lain telah dilakukan pemeriksaan dahak dari sekitar 766.187 penduduk dan pengobatan terhadap
sekitar 47.368 penderita tersangka TBC paru-paru, baik dengan streptomycin maupun
refampisin. Jumlah penderita yang diobati tersebut belum termasuk penderita yang diobati oleh
balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4) dan di rumah-rumah sakit. Dalam rangka

Departemen Keuangan Republik Indonesia 383


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pemberantasan penyakit frambusia, dalam periode yang sama telah dilakukan pemeriksaan
terhadap sekitar 8.919.696 penduduk dan pengobatan terhadap sekitar 243.419 penderita. Di
samping itu dilakukan pula usaha pemberantasan dan pencegahan penyakit kelamin yang
diprioritaskan pada syphilis dan gonorhoe (GO) di kota-kota besar dan pelabuhan. Untuk itu
telah dilakukan pemeriksaan terhadap sekitar 422.985 sediaan darah penderita tersangka, serta
pemeriksaan GO sekaligus pengobatannya pada sekitar 157.728 orang. Selanjutnya
pemberantasan penyakit kusta tetap diutamakan pada daerahdaerah yang mempunyai angka
kesakitan tinggi, antara lain di daerah Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Di samping diberi
pengobatan, terhadap penderita dilakukan pula usaha rehabilitasi antara lain dalam bentuk
latihan keterampilan untuk bidang industri, pertukangan, pertanian dan lain-lain. Dengan
keterampilan ini diharapkan penderita kusta dapat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.
Dalam pada itu juga dilakukan pemberantasan penyakit cacing tambang dan parasit perut
lainnya, dengan prioritas pemberantasan adalah daerah yang mempunyai angka kesakitan tinggi,
antara lain di daerah pertambangan dan perkebunan. Selain itu telah pula dilakukan
pemberantasan penyakit kholera dan diare. Sejak awal Pelita IV telah dimulai program
pengembangan pemberantasan penyakit diare (P4D) di kecamatan, sedangkan pelaksanaanya
sebagian dipadukan dengan program perbaikan gizi, yang dilakukan melalui pos pelayanan
kesehatan terpadu di desa-desa. Dengan demikian Puskesmas tidak lagi bertindak sebagai pusat
rehidrasi. Dengan adanya P4D tersebut, distribusi oralit dilaksanakan langsung di desa-desa dan
di keluarga-keluarga. Dengan ditunjang oleh penyuluhan yang intensif, masyarakat makin tahu
manfaat dan cara penggunaan oralit atau larutan gula garam untuk menanggulangi kholera dan
diare.

Berbagai penyakit anak seperti diptheria, batuk rejan (pertusis), tetanus neonatorum,
campak, polio, dan TBC paru-paru, dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga pengembangan
imunisasi terus ditingkatkan menjadi program pengembangan imunisasi (PPI). Dalam kegiatan
PPI telah diadakan pula penambahan antigen untuk penyakit polio dan campak. Dalam Pelita IV
(sampai dengan bulan Agustus), telah dilakukan vaksinasi bacilus calmete guirin (BCG)
pertama terhadap sekitar 13 juta bayi, vaksinasi tetanus formal toxdid (TFT)/tetanus toxdid (IT)
terhadap sekitar 13,6 juta ibu hamil dan anak, vaksinasi diphteria pertusis tetanus (DPT)
terhadap sekitar 11,9 juta bayi, vaksinasi deptherina tetanus (DT) terhadap sekitar 9,4 juta anak,
vaksinasi polio terhadap sekitar 9,1 juta anak, serta vaksinasi pencegahan penyakit campak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 384


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

(morbili) terhadap sekitar 7,1 juta anak. Sementara itu dalam rangka mencegah penyebaran
penyakit dari suatu tempat/wilayah ke tempat/wilayah lainnya, telah dilakukan peningkatan
kesehatan terhadap pelabuhan karantina haji, pengamanan kesehatan dalam pemindahan
penduduk, isolasi penderita penyakit menular, serta pengamatan penyakit menular dan
vektornya.

Program perbaikan gizi bertujuan untuk menunjang upaya penurunan angka kematian
Balita, dan membantu masyarakat di dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal melalui
peningkatan gizi, terutama bagi golongan rawan dan masyarakat berpenghasilan rendah di desa
dan di kota. Untuk itu dalam tahun keempat Pelita IV telah dilakukan kegiatan-kegiatan yang
meliputi usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) serta pencegahan dan penanggulangan penyakit
gangguan gizi, terutama di dalam hal kekurangan kalori protein, kekurangan vitamin A, gondok
endemik, anemia gizi besi, peningkatan gizi anak sekolah, pelayanan gizi intitusi, dan
pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Kegiatan UPGK, yang dilaksanakan
secara terpadu di sektor kesehatan, pertanian, agama, dan keluarga berencana tersebut antara
lain mencakup penimbangan anak Balita, penyuluhan gizi, pemberian paket pertolongan gizi,
pemanfaatan tanaman pekarangan, dan pemberian makanan tambahan. Dalam tahun 1988/1989
(sampai dengan bulan Agustus), telah dilakukan pengembangan UPGK pada 21.159 desa baru,
di samping tetap dilanjutkan pembinaan pada desa UPGK lama. Sementara itu dalam waktu
yang sama dilakukan pula penanggulangan dan pencegahan kekurangan vitamin A pada
propinsi rawan, baik melalui jalur distribusi khusus (pra UPGK) maupun UPGK. Selanjutnya
untuk menanggulangi dan mencegah anemia gizi besi telah dilakukan pemberian pil zat besi,
penyuluhan gizi dan pemanfaatan tanaman pekarangan, yang pelaksanaannya diintegrasikan ke
dalam UPGK. Dalam tahun 1987/1988 tablet zat besi telah diberikan kepada sekitar 1,9 juta
wanita hamil. Sedangkan untuk penanggulangan dan pencegahan gondok endemik telah
dilakukan penyuntikan larutan yodium dalam minyak terhadap daerah endemik berat, yang
meliputi sekitar 9.441.307 orang. Di samping itu produksi garam beryodium terus ditingkatkan,
dan pemasarannya makin diperluas untuk menjangkau lebih banyak penduduk di daerah gondok
endemik. Adapun sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) telah mencakup 27 propinsi,
serta fungsi SKPG di propinsi-propinsi tersebut terus ditingkatkan. Dalam rangka pelayanan gizi
intitusi, telah pula ditingkatkan pelayanan di rumah sakit, panti-panti asuhan dan pelayanan gizi
di beberapa perusahaan, dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 385


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

itu penyuluhan gizi kepada masyarakat terus digalakkan, terutama tentang pentingnya air susu
ibu (ASI), makanan tambahan bagi bayi, cara menyusun makanan sehat dan murah bagi
keluarga, dan lain sebagainya.

Program penyediaan air bersih ditujukan untuk meningkatkan tersedianya air bersih
secara merata dengan jumlah dan mutu yang memenuhi syarat kesehatan. Usaha ini terutama
ditujukan kepada masyarakat pedesaan dan perkotaan yang berpenghasilan rendah, serta daerah-
daerah yang sulit memperoleh air bersih. Pada umumnya mereka belum mempunyai air bersih
yang memenuhi persyaratan kesehatan sehingga mudah terserang penyakit kholera dan penyakit
perut lainnya. Sehubungan dengan itu selama empat tahun pertama Pelita IV telah dibangun
berbagai jenis sarana penyediaan air bersih, yang meliputi 188 buah penampungan mata air
dengan perpipaan (PP), 13.809 buah penampungan air hujan (PAH), 1.011 buah perlindungan
mata air (PMA), 88 buah sumur artesis (SA), 166.116 buah sumur pompa tangan dangkal (SPT
DK), 30.536 buah sumur pompa tangan dalam (SPT DL), dan 44.559 buah sumur gali (SGL).
Selanjutnya dalam periode yang sama telah dibangun pula saringan pengolahan Fe dan Mn
sebanyak 12 buah, saringan air sederhana sebanyak 18 buah, dan kran umum sebanyak 230 buah.
Oleh karena dalam membangun sarana air bersih pedesaan tersebut disadari pentingnya
partisipasi aktif masyarakat, maka selalu diperhatikan juga segi penyuluhan untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Dengan demikian kesadaran masyarakat akan
pentingnya air bersih semakin meningkat, dan selanjutnya masyarakat akan ikut bertanggung
jawab terhadap pembangunan dan pembina an sarana air bersih yang sudah ada.
Program kesehatan lingkungan pemukiman bertujuan mencapai mutu lingkungan yang
dapat menjamin derajat kesehatan optimal, serta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di
dalam upaya peningkatan dan pelestarian kesehatan lingkungan. Dalam Pelita IV (sampai
dengan bulan Agustus), telah dilakukan upaya penyehatan lingkungan, yang meliputi
peningkatan sanitasi rumah penduduk pedesa an sebanyak 279 rumah, dan pengawasan saran
pembuangan sampah di 151 kabupatenjkotamadya. Sementara itu dalam periode yang sama
telah dilakukan pula kegiatan penyehatan tempat umum dan industri, berupa pemeriksaan
terhadap sanitasi tempat-tempat umum (ITU) di 45.273 lokasi, penyehatan perumahan dan
lingkungan di 21 lokasi, serta pengendalian pencemaran pestisida di 45 lokasi.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 386


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

5.4.3.3. Pengadaan dan pengawasan obat, makanan dan minuman

Upaya kegiatan di bidang pengadaan dan pengawasan obat, makanan dan minuman
(POM) ditujukan untuk mencukupi jenis dan jumlah obat serta alat kesehatan sesuai dengan
kebutuhan nyata masyarakat dengan penyebaran yang semakin merata sehingga terjangkau oleh
masyarakat luas. Di samping itu juga untuk menjamin kebenaran mutu, keamanan,
khasiat/kemanfaatan, dan keabsahan obat, narkotik, obat tradisional, serta makanan dan
minuman yang beredar di masyarakat. Selanjutnya upaya tersebut dimaksudkan pula untuk
mencegah penyalahgunaan dan kesalahgunaan serta melindungi masyarakat dari bahaya obat,
narkotik dan minuman keras, yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan, keselamatan,
dan keamanan rakyat, serta melindungi masyarakat dan lingkungan terhadap bahan-bahan
berbahaya, serta mencegah salah penggunaan dan penyalahgunaannya. Untuk menunjang hal
tersebut, dalam tahun keempat Pelita IV telah ditingkatkan kapasitas dan teknologi produksi
industri farmasi sektor swasta nasional, sehingga semakin dapat berperan aktif dalam pengadaan
obat tradisional. Demikian pula unit produksi milik Pemerintah telah dapat ditingkatkan
kemampuannya, terutama untuk produksi obat-obat esensial yang sangat diperlukan dalam
program pelayanan kesehatan. Sementara itu dalam bidang pengadaan bahan baku, terutama
bahan baku obat esensial, secara bertahap telah dikembangkan industri farmasi dalam negeri.
Dalam Pelita IV, beberapa bahan baku yang cukup penting seperti parasetomol, eritromisin,
kanamisin, trimetroprim, salisilanid asetil salisilat, dan berbagai bahan baku obat yang berasal
dari alam telah mulai diproduksi di dalam negeri. Demikian pula kapsul kosong untuk obat jadi
telah diproduksi di dalam negeri dengan kapasitas 3 milyar kapsul tiap tahun, serta telah
ditingkatkan juga produksi obat tradisional, kosmetik dan alat kesehatan dengan mutu yang
semakin baik.

Dalam tahun keempat Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus), pedagang besar
farmasi dan industri farmasi telah tercatat masing-masing sebanyak 942 buah dan 295 buah,
sedangkan jumlah apotik sebanyak 2.387 buah. Dalam rangka memperlancar distribusi obat
telah dibangun 180 buah gudang farmasi di kabupaten dan kotamadya. Di samping itu
pengendalian dan pengawasan terhadap produksi, distribusi dan penggunaan obat, narkotika,
psikotropika dan minuman keras telah semakin diperketat untuk melindungi penyalahgunaan
terutama oleh generasi muda. Untuk itu dalam tahun 1987/1988 telah dilaksanakan pemeriksaan
setempat terhadap 3.312 sarana produksi dan distribusi obat makan dan sediaan farmasi, yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 387


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tersebar di seluruh Indonesia. Juga telah dilakukan pengujian terhadap 9.472 sampel, yang
diambil dari peredaran dan dari permohonan registrasi obat. Dalam pada itu melalui sistem
registrasi obat, pemerintah telah melakukan rasionalisasi obat yang beredar di masyarakat sesuai
dengan kebutuhan nyata masyarakat dan program kesehatan. Selanjutnya melalui mekanisme
registrasi telah dilakukan penilaian terhadap 350 jenis obat, 640 jenis makan, 300 jenis obat
tradisional, 725 jenis kosmetik dan alat kesehatan, serta 75 jenis narkotik dan obat keras tertentu.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus),
meliputi pengujian terhadap 5.875 sampel, pemeriksaan setempat terhadap 1.525 sarana
produksi dan distribusi obat, makanan dan sediaan farmasi yang tersebar di seluruh Indonesia,
dan pengujian terhadap 5.857 sampel obat, makanan dan sediaan farmasi lainnya. Sejalan
dengan itu telah dilakukan penilaian terhadap 450 jenis obat, 770 jenis makanan dan minuman,
200 jenis obat tradisional, 1.125 jenis kosmetika dan alat kesehatan, serta 40 jenis narkotika dan
bahan berbahaya.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan pengujian terhadap produk-produk yang


beredar di masyarakat, telah dilakukan pengadaan peralatan tambahan pada balai POM di 27
propinsi dan pusat POM yang ada di Jakarta. Di samping itu dilakukan pula rehabilitasi dan
perluasan laboratorium, sedangkan untuk menunjang kegiatan pengujian telah dilakukan
penyempumaan berbagai metoda analisa. Dalam pada itu agar masyarakat dapat menggunakan
produk-produk obat, makanan, kosmetik dan alat kesehatan secara tepat, benar dan aman, telah
dilakukan penyuluhan dan penyebaran informasi di 27 propinsi terhadap masyarakat, termasuk
di dalamnya tenaga-tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Sedangkan untuk membantu dokter agar dapat memilih obat yang tepat serta sesuai dengan
kemampuan ekonomi pasien, telah diterbitkan buku informasi harga obat.

5.4.3.4. Keluarga berencana


Pelaksanaan program keluarga berencana (KB) yang secara resmi dimulai sejak tahun
1970 sampai saat ini telah berkembang demikian pesat. Dalam rangka mencapai tujuan program
KB nasional telah dilakukan berbagai upaya dan kegiatan yang diarahkan pada peningkatan
kualitas program, kerjasama dan koordinasi yang semakin rapi dengan pembangunan di
berbagai sektor lainnya, serta peningkatan partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Upaya-upaya
tersebut telah memberikan semangat kebersamaan dan rasa optimisme nasional untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 388


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

meningkatkan kualitas penduduk Indonesia melalui pelaksanaan program KB nasional dan


program pembangunan lainnya. Program KB nasional dalam tahun 1988/1989, yang merupakan
tahun terakhir dalam Pelita IV, akan memberikan prioritas kepada pemantapan lini lapangan di
setiap tingkat wilayah dengan meningkatkan mutu kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE), pelayanan kontrasepsi, serta unsur-unsur penunjang pengelolaan. Usaha ini diarahkan
kepada peningkatan pengetahuan, kesadaran dan peranserta masyarakat, agar dengan demikian
mereka dapat mengembangkan kemampuan ke arah kemandirian dalam ber-KB. Peningkatan
dan pemantapan lini lapangan meliputi kesiapan tenaga, perlengkapan dan sarana, serta
penyelenggaraan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi secara teratur. Kesemuanya itu
dimaksudkan untuk menggalang kesepakatan dan terlaksananya dengan baik gerakan
operasional di lapangan, seperti pos pelayanan terpadu (Posyandu), team KB keliling (TKBK),
serta kegiatan-kegiatan kelompok masyarakat lainnya.
Untuk lebih memantapkan mutu kesertaan masyarakat ber-KB, berbagai kegiatan telah
dilakukan dalam bidang KlE, khususnya yang berkaitan dengan KlE medis. Berbagai jalur
pelayanan kontrasepsi seperti klinik KB, pelayanan KB rumah sakit (PKBRS), dokter dan bidan
swasta, pembina pembantu KB desa (PPKBD), dan TKBK, terus dikembangkan, baik dalam
mutu maupun jumlah. Sampai saat ini sarana utama pelayanan KB yang tersebar sampai di
kecamatan dan desa adalah klinik KB. Jumlah klinik KB pada awal program hanya sebanyak
727 klinik dan pada akhir Pelita II telah tercatat sebanyak 4.134 klinik. Selanjutnya dalam
perkembangannya program tersebut terus bergerak maju, yaitu apabila dalam Pelita I program
KB difokuskan hanya di wilayah Jawa dan Bali saja, maka dalam Pelita II dan III pelaksanaan
program KB telah menjangkau seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan demikian kebutuhan
klinik KB-pun juga semakin meningkat. Apabila akhir Pelita III jumlah klinik KB sebanyak
7.064 unit, maka menjelang akhir Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah menjadi
sebanyak 9.007 unit (lihat Tabel V. 80) yang tersebar sampai ke pelosok pedesaan.
Untuk memberikan dan lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada para akseptor
telah disediakan tenaga profesional seperti dokter, bidan, pembantu bidan, tenaga administrasi,
dan petugas lapangan KB. Pada awal tahun Pelita IV (1984/1985) tercatat sebanyak 4.954
dokter dan 6.961 bidan dan jumlah tersebut menjelang akhir Pelita IV (sampai dengan bulan
Agustus 1988), telah bertambah menjadi sebanyak 8.423 dokter dan 10.833 bidan. Sedangkan
dalam peri ode yang sama telah terdapat sebanyak 6.411 pembantu bidan dan 7.083 tenaga
administrasi klinik.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 389


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Dalam pada itu untuk lebih meningkatkan jumlah akseptor dan kunjungan, serta untuk
pendekatan persuasif terhadap calori akseptor dan pemimpin informal di lapangan, telah
diangkat sejumlah tenaga khusus lapangan program keluarga berencana. Fungsi dan peranan
mereka sangat renting di front terdepan, yaitu sebagai ujung tombak dalam mensukseskan
program KB di Indonesia. Pada awal Pelita IV tercatat sebanyak 13.506
.petugas, dan perkembangan tenaga KB lapangan tersebut terus melonjak, sehingga pada awal
Pelita IV telah terdapat sebanyak 18.491 petugas yang terse bar di setiap kecamatan dan pelosok
pedesaan. Sebagaimana harapan pemerintah, usaha untuk mengajak masyarakat untuk menjadi
poserta KB baru, sampai saat ini telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini
terbukti dengan adanya kenaikan jumlah poserta KB baru pada setiap tahunnya. Meskipun
dalam Pelita IV program KB lebih diarahkan pada usaha peningkatan kualitas poserta, namun
pencapaian poserta KB baru tetap menunjukkan kenaikan yang menggembirakan. Dalam
perkembangannya, sampai dengan tahun pertama Pelita IV poserta KB baru mencapai diatas 4
juta poserta, kemudian sampai dengan tahun keempat (1987/1988) meningkat sampai diatas 5
juta poserta, sedangkan dalam tahun kelima Pelita IV (sampai dengan bulanAgustus 1988) telah
mencapai sebanyak 946,7 ribu poserta KB baru (lihat Tabel V .81). Ditinjau dari segi metode
kontrasepsinya, terlihat bahwa dalam tahun pertama Pelita IV (1984/1985) poserta KB baru
tersebut terdiri dari poserta pengguna pil sebesar 41,9 persen, IUD 24,0 persen, suntikan 28,0
persen, dan lain-lain 6,0 persen. Sedangkan dalam tahun 1987/1988, yang merupakan tahun
keempat Pelita IV, tercatat sebanyak 36,0 persen poserta KB baru menggunakan pil, 21,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 390


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.80
JUMLAH KLINIK, PERSONALIA DAN PETUGAS LAPANGAN KELUARGA BERENCANA, 1969/1970 -1988/1989
( dalam jumlah orang, kecuali untuk klinik KB dalam satuan )

Jumlah Pembantu Tenaga Petugas


Tahun klinik Dokter Bidan bidan administrasi
klinik lapangan
1969/1970 727 421 855 75 - - 2)
1970/1971 1.465 556 1.678 580 322 - 2)
1971/1972 1.861 791 1.758 605 1.275 1.930
1972/1973 2.137 883 1.776 1.143 1.646 3.774
1973/1974 2.235 1.186 2.241 1.959 1.970 5.969
1974/1975 3.018 1.956 3.421 2.657 2.609 6.639
1975/1976 3.343 2.316 3.919 3.098 2.995 6.578
1976/1977 3.620 2.569 4.213 3.349 3.232 6.445
1977/1978 3.791 2.750 4.436 3.532 3.392 6.682
1978/1979 4.134 2.882 4.568 3.715 3.504 5.999
1979/1980 5.118 3.594 5.476 4.319 3.927 7.000
1980/1981 5.609 3.808 5.707 4.525 4.096 7.000
1981/1982 6.129 3.975 5.974 4.661 4.242 9.964
1982/1983 6.586 4.303 6.239 4.920 4.478 11.425
1983/1984 7.064 4.601 6.544 5.141 4.667 12.041
1984/1985 7.509 4.954 6.961 6.5% 5.989 13.506
1985/1986 8.073 5.325 7.483 7.090 6.438 14.979
1986/1987 8.464 5.583 7.845 7.433 6.749 18.455
1987/1988 3) 8.491 7.797 10.175 6.330 6.448 18.767
1988/1989 4) 9.007 8.423 10.833 6.411 7.083 18.491
1) Pekerjaan administrasi dirangkap pembantu bidan
2) Belum ads tenaga PLKB ( Petugas Lapangan KB )
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

Tab el V.81
JUMLAH AKSEPTOR BARU YANG DICAPAI MENURUT METODE KONTRASEPSI
1969/1970 -1988/1989
( ribu orang)

Tahun Pil IUD Lain-lain Jumlah


1969/1970 14,6 29 9,5 53,1
1970/1971 79,8 76,4 24,9 181,1
1971/1972 281,8 212,7 24,9 519,4
1972/1973 607 380,3 91,6 1.078,90
1973/1974 857,7 293,2 218,2 1.369,10
1974/1975 1.087,80 187,2 317,9 1.592,90
1975/1976 1.330,30 252 384,3 1.966,60
1976/1977 1.481,70 400,2 330,9 2.212,80
1977/1978 1.593,90 366,5 286,1 2.246,50
1978/1979 1.524,50 . 405,7 285,7 2.215,90
1979/1980 1.550,90 398,2 280,5 2.229,70
1980/1981 2.120,80 496,8 433,5 3.051,10
1981/1982 1.908,60 596,8 461,4 2.966,80
1982/1983 2.055,20 892,4 937,6 3.885,20
1983/1984 2.316,2. 1.424,50 1.505,40 5.246,10
1984/1985 1.708,00 979,8 1.384,80 4.072,60
1985/1986 2.054,50 1.131,40 1.881,70 5.067,60
1986/1987 1.887,80 905,5 2.135,80 4.929,10
1987/1988 1) 1.869,00 1.136,80 2.179,80 5.185,60
1988/1989 2) 318.5 218,3 409,9 946,7
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 391


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

persen menggunakan IUD, 3,4 persen menggunakan kondom, 33,7 persen dengan suntikan, 2,3
persen memakai metode lain-lain, dan sebanyak 2,7 persen poserta menggunakan metode
implant (metode tanam di l_ngan). Selanjutnya sampai dengan bulan Agustus 1988, poserta KB
baru terdiri dari pengguna pil sebesar 33,6 persen, IUD 23,1 persen, kondom 3,0 persen,
suntikan 36,0 persen, metode lain-lain 2,3 persen, dan dengan implant sebanyak 1,9 persen.
Perlu diketengahkan pula bahwa dalam tiga tahun terakhir ini (1986/1987, 1987/1988 dan
1988/1989), para poserta KB cenderung ke arah pemakaian metode kontrasepsi yang lebih
mantap yaitu IUD, sedangkan penggunaan alat kontrasepsi pil dan kondom tampak semakin
menurun.

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan dan mamantapkan poserta KB secara lestari,
maka pembinaan poserta KB diarahkan pada keikutsertaan masyarakat sebagai poserta KB.
Dalam pelaksanaannya, di samping dengan mengadakan penyaluran alat kontrasepsi yang lebih
mudah, juga dilakukan upaya pengayoman medis dan terpadu. Sebagai indikator keberhasilan
dan pembina an KB tersebut, antara laIn dapat diukur dari banyaknya poserta KB aktif maupun
poserta KB yang reaktif setelah beristirahat beberapa waktu dalam menggunakan alat
kontrasepsinya. Dalam tahun pertama Pelita IV, secara nasional tercatat 15.694.832 poserta,
kemudian dalam tahun kedua Pelita IV menurun menjadi 15.319.158 poserta, namun dalam
tahun berikutnya, yaitu dalam tahun 1986/1987, naik menjadi 16.680.373 poserta. Demikian
pula dalam tahun keempat Pelita IV (1987/ 1988), pencapaian poserta KB aktiftercatat sebanyak
18.309.620 poserta, dan sampai bulan Agustus 1988 telah mencapai 17.411.192 poserta.
Apabila ditinjau dari metode kontrasepsi yang dipakai oleh poserta aktif, terlihat bahwa secara
nasional dalam tahun pertama Pelita IV poserta pengguna pil tercatat sebanyak 53,9 persen, IUD
27,7 persen, kondom 4,4 persen, suntikan 11,1 persen, dan untuk metode lain-lain 2,9 persen.
Dalam perkembangannya untuk tahun kelima Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988),
jumlah poserta pengguna terbanyak masih dengan kontrasepsi pil yaitu 51,1 persen, disusullUD
sebesar 23,3 persen, suntikan 16,6 persen, kondom 3,8 persen, lainnya 3,8 persen, dan untuk
implant sebesar 1,4 persen. Dengan demikian selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus
1988), pencapaian poserta KB aktif yang menjadi sa saran utama program KB tersebut apabila
ditinjau dari tingkat prevelensinya, yaitu proporsi poserta KB aktif terhadap jumlah posangan
usia subur (PUS) mencapai sebanyak 64,7 persen.

Sementara itu dalam rangka pembinaan peranserta masyarakat, telah dilakukan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 392


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

berbagai upaya untuk meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat dan seluruh instansi
pemefintah untuk ikut serta menggarap program KB secara berlanjut. Demikian pula telah
dilakukan pendekatan-pendekatan kepada kalangan pemuda, mahasiswa, dan pramuka dalam
usaha untuk peningkatan usia perkawinan maupun program pendidikan kependudukan. Tujuan
daripada program tersebut adalah agar generasi muda mempunyai kesadaran, pengetahuan, dan
tingkah laku yang lebih bertanggung jawab terhadap masalah kependudukan di Indonesia.

Selanjutnya pelembagaan di kalangan masyarakat ditandai dengan semakin ber-


kembangnya institusi masyarakat seperti pembantu pembina KB desa (PPKBD), sub-PPKBD
atau paguyuban-paguyuban KB, khususnya di masyarakat pedesaan. Sarnpai saat ini secara
nasional jumlah PPKBD dan sub-PPKBD masing-masing tercatat sebanyak 74.031 unit dan
sebanyak 203.928 unit. Berkembangnya PPKBD dan sub-PPKBD di setiap pedesaan/pedukuhan
tersebut telah banyak memberikan manfaat, yaitu antara lain memudahkan pelayanan pemberian
kontrasepsi kepada masyarakat yang sedans ber-KB, sehingga pelayanan pada kIinik-kIinik KB
berserta TKBK yang terbatas dana jangkauannya dapat diatasi dan diperluas oleh masyarakat
sendiri. Pada gilirannya masyarakat yang berada di wilayah kerja PPKBD/sub-PPKBD atau
paguyuban KB tersebut dapat mengarah kepada usaha memenuhi kebutuhannya sendiri untuk
mencapai masyarakat bahagia sejahtera. Oleh karena itu PPKBD juga dimaksudkan sebagai
wadah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan lain yang bersifat ikut menunjang kelestarian
poserta KB, seperti di antaranya penimbangan bayi usia di bawah lima tahun (BaIita),
peningkatan gizi keluarga, usaha peningkatan pendapatan keluarga (UPPK), penanaman kelapa
hibrida, dan sebagainya. Dari hasil kegiatan tersebut jumlah kelompok akseptor yang memiliki
kegiatan penimbangan BaIita sampai dengan bulan Agustus 1988 tercatat sebanyak 182.691
kelompok, dan yang mempunyai kegiatan UPPK sebanyak 24.251 kelompok.

Keberhasilan program KB dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ber-KB


ternyata mempunyai pengaruh positip terhadap tingkat kelahiran. Sebagaimana diketahui salah
satu indikator tingkat kelahiran yang lazim digunakan dalam program KB selama ini adalah
tingkat kelahiran kasar (crude birth rate/CBR) dan tingkat kelahiran total (total fertility
ratejTFR). Berdasarkan hasil-hasil survei dan analisa dari Biro Pusat Statistik (BPS) diper-
kirakan tingkat CBR dalam tahun 1985 adalah sebesar 29,80 per seribu penduduk. Angka
tersebut ternyata lebih rendah dari target PeIita IV, yaitu sebesar 31 ,02. Dibandingkan dengan.
tingkat kelahiran kasar sebelum program KB nasional yang dimulai tahun 1970, yaitu sebesar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 393


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

44,00, maka ini berarti telah terjadi penurunan sebesar 32,27 persen. Demikian pula dengan
tingkat kelahiran total, telah terjadi penurunan sekitar dua anak, atau penurunan lebih dari 35,0
persen selama 15 tahun, yaitu dari 5,60 dalam periode 1967 -1970 menjadi 3,66 dalam tahu.n
1985. Keadaan tersebut berarti bahwa setiap wanita usia kawin di Indonesia dalam periode 1967
-1970 rata-rata melahirkan 5,60 anak, yang menjadi 3,66 anak dalam tahunl985. Dari hasil
sementara survei prevalensi Indonesia 1987, ternyata TFR juga terus menurun menjadi 3,39
dalam tahun 1987. Selain tingkat pemakaian kontrasepsi, variabellain yang berpengaruh
terhadap penurunan tingkat kelahiran adalah peningkatan usia kawin. Apabila dalam awal
program (1970) usia rata-rata kawin wan ita adalah 19,4 tahun, maka berdasarkan hasil survei
BPS dilaporkan bahwa rata-rata usia kawin telah meningkat dari 20 tahun dalam tahun 1980,
menjadi 21,2 tahun dalam tahun 1985. Variabellain yang erat kaitannya dengan tingkat
kelahiran adalah tingkat kematian bayi dan tingkat harapan hidup, dan kedua variabel tersebut
juga mendapat perhatian dalam program KB, serta telah menjadi salah satu aspek yang strategis
bagi upaya pengendalian kelahiran. Apabila dalam tahun 1971 diperkirakan tingkat kematian
bayi adalah sebesar 132 anak per seribu kelahiran, maka keadaan tersebut menurun menjadi 112
dalam tahun 1980, dan selanjutnya dalam tahun 1985 diperkirakan menjadi sebesar 71.
Berdasarkan penun.inan tingkat kematian bayi tersebut, diperkirakan umur harapan hidup juga
meningkat. Apabila dalam tahun 1971 diperkirakan umur rata-rata harapan hidup adalah 46
tahun, maka dalam tahun 1980 angka tersebut meningkat menjadi 52,5 tahun, dan dalam tahun
1985 menjadi 59,9 tahun.

5.4.4. Penerangan
Berhasilnya pembangunan nasional di antaranya sangat tergantung pada partisipasi
seluruh rakyat, serta pada sikap, tekad dan semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara
negara. Guna menggugah dan merangsang partisipasi seluruh rakyat tersebut secara nyata,
diperlukan sistem penerangan yang persuasif, edukatif, dan informatif, yang di dalam
pelaksanaannya diterapkan metode penerangan timbal balik dan dialogis. Sehubungan dengan
hal tersebut tugas penerangan dituntut tidak hanya sekedar memberi informasi saja, melainkan
harus pula dapat meningkatkan masyarakat untuk ikut berkiprah dalam era pembangunan. Hal
ini berarti bahwa tugas penerangan bukanlah hanya mengeluarkan perintah-perintah saja,
melainkan mengajak dan menyadarkan masyarakat, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat
tergetar jiwanya dan tergerak kemampuannya untuk berbilat dalam mencapai apa yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 394


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

diinginkan bersama dalam pembangunan bangsa. Disadari akan pentingnya peranan penerangan
dalam pembangunan maka kebijaksanaan penerangan dalam Pelita IV diarahkan untuk
meningkatkan pemerataan penerangan maupun meningkatkan bobot isi posan yang disampaikan
ke pelosok penjuru tanah air melalui media penerangan seperti radio, televisi, film, pers,
penerbitan, pameran, media tradisional, dan penerangan tatap muka.

5.4.4.1. Operasional penerangan


Selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988), kegiatan penerangan telah
ditingkatkan pemanfaatannya melalui berbagai media penerangan yang tersedia, baik yang
dimiliki pemerintah maupun masyarakat. Sasaran operasional penerangan sebagian besar
ditujukan kepada pemerataan penerangan sampai ke daerah pedesaaan, yang diselenggarakan
dengan tetap memperhatikan keadaan wilayah, kebudayaan, serta tingkat perkembangannya.
Sedangkan penyampaian posan-posan penerangan yang disalurkan melalui media massa seperti
radio, televisi, pers dan berbagai penerbitan, telah didukung para juru penerang, pemuka
masyarakat, serta tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat pedesaan. Selanjutnya untuk
lebih menunjang pemerataan informasi, telah pula ditempatkan televisi umum di desa-desa yang
telah terjangkau oleh siaran TVRI. Untukitu selama Pelita IV telah diteri1patkan televisi umum
di berbagai penjuru tanah air yang mencapai sekitar 250.000 buah. Dalam rangka penyampaian
posan-posan penerangan tersebut kepada masyarakat, terns diupayakan timbulnya paguyuban
dalam bentuk kelompok-kelompok pendengar, pembaca, dan pirsawan, yang lebih dikenal
dengan nama Kelompencapir. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut, untuk meningkatkan
kemampuan operasional penerangan terpadu, diselenggarakan juga forum komunikasi dan
koordinasi operasi penerangan (Fokkopen) di berbagai wilayah dengan mengikutsertakan
kelompok-kelompok masyarakat pedesaan. Upaya tersebut telah dilakukan di seluruh propinsi
dengan tema yang bertujuan mendukung pelaksanaan program-program pembangunan, baik
yang bersifat sektoral, lintas sektoral, maupun yang bersifat kampanye nasional.
Oleh karena pembangunan nasional melibatkan berbagai instansi yang memerlukan
dukungan penerangan, maka telah dikembangkan suatu sistem mekanisme penerangan yang
dapat menjamin adanya keterpaduan secara fungsional. Untuk itu telah ditumbuhkan iklim
penerangan terpadu, serta pembina an kerjasama yang erat, baik antar unsur-unsur penerangan
pemerintah, maupun dengan unsur komunikasi antarmasyarakat sendiri. Keterpaduan fungsional

Departemen Keuangan Republik Indonesia 395


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tersebut diikuti oleh suatu keterpaduan operasional penerangan di pusat dan daerah dalam
bentuk badan koordinasi kehumasan (Bakohumas) , dan pusat-pusat penerangan masyarakat
(Puspenmas) di daerah. Sampai dengan akhir Pelita III jumlah Puspenmas yang telah dibangun
mencapai 252 buah, dan selanjutnya sampai dengan tahun 1987/1988 telah mencapai 275 buah.
Sementara itu untuk mendukung keberhasilan usaha-usaha penerangan, telah
ditingkatkan kemampuan kader-kader penerangan terutama pada tingkat desa, antara lain
dengan penyelenggaraan sarasehan-sarasehan gerakan pembangunan desa. Di samping itu telah
pula dilakukan upaya peningkatan kemampuan aparat penerangan di daerah dengan dilengkapi
sarana pendukung berupa buku-buku rujukan, film-film dokumenter, dan kaset video visual.
Oengan pengadaan bahan-bahan tersebut diharapkan aparat penerangan di daerah dapat lebih
meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan wawasan dalam berpikir. Kegiatan pameran
pembangunan, yang merupakan visualisasi laporan pelaksanaan pembangunan nasional maupun
pembangunan daerah, dilaksanakan secara periodik di tingkat pusat maupun daerah. Kegiatan
pameran tersebut sekaligus menjadi wahana untuk mempromosikan hasil-hasil nyata
pembangunan, khususnya produksi dalam negeri, yang pada gilirannya diharapkan dapat
mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara.
Dalam hal penerangan ke luar negeri, kegiatannya diarahkan untuk peningkatan
kualitas materi penerangan yang mendukung peningkatan citra positif Republik Indonesia dan
mendukung diplomasi Indonesia di luar negeri melalui kerjasama antardepartemen. Untuk
keperluan tersebut telah diterbitkan bahan-bahan penerangan dalam bahasa lnggris, Perancis,
maupun bahasa Arab, serta bahan penerangan untuk jenis media lainnya seperti film dan kaset
video.

5.4.4.2. Pengembangan sarana penerangan


Penerangan pembangunan melalui radio, televisi, dan film dalam Pelita IV diarah_an
untuk mendukung peletakan kerangka landasan pembangunan nasional. Dalam kaitan tersebut
dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan siaran radio dan televisi serta produksi film nasional
terus ditingkatkan agar serna kin mampu menjangkau khalayak yang besar jumlahnya dan
wilayah yang luas di seluruh Indonesia. Untuk mendukung pembangunan yang menyeluruh,
Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) terus
menyelenggarakan dan meningkatkan siarannya, agar masyarakat lebih berperan dalam proses

Departemen Keuangan Republik Indonesia 396


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembangunan melalui acara siaran pedesaan, siaran wan ita dan pembangunan, siaran olah raga,
siaran penerangan dan pendidikan, siaran untuk menggalakkan pemasyarakatan p4, pariwisata,
koperasi, penggun\an produksi dalam negeri, pemupukan rasa persatuan dan kesatuan bangsa,
serta lain-lainnya.
Sementara itu usaha di subsektor perfilman diarahkan untuk menjadikan film nasional
sebagai tuan rumah di negeri sendiri, termasuk pembinaannya, gun a menghasilkan film-film
yang kultural edukatif. Kebijaksanaan tersebut ditempuh karena pada dasarnya melalui pembina
an film juga dapat diciptakan iklim yang mengarah pada peningkatan jumlah, mutu, dan
pemantapan peredaran film nasional sampai ke daerah-daerah, serta penyelenggaraan impor film
sebagai pelengkap. Sedangkan di subsektor rekaman video diupayakan pemantapan pelaksanaan
Keppres No. 13 tahun 1983 teritang pembina an rekaman video. Ketentuan tersebut mencakup
tertib produksi, tertib impor, tertib pen gada an dan penyewaan, serta tertib peredarannya sampai
ke daerah-daerah, sehingga pada gilirannya dapat menghindarkan dampak negatif yang mungkin
timbul.

5.4.4.2.1. Radio
Dalam rangka pengembangan dan perluasan sarana radio, semenjak awal Pelita I
hingga saat ini telah berhasil dilaksanakan pembangunan dan pengadaan 325 satuan pemancar
dengan kekuatan sebesar 3.249 KW, termasuk pemancar 250 KW di Padang Cermin-Sumatera
Utara yang telah diresmikan penggunaannya pada tanggal16 Juli 1988. Selain itu telah berhasil
disediakan peralatan untuk siaran luar, yaitu sebanyak 28 buah mobil unit siaran luar.
Sedangkan selama Pelita IV, sebanyak 38 stasiun dari 49 stasiun Radio Republik Indonesia
(RRI) yang ada, telah mampu menyelenggarakan siaran 24 jam sehari, dan stasiun RRllainnya
mengudara antara 14,5 jam - 21,5 jam setiap hari. Dalam peri ode yang sama, RRljuga telah
berhasil menyelenggarakan 6 jenis program dan 3 jaringan siaran di dalam negeri. Jumlah jam
siaran RRI pertahun mencapai 412.524 jam atau rata-rata 1.130 jam siaran sehari, dengan
rincian operasional siaran dini hari sebanyak 102.827 jam (25 persen), pagi hari sebanyak
102.827 jam (25 persen) , siang hari 69.767 jam (17 persen) , dan pada malam hari 137.103 jam
(33 persen). Penggunaan jam siaran tersebut adalah untuk program siaran nasional sebanyak
25.644 paket (2 persen), siaran nusantara sebanyak 94.560 paket (6 persen) , siaran regional
sebanyak 1.356.261 (88 persen) , dan untuk siaran wilayah kota sebanyak 65.934 paket (4
persen). Di samping itu juga untuk jaringan siaran nasional sebanyak 1.980 paket (46 persen) ,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 397


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

jaringan siaran nusantara sebanyak 450 paket (16 persen) , dan untuk jaringan siaran regional
sebanyak 1.195 paket (38 persen). .

Selama Pelita IV telah diupayakan penataan kembali siaran RRI dengan suatu sistem
jaringan siaran dan pola terpadu. Untuk itu telah dilakukan pengaturan kembalijam-jam wajib
relay bagi stasi un RRI di daerahdan radio-radio siaran non-RRI untuk mata acara tertentu,
dengan memperhitungkan pembagian wilayah waktu dan acaranya. Paket acara yang disiarkan
secara sentral dan dire lay oleh seluruh stasiun RRI dan non-RRI meliputi programprogram citra
Indonesia, bimbingan penyuluhan hukum, siaran pemerintah, harga sayur mayur, ruangan
Bakohumas, salam muhibah, pidato kenegaraan, kunjungan kerja Presiden RI di dalam negeri
dan luar negeri, peringatan hari-hari bersejarah, hari-hari besar nasional, dan kegiatan-kegiatan
olah r_ga, baik nasional maupun internasional. Dalam hal paket acara yang disiarkan secara
nasional, acaranya meliputi program-program forum negara Pancasila, laporan penting bulanan,
kuliah subuh, senam pagi Indonesia, mimbar agama Islam, seni Jawa dan Sunda, serta pilihan
pendengar. Demikian pula paket acara yang disiarkan melalui siaran terpadu di 49 stasi un RRI
meliputi acara-acara dari Sabang sampai Merauke, mengenal barang-baranQ hasil produksi
Indonesia, rubrik Kalpataru, bin a pariwisata, dan acara yang muda yang berprestasi. Dalam
paket acara tersebutjuga termasuk acara anak-anak, wisata nusantara, album legenda, panggung
gembira, musik daerah, budaya nusantara, aneka informasi, siaran pedesaan, pembinaan bahasa
Indonesia, dan bintang-bintang cemerlang. SelamaPelita IV siaran penerangan yang menonjol
adalah siaran penerangan Pemilu 1987, kampanye melalui RRI dan non-RRI, serta liputan-
liputan pemilihan umum (Pemilu) sampai sidang umum MPR 1988. Kemudian dilanjutkan
dengan memasyarakatkan hasil sidang umum MPR berupa acara tetap RRI yang disiarkan
secara sentral. Selain itu liputan-liputan menonjol lainnya adalah sewaktu berlangsungnya
konperensi tingkat tinggi (KIT) Asean III tahun 1987 di Manila, dan musabaqah tillawatil
Qur'an (MTQ) nasional di Tanjung Karang. Acara pemasyarakatan P-4 dipancarkan pula ke luar
negeri melalui siaran RRI. Sementara itu siaran pedesaan yang ditujukan untuk menunjang
pertanian juga terus dikembangkan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk itu
sebanyak 49 stasiun RRI dan 119 stasiun radio pemerintah daerah menyelenggarakan siaran
pedesaan secara tetap. Sebagai hasilnya, sampai dengan tahun 1987/1988 telah terbentuk 60.755
Kelompencapir di seluruh Indonesia. Guna menunjang kegiatan tersebut, kualitas kelompok
pend en gar terus ditingkatkan dengan setiap tahunnya menyelenggarakan kompetisi antar-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 398


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Kelompencapir, baik untuk tingkat propinsi maupun tingkat nasionai. Khusus untuk peningkatan
kuantitas produksi siaran pedesaan, setiap tahun diperebutkan piala Swara Kencana di
lingkungan stasiun-stasiun RRI, dengan mengikutsertakan tenaga-tenaga anli dari instansi
terkait. Materi siaran pedesaan meliputi peningkatan produksi pangan, pertanian, Bimas,
koperasi, kesehatan, KB, dan mengenallingkungan hidup, yang disertai dengan pengadaan
1.822.547 kaset penyuluhan.

Dalam rangka menunjang pencerdasan bangsa, selama Pelita IV melalui siaran RRI
telah diadakan kegiatan pendidikan berupa proyek pelaksanaan siaran SMP terbuka di 5 propinsi.
Sedangkan mulai tahun 1984, telah disiarkan oleh RRI program universitas terbuka secara
berkesinambungan. Paket-paket siaran pendidikan lainnya adalah acara "renung dan renunglah
lagi" yang setiap tahunnya disiarkan sebanyak 52 paket Mengenai siaran RRI ke luar negeri
selama Pelita IV telah berhasil ditayangkan 12 jam sehari melalui berbagai bahasa pengantar,
yaitu selain baoasa Indonesia, disampaikanjuga dengan bahasa Malaysia, Mandarin, Jepang,
Thai, Inggris, Perancis, Jerman, dan Spanyol. Siaran luar negeri RRI yang disiarkan melalui
stasiun RRI nasional Jakarta berisi acara berita penerangan (sekitar 55 - 63 persen), kebudayaan
(33 - 35 persen) , pendidikan (3 - 5 persen) , dan lain-lain (1- 5 persen). Mengenai daya pancar
siaran luar negeri, yang sampai pertengahan tahun terakhir Pelita IV ditunjang oleh pemancar
yang berkekuatan 100 KW di Cimanggis, maka mulai 16 Juli 1988 telah diperkuat dengan
pemancar berkekuatan 250 KW yang terletak di Pantai Cermin, Sumatera Utara, yang siarannya
khusus ditujukan ke wilayah Asia Barat, Timur T engah, dan Eropa. Sedangkan pada akhir
tahun anggaran 1988/1989, Pemerintah mulai membangun dan merehabilitasi peralatan
pemancar dan pembangunan rumah operator untuk 9 stasiun RRI yang berada di propinsi Irian
Jaya, yang terdiri dari stasiun RRI Jayapura, Biak, Wamena, Nabire, Serui, Manokwari, Sorong,
Fak Fak, dan Merauke.

5.4.4.2.2. Televisi
Sampai dengan bulan Agustus 1988, Televisi. Republik Indonesia (TVRI) telah
berhasil membangun 240 buah stasiun pemancar, 10 stasiun penyiaran, dan 10 stasiun produksi
keliling. Dengan demikian luas jangkauan TVRI hingga saat ini diperkirakan mencapai 600.000
kilometerpersegi. Sedangkan penduduk dalam daerah jangkauan TVRI diperkirakan mencapai
115 juta orang, dengan jumlah posawat televisi sekitar 6.300.000 buah. Untuk menunjang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 399


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kelancaran siaran TVRI, sejak tanggal 25 Juli 1986 telah diresmikan penggunaan gedung
penunjang operasional TVRI Senayan Jakarta. Di samping itu pembina an tenaga TVRI juga
terus dilakukan, baik melalui pendidikan dan latihan di dalam negeri yang dilaksanakan oleh
Balai Diklat Televisi maupun di luar negeri. Dalam rangka penyebarluasan P-4, maka siaran
TVRI-pun melaksanakan berbagai acara, antara lain Gema Pancasila dan cerdas cermat, cepat
tepat untuk anak-anak pelajar SD sampai dengan SMT A, kuis tani, siaran pedesaan, serta asah
terampil antar-Kelompencapir. Guna peningkatan keterampilam wanita dalam berbagai sektor
pembangunan, telah pula diadakan acara-acara khusus melalui siaran wan ita dan pembangunan.
Dalam hal peningkatan penyampaian informasi pembangunan di semua sektor, selain melalui
siaran warta berita juga dikemukakan melalui acara khusus, antara lain Dari Desa ke Desa, Desa
Membangun, dan Desa Kita.
Dalam pada itu penyelenggaraan pemilihan bintang radio dan televisi, musabaqah
tillawatil Qur'an (MTQ) , dan pusat tillawatil Qur'an (PTQ) , dilaksanakan bersama-sama
dengan RRI yang diselenggarakan setiap tahun. Dalam hal siaran film, di samping pemutaran
film nasional pada akhir pekan atau minggu siang, telah pula diputar film cerita lepos dan film
serial Indonesia si Unyil. Selain itu TVRI-pun telah mengadakan kerjasama kebudayaan dan
tukar menl1kar paket siaran dengan radio dan televisi Malaysia (RTM), dan sekali sebulan
diadakan acara Titian Muhibah. Kerjasama tersebut diperluas dengan dilakukannya pertukaran
program antamegara Asean, perhimpunan penyiaran Asia Posifik (ABU), NHK Jepang, Bonac
Yugoslavia, International Broadcasting Society, serta perwakHan negara-negara asing, seperti
Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan sebagainya. Perlu diketengahkan pula bahwa sejak
tahun 1984, program pertukaran acara siaran televisi di kawasan Asia Posifik telah ditingkatkan
melalui proyek kerjasama siaran. langsung melalui satelit yang disebut Asia Vision. Sedangkan
dalam rangka menunjang perolehan devisa negara, maka semenjak tahun 1984 paket acara -
acara hiburan dan drama produksi TVRI mulai dipasarkan di Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darussalam.

Dalam rangka pendidikan politik untuk rakyat, juga telah diadakan acara-acara khusus
melalui siaran penerangan. Misalnya untuk mendukung pencerdasan dan peningkatan
keterampilan masyarakat, disajikan acara dunia Hmu pengetahuan, hasta karya dan lomba karya
remaja, siaran universitas terbuka, cerdas cermat dari tingkat SD sampai dengan SL T A, kuis
tani, asah terampH dan sebagainya. Di samping itu masalah peningkatan kesehatan masyarakat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 400


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dan keluarga ber_ncana (KB) juga ditayangkan melalui siaran acara kesehatan keluarga,
pemutaran film penduduk dunia lima milyar, dan acara lainnya, yang dimaksudkan untuk
menyadarkan masyarakat akan pentingnya KB. Khususnya dalam rangka memasyarakatkan olah
raga dan mengolahragakan masyarakat, juga ditingkatkan siaran-siaran mengenai olah raga, balk
yang bersifat nasional maupun internasional, seperti PON, SEA Games, Olimpiade, dan lain-
lain. Demikian pula untuk menunjang semangat dan peningkatan prestasi para olahragawan,
selain disajikan international sport dan pertandingan olah raga dari gelanggang ke gelanggang
juga telah diprogramkan acara dalam paket siaran olah raga Arena dan Juara.

Sementara itu sejak 1 Januari 1983, TVRI telah mengadakan pola siaran dalam bahasa
Inggris melalui program 2 saluran 8 Jakarta, dan siaran dari stasiun Denpasar-Bali. Siaran
tersebut selain dimaksudkan untuk memperkenalkan seni budaya bangsa, juga dimaksudkan
untuk memberi informasi tentang hasil pembangunan khususnya kepada masyarakat asing yang
berada di Indonesia. Oleh karena siaran tersebut baru dikhususkan bagi daerah Ibukota dan
sekitarnya saja, maka sampai saat in1 jumlah jam siarannya baru mencapai 30 menit setiap
harinya. Namun dewasa ini banyak pemirsa yang menghimbau agar siaran tersebut bisa diikuti
secara nasional dan tidak terbatas untuk daerah Jakarta dan sekitarnya saja. Untuk hal tersebut
saat ini TVRI masih menjajaki himbauan masyarakat lebih lanjut. Selain hasil-hasil kegiatan
tersebut, produk TVRI juga mampu menjadi pendukung perkembangan sinema electronik
nasional. Hal ini seperti terlihat dari ikutsertanya TVRI dalam lomba sin em a electronik, yang
mulai diadakan pada FFI 1985 di Bandung serta FFI 1986 dan 1987 di Jakarta. Sebagaimana
diketahui TVRI ternyata merupakan media yang ampuh untuk menyampaikan berbagai
informasi pembangunan, seperti penyelenggaraan siaran dalam rangka pemberantasan narkotika,
pemasyarakatan pajak, pemasyarakatan pengawasan, pemberantasan hama kutu loncat lamtoro,
pameran pembangunan dan pameran kedirgantaraan, jambore nasional, siaran Pemilu 1987,
siaran sidang umum MPR 1988, pelantikan Presiden/Wakil Presiden, serta pelantikan anggota
Kabinet Pembangunan V. Perkembangan lebih lanjut mengenai pertelevisian dapat diikuti pada
Tabel V. 82 dan Tabel V.83.

5.4.4.2.3. Perfilman nasional


Kebijaksanaan perfilman dan rekaman video nasional selama Pelita IV dititikberatkan
pada us aha peningkatan mutu dan jumlah produksi film nasional untuk dalam negeri maupun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 401


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

untuk luar negeri. Selama lima tahun terakhir iJli jumlah produksi film nasional telah mencapai
lebih dari 1000 judul film, antara lain terdiri dari film penerangan, film pengenalan sejarah, dan
film seri boneka si Unyil. Sedangkan mengenai produksi film nasional yang dilakukan oleh
pihak swasta, tetap dikaitkan _ngan usaha pembinaan bangs a yang sifat siarannya men-
cerminkan pendidikan budaya.
Sementara itu untuk menunjang perfilman nasional, telah ditempuh usaha promosi dan
perna saran film Indonesia ke luar negeri, yang terlihat dari keikutsertaan film Indonesia dalam
berbagai festival film dan pekan film internasional, di samping terus diupayakan produksi
bersama dengan pihak produser asing, khususnya dari negara-negara Asean. Dalam hal ini sejak
tahun 1982 Indonesia telah mengikuti festival film internasional di Swiss, kemudian berturut-
turut dalam tahun 1984 di Hongkong, dalam tahun 1985 di Tokyo, dalam tahun 1986 di London,
Cairo, Toronto, Melbourne, dan Hongkong, serta dalam tahun 1987 di New Delhi, Calcuta,
Pyongyang, Tokyo, Melbourne, dan Honolulu. Di samping itu juga pada festival film Asean ke
XlII (1984) yang diselenggarakan di Jakarta dan ke XIV (1985) di Singapura.
Di dalam rangka melindungi masyarakat terhadap dampak negatif film, pemerintah
tetap dan bahkan meningkatkan usaha-usaha penyensoran atas berbagai macam film yang
beredar di Indonesia. Selama lima tahun terakhir (1984/1985 - 1988/1989), telah dilaksanakan
penyensoran film komersial produksi nasionallebih dari 400 judul film, dan lebih dari 1000
judul film yang berasal dari impor. Sedangkan atas film bukan komersial produksi nasionallebih
dari 500 judul film, dan lebih dari 4000 judul film impor. Di samping itu dalam periode yang
sama juga dilaksanakan penyensoran terhadap berbagai film kaset video, yaitu 500 judul film
produksi nasional serta sekitar 2.500 judul film dari impor.

5.4.4.2.4. Pers
Pembangunan pers dalam Pelita IV diarahkan untuk memantapkan kedudukan pers
sebagai lembaga sosial ke arah suksesnya pelaksanaan Panca Krida Pembangunan IV, serta
penyusunan kerangka landasan pembangunan masyarakat yang adil dan makrnur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengerhbangan tugas dan fungsi
pers diarahkan pada terwujudnya pers Pancasila yang pol a pikir dan mekanismenya
diorientasikan pada pembangunan.
Perkembangan pers nasional pada umumnya memperlihatkan gejala yang menggembirakan,
yang tercermin pada peningkatan mutu, manajemen, sirkulasi, maupun kualitas cetaknya. Guna

Departemen Keuangan Republik Indonesia 402


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

peningkatan kadar peTS yang bebas dan bertanggung jawab dan berorientasi kepada
pembangunan nasional, teras dilaksanakan pembinaan demi terwujudnya peTs yang sehat dan
mandiri. Selama Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) pembinaan peTS dan grafika
nasional dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dewan peTs, sebagai lembaga yang
mendampingi pemerintah dalam membina pertumbuhan dan perkembangan peTs nasional.
Dalam pelaksanaannya telah dilakukan berbagai kegiatan, yang antara lain meliputi pembinaan
di bidang pengusahaan peTs, pembina an grafika, dan publikasi.

Sementara ita untuk peningkatan kuaIitas peTs yang bebas dan bertanggung jawab dan
berorientasi kepada pembangunan nasional, teras dilanjutkan berbagai kegiatan pembinaan peTs,
pembinaan _ewartawanan, dan kerjasama intemasional. Dalam rangka pembinaan peTs, antara
lain telah dilaksanakan peningkatan arus informasi ke pedesaan melalui koran masuk desa
(KMD) di 26 propinsi, yang melibatkan 50 penerbit dengan kapasitas sebanyak 22.306 ribu
eksemplar serta pembentukan kelompok-kelompok pembaca KMD sebagai forum komunikasi
yang efektif. Di samping ita dalam kegiatan tersebut juga telah dilakukan kerjasama fungsional
secara terpadu antara KMD dengan hakim masuk desa (HMD) dan jaksa masuk des a (JMD).
Kerjasama tersebut dilandasi prinsip kebersamaan, keterpaduan di sektor penerangan, dan
penyuluhan hokum kepada masyarakat pedesaan. Secara formal kerjasama KMD, HMD, dan
JMD telah dilakukan di Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Magetan (Jawa Timur),
dan Lampung.
Mengingat pentingnya arti rasa tanggung jawab terhadap penulisan berita-berita peTs,
maka selama Pelita IV antara lain telah diadakan pembinaan kewartawananjpara pimpinan
redaksi peTs sekali dalam tiga bulan, guna membicarakan pemantapan kebebasan peTS yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 403


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l V.82
JUMLAH JAM SIARAN TELEVISI MENU RUT JENIS SIARAN
1969/1970 -1988/1989
Jam siaran
Tahun Hiburan peneranganl Lain-lain Jumlah
udayaan
1969/1970 680 800 260 1.740
1970/1971 800 800 300 1.900
1971/1972 900 800 270 2.000
1972/1973 930 800 270 4.780
1973/1974 2.610 1.700 470 6.030
1974/1975 3.020 2.410 600 6.030
1975/1976 1.740 4.680 560 6.980
1976/1977 4.420 7.030 650 12.100
1977/1978 3.439 11.461 731 15.631
1978/1979 5.508 17.026 2.504 25.038
1979/1980 5.915 17.232 2.572 25.719
1980/1981 5.915 17.232 2.572 25.719
1981/1982 6.944 18.261 514 25.719
1982/1983 6.906 18.160 512 25.965
1983/1984 12.206 13.245 519 25.970
1984/1985 12.437 13.496 529 26.462
1985/1986 12.537 13.604 533 26.674
1986/1987 11.737 14.404 533 26.674
1987/1988 11.737 14.404 533 26.674
1988/1989 1) 11.737 14.404 533 26.674

1) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 404


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

T a b e l V.83
JUMLAH STUDIO, STASIUN PEMANCAR, PESAWAT TELEVISI, LUAS DAERAH DAN
JUMLAH PENDUDUK DALAM DAERAH PANCARAN TVRI, 1969/1970 - 1988/1989
Stasion Pesawat dalam
Tahun Studio pemancar televisi Luas dalam pancaran
( buah) (buah) (buah) (km2 ( juta orang)
1969/1970 2 4 80.000 18.500 22,5
1970/1971 3 4 135.000 24.500 26,5
1971/1972 4 8 190.000 34.500 26
1972/1973 4 10 220.000 36.500 40
1973/1974 6 22 351.470 72.100 40,5
1974/1975 6 23 410.000 72.900 42
1975/1976 6 26 542.430 75.600 73
1976/1977 6 34 632.940 174.100 80,9
1977/1978 9 70 895.180 229.000 82
1978/1979 9 82 1.100.000 400.000 82
1979/1980 9 89 1.405.000 406.000 85
1980/1981 9 107 2.126.000 419.000 87
1981/1982 9 124 2.599.827 427.500 90
1982/1983 9 186 2.971.890 495.600 95,5
1983/1984 9 200 5.343.308 532.305 96,5
1984/1985 9 203 5.682.829 548.438 101,4
1985/1986 9 204 6.383.882 548.438 101,4
1986/1987 10 236 6.39.399 600.000 115
1987/1988 10 240 6.510.966 600.500 1) 115
1988/1989 2) 10 240 6.600.000 600.500 120
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

bertanggung jawab. Selama pembina an tersebut telah dicapai adanya konsensus, bahwa para
pimpinan redaksi akan saling menjauhkan diri dari penerbitanJutasan yang sifatnya dapat
menimbulkan salah tafsir bagi masyarakat luas (berita sensasional), pomografi dan sadisme, di
samping bagi pimpinan redaksi harus selalu menerapkan saling pantau terhadap kebenaran suatu
pemberitaan. Sebagai hasilnya, terlihat bahwa sejak tahun 1987 telah ada penurunan kuantitas
pemberitaan peTS yang sifatnya sensasional, maupun pemberitaan peTs yang bersifat pomografi
ataupun sadisme. Sedangkan mengenai kerjasama internasional, maka dalam periode yang sama
antara lain telah berhasil dikembangkan kerjasama dengan organisasi perwakilan diplomatik
atau organisasi peTs asing di Jakarta, seperti association of press attaches, foreign
correspondents club, serta perwakilan kantor beritajsurat kabar asing, melalui penyelenggaraan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 405


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pertemuan secara periodik.

5.4.5. Kesejahteraan sosial

Pembangunan di sektor kesejahteraan sosial terutama ditujukan untuk mengurangi


kesenjangan sosial yang timbul sebagai akibat adanya berbagai hambatan, baik sosial ekonomi,
sosial budaya, pbisik, maupun mental, yang dialami oleh sebagian anggota masyarakat.
Diharapkan dengan dilaksanakannya pembangunan tersebut mereka dapat kembali
melaksanakan fungsi sosialnya, dan pada gilirannya dapat lebih berperan secara aktif dan
berswadaya dalam pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut selama lima tahun
pelaksanaan Pelita IV, telah dilaksanakan pembangunan sektor kesejahteraan sosial secara
berkesinambungan, meningkat, dan lebih luas dari upaya-upaya yang telah dilaksanakan
sebelumnya. Hal tersebut dilaksanakan melalui suatu sistem yang melembaga sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pelaksanaannya
mencakup semua kegiatan yang pada dasamya ditujukan untuk mewujudkan, membina,
memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial, yang dilaksanakan
bersama antara pemerintah'dan masyarakat. Untuk itulah maka peranserta masyarakat dalam
usaha meningkatkan kesejahter_an sosial terus dikembangkan berdasarkan pengarahan dan
bimbingan dari pemerintah. Sedangkan sumber-sumber kesejahteraan sosial yang berasal dan
berada di masyarakat terus digerakkan, diarahkan, dan didayagunakan secara optimal. Di
samping itu pembangunan di sektor kesejahteraan sosial juga dilaksanakan dengan tetap
mengutamakan azas kekeluargaan dan gotong royong, didasarkan atas kemampuan, kemauan,
kepentingan, dan dukungan dari masyarakat yang dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
tingkat kemampuan.
Guna menunjang kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, selama Pelita IV telah
dilakukan pembinaan dan pengembangan partisipasi masyarakat melalui peningkatan jumlah
dan kemampuan pekerja sosial masyarakat, karang taruna, organisasi sosial, dan kepemimpinan
sosial wanita. Sedangkan keterbatasan dana pembiayaan pembangunan di sektor kesejahteraan
sosial diimbangi dengan usaha penggalian, pengerahan, dan pendayagunaan sumber-surnber
dana yang berasal dari masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping itu peningkatan mutu dan kualitas aparat pemerintah, baik kemampuan maupun
pengetahuannya, serta disiplin dan pengabdiannya sebagai pekerja sosial dalam melaksanakan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 406


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

program-program pembangunan sektor kesejahteraan sosial, juga terus ditingkatkan.


Tanpa mengurrmgi pentingnya dan intensitas penanganan permasalahan kesejahteraan
sosiallainnya, maka selama Pelita IV juga telah ditetapkan beberapa sa saran garapan yang
bersifat strategik, yang meliputi pembina an karang taruna, penyantunan dan pengentasan anak
terlantar, pembina an pekerja sosial masyarakat, pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing,
penyantunan dan pengentasan anak nakal dan korban narkotika, bantuan dan rehabilitasi korban
bencana alam, pembinaan organisasi sosial, serta penyantunan dan pengentasan fakir miskin.
Selain daripada itu, sesuai dengan kekhasan sasaran garapan pembangunan sektor kesejahteraan
sosial, dan dalam rangka peningkatan mutu dan perluasan jangkauan pelayanan kesejahteraan
sosial serta peningkatan partisipasi masyarakat, maka telah dikembangkan beberapa sistem
pelaksanaan program pembangunan sektor kesejahteraan sosial, yang meliputi sistem pelayanan
di dalam panti, sistem pelayanan di luar panti, dan sistem ling kung an pondok sosial.

5.4.5.1. Pembinaan kesejahteraan sosial

Pelaksanaan pembangunan di sektor kesejahteraan sosial dilaksanakan melalui berbagai


program, antara lain program pembina an potensi dan swadaya masyarakat di bidang
kesejahteraan sosial, dengan memobilisir segala potensi yang ada dalam masyarakat, baik
manusia, alam, maupun potensi sosial lainnya. Pembina an potensi dan pengembangan swadaya
masyarakat di sektor perumahan dan lingkungan dilakukan dalam bentuk kegiatan
pemugaranjpeningkatan kondisi perumahan dan lingkungan, guna meninqkatkan taraf ke-
sejahteraan sosial masyarakat, khususnya di daerah pedesaan dan daerah-daerah perbatasan.
Dalam hat ini kegiatan diarahkan kepada potensi yang berada di lapisan masyarakat paling
bawah, yaitu mela1uLkarang taruna, organisasi-organisasi yang bergerak dalam usaha
kesejahteraan sosial, pekerja sosial masyarakat dan kepemimpinan sosial wanita. Sedangkan
dalam rangka pelestarian dan pewarisan nilai-nilai kepahlawanan, khususnya kepada generasi
muda, dilaksanakandengan upaya pelestarian nilai-nilai kepahlawanan dengan disertai
pemberian penghargaan kepada para pahlawanjkeluarga.

Pembinaan karang taruna (KT) diarahkan kepada peningkatan peranserta generasi


muda dalam pembangunan, khususnya dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial dan
penciptaan watak remaja yang dinamis, kreatif, dan bertanggungjawab. Pembentukan karang
taruna di tingkat desa yang beranggotakan generasi muda antara 7 tahun sampai 40 tahun,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 407


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

diharapkan dapat menanggulangi masalah-masalah kesejahteraan sosial di kalangan generasi


muda di desa tersebut . Berkenaan dengan kegiatan tersebut, sampai dengan akhir tahun
keempat Delila IV telah berhasil ditumbuhkan dan dibina sebanyak 62.772 KT, yang tersebar di
seluruh propinsi. Dalam peri ode yang sama, melalui proyek tersebut telah dapat dibina remaja
penyandang masalah kesejahteraan sosial sebanyak 10.675 orang. Perlu diketengahkan pula
bahwa sejak tahun 1986/1987, pembina an KT lebih dititikberatkan Dada upaya pemantapan
indentitas dan peningkatan kualitas, sehingga KT benar-benar dapat melaksanakan fungsi dan
perannya sebagai satu-satunya wadah pembinaan generasi muda di tingkat desa.

Sementara itu dalam rangka menumbuhkan kegairahan dan kesediaan masyarakat


untuk menjadi pekerja-pekerja sosial, maka terus ditingkatkan penyuluhan, bimbingan sosial,
dan pembina an terhadap pekerja sosial masyarakat (PSM). Hal ini dimaksudkan agar PSM
semakin memiliki kemauan dan kemampuan untuk bergerak dalam usaha kesejahteraan sosial
masyarakat, yang dilandasi oleh rasa tanggung jawab untuk melaksanakan tugas sebagai tenaga
sosial yang baik. Sehubungan dengan kegiatan tersebut sampai dengan tahun keempat Pelita IV,
telah berhasil dibina sebanyak 61.645 orang PSM, sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai
dengan bulan Agustus 1988), telah dibina sebanyak 10.020 orang PSM. Berkenaan dengan hat
tersebut, sejak tahun 1986/1987 kegiatan pembinaan PSM selain diarahkan kepada upaya
pertumbuhan PSM (dalam rangka upaya pencapaian target 5 orang PSM untuk setiap desa), juga
diarahkan kepada peningkatan kualitas PSM melalui pendidikan dan latihan secara berjenjang,
yang dibekali pembina an sikap, pengalaman, dan kemampuan profesional yang memadai.
Dalam kaitan dengan pembinaan PSM tersebut, selama Pelita IV telah dikembangkan program
pembentukan dan pembina an satuan tugas sosial (Satgassos) bagi pemuda lulusan SMTA yang
secara sosio-ekonomis tidak dapat melanjutkan pendidikannya dan tidak memperoleh
kesempatan bekerja. Opaya tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi masalah
pengangguran di kalangan generasi muda. Pembinaan Satgassos diarahkan pada terciptanya
tenaga-tenaga pionir pembangunan yang serbaguna yang sanggup menggerakkan usaha-usaha
pembangunan di daerah-daerah terpencil dan rawan. Ontuk itu sampai dengan tahun keempat
Pelita IV, telah berhasil dibina sebanyak 1.832 orang Satgassos yang ditugaskan di daerah-
daerah Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Otara, Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Bengkulu, Ri.au,
dan'rimor Timur. Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988),
telah dibina sebanyak 1.199 orang Satgassos, yang kemudian ditugaskan di beberapa daerah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 408


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

propinsi.

Dalam rangka perluasan jangkauan dan peningkatan mutu usaha kesejahteraan sosial
(OKS) dilaksanakan pula upaya pembina an organisasi-organisasisosial yang bergerak dalam
OKS. Kegiatan pembinaan tersebut diarahkan kepada peningkatan jumlah dan kemampuan
organisasi-organisasi sosial (Orsos) dalam OKS dan teknis pekerjaan sosial, sehingga dapat
terwujud Orsos sebagai mitra pemerintah yang semakin dapat diandalkan dalam
penyelenggaraan OKS. Di tingkat pusat, Orsos tersebut dikoordinasikan oleh dewan nasional
Indonesia untuk kesejahteraan sosial (DNIKS), yang berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam
merumuskan kebijaksanaan. Di tingkat propinsi badan koordinasi kegiatan kesejahteraan sosial
(BK3S) berfungsi sebagai mitra GubernurjKepala Daerah, dan bila diperlukan di tingkat
KotamadyajKabupaten dapat dibentuk forum komunikasi antar-Orsos yang berfungsi untuk
menyatukan sikap, pandangan, dan pelaksanaan kegiatan OKS. Di tingkat
KotamadyajKabupaten tersebut, Orsos lebih memantapkan sposialisasi dan profesionalisasi
pelayanannya kepada masyarakat, sedangkan di tingkat desa/kelurahan Orsos didayagunakan
secara efektif dalam seksi kesejahteraan sosial lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD)
bersama dengan PSM dan karang taruna. Sehubungan dengan kegiatan tersebut, sampai dengan
tahun keempat Pelita IV (tahun 1987/1988) telah berhasil dibina sebanyak 6.604 buah Orsos
yang bergerak dalam OKS, dan dalam tahun 1988/1989 sampai dengan bulan Agustus 1988,
telah dibina sebanyak 596 buah Orsos.

Guna mempersiapkan dan meningkatkan peranan wan ita dalam pembangunan,


khususnya dalam OKS, maka di kalangan wanita telah dilaksanakan kegiatan pembina an dan
latihan. Untuk itu bagi calon pemimpin dan pemimpin wanita diberikan latihan kepemimpinan
untuk dapat membantu pelaksanaan OKS, sedangkan bagi wan ita dari golongan rawan sosial
ekonomi diberikan bimbingan, latihan, dan bantuan stimulasi usaha produktif, untuk
meningkatkan tarat kesejahteraan sosialnya. Sampai dengan tahun keempat Pelita IV telah
berhasil dibina sebanyak 3.665 orang pemimpin wanita di bidang kesejahteraan sosial, dan
sebanyak 12.540 orang wanita rawan sosial ekonomi atau wanita bina swadaya (WBS).
Sedangkan dalam tahun kelima Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah berhasil
dibina sebanyak 765 orang pemimpin wan ita di bidang kesejahteraan sosial dan sebanyak 1.620
orang WBS.

Sementara itu di sektor perumahan dan lingkungan, kegiatan diarahkan kepada upaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 409


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengerahan dan pengarahan potensi yang ada dalam masyarakat, yaitu baik secara manusiawi,
alami, maupun secara sosial. Kegiatan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengembangan
swadaya masyarakat untuk peningkatan kondisi perumahan dan lingkungan sehingga layak
dihuni, disertai dengan perbaikan taraf kesejahteraan sosial masyarakat terutama di pedesaan.
Kondisi perumahan dan lingkungan layak huni diusahakan memenuhi persyaratan, tidak saja
_knis fisik dan kesehatan, tetapi juga aspek sosial. Syarat-syarat tersebut sangat penting bagi
pengembangan pribadi dan peningkatan produktivitas para penghuninya, karena hal tersebut
merupakan faktor penunjang dalam pembangunan. Pelaksanaannya dit_mpuh melalui kegiatan
rehabilitasi dan pemugaran desa secara gotong royong, berantai atau dengan swadaya
masyarakat, atas bimbingan dari aparat pemerintah. Sampai dengan tahun keempat Pelita IV
(tahun 1987/1988), telah berhasil dibina atau dipugar sebanyak 5.410 desa, yang mencakup
sebanyak 81.150 kepala keluarga (KK). Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan
bulan Agustus 1988), telah dapat dibina sebanyak 2.080 des a yang mencakup sebanyak 31.200
KK, yang disertai dengan pemberian paket pengembangan lingkungan dan peralatan bangunan.
Dalam pada itu keberadaan masyarakat terasing, yaitu masyarakat terisolasi atau
masyarakat yang berada di daerah terpencil, juga tetap diperhatikan, sehingga mereka
diharapkan dapat mencapai tingkat kehidupan dan penghidupan sosial yang layak sesuai dengan
martabat manusia. Sistem pembinaan masyarakat terasing, di samping melalui pembina an
sosialjuga berupa pemberian pemukiman baru maupun pemukiman di tempat asal yang disertai
dengan pembinaan lebih lanjut. Di samping itu juga dilaksanakan kegiatan pembinaan terpadu
dengan program pengembangan wilayah, antara lain melalui program transmigrasi yang
sekaligus diarahkan pada upaya pembinaan dalam rangka pertahanan dan keamanan, khususnya
di daerah perbatasan. Berkaitan dengan kegiatan tersebut, sampai dengan tahun keempat Pelita
IV telah dimukimkan sebanyak 7.397 KK, dan pembinaan lebih lanjut bagi 52.175 KK, serta
penyerahan warga binaan kepada pemerintah daerah sebanyak 17.634 KK. Sedangkan dalam
tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988) pembinaan kelompok masyarakat
tersebut lebih dititikberatkan pada pembinaan lanjutan.

Dalam rangka pembina an jiwa patriotisme, telah dilaksanakan kegiatan pelestarian dan
pengembangan nilai-nilai kepahlawanan dan keperintisan, terutama terhadap generasi muda
melalui usaha-usaha pemugaran dan pembangunan taman makam pahlawan (TMP), makam
pahlawan nasional (MPN) dan makam perintis kemerdekaan (MPK) , di samping penerbitan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 410


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

buku-buku kepahlawanan. Hasil daripada kegiatan tersebut sampai dengan tahun keempat Pelita
IV adalah berupa pemugaran sebanyak 107 buah TMP, 12 buah MPN, 59 buahMPK, serta telah
diberikan bantuan perbaikan terhadap 337 rumah pahlawanjperintis kemerdekaan, dan sebanyak
208 paket untuk usaha produktif kepada para keluarga pahlawan dan perintis kemerdekaan.
Selanjutnya dalam tahun kelima Pelita IV (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah berhasil
dipugar sebanyak 13 TMP.

5.4.5.2. Bantuan penyantunan dan pengentasan sosial


Sasaran yang hendak dicapai dengan adanya program bantuan penyantunan dan
pengentasan sosial dalam Pelita IV adalah pemberian santunan dan bantuan kepada masyarakat
dan perorangan yang tidakjkurang dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. Tujuan
program tersebut adalah agar para penyandang permasalahan sosial dapat diupayakan untuk
mcmiliki kembali ha_a dan kepercayaan diri, sehingga pada gilirannya mereka mampu
memelihara dan memperbaiki tingkat hidupnya sesuai dengan kelayakan martabat manusia
tanpa ketergantungan kepada pihak lain. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut telah dilakukan
kegiatan-kegiatan yang meliputi penyantunan lanjut usia, baik melalui sistem panti (pemberian
pelayanan yang dilakukan di dalam sasana atau di pusat rehabilitasi) maupun sistem di luar panti
(yang dilakukan di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat) , dan melalui sistem pondok
sosial (pelayanan yang bersifat komprehensif yang ditujukan kepada berbagai macam
penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam satu kesatuan perkampungan atau lingkungan
sosial). Berkaitan dengan kegiatan tersebut, sampai dengan tahun ke empat Pelita IV telah
berhasil diberikan bantuan dan penyantunan melalui sistem panti kepada 3.750 orang lanjut usia,
dan kepada 128.950 orang lanjut usia melalui penyantunan di luar panti. Sedangkan dalam tahun
1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988), telah diberikan bantuan kepada 10.250 orang.
Sementara itu program pengangkatan anak terlantar, yang juga merupakan salah satu
kegiatan dalam program penyantunan dan pengentasan sosial, terutama ditujukan untuk
pengangkatan anak yang dilaksanakan oleh warganegara Indonesia (domestic adoption).
Pengangkatan anak yang dilakukan oleh warganegara Asing (intercountry adoption) hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir dan dalam keadaan terpaksa. Mengingat hal-hal tersebut,
maka sejak permulaan PeIita IV telah dikembangkan pelaksanaan program penyantunan anak
terlantar melalui gerakan orang tua asuh dalam rangka menunjang pelaksanaan program wajib
belajar. Program tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan sarana belajar dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 411


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

peningkatan gizi bagi anak terlantar usia sekolah (7 sampai 12 tahun). Hasil penanganan anak-
anak terlantar tersebut sampai dengan tahun keempat PeIita IV telah mencapai sebanyak
198.360 anak terlantar, yang dibantu melalui sistem pelayanan luar panti, terutama dalam
rangka menunjang program wajib belajar. Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan
bulan Agustus 1988), telah dibina sebanyak 3.950 anak terlantar melalui sistem dalam panti, dan
sebanyak 15.900 orang anak terlantar melalui safari bhakti sosial (luar panti), dengan bantuan
dalam bentuk pemberian sarana belajar dan peningkatan sarana gizi.
Prioritas utama penanganan penyandang cacat dalam Pelita IV diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan produktivitas para penyandang cacat, di samping juga diarahkan
. kepada upaya untuk rnengembalikan harga diri dan kemandirian para penyandang cacat.
Sehubungan dengan kegiatan tersebut, di samping aspek penciptaan lapangan kerja, pemerintah
dan masyarakat dipacu untuk lebih memperhatikan masalah pemupukan kemauan dan
kemampuan para penyandang cacat dalam mengenal dan memanfaatkan peluang kerja dan
usaha. Sa saran dari program tersebut antara lain adalah penyandang cacat tubuh, cacat netra,
cacat rungu dan wicara, cacat mental, dan bekas penyandang pen yak it kronis, khususnya kusta.
Kebijaksanaan dalam penanganan masalah penyandang cacat dalam Pelita IV, seperti halnya
penanganan terhadap kesejahteraan sosial lainnya, juga dilaksanakan atas dasar lingkungan
keluargajdesct. Oleh karena itu, penanganan melalui unit rehabilitasi keliling (URK) lebih
ditingkatkan. Unit tersebut berfungsi melayani penyandang cacat di daerahjdesa yang tidak
membutuhkan pelayanan alat bantu prothese, braile system, dan pelayanan rungu wicara.
Penanganan masalah penyandang cacat dilaksanakan melalui sistem dalam panti dan luar panti
secara berjenjang. Dalam hal penyandang cacat tidak dapat ditangani oleh masyarakat setempat,
maka yang bersangkutan melalui PSM atau KT atau Orsos yang dikoordinir oleh petugas sosial
kecamatan (PSK) dikirimkan ke unit pelaksana teknis (UPT) yang lebih tinggi, yaitu ke loka bin
a karya (LBK) di tingkat kecamatan, atau di sasana rehabilitasi di tingkat kabupatenjkotamadya,
atau di panti rehabilitasi sosial di tingkat propinsi atau di pusat rehabilitasi di tingkat nasional.
Sejalan dengan berbagai kegiatan tersebut, sampai dengan tahun keempat Pelita IV telah
diberikan bantuan dan penyantunan kepada para penyandang cacat sebanyak 825 orang melalui
sistem dalam panti, dan sebanyak 87.292 orang melalui sistem luar panti. Sedangkan dalam
tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988) telah berhasil dientaskan sebanyak
13.482 orang penyandang cacat.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 412


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Dalam pada itu penyantunan dan pengentasan para tuna sosial ditujukan kepada para
gelandanganjpengemis, tuna sosial, dan bekas narapidana. Para tuna sosial adalah mereka yang
menyandang permasalahan sosial karena tidak mampu memenuhi tuntutan nilai-nilai yang
berkembang sejalan dengan proses pembangunan. Oleh karena itu bagi yang bersangkutan,
selain ditangani dengan pendekatan rehabilitasi juga dilakukan resosialisasi untuk kembali ke
masyarakat. Untuk itu sejak Pelita IV telah dikembangkan sistem lingkungan pondok sosial
(Liposos) untuk menangani para tuna sosial, khususnya gelandangan dan pengemis. Selain
dilatih untuk membina suatu rumah tangga di dalam tatanan kehidupan keluarga yang serasi,
harmonis, dan wajar, dalam Liposos mereka diajarkan pula cara membuat rumah-rumah
sederhana serta diberikan latihan keterampilan yang berg una bagi peningkatan kesejahteraan
sosialnya, yaitu di bidang kerajinan, pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Di samping itu
melalui Liposos mereka dibimbing dan dibina untuk hidup bersama dalam satu lingkungan
secara gotong royong, sehingga mereka yang berada di Liposos-liposos di pulau Jawa dan Bali
dapat dipersiapkan untuk ikut serta bertransmigrasi ke luar pulau Jawa dan Bali. Sedangkan bagi
kelompok-kelompok masyarakat di beberapa daerah yang keadaannya masih terbelakang serta
belum memperoleh kesempatan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, juga diberi
pembinaan dan bimbingan sosial melalui Liposos. Liposos yang berada di luar pulau Jawa
diarahkan untuk menjadi wilayah pemukiman yang layak dan sehat, yang merupakan bagian
integral daripada wilayah desa dan/atau sebagai cikal bakal desa baru. Pendekatan Uposos
tersebut bukanlah sama seperti pembentukan des a umumnya, karena masyarakat di dalamnya
berasal dari berbagaikelompok masyarakat yang menyandang permasalahan sosial, seperti
kemiskinan, keterbelakangan, keterlantaran, tuna wisma, tuna karya, dan lain-lain, yang pada
umumnya memerlukan bantuan dalam bentuk pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan
kondisi obyektifmereka. Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, sampai dengan tahun
keempat Pelita IV telah berhasil diberikan penyantunan kepada 29.895 orang penyandang tuna
sosial. Sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988), telah berhasil
diberikan santunan dan dientaskan sebanyak 2.710 orang.
Sementara itu penyantunan dan pengentasan anak nakal dan korban narkotika dalam
Pelita IV lebih dititikberatkan kepada masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Sedangkan
penanganan terhadap masalah- masalah yang berkenaan dengan penyimpangan di sektor
pendidikan dan pertumbuhan jiwa anak dilakukan melalui pembinaan kesejahteraan di panti
rehabilitasi anak nakal.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 413


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah sosial yang kompleks, dan secara


langsung ataupun tidak langsung mengancam perkembangan generasi muda. Oleh karena itu
selama Pelita IV telah dilaksanakan berbagai upaya pencegahan, yaitu melalui kegiatan
penyuluhan dan bimbingan sosial terhadap masyarakat luas, khususnya para remaja, dengan
memadukan kegiatan program pembina an karang taruna. Di samping itu juga melalui kegiatan
rehabilitasi sosial, resosialisasi, bantuan sosial, dan pembina an lanjut bagi para korban
penyalahgunaan narkotika yang telah memperoleh pengobatan secara medik. Bersamaan dengan
itu dilaksanakan pula kampanye nasional anti narkotika, di samping telah dilaksanakan
pendirian pusat data dan informasi tentang masalah penyalahgunaan narkotika. Peranserta
masyarakat dalam rangka merehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika seperti yang
ditempuh oleh posantren Suryalaya merupakan sistem awal dalam rehabilitasi sosial korban
narkotika yang diselenggarakan bersama pemerintah. Dalam rangka peningkatan peranserta
masyarakat tersebut, telah dan akan diselenggarakan latihan bagi para petugas rehabilitasi sosial
korban narkotika dari berbagai wilayah di Indonesia yang berasal dari pesantren - pesantren.
Diharapkan mereka dapat mengembangkan sistem penang2man korban narkotika seperti yang
dilakukan di posantren Suryalaya dengan dukungan dan stimulasi dari pemerintah. Sampai
dengan tahun keempat Pelita IV telah berhasil diberikan bantuan rehabilitasi sosial dan
resosialisasi terhadap 3.245 orang anak nakal dan sebanyak 2.579 orang korban narkotika.
Program penyantunan dan pengentasan fakir miskin dimaksudkan pula sebagai
penanganan kerawanan sosial ekonomi dari keluarga-keluarga fakir miskin yang berada di
pedesaan dan di daerah-daerah rawan sosial ekonomi di perkotaan. Para fakir miskin yang
tersebar di seluruh Indonesia tersebut pada umumnya sudah memiliki tempat tinggal, serta
merupakan kelompok masyarakat dalam suatu desajkota. Oleh karena itu upaya yang ditempuh
dalam rangka meningkatkan tarat kesejahteraan sosial mereka, antara lain melalui usaha untuk
membangkitkan semangat hidup atau mengbilangkan sikap hidup posrah pada nasib dan
menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain. Di samping itu juga ditingkatkan
bimbingan dan pembinaan yang mengarah pada pengembangan kemauan dan kemampuan untuk
memperbaiki tarat hidup kesejahteraan sosial secara swadaya dengan mendayagunakan potensi
yang ada di lingkungannya. Untuk menunjang kegiatan tersebut kepada mereka secara
berkelompok diberikan bantuan permodalan untuk usaha, antara Rp 1.500.0QO,- sampai
't;Iengan Rp 3.500.000,- untuk setiap kelompok yang terdiri dari 10 sampai dengan 25 kepala
keluarga (KK). Untuk selanjutnya pengembangan usaha kelompok tersebut diarahkan kepada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 414


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

terbentuknya koperasi. Oengan prioritas sasaran garapan pada nelayan dan buruh tani, maka
sebagai hasil kegiatan tersebut sampai dengan tahun keempat Pelita IV telah berhasil ditangani
sebanyak 16.830 keluarga fakir miskin.

Sebagaimana diketahui bahwa bene ana alarn merupakan hal yang sulit diperkirakan
dan dihindari secara posti dan tepat. Secara geografis sebagian besar daerah Indonesia termasuk
wilayah rawan bencana alam, seperti banjir, kekeringan, gempa bumi, gunung meletus, dan
sebagainya. Selain itu bencana alam dapat pula disebabkan oleh sikap perilaku atau perbilatan
manusia karena kelalaian, kelengahan, ketidaksadaran, dan adanya kekurangan pengertian atau
pengetahuan terhadap lingkungan. Suatu kejadian bencana alam akan menimbulkan akibat
merugikan bagi warga yang terkena musibah maupun masyarakat pada umumnya, berupa
kerusakan dan pemusnahan lingkungan fisik langsung pada manusianya, bahkan sampai kepada
korban jiwa. Bagi para korban yang menderita kebilangan/kerusakan tempat tinggal dan
kebilangan mala pencaharian akan mengalami hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya.
Apabila hal demikian dibiarkan terlalu lama akan dapat menimbulkan kerawanan sosial yang
dapat menjadi hambatan dalam proses pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka
penanggulangan korban bencana alam tersebut, pemerintah mengarahkan kegiatannya untuk
menumbuhkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat, terutama yang berada di daerah/lokasi
yang selalu terancam oleh terjadinya b7ncana alamo Kesiapsiagaan masyarakat tersebut sangat
penting dalam rangka mengurangi jumlah korban apabila benar-benar terjadi suatu bencana
alam. Kemudian juga diberikan bantuan dan rehabilitasi sosial kepada para korban bene ana
alam, yang dalam pelaksanaannya melibatkan badan koordinasi penanggulangan beneana alam
(Bakornas PBA) di tingkat pusat dan satuan koordinasi pelaksanaan penanggulangan beneana
alam (Satkorlak PBA) di tingkat propinsi dan kabupaten/kotamadya. Mekanisme pemberian
bantuan awal kepada para korban beneana alam tersebut telah dapat ditata sedemikian rupa
melalui sistem persediaan penyangga, sehingga bantuan awal dapat langsung diberikan sesaat
setelah beneana alam terjadi. Sehubungan dengan itu ditingkatkan pula jumlah petugas
penanggulangan bencana alam yang dikenal dengan nama satuan tugas sosial penanggulangan
bencana alam (Satgassos PBA). Sistem dan mekanisme pengelolaan bantuan dari masyarakat
telah diatur dan pemanfaatannya bagi para korban bencana alam dikendalikan secara balk,
dimana koordinasi lintas sektoral diatur melalui Bakomas PBA di tingkat nasional dan Satkorlak
PBA di tingkat daerah. Di samping itu untuk meningkatkan kemampuan manajemen dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 415


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

penanggulangan bencana alam, saat ini sedang dikembangkan pusat manajemen


penanggulangan bencana alam atau Indonesia disaster management centre (IDMC) dengan
bekerjasama dengan UNDP. Berkaitan dengan kegiatan tersebut, sampai dengan tahun keempat
Pelita IV telah berhasil dibantu dan direhabilitasi sebanyak 22.132 keluarga korban bencana
alam, sedangkan dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan Agustus 1988), telah berhasil
direhabilitasi sebanyak 2.445 KK. .

5.4.5.3. Peranan wanita


Untuk mencapai sasaran yang dikehendaki, maka dalam Pelita IV berbagai ke-
bijaksanaan di sektor peranan wanita dilaksanakan secara terkoordinasi dan terpadu dengan
kebijaksanaan di berbagai sektor pembangunan. Adapun pokok-pokok kebijaksanaan tersebut
terutama ditekankan dan diarahkan pada peningkatan peranan wanita sebagai ibu rumah tangga
untuk mencapai keluarga sehat dan sejahtera. Demikian juga ditekankan pada peningkatan
peranan wan ita sebagai tenaga kerja di berbagai sektor pembangunan, melalui peningkatan
pendidikan dan keterampilan serta menumbuhkan iklim sosial budaya yang lebih
memungkinkan wan ita berperanserta dalam pembangunan. Hal ini pada gilirannya dapat
meningkatkan kemampuan bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang alas kekuatannya
sendiri menuju masyarakat adil makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Dalam
pelaksanaannya, di samping telah ditempuh berbagai peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
keluarga, juga diusahakan peningkatan peranan tenaga kerja wanita rnelalui peningkatan
pendidikan, keterampilan, dan pengembangan sosial budaya.

Selama Pelita IV, di subsektor peningkatao kesehatan dan kesejahteraan keluarga telah
dilaksanakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan dan peranan wanita dalam
kehidupan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia, terutama untuk pengembangan generasi muda,
khususnya anak dan remaja. Sebagaimana diketahui, usaha-usaha tersebut baru terlaksana
apabila pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) makin ditingkatkan peranannya. Untuk itu
pemerintah senantiasa bewsaha mengadakan dan meningkatkan pendidikan sosial dan
keterampilan, yang diarahkan pada peningkatan dinamika dan kreativitas wanita. Upaya
peningkatan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, kesadaran, dan sikap mental wan ita
untuk mencapai kehidupan keluarga sehat sejahtera dan bahagia tersebut dilaksanakan secara
terpadu dengan program peningkatan peranan wan ita menuju keluarga sehat sejahtera (Program

Departemen Keuangan Republik Indonesia 416


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

P2W-KSS) di 27 propinsL Kegiatan program terpadu P2W-KSS meliputi kegiatan


pemasyarakatan P-4, pemberantasan 3 hula (buta aksara laUn dan angka, hula bahasa Indonesia,
dan hula pendidikan dasar), penyuluhan pertanian untuk pemanfaatan lahan pekarangan dengan
aneka usaha, dan penyelenggaraan taman gizi. Selanjutnya juga melalui kegiatan
imunisasijvaksinasi dan penyuluhan kesehatan, perbaikanjpemugaran perumahan keluarga,
pengadaan fasilitas air bersih, dan kegiatan keluarga berencana (KB). Di samping itu juga
berupa penyuluhan agama tentang keluarga bahagia sejahtera, gerakan swadayajgotong royong
untuk kebersihanjkesehatan pemukiman dan lingkungan hidup, pemasyarakatan 10 program
pokok PKK, serta peningkatan kesempatan berusaha di kalangan wanita dalam rangka
membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Apabila dalam Pelita III program P2W-KSS
tersebut baru dilaksanakan di 282 kecamatan yang meliputi 564 desaj kelurahan, maka sampai
dengan tahun 1987/1988 (tahun keempat Pelita IV) telah dilaksanakan di 301 daerah tingkat dua,
yang terdiri dari 3.002 kecamatan yang meliputi 6.013 desa.
Mengingat bahwa pos pelayanan terpadu (Posyandu) merupakan wahana peranserta
masyarakat, maka dalam rangka peningkatan peranan wanita, Posyandu juga diintegrasikan dan
ditingkatkan jumlahnya untuk menunjang kegiatan tersebut. Apabila dalam tahun 1985j 1986
baru terdapat sekitar 39.000 Posyandu, maka dalam tahun 1986/1987 telah meningkat menjadi
133.786 Posyandu. Dengan semakin besarnya minat masyarakat terhadap Posyandu, maka
dalam tahun keempat Pelita IV mulai dikembangkan jumlah Posyandu (akselerasi) dan
meningkatkan kualitas daripada Posyandu yang telah ada (eskalasi). Akselerasi Posyandu
diutamakan pada propinsi-propinsi yang mempunyai pengaruh besar terhadap penurunan
kematian bayi dan anak balita.
Salah satu upaya untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera adalah dengan
memasyarakatkan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan lahirnya
undang-undang tersebut berarti kehidupan rumah tangga bangsa Indonesia telah mempunyai
kekuatan hukum yang mantap dan sekaligus merupakan langkah nyata untuk melindungi harkat
dan martabat kaum wanita dalam kehidupan perkawinan. Selanjutnya untuk lebih
memasyarakatkan undang-undang tersebut, terus dilakukan penyuluhan dan penataran undang-
undang perkawinan dan penataran keluarga bahagia dan sejahtera bagi seluruh lapisan
masyarakat, terutama kepada wanita dan ibu rumah tangga, baik di kota maupun di desa.
Disadari bahwa peran wan ita dalam membantu keberhasilan pengembangan per-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 417


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kopera.sian dinilai sangat penting. Hal ini terlihat dari adanya berbagai kelompok usaha bersama
(KUB) di kalangan wanita yang telah dikembangkan menjadi koperasi. Sehubungan dengan itu,
pembina an kader wanita di sektor perekonomian dilakukan antara lain melalui latihan kerja
perkoperasian bagi wanita, yang diarahkan untuk menjadi anggota koperasijKUD di daerah
tempat tinggalnya. Selain itu juga diarahkan untuk dapat mensponsori terbentuknya
koperasijKUD bilamana di daerahnya belum ada koperasi/KUDnya. Berbagai usaha tersebut
pada gilirannya telah mempengaruhi jumlah koperasi di Indonesia. Dari jumlah koperasi yang
terbentuk di seluruh Indonesia, sebanyak 706 buah di antaranya adalah koperasi wanita. Hal
tersebut telah berakibat pada peningkatan dalam jumlah wanita yang dilatih di sektor
perkoperasian. Sejak Pelita III sampai dengan tahun keempat Pelita IV, telah berhasil dilatih
sebanyak 15.289 orang wanita di sektor perkoperasian, yang terairi dari 8.000 wanita yang
tinggal di pedesaan, dan sebanyak 7.289 tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan. Di
samping itu dalam periode yang sama telah terbentuk 280 KUB di kalangan wanita yang
beranggotakan 28.733 orang, tersebar di 27 propinsi, 144 kabupaten, 220 kecamatan dan 273
desa, serta terbentuknya 31 koperasi karyawan wanita di berbagai ,instansi pemerintah dan
nonpemerintah.
Sementara itu pembinaan peranan wanita di daerah transmigrasi sampai dengan Pelita
IV telah dilaksanakan di 10 propinsi daerah transmigrasi, yang meliputi kegiatan penyuluhan
kesehatan dan gizi, kebersihan lingkuhgan, pemanfaatan tanah pekarangan, pembuatan apotik
hidup, keterampilan menjahit, pengolahan hasil pertanian, dan penyuluhan 10 program pokok
PKK. Dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat Pelita IV telah berhasil dibina sebanyak
720 wanifa transmigrasi, yang disertai dengan pembentukan gerakan PKK di 1.550 lokasi
daerah transmigrasi. Sedangkan sejak awal tahun 1988/1989 peningkatan peranan wanita telah
dilakukan di 3 lokasi daerah transmigrasi, yaitu di Payao Klato-propinsi Kalimantan Timur,
Sanggau Ledo-propinsi Kalimantan Barat, dan di Taopa Lambunu-propinsi Sulawesi Tengah, di
samping akan dilakukan pula di 31okasi yang lain, yaitu di Jantho-propinsi Daerah Istimewa
Aceh, Kumpeh-propinsi Jambi, dan di Daya Itoh-propinsi Lampung. Selanjutnya dalam rangka
peningkatan peranan wan ita di daerah propinsi Timor Timur yang baru dilaksanakan sejak
tahun 1982, telah diikutsertakan anggota regimen mahasiswa (Menwa) putri dari berbagai
perguruan tinggi di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, sampai dengan bulan Maret 1988 telah
mencapai 15 kali rotasi yang masing - masing bertugas selama 3 bulan di desa-desa. Dari hasil
kegiatan tersebut telah dapat dibina sebanyak 75 desa yang terdapat di 35 kabupaten dan 39

Departemen Keuangan Republik Indonesia 418


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kecamatan. Rotasi ke 15 tersebut merupakan rotasi yang terakhir, dan selanjutnya untuk
meneruskan tugas-tugas Menwa putri dalam rangka peningkatan peranan wan ita di Timor
Timur, akan ditempatkan satuan tugas sosial (Satgassos) dari hasil kerjasama antara pemerintah
dan masyarakat. Dalam pada itu untuk lebih menunjang berhasilnya usahausaha kesejahteraan
sosial dalam program peningkatan peranan wanita, telah dilakukan peningkatan kemampuan
kepemimpinan dan keterampilan sosial wan ita dalam pembangunan. Selama Pelita IV (sampai
dengan bulan Agustus 1988), telah dilakukan pembinaan sebanyak 3.665 orang kader pimpinan
wanita melalui latihan kepemimpinan wan ita di sektor kesejahteraan sosial, yang selanjutnya
berfungsi sebagai pekerja sosial masyarakat (PSM). Kemudian telah dilakukan pula pembinaan
terhadap 12.540 orang wanita desa, dan pembinaan terhadap 480 kelompok usaha melalui
bimbingan pengembangan usaha kelompok wanita ke arah wiraswasta dan kesempatan kerja.
Kegiatan di bidang pemberantasan hula hurtle dalam arti luas dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental warga binaan agar terbebas dari 3
hula. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui program penggerak P2W-KSS, yang hasilnya
sampai dengan bulan Agustus 1988 telah mencapai 1.100 orang untuk tingkat propinsi dan
sebanyak 6.260 orang di tingkat kabupatenfkotamadya. Demikian pula melalui kelompok
belajar (Kejar) usaha, sampai dengan peri ode yang sama telah terbentuk 14.250 warga Kejar
usaha di 27 propinsi, sedangkan dalam rangka pengadaan sarana belajar sampai dengan periode
yang sama telah dicetak buku bacaan menuju keluarga sehat sejahtera sebanyak 60.000
eksemplar, dan pencetakan buku pelajaran P2W-KSS sebanyak 130.000 eksemplar.
Gerakan pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK), yang merupakan gerakan
pembangunan masyarakat yang dimulai dari bawah, selama ini telah mampu merubah sikap
mental dan cara hidup kaum wanita terutama di pedesaan, sehingga pada gilirannya dapat
meningkatkan partisipasi dan integrasi kaum wanita dalam proses pembangunan. Dari tahun
1984/1985 sampai dengan tahun 1987/1988 gerakan PKK telah melaksanakan latihan
pengelolaan PKK bagi anggota team pengarah (TP)-PKK dari tingkat pusat sampai di tingkat
kecamatan, yang keseluruhannya berjumlah 17.840 orang termasuk di antaranya 54 orang
pelatih dari tingkat propinsi. Di samping itu telah dihasilkan kader kesehatan sebanyak 286.278
orang, kader usaha pendidikan kesejahteraan keluarga (UPKK) sebanyak 57.185 orang, kader
peningkatan peranan wanita (P2W) sebanyak 31.196 orang, kader bina keluarga dan balita
(BKB) sebanyc!fk 9.383 orang, serta fasilitator simulasi P-4 sebanyak 7.254 orang. Hasil-
hasillain yang dicapai selama peri ode tersebut antara lain adalah pendayagunaan 81 kader PKK

Departemen Keuangan Republik Indonesia 419


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dari 27 propinsi, pengadaan kursus kader penyuluhan lapangan pembangunan desa urusan PKK
di Timor Timur dan Irian Jaya, masing- masing sebanyak 30 orang dan 85 orang, dan
pelaksanaan orientasi pelatih propinsi dalam rangka penggunaan paket latihan pengelolaan
program dan penyuluhan PKK di pusat dan di 5 propinsi (NTB, NIT, Sulawesi Selatan,
Sumatera Barat dan Jawa Barat).

Sementara itu khusus di subsektor ketenagakerjaan, peningkatan peranan tenaga kerja


antara lain diupayakan melalui program peningkatan produktivitas tenaga kerja wanita melalui
pendekatan kesejahteraan terpadu, serta program perluasan kesempatan kerja dan berusaha bagi
wanita. Maksud dari kebijaksanaan tersebut adalah agar perusahaan-perusahaan yang banyak
mempekerjakan tenaga kerja wanita bersedia menyelenggarakan program sesuai dengan
kemampuannya, dengan harapan dapat tercipta peningkatan kesejahteraan,
produktivitas/kualitas, efisiensi, dan efektivitas tenaga kerja wanita. Program terse_ut dilak-
sanakan oleh sektor fungsional yang mampu meningkatkan motivasi dan etas kerja melalui
pendidikan, penyuluhan, dan kegiatan-kegiatan lainnya secara !iotas sektoral serta terjadual.
Selama Pelita IV, jumlah perusahaan poserta program dalam setiap tahunnya mencapai 26 buah,
yang berasal dari berbagai daerah tingkat I. Propinsi yang mengirimkan poserta program
tersebut adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah lstimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.
Tuntutan dan keinginan wan ita untuk ikut berperanserta dalam pembangunan perlu
didukung oleh lembaga penunjang peran ganda wanita yang sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan wanita, baik ditinjau dari kondisi sosial ekonomisnya maupun dari berbagai tingkat
perkembangan kehidupannya. Oleh karena itu program bin a keluarga dan balita (BKB h yang
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan sikap ibu dan anggota
keluarga dalam membina pertumbuhan anak balita secara optimal, terus dikembangkan dan
diperluas di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu semakin melimpahnya hasil-hasil produksi dari dalam maupun luar
negeri yang ditunjang oleh kemajuan di sektor periklanan, seringkali membingungkan dan
menyesatkan para konsumen yang kurang waspada. Untuk itu mulai awal Pelita IV pemerintah
mencanangkan program pendidikan dan penyuluhan (Dikluh) kepada para konsumen, yang
dilaksanakan secara terpadu dengan beberapa instansijlembaga nondepartemen dan organisasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 420


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

masyarakat. Tujuan program Dikluh konsumen adalah untuk meningkatkan pengetahuan,


keterampilan, dan sikap mental wanita dalam penggunaan barang konsumsi, meningkatkan
kemampuan para wanita konsumen agar dapat memilih barang dan jasa hasil industri secara
bijaksana, serta meningkatkan kesadaran dan kesediaan mengutamakan penggunaan produksi
dalam negeri. Sasaran utama program tersebut adalah wanita golongan ekonomi lemah dan yang
berpendidikan rend_h, yang diusahakan dijangkau terutama melalui kegiatan kelompok belajar
paket A yang tercakup dalam program pemberantasan 3 buta. Sebagai penunjangnya dalam
tahun keempat Pelita IV, telah diselesaikan penyusunan 6 buku Suplemen Paket A, yang antara
lain berisikan penjelasan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam berbelanja makanan dan
minuman atau barang-barang pokok keperluan sehari-hari.
Selanjutnya untuk meningkatkan mutu peranan kaum wanita, sejak awal Pelita IV
pemerintah telah menetapkan penyelenggaraan latihan kepemimpinan wan ita (LKW). Latihan
tersebut menfokuskan pada kepemimpinanjmanajemen bagi para pemimpin organisasi, pemuka
masyarakat, dan wanita, untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, memantapkan
sikap mental dan disiplin .diri pada wanita, sehingga pada gilirannya mampu menjadi penggerak
dan fasilitator masyarakat yang tercermin dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan,
dan pengelolaan program-program pembaharuan nasional, terutama program P2W. Sebagai
hasil dari berbagai kegiatan tersebut, dalam kurun waktu 1985 - 1988 telah diadakan 6 kali
LKW tingkat propinsi dan 2 angkatan latihan pendidikan kejuruan wanita (LPKW). Kegiatan
tersebut melibatkan sebanyak 242 orang poserta, terdiri dari utusan organisasi wanita dan
masyarakat tingkat pusatjdaerah, utusan lembaga pemerintah yang menangani program P2W,
serta wanita ABRI (Kowad, Kowal, Wara, dan Polwan).
Dalam pada itu program pengembangan lingkungan sosial budaya merupakan
pendukung peningkatan peranan wanita dalam pembangunan di segala sektor. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan motivasi, menciptakan dan menumbuhkan kondisi lingkungan sosial
budaya masyarakat luas, serta untuk mendukung peranan wan ita dalam pembangunan. Kegiatan
di subsektor tersebut diprioritaskan kepada penyuluhan tentang undang-undang perkawinan
termasuk peraturan pelaksanaannya, undang-undang ketenagakerjaan, undangundang narkotika,
dan undang-undang perkoperasian. Untuk itulah maka dalam bulan Januari 1987, Indonesia
telah menyampaikan laporan kepada komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang pada
pokoknya menyatakan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia tidak
bertentangan atau sejalan dengan materi konvensi. Di samping itu berbagai produk penyuluhan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 421


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mengenai peranan wan ita dalam pembangunan telah disebarluaskan pula kepada masyarakat di
dalam maupun di luar negeri, termasuk melalui perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri
serta melalui badan-badan PBB.

Di antara berbagai kegiatan wanita, kerjasama tingkat regional juga semakin erat, yaitu
antarwanita dari negara-negara anggota Asean yang tergabung dalam Asean Woman's Programe
(AWP), di samping organisasi-organisasi wan ita non-pemerintah yang tergabung dalam Asean
Confederation of Women's Organization (ACWO), yang kegiatannya antara lain juga untuk
menunjang AWP. Baik AWP maupun ACWO telah menyelenggarakan berbagai program
regional, seperti pembentukan pusat informasi wanita dalam pembangunan. Khususnya
mengenai A WP, setiap tahun mengadakan sidang yang diketuai secara bergiIir. Dalam sidang
tahunan ke-6 yang diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 25-27 Februari 1987, telah
dihasilkan dua dokumen penting, yaitu Policy Guidelines for The Asean Women's Programme
dan Dedanation for The Advancement of Women in the Asean Regional. Sedangkan dalam
sidang tingkat menteri-menteri Asean yang diadakan di Bangkok pada tanggal4 - 8 Juli 1988,
telah dihasilkan deklarasi untuk kemajuan wanita di wilayah Asean. Hal ini merupakan
peristiwa penting yang akan memberikan motivasi besar bagi peningkatan kerjasama antar-
wanita Asean, terutama dalam rangka tindak lanjut hasil KIT Asean ke III. Beberapa kegiatan
penting A WP iainnya ialah Asean Network of Clearinghouse on Women in Development.
Dalam hal ini Indonesia menjadi koordinator dari kerjasama informasi dan dokumentasi yang
menyangkut masalah wan ita dalam pembangunan di Asean. Clearinghouse on Women in
Development tersebut bertujuan untuk menyebarluaskan informasi, serta menyimpan datal
publikasi dan keterangan- keterangan lainnya mengenai kegiatan wanita dalam pembangunan.
Di tingkat internasional, Indonesia juga berperan aktif dengan melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan sebagai anggota/anggota ahli di berbagai forum. Seorang wakillndonesia
duduk sebagai anggota dewan penasehat dalam UN International Research and Training
Institute for The Advancement of Women (INSTRAW), untuk masa bakti 1984 - 1987 dan
kemudian terpiIih kembali untuk kedua kalinya untuk masa bakti 1987 - 1990. Sedangkan di
lembaga khusus PBB lainnya, yaitu di Committee on The Elimination of All Forms of
. Discrimination Against Woman (CEDA W), wakil dari Indonesia juga terpiIih sebagai anggota
untuk masa bakti 1986 - 1990. Pada bulan Februari 1988, Indonesia mendapat giIiran untuk
menyampaikan laporan pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap

Departemen Keuangan Republik Indonesia 422


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

wan ita di Indonesia kepada CEDAW di New York. Kegiatan lain di tingkat internasional ialah
pengiriman wakil-wakil Indonesia sebagai poserta ke berbagai seminar/ lokakarya di luar negeri.

5.5. Hasil pembangunan bidang politik, hukum, aparatur, dan Hankam


Dalam rangka meletakkan kerangka landasan di bidang ideologi dan pblitik, maka
dalam Pelita IV pembangunan politik dalam negeri diarahkan untuk memantapkan kehidupan
politik dan kenegaraan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Oasar 1945,
meningkatkan kesadaran politik rakyat, memantapkan mekanisme kepemimpinan nasional, serta
meningkatkan fungsi dan tata hl'bungan antarlembaga tinggi negara. Namun sebagai bagian dari
masyarakat internasional, Indonesia tidak dapat lepos dari pengaruh atau akibat yang
ditimbulkan dari perkembangan situasi internasional. Untuk itu pembangunan politik luar negeri
diarahkan pada usaha-usaha pemeliharaan dan memajukan kepentingan nasional, serta berupaya
untuk ikut mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia yang adil dan sejahtera. Sedangkan
untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya,
menciptakan kepostian dan ketertiban hukum, serta meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
pada umumnya, terus ditingkatkan pembangunan dan pembinaan hukum nasional. Di samping
itu untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum dan
pembangunan nasional, telah ditingkatkan pula pendayagunaan aparatur pemerintah agar dapat
menjadi alat yang efektif,efisien, dan bersih. Demikian pula untuk memelihara stabiIitas
keamanan nasional, terus ditingkatkan pembangunan pertahanan dan keamanan, yang
disesuaikan de1fgan sasaran Pelita IV, yaitu terciptanya kerangka landasan bagi bangsa
Indonesia untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri.
5.5.1. Politik dalam negeri
Kebijaksanaan pembangunan politik dalam negeri yang ditempuh dalam Pelita IV
adalah melanjutkan dan meningkatkan kebijaksanaan yang telah dilaksanakan pada Pelita III,
terutama pemantapan stabiIitas politik yang sehat dan dinamis. Kebijaksanaan tersebut antara
lain meliputi usaha menggalakkan dan mendorong pengembangan pendidikan politik rakyat
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Oasar 1945, percepatan penataran P-4 kepada
semua lapisan masyarakat, serta peningkatan proses nation building melalui persatuan dan
kesatuan bangsa. Kemudian menciptakan kader pembauran bangsa yang akan dilaksanakan
secara terpadu antarsektoral, yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya,
dan memperkecil gejolak yang timbul di bidang SARA. Demikian pula untuk menjamin

Departemen Keuangan Republik Indonesia 423


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

kelestarian Pancasila dalam masyarakat Indonesia, telah disebarkan tenaga penggerak


pembangunan yang berkualifikasi kader Pancasila ke seluruh Indonesia, khususnya di tingkat
kecamatan dan desa. Di samping itu untuk memperkokoh kehidupan politik, dalam rangka
memantapkan penataan kembali kekuatan sosial politik, dalam tahun 1985 telah dilakukan
pengundangan 5 (lima) undang-undang di bidang politik beserta peraturan-peraturan pelak- .
sanaannya, yang menjadi dasar bagi terciptanya prakondisi bagi tinggallandasnya pembangunan
lebih lanjut. Dalam hubungan ini Pemerintah juga berfungsi sebagai dinamisator, pendorong,
dan pembimbing terhadap lembaga atau organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi
kemasyarakatan. Untuk itu pemerintah tetap memberikan bantuan sarana dan prasarana bagi
kegiatan kekuatan sosial politik.
Sementara itu kebijaksanaan di bidang pertahanan sipil (Hansip) terus ditingkatkan
pembinaan dan pemantapan anggotanya, yang saat ini telah berjumlah sekitar 3,6 juta orang.
Para anggota Hansip tersebut akan diarahkan menjadi komponen perlindungan masyarakat
(Unmas). Selain itu dilakukan kaderisasi Unmas yang berjumlah sekitar 3,8 juta orang.
Selanjutnya akan ditata kembali organisasi, pembinaan, pengarahan, dan pengendalian untuk
memperbaiki citra masyarakat terhadap Hansip, dan sekaligus akan segera disusun RUU tentang
perlindungan masyarakat. Dalam rangka pengamanan ideologi Pancasila terhadap ancaman
bahaya laten komunis, telah ditingkatkan kewaspadaan nasional terhadap bahaya laten komunis
yang setiap waktu dapat muncul kembali. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan
melaksanakan penataran kewaspadaan nasional terhadap aparatur pemerintah, terutama pejabat
yang strategis seperti kepala daerah dan camat. Sedangkan terhadap bekas tahanan dan
narapidana G 30 SjPKI, telah dan terus ditingkatkan pengawasannya. Di samping itu dilakukan
pula percepatan pembina an melalui santiaji yang berlanjut, agar mereka dapat kembali hidup
secara bciik sebagai anggota masyarakat yang berjiwa Pancasila. Dengan pembinaan tersebut,
diharapkan di masa mendatang masalah komunis tidak lagi menjadi kerawanan di Indonesia.

Dalam pada itu kehidupan organisasi kemasyarakatan termasuk partai politik dan
golongan karya, terus ditingkatkan dengan memberikan persuasi, motivasi, dan dorongan agar
kekuatan sosial politik serna kin berperanserta dalam pembangunan nasional. Sebagai organisasi,
pembinaannya dapat dilakukan secara formal, namun dapat pula secara informal melalui tokoh
politik yang berpengaruh.Di samping itu pemerintah selalu bersedia membantu menyelesaikan
masalah mereka jika diminta, serta memberi dorongan agar program kerja mereka yang positif

Departemen Keuangan Republik Indonesia 424


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dapat berhasil. Aparatur pemerintah dan tokoh politik secara bersamasama, baik di tingkat pusat
maupun daerah, harus senantiasa mampu, bijaksana dan terampil dalam melaksanakan
pembinaan kehidupan sosial politik secara terpadu. Sedangkan untuk menangani masalah politik
yang sukar, maka antara aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat harus ada satu bahasa dan
satu gerak langkah. Pembangunan dan pembina an politik dalam negeri diupayakan agar
terlaksana secara mantap dan terarah, sehingga kehidupan politik dapat berkembang seirama
dengan demokrasi Pancasila.

Sebagai hasil kebijaksanaan pembangunan politik dalam negeri di bidang pem-


binaan .umum, dalam tahun 1987/1988 antara lain telah dilaksanakan bimbingan politik
terhadap anggota DPRD II di 23 propinsijDari I, penyusunan buku pedoman bimbingan politik
anggota DPRD II sebanyak 4.500 buah, serta pengumpulan informasi permasalahan politik dari
Dari I Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Riau. Demikian pula dalam tahun berikutnya
(sampai dengan bulan September) antara lain telah dilaksanakan bimbingan politik terhadap 643
orang anggota DPRD I dan DPRD II hasil Pemilu 1987, penyusunan buku pedoman bimbingan
politik sebanyak 1.000 buah, serta penyusunan daftar permasalahan dalam penyelenggaraan
Pemilu 1987.

Sementara itu hasil kebijaksanaan di bidang pembinaan kesatuan bangsa dalam tahun
1986/1987 antara lain adalah dalam bentuk inventarisasi usaha pemasyarakatan P-4 di wilayah
Dari I seluruh Indonesia, yang meliputi sebanyak5.156.655 penatar. Sedangkan hasil
pemasyarakatan P-4, baik melalui program penataran maupun nonpenataran, telah tercatat
sebanyak 40.926.986 petatar. Kemudian dalam tahun 1987/1988 sampai dengan bulan
Desember, masing-masing telah menjadi sebanyak 5.403.753 penatar, dan tercatat sebanyak
45.154.129 petatar.

Selanjutnya hasil kebijaksanaan di bidang ketenteraman dan Hansip dalam tahun


1987/1988 antara lain berupa penyempurnaan naskah konsepsi perlindungan masyarakat,
pengumpulan data dari 14 propinsi daerah rawan bencana, peragaan fungsi Hansip dalam
penanggulangan bene ana tanah longsor, serta peningkatan latihan dan pendidikan Hansip.
Kemudian dalam tahun berikutnya (sampai dengan bulan September) antara lain telah
dilaksanakan bimbingan pendidil<an dan latihan Hansip di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan.

Di bidang pembinaan masyarakat, dalam tahun 1987/1988 antara lain telah diting-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 425


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

katkan peran organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan dalam kehidupan
bermasyarakat yang berazaskan Paneasila, dimasyarakatkannya 5 (lima) undangundang di
bidang politik, serta penyediaan bantuan sarana dan prasarana bagi organisasi kekuatan sosial
politik dan organisasi kemasyarakatan. Kemudian dalam tahun berikutnya sampai dengan bulan
September 1988, antara lain dilaksanakan komunikasi sosial dengan organisasi kekuatan sosial
politik dan organisasi kemasyarakatan di tingkat pus at, serta melanjutkan pendataan organisasi
kemasyarakatan di tingkat pusat dan daerah. Sementara itu di bidang pengamanan dalam tahun
1987/1988, antara lain telah dibina suatu kerjasama dengan instansi yang terkait dalam bidang
pengamanan serta dalam bidang agama dan sosial budaya, pengadaan buku petunjuk lapangan
pembina an dan pengawasan bekas tahanan politik G 30 S/PKI, serta dilanjutkan penataran
kewaspadaan nasional (Tarpadnas) terhadap para pejabat eselon I, II, dan III di pusat dan Dari I.

5.5.2. Politik luar negeri

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tidak dapat lepos dari
pengaruh atau akibat yang ditimbulkan dari perkembangan situasi di luar negeri. Untuk itu
seperti tahun-tahun sebelumnya maka pembangunan politik luar negeri dalam tahun-tahun
mendatang diarahkan pada usaha-usaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia yang adil
dan sejahtera walaupun tetap berorientasi kepada kepentingan nasional. Keikutsertaan Indonesia
dalam upaya mengatasi berbagai masalah internasional dilakukan melalui berbagai forum
internasional, sejalan dengan meningkatnya peran Indonesia yang telah semakin diakui dan
diterima oleh masyarakat dunia. Sejalan dengan hal itu telah semakin banyak dibuka hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain, dan sebaliknya juga telah dibuka beberapa perwakilan
negara sahabat maupun organisasi internasional yang berkedudukan di Jakarta.

Di tingkat regional, pengembangan ASEAN merupakan salah satu prioritas utama


dalam pembangunan politik luar negeri Indonesia. Meskipun usianya relatif masih muda, namun
ASEAN telah berhasil menciptakan kestabilan dan keserasian dalam hubungan antaranggotanya.
Dalam KIT ASEAN III yang dilangsungkan di Manila dalam bulan Desember tahun 1987,
antara lain telah dicanangkan upaya untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi intra-
ASEAN, khususnya di bidang perdagangan dan perindustrian, serta untuk mempererat rasa
kebersamaan antaranggotanya. Selain dari pada itu, juga telah disetujui usaha-usaha
meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi antara ASEAN dan negara mitra wicara. Sejalan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 426


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dengan hal tersebut, ASEAN terus berupaya mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang damai,
bebas, dan netral, serta mewujudkan kawasan bebas senjata nuklir dj Asia. Walaupun kerjasama
ekonomi ASEAN, yang meliputi bidang perdagangan dan perindustrian dewasa ini telah
mengalami kemajuan yang cukup berarti, namun ASEAN masih tetap prihatin dengan
perkembangan yang terjadi di Kampuchea, yang sampai saat ini masih menjadi ganjalan bagi
terciptanya lingkungan Asia Tenggara yang damai, bebas, dan netral. Sebagai negara yang telah
dipercaya sebagai mitra wicara antara ASEAN dan negara-negara Indochina, Indonesia telah
berperan dalam upaya penyelesaian masalah Kampuchea, yang antara lain diwujudkan dengan
menyelenggarakan pertemuan informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting/JIM) di Bogor dalam
bulan Juli 1988. Selanjutnya ten.is diupayakan agar pertemuan serupa itu dapat dHanjutkan,
sehingga dapat melahirkan hasil yang nyata yaitu negara Kampuchea yang damai. Sementara itu
perkembangan n_gara-negara di kawasan Asia Selatan masih menghadapi berbagai masalah,
baik dalam negeri maupun hubungan antarnegara di kawasan tersebut. Namun demikian
diharapkan perhimpunan kerjasama regional Asia Selatan (SAARC) dapat membantu
memelihara keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut, sehingga dapat menunjang negara-
negara ASEAN dalam upaya mewujudkan suatu kawasan yang damai, bebas, dan netral.
Perkembangan di Posifik Barat Daya akhir-akhir ini juga menjadi perhatian politik luar
negeri Indonesia, sebab sebagai kawasan yang dekat perbatasan diharapkan adanya kestabilan di
kawasan tersebut. Untuk itu terus ditingkatkan persahabatan dan kerjasama dengan negara-
negara di kawasan tersebut, terutama kerjasama ekonomi dan teknik antarnegara berkembang
yang telah terjalin selama ini. Di sampirrg itu Indonesia juga mendukung upaya dekolonisasi
yang sedang terjadi di Kaledonia Baru, serta mendukung upaya negara-negara di kawasan
tersebut dalam rangka usaha mewujudkan suatu kawasan bebas nuklir, sebagaimana pada
kawasan Asia Tenggara. Dalam pada itu kawasan Posifik secara keseluruhan akan merupakan
salah satu kawasan yang sangat penting menjelang abad ke-21, karena di kawasan tersebut
terdapat negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat, Kanada, ani Soviet, Jepang, dan
Republik Rakyat Cina, serta khususnya di Posifik Selatan telah muncul negara-negara industri
baru seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong. Untuk itu dalam pelaksanaan politik luar
negeri telah diberikan perhatian yang semakin besar terhadap perkembangan di kawasan Posifik,
karena negara-negara di kawasan tersebut merupakan mitra utama bagi pembangunan nasional.
Situasi di Timur Tengah masih diliputi oleh suasana yang memprihatinkan, yaitu masih

Departemen Keuangan Republik Indonesia 427


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

berlanjutnya pertikaian bersenjata" di kawasan tersebut. Untuk itu Indonesia terus mendukung
sepenuhnya usaha-usaha yang dijalankan oleh PBB untuk mencari penyelesaian politik di
kawasan tersebut. Sementara itu masalah Palestina dan situasi di Lebanon masih tetap belum
memperIihatkan titik - titik terang. Dalam hubungan ini Indonesia tetap mendukung perjuangan
rakyat Palestina untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendirikan negara di negerinya sendiri.
Sementara itu penyelesaian masalah Afganistan kini telah)mulai memperIihatkan titik-titik
terang sesudah ditandatanganinya persetujuan Jenewa dalam bulan April 1988, yang bertujuan
untuk menyelesaikan masalah Afganistan secara damai. Selain daripada itu Indonesia secara
konsekuen terus mendukung perjuangan kemerdekaan di Namibia, dan perjuangan rakyat Afrika
Selatan menentang sistem pdiitik apartheid. Dalam hubungan ini, Indonesia telah menyerukan
kepada dewan keamanan PBB untuk mengambil langkahlangkah yang efektif guna
meflhpercepat pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai kemerdekaan Namibia,
serta mendukung kebijaksanaan untuk melaksanakan sanksi terhadap rezim Afrika Selatan.

Salah satu hasil pembangunan pdiitik luar negeri Indonesia yang sa_gat menonjol
adalah di bidang hukum laut, yaitu berupa pengakuan internasional. terhadap konsepsi wawasan
nusantara Indonesia dan konsepsi hukum laut Indonesia lainnya. Dengan adanya pengakuan
tersebut, maka kesatuan dan keutuhan negara Indonesia menjadi lebih terjamin, serta
memberikan landasan yang kuat dalam memanfaatkan kekayaan alam laut di seluruh wawasan
nusantara untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu telah diambil langkahlangkah tindak
lanjut untuk memanfaatkan ketentuan-ketentuan konvensi tersebut bagi pembangunan nasional,
baik di bidang pdiitik, ekonomi, .maupun pertahanan. Untuk memperce pat penyesuaian dan
penyusunan peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan konvensi tersebut, maka
segera akan dituntaskan perjanjian batas-batas maritim dengan negara-negara tetangga, serta
mengusahakan agar sebanyak mung kin negara-negara lain meratifikasi konvensi hukum laut
tersebut.

Kebijaksanaan pembangunan ekonomi masih akan tetap merupakan prioritas utama


dalam Pelita mendatang, karena itu pembangunan pdiitik luar negeri akan tetap diarahkan untuk
mendukung kebijaksanaan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, terus ditingkatkan
hubungan dengan semua negara industri, baik kelompok negara industri maju (Amerika Serikat,
Kanada, Jepang, dan Eropa Barat) maupun kelompok negara industri baru (Singapura, Korea
Selatan, Hongkong, dan Taiwan). Kelompok negara-negara tersebut telah ban yak berperan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 428


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dalam pembangunan ekonomi Indonesia, yang diwujudkan melalui kegiatan perdagangan dan
investasi, serta kerjasama teknik dan aIih teknologi. Di samping itu juga terus ditingkatkan
hubungan dan kerjasama ekonomi dengan kelompok negara sosiaIis Eropa Timur, serta negara-
negara berkembang di Asia Posifik, Amerika Latin, dan Afrika.

Dalam pada itu meningkatnya sikap proteksionistis yang dilakukan oleh negara-negara
industri maju, merosotnya harga komoditi primer di pasaran dunia, serta menurunnya arus
modal dari negara-negara tersebut, telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian
negara-negara berkembang. Di samping itu kemacetan dialog Utara-Selatan yang
berkepanjangan, juga telah menambah kesulitan pada negara-negara berkembang, serta terlihat
pula adanya kecenderungan pada banyak negara industri maju untuk lebih menggunakan
pendekatan bilateral di dalam usaha mengatasi masalah tersebut. Dalam situasi perekonomian
yang tidak menentu dan terjadinya kemacetan pada dialog Utara-Selatan, maka Indonesia terus
berupaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antamegara berkembang dalam rangka dialog
Utara-Selatan, baik dalam bentuk hubungan kerjasama ekonomi (HENB) maupun kerjasama
teknik (KTNB). Kerjasama tersebut merupakan salah satu bentuk strategi pembangunan
ekonomi negara-negara berkembang untuk mencapai kemandirian masing-masing negara
maupun kemandirian bersama. Salah satu hasil penting dalam rangka kerjasamC! itu adalah
dihasilkannya deklarasi dan rencana aksi kerjasama Selatan-Selatan pada konperensi
tingkatMenteri di Pyongyang (Korea Utara) bulan Juni 1987, yang meliputi bidang perdagangan,
keuangan, pangan, dan pertanian, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hubungan
tersebut Indonesia telah berperan sebagai pihak pemberi bantuan teknik kepada negara -negara
berkembang tersebut. Di bidang kerjasama multilateral, Indonesia juga berperan secara aktif
dalam konperensi persetujuan umum tentang bea masuk dan perdagangan ( GATT) dan
konperensi ten tang perdagangan dan pembangunan (UNCT AD) daripada PBB. .

Sementara itu, citra Indonesia di luar negeri terus ditingkatkan, sedangkan promosi di
bidang ekonomi terus didorong, khususnya yang berhubungan dengan upaya peningkatan
investasi, ekspor nonmigas, dan pariwisata. Untuk itu telah ditingkatkan dan dikembangkan
secara terpadu penerangan dan hubungan masyarakat di luar negeri. Sehubungan dengan hal
tersebut Indonesia telah ikut serta dalam Expo 1988 di Brisbane, Australia. Sedangkan untuk
menunjang hal tersebut, akan diadakan pameran kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat
(KIAS) dalam tahun 1990-1991 mendatang. Demikian pula terus ditingkatkan per an an

Departemen Keuangan Republik Indonesia 429


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Indonesia di bidang kerjasama dan kegiatan penerangan dalam berbagai wadah lainnya, seperti
gerakan nonblok, ASEAN, dan organisasi konperensi Islam (OKI).

Melihat perkembangan internasional selama ini, diperkirakan pembangunan politik luar


negeri di masa-masa mendatang akan semakin berat. Untuk itu terus diupayakan agar Indonesia
dapat senantiasa cepat tanggap dalam menghadapi setiap perkembangan, khususnya yang
langsung berkaitan dengan kepentingan nasional. Sikap ini mutlak diperlukan agar dapat
memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk meningkatkan dan mempercepat pelaksanaan
pembangunan nasional, namun di lain pihak juga agar selalu siap untuk menghindari setiap
kemungkinan yang kurang menguntungkan.

5.5.3. Hukum
Pembangunan nasional yang sedang berjalan dewasa ini berada dalam tahapan dimana
pembangunan dan pembina an hukum nasional menjadi bertambah penting. Hal tersebut
disebabki:m karena sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional diperlukan peranan
hukum yang lebih besar, baik untuk memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai
maupun untuk menciptakan kondisi yang menjamin setiap anggota masyarakat dapat menikmati
suasana serta iklim ketertiban dan kepostian hukum, dan meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Pelita IV pembangunan
hukum dilaksanakan melalui serangkaian kebijaksanaan pokok dan langkahlangkah yang
meliputi pembinaan hukum, penyuluhan hukum, konsultasi dan bantuan hukum, pembinaan
peradilan, dan penegakan hukum, yang terdiri dari pembinaan peradilan, pembinaan
pemasyarakatan, pembinaan keimigrasian, pelayanan jasa hukum, serta pendidikan dan latihan.
Dalam pembangunan hukum nasional terus dimantapkan dan ditingkatkan upaya
penyusunan hukum pokok dan pEij'angkat peraturan perundang - undangan lainnya, yang dapat
menunjang pembangunan nasional sehingga terciptanya ketertiban, kepostian hukum, dan rasa
keadilan yang mengayomi seluruh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha
pembaharuan hukum dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang - un dang an dengan
memantapkan rencana kegiatan legislatif nasional, yang ditunjang dengan berbagai kegiatan,
seperti penelitian dan pengkajian hukum, pertemuan ilmiah, pengembangan dokumentasi dan
ioformasi. Sementara itu usaha untuk meningkatkan pelaksanaan penyuluhan hukum terhadap
masyarakat dilakukan dengan cara memperdalam dan memperluas penyuluhan hukum, serta

Departemen Keuangan Republik Indonesia 430


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dengan memberikan penjelasan tentang hukum dan peraturan perundangundangan nasional. Di


samping itu kegiatan hakim masuk des a (HMD) tetap dilaksanakan secara terpadu dengan
kegiatan jaksa masuk desa (JMD) dan koran masuk desa (KMD). Selanjutnya guna
meningkatkan, memperdalam, dan memperluas pemberian bantuan hukum dan konsultasi
hukum dalam rangka mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan dan
perlindungan hukum, telah dilakukan usaha penyempurnaan ketatalaksanaan pemberian bantuan
hukum dan konsuItasi hukum. Sedangkan kegiatan pemberian bantuan hukum tetap
dilaksanakan oleh pengadilan negeri, dan konsuItasi hukum tetap dilakukan dengan biro bantuan
hukum fakultas hukum universitas negeri berdasarkan suatu perjanjian kerjasama.
Kebijaksanaan penegakan hukum bertujuan untuk menciptakan iklim ketertiban dan
kepostian hukum yang berintikan keadilan, serta menyelamatkanjalannya pembangunan dan
pengamanan hasil-hasil pembangunan. Untuk itu dilakukan pemantapan kedudukan dan peranan
badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya masingmasing, serta terus
ditingkatkan kemampuan dan kewibawaannya dengan membina sikap, perilaku, dan
keteladanan para penegak hukum sebagai pengayom masyarakat yang jujur, bersih, tegas dan
adil. Dalam pada itu proses peradilan terus diusahakan supaya lebih sederhana, cepat, dan tepat,
dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, sehingga dapat memenuhi rasa
keadilan bagi pencari keadilan dari seluruh lapisan masyarakat. Untuk lebih mendekatkan badan
peradilan dengan para pencari keadilan, ditempuh upaya-untuk lebih mendayagunakan tempat-
tempat sidang tetap yang sudah ada. Dengan demikian dapat dipercepat proses penyelesaian
perkara di tempat kasus sengketa terjadi.
Dalam rangka melaksanakan undang-undang tentang peradilan tata usaha negara, telah
diusahakan segera terwujudnya badan peradilan tata us aha negara sebagai peradilan yang dapat
menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh
pejabat/petugas aparatur negara. Sedangkan untuk menunjang usaha pembinaan peradilan, akan
tetap dilanjutkan usaha penyediaan prasarana dan sarana peradilan.
Dalam rangka pemulihan kesatuan hubungan (re-integrasi) antara bekas narapidana dan
masyarakat, maka telah ditingkatkan pembinaan mental spiritual, akademik, sosial
kemasyarakatan, dan keterampilan melalui kegiatan pendidikan dan latihan, baik di dalam
maupun di luar lembaga.. pemasyarakatan. Agar kegiatan pemulihan kesatuan hubungan
tersebut berhasil dengan taik, telah pula ditingkatkan penerangan dan penyuluhan kepada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 431


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

masyarakat agar bersedia menerima dan membantu bekas narapidana dapat hidup secara lebih
wajar. Dalam menunjang pembinaan pemasyarakatan, terus dilanjutkan usaha penyediaan
prasarana dan sarana lembaga pemasyarakatan. Demikian pula pembangunan balai bimbingan
kemasyarakatan dan pengentasan anak (Bispa) terusdilanjutkan.
Untuk menunjang kemantapan stabilitas nasional maka dalam rangka menangkal
bahaya subversi, pembinaan keimigrasian diarahkan untuk meningkatkan pengawasannya dan
penindakan terhadap pelanggaran ketentuan keimigrasian. Sehubungan dengan hal tersebut telah
ditingkatkan pengawasan dan pengamatan keimigrasian terhadap orang asing dan lalulintas
orang dari dan ke luar negeri, termasuk arus imigrasi gelap. Di samping itu telah diupayakan
pengamanan atas dokumen perjalanan Republik Indonesia, serta penertiban izin tinggal bagi
orang asing. Dalam pada itu karena peraturan perundang-undangan keimigrasian lama sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, maka saat ini sedang dipersiapkan rancangan
undang-undang tentang keimigrasian yang baru. Di samping itu telah dilanjutkan pembinaan
petugas imigrasi sebagai aparat pelayanan masyarakat. Sedangkan untuk menunjang tugas-tugas
keimigrasian, akan dilanjutkan pembangunan, perluasan, perbaikan prasarana fisik keimigrasian,
perluasan jaringan komunikasi, dan komputerisasi. Sementara itu pelayanan hukum ditujukan
untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna pelayanan berbagai jasa hukum, yang antara lain
meliputi pewarganegaraan, perizinan, p_ngesahan badan hukum, serta pendaftaran merk, paten
dan hak cipta. Untuk itu telah makin disederhanakan prosedurnya, disempurnakan organisasinya,
serta ditingkatkan kemampuan tenaganya agar dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat,
tepat, dan cermat. Dalam pada itu sebagai usaha meningkatkan sumberdaya manusia untuk
menjadikan aparatur hukum yang berdayaguna dan berhasilguna dalam melaksanakan tugasnya,
maka pendidikan dan latihan tenaga hukum lebih diintensifkan dengan memberikan bimbingan
teknis dan pembina an mental kepada para penegak dan pelaksana hukum dalam tugas dan
jabatannya.
Upaya pembangunan dan pembina an hukum khususnya untuk penyusunan rancangan
perundang - undangan telah dilaksanakan melalui rencana kegiatan legislatif nasional di bidang
hukum pokok, yang berupa usaha untuk pembentukan kodifikasi hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana, hukum acara perdata, dan hukum perdata internasional. Di samping itu telah
dilaksanakan pula usaha untuk pembentukan hukum pokok lainnya, yaitu mengenai rancangan
undang-undang tentang ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan sebagai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 432


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengganti Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB). Sedangkan dalam kelompok hokum
sektoral telah dilakukan penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan yang dirasakan
sangat mendesak kebutuhannya. Sampai dengan tahun keempat Pelita IV telah dihasilkan
sejumlah undang-undang penting yang menyangkut berbagai bidang.

Sementara itu melalui kegiatan penunjang telah dilakukan penyusunan berbagai


perangkat peraturan perundang-undangan, melalui kerjasama dengan perguruan tinggi,
organisasi profesi dan instansi lain. Kegiatan tersebut antara lain berupa pengkajian di bidang
hukum laut, hukum angkasa, hukum tanah, hukum ekonomi, hukum kesehatan, masalah hukum
dan wanita, masalah hukum dan masyarakat, serta masalah hukum dan teknologi. Sedangkan
melalui kegiatan penelitian hukum telah dilakukan antara lain inventarisasi hukum dan
penuangannya dalam monografi, penyusunan naskah akademis, pembakuan istiIah hukum, dan
penyusunan kamus hukum. Untuk menunjang pembinaan sistem jaringan dokumentasi dan
informasi (SJDI) hukum, telah diselesaikan penyusunan buku-buku pedoman pelaksanaannya.
Sedangkan untuk meningkatkan pelayanan dokumentasi hukum telah dirintis pula
pengembangan komputerisasi bahan-bahan hukum. Dalam upaya penegakan hukum selama
Pelita IV (sampai dengan bulan September 1988), antara lain telah ditingkatkan administrasi
penyelesaian perkara, ketertiban panahanan tersangka, dan ketertiban pemidanaan, yang
dilaksanakan dengan bekerjasama dan koordinasi dengan Mahkamah Agung, Departemen
Kehakiman, Kejaksanaan Agung, dan Kepolisian Negara.

Dalam rangka pembina an peradilan, selalu diusahakan agar badan-badan peradilan


makin mampu menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dan terlepos dari pengaruh
kekuasaan luar. Dengan demikian para hakim dapat memberikan putusan berdasarkan hukum
yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinan dan rasa keadilan. Untuk mewujudkan usaha
tersebut telah disempurnakan tata kerja dan ketatalaksanaan peradilan pada umumnya, an tara
lain penyediaan himpunan putusan pengadilan, inventarisasi yurisprudensi, dan kasuskasus
hukum adat, serta statistik perkara. Selanjutnya telah dirintis usaha penyempurnaan administrasi
peradilan, terutama yang meliputi arsip putusan, administrasi barang bukti, barang ramposan,
uang hasil denda, uang ganti rugi perkara, uang pengganti biaya saksi, biaya penyidikan,
administrasi penahanan sementara, serta penggeledahan dan penyitaan barang bukti.
Usaha memasyarakatkan para narapidanajanak didik telah diselenggarakan dengan
menerapkan sistem yang lebih manusiawi. Pembinaan tersebut dilaksanakan melalui pendekatan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 433


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sosial edukatif dan persuasif, dengan memperhatikan aspek keamanan masyarakat, lingkungan,
dan tingkat kesadaran hukum masyarakat. Dalam kaitan ini para narapidana telah dibekali
keterampilan melalui pendidikan dan latihan kerja. Sementara itu untuk menunjang pembinaan
peradilan maka dalam tahuI11988/1989 (sampai dengan bulan September) telah dapat dibangun
sebuah gedung pengadilan negeri (PN), perluasan dan perbaikan 61 buah gedung PN dan 11
buah gedung pengadilan tinggi (PT), pembangunan sebuah Iembaga pemasyarakatan (LP),
perbaikan dan penyempumaan 75 buah gedung LP, perluasan 2 buah gedung LP, serta
pembangunan sebuah gedung bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak (Bispa).

Dengan dimasukkannya seni batik dan program komputer sebagai hak cipta yang
dilindungi, telah dikeluarkan UU No.7 tahun 1987 ten tang perubahan alas undang-undang No.6
tahun 1982 ten tang hak cipta, sehingga ruang lingkup undang-undang hak cipta telah
mengalami perluasan. Sebelum berlakunya undang-undang baru tersebutjumiah permohonan
pendaftaran hak cipta:_tercatat sebanyak 1.388 permohonan, dan sesudah berlaku (sampai
dengan bulan Juli 1988) telahtercatat sebanyak 836 permohonan baru.

Pelayanan jasa hukum di bidang keimigrasian terhadap masyarakat, baik orang asing
maupun warga negara Republik Indonesia, telah dilaksanakan dengan memberikan kemudahan-
kemudahan, terutama untuk menunjang kebijaksanaan peningkatan arus wisatawan asing,
penanaman modal, dan alih teknologi, walaupun tanpa mengabaikan segi pengawasan dalam
rangka keamanan nasional. Pengembangan pemberian kemudahan tersebut an tara lain
diwujudkan dalam pelayanan visajizin masuk bagi wisatawan dan usahawan asing, izin
berangkat bagi warga negara Indonesia, serta peningkatan kecepatan dan ketepatan dalam
pelayanan lalulintas orang, baik yang melalui bandar udara dan pelabuhan taut internasional
maupun yang melalui pos perbatasan. Di samping itu telah dilaksanakan pula upaya
pembenahan dan penataan administrasi keimigrasian. Untuk menunjang pembina an
keimigrasian maka dalam tahun 1988/1989 (sampai dengan bulan September) telah dapat
dibangun 2 buah gedung kantor imigrasi, perluasan dan perbaikan 8 buah gedung kantor
imigrasi, dan sebuah pos imigrasi. Di samping itu untuk meningkatkan pemeriksaan penumpang
yang datang dan berangkat dari dan ke luar negeri, telah dilaksanakan komputerisasi
keimigrasian di tiga bandar udara dan sebuah pelabuhan taut, yaitu di bandar udara Soekarno-
Hatta, Ngurah Rai, dan Polonia, serta pelabuhan laut Sekupang.

Untuk meningkatkan keterampilan para pembina, penegakjpelaksana hukum, dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 434


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

tenaga penyuluh hukum, serta sekaligus untuk membina sikap para aparat tersebut agar
mencerminkan kepekaaan terhadap rasa keadilan masyarakat, telah ditingkatkan pendidikan dan
latihan bagi para tenaga teknis hukum maupun administrasi. Pendidikan dan latihan tersebut
antara lain meliputi Iatihan caton hakim, hakim, ketuajwakil ketua pengadilan, hakim tala usaha
negara, dan tenaga teknis peradilan nonhakim, yang selama Pelita IV (sampai dengan bulan
September 1988) telah dilakukan terhadap 15.065 orang. Selain itu telah dilaksanakan pula
kegiatan penyuluhan hukum kepada seluruh lapisan masyarakat, baik di pusat maupun di daerah,
terutama mengenai hak, kewajiban, dan wewenang warga masyarakat sebagaimana tercantum
dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional, seperti undang-undang agraria,
undang-undang perkawinan, hukum acara pidana, peradilan umum, serta lingkungan hidup.
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum tersebut dilakukan bekerja sama clengan instansi
pemerintah dan organisasi masyarakat. Selain itu telah dilaksanakan penyuluhan hukum berupa
kegiatan hakim masuk desa (HMD), yang dilakukan di daerah yang mempunyai tempat-tempat
sidang tetap di luar gedung pengadilan negeri. Dalam tahun kelima Pelita IV (sampai dengan
bulan September 1988) kegiatan teTsebut telah mencapai 300 tempat sidang tetap, yang
meliputi 2.678 desa. Kegiatan hakim masuk desa (HMD) dilaksanakan secara terpadu dengan
kegiatan jaksa masuk desa (JMD) dan koran masuk desa (KMD).

5.5.4. Aparatur pemerintah


Pendayagunaan aparatlir pemerintah dalam tahun ke lima Pelita IV merupakan lanjutan
dan peningkatan dari usaha yang telah dilakukan dalam tahun-tahun sebelumnya. Langkah-
Langkah pendayagunaan aparatur pemerintah tersebut meliputi usaha-usaha pembinaan,
penyempurnaan, dan pendayagunaan, serta penertiban dalam keseluruhan aspek dan unsur
sistem administrasi negara. Hal tersebut dilakukan baik pada aparatur pemerintah tingkat pusat
dan daerah, maupun badan usaha milik negara (BUMN) dan daerah (BUMD), yang dilakukan
secara terus-menerus, sehingga dapat meningkatkan kemampuan, pengabdian, disiplin, dan
keteladanannya. Untuk itu terus ditingkatkan mutu, kemampuan, dan kesejahteraan manusianya,
organisasijlembaganya, tatakerja termasuk koordinasinya, serta penyediaan sarana dan
prasarananya. Dengan langkah usaha tersebut aparatur pemerintahan akan lebih berdayaguna
dan berhasilguna, serta mampu dalam penyelenggaraan tug as umum pmerintahan dan
pembangunan. Sejalan dengan hat tersebut aparatur pemerintah akan mampu melayani,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 435


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mengayomi, serta menumbuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Di


samping itu diusahakan juga peningkatan penertiban aparatur pemerintah dengan pengawasan
secara terpadu, yang dimaksudkan agar dapat menjadi alat yang efektif, efisien, dan bersih guna
menjamin kebersihan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan.
Pembangunan aparatur pemerintah di bidang kelembagaan merupakan upaya
pembinaan, penyempurnaan, dan penertiban yang berlanjut dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam
pada itu alas-alas kelembagaan, seperti alas fungsionalisasi, alas pembagian habis tugas, serta
alas organisasi lini dan star, tetap menjadi pedoman pendayagunaan kelembagaan. Pelaksanaan
alas-alas tersebut ditekankan pada penyederhanaan struktur, peningkatan koordinasi, dan
keserasian kerja antarlembaga. Penambahan dan penyederhanaan unitunit kerja dibatasi sampai
pada tingkat yang benar-benar perlu untuk mendukung berkembangnya beban kerja. Dalam
penyederhanaan struktur, diusahakan sejauh mungkin penciptaan kelompok jabatan fungsional
untuk mengimbangi pendekatan struktural. Khusus pendayagunaan kelembagaan di daerah
dilakukan melalui penyederhanaan struktur dan mengutamakan peningkatan koordinasi
antarlembaga di daerah.
Kebijaksanaan pembinaan pegawai negeri sipil (PNS) dilaksanakan berdasarkan
keserasian antara sistem karier dan prestasi kerja secara terarah dan berencana. Dalam tahun
keempat Pelita IV pembinaan pegawai negeri sipil antara lain meliputi pengadaan dan
pengangkatan pegawai negeri sipil, peningkatan kesejahteraan pegawai, serta pengembangan
karier pegawai. Berbagai pembina an tersebut diharapkan akan mendorong pegawai negeri sipil
untuk bekerja lebih produktif, tertib, dan teratur, sehingga pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan dapat terlaksana dengan lancar. Selain itu juga telah dan makin
ditingkatkanjabatan-jabatan fungsional sebagai aparat pemerintah di pusat dan daerah.

Kebijaksanaan pendayagunaan aparatur pemerintah di bidang. ketatalaksanaan antara


lain meliputi usaha pembinaan dan pengembangan tala kearsipan, baik statis maupun dinamis,
untuk mendukung sistem informasi di tiap-tiap badan pemerintah di pusat dan daerah, agar
dapat berfupgsi sebagai pusat informasi mengenai segala permasalah pemerintahan dan
pembangunan. Demikian pula terus diupayakan penyempumaan berbagai peraturan perundang-
undangan, peninjauan dan penyederhanaan berbagai prosedur perizinan, gun a meningkatkan
efisiensi pelayanan aparatur pemerintah dalam rangka mendorong serta menggairahkan dunia
usaha. Di samping itu ditingkatkan pula hubungan fungsional yang makin mantap antarberbagai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 436


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah, agar tercapai koordinasi yang menunjang
program-program pembangunan. Demikian pula ditingkatkan pendayagunaan
aparaturpemerintah daerah, agar lebih mampu dalam melaksanakan otonomi yang nyata,
dinamis, dan bertanggungjawab, dan lebih mampu dalam menggali potensi daerah, serta
menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Selain itu kebijaksanaan
pendayagunaan aparatur negara meliputi usaha-usaha penyempumaan administrasi dan pembina
an badan-badan us aha milik negara dan daerah, agar dapat bekerja sesuai dengan prinsip-
prinsip ekonomi perusahaan yang sehat dan efisien, sehingga diharapkan dapat membantu
meningkatkan penerimaan negara.

Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan penertiban, telah dilanjutkan dan


ditingkatkan kebijaksanaan dan langkah-langkah yang selama ini difakukan dalam penertiban
aparatur pemerintah, serta penanggulangan masalah-masalah korupsi, penyalahgunaan
wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pungutan-pungutan liar,
serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang menghambat pelaksanaan pembangunan.
Selanjutnya telah ditetapkan pedoman pengawasan yang dimaksudkan agar seluruh pengawasan
dapat dilaksanakan secara lebih terpadu dan terarah, baik dalam perumusan kebijaksanaan dan
penyusunan rencana maupun dalam pembidangan kewenangan pelaksanaan.
Hasil yang dicapai daripada kebijaksanaan di bidang kelembagaan antara lain meliputi
telah ditetapkannya International Trade Centre di New York yang dilakukan pada awal tahun
1987, peningkatan kelas beberapa pengadilan negeri, pembentukan rumah tahanan negara di
Maliana - Timor Timur, penyempurnaan organisasi balai bimbingan kemasyarakatan dan
pengentasan anak (Bispa), serta penghapusan 38 perwakilan balai harta peninggalan di beberapa
daerah. Selain itu dalam tahun 1987/1988 telah dilakukan pemantapan unit-unit organisasi
antara lain meliputi penyempurnaan organisasi tingkat eselon I di Departemen Keuangan, serta
penambahan dua lokasi kantor perwakilan pusat pengelolaan pembebasan dan pengembaIian
bea masuk (P4BM) di Semarang dan Bandung. Selanjutnya telah dilakukan pula penataan
kembaIi organisasi dan tata kerja badan pengembangan ekspor nasional, penyempurnaan
organisasi dan tata kerja bad an pelaksanaan bursa komoditi, perubahan tipe organisasi vertikal
Departemen Perhubungan dari bentuk kantor wilayah (Kanwil) bagi setiap Direktorat Jenderal
menjadi satu Kanwil dalam setiap propinsi, pembentukan kantor Departemen Transmigrasi di
tingkat kabupatenjkotamadya, baik di daerah asal maupun daerah transmigrasi, pembukaan 182

Departemen Keuangan Republik Indonesia 437


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

buah sekolah lanjutan tingkat atas (SL T A) dan penegerian 37 buah SL T A swasta, perumusan
susunan organisasi dan tata kerja institut agama Islam negeri (lAIN), penyusunan organisasi
dWi tata kerja Iumah sakit umum, serta tambahan sekolah pengatur rawat gigi, sekolah
menengah anaIis kesehatan, dan sekolah menengah farmasi. Demikian pula telah dibentuk
kejaksaan negeri Batam, Stabat, dan Tanjung PeTak, serta pembentukan balai pemanfaatan hasil
peneIitian dan pengembangan laboratorium instrumentasi, serta balai desiminasi hasil peneIitian
dan pengembangan bahan olahan kimia.
Selama Pelita IV kebijaksanaan penetapan formasi pegawai negeri sipil (PNS)
diprioritaskan untuk tenaga pendidik, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh lapangan KB dan
pertanian, serta tenaga peneIiti. Adapun jumlah formasi PNS dalam tahun 1987/1988 berjumlah
sebanyak 104.168 orang. Selain itu tata cara penanganan kasus administrasi kepegawaian dalam
PeIita IV telah diubah dari penanganan kasus menjadi sistem pengkajian. Dalam hubungan ini
telah dilakukan pengkajian prosedur kenaikan pangkat PNS, prosedur penggajian, prosedur
pensiun, dan prosedur pemindahan PNS, serta masalah sistem informasi di bidang kepegawaian.
Sementara itu dalam sistem pembinaan pangkat pegawai negeri, di samping pegawai diangkat
ke dalam pang kat menu rut tingkat pendidikannya, juga diberi penghargaan berupa kenaikan
pangkat reguler, sedangkan kenaikan pangkat pilihan diberikan bagi mereka yang menduduki
jabatan-jabatan. Selanjutnya peningkatan mutu dan keterampilan PNS dilaksanakan melalui
pendidikan dan latihan. Pendidikan yang terbuka bagi pegawai negeri adalah pendidikan
institusional untuk mencapai gelar Strata I, II, III baik di dalam maupun dilluar: negen Selain itu
terbuka pula kesempatan untuk mengikuti pendidikan noogelar seperti Diploma I, II, III, IV, dan
pendidikan Akta yang dilaksanakan pada perguruanperguruan tinggi. Adapun pendidikan dan
latihan bagi pegawai negeri terdiri dari pendidikan dan latihan prajabatan dan latihan yang
khusus diperuntukkan bagi caJon PNS agar terampil dalam melaksanakan tugasnya. Kemudian
pendidikan dan latihan lainnya adalah pendidikan dan latihan jabatan, yaitu pendidikan dan
latihan yang diberikan kepada PNS dalam rangka meningkatkan keterampilan kemampuan
manajerial maupun profesional.
Usaha pendayagunaan aparatur negara meIiputi berbagai perubahan dalam ke
bijaksanaan ekonomi dan keuangan yang diarahkan pada dua bidang sasaran, yaitu deregulasi
dan debirokratisasi, serta pembinaan, penyempurnaan, dan penertiban administrasi badan usaha
milik negara dan daerah. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya asing dan kegairahan
dunia usaha yang memungkinkan meningkatnya penanaman modal, produksi, dan ekspor

Departemen Keuangan Republik Indonesia 438


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

nonmigas. Langkah deregulasi dan debirokratisasi sampai dengan akhir bulan Desember 1988
merupakan kelanjutan dari langkah-Langkah kebijaksanaan yang telah dilakukan dalam tahun-
tahun sebelumnya.
Berkaitan dengan masalah pembangunan yang makin meningkat, maka pengawasan
dan penertiban operasional makin ditingkatkan pula. Untuk itu terus dilanjutkan dan makin
ditingkatkan langkah-Langkah dalam penertiban aparatur pemerintah dalam menanggulangi
masalah-masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan
dan keuangan negara, pungutan-pungutan liar, serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya
yang menghambat pelaksanaan pembangunan. Sebagai hasil penertiban yang dilakukan dalam
tahun 1987/1988, telah ditindak sebanyak 3.399 oknum aparatur pemerintah yang tersangkut
dalam 2.726 kasus. Dari yang ditindak tersebut sebanyak 3.352 orang dikenakan tindakan
administrasi dan 47 orang dikenakan tindakan hukum. Di samping itu dilaksanakan pula operasi
penertiban gabungan, antara lain seperti operasi Artha Negara, Bima Jaya V, Marga Gana, Tatas
I, Bhumi Graha, Tirta Tarum, serta Jita Jala.

5.5.5. Pertahanan dan keamanan


Pembangunan bidang pertahanan keamanan (Hankam) ditujukan untuk memelihara
kemampuan dan kekuatan yang diperlukan untuk memelihara stabiIitas keamanan nasional,
serta untuk dapat menghadapi ancaman masa datang yang dapat membahayakan keselamatan
bangsa dan negara. Di samping itu juga untuk meningkatkan kemampuan mendukung
pembangunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan di bidang pertahanan
keamanan, maka dalam Pelita IV telah ditetapkan kebijaksanaan yang dijabarkan dalam rencana
sasaran pertahanan dan keamanan negara (Renstra Hankam) III. Kebijaksanaan tersebut memuat
ketentuan-ketentuan pokok bahwa pembangunan pertahanan keamanan ditujukan untuk
mengamankan jalannya pembangunan nasional, menjamin keamanan dalam negeri, dan turut
serta memelihara perdamaian dunia umumnya dan keamanan di kawasan Asia Tenggara
khususnya. Sedangkan strategi pertahanan keamanan ditujukan untuk mencegah dan menangkal
perang dalam berbagai bentuk dan perwujudannya, serta gangguan keamanan dalam negeri.
Dalam pada itu peningkatan kemampuan ABRI bukan diwujudkan dalam bentuk pemekaran
kekuatan, akan tetapi dalam bentulC peningkatan profesionalisme, penyempurnaan taktik dan
strategi, serta peningkatan kesiapsiagaan kekuatan yang ada.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 439


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sasaran Renstra Hankam HI disesuaikan dengan sasaran Pelita IV, yaitu terciptanya
kerangka landasan bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang terus secara mandiri.
Penjabaran sasaran tersebut dalam Renstra Hankam III meliputi penyempurnaan organisasi
sesuai ketentuan undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan
keamanan negara Republik Indonesia, serta peningkatan kualitas personH, peralatan, dan
pendukungnya. Dalam pada itu undang-undang tersebut telah melimpahkan tanggung jawab
penyelenggaraan fungsi pertahanan keamanan negara kepada dua badan, yaitu Departemen
Hankam untuk aspek pemerintahan dan ABRI untuk aspek operasi pertahanan dan keamanan.
Sementara itu peningkatan kualitas personil selain untuk peningkatan profesionalisme dan jiwa
kejuangan prajurit, juga untuk pemantapan pewarisan nilai-nilai hakiki TNI 1945 sehubungan
dengan tuntasnya proses peralihan kepemimpinan ABRI kepada generasi penerus. Hasil yang
menonjol dalam pembangunan bidang personil adalah pengesahan rancangan undang-undang
tentang Prajurit ABRI oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang itu tidak hanya
memantapkan nilai-nilai hakiki TNI 1945 sebagai inti kejiwaan prajurit ABRI, tetapi juga
meletakkan dasar bagi pembentukan prajurit ABRI yang modern.

Sementara itu peningkatan kualitas material dititikberatkan pada upaya untuk


melengkapi peralaUm utama komando operasional sesuai skala prioritasnya. Meskipun ada
penambahan s_jumlah kendiuaa\tempur dan peluru kendali darat udara bagi TNI-AD, kapal
fregat dan pemburu ranjau bagi TNI-AL, radar pengawas udara bagi TNI-AU, serta pus at
kendali operasi bagi POLRI, namun sifatnya belum penambahanjumlah kekuatan, karena baru
pada tingkat pemenuhan kebutuhan penggantian peralatan yang sudah tidak layak operasi.
Adapun investasi material sampai dengan bulan Agustus 1988 secara kuantitatif telah mendekati
sasaran. Hal itu terlihat antara lain dalam jajaran TNI -AD meliputi penambahan 206 buah
kendaraan tempur AMX 13, dan 171 pucuk meriam artileri medan Howitzer 105 mm,
sedangkan peralatan komunikasi masih dalam proses pengadaan. Sementara itu dalam jajaran
TNI -AL meliputi penambahan 3 buah kapal fregat kelas Tribal, 2 buah kelas van Speijk, sebuah
kapal hidrografi, 2 buah helikopter Super Puma, dan 4 buah posawat angkut CN-212.
Selanjutnya dalam TNI -AU meliputi pemasangan radar EW Thomson di Indonesia bagian
Barat dan Selatan, dan telah mulai dioperasikan. Sedangkan pengadaan satu skuadron posawat
jet pemburu jenis F -16 yang kontraknya ditandatangani tahun 1986, baru akan memasuki
jajaran TNI-AUdalam tahun 1989 atau awal Repelita V. Demikian pula bagi POLRI meliputi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 440


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

penambahan sebuah helikopter BO-1 05 dan sebuah kapal patroli FPB-28.

Hasil-hasil pembangunan Hankam/ABRI tersebut ditunjang pula oleh fakta adanya


stabilitas nasional yang dapat dikendalikan secara berlanjut, sehingga keamanan jalannya
pembangunan nasional dalam Pelita IV dapat terjamin, dan puncaknya adalah berlangsungnya
Pemilihan Umum 1987 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1988 dengan aman
dan tertib. Dalam pada itu kemanunggalan ABRI dengan rakyat senantiasa dipupuk, dalam
bentuk ABRI yang kuat sebagai penindak dan penyanggah awal dengan reaksi cepat, dan rakyat
yang memiliki jiwa militansi yang tinggi adalah daya dan kekuatan tangkal yang akan menjamin
keselamatan bangsa dan negara dari setiap ancaman bahaya.

5.6. Pendapatan nasional

Untuk mencapai cita-cita nasional, yaitu suatu masyarakat adil dan makmur material dan
spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia,
dilaksanakan melalui serangkaian pembangunan nasional yang harus dilakukan secara terus
menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap dan berencana. Hal ini telah ditetapkan
dalam GBHN dan terangkum dalam pola umum pembangunanjangka panjang, yang pelak-
sanaannya telah dimulai sejak tahun 1969 dengan pelaksanaan Pembangunan Uma Tahun
(Pelita) yang pertama, kedua, selanjutnya disusul dengan Pelita ketiga dan seterusnya, yang saat
ini telah mendekati pelaksanaan tahun pertama Pelita kelima. Walaupun pelaksanaan
pembangunan nasional secara bertahap, akan tetapi tujuan setiap tahap pembangunan adalah
sama, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakkan
landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya. Kesemuanya itu akan dicapai melalui
kenaikan produksi dan jasa di berbagai sektor yang terangkum dalam Produk Domestik Bruto
(PDB), yaitu sektor pertanian, perindustrian, pertambangan, perhubungan, perdagangan, dan
lain-lain, sehinggadengan demikiandapatmeningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup
tindgi, yang merupakan prasyarat tercapainyaa tujuan nasional tersebut.

Sementara itu tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dari PDB tersebut,
baik yang dihitung atas dasar harga berlaku maupun harga konstan, tidak terlepos dari pengaruh
kegiatan ekonomi dalam negeri maupun berbagai faktor yang mewarnai keadaan ekonomi, pol a
perdagangan, dan situasi moneter internasional. Dalam keadaan demikian, nilai PDB digunakan
sebagai salah satu cara untuk mengukur kemajuan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan rakyat,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 441


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

yang merupakan pencerminan dari hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai sampai dengan
tahun terakhir Pelita IV ini.

5.6.1. Perkembangan pendapatan nasional menurut lapangan usaha dan kontribusinya


Walaupun menghadapi berbagai kendala, perkembangan perekonomian nasional
selama kurun waktu Pelita I sampai dengan tahun 1987 menunjukkan laju pertumbuhan
ekonomi yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata laju pertumbuhan PDB
selama peri ode Pelita I sampai dengan tahun 1983, yang bila dihitung atas dasar harga berlaku
dan atas dasar harga konstan 1973 masing-masing mencapai sebesar 26,2 persen dan 7,2 persen
per tahun (lihat Tabel V.84, Tabel V.85, dan Tabel V.86). Sedangkan rata-rata laju pertumbuhan
PDB selama em pat tahun pertama Pelita IV (sampai dengan 1987), yang sejak tahun 1983
menggunakan metodologi perhitungan PDB yang telah disempurnakan, atas dasar harga berlaku
dan harga konstan 1983 masing-masing adalah sebesar 11,90 persen dan 4,03 persen per tahun.
Rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 4,03 persen tersebut merupakan rata-rata tingkat
pertumbuhan untuk tahun 1984, 1985, 1986, dan 1987, masing-masing sebesar 6,03 persen, 2,53
persen, 3,99 persen, dan 3,59 persen. Walaupun demikian rata-rata tingkat pertumbuhan riil
tersebut masih lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan rata-rata yang direncanakan selama
Pelita IV sebesar 5 persen per tahun. Hal ini disebabkan oleh keadaan ekonomi nasional yang
tidak menguntungkan sebagai akibat perkembangan ekonomi dunia yang kurang
menguntungkan, seperti penurunan harga minyak mentah dunia, perubahan nilai tukar
antarvaluta asing utama, dan sebagainya.
Sementara itu membaiknya keadaan ekonomi dalam tahun 1987 telah membawa pengaruh yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, yang ditunjukkan oleh kenaikan PDB dalam
tahun tersebut. Berdasarkan atas harga berlaku, tingkat pertumbuhan nya adalah sebesar 19,51
persen, yaitu dari sebesar Rp 95.823,1 milyar dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp 114.518,5
milyar dalam tahun 1987. Sedangkan berdasarkan atas harga konstan 1983, laju
pertumbuhannya adalah sebesar 3,59 persen, yaitu dari sebesar Rp 83.318,2 milyar dalam tahun
1986 menjadi sebesar Rp 86.307,1 milyar dalam tahun 1987. Tingkat pertumbuhan PDB ini
sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhannya dalam tahun 1986 yang
sebesar 3,99 persen. Hal ini antara lain karena menurunnya laju pertumbuhan sektor
pertambangan dan penggalian dalam tahun tersebut, walaupun kegiatan ekonomi di sektor-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 442


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sektor lainnya masih mengalami peningkatan.


Sektor pertanian yangtpembangunannya tetap menempati prioritas yang sangat tinggi
dan diarahkan untuk mempertahankan swasembada beras, meningkatkan pendapatan petani, dan
memperluas kesempatan kerja di pedesaan, dalam tahun 1987 telah mengalami tingkat
pertumbuhan sebesar 2,65 persen. Tingkat pertumbuhan tersebut berarti lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhannya dalam tahun sebelumnya sebesar 2,59 persen.
Peningkatan laju pertumbuhan ini antara lain karena peningkatan yang cukup berarti dari
subsektor kehutanan, subsektor tanaman perkebunan rakyat, serta subsektor peternakan dan
hasil-hasilnya, yang masing-masing mencapai sebesar 11,13 persen, 4,34 persen, dan 1,97
persen.
Selanjutnya keberhasilan yang dicapai sektor pertanian tersebut telah mendukung pula
peningkatan pertumbuhan sektor industri pengolahan. Hal ini terlihat dari tingkat
pertumbuhannya dalam tahun 1987 yang mencapai sebesar 7,80 persen, yang berarti lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhannya dalam tahun 1986 yang hanya mencapai 4,71
persen. Laju pertumbuhan yang mengesankan ini disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan
subsektor pengilangan minyak bumi dan gas alam cair, dan subsektor industri pengolahan
nonmigas, yang masing-masing mencapai 9,22 persen dan 7,06 persen.
T a b e l V.85
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 - 1983
( dalam milyar rupiah, atas dasar harga konstan tabon 1973 )

Lapangan usaha 1969 I) 1970 I) 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1989 1981 1982 1983
I. Pertanian, leehutanan, don perikanan 2,263,4 2.356,20 2.441,00 2.479,00 2.710,00 2.811,00 2,8]1,2 2.943,70 2.98],3 3.134,80 3.255,60 3.424,90 3.593,50 3.669,80 3,845,6
a. Tanaman bahan maleanan 1.373,10 1.402,50 1.436,00 1.415,00 1.573,00 1.68],0 1.696,10 1.755,50 1.734,20 1.835,80 1.908,80 2.073,40 2.261,20 2.294,40 2.412,30
b. Lainnya 890,3 953,7 1.005,00 1.064,00 1.137,00 1.130,00 1.115,] 1.188,20 1.247,10 1.299,00 1.346,80 1.35],5 1.332,30 1.375,40 1.433,30
2. Pertambangan daft penggalian 451,6 52],8 55],0 674 831 859 828,1 952,3 1.070,00 1.048,80 1.046,90 1.034,60 1.069,10 939,8 956,5
3. Industri pengolahan 398,7 434,8 490 564 650 755 847,9 930 1.057,70 1.235,60 1.395,30 1.704,60 1.877,80 1.900,70 1.942,50
4. Listrik, gas, don air minum 19,6 22,5 24,7 26,2 30,4 37 41,2 46,3 49 56,9 68,6 77,9 89,9 ]05,5 112,8
5. Bangunan 114,5 ]42,9 171 222 262 320 364,8 384,5 463,8 528,9 562,8 639,3 720,2 757,8 804,5
6. Pengangkutan don komunikasi 157,8 165,4 210 229 257 288 302,7 342,6 438,7 5]4,2 559,8 609,4 676,9 716,6 752,5
7. Perdagangan, lembaga keuangan,
don jasa lainnya 1.414,90 1.538,40 1.657,00 1.873,00 2.013,00 2.199,00 2.434,90 2.556,90 2.821,50 3.047,30 3.275,90 3.678,50 4.027,20 4.235,20 4.427,80
Jum la h 4.820,50 5.182,00 5.544,70 6.067,20 6.753,40 7.269,00 7.630,80 8.156,30 8.882,00 9.566,50 10.164,90 11.169,20 12.054,60 12.325,40 12.842,20
1) Angka diperbaiki

Tabel V.86
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1970 - 1983
( persentase kenaikan )
Lapangan usaha 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983

( Atas dasar harga berlaku )


1. Pertanian, kehutanan, dan perikanan 17,6 4,5 11,6 47,5 29 14,5 20,2 22,7 13,6 34,1 25,5 20,8 14,8 19,8 20,7
2. Pertambangan dan penggalian 34,1 69,9 67 69,2 185,7 4,7 17,9 22,9 21,1 60,2 67,2 11,1 -9,7 18,1 39,6
3. Industri pengolahan 16,7 4,8 45,9 45,1 36,9 26,3 29,3 25 33,2 36,8 59,7 10,1 31,9 16,1 29
4. Listrik, gas, dan air minum 15,4 20 11,1 52 71,1 34,2 40,5 7,6 12 25,81) 51,3 28 31 32,31) 29,8
5. Bangunan 33,3 28 35,9 50,6 55 45,2 37,8 25,9 21,4 44,11) 41 23,5 12,5 26,4 33,8
6. Pengangkutan dan komunikasi 24,7 68,8 12,3 41,2 72 17,9 27,21) 27,2 22,4 37,8 38,3 19,7 18,8 19 30,8
7. Perdagangan, lembaga keuangan,
dan jasa lainnya 18,2 13,3 26,4 42,6 51,4 26,4 22 22,2 19,7 36,5 33,1 26,9 13 19,8 26,1
Produk Domestik Bruto 19,1 13,4 24,3 48 58,6 18,1 22,3 23,1 19,5 40,8 41,9 18,9 10,4 19,4 26,2
( Atas dasar harga konstan 1973 )
1. Pertanian, kehutanan, daD perikanan 4,1 3,6 1,6 9,3 3,7 0,01 4,7 1,3 5,1 1) 3,9 5,2 4,9 2,1 4,8 3,91)
2. Pertambangan dan penggalian 15,5 5,6 22,3 23,3 3,4 -3,6 15 12,4 -2 -0,2 -1,2 3,3 -12,1 1,8 5,5
3. Industri pengolahan 9,1 I) 12,7 1) 15,1 15,2 16,2 12,3 9,7 13,7 16,8 12,9 22,2 10,2 1,2 2,2 12,01)
4. Listrik, gas, dan air minum 14,8 9,8 6,1 16 21,7 11,4 12,4 5,8 16,1 20,6 13,6 15,4 17,4 6,9 13,3
5. Bangunan 24,8 I) 19,71) 29,8 18 22,1 14 5,4 20,6 14 6,4 13,6 12,7 5,2 6,2 14,9
6. Pengangkutan dan komunikasi 4,81) 27,0 I) 9 12,2 12,1 5,1 13,2 28,1 17,2 8,9 8,9 11,1 5,9 5 11,81)
7. Perdagangan, lembaga keuangan,
dan jasa lainnya 8,7 7,7 13 7,5 9,2 10,7 5 10,3 8 7,5 12,3 9,5 5,2 4,5 8,4
Produk Domestik Bruto 7,5 7 9,4 11,3 7,6 5 6,9 8,9 7,7 6,3 9,9 7,9 2,2 4,2 7,2
1) Angka diperbaiki
2) Dihitung dengan compound rate

Departemen Keuangan Republik Indonesia 443


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Sementara itu sektor listrik, gas, dan air minum dalam tahun 1987 mengalami laju
pertumbuhan yang paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Tingkat per-
tumbuhannya adalah sebesar 10,73 persen, yang berarti lebih tinggi bila dibandingkan dengan
£ingkat pertumbuhannya dalam tahun 1986 yang sebesar 8,57 persen. Kemudian diikuti
olehsektor pemerintahan dan pertahanan dan sektor perdagangan, yang mengalami pertumbuhan
masing-masing sebesar 7,34 persen dan 5,98 persen. Selanjutnya disusul oleh sektor jasajasa,
sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor bangunan, yang masing-masing mencapai
sebesar 5,46 persen, 4,70 persen, dan 4,21 persen. Sedangkan beberapa sektor lainnya, seperti
sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, walaupun mengalami peningkatan akan tetapi
peningkatannya lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika dalam tahun
1986 sektor tersebut mengalami tingkat pertumbuhan sebesar 5,53 persen, maka dalam tahun
1987 hanya mencapai sebesar 4,43 persen. Selanjutnya sektor sewa rumah mengalami
pertumbuhan yang sama dengan tingkat pertumbuhannya dalam tahun 1986, yaitu sebesar 3,52
persen. Sementara itu sektor pertambangan dan penggalian, yang dalam tahun sebelumnya
mampu tumbuh dengan 4,64 persen, dalam tahun 1987 mengalami pertumbuhan negatif
(penurunan) yaitu sebesar minus 3,68 persen. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh
menurunnya tingkat pertumbuhan subsektor minyak dan gas bumi dalam tahun tersebut.
Perkembangan selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel V.87 dan Tabel V.88.
Perbedaan laju pertumbuhan antarsektor di alas, telah menyebabkan kontribusinya
dalam struktur perekonomian Indonesia mengalami sedikit pergeseran. Berdasarkan harga yang
berlaku, peranan sektor pertanian bergeser dari sebesar 25,77 persen dalam tahun 1986 menjadi
sebesar 25,50 persen dalam tahun 1987. Sedangkan bila diukur alas dasar harga konstan 1983,
dalam taAun 1987 walaupun secara absolut sumbangannya terhadap PDB meningkat yaitu dari
sebesar Rp 19.707,4 milyar dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp 20.230,4 milyar, namun
peranannya terhadap PDB lebih rendah bila dibandingkan tahun 1986 yaitu dari sebesar 23,65
persen menjadi sebesar 23,44 persen dari PDB. Hal ini disebabkan karena dalam tahun 1987
sumbangan subsektor tanaman bahan makanan, subsektor tanaman perkebunan besar, serta
subsektor peternakan dan hasilnya adalah lebih rendah dibanding dengan sumbangannya
masing-masing dalam tahun 1986. Jika dalam tahun 1986 sumbangan masing-masing subsektor
tersebut adalah sebesar 14,63 persen, 0,67 persen, dan 2,48 persen, maka dalam tahun 1987
sumbangannya masing-masing menurun menjadi sebesar 14,39 persen, 0,62 persen, dan 2,44
persen. Walaupun begjtu sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih tetap

Departemen Keuangan Republik Indonesia 444


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

memegang peranan terbesar dalam perekonomian Indonesia.

Sementara itu dengan adanya situasi perekonomian dunia yang kurang menguntungkan,
dan kuota produksi yang diterima Indonesia juga mengalami penurunan, hal tersebut pada
gilirannya menyebabkan sumbangan sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB
mengalami penurunan. Kalau dalam tahun 1986 sumbangannya adalah sebesar Rp 14.629,7
milyar atau 17,56 persen, maka dalam tahun 1987 sumbangannya menurun menjadi sebesar Rp
14.090,6 milyar atau 16,33 persen dari PDB.
Di lain pihak, menurunnya peranan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan, serta sektor pertambangan dan penggalian tersebut, telah meningkatkan peranan
sektor-sektor lainnya. Sektor industri pengolahan, yang dalam tahun 1986 sumbangannya
terhadap PDB sebesar Rp 11.181,5 milyar atau 13,42 persen, dalam tahun 1987 sumbangannya
telah meningkat menjadi sebesar Rp 12.053,6 milyar atau 13,97 persen. Peningkatan ini
terutama ditopang oleh peranan subsektor industri pengolahan nonmigas sebesar Rp 7.858,7
milyar atau 9,11 persen, subsektor gas alam cair sebesar Rp 3.268,4 milyar atau 3,79 persen, dan
sisanya dari subsektor pengilangan minyak bumi. lni membuktikan bahwa serangkaian
kebijaksanaan yang telah diambil sejak beberapa tahun terakhir ini, antara lain paket
kebijaksanaan 6 Mei 1986, kebijaksanaan devaluasi bulan September 1986, paket kebijaksanaan
25 Oktobef 1986, dan paket kebijaksanaan 15 Januari 1987 yang meliputi kebijaksanaan di
empat jenis industri yaitu industri tekstiI, industri baja, industri mesin, dan industri mesin listrik,
untuk menciptakan iklim industri yang semakin mendukung, telah menunjukkan hasilnya.

Kemudian sektor listrik, gas, dan air minum dalam tahun 1987 sumbangannya terhadap
PDB juga mengalami peningkatan. Dalam tahun tersebut sumbangannya mencapai sebesar Rp
715,2 milyar atau 0,83 persen, dibandingkan dengan sumbangannya dalam tahun 1986 yang
baru mencapai Rp 645,9 milyar atau 0,78 persen dari PDB. Hal ini merupakan keberhasilan
pembangunan di bidang kelistrikan yang telah dimulai sejak tahun-tahun yang lalu sampai
dengan saat ini, antara lain meliputi pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik berikut
jaringan transmisi danjaringan ditribusinya, dan peralatan-peralatan kontrolnya.

Sementara itu dengan makin pesatnya pengadaan perumahan rakyat, baik oleh Perum
Perumnas maupun olehperusahaan pembangun perumahan swasta bekerjasama dengan Bank
Tabungan Negara sejalan dengan makin meningkatnya jurillah penduduk kola yang
membutuhkan perumahan, maka hat itu telah meningkatkan nilai tambah sektor bangunan,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 445


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sehingga dalam tahun 1987 sumbangannya terhadap PDB telah mencapai sebesar Rp 4.802,9
milyar atau 5,56 persen. Sumbangannya ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan sumbangannya
dalam tahun 1986 yang mencapai sebesar Rp 4.609,0 milyar atau 5,53 persen dari PDB.

Sektor-sektor lain di luar sektor yang telah disebutkan di atas, yang mengalami
peningkatan dalam peranannya terhadap PDB, adalah sektor perdagangan, sektor perhubung an
dan komunikasi, sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, sektor sewa rumah, sektor
pemerintah dan pertahanan, serta sektor jasa-jasa. Sektor perdagangan dan sektor pengangkutan
dan komunikasi, dalam tahun 1987 telah menyumbang masing-masing sebesar Rp 13.773,8
milyar dan Rp 4.848,1 milyar atau sebesar 15,96 persen dan 5,62 persen dari PDB. Besarnya
sumbangan sektor perdagangan itu terutama ditopang oleh subsektor perdagangan besar dan
eceran dan subsektor hotel dan restoran, masing-masing sebesar Rp 11.953,1 milyar dan Rp
1.820,7 milyar atau sebesar 13,85 persen dan 2,11 persen. Sedangkan subsektor pengangkutan
dan subsektor komunikasi telah dapat memperbesar sumbangannya pada sektor pengangkutan
dan komunikasi, masing-masing sebesar Rp 4.312,9 milyar dan Rp 535,2 milyar atau sebesar
5,00 persen dan 0,62 persen dari PDB. Kesemuanya itu tidak terlepos dari hasil pembangunan
yang telah di capai sampai dengan tahun keempat Pelita IV di bidang perdagangan,
perhubungan, dan pariwisata, yang meliputi prasarana jalan dan jembatan, angkutan jalan raJa,
angkutan kereta api, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, perhubungan laut,
perhubungan udara, pos dan giro, telekomunikasi, serta pariwisata. Keadaan itu telah dapat
meningkatkan peranan dan fungsi perhubungan dalam memberikan keanekaragamanjasa dengan
pola pelayanan yang semakin seimbang, terpadu, dan saling mengisi, yang selanjutnya
memantapkan sistem distribusi dan pemasaran hasil produksi ke seluruh wilayah tanah air.
Sementara itu sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, sektor sewa rumah, sector
pemerintahan dan pertahanan, dan sektor jasa-jasa, secara keseluruhan dalam tahun 1987 telah
menyumbang sebesar Rp 15.792,5 milyar atau 18,29 persen terhadap PDB. Sumbangan masing-
masing sektor tersebut adalah sebesar 3,10 persen, 2,66 persen, 8,53 persen, dan 4,00 persen.
Dalam hal ini keberhasilan kebijaksanaan di bidang perbankan dan keberhasilan pemerintah
dalam menggerakkan aktivitas ekonomi melalui APBN telah dapat meningkatkan nilai tambah
dan sumbangan masing-masing sektor tersebut terhadap PDB. .

Dari gambaran PDB di atas terlihat bahwa makin luas cakupan suatu sektor dalam
kegiatan ekonomi masyarakat makin besar pula sumbangan suatu sektor tersebut terhadap PDB.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 446


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Walaupun demikian besarnya peranan suatu sektor tidak selalu diimbangi dengan tingginya laju
pertumbuhan daripada sektor tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel V.89 dan Tabel V.90.

5.6.2. Perkembangan pertdapatan nasional menurutjenis penggunaan

Perkembangan perekonomian Indonesia dalam periode 1969 - 1987 yang ditunjukkan


oleh kenaikan PDB, dapat dilihat lebih lanjut dari perkembangan masing-masing komponen
penggunaannya. Dalam peri ode tersebut, penggunaan PDB untuk pengeluaran konsumsi rumah
tangga merupakan komponen yang terbesar, yang disusul oleh penggunaan PDB untuk
pembentukan modal domestik brute (lihat Tabel V.91 dan Tabel V .92). Sementara itu dengan
meningkatnya kebutuhan rumah tangga untuk konsumsi barang dan jasa, maka dalam tahun
1987 penggunaan PDB untuk konsumsi rumah tangga telah mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasar PDB atas harga yang berlaku dan harga
konstan 1983, pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam tahun tersebut meningkat dari
masing-masing sebesar Rp 60.591 ,0 milyar dan Rp 49.637,8 milyar dalam tahun 1986 menjadi
sebesar Rp 69.438,7 milyar dan Rp 52.115,5 milyar dalam tahun 1987, atau meningkat 14,60
persen dan 4,99 persen. Sedangkan peranannya dalam pembentukan PDB atas dasar harga yang
berlaku dalam tahun yang sama adalah sebesar 60,64 persen, yang berarti lebih rendah
dibandingkan dengan peranannya dalam tahun 1986 yang mencapai sebesar 63,23 persen. Jika
diukur menur_t PDB harga kontan 1983, peranannya telah meningkat dari sebesar 59,58 persen
dalam tahun 1986 menjadi sebesar 60,39 persen dalam tahun 1987.
Selanjutnya penggunaan PDB untuk pengeluaran konsumsi pemerintah atas dasar harga
yang berlaku dalam tahun 1987 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan _hun
sebelumnya, yaitu dari sebesar Rp 11.328,7 milyar dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp
11.763,5 milyar dalam tahun 1987, atau meningkat sebesar 3,84 persen.Sedangkan peranannya
terhadap PDB dalam tahun yang sama adalah sebesar 10,27 persen, yang berarti lebih rendah
dibandingkan dengan peranannya dalam tahun 1986 yang sebesar 11,82 persen. Sementara
itujika diukur menurut PDB atas dasar harga konstan 1983, maka penggunaan PDB untuk
pengeluaran konsumsi pemerintah tersebut adalah sebesar Rp 9.225,7 milyar atau menurun
sebesar 0,17 persen bila dibandingkan dengan penggunaannya dalam tahun 1986 yang mencapai
sebesar Rp 9.241,3 milyar. Sebagai akibatnya peranannya juga mengalami penurunan bila

Departemen Keuangan Republik Indonesia 447


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab el V.89
PERANAN MASING-MASING LAPANGAN USAHA DALAM PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 - 1983
( persentase) ,
Lapangan usaha 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983
(Atas dasar harga berlaku)
1. Pertanian, kehutanan, dan perikanan 49,3 48,6 44,8 40,3 40,1 32,7 31,7 31,1 31 29,5 28,1 24,8 25,3 26,3 26,4
2. Pertambangan dan penggalian 4,7 5,3 8 10,8 12,3 22,2 19,7 18S' 18,9 19,2 21,8 25,7 24 19,6 19,4
3. Industri pengolahan 9,2 9 8,4 9,8 9,6 8,3 8,9 9,4 9,5 10,6 10,3 11,6 10,8 12,9 12,5
4. Listrik, gas, dan air minum 0,5 0,5 0,5 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7
5. Bangunan 2,8 3,1 3,5 3,8 3,9 3,8 4,7 5,3 5,4 5,5 5,6 5,6 5,8 5,9 6,2
6. Pengangkutan dan komunikasi 2,8 3 4,4 4 3,8 4,1' 4,1 4,3 4,4 4,5 4,4 4,3 4,4 4,7 4,7
7. Perdagangan, lembaga keuangan, dan jasa lainnya 30,7 30,5 30,4 30,9 29,8 28,4 30,4 30,4 30,2 30,2 29,3 27,5 29,2 30 30,1
Produk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
(Atas dasar huga konstan 1973)
1. Pertanian, kehutanan, dan perikanan 46,9 45,5 44 40,8 40,1 38,7 36,8 36,1 33,6 32,8 32 30,7 29,8 29,8 29,9
2. Pertambangan dan penggalian 9,4 10,1 9,9 11,1 12,3 11,8 10,9 11,7 12 11 10,3 9,3 8,9 7,6 7,4
3. Industri pengolahan 8,3 8,4 8,8 9,3 9,6 10,4 11,1 11,4 11,9 12,9 13,7 15,3 15,6 15,4 15,1
4. Listrik, gas, dan air minum 0,4 0,4 0,5 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,9 0,9
5. Bangunan 2,4 2,7 3,1 3,7 3,9 4,4 4,8 4,7 5,2 5,5 5,6 5,7 6 6,1 6,3
6. Pengangkutan dan komunikasi 3,3 3,2 3,8 3,8 3,8 4 4 4,2 4,9 5,4 5,5 5,4 5,6 5,8 5,9
7 Perdagangan, lembaga keuangan, dan jasa lainnya 29,3 29,7 29,9 30,9 29,8 30,2 31,9 31,3 31,8 31,8 32,2 32,9 33,4 34,4 34,5
.
Produk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Tabel V.90
PERANAN MASING-MASING LAPANGAN USAHA DALAM
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1983 - 1987
( persentase )
Atas dasar harga berlaku Atas dasar harga konstan 1983
No. Lapangan usaha
1983 1984 19851) 1986 I) 1987 2) 1983 1984 19851) 19861) 1987 2)
1. Pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan 24,01 23,36 23,66 25,77 25,5 24,01 23,59 23,97 23,65 23,44
2. Pertambangan dan penggalian 18,95 18,36 16,26 10,72 13,14 18,95 18,93 17,45 17,56 16,33
3. 11ndust;i pengolahan 11,14 12,73 13,62 14,18 13,93 11,14 12,5 13,33 13,42 13,97
4. Listrik, gas, dan air minum 0,71 0,75 0,82 0,95 0,89 0,71 0,7 0,74 0,78 0,83
5. Bangunan 6,24 547 I) 5,6 5,55 5,32 6,24 5,62 5,63 5,53 5,56
6. Perdagangan 16,3 16,05 15,52 16,99 16,81 16,3 15,56 15,55 15,6 15,96
7. Pengangkutan dan komunikasi 5,4 5,87 I) 6,39 6,69 6,47 5,4 5,69 5,59 5,56 5,62
8. Bank dan lembaga keuangan lainnya 2,77 13,09 I) 2,96 13,42 3,49 2,77 3,1 3,03 3,08 3,1
9. Sewa rumah 2,66 2,62 1) 2,58 2,75 2,53 2,66 2,65 2,68 2,66 2,66
10. I Pemerintahan dn pertahanan 7,75 7,43 8,37 8,67 7,78 7,75 7,67 8,06 8,24 8,53
11. Jasa-jasa 407 1) 4,27 4,22 4,31 4,14 4,07 3,99 3,97 3,92 4
12. Prod uk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
l) Angka diperbaiki
2) Angka semen!ara

Tabel V.91
PENGGUN PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 -1983
( dalam milyar rupiah, atas dasar harga berlaku )
Jenis penggunaan 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983
I. Pengeluaran konsumsi rumah tangga 2) 2.297.8 2.57g.7 2.847.7 3.308.7 4.804.1 7.343.8 8.731.5 10.572.3 12.481.0 15.184.5 19.513.7 27.502.9 35.560.0 41.670.3 49.231.0
2. Pengeluaran konsumsi pemerintah 199.0 293.0 341.0 414.0 716.0 841.0 1.253.7 1.590.5 2.077.3 2.658.9 3.733.4 4.688.2 5.787.9 6.831.7 7.791.3
3. Pembentukan modal domestik brulo 317.0 455.0 580.0 857.0 1.208.0 1.797,00 2.571.7 3.204.9 3.826.4 4.670,70 <6'104.3 9.485.2 11.553.4 13.467.1 17.187.9
4. Ekspor barang dan jasa 328.4 434.0 526.8 762.4 1.356.1 3.044.5 2.897.2 3.621.3 4.512.8 4.973.9 9.628.7 13.849.2 14.927.9 13.345,20 17.732.9
5. Dikurangi: Impor barang dan jasa 424.21) 522.7 623.5 778.1 1.330.8 2.318.3 2.811.6 3.522.3 3.864.5 4.742.0 7.554.7 10.079.8 13.802.2 15.681.7 20.728.2
6. Produk domestik bruto 2.718.0 3.238.0 3.672.0 4.564,00 6.753.4 10.708.0 12.642.5 15.466.7 19.033.0 22.746.0 32.025,40 45.445.7 54.027.0 59.632.6 71.214.7
7. Pendapatan netto terhadap luar negeri
dari faktor produksi - 34.9 - 48.5 - 67.9 - 144.2 - 245.41) - 498.6 - 556.8 - 482.5 - 677.8 - 866.7 -1.484.4 -2.010.7 -1.924.9 -1.957.5 -3.035.9
8. Produk nasi anal bruto 2.683.1 3.189.5 3.604.1 4.419.8 6.508.01) 10.209.4 12.085.7 14.984.2 18.355.2 21.879.3 30.541.0 43.435.0 52.102.1 57.675.1 68.178.8
9. Dikurangi: Pajak tak langsung netto 135.0 188.0 229.0 236.0 328.0 447.0 519.2 690.5 845.6 1.028.9 1.304.8 1.634.6 1.752.2 2.132.5 2.280.6
10. Dikurangi: Penyusutan 176.0 219.0 238.7 297.11) 439.0 696.0 821.0 1.006.3 1.235.7 1.482.8 2.089.4 2.962.1 3.511.8 3.876.1 4.629.0
II. Produk nasi anal netto atas dasar
biaya faktor produksi 2.372.1 2.782.5 3.136.4 3.886.71) 5.741.01) 9.066,40 10.745.51) 13.287.4 16.273.9 19.367.6 27.146,80 38.838.3 46.838.1 51.666.5 61.269.2
I) Angka diperbaiki
2) Residual

Departemen Keuangan Republik Indonesia 448


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e I V.92
PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 - 1983
( dalam milyar rupiah, atas dasar harga konstan tabun 1973 )
Jenis peqaimaa 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1m 1978 1979 1980 1981 1982 1983

I. Pengeluaran tonsumsi rumah langga Z) 3.791,5 3.904,60 4.088,00 4.323,50 4.804,10 5.502,10 5.699,20 6.153,50 6.399,60 6.879,50 7.86}..8 8.867,70 10.349,50 10.697,50 11.501,10
2. Pengeluaran tonsumsi pemerintah 414 483,9 518,3 560,9 716 641 835,5 896,7 1.044,40 1.228,20 1.345,00 1.489,60 1.641,00 1.776,10 1.758,90
3. Pembentutan modal domestit bruto 537,8 715,3 866,9 1.032,00 1.208,00 1.440,00 1.650,20 1.749,20 2.027,50 2.332,90 2.436,00 2.896,00 3.218,50 3.636,70 3.921,20
4. Etspor barang daD jasa 746 834 942,7 1.143,40 1.356,10 1.445,00 1.410,10 1.650,20 1.805,80 1.824,30 1.822,00 1.719,30 1.678,20 1.444,30 1.535,00
5. Diturangi: Impor barang daD jasa 668,8 755,8 871,2 992,6 1.330,80 1.759,10 1.964,20 2.293,30 2.395,30 2.698,40 3.303,90 3.803,40 4.832,60 5.229,20 5.874,00
6. Produt domestit bruto 4.820,50 5.182,00 5.544,70 6.067,20 6.753,40 7.269,00 7.630,80 8.156,30 8.882,00 9.566,50 10.164,90 11.169,20 12.054,60 12.325,40 12.842,20
7. Pendapatan netto terhadap luar negeri
dari fattor produtsi -55 -70,2 -94,8 -1510,7 -420,1 -1901,1 -673,7 -652,7 -835,1
8. Produt nasiona! bruto 4.765,50 5.111,80 5.449,90 5.883,30 6.508,00 6.890,7' 7.241,80 7.842,20 8.461,90 9.073,30 9.515,70 10.410,50 11.380,90 11.672,70 12.007,10
9. Diturangi: Pajak tat lanssung netto 234,1 251,7 271,9 294,5 328 351,7 370,6 399,1 430,8 466,2 495,7 544,3 587,4 600,6 625,8
10. Diturangi: Penyusutan 313,3 336,8 360,3 394,2 439 472,5 496 530,8 576,6 624 663,5 728,5 786,2 803,9 837,6
II. Produt nasional netto alas dasar
biaya fattor produtsi 4.218,10 4.523,30 4.817,70 5.194,60 5.741,00 6.066,50 6.375,20 6.912,30 7.454,50 7.983,10 8.356,50 9.137,70 10.007,30 10.268,20 10.543,7 1)
\) Aqta diperbaiki
2) Residual

dibandingkan dengan peranannya dalam tahun 1986, yaitu kalau dalam tahun 1986 peranannya
mencapai sebesar 11,09 persen, maka dalam tahun 1987 telah menurun menjadi sebesar 10,69
persen.
Perkembangan penggunaan PDB yang telah disebut di atas diikuti juga oleh per-
kembangan penggunaan PDB untuk pembentukan modal tetap. Dalam tahun 1987, penggunaan
PDB untuk pembentukan modal tetap, baik menurut PDB atas dasar harga berlaku maupun atas
dasar harga konstan 1983, telah mengalami peningkatan. Menurut PDB atas dasar harga berlaku,
pembentukan modal tetap meningkat sebesar 18,31 persen, yaitu dari sebesar Rp 20.805,7
milyar da,m tahun 1986 menjadi sebesar Rp 24.615,7 milyar dalam tahun 1987. Sedangkan jika
diukur menurut PDB atas dasar konstan 1983 adalah sebesar 4,43 persen, yaitu dari sebesar Rp
17.333,5 milyar dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp 18.101,6 milyar dalam tahun 1987.
Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya investasi barang modal yang berbentuk
kcnstruksi dan permesinan. Sementara itu peranj:innya terhadap PDB atas dasar harga berlaku
dalam tahun 1987 sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jika dalam tahun 1986 peranannya mencapai _ebesar 21,71 persen maka dalam tahun 1987
menjadi sebesar 21,49 persen. Di lain pihak apabila diukur menurut PDB atas dasar harga
konstan 1983, peranannya telah meningkat dari sebesar 20,80 persen dalam tahun 1986 menjadi
sebesar 20,97 persen dalam tahun 1987.

Dalam pada itu kegiatan ekspor dan impor dalam tahun 1987, baik dalam PDB atas
dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan 1983, juga telah mengalami peningkatan.
Dalam tahun tersebut kegiatan ekspor dalam PDB atas dasar harga berlaku dan harga konstan
1983 telah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 40,68 persen dan 6,07 persen, yaitu
dari sebesar Rp 21.165,2 milyar dan Rp 21.636,5 milyar dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp

Departemen Keuangan Republik Indonesia 449


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

29.776,2 milyar dan Rp 22.950,6 milyar dalam tahun 1987. Peningkatan tersebut antara lain
karena meningkatnya nilai ekspor nonmigas, terutama ekspor hasil-hasil industri. Sementara itu
peranannya terhadap PDB, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan 1983,
juga mengalami peningkatan, yaitu dari masing-masing sebesar 22,09 persen dan 25,97 persen
dalam tahun 1986 menjadi sebesar 26,00 persen dan 26,59 persen dalam tahun 1987. Adapun
kegiatan impor dalam tahun 1987, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga
konstan 1983, juga mengikuti perk em bang an seperti yang dialami oleh kegiatan ekspor.
Menurut PDB atas dasar harga berlaku, kegiatan impor dalam tahun tersebut mengalami
peningkatan sebesar 27,54 persen, yaitu dari sebesar Rp 20.867,4 milyar dalam tahun 1986
menjadi sebesar Rp 26.613,6 milyar dalam tahun 1987. Sedangkan jika diukur menurut PDB
atas dasar harga konstan 1983 peningkatannya adalah sebesar 3,80 persen, yaitu dari sebesar Rp
18.797,8 milyar dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp 19.511,4 milyar dalam tahun 1987.
Walaupun impor mengalami kenaikan riil, tetapi relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan
kenaikan riilnya dalam tahun 1986 yang mencapai sebesar 10,60 persen. Hal ini berhubungan
erat dengan usaha-usaha untuk mengurangi ketergantungan atas impor dan menghemat devisa
negara. Sementara itu meningkatnya impor barang-barang modal dan bahan bakujpenolong
dalam tahun 1987 pada gilirannya mempengaruhi peranannya terhadap PDB. Berdasar PDB alas
dasar harga berlaku dan harga konstan 1983, peranan impor tersebut mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 23,24 persen dan 22,61 persen.

Selanjutnya perubahan stok yang merupakan residual, yaitu selisih antara PDB yang
dihitung secara sektoral dengan komponen-komponen penggunaan PDB lainnya, dalam tahun
1987 mengalami perubahan dalam nilai dan peranannya terhadap PDB. Atas dasar harga berlaku
nilai dan peranannya meningkat dari sebesar Rp 2.799,9 milyar atau 2,92 persen dalam tahun
1986 menjadi sebesar Rp 5.538,0 milyar atau 4,84 persen dalam tahun 1987. Sedangkan apabila
dihitung menurut harga konstan 1983 nilai dan peranannya mengalami penurunan, yaitu dari
sebesar Rp 4.266,9 milyar atau 5,12 persen dalam tahun 1986 menjadi sebesar Rp 3.425,1
milySr atau 3,97 persen dalam tahun 1987. Untuk melengkapi uraian di alas, dapat dilihat Tabel,
Tabel V.94, dan Tabel V.95.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 450


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel V.94
PERANAN MASING-MASING JENIS PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 - 1983 ( persentase )

Jenis penggunaan 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983
( Atas dasar harga berlaku)
1. Konsumsi rumah tangga 84,5 79,6 77,6 72,5 71,1 68,6 69,1 68,4 65,6 66,8 60,9 60,5 65,8 69,9 69,1
2. Konsumsi pemerintah 7,3 9 9,3 9,1 10,6 7,8 9,9 10,3 10,9 11,7 11,6 10,3 10,7 11,41) 10,9
3. Pembentukan modal domestik bruto 11,7 14 15,8 18,8 17,9 16,8 20,3 20,7 20,1 20,5 21 20,9 21,4 22,6 24,1
4. Ekspor netto -3,5 -2,7 -2,6 -0,4 -0,4 6,8 0,7 0,6 3,4 1 6,5 8,3 2,1 - 3,9 I) - 4,1
Produk Domestik Bruto 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
( At&s dasar harga konstan 1973 )
1. Konsumsi rumah tangga 78,6 75,3 73,7 71,3 71,1 75,7 74,7 75,4 72,1 71,9 77,4 79,4 85,9 86,8 89,6
2. Konsumsi pemerintah 8,6 9,3 9,4 9,2 10,6 8,8 11,0 11,0 11,8 12,8 13,2 13,3 13,6 14,4 13,7
3. Pembentukan modal domestik bruto 11,2 13,8 15,6 17,0 17,9 19,8 21,6 21,4 22,8 24,4 24,0 25,9 26,7 29,5 30,5
4. Ekspor netto + 1,6 + 1,6 + 1,3 + 2,5 + 0,4 - 4,3 - 7,3 - 7,8 - 6,7 - 9,1 - 14,6 - 18,6 - 26,2 -' 30,7 -33,8
Produk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1) Angka diperbaiki

Tabel V.95
PERANAN MASING-MASING JENIS PENGGUNAAN
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1983 - 1987
( persentase )
Atas dasar harga berlaku Atas dasar harga konstan 1983
No. Jenis penggunaan
1983 1984 1985 1) 1986 I) 1987 2) 1983 1984 1985 1) 1986 I) 1987 2)
.c\
1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga 60,71 59,04 60,03 63,23 60,64 60,71 60,01 59,96 59,58 60,39
2. Pengeluaran konsumsi Pemerintah 10,96 10,48 11,5 11,82 10,27 10,96 10,69 11,22 11,09 10,69
3. Pembentukan modal tetap 25,74 22,54 20,71 21,71 21,49 25,74 22,84 20,93 20,8 20,97
4. Perubahan stok 3) 3,66 2,93 5,82 2,92 4,84 3,66 1,32 5,49 5,12 3,97
5.Ekspor 27,74 26,411) 22,88 22,09 26 27,74 26,31 23,61 25,97 26,59
6. Impor 28,81 21,40 I) 20,94 21,77 23,24 28,81 21,17 21,21 22,56 22,61
7. Produk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara 3) Sisa

Departemen Keuangan Republik Indonesia 451


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BAB VI
KEUANGAN DAERAH

6. 1. Pendahuluan

Keuangan negara dan pembangunan nasional tidak dapat dipisahkan dari keuangan
daerah dan pembangunan daerah, bahkan dapat dikatakan pembangunan nasional identik dengan
pembangunan daerah, karena pembangunan itu sendiri pada dasarnya dilaksanakan di daerah. Di
dalam melangkah maju melaksanakan pembangunan, dan kini memasuki tahun awal
pelaksanaan Repelita V, maka sejak beberapa tahun terakhir ini telah ditempuh berbagai upaya
perbaikan dalam sektor keuangan daerah. Demikian juga terus dilaksanakan pengerahan serta
pengelolaan dana pembangunan daerah seeara efektif dan efisien, sejalan dengan pengelolaan
keuangan _gara. Berbagai kebijakan yang ditempuh selalu diarahkan agar pembangunan di
daerah dapat lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan sekaligus meningkatkan
perekonomian nasional.
Perkembangan pelaksanaan APBD tingkat I, yang meliputi pendapatan asli daerah
(PAD), bagi basil pajak dan bukan pajak, sumbangan/bantuan Pemerintah pusat, pengeluaran
rutin daerah, serta pengeluaran pembangunan daerah sejak tahun 1983/1984 sampai dengan
1987/1988 umumnya mengalami peningkatan yang eukup tinggi. Hal ini dapat diikuti dalam
Tabel VI.I dan Tabel VI.2.
Pendapatan asli daerah (PAD), yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian
laba dari perusahaan daerah, penerimaan dari dinas-dinas, dan pendapatan lain -lain, merupakan
pendapatan daerah yang seeara bebas dapat dipergunakan oleh masing-masing daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. PAD tingkat I seluruh Indonesia dari
periode tahun 1984/1985 sampai dengan tahun 1987/1988 mengalami pertumbuhan rata-rata
sebesar 14,8 persen tiap tahun. Peranan PAD tingkat I terhadap realisasi penerimaan daerah
tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun 1983/1984 adalah sebesar 18,6 persen, yang meningkat
menjadi 23,5 persen dalam tahun 1987/1988. Hal ini menunjukkan bahwa me skip un peranan
PAD tingkat I terhadap realisasi keseluruhan penerimaannya masih relatif keen, akan tetapi baik
jumlah maupun proporsinya telah mengalami peningkatan.

Sebagian besar daripada PAD tingkat I adalah berasal dari pajak daerah. Dalam tahun
1983/1984 jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia mencapai 75,2 persen

Departemen Keuangan Republik Indonesia 452


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

dari seluruh penerimaan PAD. Sedangkan dalam tahun 1987/1988 telah meningkat menjadi 80,0
persen dari seluruh penerimaan PAD. Selain daripada penerimaan berupa pajak daerah, jenis
penerimaan penting lainnya bagi daerah tingkat I adalah retribusi daerah yang seeara nasional
masih relatif ked!. Penerimaan retribusi daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun
1983/1984 adalah sebesar 9,4 persen dari seluruh PAD. Dalam tahun 1987/1988 penerimaan
tersebut telah berkembang dalam jumlah absolut tetapi hanya 8,4 persen dari seluruh PAD.
Bagi hasil pajak dan bukan pajak terutama berasal dari pajak bumi dan bangunan
(PBB), iuran hasil hutan (IHH), dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH). Pajak bumi dan
bEfngunan yang menggantikan iuran pembangunan daerah (Ipeda), diatur dalam Undangundang
No. 12 Tahun 1985 dan berlaku efektif sejak Januari 1986. Berdasarkan ketentuan yang baru itu,
tarip pajak alas obyek PBB adalah sebesar 0,5 persen dari nilai jual kena pajak (NJKP),
sedangkan pada saat ini nilai jual kena pajak sebagai dasar perhitungan pajak ditetapkan sebesar
20 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP). Dengan demikian tarip daripada PBB untuk
menghitung pembayaran pajaknya adalah sebesar 0,1 persen daripada NJOP. Adapun iuran hasil
hutan (IHH) dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 1967 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 19SO, dan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1980 yang telah disempurnakan dengan
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1985. Berdasarkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden tersebut IHH dan IHPH digunakan untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I,
daerah tingkat II, serta rehabilitasi hutan nasional dan daerah. Selanjutnya pendapatan daerah
yang berasal dari pemberian Pemerintah pusat terdiri dari subsidi daerah otonom (SDO), dan
bantuan pembangunan daerah. Sampai dengan tahun 1987/1988 pemberian Pemerintah pusat
masih merupakan bagian terbesar daripada penerimaan daerah, yaitu sekitar 71,1 persen
daripada penerimaan keseluruhan pemerintah daerah.
Pengeluaran rutin daerah meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja
pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, pembayaran kembali pokok dan bunga pinjaman,
belanja pensiun dan uang tunggu, subsidi/sumbangan kepada daerah tingkat yang lebih rendah
serta belanja rutin lainnya. Belanja pegawai dan belanja barang merupakan jenis pengeluaran
rutin terbesar, sedangkan belanja perjalanan dinas merupakan jenis pengeluaran yang terkecil,
yakni hanya 1,1 persen dari seluruh jumlah pengeluaran rutin daerah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 453


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e 1 VI. 2
PENGELUARAN DAERAH TlNGKAT I SELURUH INDONESIA,
1983/1984 DAN 1987/1988
( dalam milyar rupiah dan persentase )

J enis pengeluaran 1983/1984 1987/1988


Rp % Rp %

Pengeluaran rutin 1.671,70 80,4 2.255,40 76,4


Pengeluaran pembangunan 408,7 19,6 697,2 23,6
Jumlah 2.080,40 100 2.952,60 100

Untuk mempercepat penyebarluasan dan pemerataan pembangunan di daerahdaerah,


telah dilaksanakan berbagai program Instruksi Presiden (Inpres), meliputi program bantuan
Inpres daerah tingkat I, Inpres daerah tingkat II, Inpres desa, Inpres sekolah dasar, Inpres
kesehatan, Inpres penghijauan dan reboisasi, serta Inpres penunjangan jalan dan jembatan.
Melalui bantuan Inpres daerah tingkat I dari periode 1983/1984 sampai dengan 1987/1988
antara lain telah dilaksanakan kegiatan proyek penunjangan jalan sepanjang 42.928,0 kilometer,
pembangunan dan penggantianjembatan sepanjang 52.505,0 meter, dan berbagai hasil fisik
lainnya. Sedang melalui bantuan Inpres daerah tingkat II untuk periode yang sama telah
dilaksanakan antara lain proyek rehabilitasi dan pembuatan jalan sepanjang 102.817 kilometer.

Secara umum badan-badan usaha milik daerah (BUMD) telah mengalami ban yak
kemajuan. Bank pembangunan daerah (BPD) sebagai salah satu BUMD yang bergerak di
bidang perbankan telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, yang dapat dilihat dari
neraca gabungan bank pembangunan daerah di seluruh Indonesia. Dalam periode 1983 – 1987
total aset daripada bank-bank tersebut telah mengalami peningkatan 101 persen. Kemajuan ini
telah memungkinkan bagi bank pembangunan daerah untuk meningkatkan volume pemberian
kreditnya, baik kredit jangka menengah maupun jangka panjang.

Jenis badan usaha milik daerah lainnya yang menonjol adalah perusahaan daerah air
minum (PDAM). Perusahaan ini dalam pelaksanaannya lebih diarahkan pada fungsi melayani
kepentingan umum melalui penyediaan air bersih kepada masyarakat. Dengan investasi di
bidang produksi dan distribusi air bersih yang terus meningkat, pelayanan air bersih ini

Departemen Keuangan Republik Indonesia 454


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

diusahakan pula agar lebih merata dengan jangkauan pelayanan yang lebih luas lagi. Pada
dasarnya tanggung jawab penyediaan sarana air bersih ini berada pada pemerintah daerah. Oleh
karena itu bantuan Pemerintah pusat kepada PDAM diarahkan untuk meningkatkan kemandirian
dan efisiensi aaripada perusahaan daerah tersebut.

6.2. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)


6.2.1. Kebijaksanaan keuangan daerah

Pada hakekatnya pengelolaan keuangan daerah berkaitan erat dengan pelaksanaan


desentralisasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dalam kerangka desentralisasi
tersebut dibentuk daerah-daerah otonom dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna
penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hat pelayanan bagi masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan di daerah. Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, maka sumber pendapatan
daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pendapatan asli daerah (PAD),
pendapatan yang berasal dari Pemerintah tingkat yang lebih tinggi, dan sumbangan-sumbangan
lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan serta pendapatan lain yang sah. Dalam
rangka memenuhi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab maka kepada daerah
diberikan sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan berbagai tugas dan tanggung jawabnya.
Mengingat tidak semua sumber pendapatan dalam suatu negara dapat diberikan kepada daerah,
maka daerah perlu untuk selalu berupaya menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri (PAD)
berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Kebijaksanaan mengenai hat ini pada prinsipnya adalah untuk mendorong kemampuan
daerah sebesar-besarnya di dalam membiayai urusan rumah tangga daerah itu sendiri. Dengan
demikian kebijaksanaan pemerintah ditujukan agar pemerintah daerah mempunyai cukup
sumber dana untuk menyelenggarakan tugasnya, meratanya sumber-sumber dana yang potensial
antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya, dan memberikan kepostian bahwa
pelayanan pemerintah daerah sejalan dengan usaha-usaha pembangunan yang berlandaskan
Trilogi Pembangunan. Untuk itu antara lain ditempuh kebijaksanaan agar penggalian pajak
daerah tidak mengganggu pert\:lffibuhan ekonomi dan usaha-usaha peningkatan ekspor yang
sedang digalakkan saat ini. Seperti diketahui bahwa pajak daerah dipungut alas dasar peraturan
daerah (Perda) yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan terlebih dahulu meminta

Departemen Keuangan Republik Indonesia 455


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

saranjpendapat Menteri Keuangan. Dalam hal kebijaksanaan yang menyangkut sumber-sumber


dana dari pungutan retribusi daerah, sejak tahun 1984 telah diatur kembali pungutan retribusi
daerah yang membatasi pada 4 jenis retribusi, yakni retribusi jasa pekerjaan, jasa usaha, jasa
milik daerah, dan jasa nyata lainnya.
Di sisi lain, kebijaksanaan di bidang pengeluaran daerah meliputi kebijaksanaan
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Kebijaksanaan di bidang pengeluaran daerah
diarahkan agar dapat menciptakan pengaruh yang besar kepada perekonomian, mendorong
sektor swasta, memperluas lapangan kerja, mendorong usaha pemerataan, membantu pengusaha
ekonomi lemah, menggunakan produksi dalam negeri, serta meningkatkan produksi komoditas
ekspor dan pariwisata.
Pengaruh daripada alotasi anggaran terhadap perekonomian berkaitan erat dengan
usaha-usaha agar proyek pembangunan di daerah memberikan dampak positip yang sebesar-
besarnya terhadap perekonomian daerah pada khususnya dan perekonomian nasional pada
umumnya. Usaha untuk mendorong sektor swasta dilakukan melalui alokasi pengeluaran untuk
pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang bersifat meningk<;ltkan kegiatan sektor swasta,
sedangkan untuk memperluas lapangan kerja sampai ke pedesaan, proyek-proyek pembangunan
di daerah harus selalu diusahakan agar bersifat padat karya. Selanjutnya mendorong usaha
pemerataan dilakukan dengan memilih program yang dapat mendorong tingkat pendapatan
masyarakat dan sekaligus memperkecil kesenjangan pendapatan antar golongan masyarakat di
daerah. Demikian pula usaha membantu pengusaha ekonomi lemah dilakukan dengan
mengusahakan agar proyek-proyek dan bagian proyek di daerah dapat dilaksanakan oleh
pengusaha golonganekonomi lemah, yang bukan hanya mempunyai permodalan yang lemah,
tetapi juga memakai teknologi yang masih sederhana dan ban yak menggunakan sumber day a
manusia. Penggunaan produksi dalam negeri digalakkan melalui upaya agar dalam kegiatan
proyek lebih banyak digunakan peralatan dan bahan baku produksi dalam negeri. Untuk
meningkatkan produksi komoditas ekspor dan pariwisata, program-program daerah selalu
diusahakan agar dapat meningkatkan kegiatan swasta khususnya kelompok penghasil devisa.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pelayanan pemerintah daerah kepada
masyarakat, kebijaksanaan di bidang keuangan daerah diarahkan untuk menata kembali
pengelolaan keuangan daerah menuju kepada keterpaduan antara perencanaan dan pelaksanaan
anggaran, meningkatkan kualitas aparatur, dan menyempurnakan kelembagaan yang ada.
Sejalan dengan itu, Pemerintah pus at juga menyediakan bantuan teknis di bidang pengelolaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 456


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

keuangan daerah dan penyempurnaan sistem informasi keuangan daerah. Keterpaduan antara
perencanaan dan pelaksanaan anggaran sangat diperlukan untuk dapat mengoptimasikan
penggunaan sumber-sumber yang semakin langka untuk pembangunan, serta memberikan
manfaat bagi keterpaduan perencanaan pembangunan sektoral dan daerah.

Untuk meningkatan kualitas aparatur dan menyempurnaan kelembagaan dalam rangka


peningkatan pelayanan kepada masyarakat, antara lain telah dilakukan kerjasama dengan
lembaga perguruan tinggi didalam peningkatan mutu tenaga pengelola keuangan daerah.
Peningkatan tersebut sangat diperlukan mengingat terbatasnya dana sehingga dituntut efisiensi
yang makin meningkat, sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan
yang semakin meningkat pula.
Bantuan teknis di bidang pengelolaan keuangan daerah antara lain digunakan untuk
membangun sistem akuntansi keuangan daerah yang berorientasi pada program_ Hal ini
dilakukan dengan mencakup berbagai aspek administrasi keuangan, mulai dari penyusunan,
pelaksanaan, sampai dengan perhitungan anggaran. Telah disadari bahwa kebutuhan akan
laporan keuangan daert yang baik dan tertib semakin mendesak dan untukitu perbaikan
peralatan dan adanya sistem akuntansi yang memadai sangat diperlukan. Selain daripada itu
telah pula dilakukan penyempurnaan sistem informasi keuangan daerah. Informasi keuangan
daerah tersebut sangat diperlukan, baik bagi kepentingan pemerintah daerah itu sendiri maupun
bagi Pemerintah pusat, terutama dalam rangka pengambilan keputusan yang bersifat regional
dan nasional.

6.2.2. Pendapatan asli daerah (PAD)


Kebijaksanaan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan PAD sebagai sumber
utama pendapatan daerah, yang dapat dipergunakan oleh daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Pendapatan asli daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun 1983/1984 adalah sebesar Rp
405,9 milyar, yang meningkat menjadi sebesar Rp 705,9 milyar dalam tahun 1987/1988, atau
terdapat kenaikan sebesar 73,9 persen selama periode tersebut. Perkembangan pendapatan asli
daerah tingkat I sejak tahun 1983/1984 hingga tahun 1987/1988 dapat dilihat dalam Tabel VI.3.
Sementara itu realisasi kes_luruhan penerimaan daerah tingkat I diseluruh Indonesia
dalam tahun 1983/1984 mencapai jumlah sebesar Rp 2.177,0 milyar, yang meningkat menjadi
Rp 3.010,5 milyar dalam tahun 1987/1988, atau mengalami pertumbuhan tahunan selama

Departemen Keuangan Republik Indonesia 457


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

1984/1985 - 1987/1988 rata-rata sebesar 8,4 persen. Dalam pada itu peranan pendapatan asli
daerah tingkat I terhadap keseluruhan penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam
tahun 1983/1984 adalah sebesar 18,6 persen, yang meningkat menjadi 23,5 persen dalam tahun
1987/1988. Perkembangan pendapatan asli daerah dan peranannya ter-hadap penerimaan daerah
tingkat I dalam periode 1983/1984 - 1987/1988 dapat dilihat dalam Tabel VI.4. .

6.2.2.1. Pajak daerah


Pajak daerah dipungut berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, yaitu selain
Undang-undang No.5 Tahun 1974 juga Undang-undang No. 32 Tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan, Undang-undang No. 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum
Pajak Daerah, Undang-undang No.1 0 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak Negara kepada

Daerah, dan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1957 tentang Penyerahan Pajak Negara kepada
Daerah. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut di atas antara lain ditetapkan bahwa pajak
kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor diserahkan kepada daerah tingkat I,
sedangkan pajak pembangunan I dan pajak potong diserahkan kepada daerah tingkat II.
Didasarkan atas berbagai pertimbangan, seperti besarnya ongkos pungut dibandingkan dengan
besarnya hasil yang akan diperoleh, ataupun karena kecilnya jumlah penerimaan jenis pajak
tertentu di daerah-daerah tertentu, tidak semua jenis pajak yang tercantum dalam peraturan
perundangan yang berlaku dipungut oleh semua daerah tingkat I dan tingkat II. Di samping itu,
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, kepada pemerintah daerah juga
diberikan keleluasaan untuk mengadakan pungutan pajak sepanjang belum dipungut oleh tingkat
pemerintJ'han yang lebih tinggi.

Dalam tahun 1983/1984, jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia
adalah sebesar Rp 305,4 milyar dan jumlah ini meningkat menjadi sebesar Rp 564,6 milyar
dalam tahun 1987/1988, atau meningkat sebesar 84,9 persen selama periode tersebut. Ini berarti
penerimaan pajak daerah tingkat I mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 16,6 persen per
tahun, atau lebih besar daripada pertumbuhan rata-rata tahunan PAD sebesar 14,8 persen.
pengan demikian berarti peningkatan PAD dalam periode tahun 1983/1984 1987/1988 tersebut
banyak ditentukan oleh pertumbuhan penerimaan pajak daerah. Perkembangan penerimaan
pajak daerah tingkat I dalam periode 1983/1984 - 1987/1988 dapat dilihat Tabel VI.5.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 458


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Hingga saat ini terdapat 6 jenis pajak yang dipungut oleh daerah tingkat I. Berdasarkan
data tahun 1987/1988, dua jenis pajak yaitu bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) dan
pajak kendaraan bermotor (PKB) masing-masing merupakan 51 ,6 persen dan 41,1 persen dari
total penerimaan pajak daerah tingkat I. Sedangkan keempat pajak lainnya, yaitu pajak atas ijin
menangkap ikan di perairan teritorial, pajak kendaraan bermotor alat angkutan diatas air, bea
balik nama alat angkutan diatas air, dan pajak pembuatan karat kayu, hanya memberikan
penerimaan yang ked I saja. Di samping itu pada daerah tingkat II terdapat 37 jenis pajak, tetapi
hanya 7 jenis pajak yang potensial dan memberikan sumbangan penerimaan yang berarti.
Ketujuh pajak daerah tingkat II ini adalah pajak tontonan, pajak pembangunan I, pajak
peneranganjalan, pajak pendaftaran perusahaan, pajak reklame, pajak po tong hewan, dan pajak
bangsa asing. Meskipun demikian dengan perbedaan perkembangan ekonomi antar daerah yang
besar, terdapat pajak daerah tingkat II yang walaupun kelihatannya tidak berarti bila dilihat dari
gambaran keseluruhan, akan tetapi merupakan pendapatan yang relatif besar bagi daerah tingkat
II tertentu.
Berbagai penelitian yang dilakukan, baik oleh instansi pemerintah maupun lembaga
perguruan tinggi, menyimpulkan bahwa sistem perpajakan daerah masih perlu ditingkatkan
efisiensinya dan perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pembangunan daerah.
Demikian pula halnya dengan retribusi daerah, di mana terdapat 191 jenis retribusi daerah, yang
meliputi 57 jenis di daerah tingkat I daD 134 jenis di daerah tingkat II. Meskipun demikian
hanya beberapa jenis retribusi saja yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber
penerimaan daerah. Menyadari akan permasalahan tersebut, Pemerintah sedang merintis
langkah-Langkah penyederhanaan perpajakan dan retribusi daerah, dimulai dengan upaya
penyusunan Rancangan Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk
menggantikan Undang-undang Nomor 11 dan 12 Drt. Tahun 1957.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 459


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tabel VI.3
JUMLAH PENDAPATAN ASLI DAERAH TK. I SELURUH INDONESIA, 1983/1984 -1987/1988
( dalam juta
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 6.566,63 6.092,66 7.575,26 7.791,42 9.167,88
2. Sumatera Utara 25.064,00 27.573,34 27.198,02 33.824,98 44.048,51
3. Sumatera Barat 8.679,54 9.370,77 8.152,36 11.340,51 10.358,40
4. Ria u 8.394,67 8.406,28 11.324,80 10.895,26 10.746,73
5. Jam b i 2.850,82 2.951,04 2.998,09 4.494,98 4.754,12
6. Sumatera Selatan 9.744,42 9.838,72 16.442,99 14.258,80 16.618,50
7. Bengkulu 2.173,56 1.943,66 2.856,53 2.907,02 3.661,20
8. Lampung 6.833,05 7.821,41 6.659,78 14.513,54 14.249,83
9. DKI Jakarta 154.456,56 200.157,50 213.127,49 234.880,67 272.653,16
10. Jawa Barat 36.409,83 40.250,42 43.217,61 54.679,25 66.146,43
11. Jawa Tengah 35.215,95 38.402,58 44.713,18 51.391,42 58.099,04
12. D.I. Yogyakarta 6.246,49 7.259,23 8.290,02 10.639,14 10.637,77
13. Jawa Timur 41.726,28 61.289,44 64.578,07 80.337,75 98.531,33
14. Kalimantan Barat 3.323,04 3.602,74 4.495,07 4.672,80. 6.556,23
15. Kalimantan Tengah 7.361,19 4.274,95 3.259,99 2.562,25 1.990,16
16. Kalimantan Selatan 4.806,90 5.947,97 5.165,81 5.812,55 6.335,84
17. Kalimantan Timur 7.746,64 8.480,59 12.495,87 10.641,24 11.303,54
18. Sulawesi Utara 7.474,61 8.994,01 7.758,72 7.993,14 9.423,33
19. Sulawesi Tengah 1.679,89 1.985,98 2.200,64 2.930,68 2.934,34
20. Sulawesi Selatan 8.322,92 11.009,35 12.048,57 14.515,83 14.974,42
21. Sulawesi Tenggara 981,59 1.350,04 1.982,78 2.369,74 1.977,69
22. B a I i 9.126,49 8.447,55 9.563,99 12.352,84 14.849,94
23. Nusa Tenggara Barat 2.570,41 2.254,77 2.767,88 4.450,28 3.701,79
24. Nusa Tenggara Timur 2.861,86 3.204,51 3.452,04 5.102,24 5.008,93
25. Maluku 2.320,72 1.832,37 2.465,52 1.991,83 2.811,24
26. Irian Jaya 2.927,96 2.175,05 2.340,22 2.811,23 2.620,66
27. Timor Timur 0 4.635,26 2.200,71 . 1.893,69 1.727,43
Jumlah 405.865,99 489.552,19 529.332,00 612.055,04 705.888,43

Tabel VI.4
KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DARI I DAN PENDAPATAN ASLI DARI II SERTA
TERHADAP PDD DAN PROPORSI PAD TK. I TERHADAP REALISASI
PENERIMAAN DARI I 1983/1984 - 1987/1988
(dalam milyar rupiah)
No. 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. PDB *) 73.697,60 87.054,80 94.720,80 95.823,10 114.518,50
% 100 100 100 100
2. PAD Tk. I 405,9 489,6 529,3 612,1 705,9
% 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
3. PAD Tk. II 170,5 245,2 297,5 DBT DBT
% 0,2 0,3 0,3
4. Total (2 + 3) 576,4 734,8 826,8 612,1 705,9
% 0,8 0,8 0,9
5. Realisasi penerimaan Dati I 2.177,00 2.513,70 2.587,60 2.771,80 3.010,50
6. Proporsi PAD Tk. I terhadap
realisasi penerimaan Dati I (.2 : 5 ) 18,6 19,5 20,5 22,1 23,5

Keterangan: *) = dalam tahun takwin,\atas dasar harga yang berlaku


DBT = data belum tersedia.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 460


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

6.2.2.2. Retribusi daerah


Retribusi daerah adalah pungutan sebagai imbalan atas pemakaian atau manfaat yang
diperoleh secara langsun_ oleh seseorang atau hadaD, atas jasa pelayanan, pekerjaan, pemakaian
barang, atau izin, yang diberikan oleh pemerintah. Jenis retribusi daerah tingkat I yang diadakan
sesuai dengan Undang-undang No. 12 Drt Tahun 1957 antara lain adalah retribusi atas ijin
mengusahakan tambak-tambak di tepi pantai, ijin pengambilan posir, batu daD kerikil, ijin
pengambilan batu karang di laut, pelelangan ikan, pengujian kendaraan bermotor, pemakaian
jembatan timbang, pemberian dispensasi kelas jalan/jembatan, pemakaian tanah pengairan, daD
retribusi pemakaian air minum.
Hasil penerimaan retribusi daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun 1983/1984
adalah sebesar Rp 38,1 milyar, yang meningkat menjadi sebesar Rp 59,6 milyar dalam tahun
1987/1988, atau terdapat kenaikan sebesar 56,4 persen selama periode tersebut. Perkembangan
penerimaan retribusi daerah tingkat I secara rinei sejak tahun 1983/1984 hingga tahun
1987/1988 dapat dilihat dalam Tabel VI.6.
Tab e l VI.5
PENERIMAAN PAJAK DARI I SELURUH INDONESIA, 1983/1984 - 1987/1988
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 4.650,29 4.413,04 5.616,68 5.744,47 6.534,17
2. Sumatera Utara 17.237,49 22.156,10 24.672,97 29.928,22 39.124,54
3. Sumatera Barat 5.927,03 5.863,55 6.162,63 8.574,93 7.874,34 "
4. Ria u 7.061,72 7.034,95 9.784,73 9.264,90 9.386,25
5. Jam b i 2.362,59 2.276,56 2.416,11 3.780,37 4.270,53
6. Sumatera Selatan 8.956,85 9.176,81 15.248,22 12.904,17 15.072,13
7. Bengkulu 1.117,45 1.173,01 2.059,72 1.766,45 2.084,99
8. Lampung 4.895,25 5.295,22 4.130,00 7.756,37 9.623,28
9. DKI Jakarta 116.226,94 129.402,97 133.825,00 165.389,56 209.143,23
10. Jawa Barat 29.559,42 34.208,21 35.769,81 47.331,16 57.107,79
11. Jawa Tengah 26.836,86 30.232,35 36.514,27 42.349,51 48.130,48
12. D.I. Yogyakarta 5.249,35 6.123,73 6.909,32 8.577,13 9.173,14
13. Jawa Timur 35.139,21 50.185,03 53.508,79 68.183,96 85.460,96
14. Kalimantan Barat 2.348,92 2.513,67 3.278,73 3.868,47 5.918,16
15. Kalimantan Tengah 5.788,18 2.562,80 2.035,18 1.104,77 1.558,54
16. Kalimantan Selatan 3.525,72 3.934,27 4.470,15 4.790,59 5.187,85
17. Kalimantan Timur 5.813,64 5.988,33 9.687,11 7.591,47 8.390,39
18. Sulawesi Utara 2.892,96 4.106,18 3.361,05 4.055,20 4.957,27
19. Sulawesi Tengah 1.070,14 1.253,40 1.503,51 2.122,60 2.198,78
20. Sulawesi Selatan 6.852,01 9.303,92 10.3"63,17 11.427,00 12.205,78
21. Sulawesi Tenggara 499,38 598,66 990,01 1.106,51 918,56
22. B a I i 5.572,77 6.529,29 7.013,67 9.630,56 11.890,11
23. Nusa Tenggara Barat 1.469,48 1.474,93 1.709,79 3.225,73 2.361,91
24. Nusa Tenggara Timur 1.249,72 1.435,33 1.502,51 1.768,80 1.742,74
25. Maluku 1.010,20 1.307,94 1.518,00 1.219,90 1.946,71
26. Irian Jaya 2.137,65 1.259,78 1.368,01 1.981,57 1.785,73
27. Timor Timur 0 2.773,31 250 1.382,03 543,76

Jumlah 305.451,20 352.583,32 385.669,14 466.826,40 564.592,09

Departemen Keuangan Republik Indonesia 461


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

6.2.2.3. Bagian laba badan usaha milik daerah


Salah satu jenis penerimaan daerah adalah bagian laba BUMD tingkat I, dengan modal
seluruhnya atau sebagian dimiIiki oleh pemerintah daerah. Pembentukan BUMD, sesuai dengan
bidang pengelolaannya, dimaksudkan untuk menambah penghasilan daerah, memberikan jasa
kepada masyarakat, menyelenggarakan kemanfaatan umum, daD memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian daerah. Penerimaan yang berasal dari bagian laba BUMO tingkat
I seluruh Indonesia dalam tahun 1983/1984 adalah sebesar Rp 9,3 milyar, yang meningkat
menjadi Rp 17,3 milyar dalam tahun 1987/1988, atau terdapat kenaikan sebesar 86,0 persen
selama peri ode tersebut. Peranan penerimaan yang berasal dari bagian laba BUMD terhadap
PAD daerah tingkat I dalam peri ode 1983/1984 - 1987/1988 tersebut berkisar antara 2,4 persen
sampai dengan 2,5 persen. Walaupun peranannya masih relatif keeil, akan tetapi kontribusinya
menunjukkan kecenderungan yang meningkat dad tahun ke tahun. Perkembangan penerimaan
yang berasal dari bagian laba BUMD tingkat I secara rinei sejak tahun 1983/1984 hingga tahun
1987/1988 dapat dilihat dalam Tabel VI. 7.

6.2.2.4. Penerimaan dinas-dinas daerah


Penerimaan dari dinas-dinas daerah adalah pendapatan daerah yang tidak
diklasifikasikan sebagai penerimaan dari pajak maupun dari retribusi daerah. Hasil penerimaan
yang berasal dari dinas-dinas tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun 1983/1984 adalah sebesar
Rp 18,5 milyar, yang meningkat menjadi Rp 34,O"milyar dalam t<.:hun 1987/1988, atau
terdapat kenaikan sebesar 83,8 persen selama periode tersebut. Per an an penerimaan yang
berasal dari dinas-dinas pemerintah daerah tingkat I terhadap total PAD-nya dalam periode
1983/1984 - 1987/1988 masih relatif kecil, yaitu berkisar antara 4,7 persen sampai dengan 4,9
persen. Perkembangan penerimaan yang berasal dari dinas-dinas daerah tingkat I seeara rind
sejak tahun 1983/1984 hingga tahun 1987/1988 dapat dilihat dalam Tabel V1.8.

6.2.2.5. Penerimaan lain-lain

Hasil penerimal!(n lain-lain daripada daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun
1983/1984 adalah sebesar Rp 34,5 milyar, yang mengalami penurunan menjadi Rp 30,4 milyar
dalam tahun 1987/1988, atau turun sebesar 11,9 persen selama periode tersebut. Penerimaan
lain-Iainini antara lain terdiri dari sewa beli rumah dan tanah, penerimaan prakualifikasi, dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 462


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab el VI.6
PENERIMAAN RETRIBUSI DARI I SELURUH INDONESIA, 1983/1984 - 1987/1988
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 699,6 738,78 776,47 661,41 1.000,08
2. Sumatera Utara 1.597,88 1.792,89 2.068,73 2.021,27 2.616,98
3. Sumatera Barat 571,09 633,61 803,32 1.014,79 943,22
4. Ria u 524,93 596,35 947,51 1.124,67 846,97
5. Jam b i 267,47 497,78 379,53 480,98 272,89
6. Sumatera Selatan 276,67 305,03 313,67 671,78 824,73
7. Bengkulu 698,11 452,99 433,96 504,6 559,98
8. Lampung 1.403,34 1.732,54 1.246,56 1.193,85 1.490,50
9. DKl Jakarta 16.623,82 22.373,65 21.770,85 26.329,28 22.248,02
10. Jawa Barat 3.433,68 4.628,68 5.487,76 5.658,46 6.644,67
11. Jawa Tengah 3.215,44 3.915,67 5.147,66 5.669,47 6.712,41
12. D.l. Yogyakarta 275,97 332,25 392,54 481,93 536,61
13. Jawa Timur 2.606,01 3.098,61 3.883,48 4.324,60 5.513,26
14. Kalimantan Barat 262,37 266,34 258,06 325,19 409,11
15. Kalimantan Tengah 968,08 1.072,08 153,92 195,8 241,08
16. Kalimantan Selatan 754,68 767,26 191,51 202,8 693,5
17. Kalimantan Timur 1.133,86 877,66 1.221,87 1.682,40 1.755,51
18. Sulawesi Utara 845,58 1.031,50 750,64 822,94 903,12
19. Sulawesi Tengah 305,88 260.74 340,5 292,03 631,61
20. Sulawesi Selatan 280,24 345,2 510,27 804,17 1.055,59
21. Sulawesi Tenggara 55,18 142,69 163,63 201,2 204,94
22. B a I i 554,48 766,2 1.071,65 1.761,52 1.758,42
23. Nusa Tenggara Barat 183,88 256,19 447,4 416,64 590,47
24. Nusa Tenggara Timur 42,19 47,95 127,36 206,88 457,81
25. Maluku 279,78 327,53 173,95 158 278,45
26. Irian Jaya 247,44 241,27 254,69 315,06 317,85
27. Timor Timur 0 9,79 29 58,15 51,39

Jumlah 38.107,61 47.511,24 49.346,48 57.579,87 59.559,14

penerimaan dari berbagai maeam denda. Peranan penerimaan lain-lain ini terhadap jumlah
penerimaan daerah dalam peri ode 1983/1984 - 1987/1988 berkisar antara 4,3 persen sampai
dengan 8,7 persen. Dari gambaran tersebut, peranan penerimaan ini terhadap keseluruhan PAD
tingkat I memang relatif keen dan berfluktuasi dari tahun ke tahun. Perkembangan penerimaan
yang berasal dari penerimaan lain-lain daerah tingkat I seeara rind sejak tahun 1983/1984
hingga tahun 1987/1988 dapat dilihat dalam Tabel VI.9.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 463


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.7
PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TK. I
SELURUH INDONESIA, 1983/84 - 1987/88
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 159,12 133,05 153,13 166,75 125,34
2.. Sumatera Utara 374,06 188,26 208,04 590,46 509,95
3. Sumatera Barat 432,86 720,55 522,83 680,01 667,75
4. Ria u 70,21 109,31 83,46 36,19 84,36
5. Jam b i 50,28 59,1 70 60,5 70
6. Sumatera Selatan 101,82 6 383,29 175,31 31,93
7. Bengkulu 12,93 20,69 16,42 257,91 0,26
8. Lampung 186,2 17,56 270,33 707,34 374,5
9. DKI Jakarta 4.649,63 6.693,69 4.916,83 10.058,53 9.695,40
10. Jawa Barat 314,33 137,14 380,67 372,75 681,82
11. Jawa Tengah 779,4 1.018,60 1.345,04 1.619,59 1.870,11
12. D.I. Yogyakarta 33,06 32,45 45,16 56,25 84,12
13. Jawa Timur 190,47 374,88 297,71 496,86 520,19
14. Kalimantan Barat 467,5 400 300 200 0
15. Kalimantan Tengah 153,5 125,26 102,59 213,43 21,3
16. Kalimantan Selatan 76 128,52 136,47 192,45 225,39
17. Kalimantan Timur 215,85 451,08 697,4 653,22 249,86
18. Sulawesi Utara 238,03 320,2 595,42 336,76 532,52
19. Sulawesi Tengah 30 35,5 10 20 30
20. Sulawesi Selatan 48,42 0 116,88 0 350
21. Sulawesi Tenggara 66 100 214 5 12,5
22. B a I i 86 132,8 142,87 105,46 187
23. Nusa Tenggara Barat 226,48 272,75 373,59 363,87 349,52
24. Nusa Tenggara Timur 125 160,36 228,82 167,2 101
25. Maluku 100 125 135 282,25 250,72
26. Irian Jaya 66,5 46 55 55 55
27. Timor Timur 0 200,21 310 125,22 246,58
Jumlah 9.253,65 12.008,94 12.110,93 17.998,30 17.327,10

6.2.3. Bagi hasil pajak dan bukan pajak


6.2.3.1. Pajak bumi dan bangunan (PBB)
Dasar hukum yang mengatur ketentuan mengenai PBB adalah Undang-undang Nomer
12 Tahun 1985 yang berlaku efektif sejak bulan Januari 1986. Dengan berlakunya Undang-
undang ini maka ketentuan mengenai iuran pembangunan daerah (Ipeda) dinyatakan tidak
berlaku lagi. Pembagian hasil penerimaan PBB antara Pemerintah pusat dan daerah diatur
dengan Peraturan Pemerintah No.4 7 Tahun 1985, yang menyatakan bahwa 10 persen dari
penerimaan PBB diberikan kepada Pemerintah pusat, sedangkan yang 90 persen merupakan
bagian dari pemerintah daerah tingkat I sebesar 16,2 persen, bagian pemerintah daerah tingkat II
sebesar 64,8 persen, dan sebagai upah pungut sebesar 9 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 464


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Hasil penerimaan daerah tingkat I yang berasal dari Ipeda/PBB dalam tahun 1983/1984
adalah sebesar Rp 26,0 milyar, yang meningkat menjadi Rp 51,2 milyar dalam tahun 1987/1988,
atau mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 18,5 persen dalam periode empat tahun
tersebut. Perkembangan penerimaan Ipeda/PBB seeara rind dapat dilihat pada Tabel VI.10.

6.2.3.2. Perkembangan iuran hasil hutan (IHH) dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH)
Hal-hal yang berkaitan dengcln pemungutan dan pembagian iuran hasil hutan (IHH)
dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun
1967 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1980, dan
Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1980 yang telah disempurnakan dengan Keputusan Presiden
No. 77 Tahun 1985. Berdasarkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden tersebut IHH
ditetapkan dengan perimbangan pembagian berikut ini. Sebesar 60 persen dari pungutan tersebut
terbagi menjadi 40 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I dan 20 persen untuk
daerah tingkat II. Selanjutnya 25 persen diperuntukkan pembiayaan rehabiIitasi hutan secara
nasional, yang disetorkan ke kas negara. Akhirnya 15 persen lainnya adalah untuk pembiayaan
kehutanan daerah, yang dikelola oleh Departemen Kehutanan.

Penerimaan yang berasal dari IHH dan IHPH daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam
tahun 1983/1984 adalal). sebesar Rp 31,3 milyar, dan hanya mengalami sedikit kenaikan
menjadi Rp 31,5 milyar dalam tahun 1987/1988, atau naik sebesar 0,9 persen selama peri ode
tersebut. Perkembangan penerimaan yang berasal dari IHH dan IHPH secara rind dapat dilihat
dalam Tabel VLl1 dan Tabel VL12.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 465


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.8
PENERIMAAN DINAS - DINAS DARI I SELURUH INDONESIA, 1983/84 1987/88
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 28,66 30,4 34,51 23,78 39,97
2. Sumatera Utara 210,31 265,55 248,28 128,04 127,19
3. Sumatera Barat 240,86 305,78 174,8 247,59 267,22
4. Ria u 254,21 334,38 41,68 44,88 88,2
5. Jam b i 9,47 7,33 7,98 86,05 109,86
6. Sumatera Selatan 5,99 23,98 170,08 15,18 1,85
7. Bengkulu 9,63 9,58 23,16 27,69 65,37
8. Lampung 104,35 61,74 133,46 81,17 _92
9. DKI Jakarta 10.516,14 18.914,45 20.665,69 23.050,05 22.767,06
10. Jawa Barat 37,49 49,09 61,3 72,87 81,84
11. Jawa Tengah 1.318,50 1.133,78 935,37 645,9 558,09
12. D.I. Yogyakarta 470,97 457,85 564,2 243,48 253,07
13. Jawa Timur 2.372,01 2.535,54 3.641,61 4.271,40 4.694,20
14. Kalimantan Barat 52,45 25,47 12,08 18,1 0
15. Kalimantan Tengah 14,69 14,24 13,92 16,87 23,36
16. Kalimantan Selatan 171,83 236,49 367,68 417,76 48,72
17. Kalimantan Timur 47,91 89,25 55,58 74,62 122,04
18. Sulawesi Utara 93,74 79,17 85,23 92,22 118,72
19. Sulawesi Tengah 187,06 273,13 93,57 292,08 45,1
20. Sulawesi Selatan 258,03 497,87 422,69 245,7 292,59
21. Sulawesi Tenggara 242,05 341,15 292,13 690,75 198,23
22. B a I i 587,85 767,82 760,29 361,78 286,76
23. Nusa Tenggara Barat 101,12 95,34 .106,93 98,69 85,64
24. Nusa Tenggara Timur 1.007,66 1.016,78 1.093,07 2.622,15 2.485,25
25. Maluku 53,15 18,82 64,25 93,49 141,32
26. Irian Jaya 148,64 129,2 123,89 136,73 173,58
27. Timor Timur 0 24,14 56 187,56 816,73
Jumlah 18.544,79 27.738,29 30.249,41 34.286,58 33.984,10

Departemen Keuangan Republik Indonesia 466


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.9
PENDAPATAN LAIN - LAIN DARI I SELURUH INDONESIA, 1983/1984 - 1987/1988
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 1.028,96 777,38 994,48 1.195,02 1.468,33
2. Sumatera Utara 5.644,26 3.170,55 0 1.156,98 1.669,85
3. Sumatera Barat 1.507,70 1.847,29 488,79 823,19 605,88
4. Ria u 483,6 331,29 467,41 424,61 340,95
5. Jam b i 161,01 110,28 124,47 87,07 30,85
6. Sumatera Selatan 403,09 326,9 327,73 492,36 687,86
7. Bengkulu 335,43 287,39 323,27 350,37 950,6
8. Lampung 243,91 714,34 879,43 4.774,82 2.669,40
9. DKI Jakarta 6.440,04 22.772,75 31.949,12 10.053,26 8.799,46
10. Jawa Barat 3.064,92 1.227,30 1.518,07 1.244,01 1.630,30
11. Jawa Tengah 3.065,75 2.102,18 770,84 1.106,95 827,95
12. D.I. Yogyakarta 217,15 312,95 378,8 1.280,35 590,83
13. Jawa Timur 1.418,58 5.095,39 3.246,49 3.060,93 2.342,72
14. Kalimantan Barat 191,79 397,26 646,2 261,05 288,97
15. Kalimantan Twgah 436,75 500,58 954,39 1.031,37 145,89
16. Kalimantan Selatan 278,67 881,44 0 208,94 180,37
17. Kalimantan Timur 535,39 1.074,27 833,92 639,54 785,74
18. Sulawesi Utara 3.404,30 3.456,91 2.966,38 2.686,03 2.911,71
19. Sulawesi Tengah 86,81 163,21 253,06 203,97 28,84
20. Sulawesi Selatan 884,22 862,37 635,56 2.038,96 1.070,46
21. Sulawesi Tenggara 118,98 167,54 323,02 366,27 643,46
22. B a Ii 2.325,39 251,45 575,51 493,52 727,65
23. Nusa Tenggara Barat 589,44 155,56 130,17 345,35 314,26
24. Nusa Tenggara Timur 437,29 544,11 500,28 337,22 222,13
25. Maluku 877,59 53,08 574,32 238,18 194,05
26. Irian Jaya 327,74 498,81 538,62 322,86 288,51
27. Timor Timur 0 1.627,82 1.555,71 140,72 68,99
Jumlah 34.508,75 49.710,39 51.956,04 35.363,89 30.425,99

Departemen Keuangan Republik Indonesia 467


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.10
PERKEMBANGAN PENERIMAAN IPEDA/PBB DARI I SELURUH INDONESIA,
1983/84 - 1987/88
( dalam juta mpiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. OJ. Aceh 455,82 558,09 606,52 1.333,26 3.112,12
2. Sumatera Utara 1.141,96 1.107,52 1.578,44 4.109,28 5.035,02
3. Sumatera Barat 162,85 248,91 151,6 484,4 686,94
4. Ria u 6.181,98 7.895,02 7.981,04 1.954,34 2.759,06
5. Jam b i 121,2 160 136,44 619,14 870,76
6. Sumatera Selatan 456,71 690,28 783,39 1.954,14 2.763,10
7. Bengkulu 17,58 6,45 20,92 60,72 84,1
8. Lampung 199,36 203,54 242,1 841,05 1.158,15
9. OKI Jakarta 12.522,64 13.757,78 8.723,73 4.396,90 5.874,88
10. Jawa Barat 54,61 138,49 125,34 5.104,29 6.176,54
11. Jawa Tengah 1.196,08 1.173,02 1.241,18 462,69 527,65
12. OJ. Yogyakarta 104,6 0 139,66 3.530,70 3.948,57
13. Jawa Timur 1.106,92 1.498,96 1.016,91 6.072,27 6.673,36
14. Kalimantan Barat 178,16 198,99 116 263,68 640,98
15. Kalimantan Tengah 250 36,21 223,89 116,32 653,56
16. Kalimantan Selatan 94,42 177,74 223,42 886,17 1.278,63
17. Kalimantan Timur 668,25 1.036,62 881,66 1.915,81 3.123,94
18. Sulawesi Utara 56,21 72,18 111,64 376,86 545,71
19. Sulawesi Tengah 18,06 67,15 43,38 163,47 324,02
20. Sulawesi Selatan 331,48 431,83 429,49 1.383,25 1.679,54
21. Sulawesi Tenggara 16,93 16,02 27,93 116,19 106,95
22. Ba1i 190,72 200,87 240,83 615,79 694,36
23. Nusa Tenggara Barat 110,52 119,64 99,39 337,24 417
24. Nusa Tenggara Timur 82,87 98,79 128,39 271,4 302,96
25. Maluku 4,25 319,74 250 745,18 920,47
26. Irian Jaya 279,15 259,77 273,76 748,75 854,37
27. Timor Timur 0 4,35 2 12,9 15,97
Jumlah 26.003,34 30.477,93 25.799,05 38.876,19 51.228,71

6.2.4. Sumbangan dan bantuan pusat

Pendapatan daerah yang berasal dari bantuan Pemerintah pusat terdiri dari subsidi
daerah otonom (SDO), dan bantuan pembangunan daerah. Subsidi daerah otonom terutama
diperuntukkan bagi belanja pegawai, pensiunan, tunjangan kepala desa dan aparat desa, dan
belanja non pegawai. Subsidi untuk belanja non pegawai yang ditetapkan penggunaannya secara
posti adalah untuk membiayai kegiatan lembaga pemerintahan, lembaga non pemerintahan,
kegiatan operasional, dan belanja rutin lainnya di daerah. Sedangkan penggunaan subsidi untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 468


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

belanja non pegawai yang diarahkan diserahkan kepada pemerintah daerah. Alokasi subsidi
daerah otonom untuk daerah tingkat I seluruh Indonesia tahun 1983/1984 adalah sebesar Rp
1.438,1 milyar, yang meningkat menjadi sebesar Rp 1.861,4 milyar dalam tahun 1987/1988,
yang berarti terdapat kenaikan sebesar Rp 423,3 milyar, atau selama empat tahun tersebut
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar6,7 persen pertahun. Perkembangan subsidi daerah
otonom sejak tahun 1983/1984 hingga tahun 1987/1988 yang lebih rind dapat diikuti dalam
Tabel VI.13.
Bantuan pembiayaan pembangunan daerah terdiri dari berbagai program Inpres yaitu
bantuan pembangunan daerah tingkat I, bantuan pembangunan daerah tingkat II, bantuan
pembangunan desa, bantuan pembangunan penunjangan jalan dan jembatan, bantuan
pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan sarana kesehatan, bantuan penghijauan dan
reboisasi, serta bantuan pembangunan pasar yang merupakan subsidi bunga terhadap pinjaman
Pemerintah daerah tingkat II untuk membangun prasarana pasar.
Bantuan pembangunan daerah tingkat I ditujukan untuk meningkatkan keselarasan
pembangunan sektoral dan regional, meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah,
dan meningkatkan partisipasi daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Bantuan pembangunan
daerah tingkat I digunakan untuk menunjang usaha-usaha peningkatan jalan serta penggantian
jembatan propinsi, eksplditasi dan pemeliharaan pengairan, perbaikan dan peningkatan irigasi,
dan proyek-proyek lain dalam rangka menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Penggunaan dana pembangunan daerah tingkat I dibagi atas dua bagian, yaitu bantuan yang
ditetapkan secara posti dan bantuan yang diarahkan. Bantuan dana yang ditetapkan secara posti
digunakan untuk membiayai penunjangan jalan/jembatan, penggantian jembatan, perbaikan dan
peningkatan irigasi, serta eksplditasi dan pemeliharaan pengairan. Adapun bantuan yang
diarahkan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat ekonomis produktif,
mengembangkan daerah minus atau kritis, dan proyek-proyek yang secara langsung
meningkatkan tarat hidup masyarakat. Dalam periode 1983/1984 bantuan pembangunan daerah
tiogkat I sebesar Rp 253,0 milyar, yang terdiri dari Rp 77,2 milyar bantuan yang ditetapkan dan
Rp 175,8 milyar bantuan yang diarahkan. Dalam tahun 1988/1989 bantuan tersebut telah
meningkat menjadi Rp 324,0 milyar, yang terdiri dari Rp 86,7 milyar bantuan yang ditetapkan
dan Rp 237,3 milyar bantuan yang diarahkan. Ini berarti selama periode lima tahun tersebut
terjadi peningkatan bantuan pembangunan daerah tingkat I sebesar Rp 71 ,0 milyar, atau
mengalami pertumbuhan rata-rata 5,1 persen pertahun.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 469


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Bantuan pembangunan daerah tingkat II ditujukan untuk menciptakan dan memperluas


lapangan kerja serta meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan. Bantuan
pembangunan ini digunakan untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat padat karya
seperti pembangunan prasarana perhubungan, prasarana produksi, serta proyek-proyek lain yang
meningkatkan mutu lingkungan hidup dan serasi dengan proyek-proyek pembangunan lain di
daerah yang bersangkutan. Dalam tahun 1983/1984 bantuan pembangunan daerah tingkat II
adalah sebesar Rp 194,1 milyar, dan dalam tahun 1988/1989 telah meningkat menjadi sebesar
Rp 267,2 milyar, sehingga selama periode tersebut terjadi peningkatan sebesar Rp 72,1 milyar
atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,6 persen per tahun.

Bantuan pembangunan desa ditujukan untuk mendorong dan menggerakkan usaha


swadaya gotong-royong masyarakat desa dalam membangun desanya. Bantuan pembangunan
ini digunakan untuk pembangunan proyek-proyek yang diprioritaskan oleh masyarakat desa dan
untuk menunjang kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Dalam tahun 1983/1984
bantuan pembangunan desa adalah sebesar Rp 91,6 milyar, sedangkan dalam tahun 1988/1989
bantuan tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 112,0 milyar. Ini berarti dalam periode
tersebut terdapat peningkatan sebesar Rp 20,4 milyar atau mengalami pertumbuhan tahunan
rata-rata sebesar 4,1 persen selama Pelita IV

Bantuan penunjangan jalan dan jembatan daerah tingkat II ditujukan untuk


memperbaiki, meningkatkan dan membangun jalan dan jembatan kabupaten/kotamadya dalam
rangka memperlancar pengangkutan dan arus distribusi barang-barang, membuka daerah-daerah
terisolir dan daerah-daerah produksi, serta menunjang proyek pembangunan di daerah. Bantuan
ini dalam tahun 1983/1984 adalah sebesar Rp 64,6 milyar, dan dalam tahun 1988/1989
meningkat menjadi sebesar Rp 180,0 milyar, yang berarti mengalami kenaikan sebesar Rp 115,4
milyar atau terdapat pertumbuhan rata-rata sebesar 22,7 persen per tahun dalam Pelita IV.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 470


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.ll
PERKEMBANGAN PENERIMAAN IHH DATI I SELURUH INDONESIA, 1983/84 - 1987/88
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 1.094,92 1.212,99 666,24 621,3 786,85
2. Sumatera Utara 727,97 760,36 484,7 626,08 831,76
3. Sumatera Barat 0 0 0 0 0
4. Ria u 1.893,64 0 0 1.284,05 0
5. Jam b i 1.715,63 2.219,52 847,28 614,7 1.288,19
6. Sumatera Selatan 1.787,96 2.531,28 1.872,55 1.696,65 1.649,77
7. Bengkulu 46,35 180,6 0 202,64 403,27
8. Lampung 137,27 0 150 212,61 0
9. DKI Jakarta 0 0 0 284,8 521,28
10. Jawa Barat 0 0 0 530 0
11. Jawa Tengah 0 0 0 1.596,50 2.012,72
12. D.I. Yogyakarta 0 0 0 0 517,41
13. Jawa Timur 0 0 0 1.006,27 1.946,25
14. Kalimantan Barat 0 4.123,72 1.963,97 1.606,99 4.165,62
15. Kalimantan Tengah 6.500,00 7.643,94 3.840,58 0 7.448,82
16. Kalimantan Selatan 1.292,02 1.718,14 1.029,00 978,18 1.660,52
17. Kalimantan Timur 0 9.503,75 4.943,78 3.732,84 0
18. Sulawesi Utara 0 0 0 346,28 570,53
19. Sulawesi Tengah 952,73 1.337,35 522,52 377,79 631,39
20. Sulawesi Selatan 29,37 28,58 82,94 289,94 641,29
21. Sulawesi Tenggara 27,94 108 75,18 0 353,35
22. B a I i 0 0 0 243,6 405,88
23. Nusa Tenggara Barat 16,77 11,6 61,39 0 403,27
24. Nusa Tenggara Timur 0 0 26,45 207,93 403,27
25. Maluku 1.143,34 1.790,50 1.250,00 767,08 1.762,30
26. Irian Jaya 259,33 383,66 0 208,04 0
27. Timor Timur 0 0 0 0 234,38
Jumlah 17.625,22 33.554,00 17.816,59 17.434,26 28.638,12

Departemen Keuangan Republik Indonesia 471


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

NG N N N Tab e l VI.12 S U U N ON S , 983/8


1987/88
( dalam juta rupiah)
No. Propinsl 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 0,05 58,86 0,06 0 0,58
2. Sumatera Utara 0 0 0 0 0
3. Sumatera Barat 783,2 1.047,92 76,3 0 0
4. Ria u 0 2.339,72 1.423,41 0 0
5. Jam b i 0 0 0 74,2 0
6. Sumatera Selatan 0 0 0 37,8 62,98
7. Bengkulu 0 56 219,06 0 0
8. Lampung 0 161,83 0 0 371,07
9. DKI Jakarta 0 0 0 0 0
10. Jawa Barat 0 0 0 0 1.167,80
11. Jawa Tengah 0 0 0 0 0
12. D.I. Yogyakarta 0 0 0 234,39 0
13. Jawa Timur 0 0 0 0 0
14. Kalimantan Barat 3.762,02 198,4 0 129,83 203,67
15. Kalimantan Tengah 75 0 0 3.675,48 397,15
16. Kalimantan Selatan 0 0 0 0 11,4
17. Kalimantan Timur 8.905,16 30,1 0 37,8 0
18. Sulawesi Utara 36,64 59,59 113,8 0 0
19. Sulawesi Tengah 0 0 0 0 0
20. Sulawesi Selatan 0 0 0 0 58,78
21. Sulawesi Tenggara 0 0 0 0 207,2
22. BaIi 0 0 0 0 0
23. Nusa Tenggara Barat 0 9,1 0 0 0
24. Nusa Tenggara Timur 0 0 0 0 0
25. Maluku 0 0 0 0 2
26. Irian Jaya 66,66 256,9 120,91 0 403,27
27. Timor Timur 0 0 0 0 0
Ju m 1 a h 13.628,73 4.218,41 1.953,54 4.189,49 2.885,90

Departemen Keuangan Republik Indonesia 472


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.13
JUMLAH SUB SID I DAERAH OTONOM (SDO) UNTUK DAERAH TINGKAT I
SELURUH INDONESIA, 1983/1984 - 1987/1988
( dalam juta rupiah)
No. Propinsi 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 29.663,50 35.590,07 37.241,05 39.392,90 42.964,47
2. Sumatera Utara 81.395,99 89.348,79 128;724,55 131.492,78 140.176,74
3. Sumatera Barat 41.067,36 48.435,89 14.883,51 15.885,71 15.480,84
4. Ria u 21.243,14 25.671,62 9.604,19 9.953,91 9.989,38
5. Jam b i 18.230,07 21.027,77 7."234,65 7.537,98 7.346,09
6. Sumatera Selatan 41.684,29 50.470,43 19.908,48 23.639,08 20.849,27
7. Bengkulu 9.798,03 12.769,11 6.983,42 7.413,71 8.199,80
8. Lampung' 30.886,65 33.800,79 53.591,64 53.842,77 61.245,32
9. DKI Jakarta 61.961,76 70.569,11 97.839,35 107.348,31 111.395,45
10. Jawa Barat 206.425,04 245.871,84 295.778,28 321.041,09 340.725,75
11. Jawa Tengah 241.003,93 275.054,14 313.626,02 326.244,43 345.728,70
12. D.I. Yogyakarta 37.407,25 41.064,45 59.378,40 52.890,32 55.015,35
13. Jawa Timur 242.404,47 271.245,73 316.109,45 330.242,12 357.922,92
14. Kalimantan Barat 25.645,54 30.805,31 37.791,32 40.128,55 43.410,05
15. Kalimantan Tengah 15.865,47 19.529,43 21.881,92 24.083,32 2.904,85
16. Kalimantan Selatan 29.193,85 31.824,43 39.954,34 45.622,36 47.987,52
17. Kalimantan Timur 15.594,46 20.720,00 31.274,86 26.449,27 28.383,74
18. Sulawesi Utara 37.328,00 35.218,21 49.239,01 52.478,01 54.097,03
19. Sulawesi Tengah 19.707,28 17.684,81 27.349,90 30.030,35 32.096,46
20. Sulawesi Selatan 63.546,85 78.365,21 20.397,40 20.051,28 18.116,71
21. Sulawesi Tenggara 14.752,16 18.190,19 6.394,51 6.336,05 7.673,31
22. B a I i 27.004,26 34.353,75 44.627,81 47.311,59 46.573,23
23. Nusa Tenggara Barat 26.715,83 30.208,44 9.402,06 9.204,87 8.890,17
24. Nusa Tenggara Timur 38.813,50 44.424,05 9.518,36 9.628,18 9.363,28
25. Maluku 18.196,58 23.138,21 7.197,74 7.771,13 7.721,16
26. Irian Jaya 42.550,35 47.202,59 26.529,04 27.049,96 27.483,72
27. Timor Timur 0 11.718,77 10.089,11 8.601,37 9.655,25
/
Jumlah 1.438.085,61 1.664.303,14 1.702.550,34 1.781.671,40 1.861.396,50

Bantuan pembangunan sekolah dasar ditujukan untuk memperluas kesempatan anak


usia 7 - 12 tahun mengenyam pendidikan dasar, dalam rangka mewujudkan kewajiban belajar.
Bantuan ini digunakan untuk membangun SD baru dan memantapkan serta memulihkan sarana
belajar yang tersedia yang tidak lagi memenuhi persyaratan, denganjangkauan sampai ke daerah
transmigrasi, daerah pemukiman baru, dan daerah perbatasan/terpencil. Bantuan pembangunan
sekolah dasar juga digunakan untuk penambahan ruang kelas baru lengkap dengan perabot
sekolah, pembangunan rumah dinas kepala sekolah, pembangunan perumahan guru,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 473


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pembangunan rumah dinas penjaga sekolah, rehabilitasi gedung sekolah dasar, baik negeri,
swasta, maupun madrasah ibtidaiyah swasta, pengadaan buku baeaan dan peralatan olah raga
bagi sekolah dasar dan _drasah ibtidaiyah, baik negeri maupun swasta, serta bahan pelajaran
dalam bentuk modul untuk sekolah dasar keeil. Agar sarana yang telah diban,gun dapat
berfungsi dengan baik telah disediakan pula formasi tenaga guru dan tenaga lainnya. Bantuan ini
dalam tahun 1983/1984 mencapai jumlah sebesar Rp 549,3 milyar, akan tetapi dalam tahun
1988/1989 menurun menjadi sebesar Rp 112,5 milyar. Penurunan ini dikarenakan dalam periode
tersebut sebagian besar kebutuhan pembangunan gedung-gedung sekolah dasar baru telah
terpenuhi, sehingga penggunaan dana bantuan ini lebih dititikberatkan kepada pemeliharaan
gedung-gedung sekolah yang telah ada.
Bantuan pembangunan sarana kesehatan ditujukan untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang lebih merata dan sedekat mung kin kepada masyarakat, terutama penduduk
pedesaan dan daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Disamping itu juga
ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat, terutama dengan peningkatan
penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang lebih baik bagi masyarakat pedesaan.
Bantuan pembangunan ini digunakan untuk penyediaan obat-obatan, pembangunan pusat
kesehatan masyarakat (Puskesmas), pembangunan Puskesmas pembantu, peningkatc;m dan
perluasan Puskesmas dan Puskesmas pembantu, pengadaan Puskesmas keliling, penyediaan
sepeda motor untuk dokter Puskesmas, penyediaan sepeda untuk petugas paramedis di
Puskesmas, penyediaan sarana air bersih pedesaan, dan pembangunan sarana pembuangan
kotoran. Agar sarana yang telah dibangun dapat berfungsi dengan baik disediakan pula formasi
tenaga medis dan paramedis. Bantuan ini dalam tahun 1983/1984 adalah sebesar Rp 87,3 milyar
dan'dalam tahun 1988/1989- meningkat menjadi Rp 91,1 milyar.

Bantuan penghijauan dan reboisasi ditujukan untuk melestarikan sumber-sumber alam,


tanah, hutan, dan air, dalam rangka memperkeeil erosi, meningkatkan pendapatan petani, serta
memberikan penyuluhan kepada para petani agar dapat melaksanakan' upaya rehabilitasi dan
konservasi tanah serta melaksanakan pol a bereoeok-tanam yang dapat meningk_tkan
kelestarian sumber-sumber alamo Hal ini penting terutama di daerah kritis, yaitu daerah-daerah
yang ditinjau dari segi hydrologis dapat membahayakan kelangsungan pembangunan daerah
aliran sungai (DAS), dan beberapa wilayah lainnya. Bantuan-bantuan ini digunakan untuk
penanaman tanaman tahunan atau perumputan, peremajaan, penyelamatan hutan, pembuatan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 474


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

bangunan peneegah erosi, dan berbagai pereontohan pertanian. Bantuan ini dalam tahun
1983/1984 adalah sebesar Rp 59,4 milyar dan dalam tahun 1988/1989 turun menjadi Rp 16,2
milyar.

Bantuan pembangunan prasarana pasar dimaksudkan untuk membantu pedagang keeil


golongan ekonomi lemah yang sebagian besar berpenghasilan rendah. Bantuan.dalam bentuk
subsidi bunga daripada pinjaman ini dalam tahun 1983/1984 mencapaijumlah sebesar Rp 10,6
milyar, dan turun menjadi Rp 3,0 milyardalam tahun 1988/1989. Bantuan pembangunan daerah
melalui proyek-proyek Inpres tersebut di atas dalam tahun 1988/1989 dan 1989/1990 dapat
dilihat dalam Tabel VI. 14.

6.2.5. Pinjaman daerah/pinjaman BUMD

Peranan pinjaman daerah dalam APBD tingkat I masih relatif keeil. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya pinjaman daerah tingkat I dalam tahun 1983/1984 sebesar Rp 4,7 milyar
yang dalam tahun 1987/1988 meningkat menjadi Rp 5,4 milyar.
Pinjaman untuk produksi dan distribusi air minum di daerah oleh perusahapn daerah air
minum (PDAM) dapat berupa pinjaman dari dalam negeri ataupun dari dana luar negeri yang
dipinjam melalui Pemerintah pusat (pinjaman penerusan). Sejak tahun 1983/1984 sampai
dengan tahun 1987/1988 seluruh pinjaman PDAM dari pusat adalah sebesar Rp 28,7 milyar dan
pinjaman penerusan sebesar Rp 450,5 milyar.

6.2.6. Pengeluaran rutin daerah

Belanja pegawai meneakup sekitar 76,8 persen dari jumlah pengeluaran rutin daerah
tingkat I seluruh Indonesia. Selanjutnya belanja barang merupakan jenis pengeluaran rutin
kedua terbesar, yaitu sekitar '10,9 persen setiap tahunnya, sedangkan jenis pengeluaran rutin
daerah tingkat I yang terkecil jumlahnya ialah belanja perjalanan dinas, yang rata-rata setiap
tahun hanya sebesar 1,1 persen dari seluruh jumlah pengeluaran rutin daerah. Dilihat
perkembangannya tahun demi tahun, maka selama 5 tahun sejak tahun 1983/1984, pengeluaran
rutin daerah tingkat I menunjukkan perkembangan yang tidak merata atau dapat dikatakan tidak
mempunyai rota perkembangan yang tetap. Rata-rata peranan dan perkembangan tiap jenis
pengeluaran rutin daerah tingkat I selama 5 tahun dapat dilihat pada Tabel VI.15.
Belanja pemelihar_an merupakan salah satu jenis pengeluaran rutin yang perlu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 475


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mendapat perhatian pada waktu ini, mengingat telah dibangunnya berbagai sarana dan prasarana
serta telah banyakny.a barang-barang investasi, maka pemeliharaan atas hasil-hasil
pembangunan tersebut sangatIah diperlukan. Namun demikian, tampaknya pemeliharaan atas
hasil-hasil pembangunan daerah tersebut masih perlu mendapat perhatia_ yang lebih besar dari
pemerintah daerah tingkat I. Belanja pemeliharaan rata-rata setiap tahunnya baru mencapai 2,1
persen dari jumlah pengeluaran rutin pemerintah daerah tingkat I.

6.2.7. Pengeluaran pembangunan daerah


Kebijaksanaan daerah dalam mengelola dan melaksanakan pernbangunan daerah tetap
mengikuti pola dasar pembangunan daerah, Repelita daerah, dan petunjuk teknis yang
ditetapkan secara nasional oleh Pemerintah pusat. Dalam Repelita daerah telah diuraikan sasaran
pembangunan yang hendak dicapai, salah satu diantaranya meningkatkan pendapatan daerah
melalui investasi di berbagai bidang. Karena sasaran tersebut hendak dicapai melalui anggaran
pemerintah daerah, maka sistimatika anggaran daerah perlu disempurnakan sesuai dengan
dinamika pembangunan itu sendiri, sehingga sa saran pembangunan khususnya di sektor
pemerintah secara jelas tercermin dalam anggaran tersebut. Langkah-Langkah penyempurnaan
telah dimulai sejak tahun 1975, dimana berbagai kebijakan telah ditempuh antara lain dengan
dikeluarkanny\ Peraturan Pemerintah Nomor 5 dan Nomor 6 1ahun 1975, yang terutama
mengatur tentang penyeragaman pengelolaan APBD. Kemudian sejak tahun 1984/1985
kebijaksanaan pengelolaan pengeluaran daerah, yang diatur menurut bidang, sektor dan
subsektor, disinkronkan dengan pola APBN yang dikelompokkan menjadi 18 sektor dan 45
subsektor. Hal ini terutama untuk memudahkan pemantauan danpengarahan dalam mencapai
sasaran pembangunan kearah tercapainyaa pemerataan, pertumbuhan, serta kestabilan di daerah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 476


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e I VI.14
BANTUAN PEMBANGUNAN UNTUK PROYEK-PROYEK INPRES,
1988/1989 DAN 1989/1990
( dalam milyar rupiah)

No. Program / Bantuan 1989/90 **) 1988/89 *)

1. Inpres pembangunan desa 112 112


2. Inpres pembangunan kabupaten 267,2 270
3. Inpres pembangunan Dati I 112 112
4. Inpres sekolah dasar 324 324
5. Inpres pembangunan sarana kesehatan 112,5 100
6. Inpres penghijauan dan reboisasi 91,1 122,2
7. Inpres penunjangan jalan dan jembatan 16,2 16,2
8. Inpres pembangunan prasarana pasar 180 294,5

1.241,90 1.106,00
*) APBN.
**) RAPBN.

Secara keseluruhan, realisasi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah tingkat I


dalam tahun 1983/1984 hingga tahun 1986/1987 menunjukkan perkembangan yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Selanjutnya dalam tahun 1987/1988 terjadi penurunan sebesar
3,1 persen dibandingkan dengan tahun 1986/1987, namun apabila tahun 1987/1988
dibandingkan dengan tahun 1985/1986 masih menunjukkan kenaikan sebesar 9,6 persen seperti
terlihat dalam Tabel VI.16.
Ditinjau dari pengeluaran untuk masing-masing sektor selama tahun 1984/1985 hingga
tahun 1987/1988, sektor yang paling banyak menyerap dana pembangunan adalah sektor
perhubungan dan pariwisata, yakni antara 18 hingga 22 persen dari jumlah pengeluaran
pembangunan, seperti terlihat pada Tabel VI.I 7. Sektor pembangunan daerah menduduki
tempat kedua, yakni antara 12 sampai 16 persen, dan yang paling sedikit menyerap dana
pembangunan adalah sektor hukum, yakni antara 0,1 sampai 0,2 persen. Sektor-sektor lain yang
menyerap dana pembangunan kurang dari 1 persen adalah sektor industri, sektor tenaga kerja
dan pemukiman kembali, serta sektor penerangan, pers dan komunikasi sosial. Sektor
pertambangan dan energi dalam tahun 1984/1985 dapat menyerap dana sebesar 1,0 persen, akan
tetapi dalam tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi kurang dari 1 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 477


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

6.3. Badan usaha milik daerah (BUMD) dan lembaga-Iembaga perkreditan daerah/
swadaya masyarakat

6.3.1. Badan usaha milik daerah (BUMD)


Badan usaha milik daerah (BUMD) dibentuk oleh pemerintah daerah dengan tujuan .

Tab e l VI.16
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I
SELURUH INDONESIA, 1983/1984 - 1987/1988
( dalam juta rupiah)
Tahun
No. Proplnsi
1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
1. D.I. Aceh 10.459,10 11.694,00 15.924,30 18.343,60 14.971,90
2. Sumatera Utara 21.480,40 20.008,20 26.017,30 28.715,90 36.081,00
3. Sumatera Barat 11.006,60 9.852,60 11.141,10 12.434,20 12.532,20
4. Ria u 13.910,30 11.680,90 25.874,50 19.215,80 17.107,30
5. Jam b i 9.981,40 11.555,20 13.477,70 12.429,60 12.664,90
6. Sumatera Selatan 12.874,20 10.880,20 11.827,70 25.572,70 25.457,00
7. Bengkulu 7.941,00 10.109,60 12.140,50 11.442,30 10.149,60
8. . Lampung 11.898,90 10.096,90 15.647,10 13.437,70 13.137,20
9. DKI Jakarta 99.088,30 156.364,90 200.860,70 207.910,60 189.276,70
10. Jawa Barat 22.772,80 24.724,10 29.198,40 39.317,60 47.731,10
11. Jawa Tengah 28.018,50 26.413,40 44.561,80 44.280,70 55.670,30
12. D.I. Yogyakarta 7.132,10 10.755,10 14.421,70 19.407,80 14.952,60
13. Jawa Timur 38.364,20 40.840,10 46.663,60 53.386,90 65.825,80
14. Kalimantan Barat 3.838,60 11.849,50 16.009,00 17.310,80 13.670,70
15. Kalimantan Tengah 10.058,30 11.324,20 17.620,20 16.190,40 14.306,30
16. . Kalimantan Selatan 8.745,10 9.840,40 13.445,00 14.069,50 12.470,90
17. Kalimantan Timur 17.670,60 10.902,80 9.832,10 13.373,70 12.082,00
18. Sulawesi Utara 11.514,90 15.655,30 16.104,00 16.767,20 15.684,70
19. Sulawesi Tengah 6.934,10 8.079,10 8.931,00 10.833,10 14.765,10
20. Sulawesi Selatan 7.204,90 17.126,40 18.898,00 19.519,40 17.850,60
21. Sulawesi Tenggara 6.713,20 5.122,80 9.734,90 16.862,20 10.402,90
22. B a Ii 8.610,70 10.019,10 14.594,80 12.453,60 12.627,30
23. Nusa Tenggara Barat 8.102,30 10.154,50 11.293,60 11.771,60 10.305,20
24. Nusa Tenggara Timur 7.752,90 8.447,70 11.323,40 16.215,40 11.237,50
25. Maluku 8.901,40 10.268,30 20.997,10 20.524,50 11.706,50
26. Irian Jaya 7.710,60 8.878,40 8.201,40 11.347,70 12.054,00
27. Timor Timur - 9.685,90 9.998,30 16.249,20 12.523,20
Jumlah 408.685,30 502.329,60 654.739,00 719.383,60 697.244,70

Departemen Keuangan Republik Indonesia 478


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab el IV. 17
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I
PER SEKTOR, 1984/1985 - 1987/1988
( dalam juta rupiah )

No. Sektor 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88


Rp Rp Rp Rp
1. Sektor pertanian dan pengairan 68.837,90 92.104,60 87.858,00 85.504,10
2. Sektor industri 2.558,90 3.915,60 3.888,00 3.567,90
3. Sektor pertambangan dan energi 5.211,40 5.347,50 6.822,50 5.954,90
4. Sektor perhubungan dan pariwisata 94.472,80 119.61.a,° 155.541,10 150.165,00
5. Sektor perdagangan dan koperasi 3.765,90 7.944,90 4.840,10 4.465,90
6. Sektor tenaga kerja dan pemukiman kembali 3.571,40 2.074,00 2.696,20 3.088,00
7. Sektor pembangunan daerah 70.819,60 103.374,80 106.504,20 82.767,70
8. Sektor agama 13.600,80 15.312,50 17.352,20 15.855,70
9. Sektor pendidikan generasi muda, kebudayaan
nasional, kepercayaan terhadap TYME 55.418,90 80.249,70 80.248,60 82.820,30
10. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan
wanita, kependudukan dan Keluarga Berencana 26.331,20 33.465,50 37.374,20 33.171,10
11. Sektor perumahan rakyat daD pemukiman 10.321,60 14.368,60 16.979,20 16.517,10
12. Sektor hokum 794,9 896,7 1.757;6 1.373,10
13. Sektor keamanan dan ketertiban 10.169.9 11.667,00 13 .962,7 11.874,20
14. Sektor penerangan pels dan komunikasi sosial 2.939,60 3.850,90 3.921,30 4.270,90
15. Sektor pengembangan lptek dan penelitian 6.724,10 9.382,20 9.804,60 9.395,30
16. Sektor aparatUr pemerintah 64.978,60 86.084,80 100.900,60 108.718,40
17. Sektor pengembangan Junia usaha . 20.185,60 19.844,10 22.584,70 27.165.9
18. Sektor sumber alam dan lingkungan hidup 14.676,30 13.889,70 10.360,80 13.010,60
19. Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan 18.998,40 21.067,10 27.895,10 31.625,10
20. Pembayaran kembali pinjaman 7.951,50 10.285,50 8.092,00 5.933,70
Pengeluaran pembangunan 502.329,40 654.739,00 719.383,60 697.244,70

dan sasaran sebagai alat pengembangan perekonomian daerah, sekaligus merupakan salah satu
sumber pendapatan asli daerah. Sejak awal Pelita I jumlah BUMD meningkat terus dengan jenis
usahanya terutama dibidang kemanfaatan umum. Dalam tahun 1969, yaitu tahun pertama Pelita
I, jumlah BUMD mencapai sebanyak 122 buah, sedangkan pada akhir Pelita IV telah mencapai
400 buah. Badan usaha milik daerah tersebut terdiri dari perusahaanperusahaan daerah dan bank
pembangunan daerah (BPD). Perusahaan daerah dibentuk DIetl pemerintah daerah tingkat I atau
DIetl pemerintah daerah tingkat II, sedangkan BPD hanya DIetl pemerintah daerah tingkat I saja.
Keberadaan BPD di setiap propinsi mempunyai arti yang renting bagi pemerintah daerah karena
BPD merupakan alat kelengkapan otonomi daerah yang mempunyai fungsi, tugas, dan peranan
sebagai pengembang perekonomian daerah, sebagai salah satu sumb_r keuangan daerah, serta
sebagai penyimpan atau pemegang kas daerah.
Pembinaan terhadap BPD secara terpadu dan konsepsional telah dilakukan secara baik
DIetl pemerintah daerah sebagai pemilik, Departemen Dalam Negeri selaku pembina
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan Departemen Keuangan serta Bank Indonesia

Departemen Keuangan Republik Indonesia 479


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sebagai pembina dan pengawas teknis perbankan. Perkembangan BPD dapat dilihat dari jumlah
aset, basil usaha, dividen, pajak perseroan, sumber dana, dan perkreditannya. Jumlah aset pada
akhir tahun 1983 adalah sebesar Rp 792,1 milyar, yang meningkat menjadi Rp 1.591,8 milyar
pada akhir tahun 1987, atau mengalami kenaikan sebesar 101,0 persen dalam peri ode lima
tahun. Hasil usaha bank pembangunan daerah sebelum pajak pada akhir tahun 1983 adalah
sebesar Rp 21,9 milyar, meningkat menjadi Rp 39,5 milyar pada akhir tahun 1987, atau
mengalami kenaikan sebesar 80,5 persen. Besarnya dividen yang dibayarkan DIetl
bank pembangunan daerah pada akhir tahun 1983 dan 1987 masing-masing adalah sebesar Rp
6,6 milyar dan Rp 11,9 milyar, sedangkan besarnya pajak penghasilan untuk tahun 1983 dan
1987 masing-masing adalah sebesar Rp 9,8 milyar dan Rp 17,8 milyar. Kegiatan operasional
bank pembangunan daerah tergantung dari sumber dana yang terdiri dari modal! cadangan dan
laba, giro, tabungan, simpanan berjangka (deposito), dan pinjaman yang diterima.
Perkembangan sumber dana dari tahun 1983 sampai dengan tahun 1987 dapat dilihat pada Tabel
V1.18.

Dalam hat permodalannya, dana yang berasal dari pemerintah daerah pada dasarnya
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang disisihkan sebagai
penyertaan modal. Makin besarnya modal disetor pada BPD tersebut adalah karena adanya
tambahan modal pemerintah daerah tingkat I, baik dari sumber pendapatan sendiri maupun dari
pinjaman lunak Pemerintah pusat melalui pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah daerah
tingkat II. Besarnya modal yang disetor dalam tahun 1983 dan 1987 masing-masing adalah
sebesar Rp 49,4 milyar dan Rp 128,3 milyar, atau mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata
tahunan sebesar 26,9 persen. Jumlah pemupukan dana masyarakat berbentuk deposito
(simpanan berjangka) juga mengalami kenaikan yang cukup berarti. Deposito yang pada akhir
tahun 1983 hanya sebesar Rp 55,4 milyar, pada akhir tahun 1987 telah menjadi Rp 206,1 milyar,
atau mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 38,9 persen. Dari perkembangan
deposito tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap
bank pembangunan daerah telah semakin besar. Bank pembangunan daerah juga
menyelenggarakan 2 macam tabungan, yaitu TabanasjTaska dan tabungan serbaguna.
Perkembangan dana Tabanas/Taska yang dapat dihimpun oleh bank pembangunan daerah dari
tahun ke tahun telah meningkat, baik dari jumlah penabung maupun besarnya tabungan. Dalam
tahun 1983 jumlah penabung mencapai jumlah sebanyak 691.000 orang dengan tabungan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 480


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

sebesar Rp 21,6 milyar, seda!1gkan dalam tahun 1987 masing- masing meningkat menjadi
1.206.000 orang dan Rp 68,1 milyar. Penghimpunan dana dalam bentuk giro/rekening koranjuga
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada akhirtahun 1983 jumlah yang berhasiJ
dihimpun adalah sebesar Rp 413,7 milyar, yang telah meningkat menjadi Rp 663,8 milyar pada
akhir tahun 1987, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 250,1 milyar (60,5 persen).
Kebijaksanaan dalam pemberian kredit bank pembangunan daerah tetap diarahkan bagi
pengusaha golongan ekonomi lemah dan alokasinya diutamakan pada sektor yang produktif
serta mendorong pengembangan perekonomian dan pengembangan daerah. Jumlah kredit yang
diberikan dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yang cukup berarti. Pada akhir tahun 1983
jumlah kredit yang direalisasikan adalah sebesar Rp 410,4 milyar dan pada akhir tahun 1987
telah mencapai jumlah sebesar Rp 961 ,0 milyar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar
Rp 550,6 milyar atau 134,2 persen.

6.3.2. Lembaga-lembaga perkreditan daerah


Dalam rangka meningkatkan ekonomi di pedesaan, salah satu usaha yang perlu
dilakukan adalah meningkatkan produktivitas masyarakat pedesaan yang hidup dari sektor
pertanian dan perdagangan kecil. Pada umumnya kegiatan usaha di daerah pedesaan tidak
mudah untuk dikembangkan antara lain karena terbatasnya modal dan belum meratanya
lembaga-lembaga perkreditan di tingkat pedesaan. Beberapa lembaga perkreditan pedesaan yang
dapat ditonjolkan adalah badan kredit kecamatan (BKK), lumbung pitih nagari (LPN), lembaga
perkreditan kecamatan (LPK), kredit usaha rakyat kecil (KURK), dan lembaga perkreditan desa
(LPP).

Tab e I VI. 18
POSISI SUMBER DANA BANK PEMBANGUNAN DAERAH
SELURUH INDONESIA PER. 31 DESEMBER 1983 S/D 1987

SUMBER DANA: 1983 1984 1985 1986 1987


1. Modal/Cadangan dan laba 110.689 146.078 169.42"5' 202.655 221.778
2. Simpanan berjangka 55.353 78.185 115.800 164.502 206.110
3 TabungaJ) 25.520 31.934 50.629 68.006 76.342
4. Pinjaman yang diterima 137.414 151.459 174.138 230.205 354.948
5. Giro/rekening koran 413.686 569.691 652.002 565.594 663.766
JUMLAH 742.662 977.347 1. 161.994 1.230.962 1.522.944
Perkembangan posisi dana
dalam % dibandingkan tahun 1983 32% 56% 66% 105%

Departemen Keuangan Republik Indonesia 481


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

BKK merupakan lembaga perkreditan milik daerah yang didirikan dalam tahun 1970
oleh pemerintah daerah tingkat I Jawa Tengah. Pemerintah daerah berusaha agar BKK, sebagai
lembaga perkreditan masyarakat pedesaan, berperan dalam menunjang kelancaran penyediaan
sarana permodalan produksi terutama dalam rangka pembangunan daerah, meningkatkan tarap
hidup masyarakat pedesaan dengan menaikkan produktivitas dan menambah kesempatan kerja,
mendidik masyarakat untuk menabung, melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh rentenir,
serta membimbing masyarakat pedesaan untuk lebih mengenal dan memahami asas-asas
ekonomi dan permodalan. Dalam rangka pengembangan BKK, pada awal September 1981
Pemerintah pus at telah memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah tingkat I Jawa Tengah
sebesar Rp 3 milyar. Bantuan tersebut telah disalurkan ke seluruh unit BKK Jawa Tengah yang
jumlahnya sebanyak 496 unit dengan jumlah pos BKK pada akhir tahun 1985 sebanyak 2.466
pos dan sampai pertengahan tahun 1986 telah menjadi 2.609 pos. Peningkatan pos-pos BKK
tersebut dimaksudkan untuk lebih mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada para
nasabah yang tinggal jauh dari induk BKK/kantor kecamatan. Kemajuan yang telah dicapai oleh
unit-unit BKK di Propinsi Jawa Tengah sampai akhir tahun 1986 terlihat dari tabungan
masyarakat yang berhasil dihimpun, yaitu sebesar Rp 2,3 milyar dengan jumlah penabung
sebanyak 385.255 orang, yang berarti rata-rata penabung mempunyai simpanan sebesar Rp
5.970,-. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah tabungan da!am tahun 1986 tersebut
menga!ami kenaikan sebesar 4,2 persen, denganjumlah penabung meningkat sebesar 3,4 persen,
dan keuntungan yang dicapai sebesar Rp 1,7 milyar.
Lumbung pitih nagari (LPN) didirikan da!am tahun 1974 oleh pemerintah daerah
tingkat I Sumatera Barat dan sampai saat ini berjumah 564 unit. Modal LPN berasal dari
pemerintah daerah tingkat I dalam bentuk pinjaman tanpa bunga, yang diambilkan dari APBD
tingkat I sebesar Rp 500.000 setiap LPN. Pemupukan modal selanjutnya diperoleh dari uang
pangkal, simpanan wajib dan simpanan lainnya dari dari uang pangka,l, simp an an wajib dan
simpanan lainnya dari anggota/masyarakat, serta sebagian laba yang dicadangkan setiap tahun.
Disamping itu, pemerintah daerah menyediakan pula pinjaman kepada LPN yang dananya
diperoleh dari Pemerintah pusat dan lembaga lainnya. Dibeberapa kabupaten dan kotamadya
dibentuk pula unit-unit LPN. Dengan adanya pinjaman dari Pemerintah pusat, maka dalam
tahun 1986 terjadi kenaikan jumlah anggota, peminjam, dan penabung LPN menjadi 63.012
orang, yaitu suatu kenaikan rata-rata 3 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Lembaga
perkreditan kecamatan (LPK) mulai diperkenalkan di Jawa Barat dalam tahun 1972 sebagai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 482


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

pengganti bank karya produksi desa (BKPD) yang dihentikan dalam tahun 1970. LPK
diharapkan dapat berperan sebagai lembaga perkreditan di pedesaan yang dapat menjangkau
masyarakat kecil yang tidak terjang_au oleh perbankan atau lembaga lainnya, membantu
pedagang kecil, petani dan pengrajin, melindungi masyarakat dari pengaruh rentenir, membantu
pemerintah dalam menyediakan kesempatan kerja dan mendorong peningkatan kegiatan
perekonomian lainnya di pedesaan. Untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
LPK, baik propinsi, kabupaten, maupun kecamatan dibentuk badan pembina yang masing-
masing diketuai oleh gubernur, bupati, dan camat. Sesuai dengan status daripada LPK sebagai
lembaga perkreditan pedesaan milik pemerintah daerah tingkat II yang jumlahnya tergantung
dari kemampuan keuangan masing-masing daerah,maka penyediaan modal kerja LPK dibantu
dengan pinjaman dari pemerintah daerah tingkat I Jawa Barat dan dana yang diterima dari
program pengembangan wilayah.
Ktedit usaha rakyat ked! (KURK) dibentuk oleh pemerintah daerah Jawa Timur
sebagai lembaga perekonomian rakyat pedesaan, yang menyediakan pinjaman uang untuk
modal kerja dengan pelayanan yang cepat, persyaratan mudah dan biaya yang murah. Untuk
pertama kalinya, KURK dilaksanakan di 92 desa pada 23 kecamatan sebagai lokasi program
pengembangan wilayah Madura tahun 1979/1980. Semua desa lokasi mendapatkan subsidi yang
berasal dari program pengembangan wilayah masing-masing sebesar Rp 500.000,-, yang hanya
diberikan sekali dan harus digunakan sebagai modal kerja. Pembukuan pada masing-masing
desa dipercayakan kepada salah seorang pengurus lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD),
yang bertugas membantu KUDdan melaksanakan KURK. Agar kehadiran KURK dapat diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat diJawa Timur, maka pinjaman KURK tidak dikenakan bunga.
Namun kepada setiap nasabah diwajibkan membayar biaya pengelolaan yang cara
pembayarannya dikaitkan dengan pembayaran angsuran pinjaman. Biaya pengelolaan KURK ini
75 persen untuk biaya operasi KURK, 20 persen untuk biaya pengelolaan KURK pada "KUD, 3
persen untuk biaya pengelolaan KURK pada pusat pelayanan koperasi (PPK), dan 2 persen
untuk biaya pengelolaan KURK pada pusat koperasi unit desa (Puskud). Ke\olntungan usaha
KURK dari masing-masing desa tiap-tiap tahun dimanfaatkan dengan ketentuan 40 persen
dibagikan kepada para nasabah, 10 persen sebagai bonus pengelolaan KURK dari LKMD dan
pejabat-pejabat desa yang terlibat dalam pengurus KURK, dan 50 persen untuk tambahan modal
kerja KURK di desa yang bersangkutan. Untuk lebih meningkatkan pemupukan modal kerja
KURK, maka para nasabah diwajibkan menabung pada setiap kali menerima pinjaman KURK.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 483


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Pembentukan lembaga perkreditan desa (LPD) di daerah tingkat I Bali adalah


merupakan hasil beberapa penelitian dibidang kredit pedesaan. Pembentukan LPD dimaksudkan
untuk menjangkau masyarakat kecil/miskin di daerah pedesaan sebagai upaya meningkatkan
tarat hidup masyarakat kecil/miskin yang belum sepenuhnya terjangkau oleh programprogram
pembangunan yang ada. Untuk mencapai tujuan tersebut LPD menjalankan usaha menghimpun
dana, baik dana masyarakat maupun dana milik desa, serta memberikan kredit untuk kegiatan-
kegiatan usaha yang bersifat produktif pada sektor pertanian, industri/ kerajinan kecil dan usaha-
usaha lain yang dipandang perlu. Untuk itu pemerintah daerah tingkat I Bali menyediakan
modal dasarsebesat Rp 2 juta bagf setiap unit LPD yang dananya diperoleh dari APBD tingkat I.

6.4. Hasil-hasil pembangunan daerah

Dalam upaya menyebarluaskan dan meratakan pembangunan di daerah-daerah, telah


dilaksanakan berbagai program bantuan pembangunan daerah berupa Inpres. Program tersebut
mencakup program bantuan Inpres daerah tingkat I, Inpres daerah tingkat II, Inpres desa, Inpres
sekolah dasar, Inpres kesehatan, Inpres penghijauan dan reboisasi, serta Inpres penunjangan
jalan dan jembatan kabupaten.

Melalui bantuan pembangunan daerah tingkat I selama periode 1983/1984 1987/1988


telah dilaksanakan berbagai proyek penunjangan jalan dan jembatan, antara lain untuk
peningkatan jalan sepanjang 42.928,0 kilometer, serta pembangunan dan penggantian jembatan
sepanjang 52.505,0 meter. Sementara itu telah dilaksanakan pula proyek perbaikan dan
peningkatan irigasi, yaitu berupa pembangunan waduk, bendungan, bangunan pembagi dan
bangunan pelengkap sebanyak 3.859 buah, perbaikan saluran dan jalan inspeksi masing-masing
sepanjang 8.868,0 kilometer dan 25.938,0 meter, petak tersier percontohan sebanyak 624 petak,
tanggul sepanjang 56.191 meter, dan luas sawah yang diairi adalah 238.933 hektar. Selain itu
untuk proyek eksplditasi dan pemeliharaan pengairan, telah dilaksanakan pula berbagai usaha
pembangunan seperti pengadaan bangunan air, fasilitas eksplditasi dan bendungan sebanyak
507.345 buah. Gambaran selengkapnya daripada jumlah hasil fisik proyek dapat diikuti pada
Tabel VI.19.

Sementara itu selama periode 1983/1984 - 1987/1988 jumlah proyek bantuan


pembangunan daerah tingkat II mencapai sebanyak 20.478 proyek. Jumlah tersebut meliputi
antara lain proyek rehabilitasi dan pembuatan jalan beraspal dan tidak beraspal sepanjang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 484


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

111.547 kilometer, rehabilitasi Dan pembuatanjembatan baru sepanjang 65.814 meter, dan
proyek irigasi berupa rehabilitasi dan pembuatan baru bendungan, saluran,dan bangunan lainnya.
Disamping itu terdapat proyek- proyek lainnya seperti proyek pembangunan dan rehabilitasi
pasar, rial, penghijauan, pencegahan banjir, stasiun bis, pelabuhan sungai, duiker, dan lain-lain
proyek. Hasil-hasil tersebut secara lebih terinci dapat dilihat pada Tabel VI.20.

Program bantuan pembangunan desa dalam periode 1983/1984 - 1987/1988


dipergunakan untuk membangun prasarana sebanyak 952.220 proyek, terdiri dari prasarana
produksi sebanyak 265.114 proyek, prasarana perhubungan sebanyak 148.176 proyek, prasarana
pemasaran sebanyak 39.747 proyek, dan prasarana sosial sebanyak 499.183 proyek. Gambaran
secara terinci dapat diikuti pada Tabel VI.21.
Melalui program bantuan pembangunan prasarana dan sarana kesehatan yang ditujukan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih merata dan sedekat mungkin kepada
masyarakat, dalam periode 1983/1984 - 1987/1988 telah berhasil dibangun sebanyak 489
Puskesmas dan 4.986 Puskesmas pembantu, 701 buah rumah dokter Inpres, dan 1.930 buah
rumah paramedis. Sementara itu pengadaan kendaraan Puskesmas keliling roda empat dan
perahu bermotor dari tahun 1984/85 sampai dengan 1987/1988 masing-masing adalah sebanyak
922 buah dan 120 buah. Secara terinci hasil-hasil tersebut dapat diikuti pada Tabel VI.22, Tabel
VI.23 dan Tabel VI.24.
Dari In pres bantuan penghijauan dan reboisasi selama peri ode 1983/1984 1987/1988
telah dilaksanakan kegiatan penghijauan dan reboisasi seluas 1.411.373 hektar, dengan rincian
1.089.386 hektar areal penghijauan dan 321.987 hektar areal reboisasi, yang tersebar di 24
propinsi. Secara terinci hasil-hasil tersebut dapat diikuti pada Tabel VI.25.

Program bantuan Inpres penunjanganjalan danjembatan kabupaten ditujukan untuk


membuka daerah-daerah potensial yang masih terisolir sebagai usaha untuk memperlancar lalu
lintas ekonomi. Selama tahun 1983/1984 - 1987/1988 telah dibangun jalan sepanjang 33.838,0
kilometer, gorong-gorong sep,mjang 174.966,4 meter dan jembatan sepanjang 72.498,4 meter,
sebagaimana terlihat pada Tabel VI.26.
Dalam pada itu melalui program bantuan pembangunan sekolah dasar selama peri ode
1983/1984 - 1987/1988 telah berhasil dibangun gedung sekolah baru sebanyak 21.400 unit,
ruang kelas baru sebanyak 52.900 unit, perbaikan gedung sekolah sebanyak 333.000 unit,
perumahan guru sebanyak 216.470 unit, buku perpustakaan sebanyak 151,5 juta eksemplar, dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 485


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

peralatan olahraga sebanyak 469.799 set, yang secara terinci dapat diikuti pada Tabel VI. 27.

Tab e l VI.19
HASIL PELAKSANAAN BANTUAN YANG DITETAPKAN
PROGRAM BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I
1983/1984 -1987/1988
No. Kegiatan Satuan 1983184 1984185 1985/86 1986/87 1987/88 Jumlah
I. Proyek Penunjangan Jalan/Jembatan
1. Jalan km 7.353,00 6.463,00 8.359,00 9.420,81 11.332,65 42.928,46
2. Jembatan m 8.322,00 7.406,00 10.160,00 13.041,59 3.292,65 42.222,24
3. Gorong-gorong m 1 bh 174 202 2.117,00 4.117,00 148 6.758,00
4. Rakit bh 7 220 6 502,59 0 735,59
5. Cerocok bh 645 1.575,00 200 135,54 0 2.555,54
6. Penggantian jembatan m 2.6s.1,00 2.365,00 2.462,00 1.964,40 1.151,30 10.593,70
II. 'proyek perbaikan dan lrigasi
1. Waduk bh 0 0 0 0 126,79 126,79
2. Bendungan bh 57 76 84 63,3 62 342,3
3. Saluran km 281 342 7.813,00 227,24 204,74 8.867,98
4. Terowongan m 0 0 0 0 0 0
5. Bangunan bagi bh 375 229 296 208 150 1.258,00
6. Bangunan pelengkap bh 438 525 584 395 191 2.133,00
7. Jalan inspeksi km 9 10.000,00 0 8,24 0 10.017,24
8. Petak tersier percontohan petak 9 615 0 0 0 624
9. Tanggul m 0 56.191,00 0 0 0 56.191,00
10. Target areal ha 30.330,00 42.424,00 53.376,00 0 41.271,40 167.401,40
III. Proyek eksplditasi dan
pemeliharaan pengairan ,
1. Bangunan air bh 112.082,00 92.870,00 92.191,00 75.904,00 76.538,00 449.585,00
2. Salman pembawa km 61.748,00 37.459,00 37.153,00 123.914,63 21.851,50 282.126,13
3. Saluran pembilang km 16.881,00 12.236,00 13.753,00 13.804,46 67.177,50 123.851,96
4. Fasilitas eksplditasi bh 3.907,00 2.017,00 3.348,00 2.806,00 1.695,00 13.773,00
5. Tanggul banjir km 5.225,00 2.542,00 3.954,00 3.147,48 2.186,16 17.054,64
6. Jalanl km 7.048,00 4.407,10 823 8.132,00 492,8 20.902,90
Jaringan telpon km 3.728,00 3.728,00
7. Petak tersier percontohan petak 0 0 ,0,00 0 0 0
8. Po m p a PK 11.850,00 12.071,00 10.344,00 1.125,23 76,29 35.466,52
9. Wad u k juta m3 1.774,00 66.336,00 1.337,00 1.341,20 126,79 70.914,99
10. Bendungan bh 11.854,00 9.631,00 10.715,00 6.009,00 5.693,00 43.902,00
11. Ruas areal daerah irigasi m 4.58.423,00 3.000.165,00 3.055.887,00 3.065.526,91 2.372.383,00 16.074.384,91
,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 486


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI.22
HASIL PEMBANGUNAN PUSKESMAS DAN PUSKESMAS PEMBANTU
INPRES BANTUAN SARANA KESEHATAN
1983/1984 -1987/1988
Puskesmas Puskesmas Pembaotu
No. Tahuo Tahuo
1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/1988 Jumlah 1983/84 \ 1984/85 \ 1985/86 1986/87 \1987/88 Jumlah
I. 0.1. Aceh 5 2 2 7 0 16 44 45 42 11 6 148
2. Sumatera Utara 10 6 6 4 0 26 65 25 115 62 5 1272
3. Sumatera Barat 8 3 3 4 0 18 55 20 44 21 2 142
4. Ria u 5 3 3 I I 13 63 45 35 16 6 165
5. Jambi 5 2 2 2 0 11 45 35 44 15 6 145
6. Sumatera Selatan 10 4 4 4 0 22 72 31 51 17 6 177
7. Bengkulu 8 3 3 3 0 17 50 30 41 17 3 141
8. Lampung 7 4 4 3 0 18 47 72 16 13 I 149
9. DKI. Jakarta 2 2 2 2 0 8 \0 45 0 0 I 46
10. Jawa Barat 23 12 12 18 0 65 75 192 154 97 3 521
II. Jawa Tengah 10 10 10 14 0 44 50 215 242 107 0 614
12. 0.1. Yogyakarta 7 I I 2 0 11 28 10 20 10 0 68
13. Jawa Timur 20 II 11 7 0 49 75 224 203 115 0 617
14. Kalimantan Barat 4 3 2 0 0 9 61 52 42 16 5 176
15. Kalimantan Tengah 7 2 3 I 0 13 50 32 51 11 4 148
16. Kalimantan Selatan 9 2 2 I 0 14 55 34 40 13 8 150
17. Kalimantan Timur 5 4 4 2 0 15 35 24 22 15 4 100
18. Sulawesi Utara 9 4 4 3 0 20 56 25 20 10 0 III
19. Sulawesi Tengah 2 I I 0 0 4 60 28 22 8 2 120
20. Sulawesi Selatan 10 4 4 I 0 19 69 20 47 26 3 165
21. Sulawesi Tenggara 6 2 2 I 0 11 21 18 12 5 2 58
22. B a Ii 5 2 2 2 0 11 .25 18 20 12 0 75
23. Nusa Tenggara Barat 5 2 2 0 0 9 25 46 37 2 0 110
24. Nusa Tenggara Timur 6 2 2 2 0 12 ! 30 60 49 16 0 155
25. Maluku 6 2 2 0 0 10 37 80 60 9 I 187
26. Irian Jaya 2 5 5 I I 14 31 70 56 16 I 174
27. Timor Timur 4 2 2 I I 10 26 4 15 6 I 52
200 100 100 86 3 489 1.250 1.500 1.500 666 70 4.986

Tabel VI.23
HASIL PEMBANGUNAN RUMAH DOKTER DAN RUMAH PARAMEDIS
INPRES BANTUAN SARANA KESEHATAN
1983/1984 -1987/1988
Romab Dokter Romab Paramedis
No. Propiosi Tahun Tahun
1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 Jomlah 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/1i11 Jomlab
1. OJ. Aceh 6 3 2 2 0 13 26 20 10 12 0 68
2. Sumatera Utara 6 II 5 6 0 28 27 30 37 10 0 104
3. Sumatera Barat 6 7 I 9 0 23 18 20 8 9 0 55
4. Ria u 6 7 2 5 I 21 20 II 9 10 0 50
5. Jambi 5 4 I 7 0 17 14 17 4 7 I 43
6. Sumatera Selatan 5 7 5 4 0 21 15 15 10 16 0 56
7. Bengkulo 6 20 6 7 0 39 20 25 12 10 I 68
8. Lampung 5 10 2 4 0 21 18 15 6 10 0 49
9. OK!. Jakarta 3 3 2 0 0 8 10 7 8 4 0 29
10. Jawa Barat 14 25 II 56 I 107 31 40 48 84 2 205
II. Jawa Tengah 12 17 12 61 2 104 31 30 58 96 I 216
12. D.!. Yogyakarta 5 5 2 5 0 17 10 15 6 6 0 37
13. Jawa Timor 14 16 8 12 0 50 32 60 36 41 I 170
14. Kalimantan Barat 5 2 3 8 I 19 20 15 14 32 0 81
15. Kalimantan Tengah 4 3 5 6 0 18 16 10 15 39 I 81
16. Kalimantan Selatan 5 3 3 5 0 16 20 19 15 18 I 73
17. Kalimantan Timur 5 5 5 2 0 17 15 15 12 14 0 56
18. Sulawesi Utara 5 3 2 2 0 12 20 10 6 9 0 45
19. Sulawesi Tengah 6 2 2 4 I 15 20 7 5 5 I 38
20. Sulawesi Selatan 5 12 2 6 I 26 15 22 15 20 0 72
21. Sulawesi Tenggara 5 3 2 I 0 II 10 13 6 2 I 32
22. B a Ii 3 10 3 5 0 21 10 8 10 10 0 38
23. Nusa Tenggara Barat 5 3 2 I I 12 10 8 6 7 0 31
24. Nusa Tenggara Timur 6 10 5 2 9 23 19 25 14 17 0 75
25. Maluku 5 4 3 0 I 13 20 13 10 3 0 46
26. Irian Jaya 4 3 2 2 0 II 20 25 15 23 0 83
27. Timor Timur 4 2 2 9 I 18 13 5 5 4 2 29
Jumlah 160 200 100 231 10 701 500 500 400 518 12 1.930

Departemen Keuangan Republik Indonesia 487


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e l VI. 24
HASIL PEMBANGUNAN
PUSKESMAS KELILING RODA EMPAT DAN PERAHU BERMlL
INPRES BANTUAN SARANA KESEHA TAN,
1984/1985 - 1987/1988 .

NO. PROPINSI RODA PERAHU


1. D.I. ACEH 33 2
2. SUMA TERA UT ARA 51 4
3. SUMATERA BARAT 20 0
4. RIA U 18 11
5. JAMBI 14 0
6. SUMATERA SELATAN 19 4
7. BENGKULU 33 0
8. LAMPUNG 26 0
9. DKI JAKARTA 13 0
10. JAWA BARAT 138 0
11. JAW A TENGAH 134 0
12. D.I. YOGYAKARTA 26 0
13. JAWA TIMUR 131 0
14. KALIMANTAN BARA T 14 27
15. KALIMANTAN TEN GAH 8 7
16. KALIMANTAN SELATAN 27 16
17. KALIMANTAN TIMUR 17 7
18. SULAWESI UTARA 17 6
19. SULAWESI TENGAH 15 0
20. SULAWESI SELATAN 37 12
21. SULAWESI TENGGARA 11 3
22. BALI 21 0
23. NUSA TENGGARA BARA T 25 1
24. NUSA TENGGARA TIMUR 23 11
25. MALUKU 15 0
26. IRIAN JAYA 19 9
27. TIMOR TIMUR 17 0
JUMLAH 922 120

Tab e l VI.25
HASIL PEMBANGUNAN FISIK SELURUH INDONESIA PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN
DAN REBOISASI 1983/1984 - 1987/1988
( dalam ha)
Penghijauan Reboisasi
No, Propinsi
1983/84 1984/85 1985/86 1986/187 1987/88 Jumlah 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 Jumlah
1. D.l. Aceh 750 4.418 8.707 3.850 1.250 18.975 1.550 1,049 1.176 900 420 5.095
2. Sumatera Utara 20.808 9.200 28.737 15.415 4.250 78.410 1.602 3.922 3.012 3.579 981 13.096
3. Sumatera Barat 11.071 1.600 11.600 4.767 2.000 31.038 2.960 3.675 1.190 1.023 910 9.758
4. Ria u 1.240 2.540 7.560 6.410 300 18.050 0 3.622 1.250 11.500 500 16.872
5. Jam b i 2.194 1.180 4.070 3.081 0 10.525 0 0 0 0 255 255
6. Sumatera Selatan 6.590 4.100 11.650 3.245 1.000 26.585 2.000 539 4.379 6.682 2.500 16.100
7. Bengkulu 3'.300 2.730 4.520 1.750 250 12.550 2.000 0 4.000 3.988 200 10.188
8. Lampung 12.750 5.900 11.700 6.810 1.500 38.660 9.470 16.769 13.000 9.200 800 49.239
9. Jawa Barat 47.044 43.390 58.294 23.700 39.250 211.678 23.402 19.286 16.436 9.887 0 69.011
10. Jawa Tengah 48.562 46.240 52.610 31.700 14.000 193.112 0 0 0 0 0 0
II. D.l. Yogyakarta 66.150 4.290 7.460 3.500 1.000 82.400 708 500 1.000 1.025 0 3.233
12. Jawa Timur 29.184 35.720 33.680 18.545 11.750 128.879 0 0 0 0 0 0
13. Kalimantan Barat 465 720 5.780 2.500 500 9.965 13.000 287 6.459 13.069 1.000 33.815
14. Kalimantan Selatan 2.980 6.540 8.960 2.250 1.000 21.730 4.425 1.300 3.700 1.700 1.650 12.775
15. Kalimantan Tengah 1.875 4.240 6.210 7.622 3.500 23.447 0 0 0 0 0 0
16. Sulawesi Utara 4.600 5.060 2.190 2.500 1.000 15.350 10.650 0 5.200 2.460 1.450 19.760
17. Sulawesi Tenga 0 0 0 0 0 0 500 0 800 870 637 2.807
18. Sulawesi Selatan 9.290 10.804 9.060 16.300 750 46.204 3.180 0 2.980 4.898 2.670 13.728
19. Sulawesi Tenggara 3.370 4.700 6.400 4.250 2.250 20.970 5.000 0 1.695 2.912 500 10.107
20. B a Ii 3.620 3.800 5.700 5.575 1.000 19.695 856 560 925 770 0 3.111
21. Nusa Tenggara Barat 18.206 8.510 13.490 7.950 2.500 50.656 5.650 4.000 3.416 2.415 235 15.716
22. Nusa Tengggara Timur 11.090 2.770 5.230 2.350 2.250 23.690 5.650 1. 798 2.100 2.445 4.075 16.068
23. M a I u k u 0 0 1.050 2.687 300 4.237 0 0 200 331 200 731
24. Timor Timur 0 0 750 1.080 750 2.580 0 0 0 272 250 522
Jumlah 305,139 208.452 305,40& 177.837 92.550 1.089.386 92.603 57.307 72.918 79.926 19,233 321.987

Departemen Keuangan Republik Indonesia 488


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Tab e I VI.26
HASIL PEMBANGUNAN FISIK SELURUH INDONESIA
PROGRAM BANTUAN PENUNJANGAN JALAN DAN JEMBATAN KABUPATEN
1983/1984 -1987/1988
1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88
No. Propinsl
Jalan Gorong2 Jembatan Jalan Gorong2 Jembatan Jalan Gorong2 Jembatan Jalan Gorong2 Jembatan Jalan Gorong2 Jembatan
(kin) (m) (m) (kin) (m) (m) (km) (m) (m) (km) (m) (m) (km) (m) (m)
I. 0.1. Aceh 351,2 2.083,00 855,4 172,3 1.262,50 598,3 201,6 3.656,00 513,1 90,3 156 305,5 167,6 664 356,4
2. Sumatera Utara 372,5 2.259,20 832,2 394,4 2.137,70 727,4 369,7 2.170,90 903 369,1 510 1.704,00 347,6 835 256,3
3. Sumatera Barat 362,1 2.217,50 479,1 360,6 317,1 574,1 331,9 3.246,00 507,5 318 516,9 2.297,00 315,4 1.070,00 360
4. Ria u 596 3.465,00 1.692,80 457,6 1.715,50 2.401,50 443,2 1.406,00 1.098,50 64,1 132 162 174,7 323 179,5
5. Jam b i 242,5 1.278,00 507,5 282,7 2.492,00 707 245,9 2.188,00 512 156,8 266,5 1.197,00 174,4 2.527,00 71,5
6. Sumatera Selatan 525,6 2.522,00 797 343,2 2.357,50 981 335,3 1.550,00 805 233,3 522,2 585 1.875,90 695 149,8
7. Bengkulu 112,5 482 368 190 1.231,00 905,2 185,2 1.157,00 801,6 193,2 272,4 693 128 835 174,9
8. Lampung 177,3 1.878,00 119 160,8 1.487,00 176 91,7 1.382,00 191 110,8 30 36 183 1.165,00 101
9. Jawa Barat 514,6 7.129,80 438,8 292,5 2.371,00 474,4 269,4 2.084,00 449,5 0 0 0 836,3 1.566,00 116,6
10. Jawa Tengah 264,8 3.434,00 772,9 211,4 2.083,40 550,6 169 187.5 455,8 228,6 210,4 940 1.465,40 2.619,00 93,7
11. Yogyakarta 86,4 886 24 67,7 469,3 114,2 54,6 440,5 72 1,6 0 0 22,4 0 0
12. Jawa Timur 262,8 1.857,60 163,5 271,2 2.351,00 326,6 224,4 1.749,60 194,7 396 0 0 791,3 2.206,00 370
13. Kalimantan Barat 189,5 656 1.355,00 142,1 855 796 218 1.196,00 713 239,5 699,8 3 124,7 0 1.841,00
14. Kalimantan Tengah 273,1 1.703,00 1.267,00 293,2 699 731 305,8 533 848 187,4 39 18 186,6 354 898,5
15. Kalimantan Selatan 235,1 1.167,00 1.145,20 243,1 1.321,00 1.329,50 285,7 1.130,00 1.156,50 224,5 765 554 262,1 788 713,9
16. Kalimantan Timur 219,9 452 717,5 323,2 1.305,00 651 250,4 365 615 131,3 321 405 170,4 290 573
17. Sulawesi Utara 192,5 1.436,00 589 181,2 3.124,00 69 124,2 1.158,00 94,5 49,9 227,6 112 49 587 116,6
18. Sulawesi Tenggara 164 3.245,00 2.680,00 244,5 1.255,00 790,5 306,3 533 848 . 112,1 76 120 71,1 226 526
19, Sulawesi Selatan 527,5 2.461,30 991,3 426,8 7.672,60 654,1 466,1 2.577,00 999,1 356,2 396,6 1.852,00 421,1 2,344,0 557,6
20, Sulawesi Utara 437 3.442,00 , 986,0 181,3 785,5 96,5 183 1.156,00 334 64,6 315 66,4 93,8 0 425
21. B a Ii 174,8 3.536,00 82,2 105,9 1.846,80 70,5 82,6 1.605,00 7 61,3 15 78 367,5 2.242,00 93,5
22. Nusa Tenggara Barat 273,1 1.882,00 654,8 203,8 936 360,2 251,4 1.054,00 168 54,3 156 154 285,7 2,262,0 91
23, Nusa Tenggara Timur 354,1 6.171,00 249 384,3 2,748,0 73,8 309,7 3.576,00 85 162,5 116,2 0 338,6 1.597,00 80
24. M a I u k u 173 6 677 88 531 1.006,00 100,3 300 339 53,2 298 1.545,00 215,8 293 378
25. Irian Jaya 233 1.049,00 1.118,00 251 899 547,7 232,5 698 1.110,00 153,1 659 185 778,8 929 1.616,80
26. Timor Timur. 99,5 2.301,00 170 38 420 0 89,2 678 56 80,4 6 0 46,6 394 25
Jumlah 7.414,40 58,999,4 19.732,10 6,310,8 44.672,90 15.712,00 6,127,1 37.776,50 13.876,80 4.091,90 6.706,60 13.011,90 9,893,8 26.811,00 10.165,60

Departemen Keuangan Republik Indonesia 489


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Lampiran 1

PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1989/1990


(dalamjutaan rupiah)

JENIS PENERIMAAN JuMLAH


A. PENERIMAAN DALAM NEGERI 25.249.800
I. Penerimaan minyak bumi
dan gas alam 7.899.700
1. Penerimaan minyak bumi 6.702.900
2. Penerimaan gas alam 1.196.800
II. Penerimaan di Iuar minyak bumi
dan gas alam 17.350.100
1. Pajak Penghasilan 4.947.600
1.1. Pajak penghasilan perorangan 1.297.700
- Hasil potongan penghasilan
pekerjaan (1.144.200)
- Usaha dan pekerjaan (153.500)
1.2. Pajak penghasilan badan 3.649.900
- Badan usaha milik negara (1.198.600)
- Badan usaha swasta (1.462.800)
- Hasil pungutan kegiatan
usaha (477.600)
- Hasil potongan bunga,
deviden, royalty dan
.sebagainya (510.900)
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah 5.830.900
3. Bea Masuk 1.421.200
4. C u k a i 1.487.000
- Cukai tembakau 1.396.300
- Cukai lainnya 90.700
5. Pajak Ekspor 159.800
6. Pajak Bumi dan Bangunan 638.500
7. Bea Meterai 414.600
8. Bea lelang 10.000
9. Penerimaan Bukan Pajak 2.047.600
10. Penerimaan Penjualan BBM 392.900
B. PENERIMAAN PEMBANGONAN 11.325.100
1. Bantuan Program 1.798.900
- Murni 71.600
- Dalam bentuk rupi?lh 1.727.300
2. Bantuan Proyek 9.526.200
Jumlah 36.574.900

Departemen Keuangan Republik Indonesia 490


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

DASAR PERHITUNGAN UNTOK PERKIRAAN


PENERIMAAN NEGARA RAPBN 1989/1990

A. PENERIMAAN DALAM NEGERI

I. PENERIMAAN MINY AK BOMI DAN GAS ALAM

Faktor-faktor yang diperhitungkan :


- produksi minyak rata-rata (termasuk kondensat) diperkirakan sebesar 1,4 juta
barel sehari,
- harga rata-rata ekspor minyak mentah Indonesia diperkirakan sebesar US $ 14,00per bare\.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penerimaan minyak bumi dan gas alam diperkirakan
sebesar Rp 7.899,7 milyar.

II. PENERIMAAN DI LOAR finNY AK BOMI DAN GAS ALAM

1. Pajak Penghasilan
1.1. Pajak penghasilan perseorangan
Faktor-faktor umum yang diperhitungkan :
- perluasan dasar pengenaan pajak,
- penertiban dan perluasan wajib pajak,
- peningkatan penghasilan masyarakat,
- timbulnya perusahaan-perusahaan baru dan perluasan perusahaan yangada sehingga
memperluas lapangan kerja,
- berkembangnya kegiatan usaha produksi dan perdagangan,
- peningkatan mutu dan pelayanan aparat pajak.

1.1. 1. Pajak hasil potongan penghasilan pekerjaan


Faktor-faktor yang diperhitungkan akan mempengaruhi penerimaan :
- perluasan pengenaan pajak,
- penertiban dan perluasan wajib pajak,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 491


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

- peningkatan penelitianjpemeriksaan SPT tahunan PPh posal 21 sehingga dapat ditagih pajak
yang seharusnya dibayar oleh pemberi kerja, .

- peningkatan pemberian penyuluhanjpenerangan,


- peningkatan kesadaranjkepatuhan dari para wajib pajak.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diperkirakan penerimaan yang berasal dari pajak hasil
potongan pekerjaan dapat mencapai Rp 1.144,2 milyar.

1.1.2. Pajak penghasilan usaha dan pekerjaan


Faktor-faktor yang diperhitungkan akan mempengaruhi penerimaan :
- peningkatan penghasilan dan kegiatan usaha perseorangan,
- penertiban dan perluasan jumlah wajib pajak,
- pemeriksaan pembukuan secara terbatas yang lebih intensif atas jumlah laba perusahaan,
- peningkatan kepatuhan/pembayaran angsuran masa.
Berdasarkan hal-hal tersebut di alas, diperkirakan penerimaan pajak penghasilan usaha dan
pekerjaan dapat mencapai jumlah Rp 153,5 milyar.

1.2. Pajak penghasilan badan


Faktor-faktor urn urn yang diperhitungkan :
- penertiban dan perluasan wajib pajak,
- berkernbangnya kegiatan usaha produksi dan perdagangan, - tirnbulnya perusahaan-
perusahaan baru,
- rneningkatnya penghasilan perusahaan-perusahaan.

1.2.1. Pajak penghasilan badan usaha milik negara Faktor-faktor yang diperhitungkan :

- penertiban adrninistrasi dan organisasi perusahaan-perusahaan negara,


- intensifikasi pernungutan pajak.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di alas, diperkirakan pajak penghasilan badan usaha rnilik
negara adalah sebesar Rp 1.198,6 rnilyar.

1.2.2. Pajak penghasilan badan usaha swasta

Dalarn penerirnaan ini terrnasuk pula pajak penghasilan alas laba yang diperoleh badan asing

Departemen Keuangan Republik Indonesia 492


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

(PMA dan Badora) yang ada di Indonesia.

Faktor-faktor yang diperhitungkan akan rnernpengaruhi penerirnaan:


- peningkatan penghasilan dari badan-badan usaha swasta,
- penertiban dan perluasan wajib pajak,
- perneriksaan pernbukuan secara terbatas dan atau secara integral
yang lebih intensif alas jurnlah laba perusahaan,
- penagihan yang lebih intensif alas tunggakan-tunggakan pajak,
- kesadaran wajib pajak yang semakin baik yang mendorong perusahaan untuk lebih terbuka
dalam pembukuannya. Berdasarkan faktor-faktor di alas, diperkirakan pajak penghasilan badan
usaha swasta berjumlah Rp 1.462,8 milyar.

1.2.3. Pajak hasil pungutan kegiatan usaha Faktor-faktor yang mempengaruhi


penerimaan :

- meningkatkan kerjasama dengan bank-bank dalam rangka pe


mungutan pajak alas kegiatan usaha di bidang impor,
- meningkatkan kerjasama dengan para bendaharawan dalam rangka pemungutan pajak alas
kegiatan usaha yang memperoleh pembayaran untuk barang-barang dan jasa dari anggaran
belanja negara.
Berdasarkan faktor-faktor di alas, maka diperkirakan dapat diperoleh pajak hasil pungutan
kegiatan usaha sebesar Rp 477,6 milyar.

1.2.4. Pajak hasil potongan bunga, deviden, royalty, dan sebagainya Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan :

- berkembangnya kegiatan ekonomijdunia usaha,


- verifikasi terhadap SPTtahunan PPh perusahaan-perusahaan dalam hal pembagian deviden,
pembayaran bunga, dan royalty.
Berdasarkan faktor-faktor di alas, maka penerimaan pajak hasil potongan bunga, deviden,
royalty dan sebagainya diperkirakan akan mencapai sebesar Rp 510,9 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 493


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang daD Jasa dan Pajak Peqjualan atas Barang Mewah
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan adalah :

- perkembangan perekonomian khususnya pada sektor pertanian, industri, perdagangan,danjasa,


- perluasan jumlah wajib pajak dan intensifikasi pemungutan melalui verifikasi yang lebih ketal
alas penyerahan barang-barang dan jasa,
- deregulasi di bidang perdagangan yang mermnjang perkembangan perdagangan dan ekspor,
- perluasan dasar pengenaan pajak.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak pertambahan nilai barang danjasa dan
pajak penjualan alas barang mewah diperkirakan mencapai Rp 5.830,9 rnilyar.

3. Bea Masuk
Perkiraan penerimaan bea masuk didasarkan alas hal-hal sebagai berikut :
- volume impel akan meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi
dalam negeri,
- komposisi impel yang makin rnengarah kepada bahan baku dan barang modal.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penerimaan bea masuk diperkirakan dapat mencapai Rp
1.421,2 milyar,

4. C u k a i
4.1. Cukai tembakau

Hal-hal yang dapat mempengaruhi penerimaan cukai tembakau adalah :


- peningkatan produksi rokok dan hasil-hasil tembakau lainnya,
- peningkatan daya beli masyarakat sejalan dengan naiknya pendapatan nasional,
- peningkatan usaha pemungutan cukai berupa penyesuaian pita cukai dengan
perkembangan harga jualnya,
- verifikasi yang lebih cermat alas perusahaan-perusahaan rokok, - pencegahan dan
pemberantasan pita rokok palsu dan rokok tidak berpita cukai,
- penyelesaian tunggakan-tunggakan cukai.
Berdasarkan hal-hal tersebut di alas, diharapkan dapat diterima cukai tembakau sebesar Rp
1.396,3 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 494


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

4.2.Cukai lainnya
Cukai lainnya terdiri dari cukai gula, cukai biT, dan cukai alkohol sulingan. Hal-hal yang
mempengaruhi penerimaan adalah :
- peningkatan produksi gula, biT, dan alkohol sulingan,
- intensifikasi pemungutan cukai dan penyesuaian harga dasar biT dan alkohol sulingan agar
sesuai dengan perkembangan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka cukai lainnya diperkirakan akan menghasilkan penerimaan
sebesar Rp 90,7 milyar.

5. Pajak Ekspor
Dasar perhitungan pajak ekspor adalah sebagai berikut :
- ekspor di luar migas diperkirakan sebesar US $ 13,0 milyar,
- diturunkannyajdibebaskannya pajak ekspor alas beberapa jenis barang tertentu untuk
mendorong ekspor nonmigas,
- dikenakannya/dinaikkannya tarip pajak ekspor atas ekspor bahan mentah untuk
mendorong ekspor barang jadijsetengah jadi.

Dengan dasar perhitungan tersebut, maka penerimaan pajak ekspor diperkirakan sebesar Rp
159,8 milyar.

6. Pajak Bumi dan Bangunan


Faktor yang mempengaruhi penerimaan :

- penilaian atas tanah dan bangunan yang makin sesuai dengan harga pasar,
- peningkatan daripada nilai jual kena pajak,
- perluasan wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak.

Berdasarkan hal-hal t_rsebut di atas, maka penerimaan pajak bumi dan bangunan diperkirakan
akan mencapai jumlah sebesar Rp 638,5 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 495


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

7. Bea Meterai

Perkiraan penerimaannya didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:


- berkembangnya kegiatan dan transaksi ekonomi yang dapat dikenakan bea meterai, sesuai
dengan tarip bea meterai yang berlaku,
- pengawasan yang lebih ketatatas pemakaian meterai.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penerimaan bea meterai diperkirakan akan mencapai
jumlah sebesar Rp 414,6 milyar.

8. Bea Lelang
Perkiraan penerimaannya didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
- pengawasan yang lebih ketatatas pelaksanaan Ielang,
- penyempurnaan dan peningkatan efektivitas penggunaan kantor lelang. Dengan
memperhitungkan hal-hal tersebut maka penerimaan bea lelang diperkirakan mencapai jumlah
sebesar Rp 10,0 milyar.

9. Penerimaan Bukan Pajak


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan adalah:

- penertiban administrasi dan perbaikan manajemen menuju efisiensi perusahaan negara dan
bank milik negara dalam rangka meningkatkan penerimaan,
- intensifikasi dan ekstensifikasi disertai dengan pengawasan yang lebih baik atas
penyetoran daripada penerimaan departemen/lembaga negara.

Dengan faktor-faktor tersebut, diperkirakan akan diterima penerimaan bukan pajak sebesar Rp
2.047,6 milyar.

10. Penerimaan penjualan BBM


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan adalah sebagai berikut :
- harga BBM di dalam negeri sesuai dengan Keputusan Presiden RepubIik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1986,
- harga rata-rata minyakmentah sebesar US $ 14,00 per bMaret.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka diperkirakan penerimaan penjualan B8M akan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 496


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

mencapai Rp 392,9 milyar.

B. Penerimaan Pembangunan
Perkiraan penerimaan f»:lntuan program dan bantuan proyek adalah sebagai berikut:
- bantuan program dalam tahun anggaran 1989/1990 diperkirakan sebesar Rp 1.798,9 milyar,
terdiri dari bantuan program murni sebesar Rp 71,6 milyar, dan bantuan program yang
dirupiahkan sebesar Rp 1.727,3 milyar.
- reaIisasi (disbursement) dalam tahun 1989/1990 dari komitmen bantuan proyek tahun tahun
yang lalu dan tahun 1989/1990 diperkirakan sebesar Rp 9.526,2 milyar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 497


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Lampiran 2
ANGGARAN BELANJA ROTIN 1989/1990
DIPERINCI MENOROT SEKTOR / SOB SEKTOR
(dalam ribilan rupiah)
.-
Nomor
Jumlah
Kode Sektor / Sub Sektor
1 SEKTOR PERT ANIAN DAN PEN GAl RAN 95.457.681
1.1 Sub Sektor Pertanian 82.977.184
1.2 Sub Sektor Pengairan 12.480.497
2 SEKTOR INDOSTRI 8.459.371
2.1 Sub Sektor Indusi 8.459.371
3 SEKTOR PERT AMBANGAN DAN ENERGI 19.826.975
3.1 Sub Sektor Pertambangan 19.007.030
3.2 Sub Sektor Energi 819.945
4 SEKTOR PERHOBONGAN DAN PARIWISATA 92.424.392
4.1 Sub Sektor Prasarana Jalan 6.635.150
4.2 Sub Sektor Perhubungan Darat 11.649.937
4.3 Sub Sektor Perhubungan Laut 47.845.234
4.4 Sub Sektor Perhubungan Udara 22.638.827
4.5 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 576.473
4.6 Sub Sektor Pariwisata 3.078.771
5 SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 51.764.049
5.1 Sub Sektor Perdagangan 26.688.4 77
5.2 Sub Sektor Koperasi 25.075.572
6 TRANSMIGRASI 58.934.504
6.1 Sub Sektor Tenaga Kerja 35.590.284
6.2 SubSektor Transmigrasi 23.344.220

Departemen Keuangan Republik Indonesia 498


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Nomor Sektor / Sub Sektor


Kode Jumlah

7 SEKTOR REGIONAL DAN DAERAH/PEMBA-


NGUNAN DAERAH, DESA DAN KOT A 3.669.065.035
7.1 Sub Sektor Regional dan Daerah/Pembangunan
Daerah, Desa dan Kota 3.669.065.035
8 SEKTOR AGAMA 53.289.006
8.1 Sub Sektor Agama 53.289.006
9 SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,
KEBUDA Y AAN NASIONAL DAN KEPERCA Y AAN
TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA 1.230.591.691
9.1 Sub Sektor Pendidikan Umum dan Generasi Muda 1.190.519.238
9.2 S\.Ib Sektor Pendidikan Kedinasan 29.263.665
9.3 Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 10.808.788
10 SEKTOR- KESEHA TAN, KESEJAHTERAAN
SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA BERENCANA 174.104.806
10.1 Sub Sektor Kesehatan 103.735.294
10.2 Sub Sektor Kesejahteraan Sosial dan Peranan Wan ita 21.982.308
10.3 Sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 48.387.204
11 SEKTOR PERUMAHAN RAKY A T DAN PEMUKIMAN 7.237.545
11.1 Sub Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman 7.237.545
12 SEKTOR HUKUM 184.779.230
12.1 Sub Sektor Hukum 184.779.230
13 SEKTOR PERT AHANAN DAN KEAMANAN
NASIONAL 1.860.595.441

Nomor Jumlah
Kode Sektor / Sub Sektor
13.1 Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional 1.860.595.441
14 SEKTOR PENERANGAN, PERS DAN KOMONI-
KASI SO SIAL 75.280.250
14.1 Sub Sektor Penerangan, refs dan Komunikasi Sosial 75.280.250
15 SEKTOR ILMO PENGET AHOAN, TEKNOLOGI
DAN PENELITIAN 80.900.147
15.1 Sub Sektor Penelitian 80.900.147
16 SEKTOR AP ARA TOR PEMERINT AH 15.782.289.877
16.1 Sub Sektor Aparatur Pemerintah 911.615.316
16.2 Sub Sektor Lembaga T ertinggijTinggi Negara 13.170.433
16.3 Sub Sektor Keuangan Negara 14.857.504.128
JuMLAH 23.445.000.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 499


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Lampiran 3

ANGGARAN BELANJA PEMBANGONAN 1989/1990 DIPERINCI MENOROT SEKTOR/SOB SEKTOR


( dalam ribilan rupiah)

Nomor Sektor / Sub Sektor Rupiah (termasuk Nilai Rupiah Bantuan Jumlah
Kode bimtuan program dalam Proyek/ Teknis dan
bent uk rupiah) Kredit Ekspor
1. SEKTOR PERT ANIAN
DAN PENGAIRAN 319.600.000 1.674.600.000 1.994.200.000
1.1 Sub Sektor Pertanian 231.450.000 1.184.600.000 1.416.050.000
1.2 Sub Sektor Pengairan 88.150.000 490.000.000 578.150.000
2. SEKTOR INDOSTRI 26.800.000 315.000.000 341.800.000
2.1 Sub Sektor Industri 26.800.000 315:000.000 341.800.000
3. SEKTOR PERTAMBANGAN
DAN ENERGI 37.760.000 1.576.900.000 1.614.660.000
3.1. Sub Sektor Pertambangan 4.750.000 176.500.000 181.250.000
3.2. Sub Sektor Energi 33.010.000 1.400.400.000 1.433.410.000
4. SEKTOR PERHOBONGAN
DAN PARIWISATA 519.540.000 2.002.600.000 2.522.140.000
4.1. Sub Sektor Prasarana Jalan 407.080.000 973.200.000 1.380.280.000
4.2. Sub Sektor Perhubungan Darat 23.790.000 271.900.000 295.690.000
4.3. Sub Sektor Perhubungan Laut 25.700.000 259.800.000 285.500.000
4.4. Sub Sektor Perhubungan Udara 50.650.000 327.600.000 378.250.000
4.5. Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 5.190.000 139.700.000 144.890.000
4.6. Sub Sektor Pariwisata 7.130.000 30.400.000 37.530.000
5. SEKTOR PERDAGANGAN
DAN KOPERASI 38.320.000 161.600.000 199.920.000
5.1. Sub Sektor Perdagangan 24.780.000 30.100.000 54.880.000
5.2. Sub Sektor Koperasi 13.540.000 131.500.000 145.040.000
6. SEKTOR TENAGA KERJA
DAN TRANSMIGRASI 161.680.000 173.600.000 335.280.000
6.1. Sub Sektor Tenaga Kerja 28.400.000 45.400.000 73.800.000
6.2. Sub Sektor Transmigrasi 133.280.000 128.200.000 261.480.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 500


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Nomor Rupiah (termasuk Nilai Rupiah Bantuan Jumlah


Kode Sektor / Sub Sektor bantuan program Proyek/ Teknis dan Kredit
dalam bentuk rupiah) Ekspor
7. SEKTOR PEMBANGONAN
DAERAH, DESA DAN KOT A 1.244.800.000 307.500.000 1.552.300.000
7.1. Sub Sektor Pembangunan Daerah,
Desa dan Kota 1.244.800.000 307.500.000 1.552.300.000
8. SEKTOR AGAMA 21.780.000 4.600.000 26.380.000
8.1. Sub Sektor Agama 21.780.000 4.600.000 26.380.000
9. SEKTOR PENDlDlKAN, GENE-
RASIMODA,KEBODAYAAN
NASIONAL DAN KEPERCA-
Y AAN TERHADAP TOHAN
YANG MAHA ESA 380.560.000 1.302.600.000 1.683.160.000
9.1. Sub Sektor Pendidikan Umum
dan Generasi Muda 339.110.000 1.170.700.000 1.509.810.000
9.2. Sub Sektor Pendidikan Kedinasan 32.610.000 128.400.000 161.010.000
9.3. Sub Sektor Kebudayaan Nasio-
nal dan Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa 8.840.000 3.500.000 12.340.000
10. SEKTOR KESEHATAN, KE-
SEJAHTERAAN SO SIAL,
PERANAN WANITA, KEPEN.
DODOKAN DAN KELOARGA
BERENCANA 290.650.000 143.400.000 434.050.000
10.1. Sub Sektor Kesehatan 171.870.000 77.900.000 249.770.000
10.2. Sub Sektor Kesejahteraan
Sosial dan Peranan Wanita 19.280.000 5.700.000 24.980.000
10.3. Sub Sektor Kependudukan
dan Keluarga Berencana 99.500.000 59.800. 000 159.300.000
11. SEKTOR PEROMAHAN
RAKYAT DAN PEMOKIMAN 60.110.000 560.000.000 620.110.000
11.1. Sub Sektor Perumahan
Rakyat dan Pemukiman 60.110.000 560.000.000 620.110.000
12. SEKTOR HOKOM 24.110.000 4.800.000 28.910.000
12.1. Sub Sektor Hukum 24.110.000 4.800.000 28.910.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 501


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1989/1990

Nilai Rupiah
Nomor Rupiah Bantuan Proyek/
Kode Sektor / Sub Sektor program Teknis dan Kredit Jumlah
dalam bentuk rupiah) Ekspor
13. SEKTOR PERTAHANAN
DAN KEAMANAN 200.000.000 612.600.000 812.600.000
13.1. Sub Sektor Pertahanan
dan Keamanan 200.000.000 612.600.000 812.600.000
14. SEKTOR PENERANGAN,
PERS DAN KOMONIKASI
SOSIAL 17.310.000 28.900.000 46.210.000
14.1. Sub Sektor Peneangan, Pers
dan Komunikasi Sosial 17.310.000 28.900.000 46.210.000
15. SEKTOR IL/VIO PENGE-
TAHOAN,TEKNOLOGI
DAN PENELITIAN 119.340.000 159.600.000 278.940.000
15.1. Sub Sektor Pengembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 68.400.000 92.700.000 161.100.000
15.2. Sub Sektor Penelitian 50.940.000 66.900.000 117.840.000
16. SEKTOR APARATOR
PEJVIERINT AH 75.270.000 23.900.000 99.170.000
16.1. Sub Sektor Aparatur Pemerintah 75.270.000 23.900.000 99.170.000
17. SEKTOR PENGEJVIBANGAN
DONIA OSAHA 11.100.000 280.200.000 291.300.000
17.1. Sub Sektor Pengembangan
Dunia Usaha 11.100.000 280.200.000 291.300.000
18. SEKTOR SUMBER ALA/VI
DAN UNGKONGAN HIDOP 54.970.000 193.800.000 248.770.000
18.1. Sub Sektor Sumber Alam dan
Lingkungan Hidup 54.970.000 193.800.000 248.770.000
.
JUMLAH 3.603.700.000 9.526.200.000 13.129.900.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 502

Anda mungkin juga menyukai