Anda di halaman 1dari 35

TUGAS PERDAGANGAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS LADA Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Perdagangan Internasional

Disusun Oleh : Kelompok 5 Agribisnis D Yogiandre Ravenalla Rina Paramita Sri Noor Cholidah Karnati 150310080136 150310080139 150310080170 150310080174

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2011

BAB I PENDAHULUAN Sub sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam pemabngunan nasional Negara Indonesia. Peranannya terlihat nyata dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing serta optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Peranan sektor pertanian sub sektor perkebunan bagi perekonomian nasional tercermin dari realisasi pencapaian PDB yang mencapai Rp. 106,19 trilyun (atas dasar harga berlaku) pada tahun 2008 atau berkontribusi 14,89% dari total PDB sektor pertanian secara luas. Lada termasuk hasil komoditas pertanian sub sektor perkebunan. Ekspor komoditas perkebunan yang di dalamnya termasuk di dalamnya komoditas lada secara umum pada tahun 2008 memberikan sumbangan surplus neraca perdagangan bagi sektor pertanian sebesar US$ 22,83 milyar dimana sub sektor lainnya mengalami defisit. Hasil komoditas lada di setiap Negara berbeda-beda. Antara Negara maju, berkembang, dan terbelakang mempunyai hasil produksi yang bervariasi. Perkembangan komoditas di setiap negara akan memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Negara tersebut dalam hal Groos National Product atau Gross Domestic Product.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Keadaan Umum Komoditas Lada

Lada atau merica (Piper nigrum L.) adalah tumbuhan penghasil rempahrempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan dunia. Pada masa lampau harganya sangat tinggi sehingga memicu penjelajah Eropa berkelana untuk memonopoli lada dan mengawali sejarah kolonisasi Afrika, Asia, dan Amerika (Wilkipedia, 2009). Sejak jaman dahulu kala, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil rempah-rempah yang terkenal, sebagian besar rempah-rempah yang diperdagangkan di dunia adalah lada (Peper nigrum Linn). Produksi lada pada satu dekade terakhir ini mengalami fluktuasi yang cukup drastis dan cenderung semakin menurun, bahkan semakin sulit menembus dan bersaing dalam perdagangan internasional. Apalagi rendahnya mutu lada yang dihasilkan oleh petani menyebabkan lada asal Indonesia sering mengalami penahanan (detention) oleh Food and Drugs Administrantion (FDA) di Amerika Serikat. Penahanan tersebut terjadi karena adanya pencemaran oleh mikroorganisme, bahan asing, kadar air, dan kadar minyak lada yang tidak memenuhi syarat. Permasalahan di atas disebabkan karena mayoritas masyarakat petani lada di Indonesia masih menggunakan teknologi tradisional, baik dalam budidayanya maupun dalam penanganan pasca panennya. Disamping faktor teknologi tersebut, perangkat sistem dan kebijakan yang ada juga tidak mendukung bagi terciptanya suatu mekanisme pasar yang kondusif (Mulyono D, 2002). Di pasar internasional, lada Indonesia mempunyai kekuatan dan daya jual tersendiri karena cita rasanya yang khas. Lada Indonesia dikenal dengan nama Muntok white pepper untuk lada putih dan Lampung black pepper untuk lada hitam. Peranan Indonesia sebagai penghasil dan pengekspor lada hitam telah digeser oleh Vietnam, sementara lada putih masih bisa dipertahankan namun tetap harus waspada. Agar dapat bersaing di pasar dunia maka harus dilakukan efisiensi budidaya lada Indonesia dan pengembangan diversifikasi produk lada. Dari sisi teknologi salah satunya adalah dikembangkannya varietas Natar I yang cocok untuk ditanam di Lampung (Manohara Dyah, dkk, 2009). Diversifikasi produk diperlukan bila produk utama harganya jatuh. Disamping mengembangkan lada pada lahan yang sesuai, serta menerapkan teknologi rekomendasi dan efisiensi biaya produksi juga perlu ditingkatkan peran kelembagaan mulai dari kelembagaan di tingkat petani (KUD, APLI, kelompok tani) sampai kelembagaan pemasaran seperti AELI dan IPC (Yuhono, JT. 2009).

2.2

Perkembangan Luas Areal, Produksi, Dan Produktivitas Lada Di Indonesia

Luas areal tanaman lada yang diusahakan di Indonesia pada periode 19672008 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan laju pertumbuhan rataratanya 4,34% per tahun (Gambar 3.1.). Pertumbuhan rata-rata pasca krisis ekonomi Indonesia (1998-2008) menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 5,36% per tahun. Apabila ditinjau pertumbuhan rata-rata luas areal lada menurut status pengusahaan, maka pada periode 1967-1997 luas areal perkebunan besar swasta (PBS) tumbuh sebesar 24,99%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan di perkebunan rakyat (PR) yang hanya 3,96%. Namun demikian, pada periode selanjutnya (1998- 2008) terjadi sebaliknya, pertumbuhan luas areal lada PBS turun hingga 19,02% per tahun dan PR meningkat sebesar 5,38% per tahun (Lampiran 3.1).

Di Indonesia, areal lada didominasi pengusahaannya PR, dan sebagian kecil adalah areal PBS. Berdasarkan data rata-rata 5 tahun (2004-2008), besarnya kontribusi luas areal lada PR adalah 99,95% terhadap total areal perkebunan lada di Indonesia (Gambar 3.2.).

Sejalan dengan peningkatan luas areal, total produksi lada Indonesia juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 16,50 ribu ton pada tahun 1967 menjadi 79,79 ribu ton pada tahun 2008 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8,08% per tahun (Gambar 3.3). Produksi lada nasional mencapai puncaknya pada tahun 2003, yaitu sebesar 90,71 ribu ton. Setelah tahun tersebut terjadi penurunan produksi (Lampiran 3.2).

Gambar 3.3. Perkembangan produksi lada di Indonesia, 1967-2008 Berdasarkan data produksi rata-rata tahun 2004-2008, terdapat 6 provinsi sentra produksi lada PR yang mempunyai kontribusi kumulatif hingga 81,55%, yaitu Provinsi Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Provinsi Lampung memberikan kontribusi terbesar terhadap total produksi Indonesia hingga mencapai 28,47%. Peringkat kedua adalah Bangka Belitung (21,78%), diikuti Kalimantan Timur (12,33%). Provinsi sentra produksi lainnya dibawah 7%, sedangkan provinsiprovinsi bukan sentra hanya memberikan kontribusi kurang dari 5% (Gambar 3.4). Perkembangan produksi lada di provinsi sentra dari tahun 2004-2008 secara rinci disajikan pada Lampiran 3.3.

Gambar 3.4. Provinsi sentra produksi lada di Indonesia, (rata-rata 2004-2008) Dari sisi produktivitas, secara umum selama periode 1967-2008 tampak berfluktuasi namun menunjukkan kecenderungan menurun (Gambar 3.5.). Produktivitas lada tertinggi terjadi pada tahun 1968 sebesar 1,09 ton/ha dan terendah pada tahun 1970 dan 2004 yaitu sebesar 0,38 ton/ha.

Gambar 3.5. Perkembangan produktivitas lada di Indonesia, 1967-2008 Sementara, apabila dilihat berdasarkan status pengusahaannya, produktivitas lada PR ternyata lebih tinggi dibandingkan PBS. Berdasarkan data rata-rata tahun 2004-2008, besarnya produktivitas lada PBS sebesar 0,33 ton/ha sementara pada PR telah mencapai 0,67 ton/ha (Lampiran 3.4.). Perkembangan produktivitas lada periode 2004-2008 di PR relatif tetap, sementara di PBS terjadi peningkatan di tahun 2006 tetapi menurun kembali pada tahun berikutnya (Gambar 3.6.).

2.3

Perkembangan Konsumsi Lada Di Indonesia

Konsumsi lada oleh rumah tangga di Indonesia bersumber dari hasil Survei Sosial Ekonomi (SUSENAS) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik setiap 3 tahun sekali, bahkan sejak tahun 2003 dipantau tiap tahun. Perkembangan konsumsi lada perkapita oleh rumah tangga selama tahun 1984-2008 menunjukkan berfluktuasi dan cenderung menurun (Gambar 3.7.). Konsumsi perkapita oleh rumah tangga tertinggi terjadi pada tahun 1996 dan terendah pada tahun 1987. Dilihat dari pertumbuhan rata-rata konsumsi lada perkapita pada tahun 1984-2008 meningkat sebesar% 3,49 per tahun (Lampiran 3.5.).

Gambar 3.7. Perkembangan konsumsi lada di Indonesia, 1984-2008

2.4.

Perkembangan Ekspor-Impor Lada Di Indonesia

Lada merupakan rempah-rempah yang dibutuhkan dunia sejak lama. Indonesia merupakan salah satu negara eksportir lada terbesar dunia. Ekspor lada Indonesia umumnya dalam bentuk biji kering dan lebih dari 50% produksi lada dalam negeri ditujukan untuk ekspor. Volume maupun nilai ekspor lada Indonesia sejak tahun 1969 sampai dengan 2008 tampak berfluktuasi (Gambar 3.8.). Ekspor lada tertinggi terjadi pada tahun 2000 dengan volume sebesar 65,01 ribu ton dan nilai sebesar US$ 221,09 juta. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor tahun 1969-2008 meningkat sebesar 27,83% per tahun dan nilai ekspornya tumbuh rata-rata 68,04% per tahun (Lampiran 3.6.).

Gambar 3.8. Perkembangan ekspor lada Indonesia, 1969-2008 Meskipun melakukan ekspor, Indonesia juga melakukan impor lada, dengan perkembangan per tahun juga relatif berfluktuasi (Gambar 3.9.). Volume dan nilai impor tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 16,49 ribu ton dengan nilai impor sebesar US$ 18,23 juta. Absolut volume impor lada memang tidak sebesar volume ekspor namun dari sisi pertumbuhan rata-ratanya selama tahun 1969-2008 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspornya yaitu meningkat sebesar 338,96% per tahun, sedangkan nilainya sebesar 174,21% per tahun (Lampiran 3.6.).

Gambar 3.9. Perkembangan impor lada di Indonesia, 1969-2008 Sementara neraca perdagangan lada menunjukkan surplus, artinya nilai ekspor lebih besar daripada nilai impornya. Ini menunjukkan bahwa komoditas lada merupakan salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap devisa negara meskipun surplusnya cenderung menurun. Surplus tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebesar 218,44 juta US$.

2.5

Perkembangan Luas Tanaman Produktivitas Lada Dunia

Menghasilkan,

Produksi

Dan

Perkembangan luas tanaman menghasilkan lada dunia berdasarkan data FAO periode tahun 1961-2007 terus meningkat, seperti terlihat pada Gambar 3.10. Laju pertumbuhan luas tanaman menghasilkan lada dunia tersebut meningkat rata-rata sebesar 2,89% per tahun. Tampak pada Gambar 3.10. pertumbuhan luas tanaman menghasilkan lada dunia pada periode 1998-2007 lebih tinggi, besarnya pertumbuhan rata-rata adalah 4,15% per tahun. Hal ini dikarenakan lada tidak hanya sebagai rempah bumbu masakan tetapi juga digunakan sebagai obat dan bahan baku parfum. Pertumbuhan luas tanaman menghasilkan tertinggi terjadi pada tahun 1996 dengan pertumbuhan sebesar 20,95% (Lampiran 3.7.).

Gambar 3.10. Perkembangan luas tanaman menghasilkan lada dunia, 1961-2007 Perkembangan produksi lada dunia sejalan dengan luas tanaman menghasilkan yaitu cenderung meningkat, seperti terlihat pada Gambar 3.11. Berdasarkan data FAO, selama tahun 1961-2007 produksi lada dunia meningkat sebesar 5,03% per tahun. Produksi lada dunia tertinggi selama satu dekade terakhir terjadi pada tahun 2006 sebesar 439,14 ribu ton (Lampiran 3.7.)

Gambar 3.11. Perkembangan produksi lada dunia, 1961-2007 Berdasarkan data rata-rata produksi lada dunia tahun 2003-2007, negara produsen lada terbesar dunia urutan pertama adalah Indonesia, diikuti kemudian India, Vietnam dan Brazil. Keempat negara tersebut memberikan kontribusi produksi lada dunia hingga 73%, masing-masing negara memberikan kontribusi produksi lada antara 17% hingga 18,73% (Gambar 3.12.). Secara rinci produksi

lada tahun 2003-2007 di negara-negara produsen lada dunia disajikan pada Lampiran 3.8.

Gambar 3.12. Negara produsen lada terbesar dunia, (Rata-rata 2003-2007)

Gambar 3.13. Perkembangan produktivitas lada dunia, 1961-2007 Perkembangan produktivitas lada dunia selama tahun 19612007, tampak berfluktuasi namun cenderung meningkat sebesar 1,90% per tahun (Gambar 3.13). Pertumbuhan produktivitas lada dunia tertinggi terjadi pada tahun 1962 yaitu meningkat sebesar 39,54%, sementara pertumbuhan produktivitaws lada dunia tahun 1998-2007 meningkat sebesar 2,45% per tahun (Lampiran 3.7). Produktivitas rata-rata lada dunia lima tahun terakhir (2003-2007) telah mencapai 847,64 kg/ha.

2.6

Perkembangan Ekspor-Impor Lada Dunia

Perkembangan ekspor-impor lada dunia relatif seimbang antara volume ekspor dan volume impornya, seperti yang tersaji pada Gambar 3.14. Pada periode tahun 1961-2007, pertumbuhan rata-rata volume ekspor lada dunia meningkat 3,54% per tahun, sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata volume impor lada dunia yaitu meningkat 3,08% per tahun (Lampiran 3.9).

Gambar 3.14. Perkembangan volume ekspor dan impor lada dunia, 2003-2007 Hal yang menarik dari ekspor dan impor lada dunia adalah negara-negara eksportir dan negara importir. Berdasarkan data volume ekspor lada dunia dari FAO (2003-2007), Vietnam merupakan negara eksportir tertinggi dunia dengan kontribusi sebesar 31,94% dan volume sebesar 98,38 ribu ton. Diikuti kemudian oleh Brazil pada urutan kedua dengan kontribusi sebesar 13,07% dan volume ekspor lada 40,26 ribu ton, dan Indonesia pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 12,58% dan volume ekspor lada 38,77 ribu ton (Gambar 3.15). Ketiga negara ini memberikan kontribusi ekspor lada dunia sebesar 57,59% terhadap total ekspor lada dunia. Secara rinci volume ekspor tahun 2003-2007 dari beberapa negara eksportir lada dunia disajikan pada Lampiran 3.10.

Gambar 3.15. Negara eksportir lada terbesar dunia, (rata-rata 2003-2007) Sementara itu, negara-negara importir lada dunia adalah seperti tampak pada Gambar 3.16. Negara pengimpor lada terbesar dunia adalah USA yang memberikan kontribusi sebesar 23,44% terhadap total volume impor lada dunia dengan realisasi impor sebesar 66,25 ribu ton. Negara berikutnya adalah Germany yang memberikan kontribusi sebesar 9,25% (26,14 ribu ton), diikuti India pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 5,61% (15,87 ribu ton). Negara berikutnya hanya memberikan kontribusi dibawah 5,5% terhadap total volume impor lada dunia. Secara rinci kontribusi beberapa negara importir lainnya disajikan pada Lampiran 3.11.

Gambar 3.16. Negara importir lada terbesar dunia, (rata-rata 2003-2007)

2.7

Proyeksi Penawaran Lada 2009-2011

Sebagian besar produksi lada Indonesia diperuntukkan ekspor, sehingga proyeksi penawaran lada berdasarkan perilaku harga ekspor dan luas areal lada. Berdasarkan fungsi respons dengan menggunakan model regresi berganda diperoleh informasi bahwa produksi lada Indonesia dipengaruhi oleh luas areal lada (t) dan harga ekspor 3 tahun sebelumnya (t-3). Koefisien determinasi dari fungsi respons diperoleh sebesar 94,10% yang menunjukkan bahwa peubahpeubah yang digunakan dalam model dapat menjelaskan keragaman model produksi lada sebesar 94,10%. Secara rinci hasil fungsi respon produksi lada disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Hasil analisis fungsi respons produksi lada di Indonesia

Tabel 3.1. menunjukkan bahwa produksi lada dipengaruhi oleh luas areal secara positif sebesar 0,3044, artinya setiap kenaikan luas areal tahun tersebut sebesar satu satuan, akan meningkatkan produksi lada sebesar 0,3044 satuan. Sedangkan bila harga ekspor 3 tahun sebelumnya meningkat satu satuan maka akan meningkatkan produksi lada pada tahun ke-t sebesar 3,1502 satuan. Dengan fungsi penawaran tersebut, produksi lada di Indonesia diproyeksikan akan meningkat selama periode tahun 2009-2011. Tahun 2009 diperkirakan produksi lada di Indonesia mencapai 79,41 ribu ton dan akan terus meningkat hingga mencapai 85,97 ribu ton pada tahun 2011 dengan rata-rata peningkatan sebesar 2,59% per tahun (Tabel 3.2.). Tabel 3.2. Hasil proyeksi produksi lada di Indonesia, 2009-2011

2.8

Proyeksi Permintaan Lada 2009-2011

Proyeksi permintaan lada didekati dari permintaan untuk memenuhi konsumsi perkapita oleh rumah tangga serta permintaan untuk ekspor. Data konsumsi per kapita diperoleh dari hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS) yang dilakukan setiap 3 tahun sekali dikalikan dengan jumlah penduduk. Tahun-tahun dimana tidak ada survei dihitung dengan interpolasi. Sementara, data ekspor diolah dari data yang dipublikasikan oleh BPS. Pemodelan proyeksi permintaan lada untuk konsumsi menggunakan pemulusan eksponensial berganda (double exponential smoothing) dengan MAPE sebesar 12,52. Sedangkan proyeksi permintaan untuk ekspor menggunakan pemulusan tunggal dengan nilai MAPE sebesar 86. Dari hasil pemodelan tersebut pada periode tahun 2009 2011 total permintaan lada Indonesia diproyeksikan akan sedikit menurun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1,88% per tahun. Secara absolut, total permintaan lada pada tahun 2009 diperkirakan akan mencapai 75,46 ribu ton dan akan meningkat lagi hingga mencapai 76,90 ribu tonmpada tahun 2010 dan 78,32 ribu ton pada tahun 2011. Hasil proyeksi permintaan lada oleh rumah tangga serta permintaan untuk disajikan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Proyeksi total permintaan lada di Indonesia, 2009-2011

2.9

Proyeksi Surplus/Defisit Lada 2009-2011

Berdasarkan atas proyeksi penawaran dan total permintaan lada selama periode tahun 2009 2011, maka dapat dihitung defisit/surplus ketersediaan lada di Indonesia seperti tersaji pada Tabel 3.4. Dari Tabel 3.4. ternyata masih terjadi surplus lada sebesar 3,95 ribu ton pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 7,77 ribu ton pada tahun 2010, dan sedikit menurun menjadi 7,64 ribu ton pada tahun 2011.

Tabel 3.4. Proyeksi surplus/defisit lada di Indonesia, 2009-2011

Posisi perdagangan negara pengekspor produk primer tersebut (Kebijakan Ekspor dan Impornya secara umum)? dpt dilihat dari sisi tarif atau non tarifnya. Faktor yang menyebabkan pergeseran permintaan impor lada putih Indonesia di pasar internasional adalah perubahan Bij. Peubah Bji ini terdiri dari harga komoditas lada hitam (Pik) dan pengeluaran negara i yang digunakan untuk konsumsi lada putih negara-j (Eij). Pada simulasi ini diasumsikan adanya peningkatan harga lada hitam dan peningkatan pengeluaran negara pengimpor yang digunakan untuk konsumsi lada putih menyebabkan terjadinya pergeseran permintaan lada putih Indonesia bergeser ke kanan sebesar lima persen di masingmasing pasar impor lada putih dunia. Perkembangan impor lada putih oleh negara-negara pengimpor lada putih berfluktuasi dari tahun ke tahun. Dari tahun 1977 sampai dengan tahun 2004, nampak bahwa permintaan impor lada putih oleh negara pengimpor utama lada putih dunia fluktuasinya mengarah kepada peningkatan impor. Sehubungan dengan hal inilah dilakukan simulasi adanya pergeseran permintaan lada putih di masing-masing negara pengimpor sebesar lima persen. Hasil simulasi pengaruh perubahan penggeser permintaan impor lada putih terhadap permintaan lada putih Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa peningkatan penggeser permintaan lada putih Indonesia di setiap pasar akan meningkatkan volume permintaan lada putih Indonesia di pasar yang bersangkutan dan menurunkan volume permintaan di pasar lainnya sebagai kompensasi. Selain itu kenaikan tersebut juga akan menyebabkan naiknya harga permintaan lada putih di pasar yang bersangkutan. Peningkatan harga permintaan tersebut akan merupakan insentif bagi eksportir Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor lada putihnya. Dalam pemecahan jangka pendek, jika di Amerika Serikat terjadi pergeseran permintaan lada putih Indonesia ke kanan sebesar lima persen, maka pergeseran tersebut akan menyebabkan perubahan volume permintaan lada putih Indonesia oleh Amerika Serikat, MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing sebesar 2.98, -0.45, -1.76, -1.12 dan -1.05 persen. Pergeseran permintaan sebesar lima persen di Amerika Serikat dalam jangka pendek menyebabkan terjadinya perubahan harga lada putih Indonesia sebesar 1.60 persen. Dalam pemecahan jangka panjang, adanya pergeseran permintaan lada putih Indonesia sebesar lima persen menyebabkan terjadinya: 1) perubahan volume permintaan lada putih Indonesia di Amerika Serikat, MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing sebesar 3.10, -0.28, -1.14, -0.81 dan -1.01, 2) perubahan harga lada putih Indonesia masing-masing sebesar 1.20 persen dan 3) peningkatan penawaran lada putih Indonesia sebesar 0.70 persen. Dalam pemecahan jangka pendek , pergeseran permintaan lada putih Indonesia ke kanan di pasar MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing sebesar lima persen diperkirakan menyebabkan: 1) peningkatan volume permintaan lada putih Indonesia masing-masing pasar yang bersangkutan sebesar 2.42, 2.76, 2.87 dan 1.51 persen dan 2) perubahan harga lada putih Indonesia masing-masing sebesar 2.03, 0.09, 0.11 dan 0.03 persen. Dalam pemecahan jangka panjang, pergeseran permintaan lada putih Indonesia sebesar lima persen ke kanan di pasar MEE, Jepang, Singapura dan ROW

diperkirakan menyebabkan terjadinya: 1) peningkatan volume permintaan lada putih Indonesia di masing-masing pasar yang bersangkutan sebesar 2.75, 2.80, 3.90 dan 1.53 persen, 2) peningkatan penawaran lada putih Indonesia pada setiap kejadian pergeseran permintaan ke kanan di setiap pasar sebesar 1.29, 0.45, 1.20 dan 0.28 persen. Perbedaan hasil simulasi pemecahan jangka pendek dan jangka panjang pengaruh perubahan penggeser eksogenous terhadap volume dan harga permintaan lada putih Indonesia, diperkirakan disebabkan perbedaan asumsi mengenai peubah penawaran. Dalam pemecahan jangka pendek kurva penawaran diasumsikan vertikal, sedangkan dalam pemecahan jangka panjang peubah penawaran diperlakukan sebagai peubah endogenous. Penggeser Harga Permintaan Faktor yang menyebabkan pergeseran harga permintaan lada putih Indonesia di pasar internasional adalah Tij . Perubahan Tij ini antara lain disebabkan oleh perubahan tarif impor dan biaya transportasi. Dengan disepakatinya GATT dalam Putaran Uruguay, APEC dan AFTA, maka tarif untuk semua komoditas termasuk lada putih akan menurun, sehingga perlu dilihat pengaruh turunnya tarif impor terhadap perubahan volume dan harga permintaan lada putih Indonesia. Dalam simulasi ini disamping dilakukan simulasi terhadap pengaruh penurunan tarif impor juga dilakukan simulasi adanya kenaikan biaya transportasi dan adanya perubahan penawaran. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Tabel 2 berikut.

Dalam pemecahan jangka pendek, penurunan tarif impor oleh Amerika Serikat sebesar tiga persen menyebabkan: 1) peningkatan volume permintaan lada putih

Indonesia di Amerika Serikat sebesar 0.42 persen, 2) penurunan harga lada putih di Amerika Serikat sebesar -0.20 persen, dan 3) penurunan arus perdagangan lada putih Indonesia di pasar MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing sebesar -0.04, -0.04, -0.07 dan -0.03 persen. Hasil simulasi pemecahan jangka panjang menunjukkan bahwa adanya penurunan tariff impor sebesar tiga persen di Amerika Serikat menyebabkan terjadinya; 1) peningkatan volume permintaan lada putih Indonesia di Amerika Serikat sebesar 0.50 persen, 2) penurunan harga lada putih Indonesia di Amerika Serikat sebesar -0.18 persen, 3) penurunan arus perdagangan lada putih Indonesia di pasar MEE, Jepang, Singapura dan ROW masingmasing sebesar -0.03, -0.02, -0.06 dan -0.02 persen, dan 4) peningkatan penawaran ekspor lada putih Indonesia ke seluruh negara sebesar 0.08 persen. Dalam pemecahan jangka pendek, pengaruh penurunan tarif impor sebesar tiga persen di MEE, Jepang, dan ROW menyebabkan terjadinya: 1) peningkatan volume permintaan lada putih Indonesia oleh MEE, Jepang dan ROW masingmasing sebesar 1.31, 2.58 dan 2.00 persen, dan 2) penurunan harga lada putih Indonesia di MEE, Jepang, dan ROW masingmasing sebesar -0.24, -0.12, -0.10 persen. Hasil simulasi pemecahan jangka panjang menunjukkan bahwa adanya penurunan tariff sebesar tiga persen di MEE, Jepang dan ROW diperkirakan menyebabkan terjadinya: 1) peningkatan volume permintaan lada putih Indonesia di MEE, Jepang dan ROW masingmasing sebesar 1.37, 2.60 dan 2.01 persen, 2) penurunan harga lada putih Indonesia di MEE, Jepang dan ROW masing-masing sebesar -0.17, -0.11 dan -0.07 persen dan 3) peningkatan penawaran ekspor lada putih Indonesia ke seluruh negara masing-masing sebesar 0.23, 0.21 dan 0.11 persen. Perubahan biaya transportasi sering terjadi dalam pengapalan lada putih Indonesia ke negara pengimpor. Perubahan biaya transportasi ini biasanya berkaitan erat dengan perubahan harga bahan bakar, perubahan upah tenaga kerja dan pelayanan di bidang transportasi. Dalam pemecahan jangka pendek, peningkatan biaya transportasi lada putih Indonesia di semua mitra dagang sebesar lima persen yaitu ke Amerika Serikat, MEE, Jepang, Singapura dan ROW menyebabkan: 1) penurunan volume perdagangan lada putih Indonesia ke pasar Amerika Serikat, MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing sebesar -0.68, -0.24, - 1.43, -2.16 dan -2.27 persen, 2) peningkatan harga lada putih Indonesia sebesar 2.70 persen. Hasil simulasi pemecahan jangka panjang menunjukkan bahwa adanya peningkatan biaya transportasi sebesar lima persen di semua mitra dagang menyebabkan: 1) penurunan volume perdagangan di Amerika Serikat, MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing sebesar -0.70, -1.30, -1.45, -2.25 dan -2.28 persen, 2) peningkatan harga lada putih Indonesia sebesar 2.93 persen dan 3) penurunan penawaran lada putih Indonesia sebesar -0.70 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa adanya peningkatan biaya transportasi sebesar lima persen menyebabkan negara ROW atau sisa dunia relatif lebih banyak berkurang volume permintaan impor lada putih dari Indonesia dibandingkan negara lainnya. Hal ini dapat dipahami karena

umumnya negara ROW atau sisa dunia merupakan pasaran baru bagi Indonesia dan umumnya dikuasai oleh Singapura. Penggeser Eksogenous Penawaran Faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran penawaran ekspor lada putih Indonesia antara lain perubahan biaya input produksi, perubahan teknologi produksi dan pengolahan dan ekstensifikasi. Pengaruh penggeser eksogenous penawaran hanya dapat disimulasikan pada pemecahan jangka pendek, sedangkan untuk pemecahan jangka panjang peubah penawaran merupakan peubah endogenous. Hasil simulasi peningkatan penawaran lada putih Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil simulasi jangka pendek menunjukkan bahwa peningkatan penawaran lada putih Indonesia sebesar lima persen menyebabkan penurunan harga lada putih sebesar -2.40 persen. Penurunan harga lada putih ini akan menyebabkan peningkatan volume permintaan lada putih Indonesia di pasar Amerika Serikat, MEE, Jepang, Singapura dan ROW masing-masing adalah sebesar 1.20, 1.56, 2.10, 3.95 dan 2.67 persen. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa peningkatan penawaran lada putih Indonesia dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Singapura, seperti ditunjukkan oleh perubahan volume permintaan impor. Peningkatan volume permintaan impor Singapura relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Negara pengimpor lainnya.

Dampak positif dan negative dari kasus perdagangan komoditas lada di Indonesia:
Dampak positif :

a. Semakin meluasnya area penanaman lada Luas areal tanaman lada yang diusahakan di Indonesia pada periode 19672008 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan laju pertumbuhan rata-ratanya 4,34% per tahun. Pertumbuhan rata-rata pasca krisis ekonomi Indonesia (1998-2008) menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 5,36% per tahun. b. Semakin meningkatnya produktifitas lada Indonesia Total produksi lada Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 16,50 ribu ton pada tahun 1967 menjadi 79,79 ribu ton pada tahun 2008 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8,08% per tahun c. Menyumbang terhadap devisa negara Indonesia Lada merupakan salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap devisa negara. Indonesia pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 12,58% dan volume ekspor lada 38,77 ribu ton. d. Meluasnya area penanaman lada dapat meningkatkan pendapatan masyarakat baik yang bekerja di perkebunan besar, perkebunan swasta, ataupun perkebunan rakyat.

Dampak negatif : a. Konsumsi penduduk Indonesia yang tinggi menyebabkan Indonesia harus tetap mengimpor lada dari negara lain , hal ini menyebabkan surplus penjualan lada berkurang dan devisa yang dihasilkan tidak sebanyak dengan jika kita tidak mengimpor lada. b. Kurangnya teknologi dalam hal pengolahan komoditas lada sehingga Indonesia hanya mampu mengekspor lada dalam bentuk bijinya langsung yang mempunyai profit yang rendah bila dibandingkan dengan mengekspor lada dalam bentuk barang olahan, seperti lada bubuk. Hubungannya dengan ketentuan Perundang-undangan di Uruguway atau GATT atau WTO! (pilih case macthingnya). Penggeser Permintaan Ketentuan Perundang Undangan Dalam Komoditas Lada WTO (World Trade Organisation) dibentuk untuk mengelola perdagangan dunia yang telah disepakati dan tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). GATT yang tadinya hanya ditujukan untuk mengatur perdagangan, telah memasuki bidang-bidang lain seperti HAKI, investasi, perburuhan sampai kepada masalah pengadaan pemerintah. WTO dengan berbagai komisi dan badan didalamnya sangat didominasi oleh negara-negara maju (G-8). WTO adalah birokrasi dengan pemihakan kepada negara-negara industri. Dalam perdagangan internasional komoditas lada terdapat beberapa permasalahan yang dialami Negara penghasil lada khususnya di Indonesia. Beberapa permasalahan ini juga mampu mempengaruhi Negara pengimpor maupun harga lada internasional karena itulah WTO sebagai organisasi yang dinilai paling berhak dalam mengatur perdagangan internasioanal mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam menanganinya. Permasalahan yang Dialami Negara Pengekspor Lada Lada (Piper nigrum L.) disebut sabagai raja dalam kelompok rempah (King of Spices), karena merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan. Lada merupakan komoditas Indonesia yang sudah diekspor ke Eropa sejak abad ke 12. Produk lada yang diperdagangkan adalah lada putih dan lada hitam dalam bentuk buah utuh. Daerah utama penghasil lada putih adalah propinsi Bangka - Belitung yang dikenal dengan sebutan Muntok White pepper, sedangkan daerah yang terkenal dengan produksi lada hitamnya adalah Lampung dengan sebutan Lampung Black Pepper. Perkebunan lada di Indonesia sebagian besar (99,90%) merupakan perkebunan rakyat, dengan ciri pemilikan lahan yang sempit, lokasi yang terpencar, terbatasnya modal, sarana/prasarana, pengetahuan serta keterampilan untuk mengembangkan usahanya. Permasalahan utama agribisnis lada nasional adalah tingkat produktivitas tanaman dan mutu yang rendah, tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit, usahatani yang belum efisien, Peraturan

masih rendahnya usaha peningkatan mutu dan diversifikasi produk, serta lambatnya proses alih teknologi ke tingkat petani.

Persaingan perdagangan lada di pasar dunia semakin kompetitif karena persyaratan yang diminta negara -negara konsumen semakin ketat terutama dalam jaminan mutu, aspek kebersihan dan kesehatan. Hanya negara yang mampu memproduksi lada dengan mutu sesuai keinginan konsum en dan harga yang kompetitif akan berpeluang meraih pasar. Volume ekspor lada Indonesia selama periode 1980 sampai 2000 mengalami peningkatan dari 29.680 ton tahun 1980, menjadi 48.442 ton pada tahun 1990, dan meningkat lagi menjadi 65.011 ton pada tahun 2000, dengan rata rata peningkatan sebesar 5,95 % per tahun. Namun demikian selama periode antara 2001 dan 2005 volume dan nilai ekspor lada berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan.Pendapatan dari ekspor lada tertinggi dicapai pada tahun 2000 yaitu sekitar US $ 221 juta dan terendah mencapai US $ 60 juta pada tahun 2004. Selama periode lima tahun terakhir (2001-2005), jumlah lada hitam Indonesia yang diekspor cenderung semakin menurun, sebaliknya ekspor Vietnam meningkat dengan tajam. Pada tahun 1995 Vietnam menduduki posisi keempat sebagai pengekspor lada hitam sedang Indonesia ada di posisi pertama, tetapi sejak tahun 2000, Vietnam menjadi negara pengekspor terbesar lada hitam di dunia. Hal ini digambarkan dalam gambar 1. Gambar 1. Perkembangan ekspor lada hitam Vietnam, Indonesia, dan total ekspor di dunia tahun 1995-2006

Perkembangan harga lada di pasar dunia cenderung fluktuatif. Harga lada hitam, tahun 2000 mencapai 4,355 US $/ton, turun menjadi 1,346 US $/ton pada tahun 2005, dan meningkat lagi menjadi 2,179 US $/ton pada Agustus 2006. Pola serupa juga terjadi pada harga lada putih, yaitu sebesar 4, 321 US $/ton tahun 2000 turun menjadi 2,232 US $/ton tahun 2005, kemudian meningkat lagi mencapai 3,138 US $/ton pada Agustus 2006. Permintaan lada dunia cenderung meningkat yang ditandai dengan meningkatnya import lada di negara -negara konsumen dari tahun ke tahun, pada tahun 1995 konsumsi dunia mencapai 211.348 ton, dan meningkat menjadi 285.945 ton pada tahun 2004 Tingginya fluktuasi harga lada dunia menyebabkan Negara penghasil atau pengekspor lada maupun Negara pengimpor lada memberikan proteksi. Bentuk proteksi yang berupa tariff maupun subsidi dikhawatirkan mempengaruhi system perdagangan

internasional. Karena mengatasinya.

itulah

sejumlah

kebijakan

diambil

WTO

untuk

Solusi WTO Dalam Mengatasi Masalah Perdagangan Internasional Komoditas Lada Pertanian telah diatur oleh WTO sejak tahun 1995. Dinamai sebagai Perjanjian Pertanian (Agreement on Agruculture / AOA) tahap I. Tujuannya, agar setiap negara mau menghapus tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya. Intinya, meminta diterapkannya perdagangan bebas produk-produk pertanian dan sistem pertanian yang liberalistik. Perundingan AOA tahap-II dimulai kembali sejak Januari 2000 sampai sekarang, seiring dengan diadakannya Putaran Doha sejak tahun 2003. Saat ini tujuannya lebih ambisius lagi, yaitu pengurangan tarif dan pemotongan subsidi lebih lanjut. Akan tetapi negara maju tetap tidak mau memotong subsidinya. Padahal subsidi tersebut faktanya menjadi dumping ke negara berkembang. Sebaliknya negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memotong lagi tarifnya lebih besar, sebagaimana usulan penggunaan formula Swiss, dan subsidi yang terbatas. Ini berarti Indonesia akan kebanjiran produk-produk pertanian dari luar lebih banyak lagi, yang akan mematikan produk-produk pertanian petani. Untuk mengatasi dan menjbatani berbagai kepentingan ini maka diadakanlah konferensi WTO di hongkong. Hal ini dilakukan karena Negara maju mendesak agar seluruh modalitas pertanian dapat diselesaikan hingga 30 April 2006 serta pengesahannya pada 30 Juli 2006, sehingga tenggat waktu Putaran Doha pada 31 Desember 2006 dapat tercapai. Penekanan ini dilakukan sendiri oleh Pascal Lamy, Dirjen WTO yang mantan komisioner perdagangan Uni-Eropa. Sudah jelas bahwa Lamy telah berfungsi sebagai negosiator bagi kepentingan Negara-negara maju, dan tidak bersifat netral sebagaimana seharusnya seorang Dirjen WTO. Tekanan-tekanan akan dilakukan dalam Mini-Ministerial tanggal 29 April s/d 3 Mei 2006; sidang General Council tanggal 15-16 Mei 2006; dan sidang General Council tanggal 27-28 Mei 2006. Kelihatan sekali adanya rekayasa untuk segera menyelesaikan perundingan dalam sidang-sidang yang berjangka waktu sangat pendek ini. namun hasil konferensi WTO justru dinilai sangat merugikan, hal itu tergambar pada keputusan: Dalam Konperensi WTO ke-6 di Hong Kong, diakui bahwa SP bersifat self-designate (ditentukan sendiri), tetapi ini hanya akan mengenai beberapa produk (some products) saja. Ini kerugian besar, karena bagi Indonesia, ada banyak sekali produk spesial yang perlu diperjuangkan sesuai dengan keadaan daerah dan prioritas komoditasnya. Lagipula SP masih akan melalui perundingan untuk menentukan kriteria, besarannya dan sebagainya. Sementara fasiltas Produk Sensitif (sensitive products) untuk dipakai negara maju, langsung disetujui tanpa perundingan Adanya kesepakatan untuk penghentian subsidi eksport pada tahun 2013, merupakan manipulasi perundingan, karena berarti subsidi yang sekarang akan tetap diteruskan dan merugikan negara-negara berkembang/LDC. Sudah terlambat untuk berharap di tahun 2013.

Hasil KTM Hong Kong sama sekali tidak menyentuh soal subsidi domestik sehingga negara maju kini bebas mensubsidi. Bahkan subsidi domestik juga sering dipakai untuk produk-produk yang akan dieksport. Hasil KTM Hong Kong juga tidak mempersoalkan kotak biru baru (new blue box) yang akan dipakai negara maju untuk melanggengkan subsidinya, seperti subsidi counter-cyclical payment-nya AS Juga tidak ada upaya mendisiplinkan kotak hijau (green box) yang dipakai terus menerus oleh negara-negara maju dalam memberikan subsidi-subsidinya, khususnya decoupled payment (pembayaran yang tidak terkait produksi). Termasuk juga adalah pemindahan subsidi (boxshifting) ke kotak hijau, sehingga subsidi negara maju tidak akan dapat dihapus Tekanan untuk penyelesaian modalitas pertanian pada 30 April 2006, sehingga hasil perundingan yang curang ini dapat disahkan segera.

WTO sebagai organisasi yang dinilai berhak mengatur berbagai kepentingan pihak pihak yang terlibat dalam perdagangan lada internasional membuat kebijakan dengan menghapuskan subsidi maupun tariff proteksi bagi produk pertanian,termasuk lada. Namun beberapa pihak berpendapat WTO mengambil keputusan ini berdasarkan kepentingan lain yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. Karena itulah Indonesia sebagai penerima kebijakan justru mengembil tindakan: Tetap bersikukuh bahwa SP/SSM dapat diberlakukan secara sepihak dan dapat diberlakukan kepada banyak (ratusan) komoditas pertanian Indonesia. Salah satu yang perlu ditegaskan adalah perlunya dijalankan QR (Quantitative restriction) sebagai bagian dari SP/SSM, serta prinsip bahwa pangan bukanlah urusan perdagangan melainkan masalah hak-hak asasi manusia Muatan pembangunan harus sepenuhnya diadakan di dalam agenda pertanian. Ini termasuk perlu diadakannya kotak biru pembangunan (development blue box) bagi negara-negara berkembang/miskin Menolak pemotongan tarif pertanian lebih lanjut, karena yang sekarang saja yang merupakan hasil dari Uruguay Round sudah cukup rendah Mengagendakan masalah komoditas tropis untuk mewujudkan perdagangan yang adil, dengan mendukung proposal dari Afrika dan Amerika Latin. Indonesia perlu berperan kuat dalam hal ini, karena merupakan penghasil banyak komoditas tropis.

PENUTUP Lada atau merica (Piper nigrum L.) adalah tumbuhan penghasil rempahrempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan dunia. Perdagangan intenasional lada di beberapa negara mengalami kenaikan fluktuasi yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan produksi lada di setiap negara sangat menunjukkan angka yang maksimal. Indonesia merupakan negara penghasil lada terbesar di dunia. Vietnam merupakan negara eksportir lada, sedangkan Amerika merupakan negara importir lada. Pertanian telah diatur oleh WTO sejak tahun 1995. Dinamai sebagai Perjanjian Pertanian (Agreement on Agruculture / AOA) tahap I. Tujuannya, agar setiap negara mau menghapus tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya.

DAFTAR PUSTAKA Outlook Pertanian - Perkebunan 2009. Diakses Pada Tanggal 12 April 2011. Bustami, Gusmardi, Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional 2005 2009,diakses selasa 12 april 2011
http://www.globaljust.org diakses Senin 18 april 2011

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Kecurangan%20dalam %20Perundingan%20Sektor%20Pertanian%20di %20WTO&&nomorurut_artikel=296 diakses senin 18 april 2011

LAMPIRAN Lampiran 3.1. Perkembangan Luas Areal Lada Indonesia Menurut Status Pengusahaannya, 1967 2008

Sumber : Ditjen Perkebunan Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta

*) = Angka Sementara Lampiran 3.2. Perkembangan pengusahaannya, 1967 2008

produksi

lada

Indonesia

menurut

status

Sumber : Ditjen Perkebunan Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta PBN = Perkebunan Besar Negara

*) = Angka Sementara Lampiran 3.3. Perkembangan produksi lada pada provinsi sentra di Indonesia, 2004 2008

Sumber : Ditjen Perkebunan, diolah Pusdatin Keterangan : *) angka sementara Lampiran 3.4. Perkembangan luas tanaman menghasilkan, produksi dan produktivitas lada Indonesia menurut status pengusahaan, 2004 -2008

Sumber : Ditjen Perkebunan Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta *) = Angka Sementara

Lampiran 3.5. Perkembangan konsumsi lada per kapita di Indonesia, 1984-2008

Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) Hasil Interpolasi

Lampiran 3.6. Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan lada Indonesia, 1969 2008

Sumber : BPS dan Ditjen Perkebunan, diolah Pusdatin

Lampiran 3.7. Perkembangan luas tanaman menghasilkan, produksi dan produktivitas lada dunia, 1961 2007

Sumber :FAO

Lampiran 3.8. Negara produsen lada terbesar dunia, 2003 2007

Sumber : FAO, diolah Pusdatin

Lampiran 3.9. Perkembangan ekspor-impor lada dunia, 1961 2007

Sumber : FAO, diolah Pusdatin

Lampiran 3.10. Negara eksportir lada terbesar dunia, 2003 2007

Sumber : FAO, diolah Pusdatin Lampiran 3.11. Negara importir lada terbesar dunia, 2003 2007

Sumber : FAO, diolah Pusdatin

Anda mungkin juga menyukai