TUGAS AKHIR
PRODUK KLIPING ELEKTRONIK
INDUSTRI KELAPA SAWIT
Disusun Oleh:
( 070610482 T)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
TUGAS AKHIR
PRODUK KLIPING ELEKTRONIK
Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu Syarat menyelesaikan studi pada
Program Studi Teknisi Perpustakaan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Disusun oleh :
DINNAR CINCINTYA L.R
( 070610482 T)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui
Dosen Pembimbing
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
LEMBAR PENGUJIAN
Mengetahui
Ketua Penguji
Penguji I
Penguji II
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
MOTTO
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
HALAMAN PERSEMBAHAN
Allah Swt
yang senantiasa memberikan kemudahan dan
kesehatan kepada penulis dalam menyusun Tugas
Akhir
My Parents
Yang telah melahirkan, merawat, dan melimpahkan
seluruh kasih sayang yang tak terhingga padaku.
My Sisters N My Brother
Yang telah memberikan semangat dan banyak
bantuan bagiku..
My Friend
Temen temenQ sMuanya, terutama semua anak
PSTP Angkatan 2006 I LOVE U ALL. !
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
KATA PENGANTAR
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
4. Ibu Dyah Puspitasari, S.Kom. selaku dosen wali yang telah mendidik dan
mengarahkan, selama mengikuti perkuliahan.
5. Seluruh staf pengajar yang tidak henti-hentinya memberikan tuntunan dan
bimbingan kepada penulis, guna menyelesaikan studi di D3 Teknisi Perpustakaan.
6. Pak Pri, Mas Arif dan seluruh staf / karyawan Program Studi D3 Teknisi
Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Surabaya.
7. Bapak Sjaiful Chanafi. selaku Kepala Perpustakaan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Timur ( BPTP Jatim ) dan juga seluruh staf dan karyawan yang
telah banyak membantu penulis.
8. Seluruh keluarga penulis yang telah memberi doa restu, bimbingan, dorongan
serta nasehat-nasehat yang bermakna bagi penulis.
9. Rima Sekeluarga yang telah banyak membantu dan memberi semangat Penulis.
10. Anita dan diah yang telah banyak membantu dan memberi dukungan dalam
penyusunan Laporan Tugas Akhir ini
11. Semua teman - teman PSTP 2006, terima kasih banyak atas doa dan
dukungannya.
12. Semua teman-teman warga FISIP Universitas Airlangga, yang telah banyak
membantu dan memberikan semangat, sehingga terselesainya penyusunan
Laporan Tugas Akhir ini.
Mengingat keterbatasan jangkauan bahan yang dapat dikumpulkan, dengan
sendirinya kekomprehensifan dalam Laporan Tugas Akhir Produk Kliping Elektronik
Industri Kelapa Sawit ini ada batasnya. Oleh sebab itu uluran informasi dan data
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
untuk penyempurnaan isi buku ini, akan sangat diterima oleh penulis dengan senang hati.
Mudah-mudahan, dengan segala kekurangannya Laporan Tugas Akhir Kliping Elektronik
Industri kelapa Sawit dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa maupun pembaca
lain yang ingin mengetahui informasi lebih jauh tentang subyek yang sedang dibahas oleh
penulis dalam laporan Tugas Akhir ini.
Penulis
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
DAFTAR ISI
Tugas Akhir
11
Dinnar Cincintya L. R.
11
14
17
17
21
26
38
50
312
DAFTAR PUSTAKA......
314
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
pustaka yang diatur secara sistematis dan dapat digunakan oleh pemakainya sebagai
sumber informasi. ( Sugiyanto )
Peran sebuah perpustakaan juga semakin berkembang selain membantu
mengelola dan menyimpan sebuah buku / data / informasi, Perpustakaan juga
menyajikan informasi informasi yang selalu up to date sehingga informasi dapat
dengan mudah diakses oleh pengguna.
Dalam Kegiatannyapun, Perpustakaan juga mengalami perkembangan, yang
semula pengolahannya maupun cara penelusurannya dilakukan secara manual seperti
menggunakan Kartu Katalog sekarang dilakukan secara digital dengan menggunakan
penelusuran CDS ISIS, OPAC maupun lain lain. Berbagai informasi yang dulu
disajikan dalam bentuk cetak sekarang dikemas dalam suatu bentuk elektronik.
kemunculan kemuculan suatu media elektronik mendorong Pustawan untuk
melakukan pengolahan koleksi menjadi kliping elektronik.
Kliping yang kita kenal selama ini adalah kumpulan informasi/berita/artikel
dari surat kabar atau majalah. Proses pembuatannya dengan cara menggunting,
memotong dan menempel pada selembar kertas. Dikelompokan dalam subjek tertentu
kemudian di bendel. Sedangkan yang dimaksud dengan kliping elektronik adalah
kumpulan artikel file elektronik/komputer (digital) yang diproses menggunakan
software tertentu. Data digital tersebut hasil proses pengetikan secara elektronik
maupun proses scanning. Dengan adanya layanan kliping elektronik maka akan
memudahkan pengguna untuk mengakses informasi dengan cepat dan murah.
Penyusunan tugas akhir ini, penulis menentukan Tema mengenai Industri
kelapa sawit. Pembuatan kliping elektronik ini dilakukan
dengan cara
mengumpulkan artikel artikel yang ada pada situs situs internet, kemudian diolah
menggunakan komputer dan disajikan kepada pemakai melalui elektronik alih media
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
yang disimpan dan disajikan dalam bentuk home page yang sebelumnya telah diolah
dengan program software desain web yaitu Microsoft FrontPage 2003 dan dipadukan
dengan software lainnya kemudian diolah dan disimpan di dalam bentuk CD-ROM.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
munculnya krisis maupun isu global, maka berbagai hambatan dan konflikpun
muncul. Apalagi industri sawitpun merosot. Harga harga CPO dipasaran sangat
tinggi sehingga petani pun tidak mampu untuk memasok benih kelapa sawit
apalagi pengusaha pengusaha sawit terus melakukan penebangan hutan secara
liar untuk membuka lahan sawit baru. Dalam mengatasi konflik atau masalah
yang terjadi dalam indusri sawit maka pemerintah turut membantu dalam
pengembangan industri ini. Berbagai upaya dilakukan mulai dari membantu
petani sawit dalam memasok benih hingga memasarkan produk industri sawit
keluar negeri dengan memudahkan kegiatan ekspor impor sawit.
Informasi-informasi yang berasal dari artikel yang di kumpulkan oleh penulis
ini pun, juga berdasarkan fenomena pengembangan industri kelapa sawit Bagi
perekonomian Indonesia. Masalah-masalah yang di bahas di setiap artikel dalam
produk kliping ini, umumnya bermacam-macam dan cukup memenuhi kebutuhan
user (pemustaka) akan informasi tersebut.
menurut
ilmu
perpustakaan.
Klasifikasi
adalah
proses
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
c) Desain Internet
Pembuatan Home page pada kliping elektronik ini sangat berhubungan
dengan mata kuliah ini. Pada perkuliahan ini penulis diajarkan tentang
pengenalan HTML serta cara mendesain sebuah halaman web Sehingga
menjadi tampilan web yang menarik. Dengan tinjauan mata kuliah ini, maka
mendukung tampilan kliping elektronik ini, yaitu melalui Microsoft Front
Page yang sebenarnya adalah serangkaian program komputer yang
memungkinkan penulis merancang, membuat, menyunting, menyimpan, dan
mempublikasikan web-web.
e) Online Searching
Mata kuliah ini berhubungan tentang cara menelusur bahan koleksi /
artikel artikel yang dibutuhkan dengan menggunakan media digital di dalam
sebuah perpustakaan. Materi yang diajarkan meliputi tentang jaringan
komputer, online database, internet
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
f) Audio Visual
Audio Visual merupakan alih bentuk sajian informasi yang semula hanya
dapat di baca dan dilihat saja melalui gambar dan tulisan tak bergerak ke
dalam gambar yang bisa bergerak (animasi) sekaligus bisa di dengar sehingga
lebih mnenarik untuk disimak. Pada mata kuliah ini penulis diperkenalkan
pada koleksi multi media serta sarana pendukung seperti alat alat yang
dipakai dalam integrasinya seperti film, cd, rekaman, televisi.
g) Automasi Perpustakaan
Otomasi Perpustakaan adalah sebuah sebuah proses pengelolaan
perpustakaan dengan menggunakan bantuan teknologi informasi (TI). Dengan
bantuan teknologi informasi maka beberapa pekerjaan manual dapat
dipercepat dan diefisienkan. Selain itu proses pengolahan data koleksi menjadi
lebih akurat dan cepat untuk ditelusur kembali.Sedangkan Otomasi
perpustakaan (Library Automation) adalah pemanfaatan TI untuk kegiatan kegiatan perpustakaan meliputi : pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan
menyebar luaskan informasi) dan mengubah sistem perpustakaan manual
menjadi system perpustakaan terkomputerisasi.
Dengan
adanya
Mata
kuliah
ini
maka
menbantu
penulis
untuk
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Penenyusun
dan
mencari
Produk
kliping
elektronik,
penulis
mengumpulkan artikel yang sesuai subjek yang dibahas dengan menelusur di situs
situs internet atau alamat web. Adapun situs situs yang penulis Telusuri, yaitu :
http : // www.kompas.com
http : // www.Bisnis.com
http : // www.korantempo.com
http: // public.kompasiana.com
http://erik12127.wordpress.com
http://julyono.multiply.com/journal/item/6
http://www.detikriau.com
http: // infosawit.com
http://cetak.bangkapos.com
http://apwardhanu.wordpress.com
http://www.fair-biz.org/artikel.php?id=29&lang=1
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7251&coid=1&caid=2
3
Tugas Akhir
http://www.balioutbound.com
Dinnar Cincintya L. R.
BAB II
METODE PENYUSUNAN DAN PENELUSURAN KLIPING
Teknologi Informasi sangat berperan penting bagi kehidupan saat ini, dengan
adanya teknologi maka kegiatan didalam suatu lembaga dapat dilaksanakan dengan baik
dan seefisien mungkin. Teknologi Informasi berasal dari kata teknologi dan mempunyai
kesamaan antara Teknologi informasi = TI (Information Technolgi = IT), yang
merupakan kombinasi teknologi yang digunakan untuk pengolahan data, menyimpan
data dan untuk menyebar-luaskan informasi. Dan Secara umum teknologi informasi
adalah hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari bagian
pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi tersebut akan : lebih cepat, lebih
luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya.
Salah satunya adalah Komputer, komputer merupakan sarana pembantu dalam
pengembangan teknologi informasi. Dengan adanya komputer maka pekerjaan akan lebih
mudah. Didalam Sebuah perpustakaan Teknologi informasi merupakan bagian yang
penting karena dengan adanya teknologi maka Ledakan informasi yang makin
membanjiri dunia saat ini dapat diolah secara sistmatis, selain itu
pengguna untuk mencari atau menemukan kembali informasi,
mempermudah
Membantu pekerjaan
menjadi lebih cepat dengan Pencatatan buku-buku baru serta pengolahan akan lebih
mudah jika disimpan, Memudahkan tukar-menukar informasi dalam bentuk data, dan
Salinan data atau informasi yang dibuat dapat diseragamkan sehingga memudahkan
pengguna lainnya (user friendly), serta
semenarik mungkin
Bab II - 10
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Dinnar Cincintya L. R.
adalah sebagai media informasi yang meyajikan informasi berupa artikel artikel
tentang Industri kelapa sawit. Sehingga di harapkan informasi yang terkandung
Bab II - 12
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
didalam kliping elektronik ini, akan dapat di akses oleh user (pengguna) dengan
cepat, tepat, dan akurat.
3.
sawit dan didalam subyek tersebut penulis mencakup beberapa sub yang telah
ditentukan oleh penulis. Sub tersebut meliputi Ekspor impor, masalah - masalah
dan Upaya Pengembangan Industri kelapa sawit.
4. Mencari Materi Kliping
Setelah penulis menentukan tema dan tujuan pembuatan kliping, maka tahap
selanjutnya adalah mencari data-data yang di gunakan sebagai materi dalam
kliping, data-data tersebut berupa artikel artikel yang berkaitan dengan subyek
Industri kelapa sawit yang di dapat melalui media elektronik, yaitu melalui
internet, dengan menelusur di berbagai situs-situs internet yang ada.
5. Menentukan Format Sistematika Penyusunan dan Penelusuran Kliping
Proses yang harus di lakukan untuk menyusun dan menelusur kliping, adalah
dengan menentukan format sistematika, hal ini dilakukan
untuk memudahkan
pemustaka untuk menelusur informasi secara cepat , tepat, dan akurat. Dan proses
penelusurannya Pemustaka bisa menelusur informasi melalui indeks judul dan
pengarang, atau dapat juga melalui artikel maupun abstraknya, yang telah di susun
secara sistematis.
6. Melakukan proses pembuatan kliping
Langkah-langkah yang harus di lakukan penulis dalam pembuatan kliping
ini, adalah :
Bab II - 13
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Bab II - 14
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Contoh :
Ekspor impor
(a)
(c)
http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=161&coid=1&ca
id=23
(d)
Keterangan :
a.
Sub Subyek
b.
judul artikel
c.
d.
Alamat sumber
2. Indeks Judul
Artikel-artikel yang menjadi materi kliping ini, di susun secara sistematis
berdasarkan abjad judul artikel dan di ikuti dengan nama penulis atau pengarang
artikel tersebut, penulisan nama pengarang artikel dalam indeks ini, semuanya di
balik.
Contoh :
Industri sawit dikawal isu lingkungan
(a)
Sihombing, Martin
(b)
http://web.bisnis.com/artikel/2id1494.html
(c)
Keterangan :
a. Judul artikel
b. Nama pengarang artikel yang telah di balik
Bab II - 15
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
c. alamat sumber
3. Indeks Pengarang
Dalam penyajian kliping ini, indeks pengarang di susun berdasarkan abjad
nama pengarang yang telah di balik.
Contoh :
Hadisiswoyo, Panut
(a)
(b)
http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=369&db=artikel (c)
Keterangan :
a. Nama pengarang artikel yang telah di balik
b. Judul artikel
c. Alamat sumber
4. Abstrak
Dalam penyajian kliping ini, terdapat abstrak yang memberikan sedikit
gambaran tentang artikel yang di muat.
Contoh :
Minyak sawit berkilau, bank gelontorkan kredit
(a)
Achmad, Fahmi
(b)
http://web.bisnis.com/artikel/2id390.html
(c)
Bab II - 16
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK (d)
Dahulu sektor perkebunan belum banyak dilirik perbankan karena dinilai berisiko
tinggi. Namun sejak pemerintah menggelar program revitalisasi 2006-2010, dana publik
di bank pun mengucur deras ke sektor perkebunan.
Program revitalisasi perkebunan dengan kebutuhan dana Rp40 triliun pada 2 juta
hektare
pengembangan komoditas ini diterpa isu kartel, Tapi kilau harga crude palm oil masih
cukup menggiurkan bagi perbankan mencari bunga besar dengan memberikan pinjaman
kepada perusahaan-perusahaan yang bermain di kebun sawit.
Keterangan :
a. Judul artikel
b. Nama pengarang artikel yang telah dibalik
c. Alamat Sumber
d. Abstrak dari artikel
Dinnar Cincintya L. R.
Klik menu Start pada komputer, kemudian klik All Programs, dan pilih
menu Microsoft FrontPage, sehingga muncul tampilan seperti berikut ini :
Setalah itu kita dapat membuat halaman web dengan membuka halaman web
kosong lebih dahulu, dengan klik menu File, tunjuk Folder New, dan klik
perintah Page or Web, dan pilih Blank Page untuk membuka halaman
kosong, seperti terlihat pada di bawah ini.
Bab II - 18
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Setelah mengetikkan teks informasi pada halaman web, kita bisa memberi
warna atau gambar pada latar belakang halaman web / memberi warna
background tersebut dengan memakai fasilitas Theme pada FrontPage, dengan
mengklik Format, klik Theme pada menu, sehingga muncul tampilan seperti
di bawah ini :
Gambar 3. Tampilan saat menyisipkan Theme dalam Web
Bab II - 19
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Jika kita ingin menampilkan informasi agar lebih mudah di akses dari setiap
halaman-halaman web yang terpisah, maka kita bisa menampilkannya pada
halaman Frame (Frame Pages). Untuk membuka Frame baru, kita harus
mengklik menu File, tunjuk Folder New, Klik perintah Page or Web, untuk
menampilkan panel tugas New or Page. Pada panel tugas, klik perintah Page
Templates untuk menampilkan kotak dialog Page Templates, lalu klik tab
Frame Pages dan pilih menu Banner and Contents, kemudian klik OK
untuk menutup kotak dialog, sehingga halaman Frame yang di pilih tersebut
akan muncul seperti.
Untuk memperindah tampilan pada halaman web, maka kita bisa menggunakan
bebeapa fasilitas pada Microsoft FrontPage, di antaranya yaitu :
9 Page Transition
Menu ini gunakan untuk memperindah dari satu halaman web ke halaman web
berikutnya.
Bab II - 20
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
9 Teks berjalan
Supaya halaman web terlihat dinamis, kita bisa membuat teks berjalan dengan
mengklik Insert, klik perintah Web Component, pilih Dynamic Effect dan klik
menu Marquee, maka akan muncul kotak dialog yang bisa kita pilih untuk
memformat tampilan dari teks yang berjalan tersebut.
9 Hit Counter
Menu ini di gunakan untuk menghitung jumlah pengunjung yang membuka situs
halaman web, dan jumlahnya akan secara otomatis bertambah, saat situs tersebut
di buka.
9 Tanggal dan Waktu
Kita dapat menampilkan menu ini, dengan memformatnya terlebih dahulu, dengan
mengklik Insert dari Bar Menu dan memilih menu Date and Time.
Dinnar Cincintya L. R.
c. Pilih folder yang bernama My Site klik 2x kemudian akan muncul Folder
subsite11 Klik lagi Setelah itu akan muncul Beberapa nama file dan pilih
File indek htm untuk membuka halaman utama.
2. Maka, akan muncul Tampilan seperti dibawah merupakan tampilan awal
dari produk kliping Elektronik yang dibuat oleh penulis.
Gambar 5. Tampilan Frame Kliping Elektronik
Bab II - 22
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
4. Cara Penelusuran pada tampilan ini adalah, jika user ingin melihat macam
Sub Subyek artikel maka, user harus mengklik indeks subyek pada
tampilan awal kliping sebelah kiri. Maka hasil yang muncul adalah indek
subyek berdasarkan sub subyek artikel.dan didalam indek artikel ini kita
dapat memilih Sub subyek yang diinginkan seperti sub subyek Ekspor
impor, masalah masalah maupun Upaya pengembangan industri kelapa
sawit. Contoh Klik sub Subyek Ekspor Impor maka akan terbuka Artikel
atikel, kita bisa memilih artikel sesuai dengan keinginan kita.
4. Jika kita ingin melihat Abstrak artikel di dalamnya, klik salah satu artikel
maka akan muncul :
Bab II - 23
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Bab II - 24
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
7. Selamat Mencoba.
Bab II - 25
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
BAB III
MATE RI KLIPING
Dalam Pembuatan dan Penulisan Materi pada Bab III ini, Penulis akan
menjabarkan artikel yang telah dikumpulkan dan di tata kedalam sebuah indeks. Indeks indeks ini meliputi indeks subyek, indeks judul, dan indeks pengarang. Indek subyek
terdiri dari Beberapa sub Subyek yang meliputi Ekspor Impor, Masalah - masalah dan
Upaya Pengembangan Industri kelapa sawit. Sub subyek tersebut dikelompokan
berdasarkan artikel artikel yang telah ditemukan Penulis.
Dalam Penyusunan Indeks, indeks disusun berdasarkan Alfabetis. Sehingga
memudahkan pengguna dalam menelusur suatu informasi yang ada didalamnya. Untuk
Lebih Jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :
hal. 63
hal. 69
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://web.bisnis.com/artikel/2id1243.html.
hal. 72
hal. 76
hal. 84
hal.88
hal.91
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://apwardhanu.wordpress.com/2009/05/09/potensi-hasil-sampingindustri-kelapa-sawit/.
hal.93
hal.97
hal.101
Masalah masalah
1. Arsitektur Konflik Sengketa Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit
Nauli, M. Musri
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/884-arsitektur-konfliksengketa-pembangunan-perkebunan-kelapa-sawit-2
hal. 106
hal. 110
hal. 114
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Zaenudin, Lutfi
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8699&coid=1&caid=
23.
hal. 119
hal.122
hal. 127
hal. 130
hal.137
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
7+Kebakaran+Lahan+di+Perkebunan+Kelapa+Sawit&cd=2&hl=id&ct=
clnk&gl=id&client=firefox-a
hal.144
hal.149
hal. 153
hal. 158
13. Kelapa Sawit : Pangsa pasar CPO Indonesia bakal tergerus hingga
30%
Hernanda, Aprika R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7457&coid=1&caid=
23
hal. 161
Tugas Akhir
hal. 164
Dinnar Cincintya L. R.
hal. 168
hal. 171
Hal.175
hal. 177
hal. 181
Tugas Akhir
hal. 184
Dinnar Cincintya L. R.
hal. 188
hal. 192
hal. 199
hal. 201
hal. 205
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7667&coid=1&caid=
23..
hal. 209
hal. 214
hal. 219
hal. 222
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
hal. 234
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=19055&Itemid=1122.
hal. 249
hal. 251
hal. 253
hal. 257
hal. 260
Tugas Akhir
hal. 263
Dinnar Cincintya L. R.
hal. 267
hal. 271
hal. 275
hal. 278
hal. 283
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://julyono.multiply.com/journal/item/6
hal. 286
hal. 291
hal. 294
hal. 297
hal. 303
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Sihombing, Martinha308
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8029&coid=1&caid=
23
hal. 309
hal.106
B
1.
hal.110
C
1.
Tugas Akhir
hal.114
Dinnar Cincintya L. R.
2.
hal.239
D
1.
2.
3.
hal.122
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
I
1.
2.
hal.69
3.
hal.247
4.
hal.72
5.
hal.76
6.
hal.130
7.
Tugas Akhir
hal.249
Dinnar Cincintya L. R.
K
1.
2.
3.
hal.82
4.
hal.144
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8195&coid=1&caid=23 hal.149
5.
6.
hal.153
7.
Kelapa Sawit : Pangsa pasar CPO Indonesia bakal tergerus hingga 30%
Hernanda, Aprika R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7457&coid=1&caid=23.
hal.161
8.
9.
10.
hal. 253
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
11.
12.
13.
14.
hal. 177
L
1.
2.
hal. 181
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8449&coid=1&caid=23
hal.184
3.
hal. 257
M
1.
2.
3.
hal. 260
4.
Tugas Akhir
hal. 267
Dinnar Cincintya L. R.
5.
hal. 271
N
1.
P
1.
2.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
3.
4.
hal. 275
5.
hal. 278
6.
hal. 205
7.
8.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://kabelan-kunia.blogspot.com/2008/11/peran-bioteknologi-dalam-industri.html
hal. 283
9.
10.
11.
hal. 91
12.
hal. 291
13.
hal. 286
Tugas Akhir
hal. 88
Dinnar Cincintya L. R.
14.
15.
hal. 219
16.
17.
hal. 93
hal. 301
R
1.
2.
hal.222
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/ekonomi/1758890.htm
hal. 101
S
1.
2.
hal. 303
3.
4.
hal. 225
Sawit Oh Sawit
Marhoed, Yudho H
http://cetak.bangkapos.com/opini/read/115/Sawit+Oh+Sawit.html
5.
hal. 229
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
T
1.
hal.234
Achmad, Fahmi
Minyak sawit berkilau, bank gelontorkan kredit
http://web.bisnis.com/artikel/2id390.html
2.
hal. 271
Adefadli
Nasionalisme Tergelincir Minyak Sawit
http://public.kompasiana.com/2009/03/03/nasionalisme-tergelincir-minyak-sawit/
hal. 192
3.
Alikodra, Hadi S
Mahalnya CPO dan Rusaknya Hutan
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8289&coid=1&caid=56
hal. 188
4.
Arifin, Bustanul
Dilema Integrasi Vertikal Industri Berbasis Perkebunan
http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=161&coid=1&caid=23
hal. 63
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
B
1.
Bakir, Mohammad
Sawit, Andalan Devisa Republik
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0602/25/Fokus/2460838.htm
2.
hal. 225
Budy, Partono
Saatnya Industri Sawit Jadi Penguat Pertumbuhan Ekonomi
http://www.medanbisnisonline.com/2009/01/08/saatnya-industri-sawit-jadipenguat-pertumbuhan-ekonomi/
hal. 303
C
1.
Chandra, Aditiawan
Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Nasional
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/ekonomi/1758890.htm
hal. 101
D
1.
Dahril, Tengku
Membangun Industri Strategis
http://www.icmiriau.net/content/view/57/8/
hal. 267
F
1.
Fransiska, Juan
Kebakaran Lahan di Perkebunan Kelapa Sawit
http://74.125.95.132/search?q=cache:VISi-D6nXNEJ:www.antarasumbar.com/id/index.php%3Fsumbar%3Dartikel%26j%3D%26id%3D17+Kebakar
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
an+Lahan+di+Perkebunan+Kelapa+Sawit&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=fir
efox-a
hal. 144
G
1.
2.
hal. 257
3.
hal. 275
4.
hal. 91
hal.222
H
1.
Hadisiswoyo, Panut
Keanekaragaman Kegunaan Kelapa Sawit
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=369&db=artikel
2.
hal.82
Hadisoebroto, B.K.
Memacu Industri Hilir Kelapa Sawit
http://infosawit.com/ids/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Ite
mid=57
3.
hal. 260
Hamzirwan
Kelapa Sawit Berkelanjutan - Ikut Arus atau Tenggelam!
http://www.fair-biz.org/artikel.php?id=29&lang=1
4.
hal. 253
Hasan, M. Fadhil
Pilihan kebijakan pengembangan industri hilir CPO
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7512&coid=1&caid=23&gid=2
hal. 297
5.
Herbawati, Neneng
Penyelundupan CPO marak lagi
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9513&coid=1&caid=23
hal. 214
6.
Hernanda, Aprika R
Dua puluh satu Perusahaan sawit minta kredit revitalisasi
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8541&coid=1&caid=23
hal.127
7.
Hernanda, Aprika R.
Kelapa Sawit : Pangsa pasar CPO Indonesia bakal tergerus hingga 30%
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7457&coid=1&caid=23
hal.161
8.
Hernanda, Aprika R.
Lahan sawit kita terus dirambah asing
http://web.bisnis.com/artikel/2id625.html
hal. 181
J
1.
2.
Julyono
Perkebunan Kelapa Sawit : Antara Peluang dan Ancaman
http://julyono.multiply.com/journal/item/6
hal. 286
K
1.
Khudori
Kelapa Sawit, Berkah atau Masalah?
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8195&coid=1&caid=23
hal. 149
2.
Khudori
Membangun Industri Berbasis Sawit
http://c-tinemu.blogspot.com/2009/02/membangun-industri-berbasis-sawit.html
hal. 263
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
3.
Kunia, Kabelan
Peran Bioteknologi dalam Industri Kelapa Sawit
http://kabelan-kunia.blogspot.com/2008/11/peran-bioteknologi-dalam-industri.html
hal. 283
M
1.
M.Chaefudin-Arupa
Perkebunan Sawit Sumatera : Antara Kepentingan Ekonomi dan Keseimbangan
Ekologi
http://www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=66&Itemid
=98
2.
hal.88
M Nur
Krisis dan Prospek Kelapa Sawit
http://www.detikriau.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1880&It
emid=72
3.
hal. 177
Marhoed, Yudho H
Sawit Oh Sawit
http://cetak.bangkapos.com/opini/read/115/Sawit+Oh+Sawit.html
hal. 229
N
1.
Nauli, M. Musri
Arsitektur Konflik Sengketa Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/884-arsitektur-konflik-sengketapembangunan-perkebunan-kelapa-sawit-2
Tugas Akhir
hal.106
Dinnar Cincintya L. R.
2.
Ndy
Prospek cerah dunia kelapa sawit Indonesia
http://go-kerja.com/prospek-cerah-dunia-kelapa-sawit-indonesia/
hal. 301
P
1.
Prayugo, Andry
Perkebunan Buka 350 Hektare Sawit
http://www.kutaitimur.go.id/ext/index.php?option=com_content&view=article&id=
111:perkebunan-buka-350-hektare-sawit&catid=58:pemerintahan&Itemid=18
hal.294
2.
Purwoko, Chamdan
Pengembangan industri CPO, sudah sampai di mana?
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7667&coid=1&caid=23
hal.209
S
1.
Sibuea, Posman
Sukhoi dan Industri Hilir CPO
http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=2065&coid=2&caid=19
hal. 97
2.
3.
Tugas Akhir
Sihombing, Martin
Dinnar Cincintya L. R.
hal. 110
Sihombing, Martin
CPO, PE dan nasib petani sawit
http://web.bisnis.com/artikel/2id200.html
5.
hal. 114
Sihombing, Martin
Industri hilir CPO belum bergerak
http://web.bisnis.com/artikel/2id1377.html
6.
hal. 69
Sihombing, Martin
Industri sawit, tersanjung atau tersandung?
http://web.bisnis.com/artikel/2id1243.html
7.
hal. 72
Sihombing, Martin
Industri sawit di antara dua keinginan
http://web.bisnis.com/artikel/2id1332.html
8.
hal. 76
Sihombing, Martin
Industri sawit dikawal isu lingkungan
http://web.bisnis.com/artikel/2id1494.html
9.
hal. 130
Sihombing, Martin
Kelapa Sawit : Kejayaan CPO di 'ujung tanduk'
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7251&coid=1&caid=23
hal. 258
10.
Sihombing, Martin
Kelapa sawit dan para 'raja' kebun sawit
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=6703&coid=1&caid=23
hal. 84
11.
Sihombing, Martin
Kelapa sawit sudah unggul sejak dulu
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=6475&coid=1&caid=23
hal. 171
12.
Sihombing, Martin
Luas areal sawit akan dibatasi
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8449&coid=1&caid=23
hal. 184
13.
Sihombing, Martin
Pemerintah jangan cuma berjanji
http://web.bisnis.com/artikel/2id1867.html
14.
hal. 205
Sihombing, Martin
Satu Juta ha tanah adat siap jadi kebun sawit
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8029&coid=1&caid=23
hal. 309
15.
Sihombing, Martin
Tertinggal di tengah riuh booming kelapa sawit
http://web.bisnis.com/artikel/2id645.html
16.
hal. 234
Simanjuntak, Eva
Industri Hilir Kelapa Sawit Bakal Stagnasi
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.harianglobal.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2239:industrihilir-kelapa-sawit-bakal-stagnasi&catid=27:bisnis&Itemid=59
17.
hal. 247
Simanjuntak, Eva
Kawasan Timur Dibidik Pengembangan Perkebunan Sawit
http://www.harianglobal.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3281:kawasantimur-dibidik-pengembangan-perkebunan-sawit&catid=29:nasional&Itemid=54
hal. 251
18.
19.
Suryadi, Cecep
Perkebunan Kelapa Sawit Muara Kembang 334 Hektare
http://www.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/perkebunan_kelapa_sawit_
muara_kembang_334_hektare/
20.
hal. 291
Syumanda, Rully
Kelapa Sawit, Biofuel dan Kerusakan Hutan
http://rullysyumanda.org/natural-resources/plantation/143-kelapa-sawit-biofueldan-kerusakan-hutan.html
hal. 153
V
1.
Tugas Akhir
Viar MS
Dinnar Cincintya L. R.
Wahyuni, Eti
Perluasan Perkebunan Kelapa sawit Tidak Realistis
http://mitrafm.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80&Itemid
=93
2.
hal. 219
3.
hal. 93
4.
hal. 239
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://apwardhanu.wordpress.com/2009/04/26/penerapan-zero-emissions-padaindustri-kelapa-sawit/
5.
hal. 278
Wardana, Agung
Dibalik Gemerlap Perkebunan Kelapa Sawit
http://bhumisenthana.blogspot.com/2008/02/dibalik-gemerlap-perkebunankelapa.html
6.
hal. 122
Widodo
Inti Agri Serius Garap Kelapa Sawit
http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19
055&Itemid=1122
7.
hal. 249
William
Kelapa Sawit Potensi Besar yang (Bisa) Menjadi Bumerang
http://wilrus.co.cc/ekonomi/kelapa-sawit-potensi-besar-menjadi-bumerang.html
hal. 168
Z
1.
Zaenudin, Lutfi
Deptan minta ekspor inti sawit dilarang
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8699&coid=1&caid=23
hal. 119
2.
Zaenudin, Lutfi
Kenaikan Harga Minyak Goreng : Komitmen pasok CPO 'minim'
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8123&coid=1&caid=23
hal. 164
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
EKSPOR IMPOR
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Strategi industrialisasi yang integratif sangat memukul dan meminggirkan sektor
industri primer perkebunan dan pertanian secara umum, terutama pada sepuluh tahun
terakhir. Sehingga tim ekonomi kabinet senantiasa dituntut untuk melakukan reformasi
strategi industrialisasi berbasis perkebunan dan di sektor-sektor lain, plus kebijakan
makro-ekonomi yang mendukung (nilai tukar, suku bunga, insentif fiskal, dan lain-lain)
untuk mengembangkan industri hilir dan hulu berbasis perkebunan dan basis sumber
daya alam lainnya.Sejalan dengan iklim keterbukaan, paket deregulasi tahun 1983 yang
mengubah orientasi industri di Indonesia untuk tidak lagi terpaku pada pasar dalam
negeri (inward looking oriented), melainkan lebih banyak berorientasi ekspor dan pasar
luar negeri (outward looking oriented).Di tingkat teori, pergeseran strategi ini-serta
nuansa outward looking yang lebih berbasis keunggulan komparatif-, sangat sejalan
dengan kecenderungan pergeseran ke arah yang sesuai dengan "keberlimpahan" sumber
daya alam dan tenaga kerja yang dimiliki Indonesia. Strategi yang dibangun dengan
karakter dikotomis, yakni modern versus tradisional, sebenarnya kurang dapat
diaplikasikan dengan baik, bahkan sangat merugikan sektor pertanian atau perkebunan
rakyat yang dikelola secara tradisional Pengembangan industri perkebunan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Jakarta, Kompas
PENGEMBANGAN industri berbasis perkebunan dengan lebih menekankan pada
integrasi hulu dan hilir, mengalami permasalahan yang sangat dilematis. Di satu sisi,
dukungan pasar atau industri hilir perkebunan sangat diperlukan untuk memajukan
industri hulu atau produk-produk primer perkebunan.
Oleh karena itu, strategi integrasi vertikal untuk meningkatkan keterkaitan antarsektor
hulu dan sektor hilir dianggap suatu pilihan strategi terbaik untuk tujuan di atas, di
samping karena tuntutan manajemen modern yang menghendaki tingkat efisiensi yang
lebih tinggi.
Namun di sisi lain, perjalanan sejarah bagsa Indonesia telah membuktikan bahwa
integrasi vertikal itu merupakan salah satu cikal bakal-jika tidak dikatakan kontributor
utama-proses konglomerasi, kapitalisme semu, dan kolusi ekonomi yang telah membawa
Indonesia terjebak krisis multidimensional.
Dengan demikian, saat inilah Indonesia sedang mengalami ujian besar untuk menentukan
strategi pengembangan industri hilir berbasis perkebunan dan sumber daya alam lainnya.
Kesalahan kecil saja, terutama dari pihak pemerintah, harus dibayar mahal bahkan bisa
jadi menyebabkan krisis fase kedua yang pasti lebih hebat dampak sosialnya.
Artikel ini menelaah strategi integrasi vertikal, keterkaitan industri hulu dan hilir yang
berbasis perkebunan di Indonesia yang sangat dilematis itu.
Jebakan konglomerasi
Sebagaimana diketahui, pada masa lalu industri hilir perkebunan dibangun dengan
pondasi ekonomi pasar bersifat semu. Strategi dan fokus pengembangan juga hanya
didukung oleh proses konglomerasi, ekpansi usaha hanya berdasarkan visi perluasan
pangsa pasar semata dan bukan berdasar profitabilitas usaha, sehingga integrasi industri
hilir dan sektor primer di hulu hanya berdasarkan integrasi vertikal kepemilikan aset
produktif yang mengarah pada keterpusatan kekuatan ekonomi dan kekuasaan.
Strategi industrialisasi yang integratif seperti inilah yang sangat memukul dan
meminggirkan sektor industri primer perkebunan dan pertanian secara umum, terutama
pada sepuluh tahun terakhir.
Artinya, tim ekonomi kabinet senantiasa dituntut untuk melakukan reformasi strategi
industrialisasi berbasis perkebunan dan di sektor-sektor lain, plus kebijakan makroekonomi yang mendukung (nilai tukar, suku bunga, insentif fiskal, dan lain-lain) untuk
mengembangkan industri hilir dan hulu berbasis perkebunan dan basis sumber daya alam
lainnya.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tanpa reformasi tersebut, tidak akan ada insentif untuk melakukan inovasi dan adopsi
teknologi, serta investasi untuk meningkatkan nilai tambah. Namun di lain pihak,
peningkatan keterkaitan hulu-hilir atau integrasi vertikal industri hulu-hilir berbasis
perkebunan ini perlu sekali dilakukan secara hati-hati, agar tidak terjebak pada
kepentingan bisnis dan politik sesaat, dan terhindar dari petualang ekonomi dan politik
dengan spirit perburuan rente yang masih belum dapat tertangani dengan baik.
Selain persoalan teknis serta kontinuitas pasokan dan aspek kuantitas yang belum dapat
dipecahkan segera, sebagian besar komoditas industri hilir Indonesia mengalami fase
permasalahan struktural akut atau yang berhubungan dengan ulur tangan dan intervensi
pemerintah.
Beberapa komoditas ada yang menderita terlalu banyak dicampuri (very highly regulated)
dan salah urus, atau dalam istilah ekonomi politik adalah kegagalan negara (state failure).
Beberapa lain lagi, komoditas industri hilir perekebunan itu mengalami perlakuan yang
sangat tidak adil dari mekanisme pasar yang berlaku atau di mana pasar tidak berada
dalam kondisi persaingan sempurna atau dikenal dengan istilah kegagalan pasar (market
failure).
Pada keadaan yang kedua ini, tentu saja uluran tangan, kalau tidak dikatakan campur
tangan pemerintah, masih diperlukan. Akan tetapi, keadaan menjadi lebih parah jika
uluran tangan pemerintah dilakukan pada saat negara sedang mengalami kegagalan pasar
itu.
Sejalan dengan iklim keterbukaan, paket deregulasi tahun 1983 yang mengubah orientasi
industri di Indonesia untuk tidak lagi terpaku pada pasar dalam negeri (inward looking
oriented), melainkan lebih banyak berorientasi ekspor dan pasar luar negeri (outward
looking oriented).
Di tingkat teori, pergeseran strategi ini-serta nuansa outward looking yang lebih berbasis
keunggulan komparatif-, sangat sejalan dengan kecenderungan pergeseran ke arah yang
sesuai dengan "keberlimpahan" sumber daya alam dan tenaga kerja yang dimiliki
Indonesia.
Akibatnya, secara alamiah komoditas unggulan ekspor Indonesia pasca-deregulasi adalah
barang-barang yang padat tenaga kerja dan padat sumber daya alam, serta kebanyakan
merupakan industri hilir perkebunan. Depresiasi rupiah terhadap dollar AS dan mata uang
asing lain telah mengakibatkan peningkatan daya saing produk-produk ekspor Indonesia.
Namun, karena berbagai kendala dalam impor bahan baku, keterbatasan modal dalam
proses produksi dan masalah pembiayaan ekspor (yang terkait dengan kelambatan proses
restrukturisasi perbankan), peluang tersebut belum banyak dimanfaatkan.
Analisis yang dilakukan Ramdani (1999) menunjukkan fakta struktur industri hilir
perkebunan sebagai berikut. Kecuali kain tenun, yang merupakan produk hilir dari
industri primer perkebunan kapas, yang notabene tidak banyak terdapat di Indonesia,
seluruh industri hilir perkebunan mengalami kontraksi ekspor yang cukup besar.
Ekspor industri hilir kelapa sawit menurun 88 persen, ekspor mebel turun 53 persen, kayu
lapis turun 19 persen, dan sebagainya. Sementara itu, total ekspor industri manufaktur
pada tahun 1997 tumbuh sebesar 9,79 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun,
pada tahun 1998 total ekspor menurun sebesar 2,02 persen, sementara total ekspor
manufaktur turun 0,72 persen.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kriteria standar yang umum digunakan untuk melihat lebih jauh industri hilir berbasis
perkebunan adalah: (1) keterkaitan output, (2) keterkaitan pendapatan, (3) multiplier
output, (4) multiplier pendapatan, dan (5) multiplier nilai tambah.
Di Indonesia terdapat tujuh jenis industri hilir yang memiliki keterkaitan langsung dan
keterkaitan total di atas rata-rata. Industri tersebut adalah tekstil jadi kecuali pakaian;
industri kayu lapis, perabotan rumah tangga; ban; pakaian jadi, permadani, tali dan tekstil
lain, serta industri tekstil.
Industri hilir perkebunan yang memiliki angka multiplier pendapatan cukup tinggi di atas
rata-rata sebenarnya tidak cukup banyak. Industri itu adalah industri ban, industri tekstil
jadi kecuali pakaian, industri perabotan rumah tangga terbuat dari kayu, industri kayu
lapis, dan sejenisnya.
Sementara itu, industri yang memiliki multiplier nilai tambah cukup tinggi adalah industri
pakaian jadi kecuali pakaian, industri ban, industri pakaian jadi, industri perabotan rumah
tangga terbuat dari kayu, bambu dan rotan, industri kayu lapis dan sejenisnya, industri
kulit samakan dan olahan, industri permadani, tali, dan tekstil lainnya.
Industri hilir perkebunan yang memiliki potensi tinggi dalam menstimulus perekonomian
adalah industri tekstil jadi kecuali pakaian jadi, industri kayu lapis, dan sejenisnya,
industri perabotan rumah tangga terbuat dari kayu, bambu dan rotan, dan industri ban.
Industri-industri lain umumnya memiliki beberapa kriteria baik di satu sisi, tetapi tidak
memiliki kriteria baik di sisi lain, seperti industri pakaian jadi, permadani, tali dan tekstil
lainnya, serta industri tekstil secara umum. Namun demikian, kinerja industri hilir yang
tidak menggembirakan tersebut sangat berhubungan dengan kinerja industri primer
perkebunan secara keseluruhan.
Kinerja industri
Industri primer perkebunan juga tidak mengalami kinerja yang dapat dibanggakan,
karena permasalahan klasik yang berhubungan dengan struktur dan perilaku industri
secara keseluruhan. Beberapa studi bahkan mensinyalir bahwa pola ekonomi dualistik
industri primer perkebunan yang dioperasionalisasikan di Indonesia melalui pola intiplasma juga berkontribusi pada kinerja industri primer perkebunan secara umum.
Strategi yang dibangun dengan karakter dikotomis, yakni modern versus tradisional,
sebenarnya kurang dapat diaplikasikan dengan baik, bahkan sangat merugikan sektor
pertanian atau perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional.
Studi empiris terhadap beberapa komoditas perkebunan dengan pola Perkebunan Inti
Rakyat (PIR), ternyata mempersubur fenomena kegagalan pasar, yang ditunjukkan oleh
struktur pasar yang sangat tidak sehat, walaupun diakui pada beberapa kasus mampu
meningkatkan kinerja ekspor sektor perekebunan (lihat Arifin, 2000).
Perusahaan inti yang diharapkan membina petani plasma, justru memanfaatkan power
yang dimilikinya untuk menciptakan struktur pasar monopsonis. Inti menjadi penentu
harga (price determinator) untuk produk-produk yang dihasilkan petani plasma,
sedangkan para petani plasma hanya menjadi penerima harga (price taker) karena
kemampuan tawar yang demikian rendah.
Sebaliknya, untuk produk-produk olahan atau industri hilir perkebunan yang diproduksi
oleh perusahaan inti, struktur pasar monopoli, atau tepatnya oligopoli yang menjurus ke
kartel, lebih banyak dijumpai. Kekuatan dan privilege perusahaan inti sebenarnya atas
bantuan dan fasilitas tertentu yang diberikan birokrasi pemerintahan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Menariknya, pola inti-plasma ini sangat digemari oleh birokrasi, politisi, dan tentunya
perusahaan swasta, karena di samping secara ekonomis feasible (layak), menguntungkan,
dan mudah dilaksanakan, secara politis juga justifiable (bisa dibenarkan) karena seakanakan telah mengembangkan pola kemitraan yang baik.
Permasalahan struktural dari beberapa industri hilir perkebunan masih belum dapat
dilepaskan sepenuhnya dari kinerja industri primer yang tidak mendukung. Kasus
buruknya kinerja industri minyak goreng Indonesia, jelas tidak dapat dilepaskan dari
persoalan industri di belakangnya seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm
oil/CPO) atau industri primer perkebunan secara umum.
Pajak ekspor (PE) CPO masih menjadi disinsentif di tengah situasi "haus devisa" seperti
saat krisis seperti sekarang. Kondisi campur tangan "negatif" seperti itu amat
mempengaruhi kegairahan petani kelapa sawit dalam meningkatkan produksi dan
produktivitasnya.
Distorsi struktural dari hulu sampai hilir tersebut dapat mengurangi daya saing dan
efisiensi Indonesia di pasar internasional. Misalnya, harga rendah sekitar Rp 300 per kg
yang diterima petani plasma untuk tandan buah segar (TBS), jelas tidak berdiri sendiri,
tetapi berkait dengan struktur monopsonis industri ini.
Sementara itu, di tengah-tengah harga CPO pasar dunia yang anjlok, pemerintah masih
menerapkan pajak ekspor lima persen, walaupun telah ada tekad untuk menguranginya
sekitar 2-3 persen, bukan menghapuskannya. Sedangkan tebu dan gula domestik jelasjelas tidak mampu bersaing dengan gula dunia karena strategi tebu-rakyat intensifikasi
(TRI) dan tebu rakyat bebas tidak lepas dari perburuan rente ekonomi oleh pelaku
industri di sektor hilir ini.
Sebenarnya, volume dan nilai ekspor komoditas perkebunan meningkat cukup pesat
sekalipun masih terdapat distorsi yang cukup serius di sektor hulu atau industri primer
perkebunan. Logika ekonomi sederhana pun menyimpulkan bahwa apabila distorsi dapat
ditekan seminimal mungkin, nilai devisa pasti lebih banyak lagi yang dapat dikumpulkan.
Pertumbuhan ekspor yang tinggi tentu saja dapat berkontribusi cukup signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi dan sektoral besar seperti pertanian, yang memang sangat
dibutuhkan saat ini untuk menstimulasi ekonomi Indonesia.
Langkah ke depan
Untuk mempertajam strategi pengembangan agro-industri ke depan, diperlukan langkahlangkah reformasi pasar (market reform), walau tidak harus liberal, yang dapat
berkontribusi pada pertumbuhan pertanian broad base, seperti deregulasi dan
penyederhanaan prosedur birokrasi ekspor komoditas andalan pertanian, perkebunan, dan
perikanan.
Opsi kebijakan lain yang dapat diterapkan selain pajak ekspor tetap (seperti pada kasus
CPO) dengan periode masa berlaku yang belum jelas dan cenderung energy consuming
(membutuhkan banyak energi), adalah pajak ekspor dengan penyesuaian otomatis
(automatic export-tax adjustment). Besaran persentase pajak ekspor dapat berlaku harian,
karena formula yang dipakai dapat menyesuaikan secara otomatis terhadap perubahan
harga ekspor dan kurs rupiah terhadap dollar AS dan sebagainya.
Hanya saja, pemerintah harus memperbaiki kemampuan monitoring dan pengawasan
kebijakan seperti ini, sesuatu yang menjadi titik lemah pemerintah saat ini. Persoalan
dominasi birokrasi ini juga dijumpai pada komoditas kopi, yang menderita distorsi serius
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
karena pungutan atau iuran organisasi Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) yang
harus dibayar eksportir.
Terakhir, persoalan integrasi vertikal industri berbasis perkebunan ini masih sangat
berhubungan dengan perkembangan ekonomi-politik di Tanah Air. Misalnya kasus
beberapa waktu lalu, yakni rencana beberapa kelompok pelaku usaha sektor perkebunan
yang ingin mengenakan pungutan kepada setiap aktivitas ekonomi ekspor, impor,
investasi, perdagangan di bidang perkebunan yang dikenal dengan dana bersama
perkebunan (darmabun).
Pungutan-pungutan seperti itu akan menjadi suatu disinsentif bagi keseluruhan industri
hulu dan hilir perkebunan, jika tidak dapat dikatakan menjadi sumber distorsi ekonomi
karena pelaku usaha akan membebankannya pada petani dan konsumen yang dapat
menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Untungnya, Presiden Abdurrahman Wahid, sebagai pejabat publik, masih cukup tanggap
untuk tidak bersedia menandatangani rencana pungutan darmabun itu dalam suatu
Keputusan Presiden (Kepres). Rupanya, diskusi publik di media massa, dan masukan
khusus pada pejabat publik di sekitar istana kepresidenan, masih didengar oleh Sang
Presiden.
Saat ini masyarakat sangat sensitif terhadap dana-dana publik di luar neraca (nonbudgeter) yang tidak tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
yang sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan penyimpangan serta mengalami
persoalan transparansi yang cukup serius.
Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan (R&D), pembinaan sumber
daya manusia perkebunan, aplikasi teknologi dan kegiatan promosi sektor perkebunan,
tentunya tidak cukup hanya dengan pengumpulan dana besar dan pelibatan pejabat
publik.
Pengembangan industri perkebunan, baik di hulu maupun di hilir haruslah terintegrasi ke
dalam suatu platform dan agenda besar kebijakan pembangunan ekonomi secara umum,
mudah dimengerti oleh seluruh anggota kabinet, terutama dalam lingkup perekonomian.
(Dr Bustanul Arifin, pengamat ekonomi)
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 27 Jan 01
Catatan: -
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel Detail
"Prospek bisnis crude palm oil (CPO) dunia sangat menjanjikan. Indonesia sebagai
produsen terbesar, diharapkan memanfaatkan peluang ini dengan produksi tinggi dan
harga pokok penjualan (HPP) rendah secara berkelanjutan," kata Menteri Negara BUMN,
Sofyan A Djalil.
Prospek menjanjikan itu diperlihatkan dari data sejumlah lembaga yang menjadi
representatif negaranya masing-masing khususnya di industri yang bahan bakunya crude
palm oil. Sebutlah misalnya Taiwan`s head of the Bureau of Energy. Lembaga itu
menyatakan produksi minyak biofuels [dari CPO] saat ini 4.000 kiloliter dan
diproyeksikan konsumsi pada 2010 mencapai 100.000 kiloliter atau setara 630.000 barel.
The European Biodiesel Board (EBB) menginformasikan peningkatan kapasitas produksi
biofuel dari 5,7 juta ton pada 2007 menjadi 16 juta ton yang 76% di antaranya berupa
biodiesel. EBB juga menargetkan bahan bakar untuk transportasi 10% dari biodiesel pada
2020.
The Italian Biodiesel Association menyatakan segera membangun lima pabrik biodiesel
untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 1,9 juta ton menjadi 2,7 juta ton.
Dari industri penerbangan dunia, maskapai terbesar Jerman, Deutsche Lufthansa
menargetkan semua penerbangannya menggunakan 10% biofuel pada 2020, sedangkan
maskapai Air New Zealand lebih cepat lagi, yakni menargetkan penggunaan 10% biofuel
dalam lima tahun ke depan.
Di Amerika Serikat dan Brasil, yang sama-sama sebagai produsen terbesar ethanol, yakni
70% dari produksi dunia, di mana 92% di antaranya digunakan untuk bahan bakar
ethanol. Di Brasil, saat ini, lebih dari 29.000 stasiun pengisian bahan bakar minyak
umum sudah menyediakan bahan bakar bioethanol.
Garap pasar
Bagi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, kondisi pasar tersebut, jelas
menjanjikan. "Bangsa untung, industri untung," begitu kira-kira gambarannya. Namun,
keuntungan tidak akan jauh bergerak dari sebelunya sekitar US$5 miliar hingga US$6
miliar, jika Indonesia hanya menggarap pasar CPO. Indonesia harus masuk ke industri
hilir.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Untuk masuk ke industri hilir, Indonesia bukan tidak memiliki potensi. Berdasarkan data
Kantor Menteri Negara BUMN, melalui PTPN saja, sekitar 7,5% dari 29 juta ton
produksi crude palm oil dunia dihasilkan oleh 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sektor perkebunan di Indonesia, yakni PT Perkebunan Nusantara I hingga VIII, XIII,
XIV, dan PT Rajawali Nusindo Indonesia. Sebanyak 7,5% produksi CPO dunia
dihasilkan PTPN itu setara dengan 2,2 juta ton.
Produksi CPO PTPN ini merupakan bagian dari 23% seluruh konsumsi lemak dan
minyak dunia. Badan Palm Oil World menyatakan total produksi CPO dunia kini
mendekati 29 juta ton per tahun.
Indonesia bersama Malaysia menjadi produsen terbesar dengan produksi 83%. Dari
realisasi ekspor CPO dunia mendekati 22 juta ton per tahun, 92% di antaranya berasal
dari Indonesia dan Malaysia.
Dalam satu seminar CPO: Untuk Pangan Atau Energi, yang digelar Surfactant and
Bioenergy Research Center (SBRC) IPB bekerja sama dengan Kamar Dagang juga
terungkap usulan masuk ke industri hilir.
Mengingat produk-produk yang dihasilkan baik energi maupun bahan pangan sangat
diperlukan, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Selain itu, pasokan energi yang diperbarui (renewable) jauh lebih kecil daripada
kebutuhan energi nasional.
Sejak Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Departemen Perindustrian mengembangkan
industri hilir di bidang minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) pada tahun lalu,
hingga kini realisasinya belum menggembirakan. Padahal, saat itu, Wapres meminta
dalam satu bulan [setelah permintaannya itu] harus sudah ada keputusan kebijakan untuk
mengembangkan industri hilir CPO.
Nilai tambah
Mentan Anton Apriyantono, Mei lalu pernah berjanji, pemerintah akan memfasilitasi
pembangunan suatu kawasan industri untuk industri hilir pabrik-pabrik kelapa sawit
untuk mendorong produk-produk kelapa sawit dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
"Dalam jangka pendek, lebih menguntungkan menjual minyak sawit mentah, tetapi tidak
untuk jangka panjang karena ketatnya persaingan dari negara lain," ujar Anton.
Data Bisnis, tahun lalu, Indonesia, produsen terbesar kelapa sawit di dunia dengan sekitar
produksi 17 juta ton, mencatat ekspor $5,5 miliar (Rp50 triliun) dengan lebih dari 75%
produksi kelapa sawit yang diekspor itu dalam bentuk minyak mentah sawit atau crude
palm oil (CPO).
Dalam tahun yang sama, Malaysia, produsen kelapa sawit terbesar kedua dengan 15,7
juta ton yang diproduksi, mencatat nilai ekspor yang lebih tinggi RM37,54 miliar
(US$11,37 miliar) dengan 80% produksi dari kelapa sawit yang diekspor sebagai produkproduk nilai tambah.
"Indonesia jangan berhenti dan merasa puas dengan telah disusun rencana peningkatan
produksi CPO dalam negeri dari 16 juta ton pada 2006 menjadi 40 juta ton di 2020," kata
Agus Pakpahan mantan Dirjen Perkebunan Deptan.
bisnis.com
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
perkebunan rakyat pola PIR-Bun dan dalam perizinan pembukaan wilayah baru untuk
areal perkebunan besar swasta.
Kini, kendati ada insentif berupa subsidi bunga kredit melalui program Revitalisasi
Perkebunan, tetapi lebih banyak karena permintaan crude palm oil (turunan pertama dari
kelapa sawit) yang melonjak. Sebab banyak negara menggelar program biodiesel, solusi
mengatasi kian mahalnya harga minyak fosil dan berkurangnya produksi.
Di sisi lain, meminjam istilah Ketua Harian Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)
Rosediana Suharto, kenaikan harga CPO tidak melulu karena harga minyak mentah.
Pengekspor utama CPO 2007
Karya Prajona Nelayan/Wilmar
Musimas
Sinar Mas
Asian Agri
Permata Hijau Sawit
23%
18%
16%
9,4%
8,1%
Harga minyak
Minyak kedelai dan minyak rape yang banyak digunakan di Eropa, Amerika Serikat,
China, dan lain-lain sebagai bahan makanan dan juga kebutuhan nonpangan lainnya a.l.
bahan bakar yang dapat diperbarui.
Karena permintaan yang cukup besar di negara yang pada umumnya beriklim subtropis
tersebut, produksi dan harga dari kedua minyak sayur itu menjadi tinggi dan
memengaruhi harga minyak dan lemak lainnya yang a.l. minyak sawit.
Tak ayal, mereka yang semula tidak menggeluti industri minyak sawit, kini berduyunduyun masuk. Kini, harga satu kavling perkebunan kelapa sawit pun, terutama di Riau
dan Jambi misalnya, melonjak dari Rp25 juta menjadi Rp40 juta. Bahkan, di kedua
provinsi itu, banyak petani di daerah menolak untuk diwawancarai wartawan karena takut
diserbu orang kota yang berduit.
Di luar grup usaha besar yang lebih dulu berkecimpung di sawit-Bakrie, Sinar Mas,
Salim Grup, Asian Agri, Wilmar, London Sumatera, Astra Agro Lestari, Sampoerna
Agro-kini Barito pun mulai mengincar dan Charoen Pokhpand.
Termasuk PT Inti Kapuas Arowana Tbk (IIKP) yang memutuskan untuk melakukan
investasi pada bidang perkebunan kelapa sawit. Setelah mempelajari hasil kajian usaha di
bidang kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Agrindo Management Services, perusahaan
itu memutuskan investasi di perkebunan kelapa sawit.
IIKP merupakan perusahaan yang menekuni industri ikan hias, khususnya arwana. Dalam
usahanya itu IIKP melakukan usaha penangkaran ikan arwana di Pontianak.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Namun, banyak hal yang harus diwaspadai. Kasus yang pernah terjadi dan menjadi modal
pihak pesaing untuk mendiskreditkan industri ini tidak ramah lingkungan, perlu ditekan.
Di industri minyak sawit, dikenal biaya sosial (social costs). Biaya ini timbul sebagai
akibat terjadinya permasalahan dan atau konflik sosial dalam pelaksanaan kegiatan
tertentu. Misalnya, biaya yang harus dikeluarkan karena terjadinya konflik lahan antara
perusahaan perkebunan dan masyarakat lokal yang tinggal di lokasi pembangunan
perkebunan kelapa sawit.
Konversi hutan Pasalnya, kasus itu, pernah terjadi dan banyak dilakukan karena lahan
yang tersedia dan cocok untuk sawit sangat terbatas, akibatnya harus mengonversi hutan.
Pada 1999, misalnya, hutan produksi terbatas yang telah dikonversi menjadi areal
perkebunan sampai Maret 1999, mencapai 166.532,25 hektare (ha). Terluas di Riau,
94.616,45 ha disusul di Jambi seluas 27.675 ha, Aceh 17.635 ha, Sumut 10.903,80 ha,
dan Maluku 3.840 ha. Bahkan, menurut catatan Dephut (1999), total areal hutan yang
telah dikonversi untuk perkebunan sampai Maret 1999, 4,06 juta ha dan total areal
perkebunan kelapa sawit hingga 1998, 2,77 juta ha.
Dari areal konversi 4,06 juta ha itu, konversi terluas terjadi di Riau, 1,53 juta ha, Kaltim
434.738,37 ha, dan Kalteng 428.053,89 juta ha. Secara keseluruhan di antara lima pulau
terbesar di Indonesia, pada saat itu, konversi terluas terjadi di Sumatra seluas 2,55 juta ha
disusul Kalimantan 1,41 juta ha.
Dengan segala persoalannya, jika tidak diantisipasi, contoh kasus terakhir itu justru akan
menjadi sandungan bagi industri minyak sawit.
bisnis.com
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
Departemen Perdagangan, kembali menaikkan pajak ekspor (PE) crude palm oil dari 15%
pada Juni 2008 menjadi 20% yang berlaku mulai 1 Juli 2008. "Harga rata-rata CPO di
Rotterdam bulan ini, mencapai US$1.220 per ton. Jadi, PE pada Juli ditetapkan 20%,"
ujar Diah Maulida, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan.
Kebijakan progressive tax system dikenalkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun lalu
untuk mendorong naiknya pasok CPO di pasar domestik guna menstabilkan harga
minyak goreng.
Dari kebijakan itu, pemerintah akan mengenakan tax rate 25% jika harga menyentuh
US$1.300 per ton. Kalau harga jatuh di bawah US$1.200 per ton, pemerintah akan
mengenakan pajak ekspor 15%. PE menjadi 20% jika rata-rata harga crude palm oil
(CPO) berada di level US$1.200-US$1.300 per ton.
"Like rice, crude palm oil is considered a strategic commodity in the Indonesian
economy," tulis Wayan R Susila, dari IPB dalam laporan bertajuk Impacts of CPO Export
tax on several aspects of Indonesian CPO industry.
Ada beberapa indikator yang merepresentasikan strategis tidaknya posisi CPO. Pertama,
minyak sawit ada pada urutan nomor dua pada ekspor nonmigas sektor pertanian pada
2006 dengan nilai ekspor untuk CPO dan produk palm oil lainnya US$4,81 miliar dan
total ekspor sawit dan produk turunannya mencapai US$5,8 milliar.
Bahkan, World Oil memperkirakan volume ekspor CPO (crude palm oil) Indonesia pada
tahun ini akan mencapai 13,95 juta ton. Peningkatan volume ekspor itu sebagai dampak
dari perbaikan kinerja produksi yang meningkat 9,6% menjadi 18,30 juta ton.
Data World Oil mengungkap proyeksi itu meningkat dibandingkan dengan tahun lalu,
karena ekspor CPO Indonesia pada 2007 hanya mencapai 12,40 juta ton atau turun 1,1%
dari 2006 sebanyak 12,54 juta ton.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Penurunan ekspor CPO pada 2007 diduga akibat diterapkannya kebijakan pajak ekspor
yang baru, karena menurut laporan World Oil, produksi CPO Indonesia pada 2007 justru
mengalami pertumbuhan 4%, yaitu dari 16,05 juta ton menjadi 16,70 ton.
Pemerintah tahun ini mematok ekspor CPO US$7,6 miliar, naik 22,45% jika
dibandingkan dengan realisasi tahun lalu US$6,2 miliar. Produsen CPO memperkirakan
ekspor komoditas itu bisa menembus 13 juta ton.
Kedua, kebun sawit mempekerjakan 4,5 juta kepala keluarga petani. Ketiga, minyak
sawit menguasai pasar dalam negeri hampi hampir 90 % yaitu mencapai 4,5 juta hingga
lima juta ton minyak sawit.
Keempat, industri ini, ketika Indonesia dilanda krisis, tidak mengalami gejolak. Bahkan
kontribusi kepada (beberapa indikator) pertumbuhan ekonomi cukup besar. Nilai ekspor
sebelum krisis (1992-1996) tercatat US$646 juta, sedangkan selama krisis (1997-2001)
menjadi US$1,07 juta.
Sumbangan industri CPO dalam pertumbuhan ekonomi
Rata-rata
Sebelum
(1992-1996)
Areal (juta ha)
1.832
Produksi (juta ton) 4.015
Volume ekspor (juta
1.781
ton)
Nilai
ekspor
646
(US$juta)
Konsumsi
domestik
2.043
(juta ton)
Indikator ekonomi
Eksportir terbesar
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tahun lalu, Indonesia muncul sebagai produsen palm oil terbesar di dunia. Namun,
Malaysia melanjutkan dominasinya sebagai eksportir terbesar di dunia.
Indonesia, selaku produsen CPO terbesar di dunia, bertekad menaikkan produksi tahun
ini 8% di atas produksi tahun lalu atau menjadi 18,4 juta ton. CPO penyumbang terbesar
dari total ekspor nonmigas dan migas Indonesia. Sebab, 70% output-nya untuk ekspor,
sisanya 30% untuk pasar domestik.
Namun, M. Pasquali, dalam makalah bertajuk Prospects to the year 2000 in the world
oilseeds, oils, and oilmeals economy: policy issues and challenges, yang dibacakan pada
Porim International Oil Congress, Kuala Lumpur, mengakui peran CPO.
"Industri CPO diperkirakan menjadi penentu dalam perdagangan minyak nabati dan
lemak di pasar internasional," ujarnya.
Pasquali bahkan memproyeksikan pertumbuhan produksi CPO akan lebih cepat di antara
minyak nabati lainnya. CPO diperkirakan mengambil alih peran minyak kedelai dalam
perdagangan minyak nabati dan lemak dunia.
Pada masa mendatang, prospek CPO akan semakin cerah sebagai akibat liberalisasi
perdagangan minyak nabati dunia. "Hal ini akan menyebabkan peran CPO pada masa
mendatang akan tetap strategis," ujar Pasquali.
Tak ayal, berbagai pihak mengusulkan, industri ini harus didorong. Termasuk di
Indonesia. Namun, di mana letak sikap pemerintah untuk mendorong industri ini? Kini,
pemerintah menaikkan PE ekspor CPO. Namun, dari satu hasil kajian IPB, dikatakan
implementasi pajak ekspor CPO (export tax) memberikan efek beragam yang subtansial,
baik pertumbuhan/efisiensi dan distribusi kesejahteraan.
Studi itu menemukan, peningkatan 1% dari pajak ekspor akan menurunkan 0,19% area
penanaman atau investasi dan menurunkan hasil produksi 0,81%. Lebih dari itu,
kebijakan ini juga menurunkan pendapatan dari ekspor 0,41%. Di level petani,
penambahan pajak 1% akan menurunkan income petani 1,53%. Bahkan menurunkan nilai
tambah industri 1,22%.
Kasus April-Mei merupkan gambaran. Ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan
pada April 2008 akibat pajak ekspor dan Mei pemerintah langsung mengurangi rate pajak
ekspor.
"Penurunan ekspor pada April, itu temporary... Itu hasil dari sistem pajak ekspor kita,"
kata Ketua Harian Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Derom
Bangun.
Pada 6 Mei 2008, saat BPS mengumumkan nilai ekspor CPO Indonesia turun 62% dari
US$1,82 miliar menjadi US$690 juta pada April 2008. Angka itu membawa total ekspor
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
bulan itu turun 7,78% ke US$19,97 miliar. Harga CPO drop ke US$1.174 per ton dari
US$1.249 per ton pada Maret.
Kenapa demikian? Pada Maret 2008, ketika harga CPO di Amsterdam membaik, para
pedagang mencoba untuk mengekspor sebanyak mungkin mengantisipasi naiknya pajak
ekspor 20% pada April dari 15% di Maret.
Kemudian, pada April, para pedagang mengurangi volume ekspor mereka dan kembali
melakukan aksinya ketika mereka mengetahui pada Mei, pajak ekspor akan kembali
15%. Itu sebabnya, pada Mei pick up ekspor kembali terjadi.
Memang, kebijakan PE itu efektif untuk menekan harga minyak goreng dan CPO di pasar
dalam negeri. Setiap kenaikan 1% tax, mengurangi harga CPO domestik dan minyak
goreng 1,13% dan 1,03%. Selanjutnya, suprlus produsen turun 1,26%, sedangkan surplus
konsumen naik 0,86% dari setiap kenaikan tax 1%.
Dari analisis itu, dapat diambil kesimpulan, pengaruh pajak ekspor menurunkan
pendapatan riil marginal produsen kelapa sawit dari ketiga kelompok perkebunan yaitu
perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta.
Hal itu pun pernah dikemukakan Bambang Dradjat, peneliti senior di Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia (LRPI).
Dalam kasus CPO, PE dapat diartikan sebagai memajaki negara lain atau dunia yang
mengimpor CPO, bukan memajaki pengusaha CPO.
Pengusaha CPO hanya sebagai perantara karena dengan posisi Indonesia sebagai salah
satu negara pengekspor besar (a big country exporter), pengenaan PE atas CPO
memengaruhi situasi pasar internasional dan selanjutnya harga CPO naik.
Menurut dia, pengusaha tidak dirugikan, tetapi keuntungan dari adanya wind fall gain
kenaikan harga internasional dikurangi.
Pemerintah mengambil untung untuk mengatasi masalah keuangan nasional dan
keuntungan itu saat ini baru diarahkan untuk memberi subsidi dan menanggung PPN
minyak goreng (PPN-DTP).
Promosi & advokasi
"Dalam perspektif ekonomi politik pertanian, apa yang dilakukan pemerintah saat ini
masih kurang dari cukup," ujarnya.
Dana yang didapat dari penerapan PE ditambah produk lainnya juga dialokasikan untuk
keberlanjutan usaha perkebunan, promosi dan advokasi tentang berbagai isu kelapa sawit
di luar negeri, penelitian dan pengembangan serta perbaikan infrastruktur perkebunan,
terutama jalan produksi.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Dari berbagai produk kelapa sawit yang terkena PE usulan alokasi untuk mengatasi
masalah keuangan dan kemiskinan dibandingkan dengan pengembangan industri kelapa
sawit 70% berbanding 30%, suatu tingkat perbandingan yang tidak mengutamakan
egosektoral.
"Usulan alokasi ini pun tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku
[UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak]," katanya.
Kenaikan export tax itu efektif untuk mendorong naik harga palm oil di pasar dunia.
Namun, lagi-lagi harus diakui, yang akan memetik keuntungan adalah rival Indonesia,
Malaysia. Sebab, dengan tax itu membuat konsumen tidak melirik CPO asal Indonesia,
tetapi melirik ke Malaysia.
Soal kebijakan tax yang satu ini, bukan barang baru. Pada 1998, Pemerintah Indonesia
menerapkan 60% untuk meredam keberingasan harga minyak goreng yang melonjak
akibat harga crude palm oil hingga bergerak pada level US$600 (CIF Rotterdam).
Namun, industri ini, yang tidak menikmati subsidi pupuk ataupun BBM yang mengikuti
harga industri, tentu berharap hasil tax, sepersekian persennya dikembalikan ke industri
itu.
Selain soal tax, industri masih menghadapi berbagai persoalan. Terutama di luar negeri,
baik dari konsumen yang kian rewel soal kesehatan maupun dari LSM yang semakin
aktif menyoroti aspek lingkungan.
Belum lama ini, lembaga pemeringkat Moody`s mengatakan produsen CPO Asia masih
akan menikmati tingginya harga komoditas itu di pasar internasional 12-18 bulan
mendatang, meski pertumbuhan biofuels yang banyak dipuja-puji hanya tumbuh sedikit.
bisnis.com
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=369&db=artikel
ABSTRAK
kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Selain biofuel,
kelapa sawit juga digunakan untuk beribu-ribu kegunaan lain dari bahan-bahan makanan
ke pelumas mesin hingga dasar kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi produk agrikultur
yang sangat penting untuk Negara-negara tropis di seluruh dunia. Bagi Indonesia sawit
juga menyimpan suatu ironi tersendiri, tidak bisa dipungkiri lagi usaha agrobisnis sawit
telah memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Negara ini.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=369&db=artikel
ARTIKEL -
Kenapa kelapa sawit menjadi buah panen nomor satu, mengalahkan kompetitor
terdekatnya, seperti jagung dan pisang yang rendah? Jawabannya secara sederhana
karena kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar
kelapa sawit dapat menghasilkan 5000 kg minyak mentah, atau hampir 6000 liter minyak
mentah menurut data Journney to Forever. Sebagai pembanding kedelai dan jagung hasil
yang kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan biologis yang unggul, hanya
menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.
Selain biofuel, kelapa sawit juga digunakan untuk beribu-ribu kegunaan lain dari bahanbahan makanan ke pelumas mesin hingga dasar kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi
produk agrikultur yang sangat penting untuk Negara-negara tropis di seluruh dunia,
terutama saat harga minyak mentah mencapai 70 USD per barrel. Akibatnya Indonesia
saat ini merupakan Negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia hingga
perkebunan kelapa sawitnya mencakup 5.3 juta hektar di tahun 2004.
Perkebunan sawit telah menghasilkan 11.4 juta ton kubik minyak kelapa mentah dengan
nilai ekspor sebesar 4.43 milyar USD dan mendatangkan 42.4 juta USD ke dalam kas
Negara. Karenanya nilai dari minyak kelapa terus meningkat. Harganya saat ini mencapai
lebih dari 400 USD per ton kubik, atau sekitar 54 USD per barrel cukup kompetitif bila
dibandingkan dengan minyak mentah (petroleum).
Bagi Indonesia sawit juga menyimpan suatu ironi tersendiri, tidak bisa dipungkiri lagi
usaha agrobisnis sawit telah memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Negara
ini. Namun sawit Indonesia terus tumbuh pesat beberapa tahun terakhir, luas areal terus
bertambah demikian pula produksi dan ekspor. Bahkan pemerintah menargetkan tahun
2008 menjadi produsen nomor satu di dunia, melampaui Malaysia.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 29 Agt 06
Hujan itu membasahi ladang sawit
Dan peneroka di rumah, sedang sakit
Bermimpi tentang keluarga makmur dalam perit
Bermimpi tentang turun naik harga sawit
Itu adalah sepenggal sajak bertajuk 'Hujan Memasuki Ladang Sawit' karya Arisel BA.
Sajak itu memperlihatkan betapa harga sawit, yang baik dan buruk, mampu membawa hal
itu ke dalam mimpi pelakunya (petani atau produsen).
Memang, di antara sekian banyak sektor yang menjadi andalan penerimaan devisa
Indonesia, kelapa sawit dan produk turunannya, salah satu yang menonjol. Hingga 2005,
total nilai ekspor komoditas pertanian ini US$4,7 miliar.
Sepanjang sejarah keberadaan tanaman ini di Indonesia, bangsa ini tidak pernah tidak
menerima hasil. Komoditas ini, bahkan tidak pernah merasa letih untuk memberikan
uang banyak kepada bangsa ini, kendati sering 'diperas'. Bahkan, dari tahun ke tahun,
pertumbuhan sumbangan sawit terus memperlihatkan prestasi yang mengesankan.
Indikatornya, banyak orang menjadi kaya raya dari tanaman (Elaeis guineensis) yang
asalnya dari Afrika Barat ini, baik sebagai pengusaha maupun sebagai tenaga kerja, bisa
dijadikan gambaran itu.
Tanaman ini menjadi salah satu instrumen yang mendonasikan rezeki ke pundi-pundi
keuangan perusahaan besar atau para 'raja sawit', paling tidak kepada delapan pengusaha
besar di Indonesia. Yakni Bakrie and Brothers melalui PT Bakrie Sumatra Plantations,
Sinarmas Grup melalui PT Golden Agri Resources, Raja Garuda Mas atau RGM dari PT
Asian Agri, Astra Internasional Grup melalui PT Astra Agro Lestari Tbk, Napan Group
dari PT PP London Sumatera Indonesia, Socfin Group melalui PT Socfindo, Salim Group
melalui PT Salim Plantations, SIPEF Group dari PT Tolan Tiga.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Pada Januari 1998, Far Eastern Economic Review pernah menggambarkan hasil yang
diperoleh para pengusaha dari minyak sawit. Salah satunya tentang rekor keuntungan PT
PP London Sumatera Indonesia (Lonsum) yang 'were going through the roof'. Dalam
tulisan itu digambarkan, pada 1996 net profit Lonsum Rp80,6 miliar atau US$34 juta
(dengan kurs dolar AS saat itu) dari hasil penjualan Rp208 miliar. Bahkan pada sembilan
bulan pertama 1997, keuntungan dari total operating profit Lonsum mencapai Rp83
miliar atau tumbuh 17% (year on year). Pertumbuhan profit margin itu tidak terlepas dari
hasil ekspor 60% produksi Lonsum, di mana harga CPO saat itu tengah booming. Bahkan
pada saat nilai mata rupiah diambangkan pada pertengahan Agustus 1997, dan kemudian
terdepresiasi 5% terhadap dolar AS, memberikan nilai tambahan 2% kepada penghasilan
(earning) Lonsum.
Lahan kelapa sawit 10 pengusaha besar pada 1997
Group
Perusahaan
1. Salim Group
2. Sinarmas Group
3. Texmaco Group
4. Raja Garuda Mas
5. Astra Group
6. Hashim Group
7. Surya Dumai Grup
8. Napan Group
9. Duta Palma Group
10. Bakrie and Brothers
Total
PT Salim Plantations
PT Golden Agri Resources
PT Asian Agri
PT Astra Agro Lestari Tbk
Total
lahan (ha)
1.155.745
320.463
168.000
259.075
192.375
44.235
154.133
245.629
65.800
49.283
2.854.738
Sebelum ekonomi Indonesia ini terpuruk, dari data milik Center for International Forestry
Research (Cifor) pada Juni 2000, luas lahan yang dikuasai para pengusaha itu, totalnya
masih mencapai 1,25 juta hektare. Sedangkan total area perkebunan di Indonesia saat itu
sekitar 2,51 juta hektare. Sisanya, 813.175 hektare dikuasai petani kecil (smallholders)
dan 448.735 hektare dikuasai perkebunan negara (PTPN).
Lonjakan itu mulai terasa dari 1986 dan puncaknya pada 1996 di mana perkebunan
swasta seluas 1,1 juta hektare. Padahal, pada 1986, masih 144.182 hektare. Ini berarti,
setiap tahun (1986-1996), bertumbuh sekitar 24%, sedangkan pertumbuhan rata-rata pada
per tahun periode 1969-1986, 7,6%.
Tanaman produksi
Sementara itu, dari data Badan Planalogi Dephut, pada 1997 luas lahan yang dikuasai
sepuluh swasta besar di oil palm, termasuk Duta Palma Group, Texmaco, Surya Dumai
Group dan Hashim Group, mencapai 2,85 juta hektare dan yang ditanami 723.206 ha.
Tapi itu pun tidak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah kepada investor untuk
mengembangkan kelapa sawit. Begitu besar potensi ekonominya, pemerintah (19861996) membuka pintu lebar-lebar kepada swasta masuk ke sub-sektor perkebunan itu
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
pertumbuhan pada periode tahun 1992 hingga 1997 meningkat hingga 420.000 ton per
tahun.
Keyword : Perkebunan Sawit, Produksi minyak sawit
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Selatan itu dibawa ke Kebun Raya Bogor tahun 1848. Pohon palma itu di kemudian
dikenal luas dengan nama kelapa sawit (Elaeis guineensis). Dari biji buah tanaman sawit
itu kemudian pada tahun 1911 di pantai timur Sumatera Utara dikembangkan kebun sawit
pertama di Sumatera.
Pada tahun 1915 pengusaha asal Inggris telah mengusahakan perkebunan-perkebunan
sawit berskala kecil di kawasan tersebut, mereka membuka sebuah perkebunan sawit
pertama kali seluas 2.715 hektar. Perkebunan ini kemudian makin berkembang menjadi
lebih dari 100.000 hektar pada tahun 1939. Pada era tahun tersebut, kehebatan sawit
Sumatera Utara telah mulai terdengar hingga ke manca negara, hingga banyak pengusaha
asal Inggris yang datang ke Sumatera dan tertarik untuk membudidayakan sawit. Pada
tahun 1968 luasan kebun kelapa sawit semakin bertambah besar 119.600 hektar. Pada
tahun 1978 luasan itu berkembang menjadi 250.116 hektar. Kemudian, sejak tahun 1979
hingga tahun 1997 laju pertambahan areal kelapa sawit mencapai rata-rata 150.000 hektar
pertahun. Saat ini, total luas areal sawit di Indonesia telah jauh berkembang hingga lebih
dari empat juta hektar.
Hal itu, tentu saja mempengaruhi tingkat produksi yang juga terus berkembang. Pada
periode tahun 1979 hingga tahun 1991 laju produksi rata-rata per tahun mencapai sekitar
230.000 ton. Sementara itu, laju pertumbuhan pada periode tahun 1992 hingga 1997
meningkat hingga 420.000 ton per tahun. Pada masa itu produksi sawit Indonesia
mencapai lebih dari 5 juta ton per tahun. Berdasarkan data dari sebuah simposium,
diketahui bahwa kualitas dan perdagangan produksi minyak sawit mentah yang diadakan
di Kuala Lumpur tahun 1968, tercatat produksi minyak sawit mentah Indonesia baru
mencapai 190.000 ton, sedangkan Malaysia telah mampu memproduksi sekitar 370.000
ton minyak sawit mentah.
Lalu 33 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2001, produksi minyak sawit Malaysia
melonjak drastis menjadi 11 juta ton, sedangkan Indonesia juga meningkat menjadi 8 juta
ton lebih. Sekitar 5 juta ton dari produksi CPO Indonesia itu di lepar ke pasar ekspor,
yakni ke India, Cina, dan Thailand. Dari total produksi nasional yang mencapai 8 juta ton
CPO tersebut, Sumatera memiliki kontribusi produksi lebih dari 6,9 juta ton CPO per
tahun. Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu penghasil utama komoditi kelapa
sawit dengan areal perkebunan di Sumatera Utara tahun 2002, seluas lebih dari 650 ribu
hektar, total produksi mencapai 2,6 juta ton.
Pasar Internasional Minyak Nabati Dunia dan Prospek CPO
Konsumsi minyak nabati dunia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan
dengan laju pertumbuhan rata-rata 4.6 persen per tahun. Konsumsi minyak nabati dunia
pada tahun 1995 masih sekitar 92,4 juta ton, tahun 1997 mencapai 100,3 juta ton, dan
pada tahun 2000 telah mencapai 113,8 juta ton. Di tahun 2002 konsumsi dunia ini bahkan
telah menginjak angka 121,3 juta ton. Dari 17 jenis minyak nabati yang tercatat, ternyata
hanya 4 jenis yang mendominasi yaitu; minyak kedelai, minyak sawit, minyak lobak dan
minyak bunga matahari.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
berkisar antara 4700-6000 kkal/m3 atau 20-24 MJ/m3, maka produksi biogas sebesar itu
setara dengan 516 ribu ton gas LPG, 559 juta liter solar, 665,5 juta liter minyak tanah,
atau 5052,5 MWh listrik. Ini tentu bukan nilai yang dapat hanya dipandang sebelah mata.
Apalagi jika asumsi tahun 2010 Pulau Jawa akan kehabisan listrik itu benar adanya.
Potensi limbah cair sebagai penghasil listrik sudah dikembangkan di Malaysia. Sejak
tahun 2001 negara jiran ini melaksanakan program yang disebut dengan Small
Renewable Energy Programme (SREP). Salah satu energi terbarukan yang
dikembangkan dalam program ini adalah mengolah limbah cair PKS menjadi biogas.
Bumibiopower (Pantai Remis) Sdn Bhd adalah salah satu perusahaan di Malaysia yang
melaksanakan proyek produksi biogas tersebut. Biogas yang dihasilkan selanjutnya
dimanfaatkan untuk generator listrik dengan kapasitas 1-1,5 MW.
Alternatif lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah padat kelapa sawit yang
paling sederhana adalah menjadikannya briket arang. Caranya dengan pemadatan melalui
pembriketan, pengeringan, dan pengarangan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit telah berhasil
merancang bangun paket teknologi untuk produksi briket arang ini, baik dari bahan
TKKS maupun cangkang sawit. Karena sifat bahan yang berbeda, bahan
TKKS memerlukan tungku tipe vertikal, sedang untuk cangkang diperlukan tungku
horizontal guna menghasilkan arang bermutu tinggi (Nilai Kalor > 5000 kalori/gram).
Proses pembriketan dapat dilakukan dengan mesin pembriket tipe ulir dengan kapasitas
satu ton per hari. Mesin ini menghasilkan briket arang berbentuk silinder dengan
diameter 5 cm dan panjang 10-30 cm sesuai dengan ukuran briket arang komersial dari
serbuk gergaji. Keunggulan produk arang ini antara lain karena permukaannya halus dan
tidak meninggalkan warna hitam bila dipegang.
Kernel (biji sawit); biji sawit ini juga dapat diolah lagi menjadi produk minyak.
Pengolahan kerenel sawit ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai industri. Bahkan di
Malaysia, penelitian untuk pemanfaatan kernel ini sudah banyak berkembang. Hasil
penelitian terakhir menyebutkan bahwa kernel juga sangat bagus sebagai bahan pakan
ikan, sebab mengandung protein yang cukup bagus bagi pertumbuhan ikan.
Cangkang biji sawit dan serat ; cangkang sawit dianggap sebagai salah satu potensi hasil
samping lain yang dimanfaatkan sebagai sumber energi. Untuk pengolahan 1 ton TBS,
normalnya membutuhkan 20-25 kWh tenaga listrik dan 0,75 ton uap air. Pembakaran
serat dan cangkang biasanya akan menghasilkan 45 kWh dari 210 kg cangkang dan serat
dan untuk pembakaran tandan kosong (230 kg) akan menghasilkan 35 kWh. Artinya
hanya dengan pembakaran limbah padatnya saja sudah bias mencukupi kebutuhan listrik
pabrik, sisanya 56 kWh bisa di jual atau digunakan untuk keperluan lain.
Tandan kosong memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan lagi.
Selama ini di pabrik pengolahn kelapa sawit tandan kosong ini hanya dip roses melalui
proses pembusukan (fermentasi) dan kemudian dimanfaatkan kembali sebagi pupuk bagi
tanaman saweit itu sendiri. Namun dibeberapa Negara (bahkan Malaysia) sudah mulai
memanfaatkan tandan kosong ini sebagai salah satu bahan pulp untuk pembuatanm kertas
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
selain itu dapat di gunakan juga sebagai media budidaya jamur sehingga dapat
meningkatkan pendapatan dan mengurangi limbah padat yang dihasilkan.
Limbah cair dilakukan pemisahan terlebih dahulu antara minyak dan airnya. Sebelum air
tersebut digunakan untuk mesin pemanas generator yang berfungsi sebagai suplai energi
sebagai mesin penggerak mesin di pabrik CPO tersebut sedangkan minyak sawit hasil
pengutipan dapat dijadikan sebagai sumber karotenoid dan bahan baku pabrik sabun
sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi limbah yang dihasilkan.
Kesemua potensi pemanfaatan hasil samping tersebut memiliki peluang untuk
dikembangkan guna mendukung industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Masyarakat berpendapat, imbal dagang membanggakan di tengah terpuruknya
sektor pertanian kita selama ini. Namun, ketika diteropong dari perspektif nilai tambah
CPO, prestasi ini hanya kebanggaan semu. Negara kita belum mampu memproduksi
secara komersial berbagai produk olahan CPO, mulai dari berbasis pangan maupun
nonpangan, sehingga kesempatan emas itu lewat begitu saja dan kita pun cukup puas
membarter CPO dengan Sukhoi. Padahal, negara pecahan Uni Soviet itu pasti
membutuhkan berbagai produk turunan CPO, termasuk oleokimia untuk berbagai industri
yang mereka kembangkan. Mungkin pemerintah cukup puas dengan keuntungan yang
diperoleh dari ekspor CPO sehingga lupa membangun industri hilir sawit. Keuntungan
yang dijanjikan CPO itu mendorong perkembangan perkelapasawitan di Indonesia
mengalami percepatan luar biasa. Seiring dengan itu, pembukaan lahan baru pun
bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Kini Indonesia menempati posisi kedua
terbesar di dunia sebagai produsen CPO setelah Malaysia. Diperkirakan, tahun 2012
Indonesia akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia dengan total produksi 15 juta ton
per tahun, jauh meninggalkan Malaysia dengan produksi sekitar 11 juta ton.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
sehingga biayanya relatif rendah, yang pada gilirannya menjadi daya tarik kepada
investor.
Seiring dengan itu, pembukaan lahan baru pun bertambah secara signifikan dari tahun ke
tahun. Tahun 1980, areal kelapa sawit baru mencapai 29.560 hektar-terbatas di Aceh dan
Sumatera Utara-dengan produksi 721.172 ton CPO. Pada tahun 2003, areal perkebunan
kelapa sawit menggelembung mendekati 3,5 juta hektare dengan produksi CPO sebanyak
8 juta ton setiap tahunnya.
Kini Indonesia menempati posisi kedua terbesar di dunia sebagai produsen CPO setelah
Malaysia. Diperkirakan, tahun 2012 Indonesia akan menjadi produsen CPO terbesar di
dunia dengan total produksi 15 juta ton per tahun, jauh meninggalkan Malaysia dengan
produksi sekitar 11 juta ton.
Tertinggal
Dari segi jumlah produksi CPO yang amat besar, kita boleh berbangga, apalagi dalam
hitungan beberapa tahun lagi kita akan mengungguli Malaysia. Namun, jika berbicara
tentang teknologi kelapa sawit, baik di hulu maupun di hilir, kita amat tertinggal jauh dari
Malaysia. Produksi CPO nasional bisa meningkatkan cukup besar karena melakukan
perluasan areal tanam. Sementara Malaysia karena sudah terbatas areal yang akan
digarap, peningkatan produksi dilakukan lewat intensifikasi.
Malaysia, yang dulunya harus berguru kepada Indonesia untuk menanam sawit, sekarang
lebih unggul. Dari tingkat produktivitas tandan buah segar (TBS) per hektar per tahun,
secara rata-rata kita baru mencapai 15 ton. Sementara Malaysia telah mampu
menghasilkan TBS sebanyak 25 ton per hektare setiap tahun.
Mereka juga membangun prasarana jalan, alih teknologi kelapa sawit dan pelabuhan yang
lebih baik. Hasilnya, pengangkutan TBS dari kebun ke pabrik berjalan lancar, dan proses
pemompaan CPO ke kapal dapat dilakukan dengan kecepatan 300 ton per jam.
Bandingkanlah dengan prasarana jalan di berbagai lokasi perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, bukan rahasia lagi, kualitasnya amat rendah. Jika hujan sedikit saja, truk
pengangkut TBS akan menghadapi medan yang amat jelek sehingga mengakibatkan
lambatnya pengangkutan TBS ke pabrik kelapa sawit. Dapat dibayangkan, mutu CPO
yang dihasilkan akan rendah dan yang menanggung kerugian petani sawit.
Berpijak pada jumlah produksi CPO yang meningkat setiap tahun, seharusnya Indonesia
sudah memiliki industri hilir minyak sawit guna memperoleh nilai tambah sebesar
mungkin. Selama ini hampir 70 persen dari total produksi CPO nasional-hanya memberi
nilai tambah 20 persen-diekspor, antara lain ke India, Cina, dan Thailand. Seandainya
CPO ini sudah diolah terlebih dulu menjadi berbagai produk turunan, maka akan
memberi nilai tambah lebih besar lagi karena harga relatif mahal dan stabil.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Gliserin dan fatty alcohols dapat menjadi contoh oleokimia dasar yang harganya dapat
mencapai 1.000 dollar AS per ton. Di pasaran internasional, diperkirakan harga oleokimia
cenderung meningkat setiap tahun karena permintaan yang terus menaik. Penggunaan
oleokimia ini amat luas sebagai bahan dalam industri sabun dan detergen, kosmetika,
farmasi, plastik, karet, serta berbagai industri lainnya.
Harapan
Mengingat nilai tambah yang "menempel" di CPO relatif kecil, maka di masa datang tak
bisa lagi Indonesia hanya mengandalkan ekspor CPO. Sementara itu, harga CPO di pasar
internasional cenderung menurun karena dipicu oleh membeludaknya pasokan CPO dari
sejumlah negara lain yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Artinya, produksi
kelapa sawit dunia akan membengkak. Hal ini dapat mengakibatkan Indonesia
mengalami over produksi CPO.
Guna mengatasi over produksi ini, CPO harus diolah sebanyak-banyaknya menjadi
beragam produk turunan. CPO bisa dijadikan berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari
sabun, minyak goreng, margarin, es krim, cocoa butter substitute (CBS), whipping cream,
emulsifier, kosmetika, gliserin, fatty alkohol, hingga produk healty oil.
Sementara itu, industri hilir CPO yang mampu memberi nilai tambah tinggi guna
menggantikan minyak bumi (petro energy) belum berkembang secara baik. Peluang
industri biodiesel sawit terbuka lebar untuk dikembangkan, mengingat keterbatasan
bahan bakar fosil makin lama makin habis.
Pangsa pasarnya adalah negara-negara maju di Eropa yang terbiasa menggunakan
biodiesel, namun terkendala bahan bakunya, yakni rapeseed dan minyak kedelai.
Implikasinya, bukan saatnya lagi mengandalkan bisnis ekspor CPO, tetapi pengolahannya
lebih lanjut menjadi berbagai produk hilir adalah tugas kita jika mau mendapatkan
keuntungan berlipat ganda.
Posman Sibuea, Peserta Program Doktor Ilmu Pangan di UGM, Lektor Kepala di
Jurusan THP Unika St Thomas SU Medan, anggota Tim Teknis Dewan Ketahanan
Pangan Sumatera Utara
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/30/opini/392966.htm
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 30 Jun 03
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
KELAPA sawit merupakan tanaman serbaguna, Indonesia dan Malaysia memiliki potensi lahan
yang subur serta pasokan tenaga kerja yang cukup untuk menjadikan kelapa sawit sebagai
andalan pertumbuhan ekonomi. Saat ini Indonesia dan Malaysia memasok 22 persen dari total
produksi minyak nabati dan lemak dunia.
Kedua negara itu menguasai 85 persen produksi minyak sawit mentah (CPO) dengan volume
mencapai 49 persen dari total perdagangan minyak nabati dan lemak dunia. Menurut perkiraan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada tahun 2010 Indonesia akan menjadi
produsen kelapa sawit nomor satu di dunia.
Pengembangan kelapa sawit itu akan memberikan tambahan sumber devisa. Total devisa ekspor
produk berbasis minyak sawit mencapai 4,8 miliar dollar AS atau 8 persen dari total ekspor
nonmigas Indonesia tahun 2004. Permintaan CPO dan produk turunannya masih tetap tinggi
karena rendahnya tingkat konsumsi minyak nabati penduduk China, Indonesia, dan India.
Meluasnya perkebunan sawit di Indonesia memberikan kesejahteraan bagi para petaninya.
Menurut estimasi kelompok Sinar Mas, investasi di setiap proyek percontohan (pilot project)
perkebunan kelapa sawit seluas dua juta hektar akan memberikan devisa kepada negara
sebesar 87,5 miliar dollar AS selama 25 tahun. Nilai devisa itu hampir sepuluh kali lipat dari nilai
investasi awalnya.
Proyek ini pun memberikan 200.000 tambahan lapangan kerja di perkebunan inti dan enam juta
orang untuk keluarga petani plasma dan industri penunjang dengan penghasilan rata-rata Rp 2
juta per bulan. Efek multiplier adalah tumbuhnya usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi,
berkembangnya kontraktor lokal serta tersebarnya investasi penanaman modal dalam negeri
(PMDN) di 15 jenis pengolahan produk kelapa sawit.
Produk hilir masih akan berkembang karena rendahnya biaya produksi CPO, yakni sekitar 250
dollar AS per ton dengan harga jual yang cukup tinggi, yakni 400 dollar AS per ton selama 10
tahun terakhir.
Demikian juga proses substitusi minyak soybean (kacang kedelai) dan bunga matahari ke CPO
masih berlanjut. Hal itu dikarenakan masih adanya kandungan trans fat yang memengaruhi
kesehatan pada produk saingan tersebut.
Margin usaha yang masih tinggi itulah yang membawa pengaruh luar biasa atas minat investor di
dalam negeri. Mereka mendominasi sekitar 56 persen dari 919 jumlah proyek investasi PMDN
yang disetujui pada tahun 2001 sampai dengan Maret 2005.
PMDN yang disetujui itu meliputi 374 perkebunan kelapa sawit dengan nilai Rp 12,7 triliun dan
139 pabrik pengolahan dengan nilai Rp 7,4 triliun. Pada tahun 2004, kapasitas pabrik minyak
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
goreng mencapai 8,6 juta ton per tahun. Kebijakan free entry oleh pemerintah telah memengaruhi
perkembangan tersebut.
Isu lainnya adalah masalah kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah. Koordinasi yang
sangat lemah adalah masalah pemberian izin pabrik kelapa sawit, tanpa memperhitungkan
ketersediaan pasokan tandan buah segar (TBS) di sekitar wilayah areal pabrik. Ekses negatifnya
adalah timbulnya pencurian TBS milik perusahaan perkebunan besar di beberapa kabupaten.
Masih juga dijumpai perizinan perluasan areal kebun sawit yang dikeluarkan pemerintah daerah
(pemda) digugat kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu. Gugatan itu muncul
karena departemen teknis yang menangani rencana umum tata ruang dan izin eksploitasi hutan
terlambat mengeluarkan kebijakan yang sinkron.
Kewenangan dalam proses perizinan antara pemerintah pusat dan pemda masih saling tumpang
tindih. Penetapan berbagai retribusi tambahan oleh pemda dalam proses logistik TBS dan CPO
menambah beban produsen. Ekonomi biaya tinggi ini dan pajak ekspor CPO membuat daya
saing produsen kita semakin lemah.
Pada beberapa kasus di lapangan dijumpai Hak Guna Usaha (HGU) yang diubah setelah lebih
dari 15 tahun pengusaha perkebunan sawit menjalankan usahanya. Banyak pejabat di daerah
belum mengerti dan menghormati pemberlakuan kontrak hukum yang bersifat jangka panjang.
Jaminan keamanan belum dapat dipelihara dengan adanya kegiatan sporadis ulah beberapa
oknum yang mencemarkan produk CPO. Misalnya saja memasukkan minyak solar atau air seni
di tangki-tangki CPO. Hal ini akan merusak citra ekspor Indonesia dalam jangka panjang.
Hambatan pengembangan perkebunan sawit menjadi kenyataan dengan terjadinya kelangkaan
pasokan bibit yang bermutu di Tanah Air. Dengan defisit pasokan sebanyak 30 juta sampai
dengan 40 juta bibit per tahun, diperkirakan telah beredar 50 persen bibit palsu di masyarakat.
Di masa depan hal ini akan memengaruhi kualitas kebun petani sawit kita dan menurunkan
tingkat produktivitas. Bagi produsen di kawasan timur Indonesia, keberadaan sarana pendukung
infrastruktur, seperti akses jalan menuju ke perkebunan, lokasi tangki timbun, atau ke pelabuhan
ekspor, sangat terbatas. Bahkan, pelabuhan khusus bagi aktivitas usaha sawit sangat terbatas.
Selain itu juga masalah ketersediaan pupuk. semua itu merupakan hambatan struktural yang
menghadang laju percepatan perluasan perkebunan sawit di kawasan tersebut.
Akhirnya, pengembangan perkebunan sawit sangat tergantung pada ketersediaan sumber
pembiayaan jangka panjang. Sayangnya, persepsi negatif di kalangan bankir nasional masih
ada. Mereka masih memandang pembiayaan di sektor ekonomi ini berisiko tinggi.
EKSPANSI usaha perkebunan dan pengolahan kelapa sawit di masa depan sangat memerlukan
kepastian sistem perizinan, ketersediaan lahan, dan pasokan TBS. Industri ini memerlukan
kejelasan peraturan dan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemda.
Pemerintah dituntut segera merealisasikan kepastian HGU, melakukan sinergi terhadap
peraturan teknis yang tumpang tindih. Selain itu, melakukan pengembangan infrastruktur dan
sarana logistik serta pengembangan penelitian dan pengembangan.
Pemerintah pusat dapat segera mengeluarkan semacam surat keputusan bersama (SKB)
menteri terkait yang memberikan pelayanan perizinan yang transparan satu pintu dalam kegiatan
perluasan dan pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Sistem pengumpulan dan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
pemutakhiran data dan informasi secara terpusat perlu segera direalisasikan oleh lembaga semi
publik yang dipercaya.
Pemda harus segera memberikan jaminan sistem pengamanan dalam proses logistik CPO ke
pelabuhan tujuan. Selain itu juga harus mengupayakan bahwa pajak CPO seyogianya segera
ditiadakan.
Bagi para pelaku perkebunan kelapa sawit, mereka perlu memprioritaskan agenda program
peningkatan produktivitas kebun, selain upaya memelihara kualitas produk dan mempertajam
target efisiensi produksi.
Program perkebunan inti rakyat (PIR) kelapa sawit yang memberikan tanggung jawab tambahan
pada pengusaha inti dalam pengadaan bibit bermutu merupakan solusi jangka panjang
mengatasi defisit pasokan bibit.
Dengan upaya revitalisasi yang minimal tersebut, industri kelapa sawit diharapkan dapat memiliki
daya saing dan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Aditiawan Chandra Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
MASALAH - MASALAH
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
anggota parlemen maupun sebagai kepala daerah sudah harus memprioritaskan untuk
menyelesaikan sengketa ini.
Maka menurut penulis, sudah saatnya agenda penyelesaikan sengketa pembangunan
perkebunan kelapa sawit merupakan agenda yang diprioritaskan dalam program dan
kampanye di pemilu 2009 dan Pilkada-pilkada lainnya.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
Jika boleh berandai-andai, krisis keuangan global merupakan badai. Maka, efek dari daya
amuknya, pasti dahsyat, memorak-morandakan hal-hal yang disasar.
Tak terkecuali bagi industri unggulan a.l. crude palm oil yang selama ini jadi primadona
ekspor. Raksasa ekspor dari sektor pertanian ini, pasti limbung diterpa badai itu. Kaki
yang kokoh, bergetar.
Akankah dia terempas lalu mati sebagai sang primadona ekspor?
Jika menoleh ke belakang, saat Indonesia diterpa krisis ekonomi 1997-1998, sektor ini
mampu memperlihatkan jati dirinya yang tangguh dan tajir.
Pasalnya, miliaran dolar AS di pasok ke negeri ini pada saat sektor lainnya kolaps. Para
petani 'pesta'. Para produsen CPO, bertolak pinggang.
Kendati harga komoditas kala itu masih sekitar setengah dari rekor harga AgustusSeptember 2008, menguatnya nilai tukar dolar AS, membuat pendapatan pelaku di sektor
itu-termasuk komoditas lainnya seperti kakao, karet- masih berlipat-lipat.
Krisis saat itu, yang dipicu oleh fondasi ekonomi kita yang tidak kokoh, membuat mereka
menuai keuntungan di tengah badai.
Namun, kondisi itu, tidak terlalu membuat nyaman pelaku usaha skala besar di sektor itu
a.l. Sinar Mas, Bakrie, London Sumatra, Salim Grup.
Lantaran, pendapatan yang besar itu tergerus untuk menutupi utang yang jatuh tempo
dalam mata uang asing.
Tidak sedikit utang mereka diperoleh dalam mata uang AS. Lantaran diperoleh dari bank
asing. Sebutlah misalnya dari Deutsche Bank, Commerzbank,DEG, Bayerische Hypo und
Vereinsbank.
Salah satu tokoh minyak sawit Jan Willem van Gelder pun mengakui banyak perusahaan
Indonesia yang menghadapi krisis keuangan dalam periode krisis.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kini, 'badai' tak hanya menerpa Indonesia. Dipicu subprime mortgage di AS, krisis
keuangan mengglobal. Pasar menahan diri. Produk menumpuk, harga anjlok, dan air
mata mengalir deras.
Harga komoditas pertanian, jeblok. Begitupun minyak sawit, mentok dan terbanting dari
level US$1.200 per ton menjadi US$350 per ton pada akhir Desember 2008.
Kondisi ini, membuat keuntungan tidak seperti yang diharapkan. Apalagi kontrak
pembelian banyak yang dibatalkan.
Proyeksi harga CPO 2009 (US$/ton)*
.
Gapki
LMC International
Oil World
Godrej International
Ket.:
*
harga
Sumber: (diolah)
FOB
Terendah
500
350
660
420
Belawan
Tertinggi
600
400
-
dan
Malaysia
Derivatives
Exchange
Pertumbuhan kredit
Padahal, dua pertiga biaya produksi (masih) dimodali dari pinjaman bank. Salah satu
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dalam The 3rd MRC Doctoral Journey in
Management in conjunction with The 1st Master Journey in Management, kerja sama
FEUI dan harian Bisnis Indonesia, pada 7 Agustus 2008 di Jakarta, memaparkan indikasi
itu.
Data kredit perbankan ke sektor pertanian yang tumbuh pesat selama setahun terakhir
(Juni 2007-2008), mencapai 30,7%.
Dalam data statistik perkreditan di Bank Indonesia, sektor pertanian dibagi ke dalam
delapan subsektor.
Namun, jika ditelah lebih jauh, pertumbuhan yang pesat itu hanya terjadi pada kredit
berskala besar, sedangkan kredit UMKM yang meliputi kredit mikro (s/d Rp50 juta),
kecil (Rp50 juta - Rp500 juta), dan menengah (Rp500 juta - Rp5 miliar) yang disalurkan
ke sektor pertanian hanya tumbuh 20% selama periode yang sama.
Perkembangan kredit ini ditengarai pengaruh kenaikan harga komoditas pertanian di
pasar internasional yang terjadi selama hampir 2 tahun terakhir.
Tak ayal, banyak pemain-pemain besar CPO pada akhirnya harus menarik atau mengkaji
ulang rencana ekspansinya. CEO Agribusiness and Foods Sinar Mas, Franky O. Widjaja,
di sela-sela peluncuran Minyakkita di Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur, belum
lama ini, mengakui.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tahun ini akan lebih berhati-hati dan kalau cashflow bagus, akan tambah lagi
[investasinya]. Untuk sementara, mereka konservatif dulu.
Anjloknya harga CPO mendorong PT Antang Ganda Utama (AGU) -anak usaha Gudang
Garam- PIR Butong Kecamatan Teweh Tengah Kabupaten Barito Utara (Barut)
Kalimantan Tengah mengurangi hari kerja.
Harga CPO diperkirakan masih naik menyusul meningkatnya permintaan di pasar
internasional akibat stok yang menipis.
Namun, kenaikannya diperkirakan tidak akan mencapai harga tahun lalu yang sempat di
atas US$1.000 per ton.
Kenaikan itu, pada Januari ini, karena stok menipis setelah konsumsi di Eropa pada
musim dingin akhir 2008 meningkat.
Jadi, pada tahun ini, badai di kebun sawit diperkirakan masih mengganggu. Badai belum
pasti akan berlalu. (martin.sihombing@bisnis.co.id)
bisnis.com
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
Harsono, salah satu petani sawit generasi pertama program inti rakyat (PIR) di kawasan
transmigrasi di Desa Bukit Harapan, Provinsi Jambi. Setelah 'terhuyung-huyung' di awal
program bentukan era rezim Soeharto pada 1970-an itu, nasibnya kini tentu telah
berubah.
Dia tidak lagi menjual ikan asin jatah bulanan transmigran untuk ditukarkan dengan
sebungkus rokok lantaran duit yang dibawa dari kampung -yang diperoleh dari hasil
penjualan sawahnya yang 'sepetak' warisan dari orangtuanya- sudah ludes untuk
menutupi kebutuhan selama tinggal di kawasan, yang saat itu masih berupa hutan.
Kini, program PIR -dengan menjadi petani plasma dari salah satu perusahaan perkebunan
kelapa sawit milik bos Raja Garuda Mas (RGM), Sukanto Tanoto, PT Inti Indosawit
Subur di Jambi- telah mengubah hidupnya.
Dia tidak lagi hanya memiliki lahan sawit yang dijatahi pemerintah sekitar dua hektare di
luar pekarangan dan rumah tinggalnya.
Kini, dia bukan hanya dijuluki 'raja sawit' kecil dari Jambi. Lantaran, komoditas yang
cikal bakalnya dari Afrika itu, sudah membuatnya memiliki tiga kapling tambahan.
Satu kapling sekitar dua hektare dengan harga per kapling -belum termasuk tanaman
menghasilkan dan yang muda-sekitar Rp50 juta untuk lahan yang bagus dan tidak jauh
dari jalan raya.
Maka, hitung saja, berapa penghasilannya jika dari kebunnya itu, per kapling mampu
menghasilkan rata-rata 4 ton CPO per hektare dengan harga CPO per ton saat ini sekitar
Rp1 juta?
Itu baru satu Husin. Di areal perkebunan itu, kini, banyak Husin tinggal di situ. Jelas, jika
kondisi itu terus dipertahankan, maka banyak sekali petani kelapa sawit yang nasibnya
menjadi lebih sejahtera lantaran berurusan dengan sawit. Jelas, jauh lebih
menguntungkan dibandingkan petani beras.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
%
-4.25
-3.25
-6.33
-7.25
-5.27
Terlebih lagi disaat produk turunan CPO, sebutlah minyak goreng mengalami kenaikkan
harga, maka harga di tingkat petani menjadi pilihan yang harus dikorbankan.
Diakui, selain beras, gejolak harga minyak goreng domestik akan ikut mendorong laju
angka inflasi. Karena itu, pemerintah kerap memilih mencegah industri CPO menjadi
penyumbang laju angka infasi lantaran harga CPO melambung, yang secara otomatis
mengerek harga minyak goreng.
Tidak terganggu
Instrumen yang paling disukai pemerintah adalah pengenaan pajak ekspor (PE). Untuk
mencegah melonjaknya harga migor (minyak goreng), maka pasokan untuk pasar ekspor
harus dihambat (jika tidak pantas dikatakan dilarang). Dengan begitu, pasokan di dalam
negeri pun menjadi tidak terganggu.
Pertanyannnya, kenapa harus PE? Efektifkah PE untuk menekan laju harga minyak
goreng? Pada 1998, kebijakan PE telah memberikan cerita pahit.
Untuk menekan semangat para pengusaha perkebunan besar mengejar dolar AS melalui
sawit -lantaran melemahnya rupiah atas dolar AS menyusul krisis ekonomi-pemerintah
menaikkan PE dua kali, 40% dan 60%.
Memang, kala itu, pemerintah melihat menjelang hari raya keagamaan, saat itu mendekati
Idul Fitri dan Natal yang jaraknya berdekatan, ada gejala, pasokan minyak goreng
terancam kurang dan ditakutkan harga melambung tak terjangkau rakyat yang akan
berhari raya itu. Dikhawatirkan gejolak sosial akan terjadi.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tapi, apa nyatanya? Pemerintah yang tidak kreatif mensiasati situasi itu, kebijakan itu
justru menjadi boomerang bagi pemerintah.
Perkebunan besar, yang modalnya dari pinjaman dengan mata uang dolar AS, akhirnya
tak sanggup memanfaatkan melambungnya harga CPO di pasar internasional, sehingga
dolar AS yang diraup pun menjadi sedikit.
Di sisi lain, pinjaman dolar, telah jatuh tempo. Celakanya, kurs dolar AS saat meminjam,
sekitar Rp2.500, namun saat jatuh tempo kurs dolar AS telah melambung menjadi
Rp10.000 hingga Rp15.000 per dolar AS. Salim Grup, London Sumatera, Bakrie
Plantation, Astra Agro Lestari, Sinar Mas, menggelepar.
Ada yang harus rescheduling utang, ada yang harus menjual sebagian sahamnya dengan
mengkonversi hutang.
Jika yang besar itu 'meringis' akibat penerapan PE, bagaimana para petani pemilik kebun
sawit itu? Apalagi hasil PE itu sendiri, tidak banyak dimanfaatkan untuk pembangunan
perkebunan kelapa sawit dan CPO.
Jelas, untuk menjaga margin dari bisnis CPO, maka para pembeli tandan buah segar
(TBS) milik petani, secara otomatis, menolak harga yang sama dengan harga sebelum ada
PE.
Sebab, dengan PE yang tinggi, harga jual CPO dari Indonesia di pasar ekspor, akan
menjadi lebih mahal. Akibatnya, harga menjadi tidak kompetitif.
Maka, ketika pada 1998 Indonesia mengambil kebijakan yang lebih gampang tapi
efeknya buruk ke depan dan merusak program pengentasan kemiskinan, Malaysia
bersuka cita. Harga mereka menjadi lebih murah dibandingkan harga CPO Indonesia.
Solusinya, pengusaha CPO yang harus mendapatkan bahan baku CPO yang tidak
diproduksi dari kelapa sawit di kebunya sendiri, harga TBS di tingkat petani menjadi
ditekan serendah mungkin, sehingga ketika CPO dijual, PE tidak terlalu membuat harga
jual CPO mereka menjadi mahal.
Kemudian, petani yang tidak banyak punya pilihan, biasanya harus rela untuk menerima
tawaran dari konsumen produknya.
Akibatnya, ke depan, petani pun harus menekan biaya produksi, yang berujung
produktivitas terganggu dan pendapatan petani pun merosot, miskin. Inikah target
pembangunan kita?
Chief Executive Officer (CEO) Sinar Mas Agribusiness and Food, Franky O. Widjaja
mengatakan tingginya harga CPO, terjadi karena tingginya permintaan dan masih
rendahnya produksi.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Menurut Franky, produksi CPO dalam setahun pada semester pertama memang tidak
sebesar semester kedua. "Produksi minyak kelapa sawit pada semester I sekitar 40%45%, sedangkan semester duanya 55-60 persen,"ujarnya.
"Harga CPO dunia akan mulai turun jika produksi sudah mulai meningkat," tuturnya,
yang juga Ketua Harian Dewan Sawit Indonesia (DSI).
Nikmat dan layakkah di tengah kuatnya keinginan Pemerintah Indonesia mengentaskan
kemiskinan, kita justru menyaksikan pertarungan antara petani dan para pekebunan besar,
yang justru seharusnya bersinerji atas dasar win win solution? Duduklah dengan tenang
dan berpikirlah. Tapi, jangan lamban, dong! (martin.sihombing@bisnis.co.id)
bisnis.com
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Departemen Pertanian mengatakan saat ini inti sawit dan TBS masih menjadi
komoditas yang dikenai tataniaga meski masih bisa ekspor melalui Permendag No. 01/MDAG/1/2007
tentang
Perubahan
Lampiran
Keputusan
Menperindag
No.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 31 Agt 07
Departemen Pertanian menginginkan ekspor inti sawit (kernel palm) dan tandan buah
segar (TBS) dilarang agar peningkatan nilai produk turunan hasil sawit itu bisa
dioptimalkan oleh industri dalam negeri.
Sementara itu, hari ini dijadwalkan diumumkan penerapan pungutan ekspor (PE) minyak
sawit mentah (CPO) secara progresif, berlaku pada 1 September 2007.
Ahmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian mengatakan saat ini
inti sawit dan TBS masih menjadi komoditas yang dikenai tataniaga meski masih bisa
ekspor melalui Permendag No. 01/M-DAG/1/2007 tentang Perubahan Lampiran
Keputusan Menperindag No. 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum Di
Bidang Ekspor.
Penerbitan kebijakan larangan ekspor inti sawit dan TBS itu, katanya, akan lebih efektif
mendorong peningkatan nilai tambah dibandingkan dengan penetapan pungutan ekspor.
Apalagi, sambungnya, industri di dalam negeri sudah mampu mengolah kernel itu
menjadi produk yang mempunyai nilai lebih tinggi.
"Yang bermasalah kan CPO-nya. Kalau kita pasang TBS 30% itu kan tidak masalah.
Termasuk untuk kernelnya karena kami harapkan mereka di dalam negeri. Buat apa kita
ekspor kernel itu? Ada pengolahannya di dalam negeri," katanya di Jakarta, Rabu.
Meski demikian, kata Ahmad, keinginan Departemen Pertanian itu saat ini sulit
diimplementasikan karena produk tersebut terdaftar dalam kode tarif barang di
Departemen Perdagangan.
Namun, Diah Maulida, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Depdag, mengatakan
rekomendasi larangan ekspor kernel dan TBS belum sampai ke otoritas perdagangan.
Ekspor produk itu saat ini mesti mendapatkan izin dari Depdag melalui Ditjen
Perdagangan Luar Negeri. Erfandi Thabrani, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan
Kehutanan, Depdag, mengatakan penerbitan izin inti sawit sudah mempertimbangkan
kebutuhan dalam negeri.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran merupakan ambisi dari
pemerintah Indonesia untuk menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Sehingga, Yang menjadi permasalahan kita sebagaimana ketakutan pecinta lingkungan
bukanlah tanaman kelapa sawitnya tetapi sistem perkebunan kelapa sawit skala besar
Keyword : pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
memicu kebakaran hutan sehingga Indonesia mendapat sebutan negara mengekspor asap
dari kebakaran hutan.
Monitoring yang dilakukan oleh Padi Indonesia pada tahun 2003, didapatkan pengakuan
responden yang berasal buruh perempuan perkebunan kelapa sawit, bahwa 95,8 %
responden mengaku racun yang digunakan untuk membersihkan gulma adalah herbisida,
sedangkan sisanya 4,2 % lainnya mengaku menggunakan hormone. Herbisida adalah
jenis racun rumput yang memiliki bahan aktif paraquat. Bahan aktif ini yang merupakan
racun pembunuh yang tidak ada penawarnya. Menurut WHO paraquat termasuk kedalam
dirty dozen sudah dilarang pemakaiannya secara luas didunia (termasuk di dalamnya
DDT). Daya paparnya bisa melalui hidung, mata, mulut, pori-pori ,kulit selangkangan
ketiak dan kaki. Akibat keracunan paraquat bisa menimbulkan keguguran, lumpuh,
reproduksi tidak berfungsi, terganggunya fungsi hati, kejang-kejang, dan impotensi.
Selain mencemari tanah paraquat juga sangat berpotensi mencemari sungai-sungai atau
sumber mata air yang ada di sekelilingnya. (Tandan sawit, Vol 2 tahun 4, 2004).
Jika setiap hektar dibutuhkan 1 1,5 liter herbisida setiap hari, maka untuk 1 juta hektar
berarti herbisida yang digunakan sebanyak 1 - 1,5 juta liter. Tentunya racun ini tidak
hanya mengancam buruh perempuan yang dalam monitoring tersebut menyatakan ketika
bekerja tanpa disertai alat kelengkapan yang memadai seperti bot, sarung tangan dan
penutup, tetapi juga mengancam lingkungan hidup sekitarnya.
Selain dampak kesehatan para buruh dan upah buruh murah, perkebunan sawit juga
munculkan masalah sosial lainnya. Masyarakat yang sebelumnya mengandalkan hasil
hutan dan mengembangkan usaha pertanian rakyat, dengan ekspansi perkebunan yang
masif telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada tata cara pengusahaan
sumber daya alam dimana akhirnya lahir konflik sosial. Konflik ini disebabkan oleh
diklaimnya lahan hutan dan pertanian masyarakat menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
Perbedaan kepentingan ekonomi ini membuat pemerintah lebih berpihak pada pengusaha
dengan mengesampingkan hak-hak masyarakat lokal atas hutan dan tanah yang telah
mereka kelola sacara turun temurun. Mereka pun terjerat menjadi buruh-buruh
perkebunan dilahannya sendiri karena alasan bertahan hidup.
Bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran adalah ambisi dari
pemerintah Indonesia untuk menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Karena selama ini produksi Indonesia masih di bawah Malaysia. Menurut catatan Sawit
Watch, produksi minyak kelapa sawit Malaysia rata-rata 3,66 ton CPO/ Ha/ Tahun
sedangkan Indonesia 3,11 ton CPO/ Ha/ Tahun.
Yang menjadi permasalahan kita sebagaimana ketakutan pecinta lingkungan bukanlah
tanaman kelapa sawitnya tetapi sistem perkebunan kelapa sawit skala besar. Dua hal
tersebut jelas berbeda, kelapa sawit sama seperti tanaman lainnya sedangkan perkebunan
kelapa sawit skala besar melibatkan sistem yang ada di dalamnya. Inilah sebenarnya
pangkal permasalahan tersebut. Lewat sistem perkebunan kelapa sawit skala besarlah
tanah milik rakyat digusur, dibangun sistem multikultur, hutan-hutan di Indonesia
digunduli dan juga tercipta kantong-kantong kemiskinan disekitar perkebunan yang
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Luas (ha)
3.000
7.800
7.835
2.000
18.270
3.000
7.280
1.500
10.000
7.500
5.200
4.500
4.000
1.718
8.000
8.000
10.500
4.000
1.575
2.000
Dinnar Cincintya L. R.
6.500
Pemprov Sulteng sendiri mengusulkan satu perusahaan dengan sasaran luas lahan 10.000
ha, sedangkan Pemprov Sumsel 12 perusahaan dengan total luas lahan 63.493 ha.
Dia mengatakan luas lahan program revitalisasi perkebunan yang diusulkan pemprov
hingga Mei 2007 telah mencapai 2,21 juta ha. "Itu sudah jauh dari target perluasan dan
peremajaan kebun sawit sampai 2010 seluas 1,5 juta ha," tambah Ahmad.
Dari luasan itu, usulan terbesar datang dari Pemprov Kalbar yang meminta seluas
650.772 ha, Kalteng 483.156 ha, Jambi 229.630 ha, dan Sumsel 185.885 ha.
Sementara itu, kredit perbankan untuk revitalisasi perkebunan yang sudah disalurkan oleh
tiga bank hingga Juli 2007 mencapai Rp1,15 triliun. Semuanya untuk perluasan dan
peremajaan tanaman sawit dan kakao dengan total areal 56.411 ha.
"Tujuh bank itu sudah berkomitmen mencairkan dana Rp31,133 triliun. Tetapi yang
sudah siap, artinya dananya sudah ada, Rp4,44 triliun. Sedangkan yang sudah disalurkan
Rp1,15 triliun."
Kredit tersebut telah disalurkan untuk 27.486 petani plasma komoditas sawit dan kakao
di 12 provinsi dengan target lahan yang akan dikerjakan seluas 56.411 ha.
(aprika.hernanda@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
Beberapa waktu lalu, seorang teman mendatangi saya. Dia mengatakan bisnis perumahan
untuk skala rumah sederhana akan ditinggalkan. "Kurang 'seksi'. Kini saya mau masuk ke
perkebunan kelapa sawit," ujarnya. Bahkan dia sudah mengakuisisi sejumlah kebun di
kawasan Lampung dan Jambi. Benarkah?
Saat ini, kendati harga mulai memperlihatkan tren turun, tidak berlebihan memang jika
orang tetap melihat kelapa sawit (Elaeis) adalah emas hijau atau green gold.
Kendati harga minyak mentah sawit, dalam dua tahun terakhir ini tengah menukik ke titik
terendah, kilauan 'emas' itu tetap saja menyilaukan mata pemburu uang.
"Minyak sawit merupakan bisnis besar," tulis Ellie Brown dan Michael F. Jacobson
dalam satu 'majalah' Cruel Oil milik Center for Science in the Public Interest (CSPI).
Tulisan itu mengacu pada informasi yang dipasok data dari Indonesia oleh Eric Wakker,
dari AIDEnvironment, Amsterdam.
Tak ayal, pertumbuhan areal kebun sawit, terus berlangsung. Hingga kini. Dalam tempo
lima tahun, misalnya, pertumbuhan itu terlihat.
Kalau pada 2002 luasannya baru 5,06 juta hektare (ha), setahun kemudian naik menjadi
5,28 juta ha. Pada 2004, menjadi 5,40 juta ha, 2005 menjadi 5,50 juta ha dan 2006 sudah
6,33 juta ha. Dalam kurun waktu itu ada pertambahan sekitar 1,27 juta hektare.
Jika ditinjau untuk setiap komoditas, diperoleh gambaran pertumbuhan produksi untuk
minyak kelapa sawit pada periode 2003-2007 mengalami kenaikan menjadi sekitar 25,34
juta ton (26,5 %) dari total produksi jenis minyak nabati.
Bahkan, data Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengungkapkan, hingga 2005,
total areal kebun kelapa sawit Indonesia adalah 5,5 juta ha, yang dimiliki oleh
perkebunan negara (PTPN) sekitar 676.000 ha atau sekitar 12%, swasta berkisar 2,9 juta
ha atau 53%, dan perkebunan rakyat sekitar 1,9 juta ha atau berkisar 35%.
Di samping itu sesuai dengan arahan kebijakan pemerintah sekitar 20-30% kebun swasta
memiliki kebun plasma atau kredit koperasi primer anggota (KKPA).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
2003-2007
25,34
22,37
12,52
12,52
22,85
2008-2012
29,94
25,17
15,51
12,04
25,82
25,97
22,31
13,57
10,86
45,33
29,75
25,12
15,47
12,03
49,85
Untung besar
Perkebunan kelapa sawit swasta yang cukup luas itu, misalnya, dimiliki oleh PT Astra
Agro Lestari, Sinar Mas group, PT London Sumatra, PT Minamas Gemilang, PT Asian
Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie Sumatera Plantation, PT Salim Ivomas Pratama, PT
Surya Dumai, selain memiliki kebun inti perkebunan tersebut juga memiliki kebun
plasma atau KKPA yang cukup besar.
Memang, tanaman itu menjanjikan keuntungan yang tergolong baik. Hingga April,
misalnya, kontrak perdagangan CPO untuk pengiriman April, membukukan rekor harga
komoditas tersebut yakni RM4.321 atau US$1.363,7 per ton. Harga rata-rata hingga 2007
sebesar RM2.500 per ton. Bahkan, pada saat itu juga (3 Maret 2008) harga di Pelabuhan
Rotterdam mencapai US$1.407, naik dua kali lipat dari harga 2007 sebesar US$700 per
ton.
Gambaran itu, kendati sekilas, menggambarkan wajah perkebunan kelapa sawit di
Indonesia yang terus memperlihatkan tren meningkat. Sekaligus membuktikan Elaeis is
green gold.
Dan fakta membuktikan. Pada 2007, dari beberapa perusahaan perkebunan besar yang
sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), menuai keuntungan besar.
Sebutlah PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk
(LSIP), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP), dan PT Sampoerna Agro Tbk
(SGRO).
Secara kumulatif, perusahaan itu meraup laba Rp4,045 triliun pada 2007, meningkat
96,65% dibandingkan dengan 2006 yang Rp2,06 triliun.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Lokasi
Sumut
Sumut
Dinnar Cincintya L. R.
Milik investor
Dia mencontohkan kebun kelapa sawit Graha Dura Leidong Prima dan Sawita Leidong
Jaya seluas 15.000 ha di Labuhan Batu, disebut-sebut milik investor Malaysia. Akan
tetapi, katanya, yang muncul ke permukaan adalah warga negara Indonesia. Kebun ini
akan diakuisisi PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP), tuturnya.
Kondisi semarak itu, merupakan kondisi yang menggembirakan. Namun, di sisi lain,
berpotensi mencederai industri minyak kelapa sawit Indonesia. Biaya yang telah
dikeluarkan untuk menegaskan industri sawit sudah menerapkan sikap ramah lingkungan
menjadi sia-sia.
Ketakutan itu sangat wajar. Pasalnya, investasi itu akan menggenjot permintaan lahan.
Jika lahan yang layak untuk kelapa sawit semakin menipis, bukan tidak mungkin,
merambah kawasan hutan, baik hutan konservasi maupun alam. Apalagi banyak
pembelian secara sembunyi-sembunyi oleh investor baru.
Pasalnya, tanda-tanda itu mulai terlihat di kawasan Papua yang memancing Mentan
Anton Apriyantono mendesak Pemprov Papua dan daerah lainnya membatasi
pengelolaan areal sawit. Ada indikasi akan diberikan penguasaan lahan, terutama di
hutan, kepada para pengusaha masing-masing seluas 20.000 ha.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Pemprov Papua harus belajar dari pengalaman di Sumatra dan Kalimantan, ujar Anton
seusai pembukaan World Palm Oil Summit and Exhibition (WPOSE).
Pembatasan pengelolaan itu, agar para pengusaha sawit memerhatikan kelestarian
lingkungan. Bahkan, katanya, sekalipun kawasan hutan itu gundul akibat kejahatan
illegal logging, tidak bisa ditanami. Mentan tidak ingin mengubah status areal hutan
produksi atau konservasi, meskipun kawasan itu kritis dan dapat ditanami.
Dan, saat ini, isu lingkungan yang terkait dengan pengelolaan perkebunan sawit, semakin
gencar dilakukan lembaga swadaya masyarakat. Greenpeace, dalam seminar di Jakarta
pekan lalu, misalnya, kembali meneriakkan soal isu lingkungan, di mana produk kelapa
sawit harus diproduksi dari sumber yang berkelanjutan.
Industri kelapa sawit tidak boleh menangguk laba dari lemahnya tata kelola. Namun,
tampil sebagai solusi bagi pembenahan tata kelola yang dibutuhkan. Industri kelapa sawit
Indonesia, siapa pun itu.
Industri ini, yang terus dikawal isu lingkungan, sebaiknya merespons kemungkinan
terjadinya penolakan pasar, khususnya dari Uni Eropa akibat isu lingkungan. Caranya,
seperti dalam seruan Greenpeace, meletakkan landasan bagi terwujudnya kelapa sawit
dari sumber yang berkelanjutan sesuai dengan permintaan pasar.
bisnis.com
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Dan setelah terlepas dari ruwetnya segala persoalan di atas, sawit Indonesia terus tumbuh
pesat beberapa tahun terakhir. Luas areal terus bertambah, demikian pula produksi dan
ekspor. Melihat begitu besarnya potensi dan peluang pasar bagi CPO dan produk-produk
derivatif CPO, tantangan jangka panjang bagi Indonesia ke depan bukan hanya
bagaimana menyaingi Malaysia sebagai produsen CPO terbesar, tetapi juga ke mana
industri perkelapasawitan Indonesia ini akan dibawa ke depannya.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
sinergi dan keselarasan antara visi pelaku perkebunan dan industri sawit dengan
pemerintah.
Sehingga setiap kali pelaku usaha mengeluhkan sesuatu, seperti meminta keringanan
pajak ekspor (PE) agar kompetitif, pemerintah langsung melihatnya sebagai potential
loss. Pelaku usaha merasa direcoki dan dibiarkan berjuang sendiri, sementara pemerintah
melihat pengusaha hanya pintar mengeluh. Padahal, seperti pengalaman Malaysia, hal
seperti itu tidak perlu terjadi.
Persoalan lain adalah menyangkut pembiayaan. Sekarang ini masih sulit untuk
memperoleh pendanaan dari lembaga keuangan lokal untuk plasma. Sementara
pendanaan dari perbankan atau lembaga keuangan internasional juga semakin sulit
diperoleh, terutama dengan adanya tekanan LSM, lembaga konsumen dan lembaga
pencinta lingkungan internasional yang gencar menyuarakan pembangunan perkebunan
sawit lestari.
Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia Rosediana Suharto mengatakan
salah satu persoalan yang mengganjal adalah pengembangan lahan yang mengakibatkan
kerusakan hutan, erosi, dan rusaknya biodiversity. Kalangan LSM melihat perluasan
perkebunan sawit tidak jarang melibatkan pula pembakaran hutan, perusakan lingkungan,
dan penghancuran habitat satwa dilindungi seperti orangutan, badak sumatera, harimau
sumatera, dan gajah asia.
Perusahaan perkebunan sawit (kebanyakan dari Malaysia) dan industri pulp bersama para
pelaku penebangan liar dituding ada di belakang kebakaran hutan besar, terutama di
Sumatera dan Kalimantan, yang asapnya menyebabkan polusi udara di sejumlah negara
tetangga beberapa tahun terakhir.
Protes kalangan LSM bisa berakibat pada sulitnya minyak sawit mentah (CPO) Indonesia
masuk ke pasar dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, LSM berhasil menekan perbankan
sejumlah negara dan lembaga keuangan multilateral untuk membatasi atau bahkan
menghentikan sama sekali investasi dan pembiayaan di sektor sawit di Indonesia, karena
argumen lingkungan dan sosial.
Kendala lain adalah hambatan yang muncul dari peraturan perdagangan internasional,
seperti persyaratan negara pengimpor (misalnya ketentuan kandungan Beta Carotene
yang diberlakukan India), atau tarif bea masuk (BM). Di pasar Uni Eropa (UE), CPO
Indonesia dikenai tarif BM 3,8 persen, refined palm oil (olein) 9 persen, dan stearin 10,9
persen. Sementara Papua Niugini, Pantai Gading, Nigeria, Ekuador, dan Kolombia
dikenai BM nol persen untuk ketiga jenis produk itu.
Dari sisi regulasi, kebijakan pemerintah juga belum mendorong ke arah pengembangan
lebih jauh industri sawit yang kompetitif. Malaysia membebaskan PE CPO ke Belanda,
sementara Indonesia menerapkan PE 5,5 dollar AS per ton CPO pada Desember 2005.
Malaysia juga memiliki safety net fund untuk mengendalikan harga minyak goreng
dalam negeri, sementara di sini tidak ada.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Untuk PE, Indonesia bahkan sempat berencana menerapkan tarif maksimal 60 persen.
Menurut ekonom Faisal Basri, di Malaysia PE tidak dipermasalahkan karena 100 persen
pungutan itu dikembalikan lagi ke industri dalam bentuk riset dan pengembangan (48
persen), marketing atau promosi (13 persen), penegakan hukum (12 persen), dan safety
net fund (26 persen).
Dewan sawit
Terlepas dari ruwetnya segala persoalan di atas, sawit Indonesia terus tumbuh pesat
beberapa tahun terakhir. Luas areal terus bertambah, demikian pula produksi dan ekspor.
Indonesia saat ini produsen CPO kedua terbesar dan diprediksikan tahun 2010 (bahkan
pemerintah menargetkan tahun 2008) nomor satu di dunia, melampaui Malaysia.
Pangsa produksi Indonesia 36 persen dari total produksi dunia, Malaysia 47 persen.
Bersama-sama, Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen produksi dunia atau 23
persen dari produksi minyak hayati dunia.
Prospek pasar minyak sawit diprediksikan masih akan sangat cerah, antara lain karena
masih tingginya permintaan dunia. Konsumsi dunia rata-rata tumbuh 8 persen per tahun
beberapa tahun terakhir, jauh di atas kemampuan produksi sehingga harga juga akan
meningkat.
Berbeda dengan Malaysia, peluang Indonesia untuk menggenjot produksi masih sangat
besar, terutama dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan SDM
berkualitas, tenaga kerja relatif murah yang melimpah, serta biaya pembangunan dan
perawatan per hektar yang juga lebih murah. Peluang ini sangat sayang untuk disiasiakan.
Hanya saja, tanpa adanya upaya mengatasi masalah struktural, seperti bibit, replanting,
pupuk dan infrastruktur pelabuhan, target nomor satu atau market leader di pasar global
tahun 2008 bisa mengalami kendala di lapangan.
Karena berbagai persoalan itulah, menurut Rosediana, perlu segera dibentuk Dewan
Minyak Sawit Indonesia (DMSI). DMSI diharapkan menjadi jembatan antara
kepentingan pemerintah dan swasta. DMSI akan mewakili semua kepentingan sawit
Indonesia, termasuk mengatasi kampanye negatif LSM, ujarnya.
Tujuan DMSI di antaranya adalah membangun citra positif dan menjadikan minyak sawit
Indonesia market leader . Rosediana antara lain menunjuk langkah Malaysian Palm Oil
Promotion Council yang telah merekomendasikan pembangunan kilang di Rotterdam
berkapasitas 2,5 juta ton. Padahal, ekspor Indonesia dan Malaysia tahun 2004 juga 2,5
juta ton. Itu berarti persaingan ke depan akan lebih ketat. Perlu disusun strategi untuk
merebut pasar ekspor dan menguasai pasar domestik, ujarnya.
Ada beberapa alasan mengapa permintaan akan CPO masih akan meningkat pesat.
Pertama, konsumsi dunia akan minyak dan lemak (oil and fats) diprediksikan akan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
meningkat 2-3 juta ton per tahun, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
tingkat pendapatan masyarakat dunia.
Menurut Oil World, minyak sawit saat ini berada di urutan kedua minyak nabati yang
paling banyak dikonsumsi di dunia, menyumbang sekitar 23 persen suplai lemak dan
minyak nabati dunia, setelah minyak kedelai.
Dalam setahun terakhir, minyak sawit bahkan sudah menggeser posisi minyak kedelai,
dengan pangsa masing-masing 24,4 persen dan 23,9 persen dari total konsumsi oil and
fats dunia sebanyak 143 juta ton. Kebutuhan minyak sawit dunia tahun 2010 diperkirakan
44,550 juta ton atau sekitar dua kali lipat volume produksi CPO dunia tahun 2001.
Lonjakan permintaan akan minyak sawit antara lain dipicu oleh pergeseran konsumsi
negara maju dan industri raksasa makanan yang semula menggunakan hydrogenated oils
ke minyak sawit yang lebih sehat. Minyak sawit juga disukai karena lebih murah
ketimbang minyak kedelai atau vegetable oils lainnya.
Permintaan CPO juga dipicu oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya penggunaan
energi alternatif yang lebih terbarukan dan relatif kurang polutif. UE, misalnya,
menargetkan penggunaan biodiesel sebagai pengganti minyak bumi dari 4,873 juta ton
(2005) menjadi 14,010 juta ton (2010).
Bahkan, beberapa negara yang sebelumnya tidak melirik, kini beralih ke minyak sawit.
Sebelum tahun 2001 (1997- 2001), importir terbesar CPO dunia adalah India, disusul
China, Pakistan, Belanda, Inggris, Mesir, dan Jerman. Namun, tahun 2001, menurut
Center for Science in The Public Interest (CSPI), AS menyodok ke urutan kedua negara
importir palm kernel oil (PKO).
Permintaan akan minyak sawit juga bukan hanya datang dari industri makanan, tetapi
juga industri kimia, kosmetik, dan berbagai industri lain.
Arah pengembangan industri
Melihat begitu besarnya potensi dan peluang pasar bagi CPO dan produk-produk
derivatif CPO, tantangan jangka panjang bagi Indonesia ke depan bukan hanya
bagaimana menyaingi Malaysia sebagai produsen CPO terbesar, tetapi juga ke mana
industri perkelapasawitan Indonesia ini akan dibawa ke depannya.
Apakah Indonesia sudah puas hanya berkutat sebagai pemasok CPO untuk bahan baku
berbagai industri bagi negara lain, atau kita juga akan mengembangkan industri berbasis
sawit yang memproduksi berbagai produk turunan CPO sehingga lebih banyak
memberikan nilai tambah bagi negara ini? Sekarang ini, 60 persen ekspor dalam bentuk
CPO dan 40 persen oleochemical.
Seperti dikatakan seorang pengusaha, jika ingin mengembangkan industri, mestinya
pemerintah memberikan fasilitas ke arah sana. Sekarang ini, untuk pengembangan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
biodiesel saja belum ada kebijakan tegas ke arah sana, padahal potensi untuk itu sudah
tidak bisa diragukan lagi.
Yang terjadi, justru Malaysia yang lebih dulu memproklamirkan diri akan menjadi
produsen biodiesel terbesar di dunia. Padahal, sudah jelas ambisi Malaysia itu tidak
didukung oleh realitas riil di lapangan, seperti keterbatasan lahan. Namun, Malaysia
sudah mengantisipasi hal itu melalui investasi besar-besaran di perkebunan sawit di
Indonesia sejak jauh-jauh hari.
CSPI mengungkapkan, pada tahun 1998 saja, sedikitnya 50 perusahaan asing terlibat di
perkelapasawitan di Indonesia, sebagian besar perusahaan Malaysia. Tahun 1997,
investor Malaysia sudah menguasai 71 persen dari 93 proyek sawit di Indonesia dengan
penguasaan total luas lahan ratusan ribu hektar dan investasi 3,3 miliar dollar AS.
Tahun 2004, jumlah perusahaan Malaysia yang masuk ke industri sawit Indonesia sudah
100 perusahaan lebih. Malaysia juga agresif mengakuisisi perusahaan perkebunan sawit
besar di Indonesia. Termasuk di dalamnya akuisisi perkebunan sawit eks milik Salim
Group seluas 262.653 hektar oleh Guthrie tahun 2000 yang dinilai kontroversial. Selain
harga yang sangat murah, pembelian itu mengakibatkan sekitar 89 persen pasokan CPO
dunia kini di bawah kendali Malaysia, demikian pula konsentrasi industri hilirnya dengan
sekitar 200 jenis industri yang bisa dikembangkan dengan nilai tambah yang tinggi.
Apa yang terjadi sekarang ini membuktikan Indonesia selalu kalah langkah dan industri
sawit Indonesia belum sepenuhnya mampu berkembang menjadi industri tangguh yang
mampu menjawab tantangan yang ada. Kalangan industri juga mengeluhkan belum
jelasnya arah kebijakan pemerintah. Jika tidak bergerak cepat, dikhawatirkan bukan
hanya hutan dan keanekaragaman hayati yang rusak, tetapi Indonesia juga hanya akan
terus menjadi pemasok bahan baku dan buruh bagi Malaysia.
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 26 Feb 06
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel
Dalam buklet panduan penyusunan peraturan desa secara partisipatif tentang
pengendalian kebakaran hutan yang diterbitkkan oleh SSFFMP 2006, disebutkan bahwa
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai wilayah di Sumatera seperti Riau
dan Sumatera Selatan acapkali dilanda oleh bencana kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi itu mengakibatnya terjadi deforestrasi yang masif, lahan budidaya musnah dan
keragaman biodiversity pun hancur.
Masalah asap hasil kebakaran hutan dan lahan telah menjadikan persoalan ini merupakan
urusan politik dan lingkungan hidup international, dimana negara negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura begitu geram, prihatin dan menuduh pemerintah
Indonesia tidak mampu mengurus masalah dampak lingkungan yang satu ini.
Hal ini pun terjadi di Kumpeh salah satu kecamatan di propinsi Jambi. Sehingga sekitar
tahun 2007 pemerintah propinsi Jambi melakukan MoU dengan pemerintah Singapura
tentang komitment pemerintah daerah terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan.
Tercatat pada tahun 2004 terjadi kebakaran hutan dan lahan diwilayah kecamatan
Kumpeh tepatnya berada di daerah taman nasional hutan raya gambut seluas 30 hektar
habis terbakar api.
Kejadian berlangsung ketika musim panas panjang terjadi di Kumpeh. Lokasi kejadian
berhasil dipantau oleh satelit NOAA yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit,
perusahaan hak penguasaan hutan dan hutan tanaman industri, lahan pertanian
transmigrasi, areal pengunaan lain (APL) ataupun lahan perkebunan karet tradisional
milik warga.
Berdasarkan pengalaman lapangan yang ada selama ini, penyebab terjadinya kebakaran
hutan dan lahan terutama di kumpeh yang di dominasi oleh daerah hutan rawa gambut
disebabkan oleh dua faktor utama, yakni pertama alam dan kedua manusia serta industri.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Untuk yang pertama, kondisi lahan yang didominasi oleh gambut, secara bawaan sangat
berpotensi terjadi kebakaran terutama pada musim kemarau. Kondisi ini sulit untuk
dilakukan intervensi, selain upaya kontrol dan kesiapan tenaga dan peralatan dari tim
pemadam kebakaran yang sudah terlatih.
Selain itu upaya yang dapat dilakukan dalam bentuk pencegahan adalah tidak melakukan
budidaya tanam/atau merubah kawasan hutan rawa gambut menjadi daerah perkebunan
berskala besar maupun perkebunan rakyat.
Faktor Kedua, sering kali faktor alam tersebut terhubung dengan prilaku masyarakat
disekitar lokasi kebakaran terutama diwilayah operasional perkebunan kelapa sawit.
Dimana pihak perusahaan tidak bisa melepaskan diri dari stigma bahwa kebakaran hutan
dan lahan disebabkan oleh cara cara tidak ramah lingkungan /pembakaran lahan yang
dilakukan perusahaan dalam pembukaan lahan, padahal sudah lama perusahaan
perkebunan meninggalkan cara cara tradisional yang merusak lingkungan seperti ini.
Dalam pembukaan lahan /land clearing pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit telah
melakukan teknik rumpukan , dengan menumpuk kayu kayu dari hasil pembukaan lahan
yang telah dipotong menjadi beberapa bagian, disusun rapi memanjang seperti benteng,
dan membiarkannya mengalami pelapukan alami.
Berdasarkan keterangan para pekerjaan perusahaan yang terlibat langsung dalam proses
land clearing disebutkannya bahwa benar perusahaan tidak melakukan pembakaran lahan
dalam pembukaan lahan serta tidak melakukan illegal loging dari hasil pembukaan lahan
sebagaimana yang diberitakan salah satu TV swasta nasional baru baru ini terhadap
salah satu perkebunan kelapa sawit yang beroperasional di Kumpeh.
Menurut keterangannya pula, yang terjadi sebenarnya, secara perlahan kayu kayu
rumpukan yang sudah dianggap sebagai limbah ini di sisihkan dan dimanfaatkan oleh
penduduk setempat.
Dijualnya kembali kepada pihak yang membutuhkan, dan sebagiannya lagi dimanfaatkan
oleh para pekerja untuk kebutuhan bahan bangunan rumah mereka dikampung atau
dibawa ke kota, tempat domisili pekerja.
Sering kali aktivitas pemotongan kayu yang dilakukan dengan sinsaww oleh masyarakat
terhadap kayu rumpukan menjadi salah satu prilaku penyebab kebakaran di lokasi
perkebunan.
Prilaku lainnya adanya aktivitas mencari ikan didalam lokasi perkebunan yang dilakukan
oleh masyarakat disekitar kebun. Proses pencarian ikan dilakukan diparit parit yang
memisahkan blok-blok kebun kelapa sawit.
Dulunya menurut keterangan nurholis, tempat itu merupakan lokasi mencari ikan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
penduduk secara turun temurun. Pencarian ikan dilakukan dengan mengunakan pancing
ataupun alat lain seperti setruman yang dinilai banyak kalangan merusak lingkungan
alami ikan ikan dan membunuh bayi bayi ikan diparit.
Semua aktivitas ini sangat memungkinkan menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan
terutama yang ditimbulkan dari puntung rokok maupun sisa rokok yang dibuang begitu
saja ke lahan. Dan juga bisa juga berasal dari puntung rokok pekerja kebun yang tidak
menyadari bahaya membuang puntung rokok sembarangan.
Sementara berdasarkan keterangan salah seorang pihak kepolisian Kumpeh , kebakaran
lahan diperkebunan merupakan persoalan yang dipicu oleh persoalan internal yang terjadi
didalam perusahaan.
Sumbernya berasal dari ketidak puasan beberapa karyawan terhadap suasana kerja dan
juga penghasilan mereka. Dan beberapa diantaranya dilakukan sebagai upaya untuk
mendapatkan hitungan kerja (lembur/upah) yang ditimbulkan dari kerja-kerja pada saat
melakukan pemadaman kebakaran lahan secara mandiri oleh pihak perusahaan yang juga
melibatkan hampir semua karyawan harian Afdeling yang menjadi lokasi kebakaran.
Perlu diketahui secara tertulis pihak perusahaan telah mempunyai SOP pemadam
kebakaran standar, menara pantau api, serta peralatan pemadaman api. Namun terkadang,
pada saat kejadian, di TKP sulit untuk dilaksanakan terutama menyangkut kelengkapan
alat alat pemadam kebakaran.
Tapi keterbatasan ini menurut Ansor pekerja Afdeling tidaklah menjadi halangan, karena
api tetap harus dipadamkan, bagaimanapun kondisinya.
Walaupun perusahaan komitm terhadap upaya pencegahan kebakaran lahan, terutama
untuk alasan asset perusahaan. Bagi perusahaan kebakaran lahan selain menyangkut
persoalan hukum, secara ekonomi juga merugikan, dimana tanaman mati, sisip ulang,
cost pekerja pemadam kebakaran, biaya tak terduga dari kedatangan aparat penegak
hukum, tim pemadam Manggala Agni serta pembentukan image terhadap perusahaan.
Sekarang perusahaan tidak bisa lagi menutup menutupi TKP diwilayahnya, karena TKP
kebakaran terpantau di satelit NOAA, dan pihak dinas kehutanan melalui Manggala Agni
dapat mengeluarkan titik koordinat lokasi kebakaran lengkap dengan peta sekaligus tata
pemanfaatan ruangnya.
Kendala yang kadang kala muncul pada saat melakukan pemadaman kebakaran lahan
secara mandiri adalah jauhnya lokasi kebakaran dari jalan akses utama, dan ini
menyulitkan alat pemadaman dan tim untuk sampai ke lokasi, belum lagi kendala water
management (ketersediaan air di parit) yang dibutuhkan untuk melakukan pemadaman
terutama pada saat musim kemarau datang. Karena terkadang tantangannya pun datang
dari alam itu sendiri.
Hembusan angin besar yang tidak menentu, mengakibatkan sulit melakukan zonasi
/membatas wilayah sebaran api. Dengan kondisi yang demikian, kebakaran hutan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
terutama lahan dalam areal perkebunan kelapa sawit sangat merugikan pihak perusahaan
dan juga masyarakat sebagai mitra perusahaan.
Sudah saatnya pihak perusahaan selain melakukan sosialisasi kebakaran hutan dan lahan
kepada masyarakat yang di bantu juga oleh pihak terkait, menjajaki pembuatan peraturan
desa tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Hal ini terutama menyangkut kebakaran lahan diperkebunan kemitraan dengan
mendorong partisipasi masyarakat desa sebagai mitra perusahaan, karena pada dasarnya
kebun perusahaan berada dalam wilayah desa desa yang ada disekitar perkebunan.
Kebun yang dibangun pun merupakan aset masyarakat desa. Peraturan desa kiranya
mencakup kategori tata pemanfaatan ruang lain selain wilayah desa yang di jadikan
sebagai lokasi perkebunan kemitraan. (***)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Koran Tempo
Tanggal: 05 Jun 07
Sejarah perkebunan adalah sejarah kepedihan. Komoditas perkebunan membuat bangsa
ini dijajah. Nilainya yang tinggi membuat semua bangsa tergiur menguasainya. Sejarah
mencatat bagaimana keuntungan besar diraih korporasi kartel VOC. Tanam paksa
memberi Belanda uang 830 juta gulden. Agrarisch Wet 1870 adalah cikal bakal
perusahaan perkebunan besar yang roh dan jiwanya hingga sekarang masih hidup, seperti
dapat dilihat dalam struktur ekonomi dualistik. Dalam struktur ini, kehidupan perusahaan
besar dengan manajemen dan organisasi modern berdampingan dengan perkebunan
rakyat yang dilaksanakan oleh para pekebun kecil yang sederhana dan "tradisional".
Pada 1970-an, pemerintah mengembangkan perkebunan besar badan usaha milik negara
yang memakai utang luar negeri. Pola perusahaan inti rakyat perkebunan dikembangkan.
Pada 1980-1990-an awal perusahaan besar swasta mulai masuk, didukung oleh program
Perkebunan Besar Swasta Nasional dengan skema bank berbunga rendah. Peran
pemerintah mendorong perkebunan besar, BUMN, dan swasta sangat besar. Luas area
kelapa sawit milik BUMN dan swasta pada 1968 masing-masing hanya 79 ribu dan 41
ribu hektare. Pada 2006, dari 5,6 juta hektare perkebunan kelapa sawit, 57 persen
dikuasai swasta, 30 persen rakyat, dan 13 persen negara. Dominasi perkebunan swasta
hanya ada di sawit.
Peran pemerintah dalam mendorong perkebunan rakyat relatif kecil. Berbeda sikapnya
terhadap korporasi swasta, perbankan kurang bersahabat dengan petani, bahkan sering
dikatakan petani tidak bankable. Kenyataannya, perkebunan rakyat jadi tulang punggung
penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja. Sebagai gambaran, area kakao rakyat
kini sekitar 700 ribu hektare, kebun karet rakyat 3,5 juta hektare, dan kelapa 3,7 juta
hektare. Saat ini sekitar 80 persen area perkebunan dikuasai rakyat, sedangkan sisanya
oleh swasta dan BUMN. Selain sawit, perkebunan rakyat mendominasi. Rakyatlah yang
jadi real investor-nya.
Kemajuan perkebunan kelapa sawit sesungguhnya berkat dorongan pemerintah dengan
segala perangkat kebijakannya, mulai lahan hingga pembiayaan yang disubsidi. Saat ini,
dengan lahan 5,6 juta hektare dan produksi CPO 16 juta ton, Indonesia jadi eksportir
CPO terbesar kedua di dunia dengan pangsa 37 persen (11,3 juta ton CPO). Malaysia
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
masih menguasai 42 persen pasar internasional. Dari produksi CPO 14,7 juta ton pada
2006, Malaysia mengekspor 13,5 juta ton. Selama bertahun-tahun sawit menjadi andalan
ekspor.
Seperti tebu, kelapa sawit adalah "komoditas emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan
produk turunan bernilai tinggi, baik pangan maupun nonpangan. Dibanding Malaysia,
dalam hal sawit Indonesia memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Pertama, Indonesia
memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah. Saat ini ada lahan 9,2 juta hektare, yang bisa
diperluas menjadi 18 juta hektare. Perluasan lahan sawit Malaysia mentok. Kedua, biaya
produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada Malaysia. Dari studi ADB (1993),
Indonesia memiliki daya saing lebih tinggi ketimbang Malaysia dan Papua Nugini.
Bahkan studi Oil World (1998) memperkirakan Indonesia menyalip Malaysia pada 2010.
Sayang, keunggulan itu belum digali maksimal dengan menjadikannya komoditas
primadona dalam menangguk devisa sehingga bisa menjadi solusi masalah pengangguran
dan kemiskinan. Sejak zaman baheula, industri sawit tidak mengalami kemajuan berarti.
Di tingkat petani rakyat, sawit berhenti sebagai aktivitas budi daya (on-farm) yang
bernilai tambah kecil. Industri hilir (off-farm) yang mengolah sawit didominasi minyak
goreng serta sedikit margarin, sabun, dan detergen. Sebagian besar kita mengekspornya
dalam bentuk CPO yang value added-nya kecil. Dari 16 juta ton produksi CPO pada
2006, sebanyak 11,5 juta ton diekspor.
Sebaliknya, selain mengekspor CPO, Malaysia mengolahnya menjadi berbagai produk
hilir bernilai tinggi. Malaysia unggul dalam produktivitas (3,21 ton CPO per hektare per
tahun) ketimbang Indonesia (2,51 ton CPO per hektare per tahun). Malaysia juga berjaya
karena ditopang 422 pabrik pengolahan, sedangkan Indonesia hanya 323 pabrik.
Perbedaan ini mengakibatkan Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik
terpasangnya yang mencapai 86 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan
Indonesia 65 juta ton TBS per tahun.
Dampak kekurangan pabrik pengolah sawit di Indonesia tidak hanya pada daya saing
yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga mengakibatkan berdirinya pabrikpabrik pengolahan CPO tanpa memiliki lahan sawit. Ini membuat jumlah produksi
minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol
dengan baik. Kondisi inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua
negara.
Sebetulnya, kerangka pikir yang dibangun oleh masyarakat perkebunan sawit kita
merefleksikan kepentingan korporasi perkebunan besar. Pola pengembangannya
menganut pola perkebunan berstruktur integrasi vertikal, yaitu pemilik pabrik pengolahan
juga memiliki lahan perkebunan. Persoalan integrasi vertikal ini perlu dipelajari betul.
Kita dapat belajar dari perusahaan seperti Nestle, yang memproduksi kopi, cokelat, dan
lain-lain tanpa memiliki kebun kopi atau cokelat. Pabrik rokok pun demikian. Negara
mendapat lebih dari Rp 35 triliun per tahun dari cukai rokok yang bahan bakunya dari
petani tembakau dan cengkeh. Tapi sawit mayoritas diekspor dalam bentuk mentah
(CPO).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Integrasi vertikal antara kebun dan pabrik pengolahan yang menggunakan luas lahan
tidak terbatas akan menciptakan spatial monopoly. Di sektor hilir, industri olevin dan
minyak goreng hanya dikuasai satu-dua perusahaan besar dengan penguasaan pangsa
pasar yang besar pula. Pengaruh kuat dari sekelompok pengusaha yang memegang
monopoli industri hulu kelapa sawit membuat industri hilir sawit tidak berkembang. Bagi
pendatang baru, struktur monopolis ini sama artinya dengan entry barrier. Karakter
monopoli ini tak hanya membuat perusahaan tidak efisien, tapi juga tidak kreatif dan
inovatif.
Sebulan lebih harga minyak goreng melonjak tinggi. Petani sawit dan pengusaha
pengolah sawit bersorak. Mereka menikmati harga yang tinggi. Tapi konsumen menjerit
dan pemerintah pusing karena harga minyak goreng yang tinggi bisa mendongkrak
inflasi. Sejumlah formula digulirkan, dari operasi pasar, kenaikan pajak ekspor, hingga
subsidi. Ini solusi klasik yang diulang-ulang sejak 1990-an. Sampai sekarang kita belum
mau menyusun solusi komprehensif agar rutinitas kenaikan harga minyak goreng tidak
berulang. Berbeda dengan Malaysia. Dulu, negeri jiran itu berguru industri sawit kepada
kita. Secara gradual, Malaysia membuat kebijakan sawit yang komprehensif, dari
pembiayaan hingga riset, pasar, dan kelembagaan. Kini Malaysia berjaya, sedangkan
Indonesia menjadi runner up dan tiap tahun diguncang masalah harga minyak goreng.
Sebetulnya, kelapa sawit adalah berkah luar biasa. Namun, karena tidak becus, sawit
menjadi sumber masalah.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Setiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 2 juta hektar. Pada tahun 2006, lebih 2,72
juta hektar hutan musnah. Ini setara dengan satu setengah kali Netherland atau empat kali
Pulau Bali! Kerusakan juga terjadi di protected area. Diperkirakan sekitar 30% taman
nasional berada dalam kondisi rusak. Meskipun illegal logging seringkali dituding
sebagai akar masalah, konversi lahan untuk perkebunan sawit skala besar pada dasarnya
merupakan penyebab utama hilangnya sejumlah tutupan hutan Indonesia.
Konversi hutan selama ini umumnya diperuntukkan bagi pengembangan budidaya kelapa
sawit. Sejak menjadi primadona, jutaan hektar hutan alam tropis dibabat. Dari 15,9 juta
hektar hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan sawit pada tahun 2004, hanya 5,5
juta hektar yang ditanami . Pada tahun 2006 WALHI memperkirakan 16,8 juta hektar
hutan telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit dan hanya 6,7 juta hektar yang
ditanami. Meninggalkan sisa kawasan hutan lainnya dalam kondisi rusak setelah diambil
kayunya.
Telah lama diketahui bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit dijadikan salah satu
modus untuk memperoleh kayu. Ini bisa dilihat dari komposisi pengusaha perkebunan
kelapa sawit yang secara kebetulan juga diisi oleh pengusaha yang memiliki industri
pengolahan kayu salah satunya: Sinarmas dan Raja Garuda Mas. Dua konglomerat yang
menguasai industri hulu dan hilir disektor kehutanan dan perkebunan sawit di Indonesia.
Modus memperoleh kayu dari konsesi perkebunan sawit muncul salah satunya
diakibatkan oleh korupsi dan besarnya gap antara supply dan demand disektor kehutanan
di Indonesia. Pada tahun 2006 diperkirakan demand industri kayu Indonesia mencapai
96,19 juta meter kubik setiap tahun. Sementara kemampuan hutan alam dan HTO dalam
mensupplai kayu hanya mencapai 46,77 juta meter kubik. Kurang dari separuhnya, 17,04
juta meter kubik, diperoleh dari hasil tebangan dari konsesi perkebunan sawit
Dari 6,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia, lebih dari 90 diantaranya
berada di Sumatera dan Kalimantan. Berbagi ruang dengan plantation industry dan
logging concession. Belum termasuk kawasan yang telah dialokasikan untuk perkebunan
kelapa sawit. Informasi terpercaya menyebutkan bahwa Papua misalnya telah
mengalokasikan 9 juta hektar hutannya untuk dibuka menjadi perkebunan. Sementara
pemerintah daerah di Kalimantan juga mengalokasikan lebih kurang 5 juta hektar. Semua
untuk perkebunan kelapa sawit
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
sejarah deforestasi. Jutaan hektar hutan di buka dan diambil kayunya. Pohon-pohon yang
kecil beserta ilalang kemudian dibakar sehingga menimbulkan kebakaran hutan.
Membuat Indonesia tiba-tiba saja menempati urutan ke tiga sebagai penghasil karbon
akibat kebakaran hutan. WALHI sendiri lebih senang menggunakan istilah pembakaran
hutan hutan. Peristiwa terbakarnya hutan dan lahan tidak bisa dilepaskan dari praktek
pembersihan lahan yang dilakukan selama ini. Api adalah sarana yang paling murah.
Lemahnya penegakan hukum telah membuat puluhan perusahaan menggunakan api
untuk melakukan pembersihan lahan termasuk peningkatan hp tanah.
Pada tahun 2001, Manager PT Adei Plantation berkebangsaan Malaysia dihukum 2 tahun
penjara oleh Pengadilan Negeri Kampar tahun 2001 karena terbukti memerintahkan
pembakaran lahan untuk menaikkan ph tanah menjadi 5- 6 agar dapat ditanami kelapa
sawit.
Perkebunan kelapa sawit juga seringkali memasuki wilayah teritorial masyarakat
sehingga menimbulkan konflik yang belum terselesaikan hingga hari ini. Konflik tersebut
tidak jarang melibatkan satuan pengamanan swasta dan atau kepolisian untuk melakukan
penyelesaian yang seringkali berakhir dengan korban jiwa. Dimasa lalu, keterlibatan
militer sebagai tenaga pengamanan juga tidak bisa dilepaskan dari sektor ini .
Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit pada dasarnya telah mencapai titik jenuh
dan melebihi carrying capacity. Dikatakan jenuh karena industri ini telah memasuki
kawasan dengan tingkat kerentanan ekologis yang tinggi. Disamping memasuki kawasankawasan produktif masyarakat, perkebunan sawit juga memasuki kawasan gambut.
Sumatera dan Kalimantan merupakan pulau yang memiliki kawasan gambut dengan
kedalaman bervariasi antara 2 meter - > 3 meter. Konversi di cathment area dan kawasan
gambut selama ini telah menimbulkan masalah bagi propinsi bersangkutan.
Gambut bersifat irreversible. Menyimpan air dalam jumlah besar namun bila dibuka ia
tidak dapat menangkap air. Gambut juga berfungsi sebagai penyimpan karbon. Bila
kawasan ini dibuka, bukan saja jutaan ton air dilepaskan namun juga jutaan meter kubic
karbon dilepaskan ke udara. Menambah masalah terhadap global warming. Praktek
pembukaan lahan dengan menggunakan api pada lahan gambut seringkali terjadi. Sangat
sulit melakukan pemadaman api pada kawasan gambut yang terbakar. Api tidak terlihat
dipermukaan namun merambat dibawah tanah. Api tidak saja digunakan untuk
landclearing namun sekaligus untuk meningkatkan ph tanah.
Rethink of Biofuel as a sustainable energy
Dengan berbagai masalah yang muncul dari pembukaan perkebunan kelapa sawit,
menjadi penting untuk melihat kembali kebijakan pemenuhan energi dari sumber yang
selama ini mendapat image sebagai sustainable enery, kelapa sawit.
Kelapa sawit bukan sustainable energy. Harga yang harus dibayar untuk sebuah
sustainable energy dari sawit teramat mahal. Jutaan hektar hutan yang dibabat yang
kemudian menciptakan bencana ekologi dimana cara masyararakat untuk hidup secara
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena
peristiwa alam ataupun perbuatan manusia
Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, yang mayoritas
diakibatkan perbuatan manusia. Dalam tujuh tahun terakhir, 2000 2006 terjadi 392 kali
bencana banjir dan longsor di seluruh Indonesia kecuali Papua, Jakarta dan Ibukota
Propinsi lainnya. Korban jiwa mencapai 2.303 orang, lebih dari 188.000 rumah rusak
berat dan 502 ribu hektar lahan rusak berat dan setengah juta hektar lainnya gagal panen.
Total kerugian langsung mencapai 36 triliun rupiah dan kerugian tidak langsung
mencapai 144 triliun.
.
Para ahli menyebutnya hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai
gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang
diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan
dalam kebijakan pembangunan sosial. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor
sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih
sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif
dan terus-menerus.
Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia.
Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski
secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino
(ENSO). Tercatat 78 kali bencana kekeringan terjadi di 11 propinsi. Dampak kekeringan
yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai.
Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan
kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.
Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan,
yaitu air, pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya
permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi.
Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Transnational Corporations telah menyedot 75%
cadangan minyak Indonesia hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan
70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara, 90% kebutuhan energi rakyat
Indonesia dibuat bergantung kepada minyak dan gas dan 45% rumah tangga belum dapat
mengakses listrik .
Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan
yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang
sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia.
Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11
%. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.
Secara umum, bencana ekologis ditandai dengan beberapa gejala atau tanda yang dapat
dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: ketiadaan pilihan untuk
bertahan hidup, gagalnya fungsi ekosistem, menurunnya kualitas kehidupan yang
berwujud pada ketersingkiran dan kemiskinan, pada titik ekstrim berujung pada kematian
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Seluruh cerita diatas berasal dari kesalahan pengelolaan sumberdaya alam. Pembangunan
perkebunan kelapa sawit turut menjadi pemicu munculnya sejumlah krisis ekologi tidak
saja di daerah dimana konsesi berada namun juga menimpa kawasan-kawasan hilir.
Seluruh cerita diatas juga memiliki kaitan erat dengan pola konsumsi negara-negara
konsumen yang sekaligus meninggalkan ecological footprint di Indonesia.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan sejumlah anomali yang
muncul akibat pembukaan paksa hutan alam bagi perkebunan kelapa sawit. Dibutuhkan
lahan dan energy yang cukup besar untuk menciptakan energy biofuel dari kelapa sawit.
Pembukaan hutan dan kebakaran selama ini telah memicu perubahan iklim. Mana
mungkin menekan perubahan iklim dari biofuel apabila dalam proses penciptaannya juga
turut berkontribusi dalam global warming. Penting bagi kita semua untuk melihat
kembali kebijakan pemenuhan energy dari sumber yang tidak sustainable seperti kelapa
sawit.
Dengan paradigma yang keliru, tentunya bisa dikatakan masih tersedia cukup lahan di
Sumatera dan Kalimantan guna pemenuhan kebutuhan energi di Eropa yang berasal dari
kelapa sawit. Dengan paradigma yang keliru pula, pembangunan perkebunan kelapa
sawit bisa dikembangkan di catchment area dan wilayah-wilayah tenurial, seperti yang
selama ini terjadi.
Masih cukup waktu untuk mencari sumber energi yang lebih sustainable. Sudah saatnya
masyarakat eropa dan Amerika menurunkan konsumsi energinya sembari mencari
alternative lain yang bisa menjamin penurunan efek rumah kaca.
Dengan berbagai masalah yang muncul dari pembukaan perkebunan kelapa sawit,
menjadi penting untuk melihat kembali kebijakan pemenuhan energi dari sumber yang
selama ini mendapat image sebagai sustainable enery, kelapa sawit.Konversi hutan alam
untuk sawit telah menimbulkan kesengsaraan, bukan saja pada negara-negara pengekspor
seperti Indonesia namun juga perubahan climate yang dampaknya akan dirasakan oleh
sebagian besar penduduk Eropa dimasa mendatang.
Apa yang mau ditanam memang penting. Namun yang lebih penting adalah dimana mau
ditanam. Kolonialisasi ini harus dihentikan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kelapa Sawit
Kejayaan CPO di 'ujung tanduk'
Oleh: Martin Sihombing
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7251&coid=1&caid=23
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 27 Des 06
Kejayaan minyak sawit mentah (CPO) Indonesia di 'ujung tanduk' karena mulai 1 Januari
2007, IMO memberlakukan Marpol Annex II yang mewajibkan ekspor memakai kapal
lambung ganda (double hull).
Aturan International Maritime Organization (IMO)-organisasi di bawah PBB- tertuang
dalam perjanjian Marine Pollution (Marpol) 73/78 Annex II untuk semua transportasi
minyak dan lemak didenominasi sebagai IMO 2 Cargo (berbahaya).
Maka IMO mensyaratkan kapal yang digunakan harus memiliki lambung ganda dengan
jarak antara lambung (hull) luar dengan tangki kargo minimum 760 mm. Kemudian, jarak
antara dasar kapal dan bagian bawah kargo harus memiliki lebar minimum yang dapat
dibagi 15.
Aturan ini bertujuan untuk mengurangi pencemaran laut oleh minyak dan bahan kimia.
IMO memasukkan crude palm oil (CPO) sebagai produk yang bisa mencemari laut.
Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian Deptan Djoko Said Damardjati
mengakui aturan itu sudah lama. "Tapi tak terdeteksi," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
Menurut dia, Deptan dan pengusaha sawit tahu peraturan itu pada Rapat Kerja Sama
Bilateral Malaysia-Indonesia, 1-4 Desember 2006 di Kuching, Serawak, Malaysia.
Indonesia belum siap memenuhi persyaratan itu karena ketersediaan tanker double hull
hanya 40% dari jumlah armada pengangkut CPO. "Ini memengaruhi ekspor ke India,
Srilanka, dan Bangladesh. Totalnya 2,2 juta ton per tahun," ujar Djoko.
Terkait dengan hal itu, Mentan Anton Apriyantono kemarin melayangkan surat ke
Menteri Perhubungan. Mentan mengusulkan agar Dephub memohon kepada IMO untuk
menunda pelaksanaan hingga 1 Januari 2010 seperti yang diberikan kepada petroleum
products yang terdapat pada Marpol Annex I.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kelapa Sawit
Pangsa pasar CPO Indonesia bakal tergerus hingga 30%
Hernanda, Aprika R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7457&coid=1&caid=23
ABSTRAK
Indonesia berpotensi kehilangan 30% pangsa pasar ekspor minyak sawit (crude
palm oil/CPO) padahal Indonesia kini menjadi salah satu produsen yang diandalkan
sejumlah negara, terutama India, Pakistan, dan Eropa.
Ketua Bidang Pemasaran Gapki Susanto menyebutkan pangsa pasar CPO
nasional ke sejumlah negara itu cukup signifikan. Menurut dia, konsumen CPO Indonesia
di luar negeri akan terganggu karena kebijakan perdagangan tersebut akan memengaruhi
mekanisme pasar dan harga CPO nasional di bursa komoditas internasional. Pada
kesempatan yang sama, Ketua Bidang Penelitian dan Lingkungan Hidup Gapki Daud
Dharsono menyebutkan mayoritas ekspor CPO saat ini sudah berupa produk turunan atau
58% dari total ekspor. Hanya sekitar 42% masih berupa minyak sawit. Hal ini
membuktikan industri hilir CPO di dalam negeri pun sudah berjalan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kelapa Sawit
Pangsa pasar CPO Indonesia bakal tergerus hingga 30%
Hernanda, Aprika R.
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7457&coid=1&caid=23
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 30 Jan 07
Indonesia berpotensi kehilangan 30% pangsa pasar ekspor minyak sawit (crude palm
oil/CPO) ke India, Pakistan, China, dan Timur Tengah jika pemerintah serius
menerapkan pembatasan ekspor pada komoditas itu.
Kendati rencana tersebut belum dipastikan pemerintah, Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (Gapki) mengkhawatirkan perdagangan CPO ke pasar internasional
bakal terganggu.
Padahal Indonesia kini menjadi salah satu produsen yang diandalkan sejumlah negara,
terutama India, Pakistan, dan Eropa.
Ketua Bidang Pemasaran Gapki Susanto menyebutkan pangsa pasar CPO nasional ke
sejumlah negara itu cukup signifikan.
India saja, katanya, menyerap sekitar 2 juta ton CPO per tahun atau 25% dari total ekspor
nasional yang rata-rata 8 juta ton per tahun.
"Itu baru India. Belum lagi permintaan yang besar dari Eropa. Apabila dilakukan
pembatasan ekspor, apakah itu dengan menaikkan pungutan ekspor atau menetapkan
kuota ekspor, Indonesia akan kehilangan pasar di luar negeri," katanya, kemarin.
Ekspor CPO dan produk turunan (000 ton)
Jenis
2001
2002
CPO
1.800
2.800
Produk turunan
RBD Olein
950
2.025
RBD Palm Oil
350
280
RBD Stearine
930
970
PFAD
300
280
Total ekspor
4.330
6.355
2003
2.900
2004
3.800
2005
4.600
2006
5.000
2.500
325
1.200
300
7.225
3.100
550
1.430
380
9.260
3.330
650
1.600
340
10.520
4.050
980
1.650
460
12.140
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Menurut dia, konsumen CPO Indonesia di luar negeri akan terganggu karena kebijakan
perdagangan tersebut akan memengaruhi mekanisme pasar dan harga CPO nasional di
bursa komoditas internasional.
Dengan kenaikan pungutan ekspor, lanjutnya, harga CPO akan anjlok, sehingga
menciptakan disparitas harga. Hal ini dipastikan memicu penyelundupan yang makin
merugikan Indonesia.
Susanto menegaskan Gapki menolak wacana yang sempat digulirkan pemerintah tersebut
dengan alasan untuk memacu kinerja industri hilir berbasis CPO di dalam negeri.
"Jangan sampai kebijakan untuk memacu industri hilir itu justru menekan sektor hulunya.
Pemerintah harus jeli menerjemahkan apa itu value added karena pembatasan ekspor ini
akan mengganggu iklim investasi di hulu juga."
Dia menyebutkan nilai tambah sektor hulu perkebunan terbukti lebih tinggi dibandingkan
industri hilir. Dari sisi tenaga kerja, perbandingan penyerapan tenaga antara hulu dan hilir
mencapai 100:1. Sedangkan dari sisi investasi tercatat angka perbandingan 10:1.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Penelitian dan Lingkungan Hidup Gapki
Daud Dharsono menyebutkan mayoritas ekspor CPO saat ini sudah berupa produk
turunan atau 58% dari total ekspor.
Produk turunan
Hanya sekitar 42% masih berupa minyak sawit. Hal ini membuktikan industri hilir CPO
di dalam negeri pun sudah berjalan. "Dari ekspor 2006 sebanyak 12,14 juta ton, yang
keluar [ekspor] dalam bentuk CPO itu hanya 41,19% atau hanya 5 juta ton. Sisanya sudah
turunan. Jadi kalau industri hilir mau dipicu, apakah benar dengan pembatasan ekspor?"
Apalagi, tambah Daud, Indonesia terancam terkena tindakan balasan yang sama dari
negara-negara yang terkena dampak pembatasan ekspor CPO jika kebijakan itu ditempuh
pemerintah untuk mendongkrak industri hilir. (aprika.hernanda@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 15 Mei 07
Sebanyak 40 perusahaan minyak sawit diketahui sedang menyusun kontrak pasok crude
palm oil, karena realisasi program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng tidak sesuai
komitmen awal, sementara harga komoditas itu kemarin mencapai RM2569 (US$755)
per ton.
Komitmen pasok minyak goreng untuk PSH sepanjang 4-12 Mei hanya terealisasi 14.000
ton dari rencana 23.450 ton. Padahal, target komitmen pasok selama satu bulan ini
mencapai 100.000 ton CPO (setara 75.000 ton minyak goreng).
Tetapi faktanya komitmen crude palm oil (CPO) yang terkumpul hingga pekan lalu baru
90.000 ton (setara 67.500 ton CPO), jauh dari kuota yang ditetapkan Wapres Jusuf Kalla
sebesar 150.000 ton CPO (setara 112.000-an ton minyak goreng).
Program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng
Pelaksanan (ton)
Rencana
Realisasi
4 Mei
3.100
NA
7 Mei
3.950
NA
8 Mei
4.050
NA
9 Mei
3.800
NA
10 Mei
3.950
NA
11 Mei
3.800
NA
12 Mei
800
NA
14 Mei
NA
Total
23.450
14.000
Harga (Rp/kg)
Af-pabrik
6.950
6.850
6.850
6.850
6.500
6.500
6.500
6.100
Eceran
7.350
7.250
7.250
7.250
6.900
6.900
6.900
6.500
Tugas Akhir
rata-rata
pasar
CPO
internasional
283
Dinnar Cincintya L. R.
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
390
443
471
422
525
640
755
"Bahkan empat PT Perkebunan Nusantara yang sudah memberi komitmen 20.000 ton
CPO dalam rapat pertama dengan Menteri Perindustrian pada awal Mei, hingga kemarin
belum merealisasikan pasok," tutur sumber Bisnis di kalangan pengusaha CPO, kemarin.
Rendahnya realisasi pasok CPO dalam PSH itu menyebabkan harga minyak goreng di
tingkat eceran masih bergerak dalam kisaran Rp7.600-Rp8.000 per kg.
Dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Minggu,
kalangan pengusaha kelapa sawit menyampaikan minimnya realisasi pasok PSH minyak
goreng. Pertemuan itu juga menyepakati penunjukan Ernst & Young untuk mengawasi
pelaksanaan PSH.
Namun, hingga tadi malam pengusaha anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
(Gapki), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), dan Asosiasi Industri
Minyak Makan Indonesia (AIMMI) belum selesai membahas detil kontrak komitmen
pasok PSH minyak goreng antara produsen CPO dan prosesor, serta mekanisme kerja
auditor Ernst & Young.
"Tingginya alokasi kebutuhan CPO membutuhkan kontrak antara produsen dan prosesor
agar masing-masing bisa jalan, terutama supaya tidak ingkar janji," ujar Sahat Sinaga,
Direktur Eksekutif GIMNI, seusai rapat di Depdag, kemarin.
Menurut dia, hasil evaluasi PSH antara pemerintah dan pengusaha memutuskan alokasi
CPO perlu ditingkatkan agar bisa meredam harga minyak goreng.
Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan,
mengatakan untuk mempercepat penurunan harga minyak goreng, rapat evaluasi PSH
menyepakati harga jual di pintu pabrik langsung turun menjadi Rp6.100 per kg dan
diberlakukan kemarin.
"Harga diperkirakan baru signifikan pada pekan ketiga, karena semua sudah komit
dengan harga eks-pabrik sekitar Rp6.100 per kg," katanya.
Namun, sumber Bisnis meragukan harga minyak goreng turun menjadi Rp6.100 per kg di
pintu pabrik di tengah terus menguatnya harga CPO internasional.
Harga CPO di Kuala Lumpur kemarin naik RM99 dari RM2.470 per ton pada akhir
pekan lalu menjadi RM2.569 (US$755) per ton untuk pengantaran Mei. Angka yang
dicapai kemarin merupakan yang tertinggi sejak 1984 (US$729 per ton).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Ardiansyah mengakui harga CPO di pasar luar negeri masih cenderung menguat.
Penguatan harga komoditas itu karena masih tingginya permintaan di pasar internasional.
Secara terpisah, sumber Bisnis lainnya menyebutkan ekspor CPO dalam empat bulan
pertama tahun ini sudah melampaui 3 juta ton. Padahal, pada Januari-Juli 2006 Gapki
melaporkan baru 2,9 juta ton.
Dalam evaluasi tersebut, menurut Sahat, kembali ditekankan bahwa kalangan produsen
atau perkebunan yang tidak tergabung dalam Gapki harus turut serta berkontribusi untuk
memasok CPO agar PSH minyak goreng bisa berhasil dengan memaksimalkan pasok.
Dia mengatakan ada 15 perusahaan asing yang menyatakan komitmen memasok CPO.
Namun, Sahat tidak mengemukakan nama perusahaan tersebut, karena hingga kini
mereka masih harus menunggu putusan pemilik saham agar bisa menggelontorkan
komoditas itu. (M02/ K9/Martin Sihombing/Bambang Sutejo/Master Sihotang)
(lutfi.zaenudin@ bisnis.co.id/neneng.herbawati@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
So, jika tidak segera ditanggapi dengan serius dan dampak krisis global yang katanya
akan mencapai klimaks pada 2009 mendatang, maka sedikitnya terdapat 2 juta keluarga
petani dan 5 juta keluarga pekerja yang menggantungkan hidup dari kelapa sawit akan
tersiksa di 2009 nanti.
Apa solusinya??
Sebenarnya agar permasalahan ini dapat diselesaikan yang harus dipikirkan adalah
bagaimana stok berlebih yang ada dapat dimanfaatkan sehingga tidak lagi terjadi
kelebihan stok. Entah dengan melakukan ekspor ke negara-negara lain atau jika langkah
ini sudah nihil, ya kitalah sebagai bangsa yang harus memanfaatkannya alias
meningkatkan konsumsi domestik yang memang sangat kurang, berdasarkan data dari
18,8 juta ton minyak kelapa sawit mentah yang diproduksi tahun 2008 ini, yang diserap
oleh konsumsi dalam negeri hanya 5,5 juta ton. Pemerintah sendiri sebenarnya telah
menempuh langkah ini melalui kebijakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
yang mewajibkan industri, pembangkit listrik, dan transportasi umum untuk mencampur
bahan bakar fosil dengan biodiesel dan etanol sebanyak 5%, yang akan terus ditingkatkan
ke depannya. Melalui kebijakan ini, sebenarnya CPO yang diserap dapat mencampai
600.000 ton per tahun dan tentu akan meningkat seiring dengan kenaikan presentasenya
dalam bahan bakar fosil. Namun, lagi-lagi perencanaan ini terkesan lamban dalam
implementasinya karena mulai diuji coba sejak 1 Oktober 2008 lalu dan efektif berlaku
pada 1 Januari 2009 nanti, semoga saja ketika sudah efektif berlaku, tidak ada masalah
lain yang terjadi. Pembentukan pasar domestik ini seyogyanya didukung juga oleh
kebijakan pemerintah lain, jangan hanya menunggu mekanisme pasar karena peran aktif
pemerintah sebagai regulator dan fasilitator sangat dibutuhkan guna membangun
kekuatan perekonomian nasional
Masalah lain, yang terkait dengan penurunan harga kelapa sawit mentah secara drastis
akibat krisis ekonomi global merupakan masalah klasik semua jenis komoditas dan
tentunya ini menjadi masalah klasik bagi Indonesia. Sudah dari dulu, banyak pengamat
dan ekonom mengatakan jangan hanya mengekspor bahan baku keluar negeri
dikarenakan harganya sangat rentan tergantung situasi ekonomi dunia. Jadi
penyelesainnya, ya buatlah suatu barang jadi hasil produksi untuk kemudian diekspor
atau menjadi konsumsi dalam negeri. Tentunya dengan kenaikan nilai tambah pada
minyak kelapa sawit mentah dapat meningkatkan harganya berkali-kali lipat.
Gerak cepat pemerintah dalam menangani segala hambatan yang terjadi dalam industri
kelapa sawit ini memang sangat dibutuhkan agar potensi besar yang dimiliki tidak
menjadi bumerang bagi bangsa kita. Sehubungan dengan ketidakmauan (atau secara
kasar ketidakmampuan) dalam mengekspor barang jadi, nampaknya bangsa kita jika
dianalogikan seorang bayi adalah bayi yang belum mau menjejakkan langkah pertamanya
ke tanah. Kenapa ini terjadi?? Who knows
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 27 Jun 06
Tugas terberat bangsa ini, yang tak pernah tuntas, membebaskan dari utang dan
mengurangi jumlah pengangguran. Gali lubang tutup lubang, tidak memberikan hasil apa
pun. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi ekses negatif pengangguran, akan
jauh lebih besar.
Banyak seruan yang dilontarkan agar Indonesia menghentikan utang luar negeri. Namun,
akibat cadangan devisa yang tidak menggembirakan, permintaan itu hingga kini belum
dipenuhi. Membayar 50% utang (US$3,76 miliar), cadangan devisa Indonesia turun
menjadi US$40,0 miliar dari (per minggu pertama Juni 2006) US$44,13 miliar.
Bagi BI, jumlah cadangan devisa US$40 miliar hanya mampu memenuhi kebutuhan
impor 4,7 bulan dan pembayaran utang luar negeri janga pendek, termasuk cushion untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembalikan arus modal jangka pendek.
(Bisnis,23 Juni).
Dengan kondisi seperti itu, kita dibuat menjadi tidak bisa berbuat maksimal. Itu sebabnya
kita pun menjadi seperti 'linglung' ketika defisit APBN-P 2006 membengkak menjadi
Rp42 triliun. Lonjakan itu konsekuensi kenaikan belanja menyusul penambahan rasio
anggaran pendidikan, pembatalan rencana kenaikan tarif dasar listrik, dan kebutuhan
dana untuk rekonstruksi serta rehabilitasi akibat gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Disamping adanya penambahan pos pembiayaan.
Perbandingan produksi, luas lahan & ekspor sawit Indonesia dan Malaysia
Indonesia
Produksi (juta ton)
Luas lahan (juta ha)
Ekspor (juta ton)
8,08
2,47
4,94
9,37
2,79
6,49
10,3
3,02
7,2
11,4
3,28
8,05
12,2
3,6
--
11,8
3,06
10,625
11,91
3,11
10,886
13,35
3,25
12,266
13,8
3,46
12,575
14,17
3,66
--
Malaysia
Produksi (juta ton)
Luas lahan (juta ha)
Ekspor (juta ton)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Mencari tambahan dana segar (fresh money) dengan 'menghamburkan' dana dari kantung
sendiri untuk menutupi defisit, hanya akan menguras uang sendiri. Misalnya dengan
memanfaatkan sebagian tabungan pemerintah di Bank Indonesia untuk menutup defisit.
Apalagi jika tidak di-back-up kebijakan produktif yang cepat membalikkan keuntungan.
Sejujurnya, kondisi sulit saat ini, buah dari perbuatan kita sendiri yang nyaris tidak
pernah belajar dari berbagai situasi sulit di masa lalu akibat terobsesi oleh kapasitas diri.
Soal bencana, misalnya, kita selalu menganggap remeh.
Tidak pernah mau selalu bersikpa eling lan waspada bahwa bencana bisa datang kapan
saja tanpa kita ketahui, sehingga kita pun siap manakala bencana itu datang. Paling tidak
mengatasi para korban dan mengeliminasi terjadinya isolasi penduduk. Begitu pun
antisipasi manakala kebutuhan hidup, yang tak akan bisa dipastikan besarannya dalam
situasi nilai tukar rupiah yang kerap fluktuatif.
Terjadinya krisis ekonomi pada 1997-1998, seharusnya menjadi pelajaran berharga buat
kita, sehingga kita tidak lagi menghadapi situasi sulit seperti saat ini. Di mana kebu-tuhan
uang melonjak, sementara kita tidak banyak mempunyai alternatif sumber pembiayaan
dan alternatif yang kita miliki, pun mempunyai risiko jika pemanfaatannya tidak
dilakukan secermat mungkin. Apalagi banyak yang dikorupsi.
Pilihan menetapkan sepuluh komoditas unggulan untuk menggerakan ekonomi bangsa
ini, secara jangka panjang, keputusan yang baik. Kendati keputusan itu membuat kita
seperti orang yang baru terbangun dari tidur. Salah satunya ketika menetapkan kelapa
sawit sebagai unggulan. Sehingga ada cibiran begini," Lho, selama ini kemana aja?"
Pasalnya, komoditas yang satu ini, tanpa harus dimasukkan dalam komoditas unggulan,
sebenarnya sudah unggul. Devisa yang dihasilkan setiap tahunnya, terus memperlihatkan
kinerja yang mengagumkan. Bagi pemerintah Indonesia, kelapa sawit-meminjam istilah
Eric Wakker dalam laporannya bertajuk The Kalimantan Border Oil Palm Mega-Projectadalah green dollar tree.
Beban pengusaha
Tanaman yang kini sudah ditanam di 17 provinsi di Indonesia, menampung dua juta
pekerja dan petani. Pada 2004, total tanaman sawit di Indonesia mencapai 5,3 juta hektare
dengan produksi 11,4 juta ton crude palm oil (CPO) dengan pendapatan US$4,43 miliar
dan revenue yang diterima pemerintah, US$42,3 juta.
Jangankan Indonesia dan Malaysia, Singapura pun kepincut menggarap kelapa sawit.
Kendati pertanian dan perikanan hanya menyumbangkan 0,5% dari GDP negara
kepulauan itu dan menampung 0,3% tenaga kerja dan hanya 3% lahan di sana dijadi-kan
pertanian, komoditas itu tetap saja menarik minat mereka.
Dua perusahaan di sana kini akan menginvestasikan modal US$80 juta untuk
membangun kebun sawit untuk memproduksi biodiesel. Dari total itu, US$50 juta akan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
diinvestasikan antara Wilmar Holdings dan Archer Daniels Midland Company dan akan
beroperasi pada akhir 2006. Pada saat yang sama, Peter Cremer GmbH dari Jerman juga
tengah menyiapkan perkebunan sawit dengan biaya sekitar US$20 juta.
Memang, bukan karena permintaan minyak kelapa sawit yang melonjak sehingga
perkebunan sawit siap untuk terus mengucurkan dolar AS. Tapi karena semakin besar
permintaan biodiesel asal kelapa sawit, membuat pertumbuhan kelapa sawit layak untuk
terus dikembangkan.
Karena itu, jika pemerintah berniat untuk mendongrak pendapatan negara dari kelapa
sawit termasuk mengurangi laju angka pengangguran, pe-merintah sebaiknya tidak
menciptakan kebijakan yang me-nambah persoalan. Sebab, kendati menyumbangkan
banyak uang kepada negara ini, sejujurnya, industri sawit, hidup di tengah situasi yang
membuat pundak pengusaha terasa diganduli beban teramat berat.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung komoditas unggulan itu agar
semakin maju, sebaiknya mengurangi sikap 'lintah darat'. Mengisap dan mengisap,
sehingga industri itu mirip sapi perah yang ujung-ujungnya sekarat lalu mati. Kasus pajak
ekspor (PE) dan retribusi yang dikeluarkan pemerintah daerah sudah cukup menyulitkan
para pengusaha di industri itu. Di mana akibatnya nilai jual produk CPO Indonesia di
pasar ekspor menjadi tidak kompetitif.
Pemerintah sebaiknya membantu melakukan upaya re-planting sejumlah tanaman yang
sudah berusia tua, sehingga mendorong yield tanaman. Memberikan kredit suku bunga
kepada petani kelapa sawit sebesar Rp200 miliar yang diungkapkan Mentan Anton
Apriyantono seusai menemui Wapres Yusuf Kalla, mungkin langkah realistis.
Apalagi jika kredit itu benar-benar diterima petani, bukan dimanfaatkan oleh swasta besar
atau BUMN, yang menjadikan petani hanya sebagai tameng untuk memperoleh kucuran
kredit berbunga murah itu. (martin.sihombing@bisnis. co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kelapa Sawit
Utilisasi pengolahan CPO 53%
Oleh: Yusuf Waluyo Jati
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7458&coid=1&caid=23
ABSTRAK
Tingkat kapasitas produksi (utilisasi) di industri hilir pengolahan CPO Indonesia
masih rendah sekitar 53% dari total kapasitas terpasang yang mencapai 10 juta ton per
tahun. Hal ini akibat kemampuan industri CPO hilir belum diberdayakan secara optimal.
Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wachjudi
menjelaskan kecilnya tingkat kapasitas terpasang di industri hilir nasional ini juga
dialami industri hilir kakao dan karet masing-masing 50%.
Hal ini karena terkendala akses pasar, keterbatasan bahan baku yang dipicu
kebijakan ekspor bahan mentah, infrastruktur yang kurang memadai, hingga kondisi
permesinan yang sudah keropos.Akibat rendahnya tingkat kapasitas terpasang itu,
produksi riil produk-produk hilir berbasis CPO hanya sekitar 4,5 juta ton pada tahun lalu.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kelapa Sawit
Utilisasi pengolahan CPO 53%
Oleh: Yusuf Waluyo Jati
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7458&coid=1&caid=23
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 30 Jan 07
Tingkat kapasitas produksi (utilisasi) di industri hilir pengolahan CPO Indonesia masih
rendah, atau sekitar 53% dari total kapasitas terpasang yang mencapai 10 juta ton per
tahun.
Hal ini akibat kemampuan industri CPO hilir belum diberdayakan secara optimal. Untuk
meningkatkan utilisasi sektor ini, diperkirakan membutuhkan pasokan bahan baku 5 juta
ton pada 2007.
Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wachjudi menjelaskan
kecilnya tingkat kapasitas terpasang di industri hilir nasional ini juga dialami industri hilir
kakao dan karet masing-masing 50%.
Hal ini karena terkendala akses pasar, keterbatasan bahan baku yang dipicu kebijakan
ekspor bahan mentah, infrastruktur yang kurang memadai, hingga kondisi permesinan
yang sudah keropos.
Akibat rendahnya tingkat kapasitas terpasang itu, produksi riil produk-produk hilir
berbasis CPO hanya sekitar 4,5 juta ton pada tahun lalu.
Oleh karena itu, terang dia, pemerintah sedang mengkaji skema penataan kembali
kebijakan di sektor CPO, kakao, dan karet.
Wakil Presiden Jusuf Kalla belum lama ini menginstruksikan pengembangan industri
hilir CPO harus meliputi beberapa hal a.l. pengurangan ekspor dalam bentuk mentah,
pemberian insentif usaha, perbaikan infrastruktur, serta penguatan diplomasi
perdagangan.
Jika pemerintah ingin memperkuat basis industri pengolahan CPO, perlu ada suatu
skenario untuk secara bertahap membatasi ekspor CPO ke negara importir a.l. Malaysia,
India, Pakistan, hingga China, dan dalam waktu bersamaan berusaha meningkatkan
utilisasi industri hilir nasional.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Perekonomian Riau berdasarkan PDRB tanpa Migas dalam tiga tahun terakhir (20052007) mengalami pertumbuhan rata-rata 8,48 persen per tahun. Sektor pertanian yang
terdiri dari subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan
perikanan, merupakan sektor yang mempunyai pangsa terbesar.
Pada 2007 pangsa sektor pertanian mencapai 37,25 persen, diikuti industri pengolahan
30,16 persen, dan perdagangan (perdagangan, hotel, dan restoran) 12,02 persen,
sedangkan sisanya berada di enam sektor lainnya.
Pangsa terbesar dari sektor pertanian berada pada sub sektor perkebunan dan kehutanan
yaitu masing-masing sebesar 19,02 persen dan 11,88 persen, sedangkan peranan terbesar
dari sub sektor perkebunan adalah kelapa sawit. Pada tahun tahun 2007 luas perkebunan
kelapa sawit di Riau mencapai 1,61 juta hektare atau sekitar 27 persen dari total luas
perkebunan sawit di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta hektare.
Perkembangan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit berfluktuasi mengikuti
harga CPO di pasar internasional. Dari tahun 1998 sampai dengan 2008 (September)
harga CPO berfluktuasi dengan titik terendah pada tahun 2001, yaitu sebesar 283 dolar
AS per ton dan tertinggi pada tahun 2008 yaitu sampai September rata-rata sebesar 1.097
dolar AS per ton. Namun demikian, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi global sejak
Oktober 2008 harga CPO mengalami penurunan drastis mencapai sekitar 400 dolar As
per ton. Kondisi ini memberikan dampak yang besar terhadap perkebunan dan industri
kelapa sawit karena diikuti dengan penurunan harga TBS dari sekitar Rp1.700 per kg
pada Juli 2008 menjadi sekitar Rp400 per kg pada Oktober 2008, bahkan pada tingkat
petani non mitra harga mencapai Rp200 per Kg.
Krisis Global dan Prospek Kelapa Sawit
Krisis ekonomi global yang dimulai pada triwulan III 2008 telah memberikan dampak
terhadap kondisi perekonomian Indonesia, seperti ketatnya likuiditas, meningkatnya suku
bunga, menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), melemahnya nilai tukar
rupiah, menurunnya ekspor komoditi pertanian, menurunnya harga minyak bumi dan
CPO, serta meningkatnya ketidakpastian dalam kegiatan usaha.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Berdasarkan penelitian dan analisa beberapa ahli, komoditas kelapa sawit pada masa
yang akan datang tetap mempunyai prospek yang baik seiring dengan meningkatnya
konsumsi minyak dan lemak dunia, serta dapat digunakannya minyak sawit sebagai
sumber energi terbarukan (biofuels). Pengembangan biofuels, terutama sejak harga
minyak melambung menjadi salah satu prioritas penting di banyak negara, seperti Uni
Eropa (UE) berharap pada tahun 2010 sebanyak 5,75 persen bahan bakar untuk
transportasi akan menggunakan energi terbarukan, kemudian meningkat menjadi 8 persen
pada 2020.
Sementara itu, Australia berkonsentrasi mengembangkan biofuels dengan target 350 juta
liter pada tahun 2010. Menurut Gubernur Bank Indonesia pada pembukaan kongres
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-16 di Manado, dengan merujuk pada laporan
yang disusun oleh The Economist menyebutkan bahwa komoditas pertanian Indonesia
memiliki daya saing cukup baik secara global, bahkan untuk komoditas minyak sawit
menempati peringkat kedua di dunia.
Selain sebagai sumber energi, kelapa sawit juga dapat menghasilkan produk turunan
(industri hilir) yang sangat beragam dan mempunyai nilai tambah lebih tinggi
dibandingkan dengan CPO. Beberapa industri hilir yang potensial untuk dikembangkan
di Riau adalah industri minyak goreng, margarine, serta industri bahan-bahan untuk
sabun dan kosmetik, baik untuk memenuhi kenutuhan pasar dalam negeri maupun
ekspor. Peluang pengembangan industri hilir kelapa sawit di Riau sangat besar karena
didukung oleh sumber bahan baku yang cukup dan letak geografis yang sangat strategis
bagi pengembangan industri berorientasi ekspor.
Berdasarkan data di atas, dengan melihat pada luas kebun, potensi lahan/daya dukung
wilayah, keperluan minyak dan lemak dunia, berkembangnya teknologi untuk
memanfaatkan minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan, serta banyaknya jenis
industri yang dapat dikembangkan dari minyak sawit, maka prospek perkebunan dan
industri kelapa sawit khususnya di Riau masih sangat potensial untuk dikembangkan.
Pengembangan industri hilir kelapa sawit salah satu jalan meningkatkan nilai tambah
produksi kelapa sawit bagi perekonomian daerah/nasional, dan mengurangi dampak
gejolak harga CPO terhadap kegiatan perkebunan sawit (khususnya pendapatan petani),
mengingat barang-barang hasil industri hilir diperkirakan tidak akan mengalami
peningkatan/penurunan yang tajam seperti CPO. Oleh karena itu, dalam rangka menarik
investor di industri tersebut pemerintah pusat dan daerah perlu membuat kebijakan yang
mendukung dan memberikan insentif, serta memfasilitasi ketersediaan infrastruktur.
Sementara dari sisi pembiayaan, peranan perbankan dalam mendukung pengembangan
sektor perkebunan di Riau, khususnya kelapa sawit sudah cukup besar yang ditunjukkan
oleh besarnya pangsa kredit di sub sektor perkebunan, yaitu sebesar Rp3,12 triliun atau
15,55 persen dari total kredit perbankan di Riau per September 2008.
Rekomendasi
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa prospek perkebunan dan industri kelapa
sawit di Riau mempunyai potensi besar, untuk itu perlu dilakukan beberapa upaya antara
lain; pertama, pemerintah daerah, dinas, dan pengusaha sawit meningkatkan koordinasi
untuk melakukan pembinaan kepada petani petani. Kedua, petani perlu membentuk atau
memperkuat kelembagaan, baik dalam bentuk kelompok tani atau koperasi.
Ketiga, pemerintah daerah dan dinas terkait perlu melakukan review dan menyusun
mapping strategi pengembangan perkebunan dan industri sawit. Keempat, dalam kondisi
krisis seperti saat ini, perlu ditingkatkan koordinasi antara pemerintah dengan pengusaha
industri sawit untuk menetapkan harga TBS yang wajar.
Kelima, perlu disusun kebijakan dan dilakukan promosi intensif untuk meningkatkan
investasi industri hilir di Riau. Keenam, perbankan perlu melakukan koordinasi dan
pembinaan kepada nasabah di perkebunan/industri kelapa sawit.***
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
PPBOP
363.405
96.114
67.475
1.081.309
2.275.000
300.063
Setelah merger
573.405
160.786
122.319
1.823.941
8.965.000
906.625
Dinnar Cincintya L. R.
143.196
61.360
204.566
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 25 Jul 07
Pemerintah akan membatasi luas areal kebun kelapa sawit milik holding (grup
perusahaan) guna mencegah terjadinya praktik kartel dalam pasar minyak sawit mentah
(crude palm oil/CPO).
"Peraturan pembatasan lahan itu sedang dimatangkan. Ada kekhawatiran penguasaan
lahan besar hanya dilakukan oleh holding. Ini harus dikoordinasikan," tutur Mentan
Anton Apriyantono seusai berbicara pada seminar nasional bertajuk CPO: Untuk Pangan
atau Energi, di Jakarta, kemarin.
Pemerintah, lanjutnya, tidak menginginkan adanya dominasi holding tertentu dalam
penguasaan lahan kebun sawit.
Sebelumnya, Mentan-melalui Permen No. 2/2007- menetapkan satu perusahaan diizinkan
mengembangkan areal perkebunan untuk kelapa sawit hingga 100.000 hektare. Permen
itu merupakan perubahan dari SK Mentan No. 357/2002 yang kepemilikannya hanya
20.000 ha setiap perusahaan.
Beberapa kepemilikan lahan kelapa sawit di Indonesia
Holding
Jumlah ditanami (ha)
Lokal*
Salim group
1.155.745
Sinar Mas
320.463
Raja Garuda Mas
259.075
Astra Group
192.375
Surya Dumai Group
154.133
London Sumatra (Lonsum)
245.629
Sampoerna Agro
170.000
Asing**
Wilmar Holding
210.000***
PBB Oil Palm Bhd
274.805
CNOOC
1 juta****
Lahan swasta pada 1999
2.854.738
Lahan swasta pada 2006
3.022.773
Lahan petani pada 2006
2.636.425
Lahan negara pada 2006
629.375
Total lahan Indonesia
6.338.933
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Rencana pemerintah itu mendapat dukungan dari Ketua Harian Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun. Rencana pemerintah itu, menurut dia,
akan menciptakan persaingan yang sehat dalam industri CPO. "Apalagi kesempatan
memperoleh lahan semakin kecil," ujar Derom.
Pengaturan kepemilikan kebun sawit oleh holding, lanjutnya, akan memberi kesempatan
kepada pengusaha kecil dan petani untuk ikut memiliki lahan kebun sawit. Pengaturan itu
bahkan tidak akan memengaruhi minat investasi di industri CPO.
"Banyak investor yang menghubungi saya, baik dari Asia dan Amerika maupun Eropa.
Mereka ingin investasi di industri CPO. Tapi yang terpenting jangan ada aturan yang
aneh."
Sementara itu, seorang pengusaha Malaysia yang hadir dalam seminar tersebut mengaku
dia justru heran dengan adanya pembatasan lahan melalui holding. "Itu [pengaturan]
patut dipertanyakan," ujar pengusaha yang enggan disebut namanya itu.
Dengan globalisasi seperti sekarang, kata pengusaha tadi, kepemilikan lahan atau modal
melalui holding tidak bisa dilawan, karena menyangkut pencitraan iklim investasi.
Dalam pandangan Sekretaris Kementerian Negara BUMN Said Didu, peraturan yang
membatasi kepemilikan lahan kelapa sawit pada holding akan sia-sia.
"Oke itu [peraturan tersebut] bagus. Tapi pengusaha tidak bodoh-bodoh amat. Kalau
seperti itu, mereka [akan tetap] pecah-pecah lagi perusahaannya. Jadi, membuat aturan
yang bisa diakalin, tidak usah-lah, bikin pusing saja."
Said Didu menyarankan agar peraturan yang dibuat tidak mudah dijadikan akal-akalan
pengusaha. Sayangnya dia tidak menjelaskan secara rinci peraturan tersebut.
PPN CPO
Untuk mendorong pengembangan industri hilir CPO, pemerintah sedang mempersiapkan
berbagai insentif, yang salah satu di antaranya adalah pembebasan pajak pertambahan
nilai (PPN) bagi CPO.
"Insentif lainnya berupa kemudahan mengembangkan industri hilir dalam hal perizinan
dan dukungan infrastruktur," ujar Said Didu.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Namun, rencana pembebasan PPN CPO itu ditanggapi dingin oleh Gapki, sebab akan
menghilangkan pajak masukan bagi pengusaha CPO. "PPN sebelumnya sudah dianggap
oleh perusahaan sama dengan pajak masukan. Kalau dihilangkan, belum tentu jadi
insentif," kata Derom.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Menurut dia,
kalangan produsen CPO tidak perlu meminta insentif berupa pembebasan PPN, karena
struktur industri CPO nasional masih kuat, sehingga mampu mengatasi persaingan di
pasar global dan domestik.
Fahmi berpendapat yang perlu dilakukan pemerintah adalah sisi pengaturan industri CPO
agar tercipta keseimbangan antara kebutuhan ekspor dan lokasi pasok bagi kebutuhan
domestik. (m02) (martin.sihombing@bisnis. co.id/yusuf.waluyo@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 19 Jun 07
Masyarakat Indonesia tengah menjerit karena mahalnya harga minyak goreng sawit
(MGS). Bila tiga bulan lalu harga MGS hanya Rp6000-an, kini naik menjadi Rp10.000an.Ibu rumah tangga dan pedagang kecil yang banyak memakai MGS menjerit.
Kebutuhan rumah tangga makin mahal.
Sedangkan pedagang kecil, untungnya makin kecil. Mau menaikkan harga pisang goreng,
misalnya, takut konsumen tak mau. Padahal, harga MGS naik hampir dua kali lipat.
Dampaknya, kehidupan rakyat kecil makin susah. Jika melihat persoalan harga MGS
yang terus membubung, sebetulnya siapa yang diuntungkan? Jelas para pengusaha dan
negara.Pengusaha dapat meraup uang banyak akibat harga CPO (crude palm oil bahan
dasar MGS) yang tinggi.
Lalu pemerintah kebagian rejeki karena pemasukan pajak dan pungutan lain dari
perdagangan CPO makin banyak. Di pihak lain, rakyat kecil yang hidup pas-pasan makin
menderita. Kenapa semua ini terjadi? Itulah berkah dari berkembangnya sistem
kapitalisme perkebunan sawit.Watak kapitalisme di mana-mana sama: mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya sesedikit mungkin. Itulah sebabnya
kenaikan harga CPO di pasar internasional dijadikan kesempatan emas dan alasan akurat
untuk menaikkan harga MGS.
Para kapitalis tak akan peduli pada tingginya harga MGS di pasar domestik dan tak akan
peduli dengan jeritan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, pemerintah tidak akan bisa
memaksa para kapitalis sawit untuk meningkatkan kepeduliannya pada jeritan
masyarakat yang tercekik akibat tingginya MGS. Ancaman pemerintah untuk menekan
para kapitalis sawitantara lain menaikkan pajak ekspor, mengenakan denda,dan lainlain bagi yang tidak mau memasok CPO ke pasar domestik dengan harga murah
niscaya tidak akan berpengaruh.
Alih-alih pemerintah menekan mereka sehingga menciutkan hati para kapitalis, yang
terjadi malahan pemerintah ditertawakan dunia bisnis internasional. Dengan demikian,
tipis harapan pemerintah akan dapat menurunkan harga MGS di pasar domestik karena
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
bisnis CPO dan turunannya sudah masuk dalam sistem kapitalisme global.
Merusak Hutan
Saat ini, ketika masyarakat menjerit karena naiknya harga MGS, tak banyak orang
menyadari bahwa bisnis perkebunan sawit sebetulnya lebih banyak merugikan ketimbang
menguntungkan. Luasnya perkebunan sawit di Indonesia akan memakmurkan rakyat
kecil di desa-desa tempat perkebunan sawit berada,ternyata hanya mitos belaka.Penelitian
yang dilakukan Walhi Riau dan Lembaga Bela Benua Talino di Pontianak menyimpulkan
bahwa perkebunan sawit ternyata makin memiskinkan penduduk setempat.
Memang pada awalnya, selama tigaempat bulan di tahun-tahun pertama, penghasilan
penduduk setempat meningkat. Tapi di bulan-bulan berikutnya, penghasilan penduduk
menyusut 40 60%.Ini terjadi karena pekerjaan di perkebunan sawit menyita waktu dan
melelahkan sehingga penduduk menelan-tarkan kebun-kebun tradisional mereka seperti
singkong, pisang, kopi, rambutan, dan lain-lain sehingga hasilnya berkurang. Fenomena
itu terjadi baik di Riau maupun di Kalimantan Barat.
Bahkan, petani plasma yang punya lahan sawit dua hektare pun,kondisi ekonominya tetap
memprihatinkan. Hasil sawit yang rata-rata Rp148.00 perkaveling, ternyata tidak
mencukupi untuk kebutuhan keluarga penduduk setempat. Itulah sebabnya, banyak warga
setempat menjual kaveling sawitnya kepada pengusaha atau orang luar untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Yang lebih mengenaskan, akibat meluasnya
perkebunan sawit kerusakan hutan pun makin luas pula
.
Akibat kerusakan hutan itu,kini banjir dan longsor sering menerjang Riau, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat,dan Kalimantan Timur. Sebagai gambaran, pada tahun 1994
luas areal perkebunan kelapa sawit telah mencapai 1,8 juta ha dengan produksi CPO
sebesar 4,8 juta ton.Dua belas tahun kemudian, yakni 2006, perkembangannya amat
spektakuler: perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 5,8 juta hektare.
Dengan areal seluas itu, Indonesia mampu memproduksi CPO sebanyak 16 juta ton.
Kecenderungan bertambah luasnya perkebunan sawit itu makin nyata kalau kita
menyaksikan banyaknya investor yang masuk dalam bisnis sawit. Kondisi terse-but
ironisnya sengaja didorong pemerintah karena Indonesia berambisi untuk menjadi
produsen sawit terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia. Bila kondisi tersebut dibiarkan,
kerusakan lingkungan, khususnya hutan, niscaya akan makin menjadi-jadi.
Coco Oil
Selain merusak lingkungan, minyak sawitkalau tak hati-hati dalam pemakaiannya
juga ternyata lebih banyak merusak kesehatan. Ini terjadi karena minyak sawit
mengandung trans fatty acid (TFA).TFA diketahui akan berubah struktur kimianya bila
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
dipanaskan dalam waktu lama dan berubah menjadi zat yang merusak jantung (stroke).
Itulah sebabnya para ahli gizi menyarankan untuk memakai minyak goreng sawit (MGS)
hanya sekali pakaikarena bila dipakai dua kali menggoreng (ikan misalnya), minyak
tersebut berbahaya bagi jantung.
Ini berbeda dengan minyak goreng kelapa yang aman karena tak mengandung TFA.
Minyak kelapa bisa dipakai berkali-kali dan tetap aman bagi kesehatan. Itulah sebabnya
di sejumlah negara bagian di AS, misalnya, pemerintahnya telah melarang pemakaian
minyak sawit untuk goreng-menggoreng. Bangsa Indonesia sejak lama terkenal sebagai
orang yang akrab dengan pohon kelapa. Pohon kelapa yang tumbuh di mana-mana
mulai dari pantai sampai puncak gunung semuanya dimanfaatkan oleh nenek moyang
kita.
Buahnya dibuat untuk minyak klentik (coco oil) yang tidak hanya bisa dipakai untuk
minyak goreng, tapi juga untuk obat urut dan pelancar ibu yang sukar melahirkan.
Sabutnya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti keset dan isi jok kursi. Begitu
pula tempurungnya dapat dipakai untuk bahan bakar yang sangat bagus. Batangnya
dipakai untuk membuat kerangka rumah, bahkan kini untuk bahan industri furnitur.
Pendek
kata,semua
komponen
dari
pohon
kelapa,
bermanfaat.
Dari gambaran itu, kita layak berharap bahwa pemerintah kembali memikirkan
peremajaan dan perluasan tanaman kelapa di Tanah Air.Perlu ada keputusan politik untuk
menghidupkan tanaman kelapa dan memperluas tanaman ini untuk rakyat agar kondisi
ketergantungan rakyat pada MGS bisa teratasi secara alamiah.Dan yang lebih penting
lagi,perluasan tanaman kelapa ini tidak hanya memperbaiki lingkungan hidup dan
memperbaiki kesehatan masyarakat konsumen minyak goreng, tapi juga menghidupkan
ekonomi rakyat yang sekarang ini terus terpinggirkan.(*)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
maupun pusat). pa sawit. Kelebihan komoditi kelapa sawit ini hanyalah ketika
Pemerintah dengan sangat mudah memberikan beragam fasilitasi, terutama bagi
pengusaha, dalam pengembangan komoditi ini. Mulai dari kebijakan, finansial, hingga
pengamanan kawasan kebun. Langgengnya bisnis perkebunan kelapa sawit hari ini lebih
banyak dikarenakan masih tingginya kebutuhan negara utara terhadap crude palm-oil dan
produk turunan dari minyak sawit.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
perkebunan kelapa sawit hingga 100 ribu hektar dalam satu kawasan di satu kabupaten
ataupun provinsi, yang disertai kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar
paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal yang diusahakan perusahaan.
Ditambah dengan lahirnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.
14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Budidaya Kelapa Sawit pada tanggal 16 Februari 2009, akan menambah terjadinya
penghilangan lahan-lahan berkehidupan rakyat.
Kelapa Sawit: Spesies Hutan Brazil Yang Mendunia
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili
Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari
Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat dimana pertama kali kelapa sawit tumbuh.
Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia
Tenggara dan Pasifik selatan. Benih kelapa sawit pertama yang ditanam di Indonesia
pada tahun 1984 berasal dari Mauritius Afrika. Perkebunan kelapa sawit pertama
dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun
1911.
Pulau Sumatera terutama Sumatera Utara, Lampung dan Aceh merupakan pusat
penanaman kelapa sawit yang pertama kali terbentuk di Indonesia, namun demikian
sentra penanaman ini berkembang ke Jawa Barat (Garut selatan, Banten Selatan),
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Papua.
Perluasan perkebunan besar kelapa sawit sangat dipicu oleh meningkatnya kebutuhan
minyak sawit, termasuk untuk kepentingan biofuel bagi kebutuhan masyarakat eropa.
Sejak naiknya harga crude palm-oil (CPO) di pasaran dunia, akibat kebijakan Uni Eropa
untuk menggantikan 20% kebutuhan bahan bakarnya dengan biodiesel, maka semakin
cepat juga terjadi pembukaan kawasan hutan dan lahan-lahan produktif rakyat menjadi
perkebunan kelapa sawit.
Awal tahun 1968, areal kelapa sawit yang semula hanya terbatas di tiga wilayah
(Sumatera Utara, Aceh dan Lampung) saat ini sudah berkembang di 22 daerah Provinsi.
Luas areal tahun 1968 seluas 105.808 ha dengan produksi 167.669 ton, pada tahun 2007
telah meningkat menjadi 6,6 juta ha dengan produksi sekitar 17,3 juta ton CPO, dimana
50,79% dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta, 38,8% merupakan Perkebunan Rakyat
dan 10,39% merupakan Perkebunan Besar Negara.
Perkebunan Monokultur Skala Luas Memusnahkan Tanah Harapan
Kelapa sawit di Indonesia dikembangkan dalam sistem perkebunan monokultur skala
luas. Sekurangnya dibutuhkan lahan seluas 6.000 hektar dalam satu hamparan untuk
memenuhi kebutuhan pabrik pengolah minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Sehingga
dibutuhkan sekurangnya lahan perkebunan seluas 8.000 hingga 10.000 hektar untuk
membangun sebuah usaha perkebunan yang integrated dengan industri CPO. Akibatnya
semakin banyak lahan-lahan hutan serta lahan produktif rakyat yang diambil secara paksa
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
oleh perusahaan yang berkolaborasi dengan pemerintah (lokal maupun pusat). Pada
beberapa kawasan, wilayah rawa (swamp forest), termasuk rawa gambut (peatland),
kerangas (heat forest) dan hutan hujan dataran rendah (lowland rainforest), menjadi
wilayah yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Konflik sosial cenderung kerap terjadi pada perkebunan besar kelapa sawit. Sawit Watch
mencatat sekurangnya terjadi 513 konflik antara masyarakat dengan perusahaan di tahun
2008. Beberapa perkebunan besar kelapa sawit bahkan menggunakan lahan hutan lindung
ataupun kawasan konservasi (taman nasional) untuk menanam kelapa sawit.
Berbagai permasalahan lingkungan hidup juga harus dihadapi oleh masyarakat, disaat
pembukaan lahan perkebunan yang berskala luas ini, kemudian menghadirkan banjir,
erosi dan kekeringan di kawasan sekitar perkebunan. Sungai-sungai menjadi coklat dan
tidak lagi dapat berfungsi sebagai biasanya. Sumur-sumur dan sumber air tanah lainnya
semakin sukar ditemui di musim kemarau, dan terkadang juga terjadi di musim
penghujan.
Ketika pabrik pengolahan minyak sawit mulai terbangun, limbah-limbah dari pabrik
CPO, yang kabarnya dapat diolah kembali menjadi sumber hara bagi tanaman kelapa
sawit, justru menghasilkan limbah hitam dan berbau di aliran sungai yang selama ini
dimanfaatkan oleh komunitas lokal untuk kebutuhan sehari-hari.
Pelibatan kelompok rakyat dalam perkebunan kelapa sawit melalui sistem plasma, juga
belum memberikan sebuah keuntungan yang sebenarnya. Diletakkannya sertifikat tanah
petani di perbankan sebagai jaminan kredit investasi kebun sawit, sering kali tidak
mampu diperoleh kembali walaupun sudah melalui satu periode tanam (18-25 tahun).
Sistem perjanjian lain yang sering diberikan oleh perusahaan adalah dengan menukarkan
lahan seluas 10 hektar dengan kebun sawit seluas 2 hektar, dan tetap dengan
menjaminkan sertifikat lahan milik petani untuk biaya pembangunan kebun sawit untuk
petani.
Menggantungkan Harapan di Pelepah Yang Rapuh
Secara jenis, Kelapa sawit melahirkan permasalahan sendiri. Kelapa sawit membutuhkan
bibit yang terbaik, yang hanya diperoleh dari industri penghasil bibit kelapa sawit.
Hingga saat ini, baru lima perusahaan yang dinyatakan sebagai penghasil bibit kelapa
sawit bersertifikat di Indonesia. Bila menanam bibit sawit yang dihasilkan dari kelapa
sawit yang telah ditanam, maka kualitas minyak sawit yang dihasilkan menjadi sangat
rendah, sehingga sering kali ditolak oleh pabrik pengolah minyak sawit.
Kendali harga dalam menjual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit berada di tangan
pabrik pengolah minyak sawit. Buah kelapa sawit yang cepat membusuk dan hanya
berkualitas baik pada 24 jam pertama hingga 72 jam, dan setelah itu tidak dapat
menghasilkan kualitas minyak CPO yang baik. Sehingga pada wilayah-wilayah yang
kapasitas pabriknya tidak mampu menampung produksi buah kelapa sawit, seperti di
Kalimantan dan Sumatera, maka harga yang ditawarkan oleh pabrik kepada petani sangat
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
tidak berada pada posisi yang menguntungkan bagi petani sawit. Harga yang sempat
melonjak hingga Rp 1.200,- setiap kilogram sempat membahagiakan petani kelapa sawit.
Namun kondisi tersebut hanya berlangsung tak lama, yang kemudian harga setiap
kilogramnya di tingkat petani kelapa sawit berkisar antara Rp 80,- hingga Rp 300,-.
Sehingga hanya petani kelas menengah dan berlahan luas saja yang mampu bertahan.
Cara memanen tandan buah segar kelapa sawit hanya dapat dilakukan oleh orang yang
masih bertenaga kuat, atau orang-orang muda. Pada usia 10 tahun ke atas, diperlukan
galah tambahan untuk memanen buah kelapa sawit. Jenis ini yang kemudian
membedakan dengan pohon karet, dimana setiap orang, termasuk anak-anak dan orang
tua, dapat memanen getah karet. Kondisi tersebut menjadikan setiap petani sawit yang
sudah lanjut usia, harus mempekerjakan buruh dodos dan buruh angkut, yang akan
menambah biaya produksi kelapa sawit.
Penggunaan pestisida dan pupuk sangat dianjurkan dan cenderung wajib bagi petani
sawit. Inputan kimia yang tinggi ini melahirkan ketergantungan tersendiri bagi petani
kelapa sawit, belum termasuk dampak kesehatan akibat penggunaan pestisida tanpa
pengaman. Pestisida dan pupuk kimia dipastikan mengalir kepada aliran air menuju
sungai-sungai dan air tanah, yang selama ini merupakan sumber air bagi kebutuhan
keseharian. Ini belum termasuk untuk mengatasi hama babi hutan, landak, ataupun hewan
yang memakan bonggol sawit lainnya. Biaya produksi sudah dipastikan meningkat
dengan kondisi yang ada ini. Belum lagi, dampak kesehatan yang akan dialami oleh
petani sawit, karena penggunaan pestisida yang tidak memperhatikan cara
penggunaannya.
Kelapa sawit juga memiliki keunikan tersendiri, dimana setiap harinya kelapa sawit
membutuhkan sekurangnya 20-30 liter air setiap harinya. Secara perlahan kemudian,
kelapa sawit akan mengeringkan air tanah. Walau kemudian terlihat pada kebun-kebun
kelapa sawit masih dapat ditumbuhi oleh tumbuhan penutup tanah (cover crop), namun
sejatinya air tanah sudah sangat jauh berkurang. Pada usia 3 tahun, di daerah sekeliling
kelapa sawit sudah sukar ditumbuhi oleh jenis-jenis pepohonan ataupun tanaman
pertanian. Sistem tumpang sari yang selama ini dianjurkan dalam menanam kelapa sawit,
belum pernah secara benar terjadi.
Dalam proses penanaman kembali (re-planting) kelapa sawit, terdapat kesulitan, dimana
akar dan bonggol kelapa sawit harus dicabut untuk kemudian dapat menanam kembali.
Atau kemudian melakukan penanaman pada wilayah yang belum ada akar kelapa
sawitnya. Akar dan batang kelapa sawit sangat sukar untuk membusuk, kecuali kemudian
diberikan perlakuan dengan menambahkan zat kimia tertentu (yang cenderung berbahaya
bagi tanah dan kehidupan) pada batang dan akar kelapa sawit agar cepat membusuk.
Biaya yang dibutuhkan untuk re-planting berkisar antara Rp 25-30 juta setiap hektarnya.
Hingga saat ini hanya pada wilayah Nanggore Aceh Darussalam dan Sumatera Utara
bagian timur yang telah melakukan re-planting hingga kedua (periode tanam ketiga).
Sementara pada sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan Timur bagian selatan,
sedang memasuki tahap re-planting pertama (periode tanam kedua).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Fakta menunjukkan bahwa pada 2004 luas kebun sawit di Malaysia hanya
bertambah 400.000 hektare menjadi total 3,46 juta hektare dibandingkan 2001, namun
produksi meningkat 2 juta MT menjadi seluruhnya sekitar 13,8 juta MT. Tingkat
produktivitas pun meningkat menjadi 3,99 ton/ha. Bandingkan dengan Indonesia yang
pada 2004 luas lahan yang disulap menjadi kebun kelapa sawit bertambah seluas 810.000
hektare, namun produksi hanya bertambah 3,32 juta MT, sehingga produktivitas kelapa
sawit Indonesia tercatat 3,47 ton per hektare. .
Padahal, pemerintah telah mengenakan pungutan ekspor (PE) yang dalam
praktiknya adalah pajak ekspor yang lantas masuk ke kas negara. Jadi, jelas tergambar
sedemikian terencananya strategi serta besarnya komitmen pemerintah Malaysia untuk
mengembangkan industri kelapa sawit. Masyarakat mendambakan concern yang lebih
serius dari pemerintah mengingat potensi kelapa sawit yang semakin signifikan bagi
ekonomi nasional. Bayangkan, jika pada 2001 volume ekspor CPO tercatat 4,94 juta MT,
maka pad 2004 ekspor mencapai 8,05 juta MT atau melonjak 63% dengan nilai lebih dari
US$3 miliar (Rp30 triliun) Dengan kontribusi yang demikian, sangat masuk akal bila
saatnya ada dana yang khusus diperuntukkan bagi upaya memperkuat industri kelapa
sawit dalam negeri.
Keyword : ekspor CPO, pungutan ekspor (PE)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 08 Mar 06
Pada sebuah seminar biodiesel yang digelar oleh Lembaga Riset Perkebunan Indonesia
(LRPI) di Jakarta, beberapa waktu lalu, mantan Menteri Kehutanan Hasrul Harahap
mengungkapkan kegalauan hatinya.
Dia mengutip pernyataan dari pemerintah bahwa pemerintah siap mengucurkan dana
sebesar US$17,5 juta untuk penanganan flu burung dan akan dialokasikan kepada dua
universitas yakni Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk
keperluan riset mencari obat mengatasi wabah flu burung.
"Itu jumlah yang luar biasa besar. Saya membayangkan bagaimana percepatan di sektor
perkebunan apabila ada dana untuk riset. Malaysia dari dulu pungut cess (semacam
pungutan ekspor) dan kita lihat sendiri sekarang mereka jauh lebih maju dari kita," ujar
Hasrul dengan nada tinggi.
Dia merujuk pada data produktivitas komoditas kelapa sawit atau palm oil antara
Indonesia dan Malaysia. Menurut data World Oil Annual (lihat Tabel), pada 2001
Malaysia memiliki luas lahan 3,06 juta hektare dengan produksi sebesar 11,8 juta metrik
ton (MT).
Sementara itu, Indonesia pada saat yang sama luas areal palm oil-nya sekitar 2,47 hektare
namun produksinya 8,08 juta MT. Artinya, produktivitas Malaysia mencapai 3,86 ton per
hektare, sementara Indonesia 3,27 ton per hektare.
Perbandingan nilai produksi, luas lahan dan ekspor sawit Indonesia dan Malaysia
2001
2002
2003
2004
2005
8,08
9,37
10,3
11,4
12,2
2,47
2,79
3,02
3,28
3,6
4,94
6,49
7,2
8,05
11,8
11,91
13,35
13,8
14,17
3,06
3,11
3,25
3,46
3,66
10,625
10,886
12,266
12,575
Indonesia
Malaysia
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Fakta menunjukkan bahwa pada 2004 luas kebun sawit di Malaysia hanya bertambah
400.000 hektare menjadi total 3,46 juta hektare dibandingkan 2001, namun produksi
meningkat 2 juta MT menjadi seluruhnya sekitar 13,8 juta MT. Tingkat produktivitas pun
meningkat menjadi 3,99 ton/ha.
Bandingkan dengan Indonesia yang pada 2004 luas lahan yang disulap menjadi kebun
kelapa sawit bertambah seluas 810.000 hektare, namun produksi hanya bertambah 3,32
juta MT, sehingga produktivitas kelapa sawit Indonesia tercatat 3,47 ton per hektare.
Hasrul Harahap dengan tegas mengatakan satu-satunya cara untuk melakukan percepatan
produksi kelapa sawit, termasuk karet dan komoditas perkebunan lainnya, adalah melalui
riset.
Dia sependapat bahwa stakeholder di industri ini perlu meminta dana untuk riset dari
kontribusi yang selama ini telah disumbangkan kepada pemerintah.
Melalui riset yang intensif dan didukung oleh peneliti Indonesia yang berkualitas, dia
yakin tidaklah sulit negeri ini menghasilkan bibit kelapa sawit dan komoditas perkebunan
lainnya dengan produktivitas yang tinggi.
Tak terkait
Pertanyaannya, darimana dana untuk keperluan riset itu? Pemerintah selama ini selalu
berlindung di balik kondisi keterbatasan APBN sehingga anggaran untuk riset selalu
terpinggirkan.
Padahal, pemerintah telah mengenakan pungutan ekspor (PE) yang dalam praktiknya
adalah pajak ekspor yang lantas masuk ke kas negara. Jumlahnya pun tidak tanggungtanggung. Saat ini besaran PE ditetapkan US$5,25 per MT, sehingga bila ekspor crude
palm oil (CPO) pada 2004 sebesar 8,05 juta MT, maka nilai PE mencapai US$42,26 juta
atau lebih dariRp 400 miliar.
Lantas, kemana uang sebesar itu? Wallahualam. Mungkin, oleh Depkeu dipakai untuk
membiayai proyek infrastruktur atau pengentasan kemiskinan yang sama sekali tidak
terkait langsung dengan pengembangan industri kelapa sawit di dalam negeri.
Inilah ironi yang kini terjadi di Indonesia. Padahal Malaysia beberapa dasawarsa silam
justru 'belajar' dari Indonesia dalam hal pengembangan industri kelapa sawit. Mereka
tetap mengenakan apa yang disebut pungutan cess. Bedanya, seluruh pungutan itu
digunakan untuk pengembangan lebih lanjut industri kelapa sawit.
Besaran cess oleh pemerintah Malaysia ditentukan sebesar 15 ringgit per MT atau setara
US$3,9 per MT. Bila volume ekspor CPO Malaysia pada 2004 mencapai 12,575 juta MT,
maka pemerintah Malaysia meraup US$49,04 juta atau setara dengan Rp465 miliar.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Yang menarik dicermati, hampir setengah dari pungutan cess itu atau senilai US$23,64
juta (Rp224 miliar) dialokasikan untuk riset dan pengembangan (R&D). Sisanya US$6,41
juta diperuntukkan bagi kegiatan promosi atau pemasaran CPO Malaysia ke pasar
internasional.
Bahkan, sekitar US$12,95 juta (Rp123 miliar) dari pungutan cess tersebut disiapkan
untuk kondisi darurat (safety net fund) seperti terjadi gejolak harga atau wabah penyakit
melanda.
Titik lemah
Jadi, jelas tergambar sedemikian terencananya strategi serta besarnya komitmen
pemerintah Malaysia untuk mengembangkan industri kelapa sawit. Dana yang diambil
dari industri jelas-jelas dikembalikan ke para pelaku dan stakeholder di industri kelapa
sawit.
Tidak seperti di Indonesia, di mana pemerintah justru bersibuk ria menarik pajak atau
pungutan atau apapun namanya, namun sayang tidak ada dari dana tersebut yang
'menetes' secara langsung ke industri bersangkutan.
Kita mendambakan concern yang lebih serius dari pemerintah mengingat potensi kelapa
sawit yang semakin signifikan bagi ekonomi nasional. Bayangkan, jika pada 2001
volume ekspor CPO tercatat 4,94 juta MT, maka pad 2004 ekspor mencapai 8,05 juta MT
atau melonjak 63% dengan nilai lebih dari US$3 miliar (Rp30 triliun)
Dengan kontribusi yang demikian, sangat masuk akal bila saatnya ada dana yang khusus
diperuntukkan bagi upaya memperkuat industri kelapa sawit dalam negeri.
Pungutan ekspor yang selama ini berlangsung kiranya dapat menjadi solusi atas masalah
keterbatasan dana. Hal ini penting, karena aspek riset dan pengembangan, ketersediaan
bibit, promosi, dan dana talangan (safety net fund), adalah titik lemah yang harus segera
dibenahi bila tidak ingin industri kelapa sawit nasional semakin tertinggal dari Malaysia.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Di negeri ini, law enforcement, cenderung lemah. Selalu (hanya) main ancam,
dengan tenggat yang tak berujung. Dan akhirnya, tidak ada kabar. Hilang ditelan angin.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.26/Permentan/OT.140/2007, izin
yang sudah diberikan jika tidak dimanfaatkan sesuai dengan tenggat waktu yang
ditetapkan, dicabut. Maka, ketika 148 perusahaan pemegang IUP dicabut, mereka pun
meminta agar pemerintah melakukan tindakan yang sama kepada pengusaha yang 'nakal'
itu seperti yang dialami mereka.
Namun, kini, ada sejumlah perusahaan perkebunan pemegang IUP yang diduga
tidak aktif, tak kunjung mendapatkan tindakan. Sejak IUP untuk enam investor itu
diterbitkan, sampai sekarang belum ada kegiatan di lapangan dan tidak ada kabarnya.
Namun, tindakan yang ada, hanya ancaman. Yah, ancaman berisi jika sampai
batas waktu yang ditentukan enam perusahaan itu tetap tidak aktif, kemungkinan besar
izinnya akan dicabut. Masyarakat berharap, pemerintah tidak berkompromi dengan
pengusaha pemegang IUP yang sudah melanggar aturan izin itu. Bahkan, pemerintah
tidak perlu kepincut oleh membaiknya harga CPO belakangan ini, sehingga IUP itu tidak
ditarik kendati sudah kedaluwarsa lantaran ada permintaan dari pemegang IUP khususnya
pemerintah daerah
Keyword : perusahaan perkebunan kelapa sawit, harga CPO.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
"Pemerintah engga tegas. Di satu sisi pengusaha ditegur, lainnya diancam-ancam doang,"
begitu isi SMS yang saya terima akhir pekan lalu. "Pemerintah pilih kasih. Apa sih
maunya pemerintah?"
Si pengirim SMS itu adalah salah satu dari sejumlah pengusaha yang izin usaha
perkebunan (IUP) kelapa sawitnya dicabut. Kira-kira hampir setahun lalu. Di mana saat
itu, 148 izin perusahaan perkebunan sawit seluas 4,1 juta hektare dari 261 perkebunan
sawit yang ada di Kalimantan Barat dicabut.
Adapun, alasannya adalah tidak melaksanakan kegiatan hingga tenggat waktu perizinan
berakhir dan faktor banyaknya minat investor perkebunan sawit di Kalbar.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.26/Permentan/OT.140/2007, izin yang
sudah diberikan jika tidak dimanfaatkan sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan,
dicabut. Maka, ketika 148 perusahaan pemegang IUP dicabut, mereka pun meminta agar
pemerintah melakukan tindakan yang sama kepada pengusaha yang 'nakal' itu seperti
yang dialami mereka.
Termasuk bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berdiri di areal taman nasional,
yang dilindungi oleh hukum.
Namun, kini, ada sejumlah perusahaan perkebunan pemegang IUP yang diduga tidak
aktif, tak kunjung mendapatkan tindakan. Paling tidak ada enam perusahaan yang
bergerak di sektor perkebunan karet dan kelapa sawit di Kabupaten Murung Raya
(Mura), Kalteng yang tidak melakukan kegiatan. Sejak IUP untuk enam investor itu
diterbitkan, sampai sekarang belum ada kegiatan di lapangan dan tidak ada kabarnya.
Namun, tindakan yang ada, hanya ancaman. Yah, ancaman berisi jika sampai batas waktu
yang ditentukan enam perusahaan itu tetap tidak aktif, kemungkinan besar izinnya akan
dicabut.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit di taman nasional
Nama perusahaan
Luas
(Ha)
Daerah
PT
Buana
Tunas
Kecamatan Badau
Sejahtera
PT Duta Nusa Lestari
Kecamatan Semitau
Tugas Akhir
16.000
15.250
Dinnar Cincintya L. R.
PT
Persada
Graha
Kecamatan Silat Hilir
Mandiri
PT Prima Nusa Mitra
Kecamatan Silat Hilir dan Silat Hulu
Sejati
PT
Sentra
Karya
Kecamatan Badau dan Kecamatan Empanang
Manunggal
20.000
20.000
20.000
Sumber: Dephut
Pemanfaatan lahan
Di negeri ini, law enforcement, cenderung lemah. Selalu (hanya) main ancam, dengan
tenggat yang tak berujung. Dan akhirnya, tidak ada kabar. Hilang ditelan angin. Beberapa
waktu lalu, misalnya, sebanyak 20 izin perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalbar
diancam akan dicabut. Ancaman itu diberikan lantaran habisnya masa berlaku izin, tetapi
belum ada pemanfaatan lahan.
Dari 20 tersebut ada sekitar 300.000 hektare lahan yang sudah diberikan izin, tetapi
karena tidak dimanfaatkan, maka lahan yang disediakan masih terbengkalai. Tapi apa
ujungnya? "Wussss..." Hilang ditiup angin.
Setahun lalu, Menhut M.S. Kaban mendesak Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin,
yang kabarnya akan mencabut 12 unit IUP kelapa sawit di kawasan hutan Taman
Nasional Danau Sentarum (TNDS), karena melanggar ketentuan UU No. 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang Nasional. Bahkan, pemberi izin dan pemilik izin terancam sanksi
pidana serta diberhentikan tidak dengan hormat bagi kepala daerah yang melanggar
aturan tata ruang nasional. Pencabutan itu demi terjaminnya kepastian berusaha bagi
pelaku ekonomi.
Berdasarkan hasil investigasi Departemen Kehutanan, mengutip Menhut, perusahaan
perkebunan yang mengantongi izin di dalam kawasan hutan TNDS meliputi PT
Anugerah Makmur Sejati mengantongi izin di wilayah Kecamatan Seberuang dan
Kecamatan Silat Hilir, seluas 15.000 hektare.
Perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan TNDS bisa mengancam kelestarian
lingkungan hidup. TNDS selama ini dikenal sebagai sumber utama pasokan air Sungai
Kapuas. Keberadaan TNDS didasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 34/Kpts-II/1999, tertanggal 4 Februari 1999.
Kekayaan alamnya sangat menakjubkan. Lahan hutan gambutnya paling unik di dunia.
Dihuni lebih dari 80 jenis mamalia, 26 jenis reptilia, 270 jenis burung (aves) dan 260
jenis ikan. Di antaranya endemie (di dunia hanya ada di TNDS), seperti bekantan, kepuh
(presbytis melolopas), orang utan, buaya muara, buaya senyulong dan buaya katak/rabin,
bangau tongtong, bagau rawa dan rangkong/enggang dan raja udang.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Diperkirakan ada 476 unit izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di sejumlah provinsi
yang masuk kawasan hutan. Namun, apa tindakan atas pelanggaran itu?
Ada dugaan, menyusul harga CPO yang membaik, pemegang IUP itu 'meminta' kepada
pemerintah agar izin tidak ditarik. Jika itu benar, sungguh disayangkan.
Kita berharap, pemerintah tidak berkompromi dengan pengusaha pemegang IUP yang
sudah melanggar aturan izin itu. Bahkan, pemerintah tidak perlu kepincut oleh
membaiknya harga CPO belakangan ini, sehingga IUP itu tidak ditarik kendati sudah
kedaluwarsa lantaran ada permintaan dari pemegang IUP khususnya pemerintah daerah.
Memang, saat ini, harga crude palm oil (CPO) tengah membaik. Harga penutupan CPO di
Rotterdam pada 5 Januari untuk pengapalan Januari, misalnya, sudah US$585 per ton.
Harga itu cukup naik tinggi dibandingkan dengan posisi per 31 Desember 2008 sebesar
US$527 per ton.
Otomatis, menguatnya harga CPO di pasar internasional membuat harga tandan buah
segar (TBS) dan CPO di dalam negeri juga ikut bergerak naik. Harga patokan TBS di
pabrik kelapa sawit (PKS) di Sumut, misalnya, berdasarkan keputusan Tim Rumus Harga
TBS Produksi Petani Provinsi Sumut, mulai 7 hingga 13 Januari 2009 sudah Rp963,52
per kg dari harga patokan 31 Desember 2008 hingga 6 Januari 2009 yang masih
Rp913,98 per kg.
Namun, satu hal yang pasti, kenaikan harga dan pelanggaran ketentuan izin adalah dua
hal yang berbeda. Manusia, yang dipegang itu omongannya. Jangan cuma janji.
(martin.sihombing@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 25 Feb 07
Sejak harga minyak bumi di pasar dunia melonjak pada 2005 yang diikuti kenaikan
harga BBM di dalam negeri pada Oktober tahun yang sama, isu pengembangan bahan
bakar nabati untuk menggantikan minyak fosil kian meluas.
Cadangan minyak dunia yang kian menipis seiring konsumsi yang terus meningkat jelas
membuat harga BBM kian mahal. Meskipun harganya belakangan ini cenderung turun,
dalam jangka panjang pengembangan minyak nabati bukanlah langkah yang keliru
mengingat bahan bakar terbarukan ini-terutama berbahan baku crude palm oil
(CPO/minyak kepala sawit)-akan menjadi sumber energi terpenting yang secara perlahan
akan menggantikan minyak fosil di seluruh negara di dunia.
Situasi ini membuka peluang bagi Indonesia menjadi pemasok CPO terbesar di dunia,
khususnya sebagai sumber energi. Hal ini karena secara klimatologi Indonesia cocok bagi
tanaman kelapa sawit.
Indonesia bahkan memiliki potensi besar untuk menjadi pemain paling dominan di pasar
CPO global dengan menguasai pangsa pasar hingga di atas 45% dibandingkan sekarang
yang hanya 37%, sekaligus mengalahkan Malaysia yang menguasai pangsa 42%.
Namun pengembangan CPO tersebut harus dilakukan dengan perencanaan yang sangat
matang, hati-hati dan simultan mengingat CPO juga merupakan bahan penting bagi
sejumlah industri manufaktur seperti industri makanan, kosmetika, sabun dan oleokimia.
Berdasarkan data Depperin, kebutuhan CPO untuk pangan saja sampai 2010
diproyeksikan mencapai 10,5 juta ton atau menyerap 37% produksi CPO nasional oleh
industri makanan.
Pengembangan industri CPO tanpa diikuti pertumbuhan sektor industri hilir-sebagai
konsumennya-termasuk industri biodiesel, akan membuat investor enggan menanamkan
modal.
Di sisi lain, pengembangan industri hilir yang terlalu cepat tanpa didukung kecukupan
pasokan CPO dari sektor yang lebih hulu akan membuat harga komoditas ini menjadi
melangit karena produksi yang ada akan diperebutkan oleh industri-industri tadi.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kinerja ekspor
Juga jangan sampai pengembangan industri pengolahan CPO di dalam negeri yang terlalu
bersemangat justru malah mengganggu kinerja ekspor nasional, di mana sekarang ekspor
CPO mencakup sekitar 52% dari total produksi nasional yang mencapai 33,50 juta ton
pada 2005 dengan nilai US$ 4,7 miliar.
Terlebih, tren konsumsi minyak sawit di seluruh dunia dalam 10 tahun terakhir tumbuh
rerata 8%-9% per tahun. Pada 2004 konsumsi minyak sawit dunia tercatat mencapai di
atas 30 juta ton.
Volume dan laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit ini lebih cepat dibandingkan
komoditas serupa berupa minyak kedelai yang tumbuh rerata 3,8% per tahun dengan
volume sekitar 25 juta ton per tahun pada 2004.
Apalagi jika dibandingkan dengan minyak bunga matahari yang rerata pertumbuhannya
cuma 2,2% per tahun dengan volume sekitar 11,5 juta ton pada tahun tersebut.
Satu-satunya cara yang layak ditempuh untuk menjamin pasokan CPO untuk semua
keperluan di dalam negeri dan ekspor adalah dengan meningkatkan produksi CPO.
Peningkatan produksi CPO nasional tersebut bukanlah pekerjaan gampang karena di
dalamnya menyangkut pengadaan lahan sawit, kecukupan pasokan pupuk, infrastruktur
distribusi, pengembangan industri hilir dan akses ke pasar ekspor.
Menurut proyeksi Departemen Perindustrian, industri hilir membutuhkan tambahan
pasokan CPO sebesar 5 juta per tahun sampai 2010 untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, termasuk untuk kebutuhan pengembangan bahan bakar nabati.
Sementara itu, di industri pangan domestik, diperkirakan sampai pada 2010 kebutuhan
pasokan CPO akan meningkat menjadi 10,5 juta ton dari saat ini sekitar 8 juta ton.
Peningkatan itu untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng sekitar 9,9 juta ton dan
produk turunan CPO lainnya seperti margarin dan shortening sebesar 750.000 ton per
tahun.
Sedangkan kebutuhan CPO untuk industri nonpangan seperti fatty acid, fatty alcohol dan
glycerin mencapai 150.000 ton. Ini belum termasuk kebutuhan untuk diproses menjadi
bahan bakar nabati yang diperkirakan mencapai 2,01 juta ton.
Dalam hal ini, masalah perluasan lahan dan perbaikan produktivitas menjadi faktor
krusial. Saat ini, produktivitas (CPO) perkebunan kelapa sawit masih relatif rendah yaitu
hanya sekitar 3,4 ton per hektare, padahal pada saat yang sama Malaysia mencapai 4,2
ton.
"Agar lebih efisien, pengembangan perkebunan kelapa sawit harus dilakukan secara
terintegrasi, tidak seperti sekarang ini terpencar-pencar sehingga menimbulkan biaya
tinggi," ujar Menteri Perindustrian Fahmi Idris.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Menurut hitung-hitungan Depperin, pada 2010 sekitar 10% dari total kebutuhan bahan
bakar di dalam negeri dapat digantikan oleh bahan bakar nabati, di mana 7% di antaranya
berbasis minyak sawit atau dikenal sebagai biodiesel.
Skema insentif pun disiapkan. Salah satunya adalah menghapus pengenaan PPN 10%
dalam pengolahan CPO dan memasukkannya dalam industri yang mendapat fasilitas
insentif PPh (tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148 Tahun
2000.
Gayung pun bersambut. Kalangan industri beramai-ramai menggarap peluang bisnis
masa depan tersebut. Hingga saat ini telah ditandatangani sedikitnya 60 kesepakatan
antara berbagai pihak, termasuk 14 PMA dan 26 PMDN dalam proyek pengembangan
bahan bakar nabati.
Sampai 2010, nilai proyek tersebut diperkirakan akan mencapai US$9 miliar-US$10
miliar dengan kucuran dana perbankan sekitar Rp34 triliun. Tenaga kerja yang terserap
pun tidak sedikit, yakni sekitar 3,5 juta orang.
Lantas apa yang dilakukan Depperin dalam megaproyek tersebut?
Aksi Depperin
Fahmi menjelaskan Depperin telah memulai sejumlah aksi antara lain mempromosikan
diversifikasi produk hilir CPO dari 17 jenis menjadi 30 jenis, mendorong pembangunan
fasilitas pelabuhan dan tanki timbun di sejumlah sentra produksi, di samping
mengembangkan aliansi strategis oleokimia dengan perusahaan multinasional.
Bahkan Depperin juga telah memasukkan industri kelapa sawit dalam sektor prioritas
bersama industri lainnya seperti tekstil, kehutanan, sepatu, elektronik, kelautan,
petrokimia. "Bersama industri kami sudah memetakan kebutuhan CPO nasional sehingga
produksi dan konsumsi tidak timpang."
Langkah lainnya, lanjut dia, memperkuat supporting industri seperti industri pupuk
nasional dengan mendorong percepatan restrukturisasi di sektor industri ini.
Terkait dengan pengadaan lahan sawit, pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta hektare
(Ha) lahan hingga 2010 untuk keperluan tersebut dengan perincian perluasan lahan
perkebunan seluas 5 juta Ha, revitalisasi perkebunan kelapa sawit 2 juta Ha, rehabilitasi
lahan 9 juta Ha dan reformasi agraria 8 juta Ha.
"Semua langkah tadi dilakukan bersama Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah dan
Deptan serta instansi lain yang terkait."
Sekarang luas lahan sawit sudah mencapai 5,6 juta Ha yang tersebar di 19 provinsi,
sedangkan potensi lahan yang masih tersedia diperkirakan mencapai 26 juta Ha.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Masih belum puas dengan progres tersebut, saat ini Depperin sedang sibuk mencari skim
insentif tambahan yang tepat bagi investor agar terangsang berinvestasi lebih agresif lagi
di industri CPO dari hulu hingga hilir.
Lebih dari itu, hal yang paling sulit sebenarnya adalah meyakinkan para calon investortentunya lewat skema insentif yang menarik-bahwa industri biodiesel merupakan sebuah
bisnis masa depan yang harus dimulai sekarang.
Upaya meyakinkan mereka menjadi sangat penting mengingat tren harga BBM yang
cenderung turun belakangan ini membuat proyek biodiesel menjadi tidak menarik
sekarang. (chamdan@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 15 Feb 08
Di tengah tingginya harga CPO yang berkisar di atas Rp9.500/kg, kalangan industri
minyak kelapa sawit pekan ini dikejutkan oleh data Oil World Weekly yang
menyebutkan adanya penyelundupan produk CPO sebanyak 660.000 ton pada periode
Januari-September 2007.
Data Oil World Weekly edisi 8 Februari mencatat terjadi ekspor produk minyak sawit
yang tidak terdaftar (selundupan) sebesar 660.000 ton selama tiga bulan pada tahun lalu.
Oil World mencatat tren kinerja ekspor produk CPO dan turunannya dari Indonesia yang
terdaftar pada Juli-September 2006 mencapai 2,93 juta ton, dan pada periode sama tahun
lalu turun menjadi 2,18 juta ton. Penurunan itu akibat adanya ekspor yang tidak terdaftar.
Kinerja ekspor CPO Indonesia (juta ton)
Juli/September
Keterangan
2007
2006
Yang resmi tercatat
2,18
2,93
Ekspor selundupan
0,66
-
Januari/September
2007
2006
7,89
8,63
0,66
-
2005
7,47
-
Menurut media itu, penyelundupan itu terjadi setelah pemerintah menaikkan PE CPO
(crude palm oil) pada Juni 2007 dari 1,5% menjadi 6,5%, dan terus meningkat hingga
7,5% pada September, dan terus meningkat mencapai 10% pada November tahun lalu.
Peningkatan PE tersebut akibat lonjakan harga CPO di pasar internasional, yang pada
November berkisar US$801 hingga US$950 per ton.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menduga terjadinya
penyelundupan CPO pada akhir tahun lalu sekitar 600.000 ton diduga dipicu oleh
kebijakan pungutan ekspor (PE) yang ditetapkan pemerintah.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
turunan CPO berupa biodiesel yang hanya terkena PE sekitar 2% ternyata mendapat
subsidi sekitar US$200-300/ton bila diekspor ke AS, begitu pula bila diekspor ke Uni
Eropa.
Sementara itu, beberapa perusahaan CPO terbesar di negeri ini yang menguasai dari hulu
hingga hilir sudah mulai memproduksi biodiesel. Menurut produsen CPO di Medan,
mesin pembuat olein dan biodiesel itu relatif sama. Ibaratnya, tinggal pencet tombol
maka produksi yang keluar sesuai dengan yang diinginkan dan sesuai kebutuhan.
Akmaludin mengatakan para trader diduga ikut bermain untuk menyelundupkan CPO ke
luar negeri. Sayangnya, dia tidak mau menyebutkan nama-nama trader itu.
Berdasarkan catatan, selama ini dari Medan saja ada tiga trader besar yang menguasai
perdagangan CPO di Indonesia, yaitu Wilmar Trading Group, PT Musim Mas, PT
Permata Hijau Sawit (PHS) Group.
Pj.Kakanwil DJBC Sumut, Togar yang dihubungi Bisnis menyatakan pihaknya belum
mendapat laporan perihal terjadinya dugaan penyelundupan CPO sekitar 600.000 ton
tersebut. "Kami belum menerima laporan soal itu dari Jakarta,'' katanya singkat.
Sumber Bisnis mengungkapkan sejak awal tahun pihak DJBC menerjunkan dua petugas
dari Penyidikan dan Penindakan (P2) DJBC guna mencari tahu modus penyelundupan
CPO tersebut.
Perairan bebas
Dari informasi terhimpun, diduga terjadi pertemuan beberapa kapal di perairan bebas
guna mengalirkan CPO ke kapal lain yang sudah menunggu di Selat Malaka. Adapun rute
kapal pengangkut CPO yakni dari Dumai ke Belawan hingga akhirnya di tengah laut
terjadi pertemuan antarkapal pengangkut CPO tersebut. Namun modus tersebut sulit
diendus petugas DJBC karena berada di perairan internasional.
Modus penyelundupan seperti ini sebetulnya cerita lama, karena di era 1990-an juga
pernah terjadi dan kini kumat lagi. Menurut sumber Bisnis lainnya, pengurus Kadin
diketahui telah menghubungi para pengusaha minyak goreng dan meminta masukan
mengenai gonjang-ganjing minyak sawit terakhir ini.
Mungkinkah kini saatnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan besaran PE yang
mengikuti lonjakan harga di pasar internasional? Atau pemerintah mencabut saja subsidi
harga minyak goreng di dalam negeri?
Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra
Irawady, instrumen pembatasan harus dibebankan dengan cermat. "Artinya, besarannya,
waktunya dan kejelasan mekanisme pengawasannya."
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
dengan kandungan hara yang rendah sehingga tidak potensial untuk pengembangan
perkebunan kelapa sawit.
Ia menjelaskan, perluasan perkebunan terkendala pula pada prosedur pembebasan lahan
yang berbelit-belit, terutama untuk lahan-lahan dengan status kepemilikan oleh negara.
Ada banyak sekali perizinan yang harus di penuhi sehingga menjadi kendala yang sangat
menyulitkan bagi pihaknya.
Hal senada diungkapkan Wakadis Kehutanan Sumut, JB Siring-ringo. Menurutnya,
berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 44 tahun 2005 yang menyebutkan di Sumut,
penunjukan kawasan hutan untuk perkebunan hanya seluas 52.760 hektar. Areal ini
merupakan hutan produksi yang disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan.
Ia mengharapkan, kalaupun terjadi perluasan areal perkebunan seharusnya dikonversi
dari lahan-lahan terlantar yang belum diusahai. Ia menepis kekhawatiran terjadinya
konversi dari hutan lindung menjadi perkebunan kelapa sawit. Alasannya, sudah ada
mekanisme hukum yang mengatur tentang hal tersebut.
"Apalagi sesuai dengan SK Menhut, sejak lima tahun lalu sudah tidak ada lagi peralihan
hutan menjadi perkebunan," katanya.
Sementara Abit Nego dari sawit Watch yang dihubungi Medan Bisnis via telephone
mengatakan, perluasan perkebunan kelapa sawit ini memiliki potensi yang serius
terhadap konflik sosial terkait dengan akses masyarakat lokal terhadap pengelolaan
sumber daya alam.
"Seperti kita ketahui, perkebunan kelapa sawit membutuhkan areal yang cukup luas.
Dalam skala perusahaan minimal 5.000 hektar untuk dapat dengan ekonomis
diintegrasikan dengan pabrik perngolahan CPO dan PKO," katanya.
Artinya, lanjut Nego, wilayah kelola masyarakat di wilayah-wilayah ekspansi akan
semakin mengecil. Sehingga konflik sosial akan semakin meningkat. Apalagi sampai saat
ini belum ada aksi dari pemerintah yang jelas terhadap jaminan kepada masyarakat atas
akses sumber daya alam.
Lebih lanjut dikataknnya, pertumbuhan produksi CPO dari tahun 1990-2002 sangat
signifikan mencapai 65% atau dari 15 juta metric menjadi 25 juta metric ton. Indonesia
sendiri saat ini berorientasi pada pegembangan perkebunan yang cenderung pada satu
komoditas tertentu (kelapa sawit) yang akan melemahkan posisi tawar pada titik tertentu
karena adanya potensi over suply.
"Seharusnya pemerintah mempertimbangkan hal tersebut. Selain itu, faktanya sebagian
besar produksi kita masih berupa raw material berupa CPO dan PKO. Industri-industri
pengolahan justru ada di Eropa sehingga added value (nilai tambah, red) lebih banyak
dinikmati oleh negara tersebut," katanya.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kami akan bersama-sama rakyat dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang selama
ini tertindas, ujar Arya Tanjung menjawab berbagai tuntutan rakyat yang menginginkan
wakilnya tidak hanya sekedar mengobral janji, tetapi bukti.
Sebelumnya, Koordinator Program Pelayanan Konservasi Orangutan (OCSP) Kalimantan
Barat, Darmawan Liswanto mendesak pemerintah agar lebih teliti memberikan izin
pengembangan sawit di Kalbar, karena berdasarkan pengalaman tidak sedikit izin
pengembangan sawit hanya untuk melegalkan penebangan hutan.
Kita melihat banyak izin pengembangan sawit hanya modus untuk menebang kayu yang
berada di atas lahan yang akan ditanami sawit, kata Darmawan Liswanto mengingatkan
pemerintah.
Ia meminta, instansi terkait selalu mengawasi gerak-gerik pemilik izin pengembangan
sawit yang sudah mulai melakukan aktivitasnya. Apakah benar mereka akan menanam
sawit atau malah menebang kayu untuk dijual kembali, setelah itu lahan tersebut
dibiarkan terlantar, katanya.
Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, Idwar Hanis, Minggu (4/5) mengatakan, sepanjang
tahun 2007 lalu kegiatan pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar
tercatat seluas 55.562 hektare, atau 45 persen dari permohonan yang diajukan 123.329,93
hektare.
Selama 2007, setidaknya ada 60 perusahaan yang mengajukan izin pembersihan lahan
yang tersebar di sembilan kabupaten. Areal terluas yang telah mengajukan pembersihan
lahan terletak di Kabupaten Ketapang (sebelum pemekaran-red) yakni 44 ribu hektare
oleh 13 perusahaan.
Kemudian Kabupaten Sanggau 22.695 hektare oleh empat perusahaan, Kabupaten
Pontianak tujuh perusahaan (19.365 hektare), Kabupaten Bengkayang delapan
perusahaan (16.855 hektare).
Kabupaten Sintang 14 perusahaan (7 ribu hektare), Kabupaten Landak enam perusahaan
(4.700,93 hektare), Kabupaten Sambas empat perusahaan (4.500 hektare), Kabupaten
Melawi tiga perusahaan (3.516 hektare) dan Kapuas Hulu satu perusahaan (698 hektare).
Hingga akhir 2007, pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan
seluas 4,6 juta hektare lahan untuk perkebunan sawit. Angka ini naik cukup tinggi
dibanding awal 2007 yakni 4,1 juta hektare.
Setelah mendapat info lahan, pemohon harus mengurus izin lokasi, mempersiapkan
analisa mengenai dampak lingkungan apakah layak atau tidak sebelum memperoleh izin
usaha perkebunan.
Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar
hanya sekitar 400 ribu hektare.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
dilakukan tanpa memedulikan lagi kelestarian alam. Persoalan lain, dengan potensi sawit
yang demikian besar, industri hilir selain pabrik CPO yang tersedia, khususnya di
Sumatera, sangat jarang. Padahal, nilai tambah terbesar sawit terletak pada industri hilir
yang menyertainya, mulai dari minyak goreng, mentega, sampai palm based
oleochemical yang banyak dibutuhkan untuk kosmetik.
Keyword : CPO, TBS, Perkebunan sawit.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Perkebunan kelapa sawit, diakui atau tidak, telah memicu peningkatan perekonomian.
Walaupun dihadang beragam persoalan, selama 20 tahun perkebunan sawit menjadi nadi
utama penghidupan rakyat.
Di Sumatera, sebagai sentra perkebunan sawit republik ini, banyak daerah baru tumbuh
akibat langsung dari perkebunan sawit. Yang cukup fantastis terjadi di Provinsi Riau
yang meliputi lima kabupaten, Siak, Pelelawan, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, dan
Kampar.
Sepanjang jalan lintas timur, lintas tengah, dan lintas barat Sumatera antara Medan dan
Palembang, di kanan kiri jalan yang terlihat hanyalah hamparan perkebunan sawit atau
karet.
Tak heran jika total luas areal tanaman sawit di seluruh Indonesia dalam 20 tahun terakhir
berkembang sangat cepat. Tahun 2003 luas areal kebun sawit di Sumatera, seperti dicatat
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), mencapai 5,2 juta hektar. Padahal, pada tahun
1997 luas areal sawit di Sumatera hanya 611.300 hektar.
Dari luas itu, empat juta hektar lebih berada di Sumatera, termasuk Bangka Belitung.
Kebun seluas itu menghasilkan tidak kurang 8,3 juta ton minyak sawit mentah (CPO) dan
sekitar tiga juta ton di antaranya diekspor. Bayangkan jika harga internasional CPO
sekitar 400 dollar AS per ton, setiap tahun Sumatera menyumbang devisa 1,2 miliar
dollar AS.
Biasanya setiap dua hektar kebun sawit digarap satu keluarga atau empat orang. Dengan
luas areal empat juta hektar, berarti delapan juta orang terlibat dalam bisnis ini. Itu baru
mereka yang bekerja di kebun, belum buruh di pabrik pengolahan CPO dan transportasi
tandan buah segar (TBS) atau para pegiat benih di beberapa pusat pembenihan.
Masalah benih
Kebutuhan benih terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pesatnya
pembukaan lahan baru kebun sawit. Data terbaru dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Seluruh Indonesia (Apkasindo) menunjukkan kebutuhan benih mencapai 2,4 juta per
tahun. Dari sembilan pemasok benih di Indonesia, hanya dapat diproduksi sekitar 1 juta
per tahun.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Belum lagi persoalan benih, petani sawit juga dihadapkan pada akses jalan menuju pabrik
pengolahan. TBS harus sudah diolah menjadi CPO hanya dalam waktu 24 jam. Jika
dalam waktu 24 jam belum diproses, kemungkinan besar TBS akan membusuk.
Seperti terjadi di Bengkulu akhir-akhir ini, rakyat membiarkan sawitnya tidak dipanen
karena akses jalan menuju pabrik sangat sulit. Kalaupun ada, ongkos transportasinya
mahal. Soal ini pula di Provinsi Riau yang menjadi kendala utama pengolahan sawit.
Perkembangan cepat luas areal tanam tidak sebanding dengan kehadiran pabrik
pengolahan. Memang, pabrik pengolahan ini ada yang terkait dengan kebun, ada pula
yang menampung sawit dari rakyat.
Pabrik pengolahan kadang jengkel dengan ulah petani yang menyiram TBS di tengah
jalan menuju pabrik pengolahan. Tidak jarang pekerja di pabrik pengolahan membiarkan
sawit sampai berjam-jam tidak diolah, menunggu sampai air di TBS mengering. Ini
yang rugi petani sendiri karena makin cepat sawit diolah, makin banyak hasilnya. Kalau
nunggu sampai kering, kan hasilnya berkurang, ujar Amril, buruh di pabrik pengolahan
sawit di Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Di luar persoalan ulah petani, kebun sawit membutuhkan sangat banyak pupuk. Dalam
petunjuk pemupukan yang dikeluarkan PPKS, setiap pohon sawit rata-rata per tahun
membutuhkan sekitar 7 kg, tergantung usianya. Jika setiap hektar lahan rata-rata
ditumbuhi 150 pohon, berarti kebutuhan pupuk per hektar per tahun 1.050 kg. Dengan
areal empat juta hektar sawit, Sumatera setiap tahun membutuhkan pupuk 4,2 juta ton,
belum termasuk kebutuhan pupuk untuk tanaman pangan seperti padi dan jagung atau
tanaman palawija.
Rasanya wajar jika hampir setiap tahun kita selalu berteriak kekurangan pupuk. Apalagi
sebagian pupuk bersubsidi sengaja dilempar ke luar negeri karena pasti mendapat untung
yang menggiurkan. Itu terjadi pada pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi ini bisa diperoleh
pekebun sawit juga dengan harga cukup tinggi meski tidak setinggi harga ekspor.
Akibatnya, tetap saja pekebun sawit sering merasakan kekurangan pupuk.
Ketergantungan sawit pada pupuk diceritakan oleh Manajer Umum Plantations PT
Agrowiyana Hepi Sapirman. Jika dalam setahun tidak dipupuk, bisa berakibat
penurunan produksi sekitar 20 persen. Jika dalam dua tahun tidak dipupuk, penurunan
produksi bisa mencapai 35 persen. Baru pulih setelah satu setengah sampai dua tahun
sejak dipupuk kembali, ujar Hepi.
Betapa besarnya uang yang beredar di bisnis sawit dan banyaknya orang yang terlibat
memang tak terbantahkan. Maka, ketika Indonesia mengalami krisis keuangan di tahun
1997, Sumatera seperti tak terkena imbasnya. Mobil-mobil baru terus berjejal, seolah
ingin menunjukkan betapa Sumatera siap mengambil alih peran, khususnya ekonomi, dari
Pulau Jawa.
Ketika sawit membuat orang Sumatera tetap tersenyum, terjadilah pembukaan lahan
besar-besaran untuk dijadikan kebun sawit. Salah satu contohnya, sepanjang 300
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
kilometer Sungai Siak di Kabupaten Siak, Riau, telah berdiri sekitar 700 hektar lahan
sawit.
Kehadiran mereka diduga akan menjadi awal bagi terganggunya ekosistem perairan di
sungai itu. Banyak biota laut yang sudah menghilang, belum lagi kekhawatiran akan
menipisnya persediaan air tanah akibat lahan sawit itu.
Pembukaan lahan sawit tak hanya dilakukan oleh rakyat, tetapi juga oleh perusahaan
dengan modal kecil maupun besar. Mereka berlomba membuka lahan perkebunan baru,
tanpa memedulikan lagi kelestarian alam. Bahkan, di Taman Nasional Tesso Nello (Riau)
sekitar 100 hektar lahan konservasi itu juga mulai dirambah.
Masih banyak lagi taman nasional yang sudah digunduli dan siap menjadi kebun sawit.
Padahal, meski dari segi luas Indonesia lebih unggul dari Malaysia, produktivitas sawit
Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara ini. Harus diakui, ratusan hektar sawit
di Sumatera adalah peninggalan Belanda atau sudah berusia di atas 30 tahun.
Itu antara lain yang membuat produktivitas lahan kita tertinggal, belum lagi penggunaan
pupuk dan teknologinya. Ironis memang, di balik hamparan pohon kelapa sawit yang
menghijau itu banyak tersimpan cerita muram petaninya.
Persoalan lain, dengan potensi sawit yang demikian besar, industri hilir selain pabrik
CPO yang tersedia, khususnya di Sumatera, sangat jarang. Padahal, nilai tambah terbesar
sawit terletak pada industri hilir yang menyertainya, mulai dari minyak goreng, mentega,
sampai palm based oleochemical yang banyak dibutuhkan untuk kosmetik. Andai sawit
tidak busuk dalam waktu 24 jam, mungkin banyak orang Medan yang menjual sawit
tanpa mengolahnya jadi CPO terlebih dahulu, kelakar seorang petani di Labuhan Batu.
Dari 178 pabrik CPO di seluruh Indonesia, 90 persen berada di Sumatera. Anehnya,
hanya ada 20 pabrik minyak goreng di Sumatera dari 58, dari tiga pabrik oleo dari enam
di Indonesia. Seandainya industri hilir sawit marak di Sumatera, bukan tidak mungkin
pulau ini akan menjadi pusat industri agro dari hulu sampai ke hilir. Dan, bayangkan
berapa juta orang yang akan terlibat dalam industri ini.
Akan tetapi, gambaran di atas sekaligus memperlihatkan bahwa ekstensifikasi lahan sawit
belum sebanding dengan ketersediaan pupuk, bibit, pabrik pengolahan, dan pembuatan
akses jalan menuju pabrik itu. Beberapa persoalan itu yang menyadarkan kita, betapa
ekstensifikasi tanpa perencanaan matang akan memunculkan masalah yang
penyelesaiannya kadang lebih rumit. Belum lagi munculnya gagasan mengembangkan
lahan sawit satu juta hektar di Kalimantan!
Bagaimana kebun yang merambah masuk taman nasional diberi akses jalan menuju
pabrik pengolahan tanpa harus mengambil lahan taman itu? Beragam persoalan itu
membuat kita berpikir mungkinkah menata ulang perkebunan kelapa sawit di Sumatera?
Penataan ini sangat penting agar bumi Sumatera tak hanya diperas, tetapi sekaligus
diberdayakan. Mungkinkah?
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Sawit Oh Sawit
Penulis: Yudho H Marhoed
edisi: 08/Apr/2008 wib
http://cetak.bangkapos.com/opini/read/115/Sawit+Oh+Sawit.html
ABSTRAK
Begitu banyak konflik sosial yang terjadi di wilayah perkebunan sebenarnya
mengindikasikan adanya struktur sosial yang timpang dan tidak adil. Dengan sumber
manusia yang ada semestinya mereka memahami bahwa penyebab konflik sosial di
perkebunan adalah adanya kebijakan perkebunan yang tidak memihak pada masyarakat
adat/lokal yang nota bene adalah masyarakat Babel.
Petani sawit menghadapi sejumlah hambatan teknis yang membatasi otonomi
mereka sebagai produsen yang independen. Kelapa sawit baru memasuki usia produktif
setelah 3 sampai 5 tahun, dan baru dapat menghasilkan keuntungan selewat usia 8 tahun.
Selain itu Kualitas TBS menurun tajam jika tidak segera dipanen. TBS harus dibawa dan
diproses dalam waktu 48 jam setelah pemanenan jika tidak ingin produksi dan
kualitasnya menurun. Serta Pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit membutuhkan
investasi besar. Berdasarkan alasan-alasan ini petani sawit cenderung untuk terikat dan
tergantung, sering kali oleh hutang dan hambatan-hambatan teknis, kepada kepentingan
perusahaan
kelapa
sawit
besar
yang
membatasi
kemampuan
mereka
untuk
menegosiasikan harga yang adil atau mengelola lahan mereka sesuai keinginannya. .
Keyword : Kelapa sawit, konflik, TBS
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Sawit Oh Sawit
Penulis: Yudho H Marhoed
edisi: 08/Apr/2008 wib
http://cetak.bangkapos.com/opini/read/115/Sawit+Oh+Sawit.html
Belakangan ini ramai diberitakan di media soal sawit, mulai dari kamuflase
kesejahteraan yang digambarkan sampai dengan dampak ekologi yang bakal
ditimbulkan akibat pembukaan lahan dan aktifitas perkebunan sawit, yang kemudian
banyak ditanggapi sebagian masyarakat Babel. Aksi menuntut kesejahteraan dalam
tuntutan kenaikan upah pun sempat digelar oleh sebagian besar pekerja-pekerja
perkebunan sawit.
Untuk jargon kesejahteraan yang getol dipropagandakan kaum pemodal melalui
pengikutnya, ternyata sampai saat ini belum mampu menjawab kondisi perekonomian
rakyat. Di Babel, bila kita bandingkan daerah yang ada areal sawit perkebunan skala
besar dan daerah yang tidak ada perkebunan besarnya tidak terjadi perbedaan yang
signifikan, malahan daerah yang merdeka dari perkebunan sawit skala besar
masyarakatnya dapat menghasilkan lebih dibanding daerah yang memiliki perkebunan
sawit skala besar karena lebih bervariasinya mata pencaharian sebagai penunjang
pendapatan masyarakat.
Beberapa catatan kecil konflik sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dari
gerakan masyarakat Desa Kundi ditahun 1995 yang menolak kehadiran PT GSBL (baca
buku: Kundi, Tanah Kami akan Kami Perjuangkan Sampai Mati, terbitan KPA)
dilanjutkan masyarakat Desa Pangek kecamatan Simpang Tritip terhadap PT THEP;
Gerakan masyarakat Sijuk dan Badau Kabupaten Belitung yang meminta mencabut ijin
PT AMA; perambahan hutan lindung di Desa Mapur Kecamatan Riau Silip oleh PT
GPL; aksi masyarakat Desa Petaling yang menolak kehadiran perkebunan sawit yang
berujung dikriminalkannya beberapa warga yang saat ini perkaranya tengah disidangkan
di PN Sungailiat; status tumpang tindih lahan PT SNS di Desa Penutuk Kecamatan Lepar
Pongok yang berakibat perusakan asset milik perusahaan; proses perintisan lahan
perkebunan sawit PT DPP di wilayah Kacung Kecamatan Kelapa dihentikan warga
berdasarkan rembuk Peduli Masyarakat, Baginda, Pangkalberas dan Pulai. Dan masih
banyak lagi persoalan-persoalan seputar sawit yang terjadi hampir di setiap kabupaten
dalam wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Begitu banyak konflik sosial yang terjadi di wilayah perkebunan sebenarnya
mengindikasikan adanya struktur sosial yang timpang dan tidak adil. Seharusnya
pemerintah dan juga (yang katanya) wakil rakyat tidak menutup mata akan hal ini.
Dengan sumber manusia yang ada semestinya mereka memahami bahwa penyebab
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
konflik sosial di perkebunan adalah adanya kebijakan perkebunan yang tidak memihak
pada masyarakat adat/lokal yang nota bene adalah masyarakat Babel.
Petani sawit menghadapi sejumlah hambatan teknis yang membatasi otonomi mereka
sebagai produsen yang independen. Persiapan lahan merupakan pekerjaan yang amat sulit
dan melelahkan dan sering kali membutuhkan pembuatan kanal-kanal drainase dan
undakan (teras), di mana pengerjaan terbaik adalah menggunakan mesin. Benih kelapa
sawit harganya mahal dan umumnya hanya disediakan oleh perusahaan sawit besar saja.
Kelapa sawit baru memasuki usia produktif setelah 3 sampai 5 tahun, dan baru dapat
menghasilkan keuntungan selewat usia 8 tahun. Pemeliharaan kelapa sawit seringkali
atau umumnya membutuhkan pupuk dan pestisida. Jarang ada rakyat petani yang
mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan awal sawit, soal investasi dan ketahanan
petani melewati masa penundaan (penantian) keuntungan bila tanpa meminjam uang
(yang biasanya berasal atau disediakan oleh perusahaan sawit) serta soal ketersediaan alat
transportasi untuk mengirim TBS mereka ke perusahaan kelapa sawit.
Kualitas TBS menurun tajam jika tidak segera dipanen. TBS harus dibawa dan diproses
dalam waktu 48 jam setelah pemanenan jika tidak ingin produksi dan kualitasnya
menurun. Pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit membutuhkan investasi besar.
Pabrik pengolahan kelapa sawit tidak akan ekonomis tanpa didukung minimum 4.000 Ha
perkebunan kelapa sawit yang produktif dan sebagian besar pabrik pengolahan kelapa
sawit membutuhkan sekitar 10.000-40.000 Ha perkebunan kelapa sawit. Harga CPO di
pasar internasional amat bervariasi dan secara keseluruhan mengalami penurunan
sebesar 2/3 sejak tahun 1960.
Petani sawit hanya dikondisikan untuk menjadi penanam dan menghasilkan bahan
mentahnya saja. Sementara untuk meningkatkan nilai ekonomis suatu
produk/barang/hasil tersebut harus ditingkatkan statusnya menjadi barang setengah jadi
dan barang jadi. Dari sini pula petani sawit rendah posisi tawarnya, dari TBS yang tidak
lebih dari 48 jam setelah panen harus terjual. Mereka akhirnya mau tidak mau, suka tidak
suka, harus menerima harga yang diberikan penampung bila tidak mau TBS busuk atau
tidak laku. Sedangkan untuk meningkatkan nilai produksi petani sawit (TBS) perlu
menjadi minyak goreng atau CPO investasi yang diperlukan sangat banyak.
Berdasarkan alasan-alasan ini petani sawit cenderung untuk terikat dan tergantung, sering
kali oleh hutang dan hambatan-hambatan teknis, kepada kepentingan perusahaan kelapa
sawit besar yang membatasi kemampuan mereka untuk menegosiasikan harga yang adil
atau mengelola lahan mereka sesuai keinginannya. Petani sawit juga tidak memiliki
waktu, kemampuan dan sumberdaya yang memadai untuk mengembangkan dan
mendokumentasikan rencana pengelolaan yang dituntut assessor independent sebagai
bukti bahwa mereka telah mengelola lahan dan perkebunan mereka sesuai standar. Petani
sawit jarang sekali mampu membiayai proses sertifikasi independen, sementara
keuntungan finansial lewat produksi besar-besaran (economies of scale) membuat
investasi ini lebih menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan besar.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
penurunan produksi sebagai akibat penyusutan area dan harga yang rendah.
Penurunan tersebut bisa jadi akan bisa dihambat dengan keterlibatan pemerintah untuk
memfasilitasi perkebunan rakyat sebagaimana fasilitas pemerintah terhadap perkebunan
besar. Padahal kedua komoditi tersebut menjadi sumber pendapatan yang sangat strategis
bagi masyarakat. Ironisnya pemerintah cenderung mendukung pengembangan
perkebunan kelapa sawit, di mana masyarakat memiliki kemampuan teknis yang rendah
dan unsur ketergantungan pada pihak lain sangat besar. (*)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
Prinsip small is beautifull tidak berlaku di negeri ini. Dalam program pembangunan, si
kecil, hanya selalu dilihat sebagai sosok yang posisinya selalu dijadikan subjek yang
harus dikasihani dan 'media' untuk membukakan jalan kepada si besar.
Jika ada yang berkata, pemerintah tidak ingin yang besar menjadi lebih besar, yang kecil
semakin kecil, jangan mudah percaya. Butuh waktu untuk meyakinkan itu. Karena, bukan
hanya sulit, tapi memang ada kesan enggan untuk dibuktikan. "Janji surga doang," kata
anak sekarang.
Dari dulu, sosok petani kecil atau perkebunan rakyat selalu diagungkan sebagai pahlawan
pembangunan karena mampu meredam laju angka pengangguran. Akan tetapi dalam
program, jelas terlihat, hanya menjadi faktor penambah besaran bujet atau anggaran
pembangunan, yang hasilnya justru tidak dinikmati si kecil.
Di subsektor perkebunan kelapa sawit, misalnya, jelas. Aturan main yang mewajibkan
pembukaan lahan baru oleh pengusaha sekitar 20% lahannya diperuntukkan petani kecil.
Namun, kebijakan itu, akhirnya, membuka jalan yang kecil kian tertinggal.
Areal perkebunan sawit, akhirnya didominasi oleh swasta besar. Obligasi 20% itu, seperti
'alat' untuk mendapatkan lahan lebih banyak lagi. Apalagi, dalam program revitalisasi
perkebunan, swasta dibolehkan menikmati subsidi bunga dari pemerintah, dengan imingiming asal bekerja sama dengan petani.
Dalam hal informasi kemajuan dunia persawitan, misalnya. Terlihat adanya ketimpangan
perhatian. Petani selalu sulit mengakses informasi yang terbaru dalam forum resmi.
Dengan biaya keikutsertaan galadiner konferensi nasional sawit Rp7,5 juta, biaya untuk
on site US$450 per orang dan ikut konferensi bayar Rp4 juta, rasanya sulit untuk digapai
petani atau pekebun skala rakyat. Apalagi digelar di Bali dan di hotel berbintang lima.
Jangankan untuk menginap di hotel berbintang lima, ke Bali pun petani, rasanya hanya
bisa bermimpi. Kalaupun mampu, rasanya menjadi sia-sia. Lantaran acara, yang katanya
konferensi nasional, mengharuskan pembicara menyampaikan pesannya dalam bahasa
Inggris. Termasuk makalah orang Indonesia, isi dan judulnya semua dalam bahasa
Inggris.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Berbicara prediksi harga, makalah diberi judul Palm Oil Price Outlook 2008 from
Indonesia's perspective. Untuk berbicara soal bagaimana arah dan kebijakan Pemerintah
Indonesia dalam pembangunan industri kelapa sawit dan energi, diberilah judul the
Direction and Policy of Government of Indonesia in the Development of Palm Oil
Industry for Food and Energy.
Tak ayal, seperti di Bali, kalau petani hadir pun, informasi tentang perkembangan bisnis
sawit di dunia, bukan untuk konsumsi mereka.
Pemaparan Leonard Beschizza, Head of Sales London Sumatera Singapura, Chris de
Lavigne, Director-IndustrialnGroup Asia, Frost and Sullivan, Singapore, Managing
Director LMC International, UK, James Fry, misalnya. Semua itu jelas tak akan dikuasai
oleh petani.
Padahal, jikalau mereka dihadirkan, mempercepat upaya menumbuhkan petani menjadi
pemain besar dan mengakselerasi pembangunan kelapa sawit. Bahkan petani pun menjadi
sadar bahwa perkebunan yang sustainable kini diwajibkan konsumen di berbagai negara.
Pemerintah pun tak lagi harus mengeluarkan dana besar untuk sosialisasi ke daerahdaerah soal sustainable.
Tapi, dengan kondisi itu, membuat petani tidak well information. Jangan salahkan
mereka ketika terjadi pembakaran lahan untuk replanting. Jika disalahkan, mereka akan
berkilah."Bapak sih bisa ngomong begitu karena sering ikut seminar. Kami?"
Diakui, seperti juga dikatakan Mentan Anton Apriyantono saat membuka Indonesian
Palm Oil Conference and Price Outlook 2008, industri palm oil sudah berkembang
dengan cepat sejak Indonesia dikenalkan tanaman itu di Bogor Botanical Garden pada
1948. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia pertama kali ada pada 1911 di Sumatra
Utara. "Hari ini, luas areal sudah 6,25 juta hektare," katanya.
Pembangunan perkebunan baru memberikan efek yang banyak. Desa di dekat
perkebunan dapat berkembang menjadi kota besar yang diciptakan oleh perkebunan
sawit. Tapi, di mana posisi perkebunan rakyat dalam program pembangunan itu?
Perkebunan rakyat selalu diakui mempunyai peran yang strategis dalam meningkatkan
peran subsektor perkebunan ke depan, mengingat pangsa perkebunan rakyat menempati
posisi yang paling besar.
Dulu, share luas areal perkebunan rakyat sebesar 77,14%, sementara perkebunan besar
negara dan swasta masing-masing 6,11% dan 16,75% (berdasarkan angka tetap 2000).
Pada 1968, dari Direktorat Jenderal Perkebunan Deptan, luas areal baru 120.000 ha dan
menjadi 5,16 juta ha pada 2005 dan 2006 mencapai 6,04 juta ha. Tapi komposisi telah
berubah. Pada 2005, luas areal perkebunan rakyat sekitar 2,20 juta ha (40,44%),
perkebunan besar Negara (PBN) 630.000 ha (11,58%) dan perkebunan besar swasta
(PBS) 2,61 juta ha (47,98%).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kini, dari data Gapki terlihat, dari sekitar 6 juta hektare perkebunan sawit, pekebunan
rakyat berada di nomor dua. Swasta, terus meninggalkan perkebunan rakayat. Luasnya,
53% (2,9 juta hektare) atau naik 300.000 ha. Termasuk di antaranya swasta asing
terutama dari Malaysia dan Singapura.
Perkebunan rakyat? Hanya 26% atau 1,9 juta hektare, turun dibandingkan 2005. Belum
lagi, kini, 65% tanaman di perkebunan rakyat adalah tanaman yang sudah uzur.
Angka itu menjadi semakin memprihatinkan. Pasalnya, dalam sambutannya pada
peresmian tiga pabrik karet dan dua pabrik minyak kelapa sawit di Kecamatan Kertapati,
Palembang, Sumsel, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [19 Desember 2006]
mengungkapkan saat ini lahan kelapa sawit telah mencapai 5,5 juta hektare.
Komposisinya, sekitar 35% perkebunan rakyat, dan 65% perkebunan BUMN dan swasta.
Artinya, ada pergeseran kepemilikan lahan. Perkebunan rakyat berkurang dan swasta kian
membesar. Terjadi penambahan, memang. Tapi penambahan lebih banyak oleh swasta.
Kita nampaknya perlu meninjau ulang pernyataan yang mengatakan kesejahteraan
smallholders [plasma ataupun bukan] prioritas utama dalam produksi palm oil yang
berkelanjutan.
Di Malaysia, melalui Malaysian Palm Oil Board (MPOB), ada kesadaran tinggi melihat
pekebun kecil. Kualitas benih sawit yang ditanam ke ladang disadari salah satu faktor
penting dalam menentukan hasil tandan buah segar (TBS) yang tinggi. Di samping faktor
lain seperti pemilihan tanah dan iklim yang sesuai, penyediaan kawasan yang sempurna,
pembajakan yang mencukupi, pencegahan perusak dan penyakit, pengurusan rumpai dan
pemangkasan pelepah.
Kesadaran itu, tidak berhenti pada retorika yang sekadar untuk memperlihatkan tingkat
perhatian pemerintah pada petani skala kecil. Lembaga Minyak Sawit Malaysia (MPOB)
menggulirkan Skim Bantuan Anak Benih Sawit Berkualiti. Skim itu tanpa embel-embel
persyaratan harus begini dan begitu-salah satu usaha kerajaan menjamin pekebun kecil
sawit di Sabah dan Sarawak menggunakan benih sawit berkualitas.
Bagi warga negara Malaysia, yang memiliki lahan tidak lebih dari empat hektare-di
Sabah dan Sarawak-layak memanfaatkan skim itu. Apalagi tanah sesuai untuk tanaman
sawit dan pendapatan sebulan kurang dari RM690 di Sabah dan RM600 di Sarawak.
Runyamnya, di Indonesia, menyitir pernyataan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
(Apkasindo), pemerintah justru kecolongan tentang penguasaan lahan perkebunan kelapa
sawit oleh pihak asing. Alasannya? Pemerintah tidak memiliki data yang akurat.
Apalagi pemerintah, pada 24 Juli 2007 dalam seminar nasional berjudul CPO: Untuk
Pangan atau Energi mengungkapkan pemerintah akan membatasi kepemilikan kebun
kelapa sawit oleh holding (grup perusahaan) untuk mencegah terjadinya praktik kartel
dalam pasar minyak sawit mentah (crude palm oil). (martin.sihombing@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Upaya Upaya
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Lingkungan telah menjadi bagian yang sangat penting dari bisnis. Di Kalimantan
Barat sendiri akhir 2007, Pemerintah Kabupaten/ Kota di Kalbar telah menerbitkan info
lahan seluas 4,6 juta hektare lahan untuk perkebunan sawit. Angka ini naik cukup tinggi
dibanding awal 2007 yakni 4,1 juta hektar. Perkembangan perkebunan sawit ini sudah
barang tentu membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit
diusahakan diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak
langsung yang akan segera terlihat terhadap kehadiran perkebunan sawit adalah
terjadinya investasi yang menambah kapasitas produksi sektor pertanian (perkebunan),
dengan berbagai kesempatan yang timbul yakni lapangan kerja baru. Pertumbuhan areal
yang masih terjadi jelas sumber pertumbuhan pertama yang muncul segera setelah
investasi ke dalam industri sawit diputuskan. Secara keseluruhan industri sawit memang
sangat menguntungkan karena dilihat dari segi pengusahaan perkebunan Daya
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Penyebaran (backward linkage) industri sawit dengan karakter industri semacam itu.
Namun jika dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja industri sawit adalah penopang
kelangsungan kesempatan kerja di sektor perkebunan dengan angka yang cukup besar
dibandingkan dengan industri makanan lainya, terutama minyak goreng.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
I. Latar Belakang
Industri sawit di Indonesia telah berkembang pesat dengan dukungan pertumbuhan
perkebunan yang sangat pesat pula hingga mencapai lebih dari 6.3 juta hektar yang terdiri
dari sekitar 60% yang diusahakan oleh perkebunan besar dan 40% oleh perkebunan
rakyat. Pertumbuhan perkebunan sawit ini tidak terlepas dari politik ekspansi pada akhir
1970an disertai pengenalan PIR sebagai sarana untuk menggerakkan keikut sertaan
rakyat dalam budidaya perkebunan sawit. Pertumbuhan pesat juga terjadi pada ke dua
jenis pengusahaan yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sampai dengan tahun
2007 tercatat 965 perusahaan dengan luas perkebunan 3.753 juta hektar yang dimiliki
oleh perkebunan Negara swasta nasional dan asing. Sementara perkebunan rakyat telah
mencapai 2,565 juta hektar, suatu perkembangan yang luar biasa mengingat pada awal
pengenalanya hanya 3.125 hektar (1979) yang hanya mewakili 1,20% saja dari total
perkebunan sawit yang ada ketika itu (Noer Sutrisno, 2008).
Di Kalimantan Barat sendiri hingga akhir 2007, Pemerintah
Kabupaten/ Kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta
hektare lahan untuk perkebunan sawit. Angka ini naik cukup tinggi dibanding
awal 2007 yakni 4,1 juta hektar. Perkembangan perkebunan sawit ini sudah barang tentu
membuka lapangan usaha baru, karena pada umumnya perkebunan sawit diusahakan
diatas tanah yang baru dibuka atau belum diusahakan sebelumnya. Dampak langsung
yang akan segera terlihat terhadap kehadiran perkebunan sawit adalah terjadinya investasi
yang menambah kapasitas produksi sektor pertanian (perkebunan), dengan berbagai
kesempatan yang timbul yakni lapangan kerja baru. Pertumbuhan areal yang masih
terjadi jelas sumber pertumbuhan pertama yang muncul segera setelah investasi ke dalam
industri sawit diputuskan. Secara keseluruhan industri sawit memang sangat
menguntungkan karena dilihat dari segi pengusahaan perkebunan Daya Penyebaran
(backward linkage) Pertanian cukup tinggi 1,3399 dan Derajad Kepekaan (forward
linkage) 1,5176 berdasarkan perhitungan BPS dari Tabel I-O untuk tahun 2005 (BPS,
2008 dalam Noer Sutrisno, 2008). Sementara untuk Industri Pengolahan masing-masing
1,7273 dan 3,0627. Dengan demikian secara aggregate memang cukup besar alasan untuk
mendorong industri sawit dengan karakter industri semacam itu. Namun jika dilihat dari
sisi penyerapan tenaga kerja industri sawit adalah penopang kelangsungan kesempatan
kerja di sektor perkebunannya dengan angka yang cukup besar dibandingkan dengan
industri makanan lainya, terutama minyak goreng.
Selain dampak positif, industri kelapa sawit juga dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan apabila tidak di kelola dengan baik. Sekarang kita masih sering
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
mendengar banyak terjadinya konflik atara perusahaan yang beroperasi di suatu areal
dengan masyarakat sekitarnya, baik itu konflik karena ada hak-hak kepemilikan rakyat
yang dirampas juga bencana akibat limbah dari industri yang memberikan dampak pada
masyarakat sekitarnya, terutama di sisi kesehatan. Industri CPO (Crude Palm Oil)
merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pegolahan TBS (Tandan Buah Segar)
70% dari total berat TBS itu sendiri sawit menjadi CPO, 23 % tandan kosong, 21 % serat
dan 600-700 kg limbah cair yang dihasilkam dari 1 ton TBS (Surna T. Djadiningrat dan
Melia Famiola, 2004). Saat ini Produksi CPO Kalimantan Barat sebesar 800 ribu ton
pertahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektar.
Berdasarkan data tersebut maka industri CPO di Kalimantan Barat berpotensi
menghasilkan limbah yang cukup besar 168 ribu ton tandan kosong, 184 ribu ton
serat+kulit, 480-560 ribu ton limbah cair. Untuk itu agar tidak menimbulkan masalah
maka perlu disiasati dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Lingkungan telah menjadi bagian yang sangat penting dari bisnis. Berkenaan dengan
pernyataan tersebut, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu green
consumerism dan lingkungan sebagai non-tariff barrier. Green consumerism membuat
produk-produk harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat dengan proses yang ramah
lingkungan. Di lain pihak banyak negara, terutama masyarakat eropa, telah mulai
memasukkan faktor lingkungan ke dalam perdagangan. Lingkungan telah dijadikan
sebagai non-tariff barrier. Artinya untuk memasuki pasar dengan kedua karakteristik di
atas diperlukan kaji-ulang atas kinerja lingkungan yang telah kita lakukan selama ini.
Apakah sudah sama dengan persepsi para green consumer ataukah sudah memenuhi
persyaratan non-tariff di atas. Selain itu untuk mewujudkan industri sawit yang berdaya
saing di pasar global, industri kelapa sawit ke depan dituntut untuk melakukan efisiensi,
terutama dalam penggunaan energi dan juga bahan baku lainnya yang langsung diambil
dari alam (Surna T. Djadiningrat dan Melia Famiola, 2004).
Bertitik tolak dari apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka
menimbulkan suatu permasalahan sebagai berikut: Bagaimana mewujudkan Industri
Kelapa Sawit di Kalimantan Barat yang berwawasan lingkungan dan berdaya saing tinggi
di pasar global karena selama ini industri kelapa sawit di Kalimanatan Barat yang
berjumlah sekitar 15 Pabrik Minyak Sawit (PMS) masih menerapkan pengolahan limbah
(end-of-pipe) yang sudah selayaknya ditinggalkan dan beralih ke arah pencegahan (upthe-pipe). Salah satu pendekatan up-the-pipe yang mulai banyak diterapkan adalah
Produksi Bersih (Cleaner Production).
II. Pengertian Produksi Bersih
Produksi Bersih didefinisikan sebagai : Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari
hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber daya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan
dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi
resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan
(Kebijakan Nasional Produksi Bersih, KLH 2003 dalam Purwanto, 2007).
Dari pengertian mengenai Produksi bersih maka terdapat kata kunci yang di pakai untuk
pengelolaan lingkungan yaitu : pencegahan pencemaran melalui jenis proses yang akrab
lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan (bersih).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Kawasan Timur Indonesia seperti Papua, Kalimantan dan Sulawesi kian serius
dibidik sebagai lokasi pengembangan tanaman kelapa sawit, mengingat selama ini
cenderung fokus pada wilayah barat. Padahal masih ada daerah lain yang dinilai juga
memiliki prospek cerah. Keseriusan mengembangkan kawasan timur ditandai dengan
diundangnya empat gubernur yang didaulat sebagai pembicara.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Posisi Indonesia dan Malaysia sangat strategis dalam percaturan minyak nabati
internasional. Posisi ini memberi tantangan yang luar biasa besar karena di tengah
meningkatnya permintaan CPO untuk pangan dan energi terbarukan, isu kerusakan
lingkungan mengikutinya. Jika abai, produk Indonesia bisa terancam di pasar
internasional.
Oleh karena itu, sedikitnya 500 pemangku kepentingan kelapa sawit, mulai dari unsur
pemerintah, pengusaha perkebunan, pengusaha prosesor, petani, peneliti, sampai aktivis
lingkungan dari berbagai negara mengikuti Konferensi Internasional Minyak Sawit dan
Lingkungan 2007 di Nusa Dua, Bali, Kamis-Jumat (15-16/11).
Konferensi yang diselenggarakan oleh SMART, the Centre de coopration Internationale
en Recherce Agronomique pour le Dveloppement (Pusat Kerja Sama Internasional
Penelitian Pertanian/CIRAD), dan World Wild Fund (WWF) itu menghasilkan
rekomendasi, pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan tidak bisa ditunda lagi.
Sikap Indonesia
Saat membuka konferensi, Menteri Pertanian Anton Apriyantono menegaskan,
pemerintah sangat serius mendukung upaya pemangku kepentingan kelapa sawit
menyusun prinsip dasar pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Tidak bisa tidak, pengembangan kelapa sawit yang sustainable merupakan keharusan.
Memang masih ada mis-informasi, namun kami terus berusaha memperbaiki dan
meminimalisasi praktik penyimpangan yang ada," kata Mentan.
Dari 6.075.000 hektar areal perkebunan kelapa sawit nasional, sebanyak 2,7 juta hektar
milik petani, baik mandiri maupun plasma. Sektor swasta menguasai 2,7 juta hektar dan
perusahaan milik negara mengelola sedikitnya 670.000 hektar.
Ketua Harian Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Franky O Widjaya menambahkan,
kelompok kerja nasional telah menjabarkan prinsip-prinsip pengelolaan kelapa sawit
lestari yang dijabarkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO/ Meja Bundar
Minyak Sawit Lestari). RSPO merupakan organisasi yang dibentuk para pemangku
kepentingan kelapa sawit, baik produsen maupun konsumen, dengan keanggotaan
sukarela.
Dari penjabaran tersebut, Indonesia telah menyusun indikator yang menentukan
pengelolaan berkelanjutan. "Ada 120 indikator acuan yang harus dijalankan perusahaan
perkebunan baru maupun yang sudah eksis. Indikator-indikator ini juga akan diterapkan
pada industri turunan dan petani," kata Franky.
Indikator tersebut membatasi pemangku kepentingan minyak sawit dari perbuatan yang
dikhawatirkan mengganggu lingkungan, misalnya penggunaan pupuk dan pestisida.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Ia mengungkapkan, biodiesel ini adalah bahan bakar cair yang diformulasikan khusus
untuk mesin diesel yang terbuat dari minyak nabati(bio-oil), tanpa perlu memodifikasi
mesin dieselnya.
Untuk pemakaian Biodiesel ini, bisa pure biodiesel, maupun sebagai bahan substitusi
pada petrodiesel, dengan campuran antara 5 sampai 20 persen. Berbagai kendaraan, mulai
dari truk, bus, traktor, hingga mesin-mesin industri bisa menggunakan bahan bakar
biodiesel ini, katanya.
Bahkan, kata dia, sebuah mobil Toyota Innova keluaran terbaru, bisa menggunakannya.
Ia memberi contoh bahwa salah satu mobil Toyota Innova milik para peneliti sudah
mampu menempuh jarak 9.195 km dengan menggunakan bahan bakar biodiesel.
Sementara itu, menurut Tjahjono Herawan dari Pusat Penelitian (Puslit) Kelapa Sawit
LRPI mengungkapkan ada berbagai kelebihan yang dimiliki biodiesel ini.
Biodiesel ini mampu mengurangi emisi CO, PM dan yang pasti bebas sulfur.
Dibandingkan dengan solar, emulsi buang Biodiesel ini jauh lebih bagus, katanya.
Hal ini, kata dia, disebabkan biodiesel tidak mempunyai sulfur dan karbon oksida.
Malahan, untuk Biodiesel 100, dapat dijamin 100 persen ramah lingkungan, sedangkan
untuk Biodiesel 10 tergantung pada kualitas solarnya.
Disampaikan pula bahwa biodiesel ini sudah diujicobakan pada berbagai kendaraan,
mulai dari Panther, truk Mitsubishi, Dyna hingga Toyota Innova. Dengan kecepatan
konstan, konsumsi bahan bakar Biodiesel dan solar hampir sama, tambahnya.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ABSTRAK
Perkebunan sawit berkembang sejak 1970-an. Luas lahan meningkat dari 133.298
hektare (1970) menjadi 7,12 juta hektare (2008). Lewat Program Perkebunan Besar
Swasta Nasional yang dibiayai utang dari Bank Dunia, negara mendorong perusahaan
besar swasta masuk ke perkebunan dan industri sawit dengan insentif bunga rendah. Tapi
, perkembangan kebun tak diimbangi dengan pendalaman di industri hilir. Saat ini, 75
persen produksi sawit diekspor ke India, Cina, dan Eropa. Ekspor Indonesia hampir 85
persen berbentuk mentah (CPO), hanya 15 persen berbentuk produk turunan.
Penurunan harga CPO saat ini harus dijadikan momentum untuk membangun
industri hilir berbasis sawit. Dengan cara itu, ketergantungan yang tinggi pada pasar CPO
luar negeri yang harganya fluktuatif harus diakhiri. Selama ini, sawit terbukti memiliki
kontribusi besar dalam pendapatan devisa. Seperti tebu, kelapa sawit adalah "komoditas
emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi, baik pangan
maupun nonpangan, bahkan energi dan industri oleochemicals. Dengan pengembangan
industri oleochemicals, CPO dapat diolah lebih lanjut menjadi produk farmasi,
kosmetika, plastik, minyak pelumas, dan sumber energi alternatif untuk bahan bakar
diesel.
Keyword : komoditas pertanian, CPO, harga CPO
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Saat ini, 75 persen produksi sawit diekspor ke India, Cina, dan Eropa. Ekspor Indonesia
hampir 85 persen berbentuk mentah (CPO), hanya 15 persen berbentuk produk turunan.
Berbeda dengan Malaysia. Porsi ekspor minyak sawit dalam bentuk barang jadi atau
setengah jadi Negeri Jiran itu mencapai 90 persen dan hanya 10 persen dalam bentuk
CPO. Implikasinya, Malaysia bisa meraih devisa yang besar karena ekspornya memiliki
nilai tambah tinggi.
Ketika harga CPO jatuh seperti sekarang, Malaysia tidak terlalu terpukul. Untuk
menyiasati rendahnya harga CPO, Malaysia bisa memaksimalkan industri hilirnya.
Sebaliknya, Indonesia jatuh terhuyung-huyung bagai terkena pukulan upper cut. Tidak
hanya petani sawit, kalangan industri pun menjerit. Kita memang tak pernah belajar dari
sejarah. Lebih setengah abad lalu, ekonom Argentina, Raul Prebisch, dan ekonom
Jerman, Hans Singer, sudah mengingatkan bahwa nilai tukar (terms of trade) riil produk
primer pertanian terhadap produk manufaktur menurun secara permanen. Tren itu masih
terjadi. Produk primer cenderung fluktuatif, sedangkan produk jadi terus meningkat atau
stabil.
Inilah paradoks globalisasi. Salah satu hasil globalisasi adalah produksi pangan dunia
yang melimpah. Tapi, produksi pangan yang melimpah tidak membuat petani di negaranegara berkembang beruntung. Sebaliknya, mereka justru merugi. Salah satu indikator
apakah negara-negara berkembang beruntung dari globalisasi dapat dilihat dari
perkembangan harga-harga komoditas pertanian primer. Data 2001 World Development
Indicator (World Bank, 2001) menunjukkan, harga minyak sawit pada 1960 sebesar 1102
dolar Amerika Serikat (AS) per ton dan tahun 2000 menjadi 307 dolar AS per ton. Ini
juga menimpa gula, kopi robusta, karet, dan kedelai. Hampir semua komoditas pertanian
harganya menurun sehingga indeks pertanian pada 1960 yang nilainya 208 dan turun
menjadi 87 pada tahun 2000 (Pakpahan, 2004).
Jadi, dalam rentang 1960-2000, nilai riil pertanian berkurang 2,39 kali. Kalaupun awal
2008 harga CPO meroket yang dilihat dalam time series yang panjang, kenaikannya lebih
kecil ketimbang penurunannya. Itu artinya pendapatan petani menurun sehingga mereka
merasakan hidupnya semakin susah. Bukan saja mereka kesulitan melakukan re-planting,
membeli pupuk atau memanen, pinjaman bank pun tidak bisa dilunasi. Tidak demikian
halnya dengan produk jadi.
Saat harga CPO 500 dolar AS per ton pada awal 2007, harga minyak goreng baru Rp
6.500 per liter. Setelah harga CPO meroket menjadi 1.300 dolar AS per ton, harga
minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter. Kini, setelah harga CPO terkoreksi 67
persen (429 dolar AS per ton) harga minyak goreng bertahan Rp 1.200 per liter.
Penurunan harga CPO saat ini harus dijadikan momentum untuk membangun industri
hilir berbasis sawit. Dengan cara itu, ketergantungan yang tinggi pada pasar CPO luar
negeri yang harganya fluktuatif harus diakhiri. Selama ini, sawit terbukti memiliki
kontribusi besar dalam pendapatan devisa. Tahun 2007, CPO berada di peringkat pertama
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
produk ekspor dengan kontribusi nilai ekspor 11,13 persen dari total nilai ekspor
nonmigas. Prestasi itu tidak mungkin dipertahankan apabila industri hilir sawit tidak
dikembangkan.
Seperti tebu, kelapa sawit adalah "komoditas emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan
produk turunan bernilai tinggi, baik pangan maupun nonpangan, bahkan energi dan
industri oleochemicals. Melalui proses fraksinasi, rafinasi, hidrogenasi, deodorisasi,
esterifikasi, dan pemurnian, CPO bisa disulap menjadi 81 komoditas turunan, seperti
minyak goreng, margarin, cocoa butter substitute, es krim, dan biodiesel. Dengan
pengembangan industri oleochemicals, CPO dapat diolah lebih lanjut menjadi produk
farmasi, kosmetika, plastik, minyak pelumas, dan sumber energi alternatif untuk bahan
bakar diesel.
Melalui reaksi hidrolisis dengan cara kimia ataupun enzimatis, CPO dapat dikonversi
menjadi asam lemak dan gliserin. Kemudian, asam lemak yang terbentuk di-hidrogenasi
dan di-fraksinasi untuk menghasilkan asam-asam lemak yang lebih murni. Saat ini, untuk
kawasan Eropa, asam lemak banyak digunakan untuk industri pembuatan deterjen, sabun,
sampo, kosmetika, pasta gigi, industri karet dan ban, industri cat dan tinta, serta minyak
diesel. Dengan langkah-langkah strategis ini, tidak ada kesangsian lagi jika kita memiliki
peluang besar menuju agroindustri sawit yang terintegrasi. Industri turunan ini dapat
memberi manfaat ganda: selain membuka lapangan pekerjaan baru, juga akan menjadi
penghasil devisa untuk mengisi pundi-pundi kas pemerintah yang kering.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
harga
jual
sawit
juga
diharapkan
dapat
dipertahankan
stabil
ataupun
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
jumlahnya. Industri-industri strategis seperti inilah sebenarnya yang sangat penting dan
perlu kita upayakan bersama.
Bagi Propinsi Riau industri yang sangat layak untuk dikembangkan di daerah ini adalah
industri pengolahan minyak kelapa sawit. Tidak kurang dari 1.5 juta lahan sawit terdapat
di Riau. Sebagian terbesar dari lahan sawit itu sudah menghasilkan buah yang bisa
diolah dalam berbagai produk turunan. karena itu Pembangunan industri berbasis bahan
baku kelapa sawit menjadi sangat penting di Riau. Dengan adanya industri pengolahan
sawit ini diharapkan para petani sawit tidak lagi kesulitan untuk menjual buah sawitnya
di samping itu harga jual sawit juga diharapkan dapat dipertahankan stabil ataupun
meningkat.
Dengan peningkatan pengolahan minyak sawit menjadi produk akhir yang bernilai
tambah tinggi di dalam negeri diharapkan cadangan devisa negara akan lebih dapat
ditingkatkan. Adanya upaya pemerintah daerah untuk menjadikan Riau sebagai pusat
industri pengolahan sawit untuk wilayah Indonesia bagian Barat saya kira sudah
merupakan sebuah kebijakan yang sangat tepat dan perlu didukung secara bersama baik
oleh pemerintah, pihak swasta maupun oleh seluruh stake holder terkait lainnya..
Selain industri pengolahan kelapa sawit, Riau juga sangat berpeluang untuk menjadi
pusat industri pengolahan hasil perkebunan karet. Sejak dari zaman dahulu sampai
dengan saat ini Propinsi Riau sebenarnya sudah sangat terkenal sebagai penghasil karet
alam. Hanya saja sayangnya industri pengolahan karet alam belum juga dapat
dikembangkan dan kita masih saja mengekspor karet alam dalam bentuk mentah (latex).
Andaikan kita bisa membangun pabrik pembuatan ban mobil saja misalnya, maka karet
alam Riau akan bernilai tambah tinggi guna membuka lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat setempat. Selain itu kita juga perlu membangun industri pengolahan sagu,
jagung, ubi kayu atau ketelah pohon, ubi jalar, gambir, pinang, coklat serta tanaman
holtikultura lainnya seperti nenas, pisang, nangka, pepaya, durian dan juga ikan.
Selama ini Riau juga terkenal sebagai penghasil kayu olahan. Sampai dengan saat ini
insya Allah Riau masih tetap menjadi penghasil kayu olahan. Di Riau terdapat dua
perusahaan besar berskala internasional yaitu PT RAPP dan PT Indah Kiat Pulp & Paper
yang mampu menghasilkan kertas dan pulp & paper dalam jumlah jutaan ton.. Tinggal
lagi bagaimana upaya kita membangun hutan tanaman rakyat (HTR) secara berkelanjutan
agar pabrik ini bisa beroperasi secara berkelanjutan pula.
Sinerji antara pabrik pengolahan kayu dengan masyarakat tempatan melalui
pembangunan hutan tanaman rakyat saya kira mutlak diperlukan. Kalau selama ini kita
mengenal adanya hutan tanaman industri (HTI) yang dimiliki oleh perusahaan atau anak
perusahaan besar itu, maka ke depan saya kira sudah saatnya hutan tanaman industri itu
diganti dengan hutan tanaman rakyat yang benar-benar milik rakyat dan dikelola oleh
rakyat sendiri sehingga rakyat benar-benar dapat merasakan manfaat dengan berdirinya
perusahaan besar tersebut. Jangan hanya perusahaan saja yang mengelola usaha sejak dari
hulu sampai ke hilir secara monopoli sehingga rakyat tak merasakan manfaat besar bagi
kesejahteraan meeka secara berkelanjutan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Sungguh beruntunglah Riau karena dikaruniai Allah dengan tanah yang subur. Hampir
semua tanaman tropis bisa hidup, tumbuh dan berkembang di sini. Andaikan kita tidak
mampu menjalankan amanah dari anugerah Allah yang berlimpah itu. maka kesalahan itu
tentulah terletak pada diri kita sendiri yang tidak mau bekerja keras dengan cerdas. Salah
seorang Guru Besar dari Institut Pertanian Bogor baru-baru ini memuji Riau sebagai
taman syurga dunia. Riau katanya sangat beruntung karena memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Di bawah minyak di atas minyak, di tengah-tengah ada kehidupan yang
menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Saya yang hadir dalam pertemuan tersebut sempat menyampaikan ucapan berterima kasih
atas pujian tersebut. Namun saya ingin menambahkan sedikit keterangan yang mungkin
tak sempat direkam oleh sang profesor muda itu. Memang benar Riau kaya, tapi yang
kaya hanya Riaunya saja, namun sebagian dari rakyat Riau tetap miskin karena minyak
yang ada di bawah dan di atas itu tidak mengalir ke rakyat justru menyumbang kepada
negara dan bangsa Indonesia tercinta ini. Telah lebih dari 11 milyar barrel minyak bumi
Riau yang dihasilkan baru hanya oleh satu perusahaan besar saja yaitu PT CPI, dan jutaan
ton minyak sawit mengalir ke manca negara melalui pelabuhan Dumai, tapi kontribusinya
kepada masyarakat yang berada disekitar aliran minyak itu amatlah terbatas. Dari minyak
sawit hampir tidak ada konrtribusinya bagi Riau karena semuanya merupakan pendapatan
nasional. Oleh karena itulah rakyat Riau justru terimpit oleh kemiskinan.
Sebagaian terbesar dari lahan yang seharusnya dapat dipergunakan oleh rakyat untuk
bercocok tanam, sudah diambil dan dialokasikankepada perusahaan-perusahaan besar
yang mengelola minyak, kebun dan juga hutan tanaman industri. Sehingga lahan
berusaha bagi rakyat tempatan semakin menyempit. Inilah persoalan besar dan mendasar
bagi Riau saat ini.
Karena itulah perhatian besar bagi pemerintah pusat maupun perusahaan-perusahaan
besar berskala nasioanl dan internasioanl itu terhadap rakyat Riau yang miskin itu
sangatlah diperlukan. Di sinilah perlunya sinerji antara Pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat dalam membangun industri strategis berbasis bahan baku lokal yang bisa
dihasilkan oleh masyarakat tempatan. Andaikan 1 ha lahan sawit bisa menghidupkan 2
ekor sapi dari limbah pelepahnya saja maka 3 juta ekor sapi sebenarnya bisa hidup dan
berkembang di Riau. Tapi maukah pihak perkebunan memberikan sedikit ruang pagi
peternak sapi Riau untuk mendapatkan limbah pelepah sawit ini? Wallahu alam
bissawab.***
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
pengembangan komoditas ini diterpa isu kartel, Tapi kilau harga crude palm oil masih
cukup menggiurkan bagi perbankan mencari bunga besar dengan memberikan pinjaman
kepada perusahaan-perusahaan yang bermain di kebun sawit.
Keyword : perkebunan, kredit perkebunan
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Artikel - Detail
Dahulu sektor perkebunan belum banyak dilirik perbankan karena dinilai berisiko tinggi.
Namun sejak pemerintah menggelar program revitalisasi 2006-2010, dana publik di bank
pun mengucur deras ke sektor perkebunan.
Program revitalisasi perkebunan dengan kebutuhan dana Rp40 triliun pada 2 juta hektare
ini, memang tak hanya sawit karena pemerintah juga ingin adanya pengembangan
komoditas kakao dan karet.
Sawit tetap menjadi primadona di industri perkebunan, meski pengembangan komoditas
ini diterpa isu kartel, rencana pembatasan lahan untuk holding company, kenaikan harga
patokan ekspor (HPE) hingga soal pabrik tanpa kebun.
Tapi kilau harga crude palm oil masih cukup menggiurkan bagi perbankan mencari bunga
besar dengan memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang bermain di
kebun sawit.
Kredit bank memang tak hanya yang komersial (kredit investasi dan modal kerja biasa)
tetapi juga dibungkus dalam kredit program pengembangan energi nabati dan revitalisasi
perkebunan (KPEN-RP).
Pada kredit program, lima bank tercatat yang siap untuk mendukung dengan komitmen
pendanaan hingga Rp25,48 triliun, yaitu BRI, Bank Mandiri, Bukopin, Bank Nagari, dan
Bank Pembangunan Daerah Sumut.
Selaku bank dengan aset terbesar nasional, Bank Mandiri bahkan memiliki dua unit untuk
melayani perkebunan, yaitu di layanan kredit korporasi (plantation specialist) dan satunya
di small business group.
Kredit perkebunan
Sunarso, Senior Vice President Plantation Specialist Corporate Banking Bank Mandiri
mengatakan baki debet kredit perkebunan sawit hingga 31 Juni 2007 mencapai Rp10,5
triliun dari limit plafon Rp17,8 triliun.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Nilai tersebut merupakan 73% dari total kredit perkebunan (termasuk komoditas lainnya
seperti karet, tebu, kopi dan teh) Bank Mandiri sebanyak Rp15,08 triliun hingga paruh
pertama tahun ini.
Dari dana Rp10,5 triliun itu sebagian besar terserap pemain-pemain besar di industri
perkebunan kelapa sawit seperti sejumlah PTPN, kelompok usaha Sinar Mas, Lonsum,
Astra Agro Lestari, Musim Mas. Sejak akhir tahun lalu paling tidak lebih dari 53
perusahaan besar yang merupakan kelompok korporasi bidang perkebunan sawit yang
menjadi sasaran kredit Bank Mandiri.
Awal tahun misalnya Sinar Mas, Incassi Raya, Satria Group serta Permata Hijau Sawit
digelontori duit US$432 juta (Rp3,9 triliun).
Sinar Mas bakal membuka lahan kelapa sawit seluas 67.000 hektare dengan nilai proyek
Rp2,8 triliun. Kelompok usaha ini juga akan membangun pabrik pengolahan kelapa sawit
dengan kapasitas 30 ton perjam dengan nilai proyek Rp45 miliar di Sumatra.
Incassi tahun ini membuka lahan perkebunan seluas 32.000 hektare di Sumatra Barat dan
Kalimantan Barat dengan nilai proyek senilai Rp725 miliar. Selain itu pabrik biodiesel
berkapasitas 200.000 ton pertahun senilai Rp270 miliar juga akan dibangun di Sumbar.
Sementara Satria hendak membuka perkebunan kelapa sawit seluas 10.000 hektare di
Kalimantan Tengah senilai Rp300 miliar. Sementara itu, Permata Hijau Sawit
mendapatkan fasilitas pembiayaan proyek pabrik pengolahan biodiesel dengan kapasitas
198.000 tan pertahun dengan nilai proyek Rp270 miliar di Riau. Itu belum seberapa,
sebab pekan lalu, Bank Mandiri juga menyalurkan kredit senilai US$71,59 juta kepada
Union Sampoerna Triputra Persada Group (USTP) mengakuisisi lahan perkebunan sawit
milik Kulim Sdn Bhd.
Lolos
Berita yang seakan lolos perhatian publik ini menarik di tengah derasnya investor asing
yang masuk menggarap lahan kebun sawit di Tanah Air. USTP merupakan perusahaan
kongsi milik dua eksekutif Astra TP Rachmat dan Benny Subianto, serta Soetjahjono
Winarko salah satu anggota keluarga kelompok usaha HM Sampoerna.
Perusahaan Malaysia itu sepakat menjual lahan seluas 63.305 hektare di kabupaten
Sukamara, Seroyan dan Lamandau di Kalimantan Tengah dengan nilai US$125 juta
(sekitar Rp1,1 triliun).
Ahmad Mohamad Managing Director Kulim, beralasan hengkangnya Kulim dari usaha
produksi di Indonesia lebih dikarenakan restrukturisasi internal, tak mau berpolemik soal
kartel dan pembatasan lahan.
Dia justru menyebutkan Kulim akan memfokuskan kegiatan produksi di Papua Nugini
(44.713 ha) dan kepulauan Solomon (6.594 ha) serta tentu saja di Malaysia (32.644 ha).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Bank Negara Indonesia lain lagi. Dirut BNI Sigit Pramono bahkan membentuk divisi
khusus yang menangani penyaluran kredit dan mitigasi risiko untuk kredit perkebunan,
terutama sawit.
Tahun lalu, ada 50 debitor BNI yang menerima kredit senilai Rp3,35 triliun untuk
mengembangkan lahan perkebunan seluas 411.000 ha. Sedangkan tahun ini, bank pelat
merah tersebut telah menyepakati penyaluran kredit awal Rp1,2 triliun kepada enam
nasabah, baik debitor lama maupun baru seperti Sampoerna Agro, Sungai Budi Group,
Rekayasa Group, Sinar Mas Group, Musimas Group dan Bio Energi Indonesia.
Sigit menegaskan bank yang dipimpinnya menargetkan mampu menyalurkan kredit ratarata sebesar Rp5 triliun baik untuk usaha replanting lahan kelapa sawit maupun pabrik
derivatifnya. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
dikembangkan.
Untuk
merangsang
pertumbuhan
ekonomi
di
pedesaan
agribisnis kelapa sawit ada dua yaitu kegiatan bisnis membangun kebun dan pabrik
industri yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang (developer) dan bisnis
usahatani kelapa sawit dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasil olahannya
yang dilakukan oleh koperasi.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjadikan pola siklus pada
industri kelapa adalah konsep zero emissions. Konsep Zero Emissions dapat diterapkan
pada Industri Kelapa sawit, karena konsep ini mempunyai falsafah dasar yang
menyatakan bahwa proses industri seharusnya tidak menghasilkan limbah dalam bentuk
apapun karena limbah tersebut merupakan bahan baku bagi industri lain. Zero Emissions
menggambar kan perubahan konsep industri dari model linier dimana limbah dipandang
sebagai norma, system terintegrasi yang memandang kepada nilai gunanya.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Penggunaan bahan baku secara maksimal berarti penciptaan industri baru dan lapangan
kerja sejalan dengan meningkatnya produktivitas, dan mendukung usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi kemampuan produksi sumber
daya alam bagi generasi dimasa depan. Secara garis besar, penerapan konsep Zero
Emissions ini akan menyebabkan perubahan pola industri alisasi menjadi:
1. Lebih peduli lingkungan (eko product): Dengan mengefisienkan penggunaan bahan
baku dan memaksimalkan nilai gunanya, secara otomatis, emisi gas, limbah padat dan
cair ke lingkungan akan berkurang.
2. Terciptanya lapangan kerja baru: Melalui proses siklus, limbah suatu proses menjadi
input bagi proses lainnya dan seterusnya. Sehingga akan terjadi ekspansi dan diversifikasi
industri, dimana dampaknya adalah munculnya kebutuhan tenaga dan terciptanya
lapangan kerja baru.
Keuntungan perusahaan meningkat; Pergeseran paradigma dari shareholders menjadi
stake-holders mengakibatkan suatu produk akan dikonsumsi jika memenuhi norma yang
dipakai oleh konsumen.
Penerapan konsep Zero Emissions adalah salah satu solusi untuk membangun industri
kelapa sawit yang berkelanjutan untuk kehidupan masa depan yang lebih baik.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Rentan Bencana
Indonesia adalah negeri yang rentan terrhadap bencana, yang masyoritas
diakibatkan oleh perbuatan manusia. Dalam tujuh tahun terakhir, 2000-2006 terjadi 392
kali bencana banjir dan longsor di seluruh Indonesia, ribuan korban jiwa dan lebih dari
188.0000 rumah rusak berat 502 ribu hektar lahan pertanian rusak dan juta hektar lebih
gagal panen. Selain bajir, kekeringan adalah bencana lain yang kerap terjadi di Indonesia.
Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak
beraturan. Tercatat 78 kali bencana kekeringan di 11 propinsi di Indonesia. Dampak
kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun
badan sungai. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering
memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan,(http://roellysyumanda.wordpress.com/).
Perkebunan sawit memang menciptakan sejumlah pekerjaan dan mendorong
pertambahan pendapatan ekspor. Akan tetapi perkebunan sawit juga menjebak komunitas
masyarakat untuk masuk ke dalam kemiskinan dan bencana ekologis yang
ditimbulkannya, sungguh tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh.
Konversi hutan alam untuk perkebunan sawit telah menimbulkan kesengsaraan, bukan
saja pada Negara-negara pengekspor seperti Indonesia, namun juga perubahan iklim yang
dampaknya juga akan dirasakan oleh sebagian besar penduduk eropa dimasa mendatang.
Pengembangan kelapa sawit dijadikan satu sub-sektor kebijakan Pemerintah
untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan harapan dapat mendatangkan investor
ke Indonesia.
Sudah menjadi keharusan pengembangan kelapa sawit tidak lagi terjadi
dikawasan hutan konversi, kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan yang
memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keragaman hayati yang tinggi.
Sehingga tidak lagi menjadi persoalan tata ruang, akibat overloads konversi. Karena hal
itu dapat menyebabkan hilangnya keaneka ragaman hayati serta memicu kerentanan
kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, serta munculnya hama dan
penyakit.
Kenyataan ini tak bisa kita pungkiri bila kita mengacu pada Human Development
Report (HRD) 2007. laporan yang baru saja dipaparkan United Nations Development
Programs (UNDP) pada akhir November 2007 lalu di Brazilia menjelaskan pembangunan
ekonomi mesti sejalan dengan pembangunan potensi keberlanjutan hidup manusia dan
mahluk hidup itu sendiri.
Mengapa? Ternyata, dalam laporan tersebut Indonesia sangat disoroti tentang
diversifikasi lahan sawit yang berdampak terhadap kerentanan kelanjutan hidup manusia.
Di mana, Indonesia hanya masuk dalam urutan 107 dari 117 negara dalam HRD 2007.
dan secara khusus, Indonesia disoroti terkait dengan deforestrasi dan konversi lahan ke
perkebunan sawit.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Menurut laporan itu lagi, budidaya kelapa sawit di Indonesia menciptakan nilai
sekitar 114 dolar AS per hektar. Angka itu ternyata hanya hanya 2 persen nilai karbon
yang di dalamnya. Sebab pohon yang sebelumnya ada di lahan tersebut telah dibakar dan
membusuk. Lalu mengeluarkan karbon dioksida ke atmosfir yang mungkin mencapai 500
ton per hektar dalam hutan hujan yang belum terjamah.
Kalau harga karbon 20-30 dolar AS per ton, menurut EU ETS (Skema
Perdagangan Emisi Uni Eropa), maka nilai karborn yang dilepas ke atmosfir besarnya
mencapai 10.000-15.000 dolar AS per hektarnya (Maria Hartiningsih-Kompas, 30 Nov
2007).
Dan dalam kurun 25 tahun terakhir, menurut Sawit Watch, tak kurang dari 18 juta
hektar hutan telah ditebang untuk disiapkan menjadi perkebunan sawit. Tetapi faktanya
hanya 6 juta hektar saja yang ditanami. Sisanya, terbengkalai dan menghasilkan emisi
karbon ke atmosfir yang mungkin untuk dijadikan uang.
Tapi ini butuh dukungan politik yang kuat. Karena sawit bukan sekedar produk
perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi. Sawit juga sebuah produk kebudayaan yang
akan atau mungkin saja sudah mendorong lahirnya kebudayaan baru bila tidak sesegera
mungkin ditangani dengan baik dan benar.
Sebab, sawit sering bersumber dari perusakan kawasan hutan untuk kepentingan
pengambilan kayu, juga sebelum ataupun sesedahnya malah berkonflik dengan kelompok
etnis lokal. Pertarungan untuk penguasaan atas lahan sebagai modal produksi sering
mengorbankan rakyat kecil yang tidak mengenal konsep administrasi negara.
Administrasi negara kemudian menyebabkan kekerasan radikal yang dilakukan
oleh pemilik maupun negara yang dilegitimasi kekuasaan atas hukum administrasi. Lalu
menghilangkan nilai-nilai ekologis dari lahirnya konsep ekonomi atas sebuah produk
kebudayaan bernama ; sawit.
Untuk itu, bila pada akhirnya pemerintah melihat dengan sebelah mata
pengelolaan konflik yang bersumber dari kelapa sawit, dan juga bila kelompok
pengusaha meletakkan sawit hanya alat produksi ekonomi, sesungguhnya kita sedang
menabur peluang ekonomi atau menanam benih konflik dan bencana?
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Perkebunan Kelapa Sawit yang dapat diandalkan untuk menghasilkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Negara
Foto : Diskominfo
Kelapa Sawit merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan untuk
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan negara, sehingga tidak heran jika saat
ini hampir semua daerah termasuk Kutai Kartanegara (Kukar) terus berupaya
mengembangkan komoditi tersebut dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada investor untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan kelapa sawit.
Seperti pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kelurahan Muara Kembang,
Kecamatan Muara Jawa, yang beberapa waktu lalu dikunjungi Pj Bupati Kukar H
Sjachruddin MS. Menurut Sjachruddin, tanaman kelapa sawit merupakan salah satu jenis
komoditi yang cukup dominan dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi di Kukar. Ini
merupakan peluang besar bagi petani di wilayah ini (Kukar, Red.) untuk terus
mengembangkannya, kata Sjachruddin.
Menurutnya, perusahaan yang beroperasi di sekitar Kelurahan Muara Kembang,
memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya,
terutama melalui program Comdev-nya. Di sini banyak KP-KP batu bara, tolong bantu
perbaiki jalan, ujar Sjachruddin kepada salah satu perusahaan KP batu bara yang hadir.
Sementara itu, Kepala Cabang Dinas Perkebunan Muara Jawa, Margono
melaporkan bahwa di Kelurahan Muara Kembang memiliki luas areal perkebunan kelapa
sawit mencapai 334 hektare. Dari luasan itu, menurutnya dikelola oleh 5 kelompok tani
(KT) yaitu KT Karya Harapan Baru dengan luas areal tanam 120 hektare yang telah
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ditanami sawit sejak tahun 2005 lalu dari swadaya petani murni, kemudian KT Sinar
Nilam dengan luas 54 ha terdiri dari 30 ha bantuan dari APBD Kukar tahun 2008, dan 24
ha lagi berasal dari swadaya petani. Selanjutnya, KT Jalur Mulyo yang memiliki
perkebunan sawit seluas 45 ha, terdiri dari 30 ha bantuan dari APBD Kukar dan 15 ha
berasal dari swadaya petani.
Selain itu ada pula KT yang mengelola perkebunan Sawit di Muara Kembang
yaitu KT Handil Surya dengan luas perkebunan 35 ha yang berasal dari pengembangan
swadaya petani, serta KT Tani Handil Sulawesi dengan luas areal 15 ha juga dari
pengembangan petani.
Selain bantuan bibit, KT juga menerima bantuan berupa pembinaan kelompok tani dan
teknis budidaya, serta bantuan intensifikasi kelapa sawit untuk KT Karya Harapan Baru
seluas 30 ha yaitu berupa pupuk nutrisi Saputra, kata Margono.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
ini terus digalakkan untuk dikembangkan. Apakah itu dikelola investor ataukah dikelola
secara individu, sebutnya.
Khusus perkebunan kelapa sawit di Kutim, sudah terdata 18.000 hektare lahan yang
sedang digarap yang bertebaran di 18 kecamatan. Terkecuali kecamatan Sengata dan
Teluk Pandan belum ada investor kelapa sawit karena menyangkut kawasan taman
Nasional Kutai (TNK).
Sementara di Kecamatan Bengalon, Kaliorang, Kaubun, Sangkulirang, Karangan,
Sandaran, Muara Wahau, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Kongbeng, Telen, Long
Mesangat dan kecamatan Busang sudah ada investor kelapa sawitnya.
Bahkan di wilayah kecamatan tersebut bukan hanya satu investor kelapa sawit mulai
melakukan kegiatan di sana, tetapi lebih. Seperti Kecamatan Bengalon, ada PT Bima
Palm dan PT Energitama serta Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Pilihan terbaik bagi produsen CPO untuk mempertahankan tingkat keuntungan dan
kapasitas mesinnya adalah mengurangi biaya bahan mentah berupa penekanan harga
tandan buah segar (TBS) yang diperoleh dari petani sawit.
Harga TBS akan jatuh seh Pemerintah tengah mengkaji kemungkinan peningkatan tarif
pungutan ekspor (PE) untuk komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/
CPO).ingga petani sawit dirugikan. Kebijakan ini akan makin mengarah pada pemiskinan
petani sawit. Penurunan harga TBS akan mengurangi minat petani sawit untuk
meningkatkan produktivitas lahan yang kini masih kalah dibandingkan Malaysia.
Regenerasi pohon
Produktifitas Indonesia berkisar 3,04 ton per ha, sedangkan Malaysia 3,83 ton per ha. Hal
ini lebih disebabkan oleh pemilihan bibit yang kurang baik, sistem pemupukan yang
kurang optimal, dan kondisi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah banyak
melewati usia produktif akibat keterlambatan dalam melakukan regenerasi pohon kelapa
sawit. Peningkatan PE akan menambah parah keadaan ini.
Kedua, tidak tercapainya integrasi harga internasional pada produk CPO. Harga lokal
CPO akan turun, sementara harga CPO dunia cenderung meningkat. Langkah Indonesiasebagai pemegang 44% pangsa pasar CPO dunia-untuk mengurangi ekspornya akan
berdampak secara signifikan terhadap harga internasional CPO.
Keadaan ini tentu saja akan menimbulkan gejolak pasar yang tidak menutup
kemungkinan akan menekan posisi Indonesia. Di bursa komoditi akan terjadi praktik
spekulasi yang makin tajam yang akhirnya akan membuat harga CPO dunia berfluktuasi
secara tajam pula.
Sejak 2002 harga CPO dunia meningkat secara konsisten, setelah sebelumnya
berfluktuasi akibat adanya isu negatif yang sengaja dihembuskan oleh negara penghasil
produk substitusi CPO (minyak jagung, minyak kedelai).
Harga CPO dunia di pasar Rotterdam pada November 2006 adalah US$540 per metrik
ton. Untuk mengatasi fluktuasi harga, pada Desember 2006 gabungan pengusaha kelapa
sawit Malaysia (MPOA) dan gabungan kelapa sawit Indonesia (GAPKI) telah
mengadakan perjanjian kerja sama untuk menjaga stabilitas harga CPO.
Stabilitas harga yang akan dijaga berkisar US$600-US$700 per metrik ton dengan alasan
di tingkat harga tersebut industri kelapa sawit memiliki margin premium.
Ketiga, peningkatan PE CPO tidak sejalan dengan upaya peningkatan ekspor untuk
memupuk cadangan devisa dan pendapatan negara. Pemerintah tampaknya tidak merasa
perlu untuk mempertahankan prestasi ekspor yang makin membaik dan cadangan devisa
yang sudah mencapai US$41,6 miliar per November 2006. Bagi kalangan industri, hal
demikian merupakan disinsentif investasi yang akan makin mengurangi minat investor
untuk menanamkan modalnya di dalam negeri.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keempat, dalam kondisi kesenjangan antara pasokan CPO dan daya serap industri hilir
domestik, produsen CPO akan tetap mengekspor sebagian besar produknya meski dengan
PE yang makin tinggi. Akibatnya, produsen akan berupaya memangkas biaya produksi
agar tetap mendapatkan margin keuntungan yang sama.
Yang paling mudah dilakukan adalah menekan harga beli TBS dari petani sawit. Bila
tidak, produk CPO Indonesia tidak akan bisa bersaing di pasar internasional.
Kelima, peningkatan PE CPO tidak akan efektif dan berisiko dimanfaatkan oleh pihak
pemburu rente untuk mengambil keuntungan atas kecenderungan melemahnya harga
TBS untuk meningkatkan margin keuntungan industri hilir yang sudah siap, minyak
goreng.
Kompensasi tambahan margin ini boleh jadi sudah menjadi skenario dari tawar-menawar
politik antara pengambil kebijakan dan pelaku industri (konglomerat).
Resep peningkatan tarif PE CPO tampaknya akan menimbulkan counter productive bagi
industri sawit nasional bila tidak didahului dengan kesiapan industri hilir CPO. Ekspor
Indonesia baru 42% yang sudah berupa produk turunan kelapa sawit, sedangkan ekspor
industri kelapa sawit Malaysia lebih dari 80% berupa produk turunan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Selain CPO, produk lain yang juga diandalkan untuk kebutuhan domestik adalah
turunannya, termasuk minyak olahan dan beberapa produk oleokimia. Itu menandakan,
Indonesia dapat memengaruhi pasar CPO dunia.
Dilihat dari sisi makro, sektor perkebunan memberi manfaat signifikan bagi ekonomi
bangsa. Dengan ekspansi luas kebun sawit mencapai 7,4 juta pada tahun 2008, dengan
perkiraan hasil CPO mencapai 18,7 juta ton, Indonesia harusnya bangga dengan aset
dalam negerinya sendiri. Sepertiga dari CPO tersebut digunakan untuk konsumsi
domestik, sisanya ditujukan untuk ekspor. Dari luas kebun sawit itu, petani plasma dan
mandiri mengelola hampir 30% atau dimiliki lebih dari juta keluarga.
Untuk Sumatera, sejumlah perusahaan perkebunan swasta, termasuk PT Asian Agri ikut
berperan dalam rangka mengawal dan menjaga pertumbuhan ekonomi nasional serta
memberikan kontribusi melalui ekspor ke luar negeri dan pemenuhan kebutuhan CPO di
dalam negeri. Berdasarkan data, 442.000 hektar perkebunan di Sumut saat ini dikelola
swasta untuk kepentingan bangsa dan negara.
Peremajaan
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat
sekaligus mudah pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai pertengahan
tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut,
areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal,
produksi juga meningkat dengan laju 9,4% per tahun.
Berdasarkan peluang pasar tersebut, maka peluang investasi dari sisi perluasan areal
diperkirakan masih cukup terbuka. Secara teoritis, ada banyak skenario yang dapat
dilakukan untuk memenuhi peluang pasar tersebut. Salah satu skenario peluang perluasan
areal adalah pada periode 2003-2005 perluasan areal adalah antara 3,5% per tahun,
sedangkan pada periode 2006-2010 adalah sekitar 2% per tahun.
Dengan asumsi tersebut, peluang investasi dari sisi perluasan areal diperkirakan sekitar
11.7000 ha per tahun pada periode 2003-2005 dan 70.000 ha per tahun untuk periode
2006-2010.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dana investasi yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 1,7
triliun per tahun pada periode pertama dan sekitar Rp 1,1 triliun per tahun pada periode
kedua. Kebutuhan benih untuk mendukung hal tersebut berkisar antara 14,8 23,5 juta
per tahun.
Karena perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1970-an, maka
pada mulai awal dekade ini akan banyak tanaman yang potensial sudah perlu
diremajakan. Dalam hal ini, tanaman yang potensial untuk diremajakan adalah tanaman
yang sudah umurnya lebih dari 30 tahun.
Secara umum, potensi peremajaan adalah berkisar antara 20.000-50.000 hektar per tahun.
Pada 2003-2004, potensi areal untuk peremajaan adalah sekitar 20 ribu hektar per tahun.
Pada 2005, potensi areal peremajaan meningkat menjadi sekitar 30.000 hektar.
Potensi areal peremajaan meningkat cukup pesat pada 2009 dan 2010, yang masingmasing mencapai sekitar 50 ribu dan 37 ribu hektar. Dengan demikian, kebutuhanan dana
investasi berkisar antara Rp 300 miliar Rp 750 miliar per tahun, sedangkan benih yang
dibutuhkan berkisar antara 4 juta - 10 juta benih per tahun.
Potensi areal yang potensial untuk diremajakan terutama berada di lima propinsi utama.
Potensi areal terluas untuk peremajaan berada di Sumut yang mempunyai pangsa sekitar
33,2% dari areal yang potensial untuk diremajakan.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Pada propinsi tersebut, areal peremajaan berkisar antara 6,644 hektar sampai dengan
16.609 hektar per tahun. Propinsi Riau merupakan daerah potensial terbesar kedua,
dengan pangsa sekitar 25,7% atau dengan potensi antara 5.144 hektar 12.860 hektar per
tahun. Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Aceh merupakan daerah yang juga
cukup potensial dengan pangsa di atas 7% dari potensi peremajaan secara nasional.
Jika hal tersebut dapat diwujudkan, potensi produksi berdasarkan komposisi tanaman
berdasarkan umur (vintage tanaman), diperkirakan meningkat dan tentu saja memberi
laju peningkatan produksi yang baik. Secara umum, peningkatan produksi untuk periode
2000-2010 diperkirakan 5,1% per tahun.
Pada tahun 2010, pangsa produksi perkebunan rakyat PTPN, dan perkebunan besar
swasta masing-masing menjadi 25,9%, 20%, dan 53,1%. Ini tentu saja memberi
keuntungan dalam rangka peningkatan ekspor dan pemenuhan kebutuhan domestik.
Apalagi, pasar CPO di pasar internasional masih prospektif walau peluang peningkatan
lebih kecil dari pada periode sebelumnya serta krisis finansial global yang melanda
seluruh dunia
Peluang pasar dari sisi konsumsi diperkirakan masih tumbuh sekitar 3,5%-4,5% per
tahun, sedangkan dari segi perdagangan sekitar 3,8% per tahun. Sampai tahun 2010,
peluang pasar untuk CPO Indonesia dari sisi konsumsi domestik diperkirakan tumbuh
antara 4%-6% per tahun, sedangkan dari sisi ekspor adalah sekitar 5%-8% per tahun.
Insentif Dan Kepastian Hukum
Dengan potensi yang dimiliki industri sawit, yang bahkan pernah berperan menjaga
negeri ini dari krisis berkepanjangan tahun 1990-an, sudah saatnya pemerintah memberi
perhatian sungguh-sungguh. Saat Indonesia dihadapkan pada krisis finansial global dan
menjawab tantangan ke depan, justru kehadiran industri sawit hendaknya disiapkan jadi
penguat pertumbuhan ekonomi.
Penguatan ekonomi memberi makna bahwa industri memberikan kontribusi investasi
yang dapat dipacu untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja
baru. Berdasarkan data, secara keseluruhan, tahun 2008, Indonesia memberi kontribusi
sekitar 12,34% pada produksi minyak dan lemak nabati dunia, dengan proyeksi produksi
CPO tahun ini sekitar 19 juta ton. Selama ini, industri dianggap mampu menampung
banyak tenaga kerja dengan perbandingan 36:100. Artinya setiap 100 hektar kebun sawit,
ada 36 buruh yang bekerja mengelolanya.
Dari kalkulasi di atas, bisa dihitung setidaknya ada 2,8 juta buruh dari seluruh 6 juta luas
perkebunan, yang saat ini sedang mencari rezeki di kebun sawit. Jumlah itu masih akan
bertambah bila orang-orang yang berstatus buruh harian lepas (BHL) di kebun sawit juga
dihitung sebagai buruh perkebunan.
Jika pemerintah membuka misalnya 500.000 hektar lahan baru untuk subsektor
perkebunan, maka secara kasar akan tertampung minimal lima juta kesempatan kerja baru
yang sungguh berarti mengatasi pengangguran di Indonesia, yang mencapai 15,42 dari
jumlah penduduk sebesar 222.190.000 orang.
Sehingga ini menjadi salah satu indikator bahwa industri sawit memerlukan penguatan di
hampir semua lini. Dalam upaya itu pula, pemerintah perlu menyiapkan berbagai
langkah, termasuk pemberian insentif lebih besar dalam hal kemudahan dan perizinan
serta pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana yang mendukung industri sawit.
Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi, pada Indonesia
Palm Oil Conference (IPOC) dan Price Outlook 2009, di Nusa Dua, Balibelum lama ini,
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
insentif di industri kelapa sawit perlu diberikan, karena investasi di bidang sawit selalu
masuk lima besar untuk komitmen dan realisasi investasi. Pada 2005-2008 investasi
perkebunan dan industri sawit mencapai sekitar US$ 3,8 miliar baik dari Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA).
Lutfi melihat investasi di bidang kelapa sawit masih sangat menjanjikan, karena
permintaan masih akan tumbuh baik dari sektor pangan maupun pengembangan energi
terbarukan melalui bahan bakar nabati (biofuel).
Indonesia, tambah Lufti, merupakan satu dari dua negara di ASEAN yang memiliki iklim
investasi yang baik untuk sektor perkebunan, di samping Myanmar. Indonesia memiliki
11 juta hektar lahan tak bertuan yang berbentuk ilalang, dan sekitar lima juta hektar bisa
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit.
BKPM melihat pemerintah perlu memberi insentif lebih besar lagi pada Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 merupakan PP tentang fasilitas pajak penghasilan
untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.
Selain insentif, perlu juga dipercepat fasilitas pembangunan pelabuhan, terutama di
Dumai, dan daerah lain di Indonesia. Pelabuhan Dumai, Riau sudah tidak lagi memenuhi
kebutuhan pertumbuhan produksi dan perdagangan CPO dan turunannya. Karena,
pelabuhan di sana memang tidak didesain untuk menampung produksi minyak sawit di
Riau yang mencapai 1,7 juta hektar, sehingga tingkat demorage-nya lebih tinggi.
Hal paling penting lainnya dalam ikut mendukung industri sawit adalah kepastian hukum
soal lahan perkebunan yang kini menjadi kendala investasi. Hingga saat ini, beberapa
perusahaan yang telah berencana melakukan ekspansi masih belum bisa mewujudkan
rencana itu.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Akmaluddin
Hasibuan, kepastian hukum tersebut salah satunya terkait dengan perbedaan peruntukan
lahan yang ditetapkan pemerintah pusat dan daerah. Karenanya, pemerintah diharapkan
melakukan pemetaan ulang peruntukan lahan, sehingga memberikan kepastian hukum.
Pemetaan ulang itu perlu segera dilaksanakan untuk mendorong investasi baru.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
pekerjaan
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup
dan
meningkatkan
kesejahteraannya
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Keterangan Artikel
Sumber: Bisnis Indonesia
Tanggal: 25 Apr 07
Permintaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus berlanjut. Tak
ayal, karena adanya permintaan yang besar dari tiga investor-dua lokal dan satu dari
Malaysia-pemerintah Provinsi Papua siap membebaskan 1 juta hektare (ha) tanah adat
untuk dijadikan perkebunan komoditas green dollar itu.
Pengalihan lahan itu diawali dari adanya permintaan dua investor dalam negeri,
Sinar Mas Grup dan Medco Grup serta investor asal Malaysia, Federal Land
Development Authority (Felda). Ketiga perusahaan itu ingin membangun kebun kelapa
sawit.
"Kami sudah menyetujui pembebasan tanah adat seluas 1 juta hektare. Ini sesuai
keinginan para investor itu," kata Gubernur Papua, Barnabas Suebu kepada Bisnis di
Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin Makassar, kemarin.
Barnabas mengatakan realisasinya akan ditindaklanjuti jika para investor itu
membuktikan komitmennya. "Kami [Papua] akan membebaskan kalau investor
memberikan bukti minimal tahun ini masing-masing 10.000 ha pada 2007, agar kami
yakin mereka serius mau berinvestasi," katanya
Barnabas menuturkan pemprov masih mengkhawatirkan komitmen investasi tiga
perusahaan tersebut. Sebab ketiganya belum menunjukkan komitmen serius untuk
melakukan penanaman sawit di Papua.
Jumlah & kapasitas produksi unit pengolahan minyak kelapa sawit
Provinsi
Jumlah pabrik
Kapasitas (ton TBS/jam)
21
540
NAD
86
2.950
Sumut
8
525
Sumbar
84
4.035
Riau
19
815
Jambi
23
1.270
Sumsel
3
120
Bengkulu
7
240
Lampung
7
185
Jawa Barat
1
30
Kalbar
1
60
Kalteng
15
745
Kalsel
18
900
Kaltim
7
360
Sulteng
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
Sulsel
Papua Barat
Sulut
Papua
9
2
1
3
300
60
30
120
Sumber : Deptan
Menurut dia, Pemprov Papua bersedia menyediakan 4 juta ha tanah adat hingga 10 tahun
mendatang, asalkan Sinar Mas, Medco, dan, Felda sudah melakukan penanaman perdana
pada 2007.
"Untuk investasi sawit sejuta hektare tanahnya sudah siap di Papua barat, utara dan
selatan. Tapi percuma kan kita bebaskan sekaligus dan pohonnya kita tebang, kalau nanti
mereka kabur," ungkapnya.
Menurut Barnabas, lahan sawit 1 juta ha tersebut akan difokuskan untuk memproduksi
bahan baku biodiesel yang merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
Dia mengemukakan produksi biodiesel Papua akan menjadi sumber bahan bakar dunia
internasional yang mulai mengalami defisit energi fosil/BBM. "Sekarang zamannya juga
green energy, dan bukan lagi fosil energi," katanya.
Kebutuhan hidup
Barnabas mengutarakan apabila Papua berhasil membuka 2 juta ha lahan kebun sawit
dalam 10-15 tahun mendatang, di mana satu 1 ha dialokasikan bagi petani plasma, maka
250 kepala keluarga (KK) atau 1 juta penduduk bisa memperoleh pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.
Dia memprediksikan setiap KK akan memperoleh penghasilan Rp5 juta-Rp7 juta/bulan,
untuk setiap empat hektare lahan yang mereka kelola. "Hal ini dimungkinkan karena satu
juta ha kebun kelapa sawit menghasilkan 130.000 barel biodiesel per hari yang nilai
ekspornya US$5,6 miliar per tahun," katanya.
Beberapa waktu lalu, menurut kantor berita AFP, Genting berniat membenamkan dana
hingga US$ 3 miliar (Rp 27,31 triliun) untuk memproduksi biofuel di Indonesia. Investasi
itu akan difokuskan di wilayah Papua melalui anak perusahaannya yang berbasis di
Singapura, Genting Biofuels Asia Pte Ltd. (Martin Sihombing/ k26)
(redaksi@bisnis.co.id)
Bisnis Indonesia
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
BAB IV
PENUTUP
Pada Bab ini akan membahas mengenai beberapa kesimpulan tentang pembuatan
Kliping elektronik. Kesimpulan tersebut meliputi :
Informasi merupakan sumber ilmu pengetahuan yang sangat penting dan
informasi juga mudah untuk didapatkan bagi semua orang baik informasi dalam bentuk
sempit maupun meluas. Dengan informasi semua orang tahu tentang kegiatan kegiatan
yang dilakukan di dalam masyarakat luas. Namun sekarang ini informasi sangat banyak
sehingga perpustakaan Perlu mengelola informasi informasi tersebut.
Pada Produk yang Dibuat oleh penulis, tentang kliping Elektronik yang dimana
didalamnya penulis membahas tentang Tema Industri Kelapa Sawit . Penulis
mengangkat tema tersebut Karena Beberapa tahun ini kegiatan perekonomian diindonesia
mengalami pasang surut terutama dalam industri kelapa sawit. Sehingga Peran
Pemerintah dan rakyat indonesia sangat dibutuhkan untuk megatasi masalah - masalah
yang terjadi pada perekonomian yang ada diindonesia.
Selain itu didalam kliping elektronik ini berisi tentang artikel artikel yang telah
dikumpulkan oleh penulis dari situs internet setelah itu penulis mengelolah dan
menyusun semua artikel menjadi satu. Sehingga, bila user ingin tahu tentang isi dari
kliping tersebut maka user dapat dapat menelusur informasi ini baik secara manual
maupun elektronik.
Dalam Pembuatan kliping secara manual dilakukan dengan menggunakan alat
bantu penelusuran berupa bibliografi yang disusun menurut sub subyek dan kemudian
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
diurutkan berdasarkan alfabetis setelah itu digolongkan menjadi beberapa Indeks, seperti
indeks judul, indeks pengarang, indeks subyek dan sumber. Dan indeks- indeks tersebut
tersusun secara sistematis berdasarkan alfabetis.
Sedangkan Pada Pembuatan kliping secara elektronik penulis menggunakan
frontpage sebagai media pendukung elektronik pembuatan kliping. Disini penulis
membuat tampilan yang semenarik mungkin serta Cara Penyusunan artikel jelas, sesuai
dengan Penyusunan Bibliografi dengan menggunakan indek indek serta abstrak yang
telah dibuat oleh penulis.sehingga dalam hal ini dapat mempermudah dalam pencarian
informasi atau data yang dibutuhkan oleh User dalam memperoleh informasi yang
diinginkan dan juga mempermudah dalam temu balik informasi.
Tugas Akhir
Dinnar Cincintya L. R.
DAFTAR PUSTAKA
Pardosi,
Mico,
Buku
panduan
Merancang
Website
dengan
http://julyono.multiply.com/journal/item/6
http://www.detikriau.com
http: // infosawit.com
http://cetak.bangkapos.com
http://apwardhanu.wordpress.com
http://www.fair-biz.org/artikel.php?id=29&lang=1
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7251&coid=1&caid
=23
Tugas Akhir
http://www.balioutbound.com
http : // www.kompas.com
http : // www.Bisnis.com
http : // www.korantempo.com
http: // public.kompasiana.com
http://erik12127.wordpress.com
Dinnar Cincintya L. R.