Dradjat Hoedajanto
PENDAHULUAN
Probabilistic Seismic Hazard Map (PSHM) Indonesia yang baru, lihat Gambar 1, sebagai
pengganti Peta Hazard Gempa SNI Gempa 2002 (SNI 03-1726-20021), telah ditanda
tangani oleh Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 1 Juli 2010, disusul dengan
pengumuman resminya tertanggal 15 Juli 2010 dan disosialisasikan pada para pihak di
kantor Binagraha tanggal 16 Juli yang lalu.
BSN, SNI 03-1726-2002 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
Berdasarkan peta tersebut, gedung dan bangunan sipil di Jakarta, tergantung lokasinya,
harus didesain terhadap beban gempa dengan Peak Ground Acceleration(PGA) di level
batuan dasar 19 21% g. Suatu peningkatan sekitar 5% dari ketentuan sebelumnya.
Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah seberapa aman bangunan yang telah
berdiri dan operasional selama ini terhadap peningkatan beban gempa ini?Apa definisi
dan makna phisik dari kata aman yang dapat kita terima bersama dan apa langkah
yang perlu diambil untuk mencapainya?
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan baik, satu hal yang harus kita pahami
bersama adalah bahwa berdasarkan peraturan yang ada, bangunan yang didesain
amanterhadap gempa tidak berarti bahwa bangunan tersebut kebalgempa.
Secara teoritis konsep Life Safety Design memberikan bangunan yang strukturnya akan
mengalami kerusakan lk 30% akibat gempa desain. Dengan demikian dengan
penambahan beban gempa yang lk sepertiga dari beban SNI Gempa 2002, perlu
dipikirkan langkah apa yang diperlukan untuk menjamin bahwa minimal Jakarta tidak
akan menjadi ajang show case Kegagalan Konstruksi Indonesia karena misal kondisi
extrimnya 85% bangunan dan fasilitas public yang ada akan mengalami kerusakan berat
(walaupun tidak runtuh) dan bahkan mungkin beberapa (khususnya yang non-code
compliance) akan hancur akibat gempa desain maksimum di masa depan?
Kekhawatiran mengenai keamanan gedung dan bangunan sipil kota Jakarta terhadap
gempa maksimum tidak selalu disebabkan oleh peningkatan beban gempa disain saja.
Bila kecenderungan praktek konstruksi yang terdatakan sekian jauh di seluruh Indonesia
dan menjadi sebab utama banyaknya kehancuran bangunan akibat gempa (Hoedajanto,
2009 dan 2010) juga merupakan karakteristik konstruksi di Jakarta, maka masalah yang
dihadapi Jakarta sungguh sangat serius dan memerlukan pemikiran solusi terpadu yang
pragmatis, menyeluruh, dan sangat segera.
Beberapa fakta dari bangunan dikota Jakarta dan keterkaitannya dengan Peraturan
yang berlaku adalah:
1. Jakarta dibangun berdasarkan 3 (tiga) Peraturan Pembebanan yaitu Peraturan
pra tahun 80-an2, Peraturan tahun 80-an (PPTGIUG-19813), dan Peraturan tahun
2000-an (SNI 03-1726-2002),
2. Teknologi Konstruksi bangunan tahan gempa modern baru diterapkan di
Indonesia sejak hadirnya PPTGIUG1981di mana konsep struktur daktail mulai
diperkenalkan mengikuti rekomendasi Peraturan serupa di New Zealand (Becca
Carter, et.al. 1979),
2
3
Peraturan Beton Indonesia (PBI) 1971 dan Peraturan Muatan Indonesia (PMI) 197x.
Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung, 1981, Dit.Jen. Tjipta Karya, DPU.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
3. Penyempurnaan dari PPTGIUG1981 direalisasikan dengan hadirnya SNI 031726-2002 yang menggunakan 97-UBC4 sebagai acuan utama,
4. Kerusakan bangunan sipil paska gempa Northridge 1994 dan Kobe 1995
mendorong lahirnya persyaratan keteknikan yang lebih ketat yang kemudian
direfleksikan dengan perubahan besar pada Code dunia yang diawali oleh
lahirnya International Building Code (IBC) 2000 yang selalu disempurnakan setiap 3 tahun (sebagai pengganti dari 97-UBC) dan ASCE 7-025,
5. Saat ini telah terbit 2009-IBC6, ASCE 7-107, dan AASHTO-20078 yang menjadi
referensi bagi perkembangan code dunia lainnya. Penyempurnaan dari SNI
Gempa 2002 disepakati bertumpu pada ASCE 7-10 dan 2009-IBC,
6. Hadirnya kecenderungan baru dalam konsep perencanaan bangunan tahan
gempa yang berpaling dari konsep perencanaan berdasarkan kekuatan (strength
based concept) yang selama ini mendasari Code dunia menjadi konsep perencanaan berdasarkan kekakuan (stiffness based concept) yang dari awal telah
mencurahkan pemikiran agar perencanaan sistem dan elemen struktur dijalankan dan didasarkan pada konsep damage control yang dikaitkan dengan suatu
target performance yang disepakati oleh para pihak terkait,
7. Adanya peringatan yang disampaikan oleh LATBSDC-20089 dan CTBUH-200810
bahwa disain dari bangunan tinggi (H > 50-90 m) terhadap gempa tidak cukup
hanya didasarkan pada rekomendasi Code yang ada karena code diturunkan
untuk perencanaan bangunan bertingkat yang rendah. Fakta ini perlu disikapi
dengan cermat dan penuh tanggung jawab yang profesional.
Butir-butir 1, 4, dan 7 dari uraian di atas perlu direspon dan disikapi secara positif dan
bijak dengan segera. Seyogyanya segera diambil langkah pro-aktif yang preventif
dengan melakukan review yang komprehensif mengenai respon dari bangunan terhadap
gempa disain baru. Langkah optimum didapat dengan memanfaatkan teknologi code
dunia dan pakar kegempaan dunia yang terbaru. Secara konseptual bila bangunan tersebut didisain dan dilaksanakan sesuai petunjuk code modern yang berlaku saat itu
(life safety design concept), kemungkinan masalah yang dihadapi saat ini hanyalah
peningkatan level of damage dan tidak mengarah pada keruntuhan.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
De-aggregation:
To determine controlling earthquakes
M=7.5
M=5.7
R=104Jakarta
km R=11 km
R=200 km
0.1 5
0 .1
0.0 5
-0.0 5
-0 .1
-0.1 5
-0 .2
10
15
20
25
30
35
40
Tim e (se c)
Dalam catatan yang ada [Kertapati, 2010], Jakarta tidak memiliki sesar aktif di wilayahnya. Jadi gempa Jakarta adalah gempa kiriman. Gempa masuk Jakarta sebagai
rambatan gelombang guncangan yang awalnya terjadi di level lempeng batuan di
hypocenter (pusat) gempa. Bagi Jakarta, secara teoritis gempa yang pengaruhnya
harus diperhitungkan adalah semua gempa dengan epicenter dalam radius 500 km. dari
Jakarta, lihat Gambar 3.Gempa yang pengaruhnya besar adalah gempa di Selat Sunda
dan gempa dengan mekanisme Benioff di Selatan Jakarta [Irsyam, 2007]. Fakta ini
penting untuk disosialisasikan dan diwaspadai khususnya karena telah lama tidak terjadi
gempa besar di wilayah tersebut, [Teori seismic gap - Kertapati, 2004].
Kemajuan teknologi menjelang akhir abad yang lalu melahirkan konsep dan teori
Performance Based Engineering (PBE) yang kemudian berkembang antara lain
melahirkan Performance Based Earthquake Engineering (PBEE) dan Performance
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
Based Seismic Design (PBSD), [Bertero, 2004]. Secara spesifik konsep dan langkah
disain ini berbeda dengan apa yang telah kita kenal dan kita lakukan selama ini
(mengikuti code) yang cenderung prescriptive. Dengan konsep ini para pihak dilibatkan
dalam pemilihan respon bangunan yang diharapkan, mulai dari Operational (O),
Immediate Occupancy (IO), Life Safety (LS), hingga Collapse Prevention (CP). Life
Safety (LS), konsep desain yang kita ikuti selama ini, secara phisik merefleksikan kondisi
kerusakan structural antara 15 % hingga 30 %, lihat Gambar. 4. Konsep sejenis juga
diadop untuk bangunan sipil lainnya.
Gambar 4 Level kerusakan bangunan akibat gempa disain, FEMA 451B (2007)
Gambar 4 dengan jelas menggambarkan bahwa bangunan yang didesain dengan
konsep Life Safety akan mengalami kerusakan yang cukup signifikan dan kemungkinan
tidak dapat di-repair. Belajar dari kerusakan bangunan pasca gempa, kecenderungan
langkah desain saat ini tidak lagi hanya ditumpukan pada desain sesuai rekomendasi
code. Target kerusakan bangunan pasca gempa, baik untuk gempa layan maupun
gempa maksimum, menjadi topik penting yang harus didiskusikan dan diputuskan
bersama oleh para pihak. Hal yang kemungkinan belum pernah disosialisasikan
secara terbuka dan baik kepada masyarakat, pemilik ataupun pengelola bangunan.
Khusus untuk gedung tinggi, di mana perilaku dinamis gedung tidak lagi didominasi oleh
mode ke 1, Federal Emergency Management Administration (FEMA) merekomendasikan langkah disain yang yang didasarkan pada respon dynamic nonlinear time history
[FEMA 451b-2007]. Di sini perencana struktur tidak lagi dapat melakukan desain hanya
dengan mengandalkan pada penggunaan software. Diperlukan penguasaan konseptual
yang baik atas perilaku bangunan dan elemen struktur terhadap gempa agar dari awal
perencana dapat bekerja sama dengan arsitek dan mengadop sistem dan elemen
struktur bangunan yang optimum untuk target performance yang disepakati.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
Perlu digaris bawahi bahwa kualitas konstruksi yang buruk bukan melulu disebabkan
oleh kurang baiknya proses pelaksanaan (tidak mengikuti rekomendasi Code), tetapi
juga karena sebagian (besar?) praktisi perencana struktur belum/tidak sepenuhnya
memahami latar belakang dari konsep Perencanaan Bangunan Tahan Gempa. Hal ini
tidak mengherankan karena memang secara formal pemahaman mengenai respon
dinamik dan non-linear struktur akibat gempa tidak diajarkan di level S-1.
Belajar sendiri langkah yang tidak mudah bagi praktisi yang terbiasa dengan proses
analisis statis dan elastis. Pemahaman dan penghayatan perilaku dan karakter dinamik
dan siklik dari elemen struktur dan non-struktur yang harus mengalami beban gempa
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
yang acak, dinamis, dan siklis diperlukan untuk menghindari kesalahan langkah desain
yang merugikan dan membahayakan.
Kondisi di atas secara tidak langsung melahirkan praktek desain yang tidak jarang
mengikuti saja keinginan arsitek yang demi mengejar keindahan kadang memaksakan
sistem struktur yang tidak simetris dan berpotensi torsi tanpa upaya pengamanan yang
bisa diambil. Sebagian lagi terjadi perencanaan dan pelaksanaan detailing yang kurang
sempurna/salah, atau penetapan/perhitungandesign base shear yang kurang tepat, atau
penggunaan material yang tidak memenuhi persyaratan teknis, atau kesalahan asumsi
modeling karena kurangnya pemahaman atas perbedaan respon elemen dan respon
struktur dan terbatasnya pemahaman atas makna dan konsekuensi dari struktur daktail.
Kasusnya menjadi menonjol bila kajian diarahkan pada masalah desain pondasi,
khususnya untuk sistem pondasi dalam pada tanah lunak di mana level of fixity dari
bangunan atas menjadi hal yang tidak mungkin dipastikan. Kebiasaan praktek untuk
mengasumsikan level of fixity pada ground level dengan demikian perlu dikaji dengan
seksama akurasinya dan seyogyanya tidak diambil sebagai suatu solusi default.
Khusus untuk gedung tinggi yang di atas 90-an m, masalah di atas menjadi bertambah
karena kemungkinan kesalahan / kurang lengkapnya langkah desainseperti uraian yang
diangkat dalam butir 7 di bagian depan dari makalah ini.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
5. Perlu segera dilakukan studi fragilitas dan kapasitas dari bangunan dan sarana
publik yang ada untuk mendapatkan petunjuk langkah perkuatan atau perbaikan
yang perlu dikerjakan untuk meningkatkan ketahanan dan kelaikan pakai bangunan dan sarana tersebut terhadap gempa maksimum di masa depan.
Kondisi ini perlu disikapi secara proaktif khususnya karena adanya kekhawatiran
bahwa teori seismic gap yang dikedepankan oleh Kertapati (2004) saat ini
berlaku bagi Jakarta dan sekitarnya,
6. Dampak dari peningkatan beban gempa desain untuk gempa 500 tahun dari
PGA 15%g menjadi PGA 19 21%g perlu dicermati dengan baik. Khusus untuk
gedung tinggi dengan H > 90 m, LATBSDC-2008 dan CTBUH-2008 mengatakan
bahwa code yang ada tidak cukup untuk dijadikan satu-satunya pegangan dalam
perencanaan tahan gempa, Mengingat nilai investasi gedung tinggi yang tidak
murah, kemungkinan dari penetapan target performance Damage Control (DC)
yang berada di antara IO dan LS perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan
rasio biaya konstruksi vs biaya maintenance dan repair yang terbaik,
7. Khusus bagi bangunan tinggi yang dibangun sebelum berlakunya SNI Gempa
2002 dengan beban gempa PGA 10% g, disamping mencermati kemungkinankemungkinan kekurangan ataupun kesalahan langkah desain yang hanya
didasarkan pada rekomendasi Code, perlu diteliti apakah langkah konstruksi dan
penggunaan materialnya telah sesuai dengan apa yang dipersyaratkan saat ini.
Perlu dicatat bahwa bila terjadi keruntuhan pada bangunan tinggi, dampak fisik,
ekonomi, dan sosialnya akan sangat tinggi. Kondisi yang ada saat ini masih bisa
diperbaiki dengan melakukan langkah retrofit yang sesuai,
8. Mengingat dampak globalnya yang besar, seyogyanya Pem-Da DKI Jakarta
minimal segera melakukan beberapa studi fragilitas kegempaan dari bangunan
dan sarana penting yang ada untuk dijadikan bahan kajian dasar bagi perlu
tidaknya pemberlakuan kebijakan serupa untuk seluruh bangunan dan sarana
yang ada di DKI Jakarta. Salah satu studi yang perlu segera dilaksanakan
adalah studi Fragilitas dan Retrofit dari Fly-Over Cawang-Priok-Pluit-TomangCengkareng, termasuk sistem jalan tol deck-on-piles Cengkareng yang baru,
9. Semua langkah yang perlu dikerjakan haruslah dilakukan secara sungguhsungguh dan professional oleh pihak yang mampu dan memiliki pengalaman
yang menunjang, agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Keterlibatan
sejak awal dari pihak Asuransi Konstruksi yang benar-benar professional seyogyanya segera dijadikan kelengkapan yang dipersyaratkan terhadap kontraktor
pelaksana dan konsultan perencana,untuk meningkatkan tercapainya pekerjaan
disain yang baik, benar, dan profesional. Keterlibatan accredited checkersperlu
dipertimbangkan untuk proyek besar dan penting agar prosescheck and recheck
dan sharing tanggung jawab dapat dicapai secara sistematis dengan baik dan
benar.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. BSN, Standar Nasional Indonesia, SNI 03-1726-2002, Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung,
2. Irsyam, M., et al., Usulan revisi Peta seismic Hazard Indonesia SNI 03-17262002,
3. Dit. Jen. Tjipta Karya, DPU., Peraturan Perencanaan Tahan Gempa untuk
Gedung, 1981,
4. 1997 Uniform Building Code,
5. ASCE Standard ASCE/SEI 7-02 American Society of Civil Engineer Minimum
Design Loads for Buildings and Other Structures,
6. 2009 International Building Code,
7. ASCE Standard ASCE/SEI 7-10 American Society of Civil Engineer Minimum
Design Loads for Buildings and Other Structures,
8. AASTO LRFD Bridge Design Specification SI Units 2007 by the American
Association of State Highway and Transportation Officials,
9. LATBSDC An Alternative Procedure for Seismic Analysis and Design of Tall
Buildings Located in the Los Angeles Region A Consensus document 2008
Edition,
10. Council on Tall Building and Urban Habitat 2008 Recommendations for the
Seismic Design of High-Rise Buildings A Consensus Documents CTBUH
Seismic Working Group
11. USGS Peak Acceleration Map, in % g, Java Indonesia, September 2, 2009
12. Irsyam, M., Dangkua, D., and Hoedajanto, D., Reasons to Update Current
Design Maps for Indonesia, HAKI Conference, Jakarta, 2007
13. Kertapati, E., Komunikasi Pribadi, 2010,
14. Kertapati, E., Komunikasi Pribadi, 2004
15. FEMA, NEHRP Recommended Provisions for New Buildings and Other
Structures: Training and Instructional Materials FEMA 451-B, June 2007.
16. LAPI ITB, Studi Dampak Gempa Bumi Terhadap Sistem Transportasi,
Departemen Perhubungan, 2008.
Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI.
Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia