Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BANGUNAN TAHAN GEMPA

Di buat oleh :

Nama Mahasiswa : Nafid Himammana

NPM : 1517000571

PRODI D4 TEKNIK KONSTRUKSI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PEKALONGAN

1
ABSTRAK
Makalah ini secara konseptual membahas tanggung jawab legal dari praktisi konstruksi Indonesia.
Pembahasan dimulai dengan mempaparkan kerusakan-kerusakan yang terjadi berulang kali pada
bangunan gedung di Indonesia ketika terjadi gempa dalam sepuluh tahun terakhir ini. Dengan berita
terbaru saat ini di propinsi Sulawesi tengah khususnya di daerah palu dan donggala telah terjadi
gempa berkekuatan magnitude 7,4, Pembahasan dilanjutkan dengan mengedepankan kompleksnya
langkah disain bangunan tahan gempa yang baik dan benar menurut code terakhir dunia, yang
menjadikan pekerjaan disain bangunan tahan gempa merupakan pekerjaan bagi spesialis. Hal yang
tentunya menyukarkan bagi praktisi konstruksi nasional pada umumnya. Selanjutnya, pembahasan
dilanjutkan dengan memperkenalkan metode disain yang mudah tapi konservatif untuk
menyederhanakan perencenaan gedung tahan gempa, yang dilengkapi dengan contoh perhitungan.

PENDAHULUAN
Sebagai negara yang terletak pada daerah yang rawan gempa, menuntut praktisi konstruksi di
Indonesia untuk menguasai tata cara perencanaan bangunan tahan gempa, khususnya untuk struktur
bangunan gedung. Gempa-gempa besar yang terjadi sejak sepuluh tahun terakhir dan kerusakan
struktur yang diakibatkan, telah membantu para ahli gempa dalam memahami mekanisme terjadinya
gempa dan engineer teknik sipil dalam memahami perilaku gedung saat gempa terjadi.

Gambar 1 – Data gempa hingga akhir 2010 (Irsyam, 2010)

KEGAGALAN BANGUNAN SAAT GEMPA


Salah satu fenomena di Indonesia yang mengkhawatirkan adalah, bahwa kerusakan-kerusakan yang
terjadi pada bangunan setelah terjadi gempa besar, merupakan kerusakan-kerusakan yang sama
yang terulang setiap kali gempa besar terjadi. Dinilai dari tingkat keparahan yang terjadi, kerusakan
2
ini merupakan kegagalan bangunan dan bisa jadi merupakan indikasi terjadinya mal-praktek
konstruksi. Beberapa contoh kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 – Kerusakan bangunan saat terjadi gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006

Prosedur pengajuan perizinan yang sudah ada dalam pekerjaan konstruksi bangunan, seperti Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), bisa menjadi sarana pencegahan terjadinya kegagalan bangunan
tersebut. Namun demikian, beberapa kejadian menunjukkan mal-praktek konstruksi yang mungkin
terjadi antara lain karena sistem pengelolaan yang belum sepenuhnya menunjang penegakan aturan,
pelaku konstruksi yang belum memprioritaskan public safety, atau tindak lanjut investigasi yang tidak
tuntas.

Pada tahun 2012 yang lalu, SNI 1726:2012, tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung yang baru, sudah diterbitkan. Penggunaannya untuk
wilayah DKI Jakarta sudah diwajibkan sejak pertengahan 2014. Peraturan yang baru ini mengadopsi
Gempa Desain dengan probability of exceedance (PE) 2% dalam 50 tahun. Jika dibandingkan dengan
peraturan sebelumnya (SNI 1726:2002), secara umum peak ground acceleration (PGA) pada
peraturan yang baru menjadi lebih kurang dua kali lipat.

Dengan memperhatikan kondisi konstruksi nasional dalam hal kegempaan, pemberlakuan SNI
1726:2012 akan dapat memberikan dampak yang lebih serius dari sebelumnya. Penegakan hukum
yang konsisten dan konsekuen menjadi sangat penting.

3
DESAIN BANGUNAN TAHAN GEMPA
Di negara-negara berkembang seperti Amerika Serikat dan Jepang, setiap kali terjadi gempa besar,
peraturan atau code segera diperbaharui dan diberlakukan. SNI 1726:2012 yang sudah diterbitkan
sejak 2012, baru diberlakukan di DKI Jakarta mulai pertengahan 2014.

Langkah-langkah dalam melakukan desain bangunan tahan gempa yang baik dan benar adalah tidak
sederhana. Pemahaman tentang kegempaan, gaya yang diterima struktur saat gempa terjadi, serta
perilaku material dan struktur pada saat gempa terjadi adalah hal yang sangat penting untuk
dikuasai. Kompleksnya langkah-langkah desain ini menjadikan desain bangunan tahan gempa adalah
pekerjaan bagi spesialis atau disebut dengan Licensed Design Professional (LDP).

Secara konseptual sederhana, tujuan dari desain bangunan tahan gempa adalah:

1. Beban gempa yang terjadi pada bangunan harus disalurkan ke sistem pondasi melalui
berbagai elemen struktur bangunan yang ada.
2. Setiap elemen struktural dan sambungannya harus tidak “runtuh”.
3. Elemen struktural bisa elastis atau non-elastis.

Yang membuat desain bangunan tahan gempa menjadi tidak mudah adalah beban gempa
merupakan beban yang tidak kelihatan, dan kejadiannya hanya merupakan prediksi selama masa
layan bangunan. Analisis bangunan dilakukan dengan mengasumsikan bahwa perilaku bangunan dan
elemen-elemen strukturalnya masih linear padahal saat terjadinya gempa besar, bangunan
diharapkan untuk berperilaku non-linear (terjadi retak atau sendi plastis) sebagai disipasi energi
akibat gaya gempa. Selain itu, banyak asumsi pendekatan yang digunakan dan formula-formula
empiris yang memiliki keterbatasan.

Secara umum, langkah-langkah perencanaan bangunan tahan gempa dapat dijabarkan sebagai
berikut:

1. Pengembangan desain konseptual.


2. Pemilihan sistem struktur yang tepat.
3. Menentukan performance objectives dari bangunan.
4. Menghitung/memperkirakan gaya gempa eksternal.
5. Menghitung/memperkirakan gaya gempa internal (analisis linear).
6. Proporsi komponen-komponen struktural.
7. Mengevaluasi performance bangunan (drif bangunan, drift per lantai, gaya dalam elemen
struktural).
8. Final detailing elemen struktural.
9. Quality Assurance.

Langkah (4) dan (5) menuntut penguasaan basic knowledge dan pengalaman yang baik, yang
tampaknya belum sepenuhnya terpenuhi oleh pendidikan S-1 Teknik Sipil di Indonesia.

4
TANGGUNG JAWAB LEGAL PRAKTISI KONSTRUKSI INDONESIA
Tanggung jawab legal sangat erat kaitannya dengan regulasi yang berlaku di dalam suatu negara.
Perkembangan regulasi melibatkan dua aspek: riset dan code development dengan mitigasi bencana
gempa.

5
TYPICAL CYCLE
STRONG
INTERACTION

Gambar 3 – Mitgasi bencana gempa

Ada beberapa hal yang diamati terjadi dalam penerapan bangunan tahan gempa dalam aspek legal di
Indonesia, yang perlu diperhatikan, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Belum semua stakeholders dalam dunia konstruksi mengutamakan keamanan publik.


2. Asuransi belum dijadikan kebijakan positif untuk membantu meningkatkan keamanan
konstruksi.
3. Penegakan hukum (law enforcement) yang masih perlu terus ditingkatkan.
4. Kerusakan bangunan pasca-gempa yang terjadi merupakan kerusakan yang berulang kali
telah terjadi.
5. Belum banyaknya pendidikan dan pelatihan formal teknik bangunan tahan gempa bagi ahli
dan praktisi terampil.
6. Perlunya peningkatan mutu berkelanjutan bagi program sertifikasi profesi yang saat ini
berlangsung.
7. Penerapan dan pengawasan yang perlu dijalankan dengan lebih tegas tentang ketentuan
minimum yang tidak boleh dilanggar yang sudah disyaratkan oleh code atau peraturan.

Tujuan utama dari code adalah untuk memberikan jaminan keselamatan publik, dengan menetapkan
persyaratan minimum dari suatu bangunan, terkait dengan kekuatan, stabilitas, serviceability,
ketegaran, dan integritas struktur bangunan. Namun perlu disadari bahwa hal-hal yang disyaratkan
oleh code tidak meninjau semua hal dalam desain. Dengan demikian, “persyaratan minimum” dari
code tidak bisa menggantikan sound professional judgement dari seorang LDP.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki “payung hukum” yang berkaitan dengan tanggung jawab legal
bagi praktisi konstruksi. Standar (code) sebagai persyaratan minimum, yang didukung dengan
Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri (Permen), antara lain:

6
1. SNI 1726:2012, tentang tata cara desain bangunan tahan gempa (mengacu pada ASCE 7-10).
2. SNI 2847:2013, tentang persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung (mengacu
pada ACI 318M-11).
3. SNI XXXX:2013, tentang persyaratan baja struktural (mengacu pada AISC).
4. UU RI No. 18 tahun 1999, tentang jasa konstruksi.
5. UU RI No. 28 tahun 2002, tentang bangunan gedung.
6. Permen No. 36 tahun 2005, tentang pelaksanaan UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan
gedung.
7. Permen PU No. 25/PRT/M/2007 tanggal 9 Agustus 2007, tentang pedoman Sertifikat Laik
Fungsi (SLF) bangunan gedung.

Di dalam UU RI No. 18 tahun 1999, tentang jasa konstruksi, dijelaskan mengenai tanggung jawab
professional (LDP):

a. Badan Usaha dan Orang Perseorangan harus bertanggung jawab terhadap hasil
pekerjaannya.
b. Tanggung jawab tersebut dilandasi oleh prinsip-prinsip keahlian yang sesuai kaidah keilmuan,
kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya, dengan mengutamakan
kepentingan umum.
c. Pewujudan tanggung jawab dapat ditempuh melalui mekanisme pertanggungan jawab sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adanya ketentuan bahwa prinsip keahlian yang sesuai kaidah keilmuan menunjukkan bahwa
tanggung jawab LDP tidak berhenti pada mengikuti standar atau code saja, LDP juga dituntut untuk
memiliki pertimbangan yang kuat dan memilih opsi terbaik bagi keamanan publik.

Di samping itu, UU yang sama juga menjelaskan mengenai peran serta masyarakat, yang tercantum
pada Pasal 29 dan 30:

 Pasal 29 – Hak:
(1) Masyarakat berhak melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan
jasa konstruksi.
(2) Masyarakat berhak mendapatkan penggantian yang layak atas kerugian yang dialami
secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
 Pasal 30 - Kewajiban:
(1) Masyarakat berkewajiban menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang
berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi.
(2) Masyarakat berkewajiban untuk turut serta mencegah terjadinya pekerjaan
konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.

Sangat disayangkan, pasal-pasal mengenai peran serta masyarakat di atas masih belum banyak
disentuh oleh praktisi maupun pengelola konstruksi.

Pada poin (b), penggantian yang layak atas kerugian yang dialami terkait langsung dengan pihak
asuransi dalam bidang konstruksi. Dengan diberlakukannya SNI 1726:2012, terjadi peningkatan yang
cukup besar pada peak ground acceleration (PGA) yang harus dipertimbangkan dalam desain
bangunan gedung tahan gempa. Tabel 1 berikut menampilkan perbandingan PGA untuk empat kota
di Indonesia.

Tabel 1 – Perbandingan PGA pada SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012

SNI 1726:2002 SNI 1726:2012


KOTA
PGA (%g) PGA (%g) SDS (%g, sedang)
Padang 25 55 90
Jakarta 15 32-35 53
Surabaya 10 30 56
Jayapura 25 70 117

Melihat peningkatan PGA pada Tabel 1, diperkirakan banyak bangunan gedung yang didesain tahan
gempa dengan menggunakan SNI 1726:2002 tidak memenuhi persyaratan beban gempa desain yang
baru.

Dengan kondisi ini, perlu ada evaluasi dan perkuatan (jika diperlukan) terhadap bangunan-bangunan
gedung untuk memastikan bahwa minimal target performance setelah terjadinya gempa adalah life
safety, dengan mekanisme penerbitan IMB atau SLF yang sesuai dengan SNI 1726:2012.

Target performance, IMB, dan SLF akan dijadikan acuan bagi pihak asuransi dalam evaluasi setelah
terjadinya gempa. Bila performance bangunan gedung sesuai dengan target, pihak asuransi akan
membayar kerugian. Bila tidak sesuai dengan target performance (disebut kegagalan bangunan),
setelah membayar kerugian, pihak asuransi dapat mencari pihak yang bersalah dan menuntut pihak
tersebut.

Di dalam ACI 318-2014, yang bertanggung jawab (secara teknis) adalah LDP Desain dan/atau LDP
Pengawasan, kecuali secara eksplisit ada pihak lain yang mengambil alih tanggung jawab tersebut.

UU No. 18 tahun 1999 memberikan penjelasan lebih detail mengenai pihak yang bertanggung jawab
atas kegagalan bangunan. Hal ini tercantum pada Pasal 25 dan 26:

 Pasal 25:
(1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan.
(2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan
konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
 Pasal 26:
(1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau
pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak
lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai
dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
(2) Hal yang sama berlaku bagi pelaksana konstruksi bila kegagalan bangunan
disebabkan oleh kesalahan pelaksana.
Menurut UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, sanksi dan pidana jika terjadi kesalahan
dalam kegiatan konstruksi tercantum pada Pasal 41 hingga 43, sebagai berikut:

 Pasal 41: Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau
pidana atas pelanggaran UU ini.
 Pasal 42: Dapat dikenakan pada penyedia maupun pengguna jasa, antara lain dalam bentuk
pembekuan dan/atau pencabutan izin usaha/izin pelaksanaan.
 Pasal 43: Perencana, pelaksana, dan pengawasan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi
ketentuan keteknikan atau membiarkan pelanggaran dan mengakibatkan kegagalan
konstruksi atau kegagalan bangunan dapat dikenakan pidana:
(1) Penjara, paling lama 5 (lima) tahun, atau
(2) Denda, paling banyak 10% (perencana dan pengawas) dan 5% (pelaksana) dari
kontrak.

Dengan demikian, berikut adalah hal yang perlu diperhatikan oleh LDP Desain/Pengawasan, terkait
diberlakukannya code baru:

 Proses desain dan konstruksi:


1. Mengikuti rekomendasi code baru, sebagai persyaratan minimal.
2. Bila ada keraguan, utamakan memilih langkah yang lebih konservatif/aman.
Upayakan menghindari hal-hal yang tidak standar, dan pastikan bahwa bangunan
aman terhadap beban gravitasi.
3. Upayakan untuk mendapatkan pertanggungan asuransi.
 Operasional:
1. Menyampaikan pada pemilik/pengguna bangunan untuk melakukan review
keamanan bangunan terhadap ketentuan code terakhir.
2. Bila ditemukan adanya ”kelemahan” pada bangunan berdasarkan ketentuan pada
code yang baru, sampaikan rekomendasi kemungkinan retrofitting atau perkuatan
yang diperlukan.
3. Menyarankan untuk meminta rekomendasi ahli.

Terkait langkah konservatif yang dapat diambil oleh LDP Desain adalah sebagai berikut:

1. Memahami dengan baik sofware dan code yang digunakan.


2. Memastikan bangunan aman terhadap beban layan (gravitasi).
3. Memperhitungkan konstribusi elemen non-struktur (seperti dinding bata, partisi) untuk
menentukan kekakuan struktur sebelum gempa.
4. Untuk bangunan yang karakternya first mode dominant, memeriksa desain bangunan dengan
cara pendekatan:
i. Menentukan dimensi elemen berdasarkan kekakuan dan beban tributari.
ii. Menentukan kapasitas elemen balok dengan cara pendekatan.
iii. Memastikan konsep strong column-weak beam (SCWB) tercapai.
iv. Memastikan bahwa detailing pada join mengikuti persyaratan full ductile detailing.
CONTOH DESAIN GEDUNG TAHAN GEMPA
Berikut adalah contoh desain bangunan gedung perkantoran 10-lantai. Tiga metode desain akan
dilakukan:

a. Desain bangunan gedung akan mengikuti code sepenuhnya, termasuk beban gravitasi dan
beban gempa serta seluruh kombinasi beban yang dipersyaratkan oleh code.
b. Desain bangunan gedung dengan cara Pendekatan (1):
i. Analisis struktur dengan menggunakan sofware.
ii. Balok didesain terhadap beban gravitasi dan kombinasi beban yang terkait.
iii. Tulangan balok ditambah 20%.
iv. Memastikan konsep SCWB terpenuhi dan memberikan full ductile detailing.
c. Desain bangunan gedung dengan cara Pendekatan (2):
i. Analisis tanpa menggunakan sofware (menggunakan formula pendekatan):
2
 Momen pada balok, Mb = ± 1/10 qL
 Memastikan konsep SCWB terpenuhi dan full ductile detailing.

Pada ketiga metode desain di atas, dimensi elemen struktural yang digunakan adalah sama.

Metode perhitungan pada poin (a) di atas

Sebagai contoh perhitungan, berikut adalah contoh bangunan gedung 10-lantai yang diambil dari
salah satu contoh perhitungan desain pada buku referensi (Bertero and Bertero, 2004).

Gambar 4 – Data untuk contoh perhitungan desain

Setelah penulangan elemen-elemen struktural (balok dan kolom) didapatkan, dilakukan pushover
analysis terhadap hasil desain masing-masing metode perhitungan. Pushover curves yang diperoleh
dapat dilihat pada Gambar 5.

Dari pushover curves yang ditunjukkan, terlihat bahwa perhitungan desain dengan menggunakan
cara Pendekatan (2) adalah lebih mudah dan aman.

Desain bangunan gedung yang mengikuti code sepenuhnya adalah sangat kompleks, dan harus
menggunakan software. Sedangkan cara Pendekatan (1) dan (2) memperkenalkan cara perhitungan
desain bangunan gedung sederhana yang tahan gempa yang mudah tapi tetap memberikan desain
gedung yang aman terhadap gempa. Sehingga, dengan adanya alternatif metode perhitungan desain
ini, diharapkan akan sangat membantu praktisi konstruksi di Indonesia.

Gambar 5 – Pushover curves

KETENTUAN UMUM BANGUNAN


Ketentuan umum bangunan rumah dan gedung lainnya yang dibuat atau direncanakan mengikuti
pedoman teknis ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan berikut:
1. Pondasi
a. Pondasi harus ditempatkan pada tanah keras.
b. Penampang melintang pondasi harus simetris.

c. Hindari penempatan pondasi pada sebagian tanah keras dan sebagian tanah lunak.
d. Sangat disarankan menggunakan pondasi menerus, mengikuti panjang denah
bangunan.

e. Pondasi dibuat menerus pada kedalaman yang sama.

f. Bila digunakan pondasi setempat/umpak, maka masing-masing pondasi setempat


tersebut harus diikat satu dengan lainnya secara kaku dengan balok pengikat.

g. Penggunaan pondasi pada kondisi tanah lunak dapat digunakan pondasi pelat beton
atau jenis pondasi alternatif lainnya.
h. Untuk rumah panggung di tanah keras yang menggunakan pondasi tiang, maka
masing-masing dari tiang tersebut harus terikat sedemikian rupa satu sama lainnya
dengan silang pengaku, bagian bawah tiang yang berhubungan dengan tanah diberi
telapak dari batu cetak atau batu kali sehingga mampu memikul beban yang ada
diatasnya secara merata. Ukuran batu cetak 25 X 25cm, tebal 20 cm.

2. Denah Bangunan
Denah yang baik untuk bangunan gedung dan rumah di daerah gempa adalah
sebagai berikut:
a. Denah bangunan gedung dan rumah sebaiknya sederhana, simetris terhadap kedua
sumbu bangunan dan tidak terlalu panjang. Perbandingan lebar bangunan dengan
panjang 1:2.
b. Bila dikehendaki denah bangunan gedung dan rumah yang tidak simetris, maka denah
bangunan tersebut harus dipisahkan dengan alur pemisah sedemikian rupa sehingga
denah bangunan merupakan rangkaian dari denah yang simetris.
c. Penempatan dinding-dinding penyekat dan bukaan pintu / jendela harus dibuat simetris
terhadap sumbu denah bangunan.

d. Bidang dinding harus dibuat membentuk kotak-kotak tertutup.

3. Lokasi Bangunan
Untuk menjamin keamanan bangunan gedung dan rumah terhadap gempa, maka
dalam memilih lokasi dimana bangunan akan didirikan harus memperhatikan :
a. Bila bangunan gedung dan rumah akan dibangun pada lahan perbukitan, maka lereng
bukit harus dipilih yang stabil agar tidak longsor pada saat gempa bumi terjadi.
b. Bila bangunan gedung dan rumah akan dibangun di lahan dataran, maka bangunan
tidak diperkenankan dibangun di lokasi yang memiliki jenis tanah yang sangat halus dan
tanah liat yang sensitif (tanah mengembang).

4. Desain struktur Struktur


bangunan gedung dan rumah tinggal harus didesain sedemikian sehingga
memiliki: daktilitas yang baik (baik pada material maupun strukturnya); kelenturan pada
strukturnya; dan memiliki daya tahan terhadap kerusakan.

5. Kuda-Kuda
Kuda-kuda untuk bangunan gedung dan rumah tahan gempa disarankan
menggunakan kuda-kuda papan paku. Kuda-kuda ini cukup ringan dan pembuatannya
cukup sederhana. Ukuran kayu yang digunakan 2 cm x 10 cm, dan jumlah paku yang
digunakan minimum 4 buah paku dengan panjang 2,5 kali tebal kayu.

KESIMPULAN
Berikut adalah kesimpulan yang dapat diambil:

1. Kerusakan-kerusakan bangunan gedung di Indonesia, yang terjadi pasca gempa besar dalam
10 tahun terakhir, merupakan kerusakan-kerusakan yang sudah pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini mengindikasikan adanya mal-praktik dalam kegiatan konstruksi, yang antara lain
dapat terlihat dari: a) sistem pengelolaan yang masih perlu ditingkatkan, termasuk
penegakan hokum; b) pelaku kegiatan konstruksi yang belum sepenuhnya memprioritaskan
keselamatan publik; dan c) tindak lanjut investigasi yang belum tuntas untuk menemukan
pihak yang menyebabkan terjadinya kegagalan konstruksi.
2. Indonesia sudah memiliki code, UU, PP, dan Permen, terkait tanggung jawab legal dari
praktisi konstruksi di Indonesia, perlu upaya untuk dapat sepenuhnya dijalankan secara
konsisten dan konsekwen.
3. Perlu dilakukan evaluasi dan perkuatan (jika diperlukan) terhadap bangunan-bangunan
gedung di Indonesia, yang berpotensi mengalami kegagalan bangunan jika gempa terjadi.
4. Langkah perhitungan desain bangunan tahan gempa adalah kompleks, dibutuhkan spesialis
untuk melakukan desain.
5. Ada beberapa cara pendekatan yang diperkenalkan di sini, untuk memberikan
metode alternatif cara yang sederhana tapi tetap memberikan desain yang konservatif,
dalam mendesain gedung tahan gempa.
DAFTAR PUSTAKA
Bertero, R. D. and Bertero, V V. (2004), Performance-Based Seismic Engineering: Development and
Application of a Comprehensive Conceptual Approach to the Design of Buildings. Chapter 8,
Earthquake Enginering: From Engineering Seismology to Performance-Based Engineering, Y.
Borzognia and V. V. Bertero (editors), CRC Press, Boca Raton, Florida.

Irsyam, M. (2010), Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 untuk Perencanaan Infrastruktur Tahan
Gempa Sesuai ASCE 7-10, Seminar Nasional HAKI.

UU No 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

PP No. 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi beserta perubahannya
PP No. 4 tahun 2010 dan PP No. 92 tahun 2010.

PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi beserta perubahannya PP RI No. 59
Tahun 2010.

PP No. 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, beserta perubahannya.

Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahbeserta perubahannya


Perpres 70 tahun 2012.

Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2015 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat.

Surat Edaran No. 03/SE/M/2013 Tentang Pedoman Besaran Biaya Langsung Personil/Remunerasi
Dalam Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Jasa Konsultansi di Lingkungan Kementerian
Pekerjaan Umum.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pengawasan


Penyelenggaraan dan Pelaksanaan Pemeriksaan Konstruksi di Lingkungan Departemen Pekerjaan
Umum.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.04/PRT/M/2009 tentang Sistem Manajemen Mutu (SMM)
Departemen Pekerjaan Umum.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 09/PRT/M/2013 tentang Persyaratan Kompetensi untuk
Subkualifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil Bidang Jasa Konstruksi.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional No. 1 tahun 2014, tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 04 tahun 2011 tentang Tata

Anda mungkin juga menyukai