DISAJIKAN OLEH:
MEIBORN. SIMANJUNTAK, S.T., M.T.
PT. KARYA MANDIRI ANABEL KONSULTAN
PT. PAROMAS PERSADA CIPTA KONSULTAN
JULI 2020
Daftar isi:
1. Pendahuluan
2. Kajian Pustaka
3. Metodologi Penelitian
4. Analisa Hasil Penelitian
5. Kesimpulan dan Saran
I. PENDAHULUAN
Wilayah kepulauan Indonesia secara geologis berdiri diatas lima
lempeng tektonik aktif (ring of fire). Sehingga gempa bumi diatas 5
Skala Richter (SR) dapat terjadi hampir setiap saat di sekitar wilayah
tersebut (Tamara, 2011), dan kerusakan serta kehancuran yang terjadi
dapat sangat dahsyat sebagaimana yang menghantam Tohoku (9,0 SR)
pada tahun 2011, Aceh (8,5 SR) pada tahun 2012, dan Padang (7,9 SR)
pada tahun 2009.
Berdasarkan sejumlah kejadian dan permasalahan diatas maka sudah
saatnya menganggap perlu dilakukan penelitian lebih dalam terhadap
keandalan bangunan eksisting untuk mengetahui bagaimana keandalan
struktur bangunan yang direncanakan dengan peraturan-peraturan gempa
terdahulu.
Menurut Pribadi (2008) ada beberapa jenis kerusakan yang biasa
ditemukan pada bangunan di Indonesia, yaitu:
1. Soft story, didefenisikan sebagai tingkat pada gedung yang memiliki
sebagian besar kekakuan atau kapasitas untuk menyerap energinya sangat
kecil untuk melawan atau menahan induksi tekanan akibat gempa
terhadap gedung tersebut
Gambar 1.1 Kegagalan struktur kolom bangunan di California akibat
gempa
Sumber: pubs.usgs.gov
Gambar 1.2 Efek Soft Story yang menyebabkan keruntuhan total
struktur
Sumber: Pribadi
2. Elemen dan sambungannya yang gagal, terlepas dari bangunan.
Gambar
Gambar1.3 Kegagalan
3 Kegagalan elemen
elemen dan dan sambungan
sambungan struktur
struktur
Sumber:
Sumber: Pribadi
Pribadi
Gambar 41.4
Gambar Gedung Kantor
Gedung Pemerintah
Kantor Yang Runtuh
Pemerintah Yang Akibat
RuntukGempa
Akibat Gempa
Sumber: Iffah
Sumber: Iffah
Kerusakan tersebut dapat bersifat non-struktural dan struktural. Kerusakan
non-struktural dapat berupa retak halus pada plesteran dinding. Sementara,
kerusakan struktural dapat berupa:
a. Kerusakan ringan struktur, dimana terjadi retak kecil dengan lebar celah
0,075 – 6 cm yang menyebar luas di banyak tempat.
b. Kerusakan struktur tingkat sedang, dimana terjadi retak besar dengan lebar
celah > 6 cm yang meyebar luas di banyak tempat.
c. Kerusakan struktur tingkat berat, dimana elemen struktur mengalami
tingkat kerusakan sekitar 50%.
d. Kerusakan total, dimana dimana elemen struktur mengalami tingkat
kerusakan sebesar > 65% atau bangunan roboh seluruhnya. Kerusakan
struktural tidak dapat diabaikan dan harus dicarikan solusinya. Untuk
mendapatkan solusi yang tepat perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
keadaan dan kekuatan struktur bangunan tersebut. Dalam penelitian ini
untuk mengkaji keandalan struktur bangunan gedung beton bertulang
terhadap gempa dengan menggunakan metode yang bersifat tifdak
merusak (non-destructive test).
II. TINJAUAN PUSTAKA
Peraturan pertama tentang tata cara perencanaan struktur bangunan
gedung terhadap gempa di Indonesia dikeluarkan pada tahun 1966 (PBI
1966). Dalam peraturan ini peta daerah rawan gempa adalah Pulau
Kalimantan bagian Timur, Pulau Sulawesi bagian Utara, kepulauan
Pulau Jawa bagian Selatan, kepulauan Nusa Tenggara. Sebagaimana
dapat dilihat dalam Gambar 5 daerah Irian Jaya dalam PBI 1966 belum
dimasukan Maluku, Pulau Sumatera bagian Barat.
Gambar 5. Peta
Gambar 2.1 PetaGempa
Gempa PBI
PBI 1966
1966
Sumber: Geophysical
Sumber: PBINotes
1966No. 2 1962
Selanjutnya, pada tahun 1970 pembagian wilayah gempa dilakukan revisi
dengan diterbitkannya Peraturan Muatan Indonesia 1970 (PMI 1970), yang
sudah memasukkan Irian Jaya. Revisi PBI 1966 menjadi PMI 1970 didasari
salah satunya karena indonesia akan membangun gedung tinggi pertama (30
lantai) oleh putra bangsa, yaitu Teddy Boen dan Wiratman.
Gambar 2.2 Peta Gempa PMI 1970
Sumber: PMI 1970
Setelah terjadinya gempa di Bali (1979) yang cukup banyak menelan
korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit, para ahli gempa Indonesia
merasa perlu melakukan tinjauan ulang terhadap peta wilayah gempa
Indonesia. Selanjutnya, terbitlah Peraturan Pembebanan Indonesia 1981
(PPI 1981) sebagai revisi PMI 1970, dan Peraturan Perencanaan Tahan
Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG 1981).
Banyak hal baru yang diperkenalkan dalam peraturan ini, seperti: konsep
daktilitas struktur; konsep keruntuhan yang aman, yaitu mekanisme
goyang dengan pembentukan sendi plastis dalam balok (beam side sway
mechanism), yang mensyaratkan kolom yang lebih kuat dari balok (strong
column weak beam); dan konsep perencanaan kapasitas (capacity design).
Diperkenalkan pula tiga cara analisa yaitu; (1) Analisa beban statik
ekivalen; (2) Analisa ragam spektrum respons; dan (3) Analisa respons
riwayat waktu. Peta gempa diubah menjadi enam daerah gempa.
Gambar. 2.3. Peta Gempa PPI1981
Sumber: PPI 1981
Peraturan ini mendasarkan respons spektra yang digunakan kepada gempa
dengan periode ulang 200 tahun (kemungkinan terjadi 10 % dalam jangka
waktu kira-kira 20 tahun), setelah dibagi dengan daktilitas struktur sebesar
4. Peraturan ini kemudian berubah nama menjadi Pedoman Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung, SKBI-1.3.53.1987, UDC:
699.84.
Seiring dengan semakin bertambah besarnya gaya gempa yang terjadi
maka dikeluarkan kembali peraturan untuk Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Gedung SNI 03-1726-2002, peraturan ini
memperbaruhi peta gempa dengan tetap menggunakan enam daerah
gempa. Respons spektra yang digunakan adalah respons spektra gempa
yang kemungkinan terjadinya 10 % dalam kurun waktu 50 tahun, yaitu
gempa dengan periode ulang 500 tahun (disebut gempa rencana).
Gambar
Gambar 8 Peta
2.4 Peta Gempa2002
Gempa 2002
Sumber:
Sumber: SNISNI
03 03 1726-2002
1726-2002
Pada tahun 2004 dan 2005 terjadi beberapa kejadian gempa besar di
Indonesia, yaitu gempa Aceh dangempa Nisa, yang memiliki magnituda
lebih besar dari magnituda maksimum perkiraan sebelumnya. Sehingga,
peta gempa pada tahun 2002 dinilai kurang relevan lagi. Di samping itu,
pada beberapa tahun terakhir telah dikembangkan metoda analisis baru
yang bisa mengakomodasi model atenuasi sumber gempa tiga dimensi
(3D).
Akhirnya, dilakukan revisi peta gempa pada tahun 2010 yang dijadikan
acuan untuk membuat Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Gedung, SNI 1726-2012, sejak diterbitkannya SNI 03-1726-2002.
Penggunaan model 3D dapat menggambarkan atenuasi penjalaran
gelombang secara lebih baik dibandingkan dengan model 2-D yang
digunakan untuk penyusunan peta gempa SNI 03-1726-2002.
Gambar 2.5. Peta Gempa SNI 1726-2012
Sumber: SNI 1726-2012
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR)
telah merilis Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang
merupakan hasil pemutakhiran Peta Gempa Tahun 2010.
Peta Gempa 2010 diperbaharui dengan pertimbangan antara lain peta telah
berumur lebih dari 5 tahun; adanya identifikasi sumber kegempaan yang
baru dari sisi geologi, seismologi, dan geodesi; peningkatan keakuratan
estimasi parameter penting dalam mengkonstruksi peta gempa; dan
pendetailan sumber gempa background, menggunakan persamaan atenuasi
gelombang gempa terkini. Hasil dari Peta Gempa 2017 ditemukan banyak
sesar aktif yang muncul di berbagai wilayah di Indonesia, yang mana
sebelumnya pada Peta Gempa 2010 hanya terdapat 81 sesar aktif namun
pada Peta Gempa 2017 terdapat 295 sesar aktif (Gambar 10).
Gambar
Gambar 10
2.6Peta
Peta Gempa
Gempa RSNI 1726-2018
SNI 1726-2019
Sumber:
Sumber: RSNI 1726-2018
SNI 1726-2019
Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan terkait keandalan bangunan gedung
telah diatur secara jelas, tegas dan memadai dalam Undang-Undang (UU),
Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan
Gubernur (Pergub), Peraturan Daerah (Perda). Secara lebih teknis perihal
keandalan bangunan gedung diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
terkait perencanaan struktur gedung.
Terdapat dua jenis metode pengujian keandalan struktur bangunan gedung
yaitu metode merusak (destructive test) dan metode tak-merusak (non-
destructive test – NDT) (Karundeng, 2015). Untuk pengujian dengan cara
merusak material specimen atau detructive test, ada beberapa metode
pengujian, yaitu:
a) Pengujian tarik (tensile test) yang
b) Pengujian tekan (compressed test) material tersebut hancur
c) Pengujian bengkok (bending test)
d) Pengujian kekerasan (hardness test)
Sementara pengujian tak-merusak (non-detructive test) dapat dilakukan dengan
beberapa beberapa metode, yaitu:
a) Pemeriksaan Konfigurasi Tulangan (Covermeter)
b) Pengujian Kerapatan Mutu Beton (UPV PUNDIT Test)
c) Pemeriksaan Homogenitas Mutu Permukaan Beton (Hammer Test)
d) Pengujian Kekerasan Mutu Baja (Brinell Hardness Test).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Alur Penelitian
Penelitian atas keandalan struktur bangunan gedung beton bertulang terhadap
beban gempa berdasarkan SNI 1726:2019 ini dilakukan dalam tahapan-tahapan
yang jelas dan sistematis. Ide mengenai penelitian ini berangkat dari pengalaman
bertahun-tahun penulis, sebagai praktisi rekayasa struktur, mengamati berbagai
fakta kerusakan struktur bangunan akibat gempa dan diskusi dengan berbagai
pihak terkait tema penelitian. Selanjutnya, untuk merumuskan permasalahan
pokok penelitian dan tujuan penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam
bagian awal tesis ini, penulis melakukan pengamatan/observasi lapangan secara
serius dan terstruktur.
Observasi lapangan tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Studi lapangan, pemeriksaan secara visual lapangan.
2. Studi literatur, pemeriksaan secara peraturan dan kaidah yang berlaku.
Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data-data primer bagi penelitian
ini. Sementara, studi literatur dilakukan untuk menyusun konsep-konsep
teoritis dan relevansi penelitian ini secara keilmuan. Secara sifat, penulis
mengumpulkan data-data sekunder yang meliputi dokumen perencanaan,
dokumen pembangunan, regulasi-regulasi, dan terbitan-terbitan ilmiah yang
dapat diakses peneliti.
Penelitian ini menggabungkan kerja eksperimental dan kerja analitikal. Kerja
eksperimental dilaksanakan menggunakan metode tak-merusak (NDT) untuk
mendapatkan data-data primer berupa hasil audit struktur terhadap, masing-
masing, Stuktur A, Struktur B dan Struktur C. Terhadap masing-masing
struktur tersebut telah dilakukan Hammer test, UPV test, Cover Meter test dan
Rebar Scanner dan didapatkan keadaan terkini terkait kekuatannya
Selanjutnya, penulis melakukan analisa struktur dengan menggunakan data-
data primer tersebut. Analisa struktur dilakukan menggunakan perangkat lunak
computer berbasis metode elemen hingga, baik itu pemodelan, simulasi
pembebanan dan perhitungan gaya-gaya dalam serta tegangan-tegangan yang
timbulkan akibat komnbinasi pembebanan yang diberikan. Hasil analisa
struktur apabila Not OK, maka proses diulangi kembali dari tahap menganalisa
data hasil NDT, apabila OK maka proses dinyatakan selesai. Keseluruhan
pekerjaan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 3.1 di bawah ini.
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Keandalan Struktur Gedung
3.2. Obyek dan Lokasi Penelitian
Obyek penelitian ini adalah suatu struktur bangunan gedung yang sudah
dibangun dalam periode 1950-2018 yang berlokasi di wilayah Jakarta Pusat
diberi nama Struktur X. Ilustrasi gambar tampak Gedung X dapat dilihat
dalam Gambar 3.2
Gedung X adalah bangunan gedung perkantoran dengan jumlah lantai
sebanyak 15 lapis yang terbuat dari konstruksi beton bertulang.
Peralatan uji yang dipergunakan dalam penelitian ini dan ilustrasi
penggunaannya dapat dilihat dalam Gambar 3.3 sampai Gambar 3.10.
Gambar 3.2 Tampak Struktur X
3.3. Metodologi Pelaksanaan
• Survey Instansional, Koordinasi dan Review Dokumen
Kegiatan meliputi koordinasi dengan pihak terkait untuk menentukan arah kegiatan
dan proses singkronisasi rencana kegiatan yang berhubungan dengan perijinan dan
koordinasi wilayah pemeriksaan pada Gedung X Jakarta, review dokumen dan data
eksisting Gedung X dari pihak pengelola Gedung X di Jakarta.
Dokumen-dokumen teknis struktur yang dimiliki oleh pemilik Gedung X Jakarta
sangat penting untuk dicermati sebelum dilakukan pemeriksaan. Data-data yang
bersumber pada dokumen tersebut harus diverifikasi dengan pemeriksaan lapangan
bila dianggap perlu. Sementara data-data penting yang tidak tersedia harus dapat
diperoleh melalui pemeriksaan lapangan. Dokumen teknis struktur antara lain:
• Dokumen-dokumen dan gambar-gambar perencanaan
• Dokumen-dokumen dan gambar-gambar pelaksanaan (As-built-drawing)
• Dokumen-dokumen sertifikat bahan dan hasil uji bahan
• Pemeriksaan Visual
• Pemeriksaan Khusus
Standar
Pengujian UPV Pundit dilakukan berdasarkan BS 1881 : Part 203: 1986 dan ASTM
C597-97. Di dalam standar ini dijelaskan bahwa tranduser penerima mendeteksi
datangnya komponen pulse yang tiba lebih awal. Pengukuran Pulse Velocity dapat
dilakukan dengan 3 metode, antara lain:
• Direct transmission
• Semi-direct transmission
• Indirect/surface transmission
Metode Pengambilan
Pulse Velocity (a) Direct
Transmission, (b) Semi-
direct Transmission, (c)
Indirect/Surface
Gambar 3.3 Metode Pengambilan Pulse Velocity (a) Direct
Transmission
Transmission, (b) Semi-direct Transmission, (c) Indirect/Surface
Transmission
Non Destructive Test (NDT)
Standar
Tabel 3.1. Kriteria Penilaian Pengujian Dengan Gelombang Elektromagnetik
Peralatan
Peralatan UPV Pundit terdiri dari:
• UPV Pundit Lab+ Versi Digital
• Gurinda
• Media kalibrasi
• Ultrasonic gel/Grease
• Meteran
• Sikat Kawat
Non Destructive Test (NDT)
Gambar 3.3 Alat UPV Test Gambar 3.4 Ilustrasi pelaksanaan UPV Test
Non Destructive Test (NDT)
Metode Pelaksanaan
• Tahapan Pengujian
a. Menghubungkan probe yang berisi larutan elektroda dengan Half Potential Tester
menggunakan kabel connector dan tempelkan kabel connector beton tulangan
yang sudah dilubangi. Memastikan alat terpasang dengan benar. Mengatur ID,
dan mengkonfigurasikan alat tersebut.
b. Pengujian dilakuan dengan menempelkan probe yaitu soak pada permukaan beton
berdasarkan area marking. Melakukan penyimpanan data.
Tata cara pelaksanaan loading test telah disesuaikan dengan Peraturan Beton
Bertulang Indonesia (PBI 1971, 1983) dan SNI 2487-2019. Selain itu dipergunakan
juga American Code Institute (ACI 318) sebagai referensi untuk meneliti kekuatan
struktur eksisting secara langsung di lapangan, loading test dilakukan pada pelat
lantai yang ditentukan, dimana sistem pembebanan yang dipakai adalah beban air
yang dianalogikan sebagai beban merata.
Standar
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian loading test sebagai berikut:
• Scaffolding dan support
• Dial Gauge ketelitian 0,01 mm
• Timer
• Loading Test Form
• Terpal
• Selang
• Kayu Kasau 5/5
• Pipa besi Panjang 6 meter
• Lampu dan kabel listrik
• Pompa Air
Gambar 3.13 Dial Gauge
• Air
Non Destructive Test (NDT)
Pengujian Pembebanan (Loading Test)
Metode Pelaksanaan
Gambar 3.14 Area Pembebanan Lantai 4 Gambar 3.15 Area Pembebanan Lantai 13
Non Destructive Test (NDT)
Pengujian Pembebanan (Loading Test)
Metode Pelaksanaan
b. Pemasangan Scaffolding dan Support sebagai penyokong dial gauge yang akan
dipasang di bawah balok dan pelat pengujian. Catatan : Scaffolding dan Support
tidak boleh menumpu pada area balok dan pelat yang akan diuji.
c. Pemasangan dial gauge dipasang tepat di bawah balok bertumpu pada scaffolding
dan Support.
Pengukuran lendutan adalah inti dari loading test, dimana lendutan yang terjadi dapat
memberikan indikasi dari kekuatan struktur eksisting dan perilaku struktur pada saat
menerima beban.
Pengukuran lendutan dilaksanakan dengan mempergunakan dial dengan ketelitian 0,01
mm kapasitas 50 mm. Dial-dial tersebut dipasang pada tiang-tiang referensi yang bebas
dari pengaruh pergerakan-pergerakan yang dapat mempengaruhi pembacaan.
Selain pengukuran lendutan, perilaku struktur lainnya yang terjadi selama loading test
seperti adanya retakan, deformasi maupun gejala failure diamati dan dicatat sebagai
tambahan informasi.
Dalam hal ini lendutan maksimum untuk balok adalah ;
Lendutan ijin = L2 / 20000h
Jika lendutan yang terjadi lebih besar dari L 2/20000h, maka untuk pemulihan lendutan
(recovery) selama 24 jam minimum harus mencapai 75% dari lendutan yang terjadi.
Tabel pencatatan hasil pembacaan lendutan dapat dilihat dibawah ini.
IV. ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Hasil dan Pembahasan
1. Data Hasil Pengujian
Data Hasil UPV Pundit Test untuk mutu elemen struktur pada Struktur X diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1,1
1,268
1 1,30
0,79 0,75
Dengan cara yang sama dengan menggunakan metode interpolasi maka diperoleh
nilai Fv, sebagai berikut:
2,4
2,4588
0,4 2,80
0,3853 0,3
Lokasi bangunan berada pada Bujur 106,82388 Lintang -6,187307, termasuk
kelas situs SE (kondisi tanah lunak). Bangunan berfungsi sebagai apartemen
dengan kategori risiko II (Tabel 3 SNI 03-1726-2019) dengan Faktor Keutamaan
Gempa ( Ie ) = 1.0 (Tabel 4 SNI 1726-2019). Struktur beton bertulang dengan
sistem penahan gaya seismik yang digunakan adalah sistem rangka pemikul
momen khusu (SRPMK) koefisien modifikasi respon (R) = 8. (Tabel 12 SNI 1726-
2019).
Dari peta respon spektral parameter percepatan gempa dengan 2% kemungkinan
terlampaui dalam kurun waktu 50 tahun dan redaman 5% (SNI 1726-2019)
untuk periode 0.2 detik diperoleh Ss = 0.79 g dan parameter respon spektral
percepatan gempa untuk 1 detik S1 = 0.3853 g. Faktor amplifikasi getaran
terkait percepatan pada getaran perioda pendek (Fa) = 1,268 (Tabel 6 SNI 1726-
2019) dan factor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili getaran perioda 1
detik (Fv) = 2,4588 (Tabel 7 SNI 17262019) maka,
Parameter respons spektral percepatan pada periode pendek
Keterangan:
Ss = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk
periode pendek;
S1 = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk
periode 1,0 detik.
Dengan koefisien situs Fa dan Fv mengikuti Tabel 6 dan Tabel 7. Jika kelas situs
SE
digunakan sebagai kelas situs berdasarkan 6.1.3, maka nilai Fa tidak boleh kurang
dari 1,2.
Jika digunakan prosedur desain sesuai dengan pasal 8, maka nilai Fa harus
ditentukan
sesuai 8.8.1 serta nilai Fv, SMS, dan SM1 tidak perlu ditentukan.
Parameter percepatan spektral desain
Parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek, S DS dan pada
periode 1 detik, SD1, harus ditentukan melalui perumusan berikut ini:
2
𝑆 𝐷𝑆 = 𝑆 𝑀𝑆
3
2
𝑆 𝐷 1= 𝑆 𝑀 1
3
Keterangan:
SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada periode pendek;
SD1 = parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1 detik;
T = periode getar fundamental struktur.
= 0,18806 detik
0,945 ≥ 0,4
𝑇 𝑎=2,2378 detik
Keterangan
:
V = base shear
Cs = koefisien respons seismik yang ditentukan sesuai
dengan SNI 1726-2019 Pasal 7.8.1.1;
W = berat seismik efektif menurut SNI 1726-2019
Pasal 7.7.2.
- Perhitungan koefisien respon seismik (SNI 1726-2019, Pasal 7.8.1. Pers. 31)
Cs = SDs
R
Ie
Cs = 0,670 = 0,0838
8
1,0
Gambar 4.3. Peta Transisi Periode Panjang, T L, Wilayah Indonesia
Diperoleh nilai: Ta ≤ TL
2,2378 detik detik ≤ 20 detik
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan (3.19) tidak
perlu melebihi berikut ini:
Untuk T ≤ TL
SDS
Cs = ....................................................................................... (3.20)
R
Cs T = 0,0255
Ie
0, 607
Cs 0, 022968
8
3, 2872
1, 0
Cs = 0,000295
Maka, Cstidak
Cs harus yangkurang dari
Cs harus tidak kurang
digunakan 3
dari= 0,0255
C 0, 044 S I 0, 01 ......................................................................... (3.21)
s DS
FFx xccvxvxVV....................................................................................................
....................................................................................................(3.22)
(3.22)
dan:
Dimana :
dan:
Geser Dasar Seismik :
V W kk =
h Cs x W
C Wx hx x x = ............................................................................................ (3.23)
Cvxvx 0,0255 x 38.358.551,47
............................................................................................ (3.23)
nn k
wwhi hki=
i i11 i i
977.292,62 kg
Dimana: (Perioda, Ta
Dimana:=
k 2 = 3,2872 detik)
CCvxvx == faktordistribusi
faktor distribusivertical
vertical
VV == Gayalateral
Gaya lateraldesain
desaintotal
totalatau
ataugeser
geserdididasar
dasarstruktur,
struktur,dinyatakan
dinyatakan
dalamkilonewton
dalam kilonewton(kN)
(kN)
wwi idan
danwwx x == Bagianberat
Bagian beratseismik
seismikefektif
efektiftotal
totalstruktur
struktur(W)
(W)yang
yangditempatkan
ditempatkan
ataudikenakan
atau dikenakanpada
padatingkat
tingkati iatau
atauxx
hhi idan
danhhx x == Tinggidari
Tinggi daridasar
dasarsampai
sampaitingkat
tingkati iatau
ataux,x,dinyatakan
dinyatakandalam
dalam
dan:
Wx hxk
Cvx ............................................................................................ (3.23)
i1 wi hik
n
Dimana:
Cvx = faktor distribusi vertical
V = Gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur, dinyatakan
dalam kilonewton (kN)
wi dan wx = Bagian berat seismik efektif total struktur (W) yang ditempatkan
atau dikenakan pada tingkat i atau x
hi dan hx = Tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x, dinyatakan dalam
meter (m)
k = eksponen yang terkait dengan perioda struktur sebagai berikut:
untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 0,5 detik atau
kurang, k=1
untuk struktur yang mempunyai perioda sebesar 2,5 detik atau
lebih, k=2
untuk struktur yang mempunyai perioda antara 0,5 dan 2,5 detik,
k harus sebesar 2 atau harus ditentukan dengan interpolasi linier
antara 1 dan 2
Analisa harus dilakukan untuk menentukan ragam getar alami untuk struktur. Analisa harus
menyertakan jumlah ragam yang cukup untuk mendapatkan partisipasi massa ragam
terkombinasi sebesar 100% dari massa struktur.
Tc = 0,06
T = Tc ≤ Ta maks
= 0,06 ≤ 3,287 OK
2. Denah Struktur
Struktur atas dimodelkan sebagai sistem rangka beton bertulang yang dijepit pada lantai
basement dan terdiri atas kolom, balok dan pelat dengan dimodelkan menggunakan
progran komputer ETABS secara 3 dimensi.
Konsep Perhitungan Struktur
a. Kolom
Kolom direncanakan sebagai kolom beton dengan analisa dari output ETABS dan
pengecekan dengan bantuan SPColumn, serta pengecekan perhitungan secara manual.
b. Balok
Balok direncanakan menggunakan balok beton dengan analisa output Etabs dan
pengecekan perhitungan secara manual.
c. Pelat Lantai
Pelat direncanakan menggunakan beton konvensional dengan analisa perhitungan
menggunakan bantuan formula Excel.
Pemodelan Struktur Eksisting
Gambar 4.21. Bidang Gaya Dalam Momen Gambar 4.22. Bidang Gaya Dalam
Akibat Beban Gempa Geser Akibat Beban Gempa
Tabel 4.22 Simpangan antar tingkat izinΔ struktur X ab
a
Kategori risiko
Struktur
I atau II III IV
Struktur, selain dari struktur dinding geser batu bata, 4 tingkat
atau kurang dengan dinding interior, partisi, langit-langit dan
0,025 h sx
c 0,020 h 0,015 h
sistem dinding eksterior yang telah didesain untuk sx sx
mengakomodasi simpangan antar tingkat.
Struktur dinding geser kantilever batu batad 0,010 h 0,010 h 0,010 h
sx
Struktur dinding geser batu bata lainnya 0,007 h sx 0,007 h 0,007 h sx
Semua struktur lainnya 0,020 hsx sx 0,015 h
sx
0,010 h sx
sx sx
Dari Tabel 4.22 diatas didapat simpangan ijin antar lantai untuk kategori resiko II (struktur lainnya),
untuk Struktur A sebesar 0,020 h sx .
Didapatkan hasil bahwa persyaratan simpangan antar lantai pada arah X dan arah Y, sehingga Struktur
A, terpenuhi untuk memenuhi persyaratan kemampuan layan. Hasil perhitungan simpangan antar lantai
untuk kedua arah X dan Y dapat dilihat dalam Tabel 4.21 dan Tabel 4.22 .
Berdasarkan SNI 1726:2019 torsi terdiri atas torsi bawaan dan torsi tidak terduga. Nilai eksentrisitas
dari torsi bawaan arah X dan arah Y Struktur A dapat dilihat dalam Tabel 4.23. dan Tabel 4.24..
Tabel 4.23. Simpangan antar lantai arah X struktur X
Story h (m) CM Displ (mm) δxe (mm) δx (mm) δijin (mm) STATUS
ROOF 5,125 48,2398 -1,0163 -5,58965 102,5 OK
L14 5,1 49,2561 0,3242 1,7831 102 OK
L13 5,1 48,9319 0,1136 0,6248 102 OK
L12 5,1 48,8183 0,0276 0,1518 102 OK
L11 5,1 48,7907 0,0055 0,03025 102 OK
L10 5,1 48,7852 -0,057 -0,3135 102 OK
L9 5,1 48,8422 0,0941 0,51755 102 OK
L8 5,1 48,7481 -0,1054 -0,5797 102 OK
L7 5,1 48,8535 0,1016 0,5588 102 OK
L6 5,1 48,7519 -0,0014 -0,0077 102 OK
L5 5,1 48,7533 -0,0046 -0,0253 102 OK
L4 5,1 48,7579 0,0393 0,21615 102 OK
L3 3,085 48,7186 27,8411 153,12605 61,7 NOT OK
ROOF
STORAG 3,375 20,8775 -21,7406 -119,5733 67,5 OK
E
L2 5,1 42,6181 -0,6743 -3,70865 102 OK
L1 5,1 43,2924 43,2924 238,1082 102 NOT OK
Tabel 4.24. Simpangan antar lantai arah Y struktur X
Story h (m) CM Displ (mm) δxe (mm) δx (mm) δijin (mm) STATUS
ROOF 5,125 45,7395 0,0159 0,08745 128,125 OK
L14 5,1 45,7236 0,0052 0,0286 127,5 OK
L13 5,1 45,7184 0,1493 0,82115 127,5 OK
L12 5,1 45,5691 0,0582 0,3201 127,5 OK
L11 5,1 45,5109 -0,0049 -0,02695 127,5 OK
L10 5,1 45,5158 -0,0255 -0,14025 127,5 OK
L9 5,1 45,5413 0,0384 0,2112 127,5 OK
L8 5,1 45,5029 0,0241 0,13255 127,5 OK
L7 5,1 45,4788 -0,0239 -0,13145 127,5 OK
L6 5,1 45,5027 0,0017 0,00935 127,5 OK
L5 5,1 45,501 -0,0017 -0,00935 127,5 OK
L4 5,1 45,5027 -0,0001 -0,00055 127,5 OK
L3 3,085 45,5028 -19,5733 -107,65315 77,125 OK
ROOF
3,375 65,0761 27,1823 149,50265 84,375 NOT OK
STORAGE
L2 5,1 37,8938 0,5041 2,77255 127,5 OK
L1 5,1 37,3897 37,3897 205,64335 127,5 NOT OK
Tabel 4.25. Pengecekan Torsi arah Sumbu X
Story δmax (mm) δmin (mm) δAVG (mm) 1,2 δAVG (δmax/1,2 δAVG)2 Hasil
TIDAK ADA
ROOF 48,240 48,2398 48,240 57,888 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L14 49,2561 49,2561 49,256 59,107 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L13 48,932 48,9319 48,932 58,718 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L12 48,818 48,8183 48,818 58,582 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L11 48,791 48,7907 48,791 58,549 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L10 48,785 48,7852 48,785 58,542 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L9 48,842 48,8422 48,842 58,611 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L8 48,748 48,7481 48,748 58,498 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L7 48,854 48,8535 48,854 58,624 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L6 48,752 48,7519 48,752 58,502 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L5 48,753 48,7533 48,753 58,504 0,694 TORSI
TIDAK ADA
Tabel 4.26. Pengecekan Torsi arah Sumbu Y
δAVG
Story δmax (mm) δmin (mm) 1,2 δAVG (δmax/1,2 δAVG)2 Hasil
(mm)
TIDAK ADA
ROOF 45,740 45,740 45,740 54,887 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L14 45,724 45,724 45,724 54,868 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L13 45,718 45,718 45,718 54,862 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L12 45,569 45,569 45,569 54,683 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L11 45,511 45,511 45,511 54,613 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L10 45,516 45,516 45,516 54,619 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L9 45,541 45,541 45,541 54,650 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L8 45,503 45,503 45,503 54,603 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L7 45,479 45,479 45,479 54,575 0,694 TORSI
TIDAK ADA
L6 45,503 45,503 45,503 54,603 0,694 TORSI
TIDAK ADA
Untuk mengecek jenis torsi yang terjadi maka dilakukan perbandingan antara nilai
rata rata yang telah difaktorkan dengan max yang ada. Dengan ketentuan sebagai
berikut:
max 1, 2 rata rata maka struktur dianggap tanpa ketidakberaturan torsi
Pada bagian ini, akan direview hasil analisis struktur terhadap kondisi eksisting.
Analisis berikut mengikutsertakan hasil pembebanan akibat gempa. Berikut hasil
analisisnya:
Diambil salah satu contoh penulangan yang terpasang pada gambar struktur
(dilingkari merah). Lalu dengan penampang balok G12-35X75(3-1) dengan
spesifikasi seperti di bawah:
Pemeriksaan Balok Struktur
Pada bagian ini, akan direview hasil analisis struktur terhadap kondisi eksisting. Analisis
berikut mengikutsertakan hasil pembebanan akibat gempa. Berikut hasil analisisnya:
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa balok ini mampu terhadap geser
namun pada pemeriksaan lentur negatif dan positif, kapasitas balok belum
memenuhi persyaratan.
Hasil Gaya Dalam
Balok B
Luas tulangan positif kebutuhan: 3683 mm2 terpasang 10D32, As: 8045,714286
Luas tulangan positif kebutuhan: 3683 mm2 terpasang 10D32, As: 8045,714286
Luas tulangan positif kebutuhan: 3683 mm2 terpasang 10D32, As: 8045,714286
Luas tulangan positif kebutuhan: 3683 mm2 terpasang 10D32, As: 8045,714286
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa balok ini mampu terhadap geser dan
pada pemeriksaan lentur negatif dan positif, kapasitas balok belum memenuhi
persyaratan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa balok ini mampu terhadap geser dan
pada pemeriksaan lentur negatif dan positif, kapasitas balok juga masih
memenuhi.
Secara keseluruhan diperoleh data kesimpulan atas Rasio kapasitas Balok
terhadap Beban Rencana, seperti dapat dilihat dibawah ini.
Tabel 4.27 Tabel Rasio Kapasitas Balok Struktur X
Tabel 4.27 Tabel Rasio Kapasitas Balok Struktur X
Tabel 4.27 Tabel Rasio Kapasitas Balok Struktur X
Tabel 4.27 Tabel Rasio Kapasitas Balok Struktur X
Tabel 4.27 Tabel Rasio Kapasitas Balok Struktur X
Pemeriksaan Kolom
Secara praktis keandalan elemen struktur beton bertulang ditentukan sebagai rasio
antara besaran beban yang bekerja dibandingkan dengan kapasitas beban yang
dimiliki oleh elemen struktur tersebut, khususnya elemen kolom struktur.
Pada Struktur X, Kolom 60/60 memiliki kapasitas kekuatan kolom yang cukup
untuk menahan beban yang bekerja, dimana rasio keandalan terbesar adalah
0,924 sehingga masih terdapat cadangan kekuatan kolom.
Kolom 70/200 secara umum dalam kondisi baik namun terjadi kegagalan struktur
kolom karena terdapat gaya aksial yang besar pada kombinasi beban
DCon26max, DCon28max dimana rasio terbesar adalah 1,122 yang artinya
kapasitas kolom masih dibawah beban rencana yang bekerja khusus pada
kombinasi beban untuk beban-beban gempa, seperti yang ditunjukkan didalam
Gambar 4.32 sampai Gambar 4.35.
Gambar 4.33 Cek Kolom 70x140
Gambar 4.34 Cek Kolom 70x160
Gambar 4.35 Cek Kolom 60x60
Gambar 4.36 Cek Kolom 70x200
Berikut ini adalah Tabel Hasil Perhitungan Rasio Kapasitas Kolom,
Pada Gambar 4.40 di bawah ini, diperlihatkan bahwa semua rasio geser join
mengalami N/A atau Not Applicable, rasio lebih besar dari 1, maka kegagalan
geser pada joint dapat mengakibatkan runtuhnya bangunan apabila terjadi gempa.
Ketika terjadi plastifikasi dibalok, gaya yang terjadi di dalam balok akan
ditransfer ke dalam kolom. Oleh karena itu, momen kapasitas kolom harus
sanggup menerima gaya yang terjadi. Momen tersebut juga tidak terlepas dari
gaya geser. Ketika kolom bergoyang, sambungan balok dan kolom akan
mengalami gaya tarik dan tekan karena ikut menahan kolom yang bergoyang.