Anda di halaman 1dari 48

Tugas Translate

Kerusakan Retina yang dinduksi cahaya: Tinjauan Peran


Rhodopsin Chromophore

Oleh :
Kinanti

G0007094
Penguji:

Dr. Halida Wibawaty., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012

Kerusakan Retina yang dinduksi cahaya: Tinjauan Peran


Rhodopsin Chromophore
Maigorzata Rotanowska* and Tadeusz Sarna2
School of Optometry and Vision Sciences, Cardiff University, Cardiff, UK
Department of Biophysics, Faculty of Biotechnology, Jagiellonian University, Krakow, Poland
Diserahkan 13 November 2004; Diterima 24 August 2005; dipublikasikan online 24 August 2005 DOI:
10.1562/2004-11-13-1R3-371

Abstrak
Pigmen visual rhodopsin yang dapat beregenerasi telah diketahui bertanggungjawab
penuh terhadap terjadinya photodamage retina akut. Fotoeksitasi rhodopsin menyebabkan
isomerisasi molekul chromophore 11-cis-retina menjadi all-trans retina (ATR). ATR
merupakan fotosensitizer yang potensial dan perannya dalam memfasilitasi terjadinya
photodamage telah dicurigai sejak dua dekade terakhir. Namun demikian, masih sedikit
pembuktian eksperimental mengenai keberadaan ATR bebas di retina pada konsentrasi cukup
untuk memacu resiko kerusakan fotosensitif. Indentifikasi retina terkhusus dimer retina dan
bisretinoid piridinium, disebut sebeagai A2E, dan penentuan jalur biosintesisnya
menunjukkan jumlah substansial ATR yang tertumpuk di retina. Light damage dan akumulasi
A2E terjadi dibawah kondisi dimana siklus retinoid yang efisien terjadi. Siklus retinoid yang
efisien menyebabkan regenerasi cepat rhodopsin, yang berakibat pada lepasnya ATR dari
exit side molekul opsin sebelum reduksi enzimatik pada all-trans-retinol. Pada tinjauan ini,
penulis mendiskusikan photodamage retina dimana ATR dapat berperan sebagai toksik utama
dan atau agen fototoksik. Selain itu, penulis mendiskusikan produk sekunder properti
(foto)toxic yang terakumulasi diantara lipofuscin retina sebagai akibat dari akumulasi ATR.
Latar Belakang
Fungsi primer retina adalah untuk mendeteksi keberadaan photon dari cahaya tampak.
Meskipun demikian, paparan retina terhadap kelebihan masuknya cahaya, meskipun berada
dibawah kadar cukup untuk menginduksi gangguan termal, dapat menyebabkan kerusakan
retina. Penulisan ini memberikan tinjauan literature pada kerusakan retina yang diinduksi
cahaya, diikuti dengan overview singkat siklus pigmen visual dan pada akhirnya diskusi
peran dari siklus retinoid terhadap akumulasi chromophore pigmen visual terisomerisasi, alltrans-retinal (ATR) dan kerentanan kerusakan retina yang diinduksi cahaya. Selain itu,
penulis mendiskusikan efek jangka panjang akumulasi ATR-akumulasi lipofuscin, yang dapat

menyebabkan disfungsi retina dan lebih lanjut dapat meningkatkan kerentanan terjadinya
kerusakan retina yang diinduksi cahaya.
Kerusakan retina yang diinduksi cahaya
Untuk menyebabkan kerusakan, cahaya perlu mencapai dan diabsorbsi di retina.
Karakteristik spektral dan level iradiasi cahaya mencapai retina tergantung dari absorbsi
properti segmen inferior mata (1-4). Kornea mengabsorbsi cahaya dibawah 300 nm. Lensa
pada anak mentransmisikan hanya sebagian, sisa sinar ultraviolet dengan transmisi window
berpusat pada 320 nm namun intensitas cahaya progresif dari UV yang mengabsorbsi
chromophores dan, pada usia 22, hanya cahaya visible lebih dari 290 nm yang efisien
ditransmisikan melalui lensa. Sebagai akibatnya, pada orang dewasa lensa normal kurang dari
0.1-1% sinar UV yang mencapai retina (1,3,5). UV dan cahaya visible gelombang pendek
diketahui merupakan penyebab kerusakan retina pada paparan berulang tanpa perlindungan
mata yang sesuai(6,7). Penuaan diikuti dengan penguningan progresif lensa menyebabkan
penurunan bertahap transmisi cahaya visible gelombang pendek ke retina (1,4).
Photodamage retina pada manusia telah secara luas diketahui setelah didapati pasien
yang melihat matahari saat gerhana matahari (8-10) atau pada studi terkontrol pada pasien
dengan melanoma malignan yang dijadwalkan menjalani enukleasi (11-13). Iradiasi retina
pada mata manusia yang melihat matahari tengah siang diperkirakan antara 1.5 dan 122
W/cm2 tergantung dari diameter pupil (14,15) dan paparan bertahan beberapa menit sampai
10 menit dimana durasi ini cukup untuk menyebabkan kerusakan yang terlihat dengan
pemeriksaan optalmoskop.
Studi pada hewan monyet menunjukkan level iradiasi retina yang lebih kecil 5 450
meskipun dengan durasi paparan yang hampir sama menghasilkan kerusakan retina yang
terdeteksi dengan pemeriksaan histologis (14). Sebagai contoh, paparan dengan anestesi
terhadap monyet rhesus selama 15 menit menyebabkan iradiasi retina 0.27 W/cm2 dari
opthalmoscope indirek (dosis 243 J/cm2)

menghasilkan kerusakan berat fotoreseptor dan

perubahan pigmen epitelial retina (RPE) (14). Paparan pada retina monyet cynomolgus
terhadap cahaya dari mikroskop operasi (3816 J/cm2; iradiasi 1.06 W/cm2 selama satu jam)
menyebabkan perubahan berat fovea : gangguan susunan fotoreseptor segmen luar, pyknosis
fotoreseptor nukleus, pembengkakan axon fotoreseptor, formasi vakuola RPE, dimana fovea
tengah menjadi nekrosis meskipun tidak didapatkan kerusakan nyata yang tampak melalui
pemeriksaan opthalmoskop (16).
Selama operasi okuler manusia, iradiasi retina dari mikroskop operasi

dapat

mencapai 0.97 W/cm dan prosedur dapat mencapai 2 jam (17). Oleh karena itu operasi okular

juga dipertimbangkan menimbulkan resiko photodamage retina (dapat dilihat review


Kirkness[17], Lerma [2], Sliney [18] dan Michael dan Sternberg[19]). Beberapa studi kasus
menunjukkan bukti yang menyokong teori bahwa operasi okular dapat menimbulkan resiko
kerusakan retina yang diinduksi cahaya (20-23). Dapat diperkirakan bahkan pemeriksaan
opthalmoskop dalam waktu lama dapat memicu resiko kerusakan retina opthalmoskop
indirect biasanya menyebabkan level iradiasi retina sampai dengan 0.13 W/cm2, sebagaimana
slit lamp biomikroskop sampai dengan 0.35 W/cm2 (17).
Iradiasi retina pada siang hari telah diperkirakan tidak jauh dari perkiraan 0.02
nW/cm2 sampai dengan 0.1 mW/cm2 (24). Geometri okuler dan respon aversi behavioral
terhadap cahaya, secara khusus, terhadap komponen gelombang pendek, memberikan
mekanisme proteksi terhadap paparan berlebih radiasi vissible (3,25). Namun demikian,
mekanisme ini tidak cukup sepenuhnya untuk mencegah photodamage retina. Paparan kronis
terhadap cahaya matahari terang dapat menyebabkan penurunan akuitas visual dan gangguan
adaptasi gelap dan penglihatan malam hari (26). Paparan kronis jangka panjang terhadap
radiasi matahari atau komponen birunya selama usia hidup telah didentifikasi sebagai salah
satu faktor resiko degenerasi makular terkait usia / age-related macular degeneration
(AMD), penyebab utama kebutaan pada lansia (27,28). Resiko berkembangnya AMD atau
AMD atau perkembangan late AMD menjadi lebih besar setelah operasi katarak (29-31). Hal
ini diperkirakan berhubungan dengan paparan terhadap cahaya dari mikroskop operasi selama
tindakan bedah (32) dan atau karena peningkatan transmisi gelombang pendek cahaya dengan
pemasangan lensa intraokuler (33,34).
Latar belakang genetik selanjutnya dapat menjadi predisposisi kerusakan (35,36).
Sebagai contoh, tingkat keparahan retinitis pigmentosa pada pasien dengan mutasi proline23-histidine (P23H) rhodopsin telah diketahui berhubungan dengan riwayat paparan kuat
matahari atau sumber cahaya lainnya (36). Mutasi P23H menyebabkan rendahnya abilitas
rhodopsin untuk terlipat secara benar setelah sintesis dan ikatan lemah pada 11-cis-retina,
yang berakibat pada stabilitas termal yang rendah dari rhodopsin yang termutasi (37).
Untuk mengerti mekanisme yang bertanggung jawab efek deleterious cahaya,
beberapa hewan diuji kerusakan yang terjadi karena cahaya dan penyakit retina telah
dikerjakan. Sebagai contoh, eksperimen terhadap hewan transgenik yang mengalami mutasi
trnagenik Rhodopsin P23H menunjukkan pada mutan lebih rentan terjadi photodamage
dibandingkan hewan liar lainnya dan diketahui bahwa paparan cahaya mempercepat progresi
perubahan degeneratif fotoreseptor (38-42).

Berdasarkan lokasi kerusakan awal dan kondisi iradiasi yang telah digunakan,
beberapa hasil photodamage retina yang berbeda telah diidentifikasi, dimana sejumlah
mekanisme berbeda yang bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan fotoreseptor RPE, sel
muller (12,43), pembengkakan mitokondria (44) dan formasi vakuola melalui semua lapisan
retina (42,45) dan akhirnya destruksi neuron retina dan RPE (dapat dilihat review oleh Reme
dkk[46,47]), Organisciak dan Winkler [48]. Lerman [2] dan Lanum [49]). Telah
didemonstrasikan melalui pemantauan dari waktu ke waktu aksi kerusakan cahaya
fluorescein pada retina tikus dimana fotoreseptor yang pertama kali menunjukkan tanda
kerusakan disrupsi dan vesikulasi dari segmen luar/ outer segmen (OS) dan nukleus pyknotic
segera setelah dua jam paparan terhadap cahaya flourescein difus (3000 lux) (50). Apoptosis
pada RPE dapat terlihat hanya setelah lima jam dan deteorisasi terjadi sampai dengan kondisi
akhir pada 72 jam (50). Tinjauan ini berfokus pada photodamage retina yang terjadi pada
fotoreseptor sel dan RPE, meskipun cahaya perlu melalui beberapa lapisan neuron pada
lapisan dalam retina/inner retina sebelum mencapai lapisan luar/outer layer ini (gambar.1).

Gambar 1. Diagram skematik mata (a) dan retina (b). Skema tidak untuk mengukur.
Diagram retina menggambarkan hanya sel yang didiskusikan dalam tinjauan ini, dan semua
neuron second-order dihapuskan untuk membuat gamban lebih jelas. IS, inner segment,
nukleus; MT, mitokondria, MS, melanosome; RS, retinosome, PH, fagosom, LF, lipofuscin.
Sel fotoreseptor (batang dan konus) bertanggung jawab terhadap absorbsi foton,
fototransduksi dan mengirim sinyal neuron lainnya. Hal ini merupakan salah satu sel yang
paling aktif metabolisme nya dalam tubuh (51,52). OS nya terdiri dari discus yang stagnansi
flat dics atau membran lamelar yang terbentuk dari lapisan bilayer lipid yang berisi pigmen
visual konsentrasi tinggi. Pada kedua sel batang dan konus, pigmen visual terdiri dari protein
transmembran yang terikat melalui linkage protonated Schiff base lysine pada 11-cis-retina.
Perbedaan komposisi asam amino yang berdekatan dengan 11-cis-retina bertanggung jawab

pada Spectral tuning absorbsi pigmen visual terhadap panjang gelombang yang berbeda
pada sel konus dan batang.
Fotoreseptor berhubungan erat dengan sel kuboid polarized monolayer, RPE (53).
RPE penting dalam fungsi fotoreseptor dan ketahanannya serta fungsinya termasuk uptake,
transpor, dan cadangan retinoid. Sejumlah mikrovili pada permukaan apikal sel RPE
menunjukkan 5-10 m sampai pada matrix interfotoreseptor disekitar OS, dimana hal ini
dipertimbangkan memfasilitasi pertukaran diantara dua tipe sel ini. RPE berperan penting
dalam penyediaan nutrisi, daur ulang/ recyling ATR dan pembaruan molekuler OS : rantai
akhir OS tertumpuk setiap harinya dan difagositosis RPE, yang membentuk pseudopodia
transien yang terlibat dalam proses ini.
Dependensi panjang gelombang terhadap kerusakan retina yang diinduksi cahaya
Efek paparan retina terhadap masuknya cahaya berlebih terlah dipelajari secara
mendalam terutama pada hewan pengerat pada malam hari (46,54), dimana lebih rentan
terhadap kerusakan yang diakibatkan cahaya daripada hewan monyet. Pada tikus albino, aksi
spektrum photodamage retina diinduksi oleh lamanya paparan selama 6 jam sampai intensitas
sekitar 0.7-0.9 mW/cm2 dan dinilai berdasarkan kehilangan fotoreseptor,

keberadaan

panjang gelombang maximum 500nm menyebabkan absorbsi maximum Rhodopsin (55).


Ambang kerusakan yang diinduksi sinar hijau terdeteksi melalui elektroretinografi
diperkirakan untuk iradiasi retina sekitar 0.001 mW/cm2 diberikan selama 3 sampai 4 jam
(10.8-14.4 ml/cm2) (56). Pada kerusakan jenis ini bagian awal kerusakan terbatas pada sel
betang yang mati memlalui mekanismme apoptosis (46,54).
Ada perbedaan kerentanan terhadap kerusakan akibat cahaya diantara hewan malam
seperti tikus dan primata diurnal. Spektrum aksi photodamage retina paling tinggi pada 500
nm yang diobservasi secara eksklusif pada tikus dimana teradaptasi dengan sirkardian dim
light/ siklus malam selama setidaknya 2 minggu (55,56). Beberapa mekanisme adaptif
terhadap cahaya lingkungan sekitar dapat berperan penting dalam determinasi ambang
kerusakan karena cahaya. Penulis memasukkan up-regulasi pertahanan antioksidan dan faktor
survival (57-63).
Dimungkinkan mekanisme paling penting adaptasi jangka panjang terhadap cahaya
lingkungan sekitar termasuk down-regulasi rhodopsin sintesis rhodopsin dan meningkatkan
degradasi rhodopsin termediasi ubiquitin pada fotoreseptor segmen dalam (64,65). Sebagai
hasilnya, konsentrasi rhodopsin pada OS lebih kecil pada hewan lebih kecil yang dipelihara
pada kondisi terang daripada hewan yang dipelihara pada kondisi gelap. Keadaan ini

membutuhkan sekitar 3 minggu untuk retina tikus mencapai plateu level konsentrasi
rhodopsin yang baru selama peningkatan level cahaya tempat hewan dipelihara (64).
Mekanisme adaptive terhadap cahaya lingkungan sekitar efektif dalam mencegah kerusakan
retina yang diinduksi cahaya (57,66-68). Tikus dipertahankan dalam kondisi gelap selama 2
minggu sebelum paparan terhadap cahaya menyebabkan kerusakan retina extensif namun
ketika tikus dipelihara dalam keadaan terang menyebabkan kerusakan yang sangat kecil, jika
ada, tanda kerusakan retina (68). Perbandingan kerentanan photodamage retina tikus terbagi
menjadi dua level siklus cahaya yang mengindikasikan ambang kerusakan dapat meningkat
pada hewan dengan pemeliharaan pada kondisi lingkungan cahaya terang (57,66). Tikus yang
dipelihara pada siklus terang mengalami peningkatan kerentanan photodamage retina dengan
penuaan, dimana tikus dipelihara dalam kondisi gelap sama rentannya kerusakan diinduksi
cahaya pada usia yang berbeda beda (67).
Rhesus kera, dimana respon sel batang tersaturasi karena keberadaan background
cahaya putih, kerusakan dapat digolongkan selektif terhadap sel batang biru, hijau dan merah
dengan seseri paparan cahaya narrow-band 463 nm dan 520 nm dan cahaya broad-band pada
kisaran 630-720 nm (69,70). Sebagai kelanjutan dari kerusakan sel batang hijau dan merah,
dimana fungsi sel konus kembali setelah beberapa minggu, paparan berulang terhadap cahaya
biru menyebabkan kehilangan ireversibel sensitivitas terhadap cahaya biru dan kerusakan
permanen pada sel konus.
Paparan retina terhadap level iradiasi tinggi relatif menyebabkan aksi spektra serupa
pada baik rodent dan primata menunjukkan efisiensi induksi kerusakan secara cepat
meningkat dibawah 500 nm dan peningkatan selanjutnya denga penurunan panjang
gelombang iradiasi sampai dengan panjang gelombang terendah yang telah dipelajari 320 nm
(71,72). Dosis ambang ultraviolet dan gelombang pendek cahaya biru (320-400 nm) hanya
merusak fotoreseptor (71,73). Ambang kerusakan yang diinduksi cahaya lebih dari 400 nm
juga menyebabkan kerusakan pada RPE (15,71,74). Paparan jenis ini memiliki hasil yang
serupa pada semua spesies yang diteliti dan iradiasi pada banyak kali paparan (71,72).
Sebagai contoh, Ham dkk (72) menentukan resiproksitas paparan terhadap cahaya 325 nm
memiliki ambang kerusakan dengan dosis 5 J/cm22 baik untuk 100 s paparan pada level
iradiasi retina 50 NW/cm2 artau 1000 s paparan pada level iradiasi retina 5 mW/cm2.
Efek cahaya yang merusak terhadap morfologi retina
Untuk menentukan lokasi primer dan runtutan kejadian pada kerusakan yang
diinduksi cahaya, Busch skk memonitor perubahan waktu intervensi pada retina tikus

dilanjutkan dengan paparan cahaya narrow-band berpusat kisaran 380 nm atau 470 nm.
Kerusakan terlihat dengan funduskopi, pemeriksaan paling sering dilakukan pada 3 hari
setelah paparan terhadap cahaya yang merusak dan terjadi pada dosis 0.6 J/cm2 dan 500
J/cm2 untuk cahaya 380 nm dan 470 nm.
Pemeriksaan histologis menunjukkan kerusakan fotoreseptor terjadi pada dosis 0.45 J/cm2
cahaya 380 nm (74). Sesegera setelah paparan 3 jam cahaya 380 nm sel RPE dipenuhi
dengan fagosom tetapi terlepas dari itu tampak normal. Setelah 3 minggu RPE tampak sangat
normal meskipun dosis mencapai 2.5 kali dosis ambang tetapi hampir semua fotoreseptor
hilang.
Perubahan awal yang diobservasi pada RPE sebagai respon ambang dosis cahaya 470
nm dimasukkan sebagai distribusi allternatif melanosome, sel membengkak dan beberapa
inklusi tersembunyi pada sitoplasma, dimana beberapa fotoreseptor (<1%) memiliki nukleus
pyknotic (74). Dosis yang lebih besar, mencapai 1.5 kali dosis ambang, menyebabkan
kerusakan fotoreseptor dan gambaran sel fagositik dan melanosome lapisan OS perubahan
terlihat sekitar 1 dan 3 hari setelah paparan. Dua bulan setelah paparan, retina terlihat normal
kecuali pada penipisan lapisan fotoreseptor nukleus bertanggung jawab pada kerusakan
sampaii dengan 6% reseptor. Dosis 2.5 kali lebih besar dari dosis ambang radiasi 470 nm
menyebabkan degenerasi fotoreseptor. Sel RPE membengkak dan beberapa interupsi
monolayer RPE. RPE tampak sembuh setelah dua bulan, sebaliknya fotoreseptor mengalami
kerusakan masif.
Stadium akhir keseluruhan kerusakan yang tampak serupa dengan kerusakan akibat
paparan cahaya 380 nm dan 470 nm (74). Pemeriksaan histologis diperlukan untuk
membuktikan aksi kerusakan cahaya 2 bulan setelah paparan sebagaimana perubahan pada
fundus sulit dilihat. Sebagaimana dosis yang diperlukan untuk menginduksi kerusakan
dengan cahaya 470 nm 830 kali lebih besar daripada cahaya 380 nm, beberapa pakar
memperdebatkan kerusakan retina yang diinduksi cahaya flourescein putih terutama
disebabkan komponen gelombang pendek pada spektrumnya (74).
Efek Skrining pada Retina
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam membandingkan efek panjang gelombang
yang berbeda pada awal kerusakan adalah transmisi cahaya melalui retina. Rhodopsin
memiliki spektrum absorbsi yang luas pada manusia terutama pada panjang gelombang 480
nm. Dengan mengetahui densitas optical spesifik dari OS sel batang dan panjang OS pada
area berbeda pada retina dan insidensi absorbsi cahaya oleh OS dan presentasi cahaya yang

ditransmisikan pada RPE dapat diperkirakan. Densitas optical spesifik dari OS sel batang
pada panjang gelombang 500 nm adalah sekitar 0.015 m-1 (75). Nilai absorbance 0.47 dan
0.36 pada panjang gelombang 500 nm pada perifovea dan sel batang periferal,
bertanggungjawab terhadap konsentrasi rhodopsin pada OS 3.5 mM. Hal ini sesuai dengan
konsentrasi rhodopsin yang biasa dikutip pada OS adaptasi gelap sekitar 3 mM (76). Cahaya
500 nm pada adaptasi gelap retina sebagian akan diabsorbsi oleh OS sehingga hanya 34 %
dan 44% cahaya akan ditransmisikan pada RPE perifovea dan retina perifer.
Meskipun demikian, paparan cahaya terhadap retina pada kebanyakan eksperimen
menyelidiki kerusakan yang diinduksi cahaya menyebabkan bleaching semua rhodopsin pada
menit pertama paparan (71). Produk utama photobleaching, metarhodopsin II (Meta II),
metarhodopsin III (Meta III) dan ATR, menyebabkan absorbsi spektrum broad-band maximal
380 nm, 470 nm dan 380 nm. Koefisien molar extinction pada panjang gelombang maximum
absorbance untuk Meta II, Meta III, dan ATR hampir serupa dengan rhodopsin (77,78).
Dengan berasumsi semua rhodopsin diubah menjadi campuran Meta II, ATR dan opsin, lebih
dari separuh insiden photon cahaya 380 nm secara efisien diabsorbsi OS sehingga hanya 34%
dan 44% cahaya gelombang pendek ditransmisikan ke RPE perifovea dan area perifer. hal ini
mengindikasikan sebagian fotoreseptor dapat secara parsial melakukan skrining RPE dari
cahaya gelombang pendek selama eksperimen dimana sebagian besar rhodopsin mengalami
bleaching. Efek skring fotoreseptor dapat mempengaruhi aksi spektrum photodamage
terhadap RPE yang diobservasi menentukan kasus in vivo in chromophores yang bertanggung
jawab lokalisasi RPE.
Pencarian Mekanisme yang Bertanggung Jawab terhadap Kerusakan yang Diinduksi
Cahaya
Kedua jenis photodamage, yang diinduksi paparan baik terhadap cahaya intensitas
rendah maupun tinggi, tergantung pada keberadaan rhodopsin yang mampu beregenerasi pada
retina (56,79-81). Defisiensi Vitamin A, prekursor chromphore rhodopsin, 11-cis-retina,
melindungi terhadap photodamage

(68). Meskipun demikian, sebagaimana telah

diperkirakan oleh Gorgels dan van Norren (71) dibawah kondisi eksperimenal untuk
menentukan aksi spektrum photodamage pada retina, semua rhodopsin mengalami bleaching
pada menit pertama paparan terlepas dari panjang gelombang yang digunakan.
Pada semua kasus yang didiskusikan diatas, kerusakan yang diinduksi cahaya pada
retina terjadi melalui mekanisme photochemical dan tergantung pada konsentrasi oksigen
(82-84). Tekanan oksigen yang meningkat menyebabkan penurunan ambang kerusakan

karena cahaya. Hal ini merupakan indikasi aksi fotodinamik dapat bertanggung jawab
terhadapa terjadinya kerusakan. Lapisan retina luar terpapar tekanan oksigen yang tinggi
yang disebabkan densitas pembuluh darah koroid. Tekanan oksigen pada arteri dapat
meningkat disebabkan suplementasi oksigen selama operasi okuler (84). Keterlibatan efek
fotodinamik pada photodamage retina selanjutnya disokong oleh penemuan bahwa
photodamage retina diikuti perioksidasi lipid (85,86). Sejumlah enzimatik dan antioksidan
low-molecular terlibat dalam fotoproteksi dan dapat mencegah atau mengurangi
photodamage berkepanjangan (48,88,89).
Ada beberapa chromophores menyerap cahaya yang terlihat pada retina lapisan luar
dan potensi keterlibatannya pada photodamage retina sebelumnya telah didiskusikan (90).
Meskipun demikian, chromophore utama bertanggung jawab pada inisiasi oksidasi
fotosensitif belum dapat diidentifikasikan. Meskipun kebanyakan studi mengindikasikan
pigmen visual, rhodopsin keberadaannya berperan esensial terhadap terjadinya photodamage
retina, properti photochemical rhodopsin tidak dimasukkan sebagai fotosensitizer yang
bertanggung jawab terhadap photodamage retina. Oleh karena itu produk intermediate atau
bleaching disarankan sebagai mediator photodamage (71,80,81).
Produk bleaching ATR rhodopsin telah dicurigai bertanggung jawab pada kerusakan
fotooksidatif retina oleh Demelle sejak 1977 (91), yang telah menduga mekanisme tersebut.
Sesuai mekanisme ini photosensities generation singlet oksigen, yang menginduksi
peroksidasi lipid retina dan kerusakan pada membran lipid. Meskipun demikian, masih
dipertanyakan apakah ATR bebas masih berada di retina, atau selalu terikat dengan protein
dan oleh karenna itu inaktif sebagai photosensitizer. Ketika diperoleh literature lanjutan
tentang kerusakan yang disebabkan cahay pada retina manusia dan hewan, penelitian
Delmelle (91,92) secara besar-besaran diabaikan atau ATR telah ditolak sebagai dalang yang
mungkin bertanggung jawab pada kerusakan yang disebabkan cahaya berdasarkan
kepercayaan bahwa dengan hidrolisis dari opsin, ATR secara cepat diturunkan oleh enzim,
retinol dehidrogenasi (RDH), menjadi all-trans-retinol (71).
Pada bab selanjutnya penulis akan mendiskusikan beberapa bukti eksperimental yang
dipublikasikan beberapa tahun terakhir yang menunjukkan ATR dapat berakumulasi si OS
pada beberapa kondisi tertentu. Pertama, rhodopsin mengalami bleaching dan ATR
dihidrolisis dari protein. Setelah paparan cahaya melakukan bleaching pada semua rhodopsin,
ini saja dapat menghitung akumulasi ATR yang mencapai konsentrasi rhodopsin sebelum
paparan. Untuk akumulasi molekul ATR tambahan, rhodopsin chromophore, 11-cis-retina,
harus secara efisien bersintensis di RPE dan diantar ke OS untuk regenerasi rhodopsin, yang

mana membutuhkan photobleaching. ATR yang dihidrolisis tertinggal terikat secara nonkovalen pada opsin exit site dan hanya mengikat 11-cis-retina pada opsin, ketika rhodopsin
diregenerasi ke konformasi awal, ATR dapat dilepaskan ke lipatan dalam membran disc
sebelum reduksi enzimnya pada all-trans-retinol (93,94). Kedua, jumlah akumulasi ATR pada
lipatan dalam membran diskus OS seharusnya mencapai jumlah yang diperlukan untuk
memindahkan molekul ATR, dimana pemindahan mengacu pada reduksi enzimatik langsung
terhadap all-trans-retinol, atau formasi dari linkage Schiff base yang reversibel dengan
phosphatidylehanolamine (PE). N-retinylidene phosphatidylethanolamine (NRPE) dan
transpornya ke lipatan luar membran diskus OS, dimana reduksi subsekuen ATR menjadi alltrans-retinol dapat terjadi. Jumlah molekul ATR yang dipindahkan akan terbatasi jumlahnya
oleh dimana proses ini terjadi dan dapat terlambat kemudian, seperti ketidakadaan atau
disfungsi protein ABCR yang bertanggung jawab pada transpor NRPE disepanjang membran
diskus dan atau disfungsi reduksi enzim ATR. Formasi dimen retina (95) dan bisretinoid
pyridium, disebut sebagai A2E (96-99), menyediakan pembuktian bahawa proses ini terjadi
di retina. Pada tinjauan ini penulis mendiskusikan data photodamage retina dimana rhodopsin
yang dapat diregenerasi merupakan faktor yang penting dalam terjadinya kerusakan retina
oleh cahaya. Pada akhirnya, penulis mendiskusikan efek toksik produk sekunder yang
terakumulasi di retina sebagai hasil dari akumulasi ATR RPE lipofuscin dan salah satu
komponen lipofuscin, A2E.
Fotoaktivasi Rhodopsin
Pada absorbsi foton, chromophore rhodopsin, 11-cis-retina, menjalani isomerasi ultrafast
menjadi ATR (100,101). Efek primer yang mengawali perubahan konformasional pada
molekul protein (Gbr. 2a). Pada rhodopsin milliseconds mencapai kondisi metastable Meta
II dimanan linkage Schiff base original diantara Lys296 dengan ATR masih intak namun
sudah mengalami deprotonisasi. Meta II mengkatalisis aktivasi heterotrimeric G-protein,
transducin. Transducin yang teraktivasi dipecah dari Meta II dan sebuah seri urutan biokimia
yang mengarah pada penutupan chanel cGMP pada membran plasma, dimana diikuti oleh
signal neuronal yang membantu persepsi visual (Gbr. 2b). Meta II dapat mengaktivasi ratusan
molekul transducin sampai mengalami deaktivasi, dimana biasanya terjadi antara 100 ms dan
diawali oleh phosphorylation residu Ser dan Thr pada terminal C dari rhodopsin melalui
rhosopsin kinase. Meta II yang mengalami phosphorylation dengan erat ditangkap oleh
arestin atau varian splice lainnya, sehingga disebut protein p44, dimana secara efektif
memblok proses aktivasi selanjutnya dari transducin (102-104).

Meta II merupakan equilibrium dinamik dengan prekursornya, metarhodopsin I (Meta


I) (Gambar. 2A). Meskipun demikian, dibawah kondisi psikologis ini, equilibrium secara kuat
berpindah mejadi Meta II, sehingga meta I dapat dipertimbangkan sebagai molekul
intermediate short-lived dalam waktu milidetik dapat menjadi Meta II dan Meta III (105).
Liengkungan lipid rhodopsin berpengaruh kuat terhadap ration formasi Meta II dan Meta III.
Penurunan lipid poliunsaturated, seperti docosahexaenoic acid (DHA) dan atau peningkatan
konten kolesterol telah diketahui menghambat transisi Meta I menjadi Meta II (106-109),
yang memperkuat transisi meta I menjadi meta III (105). Selain itu juga telah diketahui OS
tikus kekurangan DHA menyebabkan penurunan jumlah formasi Meta II (110).
Meta III dipertimbangkan sebagai cadangan rhodopsin teraktivasi (77,11). Terpisah
dari formasi langsung deaktivasi Meta I (105), Meta III dapaat terbentuk sebaga
Hasil dari fotolisis Meta II dengan cahaya biru ( = 400 10 nm) (112). Meta III
dipercaya naik secara perlahan dipecah menjadi opsin dan ATR (113), atau diubah kembali
menjadi Meta II (114, 115). Telah diketahui bahwa reaksi lanjutan dapat dikatalisis oleh
transducin atau peptide terminal-C nya (114). Flash fotolisis Meta III dengan cahaya 177 nm
menyebabkan isomerisasi non-spesifik ATR dan menyebabkan generasi Meta I/II, bagian
tersembunyi dari rhodopsin dan isorhodopsin, yang mengandung 9-cis-retina yang terikat
pada lokasi aktivasinya (115). Meta I/II, rhodopsin dan isorhodopsin sebesar 40%, 37% dan
21% dari Meta III yang mengalami fotolisis. Sesuai dengan hal itu, iluminasi berkelanjutan
untuk campuran dengan cahaya hijau (>475 nm) menyebabkan photoformation yang
eksklusif untuk Meta II (115). Ikatan transduksi meniadakan konversi yang dinduksi photon
dari rhodopsin yang telah mengalami fotoaktivasi pada ground-state rhodopsin (116,117).
Stabilitas termal Meta III mendukung terjadinya konversi katalisis transducin Meta III
menjadi Meta II dan atau fotolisis Meta III yang merupakan rute utama pemecahan Meta II
(114,115). Meta III dapat terbentuk in vivo sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (113).

Gambar 2. (a) Fotoaktivasi Rhodopsin. Absorbsi photon rhodopsin (R) mengarah pada isomerisasi
chromophore, 11-cis-retina menjadi ATR, yang diikuti oleh perubahan konformasional pada protein yang
mengarah pada formasi Meta I awal. Dari bentuk Meta I baik Meta II, maupun Meta III dapat dibentuk.
Meta III juga dapat dibentuk sebagai hasil fotolisis meta II. Transducin (T) mengkatalisis transformasi
Meta III menjadi Meta II. Dapat dilihat pada penulisan lainnya. Hasil modifikasi Ritter dkk (112), Vogel
dkk (105,115) dan zimmermann dkk (114). (b) siklus visual. Fotoaktivasi rhodopsin (R) mengarah pada
formasi biokimia Meta II aktif (MII) yang mengaktivasi proses biokimia persepsi visual. MII mengikat
protein transducin (T) heterotrimerik dan mengijinkan pertukaran nukleotide GDP pada subunit pada T.
T(GTP) dipecah dari T dan mengaktivasi phodphodiesterase (PDE). PDE mengkatalisis hidrolisis
nukleotic siklik (cGMP), sebagai respon dari penurunan konsentrasi cGMP, pintu channel cGMP pada
membran plasma OS tertutup (tidak terlihat). Hal ini menurunkan influks kation sodium dan kalsium.
Kation ini secara berkelanjutan mengeluarkan fotoreseptor melalui tarikan ATP-tergantung Na/K pada
segmen dalam; oleh karena itu penutupan pintu channel mengarah pada hiperpolarisasi membran plasma
fotoreseptor, dimana, sebagai hasilnya penghambatan sekresi sinaptik glutamate yang merupakan
neurotransmiter yang mensignalkan absorbsi photon menjadi neuron sekunder retina. Meta II dapat
mengkatalisis aktivasi T sampai menjadi phosphorylated oleh rhodopsin kinase (RK) dan mengikat arestin
(Arr), dimana secara menyeluruh mencegah kelanjutan aktivasi T. Kadangkala, Meta II dihidrolisis dari
ATR. Untuk regenerasi Rhodopsin, Arr dipecah, Phospate (P) dilepaskan dari opsin oleh Phospatase, dan
opsin mengikat 11-cis-retina (11cRal) yang diantarkan dari RPE, yang melengkapi proses siklus
rhodopsin. ATR yang terhidrolisis secara enzimatik direduksi menjadi all-trans-retinol (atRol) dan
ditranspor ke RPE dimana ini dapat diubah kembali menjadi 11-cis-retina melalui beberapa tahap proses
siklus retinoid. Dimodifikasi dari McBee dkk (141).

Keadaan All-trans-retina Setelah Hidrolisis dari Opsin


Penyaringan ATR pada OS
Pemecahan Meta II aktif yang diproses melalui hidrolisis linkage Schiff base dan ATR yang
dilepaskan dari ikatan hidrofobiknya (93,94) (Gambar 3A). Setelah itu, ATR disalurkan ke
exit site protein dimana molekul ini tetap merupakan ikatan non-kovalen sampai rhodopsin
diregenerasi melalui ikatan molekul 11-cis-retina lainnya pada Lys296 pada lokasi aktifnya
(93,94). Saat terikat pada exit site, ATR dapat diturunkan menjadi all-trans-retinol oleh
NADPH-bergantung RDH (93,94,118). Saat baik sel batang dan konus OS menunjukkan
fotoresseptor spesifik RDH (prRDH; juga diketahu sebagai RDH8) (119), sel konus
mengekspresikan protein lain pada OS, dimana juga mengurangi ATR menjadi all-transretinol, retSDR1 (120).
Reduksi ATR pada sel batang secara relatif memperlambat proses (121-124). Pada
mata tikus, iluminasi konstan selama 60 menit mengarah pada sekitar 35% bleaching
rhodopsin yang berakibat pada akumulasi ATR, dimana sekitar 30% dari retinoid total (122).
Selama periode pemulihan gelap setelah iluminasi tetap selama 60 menit, konsentrasi ATR
menurun dengan half-life yang berkisar 5 menit, sedangkan konsentrasi ATR setelah sinar
cahaya bleaching menurun dengan half-life sekitar 17 menit (122).
Melalui regenerasi rhodopsin oleh suplai efisien 11-cis-retina, ATR dapat dilepaskan
dari exit site opsin sebelum secara enzimatik direduksi menjadi all-trans-retinol (93,94).
ATR dipercaya dilepaskan dari exit site pada lipatan dalam membran diskus dimana ATR
tidak dapat mencapai RDH sampai ATR terbalik pada lipatan luar.
Telah diketahui bahwa ATR membentuk produk kondensasi denagn komponen lipid
pada

membran

OS,

phosphatidylethanolamine

(PE),

N-retinylidene-

phosphatidylethanolamine (NRPE) (96,07,125,126). NRPE merupakan substrat yang lebih


disukai untuk protein yang berada rims diskus OS, ATP-binding cassete transporter rim
protein (ABCR) (127-129). ABCR dipercaya mengikat NRPE yang berada di lipatan dalam
membran dan melepaskannya pada bagian sitoplasma membran diskus OS pada ikatan dan
hidrolisis ATP (129). Kemudian ATR tersedia sebagai substrat untuk RDH. Kekurangan gen
ABCR pada tikus ABCR -/- dalam percobaan atau defiensiABCR +/- pada tikus yang
menyebabkan ketelambatan clearance ATR/NRPE dari retina (96,97,130). Pada kondisi ini
ketidakadaan ABCR difusi tranversal ATR/NRPE ke leaflet luar menjadi faktor yang
membatasi reduksi ATR menjadi all-trans-retinol.
Mutasi gen ABCR telah ditemukan pada subpopulasi pasien dengan retinitis
pigmentosa (131), distrofi konus-batang (132) dan AMD (133,134) dan telah diidentifikasi

sebagai faktor penyebab Stargardt disease (135). Stargadt disease merupakan bentuk resesif
degenerasi makular dengan kehilangan progresif penglihatan sentral, akumulasi cepat deposit
autofluorescent, disebut sebagai lipofuscin, pada sel RPE diikuti oleh atrofi RPE (136).
Lipofuscin RPE dipercaya berasal dari pencernaan lisosomal tidak lengkap oleh fotoreseptor
fagositosis OS (9<137).
Pasien Stargardt disease dan tikus ABCR knockout memiliki peningkatan konten PE
pada retinanya (96,130). Retina post-mortem dari pasien Stargadt disease dan flavimaculatus
fundus mengandung 2.1 dan 2.9-fold yang meningkatkan konsentrasi PE, dibandingkan
dengan kontrol sesuai usia (97). Konsentrasi PE di OS dari tikus gene ABCR sekitar 1.6-1.9fold lebih besar dari yang ada pada tikus tipe liar (96,97). Sebagai hasilnnya, hewan ABCR
-/- terakumulasi di OS sekitar 3 kali meningkatkan konsentrasi NRPE sebagai perbandingan
dengan hewan liar (97). NRPE berkisar antara 24% dan 61% dari ATR yang terakumulasi di
OS pada tikus percobaan dan tikus liar (97). Jumlah ATR yang diekstraksi dari tikus ABCR
segera setelah photobleaching sekitar 45% rhodopsin hampir sama dengan jumlah ATR yang
diisolasi dari tikus liar (97). Konsentrasi total ATR yang muncul sebagai ATR bebas dan
NRPE yang meningkat pada tikus ABCR -/- dan ABCR -/+ dibandingkan dengan tikus liar
sesegera setelah paparan cahaya dan selama pemulihan subsekuen gelap (96,97,130).
Formasi NRPE dari ATR dan PE merupakan reaksi sensitif yang reversibel pada
konsentrasi air 9138). Oleh karena prosedur ekstraksi, evaporasi chloroform dan redissolving
sampel hexane, sering kali mempengaruhi equilibrium. Kesulitan teknikal dalam
mendapatkan data reproduktif tampak nyata dari perbandingan hasil yang didapat oleh
kelompok yang sama pada akumulasi NRPE proton dan tanpa proton pada tikus liar dan tikus
ABCR (96,97). Pertama, hal ini dilaporkan tikus ABCR mengakumulasi NRPE dengan
molekul proton besar, saat tikus liar mengakumulasi uprotoned NRPE (96). Pada publikasi
subsukuen, bentuk nonprotonated merupakan bentuk predominan NRPE pada baik kelompok
tikus ABCR dan tikus liar (97).
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, reduksi enzimatik ATR menjadi all-trans-retinol
merupakan proses yang relatif lambat (122). Reduksi bukan merupakan faktor pembatas
regenerasi rhodopsin, meskipun demikian, setelah kilatan cahaya bleaching sekitar 80%
rhodopsin, nilai konstan pemecahan ATR sebesar 0.087 min adalah 5.8 lebih besar dari
jumlah awal regenerasi rhodopsin yang mengalami photobleaching, 0.015 min-1 (76,139).
Hal ini diasumsikan konsentrasi awal ATR yang dilepaskan dari rhodopsin dan jumlah
reduksinya menjadi all-trans-retinol menentukan konsentrasi ATR

yang secara transien

terakumulasi pada diskus fotoreseptor setelah pulsasi cahaya bleaching. Selama paparan

konstan cahaya, kemampuan rhodopsin beregenerasi tergantung dari suplai 11-cis-retina,


merupakan faktor tambahan yang menentukan konsentrasi tetap ATR, yang dapat terikat pada
exit site opsin atau secara komplit dipecah dan diakumulasi pada fotoreseptor diskus OS.
Jika jumlah regenerasi rhodopsin mencapai jumlah reduksi ATR menjadi all-trans-retinol,
sebagian ATR dilepaskan dari exit site opsin (93). Kemudian jumlah konstan interaksi
biomolekuler ATR dan PE dan equilibrium konstanta reaksi reversibel menentukan ration
ATR bebas menjadi NRPE. Pada akhirnya, ABCR memfasilitasi reduksi enzimatik ATR
melalui translokaso NRPE/ATR ke lokasi sitoplasmik membran diskus.

Gambar 3. (a) ATR dalam OS. Foto-aktivasi rhodopsin (R) menyebabkan formasi
Meta II (MII) dari ATR yang dihidrolisis. Ada dua jalur yang menyebabkan reduksi enzimatik
ATR menjadi all-trans-retinol (atRol) pada hidrolisis dari opsin. ATR dapat direduksi baik
oleh RDH saat terikat pada exit site opsin atatu hanya setelah ia dilepaskan pada lipatan
dalam membran diskus pada ikatan opsin 11-cis-retinal (11cRal) dan regenerasi rhodopsin.
Reduksi ATR dipercepat ABCR, yang mentraspor komplek ATR dengn PE via linkage Schiff
base ke lipatan luar membran diskus. Pada akhirnya, ATR secara enzimatik direduksi menjadi
atRol. (b) daur ulang 11-cis-retinal dari ATR pada siklus retinoid. Sebagai hasil foto-aktivasi
rhodopsin, ATR dihidrolisis dari apoprotein opsin. Hal ini terjadi diikuti reduksi enzimatik
ATR menjadi atRol yang dikatalisis oleh prRDH (pada sel konus oleh prRDH dan retSDR1),
yang dapat difasilitasi ABCR. atRol ditranspor melalui IPM ditemani IRBP, dan kemudian
RPE oleh CRBP. Esterifikasi LRAT atROl membentuk ester all-trans-retinyl (atRE). AtRE
dikonversi menjadi 11-cis-retinol (11cRol) dan selama proses tersebut RPE65 memainkan
peranan penting. Kemudian 11cRol bersamaan dengan CRALBP dioksidasi RDH5 dan RDH
lainnya menjadi 11-cis-retinal (11cRal). Pada akhirnya, 11cral bersama IRBP ditranspor
melalui IPM mencapai diskus OS dan terikat pada rhodopsin regenerasi opsin. Dapat dilihat
penulisan untuk deskripsi lebih lanjut. Dimodifikasi dari McBee dkk (141)

Konversi All-trans-retinol Menjadi 11-cis-retinol


Regenerasi 11-cis-retinal dari all-trans-retinol melibatkan sistem komplek :
chromophore terisomerisasi dan berkurang kemudian ditransfer dari OS untuk sel RPE
adjacent dimana proses multistep berlangsung (Gbr. 3b) (dapat dilihat Imanishi dkk [140] dan
lamb dan Pugh [76]). Pertama, all-trans-retinol perlu meninggalkan sel batang diskus OS dan
melalui membran plasma OS. Transfer all-trans-retinol melalui matrix interphotoreseptor
(IPM) difasilitasi oleh interphotoreseptor retinoid-binding protein (IRBP) (123), dimana telah
diketahui memproteksi all-trans-retinol dari isomerisasi dan oksidasi (142). Pada sel RPE alltrans-retinol disertai dengan protein seluler terikat retinol / celluler retinol-binding protein
(CRBP). Kemudian, all-trans-retinol diesterifikasi oleh lecithin:retinol acyltransferase
(LRAT) pada reticulum endoplasma (RE) membentuk all-trans-retinyl palmitate atau stearate
(143).
Ester all-trans-retinyl diduga membentuk aggregasi yang dibentuk dari RE sebagai
struktur yang independen, hasil bentukannya disebut sebagai retinosome atau partikel retinylester-storage (REST) (140,144). Retinosome bentuknya silindris, panjangnya 6.9 1.1m
dan 0.8 0.2 m diameternya, didistribusikan perpendikular ke RPE satu lapis. Sekali
dibentuk, retinosome tampak sebagai organel RPE stabil dimana ester all-trans-retinyl
terkumpul setelah rhodopsin mengalami bleaching dan berkurang selama masa adaptasi gelap
(140,144).
Untuk menghasilkan 11-cis-retinol, ester all-trans-retinyl mengalami isomerisasi dan
hidrolisis (118,141,145,146). Konversi ester all-trans-retinyl menjadi 11-cis-retinol
membutuhkan RPE-spesifik 65 protein kDa, RPE65 (147-149). RPE65 diketahui berinteraksi
dengan all-trans-retinil palmitate, all-trans-retinol dan 11-cis-retinol, tetapi hanya sangat
lemah dengan 11-cis-retinyl palmitate (148). Telah didemonstrasikan baru-baru ini bahwa
RPE65 berperan penting dalam ekstraksi ester all-trans-retinyl dari membran lipid dan secara
langsung bertanggung jawab terhadapa isomerisasinya (147,150,151). Ketidakadaaan RPE65,
atau jika didapat disfungsional, ester all-trans-retinyl terakumulasi di RPE tetapi tidak ada
produksi 11-cis-retinal (152,153). Mutasi RPE65 dijumlah sekitar 10% dari kasus Lebers
congenital amaurosis (LCA), sebuah penyakit yang dapat menyebabkan kebutaan berat dari
lahir atau masa kanak-kanak (154,155).
Oksidasi 11-cis-retinol menjadi 11-cis-retinal
Pada langkah selanjutnya, produk isomerisasi dan hidrolisis, 11-cis-retinol, mengikat
cellular retina-binding protein (CRABP) (156). Komplek CRABP-11-cis-retinol menyokong

sebagai substrat karier untuk 11-cis-RDH (RDH5) (139,156,157). RDH5 dengan NADH
sebagai kofaktor lebih efisien dalam mengoksidasi retinol daripada mengurangi retinal dan 9cis-retinol dan 11-cis-retinol merupakan substrat yang lebih disukai daripada all-trans-retinol
(158). Terpisah dari RDH5 ada setidaknya 2 oxidoreductase laninnya pda RPE yang dapat
mengubah 11-cis-retinol menjadi 11-cis-retinal (159-162). Satu diantaranya RDH11,
membran terikat protein, yang mana dengan NADPH sebagai kofaktor, mengkatalisis reduksi
retina (ATR, 9-cis-retinal, 11-cis-retinal dan 13-cis-retinal), dimana in vitro sekitar 50 kali
lebih efisien daripada oksidasi retinol (163). Molekul ini juga mengkatalisis reduksi beberapa
turunan aldehide dari peroksidasi lipid. Meskipun demikian, hal ini masih diperdebatkan
bahwa dengan adanya konsentrasi lokal substrat pada sel RPE, RDH11 dapat mengkatalisis
reaksi pada arah sebaliknya menggunakan NADP+ sebagai kofaktor dan oxidize retinols in
vivo (161). Meskipun, tikus percobaan RDH11-/- dan RDH5 -/- masih mampu regenerasi 11cis-retinal, memperkuat oxiductase lainnya berada di RPE (159).
Meskipun tikus percobaan RDH11 dan RDH5 tampak memiliki fungsi visual normal,
mutasi RDH5 pada manusia, yang menyebabkan penurunan aktivitas enzimatik,
menyebabkan distrofi retina, seperti fundus albipunctus, merupakan bentuk yang jarang
kebutaan malam hari dengan karakteristik keterlambatan regenerasi pigmen visual sel konus
dan batang atau distrofi sel konus resesif (164-167).
Pada tahap akhir, 11-cis-retinal perlu melalui RPE dan IPM mencapai membran OS.
Peneliti menyarankan pertukaran retinoid dapat difasilitasi oleh kolonisasi beberapa protein,
seperti CRABP, RDH5 dan IRBP dengan porsi apikal sel RPE (168-172). 11-cis-retinal pada
IPM diikat pada IRBP (173). Meskipun demikian, kekurangan IRBP tidak secara signifikan
mempengaruhi jumlah regenerasi rhodopsin, diduga fungsi transpor digantikan oleh protein
lainnya seperti albumin. Fungsi utama IRBP diduga memproteksi retinoid daro
photodegradation (142,174).
Transpor 11-cis-retinal memlalui membran plasma OS ke membran diskus belulm
dapat dijelaskan. Dugaan bahwa proses ini dapat bergantung pada jumlah protein lainnya,
kemungkinan secara tidak langsung melibatkan pertukaran retinoid, seperti periferin, protein
yang dipercaya memainkan peran struktural pada fotoreseptor OS dikode gen RDS dimana
mjutasi dapat mengarah pada adaptasi gelap memanjang dan retinopati (175-178).
Begitu diskus OS 11-cis-retinal difus untuk opsin diproses pertama kali melalui ikatan
kovalen sebagai entry site, setelah ikatan kovalen linkage Schiff-base dengan Lys296
dibentuk untuk meregenerasi rhodopsin (93,94). Oleh karen aitu, dapat diharapkan pelepasan
semua ATR/retinol dari opsin exit site memerlukan molekul ekuivalen 11-cis-retinal yang

mengikat opsin. Sampai saat ini, tidak jelas bagaimana mekanisme regulasi yang
bertanggungjawab pada mobilisasi cadangan ester retinyl dan batas atas ATR yang dapat
diakumulasi tetap di OS masih belum diketahui.
Apakah Sel Konus Memiliki Jalur Lain untuk Regenerasi 11-cis-retinal?
Siklus retinoid penggambaran diatas mengacu pada baik sel batang dan sel konus,
meskipun demikian, pada sel konus dominan retina, sel konus tampak mengembangkan jalur
lain dalam regenerasi pigmen visual pada retina yang terlepas dari RPE yang telah diisolasi
(180,181). Diduga sel konus memperkerjakan sel Muller, sel gial utama pada retina, daripada
sel RPE, untuk melakukan isomerisasi all-trans-retinol menjadi 11-cis-retinol dan formasi
cadangan ester 11-cis-retinyl (179). Sel muller mengekspresikan hampir sama dengan RPE,
CRBP dan CRALBP, dimana mengantar all-trans-retinol dan 11-cis-retinal/retinol
(171,172,183-184) dan dapat mengubah all-trans-retinol menjadi 11-cis-retinol pada kultur
sel (185). Retina yang kaya sel konus pada ayam dan tupai tanah mengandung konsentrasi
substansial 11-cis dan ester all-trans-retinyl pada bagian saraf retina, dimana konsentrasinya
sekitar 2 sampai 6 lipatan lebih besar daripada yang di RPE (179). Lebih menariknya lagi,
ester 11-cis-retinyl dibentuk dari all-trans-retinol dan prosesnya tidak dihambat oleh inhibor
LRAT, mengindikasikan enzim lainnya yang bertanggung jawab terhadap formasi ester 11cis-retinyl. Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa aktivitas sintesis ester 11-cis-retinyl
meningkat dengan adanya palmitoyl, mysristoleoyl dan koenzim A stearoyl, tetapi pada
kondisi ketidakadaan dipalmitoyl phosphatidylcholine, yang memberikan donor asam lemak
untuk LRAT. Enzim yang esensial untuk formasi 11-cis-retinol dari all-trans-retinyl ester
RPE65 telah diketahui pada sel konus tetapi tidak pada sel batang retina mamalia (186).
11-cis-retinol yang dilepaskan dari sel muller diambil kembali oleh sel konus, dimana
langkah akhirnya, NADP+-bergantung oksidasi dari 11-cis-retinol menjadi 11-cis retina oleh
11-cis-spesifik RDH berada (179,187,188). Adanya hipotesa bahwa enzim utama yang
bertanggung jawab terhadap oksidasi 11-cis-retinol menjadi 11-cis-retinal untuk regenerasi
pigmen visual sel konus pada NADPH-yang bergantung RDH12 (141). RDH12
diekspresikan di retina pada sel batang dan konus segmen dalam dan sel bodies dan
menghasilkan aktivitas serupa pada retina sebagai RDH11; dengan NADPH sebagai kofaktor,
ia mengkatalisis reduksi isomer yang berbeda pada retina (ATR, 9-cis-retinnal, 11-cis-retinal
dan 13-cis-retinal) (161). Oleh karena itu diduga RDH12 memainkan peran ganda. Pada baik
sel batang dan sel konus, RDH12 meregulasi suplai 11-cis-retinal untuk sintesis pigmen

visual pada segmen dalam dan pada sel konus mengoksidasi 11-cis-retinol untuk regenerasi
pigmen visual sel konus.
Mutasi RDH12 menyebabkan LCA subtipe berat, distrofi progresif sel batang dan
konus, mengarah pada atrofi makular berat dan kehilangan penglihatan pada awal usia
dewasa (189,190). Beberapa mutasi RDH12 menyebabkan penyakit yang diidentifikasi dan
konsekuensinya menjelaskan pada sel COS-7 in vitro transfected dengan tipe liar atau
konstruksi dua mutan RDH12 (190). Varian Cys226 menyebabkan penurunan ekspresi
protein dan aktivitas yang tidak terdekteksi pada baik NADP+-bergantung oksidasi all-transretinol atau NADPH-dependent reduksi ATR. Di sisi lain, varian Met49 menghasilkan
aktivitas lebih tinggi dalam konversi all-trans-retinol menjadi ATR dibandingkan dengan
protein tipe lainnya. Hal mungkin hanya merupakan spekulasi, analogi mutasi RPE65
menyebabkan LCA, penyebab primer dari fenotipe yang diobservasi berhubungan dengan
disfungsi RDH12 mengarah pada defisiensi 11-cis-retinal dan inabilitas membentuk pigmen
visual.
meskipun jalur alternatif yang diajukan mengenai regenerasi 11-cis-retinal pada sel
konus, mutasi RDH5, yang diekspresikan secara eksklusif pada RPE, dapat mempengaruhi
sel konus lebih berat daripada sel batang mengarah pada distrofi sel konus resesif (166,167).
Sekali lagi, penjelasan tentang ini dapat terbatas pada spekulasi. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya mutasi RDH5 pada manuai mengarah pada regenerasi lambat rhodopsin yang
mengarah pada pelepasan lambat ATR/all-trans-retinol dari opsin exit site dan sebagai
konsekuensinya, penurunan konsentrasi all-trans-retinol dilepaskan dari sel batang. Sel
batang merupakan predominan fotoreseptor pada retina manusia sehingga mereka
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap akumulasi transien all-trans-retinol pada IPM. Alltrans-retinol yang dilepaskan dari sel batang dapat digunakan untuk regenerasi pigmen visual
sel konus pada kondisi tidak adanya RPE (180,181), oleh karena itu disfungsi RDH5 dapat
mempengaruhi sel konus secara langsung, via penurunan suplai 11-cis-retinal dari RPE dan
secara tidak langsung, via penurunan suplai all-trans-retinol dari sel batang.
Sel konus diluar area bertanggung jawab untuk penglihatan akut (fovea) yang lebih
cepat dan agak jauh dari RPE apikal, sehingga proses RPE membutuhkan proyeksi jarak yang
relatif jauh untuk mencapai sel konus OS. Oleh karena itu, percobaan untuk memperkirakan
sel konus perifer pada manusia membutuhkan lebih banyak penggunaan sel muller untuk
regenerasi pigmen visualnya daripada sel konus foveal yang ada pada proximitas pada RPE.
Jalur alternatif regenerasi 11-cis-retinal juga dapat menjelaskan mengapa regenerasi pigmen
visual sel konus sekitar 20 menit lebih cepat dibandingkan pada sel batang, yang mengijinkan

sel konus tetap responsif pada keadaan influks besar cahaya yang mencapai retina (179).
Daripada bersaing dengan sel batang predominan untuk meregenerasi 11-cis-retinal, sel
konus dapat menggunakan 11-trans-retinol yang diproduksi oleh sel batang sebagai hasil dari
photobleaching rhodopsin.
Apa Batasan Langkah Sintesis Rhodopsin Chromophore?
Melalui analisis secara ekstensif dari data eksperimental yang telah dipublikasikan
tentang pemulihan rhodopsin dan ambang fotosensitivitas pada manusia dan hewan
eksperimen yang dilakukan oleh Lamb dan Pugh (76) mengindikasikan jumlah awal
pemulihan sel batang rhodopsin terlepas dari jumlah reduksi ATR pada sel batang OS,
sebagaimana sebelumnya telah disebutkan (122), namun hal ini bergantung kuat pada
efisiensi RPE untuk mensintesis 11-cis-retinal. Hal ini disokong fakta bahwa, bahkan pada
pasien dengan mutasi ABCR pada stadium awal penyakit, dimana ada keterlambatan
pemindahan ATR dari OS, jumlah komponen pemulihan cepat fotosensitivitas tetap sama
dengan subyek normal (191). Julamh 11-cis-retina dan regenerasi rhodopsin serupa dengan
tikus ABCR -/- dan tikus tipe liar setelah 5 menit paparan terhadap bleaching sekitar 45%
rhodopsin, sebagaimana clearance ATR secara signifikan menghambat hewan percobaan
dibandingkan dengan tipe liar (96,130). Spekulasi bahwa komponen lambat diobservasi pada
pemulihan rhodopsin pada sel batang, bukti tentang bleaching 60% pigmen dan diatasnya
(76), adalah karena recycling ATR yang dilepaskan rhodopsin .jika pada kasus ini, jumlah
komponen lambat dapat dipengaruhi oleh disfungsi ABCR.
Selama ini telah diketahui pada mata manusia postmortem retinoid berada di
RPE/choroid, terutama ester retinyl, berjumlah 2.5 mol setara rhodopsin (192). Sebaliknya,
hewan malam, tikud dan hewan pengerat laiinya, tidak membutuhkan akumulasi ester retinyl,
dimana mereka jarang berada dibawah cahaya dim, hanya fraksi rhodopsin yang mengalami
bleaching. Selain itu, ester retinyl dihitung hanya fraksi mol ekuivalen rhodopsin pada tikus
(76).
Spekulasi telah muncul mengenai hasil photobleaching rhodopsin dalam jalus
signaling yang kemudian mengarah pada mobilisasi cadangan ester retinyl dan konversinya
ke 11-cis-retinal. Sebagaimana cadangan ester retinyl menjadi tempat simpanan utama
retinoid pada manusia, ini akan menjelaskan jumlah yang hampir sama rhodopsin pemulihan
yang diobservasi pada pasien dengan Stargardt disease dan subyek normal dengan
pemindahan ATR yang terlambat (191). Meskipun demikian, mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap mobilisasi ester retinyl tetap tidak jelas. Beberapa publikasi tentang peran

potensial RPE pada proses ini (193-200). Eksperimen sel RPE janin manusia pada kultur
menunjukkan sel RPE merupakan berperan dalam fotoresepsi dan respon terhadap cahaya
dengan peningkatan generasi 11-cis-retinal (193). Hal ini telah ditunjukkan pada paparan
pada all-trans-retinol sel RPE mengakumulasi ester all-trans-retinol dan sintesis ester retinyl
berlanjut dalam kegelapan setelah pengembalian all-trans-retinol dari medium. Meskipun
demikian, sel yang terpapar cahaya mencapai level 60% lebih rendah ester all-trans-retinyl
dibandingkan dengan sel yang diinkubasi dalam kegelapan dan melepaskan hampir dua kali
lebih besar jumlah 11-cis-retinal pada media cahaya dibandingkan dengan kultur inkubasi
gelap. Selama ini diduga protein opsinlike diekspresikan pada sel RPE dan sel Muller, seperti
retinal G-protein-coupled reseptor (RGR) atau peropsin, dapat berperan dalam signaling
mobilisasi ester retinyl (193).
RGR yang diisolasi dari RPE bovine mengandung ATR utama, sekitar 85% dan
sebagian kecil 11-cis-retinal (8%) dan 13-cis-retinal (7%) (194). ATR diikat pada RGR via
linkage schiff base pada lisin dan RGR menyebabkan absorbsi broad spektum maksimal 370
nm dan 469 nm untuk bentuk protonated dan uprotonated (194). Pada pH netral RGR ada
terutama dalam bentuk unprotonated dan oleh karena itu diabsorbsi UV daripada cahaya biru
9195). Iradiasi RGR dengan UV (370 nm) atau cahaya biru (470 nm) in vitro mengarah pada
isomerisasi ATR menjadi 11-cis-retinal dengan lapang kuantum 0.12 (194). RGR dimurnikan
dengan NADH-bergantung 11-cis RDH (RDH5) dan kedua protein membentuk komplek
protein fungsional (196). Setelah fotoisomerisasi ATR, 11-cis-retinal secara cepat direduksi
menjadi 11-cis-retinol dan dipecah dari RGR (196).
Hal ini telah diungkapkan bahwa RGR dapat berfungsi sebagai fotoisomerase yang
menyediakan 11-cis-retinal untuk regenerasi rhodopsin dibawah paparan cahaya (197).
Meskipun demikian, ada beberapa bukti yang menyokong pandangan sebaliknya mengenai
fungsinya dalam menghasilkan dan menyediakan 11-cis-retinal menjadi rhodopsin tidak
digunakan lagi (198). Pertama, RGR ada pada konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan
dengan rhodopsin. Keduam RGR terlokalisasi di mikrosom RPE dan oleh karena itu porsi
bustansial cahaya gelombang pendek yang mencapai retina manusia akan disaring oleh
fotoreseptor segmen luar sebelum mencapai RPE. Ketiga, lapang kuantum fotoisomerisasi
5.6 lebih kecil dari rhodopsin. Secara keseluruhan dapat diasumsikan RGR merupakan
photoisomerase yang tidak efisien 11-cis-retinal dan menyediakan kontribusi minor langsung
untuk regenerasi rhodopsin.
Setelah diketahui RGR memiliki peran penting dalam regenerasi rhodopsin selama
paparan konstan terhadap cahaya putih (196,197). Selama paparan terhadap iluminasi konstan

1400 lux, konsentrasi tetap rhodopsin pada tikus RGR -/- mencapai 44% dari level gelap,
dengan kondisi yang sama, rhodopsin pada tikus tipe liar mencapai 98% dari levelnya pada
kondisi gelap. Waktu konstan regenerasi rhodopsin 62 kali lebih besar pada hewan percobaan
daripada hewan liar, meskipun sintesis 11-cis retinal efisian, hewal percobaan
mengakumulasi ester retinyl, yang bertambah dengan faktor 14.5 dibandingkan dengan
hewan tipe liar. Baik hewan liar dan hewan RGR -/- memiliki level rhodpsin yang hampir
sama pada kondisi gelap dan kinetik/pergerakan regenerasi rhodopsin pada kegelapan setelah
kilatan cahaya bleaching juga hampir sama (197,198). Oleh karena itu, telah diduga RGR
dapat menstimulasi sintesis 11-cis-retinal berperan sebagai reseptor G-pritein-coupled yang
teraktivasi oleh absorbsi photon (197).
Perbandingan hewan coba tikus RPE65 dengan tikus RPE65-/- dan RGR -/0
menunjukkan fotoisomerisasi spesifik ATR menjadi 11-cis-retinal terjadi baik pada neuron
retina dan RPE pada kedua tikus RPE65-/- dan RPE65-/-RGR-/- (199). Hal ini
mengindikasikan, terlepas dari RGR, ada mekanisme lain yang bertanggung jawab terhadap
photoisomerisasi OS (200). Telah diduga peropsin dapat berperan sebagai sensor TR yang
dilepaskan oleh photobleaching rhodopsin pada OS adjacent 9200). Ikatan ATR pada
peropsin dapat mengawali urutan signaling, tanpa cahaya, menghasilkan pembentukan 11cis-retinal dari pusat ester retinyl. Sebagai pilihan lain, urutan signaling dapat diaktivasi oleh
photoisomerisasi peropsin chromophore.
Sebagai kesimpulan, perpanjangan bleaching rhodopsin diikuti oleh suplai efisien 11cis-retina dan regenerasi rhodopsin dapat mengarah pada akumulasi konsentrasi substansial
ATR pada diskus fotoreseptor. Baru-baru ini, penulis tidak mengetahui skenarion kasus
terburuk untuk akumulasi ATR pada OS seperti apa. Penulis hanya dapat berspekulasi bahwa
kasus paparan intensif cahaya mem-bleaching semua rhodopsin menyebabkan level
rhodopsin yang sangat rendah, jumlah pemindahan ATR, isi dari cadangan ester retinyl pada
retinosome dan jalur regulator yang bertanggung jawab pada mobilisasi akan menentukan
konsentrasi ATR yang secara transien berakumulasi di OS. Kemudian lebih lanjut diduga pda
kasus disfungsi pemindahan ATR dari OS, batas atas jumlah akumulasi ATR ditentukan oleh
konten/isi cadangan retinoid pada RPE. Pada subyek normal dengan rhodopsin 3.8 mM dan
kelebihan 2.5-fold cadangan retinod sebagai ester retinyl, akan memberikan nilai ATR (3.8
mM + 2.5 X 3.8 mM) = 13.3 mM pada kasus disfungsi total pemindahan ATR dari OS.
Penjelasan mekanisme yang bertanggung jawab pada sintesis 11-cis-retinal dan
pengantarannya pada OS dan jalus regulasi yang esensial terlibat dalam penjelasan

pertukaran retinoid di retina dan design intervensi farmakologi pada kasis disfungsinya atau
inadekuasi dibawah kondisi cahya terang.
Apakah all-trans-retinal berada di retina?
Tidak adekuatnya pemindahan ATR dari diskus OS menyebabkan percepatan
akumulasi bisretinoid pyridium, disebut sebagai A2E (Gambar 4), pada RPE. Hal ini
dibuktikan khususnya pada pasien dengan stargadrt disease dan flavimaculatus fundus yang
disebabkan oleh mutasi gen ABCR, atau pada tikus ABCR-/- atau ABCR +/- (96,97,130).
Studi jalur biosintesis A2E menunjukkan ia berasal dari kondensasi NRPE dengan molekul
lain ATR, yang terjadi di diskus OS (dapat dilihat penulisan dari Travis dkk [96,97] dan
Nakanishi dkk [98,99,201] dan review oleh Lamb dan Simon [202]). PE didapati dalam
jumlah besar pada OS, dimana diperkirakan sekitar 409 sampai 487 nmol/mg protein (203).

Gambar 4. Reaksi awal biosintesis A2E. ATR dihidrolisis dari opsin terikat dengan
phospholipid OS yang berlimpah, PE, membentuk NRPE. Ikatan molekul lain ATR
diperlukan untuk membentuk prekursor bisretinoid pyridium, A2E. Lihat penulisan untuk
deskripsi lebih jelas.
Dengan berasumsi bahwa semua protein pada OS adalah rhodopsin, memberikan
kalkulasi batas atas dari ration molar ATR ke PE, dimana paling tidak 6.1% pada retina
normal setelah kilatan cahaya menyebabkan photobleaching semua rhodopsin. Oleh karena
itu ratio molar ATR menuju PE pada photoreseptor segmen luar hampir sama dengan ratio
sintesis NRPE efisien in vitro (138,204).

In vitro, chloroform atau chloroform/ campuran ethanol (2:1,v/v), jumlah interaksi


biomolekular ATR pada PE menyebabkan formasi NRPE berkisar antara (3.0-4.5) X 10-2 M-1
s-1, sebagaimana jumlah konstan reaksi terbalik antara (5.9-9.9) X 10 -6 S-1 (138). Dengan
berasumsi jumlah interaksi bimolekuler ATR pada PE di diskus optik hampir sama dengan
yang di larutan, jumlah formasi awal NRPE dari interaksi 3 mM ATR dan 50 mM PE
diharapkan sekitar 4.5-6.7 M s-1. Hal ini menunjukkan 3mM ATR secara cepat dilepas dari
opsin dapat diubah menjadi NRPE kira-kira selama 10 menit. Sintesis A2E memerlukan
NRPE untuk berinteraksi dengan ATR lainnya. Oleh karena itu, diduga membran diskus OS
mendukung terbentuknya NRPE dan interaksi ATR dengan NRPE merupakan kejadian yang
jarang terjadi yang memerlukan kelebihan konsentrasi ATR lokal daripada konsentrasi PE.
A2E juga telah diidentifikasi kuantiti substansialnya pada RPE manusia normal dari
donor dewasa (205,206). Eldred dan Lasky menghasilkan hampir 0.1 mg A2E dari sel RPE
dari setidaknya 250 mata donor manusia berusia 40 tahun atau lebih, yang memberikan
perkiraan lebih rendah rerata konten A2E RPE untuk sekitar 400 ng/mata (0.675 nmol/mata)
(205) dan konsentrasi A2E pada sel RPE. Dengan berasumsi A2E didistribusikan secara
bertahap melalui seluruh RPE yang berada di permukaan retina sekitar 1000 mm2 dan
ketebalan satu lapis RPE sekitar 0.014 mm, rerata konsentrasi A2E pada lapisan RPE 48 M.
Pengukuran konten A2E pada individu isolasi RPE dari 10 donor manusia sehat
mengindikasikan adanya pertimbangan variasi antar individu (206). Konten tertinggi A2E sel
134 ng/105 pada pasien usia 79 tahun. Dengan berasumsi bentuk kuboidal sel RPE dengan
ketebalan 0.014 mm, memberi konsentrasi A2E pada sel RPE terjatuh dengan jarak antara
209-824 M, yang 4 samapi 17 kali lebih besar dari konsentrasi yang diperkirakan dari data
Eldred dan Lasky (205).
Fluoresensi A2E membuat pemantauan distribusi A2E pad retina. Intensitas
fluoresensi tertinggi diidentifikasi di perifovea dan menurun pada fovea tengah dan perifer
(207,208). Oleh karena itu diharapkan konsentrasi A2E pada retina secara luas mencapai
konsentrasi rerata pada perifovea dan turun menjadi sangat rendah diluar area ini.
Level A2E dapat secara besar meningkat pada sebagian kasus distrofi retina dan
retinopati. Pasien dengan stargardt disease dan fundus dlavimaculatus memiliki peningkatan
level 6.22-fold dan 11.5-fold A2E pada RPE, sebagai perbandingan dengan RPE dari mata
kontrol sesuai usia (97). Level A2E pada tikus ABCR -/- meningkat sejalan usia sekitar 9
sampai 13 kali lebih besar daripada tikus tipe liar dimana hewan dipelihara pada siklus
cahaya, namun ketika hewan dipelihara pada kondisis gelap, jumlah akumulasi A2E menurun
drastis dan hampir sama pada kedua kelompok (97,130). Dan juga tikus ABCR +/-

mengalami sekitar 4 kali peningkatan akumulasi A2E dibanding tikus tipe liar (130). Hal ini
mengindikasikan akumulasi ATR pada OS dan paparan cahaya berperan dalam penyebab
akumulasi A2E.
Di sisi lain, gangguan jalur regenerasi 11-cis-retinal pada RPE , disebabkan baik oleh
protein RPE65 defetive atau absen, mengarah pada inhibisi akumulasi A2E (152,209). 13-cisasam retinoid (isotretinoin; Accutane) memperlambat sintesis 11-cis-retinal karena ikatan
kompetitif RPE65 dan 11-cis-RDH (210,211) dan juga memblok lebih lambat, akumulasi
bergantung usia A2E/lipofuscin pada tikus liar (212), diduga akumulasi tergantung juga pada
suplai 11-cis-retinal pada OS.
Baru-baru ini, molekul lain, yang disebut sebagai dimer retina dan konjugasinya
dengan PE telah diidentifikasi dalam isolasi bovine OS iradiasi dengan cahaya putih,
meskipun pada kuantiti yang jauh lebih kecil dari prekursor A2E, A2-PE (95). Produk serupa
UV-spektrum absorbsi yang tampak dan retensi HPLC berulang sebagai dimer retinakonjugat PE juga diekstraksi dari RPE/koroid dan neuron retina tikus gen ABCR dan sel RPE
manusia dari donor berusia 31 sampai 41 tahun. Telah diduga dimer retina diturunkan dari
interaksi ATR dengan NRPE pada OS diikuti oleh eliminasi PE. Telah ditunjukkan bahwa
dimer retina dapat dengan mudah membentuk konjugat dengan PE via Schiff base.
Pola akumulasi A2E pada retina dan penemuan dari jalur biosintesinya dan
identifikasi dimer retina menyediakan bukti bahwa julah substansial ATR harus ada si OS
untuk membentuk produk kondensasi dari dua molekul ATR dengan PE.
Properti Photosensitizing ATR dan Turunannya
Delmelle telah menyatakan sejak lama pada th 1977 bahwa chromophore
tereisomerisasi dari pigmen visual ATR bertanggung jawab terhadap kerusakan photosensitasi
pada retina (91,92). ATR merupakan photosensitizer potensial yang spektrum absorbsinya
maximum sekitar 380 nm sampai dengan cahaya yang terlihat (Gambar 5a). Seperti
kebanyakan molekul biologi lainnya, kecuali untuk molekul oksigen, ATR tersedia dalam
singlet state pada ground state dengan semua molekul elektron orbital diperbaiki.
Fotoeksitasi ATR dengan cahaya 353 nm menghasilkan formasi singlet state tereksitasi
menjadi triplet state tereksitasi dengan lapang kuantum terlepas dari polaritas solvent (213)
dan bervariasi dari 0.05 sampai 0.12 dalam methanol dan sampai 0.50 dalam cyclohexane
(213-215). 11-cis-retinal menghasilkan lapang kuantum yang hampir sama dari intersistem
crossing:0.11 pada methanol dan 0.51 pada hexane. Abilitas untuk menjalani intersistem
crossing dan membentuk kondisi eksitasi elektronik dari berbagai multiplisitas dari ground

state merupakan indikasi yang baik dari properti photosensitizing yang potensial dari sebuah
molekul, kemudian excited state relatif bertahan hidup lama, dalam kurun mikrodetik, yang
meningkatkan probabilitas interaksi dengan molekul lainnya (214). Triplet state ATR
dipecahkan dengan nilai konstan 0.6 x 105 s-1 dan 1.1 x 105 s

-1

pada methanol dan hexane

(214).
Keberadaan molekul oksigen, triplet state ATR secara efisien dihancurkan oleh
oksigen (216,217) dan kelebihan energi elektronik ditransfer ke oksigen membentuk excited
state secara elektronik, singlet oksigen dengan lapang kuantum berkisar antara 0.05 dalam
methanol (92,217) sampai 0.30 dalam benzene (218). Triplet state ATR juga dapat
berinteraksi dengan sejumlah donor elektron dan aseptor (219). Fotoeksitasi ATR dalam
methanol atau DMSO menghasilkan radikal superokside (215,220). Fotoeksitasi ATR pada
liposome berisi asam lemak tidak tersaturasi dan kolesterol mengarah pada peroksidasi lemak
yang dimediasi terutama oleh singlet oksigen (220).
Pada retina, ATR dapat diikat oleh sejumlah protein atau phosphatidylethanolamine
(76,126) dan ikatan dapat secara dramatis mengubah properti fotokimianya. Pada rhodopsin
dan intermediasi yang dibentuk dari fotolisis, termasuk Meta II dan Meta III, 11-cis-retinal
atau ATR yang terikat via linkage Schiff base pada lisin, semua schiff base ATR sejauh ini
dipelajari, seperti N-retinylidene butylamine atau N-retinylidene ethanolamine, menghasilkan
lapang kuantum yang lebih kecil secara substansial pada intersistem crossing daripada ATR
bebas. Lapang kuantum kisaran formasi triplet state pada kadar dibawah 0.001 dalam
alkhohol dan 0.003-0.008 dalam hidrokarbon solven untuk retinylidene butylamine (213-215,
221) sampai 0.055 untuk N-retinylidene ethanolamide dalam asetonitrile (222).
Studi fotofisika pada rhodopsin dan fotointermediasi nya tidak menunjukkan
potensial photosensitizing apapun. Fotoeksitasi dari rhodopsin menyebabkan isomerasi
molekul chromophorenya dengan lapang kuantum 0.65, sebagaimana fotoeksitasi oleh
photon yang tersisa sebesar 35% diikuti oleh deaktivasi via konversi internal (223).
Fotoeksitasi Meta II menghasilkan formasi Meta III (112). Penjelasan jalur fotokimia diikuti
fotoeksitasi Meta III (115) menunjukkan 98% intermediasi fotolisis Meta III dihitung sebagai
produk yang sudah dikenal (Meta I/II, Rhodopsin dan isorhodopsin) dan oleh karena itu
hanya sekitar 2 % dipertimbangkan sebagai produk potensial properti photosensitizing.
Interaksi yang jelas dari intermediate rhodopsin dengan cahaya dan fakta bahwa pada kedua
kasus ATR masih diikat via linkage Schiff base pada opsin sehingga tidak memasukkan Meta
II dan Meta III sebagai photosensitizer yang efektif.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ATR dilepaskan dari opsin pada


fotoreseptor OS mengikat PE via linkage Schiff base membentuk NRPE (96,97,125,126).
Oleh karena itu, adanya peningkatan konsentrasi PE yang diobservasi di retina pada tikus
ABCR -/- atau pada pasien dengan stargardt disease dengan mutasi gen ABCR (96),
memiliki efek proteksi dalam memfasilitasi forrmasi NRPE. Selain itu, penulis telah
menunjukkan kerentanan terhadapat foto-oksidasi liposom berisi ATR dengan adanya PE
secara dramatis menurun dibandingkan dengan liposom tanpa PE (224). Efek ini terjadi
karena penurunan lapang kuantum dari pembentukan singlet oksigen dari ATR yang terikat
PE dibandingkan dengan ATR bebas (224).

Gambar 5. Kontribusi ATR (a), komponen chloroform-soluble lipofuscin (b) dan A2E (c)
terhadap absorbsi cahaya pada bagian luar retina, OS dan lapisan RPE. Absorbsi spektrum 3.8 mM
ATR terakumulasi pada perifovea dan perifer (a) berdasarkan tidakadanya koefisien ATR 48 000 M -1
cm-1 (198) dan ketebalan lapisan OS 31.2 m dan 23.9 m di perifovea dan perifer (75). Absorbsi
komponen spektrum chloroform-soluble lipofusin (b) berdasarkan (i) spektrum absorbsi yang diukur
dari berat kering kompone yang larut dalam benzene (283); (ii) konten komponen chloroform-soluble
lipofuscin per granul lipofuscin, 0.093 pg/granul (283); (iii) perkiraan kontribusi lipofuscin pada
volume sel RPE, dimana volume lipofuscin dikalkulasi berdasarkan rerata diameter granul
lipofuscin0.5 m; dan (iv) ketebalan lapisan RPE 14 m (286). Volume 3.9% didapatkan dari
lipofuscin RPE yang didapatkan berdasarkan (i) data Eldred dan Lasky (205) menyediakan batasan
yang lebih rendah rerata konten A2E pada sel RPE pasien donor diatas 40 tahun dan (ii) data dari
Davies dkk (284) tentang konten A2E per granul lipofuscin, 7.8 x 10 -20 mol/granule; (iii) permukaan
retina 1000 mm2 dan ketebalan lapisan RPE 14 m (286). Volume 19% ditempati oleh lipofuscin pada
RPE telah disimpulkan berdasarkan (i) data dari (285) pada batas atas sebesar 19% volume sel RPE
dari donor ditempati oleh lipofuscin pada makula dan (ii) bentuk kuboidal sel RPE pada panjang 14

m (286). Volume 67% ditempati oleh lipofuscin pada RPE yang didapatkan berdasarkan (i) data
Sparrow dkk (206) pada batas atas konten A2E per sel RPE 1.34 pg/sel dilaporkan pada sel RPE dari
retina sehat, (ii) konten A2E per granul lipofuscin (284) dan (iii) bentuk kuboid sel RPE dengan
panjang sisi 14 m (286). Data ini mengarah pada nilai tinggi yang ekstrem konten lipofuscin pada sel
RPE, yang mungkin disebabkan tidak dihiraukannya ukuran sel RPE pada individu. Sejalan
bertambahnya usia muncul kehilangan progresif sel RPE, sel disekitarnya dapat menyebar dan
menempati area yang lebih besar, yang berakibat pada penambahan volume sel. (c) absorbsi spektrum
A2E pada lapisan RPE berdasarkan koefisien A2E pada absorbsi maximum 36900 M -1 cm-1 dan
korenspon terhadap konsentrasi A2E pada RPE dihitung berdasarkan data yang disebutkan (b).
Konsentrasi 48,224 dan 824 M A2E korespon sampai 3.9%, 19% dan 67% volume sel ditempati
lipofuscin dan 1706, 7966, 29 000 granul lipofuscin per sel. (d) perbandingan kontribusi absorbsi
cahaya yang tampak pada perifovea oleh 3.8 mM ATR, komponen chloroform-soluble lipofuscin,
yang menempati 19% volume sel dan 224 M A2E yang ada dalam lipofuscin tersebut.

Ikatan retina pada opsin entrance/exit site, CRABP atau IRBP melibatkan interaksi
nonkovalen (93,157,174,225). Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan bagaimana
ikatan non-kovalen mempengaruhi fotokimia dan properti photosensitizing retina. Banyak
studi yang menunjukkan retina dapat menginduksi photodamage dengan protein yang
berinteraksi dengannya (174,226,227).
Fotooksidasi kelompok SH pada rhodopsin telah ditunjukkan in vitro (226).
Meskipun demikian, analisis masa spectroskopik rhodopsin yang diisolasi dari tikus yang
diperlakukan dengan cahaya untuk kerusakan retina yang diinduksi cahaya tidak menjelaskan
residu kesurakan oksidatif kecuali triptofan, yang oksidasinya berasal dari CNBr yang
digunakan untuk pemecahan protein (228).
Foto-eksitasi ATR pada komplek IRBP-ATR in vitro menyebabkan kerusakan
protein yang dideteksi sebagai kehilangan triptofan flouresen, penurunan kelompok thiol dan
aktivitas ikatan retinol, meskipun ATR masih tersisa (174). CRABP di sisi lain, tidak
mencegah isomerisasi komplek 11-cis-retina melalui lapang kuantum fotoisomerisasi 0.07
yang relatif kecil (157,225). Foto-eksitasi komplek CRABP-11-cis-retinal dengan cahaya biru
(max = 425 nm) menyebabkan pelepasan ATR. Sejauh ini diperkirakan bahwa CRABP
kemudian dapat menjadi target potensial untuk kerusakan photodamage dimediasi oleh fotoeksitasi ATR.
Iradiasi protein fotoreseptor (peripherin/RDS, ROM-1 atau ABCR) in vitro dengan
cahaya 366 nm atau cahaya tampak > 410 nm dengan keberadaan ATR dibawah suasana
aerobik sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap protein dan agregasinya melalui
formasi kovalent cross-link. Selain itu, aktivitas ATPase ABCR berhenti (227). Oleh karena
itu dugaan jika kerusakan foto-oksidatif pada ABCR terjadi in vivo, akan mengunci NRPE

dengan protein dan menghalangi katalisis pemindahan selanjutnya ATR ke lokasi sitoplasmik
membran OS menyebabkan akumulasi photosensitizer pada membran.
Secara keseluruhan, dapat dijelaskan akumulasi ATR bebas dapat memicu resiko
kerusakan foto-oksidatif retina. Meskipun demikian, studi pada kerusakan yang disebabkan
cahaya pada retina, ATR tidak dipertimbangkan sebagai mediator photodamage retina
sebagaimana telah dipercaya setelah hidrolisis opsin ATR secara cepat direduksi menjadi alltrans-retinol (71). Hanya dalam beberapa tahun ini beberapa bukti terkumpulkan untuk
menunjukkan ATR secara transien terakumulasi pada retina sebagai akibat photobleaching
rhodopsin (122) dan jalus biosintetik formasi A2E seharusnya ada di OS bereaksi dengan
NRPE daripada berinteraksi dengan PE berlebih (96-99, 122). Studi tentang mekanisme
pelepasan ATR dari opsin (93,94) menunjukkan pentingnya sintesis yang efisien dan
pengantaran 11-cis-retina ke OS untuk akumulasi ATR.
Peran ATR pada rhodopsin-dependent kerusakan yang diinduksi cahaya pada retina.
Rhodopsin sebagai faktor yang esensial terhadap terjadinya photodamage
Rhodopsin telah diketahui merupakan faktor esensial photodamage retina untuk
terjadi (56.79-81). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, aksi spektrum photodamageretina
pada tikus yang dipelihara pada siklus cahaya dim dan diekspos selama periode yang relatif
panjang sampai cahaya intensitas rendah bersamaan dengan absorbsi spektrum rhodopsin
(55,56). Pada percobaan ini menunjukkan aksi pektrum photodamage retina sampai dengan
500 nm, rhodopsin mencapai konsentrasi tetap sekitar 35% dari nilai pda hewan adaptasi
gelap. Dibawah kondisi ini ATR tidak dapat berperan sebagai photosensitizer sebagai
kontribusi ATR absorbsi photon panjang gelombang 500 nm diabaikan. Hal ini dapat
dispekulasi bahwa percobaan ini, aksi kerusakan karena perkiraan konstan influks 11-cisretinal/ATR untuk dan dari OS dan retina terkena efek toksik melalui pacuan stress oksidatif
pada OS tanpa melibatkan photosensitation. Selain itu, telah diketahui bahwa ATR dapat
memacu kerusakan oksidatif pada DNA (229) dan toksisitas sel pada kultur (230) gelap pada
konsentrasi serendah 0.001 mM dan 0.100 mM. Dengan ini dapat diasumsikan kerusakan tipe
ini terjadi secara eksklusif pada retina dengan level lebih tinggi rhodopsin, seperti hewan
yang dipelihara pada kondisi gelap atau siklus cahaya dim.
Spektrum aksi photodamage retina diobservasi pada primata dan hewan pengerat pada
level iradiasi lebih tinggi menyebabkan peningkatan kerentanan photodamage dengan
menurunnya panjang gelombang sampai 320 nm (71,72). ATR merupakan komponen labil
yang pada paparan cahaya dibawah kondisi aerobik mengalami degradasi cepat dan produk

diabsorbsi pada gelombang pendek dilakukan (231). Melalui ini dapat disimpulkan produk
fotodegradasi ATR tertahan beberapa dari properti photosesitizing dan dapat memicu
kerusakan yang diawali ATR. Selanjutnya dapat diperkirakan ATR dapat mengawali
terjadinya oksidasi komponen lainnya, seperti asam lemak poliunsaturated yang berlimpah
pada OS dan membentuk produk properti photosensitizing yang menyerap cahaya gelombang
pendek. Selain itum telah diketahui oksidasi DHA, yang berkisar antara 30-35% asam lemak
pada OS manusia (203), mengarah pada formasi chromophore yang photosensitize oksigen
singlet dan pembentukan radikal bebas melalui mekanisme foto-eksitasi dengan cahaya
gelombang pendek (232). Oleh karena itu diperkirakan iradiasi cahaya biru mengawali
kerusakan photosensitizing, yang mengawali mediasi oleh ATR dan kemudian oleh produk
oksidasi yang terbentuk.
Selain itu, penulis telah menunjukkan pengearuh panjang gelombang pada jumlah
inisiasi foto-oksidasi dari isolasi adaptasi gelap bovine OS menghasilkan karakteristik
spektrum yang hampir sama dengan liposom mengandung ATR dan dibentuk dari
Phosphatidylcholine atau campuran phosphatidylcholine dan PE (65:335 mol/mol) (224,233),
dengan panjang gelombang maximum 370 nm. Photobleaching OS oleh paparan cahaya
ruangan sebelum pengukuran menghasilkan aksi spektrum menghasilkan peningkatan tetap
jumlah foto-oksidasi dengan penurunan panjang gelombang (233). Aksi spektrum ini serupa
dengan aksi spektrum photodamage retina yang secara positif berhubungan dengan konten
rhodopsin pada retina sebelum paparan cahaya (48,234), pada tinjauan diatas mendiskusikan
kondisi yang disebabkan akumulasi ATR pada OS, konten rhodopsin memerankan peran
penting semakin banyak rhodopsin yang mengalami photobleaching semakin banyak ATR
yang dilepaskan. Rhodopsin pada tikus percobaan diproteksi secara penuh dari kerusakan
karena cahaya pada fotoreseptor, tetapi sel batang tidak didapati pada OS pada awalnya,
sehingga mereka tidak lagi fotosensitif (80).
Konsentrasi rhodopsin pada OS berhubungan terbalik dengan level cahaya yang
diberikan pada hewan yang dipelihara (235). Pemeliharaan hewan pengerat dan tikus selama
beberapa minggu pada siklus cahaya terang melindungi hewan dari

photodamage yang

diinduksi cahaya intensitas tinggi (66-68, 236). Meskipun ada beberapa respon mekanisme
adaptif yang diperoleh dari cahaya yang dapat memerankan peran proteksi, seperti
peningkatan konsentrasi anti-oksidan berat molekul rendah, ascorbate dan -tocopherol (5961), up-regulasi enzim antioksidan (58,59) dan faktor ketahanan (57,62,63). Pada konten
tereduksi rhodopsin memiliki peran penting dalam efek proteksi yang diobservasi.

Efek komposisi lipid pada OS terhadap kerentanan kerusakan yang diinduksi cahaya
Lingkungan lipid pada OS mempengaruhi kerentanan photodamage retina (237). Hal
ini diduga dipengaruhi efeknya terhadap jumlah regenerasi Rhodopsin. Deplesi substansial
DHA tikus mebedakan lapang kuantum foto-aktivasi rhodopsin menjadi Meta II dan oleh
karena itu lapang kuantum ATR dihidrolisis dari opsin.
Efek ini penting terkait dengan fakta adaptasi lingkungan cahaya mengikutkan
perubahan komposisi lipid pada membran OS. Pemeliharaan hewan pada cahaya terang
menyebabkan peningkatan kolesterol dan peningkatan komponen lemak poliunsaturated,
seperti DHA (60,239). Oleh karena itu diduga perubahan adaptif komposisis membran lipid
OS sebagai respon dari pemeliharaan dalam kondisi terang sebagai mekanisme proteksi
lainnya dengan memberikan kondisi yang memfasilitasi formasi meta III. Pada kondisi retina
adaptasi gelap diperoleh konsentrasi yang tinggi transducin pada OS (240) dan oleh karena
itu, setelah kilatan cahaya bleaching, Meta III secara efisien diubah menjadi Meta II oleh
transducin. Hal ini dapat merupakan implikasi kasus paparan cahaya, komposisi lipid OS
yang dimodifikasi hanya menghasilkan keterlambatan aktivasi urutan phototransduction dan
subsekuen hidrolisis ATR dari opsin, yang akan ditentukan oleh nilai konstan bimolekuler
dari interaksi Meta III dengan transducin dan konsentrasi transducin.
Dibawah kondisi paparan menetap terhadap cahaya sebagian besar transducin
berpindah menjadi segmen dalam fotoreseptor (240) dan oleh karena itu konversi transducincatalyzed Meta III menjadi Meta II menjadi kurang efisien karena konsentrasi transducin
yang rendah pada OS. Meskipun demikian, dibawah kondisi ini absorbsi photon oleh Meta III
dapat mengubahnya menjadi Meta II (115). Absorbsi konsekutive dari dua atau lebih photon
diperlukan untuk membuat bentuk aktif biokimia, Meta II, pada kondisi yang cenderung
membentuk formasi awal Meta III daripada Meta II dari Meta I, dapat diduga turunya
kerentanan kerusakan cahaya pada hewan yang kekurangan DHA berhubungan tidak hanya
dengan efek inhibitor nya pada regenerasi rhodopsin tetapi juga terhadap penurunan lapang
kuantum ATR yang dihidrolisis dari opsin.
Peran Availabilitas 11-Cis-Retinal Untuk Regenerasi Rhodopsin Pada Kerusakan
Akibat Cahaya
Beberapa bukti menunjukkan bahwa abilitas untuk regenerasi rhodopsin dan
jumlahnya dalam proses ini merupakan faktor utama yang menentukan kerentanan retina
terhadap photodamage. Pada hewan yang regenerasi rhodopsinnya tidak efisien, kerentanan

terhadap photodamage berkurang bahkan pada hewan dengan defek konten rhodopsin pada
retina adaptasi gelapnya daripada hewan dengan regenerasi rhodopsin normal (79,237,238).
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, regenerasi rhodopsin bergantung pada
ikatan molekul baru 11-cis-retinal pada opsin. Oleh karena itu, untuk menyediakan OS
molekul baru 11-cis-retinal, cadangan ester retinyl harus dimobilisasi dan dipindahkan
menjadi chromophore pigmen visual (76). Baru-baru ini, tidak dijelaskan bagaimana jalur
signaling untuk mobilisasi ester retinyl dan sintesis 11-cis-retina, atau hal apa yang
membatasi sintesis 11-cis-retinal dan pengantarannya ke OS. Sintesis 11-cis retinal
memerlukan protein fungsional RPE65 dimana ini esensial dalam mengikat ester all-transretinyl dan menyediakan isomerisasi dan hidrolisis membentuk 11-cis-retinol (147-149, 151).
Dengan ketidakadaan atau disfungsi RPE65, tidak ada ligand yang tersedia untuk
meregenerasi rhodopsin dan oleh karena itu ATR yang dihidrolisis dapat secara aman
direduksi menjadi all-trans-retinol oleh RDH ada exit site opsin (93). Sebaliknya, pada
kondisi dimana terdapar regenerasi efisien rhodopsin, ATR dapat dilepaskan dari protein
sebelum reduksi enzimatik (93), sehingga menyebabkan akumulasi konsentrasi substansial
ATR pada OS.
Selain itu, tikus RPE 65-/- diproteksi lengkap terhadap kerusakan yang diinduksi
cahaya dibandingkan dengan tikus liar (80). Mutasi RPE65 yang menyebabkan lambatnya
regenerasi metabolik rhodopsin menyebabkan resistensi yang lebih besar pula terhadap
kerusakan karena cahaya dibandingkan dengan strain tikus dengan regenerasi kinetik cepat
(79,241). Secara khusus, telah diketahui bahwa varian RPE65 pada posisi 450 dimana Leu
digantikan oleh Met merupakan modifikasi genetik kuat terhadap kerentanan kerusakan yang
diinduksi cahaya pada tikus (241-243): percobaaan pada strain tikus yang berbeda dengan
dan tanpa mutasi RPE65 Met450Leu menunjukkan kerentanan kerusakan karena cahaya
berkorelasi positif dengan jumlah regenerasi rhodopsin (79). Seperti yang diduga, mutasi
RPE65 Met45Leu pada ABCR-/- juga mengurangi akumulasi A2E dibandingkan dengan tkus
ABCR-/- tanpa mutasi/ RPE65 fungsional, namun level akumulasi A2E sekitar 3-fold lebih
besar pada tikus yang mengalami mutasi daripada tikus kontrol (209).
Pengobatandengan 13-cis-asam retinoid (dikenal sebagai isotretinoin atau Accutane)
memperlambat regenerasi rhodopsin karena inhibisi RPE65 dan 11-cis-RDH (158,210,211),
mengahambat akumulasi A2E 9212,244,245) dan juga diketahui memproteksi fotoreseptor
tikus dari cahaya yang menginduksi kerusakan (245). CRABP telah diidentifikasi sebagai
protein lain yang disfungsinya menyebabkan gangguan produksi 11-cis-retinal. Tikus albino
dengan gen CRABP non-fungsional menurunkan 10-fold regenerasi rhodopsin karena

keterlambatan produksi 11-cis-retinal dan dilindungi dari kerusakan karena cahaya


dibandingkan dengan tipe liar/ tanpa perlakuan (139).
Sejauh ini telah diketahui siklus retinoid yang berjalan dengan efisien membangun
konsentrasi substansial tetap ATR pada membran OS selama paparan terhadap cahaya terang,
dimana dapat menyebakan kerusakan phtosensitized. Oleh karena itu, memperlambat siklus
retinoid dapat memberikan pilhan intervensi farmakologi untuk mencegah kerusakan fotooksidatif. Hal ini secara khusus berguna selama operasi intraokuler yang melibatkan paparan
level radiasi tinggi ke retina. Penulis berspekulasi tentang inhibisi mobilisasi cadangan ester
all-trans-retinol bisa jadi merupakan target kunci pengobatan preventif. Meskipun
menggunakan 13-cis-asam retinoid dapat adekuat digunakan selama operasi okuler,
administrasi sistemik untuk pasien dengan stargardt disease atau AMD memicu resiko
toksisitas sistemik dan teratogenitas (245). Oleh karena itu perlu mengembangkan sintetik
retinoid yang lebih amandan analognya yang dapat dibuktikan berguna untuk terapi jangka
panjang. Hal ini juga telah ditunjukkan pada tikus in vitro dan in vivo yang retinylamine-nya
merupakan inhibitor isomerisasi dan regenerasi 11-cir-retinal yang lebih efektif daripada 13cis-asam retinoid, yang mana tidak efektif dalam aktivasi asam retinoid bergantung
transkripsi dan tidak memberikan toksisitas sistemik (146). Sangat diharapkan jalur yang
dimengerti yang bertanggung jawab untuk pertukaran retinoid selama photobleaching pigmen
visual akan membuka harapan baru unruk intervensi farmakologis untuk mencegah kerusakan
yang diinduksi cahaya pada retina.
Ikatan 11-cis-retinal pada lokasi aktif rhodopsin sebagai modifier kerentanan
kerusakan karena cahaya
Untuk melepaskan ATR dari exit site opsin, molekul 11-cis-retinal perlu diikat pada
Lys296 pada tempat ikatan aktif (93). Halothan merupakan zat anestesi yang dipikirkan untuk
melengkapi 11-cis-retinal yang terikat pada opsin (246) dan secara efisien mencegah
regenerasi rhodopsin (247). Tikus percobaan dianestesi dengan halotan yang sepenuhnya
memproteksi terhadap kerusakan yang diinduksi cahaya putih dibandingkan dengan hewan
yang dianestesi dengan obat lainnya (81,247). Halotan tidak melindungi terhadap kerusakan
yang diinduksi cahaya biru pada tikus, dimana cahaya 403 nm menginduksi kondensasi
kromatin nuklear pada fotoreseptor dan perubahan berat RPE, seperti pembengkakan dan
bermacam-macam inklusi lainnya (81,247). Hasil dari eksperimen ini didiskusikan dengan
terminologi toksisitas berhubungan dengan fotoregenerasi rhodopsin parsial (80,81). Grimm
dkk

(80,81) menyampaikan foto-eksitasi rhodopsin melalui cahaya biru menyebabkan

regenerasi rhodopsin, sehingga disebut sebagai fotoreversal bleaching.

Pernyataan ini

berdasarkan pengukuran rhodopsin setelah paparan cahaya biru (403 10 nm) atau cahaya
hijau (550 10 nm), yanag ditunjukkan dari rhodopsin yang hampir seluruhnya mengalami
bleaching oleh cahaya hijau tetapi paparan cahaya biru menyebabkan capaian plateau sekitar
20% dari nilai kondisi gelap (80). Grimm dkk (81) menyatakan cahaya biru dapat
menggunakan efek toksiknya melalui fotoisomerisasi intermediate rhodopsin yang metastabil
seperti Meta II sehingga meregenerasi rhodopsin dan hal ini dinyatakan sebagai faktor umum
dalam kerusakan karena cahaya. Meskipun demikian, mekanisme pasti bagaimnan regenerasi
rhodopsin melalui fotoreversal dapat memediasi toksisitas tidak didiskusikan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jalur fotolisis intermediate rhodopsin

baru-

baru ini dijelaskan dan mengindikasikan fotolisis Meta II mengarah pada pembentukan Meta
III (112) dan fotolisis Meta III menyebabkan isomerisasi non spesifik ATR dan menyebabkan
pembentukan Meta II, rhodopsin dan isorhodopsin kondisi gelap, yang mengandung 11-cisretinal yang terikat pada lokasi aktifnya (115). Oleh karena itu analisis isomer retina setelah
paparan cahaya biru dapat menyediakan jawaban pasti apakah fotoreversal rhodopsin terjadi
in vivo dan berkondtribusi dalam regenerasi rhodopsin dibawah kondisi eksperimental oleh
Grim dkk (80,81).
Meskipun telah dinyatakan efek toksik intermediate rhodopsin dan mekanisme aksi
toksiknya masih misterius, observasi yang dilakukan Grimm dkk (80,81) dapat dijelaskan
dalam jalur alternatif. Selama paparan cahaya berkelanjutan pada level konsentrasi tetap
rhodopsin bergantung jumlah rhodopsin yang mengalami bleaching dan regenerasi. Pada
percobaan yang digambarkan, tikus diberi paparan cahaya 1.86 kali lebih banyak
mengandung photon cahaya hijau (0.409 mW/cm 2) daripada chaya biru (0.300 mW/cm2)
(80). Dan lebih lagi, koefisien molar penghancur rhodopsin dengan cahaya 403 nm 0sekitar
dua kali lebih kecil dari yang dengan 550 nm. Oleh karena itu jumlah absorbsi foton dan oleh
karena itu jumlah rhodopsin yang mengalami bleaching, dapat diperkirakan sekitar 3.7 kali
lebih kecil pada kasus iradiasi cahaya biru daripada iradiasi cahaya hijau dibawah kondisi
eksperimental yang didiskusikan (80). Penulis setuju dengan jumlah ratio regenerasi
rhodopsin yang dilaporkan oleh Grimm dkk (80), yang mengevaluasi dibawah kondisi
dimana pengaruh regenerasi rhodopsin dengan mengabaikan konsentrasi rhodopsin yang
telah diukur. Jumlah bleaching cahaya hijau ditentukan selama paparan 5 menit terhadap
cahaya hijau, ketika bleaching rhodopsin oleh cahaya biru dipantau dengan keberadaan
hidrosilamine yang mengikat retinal bebas dan mengahalangi ATR dari intermadiate
rhodopsin yang mengalami fotoaktivasi tetapi tidak berinteraksi dengan 11-cis-retinal yang

terikat pada tempat aktif rhodopsin. Dibawah kondisi ini, cahaya biru yang mengandung
NH2OH menginduksi bleaching rhodopsin dengan kecepatam sekitar 2.1/menit (80). Oleh
karena itu eksperimen menentukan jumlah photobleaching yang diinduksi cahaya hijau
sekitar 3.4 kali lebih bbesar dari jumlah photobleaching yang diinduksi cahaya biru, yang
hampir sama dengan nilai 3.7 seperti yang dihitung diatas.
Oleh karena itu, keberadaan konsentrasi substansial rhodopsin pada retina terpapar
cahaya biru dapat merupakan bagian dari penurunan jumlah photobleaching rhodopsin. Hal
ini kemudian berkembang menjadi dugaan bahwa efek merusak cahaya biru dibawah
anestesia halotan diinduksi oleh ATR yang dilepaskan dari opsin dan atau regenerasi 11-cisretinal yang ditranspor ke OS tetapi tidak dapat terikat pada opsin. Akumulasi retinal dapat
berpperan sebagai photosenzitizer yang bertanggung jawab pada kerusakan yang diinduksi
cahaya biru.
Dugaan lain juga muncul tentang komponen yang beraksi hampipr sama dengan
hydroxylamine dapat secara efisien melindungi terhadap kerusakan yang diinduksi cahaya.
Sebaliknya halotan, hydroxylamine memindahkan retinal, dalang yang bertanggung jawab
terhadap photodamage yang diinduksi cahaya biru dengan ikatan yang efisien dan formasi
oxime retina, yang membuat spektrum absorbsi berubah menjadi gelombang yang lebih
pendek dibandingkan dengan ATR sehingga absorbsinya cross section cahaya biru secara
subtansial lebih kecil dari ATR. Dan lebih lagi, likage Schiff base dibentuk, properti
photosensitizing diharapkan secara substansial dihancurkan.
Pada saat retinal merupakan photozensitizer, retinal juga rentan mengalami
isomerisasi yang diinduksi cahaya dan degradasi dibawah kondisi aerobik (231). Pada proses
selanjutnya ini sering digunakan untuk mengurangi retinod dari retin ayng diisolasi atau
komponennya (145). Oleh karena itu diduga degreadasi retinal karena iradiasi dengan cahaya
biru berkontribusi pada terlambatnya regenerasi rhodopsin yang diobservasi oleh Grimm dkk
(80,81). Sekali lagi, melalui analisis isomer retina dapat menyediakan jawaban apakah fotoaktivasi retinal bebas berperan penting pada kondisi ini. fotoisomerisasi ATR bebas
diharapkan menghasilkan 13-cis-retinal, yang tidak dibentuk melalui foto-isomerisasi protein
yang terikat pada retina (213,214).
Peran degradasi retinoid pada disfungsi regenerasi rhodopsin kemudian disokong oleh
studi Rapp dan Ghalayini (248). Telah diketahui paparan tikus terhadap cahaya UV (312-398
nm) menyebabkan penurunan pemulihan rhodopsin (248). Paparan menyebabkan penurunan
gradual level sampai dengan 8% setelah paparan selama 1 jam. Level rhodopsin meningkat
hanya 23 dan 27% setelah 1 dan 2 jam setelah paparan, dibandingkan dengan mata yang tidak

terpapar. Level rhodopsin kemudian meningkat 45-57% pada hari berikutnya setelah paparan
dan tersisa pada kisaran itu sampai dengan 7 hari, ketika level opsin total tetap tidak berubah
setelah 2 hari diikuti paparan UV. Peningkatan selanjutnya level rhodopsin dicatat setelah 2
minggu ketika mencapai 80% nilai kontrol. Meskipun demikian, paparan mengarah pada
bukti kerusakan struktural pada fotoreseptor: pembengkakan, disorganisasi dan pemendekan
segmen luar pada retina central inferior. Radiasi yang digunakan dalam eksperimen berkisar
312-389 nm dan mengarahkan pada foto-eksitasi baik rhodopsin maupun retinoid. Karena
pengukuran retinoid tidak dilakukan, muncul dugaan keterlambatan pemulihan rhodopsin
diawali deplesi retinoid sebagai akibat dari foto-degradasi, dimana kerusakan struktural
fotoreseptor menghambat pertukaran retinoid pada siklus retinoid. Selain itu muncul pula
dugaan awal akumulasi TRA dapat bertanggung jawab pada kerusakan yang diobservasi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pasien dan hewan dengan mutasi rhodopsin
P23H secara khusus rentan terhadap kerusakan yang diinduksi cahaya (36,38-42). Rhodopsin
P23H tidak dapat terlipat secara benar setelah sintesis dan kebanyakan ditandai oleh ubiquitin
untuk degradasi proteasomal. Biosintesis rhodopsin P23H dan kerjasamanya pada membran
dapat diselamatkan melalui suplai 11-cis-retinal atau analognya, seperti 9-cis-retinal atau
sintetik 11-cis-7-ring retinal (37,249). Ketiga retinoid, 11-cis-7-ring retinal, 11-cis-retinal atau
9-cis-retinal, terikat pada P23H opsin via linkage Schiff base pada Lys296 dan mengijinkan
lipatan mutan protein. Rhodopsin P23H dengan 11-cis-retinal atau 9-cis-retinal sebagai
respon chromophore terhadap absorbsi photon, yang berakibat pada penurunan absorbsi pada
gelombang 500 nm dan formasi intermediate yang diserap pada panjang gelombang yang
lebih pendek (37). Sebaliknya terhadap 11-cis-retinal dan 9-cis-retinal, 11-cis-7-ring retinal
terkunci, rhodopsin P23H non-fotoisomerisasi dan non-bleaching pada membran sel (249).
Meskipun demikian, ikatan all retinal pada P23H opsin sangat lemah dan
menyebabkan stabilitas termal yang rendah (37,249). Rhodopsin P23H baik dengan 11-cisretinal atau 11-cis-7-ring retinal kehilangan chromophorenya dalam 10-20 menit selama
inkubasi 37C. Hal ini diduga meningkatkan kerentanan pasien P23H dan hewan terhadap
kerusakan yang diinduksi cahaya pada retina berhubungan dengan stabilitas termal yang
rendah dari phodopsin P23H dan melepaskan 11-cis-retinal yang dapat memicu fototoksisitas. Oleh karena itu, beberapa studi mengenai tujuan intervensi farmakologi dalam
menyelamatkan rhodopsin P23H, suplementasi retinoid membutuhkan perhatian khusus
sebagaimana ia dapat meningkatkan resiko kerusakan yang diinduksi cahaya. Karena
stabilitas termal yang rendah rhodopsin P23H, terdapat suatu kebutuhan untuk

mengembangkan analog 11-cis-retinal yang mengijinkan formasi protein stabil pada kondisi
gelap sebagaimana foto-transduksi fungsional.
Pada kesimpulan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan retina terhadap
kerusakan retina karena cahaya. Para ahli memasukkan konten rhodopsin, jumlah fotoaktivasi rhodopsin menjadi Meta II, jumlah sintesis 11-cis-retinal dan jumlah regenerasi
rhodopsin. Dari semua faktor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
jumlah hidrolisis ATR dan lepas dari opsin dan oleh karen aitu secara transien terakumulasi
pada diskus OS. Pada beberapa kasus yang didiskusikan diatas juga melibatkan 11-cis-retinal
yang menginduksi fototoksisitas pada akumulasi photoreseptor yang tidak mampu mengikat
opsin karena keberadaan kompetitor, seperti halotan, atau hidrolisis opsin termutasi yang
tidak stabil secara termal, seperti opsin P23H. Retinal yang terakumulasi dapat menginduksi
kerusakan oksidatif pada kegelapan, tetapi efisiensi proses secara substansial meningkat pada
foto-eksitasi retinal dengan UVA atau cahaya biru (230). Hal ini dapat menjelaskan
mekanisme yang mungkin untuk semua tipe photodamage yang diobservasi pada tikus
percobaan dan primata mempengaruhi foto-reseptor dan mungkin juga RPE karena
kedekatannya dengan tempat akumulasi photosensitizer.
Kerusakan sekunder yang dimediasi retina : properti sitotoksik dan photosensitizer
lipofuscin
Availabilitas ATR pada retina dan paparan cahaya merupakan faktor utama yang bertanggung
jawab pada akumulasi granul lipofuscin pada RPE (152,250,251). Lipofuscin retinal terutama
terdiri dari lemak dan protein (203,252) dan mengandung sejumlah fluorphore (253), salah
satunya diidentifikasi sebagai A2E (205,254). Akumulasi progresif lipofuscin terjadi dengan
penuaan (9,255) dan ini kemudian meningkat pada pasien dengan stargardt disease
(256,257), AMD (258,263), best disease (261) dan beberapa kasus retinitis pigmentosa
(262,263), sebagaimana tikus ABCR-/- dan ABCR +/- (96,97,130).
Properti fototoksik lipofuscin
Konsekuensi biologis akumulasi lipofuscin pada RPE manusia masih belum diketahui secara
luas, meskipun demikian, telah dapat dijelaskan bahwa level berlebih pigmen penuaan dapat
membahayakan fungsi RPE esensial dan bahkan berkontribusi pada patogenesis AMD,
penyebab utama kebutaan pada pasien usia 60 tahunan pada negara barat maju (264-270).
Topografi spasial, hubungan usia dan distribusi ras terhadap lipofuscin menunjukkan tanda
kesamaan dengan pola yang terlihat pada AMD (208). Kemungkinan hubungan yang paling

baik antara akumulasi lipofuscin dan degenerasi retinal yang digambarkan pada kasus distrofi
makular stargardt (271). Studi terbaru telah menunjukkan mutasi ABCR menyebabkan
akumulasi lipofuscin debelum perlambatan siklus retinoid (191). Oleh karena itu, akumulasi
lipofuscin dapat terlihat sebagai kunci dan komponen awal ekspresi stargardt disease.
Meskipun mekanisme pasti lipofuscin-bergantung sitotoksisitas RPE masih belum
diketahui, dari ini telah muncul hipotesis bahwa stres oksidatif, dimediasi lipofuscin fotoeksitasi, dapat berperan penting (272,273). Secara signifikan, telah diketahui bahwa
lipofuscin berkontribusi terhadap peningkatan kerentanan sel RPE sehubungan dengan usia
terhadap foto-oksidasi (274). Iradiasi aerobik dari granul lipofuscin yang dimurnikan dengan
gelombang pendek cahaya yang terlihat menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif
termasuk anion superokside, hidrogen peroksida, hidroperokside lipid dan singlet oksigen
(274-278). Reduksi photoinduced oksigen menjadi superoksida dan hidrogen peroksida hanya
merupakan proses kecil untuk penggunaan oksigen tergantung lipofuscin, terhitung kurang
dari 3% oksigen digunakan, sebagaimana sebagian besar oksigen digunakan untuk oksidasi
komponen lipofuscin (278). Aksi spektrum pembentukan hidrogen peroksida dan oksidasi
lipofusin menghasilkan peningkatan monotonik dengan menurunkan gelombang cahaya
(274). Foto-oksidasi sel RPE dan lipofuscin terjadi pada skala waktu semenit sampai 10
menit menggunakan level iradiasi 5-30 mW/cm2 untuk uji gelombang terpendek dan
terpanjang. Telah diketahui lipofuscin memediasi oksidasi photoinduced lemak dan protein
ekstragranuler (274, 276-278) dan menghasilkan beberapa enzim lisosomal dan antioksidan
(276,279).
Fraksi chromophore lipofuscin dapat diekstraksi oleh solvent organik dan properti
yang dipelajari dalam larutan menunjukan masuknya photosensitizer (218,280,281). Fotoeksitasi ekstrak lipofuscin larut pada solvent non-polar, seperti hexane atai benzene,
menyebabkan pembentukan photon triplet state menghasilkan absorbsi maximum 440 nm
rusak dengan nilai konstan 105 s-1, sesuai dengan lifetime sekitar 10.5 s, dengan
ketidakadaan oksigen (218). Dengan adanya oksigen, triplet state lipofuscin berinteraksi
oksigen dengan nilai konstan bimolekuler 1.2 x 10 9 M-1 dan, sebagai hasil transfer energi,
singlet oksigen dibentuk. Kuantum menghasilkan pembentukan singlet oksigen oleh ekstrak
lipofuscin bergantung pada panjang gelombang eksitasi, 0.08 untuk eksitasi 355 nm dan 0.05
untuk 420,430, dan 440 nm pada benzene. Hal ini mengindikasikan ada perbedaan
photosensitizer berkontribusi pada absorbsi pada panjang gelombang 355 nm dan cahaya biru
dan atau ratio photosensitizer pada varian chromphore pada panjang gelombang yang
berbeda. Kuaantum menghasilkan pembentukan singlet oksigen yang secara substansial

meningkat sampai 0.15 untuk panjang gelombang 355 nm dan 0.09 untuk 420, 430, 440 nm
selama saturasi larutan dengan oksigen. Sebagai pilihan lain, peningkatan konsentrasi oksigen
dapat meningkatkan efisiensi intersistem crossing memlaui interaksi dengan singlet state
tereksitasi (282). Gaillard dkk (281) mengukur lifetime flouresensi ekstrak lipofuscin dan
menentukan bahwa terpisah dari lifetime fluophores 0.06 ns dan 0.32 ns, ada fluorophore dari
lifetime fluoresensi1.2 ns dan 4.8 ns, yang cukup panjang untuk membentuk interaksi singlet
state tereksitasi dari lipofuscin fluorophores (Lf*) dengan oksigen, membentuk formasi
lipofuscin triplet state 3LF*:
I

Lf* + 302 3Lf* + 3O2

jika perbedaan energi antara eksitasi pertama singlet state dan triplet state lipofuscin
lebih besar dari energi singlet oksigen (94 kJ/mol), sebagai hasil dari reaksi diatas, singlet
oksigen dibentuk ;
Lf* + 3O2 3Lf* + 1O2*

Proses ini dapat menambah kuatum yang dihasilkan dari pembentukan singlet
oksigen. Foto-eksitasi laser 355 nm ekstrak lipofuscin yang dilarutkan dalam solvent polar,
seperti methanol, memebntuk formasi triplet state seumur hidup 7 s dan spesies lainnya,
kemungkinan radikal (281). Foto-formasi radikal bebas oleh foto-eksitasi ekstrak lipofuscin
yang dikonfirmasi oleh rensonansi paramagnetik elektron (EPR) percobaan spin-trapping
(274,280). Pada methanol, melalui mekanisme foto-eksitasi dengan gelombang 355 nm,
ekstrak lipofuscin membentuk singlet oksigen dengan kuantum yang dihasilkan sebesar 0.05
ekuivalen dengan yang pada ATR (280,281).
Melalui ini tampak bahwa bertambahnya usia meningkatkan resiko stres oksidatif
terkait lipofuscin pada retina luar disebabkan oleh akumulasi lipofuscin maupun peningkatan
foto-reaktivitas aerobik. Selain itu, analisi mendetail foto-reaktivitas aerobik dari granul
lipofuscin yang dimurnikan, diisolasi dari dari donor berbagai kelompok usia, menunjukkan
bahwa foto-konsumsi oksigen sekitar 1.6-2.2 kali lebih cepar pada lipofuscin dari donor usia
80 tahun lebih daripada dari donor usia kurang dari 40 tahun (283). Secara konsisten dengan
observasi inigranul lipofuscin dari donor yang lebih tua menghasilkan anion superoksida
dengan kecepatan lebih dibanding dari donor yang lebih muda (283). Untuk menentukan
apakah perubahan granul lipofuscin terkait usia pada retina manusia muncul dari perubahan
properti fotokimia dari setiap komponen lipofuscin yang diisolasi, efisiensi dan spektrum aksi
photogeneration spesies oksigen reaktif pada fraksi larut kloroform dan tidak larut kloroform

telah dibandingkan (283). Data dengan jelas menunjukka, meskipun kedua fraksi
menghasilkan foto-reaktivitas substansial, baik menjelaskan perubahan signifikan bergantung
usia dan hanya variabelyang ssecara konsisten bertambah sejalan usia merupakan konten
fraksi tidak larut kloroform pada granul lipofuscin. Fraksi ketidaklarutan lipofuscin termasuk
didalamnya photosensitizer kuat dan kontribusinya pada foto-reaktivitas lipofuscin yang
hampir sama dengan yang dari fraksi larut kloroform. Kedua fraksi menghasilkan singlet
oksigen, superoksida, termasuk oksidasi lemak dan protein dan menjalani foto-oksidasi.
Potensi foto-toksik lipofuscin retina telah ditunjukkan pada studi in vitro, dimana
kultur sel RPE manusia diberi makan granul lipofuscin dan terpapar baik gelombang cahaya
390 -550 nm (2.8 mW/cm2) atau 550-800 nm (2.8 mW/cm2) (284). Hanya sel yang diberi
makan granul lipofuscin dan terpapar cahaya 390-550 nm selama 12 jam (dosis 121 J/cm 2)
menyebabkan perubahan morfologi yang signifikan, rusaknya intergritas lisosom,
meningkatkan peroksidasi lipid dan mereduksi ketahanan. Pada studi ini sel RPE dalam
kultur dipaparkan pada 300 granul lipofuscin per sel, terpisah dari yang difagositosis.
Akumulasi lipofuscin in vivo dapat dengan mudah melebihi nilai tersebut. Studi morfometrik
konten lipofuscin pada RPE manusia menunjukkan bahwa lipofuscin dapat menempati
sebesar 19% volume sel pada makular RPE pada donor usia 81-90 tahun (285). Dengan
berasumsi 0.5 m sebagai rerata diameter granul lipofuscin dan bentuk kuboid sel RPE
dengan panjang 14 m (286), 19% volume sel ditempati oleh lipofuscin setara 7966 granul
lipofuscin per sel.
Konten lipfuscin pada RPE juga dapat diperkirakan berdasarkan konten/isi A2E pada
sel RPE dan konten A2E pda granul lipofuscin. Konten A2E/iso-A2E diperkirakan sebesar
7.8x 10-20 mol per granul lipofuscin yang diisolasi dari donor usia 60-70 tahun (284). Oleh
karena itu, akumulasi retina 400 ng (0.675 nmol) A2E (205) akan memiliki sekitar 8.7 x 10 9
granul lipofuscin. Hal ini membuat perkiraan rerata angka granul lipofuscin volume unit per
satu lapis RPE, atau asumsi bentuk kuboid sel RPE pada panjang 14 m dan tertata tepat, pda
sel RPE single. Perkiraan kasar ini memberikan 5.1 juta sel RPE per 1000 mm 2permukaan
retina, yang memberi sekitar 1706 granul lipofuscin per sel dari donor usia 40 tahun lebih.
Berdasarkan data konten A2E pada sel RPE dari individu donor manusia usia sehat
yang ditentukan oleh Sparrow dkk (206), dapat diperkirakan sel RPE 34-134 ng dari
akumulasi A2E per 105 sel berisi 7400 sampai 29000 granul lipofuscin per sel. Perkiraan ini
memberi kisaran antara 17% sampai 69% volume sel RPE yang ditempati oleh granul
lipofuscin.

Hal lain ynag perlu diperhatikan adalah bahwa perkiraan ini mengacu pada rerata
konten lipofuscin pada jumlah yang besar sel RPE dan retina. Terdapat heterogenitas besar
pda akumulasi lipofuscin dengan sel RPE yang berbeda pada retina yang sama dan lebih
besar lagi pada retina yang berbeda, khusunya, kasus distrofi retina (137,207,285,287,288).
Kontribusi A2E terhadap properti foto-toksik lipofuscin
A2E menarik perhatian karena potensi photosensitizer yang bertanggung jawab dalam
efek photodamage lipofuscin (dapat dilihat tinjauan oleh Sparrow dkk [99]). A2E diekstraksi
dari lipofuscin bersama dengan komponen larut-kloroform lainnya (205). Untuk panjang
gelombang yang sesuai untuk absorbsi maksimum A2E (E = 36
900 M-' cm-' at 439 nm [254]) dan ketebalan 0.014 mm monolayer RPE, absorbsi A2E baru
dapat diperkirakan. Kondisi ini mengarah pada nilai absorbsi A2E pada panjang gelombang
439 nm pada lapisan RPE yang bervariasi dari 0.0028 sampai 0.048 untuk konsentrasi A2E
48 M dan 824 M, perkiraan berdasarkan data dari Eldred dan Lasky (205) dan Sparrow
dkk 9206) (Gambar 5c).
Konsentrasi A2E 48 M dan 824 M sesuai dengan perkiraan maksimal dan minimal
dari granul lipofuscin 1706 dan 29000 per sel. Kondisi ini jjuga membuat kalkulasi absorbsi
cahaya oleh molekul larut dari lipofuscin melalui monolayer RPE dan kontribusi A2E pada
absorbsi tersebut (gambar 5b-d). Fraksi larut kloroform lipofuscin berkontribusi sekitar
0.093 pg berat kering granul lipofuscin (283), demikian 1706 dan 29000 granul lipofuscin per
sel sesuai dengan 159 pg dan 2697 pg fraksi larut kloroform lipofuscin per sel, pada istilah
konsentrasi, 39 mg/ml dan 658 mg/ml. Fraksi larut kloroform lipofuscin konsentrasi 0.24
mg/ml menghasilkan absorbsi sebesar 0.125 pada gelombang 439 nm untuk jarak 1 mm
(283). Oleh karena itu, kemampuan absorbsi komponen lipofuscin larut kloroform pada
monolayer RPE dengan ketebalan 14 m sebesar 0.284 dan 4.791 pada panjang gelombang
439 nm untuk RPE dnegan 1706 dan 29000 granul lipofuscin per sel (gambar 5b). Hal ini
perlu diperhatikan bahwa kalkulasi yang absorbsi cahaya yang diharapkan oleh ekstrak
lipofuscin dan A2E mengacu pada chromophore dalam larutan. Pada kondisi fisiologis,
semua chromophore dikapsul dengan granul lipofuscin dan oleh karena itu absorbsi crosssection pada RPE dapat secara substansial berbeda dari yang dalam larutan.
Perbandingan absorbsi properti A2E dan semua komponen lipofuscin larut kloroform
menunjukkan kontribusi A2E pada absorbsi cahaya yang tampak oleh liofuscin hanya sedikit
(gambar 5d). Lipofuscin menempati 19% volume RPE, absorbsi cahaya tampak oleh
komponen lipofuscin terlarut 8.6 kali lebih besar dari 3.8 mM ATR perifovea OS (gambar

5d). Pada kasus ini, ATR menunjukkan 14 kali lebih besar absorbsi terintegrasinya pada
cahaya tampak daripada 224 M berisi A2E pada lipofuscin yang menempati 19% volume
RPE. Perlu ditekankan bahwa komponen larut lipofuscin berjumlah hanya setengah atau
kurang dari total masa kering granul lipofuscin dan sisa komponennya juga menyerab cahaya
dan berkontribusi dalam aksi foto dinamik lipofuscin (283). Dengan adanya penuaan lensa
yang menguning menyerap lebih dan lebih cahaya gelombang pendek dan mungkin fotoeksitasi ATR dan A2E menurun progresif. Lipofuscin, meskipun demikian, masih efisien
menyerap cahaya diatas 460 nm dan gelombang cahaya panjang biru dan hijau masih dapat
menginduksi pembentukan photosensitized singlet oksigen dan foto-oksidasi 9218,274).
Pada konsesntrasi rendah, A2E diketahui melindungi terhadap UV-yang menginduksi
kerusakan DNA pada sel RPE in vitro (289). Pada percobaan yang dilakukan oleh Robert dkk
(289), sel RPE diinkubasi selama 2 jam dalam media kultur dengan atau tanpa A2E, yang
setelahnya sel dibilas dan terpapar sinar UV. Sel pre-inkubasi dengan adanya 5 M A2E
secara signifikan melindungi terhadap kerusakan DNA dibandingkan dengan sel kontrol.
Meskipun demikian, pada konsentrasi tinggi, A2E dapat menggunakan beberapa efek
merusak sel pada kondisi gelap dan memediasi kerusakan karena cahaya biru pada sel RPE in
vitro (tinjauan oleh Sparrow dkk [99], Boulton dkk [270], Sparow dan Boulton [290] dan
lamb dan simon [202]).
A2E diketahui menyebabkan permeabilisasi membran (291,292), menghambat
aktivitas lisosomal ATPase (293), mencegah sitokrom c oksidase dan mennurunkan aktivitas
mitokondria (295), nantinya menyebabkan apoptosis (206). A2E diketahui berperan sebagai
inhibitor kompetitif organic anion-transporting protein (OATP) yang ada pada mikrovili
apikal pada RPE tikus dan untuk derajat yang lebih kecil pada pembuluh darah kecil retina
(206). OATP, yaang juga diekspresikan di otak dan hepar, mentranpor komponen ampifilik ke
seluruh membran plasma melalui metode sodium-independent dan pada retina diduga terlibat
dalam tranpor retinoid.
Sebagian besar studi toksisitas A2E dilakukan pada sel kultur, yang dipaparkan pada
A2E dalam bentuk solusio (206,295,297-301). Dibawah kondisi fisiologis A2E dipercaya
berada terutama oada granul lipofuscin (99) dan oleh karena itu aksi toksik in vitro ketika
diantarkan dalam solultio tidak dapat diekstrapolasi langsung pada situasi in vivo.
Enkapsulasi A2E pda granul lipofuscin, dimana terhitung hanya 0.019% sampai 0.024% berat
kering (283,284), dapat mencegah A2E dari yang digunakan untuk efek penghancurannya
pada mitokondria, DNA dan protein transpoter.

A2E dipercaya dibentuk dalam kompartemen fagosomal sel, efek A2E pada lisosom
cukup penting. Inhibisi yang diinduksi A2E terhadap ATR-motor proton pump terletak pada
membran lisosomal menyebabkan inhibisi tranpor proton ke lumen lisosomal dan
menyebabkan peningkatan pH lisosomal dengan inhibisi subsekuen hidrolase lisosomal
(293). Hal ini dapat menjelaskan mengapa A2E menghambat degradasi lipoprotein densitas
rendah dan lipid OS. Pada sel RPE in vitro A2E diketahui menghambat katabolisme protein
endogen (302) tetapi tidak mempengaruhi jumlah degradasi protein OS yang terfagositosis
(304). A2E berkontribusi terhadap akumulasi lipofuscin karena efek inhibisi langsung
beberapa enzim hidrolitik pada keadaan gelap dan efek eksaserbasi selama paparan cahaya
(276,279).
Fototoksisitas lipofuscin sel RPE pada kultur tidak dapat dijelaskan melalui aksi A2E.
Lipofuscin menggunakan efek toksiknya pada sel RPE in vitro dimana konten A2E pada sel
tertinggi berkisar 1.3 ng/105 sel (284), jadi setidaknya dua susunan yang besarnya lebih kecil
dari yang dibutuhkan untuk memperoleh efek merusak yang terdeteksi yang dimediasi A2E
dalam kondisi gelap (206) dan 17 kali lebih rendah dari yang diperlukan untuk memperoleh
toksisitas A2E yang diinduksi paparan cahaya biru 60 dtk dengan iradiasi 7.5 W/cm 2 (dosis
450 J/cm2) (297).
Perbandingan properti fotofisika dan fotokimia A2E dengan lipofuscin menunjukkan
bahwa A2E berperan hanya semenit untuk fotosensitasi kerusakan yang dimediasi lipofuscin
(lihat tinjauan Lamb dan Simon [202]). Telah diketahui bahwa bis-retinoid piridium sangat
efisien dalam mengubah energi dari photon yang diabsorbsi menjadi panas dengan kuantum
yang dihasilkan sebesar 0.96 dalam ethanol (306). Sebagai hasilnya, tidak terdapat triplet
state tereksitasi yang berumur panjang, kunci intermediasi pembentukan singlet oksigen atau
spesies oksigen reaktif lainnya, dibentuk dari hasil substansial (220,289,307). Sebagai hasil
kuantum fluoresensi A2E sekitar 0.01 dalam ethanol, batas atas pembentukan triplet state
dalam larutan ini sebesar 0.03 (306). Menggunakan kolesterol dalam membran lisosomal
sebagai molekul mekanik reportee dan pendeteksi langsung oksigen singlet phophorescence
1270 nm, hasil kuantum photogeneration oksigen singlet oleh A2E telah ditentukan paling
besar 0.02 (220,289,307). Hal ini sesuai dengan jumlah ekuivalen photon yang diabsorbsi
lipofuscin akan menghasilkan setidaknya 2.5 kali singlet oksigen daripada ketika hanya
diabsorbsi oleh A2E. Mempertimbangkan kontribusi minor A2E pada absorbsi cahaya
tampak oleh lipofuscin, dapat diperkirakan A2E berkontribusi kurang dari satu molekul
singlet oksigen dengan lebih dari 300 yang dihasilkan lipofuscin. Berdasarkan besar kuantum
fluoresensi A2E 0.01 (306), dari sini dapat diperkirakan selama pemeriksaan funduskopi

retina oleh autofluoresensi, setiap photon yang dipancarkan dari foto-eksitasi A2E diikuti
oleh formasi setidaknya 600 molekul singlet oksigen yang difotosensitasi lipofuscin.
Percobaan EPR spin-trapping menunjukkan bahwa, meskipun eksitasi A2E juga
menghasilkan superokside anion, besar kuantum ditentukan untuk komponen lipofuscin
terlarut (220). Aksi spektrum uptake A2E pada liposom -oleoyl--palmitoyl-L-phosphatidylcholine, dibandingkan dengan di-uptake oleh granul lipofuscin atau ekstrak
lipofuscin, menunjukkan A2E tidak dapat menjadi kontributor utama foto-reaktivitas aerobik
lipofuscin (308).
A2E telah diketahui merupakan aseptor energi efisien dari eksitasi yang berakibat
pada emisi fluoresensi A2E meskipun cahaya biru diabsrobsi oleh banyak chromophore
lainnya juga (309). Demikian juga telah diduga jika A2E sangat efisien dalam menerima
energi dari eksitasi cepat singlet state hal ini dapat lebih efisien dalam menerima energi dari
triplet state dan oleh karena itu hal ini dapat mendeaktivasi photosensitizer sebelum mereka
dapat mengaktivasi oksigen atau molekul lainnya via transpor energi atau elektron. Meskipun
demikian, fotolisis kilatan laser ekstrak lipofuscin larut kloroform menyebabkan formasi
triplet state dengan absorbsi maximum 440 nm dalam methanol (281) dan benzene (218) dan
tidak ada produk transien yang dapat diobservasi pada karakteristik spektum 540 nm dalam
benzene (310) dan 510-550 nm dalam methanol (310,311). Hal ini memperkuat kontribusi
minor A2E pada fotokimia lipofuscin.
Serupa dengan prekursornya, ATR, A2E sangat rentan terhadap oksidasi (312,313).
Telah ditentukan bahwa singlet oksigen A2E memadamkan singlet oksigen dengan kecepatan
konstan bimolekuler (0.3-2) x 108 M-1 s-11 (289,312). oleh karena itu diduga singlet oksigen
yang dibentuk oleh A2E akan dipadamkan oleh bagian A2E iru sendiri. Sebagai hasil dari
penghentian kimiawi, varietas polipoxide dibentuk (312). Epoxide ini, disebut sebagai
oxiranes dan turunannya dibentuk sebagai akibat dari foto-oksidasi A2E in vitro (300,312315). Epoxide dan bis-furanoid oxide telah diidentifikasi di RPE menunjukkan mereka
dibentuk in vivo (314,316,317). Sebagai kontribusi A2E terhadap pembentukan singlet
oksigen oleh foto-eksitasi lipofuscin dikatakan kecil, diduga A2E-derived oxirane dibentuk
oleh photosensitizer lain yang ada di lipofuscin. Telah diketahui bahwa produk oksidasi A2E
yang diantar dalam larutan dapat menginduksi kerusakan oksidatif pada DNA dan
citotoksisitas (315). Meskipun demikian, pembentukan di granul lipofuscin, toksisitasnya
dibawah kondisi fisiologis masih belum jelas.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya ATR berperan esensial dalam akumulasi A2E
dan lipofuscin; meskipun, hal ini tidak terdekteksi sebagai salah satu komponen lipofuscin.

ATR memadamkan singlet oksigen dengan kecepatan bimolekuler konstan 3.7 x 10 6 M-11 s-11
dan 20 % interaksi molekul ATR menjadi teroksidasi selama proses tersebut. Dengan
demikian muncul dugaan retinal dan retinol juga membentuk epoxide di retina, tetapi
sebaliknya A2E lebih mudah difusi keluar dari granul lipofuscin dan merusak komponen
seluler.
Meskipun sudah jelas bahwa A2E tidak signifikan berkontribusi terhadap fotoreaktivitas lipofuscin, molekul alami konstituen mayor lipofuscin yang bertanggung jawab
pada reaktivitas foto-kimia belum dapat ditentukan.
Kesimpulan dan arahan di masa mendatang
Dari penulisan ini diperoleh bukti sirkustansial yang menunjukkan ATR yang
dilepaskan dari posin merupakan mediator photodamage akut retina sebagaimana akumulasi
komponen fototoksik di RPE. Diatas photobleaching rhodopsin, kecepatan pemindahan ATR
terhidrolisis bergantung pada kecepatan regenerasi rhodopsin dan aktivitas RDH dalam
mereduksi ATR menjadi all-trans-retinol, ATR dilepaskan ke membran lipid sebelum
direduksi (93), rupanya pada lipatan dalam membran diskus dimana ATR tidak dapat diakses
RDh. Disana ATR membentuk produk kondensasi dengan PE, NRPE dan menjdai substrat
protein ABCR untuk dikembalikan ke lipatan luar (129) dan menjadi dapat diakses untuk
reduksi yang dimediasi RDH. Karena formasi NRPE tidaklah instan, konsentrasi substansial
ATR foto-toksik dapat terjadi di retina selama paparan intensitas tinggi cahaya tampak dan
regenerasi efisien rhodopsin. Mekanisme ini bertanggung jawab terhadap kerusakan retina
diinduksi paparan iradiasi tinggi selama masa pembedahan okuler.
Paparan kronik cahaya yang terus ditingkatkan telah diidentifikasi sebagai faktor
resiko perkembangan AMD dan hal ini diduga kerusakan foto-oksidatif retina yang dimediasi
ATR dan atau lipofuscin dapat juga berperan. Hal ini diduga bahwa cahaya bersifat toksisk
pada kasus subset pasien AMD dengan mutasi ABCR atau pada stargardt disease. Tikus
percobaan ABCR merupakan model sempurna untuk menguji hipotesis ini. Tikus ABCR -/dipelihara dalam kegelapan tidak mengakumulasi lipofuscin, sehingga fototoksisitas
dimediasi lipofuscin dapat dieksklusi sebagai mediator kerusakan pada percobaan dimana
kerentanan kerusakan akut yang diinduksi cahaya pada hewan yang dipelihara dalam
kegelapan dibandingkan antara tikus ABCR dan tikus liar. Hal ini juga menyebabkan evaluasi
efek deplesi vitami A atau efikasi derivat retinoid memperlambat siklus retinoid dalam
mencegah kerusakan karena cahaya. Selain itu, merupakan hal yang menarik untuk
dibandingkan secara terpisah untuk kerusakan yang diinduksi cahaya biru, yang

menyebabkan kerusakan fotodinamik dimediasi ATR dan cahaya hijau, dimana konsentrasi
ATR tetap tinggi dapat membuktikan kerusakan karena toksisitas tersembunyi ATR.
Tampaknya menghindarkan retina dari paparan cahaya terang gelombang pendek
merupakan tindakan preventif yang paling mudah untuk dilakukan terhadap kerusakan karena
cahaya. Penyaringan keluar cahaya gelombang infrared dan gelombang pendek dibawah 450
nm pada instrumen opthalmik diduga menurunkan resiko kerusakan retina karena
pembedahan okuler atau pemeriksaan opthalmik (19,318) dan memasukkan penurunan
konsentrasi rhodopsin dan peningkatan konsentrasi anti oksidan molekul rendah (59-61,239).
Untuk membuat mekanisme proteksi ini bekerja, diet intake sesuai seperti vitamin anti
oksidan dan mikronutrien perlu diberikan. Hal ini juga menunjukkan gaya hidup dapar
menjadi predisposisi kerusakan retina oleh cahaya. Selain itu juga muncul dugaan
menghabiskan banyak jam di kantor dengan sedikit paparan sinar matahari menyebabkan
respon adaptif dan meningkatkan konsentrasi rhodopsin pada OS. Selain itu menghindari
sinar matahari pada akhir minggu dapat memicu resiko yang lebih besar daripada orang yang
secara konstan di outdoor. Jika efek ini berlangsung, hal ini dapat semakin nyata pada orang
yang meninggalkan kota berhujan dan berawan pada musim salju dengan mecari pantai cerah
atau lereng untuk ski. Di kemudian hari, kacamata kuning dapat memberikan perlindungan
terhadap paparan berlebih cahaya biru.
Penjelasan penuh mengenai siklus retinoid dapat memberikan strategi pencegahan
photodamage retina. Secara instan, mengerti mekanisme regulasi yang bertanggung jawab
dalam mobilisasi ester retinyl dan konversinya menjadi 11-cis-retinal dapat memberikan
pilihan lebih intervensi farmakologi daripada toksisitas 13-cis-asam retinoid. Ester retinyl,
berbeda dengan retinol dan retinal, terdapat di membran lipid dan dapat terakumulasi dalam
jumlah besar tanpa efek toksik (152), menuju jalus mobilisasi ester retinyl merupakan strategi
yang paling menjanjikan. Jalur lain untuk membubarkan akumulasi ATR pada OS adalah
dengan meningkatkan aktivitas prRDH. Aktivitas prRDH berkurang dengan paparan cahaya
hijau intensif tetapi dapat dicegah dengan antioksidan, 1,3-dimethylthiourea (319). Efek
cahaya biru pda aktivitas prRDH belum dipelajari, tetapi sebagaimana cahaya biru lebih
efisien dalam menginduksi kerusakan oksidatif daripada cahaya hijau, diduga hal ini juga
mempengaruhi prRDH dan sebagai hasilnya, berkontribusi terhadap keterlambatan reduksi
ATR menjadi retinol.
Akumulasi lipofuscin RPE dapat dilihat sebagai penanda aksi kerusakan cahaya pada
retina dan meningkatkan ancaman selama masa penuaan. Indentifikasi karakteristik

photosensitizer pada lipofuscin diperlukan untuk menyusun strategi terapi untuk


detoksifikasi.

Anda mungkin juga menyukai