BAB 1. PENDAHULUAN
Tabel 2.1. Penyerapan energi berbagai jenis laser oleh jaringan yang berbeda
(Vaughan dan Asbury, 2014)
b. Fotodisrupsi (Photodisruption)
Laser fotodisrupsi melepaskan pulsasi energi raksasa dengan lama
pulsasi beberapa nanodetik. Apabila pulsasi ini difokuskan ke titik
berukuran 15-25 m sehingga pulsasi sinar yang nyaris instan ini melebihi
titik kritis densitas energi, akan terjadi optical breakdown dengan suhu
yang meningkat sangat tinggi (sekitar 10.000 K) sehingga elektron-
elektron dilucuti dari atom-atomnya dan terbentuk keadaan fisis yang
dikenal sebagai plasma. Plasma ini membesar dengan tekanan sesaat
setinggi 10 kilobar (150.000 psi), menghasilkan efek memotong pada
jaringan mata. Karena ukuran awalnya sangat kecil, plasma ini memiliki
sedikit energi total dan menimbulkan sedikit efek di luar titik fokus
(Vaughan dan Asbury, 2014).
6
c. Fotoevaporasi
Laser fotoevaporasi menghasilkan suatu berkas panas inframerah
bergelombang panjang yang diserap oleh air sehingga tidak akan masuk ke
bagian dalam mata. Laser ini digunakan untuk menghilangkan lesi
permukaan seperti tumor palpebra, membuat insisi pada kulit atau sklera
tanpa mengeluarkan darah, foto-insisi dan fotokoagulasi kontak di dalam
mata yang disalurkan melalui probe khusus, bakaran terkendali pada
permukaan kulit yang dapat mengencangkan kulit palpebra untuk perbaikan
kosmetik dan koreksi hiperopia dengan mengubah permukaan kornea.
Laser golongan ini meliputi laser karbon dioksida, laser erbium dan laser
holmium.
d. Photodecomposition
Lase jenis ini menghasilkan sinar ultraviolet bergelombang sangat
pendek yang berinteraksi dengan ikatan kimia bahan biologis, memutus
ikatan-ikatan tersebut dan mengubah polimer biologik menjadi molekul-
molekul kecil yang kemudian berdifusi. Laser jenis ini secara kolektif
disebut excimer karena rongga/tabungnya mengandung dua gas, misalnya
7
argon dan fluorin yang bereaksi menjadi molekul tak stabil yang kemudian
memancarkan sinar laser. Laser ini digunakan untuk mengoreksi kelainan
refraksi dengan menata kembali kontur permukaan kornea secara seksama
(fotorefraktif keratektomi [PRK], laser epithelial keratectomy [LASEK],
dan laser in situ keratomuileusis [LASIK]), menghilangkan kornea
superfisial yang keruh akibat cedera atau distrofi, dan menyembuhkan erosi
kornea rekuren (fototerapeutik keratektomi [PTK]) (Vaughan dan Asbury,
2014).
makula rebound setelah PRP. Saat ini penggunaanya hanya terbatas untuk
pasien yang dilakukan PRP dan laser makula pada waktu bersamaan
(Vaughan dan Asbury, 2014).
Penggunaan PRP yang tepat sangat efektif dalam menimbulkan
regresi neovaskulariasi. Mekanisme kerja yang pasti masih belum
ditetapkan, tetapi penurunan derajat iskemia retina dan bekurangnya
pembentukan zat vasostimulatif yang berdifusi diduga berperan penting.
Setelah dilakukan PRP, didapatkan penunrunan aliran darah mata, yang
mengisyaratkan adanya penurunan kebutuhan oksigen di retina. Jenis laser
yang digunakan tampaknya tidak mempengaruhi efikasi PRP, te tapi sifat-
sifat tertentu dapat berguna dalam pengobatan, misalnya penggunaan laser
inframerah dioida lebih mudah pada perdarahan vitreus (Vaughan dan
Asbury, 2014).
PRP tidak menyebabkan regresi pada fibrosis yang menyertai
neovaskularisasi retina, fibrosis ini dapat menyebabkan ablasio retina
traksional. Lebih lanjut, PRP dapat dihambat oleh perdarahan vitreus.
Dengan demikian, PRP harus dilakukan segera setelah tanda-tanda risiko
tinggi timbul. Tanda-tanda ini mencakup setiap neovaskulariasi diskus
yang disertai perdarahan vitreus atau praretina, neovaskularisasi diskus
yang signifikan, dan neovaskularisasi yang signifikan di bagian retina
mana pun dengan perdarahan vitreus atau praretina. Terapi laser sangat
efektif dalam mencegah kebutaan pada pasien diabetes sehingga diperlukan
suatu program skrining yang efektif untuk mendeteksi lesi yang dapat
diterapi (Vaughan dan Asbury, 2014).
4. Robekan Retina
Robekan retina perifer biasanya diakibatkan pelepasan vitreus
posterior yang menyebabkan traksi vitreus. Pasien akan mengeluh melihat
benda melayang (floaters) seperti titik secara mendadak. Robekan ini dapat
menyebabkan ablasi retina, tapi bila terdeteksi sebelum terjadi penimbunan
cairan subretina, kelainan ini dapat dibatasi dengan menempatkan bakaran
laser berbentuk cincin ganda di sekelilingnya sehingga terbentuk adhesi
retina sekitarnya ke epitel pigmen retina. Dengan lensa kontak modern,
misalnya Superquad 160, adhesi ini dapat dicapai pada kebanyakan kasus
dengan suatu sistem penyalur laser menggunakan slitlamp. Pada sebagian
kecil sisanya, perlu dipertimbangkan terapi laser yang indirek. Tindak an
bedah diperlukan bila telah terjadi ablasi retina (Vaughan dan Asbury,
2014).
6. Glaukoma
a. Glaukoma Sudut Tertutup
Iridotomi laser dibuat menjadi lebih efektif dengan lensa kontak
Abraham dan lensa iridotomi-sfingterotomi Wise yang meningkatkan
kepadatan energi laser dan memperbaiki visualisasi iris. Dengan densitas
energi yang tinggi tersebut, iridotomi laser sering berhasil baik dengan
laser argon maupun laser Q-switched Nd:YAG dan hanya gagal jika kornea
telah keruh. Pada kasus kornea keruh maka diperlukan terapi laser lain
(Vaughan dan Asbury, 2014).
Dengan laser argon, berkas difokuskan melalui lensa iridotomi pada
serat iris perifer yang dipotong dalam bentuk garis sejajar limbus dengan
tembakan 0,01-0,02 detik dan tingkat energi 1-2 W. Laser argon lebih
dianjurkan untuk iris yang berwarna coklat tua dan tebal yang cenderung
mengalami perdarahan dengan laser Nd:YAG, sedangkan iris berwarna biru
13
muda kurang efektif menyerap energi laser argon dan lebih mudah
dilubangi dengan laser Nd:YAG. Jika kornea keruh, dapat dicoba irdopasti
perifer dengan laser argon (Vaughan dan Asbury, 2014)..
b. Glaukoma Sudut Terbuka
Trabekuloplasti laser selektif (STL) mengirimkan energi sangat
tinggi dalam waktu yang sangat singkat diarahkan pada anyaman
trabekular. Pada terapi STL ini hanya dapat merusak sedikit
anyaman trabekular sehingga dibutuhkan berulang.
Siklofotokoagulasi melalui konjungtiva dan sklera dilakukan dengan
penyaluran laser dioda atau laser Nd:YAG thermal-node melalui
probe fiberoptic yang menyentuh bagian mata. Efek samping berupa
nyeri, inflamasi, dan penurunan visus yang ditimbulkan jauh lebih
ringan dibandingkan efek samping cryosurgery (Vaughan dan
Asbury, 2014).
9. Bedah Refraksi
Laser excimer, terutama laser argon fluorida dengan panjang
gelombang 193 nm dapat menguapkan jaringan dengan sangat bersih nyaris
tanpa merusak sel di sekitar atau dibawah potongan. Salah satu bedah
refraksi, LASIK akan dijelaskan berikutnya (Ernest et al., 2006; Vaughan
dan Asbury, 2014).
2.5 LASIK
2.5.1 Definisi LASIK
LASIK (Laser Assisted In Situ Keratomileusis) adalah salah satu
operasi refraksi untuk memperbaiki kelainan refraksi pada mata seperti
miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Lasik merupakan jenis yang
paling sering digunakan dan paling terkenal dibandingkan operasi dengan
bantuan laser lainnya, seperti PRK (photorefractive keratectomy) atau yang
15
Bagian lapisan luar dari kornea atau epitelium, merupakan jaringan yang
lunak, hidup, terus memperbarui diri (regenerasi), dan dapat pulih secara
16
sempurna apabila terjadi iritasi atau disayat untuk keperluan operasi mata
tanpa kehilangan kejernihannya dari keadaan semula. Bagian lapisan yang lebih
dalam disebut stroma kornea, terbentuk sebelum epitelium, dan memiliki
kemampuan regenerasi jauh lebih lambat dan terbatas dibanding lapisan
epitelium. Bagian ini, merupakan bagian yang diubah pada tindakan operasi
mata dengan LASIK maupun PRK/LASEK. Apabila bagian ini dibentuk
ulang oleh tindakan diatas menggunakan laser atau mikrokeratome
(sayatan halus), maka bagian ini akan mempertahankan bentuk tersebut
tanpa terjadi perubahan bentuk semula (Binder PS, 2005).
oleh kornea berbentuk tidak teratur), hyperopia (rabun jauh), atau kombinasi
keduanya (misalnya, miopia dengan silindris).
d. Tidak menderita penyakit pengelihatan atau yang lainnya, yang
dapat mengurangi efektivitas operasi atau kemampuan pasien untuk sembuh
dengan baik dan cepat.
b. Operasi
c. Perawatan pasca-operasi
Pasien umumnya diberikan tetes mata antibiotik dan anti inflamasi selama
beberapa minggu pasca operasi. Pasien juga disarankan untuk tidur lebih lama dan
lebih sering dan juga diberikan sepasang pelindung mata dari cahaya yang
berlebihan dan pelindung mata dari gosokan ketika tidur dan mengurangi mata
kering (Hammond et al., 2010; Turu et al., 2011).
dari permukaan luar kornea dipotong dan dilipat agar jaringan lapisan dalam
terbedah. Kemudian sebagian jaringan lapisan dalam yang diperlukan untuk
membentuk kembali kornea dibuang pada jumlah yang tepat dengan
menggunakan laser, dan kemudian jaringan luar ditutup dan ditempatkan semula
dalam posisi untuk menyembuhkan (Steinert et al., 2010). Hal ini membuat
bagian tengah kornea lebih datar/rata hingga memungkinkan titik fokus bergerak
lebih dekat ke retina, sehingga memperbaiki pengliatan seseorang. Jumlah
miopia yang dapat dikoreksi LASIK dibatasi oleh jumlah jaringan kornea yang
dapat dihapus dengan cara yang aman. Pada masa ini, orang yang sangat rabun
dekat atau korneanya terlalu tipis sehingga tidak memungkinkan penggunaan
prosedur laser sudah memiliki pilihan lain selain untuk memperbaiki rabun
jauhnya (Epstein, 2009; Sugar et al., 2011).
a. Defek epitel.
Defek epitel adalah komplikasi intraoperatif yang sering ditemui, dengan
tingkat komplikasi yang dilaporkan sebesar 0,6% sampai 14%.
Microkeratome dikaitkan dengan frekuensi defek epitel yang lebih tinggi,
kemungkinan sekunder akibat gerakan berosilasi dan gaya geser yang
dihasilkan selama pembuatan flap. Prosedur laser femtosecond telah dicatat
mengakibatkan defek epitel intraoperatif sekitar 1%. Prevalensi ini lebih
rendah mengingat pembedahan laser femtosecond pada flap kornea tidak
menghasilkan gaya geser yang sama seperti pada microkeratome. Selain
metode pembentukan flap, faktor risiko lainnya termasuk faktor usia yang
lebih tua, distrofi membran epitelial atau anterior, hiperopia pra operasi,
peningkatan ketebalan kornea, kornea curam, dan riwayat penggunaan lensa
kontak yang lebih lama. Secara umum, semakin tua pasien semakin tinggi
kemungkinan defek epitel intraoperatif saat menjalani operasi LASIK.
25
yang buruk pada cincin hisap. Langkah pertama dalam manajemen adalah
identifikasi awal komplikasi dan menentukan etiologi.
Begitu cacat flap telah terjadi, prosedur harus segera dihentikan. Jika ada
stroma yang cukup untuk ablasi laser dan engsel flap berada di luar sumbu
visual, ablasi laser dapat dilakukan. Untuk flap yang tidak lengkap
dengan engsel flap di luar sumbu visual, tapi dasar stroma kecil,
mikrokeratome kedua atau laser dilewatkan dengan hati-hati. Namun, jika
engsel flap berada dalam sumbu visual, flap harus diganti dan
prosedurnya tertunda. Tidak ada konsensus khusus untuk periode tunggu,
namun menunggu 3 bulan sebelum merancang prosedur telah disarankan.
Sehubungan dengan pencegahan, operator harus memastikan perangkat
berfungsi dengan baik dan bersih serta pemeriksaan okular yang hati-hati
untuk mengidentifikasi jalur aman laser microkeratome atau femtosecond
(Jin dan Lyle, 2010).
e. Gangguan Gelembung Gas
Laser femtosecond semakin sering digunakan untuk pembuatan flap pada
operasi LASIK. Proses ini melibatkan fotodisrupsi jaringan stroma kornea
dengan pembentukan gelembung kavitasi di ruang interlamar. Gelembung
kavitasi membelah jaringan sejajar dengan serat lamelar dan membuat bidang
pemisahan untuk flap. Kavitasi gelembung yang kolaps dan gelembung gas,
tersusun dari karbon dioksida dan uap air, terbentuk di dalam
antarmuka. Gelembung ini umumnya tidak bermasalah dan hilang hanya
dengan mengangkat flap. Komplikasi muncul, ketika gelembung gas
menyebar di sepanjang jalur resistensi rendah. Khususnya ketika gas berdifusi
ke dalam subepitelium, ini disebut terobosan gas vertikal. Ketika berdifusi ke
stroma anterior atau posterior, ini disebut lapisan gelembung buram (OBL).
Akhirnya, udara bisa berdifusi ke ruang anterior. Jenis gelembung gas ini
mungkin tidak diatasi dengan pengangkatan flap dan mungkin benar-benar
menghalangi pembuatan flap (Wang, 2009).
f. Vertical Gas Breakthrough
29
Jika ada gangguan dengan iris atau pupil, operasi harus ditunda sampa
OBL sembuh. Hal ini dapat menunda kasus selama 30 sampai 45 menit.
Penyesuaian berikutnya dapat dilakukan pada pengaturan laser untuk
meminimalkan risiko pembentukan OBL: menggunakan tingkat energi yang
lebih tinggi, menerapkan jarak garis lebih dekat, dan menggunakan
teknik aplanasi yang lebih ringan ke kornea. Penyesuaian ini membuat bidang
pembedahan yang lebih lengkap dan bisa memudahkan dispersi gas.
Menurut Estopinal dan Mian (2016) komplikasi postoperatif pada LASIK dibagi
menjadi komplikasi postoperatif cepat ( 72 jam) dan komplikasi postoperatif
lambat ( 72 jam).
DLK adalah sebuah reaksi inflamasi steril yang terdapat pada antarmuka flap.
Penampakannya bergranular yang bergelombang dengan kerapatan sel
inflamasi meningkat sehingga membuatnya menjadi moniker sindrom'' Sands
of Sahara ''. DLK sering didiagnosis dalam beberapa hari pertama pasca
operasi dan biasanya dipentaskan menurut sistem 4. Kepadatan sel inflamasi
membuatnya menjadi moniker Sands of Sahara sindroma. DLK sering
didiagnosis dalam beberapa hari pertama pasca operasi dan biasanya
digolongkan berdasarkan stadiumnya (Binder et al., 2009).
Tabel 2.2 Stadium diffuse lamelar keratitis (Estopinal dan Mian, 2016)
3. Keratitis Infeksi
32
4. Keratitis Marginal
Infiltrasi kornea steril telah dilaporkan terjadi setelah LASIK, mulai
dari infiltrat perifer kecil hingga nekrosis agresif keratitis. Infiltrat ini
kemungkinan berhubungan dengan flap perifer, kornea antara flap dan
limbus, atau keduanya. Pasien biasanya mengeluh nyeri, mata kemerahan,
dan fotofobia. Etiologi yang pasti mengenai infiltrat ini masih belum jelas,
dan inseden terjadinya infiltrat belum dilaporkan. Faktor risiko meliputi
atopi, penyakit kelenjar meibomian, dan penyakit rheumatologis. Pasien
biasanya diterapi dengan steroid topikal, walaupun beberapa kasus
membutuhkan steroid oral.
5. Rainbow glare
Rainbow glare (efek silau seperti melihat pelangi) adalah efek samping laser
femtosecond flaps. Pasien yang mengalami fenomena ini melaporkan garis-
garis pelangi saat melihat sumber cahaya putih kecil dan intens. Hal ini
diduga karena hamburan cahaya dari permukaan belakang flap stromal
33
flap. DLK, ingrowth epithelial, dan silindris tidak beraturan bisa terjadi akibat
trauma flap. Trauma flap bisa juga dikaitkan dengan cedera okular tambahan.
3. Transient Light Sensitivity Syndrome
Fotosensitivitas berkaitan LASIK, tanpa kelainan fisik atau topografi, telah
digambarkan timbul dalam waktu 2 sampai 6 minggu pasca operasi.
Sindrom sensitivitas cahaya transien ini ditemukan pada pasien flap LASIK
femtosecond laser. Insidensi berkisar antara 1,1% sampai 1,4% . Gejala
biasanya diatasi dalam waktu 1 sampai 2 minggu dengan terapi steroid
topikal. Penggunan energi laser minimum saat membuat flap LASIK dan
pemberian steroid topikal pasca operasi keduanya telah terbukti mengurangi
kejadian ini (Turu et al., 2011).
Setelah operasi mata mungkin saja terasa berpasir dan sensitif terhadap
cahaya
Dapat terjadi berbagai komplikasi
BAB 3. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Uiversitas Indonesia.
2. Richard, A., S.D. Daniel, dan L. Flora . 2008. Is lasik for Me? A Patients
Guide to Refractive Surgery. American Academy of Opthalmology.
rd
5. Crick, R. P. dan P. T. Khaw. 2003. A Textbook of Clinical Ophthalmology.3
edition. Singapura : World Scientific Publishing.
12. Helgesen, A., J. Hjortdal, dan N. Ehlers. 2010. Pupil size and night
vision disturbances after lasik for myopia. Acta Ophthalmologica
Scandinavica. 82(4):454-460
14. Tse, SM, Farley, ND, Tomasko, KR, Amin, SR. 2016. Intraoperative LASIK
Complications. International Ophthalmology Clinics. 54(2) : 47-57.
20. Turu, L, C. Alexandrescu, D. Stana, dan Tudosescu. 2011. Dry Eye Disease
After LASIK. Journal of Medicine and Life
22. Jin, G., dan A.Lyle. 2010. Laser In Situ Keratomileusis for
Primary Hyperopia. In: Cataract Refractive Surgery. 31:776-784.
23. Sugar, A., C.J Rapuano, W.W. Culbertson, dan D.Huang, 2011. Laser In
Situ Keratomielusis for Myopia and Astigmatism : Safety and Efficacy.
Ophthalmology Journal. 109:175.
24. Farjo. A. A., A. Suga, S.C. Scallhorn, P. A. Majmudar, dan D.J. Tanzer. 2012.
Femtosecond Laser for LASIK Flap Creation. Ophthalmol. In press
corrected proof.
29. Binder PS, L. R. (2005). Keratoconus and Corneal Ectasia After LASIK.
Journal of Refractive Surgery, 21:749-753.
30. Vaughan dan Absury. 2014. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.
31. Messmer, J. 2010. LASIK: A Primer for Family Physicians. American Family
Physician. Vol 81:1.
40