Anda di halaman 1dari 16

Skenario PBL 3 Blok 30

Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang baru berusia 11 tahun
datang ke poliklinik anak di sebuah Rumah Sakit. Setelah berada di dalam ruang periksa Dokter,
si ibu menjelaskan bahwa anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak dua hari lalu. Dalam
wawancara berikutnya dokter tidak memperoleh keterangan lain, maka dokter pun memulai
melakukan pemeriksaan fisik pada si anak.
Pada pemeriksan fisik dokter menemukan robekan lama selaput dara disertai dengan erosi
dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar
kemungkinan telah terjadi persetubuhan beberapa hari sebelumnya. Dokterpun lebih intensif
mengorek keterangan dari si anak dan si ibu. Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si anak telah
disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah lama dikenalnya sebagai pacar si ibu. Si ibu telah
bercerai 3 tahun dengan suaminya (ayah dari si anak) dan saat ini sedang menjalin hubungan
dengan laki-laki lain sebagai pacarnya. Si ibu meminta kepada dokter agar jangan membawa
kasus ini ke polisi karena ia akan malu dibuatnya. Ia berjanji untuk memutuskan hubungan
dengan laki-laki tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dokter menilai bahwa pasien
perlu dikonsultasikan kepada ahlinya.
A. Pendahuluan
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.
Undang undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik
membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada
pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan
seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan
ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam
penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat
membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya
tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis
mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau
tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana
1

perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan menunjukkan peran
yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap
unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum,
menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
B. Pengertian Anak, Konsep dan Batasan Anak di Bawah Umur
1) Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan mempunyai/menimbulkan akibat hukum.
Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti :
kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian,
pendewasaan, dan pengangkatan anak.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2
dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau
belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental
seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP
adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka
yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.
2. Konsep dan Batasan anak dibawah umur
Konsep dan batasan anak di bawah umur bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak
Anak (KHA), dimana KUHP memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun,
sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun.
Secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa
lebih tepat.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa
anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih
tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah
perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam UndangUndang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun,
sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah
umur adalah di bawah umur 18 tahun.
C. Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur
2

Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) jenis-jenis kekerasan yang
dialami oleh anak-anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse),
kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis kekerasan fisik atau
physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul
kemudian dengan kekerasan mental dan kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok
pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak dan si pelaku banyak
tergantung pada kontek atau setting tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan
dan kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur.
Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat
menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman
ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau
kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan
sebagainya.
Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan, dan
bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-bedasa
seperti perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks
dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di
bawah umur.
Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan
perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa:
kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan
keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.
D. Pemeriksaan pada Korban
Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun
dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang :
1) Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.
2) Anamnesis :

Umur.
Status perkawinan.
Haid : siklus, terakhir.
Penyakit kelamin dan kandungan.
Penyakit lain seperti ayan dll.

Pernah bersetubuh? Waktu


persetubuhan terakhir? Menggunakan
kondom ?
3)
4)
5)
6)
Waktu kejadian.
3

Tempat kejadian.

Apakah terjadi penetrasi

Apakah korban melawan ?

Apakah terjadi ejakulasi ?

Apakah korban pingsan ?

7)
8) Periksa pakaian :

Robekan lama / baru / memanjang / melintang ?


Kancing putus.
Bercak darah, sperma, lumpur dll.
Pakaian dalam rapih atau tidak ?
Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence.

9) Pemeriksaan badan :

Rambut / wajah rapi atau kusut.


Emosi tenang atau gelisah.
Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah.
Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha
Trace evidence yang menempel pada tubuh.
Perkembangan seks sekunder.
Tinggi dan berat badan.
Pemeriksaan rutin lainnya.

10) Genitalia :
11)
Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang
mungkin sebagai akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat
abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal
Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan,
infeksi atau iritan)
Adhesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena
traksi labia mayor pada pemeriksaan)
Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput,
bengkak karena infeksi ataun trauma)
Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin
Condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual)
Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada
konstipasi)
Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau
mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental

12)
Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse) :
13)
Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse,
tetapi tidak cukup data yang menunjukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab.
14) Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya :
Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat
dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila
konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau
penetrasi sebelumnya)
Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum
(mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus
atau hemangioma)
Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai
selaput dara( dapat akibat trauma aksidental)
Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chrons
disease atau akibat tindakan medis sebelumnya)
15) Pemeriksaan ekstra genital

Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh


Deskripsikan luka
Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex
Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma
Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku
Pemeriksaan anal

16) Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi
hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.
17) Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti :

Pemeriksaan darah
Pemeriksaan cairan mani (semen)
Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan VDRL
Pemerikaan serologis Hepatitis
Pemeriksaan Gonorrhea
Pemeriksaan HIV

Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.


18)
E. Pembuatan Visum et Repertum
19)
Sebelum melakukan pemeriksaan, ada hal-hal yang harus dilakukan oleh
seorang dokter
1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
20)
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter
harus melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban
harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang
sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi
diminta untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.
21)
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter
telah memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif
korban sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan
permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak
boleh dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter
tentang diri korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan
rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322).
22)
Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum
et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan.
Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi
dalam bentuk surat keterangan.
2. Informed Consent
23)
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari
pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban
menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa
meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan
jiwa, maka dia berhak memberi persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak
memberikan persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka
persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.
24)
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan
dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang
yang berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau
teman korban apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus
didampingi oleh seorang perawat atau bidan.
3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin

25)
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan
cemas di kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan
yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke
pengadilan.Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat
diselesaikan.
26)
Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan
melakukan pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat
hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan.
Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara
psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk
mengurangi penderitaan korban. Sebagai dokter forensik pemeriksa bertugas mengumpulkan
berbagai. bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan
oleh undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum.
27)
Secara umum dokter bertugas mengumpulkan bukti adanya kekerasan,
keracunan, tanda persetubuhan, penentuan usia korban dan pelacakan benda bukti yang
berasal dari pelaku. Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari pelaku pada tubuh atau
pakaian korban dan tempat kejadian perkara merupakan hal penting yang paling sering
dilupakan oleh dokter.
28) Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi
sebagai berikut :
1. Umur korban
29)
Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu
menentukan jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah
hukuman yang dapat dijatuhkan.
30)
Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya/umurnya, apalagi
jika dikuatkan oleh bukti diri (KTP,SIM dsb) , maka umur dapat langsung disimpulkan dari
hal tersebut. Akan tetapi jika korban tak mengetahui umurnya secara pasti maka perlu
diperiksa erupsi gigi molar II dan molar III. Gigi molar II mengalami erupsi pada usia kurang
lebih 12 tahun, sedang gigi molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah
tumbuh molar IInya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota
molar III sudah mengalami mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum maka usianya
kurang dari 15 tahun.
31)
Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau menarche tak
dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi pada usia 15
tahun tetapi seringkali jauh lebih muda dari itu.
2. Tanda kekerasan
32)
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang
menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir,
jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat
penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada
pergelangan tangan akibat pencekalan dsb.

33)
Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay"
pada persetubuhan yang "biasa" seperti luka isap (cupang) pada leher, daerah payudara atau
sekitar kemaluan, cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat orgasme) dsb.
34)
Luka-luka yang terakhir ini memang merupakan kekerasan tetapi bukan
kekerasan yang dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis ini harus dinyatakan
secara jelas dalam kesimpulan visum et repertum untuk menghindari kesalahan interpretasi
oleh aparat penegak hukum.
35)
Tanpa adanya kejelasan ini suatu kasus persetubuhan biasa bisa
disalahtafsirkan sebagai perkosaan yang berakibat hukumannya menjadi lebih berat.
36)
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum
digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan
membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan.
Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang
(termasuk ecstasy) dsb.
3. Tanda persetubuhan
37)
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan
tanda ejakulasi.
38)
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil
atau belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat
menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7,
luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat
menunjukkan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang
kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan
nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi.
39)
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan,
meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi
persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen
cairan mani. Untuk uji penyaring cairan mani dilakukan pemeriksaan fosfatase asam. Jika uji
ini negatif, kemungkinan adanya ejakulasi dapat disingkirkan. Sebaliknya jika uji ini positif,
maka perlu dilakukan uji pemastian ada tidak sel sperma dan cairan mani.
40)
Usapan lidi kapas diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit
yang menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil
dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina.
41)
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan
pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan Pembuatan preparat
tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree.
42)
Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan
pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak
diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala
utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya
sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus
diyakini bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom).

43)
Adanya cairan mani dicari dengan pemeriksaan terhadap beberapa komponen
sekret kelenjar kelamin pria (khususnya kelenjar prostat) yaitu spermin (dengan uji Florence),
cholin (dengan uji Berberio) dan zink (dengan uji PAN) . Suatu temuan berupa sel sperma
negatif tapi komponen cairan mani positip menunjukkan kemungkinan ejakulasi oleh pria
yang tak memiliki sel sperma (azoospermi) atau telah menjalani sterilisasi atau vasektomi.
44)
F. Dampak perkosaan
45)
Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau
timbulnya penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir,
pencegahan dengan memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih bijaksana dilakukan
ketimbang menunggu sampai komplikasi tersebut muncul.
1. Pelaku perkosaan
46)
Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering
dilupakan oleh dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan ke arah ini, walaupun telah terbukti
adanya kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai pelaku
pemerkosaan. Untuk mendapatkan informasi ini dapat dilakukan pemeriksaan kutikula
rambut dan pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel yang positip
sperma/maninya.
2. Dampak Bagi Korban
47)
Dampak secara fisik yang dapat terjadi pada anak korban kekerasan seksual
adalah mengalami infeksi di saluran reproduksinya. Misalnya, mengalami keputihan dan
memar di bagian kelamin. Selain itu mereka juga sangat beresiko terhadap penyakit menular
seksual dan mengalami kehamilan. Padahal, kehamilan di usia dini bisa membahayakan bagi
yang mengandung maupun janin yang dikandung. Dengan demikian anak korban yang
mengalami kehamilan membutuhkan pengawasan medis secara intensif.
48)
Akibat lain dari kasus kekerasan seksual adalah dampak psikologis berupa
trauma yang dialami sebagian besar korban. Bentuk trauma berbeda antara satu korban
dengan korban lainnya. Trauma ini tergantung dari usia korban serta bentuk kekerasan yang
dialami korban. Trauma dapat berupa ketakutan bertemu dengan orang lain, mimpi buruk
atau ketakutan saat sendiri.
3. Dampak pada lingkungan sekitar korban
49)
Dampak lebih besar terjadi apabila lingkungan korban tidak mendukung
korban. Akibatnya, korban menjadi malu dan rendah diri. Banyak korban yang akhirnya
harus pindah dari sekolah karena selalu menjadi bahan perbincangan guru dan teman di
sekolahnya. Bahkan ada keluarga korban yang harus pindah tempat tinggal karena dianggap
telah membuat cemar lingkungan tempat tinggalnya.

50)
Banyak hal yang dapat dilakukan terhadap anak yang menjadi korban
kekerasan seksual. Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui dukungan kepada
korban dan keluarga korban. Dukungan ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi korban dan
keluarga ketika menghadapi kasus tersebut. Anak-anak korban ini rentan terhadap infeksi dan
harus mendapatkan perawatan agar tidak mengganggu kesehatan reproduksi mereka di masa
yang akan datang. Karena itulah, pelayanan medis secara intensif sangat diperlukan bagi
korban.
51)
Selain dukungan medis dan psikologis, korban juga membutuhkan
pendampingan di bidang hukum, mulai dari pendampingan di kepolisian sampai dengan
proses di pengadilan. Selama mendampingi proses hukum, pengawalan terhadap proses
hukum yang terjadi dalam setiap tahapnya sangatlah penting. Hal yang perlu dikawal antara
lain, apakah semua proses sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; apakah
dalam penyidikan polisi sudah memperhatikan hak-hak anak; apakah hakim mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang lebih berperspektif pada korban; apakah jaksa yang merupakan
wakil korban di pengadilan juga sudah berperspektif pada korban.
52)
G. Peranan LSM
53)
Untuk menangani kasus kekerasan seksual, diperlukan kerjasama antara
beberapa lembaga yang memiliki kepedulian terhadap korban. Dengan berjaringan, kerja
yang dilakukan diharapkan akan lebih bersinergi. Jaringan yang bisa dibangun misalnya
antara rumah sakit, LSM, kepolisian, pemerintah melalui dinas terkait seperti Dinas
Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB),
Dinas Kesehatan, Bappeda dan Masyarakat.
54)
Pusat krisis terpadu (PKT) bertujuan untuk memberikan pelayanan
menyeluruh bagi parakorban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan anak (KTA), baik
dibidang klinik, medikolegal dan psikososial ; dengan tujuan akhir adalah pemberdayaan
perempuan, dalam mencapai derajat kesehatan secara optimal.
55) Sasaran :
56) 1. Korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa.
57) 2. Korban kekerasan seksual pada anak.
58) 3. Korban kekerasan dalam rumahtangga.
59) 4. Korban penganiayaan dan penelantaran anak.
60) Peran Pekerja Sosial
Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari
kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan
pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.

61)
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat
62)
Peran Relawan Pendamping : Relawan Pendamping adalah orang yang
mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan
pemulihan diri korban kekerasan.
63) Bentuk pelayanannya adalah:
Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau
beberapa orang pendamping;
Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping; dan
Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
H. Aspek Hukum
64) KUHP pasal 291
1. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu
berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
2. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam apsal 285, 286, 287, 289 dan 290
itu berakibat matinya orang, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
65) KUHP pasal 294
66)
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau
anak piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang dibawah umur yang
diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya
atau orang yang dibawah umur, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7
tahun.
67) Dengan itu dihukum juga:
1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya/
orang yang dipercayakan/ diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS gila atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kesitu.
Penentuan Jenis Delik
68) Suatu laporan tentang seorang yang disetubuhi atau dilecehkan secara seksual
oleh seseorang lainnya tidak selalu berarti kasusnya adalah perkosaan. Untuk kasuskasus semacam ini kita harus memilah termasuk kategori delik yang manakah kasus

tersebut, yang masing masing mempunyai kriteria dan hukuman yang berbeda satu sama
lain.
Perkosaan
69) Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori
kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal
89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun penjara.
Persetubuhan diluar perkawinan
70) Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15
tahun tidak dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita
yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
71) Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun
penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui
atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka
pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.
72) Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya
(pasal 287 KUHP) . Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk
penuntutan tidak diperlukan adanya pengaduan.
Perzinahan
73) Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan,
dimana salah satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Khusus
untuk delik ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang
diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini
diancam dengan hukuman pen]ara selama maksimal 9 bulan.
Perbuatan cabul
74) Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia
diancam dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).
75) Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul
ini dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur dibawah 15
tahun atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP).
Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesama jenis
diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP).

76) Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang
atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum
dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) .
77) Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak
yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam
dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun.
78) Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi
penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam
dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).
79)
80)
I. Diferensial Diagnosa
81) Infeksi Saluran kemih
82)
Infeksi saluran air kemih adalah infeksi yang terjadi pada saluran air kemih,
mulai dari uretra, buli-buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal.
83) Infeksi ini dapat berupa :
84) Pielonefritis akut
85) Pielonefritis kronik
86) Infeksi saluran air kemih berulang
87) Bakteriuria bermakna
88) Bakteriuria asimtomatis
89) Etiologi
90) Kuman penyebab infeksi saluran air kemih :
91) Kuman gram negatif : E.Coli (85%), Klebsiela, Enterobakter, Proteus, dan
Pseudomonas.
92) Stafilokokus Aureus, Streptokokus fecalis, kuman anaerob, TBC, jamur, virus
dan bentuk L bakteri protoplas.
93) Gejala Klinis
94)
Gejala klinis infeksi saluran air kemih bagian bawah secara klasik yaitu nyeri
bila buang air kecil (dysuria), sering buang air kecil (frequency), dan ngompol. Gejala infeksi
saluran kemih bagian bawah biasanya panas tinggi, gejala gejala sistemik, nyeri di daerah
pinggang belakang. Namun demikian sulit membedakan infeksi saluran kemih bagian atas
dan bagian bawah berdasarkan gejala klinis saja.
95)
Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai
berikut :
96)
0-1 Bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare, kejang,
koma, panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, ikterus (sepsis).
97)
1 bln-2 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan
pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), air kemih
berbau/berubah warna, kadang-kadang disertai nyeri perut/pinggang.

98)
2-6 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan
kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah,
gangguan pertumbuhan serta anoreksia.
99)
6-18 thn: Nyeri perut/pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, tak dapat
menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.
100)
J. Interpretasi Kasus dan Kesimpulan
101)
Pada skenario ditulis bahwa keluhan utama si ibu membawa anak
perempuannya yang berusia 11 tahun ke poliklinik anak adalah karena anaknya mengeluh
sakit bila ingin kencing sejak 2 hari yang lalu. Setelah dokter memeriksa si anak ternyata
ditemukan adanya robekan lama selaput dara disertai dengan adanya erosi dan peradangan
jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah
terjadi persetubuhan.
Robekan lama selaput dara disertai adanya erosi dan peradangan jaringan vulva
merupakan tanda-tanda persetubuhan. Sedangkan
keluhan sakit bila kencing
kemungkinan merupakan sexual transmitted disease.
Pada pemeriksaan fisik lain kemungkinan ditemukan tanda kekerasan berupa memar,
bekas gigitan, tanda kuku dan lain-lain.
Pada pemeriksaan lab bisa saja ditemukan sisa sperma atau cairan mani pada usap vagina
di fornix posterior ataupun pada pakaian dalam korban.
102)
103)
Bila terjadi kasus seperti ini, sebagai dokter kita harus mengetahui bahwa
persetubuhan di luar perkawinan dengan anak di bawah umur 12 tahun adalah tindak pidana
sesuai pasal 287 ayat 1 dan 2 KUHP. Hukum dalam kasus ini menyebutkan bahwa tiap orang
dengan umur di bawah 18 tahun yang belum menikah sebagai orang yang belum mampu
membuat pertimbangan dan keputusan untuk suatu perbuatan hukum. Dalam kasus ini, bila
terjadi persetubuhan, tanpa memandang si anak menyetujui atau tidak persetubuhan itu, maka
dianggap persetubuhan tadi terjadi tanpa persetujuan (consent) si anak.
104)
Dokter juga harus menjelaskan pada ibu si anak bahwa kasus ini adalah tindak
pidana yang harus dilaporkan pada polisi, dan menjelaskan bahwa dengan menyembunyikan
suatu tindak pidana dia sendiri bisa dihukum, dan dengan memudahkan terjadinya
persetubuhan dan atau percabulan pada anaknya, ia dapat dituntut dengan delik pidana pasal
295 KUHP dengan ancaman penjara 5 tahun.
105)
Dokter juga bisa merujuk pada spesialis obgyn dan dokter spesialis forensic
atau specialis jiwa ataupun seorang psikolog.
106)
Dokter spesialis obgyn akan memeriksa lebih teliti tentang adanya tanda-tanda
persetubuhan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan memperhatikan
perkembangan tanda seks sekunder,pemeriksaan genitalia, serta pemeriksaan lab yang
menunjang misalnya swab vagina, dan swab oral.
107)
Dokter spesialis forensik akan mengumpulkan semua barang bukti yang
mungkin tertinggal (pakaian korban, bite mark, kerokan kuku jika korban mengaku mencakar
pelaku) sesuai prosedur, dan memuatnya dalam bentuk Visum et Repertum.

108)
Seorang psikolog bisa membantu gangguan yang mungkin timbul pada mental
korban dan bisa mengusulkan cara yang terbaik yang dapat ditempuh sebagai penyelesaian
tindak pidana.
109)
Pengkategorian KDRTA sebagai kejahatan menjadi penting, disamping lebih
penting adanya aturan untuk menjamin agar korban memperoleh kepastian dan prosedur
hukum, medis, psikologis, rehabilitasi baik selama proses hukum dan sesudahnya serta
reintegrasi agar korban diterima sebagai manusia dengan hak-haknya yang harus dipenuhi di
masyarakat baik oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Disinilah pentingnya UU
Perlindungan Anak dan UU KDRT harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, jadi bukan
menggunakan KUHP saja
110)
111)
112)
113)
114)
115)
116)
117)
Daftar Pustaka
118)
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik . Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Cetakan ke-2.1997.
2. Sulaiman Zuhdi Manik .Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah
Tangga. Diunduh dari www.kabarindonesia.com 2007
3. Syaiful Saanin. IRD RS Dr. M. Djamil, Padang. Aspek-Aspek Fisik/ Medis serta Peran
Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan Jirban Tindak Kekerasan. 2008.
4. Infeksi Saluran Kemih diunduh dari www.pediatrik.com Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. 2007
5. Surja Atmadja, Djaja. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik Aduan
Lainnya. Diunduh dari http://reproduksiumj.blogspot.com 2009
6. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://focalpointgender.kejaksaan.go.id
2008
7. Pelecehan Seksual pada Anak. Diunduh dari www.scribd.com, pada
tanggal 19 Januari 2010.
8. Psikososial. Di unduh dari www.library.usu.co.id . 8 Januari 2010.
119)

Anda mungkin juga menyukai