Anda di halaman 1dari 6

MODIFIKASI PATI TALAS METODE ASETILASI

Muhammad Aswan Syahputra


115100401111016
Kelas A

Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan telah dikenal secara luas terutama di
wilayah Asia dan Oceania. Di Indonesia, pemanfaatan talas sebagai bahan makanan
telah cukup populer san produksinya cukup tinggi terutama di daerah Papua dan Jawa
(Bogor, Sumedang, dan Malang) yang merupakan sentra produksi talas. Tingkat
produksi tanaman talas tergantung pada kultivar, umur tanaman dan kondisi
lingkungan tempat tumbuh. Pada kondisi optimal produktivitas alah dapat mencapai
30 ton/hektar. Pengolahan talas saat ini kebanyakan memanfaatkan umbis segar yang
dijadikan berbagai hasil olahan, diantaranya yang paling populer adalah keripik talas.
Umbi talas belum banyak dimanfaatkan sebagai tepung, sehingga saat ini belum
banyak terdapat produk olahan dari tepung talas. Selain itu pemanfaatan pati talas
secara lebih jauh belum dilakukan, padahal pati talas memungkinkan munculnya
produk olahan talas yang lebih beragam.
Di industri pangan pati digunakan untuk berbagai fungsi, diantaranya adalah
binding dan thickening agent. Pati alami (native starch) mempunyai beberapa
permasalah yang berhubungan dengan peristiwa retrogradasi, kestabilan, dan
ketahanan pasta yang rendah. Karakteristik pati meliputi swelling power, solubility,
freeze-thaw stability, paste clarity, dan gel strength berperang penting untuk
menghasilkan produk makanan berbasis pati yang berkualitas. Oleh karena itu,
dilakukan suatu metode untuk meningkatkan sifat-sifat tertentu dari pati agar dapat
dimanfaatkan lebih dalam insutri pangan, disebut modifikasi pati.

Gambar 1. Diagram klasifikasi teknik modifikasi pati (Neelam, et al., 2012)


Modifikasi pati secara garis besar dilakukan dengan 4 teknik, yaitu Esterifikasi,
Eterifikasi, Oksidasi, dan Cross-Linking. Adapun dalam tulisan ini akan dibahas
mengenai teknik Esterifikasi. Prinsip dari metode ini adalah dengan mensubtitusi
gugus hidroksil (bersifat hidrofilik) pada polimer pati menggunakan gugus hidrofobik
dari senyawa tertentu. Beberapa modifikasi pati yang terjadi menggunakan prinsip ini
diantaranya adalah hidroksipropilasi, karboksimetilasi, asetilasi, suksinalasi, dan
sebagainya.
Metode

modifikasi

pati

menggunakan

metode

asetilasi

telah

banyak

dipraktekan di industri pangan. Metode ini banyak dilakukan karena keunggulan sifat
fisika-kimia yang dimiliki oleh pati terasetilasi seperti suhu gelatinisasi, swelling
power, solubility, dan tingkat kejernihan pasta (pasta clarity) yang tinggi, serta
memiliki stabilitas pada saat pemasakan dan penyimpanan yang lebih baik
dibandingkan pati alami (native starch). Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan dari
pati terasetilasi lebih stabil dan tahan terhadap retrogradasi. Sifat fisika-kimia pada
pati yang terasetilasi ini dipengaruhi oleh jumlah distribusi gugus asetil yang
menggantikan gugus hidroksil (-OH) pada pati. Metode asetilasi merupakan metode
yang sangat penting untuk memodofikasi karaktersitik pati karena metode ini dapat
memberikan efek pengentalan (sebagai thickening agent) pada berbaga makanan.
Reage yang biasa digunakan pada metode asetilasi adalah vinil asetat, asam asetat,
dan asetat anhidrat.

Gambar 2. Reaksi asetilasi pati menggunakan asam asetat


Pada modifikasi pati asetilasi, gugus hidrofilik hidroksil disubtitusi oleh gugus
hidrofobik asetil. Hal ini menyebabkan pati tersebut menjadi lebih hidrofobik sehingga
mencegah terjadinya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dengan molekul air,
akibatnya sifat retrogradasi pati alami dapat diperbaiki dan sol menjadi lebih stabil.
Selain itu asetilasi juga mencegah terjadinya asosiasi dari cabang amilopektin, hal ini
bermanfaat dalam industri pangan untuk memperbaiki sifat paste clarity (sehingga
tidak terjadi kekeruhan) dan mencegah terjadinya sineresis prosuk makanan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saputro, et al. (2012), modifikasi pati
asetilasi dilakukan dengan cara mengekstrak terlebih dahulu pati dari talas. Kemudian
asam asetat dengan volume tertentu dilarutkan dalam 250 ml akuades dan diukur

konsentrasi atau kadar asam asetat dalam larutan. Pati talas selanjutnya ditambahkan
pada larutan asam asetat dan disentrifus atau diaduk selama 30 menit pada suhu
tertentu. Selanjutnya larutan disaring untuk didapatkan pati dan dikeringkan pada
suhu 50oC selama 24 jam, sedangkan filtrat dititrasi dengan NaOH 0,5 N untuk analisis
kadar asam asetat sisa. Pati yang telah kering kemudian dihaluskan hingga didapatkan
serbuk pati yang halus.

Gambar 3. Grafik hubungan perbandingan asam asetat-air terhadap Swelling Power


pati talas (Saputro, et al., 2012)
Gambar diatas menunjukan grafik hubungan perbandingan asam asetat dengan
air terhadap sweeling power pada suhu 35oC. Pada grafik tersebut terlihat bahwa
semakin tinggi perbandingan antara asam asetat dengan air maka derajat subtitusi
akan meningkat diiringi peningkatan swelling power. Peningkatan swelling power
disebabkan adanya subtitusi gugus asetil yang menggantikan gugus hidroksil
sehingga ikatan hidrogen menjadi lemah dan akhirnya menyebabkan atruktur granula
pati menjadi kurang rapat. Amilosa dianggap paling berperan dalam proses awal
asetilasi, hal tersebut dikarenakan molekul amilosa dapat terlarut dalam larutan
sehingga gugus hidroksil pada amilosa lebih mudah tersubtitusi oleh gugus asetil.
Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan amilosa, sehingga dikarenakan
asetilisasi

yang

menyebabkan

penurunan

perbandingan

antara

amilosa

dan

amilopektin dalam pati maka swelling power semakin meningkat seiring peningkatan
derajat subtitusi.

Gambar 4. Grafik hubungan perbandingan asam asetat-air terhadap kelarutan pati


talas (Saputro, et al., 2012)

Gambar

diatas

menunjukan

bahwa

modifikasi

pati

secara

asetilasi

menyebabkan penurunan kelarutan pati pda suhu 35 oC. Gambar diatas menunjukan
semakin tinggi perbantingan antara asam asetat dengan air maka semakin menurun
kelarutan pati talas yang terjadi. Penurunan kelarutan tersebut disebabkan oleh
beberapa hal, yakni akibat semakin kuatnya ikatan asosiasi antar molekul pati dan
tergantikannya gugus hidrofilik hidroksil oleh gugus hidrofobik asetil. Selain itu, diduga
kelarutan menurun akibat terbentuknya komplek antara ikatan amilosa dengan gugus
subtituen

asetil

sehingga

memerangkap

molekul

air

dalam

molekul

pati

(menyebabkan peningkatan swelling power) dan akhirnya mencegah larutnya molekul


amilosa dalam sistem larutan.

TUGAS INDIVIDU JENIS ENZIM DAN ISOMERASI GLUKOSA


Muhammad Aswan Syahputra
115100401111016
Kelas A

Enzim yang digunakan untuk memecah ikatan -1,6 glikosida adalah enzim Amylase (EC 3.2.1.3 ), disebut juga enzim amiloglukosidase atau glukoamilase. Enzim
ini pada proses hidrolisis pati berfungsi untuk memecah ikatan (16) glikosida serta
ikatan (14) glikosida terakhir pada subsrat.
Isomerasi glukosa menjadi fruktosa sering dilakukan dengan menggunakan
enzim yang disebut IGI yaitu akronim dari Immobilized Glucose Isomerase atau
disebut juga Sweetzyme. Reaksi isomerasi glukosa menjadi fruktosa ini merupakan
reaksi yang bersifat reversibel dan banyak dilakukan di Industri pangan untuk
menghasilkan HFS (High Fructose Syrup) yang bersifat lebih manis daripada glukosa.
Di industri pangan, umumnya standar minimal dari reaksi isomerasi ini adalah harus
dapat mengkonversi 50 % glukosa menjadi fruktosa. Enzim glukosa isomerase dapat
dihasilkan oleh beberapa jenis mikroorganisme, diantaranya Pseudomonas hydrophila,
Bacillus stearothermophilus, Bacillus megabacterium, Bacillus coagulans, dan
Bifidobacterium spp.
Sorbitol yang dikenal juga sebagai glusitol, adalah suatu gula alkohol yang
dimetabolisme lambat di dalam tubuh. Sorbitol diperoleh dari reduksi glukosa,
mengubah gugus aldehid menjadi gugus hidroksil, sehingga dinamakan gula alkohol.
Glukosa dinamakan juga dekstrosa atau gula pasir yang terdapat dalam : sayur,
buah, sirup, sari pohon dan bersamaan dengan fruktosa dalam madu. Glukosa
merupakan hasil akhir pencernaan pati, sukrosa, maltose dan laktosa pada hewan
dan manusia. Sorbitol merupakan kelompok dari heksitol secara alami. Ini ditemukan
pada tahun 1868 di pegunungan berry dalam konsentrasi 5-12 %, dan pada umumnya
sorbitol berada dalam tumbuhan. Nama sorbitol diturunkan dari nama ilmuwan dari
pegunungan Ash, Sorbus Aucuparia L. Buah Rosaceae yang kaya akan kandungan
sorbitol, antara lain : plums 1.7 - 4.5 % berat, pear 1.2 2.8 % berat kering, peache
0.5 1.3 % berat dan apel 0.2 1 % berat. Didalam buah dan daundaun, sorbitol
dibentuk sebagai bahan kimia intermediet di dalam sintesa pati, selulosa, sorbuse,
atau vitamin C. Di dalam hewan, sorbitol dapat diketahui sebagai intermediet dalam
absorbsi glukosa. Sejak tahun 1950, sorbitol mengalami perubahan ekonomi dalam
dunia sebagai makanan, agen pemanis, penyetabil kelembapan, bahan dasar untuk
produk lainnya. Sorbitol digunakan sebagai pemanis buatan pada produk permen
bebas gula dan sirup obat batuk. Zat ini juga dikenal sebagai pemanis yang memiliki
nilai gizi karena mengandung energi sebanyak 2,6 kkal per gram.

Daftar Pustaka
Neelam, K., Vijay, S. & Lalit, S., 2012. Various Techniques for Modification od Starch
and the Applications of its Derivatives. International Research Journal of
Pharmacy, 3(5), pp. 25-31.
Rakhmawati, W., Kusumastuti, Y. A. & Aryanti, N., 2012. Karakterisasi Pati Talas
(Colocasia esculenta (L.) Schott) Sebagai Sumber Pati Industri di indonesia. Jurnal
Teknologi Kimia dan Industri, 1(1), pp. 347-351.
Saputro, M. A., Kurniawan, A. & Retnowati, D. S., 2012. Modifikasi Pati Talas dengan
Asetilasi Menggunakan Asam Asetat. Teknologia Kimia dan Industri, 1(1), pp. 258263.
W., A. T., P., I. S., Ayucitra, A. & Setiawan, L. E. K., 2008. Karakteristik Pati Sagu dengan
Metode Modifikasi Asetilasi dan Cross-Linking. Jurnal Teknik Kimia Indonesia, 7(3),
pp. 836-843.

Anda mungkin juga menyukai