Anda di halaman 1dari 128

UJI POTENSI EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya L.

)
SEBAGAI ANTIMIKROBA TERHADAP BAKTERI Salmonella Typhi
SECARA IN VITRO

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Umum

Diajukan Oleh:
Anggyan Putriananda
0710710074

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS AKHIR

UJI POTENSI EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya L.)


SEBAGAI ANTIMIKROBA TERHADAP BAKTERI Salmonella Typhi
SECARA IN VITRO

Oleh:
Anggyan Putriananda
NIM: 0710710074

Telah diuji pada


Hari : Kamis
Tanggal

: 07 Oktober 2010

dan dinyatakan lulus oleh:

Penguji I

drg. Prasetyo Adi, MS


NIP. 19560416 198303 1 003

Penguji II

Penguji III

Prof. Dr. dr. Sumarno, DMM, SpMK

dr. Onggung MH. Napitupulu, M.Kes, DAHK

NIP. 19480706 198002 1 001

NIP. 19490123 198003 1 001

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah Subhanallahu Wa Taalla yang telah


memberi petunjuk dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas
Akhir dengan judul Uji Potensi Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica papaya L.)
sebagai Antimikroba terhadap Bakteri Salmonella Typhi secara In Vitro.
Proses penulisan Tugas Akhir ini merupakan sebuah pengalaman yang
sangat berharga. Pengalaman yang tidak hanya memberikan tantangan dalam
segi keilmuan tetapi juga sarat ujian mental dan fisik. Sebuah proses eksplorasi
yang tidak pernah berhenti, yang mungkin akan sangat berat jika tidak ada pihakpihak yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membantu
saya.
Dengan selesainya Tugas Akhir ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. DR. dr. Samsul Islam, SpMK, MKes., dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya yang telah memberi saya kesempatan menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Prof. Dr. dr. Sumarno, DMM, Sp.MK sebagai pembimbing pertama saya yang
telah memberikan bimbingan, saran dan masukan, support serta kesabaran
yang tak terhingga mulai dari proses pembuatan proposal, penelitian, sampai
Tugas Akhir.
3. dr. Onggung MH. Napitupulu, M.Kes, DAHK sebagai pembimbing kedua yang
telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan, sehingga saya dapat
menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. drg. Prasetyo Adi, MS yang langsung bersedia menjadi dosen penguji Tugas
Akhir dan juga telah memberikan saran-saran dan masukan untuk
menyempurnakan Tugas Akhir ini.
5. Segenap anggota Tim Pengelola Tugas Akhir FKUB.
6. Ayah A. KADIR AFANDI dan Ibu SRI ROHANI HAYATI tercinta yang selalu
memberikan semangat, dorongan dan nasihat-nasihat di saat aku merasa
sedih dan putus asa serta selalu mendoakan aku untuk mendapatkan yang
terbaik dalam hari-hariku. Luv you 4ever mom, dad.
7. Kakakku Novian Angga Priandana dan adek Triandina Wulandari yang juga
selalu menyemangatiku dan menceriakan hari-hariku. Thank you for being
my best brother and sister. Luv you 4ever.
8. Para personil laboratorium Mikrobiologi FKUB, Mas Slamet, Mbak Uci, Mas
Hendri, dan Ibu Yatik, yang tidak pernah bosan dengan kedatanganku di lab
mikro untuk melihat TA kakak kelas serta mencari buku bailey and scotts dan
juga tak pernah bosan menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
9. Sahabat sekaligus saudari-saudariku dELZ (Yanti, Rofa, Kiki, Fara, Ifa,
Dudu). Terima kasih sudah membuat aku ketawa tiap hari. Walaupun kita
sering terjatuh, disalahkan dan disakiti, aku yakin kesabaran kita pasti akan
ada buahnya. Mereka tidak tahu bagaimana kesabaran dan kegigihan kita
ketika seseorang melukai kita habis-habisan. Allah tidak tidur, saudariku. Kita
kuat jika kita bersama. Saranghaeyo yongwonhi, chingoo.
10. Teman seperjuanganku yang juga teman kosku, Tryas yang sudah menjadi
tempat sharingku dalam memecahkan masalah-masalah selama pembuatan
tugas akhir ini dan membuat aku termotivasi untuk lebih rajin.

11. Teman-temanku dari kota kelahiran Pamekasan tercinta yang selalu aku
repotkan dalam proses pengerjaan proposalku ini.
12. Super Junior especially saranghaneun Choi Siwon. Terima kasih atas lagulagu dan video-video yang bisa mengobati suntuk dan jenuhku. Proud to be
an ELF and simbas ;)

Malang, November 2010


Penulis

ABSTRAK

Putriananda, Anggyan. 2010. Uji Potensi Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica
Papaya L.) sebagai Antimikroba terhadap Bakteri Salmonella Typhi
secara in vitro. Tugas Akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Pembimbing: (1) Prof. Dr. dr. Soemarno, DMM, SpMK (2) dr. Onggung
MH. Napitupulu, M.Kes, DAHK.
Salmonella Typhi merupakan bakteri batang Gram negatif dari famili
Enterobacteriaceae yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia
termasuk demam tifoid. Daun Pepaya (Carica Papaya L.) diketahui memiliki
bahan-bahan aktif yang mempunyai efek antimikroba. Penelitian ini bertujuan
untuk membuktikan efek antimikroba ekstrak daun pepaya terhadap Salmonella
Typhi secara in vitro. Studi eksperimental menggunakan the post test only control
group design dilakukan terhadap Salmonella Typhi dengan metode dilusi tabung
dan dilusi agar. Kelompok perlakuan yaitu kelompok bakteri yang diberi ekstrak
daun pepaya dengan konsentrasi ekstrak 20%; 18%; 16%; 14%; 12%; dan 10%.
Kelompok kontrol yaitu kelompok bakteri yang tidak diberi ekstrak atau
konsentrasi 0 mg/ml. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa KBM adalah 18%.
Analisis data menunjukkan perbedaan bermakna antara konsentrasi ekstrak
dengan jumlah koloni yang tumbuh pada kelompok sampel (Anova, p < 0,05). Uji
korelasi regresi menunjukkan adanya hubungan yang erat antara konsentrasi
ekstrak dengan jumlah koloni yang tumbuh (Korelasi, r = -0,897; p < 0,05).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak daun pepaya memiliki efek
antimikroba terhadap Salmonella Typhi dengan KBM adalah 18%. Penelitian
lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui KHM dan bahan aktif yang terkandung
dalam ekstrak daun papaya.
Kata kunci: Salmonella Typhi, ekstrak daun Carica Papaya L., antimikroba

ABSTRACT

Putriananda, Anggyan. 2010. Potential Test of Papaya Leafs (Carica papaya


L.) Ethanol Extract as an Antimicrobial against Salmonella Typhi in
vitro. Final Assignment, Medical Faculty Brawijaya University.
Supervisors: (1) Prof. Dr. dr. Soemarno, DMM, SpMK (2) dr. Onggung
MH. Napitupulu, M.Kes, DAHK.
Salmonella Typhi is a gram-negative bacteria stems from the family
Enterobacteriaceae that can cause various diseases in humans, including typhoid
fever. Papayas leaf (Carica papaya L.) is known to have active ingredients that
have antimicrobial effects. This experiment aims to prove the antimicrobial effects
of papayas leaves extract against Salmonella Typhi in vitro. An experimental
study using the post test only control group design carried out against Salmonella
Typhi by tube dilution method and the agar dilution method. Treatment groups
are groups of bacteria that were given papayas leaves extract with the
concentration 20%, 18%, 16%, 14%, 12% and 10%. The control group is a group
of bacteria that were not given the extract or concentration 0%. Research results
showed that the minimum killed concentration was 18%. Data analysis shows
significant differences between the concentration of the extract with the number
of colonies grown on sample groups (ANOVA, p <0.05). Regression correlation
test showed there was a relationship between the concentration of the extract
with the number of colonies that grew (correlation, r = -0.897, p <0.05). The
conclusion of this research is papayas leaves extract has antimicrobial effect
against Salmonella Typhi with minimum killed concentration is 18%. Further
research is needed to examine whether minimum inhibitory concentration and the
active ingredients contained in the extract of papaya leaves.
Keywords: Salmonella Typhi, papaya leafs ethanol extract, antimicrobial.

DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................... i
Halaman Pengesahan ........................................................................ ii
Kata Pengantar ................................................................................... iii
Abstrak ................................................................................................ vi
Abstract ............................................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................. viii
Daftar Gambar ..................................................................................... xiii
Daftar Tabel ......................................................................................... xiv
Daftar Lampiran ................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4
1.3 Tujuan .................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................ 5
1.4 Manfaat ................................................................................ 5
1.4.1 Manfaat Akademik .......................................................... 5
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

......................................................... 7

2.1 Daun Pepaya (Carica papaya L.) .......................................... 7


2.1.1 Taksonomi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)............ 7
2.1.2 Deskripsi Pepaya (Carica papaya L.) .............................. 7
2.1.2.1 Perkembangbiakan ................................................. 10

2.1.2.2 Ekologi dan Penyebaran.................................. ....... 10


2.1.3 Morfologi Daun Pepaya (Carica papaya L.) ..................... 11
2.1.4 Kandungan Kimia Daun Pepaya (Carica papaya L.)........ 11
2.1.5 Keunggulan dan Manfaat
Daun Pepaya (Carica papaya L.)..................................... 13
2.1.6 Daya Antimikroba Daun Pepaya (Carica papaya L.) ........ 15
2.1.6.1 Alkaloid Carpaine .................................................... 16
2.1.6.2 Caffeic, Gentistic, Lauric and Ascorbic Acid ......... .. 17
2.1.6.3 Beta-sitosterol ................................................... ...... 17
2.1.6.4 Saponin ................................................... ............... 18
2.1.6.5 Flavanoid ................................................... ............. 19
2.1.6.6 Tannin ................................................... ................. 20
2.1.6.7 Polifenol ................................................... ............... 22
2.2 Salmonella Typhi................................................................... 23
2.2.1 Taksonomi ...................................................................... 23
2.2.2 Morfologi dan Identifikasi ............................................... 25
2.2.2.1 Morfologi.................................................................. 25
2.2.2.2 Reaksi Biokimia ...................................................... 25
2.2.2.3 Perbenihan ............................................................. 26
2.2.2.4 Tes Serologis.......................................................... 27
2.2.3 Struktur Antigen ............................................................. 28
2.2.4 Penentu Patogenitas ...................................................... 30
2.2.4.1 Faktor Permukaan .................................................. 30
2.2.4.2 Daya Invasi ............................................................. 31
2.2.4.3 Endotoksin .............................................................. 31

2.2.5 Demam Tifoid ................................................................. 32


2.2.5.1 Definisi.................................................................... 32
2.2.5.2 Insidensi dan Prevalensi ......................................... 33
2.2.5.3 Patogenesis ............................................................ 34
2.2.5.4 Manifestasi Klinis Demam Tifoid ............................. 36
2.2.5.5 Diagnosis................................................................ 37
2.2.5.6 Terapi ..................................................................... 38
2.3 Bahan Antimikroba .............................................................. 38
2.3.1 Aktivitas Antimikroba In Vitro ........................................... 41
2.3.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Mikroba...... .. 41
2.3.2 Uji Kepekaan terhadap Antimikroba In Vitro .................... 42
2.3.2.1 Metode Dilusi ........................................................ 43
2.3.2.1.1 Dilusi Tabung................................................ .. 43
2.3.2.1.2 Dilusi Agar ..................................................... 43
2.3.2.2 Metode Difusi Cakram ............................................ 44
2.3.2.2.1 Cara Kirby Bauer.............................................44
2.3.2.2.2 Cara Joan-Stokes .......................................... 45
2.3.3 Senyawa Antimikroba Alamiah ........................................ 45
2.4 Tinjauan tentang Ekstrak ..................................................... 46
2.4.1 Definisi Ekstrak................................................................ 46
2.4.2 Bahan Pelarut yang Digunakan
dalam Pembuatan Ekstrak ............................................... 46
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA .................................. 48
3.1 Kerangka Teori dan Konsep .................................................. 48
3.2 Deskripsi Kerangka Teori ....................................................... 49

3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................ 49


BAB 4 METODE PENELITIAN ........................................................... 50
4.1 Desain Penelitian .................................................................. 50
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................. 50
4.2.1 Waktu .............................................................................. 50
4.2.2 Tempat ............................................................................ 50
4.3 Sampel dan Estimasi Jumlah Pengulangan ......................... 50
4.4 Variabel Penelitian ............................................................... 51
4.4.1 Variabel Bebas ................................................................ 51
4.4.2 Variabel Tergantung ........................................................ 51
4.5 Definisi Operasional ............................................................. 52
4.6 Alat dan Bahan Penelitian ..................................................... 54
4.6.1 Alat untuk Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pepaya ....... 54
4.6.2 Bahan untuk Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pepaya ... 55
4.6.3 Alat untuk Identifikasi Bakteri........................................... 55
4.6.4 Bahan untuk Identifikasi Bakteri ...................................... 55
4.6.5 Alat untuk Tes Kepekaan Bakteri .................................... 55
4.6.6 Bahan untuk Tes Kepekaan Bakteri ................................ 56
4.6.7 Alat dan Bahan untuk Uji Dilusi Tabung .......................... 56
4.7 Prosedur Penelitian .............................................................. 57
4.7.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pepaya ........................ 57
4.7.2 Identifikasi Bakteri Salmonella Typhi .............................. 59
4.7.2.1 Pewarnaan Gram ................................................... 59
4.7.2.2 Tes Oksidase.......................................................... 60
4.7.2.3 Kultur pada Mac Conkey Agar ................................ 60

4.7.2.4 Kultur pada Bismuth Sulfit Agar .............................. 61


4.7.2.5 Tes Biokimia ........................................................... 61
4.7.2.6 Tes Biokimia menggunakan Microbact ................... 63
4.7.3 Pembuatan Perbenihan Cair Bakteri ............................... 65
4.7.4 Pengujian Bahan ............................................................. 66
4.7.5 Rancangan Operasional Penelitian ................................. 68
4.8 Pengumpulan dan Analisa Data ........................................... 69
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ............................. 71
5.1 Data Hasil Penelitian ............................................................. 71
5.1.1 Identifikasi Salmonella Typhi .......................................... 75
5.1.2 Hasil Pemberian Ekstrak Etanol Daun Pepaya ............... 76
5.1.2.1 Uji Pendahuluan ..................................................... 76
5.1.2.2 Hasil Penentuan KHM ............................................ 76
5.1.2.3 Hasil Penentuan KBM............................................. 77
5.2 Analisis Data ......................................................................... 80
5.2.1 Analisis Data dengan Uji Korelasi dan Regresi ................ 83
BAB 6 PEMBAHASAN ......................................................................... 85
BAB 7 PENUTUP ................................................................................ 89
7.1 Kesimpulan ........................................................................... 89
7.2 Saran .................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 91
LAMPIRAN .......................................................................................... 100

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Pohon, bunga, buah dan biji pepaya (Carica papaya L.) .............. 8
Gambar 2.2 Daun pepaya (Carica papaya L.) .................................................. 11
Gambar 2.3 Morfologi Salmonella Typhi .......................................................... 25
Gambar 2.4 Salmonella Typhi pada BAP dan mdium MacConkey ................. 27
Gambar 2.5 Patogenesis dan menifestasi klinis infeksi Salmonella Typhi ........ 35
Gambar 2.6 Lokasi infeksi Salmonella Typhi pada manusia ............................ 35
Gambar 5.1 Hasil pewarnaan Gram Salmonella Typhi batang Gram negatif ... 71
Gambar 5.2 Sistem Microbact untuk identifikasi bakteri Gram negatif .............. 74
Gambar 5.3 Hasil inokulasi bakteri pada mdium NAP pada uji pendahuluan .. 76
Gambar 5.4 Hasil Uji Dilusi Tabung ................................................................. 77
Gambar 5.5 Hasil inokulasi bakteri pada media padat NAP ............................. 78
Gambar 5.6 Diagram batang jumlah koloni Salmonella Typhi setelah perlakuan
dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun pepaya ...................... 80
Gambar 5.7 Grafik rata-rata jumlah koloni Salmonella Typhi terhadap konsentrasi
ekstrak daun pepaya ................................................................... 82

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Manfaat dari setiap bagian tanaman pepaya (Carica papaya L) ....... 9
Tabel 2.2 Gizi yang terkandung dalam setiap 100 gram daun pepaya (Carica
papaya L) ......................................................................................... 12
Tabel 2.3 Mekanisme kerja obat antimikroba ................................................... 40
Tabel 4.1 Tabel penghitungan jumlah koloni Salmonella Typhi ........................ 70
Tabel 5.1 Hasil uji identifikasi Salmonella Typhi .............................................. 72
Tabel 5.2 Substrat dan reaksi pada identifikasi bakteri Salmonella Typhi
dengan Microbact ........................................................................... 73
Tabel 5.3 Substrat dan reaksi untuk sistem dengan Microbact ........................ 75
Tabel 5.4 Hasil penghitungan koloni bakteri yang tumbuh pada NAP ............. 79

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Alat penelitian uji antibakteri ........................................................ 100
Lampiran 2 Hasil penelitian ............................................................................. 102
Lampiran 3 Data hasil penelitian dan uji statistik ............................................ 106

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepanjang sejarahnya, umat manusia terpaksa menghadapi ancaman
terhadap kelangsungan hidupnya, antara lain berupa berjangkitnya penyakitpenyakit infeksi. Kini penyakit infeksi merupakan penyebab kematian ketiga di
dunia (Putin, 2006).
Permasalahan penyakit infeksi dalam era globalisasi dewasa ini, menjadi
semakin kompleks dan tidak mengenal batas dari suatu negara. Penyakit infeksi
merupakan ancaman yang tidak akan pernah surut terhadap masyarakat tanpa
peduli usia, gender, gaya hidup, latar belakang etnik dan status sosioekonominya. Penyakit infeksi menyebabkan penderitaan dan kematian serta
menyebabkan beban keuangan yang tidak kecil terhadap masyarakat (Soeroso,
2007).
Penyakit infeksi merupakan ancaman yang mengintai seluruh umat
manusia di muka bumi. Infeksi ditimbulkan oleh adanya agen infeksius yang
menyerang sistem tubuh manusia, baik secara langsung maupun melalui suatu
agen perantara. Agen infeksius dapat berupa virus, mikroba, bakteri, dan parasit.
Agen infeksius yang menyerang manusia mempunyai tingkatan tertentu, mulai
dari agen yang dapat menimbulkan penyakit mematikan sampai pada agen yang
menimbulkan penyakit-penyakit ringan. Akan tetapi, penyakit yang ringan sekali
pun jika tidak ditangani secara serius, bisa menyebabkan akibat yang lebih fatal
(Hanafi, 2009).

Salah satu agen infeksius yang sering menyebabkan terjadinya infeksi


adalah bakteri jenis Salmonella Typhi. Kuman dari genus Salmonella mampu
menyebabkan sejumlah besar infeksi pada manusia, termasuk demam tifoid
(atau demam enterik), infeksi sistemik fokal, septicemia, dan gastroenteritis yang
bervariasi secara klinis dari diare cair sampai disentri (Harrison, 1999). Menurut
data yang dikumpulkan oleh the Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), tempat perjangkitan utama tifoid adalah Alexandria, Mesir; Jakarta,
Indonesia; dan Santiago, Chile. Demam tifoid masih merupakan penyakit yang
banyak terjadi di negara-negara berkembang. Di Delhi, India, insiden per tahun
naik menjadi 980 per 100.000. Menurut WHO (1995), setidaknya 16 juta kasus
baru muncul per tahun, dengan perkiraan 600.000 meninggal. Paling banyak
terjadi di Asia, sub-benua India, diikuti Afrika dan Amerika latin. Pada tahun 1996
dan 1997 terjadi wabah yang mengenai lebih dari 10.000 orang di Tajikistan. Di
Amerika Serikat, setiap tahunnya terdiagnosis kurang lebih 800 kasus,
kebanyakan terjadi pada pelancong yang terinfeksi di luar negeri (Goldman and
Ausiello, 2002). Saat ini demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia.
Prevalensi demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000
penduduk per tahun atau kurang lebih sekitar 600.000-1,5 juta kasus setiap
tahun. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen dari angka di atas adalah
anak berusia 2-19 tahun (Tempo, 2002). Demam tifoid masih merupakan satu
masalah kesehatan yang penting di Indonesia karena menyebabkan kematian
gastrointestinal kedua setelah gastroenteritis, manifestasi klinis demam tifoid di
Indonesia pada umumnya lebih berat dibandingkan di negara-negara Asia
Tenggara lainnya (Medical Tribune, 2001)

Seiring berlalunya waktu, terjadi resistensi pada beberapa bakteri yang


membuat beberapa penyakit semakin sulit untuk dikontrol. Penggunaan
antimikroba yang berlebihan disebut-sebut sebagai penyebab terbesar resistensi
pada manusia (WHO, 2002).
Salah satu perhatian utama WHO adalah resistensi pada genus
Salmonella (WHO, 2004). Agen antimikroba seperti floroquinolon dan generasi
ke-tiga sefalosporin (ceftriaxone) biasa digunakan untuk menanggulangi infeksi
Salmonella yang berat pada manusia. Namun, resistensi pada obat-obat ini dan
antimikroba yang lain semakin meningkat (CDC, 2004). Pada tahun 1972, terjadi
epidemi demam tifoid berat di Mexico. Dari 493 strain yang dipelajari selama
wabah, 452 (91,7%) resisten terhadap kloramfenikol, tetrasiklin, streptomisin, dan
sulfonamide (Olarte and Galindo, 1973). Pada tahun 1997-1999, di Kenya, terjadi
penularan Salmonella Typhi yang resisten terhadap ampisilin, tetrasiklin,
kloramfenikol, streptomisin, dan cotrimoxazole (Kariuki, et al., 2000). Di Amerika
Serikat, kasus yang disebabkan strain multidrug-resisten (MDR) meningkat dari
0,6 % pada 1985-1989 menjadi 12 % pada 1990-1994 (Goldman and Ausiello,
2002). Analisis perubahan respon Salmonellae terhadap delapan antibiotik
(ampisilin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kloramfenikol, tetrasiklin, cephalotin,
ceftriaxone, norfloxacin, dan ciprofloxacin) di Indonesia selama tahun 1995-2001
menunjukkan pola resistensi yang bervariasi pada Salmonella spp., sedangkan
Salmonella Typhi dan paraTyphi A masih sensitif terhadap kedelapan antibiotik
(Tjaniadi dkk., 2003).
Karena semakin banyak mikroba yang resisten terhadap obat-obatan,
terutama antibiotik, maka banyak masyarakat yang mulai beralih pada
pengobatan tradisional. Bahkan, WHO merekomendasi penggunaan obat

tradisional dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan


pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan
kanker. Hal ini menunjukkan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam
hal tertentu lebih menguntungkan (Benka Farma, 2009).
Salah satu bahan tradisional yang disebut-sebut dapat digunakan untuk
sebagai antimikroba adalah daun pepaya (Carica papaya L.). Daun pepaya
(Carica papaya L.) adalah salah satu tanaman obat tradisional yang memiliki
banyak manfaat bagi kesehatan. Beberapa manfaat daun pepaya, antara lain
sebagai penguat sekresi empedu, mengobati nyeri perut, malaria, beri-beri, asma
bronchial, elephantiasis, sebagai penambah napsu makan, dan sebagai obat anti
cacing kremi (Sastroamidjojo, 2001).
Di dalam penelitian ini, penulis ingin mempergunakan ekstrak etanol dari
daun pepaya (Carica papaya L.) sebagai bahan penelitian antimikroba karena
beberapa bahan yang terkandung dipercayai memiliki efek antimikroba. Zat-zat
tersebut adalah carpaine, beta-sitosterol, caffeic acid, gentisic acid, lauric acid,
dan ascorbic acid (Duke, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh
tentang kemungkinan penggunaan antimikroba alternatif terhadap Salmonella
Typhi. Penulis memilih ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) untuk
kemudian diuji kepekaannya terhadap bakteri Salmonella Typhi secara in vitro.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek
antimikroba terhadap bakteri Salmonella Typhi secara in vitro?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk membuktikan bahwa ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya
L.) memiliki efek antimikroba terhadap bakteri Salmonella Typhi secara in vitro.

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk mengetahui Kadar Hambat Minimal (KHM) ekstrak etanol daun
pepaya (Carica papaya L.) terhadap bakteri Salmonella Typhi secara in
vitro.
Untuk mengetahui Kadar Bunuh Minimal

(KBM) ekstrak etanol daun

pepaya (Carica papaya L.) terhadap bakteri Salmonella Typhi secara in


vitro.
Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol daun
pepaya (Carica papaya L.) dengan bakteri Salmonella Typhi secara in
vitro.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Akademik
Sebagai tambahan untuk lebih mendukung adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran, terutama yang berhubungan
dengan aspek mikrobiologi. Dan menambah koleksi bahan alam untuk
menghambat pertumbuhan bakteri.

1.4.2 Manfaat Praktis


Untuk

memperkaya

khasanah

pengetahuan

masyarakat

tentang

kegunaan dari ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.).


Untuk memberikan dan menguatkan informasi kepada masyarakat
tentang pemanfaatan ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.)
sebagai antimikroba terutama terhadap bakteri Salmonella Typhi.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih gencar lagi
memakai obat-obatan tradisional yang aman.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Pepaya (Carica papaya L.)


2.1.1 Taksonomi Tanaman Papaya (Carica papaya L.)
Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan (taksonomi),
tanaman papaya diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Caricales

Family

: Caricaceae

Genus

: Carica

Spesies

: Carica papaya
(Rukmana, 1994)

2.1.2 Deskripsi Tanaman Papaya (Carica papaya L.)


Pepaya (Carica papaya L.) atau betik (bahasa Melayu) adalah tumbuhan
yang berasal dari Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan,
dan kini menyebar luas dan banyak ditanam di seluruh daerah tropis untuk
diambil buahnya. C. papaya adalah satu-satunya jenis dalam genus Carica.
Nama pepaya dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, "papaja",
yang pada gilirannya juga mengambil dari nama bahasa Arawak, "papaya".

Dalam bahasa Jawa pepaya disebut "kats" dan dalam bahasa Sunda "gedang"
(Hamzah, 2007).
Tanaman pepaya adalah tanaman semak, berbentuk pohon, tinggi bisa
mencapai 10 m (Jamil et.al., 2006). Pepaya (carica papaya) merupakan
tumbuhan yang berbatang tegak dan basah. Pepaya menyerupai palma,
bunganya berwarna putih dan buahnya yang masak berwarna kuning
kemerahan, rasanya seperti buah melon. Tinggi pohon pepaya dapat mencapai 8
sampai 10 meter dengan akar yang kuat. Helaian daunnya menyerupai telapak
tangan manusia. Apabila daun pepaya tersebut dilipat menjadi dua bagian persis
di tengah, akan nampak bahwa daun pepaya tersebut simetris. Rongga dalam
pada buah pepaya berbentuk bintang apabila penampang buahnya dipoting
melintang. Tanaman ini juga dibudidayakan di kebun-kebun luas karena buahnya
yang segar dan bergizi (Sentra Informasi Iptek, 2005).

Gambar 2.1 Pohon, bunga, buah dan biji pepaya (Carica papaya L.)

Tanaman papaya mempunyai kandungan kimia yang berbeda-beda pada


buah, daun, akar maupun biji. Pada buah terkandung asam butanorat, metal
butanoat, benzilglukosinolat, linalool, papain, asam alfa linoleat, alfa filandren,
alfa terpinen, gamma terpinen, 4-terpineol, dan terpinolen. Pada daun
terkandung alkaloid, dehidrokarpain, pesedokarpain, flavonol, benzilglukosinolat,
papain dan tannin (Duke, 1983).

Tabel 2.1 Manfaat dari setiap bagian tanaman pepaya (Carica papaya L.)
BAGIAN

MANFAAT

TANAMAN
Akar

Untuk obat pembasmi cacing kremi, sakit ginjal, sakit kandung


kemih, tekanan darah tinggi, digigit serangga dan encok.

Daun

Sayur untuk penambah nafsu makan. Mengobati penyakit beriberi, kejang perut, malaria, sakit panas, insomia, asi tidak lancar,
kaki gajah, kejengkolan, disentri amuba, keputihan dan kurang
darah.

Batang

Pakan ternak

Kuntum

Untuk sayur lodeh, pecel dan dapat merangsang nafsu makan

Bunga
Buah

Buah meja (langsung dikonsumsi), asinan, selai/jam, manisan,


makanan kering, saos, juice, dan minuman ringan. Untuk terapi
memperlancar pencernaan, menghaluskan kulit, mengobati
lambung (sakit mag), sariawan, sembelit dan mengurangi panas
tubuh, serta membantu membuang lemak dalam tubuh.

Biji

Dapat diolah menjadi tepung untuk obat masuk angin dan

minyak, obat cacing dan diare.


Getah

Digunakan untuk luka bakar, jerawat dan kutil. Dalam industri

(papain)

minuman digunakan sebagai penjernih dan penambah cita rasa


pada bir, sedangkan dalam industri daging sebagai pengempuk
daging

Kulit pohon

Bahan obat

(Wahana Informasi Teknologi Pasca Panen dan Penolahan Hasil Pertanian,


2002)

2.1.2.1 Perkembangbiakan
Pepaya adalah monodioecious' (berumah tunggal sekaligus berumah
dua) dengan tiga kelamin: tumbuhan jantan, betina, dan hermafrodit. Kelamin
jantan pepaya ditentukan oleh suatu kromosom Y-primitif, yang 10% dari
keseluruhan panjangnya tidak mengalami rekombinasi (Liu Z et.al., 2004). Suatu
penanda genetik RAPD juga telah ditemukan untuk membedakan pepaya
berkelamin betina dari pepaya jantan atau banci (Urasaki et.al., 2002).

2.1.2.2 Ekologi dan Penyebaran


Pepaya berasal dari negara Amerika Tengah. Tanaman pepaya tumbuh
di daratan rendah hingga ketinggian 1000 m dpl, tumbuh subur di tanah yang
kaya bahan organik dan tidak menyukai tempat tergenang. Syarat pepaya
tumbuh di daerah tropis dengan suhu udara 22 C 26 C, kelembaban sedang
sampai tinggi. Pepaya juga mentoleransi pH tanah sebasar 6,5 7 (Muhlisah,
2001).

2.1.3 Morfologi Daun Papaya (Carica papaya L.)


Daun papaya berlekuk, menjari dengan tungkai daun yang panjang dan
berlubang (Sunarjono, 2008) serta terkumpul di ujung batang (Muhlisah, 2002).
Garis tengah daun papaya dapat mencapai 25 cm hingga 75 cm, berwarna hijau
tua sedangkan tulang daunnya berwarna lebih muda (Kartasapoetra, 1996).

Gambar 2.6 Daun pepaya (Carica papaya L.)

2.1.4 Kandungan Kimia Daun Papaya (Carica papaya L.)


Dari penelitian terdahulu telah diketahui berbagai macam kandungan
daun papaya, antara lain alkaloid carpaine, pseudocarpaine, dehidrocarpaine I
dan II, alpha-tocopherol, beta-carotene, beta-sitosterol, carposide, choline,
cotinine, myosmine, nicotine, prunasin, tannin, tetraphyllin-B, thiamine, niasin,
riboflavin, violaxanthin, phosphatidil-glycerol, dan sulfoquinovosyl-diacyl-glicerol.
Selain itu daun papaya juga mengandung senyawa ascorbic acid, gentistic acid,
lauric acid, linolec acid, myristic acid, oleic acid, palmitic acid, stearic acid, caffeic
acid, senyawa-senyawa karbohidrat seperti glukosa, sukrosa, dan fruktosa, serta
mengandung beberapa mineral penting seperti besi, fosfor, kalium, dan natrium
(Duke, 2009). Ada juga senyawa-senyawa seperti

protocatechuic acid, p-

coumaric acid; s,7-dimethoxycoumarin, senyawa flavonol seperti kampferol dan


quercetin, serta chlorogenic acid (Canini et.al., 2007). Dari sekian banyak zat
yang ada pada daun papaya, beberapa diantaranya memiliki efek antibakteri. .
Zat-zat tersebut adalah carpaine, beta-sitosterol, caffeic acid, gentisic acid, lauric
acid, dan ascorbic acid (Duke, 2009). Menurut Clark, dari beberapa senyawa
yang memiliki sifat antibakteri yang terkandung dalam daun papaya, tidak semua
bahan dapat larut dengan etanol. Bahan-bahan antibakteri yang terkandung
dalam daun papaya yang dapat larut dalam alcohol seperti etanol adalah
carpaine, asam-asam organic, dan beta sitosterol (Clark, 2007).

Tabel 2.2 Gizi yang terkandung dalam setiap 100 gram daun pepaya (Carica
papaya L.)
No

Kandungan

Jumlah *

Kalori (energi)

79 kal

Protein

8 gram

Lemak

2 gram

Vit. A

18250 SI

Vit. B1

0,15 mg

Vit. C

140 mg

Kalsium

353 mg

Fosfor

142 mg

Air

75,4 gram

10

Zat besi

0,8 mg

11

Hidrat arang

11,9 gram

12

Karbohidrat total

11,3 gram

13

Serat

1,8 gram

14

Abu

2,2 gram

15

Natrium

18 gram

16

Beta karoten

11565 g

17

Thiamin

0,09 mg

18

Riboflavin

0,48 mg

19

Niasin

2,1 mg

20

Asam askorbat

140 mg

21

Vit. E

136 mg

(Duke, 1983)

2.1.5 Keunggulan dan Manfaat Daun Papaya (Carica papaya L.)


Daun papaya memiliki beberapa keunggulan dan manfaat, antara lain:
1. Sebagai Obat jerawat.
Dapat digunakan untuk wajah berjerawat. Terutama bagi wanita yang selalu
memperhatikan kecantikan. Daun pepaya dapat mengobatinya yaitu dengan
membuatnya menjadi masker (Khalid, 2009).
2. Manfaat Memperlancar pencernaan.
Daun dari tumbuhan pepaya memiliki kandungan kimia senyawa karpain. Zat
itu dapat membunuh mikroorganisme yang sering mengganggu fungsi
pencernaan (Khalid, 2009).
3. Menambah nafsu makan.
Manfaat ini terutama untuk anak-anak yang sulit untuk makan. Daun pepaya
yang segar dan memiliki ukuran sebesar telapak tangan ditambahkan sedikit

garam dan air hangat setengah cangkir lalu diblender. Kemudian air
saringannya yang dapat dimanfaatkan untuk menambah nafsu makan
(Khalid, 2009).
4. Pengontrol tekanan darah.
Menurut ratna, daun pepaya juga dapat mengontrol tekanan darah dengan
cara merebusnya dengan air dan diminum (Ratna, 2009).
5. Demam berdarah.
Rebusan air pepaya juga dapat digunakan sebagai pertolongan pertama
pada demam berdarah (Khalid, 2009).
6. Obat malaria.
Daun pepaya dijadikan obat malaria dengan cara mencampurnya dengan
garam dan air hangat, lalu di haluskan dan di minum air perasannya sekali
sehari sampai tiga hari (Ratna, 2009).
7. Nyeri haid.
Wanita jawa zaman dulu sering memanfaatkan daun pepaya untuk
mengobati nyeri haid. 1 lembar daun ditambahkan asam jawa dan garam
serta segelas air dan rebus. Sebelum diminum ramuan pepaya tersebut
didinginkan terlebih dahulu (Khalid, 2009).
8. Anti kanker.
Hal ini masih belum pasti, tapi dari beberapa penelitian bahwa manfaat daun
pepaya juga dapat dikembangkan sebagai anti kanker. Sebenarnya bukan
hanya daunnya saja melainkan batang pepaya juga dapat digunakan. Karena
kedanya memiliki milky latex (getah putih seperti susu) (Khalid, 2009).

9. Obat penyakit suka mengantuk.


Dapat dicegah dengan meminum rebusan air daun pepaya muda dan
parutan kunyit sebanyak 1 gelas. Air rebusan ramuan tersebut disaring
kemudian diminum (Ratna, 2009).
10. Pelembut daging.
Para ibu rumah tangga mungkin sudah tidak asing lagi dengan khasiat daun
pepaya untuk melunakkan daging. Kandungan getah (lateks) dalam daun
yang akan meresap ke dalam daging dan melunakkannya. Caranya dengan
memasukkan daun pepaya dalam rebusan daging, atau membungkus daging
dalam daun pepaya ketika direbus. dengan cara membungkus daging selama
beberapa jam, atau dengan menggosokkan daun pada permukaan daging.
Itu berguna untuk mentransfer getah (lateks) pada daun ke dalam daging. Di
beberapa daerah, proses pelunakan dilakukan dengan memasak daging
bersama daun dan buah pepaya mentah (Ratna, 2009).

2.1.6 Daya Antimikroba Daun Papaya (Carica papaya L.)


Daun pepaya mengandung berbagai macam zat aktif, yaitu alkaloid,
saponin, flavonoid, polivenol, glikosida, senyawa-senyawa fitosterol, dan zat-zat
lainnya yang masih banyak lagi. Polifenol dan flavonoid merupakan golongan
fenol yang telah diketahui memiliki aktivitas antiseptik. Senyawa flavonoid
menurut strukturnya merupakan turunan senyawa flavon golongan flavonoid
dapat digambarkan sebagai deretan C6 C3 C6 (cincin benzen tersubstitusi)
disambung oleh rantai alifatik 3 karbon, senyawa ini merupakan senyawa
flavonoid larut dalam air serta dapat diekskresikan menggunakan etanol 70 %
(Harborne, 1987).

2.1.6.1 Alkaloid carpaine


Diantara sekian banyak zak aktif terdapat dalam daun pepaya, zat yang
paling banyak adalah alkaloid carpaine (Bukhori et.al., 2005). Jumlahnya sekitar
1300 4000 ppm. Salah satu aktivitas biologis yang telah diteliti dari senyawa ini
adalah efeknya sebagai antibakteri (Martinian et.al., dalam Shuid et.al., 2005).
Carpaine telah terbukti memiliki daya antibakteri. Penelitian terdahulu
yang pernah dilakukan oleh Ardina (2007) menyebutkan bahwa carpaine memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Propinibacterium acnes dan Staphylococcus
epidemis.
Carpaine memiliki gugus basa dalam struktur kimianya. Gugus basa inilah
yang berperan dalam menghambat aktivitas S.aureus. Gugus basa tersebut akan
bereaksi dengan molekul asam dari asam amino pada DNA S.aureus.
Perubahan susunan rantai asam amino ini jelas akan mempengaruhi
keseimbangan genetic pada DNA yang berlanjut pada kerusakan DNA.
Kerusakan DNA tentunya juga akan menyebabkan rusaknya inti sel, sehingga inti
sel akan lisis. Lisisnya inti sel bakteri akan menyebabkan juga kerusakan sel
pada bakteri karena inti sel merupakan pusat kegiatan sel. Kerusakan sel pada
bakteri ini lama kelamaan akan membuat sel-sel bakteri tidak mampu melakukan
metabolism sehingga juga akan mengalami lisis. Dengan demikian bakteri akan
menjadi inaktif dan hancur (Gunawan, 2009). Selain itu, carpaine juga dapat
menghambat enterotoksin yang merupakan salah satu factor virulensi S.aureus
serta dapat mencegah proses adhesi pada sel target infeksi (Rangel, 2006).

2.1.6.2 Caffeic acid, gentisic acid, lauric acid, dan ascorbic acid
Selain carpaine, ada juga senyawa beta-sitosterol, caffeic acid, gentisic
acid, lauric acid, dan ascorbic acid yang disebut-sebut memiliki daya antibakteri.
Caffeic acid, gentisic acid, lauric acid, dan ascorbic acid merupakan senyawa
yang dapat digolongkan sebagai organic acids. Senyawa ini biasanya bersifat
asam lemah. Ketika molekul asam dari asam-asam organic ini menembus
dinding sel bakteri, molekul tersebut akan terbagi-bagi menjadi beberapa bagian
di dalam sel bakteri. Molekul-molekul asam ini kemudian akan menyebabkan
penurunan pH intrasel bakteri. Selanjutnya, jalur metabolism akan diarahkan
untuk mengeluarkan kelebihan proton (H+) dalam sel bakteri. Proses ini
membuthkan banyak energy sehingga apabila keadaan ini terus berlanjut dapat
membuat sel bakteri menjadi kelelahan dan berujung pada kematian sel bakteri
(Kroll dan Patchett, dalam Hismiogullari et.al., 2008).

2.1.6.3 Beta-sitosterol
Senyawa beta-sitosterol merupakan senyawa yang termasuk dalam
golongan fitosterol.

Beta-sitosterol bekerja sebagai antibakteri dengan cara

menghambat enzim sortase pada S.aureus. Enzim sortase adalah salah satu
jenis transpeptidase yang dihasilkan oleh bakteri Gram positif yang bertanggung
jawab mengikat

protein permukaan

(factor

virulensi)

dengan lapisan

peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Apabila enzim ini dihambat, maka akan
terjadi penurunan daya virulensi bakteri akibat berkurangnya factor virulensi yang
terikat pada dinding sel bakteri. Dengan demikian, dapat dikatakan beta-sitosterol
tidak membunuh S.aureus melainkan hanya mencegah adhesi S.aureus paa sel
target infeksi (Oh et.al., 2006).

2.1.6.4 Saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak macam
tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada
bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap
pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai
bentuk

penyimpanan

karbohidrat,

atau

merupakan

waste

product

dari

metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah sebagai pelindung


terhadap serangan serangga (Hopkins, 1995).
Saponin merupakan senyawa yang banyak terkandung dalam tanaman
seperti kacang-kacangan dan ginseng. Saponin juga biasa disebut sebagai
deterjen alami karena menyebabkan timbulnya buih ketika tanaman yang
mengandungnya

dipanaskan.

Saponin

memiliki

aktivitas

antifungi

dan

antibakterial berspektrum luas, mampu menurunkan kolesterol dan menghambat


pertumbuhan sel kanker. Gugus lipofilik pada saponin dapat merusak membran
sel. Pada studi laboratorium, saponin dengan kadar 0,04%-0,2% dapat
digunakan untuk merusak permeabilitas (membuat lubang) membran plasma
begitu juga membran interna dari organella-organella seperti retikulum
endoplasmik dan apparatus golgi, tetapi tidak dapat mempenetrasi membran inti
(Wikipedia, 2007).
Saponin

adalah

phytochemical

yang

berguna,

yaitu

antara

lain

mempunyai aktivitas antifungal dan antibakteri yang berspektrum luas. Saponin


mempunyai kerja merusak membran plasma dari bakteri (Hopkins, 1995).
Sifat-sifat Saponin adalah:
1. Mempunyai rasa pahit
2. Dalam larutan air membentuk busa yang stabil

3. Menghemolisa eritrosit
4. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi
5. Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidrok-sisteroid lainnya
6. Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi
7. Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasilkan formula empiris
yang mendekati. Toksisitasnya mungkin karena dapat merendahkan
tegangan permukaan (surface tension). Dengan hidrolisa lengkap akan
dihasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat (hexose, pentose dan
saccharic acid).
Berdasarkan atas sifat kimiawinya, saponin dapat dibagi dalam dua kelompok
1. Steroids dengan 27 C atom.
2. Triterpenoids, dengan 30 C atom.
Macam-macam saponin berbeda sekali komposisi kimiawinya, yaitu
berbeda pada aglikon (sapogenin) dan juga karbohidratnya, sehingga tumbuhtumbuhan tertentu dapat mempunyai macam-macam saponin yang berlainan,
seperti:
Quillage saponin : campuran dari 3 atau 4 saponin
Alfalfa saponin : campuran dari paling sedikit 5 saponin
Soy bean saponin : terdiri dari 5 fraksi yang berbeda dalam sapogenin,
atau karbohidratnya, atau dalam kedua-duanya (Hopkins, 1995).

2.1.6.5 Flavanoid
Flavonoid diketahui telah disintesis oleh tanaman dalam responsnya
terhadap infeksi mikroba sehingga tidak mengherankan kalau mereka efektif
secara

in

vitro

terhadap

sejumlah

mikroorganisme.

Aktivitas

mereka

kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks


dengan protein ekstraseluler dan terlarut, dan dengan dinding sel. Flavonoid
yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba. Flavonoid
merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Flavonoid mempunyai
sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian besar merupakan pigmen
warna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik, mudah terurai pada
temperatur tinggi (Melderen, 2002).
Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak
macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung
flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavon, flavonoid, dan falavonol,
ketiganya diketahui disintesis oleh tanaman dalam responnya terhadap infeksi
mikroba.

Senyawa

flavonoid

mempunyai

kerja

menghambat

enzim

topoisomerase II pada bakteri serta berikatan dengan protein bakteri. DNA


gyrase termasuk salah satu dari enzim kelas topoisomerase II (Melderen, 2002).
DNA gyrase memilin untaian dari DNA, dengan menguraikan untaian DNA.
Flavonoid dapat membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri. Semakin
lipofilik suatu flavonoid, kemampuannya dalam merusak dinding sel bakteri
semakin kuat (Cowan, 1999). Zat flavonoid dari tanaman dapat dimurnikan
dengan menggunakan ekstrak alkohol (Robinson, 1991).

2.1.6.6 Tannin
Tannin adalah suatu nama deskriptif umum untuk satu grup substansi
fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari
cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai astringensi. Mereka ditemukan hampir di
setiap bagian dari tanaman; kulit kayu, daun, buah, dan akar. Mereka dibagi ke

dalam dua grup, tannin yang dapat dihidrolisis dan tannin kondensasi.Tannin
mungkin dibentuk dengan kondensasi derivatif flavan yang ditransportasikan ke
jaringan kayu dari tanaman. Tannin mungkin juga dibentuk dengan polimerisasi
unit quinon (Naim, 2004).
Tannin merupakan salah satu senyawa kimiawi yang termasuk dalam
golongan polifenol yang diduga dapat mengikat salah satu protein yang dimiliki
oleh bakteri yaitu adhesin dan apabila hal ini terjadi maka dapat merusak
ketersediaan reseptor pada permukaan sel bakteri. Tannin telah dibuktikan dapat
membentuk kompleks senyawa yang irreversibel dengan prolin, suatu protein
lengkap, yang mana ikatan ini mempunyai efek penghambatan sintesis protein
untuk pembentukan dinding sel (Agnol et.al., 2003).
Beberapa laporan penelitian in vitro menunjukkan bahwa secara potensial
terdapat hubungan yang signifikan antara sistem biologi/organisme seperti virus,
bakteri, dan molluska dengan beberapa enzim penghambat, antioksidan, dan zat
anti radikal bebas. Adapun kecenderungan beberapa senyawa tersebut untuk
bercampur dengan sistem biologi yang ada, paling tidak salah satu sistem
biologi, karena adanya kemampuan khusus dari senyawa-senyawa tersebut
untuk membentuk ikatan kompleks dengan makromolekul tertentu, yang mana
makromolekul tadi berkombinasi dengan suatu senyawa polifenol yang berasal
dari alam. Polifenol yang terdiri atas tannin, flavonoid dan asam fenolat
merupakan komponen yang paling menonjol dalam kaitannya dengan aktivitas
antimikroba. Beberapa literatur juga telah menunjukkan bahwa aktivitas
antibakteri pada beberapa tanaman obat juga diperankan oleh tannin (Agnol
et.al., 2003).

2.1.6.7 Polifenol
Mekanisme antibakteri dari polifenol kemungkinan melalui interaksi yang
non spesifik dengan protein mikroorganisme serta dapat merusak membran sel
bakteri. Polifenol juga dapat menyebabkan denaturasi protein bakteri (Venturella,
2000).
Polifenol adalah asam fenolik dan flavonoid. Polifenol banyak ditemukan
dalam

buah-buahan,

sayuran

serta

biji-bijian.

Rata-rata

manusia

bisa

mengkonsumsi polifenol dalam seharinya sampai 23 mg. Khasiat dari polifenol


adalah antimikroba dan menurunkan kadar gula darah. Polifenol merupakan
antioksidan jenis bioflavonoid yang 100 kali lebih efektif dari vitamin C dan 25 kali
dari vitamin E. Manfaatnya:
Menurunkan kadar kolesterol
Menurunkan tekanan dan kadar gula darah
Membantu kerja ginjal dan mencegah terjadinya batu empedu
Memperlancar pencernaan
Melarutkan lemak dan mencegah kolesterol jahat
(Venturella,2000).
Polifenol memiliki sifat antioksidan lebih baik dibandingkan vitaminvitamin dan menjadi obyek yang menarik perhatian para ahli nutrisi, epidemiologi,
perusahaan agraria dan konsumen pada dekade terakhir. Keuntungan utama
polifenol adalah efek melindungi terhadap berbagai penyakit seperti kanker dan
penyakit kardiovaskular. Polifenol membantu melawan pembentukan radikal
bebas dalam tubuh dan karenanya memperlambat penuaan sel. Polifenol
ditemukan dalam kebanyakan produk konsumsi, utamanya dalam buah dan

sayuran serta produk yang diproses seperti coklat, teh dan anggur (Venturella,
2000).

2.2 Salmonella Typhi


2.2.1 Taksonomi
Kingdom

: Eubacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

: Gamma Proteobacteria

Order

: Enterobacteriales

Family

: Enterobacteriaceae

Genus

: Salmonella

Species

: S. Typhi
(Wikipedia, 2010)

Salmonella

merupakan

genus

yang

termasuk

dalam

famili

Enterobacteriaceae. Genus ini dinamakan Salmonella untuk menghormati


seorang ahli patologi bernama Daniel Salmon yang pertama kali mengisolasi
S.choleraesuis dari usus babi (Corales, 2004). Taksonomi Salmonella kompleks,
karena perkembangan dan penggunaan beberapa nomenklatur yang berbeda
selama bertahun-tahun. Skema antigenik Kauffmann-White memberikan lebih
dari 2000 spesies Salmonella, karena setiap tipe antigenik baru yang ditemukan
diberi nama spesies tersendiri, misalnya Salmonella Typhimurium. Ewing dkk.
mengusulkan hanya ada tiga spesies Salmonella, yaitu: Salmonella choleraesuis,
Salmonella enteriditis, dan Salmonella Typhi (Dzen dkk., 2003).

Penelitian genetik menunjukkan bahwa dipandang dari segi genetik,


filogenik, dan evolusi, semua genus Salmonella dan organisme yang dulu
diklasifikasikan dalam genus Arizona adalah milik dari satu spesies. Setiap
perbedaan tipe antigenik, reaksi biokimia, dan distribusi hospes serta geografis
karena sebaran dari satu spesies, yaitu Salmonella enterica (Dzen dkk., 2003).
Dalam Bergeys Manual of Determinative Bacteriology, semua serotipe
Salmonella dianggap sebagai satu spesies yaitu Salmonella choleraesuis
(Berkeley et.al., 1994).
Salmonella dikelompokkan berdasarkan pada antigen somatik O dan
selanjutnya dibagi menjadi berbagai serotipe berdasarkan antigen flagella H dan
antigen permukaan Vi (virulence). Menurut Emedicine.com, berdasarkan studi
DNA, semua Salmonella sekarang dianggap hanya satu spesies yaitu
Salmonella choleraesuis yang dibagi dalam tujuh subgrup yang berbeda. Melalui
kesepakatan, subgrup-subgrup ini sering dianggap sebagai spesies yang
berbeda misalnya Salmonella Typhi selain Salmonella choleraesuis

subgrup

Typhi (Corales, 2004).


Pada skema Kauffmann-White, setiap serotipe disimbolkan dalam angkaangka dan huruf-huruf yang diberikan berdasarkan antigen O (somatik), Vi
(Kapsul) dan H (flagella) yang berbeda. Sebagai contoh, formula antigenik
6,7:r:1,7 merepresentasikan antigen O (6,7); antigen H fase 1 (r); dan antigen H
fase 2 (1,7). Formula dengan antigen O yang sama dikelompokkan pada sebuah
grup O dan disusun secara alfabetis menurut antigen H-nya. Skema KauffmannWhite menampilkan baik spesies maupun semua subspesies dari Salmonella.
Serotipe juga dapat dibagi lagi berdasarkan tes-tes biokimia untuk kepentingan
epidemiologi, misalnya strain dari Salmonella Typhi yang xylose-positif dan

xylose-negatif. Pada surveilan epidemiologi juga dilakukan penamaan faga


(phage typing) pada Salmonella yang paling sering menyebabkan infeksi,
misalnya Salmonella serotipe Typhi dan enteridis. Bakteriofag 01 dari Felix dan
Callow sangat spesifik untuk Salmonellae, melisiskan lebih dari 98 % dari strainstrain yang dipelajari pada diagnosis Salmonella rutin (Berkeley et.al., 1994).

2.2.2 Morfologi dan Identifikasi


2.2.2.1 Morfologi
Salmonella Typhi berbentuk batang dengan ukuran 0,7-1,5 2-5 m
(Berkeley et.al., 1994). Panjang Salmonella sebenarnya bervariasi (Brooks et.al.,
1995). Bakteri ini bersifat Gram negatif, berflagella, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, fakultatif anaerob, memfermentasi glukosa, mereduksi nitrat
menjadi nitrit, dan mensintesis flagella peritrikus dalam keadaan motil (Corales,
2004).

Gambar 2.7 Morfologi Salmonella Typhi

2.2.2.2 Reaksi Biokimia


Salmonella Typhi merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat fakultatif
anaerob.

Bakteri

ini

bersifat

kemoorganotropik,

yaitu

mempunyai

tipe

metabolisme respiratorik dan metabolisme fermentatif. Suhu optimalnya adalah


37C. D-Glukosa dan karbohidrat lainnya dikatabolisme sehingga memproduksi
asam dan biasanya gas. Tes biokimia menunjukkan oksidase negatif, katalase
positif, indole dan Voges-Proskauer negatif, dan methyl red dan Simmon sitrat
positif. Tes lain menunjukkan lisin dan ornitin dekarboksilase positif dan
bervariasi pada reaksi arginin dihidrolase. Salmonella Typhi memproduksi H2S,
tidak menghidrolisis urea, tumbuh pada KCN dan bervariasi dalam penggunaan
malonat. Bakteri ini mereduksi nitrat. Karbohidrat yang biasanya difermentasikan
meliputi L-arabinosa, maltosa, D-manitol, D-manosa, L-rhamnosa, D-sorbitol,
trehalosa, dan D-xylosa (Berkeley et.al., 1995).

2.2.2.3 Perbenihan
Bakteri ini mudah tumbuh pada perbenihan biasa, tetapi hampir tidak
pernah meragikan laktosa atau sukrosa. Salmonella Typhi membentuk asam dan
kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S.
Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama.
Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau brilian,
natrium tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri enterik
lainnya; karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan dalam perbenihan
yang dipakai untuk mengisolasi Salmonella dari tinja.
Biakan pada perbenihan diferensial seperti EMB, MacConkey, atau
deoksikolat memungkinkan deteksi secara cepat bakteri bukan peragi laktosa
(bukan

hanya

salmonella

dan

shigella,

tetapi

juga

Pseudomonas dan lain-lain). Organisme gram positif

Proteus,

Serratia,

sedikit dihambat.

Perbenihan bismut sulfit memungkinkan deteksi Salmonella Typhi dengan cepat,


karena terbentuk koloni-koloni hitam akibat dihasilkan H2S.

(A)

(B)

Gambar 2.8 Salmonella Typhi pada BAP (A) dan medium MacConkey (B)

Pada perbenihan selektif, bahan ditanam pada lempeng agar SS


(Salmonella-Shigella). Agar enterik Hektoen, atau agar deoksikolat sitrat;
merupakan tempat salmonella dan shigella akan tumbuh subur, melebihi
organisme Enterobactericeae lainnya. Pada perbenihan diperkaya, bahan
diletakkan ke dalam kaldu selenit F atau kaldu tetrationat; keduanya
menghambat bakteri usus normal dan memungkinkan perkembangbiakan
salmonella. Setelah pengeraman selama 1-2 hari, biakan ini ditanam pada
perbenihan diferensial dan selektif. Sebagai langkah identifikasi terakhir, koloni
pada perbenihan padat yang dicurigai diidentifikasi dengan tes biokimia dan tes
aglutinasi dengan serum spesifik (Brooks et.al., 2005).

2.2.2.4 Tes Serologis


Teknik serologik dipergunakan untuk mengidentifikasi biakan yang tidak
diketahui dengan serum yang diketahui dan dapat juga untuk mengetahui titer

antibodi pada penderita. Tes aglutinasi terdiri dari tes aglutinasi mikroskopik
cepat dan tes aglutinasi pengenceran tabung (Tes Widal). Dalam tes aglutinasi
mikroskopik cepat, serum yang diketahui dicampur dengan biakan yang tidak
diketahui pada kaca objek. Pengggumpalan dapat dilihat dalam beberapa menit
sehingga bermanfaat untuk identifikasi pendahuluan biakan secara cepat.
Pada minggu kedua dan ketiga infeksi Salmonella, aglutinin serum
meningkat dengan cepat. Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum,
yang diperoleh dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya
kenaikan titer antibodi. Serum yang tidak dikenal diencerkan dua kali lipat lalu
dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut:
1. Titer O yang tinggi atau kenaikan titer O ( 1:60) menunjukkan adanya infeksi
aktif.
2. Titer H yang tinggi ( 1:60) menunjukkan bahwa penderita itu pernah
divaksinasi atau pernah terinfeksi.
3. Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri.
Hasil tes serologik terhadap Salmonella harus diinterpretasikan secara
hati-hati. Kemungkinan adanya antibodi reaksi silang membatasi penggunaan
serologi dalam diagnosis infeksi Salmonella (Brooks et.al., 2005).

2.2.3 Struktur Antigen


Salmonella Typhi memiliki antigen somatik O dan flagella H, antigen
envelope K, dan makromolekul kompleks Lipopolisakarida, disebut endotoksin,
yang membentuk bagian terluar dinding sel. Antigen O dan H adalah antigen
utama yang digunakan untuk penggolongan Salmonella. Antigen K yang disebut

Vi dapat menggangu aglutinasi melalui antiserum O; antigen ini dihubungkan


dengan sifat invasif yang dimilikinya (Brooks et.al., 2005).
Antigen O mirip dengan

antigen O dari Enterobactericeae yang lain,

tetapi antigen H berbeda karena adanya mekanisme diphase. Antigen H dapat


muncul sebagai salah satu atau dua dari fase antigenik mayor yaitu fase-1 yang
merupakan fase spesifik; atau fase-2 yang merupakan fase non-spesifik Antigen
H fase-1 dimiliki oleh hanya beberapa organisme, dan bereaksi hanya dengan
antisera homolog; sedangkan antigen H fase-2 dimiliki oleh banyak organisme
dan bereaksi dengan antisera heterolog (Dzen dkk., 2003).
Antigen O

merupakan rantai samping

dari unit-unit

gula yang

diproyeksikan dari lapisan terluar lipopolisakarida dinding sel bakteri. Antigen ini
bersifat hidrofilik dan memungkinkan bakteri untuk membentuk suspensi yang
stabil dan homogen pada larutan salin. Antigen O bersifat tahan panas, tidak
terpengaruh oleh pemanasan pada suhu 100C selama 2-5 jam, stabil dalam
alkohol, pada perlakuan dengan 96 % etanol pada suhu 37C selama 4 jam
(Cruicshank, 1975).
Antigen H terdapat pada protein flagella. Hanya organisme yang
berflagella yang memiliki antigen H. Antigen H pada Salmonella memiliki
keunikan tersendiri, karena dapat berubah-ubah menjadi antigen H fase 1 atau
fase 2. Organisme tersebut mungkin dapat menggunakan perubahan antigen ini
untuk mengelabui respon imun. Antigen kapsul atau K polisakarida diidentifikasi
melalui reaksi quellung. Pada Salmonella Typhi, identifikasi antigen K yang juga
disebut sebagai antigen Vi memiliki kepentingan epidemiologi (Levinson, 2002).

2.2.4 Penentu Patogenisitas


2.2.4.1 Faktor Permukaan
Salmonella adalah organisme yang kompleks yang memproduksi
berbagai faktor virulensi, termasuk antigen permukaan, faktor-faktor yang
berperan dalam invasi, endotoksin, sitotoksin, dan enterotoksin. Peranan masingmasing faktor dalam patogenesis infeksi Salmonella bervariasi, tergantung
serotipe yang menyebabkan infeksi dan sistem hospesnya, karena Salmonella
dapat menimbulkan sindroma yang berbeda pada hospes yang lain (Dzen dkk.,
2003).
Salmonella Typhi hanya dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
Respon hospes yang berbeda ini kemungkinan disebabkan perbedaan
kemampuan berbagai organisme tersebut untuk hidup secara intraseluler dalam
sel-sel fagosit. Kemampuan Salmonella untuk menempel pada reseptor sel
hospes dan bertahan hidup secara intraseluler kemungkinan karena adanya O
antigenic side chains, atau pada serotipe Typhi oleh karena adanya antigen Vi
(Dzen dkk., 2003). Antigen Vi kemungkinan dapat melindungi bakteri dari
fagositosis dan proses bakterisidal (Cruicshank, 1975). Fisiologi dari antigen Vi
belum ditentukan, namun telah ditunjukkan bahwa galur Typhi dengan antigen Vi
tidak difagositosis oleh sel-sel PMN secepat organisme tanpa antigen Vi, karena
penurunan ikatan C3b oleh antigen Vi.
Pada Salmonella Typhi disebutkan adanya fimbria tipe-1 dan diduga
sebagai satu-satunya adhesin pada Salmonella Typhi. Namun demikian, satu
penelitian yang lain melaporkan bahwa Salmonella Typhi memiliki adhesin lain
yang bukan fimbria dan adhesin tersebut berasal dari Outer Membrane Protein

(OMP) dengan berat molekul sekitar 36 kDa, yang kemudian disebut AdhO36
(Dzen dkk., 2003).

2.2.4.2 Daya Invasi


Salmonella yang virulen bisa menembus lapisan epitel usus halus dan
mengadakan penetrasi ke jaringan sub-epitelial. Menurut penelitian, organisme
ini mampu mensintesis protein baru bila ditumbuhkan bersama-sama sel
mamalia dan protein baru ini diperlukan untuk perlekatan dan penetrasi pada sel
mamalia tersebut. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa organisme yang
tumbuh pada kondisi oksigen 0-1 % ternyata 70% lebih adesif dan invasif
daripada yang tumbuh pada kondisi oksigen 20 %. Kadar oksigen ini merupakan
isyarat lingkungan bagi organisme untuk memproduksi protein baru.
Sel target serotipe Typhi adalah makrofag. Kemampuan untuk tetap hidup
dalam makrofag disebabkan oleh produk protein yang bisa mempertahankan diri
terhadap mekanisme pembunuhan bergantung oksigen maupun yang tidak
bergantung oksigen yaitu dengan produksi bahan antibakterial defensin juga
enzim-enzim lisosom. Kontrol genetik dari protein yang memproteksi bakteri
terhadap defensin terletak pada phoP locus (Dzen dkk., 2003).

2.2.4.3 Endotoksin
Lipopolisakarida (LPS) dari dinding sel juga disebut sebagai endotoksin
karena berhubungan dengan sel bakteri dan toksik pada hewan. Toksisitas dari
LPS terdapat pada bagian lipid A dari molekul. Injeksi endotoksin pada hewan
menyebabkan demam, syok yang fatal, perubahan leukosit, regresi tumor,
perubahan respon pejamu terhadap infeksi, reaksi Sanarelli-Shwartzman, dan

berbagai perubahan metabolik. Target sel dari endotoksin bermacam-macam,


dan mekanisme aksi dari endotoksin yang pasti belum diketahui (Joklik et.al.,
1988).
Endotoksin berperan pada patogenesis infeksi Salmonella, terutama
selama stadium bakteremia dari demam enterik. Endotoksin bertanggung jawab
atas terjadinya demam yang tampak pada penderita penyakit ini. Endotoksin,
yang merupakan senyawa lipopolisakarida, dalam aliran darah pada awalnya
berikatan dengan protein tertentu dalam sirkulasi, kemudian mengadakan
interaksi dengan reseptor pada makrofag dan monosit serta sel-sel RES. IL-1,
TNF dan sitokin yang lain dilepaskan, serta komplemen dan rangkaian koagulasi
diaktifkan.
Salmonella

juga

memproduksi

sitotoksin

yang

berbeda

dengan

enterotoksin. Toksin ini tampaknya berhubungan dengan membran terluar


bakteri, di mana toksin ini penting di dalam proses invasi dan pertahanan
terhadap destruksi seluler. Serotipe Typhi memproduksi sitotoksin paling sedikit.
Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan spektrum penyakit yang
disebabkan oleh berbagai serotipe Salmonella. Mekanisme kerja sitotoksin ini
adalah dengan menghambat sintesis protein pada biakan sel Vero (Dzen dkk.,
2003).

2.2.5 Demam Tifoid


2.2.5.1 Definisi
Demam tifoid merupakan bentuk klinis infeksi yang disebabkan oleh
Salmonella Typhi. Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disertai
gejala khas yaitu demam dan nyeri abdomen. Penyakit ini awalnya disebut

demam tifoid karena kesamaan klinis-nya dengan tifus. Namun, pada awal 1800an, demam tifoid dengan jelas didefinisikan sebagai penyakit yang unik secara
patologis karena berhubungan dengan pembesaran Peyers patches dan
limfonodi mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan letak anatomis dari infeksi,
istilah demam enterik mulai diperkenalkan untuk membedakan demam tifoid
dengan tifus. Pada saat ini, kedua istilah tersebut sama-sama digunakan (Lesser
and Miller, 2001).

2.2.5.2 Insidensi dan Prevalensi


Demam tifoid masih merupakan penyakit yang banyak terjadi di negaranegara berkembang. Di Delhi, India, insiden per tahun naik menjadi 980 per
100.000. Menurut WHO (1995), setidaknya 16 juta kasus baru muncul per tahun,
dengan perkiraan 600.000 meninggal. Paling banyak terjadi di Asia, sub-benua
India, diikuti Afrika dan Amerika latin. Pada tahun 1996 dan 1997 terjadi wabah
yang mengenai lebih dari 10.000 orang di Tajikistan. Di Amerika Serikat, setiap
tahunnya terdiagnosis kurang lebih 800 kasus, kebanyakan terjadi pada
pelancong yang terinfeksi di luar negeri. Trend terbaru menunjukkan peningkatan
terhadap insiden multidrug-resisten (MDR) Salmonella. Di Amerika Serikat, kasus
yang disebabkan strain MDR meningkat dari 0,6 % pada 1985-1989 menjadi 12
% pada 1990-1994 (Goldman and Ausiello, 2002).
Demam tifoid merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di
Indonesia. Selain merupakan penyebab kematian kedua infeksi gastrointestinal
setelah gastroenteritis, manifestasi klinis demam tifoid di Indonesia pada
umumnya lebih berat dibandingkan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Keadaan-keadaan seperti hepatitis tifoid, pankreatitis tifoid, dan toksik tifoid

misalnya, masih kerap ditemukan di berbagai rumah sakit di Jakarta dan di kotakota lainnya. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa strain-strain Salmonella Typhi
di Indonesia mungkin mempunyai keunikan tersendiri (Medical Tribune, 2001).

2.2.5.3 Patogenesis
Infeksi Salmonella Typhi biasanya terjadi melalui makanan, diikuti dengan
invasi pada mukosa saluran pencernaan atau multiplikasi selama beberapa hari
sebelum invasi. Untuk mengakibatkan penyakit setidaknya terdapat 105-107
inokula. Berhasil lolos dari asam lambung sangat krusial bagi bakteri untuk
menyebabkan penyakit. Kondisi yang menyebabkan achlorhydria seperti
penuaan, gasterektomi, penggunaan anti reseptor histamin H2 atau inhibitor
pompa proton, atau riwayat infeksi oleh Helicobacter pylori, dapat meningkatkan
infeksi Salmonella dengan menurunkan dosis infektif (Goldman and Auisello,
2002). Kultur dari tinja menunjukkan hasil positif selama beberapa hari setelah
ingesti Salmonella Typhi dan tidak akan negatif sampai mulai timbul gejala klinis
(Corales, 2004).
Salmonella Typhi melakukan penetrasi dinding usus dan memasuki folikel
limfoid, lalu multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear dan menyebabkan
ulserasi lokal (Andreoli et.al., 1986) Sel makrofag pada Peyer patches adalah
tempat potensial bagi Salmonella Typhi untuk masuk dan ditransportasikan ke
jaringan limfoid dibawahnya. Dari submukosa, organisme ini menuju limfonodi
mesenterik, multiplikasi, lalu masuk ke dalam peredaran darah melalui ductus
thoracicus. Hal ini menandai selesainya periode inkubasi, yang mungkin
berlangsung selama 3-60 hari namun biasanya 7-14 hari.

Gambar 2.9 Patogenesis dan manifestasi klinis infeksi Salmonella Typhi


(Jiyuunosekai in Medic and Health, 2008)

Selama fase bakterimia, organisme ini dapat menginvasi organ apapun,


namun yang paling sering adalah pada jaringan-jaringan RES seperti hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu, dan patches of Peyer pada ileum terminalis.
Kandung empedu mungkin terinfeksi melalui hati dan dapat menyebabkan
cholecystitis yang subklinis. Kandung empedu yang terinfeksi menyebabkan
kultur tinja yang positif dan menjadikan orang yang terinfeksi sebagai karier.
Periode inkubasi cenderung asimtomatik, yang biasanya berlangsung
selama 7-14 hari tapi bisa hanya 3 hari atau bahkan 60 hari, tergantung jumlah
bakteri yang tertelan. Pada periode inkubasi, 10-20 % pasien mengalami diare
sementara. Setelah bakteremia terjadi, pasien mulai mengalami demam yang
biasanya meningkat selama 2-3 hari. Hampir semua pasien mengalami demam,
dan kebanyakan mengalami sakit kepala. Pada minggu pertama, gejala yang

terjadi adalah nonspesifik seperti sakit kepala, malaise, dan demam yang
remitten pada suhu 39-40 C. Patogenesis dari demam yang berkepanjangan
dan toksemia masih belum diketahui. Pyrogen yang diproduksi pada tempat
inflamasi diduga menyebabkan terjadinya demam yang berkepanjangan ini. Pada
demam tifoid biasanya juga terjadi konstipasi dan batuk-batuk nonproduktif yang
ringan (Corales, 2004).

Gambar 2.10 Lokasi infeksi Salmonella Typhi pada manusia (Health Resources,
2009)

2.2.5.4 Manifestasi Klinis Demam Tifoid


Pada hari-hari pertama, terjadi gejala-gejala nonspesifik seperti demam,
menggigil, malaise, batuk kering, anorexia, dan sakit kepala ringan. Gejala-gejala
ini menandai fase bakteremia. Pada minggu ke-dua muncul rash, nyeri abdomen,
diare atau konstipasi, delirium, dan prostrasi. Pada pemeriksaan ditemukan
bintik-bintik merah (rose spot), splenomegali, dan hepatomegali. Pada saat ini

biasanya terjadi vaskulitis sel mononuklear di kulit, hiperplasia Patches peyer,


dan terdapat nodul-nodul tifoid pada limpa dan hati. Pada minggu ke-tiga, dapat
terjadi komplikasi berupa perdarahan dan perforasi usus, bahkan syok. Melena,
ileus, perut yang kaku, atau koma dapat terjadi. Pada saat ini, mungkin sudah
terjadi ulserasi sampai Patches peyer atau perforasi dengan peritonitis. Pada
minggu ke-empat dan setelahnya, dapat terjadi resolusi dari gejala-gejala, relaps,
atau penurunan berat badan. Pada fase ini, mungkin terjadi cholecystitis dan
karier kronik dari bakteri (Goldman and Ausiello, 2002).

2.2.5.5 Diagnosis
Metode diagnosis yang dipilih adalah isolasi Salmonella Typhi dari kultur
darah (pada orang dewasa sebaiknya 15 mL) yang positif pada kebanyakan
pasien selama minggu 1-2 penyakit. Kultur urin dan tinja, kerokan bintik merah,
bisa positif namun jarang, dapat dipakai untuk menguatkan diagnosis. Tes yang
paling sensitif adalah kultur sumsum tulang, yang positif hampir 80 sampai 95 %
dari semua kasus, dan dapat digunakan ketika diagnosis bakteriologis sangat
diperlukan atau pada pasien yang sudah diterapi dengan antibiotik. Tes Widal
banyak digunakan sebagai serodiagnosis, tetapi sensitivitas, spesifisitas, dan
nilai prediksi sangat bervariasi. Penemuan laboratoris yang lain adalah anemia,
jumlah sel darah putih yang normal atau turun, platelet seringkali turun dan
muncul tanda-tanda disseminated intravascular coagulation (DIC). Tes fungsi hati
seringkali menunjukkan kadar aminotransferase dan bilirubin yang naik. Pada
pasien dengan diare, terdapat leukosit di tinja (Goldman and Auisello, 2002).

2.2.5.6 Terapi
Kloramfenikol (Chloromycetin) adalah obat pilihan untuk demam tifoid.
Kloramfenikol diberikan per oral dengan dosis 50-70 mg/kg/hari setiap 6 jam
(Goldman and Auisello, 2002). Sayangnya, beberapa tahun belakangan mulai
muncul strain yang resisten terhadap kloramfenikol. Wabah yang disebabkan
oleh strain yang resisten ini telah dilaporkan terjadi di Asia Tenggara, Australia,
India, dan Timur Tengah. Antimikroba lain yang biasa digunakan antara lain
furazolidone, penicillin semisintetik, trimethoprim-sulfamethoxazole, quinolon,
cephalosporin generasi ke-tiga, dan aztreonam. Terapi suportif untuk penderita
demam tifoid antara lain penggantian cairan, penjagaan nutrisi, dan kontrol
demam (Santos, 1993).

2.3 Bahan Antimikroba


Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika
khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam
bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap
mutan atau transforman (Imron, 2008).
Antimikroba yang ideal menunjukkan toksisitas selektif. Hal ini berarti
bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak membahayakan inang.
Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relatif dan tidak mutlak; hal ini
menyatakan bahwa konsentrasi obat-obatan yang toleran terhadap inang
mungkin merusak mikroorganisme penyebab infeksi (Jawetz et.al., 1995).

Obat antimikroba mempunyai susunan kimiawi cara kerja yang berbeda


antara obat satu dengan obat yang lainnya. Antimikroba mengganggu bagianbagian mikroba yang peka, yaitu dinding sel, protein, asam nukleat, dan
metabolit intermedier, dengan cara:
Menghambat sintesis dinding sel
Merusak membran sel
Menghambat sintesis protein
Menghambat sintesis asam nukleat
Antagonis metabolit (Dzen dkk., 2003).
Obat antimikroba sering disebut sebagai bakteriostatik atau bakterisidal.
Istilah

bakteriostatik

menggambarkan

suatu

obat

yang

sewaktu-waktu

menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Keberhasilan pengobatan ini sering


bergantung pada partisipasi mekanisme pertahanan tubuh inang. Lebih jauh,
efeknya dapat berubah : apabila obat dihilangkan, organisme akan tumbuh
kembali, dan infeksi atau penyakit akan kambuh. Istilah bakterisidal digunakan
untuk obat yang menyebabkan kematian organisme. Walaupun demikian, istilah
bakteriostatik dan bakterisidal adalah relatif, bukan absolut. Kadang-kadang
pengobatan jangka panjang dengan obat-obat bakteriostatik dapat membunuh
populasi tertentu, sedangkan dengan obat bakterisidal mungkin gagal, baik in
vitro maupun in vivo (Katzung, 1994).
Secara umum, sebaiknya obat antimikroba mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak hospes
Bersifat bakterisidal dan bukan bakteriostatik
Tidak menyebabkan resistensi pada kuman

Berspektrum luas
Tidak bersifat alergenik atau tidak menimbulkan efek samping bila
digunakan dalam jangka waktu yang lama
Tetap aktif dalam plasma, cairan tubuh, atau eksudat
Kadar bakterisidal di dalam tubuh cepat tercapai dan bertahan untuk
waktu lama. (Dzen, dkk, 2003).

Tabel 2.3 Mekanisme kerja obat antimikroba.


Mekanisme kerja

Obat

Menghambat sntesis

Menghambat transpeptidasi

Penisilin, sefalosporin,

dinding sel

(Cross-linking) peptidoglikan

vancomisin

Menghambat sntesis

Sikloserin, basitrasin

peptidoglikan melalui tahap


lainnya
Menghambat sntesis

Sasaran terhadap ribosom

Kloramfenikol, eritromisin,

protein

sub unit 50S

klindamisin

Sasaran terhadap ribosom

Tetrasiklin, aminoglikosida

sub unit 30S


Menghambat sntesis

Menghambat sntesis DNA

Kuinolon

asam nukleat

Menghambat sntesis mRNA

Rifampin

Mengganggu fungsi membran sel

Polimiksin

Inhibitor kompetitif terhadap sntesis metabolit

Sulfonamid, trimetoprim

esencial
(Levinson & Jawetz, 2000, Tortora et.al., 2001)

2.3.1 Aktivitas Antimikroba In Vitro


Aktivitas antimikroba diukur in vitro untuk menentukan:
1. Potensi agen antimikroba dalam larutan,
2. Konsentrasinya dalam cairan tubuh atau jaringan, dan
3. Kepekaan mikroorganisme penyebab terhadap obat yang diketahui.
(Jawetz et.al., 2005)

2.3.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Mikroba.


Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba in vitro harus
dipertimbangkan, karena sangat mempengaruhi hasil uji (Jawetz et.al., 2005).
1. pH Lingkungan
Beberapa obat lebih aktif pada pH asam (nitrofurantonin); yang lainnya
pada pH alkali (aminoglikosida, sulfonamid) (Jawetz et.al., 2005).
2. Komponen Media
Natrium

polianetolsulfonat

(Sodium

polyanetholsulfonate=SPS)

dan

deterjen anion lain menghambat aminoglikosida. PABA dalam ekstrak jaringan


menurunkan aktivitas sulfonamid. Ikatan protein serum penisilin, berkisar dari
40% untuk penisilin hingga 98% untuk dikloksasilin. Penambahan NaCl kedalam
medium meningkatkan deteksi resistensi metisilin pada S. Aureus (Jawetz et.al.,
2005).
a. Stabilitas Obat
Pada temperatur inkubator, beberapa agen antimikroba kehilangan
aktivitasnya. Klortetrasiklin inaktif dengan cepat dan penisilin lebih lambat,
dimana aminoglikosida, khloramfenikol dan siprofloksasin cukup stabil untuk
periode yang panjang (Jawetz et.al., 2005).

b. Ukuran Inokulum
Umumnya makin besar inokulum bakteria, makin kurang tingkat kepekaan
organisme. Populasi bakteri yang besar lebih sulit dihambat dibanding populasi
yang kecil. Sebagai tambahan, mutan resisten lebiih sering muncul pada
populasi yang besar (Jawetz et.al., 2005).
c. Waktu Inkubasi
Pada beberpa contoh, mikroorganisme tidak dimatikan tapi hanya
dihambat pada pemaparan singkat terhadap antimikroba. Inkubasi lebih lama
yang terus menerus, memberi kesempatan yang lebih besar bagi mutan resisten
untuk tumbuh dan membentuk populasi yang resisten. Perbanyakan bakteri
resisten semakin meningkat, bersama makin menurunnya aktivitas antimikroba
selama inkubasi (Jawetz et.al., 2005).
d. Aktivitas Metabolik Mikroorganisme
Umumnya, organisme yang tumbuh dengan cepat dan aktif lebih peka
terhadap efek obat dibanding organisme yang berada pada fase istirahat.
Organisme inaktif yang secara metabolik tahan hidup pada pemaparan obat yang
lama, kemungkinan mempunyai keturunan yang sepenuhnya resisten terhadap
obat yang sama (Jawetz et.al., 2005).

2.3.2

Uji Kepekaan terhadap Antimikroba In Vitro


Uji kepekaan bakteri terhadap obat-obatan secara in vitro bertujuan untuk

mengetahui obat antimikroba yang masih dapat digunakan untuk mengatasi


infeksi oleh mikroba tersebut. Uji kepekaan terhadap obat antimikroba pada
dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu metode dilusi, dan metode
difusi cakram (Dzen dkk., 2003).

2.3.2.1 Metode Dilusi


Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimal) dan
KBM (kadar bunuh minimal) dari obat antimikroba (Dzen dkk., 2003).

2.3.2.1.1 Dilusi Tabung


Tes ini dikerjakan dengan menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi
media cair dan sejumlah tertentu bakteri yang diuji. Kemudian masing-masing
tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Selanjutnya, seri
tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya
kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang
ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada
pertumbuhan bakteri) adalah KHM (Kadar Hambat Minimal) dari obat.
Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media
agar, diinkubasikan dan keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni bakteri
yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan
dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri adalah KBM (Kadar Bunuh
Minimal) dari obat terhadap bakteri uji (Winarsih dkk., 2008).

2.3.2.1.2 Dilusi Agar


Tes ini dikerjakan dengan menggunakan metode dilusi agar (agar dilution
test). Metode dilusi agar, larutan antimikroba yang sudah diencerkan secara
serial dicampurkan ke dalam medium agar yang masih cair ( tetapi tidak terlalu
panas) kemudian agar dibiarkan memadat, dan selanjutnya diinokulasi dengan
bakteri. Dibutuhkan enam cawan dan satu cawan untuk kontrol positif tanpa
antimikroba. Dengan metode ini, satu atau lebih bakteri terisolasi yang tercampur

per cawan. Pada metode dilusi agar, diperlukan larutan antimikroba dengan
kadar

menurun

yang

dibuat

menggunakan

teknik

pengenceran

serial.

Selanjutnya, diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Setelah di


inkubasi, cawan diamati serta dihitung pertumbuhan bakteri (Forbes, 2007)

2.3.2.2 Metode Difusi Cakram


Tes ini dikerjakan dengan menggunakan cakram kertas saring yang
mengandung bahan antimikroba yang telah ditentukan kadarnya (Jawetz et.al.,
1995). Cakram kertas tersebut kemudian ditanam pada media perbenihan agar
padat yang telah dicampur dengan mikroba yang diuji, kemudian diinkubasikan
37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar
cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen
dkk., 2003). Area hambatan yang terbentuk ditunjukkan sebagai daerah yang
tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan bakteri di sekitar cakram kertas
saring (Bonang, 1982).
Untuk mengevaluasi hasil uji kepekaan tersebut (apakah isolat mikroba
sensitif atau resisten terhadap obat), dapat dilakukan dua cara seperti berikut ini :

2.3.2.2.1 Cara Kirby Bauer


Yaitu dengan cara membandingkan diameter dari area jernih (zona
hambatan) disekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh NCCLS
(`National Committee for Clinical Laboratory Standard`). Dengan tabel NCCLS ini
dapat diketahui kriteria sensitive, sensitive intermediet dan resisten (Dzen dkk.,
2003).

2.3.2.2.2 Cara Joan-Stokes


Yaitu dengan cara membandingkan radius zona hambatan yang terjadi
antara bakteri kontrol yang sudah diketahui kepekaannya terhadap obat tersebut
dengan isolat bakteri yang diuji. Pada cara Joan-Stokes, prosedur uji kepekaan
untuk bakteri control dan bakteri uji dilakukan bersama-sama dalam satu piring
agar (Dzen dkk., 2003). Kriteria pada metode Joan-Stokes adalah sebagai
berikut :
Sensitif : yaitu radius zona inhibisi kuman tes lebih luas, sama dengan
atau lebih kecil tetapi tidak lebih dari 3 mm terhadap kontrol.
Intermediet : yaitu radius zona inhibisi kuman tes lebih besar dari 3 mm,
tetapi dibanding kontrol lebih kecil lebih dari 3 mm.
Resisten : yaitu radius zona inhibisi kurang atau sama dengan 3 mm
(Winarsih dkk., 2008)

2.3.3 Senyawa Antimikroba Alamiah


Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia. Secara umum antimikroba dibagi menjadi dua, yaitu
antimikroba alamiah dan sintetik. Antimikroba alamiah adalah antimikroba yang
berasal dari alam misalnya jasad renik, terutama jamur (fungi), yang secara
umum dinamakan antibiotik dan juga berasal dari tumbuhan yang biasa disebut
Herbal Antibiotic. Sedangkan antimikroba sintetik adalah antimikroba yang dibuat
oleh manusia, misalnya sulfonamid dan quinolon (Ross, 1999).
Mikroorganisme

telah

mengembangkan

kemampuan

resistensinya

terhadap berbagai macam antibiotik dikarenakan penggunaan obat antimikroba


yang tidak pandang bulu, sehingga semakin meningkatkan problem klinik dalam

hal perawatan terhadap penyakit menular. Oleh karena itu dibutuhkan suatu obat
antimikroba alternatif dalam hal perawatan terhadap penyakit menular tersebut.
Medicinal herbs/tanaman obat adalah sumber yang dianggap mewakili adanya
kandungan yang kaya dari agen kemoterapeutik untuk antibakterial dan antifungi
(Agnol et.al., 2003).

2.4 Tinjauan Tentang Ekstrak


2.4.1 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah suatu sediaan kering, kental maupun cair yang
mengandung bahan-bahan aktif dari suatu obat dalam bentuk konsentrat. Bentuk
ekstrak yang dianjurkan adalah semicair, solid dan bubuk kering (Anonim, 1993).

2.4.2 Bahan Pelarut yang Digunakan dalam Pembuatan Ekstrak


Pelarut yang umum digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah air,
alkohol, atau campuran dari air dan alkohol. Air dapat melarutkan glikosida,
protein, karbohidrat, zat pewarna, garam-garam mineral, pektin, mucilaginous
substances, plant acides dan alkaloid salts, sedangkan zat yang tidak dapat larut
dalam air adalah alkaloid, lemak, resin, dan minyak-minyak esensial. Alkohol
dapat melarutkan alkaloid, glikosida, resin, minyak-minyak esensial, dan balsam,
tetapi tidak dapat melarutkan protein, karbohidrat, pektin, dan gums (Anonim,
1993).
Berdasarkan uraian di atas, pembuatan ekstrak dalam penelitian ini akan
digunakan pelarut etanol (alkohol). Pelarut etanol dipilih karena kandungan daun
pepaya yang memiliki efek antibakteri adalah senyawa-senyawa yang larut
dalam alkohol.

Carpaine merupakan senyawa yang mengandung gugus ester. Ascorbic


acid merupakan senyawa yang mengandung gugus alkohol, keton, dan ester.
Senyawa lauric acid merupakan senyawa yang termasuk dalam asam lemah
jenuh sedangkan caffeic acid termasuk dalam golongan asam lemak tak jenuh.
Senyawa gentisic acid termasuk dalam phenolic acid, sementara beta-sitosterol
adalah senyawa golongan fitosterol yang merupakan turunan dari kolesterol dan
steroid. Keenam senyawa tersebut, semuanya larut dalam alkohol (Clark, 2007).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori dan Konsep

Ekstrak etanol daun


pepaya (Carica papaya L.)

Salmonella
Typhi

Gugus basa carpaine


bereaksi dengan asam amino
DNA bakteri

Alkaloid
carpaine

Asam organik
(Lauric acid, caffeic acid,
gentisic acid, ascorbic acid)

-sitosterol

pH intrasel

Menghambat enzim sortase


pada dinding sel bakteri

Kerusakan
DNA
bakteri

Sel bakteri menjadi


statis & tidak dapat
berkembang

Adhesi sel bakteri


pada sel target infeksi
terhambat

Kematian bakteri

Keterangan :
: variabel yang diteliti
: kandungan ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.)
: cara kerja kandungan ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya
L.)
: menginduksi
: konsep

3.2 Deskripsi Kerangka Teori


Ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) mempunyai beberapa zat
yang bersifat sebagai antimikroba yaitu alkaloid carpaine, beberapa asam
organik seperti lauric acid, caffeic acid, gentisic acid, dan ascorbic acid serta beta
sitosterol. Alkaloid carpaine memiliki gugus basa yang dapat bereaksi dengan
asam amino DNA bakteri yang dapat merusak DNA bakteri. Asam organic seperti
lauric acid, caffeine acid, gentisic acid dan ascorbic acid dapat menurunkan pH
intrasel bakteri sehingga sel bakteri menjadi bersifat statis dan tidak dapat
berkembang biak. Beta sitosterol bekerja dengan cara menghambat enzim
sortase pada dinding sel bakteri sehingga adhesi sel bakteri pada sel target
infeksi menjadi terhambat. Hasil resultan kerja dari beberapa zat yang
terkandung pada ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) menginduksi
kematian bakteri.

3.3 Hipotesis Penelitian


Ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) memiliki efektifitas
sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella Typhi secara in vitro.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental
laboratorik yaitu dengan pengulangan, randomisasi pengambilan sampel dan
juga adanya control kuman dan bahan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat
efek antimikroba dari ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap
bakteri Salmonella Typhi secara in-vitro yang terdiri dari dua tahap untuk
menemukan KHM dan KBM nya.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


4.2.1 Waktu
Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Maret 2010-April 2010.

4.2.2 Tempat
Penelitian

ini

dilaksanakan

di

Laboratorium

Mikrobiologi

Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

4.3 Sampel dan Estimasi Jumlah Pengulangan


Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kuman Salmonella
Typhi dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
Malang.

Jumlah pengulangan (N) pada tiap-tiap tabung diperoleh dari hasil


perhitungan di bawah ini:
P(N-1) 15
7(N-1) 15
7N-7 15
N 22/7
N3

Keterangan :
N : jumlah pengulangan
P : jumlah macam konsentrasi (Notobroto, 2005)
Jika jumlah macam konsentrasi atau P sama dengan tujuh maka
didapatkan N atau jumlah pengulangan sama dengan atau lebih dari tiga.
Berdasarkan perhitungan di atas, maka pada penelitian ini masing-masing
perlakuan dilakukan tiga kali pengulangan.

4.4 Variabel Penelitian


4.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pepaya
(Carica papaya L.) yang dibuat dalam konsentrasi awal 20 mg/ml; 18 mg/ml; 16
mg/ml; 14 mg/ml; 12 mg/ml; 10 mg/ml dan 0 mg/ml.

4.4.2 Variabel Tergantung


Variabel penelitian tergantung adalah jumlah koloni bakteri Salmonella
Typhi yang tumbuh pada media agar plate.

4.5 Definisi Operasional


Di dalam penelitian ini ada beberapa hal yang perlu diketahui yaitu :
Sediaan ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) adalah sediaan
yang berasal dari daun pepaya yang diekstrak dengan asumsi
konsentrasi awal adalah 100 %.
Isolat bakteri adalah isolat bakteri Salmonella Typhi yang dipesan di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
yang berasal dari secret pasien di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA)
Malang.
KHM adalah konsentrasi terendah ekstrak etanol daun pepaya (Carica
papaya L.) yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella
Typhi pada medium agar, ditandai dengan hasil biakan yang mulai
tampak jernih pada ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) yang
telah diberi bakteri uji tersebut di dalam broth.
KBM adalah konsentrasi terendah ekstrak etanol daun pepaya (Carica
papaya L.) yang membunuh bakteri Salmonella Typhi, ditandai oleh tidak
ada pertumbuhan koloni kuman pada media Nutrient Agar Plate (NAP)
yang telah dilakukan streaking dengan satu ose ekstrak etanol daun
pepaya (Carica papaya L.) dengan jumlah koloni kurang dari 0,1 %
original inoculum.
Kontrol positif atau kontrol kuman adalah tabung uji dengan konsentrasi
0% ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.), yaitu tabung uji ini
sepenuhnya hanya berisi larutan kuman sebanyak 2 ml, tanpa aquades
maupun ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.).

Kontrol negatif atau kontrol bahan adalah tabung dengan konsentrasi


100% ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.).
Original inoculum adalah inokulum bakteri dengan konsentrasi 106 Colony
Forming Unit/ ml yang diinokulasikan pada media agar padat sebelum
diinkubasikan dan digunakam untuk mencari kategori KBM. Untuk
menyediakan inokulum bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/ml ini,
sampel bekteri Salmonella Typhi yang sebelumnya telah diinokulasikan
ke dalam broth, diinkubasikan selama 18-24 jam. Keesokan harinya
dilakukan spektofotometri ke atas tabung uji tersebut dengan panjang
gelombang 540 nm untuk mengetahui optical density (OD) dari suspensi.
Kemudian, sediakan 2 buah tabung uji berisi 9 ml NaCl dan satu buah
tabung uji berisi 9 ml broth. Dengan menggunakan formulir pengenceran
n1v1 = n2v2, nilai OD yang didapatkan tadi dimasukkan ke dalam n1, n2
adalah 0,1 dan v2 adalah 10 ml. Nilai yang ingin dicari adalah v1, yaitu
volume bakteri yang harus dikeluarkan dari tabung uji bakteri yang
dispektofotometri tadi, yang kemudian harus dimasukkan ke dalam
tabung uji NaCl yang pertama. Sebelumnya, tabung uji NaCl yang
pertama harus diolah (baik ditambah atau dikurangi) agar apabila
dimasukkan suspensi bakteri, hasil akhir pada tabung uji NaCl pertama
menjadi 10 ml. Konsentrasi yang terhasil adalah 108/ml. Dari tabung ini, 1
ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung uji NACl kedua. Konsentrasi
yang terhasil adalah 107/ml. Terakhir, dari tabung uji ini, diambil 1 ml dan
dimasukkan ke dalam tabung uji berisi broth. Konsentrasi yang terhasil
adalah 106 CFU/ml. Konsentrasi inilah yang benar-benar dipakai untuk
penelitian ini.

Pengamatan kualitatif dilakukan dengan cara mengamati kekeruhan pada


tabung uji dengan larutan yang terdiri dari konsentrasi larutan yang
berbeda, larutan broth bakteri, dan aquades serta kontrol kuman dan
kontrol bahan.
Pengamatan kuantitatif dilakukan dengan cara menghitung jumlah koloni
yang tumbuh dengan Colony Counter.

4.6 Alat dan Bahan Penelitian


4.6.1 Alat untuk Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica papaya L.)
Blender untuk menghaluskan daun pepaya.
Kertas saring untuk membungkus serbuk daun pepaya.
Gelas ekstraksi.
Seperangkat evaporator vakum.
Alat pemanas air.
Labu penampung hasil evaporasi.
Rotary evaporator.
Tabung pendingin dan pompa sirkulasi air dingin.
Bak penampung air dingin.
Pompa vakum.
Tabung penampung etanol.
Batu didih.
Cawan penguap.
Neraca analitik.

4.6.2 Bahan untuk Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica papaya
L.)
Daun pepaya.
Etanol 96%.
Aquades.

4.6.3 Alat untuk Identifikasi Bakteri


Ose lurus, ose lengkung.
Kertas penghisap, minyak emersi.
Mikroskop.
Tabung reaksi.
Lampu spirtus.
Microbact

4.6.4 Bahan untuk Identifikasi Bakteri


Isolat Salmonella Typhi.
Pewarna Gram (kristal violet, lugol, alkohol 96 %, safranin).
Nutrient Broth.
Medium McConkey, TSI (Triple Sugar Iron).
Bahan Tes IMVIC, urease, motilitas.

4.6.5 Alat untuk Tes Kepekaan Bakteri


Tabung reaksi steril.
Ose lengkung.
Mikropipet 1 ml.

Inkubator.
Lampu Spirtus.
Label.
Vortex.

4.6.6 Bahan untuk Tes Kepekaan Bakteri


Perbenihan cair bakteri Salmonella Typhi.
Ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.).
Nutrient Broth.
Medium NAP.
Aquades.

4.6.7 Alat dan Bahan untuk Uji Dilusi Tabung


Tabung reaksi.
Pipet steril ukuran 1 ml dan 10 ml.
Karet penghisap.
Inkubator.
Ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.).
Vortex.
Pembenihan cair yang distandarisasikan.
Bunsen (lampu spiritus).
Korek api.
Gelas objek.
Plate kosong dan steril.
Alat penjepit (scalpel) steril.

Kapas.
Colony counter.

4.7 Prosedur Penelitian


4.7.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carina papaya L.)
Pengolahan daun pepaya .
o

Daun pepaya segar dicuci dengan air bersih kemudian ditiriskan dan
diangin-anginkan supaya layu.

Daun pepaya dibiarkan kering angin.

Daun pepaya diblender dan diayak.

Ekstraksi dengan etanol.


o

Daun pepaya dalam bentuk serbuk sebanyak 100 gram dibungkus


dengan kertas saring kemudian dimasukkan dalam gelas ekstraksi

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 96% dan


dibiarkan terendam selama 3 hari. Ekstraksi dilakukan beberapa kali
putaran dengan pergantian etanol.

Proses evaporasi.
o

Evaporator dipasang pada tiang permanen agar dapat tergantung


dengan kemiringan 30-40 terhadap meja percobaan, dengan
susunan dari bawah keatas : alat pemanas air, labu penampung, hasil
evaporasi, rotary evaporator, dan tabung pendingin spiral.

Hasil ekstraksi dipindah kedalam labu pemisah ekstraksi.

Labu

pemisah

ekstraksi

dihubungkan

dengan

bagian

bawah

evaporator.
o

Tabung pendingin spiral dihubungkan dengan bagian atas evaporator.

Labu penampung hasil evaporasi dihubungkan dengan bagian atas


evaporator.

Tabung pendingin spiral dan pompa vakum dihubungkan dengan


selang plastik.

Tabung pendingin spiral dan pompa sirkulasi air dingin dihubungkan


dengan selang plastik.

Pompa sirkulasi air dingin ditempatkan dalam bak yang berisi


aquabides.

Letakkan satu set alat evaporasi sehingga sebagian labu pemisah


ekstraksi terendam aquabides pada pompa sirkulasi air dingin.

Rotary evaporator, pompa sirkulasi air dingin, dan pompa vakum


dijalankan.

Alat pemanas air dinyalakan dan diatur suhunya sekitar 70-80C


(sesuai dengan titik didih etanol) sehingga hasil ekstraksi dalam labu
pemisah ekstraksi mendidih dan pelarut etanol menguap.

Hasil penguapan etanol dikondensasi menuju labu penampung etanol


sehingga tidak tercampur dengan hasil evaporasi, sedangkan uap lain
tersedot oleh pompa vakum.

Proses evaporasi dilakukan hingga volume hasil ekstraksi berkurang


dan menjadi kental.

Setelah kental proses evaporasi dihentikan dan hasil evaporasi


diambil.

Hasil evaporasi ditampung dalam cawan penguap kemudian dioven


selama 2 jam pada suhu 80C untuk menguapkan pelarut yang

tersisa, sehingga didapatkan hasil ekstrak etanol daun pepaya (Carica


papaya L.) 100%.
o

Ekstrak kemudian ditimbang dengan neraca analitik.

4.7.2 Identifikasi Bakteri Salmonella Typhi


4.7.2.1 Pewarnaan Gram
Sampel bakteri Salmonella Typhi diidentifikasi dengan pewarnaan Gram.
Kemudian beberapa ose ditanam pada nutrient broth dan diinkubasi semalam
pada suhu 37C.
Pewarnaan Gram (Fenegold and Baron, 1986)
1. Satu ose aquades steril diteteskan pada gelas obyek, kemudian diambil
sedikit bakteri untuk disuspensikan dengan aquades yang telah diletakkan di
atas gelas obyek. Kemudian dibiarkan kering di udara.
2. Suspensi bakteri yang telah kering difiksasi dengan cara melewatkannya di
atas api beberapa kali dan sediaan siap diwarnai.
3. Sediaan ditetesi dengan kristal violet dan ditunggu selama 1 menit. Kemudian
kristal violet dibuang dan dibilas dengan air perlahan-lahan.
4. Sediaan ditetesi dengan lugol dan ditunggu selama 1 menit, lalu lugol
tersebut dibuang dan dibilas dengan air.
5. Sediaan ditetesi dengan alkohol 96% dan ditunggu 5-10 detik, kemudian
alkohol dibuang dan dibilas dengan air.
6. Sediaan ditetesi dengan safranin dan ditunggu selama 30 menit, kemudian
safranin dibuang dan dibilas dengan air.
7. Sediaan dikeringkan dengan kertas penghisap dan siap untuk dilihat di
bawah mikroskop.

4.7.2.2 Tes Oksidase


Pada hari ke-1, biakan di nutrient broth diambil satu ose, kemudian
dilakukan tes oksidase. Prosedur tes oksidase adalah sebagai berikut:
Pada penelitian ini dilakukan tes oksidase metode kertas filter.
Kertas filter dibasahi dengan larutan reagen tetramethyl p-phenylenediamine diidrochloride 1 %.
Koloni kuman yang diperiksa digoreskan dengan ose platina / batang
gelas pada kertas tersebut.
Tes positif apabila warna goresan tersebut menjadi ungu sampai hitam
dalam waktu - 1 menit.
Pada Salmonella Typhi, hasilnya adalah negatif.

4.7.2.3 Kultur pada Mac Conkey Agar


Dilakukan inokulasi bakteri Salmonella Typhi dengan metode streaking
pada medium Mac Conkey agar.
Inkubasikan pada inkubator dengan suhu 37oC selama 18-24 jam dan
diamati hasilnya.
Hasil positif : ditemukan morfologi koloni bakteri Salmonella Typhi
berbentuk oval, permukaannya datar dan halus, tetapi tidak rata, tidak
berbau dan khas didapatkan koloninya berwarna pucat (non lactose
fermenter).

4.7.2.4 Kultur pada Bismuth Sulfit Agar


Dilakukan inokulasi bakteri Salmonella Typhi dengan metode streaking
pada medium Bismuth Sulfit Agar (BSA).
Inkubasikan pada incubator dengan suhu 37oC selama 18-24 jam dan
diamati hasilnya.
Hasil positif : ditemukan morfologi koloni bakteri Salmonella Typhi yang
berbentuk bulat kecil, permukaan cembung, tepi rata, tidak berbau, dan
didapatkan koloni khas yang berwarna hitam (black jet colony).

4.7.2.5 Tes Biokimia


Satu koloni terpisah diambil dari biakan McConkey dengan ose lurus,
kemudian ditanam pada agar TSI dan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu
37C. Pada hari berikutnya, hasil biakan dari agar TSI dilihat. Untuk Salmonella
Typhi, hasil reaksinya pada TSI agar adalah As/As; G (+); H2S (+) atau Alk/As; G
(+); H2S (+). Selanjutnya

dilakukan tes IMViC (indole, methyl-red, Voges-

Proskauer, Citrate), tes urease, dan tes motilitas. Prosedurnya adalah sebagai
berikut:
1. Tes Indol
Medium Tryptophan broth (Indol media) diinokulasi dengan kuman yang
diperiksa.
Inkubasi selama 1-2 x 24 jam pada suhu 37C.
Teteskan reagens Kovacs atau Erlichs.
Pada Salmonella Typhi, hasilnya adalah negatif, yaitu tidak terjadi cincin
merah pada permukaan broth.

2. Tes Methyl-red
Medium MR-VP diinokulasi dengan kuman yang diperiksa.
Inkubasi selama 1-2 x 24 jam pada suhu 37C.
Tetesi dengan 5 tetes indikator methyl red.
Pada Salmonella Typhi, hasilnya adalah positif, yaitu warna medium
menjadi merah.
3. Tes Voges-Proskauer
Medium MR-VP diinokulasi dengan kuman yang diperiksa.
Inkubasi selama 1-2 x 24 jam pada suhu 37C.
Tambahkan alpha-naphtol dalam alkohol absolut (15 tetes) + KOH 40 %
(10 tetes).
Pada Salmonella Typhi, hasilnya adalah negatif, yaitu tidak terjadi warna
merah kecoklatan (tidak terbentuk acetylmethylcarbinol) dalam waktu 15
30 menit.
4. Tes Citrat
Medium Simons citrat diinokulasi dengan kuman yang diperiksa
menggunakan ose lurus, dengan cara menggores bentuk garis lurus pada
permukaan medium.
Inkubasi semalam pada suhu 37C.
Pada Salmonella Typhi, hasilnya adalah positif, yaitu medium berubah
menjadi biru prussi yang menunjukkan bahwa kuman menggunakan citrat
sebagai satu-satunya sumber karbon.
5. Tes Motilitas
Medium

semisolid

diinokulasi

dengan

kuman

menggunakan ose lurus dengan cara menusuknya.

yang

diperiksa,

Inkubasi semalam pada suhu 37C.


Salmonella Typhi merupakan kuman yang motil sehingga akan tumbuh
menyebar (terlihat warna merah yang menyebar).
6. Tes Urease
Medium cair yang mengandung urea diinokulasi dengan kuman yang
diperiksa.
Inkubasi semalam pada suhu 37C.
Pada Salmonella Typhi, hasilnya adalah negatif, yaitu tidak terbentuk
ammonia yang menyebabkan medium berwarna merah ungu (karena
suasana menjadi alkali).

4.7.2.6 Tes Biokimia menggunakan Microbact


Prosedur pelaksanaan tes biokimia ini terdiri dari :
a. Persiapan untuk inokulasi pada 12E/12A yang terdiri dari 12 sumur.
Hasil identifikasi dengan tes oksidase harus sudah dilakukan.
Untuk Salmonella Typhi hasil oksidase negatif. Caranya, diambil satu
sampai dua koloni dari kultur pada medium, dan diemulsikan dalam 2,5
ml larutan saline fisiologis steril, kemudian dicampur dengan baik untuk
mendapatkan suspensi yang homogen.
b. Inokulasi pada strip tes.
Dengan menggunakan pipet Pasteur ditambahkan 4 tetes (kira
kira 100l) suspensi bakteri pada masing masing sumur, atau mengisi
separuh sumur dari tiap set microbact 12E/12A. Dengan menggunakan
pipet steril atau botol penetes, ditambahkan / dilapiskan minyak mineral

steril pada sumur 1,2,3. Sumur 1 ditetesi dengan lysine, sumur 2 ditetesi
dengan ornithine, sumur 3 ditetesi dengan H2S.
Semua diinkubasi pada 35o 2oC selama 18 24 jam.
c. Pembacaan tes microbact 12E/12A yaitu dibaca setelah 18 - 24 jam.
Ambil strip atau rak dari incubator, ambil penutupnya. Catat
semua hasil yang positif. Reaksi dievaluasi positif atau negative dengan
membandingkannya pada table warna yang tersedia.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembacaan hasil reaksi adalah :
1. Sumur 8 (produksi indol), ditambahkan 2 tetes reagen indole (kovacs) dan
dievaluasi setelah 2 menit.
2. Sumur 10 (reaksi V.P), ditambahkan 1 tetes reagen V.P.I dan 1 tetes
reagen V.P.II dan dievaluasi setelah 15 30 menit.
3. Sumur 12 (tryphtopan deaminase), ditambahkan 1 tetes reagen TDA dan
evaluasi segera (Bahdarsyam, 2003).
Yang perlu diperhatikan dalam pengujian biokimia bakteri dengan
Microbact antara lain :
1. Strip yang digunakan hanya untuk kasus in vitro, dilakukan oleh per sonel
laboratorium, dengan teknik aseptic, dan selalu hati hati supaya
terhindar dari kontaminasi.
2. Alat dan bahan yang digunakan harus di autoclaf sebelum digunakan.
3. Strip tidak boleh diinkubasi di incubator CO2, karena dapat terjadi rekasi
enzim dengan substrat dan dapat memberikan hasil reaksi yang salah.
4. Strip yang digunakan harus dijaga tetap tertutup sampai batas
kadaluarsa, dengan disimpan pada suhu 2o 8o C. Strip yang sudah

dipakai dimasukkan kembali kedalam kotak steril dan hanya bisa


digunakan selama maksimal 7 hari.
Tes tambahan yang diperlukan dalam uji biokimia dengan Microbact : tes
reduksi nitrat (o-nitrophenyl--d-galactopyranoside (ONPG)). Tes ini digunakan
pada sumur 7 (ONPG) setelah pembacaan reaksi ONPG. Satu tetes nitrat
reagen A dan satu tetes nitrat reagen B ditambahkan dalam sumur. Adanya
warna merah dalam beberapa menit setelah penambahan reagen menunjukkan
bahwa terjadi reduksi nitrat. Semua family Enterobacteriaceae mereduksi nitrat
menjadi nitrit dan memberikan reaksi positif (Bahdarsyam, 2003)

4.7.3 Pembuatan Perbenihan Cair Bakteri


Setelah

dipastikan

bakteri

adalah

Gram

negatif,

tes

biokimia

menunjukkan oksidase negatif, indole dan Voges-Proskauer negatif, dan methyl


red dan Simmon sitrat positif serta urease negatif dan motilitas positif maka
selanjutnya bakteri tersebut dipindahkan dalam tabung yang berisi nutrient broth
dan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37C.
Kemudian

perbenihan

cair

bakteri

dinilai

absorbansinya

dengan

spektrofotometer pada gelombang cahaya 540 nm. Dari nilai absorbansi dapat
diperkirakan jumlah kuman pada perbenihan cair dengan kalibrasi yang sudah
diketahui yaitu absorbansi 0,1 ekuivalen dengan jumlah kuman sebesar 108
CFU/ml (Dart, 1996). Misalnya didapatkan absorbansi 0,5; maka untuk
mendapatkan suspensi dengan jumlah kuman 108 CFU/ml sebanyak 10 ml dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
N1 x V1 = N2 x V2
0,5 x V1 = 0,1 x 10

V1 = 1/0,5
V1 = 2
N1 sama dengan nilai absorbansi yang didapat sedangkan N2 adalah
absorbansi 0,1 yang ekuivalen dengan jumlah kuman 108 CFU/ml. V adalah
volume suspensi kuman. Jadi, menurut perhitungan di atas, untuk mendapatkan
suspensi dengan kepadatan 108 CFU/ml sebanyak 10 ml dibutuhkan 2 ml
suspensi awal untuk dicampur dengan 8 ml nutrient broth sebagai pengencer.
Setelah didapatkan perbenihan cair dengan jumlah kuman 108 CFU/ml,
dilakukan pengenceran dengan menggunakan nutrient broth sampai didapatkan
perbenihan cair dengan jumlah kuman 106 CFU/ml.

4.7.4 Pengujian Bahan


1. Disediakan 7 tabung reaksi steril; tabung 1, tabung 2, tabung 3, tabung 4,
tabung 5, tabung 6, tabung 7.
2. Ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L.) sebesar 200 mg dimasukkan
pada tabung reaksi steril pertama dan ditambahkan aquades sebanyak 2 ml
untuk

mendapatkan

konsentrasi

100

mg/ml.

Setelah

itu

dilakukan

pengenceran untuk mendapatkan konsentrasi 20 mg/ml; 18 mg/ml; 16 mg/ml;


14 mg/ml; 12 mg/ml; dan 10 mg/ml.
3. Menyiapkan perbenihan cair bakteri dengan konsentrasi kuman 106 CFU/ml.
4. Perbenihan cair bakteri dimasukkan pada semua tabung konsentrasi,
masing-masing sebanyak 1 ml, sehingga konsentrasi akhir ekstrak etanol
daun pepaya (Carica papaya L.) adalah:
Tabung 1: 20 mg/ml
Tabung 2: 18 mg/ml

Tabung 3: 16 mg/ml
Tabung 4: 14 mg/ml
Tabung 5: 12 mg/ml
Tabung 6: 10 mg/ml
Tabung 7: 0 mg/ml
5. Kontrol bakteri (0 mg/ml) digoreskan pada Nutrient Agar Plate (NAP) sebagai
original inoculum kemudian diinkubasi.
6. Masing-masing tabung divorteks dan diinkubasikan selama 18-24 jam pada
suhu 37C.
7. Pada hari kedua, semua tabung dikeluarkan dari inkubator. Mungkin akan
didapatkan KHM dengan cara melihat kejernihan tabung dibandingkan
dengan kontrol bahan.
8. Kemudian dari masing-masing tabung dilusi diambil 1 ose dan diinokulasikan
pada Nutrient Agar Plate (NAP). Kemudian diinkubasi 18-24 jam pada suhu
37C.
9. Pada hari ketiga didapatkan data KBM dan dilakukan pengamatan kuantitatif
pada masing-masing konsentrasi dengan cara menghitung jumlah koloni
bakteri dengan colony counter.

4.7.5 Rancangan Operasional Penelitian

Hari 1

0,9

0,88

0,86

0,1

0,12

0,14

3
10%

4
12%

0,84

0,82

0,8

0,16

0,18

0,2

5
14%

6
16%

7
18%

Aquades (ml)
Ekstrak etanol
Carica papaya L. (ml)

100%
(KB)

Original inokulum

KB= kontrol
bahan

20%

(KK)

Ditanam pada NAP


(18-24 jam, 37-37,5C)

Ditambahkan suspensi
bakteri (ml)

Diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37-37,5C,


kemudian dianalisa tingkat kekeruhannya

KK= kontrol
kuman

Hari 2
Kekeruhan yang terjadi pada masing-masing tabung diamati dan ditentukan
KHM.
Nilai KBM ditentukan dengan penanaman pada NAP

0%

10%

12%

14%

16%

18%

20%

Diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37-37,5C, kemudian dianalisa

Hari 3
Dihitung jumlah koloni yang tumbuh pada NAP untuk setiap perlakuan dan
diamati apakah terdapat penurunan jumlah koloni

Dibuat grafik gambaran pengaruh ekstrak etanol daun pepaya Carica papaya L.
dalam berbagai konsentrasi terhadap jumlah koloni yang tumbuh pada NAP

Analisa data

4.8 Pengumpulan dan Analisa Data


Data yang diperoleh adalah data kuantitatif dari hasil penghitungan
jumlah koloni Salmonella Typhi pada medium NAP yang telah diinkubasi pada
suhu 37C selama 18-24 jam. Hasil penghitungan jumlah koloni yang tumbuh
didapat dalam satuan CFU/plate. Data tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
tabel.

Tabel 4.1 Hasil Penghitungan Jumlah Koloni Salmonella Typhi


Jumlah Koloni (Pengulangan)
Konsentrasi

Dalam CFU/plate
I

II

Jumlah

Rataan

III

OI
0%
10%
12%
14%
16%
18%
20%

Data yang diperoleh yaitu data konsentrasi ekstrak etanol daun pepaya
(Carica papaya L.) dan jumlah koloni bakteri. Analisis data menggunakan uji
statistik one way Anova, pada taraf kepercayaan 95% (<0,05) menggunakan
fasilitas SPSS. Uji statistik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh pemberian
berbagai macam konsentrasi ekstrak etanol Carica papaya terhadap jumlah
koloni bakteri Salmonella Typhi. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara
peningkatan konsentrasi larutan dengan penurunan jumlah koloni bakteri
digunakan uji Regresi linier sederhana dengan taraf kepercayaan 95% (Wahana
Komputer, 2000).

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Data Hasil Penelitian


5.1.1 Identifikasi Salmonella Typhi
Sebelum digunakan dalam penelitian, Salmonella Typhi telah diidentifikasi
oleh laboratorium mikrobiologi Universitas Brawijaya. Proses identifikasi
dilakukan dengan melakukan pewarnaan gram, streaking kuman pada Mac
Conkey agar dan Bismuth Sulfit agar (BSA), serta dengan tes biokimia yaitu tes
Indol, Methyl-red, Voges-Proskauer, Citrat, Motilitas, dan Urease. Pada
pewarnaan gram didapatkan bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang dan
bersifat gram negatif. Hasil streaking pada Mac Conkey agar didapatkan koloni
bakteri pucat berbentuk oval, halus, tepi tidak rata dan berbau khas. Pada
Bismuth Sulfit Agar (BSA) didapatkan koloni bakteri berwarna hitam yang disebut
black jet colony. Hasil identifikasi Salmonella Typhi pada tes biokimia
menghasilkan hasil negatif pada tes indol, tes Voges-Proskauer dan tes urease.
Pada tes Methyl-red didapatkan warna mdium menjadi merah dan medium
menjadi biru pada tes citrat. Karena Salmonella Typhi merupakan kuman yang
motil, pada tes motilitas akan didapatkan warna merah yang menyebar.

Gambar 5.1 Hasil pewarnaan Gram Salmonella Typhi batang Gram negatif

Tabel 5.1 Hasil Uji Identifikasi Salmonella Typhi


Koloni pada Mac

Koloni pada BSA

Conkey

Tes IMViC-MU

Pewarnaan
Gram

Koloni berwarna

Koloni berwarna

Indole (-)

Batang Gram

pucat, oval, halus, tepi

hitam (black jet

Methyl red (+)

negative

tidak rata, berbau

colony)

VP (-)

khas.

Citrate (biru)
Motilitas (+)
Urease (-)

Pada pewarnaan gram, bakteri Salmonella Typhi bersifat Gram negatif.


Selain itu, karena bakteri ini bersifat motil, maka tes motilitas menunjukkan hasil
positif (Corales, 2004).
Menurut

Berkeley,

bakteri

Salmonella

Typhi

pada

tes

biokimia

menunjukkan oksidase negatif, katalase positif, indole dan Voges-Proskauer


negatif, dan methyl red dan Simmon sitrat positif. Salmonella

Typhi

memproduksi H2S, tidak menghidrolisis urea, tumbuh pada KCN dan bervariasi
dalam penggunaan malonat. Bakteri ini juga mereduksi nitrat.
Perbenihan bismut sulfit memungkinkan deteksi Salmonella Typhi dengan
cepat, karena terbentuk koloni-koloni hitam akibat dihasilkan H2S (Brooks et.al.,
2005).
Selain menggunakan cara konvensional, untuk memudahkan penelitian,
tes biokimia untuk bakteri Salmonella Typhi dilakukan dengan menggunakan
metode Microbact.

Tabel 5.2 Substrat dan reaksi pada identifikasi bakteri Salmonella Typhi dengan
Microbact:
Sumur

Reagen

Prinsip reaksi

Warna Reaksi

Lysine

Lysine decarboxylase

Kuning

Ornithine

H2S

Produksi H2S

Kekuning kuningan

Glukosa

Fermentasi glukosa

Biru kehijauan

Mannitol

Fermentasi Mannitol

Biru kehijauan

Xylose

Fermentasi Xylose

Biru kehijauan

Ornithine
decarboxylase

Kuning hijau

Hidrolisis o-nitrophenyl--d7

ONPG

galactopyranoside
(ONPG) dengan aksi pada

Tak berwarna

-galactosidase

Indole

Urease

10

VP

11

Citrate

Produksi Indole
dari tryptophan

Hidrolisis Urea

Produksi Acetoin
(Reaksi Voges-Proskaer)

Tak berwarna

Kekuning kuningan

Kekuning kuningan

Kebutuhan Citrate
(citrate adalah satu satunya

Hijau

sumber karbon)

Produksi
12

TDA

indolepyruvate dengan
deaminasi dari
tryptophan

Kekuning kuningan

Gambar 5.2 sistem Micorbact untuk Identifikasi Bakteri Gram Negatif

Microbact digunakan untuk identifikasi bakteri gram negatif aerob dan


fakultatif anaerob pada patogen di urin dan patogen usus. Keuntungan
pemakaian sistem Microbact adalah realibilitas yang tinggi dibandingkan dengan
metode biokimia konvensional, selain itu membutuhkan waktu inokulasi yang
sebentar. Identifikasi organisme didasarkan pada perubahan PH dan substrat
yang digunakan. Produk microbact terdiri dari 2 substrat strip yaitu 12A/12E dan
12B. Setiap strip mengandung 12 substrat biokimia yang berbeda.
Strip 12A/12E dapat digunakan untuk identifikasi bakteri dengan oksidase
negatif, nitrat positif, dan memfermentasi glukosa. Strip 12B digunakan untuk
identifikasi

bakteri

dengan

oksidase

positif,

nitrat

negative,

dan

tidak

memfermentasi glukosa. Spesies yang bisa diidentifikasi dengan strip 12E/12A


antara lain yaitu Acinetobacter, Enterobacter, Escherichia, Shigella spp.,
Klebsiella spp., Proteus spp, Salmonella spp, dan Serratia spp. Salmonella typhi
diuji dengan strip 12E/12A. Reaksi biokimia pada system Microbact 12E/12A
terdiri dari 12 sumur yaitu lysine decarbolyxase. ornithine decarboxylase,
fermentasi glukosa, fermentasi manitol, fermentasi xylose, ONPG, Indole,

Urease, Voges Prokauer, Sitrat, dan Tryphtophan Deaminasi (Bahdarsyam,


2003).

Tabel 5.3 Substrat dan reaksi untuk Sistem dengan Microbact (Oxoid, 2010) :
Warna reaksi
Sumur

Reagen

Lysine

Ornithine

Prinsip reaksi

Lysine decarboxylase

Negatif

Positif

Kuning

Biru hijau

Kuning hijau

Biru

Ornithine
decarboxylase
Kekuning
3

H2S

Produksi H2S

Hitam
kuningan

Glukosa

Fermentasi glukosa

Biru kehijauan

Kuning

Mannitol

Fermentasi Mannitol

Biru kehijauan

Kuning

Xylose

Fermentasi Xylose

Biru
Kuning
kehijauan
Hidrolisis o-nitrophenyl--d-galactopyranoside
7

ONPG

(ONPG) dengan aksi pada

Tak berwarna

Kuning

-galactosidase
Produksi Indole
8

Indole

Merah muda
Tak berwarna

dari tryptophan

10

Urease

kemerahan
Kekuning

Merah muda

kuningan

kemerahan

Produksi Acetoin

Kekuning

Merah muda

(Reaksi Voges-Proskaer)

kuningan

kemerahan

Hijau

Biru

Hidrolisis Urea

VP

Kebutuhan Citrate
11

Citrate
(citrate adalah satu satunya sumber karbon)
Produksi

12

indolepyruvate dengan

Kekuning

deaminasi dari

kuningan

TDA

Merah ceri

tryptophan

5.1.2 Hasil Pemberian Ekstrak Etanol Daun Pepaya


5.1.2.1 Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan dengan metode Tube Dilution dalam menguji
efektivitas ekstrak daun pepaya terhadap Salmoella Typhi secara in vitro. Uji
pendahuluan dilakukan dengan menggunakan konsentrasi yang diturunkan
secara serial (100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0%). Hasil uji
pendahuluan tersebut didapatkan nilai nilai KBM sebesar 25%. Selanjutnya
konsentrasi dirapatkan menjadi 26%, 24%, 22%, 20%, 18%, dan 16%. Pada 3
kali pengulangan uji pendahuluan didapatkan bahwa bakteri sudah tidak tumbuh
pada pada konsentrasi 18%. Berdasarkan hasil uji pendahuluan tersebut, maka
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tube Dilution dan
konsentrasi ekstrak yang digunakan sebagai perlakuan adalah 20%, 18%, 16%,
14%, 12%, 10% dengan konsentrasi 100% sebagai kontrol bahan (kontrol
negatif) dan 0% sebagai kontrol bakteri (kontrol positif).
20%

22%

18%
26%
16%

24%

Gambar 5.2 Hasil inokulasi bakteri pada medium NAP pada uji pendahuluan

5.1.2.2 Hasil Penentuan KHM


Pengamatan tingkat kekeruhan larutan ekstrak daun pepaya untuk
menentukan KHM dilakukan berdasarkan pada penglihatan dengan mata
telanjang. Untuk menentukan nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) tersebut

digunakan kontrol bakteri sebagai bahan perbandingan tingkat kekeruhan.


Tabung yang jernih dengan konsentrasi ekstrak terendah menunjukkan Kadar
Hambat Minimum (KHM) dari ekstrak daun pepaya terhadap Salmonella Typhi.

Gambar 5.3 Hasil Uji Dilusi Tabung

Hasil pengamatan terhadap kekeruhan pada tabung, tidak didapatkan


perbedaan kekeruhan antara tabung yang satu dengan tabung yang lain
sehingga pada penelitian ini belum dapat ditentukan kadar hambat minimal
(KHM) ekstrak daun pepaya terhadap Salmonella Typhi.

5.1.2.3 Hasil Penentuan KBM


Kadar bunuh minimal (KBM) ekstrak daun pepaya terhadap Salmonella
Typhi pada penelitian ini dapat ditentukan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
pengamatan hasil streaking larutan ekstrak daun pepaya pada NAP, dengan
meningkatnya

konsentrasi

didapatkan

penurunan

jumlah

pertumbuhan

Salmonella Typhi dan pada akhirnya mulai tidak ditemukan sama sekali

pertumbuhan koloni Salmonella Typhi pada tingkat konsentrasi 18%. Nilai KBM
ekstrak daun pepaya terhadap Salmonella Typhi adalah pada konsentrasi 18%.

Original Inoculum

Kontrol kuman

Kontrol bahan

10 %

12 %

14 %

18 %

20 %

16 %

Gambar 5.4 Hasil Inokulasi Bakteri Pada Media Padat NAP

Hasil perhitungan koloni kuman pada masing-masing NAP dapat dilihat


pada table di bawah ini.

Tabel 5.2 Hasil Penghitungan Koloni Bakteri yang Tumbuh Pada NAP
No

Konsentrasi

Jumlah koloni bakteri Salmonella Notasi


Typhi (rerata standar deviasi)*

100%

00

20%

00

18% **

00

16%

667 252

14%

12670 611

12%

27000 2000

10%

53670 19655

0%

425670 79877

Keterangan :
* Notasi yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan efek signifikan dari tiap konsentrasi
Notasi yang berbeda menunjukkan ada perbedaan efek signifikan dari tiap konsentrasi
* Notasi a menunjukkan konsentrasi ekstrak dengan jumlah koloni bakteri terendah
Semakin rendah angka notasi menunjukkan jumlah koloni bakteri semakin besar
** Konsentrasi 18% merupakan konsentrasi terendah yang menempati notasi tertinggi

Menurut data yang terdapat pada tabel 5.2, dapat dibuat diagram batang
yang menunjukkan hubungan antara pemberian berbagai konsentrasi ekstrak
daun pepaya dengan jumlah koloni Salmonella Typhi yang tumbuh pada medium
NAP. Diagram batang pada gambar 5.5 menunjukkan adanya penurunan yang
berarti pada jumlah koloni apabila konsentrasi ekstrak daun pepaya meningkat.

Gambar 5.5 Diagram Batang Jumlah Koloni Salmonella Typhi Setelah Perlakuan
dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Pepaya

5.2 Analisis Data


Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan analisis statistik SPSS versi
16.0 untuk windows. Dalam perhitungan hasil penelitian ini digunakan taraf
kepercayaan 95%. Uji ANOVA satu arah digunakan untuk mengetahui apakah
efek dosis ekstrak daun pepaya terhadap jumlah koloni Salmonella Typhi
berbeda secara signifikan. Uji regresi-korelasi digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi ekstrak daun pepaya
dengan jumlah koloni Salmonella Typhi.
Syarat agar dapat menggunakan uji parametrik adalah distribusinya harus
normal, distribusinya terbukti normal dengan nilai p>0,05.
Analisis statistik pada dasarnya meliputi dua kegiatan, yakni uji beda dan uji
asosiasi. Uji beda berfungsi untuk mengetahui perbedaan rata-rata antara

beberapa sampel. Untuk mengetahui alat uji beda yang akan digunakan dalam
analisis data potensi ekstrak daun pepaya ini, maka perlu dilakukan uji normalitas
data terlebih dahulu.
Tes Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk mengetahui apakah distribusi
data normal atau tidak. Distribusi data yang normal merupakan salah satu syarat
dilakukannya uji ANOVA. Pada uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai
signifikansi 0,000 (<0.05) menunjukkan distribusi data tidak normal (lampiran 3).
Oleh karena itu, data yang ada ditransformasikan terlebih dahulu untuk
menormalkan distribusi data yang tidak normal (Dahlan,2001).

Pada penelitian

ini, transformasi data dengan fungsi log, dan pada hasilnya didapatkan nilai
signifikansi 0,118 (lampiran 3). Sedangkan dari uji homogenitas ragam (Levene
Test) didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,095 (p>0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa ragam data relatif homogen (lampiran 3). Karena data
penelitian telah memenuhi asumsi data, maka dapat dilakukan pengujian dengan
analisis statistik SPSS versi 16 dengan metode One-Way ANOVA. Hasil data
penelitian dapat dilihat pada lampiran (lampiran 3).
Hasil uji ANOVA satu arah menunjukkan bahwa probabilitas sama
dengan 0,000; berarti p < 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa efek perubahan
konsentrasi ekstrak daun pepaya terhadap jumlah koloni Salmonella Typhi
berbeda secara signifikan. Untuk mengetahui gambaran interaksi antara
perubahan konsentrasi ekstrak terhadap rata-rata jumlah koloni dalam CFU/ml,
maka dapat dilihat pada kurva berikut:

Gambar 5.6 Grafik Rata-Rata Jumlah Koloni Salmonella Typhi terhadap


Konsentrasi Ekstrak Daun Pepaya

Hipotesis dalam One-Way ANOVA ditentukan melalui pengujian H0 dan


H1. H0 dari penelitian ini adalah tidak ada efek antibakteri antara setiap
konsentrasi ekstrak daun pepaya terhadap jumlah koloni Salmonella Typhi yang
tumbuh pada media NAP. H1 adalah terdapat efek antibakteri setiap konsentrasi
ekstrak daun pepaya terhadap jumlah koloni Salmonella Typhi yang tumbuh
pada media NAP (kebalikan H0). H1 ditolak bila nilai signifikansi yang diperoleh
>0,05 sedangkan H1 diterima bila nilai signifikansi yang diperoleh <0,05.
Berdasarkan nilai analisis One-Way ANOVA (Lampiran 3), diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) sehingga H1 diterima dan dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan efek antibakteri setiap konsentrasi ekstrak daun
pepaya terhadap jumlah koloni Salmonella Typhi yang tumbuh pada media NAP.

Setelah

dianalisis

dengan

metode

One-Way

ANOVA,

pengolahan data dengan menggunakan metode Post Hoc Test

dilakukan
sebagai uji

pembandingan berganda (multiple comparisons) untuk menilai pada kelompok


konsentrasi mana yang terdapat perbedaan bermakna. Uji yang digunakan
adalah Uji Tukey (Tukeys Test) karena mempunyai sensitivitas cukup tinggi.
Metode ini dilakukan dengan cara pembandingan yang berganda terhadap
jumlah koloni Salmonella Typhi yang tumbuh pada media NAP antara setiap
konsentrasi ekstrak daun pepaya, sehingga dapat diketahui adanya perbedaan
pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya sebagai antibakteri terhadap jumlah
koloni bakteri Salmonella Typhi yang tumbuh pada media NAP (lampiran 3).
Hasil uji pembandingan berganda (Tukeys Test) menunjukkan bahwa
jumah koloni Salmonella Typhi yang tumbuh pada media NAP pada konsentrasi
18%, 20% dan 100% berbeda signifikan dengan jumlah koloni Salmonella Typhi
pada kelompok yang diberi ekstrak daun pepaya dengan konsentrasi 0% sampai
16%. Perbandingan perbedaan masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
lampiran 3. Dari data tersebut, dapat dibentuk urutan dari efektivitas setiap
konsentrasi terhadap jumlah koloni Salmonella Typhi yang dihasilkan pada media
NAP dari urutan yang paling tinggi sampai dengan jumlah koloni yang paling
rendah.

5.2.1 Analisis Data dengan Uji Korelasi dan Regresi


Analisis korelasi merupakan analisis yang digunakan dalam menyelidiki
hubungan antara dua buah variabel. Analisis Regresi merupakan analisis yang
bertujuan untuk menentukan model yang paling sesuai untuk pasangan data

serta dapat digunakan untuk membuat model dan menyelidiki hubungan antara
dua variabel atau lebih.
Uji korelasi (lampiran 3) menunjukkan hasil yang bermakna, yaitu
semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun pepaya menyebabkan penurunan
jumlah koloni Salmonella Typhi. Hasil uji korelasi diperoleh angka signifikansi
0,000 (p<0,05). Hal ini diperjelas dengan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,897 (korelasi negative), yang berarti bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara konsentrasi ekstrak daun pepaya dan jumlah koloni kuman yang tumbuh,
dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun pepaya maka semakin sedikit
jumlah koloni kuman yang tumbuh.
Uji regresi menunjukkan dari nilai Adjusted R Square menunjukkan nilai
sebesar 0,79 atau 79%. Artinya koloni Salmonella Typhi dipengaruhi sebesar
79% oleh ekstrak daun pepaya, sedangkan sisanya 21% dipengaruhi oleh
variabel lain. Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan korelasi untuk
mengukur ketepatan garis regresi dalam menjelaskan variasi nilai variabel bebas.
Persamaan linier antara jumlah koloni Salmonella Typhi dengan
konsentrasi ekstrak daun pepaya bisa didapatkan dari tabel koefisien. Jika y
adalah jumlah koloni Salmonella Typhi (dalam CFU/ml) dan x adalah konsentrasi
ekstrak daun pepaya, maka persamaannya adalah y = 5,907 0,171x.

BAB 6
PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek antimikroba ekstrak daun


pepaya (Carica papaya L.) terhadap Salmonella Typhi secara in vitro. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tube dilution test untuk mengetahui
KHM dan dengan menggunakan media Nutrient Agar Plate (NAP) untuk
menentukan.
Ekstrak daun pepaya dibuat dengan cara mengekstrak daun pepaya
dengan etanol 96% di Fakultas Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang. Isolat
Salmonella Typhi diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Isolat kuman yang digunakan dalam penelitian ini
sebelumnya diidentifikasi terlebih dahulu dengan pengecatan Gram. Dengan
melakukan pengecatan Gram, didapatkan gambaran bentuk kuman batang Gram
negatif, yang ditandai dengan warna merah pada kuman.
Penelitian ini menggunakan dosis ekstrak daun pepaya 20%, 18%, 16%,
14%, 12%, 10% dan 0% sebagai kontrol kuman. Dosis tertinggi 20% ditentukan
berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebanyak 3 kali,
dimana pada 18% dan 20% dosis ekstrak daun pepaya pertumbuhan kuman
pada NAP tidak ada sama sekali. Selain kontrol kuman, juga digunakan kontrol
bahan baik pada uji dilusi tabung maupun pada penggunaan medium NAP.
Kontrol kuman dan kontrol bahan digunakan sebagai pembanding perlakuan
bahan uji terhadap bakteri uji. Kontrol bahan dan kontrol bakteri diuji
menggunakan dilusi tabung dan distreaking pada Nutrient Agar Plate (NAP).

Kontrol bahan menunjukkan hasil tidak didapatkannya kuman pada NAP


sedangkan kontrol bakteri terdapat banyak sekali bakteri pada NAP.
Kadar hambat minimal (KHM) dapat ditentukan dengan cara melihat
perubahan kekeruhan pada masing-masing tabung setelah diinkubasi selama 1824 jam. Dimana nilai KHM diperoleh dari tabung yang tidak menunjukkan
kekeruhan (tetap jernih). Akan tetapi, pada penelitian ini tidak dapat diketahui
besarnya KHM secara visual dikarenakan pada uji dilusi tabung belum dapat
diamati perubahan tingkat kekeruhan pada tiap tabung.
Kadar bunuh minimal (KBM) ekstrak daun pepaya terhadap bakteri
Salmonella Typhi pada penelitian ini diperoleh pada konsentrasi bahan ekstrak
18%. Dimana setelah diinkubasi selama 18-24 jam tidak didapatkan lagi
pertumbuhan koloni bakteri Salmonella Typhi pada Natrium Agar Plate (NAP)
dengan konsentrasi ekstrak 18% pada tiga kali pengulangan. Dengan
didapatkannya nilai KBM berarti dapat diketahui bahwa ekstrak daun pepaya
memiliki sifat antibakteri terhadap bakteri Salmonella Typhi.
Daun

pepaya

(Carica

papaya

L.)

memiliki

kemampuan

untuk

menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella Tyhpi dikarenakan pada daun


pepaya terkandung bahan-bahan aktif yang memiliki daya antimikroba seperti
alkaloid carpaine, asam-asam organik seperti lauric acid, caffeic acid, gentisic
acid, dan asorbic acid. Serta terdapat juga -sitosterol, flavanoid, saponin,
tannin, dan polifenol. Akan tetapi, hanya hanya alkaloiid carpaine, asam-asam
organik, dan beta sitosterol yang dapat larut pada pelarut etanol yang digunakan
untuk mengekstrak daun pepaya. Interaksi antar substansi yang didapatkan
melalui ekstraksi dapat bersifat sinergis, addisi, maupun kontradiktif. Sinergis
berarti terdapat kooperasi atau kerjasama antar dua substansi atau lebih. Addisi

berarti terjadi peningkatan efek

jika terdapat dua substansi atau lebih.

Sedangkan interaksi yang kontradiktif, menunjukkan aktivitas yang saling


berlawanan antara dua substansi atau lebih.
Bahan-bahan yang terkandung dalam daun pepaya tersebut memiliki
mekanisme yang berbeda-beda dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
Gugus basa carpaine pada alkaloid carpaine akan bereaksi dengan asam amino
DNA bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan DNA bakteri.
Asam organic akan menurunkan pH intrasel sehingga sel bakteri akan
menjadi statis dan tidak dapat berkembang.
-sitosterol akan menghambat enzim sortase pada dinding sel bakteri
sehingga adhesi sel bakteri pada sel target infeksi akan terhambat.
Secara struktural dinding sel bakteri Gram negatif lebih rapuh daripada
dinding sel bakteri Gram positif. Peptidoglikannya lebih tipis, hanya 1 sampai 2
persen dari berat keringnya. Pada permukaan luarnya, peptidoglikan dilindungi
oleh

beberapa

lapisan.

Lapisan-lapisan

ini

bersama-sama

memberikan

perlindungan terhadap sel dari penetrasi bahan-bahan kimia yang mungkin


berbahaya. Lapisan terluar merupakan membran yang disebut dengan membran
luar. Membran luar merupakan lapisan lipid-protein bilayer yang mirip dengan
membran sel. Membran luar ini dapat melindungi bakteri gram negatif dari
substansi antipeptidoglikan seperti penisilin dan lysozim. Pada permukaan dari
membran luar, terdapat molekul lipopolisakarida (McKane and Kandel, 1986).
Senyawa-senyawa lipofilik mungkin dapat berinteraksi dengan gugus lipid pada
membran luar dan lipopolisakarida yang melekat pada peptidoglikan, sehingga
dapat merusak integritas dinding sel. Ikatan antar asam amino pada
peptidoglikan bakteri Gram negatif juga lebih renggang jika dibandingkan dengan

yang terdapat pada bakteri Gram positif (McKane and Kandel, 1986). Hal ini
mungkin dapat memudahkan penetrasi substansi-substansi dari luar ke membran
sel. Selain itu, dinding sel bukanlah sebuah struktur regulator seperti membran
sel. Walaupun berpori, dinding sel tidak selektif permeabel dan akan membiarkan
apapun yang ukurannya sesuai dengan celahnya lewat (University of Texas,
1995).
Aplikasi klinis

ekstrak daun

pepaya

sebagai

antimikroba masih

memerlukan penelitian lebih lanjut berupa penelitian in vivo. Hal ini dikarenakan
belum adanya penelitian medis mengenai dosis efektif, toksisitas, dan efek
samping yang ditimbulkan ekstrak daun pepaya. Dengan dasar hal di atas, maka
perlu dilakukan suatu penelitian secara in vivo mengenai dosis efektif, toksisitas,
dan efek samping yang ditimbulkan ektsrak daun pepaya pada hewan coba yang
nantinya dapat diaplikasikan pada manusia.

BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
Ekstrak etanol daun pepaya dapat menghambat pertumbuhan Salmonella
Typhi secara in vitro.
Pada penelitian ini Kadar Hambat Minimum (KHM) belum dapat
ditentukan karena perbedaan kekeruhan pada masing-masing tabung
tidak dapat dibedakan dengan pasti.
Kadar Bunuh Minimum (KBM) konsentrasi ekstrak daun pepaya terhadap
bakteri Salmonella Typhi adalah pada konsentrasi 18%.
Semakin besar konsentrasi ekstrak etanol daun pepaya maka semakin
kecil pertumbuhan bakteri Salmonella Typhi.

7.2 Saran
Perencanaan, proses, dan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu dibutuhkan banyak perbaikan. Perbaikan yang mungkin dapat
dilakukan antara lain:
Perlu dilakukan penelitian dengan rentang konsentrasi yang lebih kecil
agar dapat menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh
Minimal (KBM) yang lebih tepat serta untuk mendapatkan persamaan
regresi yang lebih teliti.
Pencarian KHM dengan spektrofotometri.
Diperlukan penelitian lanjutan mengenai efek antimikroba ekstrak daun
pepaya

secara

in

vivo,

karena

untuk

melihat

farmakodinamik,

farmakokinetik dan toksisitas dari bahan aktif yang terkandung dalam


ekstrak daun pepaya.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efek ekstrak daun pepaya
dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri lain selain
Salmonella Typhi.
Pembuatan ekstrak daun pepaya yang lebih baik sehingga didapatkan
kandungan bahan-bahan aktif yang lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Agnol, R.Dall; Ferraz, A.; Bernardi, A.P.; Albring, D.; Nor, C.; Sarmento, L; Lamb,
L. 2003. Antimicrobial Activity of Some Hypericum species. Brazil: TANAC
SA. Hal: 511-516.
Anonim. 1993. Standard of ASEAN Herbal Medicine Volume I. Jakarta: Aksara
Buana Printing.
Ardina, Yustine. 2007. Pengembangan Formulasi Sediaan Gela Antijerawat serta
Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak Daun Pepaya (Carica
papaya

Linn.)

(Online).

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&node=6489. Diakses tanggal


18 Maret 2010 pukul 05.51 WIB.
Bahdarsyam. 2003. Spektrum Bakteriologik pada Berbagai Jenis Batu Saluran
Kemih Bagian Atas (Online). http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 6
September 2010 pukul 15.45 WIB.
Benka

Farma.

2009.

Prospek

Obat

Herbal

http://benkafarma.blogspot.com/2009_06_01_archive.html.

(Online).
Diakses

tanggal 16 Oktober 2009 pukul 10.42 WIB.


Bonang, Gerard. 1982. Mikrobiologi Kedokteran: Untuk Laboratorium dan klinik.
Jakarta: Gramedia. Hal: 10-15.
Brooks, Geo F., Butel, Janet S., Morse, Stephen A. 2001. Jawetz, Melnick, &
Adelbergs Mikrobiologi Kedokteran, Terjemahan oleh Eddy Mudihardi
dkk. 2005. Salemba Medika, Jakarta. Hal: 203-215.

Bukhori, M.F.M., Rahman, N.A., Khalid, N., Pillai, V. 2005. Carpaine From Carica
Papaya. L. Var Eksotika I. Prosididng symposium Kimia Analisis Malaysia
Kelapan Belas, Johor Bahru.
Canini, Alesiani, DArcangelo, dan Tagliatesta. 2007. Gas Chromatography-Mass
Spectrometry Analysis of Phenolic Compounds from Carica papaya Linn.
Leaf. Journal of food Composition and analysis 20 : 584 -590.
Clark, Jim. 2007. Pembuatan Ester (Online). http://www.chem-is-try.org/materi
kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/pembuatan_ester/. Diakses tanggal
20 Maret 2010 pukul 16.10 WIB.
Corales,

Roberto.

2004.

Typhoid

Fever

(Online).

http://www.emedicine.com/MED/topic2331.htm. Diakses 10 Maret 2010


pukul 19.35 WIB.
Cowan, Marjorie Murphy. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
Microbiology

Reviews

(Online),

Vol.

12,

No.

4,

http://www.emr.org/egi/reprint/12/4/154?maxtoshow=&HITS=10&hits=10&
RESULTFORMAT=Fulltext=Plantantimicrobial&searchid.

Diakses

17

Maret 2010 pukul 18.50 WIB.


Cruicshank, R. 1975. Basic Microbiology Vol. 2, Churchill Levinson, USA, p. 403419.
Dart, R. K. 1996. Microbiology for the Analytical Chemist. Cambridge: The Royal
Society of Chemistry. p. 41-48.
Duke, James A. 1983. Handbook of Energy Crops (Unpublished) (Online).
www.hord.purdue.edu/newcrop/duke. Diakses tanggal 29 Maret 2010
pukul 20.00 WIB.

Duke, J. A. 2009. Dr. Dukes Phytochemical and Ethnobotanical Databases


(Online). http://www.ars-grin.gov/duke/. Diakses tanggal 19 Maret 2010
pukul 20.20 WIB.
Dzen, Sjoekoer M, Roekistiningsih, S. Santoso, S. Winarsih. 2003. Bakteriologi
Medik. Malang : Bayu Media. Hal: 122-123, 223-234.
Fenegold, S.M. and E.J. Baron. 1986. Bailey and Scotts Diagnostic Microbiology
7th Ed. USA: C.V Mosby Company.
Goldman, Lee, Dennis A. 2002. Cecil Textbook Of Medicine 22nd Vol 2, Elseiver
Inc., Philadelphia, p. 1728-1851.
Gunawan, I. W. A. 2009. Potensi Buah Pare (Momordica charantia L.) sebagai
Antibakteri Salmonella thypimurium. Denpasar: Program Studi Pendidikan
Biologi

Fakultas

Keguruan

dan

Ilmu

Pendidikan

Universitas

Mahasaraswati.
Hamzah, Amir. 2007. Papaya Pepaya Kates Gedang (Online).
http://blog.agroprima.com/?p=7. Diakses tanggal 11 Oktober 2010 pukul
22.19 WIB.
Hanafi, Muchtar. 2009. Memburuknya Penyakit Infeksi Akibatnya Lemahnya
Sistem

Imun

(Online).

http://inspiration.blog.uns.ac.id/2009/06/11/memburuknya-penyakitinfeksi-akibatnya-lemahnya-sistem-imun/. Diakses tanggal 16 Oktober


2009 pukul 09.30 WIB.

Health

Resources.

2009.

Pathophysiology

of

Typhoid

Fever

http://www.health-res.com/pathophysiology-of-typhoid-fever/.

(Online).
Diakses

tanggal 20 Maret 2010 pukul 21.03 WIB.


Hismiogullari, Sahin, Oner, Hismiogullari, Yenice, dan Karasartova. 2008.
Investigation of Antibacterial and Cytotoxic Effects of Organic Acids
Including Ascorbic Acid, Lactic Acid, and acetic acids on Mammalian
Cells. Journal of Animal and Veterinary Advances 7 (6) : 681 684.
Hopkins, Wiliiam.G. 1995. Introduction to Plant Physiology, 2th Ed, The University
of Western Ontario, John Wiley and Sons Inc USA. Hal: 273.
Jamil, N., Atmojo, N.D., dan Firmandus, A.E. 2006. Buku Tumbuhan Obat Taman
Nasional Meru Betiri. Jember : Balai Taman Nasional Meru Betiri.
Jawetz;

Melnick;

Adelberg.

1995.

Mikrobiologi

Kedokteran.

Jakarta:

EGC.
Jawetz E, Melnick, Adelberg. Medical Microbiology, 22nd Edition, McGraw-Hill
Companies USA 2001: 229-31.
Jiyuunosekai

in

Medic

and

Health.

2008.

Demam

http://jiyuunosekai.blog.friendster.com/2008/10/.

Tifoid

Diakses

(Online).

tanggal

17

Maret 2010 pukul 12.05 WIB.


Joklik, Wolfgang K., Willet, Hilda P., Amos, D. Bernard, Wilfret, Catherine M.
1992.

Zinsser

Microbiology

20th

Edition.

London

Prentice-Hall

International Inc. p. 538-543.


Kariuki, Samuel, Charles G., Gutura R., C. Anthony H. 2000. Genotypic Anlisis
of Multidrug-Resistant Salmonella enterica Serovar Typhi, Kenya.
(Online). http://www.pubmed.com. Diakses 24 Maret 2010 pukul 17.58
WIB.

Kartasapoetra, G. 1996. Budidaya Tanaman Berkasiat Obat. Jakarta : Rineka


Cipta.
Katzung, Bertram G. 1994. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
Hal: 699.
Khalid. 2009. 6 Manfaat dari Daun Pepaya untuk Tubuh Manusia. (Online).
http://carahidup.um.ac.id/tag/pepaya/. Diakses tanggal 24 Maret 2010
pukul 06.38 WIB.
Levinson, W, Ernest J. 2002. Medical Microbiologi And Immunologi 6th Edition.
USA: Mc Graw Hill Companies, Inc. p. 107-125.
Liu Z et.al. 2004. Nature 427:348-352.
McKane, Larry, J. Kandel. 1986. Microbiology: Essentials And Applications.
Singapore: McGraw-Hill. p. 61-88.
Medical Tribune. 2001. Strain Salmonella typhi di Indonesia Bukan Berasal Dari
Klon

Tunggal.

(Online).

http://www.medicaltribune.net/dispserchcontent.demam+tifoid.

Diakses

tanggal 20 Januari 2010 pukul 20.05 WIB.


Melderen, Laurence Van. Molecular interaction of the CcdB poison with its
bacterial target, the DNA gyrase, IJMM. 2002. p. 291, 537 544.
Muhlisah, Fauziah. 2002. Tanaman Obat Keluarga. Jakarta : Penebar Swadaya.
Naim,

Rochman.

2004.

Senyawa

Antimikroba

dari

Tanaman

(Online).

http://www.kcm.com/sorotan/1265264.htm. Diakses 09 Maret 2010.


Notobroto, B. Hari. 2005. Penelitian Eksperimental dalam Materi Praktikum
Teknik Sampling dan Perhitungan Besar Sampel Angkatan III. Surabaya :
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

Oh, Kim, Sin, Oh, dan Sin. 2006. Inhibition of Sortase-Mediated Staphylococcus
aureus Adhesion to Fibronectin via Fibronecting-Binding Proteins by
Sortase Inhibitors. Appl Microbiol Biotechnol. 70(1):102-106.
Olarte, Jorge, Emma G. 1973. Salmonella typhi resistant to Chloramphenicol,
Ampicillin, and Other Antimicrobial Agents: Strains Isolated During an
Extensive Typhoid Epidemic in Mexico (Online). http://www.pubmed.com.
Diakses tanggal 23 Maret 2010 pukul 18.19 WIB.
Oxoid.

2010.

Microbact

Biochemical

Identification

Kits

(Online).

http://www.oxoid.com/UK. Diakses tanggal 6 September 2010 pukul 15.49


WIB.
Putin,

Vladimir.

2006.

Masalah

Pendidikan

dan

Penyakit

Infeksi.

http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/vladimir090306.htm.
Diakses tanggal 16 Oktober 2009 pukul 09.26 WIB.
Rangel, Olalde. 2006. Immune Phyto-neutraceutical Composition (Online).
http://www.patentgenius.com/patent/7553501.html. Diakses tanggal 21
Maret 2010 pukul 16.40 WIB.
Ratna,

Ita.

2009.

Pepaya

dan

Segala

Manfaatnya

http://vibizlife.com/health_details.php?pg=health&id=13102.

(Online).
Diakses

tanggal 14 Maret 2010 pukul 19.09 WIB.


Robinson, Treves. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Edisi 6), Prof Dr
Kosasih Padmawinata. Bandung, Indonesia: Institut Teknologi Bandung.
Hal: 57,157, 192 dan 208.
Rukmana, Rahmat. 1994. Pepaya Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta :
Kanisius.

Santos, Fortino Solorzano. 1993. Conns Current Therapy. USA: W. B. Saunders


Company. p. 1730-1735.
Sastroamidjojo, Seno. 2001. Obat Asli Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat.
Sentra

Informasi

Iptek.

2005.

Pepaya

(Online).

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=133. Diakses tanggal


11 Oktober 2010 pukul 22.05 WIB.
Shuid, A. N., Anwar, M.S., Yusof, A.A. 2005. The Effects of Carica papaya Linn.
Latex on the healing of Burn Wounds in Rats. Jurnal Sains Kesihatan
Malaysia 3 (2): 39-47.
Soeroso, Santoso. 2007. Plasmid (Plenary Annual Scientific Meeting On Infection
Diseases).

http://m.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=18.

Diakses

tanggal 16 Oktober 2009 pukul 09.27 WIB.


Sunarjono, Hendro. 2008. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Tjaniadi, Periska, Murad L., Decy S., Nunung M., Shinta K., Wasis S., Cyrus H.
S., Narain P., James R. C., William K. A., James B., Andrew C., Buhari A.
O. 2003. Antimicrobial Resistance of Bacterial Pathogens Associated with
Diarrheal Patients in Indonesia. (Online). The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene. Diakses 25 Maret 2010 pukul 21.22 WIB.
Tortora, Funke, Case. 2001. Microbiology: an introduction. USA: Mc Graw Hill
Companies, Inc.
University of Texas - Houston Medical School. 1995. The Bacterial Cell Wall.
(Online). (http://DPALM Medic/00001438.htm, diakses 1 Mei 2007).
Urasaki et.al. 2002. TAG 104:281-285.

Venturella, VS. Natural Product. In: Gardner H, 2000. Remington The Science
and Practice of Pharmacy 20th edition. Lippincott Williams and Wilkins.
Philladelphia. Hal: 675-683.
Wahana Informasi Teknologi Pasca Panen dan Penolahan Hasil Pertanian. 2002.
Nilai Gizi, Manfaat dan Teknologi Pengolahan Pepaya (Online).
http://pphp.deptan.go.id/web/teknopro/Leaflet%20Teknopro%20No.%203
6.htm. Diakses tanggal 12 Maret 2010 pukul 12.50 WIB.
WHO. 2002. Use of antimicrobials outside human medicine and resultant
antimicrobial

resistance

in

humans

(Online).

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs268/en/. Diakses tanggal 16


Oktober 2009 pukul 10.16 WIB.
WHO.

2002.

Antimicrobial

Resistance

(Online).

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs268/en/. Diakses tanggal 19


Maret 2010 pukul 16.47 WIB.
WHO.

2004.

Rising

Drug

Resistance

(Online).

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/. Diakses tanggal 19


Maret 2010 pukul 17.00 WIB.
WHO. 2004. WHO Calls for Urgent Action on Antimicrobial Resistance (Online).
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs197/en/. Diakses tanggal 22
Maret 2010 pukul 18.35 WIB.
Wikipedia.

2007.

Saponin

(Online).

http://www.wikipedia.com/saponin.htm.

Diakses tanggal 28 September 2009 pukul 22.14 WIB.


Winarsih, Sri; Dzen, Sjoekoer M.; Roekistiningsih; Santoso, Sanarto.
Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Kedokteran. Malang:

2008.

Laboratorium

Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Halaman 17, 2426, 58-60, 62.

LAMPIRAN

Lampiran 1: Alat Penelitian Uji Antibakteri

Colony Counter Untuk Menghitung Jumlah Koloni dalam Media Agar

Spektofotometri Untuk Menghitung Optical Density Isolat Salmonella Typhi pada


Nutrient Broth (= 540 nm)

Inkubator (suhu 370C)

Alat Uji Efektivitas Antibakteri

Lampiran 2: Hasil Penelitian

Hasil pewarnaan Gram Salmonella Typhi batang Gram negatif

Hasil tes biokimia Salmonella Typhi

Hasil inokulasi Salmonella Typhi pada medium Bismuth Sulfit Agar

Hasil Uji Dilusi Tabung

Kontrol kuman

Konsentrasi 10 %

Konsentrasi 14 %

Konsentrasi 12 %

Konsentrasi 16 %

Konsentrasi 18 %

Konsentrasi 20 %

Lampiran 3: Data Hasil Penelitian dan Uji Statistik

Tabel Hasil Penelitian


Jumlah Koloni (Pengulangan)
Konsentrasi

Dalam CFU/plate
I

Jumlah

II
3

Rataan

III

492 x 10

448 x 10

337 x 10

10%

76 x 10

39 x 10

46 x 10

161 x 10

12%

25 x 10

27 x 10

29 x 10

81 x 10

27 x 10

14%

6 x 10

18 x 10

14 x 10

38 x 10

12,67 x 10

16%

4 x 10

7 x 10

9 x 10

20 x 10

6,67 x 10

18%

20%

100%

1277 x 10

0%

OI

125 x 10

425,67 x 10

53,67 x 10

Statistic
Koloni

df

.379

Shapiro-Wilk

Sig.
21

Statistic

.000

df

.535

Sig.
21

.000

a. Lilliefors Significance Correction


Tests of Normality
a

Kolmogorov-Smirnov
Statistic
koloni_trans

.198

df

Shapiro-Wilk

Sig.
15

.118

Statistic
.895

df

Sig.
15

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov

.081

Tests of Normality
a

Kolmogorov-Smirnov
Statistic
Koloni

df

.379

Shapiro-Wilk

Sig.
21

Statistic

.000

.535

a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances


koloni_trans
Levene
Statistic
2.900

df1

df2
4

Sig.
10

.078

df

Sig.
21

.000

Descriptives
Koloni
95% Confidence Interval

N
0

10

12

Mean

Std.

for Mean

Maximu

Deviation

Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum

425666.66 79876.9887 46117.000


67

96

53666.666 19655.3639 11348.029


7
27000.000
0

8
2000.00000

69
1154.7005
4

227241.2266 624092.1067

337000.0 492000.0
0

4840.0358 102493.2976 39000.00 76000.00

22031.7246

31968.2754 25000.00 29000.00

14

3 1266.6667

611.01009 352.76684

-251.1665

2784.4999

600.00 1800.00

16

666.6667

251.66115 145.29663

41.5057

1291.8276

400.00

900.00

18

.0000

.00000

.00000

.0000

.0000

.00

.00

20

.0000

.00000

.00000

.0000

.0000

.00

.00

100

.0000

.00000

.00000

.0000

.0000

.00

.00

3101.6423 123965.0244

.00

Total

24

63533.333
3

1.43114E5

29212.998
19

ANOVA
Koloni
Sum of
Squares

df

Mean Square

Between Groups

4.437E11

7.395E10

Within Groups

1.354E10

14

9.673E8

Total

4.572E11

20

F
76.449

Sig.
.000

492000.0
0

Multiple Comparition
Koloni
Tukey HSD
(I)

(J)

Konse Konse

95% Confidence Interval


Mean

ntrasi

ntrasi

10

3.72000E5

25394.23132

.000

285289.2027

458710.7973

12

3.98667E5

25394.23132

.000

311955.8693

485377.4640

14

4.24400E5

25394.23132

.000

337689.2027

511110.7973

16

4.25000E5

25394.23132

.000

338289.2027

511710.7973

18

4.25667E5

25394.23132

.000

338955.8693

512377.4640

20

4.25667E5

25394.23132

.000

338955.8693

512377.4640

-3.72000E5

25394.23132

.000

-458710.7973

-285289.2027

12

26666.66667

25394.23132

.933

-60044.1307

113377.4640

14

52400.00000

25394.23132

.421

-34310.7973

139110.7973

16

53000.00000

25394.23132

.409

-33710.7973

139710.7973

18

53666.66667

25394.23132

.396

-33044.1307

140377.4640

20

53666.66667

25394.23132

.396

-33044.1307

140377.4640

-3.98667E5

25394.23132

.000

-485377.4640

-311955.8693

10

-26666.66667

25394.23132

.933

-113377.4640

60044.1307

14

25733.33333

25394.23132

.942

-60977.4640

112444.1307

16

26333.33333

25394.23132

.936

-60377.4640

113044.1307

18

27000.00000

25394.23132

.929

-59710.7973

113710.7973

20

27000.00000

25394.23132

.929

-59710.7973

113710.7973

-4.24400E5

25394.23132

.000

-511110.7973

-337689.2027

10

-52400.00000

25394.23132

.421

-139110.7973

34310.7973

12

-25733.33333

25394.23132

.942

-112444.1307

60977.4640

16

600.00000

25394.23132

1.000

-86110.7973

87310.7973

18

1266.66667

25394.23132

1.000

-85444.1307

87977.4640

20

1266.66667

25394.23132

1.000

-85444.1307

87977.4640

-4.25000E5

25394.23132

.000

-511710.7973

-338289.2027

-53000.00000

25394.23132

.409

-139710.7973

33710.7973

10

12

14

16

10

Difference (I-J)

Std. Error

Sig.

Lower Bound

Upper Bound

18

20

12

-26333.33333

25394.23132

.936

-113044.1307

60377.4640

14

-600.00000

25394.23132

1.000

-87310.7973

86110.7973

18

666.66667

25394.23132

1.000

-86044.1307

87377.4640

20

666.66667

25394.23132

1.000

-86044.1307

87377.4640

-4.25667E5

25394.23132

.000

-512377.4640

-338955.8693

10

-53666.66667

25394.23132

.396

-140377.4640

33044.1307

12

-27000.00000

25394.23132

.929

-113710.7973

59710.7973

14

-1266.66667

25394.23132

1.000

-87977.4640

85444.1307

16

-666.66667

25394.23132

1.000

-87377.4640

86044.1307

20

.00000

25394.23132

1.000

-86710.7973

86710.7973

-4.25667E5

25394.23132

.000

-512377.4640

-338955.8693

10

-53666.66667

25394.23132

.396

-140377.4640

33044.1307

12

-27000.00000

25394.23132

.929

-113710.7973

59710.7973

14

-1266.66667

25394.23132

1.000

-87977.4640

85444.1307

16

-666.66667

25394.23132

1.000

-87377.4640

86044.1307

18

.00000

25394.23132

1.000

-86710.7973

86710.7973

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Koloni_trans
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05
Konsentrasi

18

.0000

20

.0000

100

.0000

16

2.8005

14

3.0599

12

4.4306

10

4.7115

Sig.

5.6236
1.000

.251

.180

1.000

ANOVA
Koloni
Sum of
Squares

df

Mean Square

Between Groups

4.437E11

7.395E10

Within Groups

1.354E10

14

9.673E8

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Descriptive Statistics
N

Mean

Std. Deviation

Koloni

24

63533.3333

1.43114E5

Konsentrasi

24

23.7500

30.01630

Valid N (listwise)

24

F
76.449

Sig.
.000

Correlations
Konsentrasi
Konsentrasi

Pearson Correlation

koloni_trans
**

-.897

Sig. (2-tailed)

.000

N
koloni_trans

Pearson Correlation

24

15

**

-.897

Sig. (2-tailed)

.000

15

15

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Variables Entered/Removed

Model
1

Variables

Variables

Entered

Removed

Konsentrasi

Method
. Enter

a. All requested variables entered.


b. Dependent Variable: koloni_trans

Model Summary

Model
1

R Square
a

.897

Adjusted R

Std. Error of

Square

the Estimate

.805

a. Predictors: (Constant), Konsentrasi

.790

.50452

ANOVA
Sum of
Model
1

Squares
Regression
Residual
Total

df

Mean Square

13.660

13.660

3.309

13

.255

16.969

14

Sig.

53.666

.000

a. Predictors: (Constant), Konsentrasi


b. Dependent Variable: koloni_trans

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

Std. Error

(Constant)

5.907

.276

Konsentrasi

-.171

.023

a. Dependent Variable: koloni_trans

Coefficients
Beta

-.897

Sig.

21.411

.000

-7.326

.000

Anda mungkin juga menyukai