Anda di halaman 1dari 93

UJI EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK ETANOL BIJI KARIKA

(Vasconcellea pubescens A.DC) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

GALUR WISTAR

TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Ahli Madya Farmasi

Disusun Oleh:

NASHINTA LAKSMI PUTRI


M3515032

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
ii
UJI EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK ETANOL BIJI KARIKA
(Vasconcellea pubescens A.DC) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN
GALUR WISTAR

NASHINTA LAKSMI PUTRI


Program Studi D3 Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
INTISARI
Demam merupakan gejala utama penyakit paling umum diketahui dan
merupakan suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi
Beberapa komponen metabolit sekunder bahan alam dipercaya memiliki efek
antipiretik seperti flavonoid, saponin tannin, dan polifenol. Karika (Vasconcellea
pubescens A.DC) merupakan tanaman yang diketahui memiliki senyawa flavonoid,
saponin, tannin, dan pilofenol yang dapat digunakan sebagai antipiretik. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol biji
karika terhadap tikus putih jantan galur wistar yang demam akibat diinduksi ragi.
Penelitian ini menggunakan pre test – post test only control group design.
Tikus pada penelitian ini dibagi menjadi enam kelompok, dengan kelompok I
(kontrol negatif) diberi aquadest; kelompok II (kontrol positif) diberi parasetamol;
dosis 1 (40mg / 200gr); dosis 2 (80mg / 200gr), dosis 3 (160mg / 200gr), dan
kelompok VI (kontrol normal) yang tidak diberi perlakuan. Penginduksi demam
yang digunakan adalah ragi 20% yang disuntikkan secara subkutan pada tengkuk
tikus. Pengukuran suhu rektal tikus dilakukan sebelum pemberian induksi ragi, 3
jam setelah induksi ragi, dan setiap 30 menit setelah perlakuan sampai menit ke-
360. Data pada penelitian akan dianalisis secara statistika menggunakan metode
oneway ANOVA
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji karika terbukti
memiliki efek antipiretik. Dosis yang memberikan efek antipiretik adalah 160mg /
200gr dengan penurunan suhu sebanyak 1 derajat dan memiliki perbedaan secara
bermakna pada LSD dibandingkan dengan kontrol negatif (Sig. <0,05)

Kata Kunci: karika, antipiretik, Vasconcellea pubescens A.DC, demam.

iii
ANTIPIRETIC EFFECTS OF KARIKA SEEDS ETHANOL EXTRACT
(Vasconcellea pubescens A.DC) ON GALUR WISTAR WHITE RATS

Nashinta Laksmi Putri


Study Program of Pharmacy, Faculty of Mathematics and Natural Science
Sebelas Maret University
ABSTRACT
Fever is a major sign of the most commonly known disease and is an
important part of the body's defense mechanism against infection. Some
components of secondary metabolites of natural ingredients have an antipyretic
effect such as flavonoids, tannins, and polyphenols. Karika (Vasconcellea
pubescens A.DC) is a plant known to have flavonoid compounds and other
compounds that can be used as antipyretics. The purpose of this study was to
determine the effect of ethanol extract of karika seeds on white male rats
The research used pre test – post test only control group design. In this study
the rats were divided into six goups, with group I (negative control) given aquadest;
group II (positive control) was given paracetamol; dose 1 (40mg / 200gr); dose 2
(80mg / 200gr), dose 3 (160mg / 200gr), and group VI (normal control) were not
treated. The fever inducer used a 20% yeast was injected subcutaneously at the nape
of the rat. To obtain the activities of ragi used rectal measurentment, 3 hours after
yeast induction, and every 30 minutes after treatment until 360 minutes. The data
in the study will be analyzed using the oneway ANOVA method
The results showed that karika extract proved to have antipyretic effect. The
dosage giving antipyretic effect was 160mg / 200gr with a temperature drop of 1
degree and had a significant difference in LSD compared with the negative control
(Sig. <0.05)

Keyword : karika, antipyretic, Vasconcellea pubescens A.DC, fever.

iv
MOTTO

Everything will be okay in the end, if its not okay, its not the end.

v
PERSEMBAHAN

Tugas Akhir ini

kupersembahkan untuk bapak dan ibu atas


segala kasih sayangnya, adik adikku dan para
sahabat sahabatku yang telah mendukungku
sampai saat ini.

vi
HALAMAN PERSETUJUAN
UJI EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK ETANOL BIJI KARIKA

(Vasconcellea pubescens A.DC) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

GALUR WISTAR

Oleh:
NASHINTA LAKSMI PUTRI
M3515032

Telah disetujui untuk diuji

Surakarta, ………
Mengetahui,
Pembimbing Tugas Akhir

Heru Sasongko S.Farm., M.Sc., Apt.


NIK. 1986110520140501

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.
Tugas Akhir ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari banyak pihak,
karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc.(Hons), P.hD. selaku Dekan Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Estu Retnaningtyas Nugraheni., S.TP M.Si. selaku Kepala Program Studi
D3 Farmasi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Heru Sasongko, S.Farm., M. Sc., Apt. selaku Pembimbing Tugas
Akhir yang dengan penuh kesabaran memberikan motivasi, saran, dan
bimbingan dari awal penelitian hingga terselesaikannya tugas akhir ini.
4. Fea Prihapsara, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku Pembimbing Akademis yang
telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.
5. Kepala Laboratorium Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin
melakukan penelitian.
6. Bapak dan Ibuku yang selalu memberikan doa dan dukungan baik secara
moral maupun material yang tiada akan pernah bisa terbalaskan.
7. Bapak Ibu dosen Program Studi Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
mengajarkan ilmu kefarmasian selama masa perkuliahan.
8. Laboran Farmasi (Mbak Siti dan Mbak Indah) yang telah membantu
menyediakan alat dan bahan laboratorium serta Admin D3 Farmasi (Pak
Wiji) yang telah membantu perizinan selama proses penelitian.
9. Partnerku dalam penelitian ini: Pangestika Widiasih yang telah
menemaniku pada sepanjang penelitian dari awal hingga akhir, dan
terimakasih untuk mbak Aulia, yang sudah banyak membantu dalam tugas
akhir kami.

viii
10. Teman-teman seperjuangan D3 Farmasi 2015 yang telah menemaniku
menjalani masa perkuliahan dan menjadi bagian dari sejarah hidupku.
11. Sahabat-sahabatku selama perkuliahan Thea, Pangestika, Athifah, Hida dan
Nana yang sudah mau menemaniku dalam suka dan duka selama 3 tahun
kehidupan perkuliahan ini, serta sahabat sahabatku Mariska dan Anindya
yang sudah mau menerimaku dan menemaniku dari awal hingga sampai saat
ini, semoga kita selalu tetap ada pada lindungan-Nya
12. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan tugas akhir
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakannya. Namun demikian, penulis berharap semoga karya kecil ini
bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, Juni 2018

Penulis

ix
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................... ii
INTISARI ................................................................................................................... iii
ABSTRACT.................................................................................................................. iv
MOTTO ...................................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ....................................................................................................... vi
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ viii
DAFTAR ISI............................................................................................................... x
DAFTAR TABEL....................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xv
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 4
BAB II. LANDASAN TEORI .................................................................................... 6
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 6
1. Karika (Vasconcellea pubescens A.DC.)...................................... 6
2. Demam ......................................................................................... 8
3. Antipiretik .................................................................................... 11
4. Parasetamol .................................................................................. 12
5. Ekstraksi ....................................................................................... 13
6. Metabolit Sekunder ...................................................................... 15
7. Induksi demam ............................................................................. 18
B. Kerangka Berfikir ................................................................................ 20
C. Hipotesis ............................................................................................. 21
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 22
A. Jenis Penelitian .................................................................................... 22
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 22

x
C. Subjek Penelitian ................................................................................. 22
D. Variabel Penelitian............................................................................... 23
E. Alat dan Bahan Penelitian.................................................................... 24
F. Prosedur Penelitian .............................................................................. 24
1. Kelaikan Etik ................................................................................. 24
2. Uji Determinasi Buah Karika ......................................................... 25
3. Ekstraksi Buah Karika .................................................................... 25
4. Uji Kandungan Kimia Ekstrak........................................................ 25
5. Persiapan Hewan Uji ...................................................................... 27
6. Pembuatan Sediaan Uji ................................................................... 27
7. Kelompok Hewan Uji ..................................................................... 28
8. Pengukuran Suhu Tikus .................................................................. 29
G. Analisis Data ........................................................................................ 30
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 31
A. Kelaikan Etik ....................................................................................... 31
B. Uji Determinasi Tanaman .................................................................... 31
C. Ekstraksi Biji karika ............................................................................ 31
D. Uji Kandungan Kimia Ekstrak ............................................................. 33
E. Kondisi Hewan Uji .............................................................................. 35
F. Uji Antipiretik ...................................................................................... 36
G. Analisis Statistika ................................................................................ 43
BAB V. PENUTUP .................................................................................................... 49
A. Kesimpulan .......................................................................................... 49
B. Saran .................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 50
LAMPIRAN................................................................................................................ 58

xi
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1. Hasil Uji Kandungan Kimia Ekstrak ............................................................ 33
Tabel 2. Hasil rata rata pengukuran suhu .................................................................... 40
Tabel 2. Hasil rata rata AUC....................................................................................... 42
Tabel 3. Hasil uji LSD ................................................................................................ 45

xii
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1. Buah karika dari Dieng, Jawa Tengah (Effendi, 2017) ............................. 6
Gambar 2. Biji buah karika (Rina, 2017) .................................................................... 6
Gambar 3. Struktur kimia parasetamol (Depkes, 2014).............................................. 13
Gambar 4. Kerangka berfikir ...................................................................................... 20
Gambar 5. Penurunan Rata Rata Suhu ........................................................................ 41
Gambar 6. Grafik Rata-rata AUC ............................................................................... 42
Gambar 7. Hasil Determinasi Buah Karika ................................................................ 58
Gambar 8. Surat Kelaikan Etik ................................................................................... 59
Gambar 9. Surat Galur ................................................................................................ 60
Gambar 10. Skema Proses Ekstraksi........................................................................... 61
Gambar 11. Skema Uji Kualitatif Flavonoid .............................................................. 62
Gambar 12. Skema Uji Kualitatif Saponin ................................................................ 62
Gambar 13. Skema Uji Kualitatif Polifenol dan Tanin ............................................... 63
Gambar 14. Skema Uji Kualitatif Alkaloid ............................................................... 64
Gambar 15. Skema Pengujian Antipiretik .................................................................. 65
Gambar 16. Aklimatisasi Hewan Uji .......................................................................... 76
Gambar 17. Penimbangan Hewan Uji ........................................................................ 76
Gambar 18. Induksi Larutan Ragi 20% secara Subkutan .......................................... 76
Gambar 19. Pengukuran Suhu Rektal Tikus Putih Jantan ......................................... 76
Gambar 20. Pemberian Larutan Uji secara Peroral .................................................... 76

xiii
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran 1. Uji Deteminasi Tanaman ........................................................................ 58
Lampiran 2. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ............................ 59
Lampiran 3. Surat Galur ............................................................................................ 60
Lampiran 4. Skema Proses Ekstraksi .......................................................................... 61
Lampiran 5. Skema Uji Kandungan Kimia Ekstrak.................................................... 62
Lampiran 6. Skema Perlakuan terhadap Hewan Uji ................................................... 65
Lampiran 7. Perhitungan Dosis................................................................................... 66
Lampiran 8. Hasil Uji Kandungan Kimia Ekstrak ...................................................... 69
Lampiran 9. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus .................................................... 70
Lampiran 10. Hasil Data AUC .................................................................................... 71
Lampiran 11. Hasil Uji Statistika................................................................................ 72
Lampiran 12. Dokumentasi Proses Penelitian ............................................................ 76

xiv
DAFTAR SINGKATAN
AUC : Area Under Curva
BAA : Bakteri Asam Asetat
BAL : Bakteri Asam Laktat
BB : Berat Badan
CMC-Na : Carboxyl Metil Celullosa-Na
COX : Siklooksigenase
DPT-HB : Difteri, Tetanus, Pertusis-Hepatitis B
EEBK : Ekstrak Etanol Biji Karika
g : Gram
IL-1b : Interleukin-1b
kg : kilogram
LSD : Least Differences Significant
Mdpl : Meter di atas Permukaan Laut
mg : milligram
TNF : Tumor Necrosis Factor
UV-Vis : Ultraviolet-Visible

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam merupakan gejala utama penyakit yang paling umum diketahui

dan merupakan suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh

melawan infeksi, namun jika suhu terlalu tinggi akan membahayakan tubuh.

Suhu rektum melebihi 40°C dalam jangka waktu lama akan menyebabkan

kerusakan otak permanen. Adapun penyebab demam meliputi penyakit

yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, zat kimia, tumor otak dan

keadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan heat stroke (Wilmana &

Gan, 2007)

Antipiretik adalah obat yang dapat menekan atau mengurangi

peningkatan temperatur tubuh yang tidak normal (Ganong, 2005). Oleh

karena itu obat antipiretik sangat sering digunakan oleh masyarakat sebagai

obat simptomatis (Notosiswoyo et al., 1998). Obat yang dapat digunakan

untuk menurunkan demam adalah parasetamol (Soedibyo & Souvriyanti,

2006). Sekitar 175 juta tablet parasetamol dikonsumsi masyarakat Indonesia

setiap tahunnya ketika gejala demam muncul karena cukup aman, mudah

didapat dan harganya terjangkau. Meskipun relatif aman, parasetamol tetap

memiliki efek samping berupa hepatotoksisitas, nekrosis hepar yang fatal,

nekrosis turbuler ginjal, dan koma hipoglikemik pada penggunaan jangka

panjang atau dalam dosis yang berlebihan (Armansyah, 2010). Efek


samping dari penggunaan parasetamol dengan dosis yang cukup besar dapat

terjadi pusing ketegangan, dan disorientasi. Penggunaan parasetamol lebih

dari 15 gram dapat mengakibatkan kematian disebabkan oleh

hepatotoksisitas yang hebat dengan nekrosis lobules sentral (Katzung,

2002). Gejala awal dari kerusakan hati meliputi mual, muntah-muntah,

diare, nyeri perut, dan kejang terjadi 4-12 jam setelah mengkonsumsi

parasetamol (Dienstang & Isselbacher, 2005)

Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk menangani efek samping

parasetamol dalam penanganan demam yaitu dengan memanfaatkan

tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional. Pemanfaatan tumbuhan sebagai

obat tradisional masih digunakan masyarakat di Indonesia terutama di

daerah pedesaan yang masih kaya dengan keanekaragaman tumbuhannya

(Saumantera, 2004). Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari

penggunaan obat tradisional, diantaranya harga murah, mudah

mendapatkan bahan baku, tanaman obat dapat ditanam sendiri di halaman

rumah, efek samping yang ditimbulkan obat tradisional relatif kecil,

sehingga aman digunakan. Obat obatan tradisional yang digunakan untuk

pengobatan harus memiliki efek terapi, sehingga dapat

dipertanggungjawabkan penggunaanya (Irma & Gilang, 2007).

Pada salah satu penelitian yang dilakukan oleh Yapian (2014) mengenai

efek antipiretik daun papaya membuktikan bahwa daun papaya dapat

menurunkan demam. Daun papaya memiliki kandungan senyawa metabolit

sekunder seperti alkaloid, flavonoid, tannin, polifenol dan saponin

2
dipercaya memiliki aktivitas sebagai antipiretik (Yapian, 2014). Karika

adalah tanaman buah yang termasuk dalam familia Caricaceae dan satu

genus dengan papaya. Karika memiliki nama lain Vasconcellea pubescens

A.DC dan memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan papaya sehingga

diduga karika juga memiliki efek antipiretik. Bagian tanaman yang bernilai

ekonomi adalah daging buah yang banyak dimanfaatkan sebagai makanan

olahan. Selain buahnya yang dapat dimanfaatkan, biji buah karika juga

dapat digunakan sebagai penurun panas. Senyawa fitokimia yang terdapat

dalam biji buah karika adalah flavonoid, tannin, polifenol (Jaelani, 2007).

Senyawa flavonoid, tannin, dan polifenol yang diketahui memiliki efek anti

inflamasi dan efek antipiretik yang bekerja sebagai inhibitor

cyclooxygenase (COX) yang berfungsi memicu pembentukan

prostaglandin. Prostaglandin berperan dalam proses inflamasi dan

peningkatan suhu tubuh. Apabila prostaglandin tidak dihambat maka akan

tejadi peningkatan suhu tubuh yang akan mengakibatkan demam

(Suwertayasa, 2013)

Berdasarkan uraian diatas, kandungan senyawa metabolit sekunder

seperti flavonoid, tannin, dan saponin yang terdapat pada biji karika diduga

berefek sebagai antipiretik yang dapat menurunkan demam. Akan tetapi

sejauh pengetahuan peneliti, belum terdapat penelitian yang meneliti secara

ilmiah mengenai kandungan flavonoid, saponin, tannin, dan flavonoid pada

biji karika sebagai antipiretik. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk

3
menguji efek antipiretik ekstrak etanol biji karika pada tikus putih galur

wistar yang mengalami demam akibat induksi ragi

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Apakah ada efek antipiretik ekstrak etanol biji karika (Vasconcellea

pubescens A.DC) terhadap tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi

ragi?

2. Pada dosis berapakah efek antipiretik yang dihasilkan oleh ekstrak

etanol biji karika (Vasconcellea pubescens A.DC) terhadap tikus putih

jantan galur wistar yang diinduksi ragi?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui ada tidaknya efek antipiretik oleh ekstrak etanol biji

karika (Vasconcellea pubescens A.DC) terhadap tikus putih jantan galur

wistar

2. Untuk mengetahui pada dosis berapa ekstrak etanol biji karika

(Vasconcellea pubescens A.DC) yang memiliki efek antipiretik terhadap

tikus putih jantan galur wistar

D. Manfaat penelitian

1. Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek

antipiretik oleh ekstrak etanol biji karika (Vasconcellea pubescens

A.DC)

4
2. Penelitian ini dapat memberikan informasi pada penelitian lanjutan

tentang efek farmakologi dari biji karika (Vasconcellea pubescens

A.DC)

5
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Karika (Vasconcellea pubescens A.DC )

Berdasarkan Integrated Taxonomic Information System (2017), karika

diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheophyta

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosanae

Ordo : Violales

Famili : Caricaceae Gambar 1,2. Buah dan biji karika (Efendi, 2017); (Rina,2017)

Genus : Carica

Species : Vasconcellea pubescens A.DC

Vasconcellea pubescens A.DC atau pepaya mini atau the mountain papaya

berasal dari Amerika Selatan bagian utara, dengan persebaran meliputi pegunungan

Andes di Panama dan Bolivia serta pegunungan-pegunungan di Kolombia dan

Ekuador. Di Hawai tanaman ini dikenal dengan sebutan Mikana atau Milikana

(Hidayat, 2000).

Tanaman karika dikenalkan ke Indonesia pada era menjelang perang dunia

kedua oleh kolonia Hindia Belanda. Tanaman ini berhasil dikembangkan di dataran

tinggi Dieng, Jawa Tengah. Tanaman karika berdistribusi pada ketinggian 1400-

6
2400 mdpl, tetapi sentra produksi buah karika terdapat di daerah dengan ketinggian

1800-2400 mdpl. Penduduk setempat meyakini bahwa semakin tinggi tempat, maka

kualitas buat karika yang dihasilkan semakin baik (Rahayu dan Pribadi, 2012).

Karika memiliki batang kasar, bercabang banyak dengan diameter batang dua kali

lebih besar dari pada pepaya dan tinggi rata-rata 3-5 m. Dalam satu pohon karika

terdapat belasan cabang yang membuat banyak 4-5 buahnya (Dewi, 2009). Letak

buah karika bergerombol pada batang bagian ujung batang. Ukuran buah karika

lebih kecil dibandingkan dengan buah pepaya. Buah yang masak berbentuk bulat

telur dengan berat rata-rata 100-150 g, panjang 6-10 cm, dan diameter 3-5 cm

dengan lima sudut memanjang dari pangkal hingga ujung buah sehingga bentuk

buahnya menyerupai bentuk buah belimbing. Kulit buah Vasconcellea pubescens

A.DC yang belum masak berwarna hijau gelap, permukaan licin dan berubah warna

menjadi kuning ketika sudah masak. Kulit buah karika tebal dan memiliki getah

yang banyak. Dalam daging buah terdapat rongga yang dipenuhi biji yang

terbungkus oleh sarkotesta berwarna putih, bening, dan berair. Bijinya banyak dan

padat panjangnya 5 mm, berwarna putih-merah muda ketika buah masih mentah

dan akan berubah menjadi coklat-hitam ketika buah masak (Novalina, 2013).

Menurut Fitriningrum et al. (2013), buah karika kaya akan makro nutrien seperti

karbohidrat, protein, lemak, enzim pencernaan, kalsium gula mengandung banyak

serat dan minyak atsiri. Menurut Novalina (2013), kulit dan biji buah karika

mengandung senyawa flavonoid, fenol, dan sedikit alkaloid. Hasil Skrining

fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak biji karika mengandung golongan senyawa

tannin, flavonoid, fenol, terpenoid, alkaloid, dan saponin. Hasil ini sama dengan

7
penelitian yang dilakukan Sabirin (1994). Flavonoid merupakan senyawa yang

memiliki fungsi penting pada tanaman dan banyak diteliti karena memiliki efek

farmakologi yang bermacam macam (Satishkumar, 2008). Efek flavonoid terhadap

bermacam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan

alasan tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan

tradisional. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase, sedangkan flavonoid

lain menghambat aldoreduktase, monoaminoksidase, protein kinase, DNA

polimerase dan lipooksigenase. Penghambatan siklooksigenase dapat menimbulkan

pengaruh lebih luas karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama

pada jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan

tromboksan (Robinson, 1991). Prostaglandin sendiri penting dalam peningkatan

hypothalamic therm set point yang terjadi akibat asam arakidonat dibantu oleh

enzim COX-2. Mekanisme penghambatan inilah yang menerangkan efek antipiretik

dari flavonoid (Freddy, 2007)

2. Demam

a. Definisi

Demam adalah respon yang terkoordinasi akibat adanya stimulus imun

(biologis maupun kimiawi), berupa peningkatan suhu inti tubuh yang melebihi

normal, meliputi tiga fase klinis yaitu: fase dingin (chill), fase demam (fever) dan

fase kemerahan (flush). Fase dingin merupakan fase terjadi kenaikan suhu tubuh

menuju set point yang baru di hipotalamus. Fase demam terjadi ketika suhu tubuh

sudah mencapai set point baru dan tercapai keseimbangan antara produksi dan

pengeluaran panas. Sedangkan fase kemerahan terjadi ketika set point suhu tubuh

8
kembali ke normal, ditandai dengan berkeringat dan kulit kemerahan karena

vasodilatasi pembuluh darah. Respon fase akut yang terlibat dalam proses adaptif

ini adalah sistem otonom, tingkah laku dan neuroendokrin (Thompson, 2005; Dalal

dan Zhukovsky, 2006).

Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5°-37,2°C. Demam pada umumnya

terjadi pada kenaikan suhu di atas 37,2°C (Nelwan, 2006). Kenaikan suhu melebihi

1°C di atas suhu tubuh harian normal merupakan tanda utama demam. Tidak ada

patokan suhu absolut untuk mendefinisikan demam. Perubahan set point suhu tubuh

dipertahankan dengan penyimpanan dan pembentukan panas tubuh sampai agen

penginduksi demam hilang dari tubuh.

b. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, suhu tubuh dijaga keseimbangannya antara

produksi dan pengeluaran panas tubuh (Sherwood, 2001). Pengaturan suhu tubuh

ini dilakukan melalui mekanisme umpan balik dan diatur oleh pusat pengaturan

suhu yang terletak di hipotalamus (Guyton, 2007). Dua jenis sinyal akan

dihantarkan menuju neuron-neuron pada hipotalamus anterior preoptik dan

hipotalamus posterior. Pertama dari saraf perifer yang mencerminkan reseptor-

reseptor untuk hangat dan dingin, dan yang kedua dari temperatur darah yang

membasahi daerah ini. Pengintegrasian sinyal dilakukan oleh pusat termoregulasi

hipotalamus untuk mempertahankan temperatur normal (Gelfand, 2005).

Respon demam merupakan reaksi yang melibatkan sitokin sebagai perantara

terjadinya kenaikan suhu tubuh, membangkitkan reaksi fase akut, dan mengaktifkan

sistem imun dan endokrin (Mackowiak et al., 1997). Sitokin yang tersekresi

9
membuat patokan (set point) yang lebih tinggi, pada keadaan ini pengaturan suhu

tubuh (termoregulasi) tetap berlangsung (Sherwood, 2001; Thompson, 2005).

Semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh terlibat ketika set point

tubuh mulai meninggi, termasuk regulasi penyimpanan dan pembentukan panas.

Perubahan set point menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis yang menginduksi

vasokonstriksi pembuluh darah kulit, menghambat aktivitas kelenjar keringat,

mengaktifkan pusat menggigil di hipotalamus, sehingga produksi panas meningkat

(Sherwood, 2001). Penyebab kenaikan set point termostat tubuh di hipotalamus

adalah suatu zat pirogenik yang terbentuk sebagai respon dari infeksi atau inflamasi

(Sherwood, 2001; Thompson, 2005; Guyton, 2007). Pirogen terbagi menjadi

eksogen dan endogen, eksogen berasal dari luar hospes, sedangkan pirogen

endogen diproduksi oleh hospes yang umumnya terbentuk sebagai respon terhadap

stimulan awal yang biasanya timbul oleh karena infeksi atau inflamasi. Pirogen

endogen yang dihasilkan baik secara sistemik maupun lokal kemudian memasuki

sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus

(Gelfand, 2005). Pirogen endogen menginduksi pembentukan prostaglandin (PG)

terutama prostaglandin E2 (PGE2) yang selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk

membangkitkan reaksi demam (Guyton, 2007). Prostaglandin E2 disintesis melalui

tiga langkah, yaitu: (1) konversi membran fosfolipid menjadi asam arakidonat oleh

enzim fosfolipase A2; (2) asam arakidonat kemudian dikonversi menjadi

prostaglandin H2 dengan enzim siklooksigenase (COX); (3) prostaglandin H2

kemudian diisomerisasi menjadi Prostaglandin E2 oleh enzim Prostaglandin E2

sintase (Murakami dan Kudo, 2004)

10
3. Antipiretik

Antipiretik adalah obat yang dapat menekan atau mengurangi peningkatan

temperatur tubuh yang tidak normal (Ganong, 2005). Demam merupakan gejala

yang sering terjadi pada suatu penyakit infeksi dan yang lain, oleh karena itu obat

antipiretik sangat sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat simptomatis

(Notosiswoyo et al., 1998). Hampir semua obat analgesik perifer (non opioid)

bersifat antipiretik. Oleh sebab itu, istilah analgesik-antipiretik sering dipakai

sebagai satu kesatuan. Obat analgesik-antipiretik bekerja dengan menghambat

enzim siklooksigenase (COX) yang berperan dalam biosintesis prostaglandin (Tjay

dan Rahardja, 2007). Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin akan

dibantu oleh enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase memiliki dua isoform

yaitu enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX-1

berfungsi dalam menyediakan prekursor prostaglandin untuk sintesis tromboksan

yang berfungsi dalam homeostasis. Kenaikan temperatur tubuh pada keadaan

demam diinisiasi oleh sitokin- pirogen seperti interleukin-1, interleukin-6 dan

faktor nekrosis tumor a. Sitokin pirogen tersebut menstimulasi enzim

siklooksigenase-2 (COX-2) yang terdapat dalam sel endotel perivaskuler di

hipotalamus. Setelah terstimulasi, produksi prostaglandin E2 meningkat dan

menyebabkan naiknya set point suhu tubuh sehingga terjadi demam. Penghambatan

aktivitas COX-2 oleh obat antipiretik akan menurunkan prostaglandin E2 tersebut

sehingga set point suhu tubuh kembali normal (Simmons et al., 2004).

11
4. Parasetamol

Dalam Farmakope Indonesia Edisi V (2014) halaman 985 disebutkan

pemerian parasetamol yaitu serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik, tetapi tidak

anti radang. Pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman dan

juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri) (Tan dan Rahardja, 2007).

Parasetamol atau acetaminophen merupakan obat yang secara luas digunakan di

berbagai negara sebagai analgesik dan antipiretik pada anak maupun dewasa. Pada

dosis terapi dewasa, yaitu 1-2 gram/hari, pemberian parasetamol oral merupakan

indikasi untuk demam dan nyeri akut ringan sampai sedang. Pada umumya

parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk

swamedikasi/pengobatan mandiri (Tjay dan Rahardja, 2007). Pemberian

parasetamol secara oral dengan penyerapan yang cepat dan hampir sempurna di

saluran pencernaan. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan

lambung, dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60

menit. Waktu paruh dalam plasma 1 sampai 3 jam setelah dosis terapeutik dengan

25% parasetamol terikat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom

hati. Pemberian parasetamol secara intravena telah banyak digunakan dan

memberikan efek yang aman dan efektif sebagai antipiretik dan analgesik. Dosis

terapi maksimal yang direkomendasikan untuk dewasa adalah sebesar 4 gram/hari

dan pada anakanak sebesar 50-75 mg/kg/hari. Konsumsi dosis tunggal parasetamol

lebih dari 7 gram pada dewasa dan lebih dari 150 mg/kg pada anak-anak berpotensi

12
toksik pada organ hati dan ginjal karena meningkatnya kadar metabolit aktif yaitu

N-acetyl-p-benzoquinone imine (Tan dan Rahardja, 2007).

Gambar 3. Struktur Parasetamol (Depkes RI, 2014)

Asetaminofen bekerja dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (COX)

yang berperan dalam sintesis prostaglandin E2, sehingga set point suhu tubuh akan

menurun (Wilmana dan Gan, 2007). Senyawa alami seperti flavonoid sebagai

antipiretik bekerja dengan cara yang sama seperti asetaminofen (Sitompul, 2003).

Asetaminofen memiliki selektivitas penghambatan siklooksigenase pada sistem

nervus sentral dan memiliki efek yang lemah pada saluran gastrointestinal sehingga

asetaminofen jarang menimbulkan efek samping pada lambung (Lucas, 2005).

5. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penyarian zat berkhasiat atau zat aktifyang

terdapat dalam suatu bahan alam menggunakan pelarut dan metode yang sesuai,

sehingga diperoleh ekstrak (Depkes RI, 2000). Tujuan ekstraksi bahan alam adalah

menarik komponen kimia yang terdapat di dalamnya. Ekstraksi didasarkan pada

perpindahan massa komponen ke dalam pelarut yang dipengaruhi oleh kelarutan

komponen di dalam pelarut. Proses perpindahan massa komponen dimulai dari

lapisan antar muka kemudian berdifusi ke dalam pelarut (Emilan, 2011).

Menurut Depkes RI (2000), ekstrak merupakan sediaan kering, kental atau

cair yang dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, diluar

13
pengaruh cahaya matahari langsung. Penyarian dapat dilakukan dengan metode

maserasi, perkolasi atau penyeduhan dalam air mendidih. Terdapat 3 proses yang

terjadi selama ekstraksi berlangsung yaitu:

a. Penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman

b. Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman

c. Difusi zat yang terekstraksi (solut) dari dalam ke luar sel

Ketiga proses tersebut terjadi secara terus-menerus hingga tercapai

kesetimbangan di dalam sel tanaman dan pelarut. Kecepatan terjadinya

kesetimbangan dipengaruhi oleh suhu, pH, ukuran partikel, serta kelarutan

komponen dalam pelarut. Prinsipnya, komponen yang sifatnya polar lebih mudah

larut dalam pelarut polar sedangkan komponen non polar mudah terlarut dalam

pelarut non polar (Emilan, 2011). Etanol merupakan pelarut yang banyak

digunakan untuk ekstraksi karena selain selektif dan tidak beracun, juga dapat

mencegah pertumbuhan kapang dan kuman pada konsentrasi di atas 20%, dapat

bercampur dengan air serta mudah diuapkan. Etanol mampu melarutkan berbagai

senyawa antara lain alkaloid, minyak atsiri, glikosida, kurkumin, kumarin,

antrakinon, flavonoid, steroid, klorofil serta sedikit lemak dan tanin (Taroreh,

2015). Secara umum metode ekstraksi dapat dibedakan berdasarkan energi yang

digunakan dan bentuk fase bahan yang diekstraksi. Berdasarkan bentuk fasenya

ekstraksi dibedakan menjadi ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat, sedangkan

berdasarkan energi yang digunakan metode ekstraksi dibagi menjadi ekstraksi cara

panas yaitu refluks, sokletasi, destilasi, infundasi, dekoksi, dan ekstraksi cara dingin

meliputi perkolasi dan maserasi (Emilan., 2011).

14
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia paling sederhana menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. Secara teknis maserasi

termasuk ekstraksi dengan prinsip pencapaian kesetimbangan konsentrasi zat aktif

dalam sel dan pelarut. Kelemahan metode ini adalah waktu pengerjaan yang lama

dan proses ekstraksi yang mungkin tidak berjalan sempurna (Depkes RI, 2000).

Selama maserasi, proses perendaman dilakukan bersama dengan pengadukan

secara berulang-ulang. Upaya ini menjamin kesetimbangan zat terekstraksi dalam

cairan terjadi lebih cepat, sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan

turunnya perpindahan zat aktif. Secara teoritis, teknik maserasi tidak dapat

menghasilkan ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap

cairan penyari, semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994).

6. Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder adalah golongan senyawa yang terkandung dalam tubuh

organisme yang terbentuk melalui proses metabolisme sekunder yang disintesis dari

banyak senyawa metabolisme primer, seperti asam amino, asetil koenzim A, asam

mevalonat dan senyawa antara dari jalur shikimat. Metabolit sekunder pada

tanaman berfungsi sebagai perlindungan diri dari gangguan hama atau penyakit.

Metabolit sekunder juga dipercaya memiliki efek farmakologis yang dapat

dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat – obatan.

a. Flavonoid

Flavonoid adalah komponen polifenol yang terdiri dari 15 atom karbon dan 2

cincin aromatik yang dihubungkan oleh 3 ikatan karbon. Flavonoid merupakan

komponen fenol yang paling banyak dijumpai di tanaman. Flavonoid hampir

15
terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk buah, akar, daun dan kulit luar

batang (Lumbessy, 2013).

Flavonoid memiliki berbagai macam bioaktivitas. Beberapa bioaktivitas

yang ditunjukkan antara lain efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi, (Kalay,

2014). Selain itu flavonoid mampu menghambat enzim reduktase aldosa yang

mempunyai keterlibatan pada komplikasi diabetes seperti neuropati, penyakit

jantung dan retinopati, (Ghasemzadeh, 2011).

b. Polifenol dan Tanin

Senyawa fenol dapat di definisikan secara kimiawi oleh adanya satu cincin

aromatik yang membawa satu (fenol) atau lebih (polifenol) substitusi hidroksil,

termasuk derifat fungsionalnya. Polifenol adalah kelompok zat kimia yang

ditemukan pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak

gugus fenol dalam molekulnya. Salah satu contoh dari polifenol dalah tannin. Tanin

merupakan metabolit sekunder yang melimpah, umumnya terdapat pada tanaman

dengan persentase 5%-10% dari berat kering daun. Metabolit sekunder ini berkaitan

erat dengan mekanisme pertahanan tumbuhan. Tanin memiliki kemampuan

mempertahankan daun dari gangguan hewan dengan adanya efek toksisitas. Tanin

tidak berpengaruh pada pencernaan serangga herbivora namun berpengaruh pada

herbivora vertebrata karena dapat menurunkan pencernaan protein, (Berbehenn,

2011). Sesuai dengan struktur kimia dan sifat mereka, tanin dibagi menjadi dua

kelompok utama yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi .

Beberapa penelitian terakhir, mengemukakan bahwa tanin memiliki efek

positif sebagai antimikroba, antelmintik (Hassanpour, 2011). Penelitian lain juga

16
membuktikan bahwa tanin bisa dimanfaatkan sebagai salah satu senyawa

penunjang kesehatan. Beberapa penelitian tersebut membuktikan efek tanin sebagai

antioksidan (Malangngi, 2012), antidiare (Nurhalimah, 2015), antifertilitas

(Widiyani, 2006).

c. Saponin

Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida. Definisi saponin

didasarkan pada aktivitas permukaannya, saponin memiliki sifat seperti detergen,

memberikan busa stabil di air, menunjukkan sifat hemolitik, memiliki rasa pahit,

dan bersifat racun bagi ikan. Kandungan saponin tergantung pada faktor-faktor

seperti budidaya, usia, keadaan fisiologis dan lokasi geografis tanaman, (Sezgin,

2010).

Saponin memiliki beberapa fungsi seperti agen antibakteri dan antijamur,

kandungan saponin pada ekstrak tanaman juga berfungsi menghasilkan efek

penghambatan terhadap peradangan.

d. Alkaloid

Alkaloid adalah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan

heterosiklik dan terdapat pada berbagai tumbuhan. Asam amino, peptida, protein,

nukleotid, asam nukleik, gula amino dan antibiotik biasanya tidak digolongkan

sebagai alkaloid. Dengan prinsip yang sama, senyawa netral yang secara biogenetik

berhubungan dengan alkaloid termasuk dalam golongan ini (Lisdiyati, 2008).

Alkaloid menunjukkan beberapa efek farmakologisnya sebagai antipiretik pada

penelitian Yapian (2014), dan Lisdiyati (2008) serta memiliki efek anti inflamasi

pada penelitian (Maya, 2015)

17
7. Induksi Demam

Menurut Chairul (2000) demam adalah suatu keadaan faal tubuh berada di

atas suhu normal. Demam merupakan manifestasi sistemik yang paling sering

dilihat dari respon peradangan yang merupakan indikasi utama dari penyakit yang

disebabkan oleh infeksi, masuknya zat asing (virus, ragi, protozoa, zat kimia

tertentu, obat tertentu); atau karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh tertentu,

sehingga hipotalamus mengatur suhu tubuh pada titik di atas normal.

Dalam berbagai pengujian efek antipiretik, hal penting yang perlu

diperhatikan adalah penginduksi demam. Terdapat beberapa penelitian yang telah

menggunakan bermacam-macam bahan penginduksi demam pada hewan uji.

Bahan-bahan tersebut yaitu pepton, konsentrasi pepton yang digunakan yaitu 5%

atau 10% yang bekerja dengan adanya kandungan protein didalamnya yang

menyebabkan demam (Ibrahim, 2014). Vaksin DPT-HB yang merupakan

penginduksi demam lainnya bekerja dengan adanya kandungan toksin mikroba

Bordetella pertusis dalam vaksin sehingga mengakibatkan keluarnya respon

pertahanan tubuh yang mempengaruhi pusat termoregulasi hipotalamus untuk

meningkatkan suhu tubuh (Jansen, 2015) .

Ragi roti merupakan bahan yang biasa digunakan pada proses pembuatan roti

dan pembuatan bir. Ragi menyebabkan peningkatan level plasma tinggi yang terdiri

dari IL-1b, interferon-c, dan TNF alfa pada pengujian atau eksperimen pada

hewan,. Ragi yang dapat menginduksi demam disebut patogen demam karena dapat

meningkatkan sintesis prostaglandin. Model induksi dengan ragi berfungsi sebagai

pembuktian efek antipiretik dari bahan alami. Kelebihan dari pemakaian ragi

18
sebagai penginduksi demam yaitu bahan yang mudah didapat, murah, dan alami.

Bermacam-macam pengujian ragi sebagai induksi demam sering digunakan pada

pengujian hewan tikus dan kelinci. Ragi pada pengujian terhadap kelinci

menyebabkan demam pada semua kelinci, dan menghasilkan peningkatan

temperatur yang drastis (Ahmad, 2017).

19
B. Kerangka Pemikiran

PIROGEN FLAVONOID, TANIN,


POLIFENOL, SAPONIN

SITOKIN Biji Karika


(Vasconcellea
pubescens A.DC)
ENZIM
FOSPOLIPASE A2

ANTIPIRETIK
ASAM
ARAKIDONAT

ENZIM
SIKLOOKSIGENASE
(COX)

SINTESIS
PROSTAGLANDIN

DEMAM

Keterangan
Menghasilkan

Menghambat

Membantu/
Mempercepat proses

Gambar 4. Kerangka Pemikiran

20
C. Hipotesis

Dari tinjauan pustaka di atas, dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

1. Ekstrak etanol biji Karika (Vasconcellea pubescens A.DC) diduga memiliki

efek antipiretik pada tikus putih jantan.

2. Semakin tinggi dosis ekstrak etanol biji Karika (Vasconcellea pubescens

A.DC) diduga memiliki efek antipiretik lebih besar pada tikus putih jantan.

21
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental

laboratorium pre test- post test only control group design untuk memperoleh data

hasil. Metode ini melibatkan dua kelompok subjek, satu diberi perlakuan

(kelompok eksperimen) dan kelompok tanpa perlakuan (kelompok normal),

sehingga dapat memandingkan antar kelompok dan dapat melihat perbedaan antara

sebelum dan sesudah perlakuan.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2017 sampai Februari 2018.

Pemeliharaan tikus dan pengujian antipiretik dilakukan di Green House Sub

Laboratorium Biologi UNS dan pengujian kandungan kimia ekstrak biji karika

dilakukan di Laboratorium Farmasetika FMIPA UNS.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan responden yang digunakan pada penelitian

untuk mendapatkan hasil. Subjek dalam penelitian ini didasarkan pada rumus

Federer (1963) untuk mengetahui berapa minimal replikasi yang dilakukan, yaitu

sebagai berikut:

(k-1) (n-1) ≥ 15

(6-1) (n-1) ≥ 15

5 (n-1) ≥ 15

22
5n ≥ 15 + 5

n ≥ 4

Keterangan: k adalah jumlah kelompok dan n adalah jumlah subjek

dalam tiap kelompok. Pada penelitian ini jumlah subjek untuk tiap kelompok

sebanyak 5 ekor tikus (n ≥ 4). Jumlah kelompok tikus ada 6 sehingga penelitian ini

membutuhkan 30 ekor tikus.

Hewan uji yang digunakan yaitu tikus putih jantan galur wistar (Rattus

norvegicus) yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150 gram-200 gram.

Berdasarkan penelitian Yapian (2014) tikus putih jantan sebanyak 30 ekor

kemudian dibagi menjadi 6 kelompok kontrol yang terdiri dari : kontrol positif

dengan Parasetamol dosis 1,5ml/kgBB, kontrol negatif dengan aquadest, kelompok

ekstrak biji karika dosis 200, 400, dan 800mg/kgBB, serta kontrol normal.

C. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan 4 macam variabel, antara lain:

1. Variabel bebas : Dosis ekstrak etanol biji karika (Vasconcellea

pubescens A.DC)

2. Variabel tergantung : Penurunan suhu tikus

3. Variabel terkendali : Metode ekstraksi, karakteristik tikus (jenis kelamin,

galur, berat badan, umur), makanan, minuman, suhu ruangan, stress terhadap

adaptasi lingkungan percobaan, cara pemberian sediaan pada subjek.

23
4. Variabel luar tak terkendali : Variabel luar terkendali dalam penelitian ini

meliputi sensitivitas subjek terhadap zat yang diberikan, kondisi psikologis

subjek.

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat yang digunakan dalam pengujian antipiretik antara lain : Kandang tikus, toples,

sonde, syringe, jarum suntik (Onemed®), beker glass (Pyrex®), termometer digital

(Onemed®), stopwatch, timbangan analitik (Ohaus®), batang Pengaduk, tabung

reaksi, rak tabung reaksi, kaca Arloji, cawan porselen, pot salep, pipet, gelas ukur,

penangas air.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu buah karika yang

berasal dari dataran tinggi Dieng, etanol 70% (teknis), HCl (p.a), HCl 2 N, FeCl 3

1%, pereaksi dragendorff, Sanmol parasetamol (Sanbe Farma), aquadest, CMC-Na,

ragi (Na Kok Liong), WIDA NS NaCl 0,9% (PT Widatra Bhakti), alkohol, ekstrak

etanol biji karika, makanan hewan uji.

E. Prosedur Penelitian

1. Kelaikan Etik

Kelaikan etik berfungsi sebagai untuk memberikan perlindungan pada subjek

penelitian. Pada penelitian ini untuk mendapatkan surat kelaikan etik diajukan

proposal penelitian pada Rumah Sakit dr. Moewardi Surakarta.

24
2. Determinasi Buah Karika

Buah karika yang akan digunakan dideterminasi terlebih dahulu untuk

memastikan bahwa bagian tanaman yang akan digunakan sudah sesuai dengan ciri-

ciri morfologis yang ada pada kepustakaan. Buah karika yang berasal dari dataran

tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah telah dilakukan pemeriksaan dan

determinasi di Laboratorium Biologi FMIPA UNS.

3. Ekstraksi Biji Buah Karika

Ekstraksi biji karika dilakukan dengan metode maserasi menggunakan

pelarut etanol 70% pada suhu kamar (25oC). Pengadukan dilakukan selama 30

menit menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 200 rpm. Proses maserasi

dilakukan selama 5 hari. Setelah selesai dimaserasi, dilakukan penyaringan

sehingga terpisah bagian filtrat dan residu. Filtrat yang didapatkan kemudian

diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga menjadi ekstrak kental. Residu

yang sebelumnya didapat, kemudian dilakukan remaserasi. Maserat hasil

remaserasi kemudian diuapkan hingga mendapat ekstrak kental hasil remaserasi

(Susanti, 2012).

4. Uji Kandungan Kimia Ekstrak

a. Uji Organoleptis Ekstrak

Uji organoleptis bertujuan untuk mengetahui deskripsi ekstrak secara panca

indera, meliputi bau, bentuk, rasa, dan warna dari ekstrak.

25
b. Uji Kualitatif Flavonoid

Pemeriksaan dilakukan dengan Uji Bate-Smith yaitu isolat ditambahkan HCl

pekat lalu dipanaskan dengan waktu 15 menit di atas penangas air. Reaksi positif

jika memberikan warna merah (Achmad, 1986).

c. Uji Kualitatif Saponin

Uji kualitatif saponin dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak dengan

5 ml air yang telah dipanaskan di tabung reaksi, dan kemudian digojok dengan kuat-

kuat. Terbentuknya buih yang stabil merupakan indikasi dari saponin (Yadav,

2011).

d. Uji Kualitatif Polifenol dan Tanin

Uji tanin dilakukan menurut Sangi et al (2008) yaitu ekstrak sampel ditambah

etanol 70% sampai sampel terendam semuanya. Ditambahkan sebanyak 2-3 tetes

larutan FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam

kebiruan atau hijau kecoklatan (Edeoga, 2005).

e. Uji Kualitatif Alkaloid

Uji alkaloid dilakukan dengan terlebih dahulu melarutkan 1 gram ekstrak

buah ke dalam pelarutnya yaitu etanol 70%. Sebanyak 2 ml larutan tersebut

diuapkan pada cawan porselen menggunakan hot plate. Residu dilarutkan dengan

5 ml HCl 2N. Larutan yang diperoleh dibagi ke dalam 2 tabung reaksi. Tabung

pertama ditambah dengan 3 tetes HCl 2N dan tabung kedua ditambah dengan 3 tetes

pereaksi Dragendorff. Terbentuknya endapan menunjukkan bahwa sampel tersebut

mengandung alkaloid. Reaksi dengan pereaksi Dragendorff akan terbentuk endapan

jingga, (Minarno, 2015)

26
5. Persiapan Hewan Uji

Sebelum tikus diberi perlakuan, maka tikus harus diadaptasikan ± 7 hari.

Selama proses adaptasi ini tikus hanya diberi makan dan minum yang mencukupi

dan stabil.

6. Pembuatan Sediaan Uji

a. Pembuatan suspensi CMC-Na 0,25%

CMC-Na ditimbang sebanyak 0,25 gram dan dilarutkan dalam 100 ml air

hangat. Pemberian air hangat dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga

CMC-Na larut.

b. Pembuatan suspensi ragi 20%

Berdasarkan Ghauri et al (2017) pemberian larutan ragi diinjeksikan secara

subkutan dengan larutan ragi konsentrasi 20% dan dosis 20ml/kgBB. Ragi

sebanyak 10 gram ditimbang kemudian digerus hingga halus, dan dilarutkan dalam

NaCl 0,9% sebanyak 50 ml dengan ditambahkan sedikit demi sedikit diaduk ad

homogen. Larutan dibiarkan selama ±12 jam sebelum digunakan. Larutan ragi yang

diambil untuk diinduksi yaitu bagian atas endapan, dengan volume pemberian

disesuaikan berat badan.

c. Pembuatan larutan stok parasetamol dosis 1,5 ml/ kgBB

Larutan parasetamol yang diberikan sudah dalam bentuk sediaan sirup.

Volume pemberian ke tikus didasarkan berat badan tikus dan volume maksimal per

oral.

27
d. Pembuatan larutan stok ekstrak etanol biji karika (dosis 200 mg/200kgBB, 400

mg/kgBB, 800 mg/kgBB)

Pembuatan larutan stok dosis 1, 2, dan 3 dengan menggunakan panduan dosis

antipiretik Carica papaya 200 mg/kgBB bertingkat, yaitu 1, 2, dan 4 kali lipat

dengan dosis 200 mg/kgBB. Sebanyak 200mg, 400 mg, dan 800 mg ekstrak etanol

biji karika ditimbang, dan dilarutkan pada larutan CMC-Na 0,25% sedikit demi

sedikit ad homogen hingga volume larutan ekstrak mencapai 12,5 ml pada masing-

masing larutan stok dosis. Volume pemberian didasarkan berat badan tikus.

7. Kelompok Hewan Uji

Berdasarkan oleh penelitian Yapian (2014) kelompok perlakuan antara lain :

Kontrol Normal : Tidak diberi perlakuan dan tidak diberikan induksi ragi,

hanya mendapat makan dan minum.

Kontrol Negatif : Diberi perlakuan aquadest per oral 2,5 ml.

Kontrol Positif : Diberi perlakuan parasetamol sirup 1,5ml/kgBB

Kelompok Dosis 1 : Diberi perlakuan ekstrak etanol biji karika dosis

200mg/kgBB dalam 12,5 ml CMC-Na 0,25%.

Kelompok Dosis 2 : Diberi perlakuan ekstrak etanol biji karika dosis

400mg/kgBB dalam 12,5 ml CMC-Na 0,25%

Kelompok Dosis 3 : Diberi perlakuan ekstrak etanol biji karika dosis

800mg/kgBB dalam 12,5 ml CMC-Na 0,25%

28
8. Pengukuran Suhu Tikus

Pengukuran suhu tubuh tikus dilakukan secara rektal dengan mengukur suhu

awal tikus sebelum diinduksi dan sesudah diinduksi selama 3 jam. Lama efek

antipiretik diukur selama 6 jam dengan interval waktu 30 menit setelah pemberian

perlakuan. Prosedur pengukuran suhu sebagai berikut ini :

a. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor tikus putih jantan yaitu kelompok

dosis 1, kelompok dosis 2, kelompok dosis 3, kontrol positif, dan kontrol

negatif. Tikus putih jantan sebanyak 30 ekor dikelompokkan menjadi 5

kelompok perlakuan dan 1 kelompok normal dengan cara acak

b. Tikus putih jantan dipuasakan selama ± 12 jam sebelum perlakuan setelah

diadaptasikan selama 7 hari di tempat penelitian

c. Ditimbang bobot pada masing-masing tikus.

d. Diukur suhu rektal pada masing-masing tikus putih sebelum diberi perlakuan

sebagai suhu awal menggunakan termometer digital.

e. Tikus putih diinduksi demam secara subkutan di bagian tengkuk leher. Induksi

demam menggunakan larutan ragi konsentrasi 20% dosis 20ml/kgBB sebanyak

4 ml/200grBB, menggunakan syringe 5 ml.

f. Dilakukan pengukuran suhu 3 jam setelah penyuntikan larutan ragi konsentrasi

20% dosis 20 ml untuk mengetahui tikus mengalami demam.

g. Diberikan suspensi uji pada masing-masing kelompok perlakuan secara per

oral dalam bentuk suspensi, menggunakan sonde. Kelompok dosis 1, 2,

maupun 3 diberikan suspensi ekstrak biji karika dosis 200 mg/kgBB, 400

mg/kgBB, 800 mg/kgBB pada masing-masing tikus. Kelompok kontrol positif

29
diberikan dosis parasetamol sirup 1,5ml/kgBB sesuai berat badan, dan

kelompok kontrol negatif diberikan aquadest sebanyak 2,5 ml.

h. Diukur kembali suhu rektal tikus putih setelah diberi perlakuan sebagai 0’

(suhu 0 menit). Suhu rektal tikus putih diukur lagi sampai percobaan pada

menit ke-360 dengan interval 30 menit.

F. Analisa Data

Data penurunan suhu yang diperoleh kemudian dihitung AUC (Area Under

Curva) dengan rumus :


(𝑆𝑢ℎ𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚+𝑆𝑢ℎ𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ)
AUC= 𝑥 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟 𝑠𝑢ℎ𝑢
2

Rumus tersebut merupakan rumus luas area trapesium, interval antar suhu yang

digunakan adalah 30 menit karena pengukuran suhu dilakukan setiap 30 menit.

Data AUC diolah secara statistik menggunakan uji normalitas dan homogenitas lalu

dilanjutkan menggunakan uji Anova dan uji LSD apabila data yang diperoleh

normal dan homogen. Apabila data tidak terdistribusi secara normal dan homogen

maka dilakukan uji Kruskal Wallis dilanjutkan uji Mann Whitney. Uji anova adalah

uji untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok, sedangkan uji

LSD adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean antara 2 kelompok dengan

nilai sig. <0,05 (Murti, 1994).

30
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kelaikan Etik

Surat Kelayakan Etik atau Ethical Clearance (EC) merupakan suatu

keterangan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh Komisi Etik dan ditujukan

untuk penelitian-penelitian yang menggunakan data dari makhluk hidup. Hal ini

bertujuan agar penelitian yang akan dilakukan tidak melanggar etika dan data yang

digunakan dapat divalidasi. Nomor surat dari kelaikan etik yang didapatkan adalah

502/IV/HREC/2018 (Lampiran 2).

B. Uji Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan untuk mengetahui kebenaran identitas

tanaman yang digunakan, sehingga kesalahan dalam pengumpulan bahan penelitian

dapat dihindari. Buah karika yang diperoleh dari dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah

dideterminasi di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta berdasarkan Baker dan Brink (1963) dan

Carvalho (2013). Hasilnya menunjukkan bahwa biji yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan spesies Vasconcellea pubescens A.DC dengan famili

Caricaceae. (Lampiran 1)

C. Ekstraksi Biji Karika

Ekstraksi pada penelitian ini biji karika dengan maserasi. Maserasi

merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif

31
akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam

sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa

tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar

sel dan di dalam sel (Anggraini dan Ali, 2017). Metode maserasi digunakan karena

tidak membutuhkan alat yang rumit dan metodenya relatif sederhana. Selain itu

penggunaan metode maserasi juga dapat mempertahankan senyawa yang tidak

tahan terhadap pemanasan seperti flavonoid, saponin, tannin, dan polifenol

(Taroreh, 2015). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara

pengerjaan dan peralatan yang dipergunakan sederhana dan mudah diusahakan,

sementara kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya

kurang sempurna. Sebelum dilakukan maserasi biji buah karika dikeringkan

terlebih dahulu menjadi simplisia. Tujuan dibuat simplisia adalah agar metabolit

sekunder yang terkandung dalam biji karika tetap terjaga dan stabil dalam

penyimpanan.

Maserasi biji karika menggunakan pelarut etanol 70%. Penggunaan pelarut

ini selain dapat menghambat pertumbuhan jamur juga dapat mengekstraksi

senyawa metabolit sekunder baik polar maupun semipolar. Kelebihan lainnya dari

etanol 70% yaitu selektif menghasilkan bahan aktif secara optimal, bahan

pengganggu hanya dalam skala kecil dikarenakan kapang dan kuman sulit tumbuh

pada etanol yang konsentrasinya diatas 20% (Sani, 2014). Sifat flavonoid, tanin,

dan saponin yang ada pada biji karika merupakan senyawa larut dalam air dan dapat

diekstraksi pula menggunakan etanol 70%. Etanol 70% masih mengandung air

cukup banyak (30%) yang membantu proses ekstraksi sehingga sebagian senyawa

32
ada yang tertarik dalam etanol dan ada yang tertarik dalam air (Sani, 2014).

Remaserasi dilakukan pada ekstraksi ini dengan tujuan menarik kembali zat aktif

yang belum terekstrak di maserasi pertama. Rendemen maserasi yang didapat

sebesar 17,84% dan rendemen hasil remaserasi sebesar 4,837%. Rendemen

maserasi dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan, lama ekstraksi,

selektivitas pelarut dalam menyari metabolit sekunder, serta kuantitas metabolit

sekunder yang terdapat pada tanaman (Anggraini dan Ali, 2017).

D. Uji Kandungan Kimia Ekstrak

Uji kandungan kimia ekstrak dimaksudkan untuk mengetahui adanya

metabolit sekunder tertentu yang terkandung dalam ekstrak. Pada penelitian ini

digunakan reaksi warna. Analisis secara kualitatif dilakukan dengan uji kandungan

kimia ekstrak untuk mengetahui keberadaan senyawa flavanoid, saponin, alkaloid,

polifenol pada ekstrak etanol biji karika. Hasil uji kandungan kimia ekstrak tersaji

pada tabel 1

Tabel 1. Hasil Uji Kandungan Kimia Ekstrak


Jenis Skrining
No Teori (Sangi, 2008) Hasil Keterangan
Fitokimia
Flavonoid (Uji Warna merah
1. Warna merah Positif
Bate Smith) kecoklatan
Buih stabil
2. Saponin Buih yang stabil Positif
yang sedikit
Terbentuk endapan,
dan dengan pereaksi Terbentuk
3. Alkaloid Dragendorff akan endapan Negatif
membentuk endapan hitam
jingga
Polifenol dan Hitam kebiruan atau Warna hijau
4. Positif
Tanin hijau kecoklatan

33
a. Flavonoid

Hasil uji kandungan kimia ekstrak menunjukkan bahwa biji Vasconcellea

pubescens A.DC memiliki kandungan senyawa flavonoid. Dalam penelitian ini

dilakukan uji untuk mengidentifikasi senyawa flavonoid yaitu uji Bate-Smite.

Reaksi positif pada uji Bate-Smite ditunjukkan dengan adanya warna merah. Warna

merah pada uji flavonoid dikarenakan terbentuknya garam flavilium oleh reaksi

antara flavonoid dengan HCl (Achmad, 1986).

b. Saponin

Kandungan saponin pada sampel biji Vasconcellea pubescens A.DC

dinyatakan positif, yakni dengan munculnya busa setelah pengocokan. Sifat yang

dimiliki saponin antara lain mempunyai rasa pahit, membentuk busa yang stabil

dalam larutan air. Ditinjau dari rasa bijinya, kemungkinan biji Vasconcellea

pubescens A.DC memiliki rasa pahit. Menurut Robinson (1995) senyawa yang

memiliki gugus polar dan nonpolar bersifat aktif permukaan sehingga saat saponin

dikocok dengan air dapat membentuk misel. Pada struktur misel, gugus polar

menghadap ke luar sedangkan gugus nonpolarnya menghadap ke dalam, keadaan

inilah yang tampak seperti busa.

c. Alkaloid

Berdasarkan hasil pengujian terhadap sampel biji Vasconcellea pubescens

A.DC, diketahui bahwa sampel tersebut negatif alkaloid. Ketika ditetesi dengan

reagen Dragendroff, sampel biji Vasconcellea pubescens A.DC berubah warna

menjadi jingga kecokelatan, namun tidak dihasilkan adanya endapan. Tujuan

penambahan HCl pada uji alkaloid pada penelitian ini karena alkaloid bersifat basa

34
sehingga diekstrak dengan pelarut yang mengandung asam (Harborne, 1996). Pada

penelitian ini kemungkinan kompleks kalium alkaloid yang terbentuk tidak sampai

batas jenuh sehingga tidak mampu membentuk endapan dan dikarenakan uji

kandungan kimia kurang sensitif sehingga tidak mampu mendeteksi alkaloid pada

biji karika.

d. Tanin

Berdasarkan hasil uji kandungan kimia ekstrak, diketahui bahwa sampel biji

Vasconcellea pubescens A.DC positif mengandung senyawa polifenol dan tanin.

Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna yang terjadi pada saat penambahan

larutan FeCl3 1% yaitu warna hijau kehitaman, diperkirakan larutan FeCl3 1%

bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Pereaksi

FeCl3 dipergunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk

tanin (Robinson, 1995).

E. Kondisi Hewan Uji

Penelitian ini digunakan hewan uji berupa tikus jantan varietas Rattus

norvegicus galur Wistar sebanyak 30 ekor dengan umur 2-3 bulan dengan berat

badan 150-250 g. Rattus norvegicus merupakan hewan uji yang ideal karena

memiliki beberapa keunggulan diantaranya mudah penanganannya, relatif resisten

terhadap infeksi dan sangat cerdas. Rattus norvegicus tidak begitu bersifat fotofobik

seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak

begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada

dua sifat yang membedakan Rattus norvegicus dari hewan percobaan yang lain,

yaitu bahwa Rattus norvegicus tidak dapat muntah dikarenakan struktur anatomi

35
yang tidak lazim di tempat esofagus yang bermuara ke dalam lubang dan Rattus

norvegicus tidak mempunyai kandung empedu (UACC, 2009).

Tikus jantan digunakan sebagai hewan percobaan karena ukuran badannya

lebih besar dari pada mencit sehingga untuk hewan uji coba lebih menguntungkan,

jarang berkelahi dan dapat tinggal sendirian di dalam kandang. Tikus jantan dapat

memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya

siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus betina. Tikus jantan juga

mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih baik serta kondisi biologis

tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Mangkoewidjojo, 1988).

Sebelum memulai perlakuan, tikus diaklimatisasi selama satu minggu.

Aklimatisasi bertujuan untuk menghindari risiko timbulnya stres selama proses

transportasi serta menyeragamkan pola makan dan pola hidup dengan lingkungan

baru. Penimbangan berat badan tikus dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan

dan kesehatan hewan uji serta untuk menentukan dosis sediaan yang diberikan

terhadap hewan uji (Mangkoewidjojo, 1988).

F. Pengujian Antipiretik

1. Kelompok Perlakuan

Penelitian efek antipiretik ekstrak biji karika (Vasconcellea pubescens

A.DC) dilakukan terhadap 6 kelompok terdiri dari kelompok negatif yang

menggunakan aquadest sebanyak ½ volume maksimal peroral pada tikus yaitu 2,5

ml (Ermawati, 2010). Kelompok positif menggunakan parasetamol syrup dengan

dosis 1,5 ml/kgBB (Kalay, 2014). Penggunaan parasetamol untuk kontrol positif

karena parasetamol merupakan obat analgesik-antipiretik yang mempunyai resiko

36
efek samping gastrointestinal yang sedikit. Efek yang ditimbukan dalam

menurunkan suhu juga lebih cepat menggunakan parasetamol daripada obat obat

antipiretik yang lain seperti ibuprofen dan asetosal. Kelompok normal yang tidak

diberikan perlakuan apapun dan pemberian dosis ekstrak yang akan diujikan pada

hewan uji, yaitu dosis 200mg/kgBB, dosis 400mg/kgBB, dan dosis 800mg/kgBB.

Penetapan dosis tersebut didasarkan pada dosis penelitian Yapian (2014)

mengenai efek antipiretik ekstrak daun pepaya (Karika papaya L.). Pada dosis

200mg/kgBB ekstrak daun pepaya dapat memberikan efek antipiretiknya terhadap

tikus putih galur wistar. Pengacuan pada penelitian tersebut dengan pertimbangan

kesamaan genus serta kandungan senyawa metabolit yang serta didukung oleh

beberapa penelitian yang dlakukan oleh (Kumar, 2009), (Owoyele, 2008

(Setiyawan, 2005) dan (Ernitawati, 2004). Dalam penelitian ini, dosis yang dipakai

merupakan dosis bertingkat dari dosis ekstrak pepaya 200mg/kgBB, dengan alasan

untuk mengetahui pengaruh antipiretik dari ekstrak biji karika.

Ekstrak dibuat dalam bentuk suspensi menggunakan suspending agent CMC-

Na 0,25% sebelum diberikan ke tikus putih jantan untuk perlakuan. Pembuatan

sediaan stok dosis ekstrak dalam bentuk suspensi dikarenakan dapat

mendispersikan partikel obat (ekstrak) dalam cairan pembawanya. Penggunaan

CMC-Na sebagai suspending agent golongan selulosa berfungsi untuk

meminimalisir kelemahan dari sediaan suspensi yaitu kecepatan sedimentasi,

ketidakhomogenan, proses pendispersian lagi, dan viskositasnya. Adanya

penambahan CMC-Na maka dapat membentuk dispersi koloid dan meningkatkan

viskositas, selain itu proses sedimentasi tidak cepat terjadi karena partikel yang

37
tersuspensi akan terperangkap pada sistem tersebut dan tidak cepat mengendap

karena adanya gravitasi. Penggunaan konsentrasi suspensi 0,25% agar suspensi

yang didapat tidak terlalu kental dan mudah dicerna oleh hewan uji.

Pemakaian ragi sebagai induksi demam didasarkan pada penelitian Ghauri

(2017) dan Swantara (2017) yang membuktikan bahwa ragi dapat menaikkan suhu

tubuh karena meningkatkan sintesis dari prostaglandin. Kelebihan dari pemakaian

ragi sebagai penginduksi demam yaitu bahan yang mudah didapat, murah, dan

merupakan bahan alami. Suspensi ragi ini dibuat dengan konsentrasi 20%, yaitu

melarutkan 10 gram ragi dalam 50 ml larutan fisiologis NaCl. Pertimbangan

pemakaian NaCl sebagai pelarut dari ragi yaitu karena larutan tersebut isotonis

terhadap cairan sel. Namun, dalam pembuatannya, ragi tidak seluruhnya larut

kedalam NaCl. Ragi akan mengendap ke bawah larutan, dan beberapa larut

sehingga mengubah NaCl yang bening menjadi putih keruh karena pengadukan

ragi. Suspensi ragi yang telah dikerjakan dapat digunakan sebagai induksi demam

dengan cara mengambil larutan bagian atas endapan dan dapat menimbulkan

demam dalam kurun waktu 3 jam

Berdasarkan Faimin (2015) ragi terdiri dari khamir, bakteri asam laktat

(BAL), bakteri asam asetat (BAA), dan kapang. Karena mengandung adanya fungi

terutama khamir maka ragi berpotensi memiliki kandungan yang dapat memicu

timbulnya demam (Fitria, 2008). Mekanisme ragi menimbulkan demam yaitu

peningkatan suhu tubuh tikus akibat adanya mikroorganisme dalam ragi yang

dianggap sebagai benda asing oleh sistem kekebalan tubuh (Swantara, 2017). Hal

tersebut sama seperti mekanisme demam pada umumnya, dimana suhu tubuh akan

38
meningkat karena terdapat pirogen, yang terdiri dari pirogen endogen dan eksogen.

Dalam hal ini ragi yang mengandung khamir termasuk pirogen eksogen, yaitu

pirogen yang berasal dari luar tubuh.

2. Pengukuran Suhu Tikus Putih Jantan

Demam ditandai dengan adanya peningkatan suhu dan dalam percobaan ini

tikus dikatakan sudah mengalami demam apabila suhu tubuhnya telah meningkat

0,5 oC atau lebih (Tesema, 2015). Pengukuran suhu tubuh tikus dilakukan melalui

rektal. Menurut Tan dan Kirana Rahardja (2003) pengukuran melalui rektal

memiliki kelebihan yaitu memberikan suhu tubuh lebih tepat daripada sublingual

dan axillar yang menghasilkan suhu yang masing-masing ± 0,50°C dan 10°C lebih

rendah daripada semestinya. Hal ini dipengaruhi karena pengukuran lewat

sublingual dipengaruhi oleh penafasan mulut serta pengukuran axillar dipengaruhi

oleh suhu lingkungan luar.

Suhu tubuh dijaga keseimbangannya melalui mekanisme umpan balik dan

diatur oleh pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus ( Guyton, 2007 ).

Respon demam merupakan reaksi tubuh untuk menyeimbangkan suhu tubuh karena

adanya suatu zat pirogenik yang masuk kedalam tubuh sebagai zat asing yang

merupakan infeksi atau inflamasi. Zat pirogenik ini yang menginduksi

pembentukan prostaglandin yang bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan

reaksi demam. Prostaglandin disintesis melalui tiga langkah yaitu : perubahan

membran fosfolipid menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipase, asam

arakidonat akan disintesis oleh dua enzim siklooksigenase 1 dan 2 akan menjadi

39
protaglandin. Enzim siklooksigenase 2 apabila terkena rangsang dari zat pirogen

akan membentuk respon patologis seperti demam, inflamasi, dan infeksi. Maka

dari itu obat obatan antipiretik akan bekerja dengan menghambat enzim

siklooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin.

Hasil percobaan uji antipiretik dari ekstrak etanol biji karika yang diberikan

secara oral pada tikus putih jantan, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hasil pengukuran rata-rata suhu awal tikus dan suhu demam setelah 3 jam

Rata-rata Suhu Rektal Tikus (oC) ± SD


No Kelompok Perlakuan
t0 ta
1 Kontrol Negatif 36,07±0,642 36,9±0,704
2 Kontrol Positif 36,13±0,309 37,43±0,396
3 Kelompok Dosis1 35,49±0,563 36,93±0,292
4 Kelompok Dosis 2 35,26±0,267 36,71±0,363
5 Kelompok Dosis3 35,14±0,292 36,71±0,710
6 Kontrol Normal 35,38± 0,249 35,38± 0,249
Keterangan: t0 = suhu awal rektal tikus, ta= suhu rektal tikus setelah 3 jam induksi (suhu demam)

Dari tabel 2 hasil tersebut, terlihat adanya peningkatan suhu pada kelima

kelompok uji dari suhu awal ke suhu demam, sehingga berhasil mencapai keadaan

demam ditandai dengan kenaikan suhu >0,5 oC dengan rerata interval kenaikan

suhu antara 0,83°C sampai 1,47°C. Peningkatan suhu ini dicapai setelah 3 jam sejak

penyuntikan larutan ragi konsentrasi 20%. Setelah menunjukkan demam, maka

kelima kelompok uji diberikan larutan uji masing-masing dan dihitung suhunya

setelah pemberian larutan sebagai t0. Hasil pengukuran suhu rektal tikus selama 6

jam dengan interval waktu 30 menit ditunjukkan pada Gambar 5

40
Grafik Penurunan Suhu
38,50
38,0
37,50
37,0
Suhu (°C)

36,50 KPositif
36,0
KNegatif
35,50
Dosis1
35,0
34,50 Dosis2
34,0 Dosis3
33,50
T'0 3 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
jam
Waktu (menit)

Gambar 5. Penurunan rata rata suhu tubuh tikus putih jantan

Gambar 5 diatas menunjukkan penurunan suhu rektal rata rata kelima

kelompok perlakuan. Dapat dilihat 3 jam setelah induksi ragi yang diberikan

kelompok perlakuan telah menunjukkan kenaikan suhu. Kenaikan suhu tersebut

dapat dikatakan demam apabila suhu sudah meningkat lebih dari 0,5 derajat dari

suhu normal atau suhu awal (Tesema, 2015)

Gambar 5 diatas dapat terlihat perbedaan pada kontrol negatif dan kontrol

positif hal ini terbukti parasetamol dapat menurunkan demam hal ini dilatar

belakangi oleh obat penurun demam yang banyak digunakan oleh masyarakat

adalah parasetamol. Terlihat pada titik akhir pengukuran yaitu menit ke-360,

kontrol negatif masih pada titik suhu yang paling tinggi, disusul dengan kontrol

positif, dosis 1, dosis 2, dan dosis 3. Hal ini disebabkan tidak adanya perlakuan

pemberian antipiretik. Sedangkan pada dosis 1 dan dosis 2 dapat dilihat dari

41
penurunan grafiknya hampir menyamai dengan kontrol positif. Hal ini dapat

dikatakan bahwa sebenarnya pada dosis 1 dan 2 sudah memiliki efek antipiretik.

Pada dosis 3 terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kontrol positif.

Penurunan suhu pada dosis 3 terlihat lebih rendah dibandingkan pada kontrol

positif, artinya efek antipiretik yang dihasilkan pada dosis 3 lebih besar daripada

efek antipiretik yang dihasilkan oleh parasetamol. Naik turunnya suhu pada grafik

tiap kelompok disebabkan proses adsorbsi dan distribusi obat pada tubuh tikus.

Data yang akan dianalisis melalui SPSS adalah data AUC (Area Under

Curva). Area ini dihitung dari luas permukaan grafik yang berguna untuk

mengetahui efek antipiretik yang dihasilkan oleh masing masing kelompok. Hasil

rata rata AUC ditampilkan pada tabel 3, gambar 6 dan lampiran 10.

Tabel 3. Hasil AUC


Kelompok Rata rata AUC ± % CV
Kontrol Negatif 13446,9 ± 0,96%
Kontrol Positif 13268,1 ± 0,96%
Kontrol Normal 12727,65 ± 0,73%
Dosis 1 13392,15± 0,34%
Dosis 2 13397,55± 0,21%
Dosis 3 13153,66 ± 0,26%

GRAFIK RATA RATA AUC

13346,9 13392,15 13397,55


13286,1
13153,66

12727,65

KONTROL KONTROL DOSIS 1 DOSIS 2 DOSIS 3 KONTROL


NEGATIF POSITIF NORMAL

Gambar 6. Grafik rata rata AUC

42
G. Analisis Statistika

1. Uji normalitas

Uji normalitas adalah sebuah uji yang dilakukan dengan tujuan

untuk menilai sebaran data pada sebuah kelompok data atau

variabel, apakah sebaran data tersebut berdistribusi normal ataukah tidak.

Uji normalitas berguna untuk menentukan data yang telah dikumpulkan

berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal. Pada pengujian

normalitas digunakan uji Shapiro-Wilk dikarenakan data yang digunakan

kurang dari 50. Pengambilan keputusan dalam uji normalitas adalah apabila

sig < 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal atau dapat dikatakan

tidak normal, sedangkan apabila sig. >0,05 maka dapat dikatakan data

terdistribusi secara normal. Berdasarkan uji normalitas diketahui bahwa

kelima kontrol memiliki sig. > 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data

terdistribusi secara normal. Tabel uji normalitas dapat dilihat pada

Lampiran 9.

2. Uji Homogenitas

Dalam statistik uji homogenitas digunakan untuk mengetahui varian

dari beberapa populasi sama atau tidak. Uji ini biasanya dilakukan sebagai

prasyarat dalam analisis independent sample T test dan Anova. Asumsi

yang mendasari dalam analisys of varians (Anova) adalah dari beberapa

populasi adalah sama. Dasar pengambilan keputusan pada uji

homogenitas adalah jika nilai Sig. <0,05 (Effendi, 2017) maka dikatakan

bahwa varian dari dua atau lebih kelompok populasi data tidak sama,

43
sedangkan apbila Sig. >0,05 maka dikatakan varian dari dua atau lebih

kelompok populasi data adalah sama. Berdasarkan hasil uji homogenitas

Sig. 0,288 maka dapat dikatakan bahwa populasi data dari 6 kelompok

adalah sama. Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada lampiran 9

3. Uji Anova

Uji anova pada dasarnya bertujuan untuk membandingkan nilai rata rata

yang terdapat pada variable terikat di semua kelompok yang dibandingkan.

Dasar pengambilan keputusan pada uji anova adalah jika nilai Sig. > 0,05

maka rata rata sama, sedangkan jika nilai sig. <0,05 maka rata rata berbeda

(Effendi, 2017). Berdasarkan hasil dari uji anova dihasilkan nilai sig. <0,00

hal ini dikatakan bahwa rata rata penurunan suhu rektal tikus pada setiap

kelompok berbeda. Hasil uji Anova dapat dilihat pada lampiran 9

4. Uji LSD

Uji LSD bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap

dua atau lebih kelompok perlakuan. Dasar keputusan yang diambil adalah

jika nilai Sig. <0,05 maka memberikan perbedaan yang signifikan dan jika

nilai Sig. >0,05 maka hasil tidak memberikan perbedaan yang signifikan

(Effendi, 2017). Pengujian LSD dapat dilihat pada tabel 4

44
Tabel 4. Hasil Uji LSD
Kontrol Kontrol Kontrol
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3
Negatif Positif Normal
Kontrol
.008* .000* 0.337 0.386 .000*
Negatif
Kontrol
.000* 0.70 0.058 .026*
Positif
Kontrol
.000* .000* .000*
Normal
Dosis 1 0.924 .000*
Dosis 2 .000*
Dosis 3
Ket : * = berbeda signifikan.

Berdasarkan tabel 4 dapat dikatakan bahwa Kontrol negatif

memiliki perbedaan yang signifikan pada kontrol positif, dosis tiga dan

kontrol normal hal ini dikarenakan nilai sig <0,05 artinya kelompok

perlakuan antara kontrol negatif dengan kontrol positif, dosis 3 dan kontrol

normal memiliki perbedaan dalam penurunan suhu hal ini dapat dikatakan

bahwa kontrol positif dan dosis 3 (800mg/kgBB) terbukti memiliki efek

antipiretik. Sedangkan antara kontrol negatif dengan dosis 1 dan dosis 2

tidak memiliki perbedaan yang signifikan dikarenakan nilai Sig. >0,05 hal

ini dapat dikatakan bahwa dosis 1 dan dosis 2 sama sama tidak dapat

menurunkan suhu tubuh tikus secara signifikan. Kontrol normal

memberikan perbedaan signifikan di semua kelompok perlakuan

dikarenakan kelompok tersebut tidak mengalami perlakuan apapun. Suhu

awal hingga akhir pada grafik penurunan suhu kelompok normal cenderung

rendah dan stabil.

Perlakuan dosis 1 (200mg/kgBB), dosis 2 (400mg/kgBB) sudah

memiliki efek antipiretik namun tidak memberikan perbedaan yang

45
signifikan terhadap kontrol negatif dan kontrol positif dikarenakan kedua

tingkatan dosis ini belum mencapai kadar efektifitas minimal pada jendela

terapi. Sedangkan pada dosis 3 (800mg/kgBB) memberikan perbedaan yang

signifikan pada kontrol negatif dan kontrol positif dan dapat dikatakan dosis

3 inilah yang memiliki efek antipiretik paling besar diantara semua

kelompok. Hal ini dikarenakan pada dosis 800mg/kgBB memiliki

konsentrasi ekstrak yang paling besar diantara ketiga kelompok dosis,

sehingga efek antipiretik yang diberikan juga paling besar. Menurut (Rina,

2016) dari penetapan kadar flavonoid digunakan baku kuersetin memiliki

kadar rata rata 55,6 mg/g QE dapat digunakan sebagai antipiretik. Pada dosis

3 (800mg/kgBB) memiliki kandungan flavonoid yang paling besar

dibandingkan dengan dosis 1 (200mg/kgBB) dan dosis 2 (400mg/kgBB).

Penggunaan kuersetin sebagai baku standar dikarenakan kuersetin

merupakan salah satu golongan glikosida flavonoid yang banyak ditemukan

pada jenis tanaman. Kadar flavonoid total dinyatakan dalam mg/gram QE.

dapat larut dalam etanol. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar

flavonoid total ekstrak etanolik biji karika (Vanconcellea pubescens A.DC)

adalah adanya jenis senyawa flavonoid lain yang belum diketahui yang

memiliki gugus hidroksil sehingga dapat membentuk ikatan intermolekuler

dengan gugus hidroksil pada etanol dan mampu meningkatkan kelarutan

flavonoid dalam etanol, kandungan senyawa organik lain seperti senyawa

saponin dan senyawa tanin dalam ekstrak etanolik biji karika (Vanconcellea

46
pubescens A.DC) diduga bisa mempengaruhi kadar flavonoid total (Rina,

2017).

Metabolit sekuder seperti flavonoid, saponin, tanin dan polifenol

memiliki efek farmakologi yang dapat menyebabkan suhu tubuh tikus

menglami penurunan. Alkaloid memiliki efek antipiretik dengan cara

menjadi substrat pada enzim COX sehingga dapat menghambat enzim

tersebut dalam menyintesis prostagalandin (Lisdiyati, 2008) tetapi pada

ekstrak biji karika negatif mengandung alkaloid mungkin dikarenakan cara

uji kandungan kimia yang kurang sensitif dan kandungan alkaloid dalam biji

karika sedikit, maka dari itu perlu adanya kuntifikasi dari senyawa

metabolit.

Tanin dan polifenol dipercaya memiliki antioksidan yang tinggi

sehingga dapat membantu mempercepat penyembuhan suatu infeksi atau

radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Penelitian Agustin (2017) tentang

ekstrak etanol daun kipahit telah membuktikan bahwa senyawa metabolit

sekunder tanin juga menyebabkan efek antipiretik. Kandungan tanin sebagai

antipretik tersebut didukung juga dengan penelitian oleh Lisdiyanti (2008)

pada ekstrak daun belimbing wuluh serta Maya (2015) pada air batang

pisang kepok. Tanin sebagai senyawa dengan efek antipiretik bekerja

sebagai thermosetting yaitu dengan bekerja pada penghambatan sitokin

pirogenik yang memberikan pengaruh pada hipotalamus dalam pengubahan

suhu, (Lisdiyanti,2008).

47
Saponin memiliki khasiat sebagai antimikroba serta dapat mengurangi

inflamasi pada tubuh. Saponin sebagai senyawa metabolit sekunder dengan

efek antipiretik telah dibuktikan dengan penelitian Maya (2015) pada air

batang pisang kepok dan Yudistyawan (2012) tentang ekstrak umbi rumput

teki. Saponin pada efek antipiretik bekerja dengan cara menghambat

dehidrogenase jalur prostaglandin sehingga menghambat pengaktifan

prostaglandin, namun tidak berpengaruh pada sintesis prostaglandin.

Sedangkan flavonoid sebagai antipiretik bekerja sebagai aminobenzen

yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam

metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin (Freddy, 2007).

Penghambatan enzim siklooksigenase 2 menyebabkan penurunan produksi

prostaglandin sehingga set point termostat tubuh di hipotalamus diturunkan

kembali dan demam dapat turun (Sherwood 2001: Guyton, 2007)

Dibandingkan dengan senyawa metabolit lain, flavonoid memiliki

mekanisme kerja yang sama dengan parasetamol yang bekerja dengan

menghambat enzim siklooksigenase 2 (COX 2) yang berperan dalam

sintesis prostaglandin. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian

sebelumnya yang membuktikan bahwa tanaman yang mengandung

flavonoid memiliki efek antipiretik seperti tanaman bayam duri (Kumar,

2009), semak bunga putih (Owoyele, 2008), umbi bawang merah

(Setiyawan, 2005) dan brotowali (Ernitawati, 2004).

48
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Ekstrak etanol biji karika (Vasconcellea pubescens A.DC) positif

memiliki efek antipiretik pada tikus putih galur wistar akibat induksi

ragi

2. Dosis efektif ekstrak etanol biji karika (Vasconcellea pubescens A.DC)

adalah 800 mg/kgBB

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disarankan sebagai

berikut:

1. Perlu dilakukan pengujian antipiretik dengan metode lain dan fraksi

yang lebih banyak.

2. Perlu adanya identifikasi kuantifikasi senyawa metabolit sekunder pada

biji karika dalam menimbulkan efek antipiretik.

3. Perlu adanya pengujian antipiretik dengan agen induksi lain yang lebih

efektif dalam meningkatkan suhu tubuh.

49
Daftar Pustaka

Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Karnunika.

Ahmad, Saeed., Rehman, T., Abbasi, WM., 2017, In Vivo Evaluation of Antipyretic
Effects of Some Homeopathic Ultra-High Dilutions on Baker’s yeast-
induced fever on Similia Principle, Journal of Ayurveda and Integrative
Medicine, hh. 1-6.

Agustin,Firda., Andriyanto., Manalu, Wasmen, 2017, Eksplorasi Dosis Efektif


Ekstrak Etanol Daun Kipahit sebagai Antipiretik Alami, MKB, vol. 49
no. 3, hh. 139-144.

Anggraini, Devina Ingrid dan Ali, M. Mufti, 2017, Uji Aktivitas Antikolesterol
Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis)
Secara In Vitro, Jurnal Ilmiah Kesehatan, vol. 9, no. 1, hh. 1-6.

Armansyah, T. 2010, Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daun Kucing-


Kucingan (Acalypha indica L.) pada Tikus Putih (Rattus novergicus)
yang Diinduksi Parasetamol, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternaka, vol.
13, no. 6, hh. 292 – 298.

Backer, C.A. dan Brink, B.V.D., 1963, Flora of Java Vol. I, N.V.P Noordhoff,
Groningen.

Berbehenn, Raymond V and Constabel, C. Peter., 2011, Tannins in plant-herbivore


interactions, Journal Phytochemistry, vol. 72, no. 13, pp. 1551-1565.

Carvalho, F.A., 2013, e-Monograph of Caricaceae Versi 1,


http://herbaria.plants.ox.ac.uk/bol/caricaceae, 31 Mei 2018.

Chairul, 2000, Pengaruh Pemberian Ekstak Alkohol Akar Ilalang (Imperata


cylindrica L.) Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Tikus Putih Jantan,
Berita Biologi.vol.5, no.2. hh. 247-254.

Dalal, S., dan Zhukovsky D.S., 2006. Pathophysiology and Management of Fever.
J Support Oncol., 2006 (4), 9–16. Available from:
www.supportiveoncology.net/journal/articles/0401009.pdf. 29 Mei
2018.

Dewi, S.K., 2009, Analisis Strategi Pengembangan Usaha Industri Kecil Olahan
Karika, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

50
Depkes RI, 2000, Acuan Sediaan Herbal, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan, Jakarta.

Depkes RI, 2014, Farmakope Indonesia Edisi V, Kementerian Kesehatan RI,


Jakarta.

Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan
Pertama, Depkes RI, Jakarta.

Dienstag J.L., dan Isselbacher K.J. 2005. Toxic and Drug-inducated hepatitis in:
Kasoer D.L Braundwauld E., Faunci A.S, Hausser S.L, Longo D.L,
Jameson J.R, Harrison’s principle for medicine 16th edition.
United states of America: Mc Graw Hill.

Edeoga, H.O; D.E Okwu dan B.O Mbaebie., 2005, Phytochemical Constituents of
Some Nigerian Medicinal Plants, African Journal of
Biotechnology, vol. 4, no.7, hh. 685-688.

Efendi, Nur Rohman, 2017, Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Buah Karika
(Carica pubescens L.) Terhadap Aktivitas Lipid Peroxidation
(LPO) Hepar Tikus yang Diinduksi Parasetamol, Skripsi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.

Emilan, T., Kurni, A., Utami, B., Diyani, L.N. dan Maulana, A., 2011, Konsep
Herbal Indonesia : Pemastian Mutu Produk Herbal, UI, Jakarta.

Ermawati, Elly Fauziah, 2010, Efek Antipiretik Ekstrak Daun Pare (Momordica
Charantia l.) Pada Tikus Putih Jantan, Skripsi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Ernitawati, B. 2004. Efek Antipiretik Air Rebusan Batang Brotowali (Tinospora


crispa Miers.) pada Tikus Putih. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret.

Faimin, 2015, Analisis Kandungan Mikroorganisme Pada Ragi Pasar dan


Potensinya Sebagai Starter Fermentasi Biji Kakao (Theobroma
cacao L.) , Skripsi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
Darussalam, Banda Aceh.

Federer, W. 1963. Experimental Design, Theory, and Application. Mac. Millan,


New York.

51
Fitria, Laila., 2008, Kualitas Udara dalam Ruang Perpustakaan Universitas ”X”
Ditinjau dari Kualitas Biologi, Fisik, dan Kimiawi, Makara
Kesehatan, vol. 12, no. 2, hh. 76-82.

Fitriningrum, R., Sugiyarto, Susilowati, A., 2013, Analisis kandungan karbohidrat


pada berbagai tingkat kematangan buah karika (Vasconcellea
pubescens A.DC) di Kejajar dan Sembungan, Dataran Tinggi
Dieng, Jawa Tengah, Bioteknologi, Vol.10 No. 1, 6-14.

Freddy I.W. 2007. “Analgesik, antipiretik, Anti Inflamasi Non Steroid dan Obat
Pirai”. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 209-
217.

Ganong W.F. 2005. Pengaturan sentral fungsi visera. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 22. Alih bahasa: M. Djauhari W. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 236-7.

Gelfand J.A. 2005. Fever and hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL (eds). Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 16th Ed. Vol II. New York: The McGraw-
Hill Companies.

Guyton A.C. 2007. Suhu tubuh, pengaturan suhu tubuh, dan demam. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Alih bahasa: Petrus Adrianto.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 944-5.

Ghasemzadeh, Ali dan Ghasemzadeh, Neda., 2011, Flavonoids and Phenolic Acids:
Role and Biochemical Activity in Plants and Human, Journal of
Medicinal Plants Research, vol. 5, no.31, pp. 6697-6703.

Ghasemzadeh A dan Jaafar HZE, 2011, Anticancer and Antioxidant Activities of


Malaysian Young Ginger (Zingiber officinale Roscoe) Varieties
Grown Under Different CO2 Concentration. J. Med. Plant Res.,
vol.5, no.14, pp. 3247-3255.

Ghauri, Mohsin Ahmad., 2017, In-vivo Evaluation of Analgesic, Anti-


Inflammatory and Anti-pyretic Activity of Aqueous Methanolic
Extract of Jatropha gossypifolia, African Journal of Pharmacy and
Pharmacology, vol. 11, no.30, hh. 355-361.

Harbone, J. 1996. Metode fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Cetakan Kedua. Penerjemah: Padmawinata,K dan L
Soediro. Bandung:Penerbit ITB.

52
Hassanpour S. 2011, Effect of Condensed Tannin on Controlling Faecal Protein
Excretion in Nematode-Infected Sheep: in Vivo Study. J. Amer.
Sci., vol.7, no.5.

Hidayat, S., 2000, Prospek Pepaya Gunung (Vasconcellea pubescens A.DC Lenne
& K. Koch) dari Sikunang, Pegunungan Dieng, Wonosobo, UPT
Balai Pengembangan Kebun Raya LIPI, Bogor.

Ibrahim, Nurhalifah.,Yusriadi dan Ihwan, 2014, Uji Efek Antipiretik Kombinasi


Ekstrak Etanol Herba Sambiloto (Andrographis paniculata
Burm.F. Nees.) dan Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus),
Online Jurnal of Natural Science, vol. 3, no. 3, hh. 257-268.

Integrated Taxonomic Information System.2017. Vasconcellea pubecens. Dikutip


dari https://www.itis.gov/Vasconcellea-pubecens. 25 Maret 2018.

Irma, Gilang. 2007. Tanaman Obat Untuk Penderita Kanker. Dikutip dari
http://www.docudesk.com. 30 Maret 2018.

Jaelani. 2007. Khasiat Buah Karika. Yogyakarta: Kanisius.

Jansen, Ivana., Jane Wuisan dan Henoch Awaloei, 2015, Uji Efek Antipiretik
Ekstrak Meniran (Phyllantus niruri L.) Pada Tikus Wistar (Rattus
norvegicus) Jantan yang Diinduksi Vaksin DPT-HB, Jurnal e-
Biomedik (eBm), vol. 3, no.1, hh. 470-474.

Kalay S, 2014, Uji Efek Antipiretik Ekstrak Etanol Daun Prasman (Eupatorium
triplinerve Vahl.) Pada Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus
norvegicus L.) yang Diinduksi Vaksin DTP HB, Pharmacon
Jurnal Ilmiah Farmasi, vol. 3, no.3, hh. 182-187.

Katzung B.G., dan Trevor, A.J. 2002. Drug Interactions in Master, S., B.,
Pharmacology, Sixth Edition, 531. Lange Medical Book/McGraw-
Hill: New York.

Kumar B.S.A., Lakshman K., Jayaveera K.K.N., Shekar D.S., Muragan C.S.,
Manoj B. 2009. Antinociceptive and antipyretic activities of
Amaranthus viridis Linn in different experimental models.
Avicenna J Med Biotech. 1(3): 167-71.

Lisdiyanti, 2008, Uji Daya Antipiretik Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L.) Terhadap Penurunan Suhu Rektal Mencit (Mus
musculus) Betina, Skripsi, : Program Studi Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Malang, Malang.

53
Lucas L., Warner T.D., Vojnovic I., Mitchell J.A. 2005. Cellular mechanisms of
acetaminophen: role of cyclooxygenase. Faseb J express. Vol 22
No 2.

Lumbessy,Mirna. 2013, Uji total Flavonoid pada Beberapa Tanaman Obat


Tradisional di Waitina Kecamatan Mangoli Timur Kabupaten
Kepulauan Sula, Maluku Timur, Jurnal MIPA UNSRAT, vol.02,
no. 1, hh.50-55.

Mackowiak P.A., Bartlett J.G., Borden E.C. 1997. Concepts of fever: recent
advances and lingering dogma. J Clin Infect Dis. 25: 119-38.

Malangngi, Liberty., Sangi, Meiske dan Paendong, Jessy., 2012, Penentuan


Kandungan Tanin dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Buah
Alpukat (Persea americana Mill.), Jurnal MIPA UNSRAT Online,
vol 1, no.1, hh 5-10.

Mangkowidjojo. 1988, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba.


UI-Press, 10-15, 30-35.

Maya, Stanly Wasty.,Citraningtyas, Gayatri dan Lolo, Widya Astuty, 2015,


Phytochemical Screening and Antipyretic Effect of Stem Juice
from Kepok Banana (Musa paradisiaca L) on White Male Rats
Stain Wistar (Rattus norvegicus) Induced With DTP-HB,
PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT, Vol. 4 No. 1.

Minarno, Eko Budi. 2015. Skrining Fitokimia Dan Kandungan Total Flavanoid
Pada Buah Vasconcellea pubescens A.DC Lenne & K. Koch Di
Kawasan Bromo, Cangar, Dan Dataran Tinggi Dieng. El-Hayah. 5
(2) : Hal 73-82.

Murakami M. dan Kudo I. 2004. Recent advances in molecular biology and


physiology of the prostaglandin E2-biosynthetic pathway. J Prog
Lipid Res. 43: 3–35.

Murti B. 1994. Penerapan Metode Statistik Non Parametrik Dalam Ilmu-Ilmu


Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Nelwan R.H.H. 2006. Demam: Tipe dan Pendekatan, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
I. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp : 407-408.

Notosiswoyo M., Supardi S., Winarsih. 1998. Pengobatan sendiri terhadap demam,
batuk, pilek, dan pusing dengan obat kimia dan tradisional di
pedesaan. Media Litbangkes. Vol. 7(2).

54
Novalina, D., 2013, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Vasconcellea pubescens A.DC
dari Dataran Tinggi Dieng terhadap Bakteri Penyebab Diare, Tesis,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Nurhalimah, Hanny.,Wijayanti, Novita dan Widyaningsih, Tri Dewanti., 2015,


Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.)
Terhadap Mencit Jantan yang Diinduksi Bakteri Salmonella
thypimurium, Jurnal Pangan dan Agroindustri, vol. 3, no. 3, hh.
1083-1094.

Ockerman, H.W., 1983, Chemistry of Meat Tissue. 10th ed. Animal science
Departement The Ohio State University. The Ohio Agricultural
Research and Development Center, Ohio.

Owoyele B.V., Oguntoye S.O., Dare K., Ogunbiyi B.K., Aruboula E.A, Soladoye
A.O. 2008. Analgesic, anti-inflammatory and antipyretic activities
from flavonoid fractions of Chromolaena odorata. J Med Plants
Research. 2(9): 219-25.

Rahayu, E.S., dan Pribadi, P., 2012, Kadar Vitamin Dan Mineral Dalam Buah Segar
dan Manisan Basah Karika Dieng (Vasconcellea pubescens A.DC
Lenne & K.Koch), Biosaintifika, Vol. 4 No.2, 89-97.

Rina, W dan Nisa, F. 2017. Karakterisasi Ekstrak Biji Pepaya (Carica pubecens)
Serta Uji Antibakteri Terhadap Enteropathogenic Escherichia coli
Penyebab Diare pada Mencit Jantan. Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol.
12 No. 25.

Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Bandung


:Penerbit ITB, pp : 191-193.

Sabirin, M., Hardjono S., dan Respati S., 1994. Pengantar Praktikum Kimia
Organik II. UGM-Yogyakarta.

Sangi, M.; Runtuwene, M.R.J.; Simbala, H.E.I.dan Makang, V.M.A. 2008. Analisis
Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa
Utara.Chemistry Progress. Vol 1, hlm: 47-53.

Sani, Robby Nasrul., Nisa, Fitri Choirun., Andiani, Ria Dewi dan Maligan, Jaya
Mahar, 2014, Analisis Rendemen dan Skrining Fitokimia Ekstrak
Etanol Mikroalga Laut Tetraselmis chuii, Jurnal Pangan dan
Argoindustri, vol. 2, no.2, hh. 121-126.

Saumantera I.W. 2004. Pemanfaatan obat penurun panas oleh masyarakat angkah,
tabanan bali, dalam prosiding seminar nasional XXV Tumbuhan
obat Indonesia, pokjanas. Tawangmangu.

55
Satishkumar, T., Baskar, R., Shanmugam, S., Rajasekaran, P., Sadasivam, s., dan
Manikandan V. 2008. Optimation of flavonoids extaction from the
leaves of tabernaemontana heyneana wall. Using L16 Orthogonal
Design. Nature and Science. 6.(3): 10-21.

Setiyawan D. 2005. Efek Antipiretik Air Perasan Umbi Bawang Merah (Allium
ascalonicum Linn.) pada Tikus Putih Jantan. Skripsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sebelas Maret.

Sezgin, A.E Ceyhun and Artik, N., 2010, Determination of Saponin Content in
Turkish Tahini Halvah by Using HPLC, Advance Journal of Food
Science and Technology, vol. 2, no.2, pp. 109-115.

Sherwood L. 2001. Keseimbangan tubuh dan pengaturan suhu. Fisiologi Manusia


: dari sel ke sistem. Edisi 2. Alih bahasa: Brahm U.P. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 604-7.

Simmons D.L., Botting R.M., Hla T. 2004. Cyclooxygenase isozymes: the biology
of prostaglandin synthesis and inhibition. Pharmacol rev. 56:387-
437.

Sitompul B. 2003. Antioksidan dan penyakit aterosklerosis. Medika XXIX(6), pp:


373-7.

Soedibyo, S dan Souvriyanti, E. 2006. Gambaran Presepsi Orang Tua Tentang


Penggunaan Antipiretik sebagai Obat Demam. Sari Pediatri.

Susanti, Nurlaili., 2012, Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat Pada


Penataleksanaan Demam, Saintis, vol 1, no.1, hh. 55-64.

Suwertayasa, I Made Putra. 2013. Uji antipiretik ekstrak etanol daun tembelekan
(Latana camara L) pada tikus putih jantan galur wistar. Jurnal
Farmasi. Vol 25 no 11.

Swantara, I Made Dira., Rachman Riski Fatur dan Puspawati, Ni Made, 2017,
Aktivitas Antipiretik Ekstrak Etanol Kulit Buah Rambutan
(Nephelium lappaceum L.) Secara In Vivo dan Kandungan Fenolik
Totalnya, Jurnal Kimia, vol. 11, no. 2, hh. 107-112.

Tan dan Kirana Rahardja. 2007. Swamedikasi. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, pp : 41-44.

Taroreh, M., Raharjo, S., Hastuti P., dan Murdiati,A., 2015, Ekstraksi Daun Gedi
(Abelmoschus manihot L.) Secara Sekuensial dan Aktivitas
Antioksidannya, Agritech, Vol. 35 No. 3, 280-286.

56
Tesema, S dan Makonen, N. 2015. In Vivo Analgesic and Antipyretic Activities of
N Butanol and Water Fraction of Ocimum suave Aqueous Leaves
Extract in Mice. Ethiop J Health Sci. 25(2).

Thompson H.J. 2005. Fever: a concept analysis. J Adv Nurs 2005. 51(5): 484–92.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2007, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya Edisi Keenam,Elex Media, Jakarta: PT.
Gramedia.

UACC, 2009, Module 1. The Laboratory Mouse (Handling and Restrain), McGill Handout
Mouse Module Vol. 1, 1-21.

Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V, Penerbit Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widiyani, Tetri., 2006, Efek Antifertilitas Ekstrak Akar Som Jawa (Talinum
paniculatum Gaertn.) Pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan,
Buletin Penelitian Kesehatan, vol.34, no.3, hh. 119-128.

Wilmana, P.F. dan Gan, S. 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

Wilmana PF, Gan, S. 2007. Analgesik-antipiretik analgesic anti inflamasi non


steroid dan obat gangguan sendi lainnya Farmakologi dan terapi 5th
ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Yadav, RNS dan Munin Agarwala, 2011, Phytochemical Analysis of Some


Medicinal Plants, Journal of Phytology, vol.3, no. 12, hh. 10-14.

Yapian, Seila Apriliani.2014. Uji Efek Antipiretik Ekstrak Daun Pepaya (Carica
papaya L.) pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus), Skripsi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Yudistyawan, Hanny Friska, 2012, Efek Ekstrak Umbi Rumput Teki (Cyperus
rotundus L) Sebagai Antipiretik pada Tikus Wistar Jantan yang
Diinduksi Vaksin DPT-HB, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Jember, Jember.

57
LAMPIRAN

Lampiran 1. Determinasi

Gambar 7. Hasil Uji Determinasi Buah Karika

58
Lampiran 2. Surat Kelaikan Etik

Gambar 8. Surat Kelaikan Etik

59
Lampiran 3. Surat galur

Gambar 9. Surat Galur Tikus

60
Lampiran 4. Skema Proses Ekstraksi

Biji karika (Vancocellea


pubescenc AD.C) Determinasi Tanaman

Lab Biologi UNS


Sortasi basah Surakarta

Pencucian

Pengeringan dengan
Frezze Dryer

Sortasi kering

Penggilingan/
Penyerbukan

Maserasi dan remaserasi dengan


Etanol 70 %

Dipekatkan dengan evaporator


pada suhu 60 oC

Ekstrak kental

Uji kandungan kimia


ekstrak

Gambar 10. Skema Proses Ekstraksi

61
Lampiran 5. Skema Uji Kandungan Kimia Ekstrak
1. Uji Kualitatif Flavonoid (Uji Bate-Smith)

Gambar 11. Skema uji kualitatif flavonoid

2. Uji Kualitatif Saponin

Gambar 12. Skema uji kualitatif saponin

62
3. Uji Kualitatif Polifenol dan Tanin

Gambar 13. Skema uji kualitatif polifenol dan tanin

63
4. Uji Kualitatif Alkaloid

Gambar 14. Skema uji kualitatif alkaloid

64
Lampiran 6. Skema Perlakuan Terhadap Hewan Uji

5 Kelompok perlakuan 1 Kelompok


terdiri 5 tikus Normal

dipuasakan ditunggu

12 Jam sebelum perlakuan dengan interval 30


menit selama 6 jam
diukur

Suhu awal melalui rektal dengan termometer digital

disuntikkan

Ragi 20% sebanyak 4 ml melalui subkutan pada tengkuk

ditunggu

3 jam
diukur

Suhu rektal setelah injeksi


ragi
diberi

Suspensi Uji

Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol


Negatif : Positif : Dosis K1 : Dosis K2 : Dosis K1 :
Aquadestt Parasetamol EEBK dosis EEBK EEBK dosis
peroral Suspensi 200mg/ dosis 800mg/
2,5ml dosis kgBB 400mg/ kgBB
1,5 ml/kgBB kgBB

ditunggu

Dengan interval 30 menit selama 6 jam

Gambar 15. Skema uji antipiretik pada tikus putih jantan galur wistar

65
Lampiran 7. Perhitungan Dosis
1. Suspensi CMC-Na 0,25%

CMCNa ditimbang sebanyak 0,25 gram dan dilarutkan dalam 100 ml air hangat.
Pemberian air hangat dilakukan sediki demi sedikit sambil diaduk hingga CMCNa

2. Suspensi Ragi 20%

Suspensi penginduksi demam yaitu larutan ragi dibuat dalam konsentrasi 20%
dan dosis 20ml/kgBB. Pemberian larutan secara subkutan berkisar 2-5 ml. Volume
pemberian disesuaikan dengan berat badan tikus.

a) Pembuatan suspensi ragi 20%


Sebanyak 10 gram ragi digerus kemudian dilarutkan dalam 50 ml NaCl
0,9% sambil diaduk hingga homogen. Larutan ditunggu selama ±12 jam sebelum
diinjeksikan ke tikus. Larutan yang diambil yaitu bagian atas endapan.
b) Dengan asumsi berat badan tikus 200 gram, maka jumlah larutan yang diberikan,
yaitu =

200 𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis pemberian = 20 ml x 1000 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 4 ml

3. Parasetamol Sirup dosis 0,3 ml/ 200grBB

Dengan pertimbangan dosis per oral Parasetamol menurut Chan dan Gennrich
(2004) yaitu 10-20 mg/kgBB/dosis per oral/1x pemberian, dan faktor konversi
dosis ke tikus yaitu 0,018 (untuk tikus 200 gr). Perhitungan dosis pemberian untuk
hewan uji tikus putih jantan sebagai berikut :

a) Dosis bagi manusia dengan asumsi berat badan 70 kg


= 10 mg/kgBB x 70 kg = 700 mg/70kgBB
b) Konversi dosis ke tikus dengan asumsi berat badan 200 mg
= 700 mg x 0,018 = 12,6 mg/200grBB

66
Maka diambil Parasetamol sirup sebanyak :

12,6 mg/200grBB
= x 2,5 ml
120 𝑚𝑔

= 0,2625 ml/200grBB dibulatkan menjadi 0,3ml/200grBB atau 1,5ml/kgBB

4. Ekstrak Etanol Biji Karika Dosis 200 mg/kgBB

Larutan stok 200mg/kgBB (40mg/200grBB) dibuat dengan pertimbangan dosis


200mg/kgBB pada asumsi berat badan tikus 200gr. Larutan diberikan secara per
oral pada masing-masing tikus sebanyak ½ volume maksimal yaitu 2,5 ml.
Perhitungan larutan stok yang dibuat sebagai berikut :

40𝑚𝑔 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Larutan stok =𝑎𝑑 2,5 𝑚𝑙 𝐶𝑀𝐶𝑁𝑎 0,25% x 5 tikus

= 200 mg ekstrak ad 12,5 ml CMCNa 0,25%

Pembuatannya yaitu melarutkan 200 mg ekstrak etanol biji karika pada 12,5ml
CMCNa 0,25% yang dicampurkan sedikit demi sedikit ad homogen. Apabila berat
badan tikus sebesar 183 gr, maka perhitungan volume larutan yang diberikan yaitu:

183 𝑔𝑟
V= 200 𝑔𝑟 x 2,5 ml = 2,2875 ml

5. Ekstrak Etanol Biji Karika Dosis 400mg/kgBB

Larutan stok 400mg/kgBB (80 mg/200grBB) dibuat dengan pertimbangan


dosis 400mg/kgBB pada asumsi berat badan tikus 200gr. Larutan diberikan secara
per oral pada masing-masing tikus sebanyak ½ volume maksimal yaitu 2,5 ml.
Perhitu3,ngan larutan stok yang dibuat sebagai berikut :

80𝑚𝑔 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Larutan stok =𝑎𝑑 2,5 𝑚𝑙 𝐶𝑀𝐶𝑁𝑎 0,25% x 5 tikus

= 400 mg ekstrak ad 12,5 ml CMCNa 0,25%

Pembuatannya yaitu melarutkan 400 mg ekstrak etanol biji karika pada


12,5ml CMCNa 0,25% yang dicampurkan sedikit demi sedikit ad homogen.

67
Apabila berat badan tikus sebesar 183 gr, maka perhitungan volume larutan yang
diberikan yaitu :

183 𝑔𝑟
V= 200 𝑔𝑟 x 2,5 ml = 2,2875 ml

6. Ekstrak Etanol Biji Biji Karika Dosis 800mg/kgBB

Larutan stok 800mg/kgBB (160 mg/200grBB) dibuat dengan pertimbangan


dosis 800mg/kgBB pada asumsi berat badan tikus 200gr. Larutan diberikan secara
per oral pada masing-masing tikus sebanyak ½ volume maksimal yaitu 2,5 ml.
Perhitungan larutan stok yang dibuat sebagai berikut :

160𝑚𝑔 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Larutan stok =𝑎𝑑 2,5 𝑚𝑙 𝐶𝑀𝐶𝑁𝑎 0,25% x 5 tikus

= 800 mg ekstrak ad 12,5 ml CMCNa 0,25%

Pembuatannya yaitu melarutkan 800 mg ekstrak etanol biji karika pada


12,5ml CMCNa 0,25% yang dicampurkan sedikit demi sedikit ad homogen.
Apabila berat badan tikus sebesar 183 gr, maka perhitungan volume larutan yang
diberikan yaitu :

183 𝑔𝑟
V= 200 𝑔𝑟 x 2,5 ml = 2,2875 ml

68
Lampiran 8. Hasil Uji Kandungan Kimia Ekstrak

Skrining Fitokimia Gambar Hasil

Flavonoid Positif

Saponin Positif

Alkaloid Negatif

Tanin Positif

69
Lampiran 9. Tabel pengukuran suhu
Berat Vol
Tikus suhu awal 3 jam 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
Badan Pemberian
Kontrol Positif (gram) (ml)
1 154 0,23 36,2 36,9 38,05 37,1 36,3 36,85 37,3 37,25 37,05 37,2 36,95 36,9 36,6 36,3 36,35
2 152 0,22 36,55 37,9 38 37,15 36,9 36,6 36,55 36,65 37,65 36,9 36,6 36,2 36,6 36,8 36,25
3 140 0,21 36,25 37,45 37,75 37,25 36,75 37,35 36,1 37,6 36,55 36,5 36,25 36,2 36,3 36,7 36,25
4 169 0,25 35,8 37,7 37,95 38 37,8 38,35 37,6 38,1 37,65 37,05 37,6 37,3 36,9 36,55 36,3
5 149 0,22 35,85 37,2 37,65 37,25 36,55 36,25 36,45 36,6 36,45 36,9 36,7 36,35 36,4 36,25 36,15
rata rata 152,8 36,13 37,43 37,88 37,35 36,86 37,08 36,8 37,24 37,07 36,91 36,82 36,59 36,56 36,52 36,26
Tikus suhu awal 3 jam 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
Kontrol Negatif 1 224 2,5 37,05 38 38,4 38,05 37,75 37,3 37,35 37,3 37 37,65 37,8 36,55 36,7 37,3 36,4
2 252 2,5 36 36,5 37,5 37,6 37,65 37,9 37,4 37,55 37,5 37,35 37,35 37,4 36,5 36,6 36,75
3 190 2,5 35,8 36,3 38,2 38 37,55 37,9 37,4 37,35 37,65 37,2 35,9 35,65 35,5 35,2 35,45
4 238 2,5 35,3 36,5 36,8 37,65 38,3 37,45 38,4 37,9 37,65 37,55 37,35 38,5 38,2 38 37,9
5 241 2,5 36,2 37,2 38,4 38,5 37,5 37,05 37,8 37,2 38,35 37,2 37,05 36,65 36,8 36,85 37
rata rata 229 36,07 36,9 37,86 37,96 37,75 37,52 37,67 37,46 37,63 37,39 37,09 36,95 36,74 36,79 36,7
Tikus suhu awal 3 jam 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
Dosis 1 Biji 1 241 3 35,4 36,9 37 37,3 37,65 37,7 37,8 37,1 37,5 36,45 36,55 36,5 36,5 36,75 35,95
2 230 2,87 35,9 36,85 37 37,15 37,8 38,05 38,15 37,8 37,35 36,95 36,8 36,6 36,65 36,5 36,3
3 199 2,48 34,7 36,5 36,55 36,65 37,05 37,1 37,35 37,15 37,1 37,1 36,75 36,8 36,6 36,4 36,25
4 228 2,85 36,15 37,25 38,05 38,15 38,05 38,15 38,35 38 37,7 37,55 37,65 36,95 36,6 36,5 36,7
5 229 2,86 35,3 37,15 37,35 37,55 38,15 38,25 38,3 37,7 37,35 37 36,75 36,6 36,7 36,65 36,3
rata rata 225,4 35,49 36,93 37,19 37,36 37,74 37,85 37,99 37,55 37,4 37,01 36,9 36,69 36,61 36,56 36,3
Tikus suhu awal 3 jam 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
Dosis 2 Biji 1 158 1,9 35,4 36,45 36,95 37,1 37,25 37,65 38,25 37,3 37,65 37,55 37 36,85 36,8 37 36,75
2 165 2 35,65 36,55 37,4 37,25 37,8 37,75 37,85 37,3 37,55 37,55 36,55 35,7 36,45 36,5 35,9
3 193 2,43 35,05 37,35 37,7 38,05 38,2 38,35 37,8 37,85 37,45 37,95 36,75 36,6 36,55 36,4 35,95
4 148 1,85 35,2 36,6 37,7 37,4 38 38,35 37,45 37,35 36,8 37,6 37 36,25 36,35 36,2 35,7
5 168 2,1 35 36,6 37 37 37,45 38,2 37,95 38,15 37,5 37,25 36,75 36,65 36,45 36,4 36,6
rata rata 166,4 35,26 36,71 37,35 37,36 37,74 38,06 37,86 37,59 37,39 37,58 36,81 36,41 36,52 36,5 36,18
Tikus suhu awal 3 jam 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
Dosis 3 Biji 1 183 2,28 35,55 36,7 37,2 37,2 37,05 36,75 36,35 36,85 36,4 36,3 36 35,9 36,7 36,2 35,95
2 193 2,41 35,1 36,75 37,3 37,95 37,05 36,6 36,55 37,1 36,2 35,75 36,3 36,05 36,2 36,3 36,3
3 120 1,5 35,25 37,75 37 37,8 37,75 37 36,1 36,05 36,5 36,35 37,1 36,55 36,35 35,7 35,7
4 194 2,42 34,75 35,75 36,5 36,55 37,35 36,8 37,05 36,7 37 36,7 36,65 36,2 35,8 35,55 35,25
5 208 2,6 35,05 36,6 36,6 36,9 36,85 36,65 36,4 36,4 36,2 36,3 36,7 36,05 36 36,05 35,45
rata rata 176,9 35,14 36,71 36,92 37,28 37,21 36,76 36,49 36,62 36,46 36,28 36,55 36,15 36,21 35,96 35,73
Tikus 0' 30' 60' 90' 120' 150' 180' 210' 240' 270' 300' 330' 360'
kontrol normal 1 196 35,65 35,5 35,2 35,55 35,15 34,9 34,95 35,15 35,25 35,1 35,1 35,1 35,3
2 213 35,45 35,3 35,3 35,5 35,55 35,5 35,6 35,55 35,1 35,25 35,15 35,5 35,3
3 245 35,55 35,65 36 35,45 35,25 35,55 35,65 35,45 35,65 35,15 35 34,9 35,5
4 203 35,2 35,55 35,5 35,5 35,4 35,4 35,8 35,4 35,25 35,1 35,5 35,3 35,1
5 187 35,05 35,3 35,4 35,2 35,45 35,6 35,35 35,55 35,45 35,4 35,2 35,2 35
rata rata 208,8 35,38 35,46 35,48 35,44 35,36 35,39 35,47 35,42 35,34 35,2 35,19 35,2 35,24

70
Lampiran 10. Data AUC
Tikus ke 0-30 30-60 60-90 90-120 120-150 150-180 180-210 210-240 240-270 270-300 300-330 330-360 JUMLAH AUC RATA RATA AUC SD CV
1 1146,75 1137 1125,75 1119,75 1119,75 1114,5 1119,75 1131,75 1115,25 1098,75 1110 1105,5 13444,5
2 1126,5 1128,75 1133,25 1129,5 1124,25 1125,75 1122,75 1120,5 1121,25 1108,5 1096,5 1100,25 13437,75
3 1143 1133,25 1131,75 1129,5 1121,25 1125 1122,75 1096,5 1073,25 1067,25 1060,5 1059,75 13263,75 13446,9 129,3759783 0,96%
4 1116,75 1139,25 1136,25 1137,75 1144,5 1133,25 1128 1123,5 1137,75 1150,5 1143 1138,5 13629
5 1153,5 1140 1118,25 1122,75 1125 1133,25 1133,25 1113,75 1105,5 1101,75 1104,75 1107,75 13459,5
Tikus ke 0-30 30-60 60-90 90-120 120-150 150-180 180-210 210-240 240-270 270-300 300-330 330-360 JUMLAH AUC RATA RATA AUC SD CV
1 1127,25 1101 1097,25 1112,25 1118,25 1114,5 1113,75 1112,25 1107,75 1102,5 1093,5 1089,75 13290
2 1127,25 1110,75 1102,5 1097,25 1098 1114,5 1118,25 1102,5 1092 1092 1101 1095,75 13251,75
3 1125 1110 1111,5 1101,75 1105,5 1112,25 1095,75 1091,25 1086,75 1087,5 1095 1094,25 13216,5 13286,1 127,717535 0,96%
4 1139,25 1137 1142,25 1139,25 1135,5 1136,25 1120,5 1119,75 1123,5 1113 1101,75 1092,75 13500,75
5 1123,5 1107 1092 1090,5 1095,75 1095,75 1100,25 1104 1095,75 1091,25 1089,75 1086 13171,5
Tikus ke 0-30 30-60 60-90 90-120 120-150 150-180 180-210 210-240 240-270 270-300 300-330 330-360 JUMLAH AUC RATA RATA AUC SD CV
1 1114,5 1124,25 1130,25 1132,5 1123,5 1119 1109,25 1095 1095,75 1095 1098,75 1090,5 13328,25
2 1112,25 1124,25 1137,75 1143 1139,25 1127,25 1114,5 1106,25 1101 1098,75 1097,25 1092 13393,5
3 1098 1105,5 1112,25 1116,75 1117,5 1113,75 1113 1107,75 1103,25 1101 1095 1089,75 13273,5 13392,15 98,97925919 0,73%
4 1143 1143 1143 1147,5 1145,25 1135,5 1128,75 1128 1119 1103,25 1096,5 1098 13530,75
5 1123,5 1135,5 1146 1148,25 1140 1125,75 1115,25 1106,25 1100,25 1099,5 1100,25 1094,25 13434,75
Tikus ke 0-30 30-60 60-90 90-120 120-150 150-180 180-210 210-240 240-270 270-300 300-330 330-360 JUMLAH AUC RATA RATA AUC SD CV
1 1110,75 1115,25 1123,5 1138,5 1133,25 1124,25 1128 1118,25 1107,75 1104,75 1107 1106,25 13417,5
2 1119,75 1125,75 1133,25 1134 1127,25 1122,75 1126,5 1111,5 1083,75 1082,25 1094,25 1086 13347
3 1136,25 1143,75 1148,25 1142,25 1134,75 1129,5 1131 1120,5 1100,25 1097,25 1094,25 1085,25 13463,25 13397,55 45,90833258 0,34%
4 1126,5 1131 1145,25 1137 1122 1112,25 1116 1119 1098,75 1089 1088,25 1078,5 13363,5
5 1110 1116,75 1134,75 1142,25 1141,5 1134,75 1121,25 1110 1101 1096,5 1092,75 1095 13396,5
Tikus ke 0-30 30-60 60-90 90-120 120-150 150-180 180-210 210-240 240-270 270-300 300-330 330-360 JUMLAH AUC RATA RATA AUC SD CV
1 1116 1113,75 1107 1096,5 1098 1098,75 1090,5 1084,5 1087,5 1089 1093,5 1082,25 13157,25
2 1128,75 1125 1104,75 1097,25 1104,75 1099,5 1079,25 1080,75 1085,25 1083,75 1087,5 1089 13165,5
3 1122 1133,25 1121,25 1096,5 1082,25 1088,25 1092,75 1101,75 1104,75 1093,5 1080,75 1071 13188 13153,65 28,37835883 0,21%
4 1095,75 1108,5 1112,25 1107,75 1106,25 1105,5 1105,5 1100,25 1092,75 1080 1070,25 1062 13146,75
5 1102,5 1106,25 1102,5 1095,75 1092 1089 1087,5 1095 1091,25 1080,75 1080,75 1087,5 13110,75
Tikus ke 0-30 30-60 60-90 90-120 120-150 150-180 180-210 210-240 240-270 270-300 300-330 330-360 JUMLAH AUC RATA RATA AUC SD CV
1 1067,25 1060,5 1061,25 1060,5 1050,75 1047,75 1051,5 1055,25 1055,25 1053 1053 1056 12672
2 1061,25 1059 1062 1065,75 1065,75 1066,5 1067,25 1059,75 1055,25 1056 1059,75 1062 12740,25
3 1068 1074,75 1071,75 1060,5 1062 1068 1066,5 1066,5 1062 1052,25 1048,5 1056 12756,75 12727,65 33,3028715 0,26%
4 1061,25 1065,75 1065 1063,5 1062 1068 1068 1059,75 1055,25 1059 1062 1056 12745,5
5 1055,25 1060,5 1059 1059,75 1065,75 1064,25 1063,5 1065 1062,75 1059 1056 1053 12723,75

71
Lampiran 11. Uji statistika

a. Normalitas
Tujuan: Mengetahui distribusi data AUC suhu rektal tikus putih
jantan sebagai syarat uji One Way ANOVA
Hipotesis:
Ho = data AUC suhu rektal terdistribusi normal
Ha = data AUC suhu rektal tidak terdistribusi normal
Signifikansi: 0,05
Kriteria Pengujian:
Jika p >0,05; maka Ho diterima dan Ha ditolak
Jika p <0,05; maka Ho ditolak dan Ha diterima

Tests of Normality
DOSIS Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

.272 5 .200* .919 5 .522


kontrol negative

.288 5 .200* .858 5 .220


kontrol positif

.141 5 .200* .987 5 .969


dosis 1
AUC_SUHU
.171 5 .200* .967 5 .857
dosis 2

.204 5 .200* .969 5 .869


dosis 3

kontrol normal .253 5 .200* .855 5 .210

72
b. Homogenitas
Tujuan: Mengetahui kesamaan variansi AUC
suhu rektal tikus putih jantan
Hipotesis:
Ho = data AUC suhu rektal bervariasi
homogen
Ha = data AUC suhu rektal tidak bervariasi
homogen
Signifikansi : 0,05
Kriteria Pengujian :
Jika p >0,05; maka Ho diterima dan Ha
ditolak
Jika p <0,05; maka Ho ditolak dan Ha
diterima

Test of Homogeneity of Variances


AUC_SUHU
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.324 5 24 .288

73
c. Anova
Tujuan: Mengetahui adanya perbedaan yang bermakna dari AUC suhu rektal
tikus putih jantan antar kelompok perlakuan
Hipotesis:
Ho = Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari AUC suhu rektal tikus
putih jantan antarkelompok perlakuan
Ha = Terdapat perbedaan yang bermakna dari AUC suhu rektal tikus putih
jantan antarkelompok perlakuan
Signifikansi : 0,05
Kriteria Pengujian :
Jika p > 0,05; maka Ho diterima dan Ha ditolak
Jika p < 0,05; maka Ho ditolak dan Ha diterima

ANOVA

AUC_SUHU
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 1813236.450 5 362647.290 46.425 .000

187475.175 24 7811.466
Within Groups
2000711.625 29
Total

74
d. LSD
Multiple Comparisons
Dependent Variable: AUC_SUHU
LSD
(I) DOSIS (J) DOSIS Mean Difference Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
(I-J) Lower Bound Upper Bound
kontrol positif 160.80000* 55.89800 .008 45.4322 276.1678
dosis 1 54.75000 55.89800 .337 -60.6178 170.1178
kontrol negative dosis 2 49.35000 55.89800 .386 -66.0178 164.7178
dosis 3 293.25000* 55.89800 .000 177.8822 408.6178
kontrol normal 719.25000* 55.89800 .000 603.8822 834.6178
kontrol negatif -160.80000* 55.89800 .008 -276.1678 -45.4322
dosis 1 -106.05000 55.89800 .070 -221.4178 9.3178
kontrol positif dosis 2 -111.45000 55.89800 .058 -226.8178 3.9178
dosis 3 132.45000* 55.89800 .026 17.0822 247.8178
kontrol normal 558.45000* 55.89800 .000 443.0822 673.8178
kontrol negatif -54.75000 55.89800 .337 -170.1178 60.6178
kontrol positif 106.05000 55.89800 .070 -9.3178 221.4178
dosis 1 dosis 2 -5.40000 55.89800 .924 -120.7678 109.9678
dosis 3 238.50000* 55.89800 .000 123.1322 353.8678
kontrol normal 664.50000* 55.89800 .000 549.1322 779.8678
kontrol negatif -49.35000 55.89800 .386 -164.7178 66.0178
kontrol positif 111.45000 55.89800 .058 -3.9178 226.8178
dosis 2 dosis 1 5.40000 55.89800 .924 -109.9678 120.7678
dosis 3 243.90000* 55.89800 .000 128.5322 359.2678
kontrol normal 669.90000* 55.89800 .000 554.5322 785.2678
kontrol negatif -293.25000* 55.89800 .000 -408.6178 -177.8822
kontrol positif -132.45000* 55.89800 .026 -247.8178 -17.0822
dosis 3 dosis 1 -238.50000* 55.89800 .000 -353.8678 -123.1322
dosis 2 -243.90000* 55.89800 .000 -359.2678 -128.5322
kontrol normal 426.00000* 55.89800 .000 310.6322 541.3678
kontrol negatif -719.25000* 55.89800 .000 -834.6178 -603.8822
kontrol positif -558.45000* 55.89800 .000 -673.8178 -443.0822
kontrol normal dosis 1 -664.50000* 55.89800 .000 -779.8678 -549.1322
dosis 2 -669.90000* 55.89800 .000 -785.2678 -554.5322
dosis 3 -426.00000* 55.89800 .000 -541.3678 -310.6322
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

75
Lampiran 12. Dokumentasi Proses Penelitian

Gambar 16. Aklimatisasi hewan uji Gambar 17. Penimbangan hewan uji

Gambar 18. Induksi suspensi ragi Gambar 19. Pengukuran suhu


20% melalui subkutan rektal tikus putih jantan

Gambar 20. Pemberian suspensi


uji per oral

76
77

Anda mungkin juga menyukai