Sistiserkosis pada manusia disebabkan oleh larva pada fase metacestoda dari cacing pita babi
Taenia solium dan meruakan masalah kesehatan yang banyak terjadi terutama di Negara
berkembang seperti amerika Latin, Asia dan Afrika. Manusia merupakan host definitive cacing
pita. Ketika pada stadium larva terjadi invasi ke dalam system saraf pusat hal itu akan
mneybabkan sistiserkosis / neurocysticercosis (NCC). T. solium merupakan salah satu zoonosis
yang dapat memberikan gejala-gejala berat khususnya ketika larva terdapat pada otak ataupun
mata. Larva menyebabkan gejala yang lebih ringan bilamana ditemukan di jaringan subkutan,
otot atau organ lain. Neurocysticercosis merupakan salah satu penyakit yang paling berbahaya
yang dapat mempengaruhi system saraf dan 30% menyebabkan kejang pada daerah endemic
(Mwape, 2013).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa di Afrika sekitar 7-22% manusia merupakan karier
atau pembawa cysticercosis. Di Zambia, ditemukan sekitar 5.8% sedangkan di Peru didapatkan
data bahwa kejadian sistiserkosis sekitar 25% (Mwape, 2013). Penyakit ini juga banyak
ditemukan di Indonesia, yaitu di daerah dimana masyarakatnya banyak mengonsumsi babi, yaitu
Bali dan Irian Jaya. Di Indonesia, papua merupakan salah satu daerah endemis dari sistiserkosis.
Prevalensi sistiserkosis pada manusia yang tinggal di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya
sebesar 41.3%-66.7%. Prevalensi sistiserkosis pada babi (porcine cysticercosis) berkisar antara
62.5%-77.8%, sedangkan prevalensi Taenia solium sebesar 15% (Subahar, 2005).
Pasien yang menderita sistiserkosis memperlihatkan tanda-tanda dan gejala klinis seperti
benjolan di bawah kulit, mengalami serangan kejang-kejang dan sakit kepala. Di samping itu
penderita sistiserkosis otak juga mengalami luka bakar (Subahar, 2005).
Penderita Taenia solium merupakan sumber utama penularan sistiserkosis pada manusia. Di
dalam suatu keluarga, jika salah satu anggota keluarga menderita taeniasis kemungkinan anggota
lainnya akan menderita sistiserkosis. Hal ini seperti terjadi di Meksiko yaitu satu anggota
keluarga menderita taeniasis, seringkali pada anggota keluarga lainnya didapatkan hasil seropositif terhadap antigen T. solium. Di Indonesia dilaporkan tentang 3 keluarga pemilik babi yang
tinggal di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Anti sistiserkosis antibody ditemuan pada 2 dari 3
pemilik babi tersebut (Subahar, 2005).
KRITERIA DIAGNOSTIK
1. Kriteria Absolut
a. Gambaran histopatologi dari parasit yang ada di jaringan pada biopsy otak atau spinal
b. Lesi cystic multipel dengan atau tanpa scolex pada CT-Scan atau MRI
2. Kriteria Mayor
a. Lesi yang besar kemungkinannya mengarah pada cysticercosis pada gambaran
neuroimaging
b. Resolusi spontan atau kalsifikasi
c. Serum EITB positif yaitu untuk mendeteksi adanya antibody yang melawan T. solium
3. Kriteria Minor
a. Munculnya beberapa karakteristik (gejala klinis) dari sistiserkosis
Kejang, deficit fokal nerurologis, peningkatan TIK, gangguan fungsi intelektualitas.
b. CSF ELISA positif
ELISA yang menggunakan CSF sensitivitasnya sekitar 87% dan 95% spesifik.
c. Sistiserkosis di luar system saraf pusat
d. Perburukan kondisi terhadap gejala yang ada atau munculnya gejala yang baru akibat
terapi antisistiserkal.
4. Epidemiologi
a. Alat-alat rumah tangga yang kontak dengan infeksi T. solium
b. Seseorang yang habis bepergian dari tempat endemis sistiserkosis
c. Seseorang yang sering bepergian atau travelling ke tempat-tempat endemis
(Winkler, 2013)
A. PEMERIKSAAN FISIK (Diagnosis Secara Klinis)
Berdasarkan klasifikasi NCC (Singh, 2012):
- Solitary Cerebral Cysticercus Granuloma (SCCG) lesi kecil-kecil bersoliter, lesi
generalized seizure, nyeri radikuler pada canalis spinalis disertai deficit motorik.
Intraventrikular NCC (di dalam system ventrikel obstruksi CSF)
Hidrosefalus dan Tanda-tanda peningkatan TIK
Cysticercoid Encephalitis
Adanya respon inflamasi yang parah di sekitar cyst.
Nyeri kepala yang memburuk (6 bulan terakhir), papilledema, atrofi saraf optik,
hiperrefleksia tendon, babinski (+)
Cysticercosis non-Encephalitis
CT-Scan menunjukkan area hipodens yang berisi skoleks kecil hiperintens dengan
-
sekelilingnya
Fase Nodul Granul
Cyst menarik dirinya dan terbentuk nodul granuloma, muncul gambaran jelas
DAFTAR PUSTAKA
Garcia, H., Evans, C., Nash, E., White, A., et al., 2002. Current Consensus Guidelines for
Treatment of Neurocysticercosis. American Society for Microbiology 15 (4): 747-756.
Kumar, Ravindra. 2004. Diagnostic Criteria for Neurocysticercosis: Some Modifications are
Needed for Indian Patients. Neurology Indian June 2004 Vol 52 Issues 2. King Georges
Medical University: India
Mwape, Kabemba. 2013. The Incidence of Human Cysticercosis in a Rural Community of
Eastern Zambia. March 2013 Vol 7 Issue 3: e2142
Pearson, R. 2009. Taeniasis solium and Cysticercosis (Pork Tapeworm Infection). Available
from: http://www.merckmanuals. Com/professional/sec14/ch184/ch184j.html. (Accessed
5 April 2011).
Singh, Gagandeep. 2012. Neurocysticercosis, Indian Scenario. Medicine Update 2012 vol 22
Subahar, Rizal. 2005. Taeniasis/Sistiserkosis Di Antara Anggota Keluarga Di Beberapa Desa,
Kabupatena Jayawijaya, Papua. Makara, Kesehatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2005: 9-14.
Universitas Indonesia: Jakarta.
Winler, Andrea. 2013. Epilepsy and Neurocysticercosis in Sub-Saharan Africa. Intechs:
Germany.
Wiria, A. 2008. Sistiserkosis. Dalam : Sutanto I., Ismid, I., Sjarifuddin, P., dan Sungkar, S., ed.
Buku Ajar Parasitologi Edisi 4 Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 86-89