Anda di halaman 1dari 12

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistiserkosis

Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan

oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae

pada inang antaranya, yaitu pada babi dan juga pada manusia. Taeniasis

merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari T. solium dewasa pada

manusia sebagai inang definitif. Kedua penyakit tersebut merupakan efek yang

ditimbulkan oleh perjalanan hidup T. solium dan digolongkan sebagai

siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis akibat siklus hidup agen yang

memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya.

Sistiserkosis akibat C. cellulosae dikenal dengan pork measles, beberasan

(Bali), manis-manisan (Tapanuli), banasom (Toraja). Ciri morfologi sistiserkus

berupa gelembung ellipsoid berukuran 6-10 x 5-10 mm (Gambar 2.1). Stuktur

tubuh C. cellulosae terdiri atas kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah.

Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan

antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang

dilengkapi dua baris kait (Noble & Noble 1989; Kusumamiharja 1992).

Menurut Ngurah (1987), gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh

sistiserkosis lebih fatal dibandingkan dengan taeniasis. Hal ini disebabkan oleh

gejala klinis yang muncul pada penderita taeniasis lebih ringan daripada

sistiserkosis. Gejala klinis taeniasis hanya berupa mual, nyeri di daerah


2

epigastrium, menurunnya napsu makan, diare atau terkadang konstipasi, anemia,

dan gejala yang asimtomatik sedangkan gejala klinis dari sistiserkosis tergantung

lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi sistiserkus di otot dan

subkutan berupa kekejangan otot, benjolan, dan kelemahan otot, sedangkan

infiltrasi sistiserkus di mata berupa gangguan pengelihatan. Sakit kepala hebat,

paralisis, dan epilepsi merupakan gejala dari infiltrasi sistiserkus di otak.

Kalsifikasi merupakan efek peradangan yang timbul akibat infiltrasi sistiserkus

yang mati. Biasanya kalsifikasi yang timbul ini tidak menimbulkan gejala apapun

selama satu tahun, selanjutnya efek buruk akan muncul setelah lima sampai

sepuluh tahun kemudian (Bogisth et al., 2005).

Infeksi C. cellulosae pada babi biasanya ditemukan di otot lurik yang aktif

bergerak. Tempat predileksi dari infiltrasi sistiserkosis pada babi berada di lidah,

musculus masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus intercostae (otot antar

tulang rusuk), dan musculus brachiocephalicus (otot bahu). Infiltrasi sistiserkus

pada otot jantung biasanya akan menimbulkan kematian pada babi. Kematian ini

terjadi akibat gangguan kontraksi otot jantung sehingga proses pemompaan darah

tidak berjalan dengan baik.

Sistiserkosis dan taeniasis sangat berkaitan erat dengan sanitasi

lingkungan, menejemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser

et al., 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian

sistiserkosis adalah kepemilikan toilet dan kebiasaan defekasi masyarakat.

Defekasi di sembarang tempat merupakan cara penyebaran telur infektif T. solium


3

pada lingkungan. Penderita taeniasis dalam kondisi ini berperan sebagai pencemar

lingkungan sekitarnya.

Memelihara babi secara tidak dikandangkan (diumbar) merupakan

tindakan yang memudahkan penularan telur infektif T. solium dari lingkungan

menuju inang antaranya. Babi yang diumbar mempunyai kesempatan berkontak

dengan feses penderita taeniasis lebih besar daripada babi yang dipelihara secara

intensif. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi adalah hal yang

sangat penting dalam penyebaran zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya

kasus taeniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging

babi mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna et al., 1999).

Prevalensi kedua penyakit ini dapat diturunkan melalui beberapa langkah

pengendalian terhadap siklus hidup dari T. solium. Upaya pengendalian yang

dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara berkala pada peternakan babi,

penyuluhan, pengobatan pada penderita taeniasis dan babi penderita sistiserkosis,

vaksinasi, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Gonzalez et al., 2003; Ngowi et al.,

2008). Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap babi penderita sistiserkosis

adalah pemberian oxfendazole dengan dosis 3-4.5 mg/kg bb (Plumb & Pharm

1999). Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe

vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptide-

based vaccine (Deckers et al., 2008).


4

Gambar 2.1 Morfologi Sistiserkus (Dasanayake, 2011)

2.1.1 Manifestasi Klinis

Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit

menimbulkan reaksi jaringan. Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa

80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik. Akan tetapi, kista yang telah

mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat.

Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat,

akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus

dan pelepasan antigen. Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang

belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata (Wiria, 2008).

Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4: a)

infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya

(kalsifikasi intraparenkimal) dengan gejala: sakit kepala, kejang, psikosis; b)

infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis


5

sistiserkal; c) neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk

neurosistiserkosis ventricular; d) bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis

oftalmika, penyakit serebrovaskular, dan lain-lain (Wiria, 2008).

Pada mata (sistiserkosis oftalmika/ocular-cysticercosis), sistiserkus paling

sering ditemukan pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala

yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang

berat, sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam

jumlah banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram,

dan kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis

(CFSPH, 2005). Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul

subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil

yang menimbulkan stroke, akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).

2.1.2 Cara Penularan

Sistiserkosis dan taeniasis sangat berkaitan erat dengan sanitasi

lingkungan, menejemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser

et al., 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian

sistiserkosis adalah kepemilikan toilet dan kebiasaan defekasi masyarakat.

Defekasi di sembarang tempat ditambah dengan memelihara babi di sembarang

tempat merupakan cara penyebaran telur infektif T. solium pada lingkungan. Babi

yang diumbar mempunyai kesempatan berkontak dengan feses penderita taeniasis

lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam

mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat penting dalam penyebaran
6

zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus taeniasis di Bali akibat

kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging babi mentah dalam setiap

perayaan upacara adat (Sutisna et al., 1999).

2.1.3 Deteksi Sistiserkosis

OIE (2008) telah menetapkan bahwa metode pemeriksaan standar untuk

mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah palpasi lidah dan pemeriksaan

postmortem. Pemeriksaan palpasi lidah digunakan untuk mendeteksi sistiserkus

pada babi hidup. Pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi

sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan. Selain metode pemeriksaan

sistiserkosis standar yang ditetapkan oleh OIE tersebut, keberadaan C. cellulosae

dapat dideteksi menggunakan teknik immunodiagnostik. Teknik

immunodiagnostik tersebut berupa enzyme linked immunosorbent assay (ELISA),

enzyme linked immuno-electrotransfer blot, antigen spesifik IgM dalam cairan

selebrospinal (celebro spinal fluid), dan CFT (Ansari et al., 2003).

2.1.4 Sistiserkosis di Indonesia

Papua (semula bernama Irian Jaya) adalah daerah yang terinfeksi NCC

cukup tinggi (Wandra et al., 2007). Wabah NCC di Papua telah dilaporkan sejak

awal 1970-an, dengan laporan sejarah kejadian penyakit yang dilaporkan oleh

(Simanjuntak et al., 1997). Pemerintah Indonesia memulai sebuah proyek selama

10 tahun untuk mengontrol taeniasis dan NCC di Papua dari tahun 1990 (Wandra

et al., 2007). Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Papua masih menjadi


7

daerah sangat endemis dengan masih banyaknya kasus NCC dan juga

memperlihatkan kasus subcutaneous cysticercosis (Ito et al., 2004). Pemeriksaan

serologi merupakan hal yang penting untuk awal mendiagnosis dan pengobatan

kasus NCC asimtomatik serta untuk mengidentifikasi babi dan anjing yang

terinfeksi (Ito et al., 2002), dan memutusnya dari rantai makanan. Hasil dari

ELISA tanpa bukti langsung akibat infeksi harus dievaluasi kembali oleh

imunoblot menggunakan antigen yang dimurnikan (Sako et al., 2013), karena

reaksi silang dapat terjadi antara berbagai Taenia spp. yang dapat menginfeksi

babi (Ito, 2013).

Pada bulan Desember 2010, kasus OCC dikonfirmasi terjadi pada seorang

gadis 9 tahun dari desa terpencil di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem.

Desa ini terletak di bagian timur lereng gunung tertinggi di Bali yaitu Gunung

Agung (ketinggian 3132 m). Di daerah endemis tinggi di negara-negara lain, tidak

begitu mudah untuk mendeteksi cacing pita seperti yang ditemukan di daerah

kecil. Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Januari 2011 di desa domisili

pasien dan desa-desa tetangga mengungkapkan tiga orang terinfeksi taeniasis

akibat T. solium. Secara total, enam T. solium yang menyebabkan kasus taeniasis

(6/265, 2,26%) terdeteksi pada tahun 2013, dan tambahan dua kasus (2/138,

1,45%) yang diidentifikasi pada 2014 di Karangasem (Wandra et al., 2015).

2.2 Ocular-cysticercosis

Sistiserkosis yang disebabkan oleh T. solium, dapat menimbulkan

gangguan pada sistem saraf pusat, otot, visceral, subkutan jaringan dan gangguan
8

kulit (Kaliaperumal et al., 2005). Di dalam mata, T. solium dapat

mempengaruhi setiap bagian dari kelopak mata, konjungtiva, ruang anterior, uvea,

vitreous, retina, otot-otot ekstraokular dan bahkan saraf optik (Pushker et al.,

2001). Diagnosis intraocular cysticercosis dilakukan secara khusus karena

berisiko tinggi terhadap gangguan penglihatan. Mekanisme yang memungkinkan

teradinya kehilangan penglihatan dapat disebabkan akibat tekanan baik dari

pembesaran kista maupun dari reaksi radang yag berasal dari dinding kista dan

racun yang dilepaskan dari kista yang sudah mati (Rath et al., 2010). Diagnosis

cysticercosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan, serologi dan melalui

penggambaran yang relevan. Jika kista dapat dikeluarkan, maka hasil pemeriksaan

secara histopatologi dapat dikonfirmasi (Jain et al., 2015).

Lokasi kista pada kasus OCC paling banyak ditemukan pada subretinal

(35%), dan yang paling sedikit pada orbit (1%), dan untuk lokasi lainnya di

viterus (22%), konjungtiva (22%), dan segmen anterior (5%). Penderita orbital

cysticercosis lebih sering ditemukan dibandingkan dengan penserita OCC akibat

T.solium yang berpredileksi sebagian pada daerah mata. OCC menunjukkan

berbagai gejala klinis yang berdasarkan lokasi kista, ukuran kista, status imun

inang serta reaksi radang yang berbeda-beda pada setiap individunya (Swastika et

al., 2012)

2.2.1 Pengobatan Ocular-cysticercosis

Obat antihelminthik seperti albendazole atau praziquantel dapat

mengurangi jumlah kista dan frekuensi kejang akibat infeksi NCC. Namun, obat
9

ini tidak memberikan efek yang memuaskan pada infeksi kista subretinal

(Steinmetz et al., 1989). Pembedahan merupakan pilihan pengobatan yang

harusnya lebih awal dilakukan pada kasus intraocular cysticercosis (Steinmetz et

a.,l 1989). Apabila ada infeksi sekunder terhadap intraocular cysticercosis dan

intracranial cysticercosis, maka hal pertama yang harus dilakukan kista dari

intraocular cysticercosis harus sepenuhnya diangkat melalui operasi pembedahan,

kemudian diikuti oleh pemberian obat-obatan cysticidal dan kortikosteroid. Terapi

obat-obatan antihelminthik memiliki kontraindikasi pada OCC karena akan

menyebabkan lisis dan degenerasi intraocular cysticercosis, sehingga dapat

menyebabkan reaksi inflamasi intraocular dan hasilnya menyebabkan hilangnya

penglihatan (Jain et al., 2015).

2.3 Pemeriksaan Serologi dan Hematologi untuk Kasus Sistiserkosis

2.3.1 Pemeriksaan Serologi dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent

Assay)

Pada tahun 1997-1998 Ito et al berhasil mengembangkan ELISA untuk

mendeteksi keberadaan C. cellulosae melalui pemeriksaan antibodi anti- C.

cellulosae pada serum (Sato et al., 2003). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah

mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya.

Burgess (1995) menyatakan bahwa ELISA memiliki variasi model uji yang

beragam. ELISA dan metode pemeriksaan sistiserkosis konvensional bila

dibandingkan dari segi sensitifitas dan spesifisitas ujinya, maka ELISA dianggap

lebih baik. Menurut Dorny et al., (2004), teknik palpasi lidah memiliki sensitivitas
10

sebesar 16.1% dan spesifisitas sebesar 100%, pemeriksaan postmortem memiliki

sensitivitas sebesar 38.7% dan spesifisitas sebesar 100%, model ELISA yang

mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas sebesar 45.2% dan spesifisitas sebesar

88.2%, model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki sensitivitas sebesar

64.5% dan spesifisitas sebesar 91.2%. Hal di atas menunjukkan bahwa model

ELISA yang mendeteksi antigen memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas

yang terbaik dibandingkan teknik diagnosis lainnya. Model ini juga dapat

membedakan sistiserkus yang mati dari hidup. Kelebihan tersebut memberikan

hasil pengujian yang tidak bias dan menggambarkan infeksi yang sebenarnya

(Dorny et al., 2000).

Pada Gambar 2.2 menunjukkan tahapan kerja dari model ELISA

pendeteksi antigen yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia. Model

ELISA ini menggunakan antibodi penangkap dan pendeteksi berupa monoklonal

antibodi. Monoklonal antibodi merupakan antibodi spesifik yang memilki satu

jenis paratop (bagian dari antibodi yang berikatan dengan epitop dari antigen).

Keadaan ini merupakan kelebihan dari monoklonal antibodi karena sifatnya akan

lebih spesifik dalam mengikat antigen yang dideteksinya (Burgess, 1995; Assa et

al., 2012).

Monoklonal antibodi yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia

merupakan monoklonal antibodi anti-Cysticercus bovis. Namun, monoklonal ini

bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus lain

misalnya C. cellulosae, Cysticercus tenuicollis dan metacestoda dari Taenia

asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian
11

untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan

menggunakan satu monoklonal antibodi dapat mendeteksi sistiserkosis yang

disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat

monoklonal antibodi ini ditemui apabila digunakan untuk mengetahui spesies

penyebab sistiserkosis di daerah yang endemis lebih dari satu spesies anggota dari

genus Taenia (Kusuma, 2011; Assa et.al., 2012).

Gambar 2.2 Skema model ELISA pendeteksi antigen (ITM 2009)

2.3.2 Pemeriksaan Hematologi

Parameter hematologi dan biokimia dipengaruhi oleh berbagai faktor

termasuk usia, jenis kelamin, gizi dan status kesehatan, status reproduksi, musim,

dan stres (Boyd et al., 1982). Ketika mengevaluasi hasil tes hematologi dan

biokimia faktor-faktor ini harus dipertimbangkan. Interval referensi dari berbagai

parameter hematologi yang diantaranya hematokrit (HCT), neutrofil, limfosit,

monosit, eosinofil, trombosit, blood urea nitrogen (BUN), glukosa, aspartate


12

aminotransferase (AST) / glutamic oxaloacetate transaminase (GOT), dan

kreatinin memiliki jarak nilai interval yang luas. Interpretasi hasil biokimia dan

data hematologi dari setiap hewan terbatas berdasarkan berbagai macam jenis

hewan yang terdapat pada populasi normal. Usia merupakan informasi penting

dalam berbagai parameter. Jumlah protein serum, mean corpuscular haemoglobin

(MCH) dan mean concentration haemoglobin corpuscular (MCHC) meningkat

dengan bertambahnya umur babi. Jumlah leukosit, fosfor serum dan konsentrasi

kolesterol dan aktivitas alkali fosfatase lebih rendah pada babi yang berumur tua.

Faktor-faktor lain, seperti jenis kelamin, genetika, tingkat pertumbuhan, pakan

dan metode cara pemberian pakan telah terbukti berpengaruh terhadap nilai

parameter biokimia. Tahap kehamilan juga dapat mempengaruhi profil serum

biokimia. Serum albumin, total protein, total konsentrasi bilirubin lebih rendah

pada awal kehamilan, sedangkan aspartat transferase amino dan laktat

dehidrogenase lebih tinggi pada awal kehamilan (Nachreiner, 1972).

Anda mungkin juga menyukai