BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistiserkosis
pada inang antaranya, yaitu pada babi dan juga pada manusia. Taeniasis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari T. solium dewasa pada
manusia sebagai inang definitif. Kedua penyakit tersebut merupakan efek yang
tubuh C. cellulosae terdiri atas kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah.
Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan
antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang
dilengkapi dua baris kait (Noble & Noble 1989; Kusumamiharja 1992).
sistiserkosis lebih fatal dibandingkan dengan taeniasis. Hal ini disebabkan oleh
gejala klinis yang muncul pada penderita taeniasis lebih ringan daripada
dan gejala yang asimtomatik sedangkan gejala klinis dari sistiserkosis tergantung
lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi sistiserkus di otot dan
yang mati. Biasanya kalsifikasi yang timbul ini tidak menimbulkan gejala apapun
selama satu tahun, selanjutnya efek buruk akan muncul setelah lima sampai
Infeksi C. cellulosae pada babi biasanya ditemukan di otot lurik yang aktif
bergerak. Tempat predileksi dari infiltrasi sistiserkosis pada babi berada di lidah,
musculus masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus intercostae (otot antar
pada otot jantung biasanya akan menimbulkan kematian pada babi. Kematian ini
terjadi akibat gangguan kontraksi otot jantung sehingga proses pemompaan darah
et al., 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian
pada lingkungan. Penderita taeniasis dalam kondisi ini berperan sebagai pencemar
lingkungan sekitarnya.
dengan feses penderita taeniasis lebih besar daripada babi yang dipelihara secara
intensif. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi adalah hal yang
sangat penting dalam penyebaran zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya
babi mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna et al., 1999).
dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara berkala pada peternakan babi,
vaksinasi, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Gonzalez et al., 2003; Ngowi et al.,
adalah pemberian oxfendazole dengan dosis 3-4.5 mg/kg bb (Plumb & Pharm
1999). Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe
vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptide-
80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik. Akan tetapi, kista yang telah
mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat.
Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat,
akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus
sering ditemukan pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala
yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang
(CFSPH, 2005). Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul
subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil
yang menimbulkan stroke, akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).
et al., 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian
tempat merupakan cara penyebaran telur infektif T. solium pada lingkungan. Babi
lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam
mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat penting dalam penyebaran
6
zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus taeniasis di Bali akibat
mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah palpasi lidah dan pemeriksaan
Papua (semula bernama Irian Jaya) adalah daerah yang terinfeksi NCC
cukup tinggi (Wandra et al., 2007). Wabah NCC di Papua telah dilaporkan sejak
awal 1970-an, dengan laporan sejarah kejadian penyakit yang dilaporkan oleh
10 tahun untuk mengontrol taeniasis dan NCC di Papua dari tahun 1990 (Wandra
daerah sangat endemis dengan masih banyaknya kasus NCC dan juga
serologi merupakan hal yang penting untuk awal mendiagnosis dan pengobatan
kasus NCC asimtomatik serta untuk mengidentifikasi babi dan anjing yang
terinfeksi (Ito et al., 2002), dan memutusnya dari rantai makanan. Hasil dari
ELISA tanpa bukti langsung akibat infeksi harus dievaluasi kembali oleh
reaksi silang dapat terjadi antara berbagai Taenia spp. yang dapat menginfeksi
Pada bulan Desember 2010, kasus OCC dikonfirmasi terjadi pada seorang
Desa ini terletak di bagian timur lereng gunung tertinggi di Bali yaitu Gunung
Agung (ketinggian 3132 m). Di daerah endemis tinggi di negara-negara lain, tidak
begitu mudah untuk mendeteksi cacing pita seperti yang ditemukan di daerah
kecil. Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Januari 2011 di desa domisili
akibat T. solium. Secara total, enam T. solium yang menyebabkan kasus taeniasis
(6/265, 2,26%) terdeteksi pada tahun 2013, dan tambahan dua kasus (2/138,
2.2 Ocular-cysticercosis
gangguan pada sistem saraf pusat, otot, visceral, subkutan jaringan dan gangguan
8
mempengaruhi setiap bagian dari kelopak mata, konjungtiva, ruang anterior, uvea,
vitreous, retina, otot-otot ekstraokular dan bahkan saraf optik (Pushker et al.,
pembesaran kista maupun dari reaksi radang yag berasal dari dinding kista dan
racun yang dilepaskan dari kista yang sudah mati (Rath et al., 2010). Diagnosis
penggambaran yang relevan. Jika kista dapat dikeluarkan, maka hasil pemeriksaan
Lokasi kista pada kasus OCC paling banyak ditemukan pada subretinal
(35%), dan yang paling sedikit pada orbit (1%), dan untuk lokasi lainnya di
viterus (22%), konjungtiva (22%), dan segmen anterior (5%). Penderita orbital
berbagai gejala klinis yang berdasarkan lokasi kista, ukuran kista, status imun
inang serta reaksi radang yang berbeda-beda pada setiap individunya (Swastika et
al., 2012)
mengurangi jumlah kista dan frekuensi kejang akibat infeksi NCC. Namun, obat
9
ini tidak memberikan efek yang memuaskan pada infeksi kista subretinal
a.,l 1989). Apabila ada infeksi sekunder terhadap intraocular cysticercosis dan
intracranial cysticercosis, maka hal pertama yang harus dilakukan kista dari
Assay)
cellulosae pada serum (Sato et al., 2003). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah
mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya.
Burgess (1995) menyatakan bahwa ELISA memiliki variasi model uji yang
dibandingkan dari segi sensitifitas dan spesifisitas ujinya, maka ELISA dianggap
lebih baik. Menurut Dorny et al., (2004), teknik palpasi lidah memiliki sensitivitas
10
sensitivitas sebesar 38.7% dan spesifisitas sebesar 100%, model ELISA yang
64.5% dan spesifisitas sebesar 91.2%. Hal di atas menunjukkan bahwa model
yang terbaik dibandingkan teknik diagnosis lainnya. Model ini juga dapat
hasil pengujian yang tidak bias dan menggambarkan infeksi yang sebenarnya
jenis paratop (bagian dari antibodi yang berikatan dengan epitop dari antigen).
Keadaan ini merupakan kelebihan dari monoklonal antibodi karena sifatnya akan
lebih spesifik dalam mengikat antigen yang dideteksinya (Burgess, 1995; Assa et
al., 2012).
bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus lain
asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian
11
disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat
penyebab sistiserkosis di daerah yang endemis lebih dari satu spesies anggota dari
termasuk usia, jenis kelamin, gizi dan status kesehatan, status reproduksi, musim,
dan stres (Boyd et al., 1982). Ketika mengevaluasi hasil tes hematologi dan
kreatinin memiliki jarak nilai interval yang luas. Interpretasi hasil biokimia dan
data hematologi dari setiap hewan terbatas berdasarkan berbagai macam jenis
hewan yang terdapat pada populasi normal. Usia merupakan informasi penting
dengan bertambahnya umur babi. Jumlah leukosit, fosfor serum dan konsentrasi
kolesterol dan aktivitas alkali fosfatase lebih rendah pada babi yang berumur tua.
dan metode cara pemberian pakan telah terbukti berpengaruh terhadap nilai
biokimia. Serum albumin, total protein, total konsentrasi bilirubin lebih rendah