Anda di halaman 1dari 8

MANAJEMEN PERPAJAKAN

Tax Planning atas PPh 23 dan PPh 26


(Pertemuan 10)

Disusun oleh:
Adi Nurhidaya
Bety Nofitasari
Stepani Permatasari

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA


2015
Pengertian Withholding Tax System (Sistem Pemotongan Pajak)
Sistem ini merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang
Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundangundangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan
yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif
dalam sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan
penyitaan apabila ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti halnya pada self assessment
system. Sistem pajak ini menekankan kepada pemberian kepercayaan pada pihak ketiga diluar
fiskus yaitu, pemberi penghasilan melakukan pemotongan atau memungut pajak atas penghasilan
yang diberikan dengan suatu persentase tertentu dari jumlah pembayaran atau transaksi yang
dilakukannya dengan penerima penghasilan. Jumlah pajak yang dipotong atau dipungut oleh
pihak ketiga tersebut dibayarkan kepada negara melalui penyetoran pajak seperti pada aktivitas
yang dilakukan di self assessment dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan Undangundang. Nantinya jumlah yang disetorkan ke kas negara itu akan dapat diperhitungkan kembali
oleh Wajib Pajak yang penghasilannya dipotong atau dipungut dengan melampirkan bukti
pemotongan atau pemungutan yang diberikan oleh pihak ketiga saat transaksi penerimaan
penghasilan.
Manfaat Withholding Tax System
Withholding Tax System

dapat memperlancar masuknya dana ke kas Negara tanpa

intervensi fiskus dan juga dapat menghemat biaya administrasi pemungutan (administrative
cost), seperti pada self assessment, wajib pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya tidak
terasa telah memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu dengan adanya Withholding Tax
System dapat meningkatkan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak
langsung telah membayar pajaknya, pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa
mengeluarkan biaya, serta meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan objek pajak).
Pajak penghasilan Withholding Tax System

Penerapan withholding tax system di Indonesia seperti yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tidak hanya terbatas atas penghasilan dari pekerjaan
(employment income) seperti gaji dan upah (PPh pasal 21); penghasilan dari modal (passive
income) seperti deviden, bunga, sewa dan royalti (PPh pasal 23 dan 26), tetapi juga diperluas
terhadap penghasilan dari usaha (bussines income). Bahkan, terhadap transaksi yang bukan
penghasilan, seperti pembayaran kepada badan-badan pemerintah dan impor atau kegiatan usaha
dibidang tertentu (PPh pasal 22). Pengaturan atas jenis-jenis penghasilan dan transaksi yang
dikenakan withholding tax tidak seluruhnya diatur oleh Undang-undang PPh, tetapi banyak
didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
PPh Pasal 23
Pengertian PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, penyertaan modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan, selain yang dipotong
pajak penghasilan pasal 21.
Pemotong PPh Pasal 23:
PPh Pasal 23 merupakan salah satu jenis uang muka PPh yang dibayar selama tahun berjalan
oleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT melalui sistem pemotongan oleh pihak lain.
1.
2.
3.
4.
5.

Badan Pemerintah
Subyek Pajak Badan dalam negeri
Penyelenggara kegiatan
Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri
Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak, yaitu:
a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali Camat), pengacara, konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas.
b) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa.

Penerima Penghasilan yang dipotong pada PPh pasal 23 yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain
yang telah dipotong pajak
Objek Pajak PPh Pasal 23
Obyek Pemotongan PPh 2, yaitu:
1.

Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan

2.
3.
4.
5.

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi.


Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Royalti.
Hadiah, penghargaan bonus, dan sejenisnya.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah

6.

dan/atau bangunan, dan


Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong.

Bukan Obyek Pemotongan PPh Pasal 23 (Pasal 23 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000)
1.
2.

Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank


Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi

3.

(capital lease).
Dividen yang dibayarkan atau terutang kepada Perseroan Terbatas (PT), Koperasi,
Yayasan atau sejenisnya, BUMN/BUMD, yang merupakan wajib pajak dalam negeri dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia,
sepanjang :
Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan
Dalam hal penerima dividen adalah perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor dan harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham

tersebut
4. Bunga obligasi yang dibayar atau terutang kepada reksa dana selama 5 tahun pertama
sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada angotanya.
6. Bunga simpanan Koperasi yang tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan (Rp 240.000,00) yang dibayar oleh Koperasi kepada anggotanya.
Perhitungan PPh Pasal 23

Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarif PPh pasal 23 adalah:
1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan
berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah
dipotong PPh Pasal 21.
2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal
23 adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya.
Pencatatan Akuntansi atas Pajak Dipotong/Dipungut PPh Pasal 23
PPh pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan dengan
penghasilan tertentu (seperti deviden, bunga, royalti, sewa, dan jasa) yang diterima WP badan
dalam negeri dan BUT. Jurnal Pencatatan PPh Pasal 23 oleh pemotong pajak adalah sebagai
berikut:
Pada saat pemotongan (dilakukan pada saat pembayaran imbalan jasa)
Beban Jasa

xxx
Utang PPh Pasal 23

xxx

Kas

xxx

Pada saat penyetoran ke kas Negara


Utang PPh Pasal 23

xxx

Kas

xxx

Sedangkan jurnal PPh Pasal 23 oleh penerima imbalan jasa adalah sebagai berikut:
Kas

xxx

Pajak dibayar dimuka (PPh Pasal 23) xxx


Pendapatan Jasa

xxx

PPh Pasal 26
Pengertian PPh Pasal 26
Pajak Penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri (orang pribadi maupun badan),
selain bentuk usaha tetap dalam PPh pasal 26 adalah pajak atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalah
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
Pemotong PPh Pasal 26:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Badan Pemerintah
Subjek Pajak dalam Negeri
Penyelenggaran kegiatan
Bentuk Usaha Tetap
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 26

Penerima Penghasilan yang dipotong pada PPh pasal 26 yaitu Wajib Pajak luar negeri dari
Indonesia.
Objek Pajak PPh Pasal 26
Obyek Pemotongan PPh 26, yaitu:
1. Deviden, bunga termasuk premium diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, imbalan sehubungan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan,pensiun
dan pembayaran berkala lainnya, prem, keuntungan karena pembebasan utang.
2. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di indonesia.
3. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
4. Penjualan atau pengalihan saham antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di
negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa

dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha
tetap di Indonesia.
5. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan
Perhitungan PPh Pasal 26
1. Dikenakan PPh Pasal 26 = 20% dari jumlah bruto penghasilan wajib pajak luar negeri
berupa:
Dividen
Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
Royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
2. Dikenakan PPh Pasal 26 = 20% dari Perkiraan Penghasilan Netto atas penghasilan wajib
pajak luar negeri berupa:
Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
Penghasilan berupa premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di
luar negeri, yaitu:
20% x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di Luar

Negeri
20% x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh

perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia


20% x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan reasuransi LN oleh

perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia


Dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari Laba Neto setelah pajak dari suatu BUT di
Indonesia (Branch Profit Tax), kecuali jika ditanamkan kembali di Indonesia.
Dalam hal telah dilakukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara
Pemerintah RI dengan negara lain (treaty partner), penghitungan besarnya PPh Pasal
26 didasarkan pada Tax Treaty tersebut (dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 atau
dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah)

Anda mungkin juga menyukai