PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen
yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, infeksi pada rongga
abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar serta
masa pada abdomen (Anonim, 2009).
Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah
antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya
integritas kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi (Anonim, 2009).
Wound dehiscence atau Burst Abdomen post laparotomy merupakan komplikasi
utama yang serius. kejadiannya berkisar antara 0,25% sampai 3% dari seluruh operasi
laparotomi yang dilakukan, dengan angka kematian berkisar antara 10-20% (Spiloitis
et al, 2009; Afzal et al, 2008).
Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti anemia,
hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut, prosedur
pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi emergency.
Wound dehiscence juga dapat terjadi karena perawatan luka yang tidak adekuat serta
faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta
teknik operasi yang kurang baik (Afzal et al, 2008; Anonim, 2008).
Penanganan wound dehiscence secara umum dibedakan menjadi penanganan
operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif dilakukan pada sebagian
besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan penanganan non operatif dilakukan
diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi
(Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Luka dan Penyembuhan Luka
1.
Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga, 2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum dipakai adalah
sebagai berikut :
a. Berdasarkan waktu terjadinya
1)
Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat penanganan dan
biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria
luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan
waktu yang diperkirakan. Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka
tusuk dan crush injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut
yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting
(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
2)
Luka Kronik
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul
kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan
yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada
luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,
tidak berespon baik terhadap terapi dan mempunyai kemungkinan untuk
2)
3)
dangkal.
Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka yang
terjadi mengenai lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai
otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan
4)
1% 5%.
Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu
luka
aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk
4)
3)
bengkak.
Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda
4)
5)
6)
7)
2.
Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai
Inflamasi
produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan
(Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka
ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta mengeluarkan beberapa
substansi seperti kolagen, elastin, asam hyaluronic, fibronectin dan profeoglycans
yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama dari
jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan regangan dan
kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru
tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas
dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan fibroblas
terhadap proses fibroplasia adalah: proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks
dan kontraksi luka (Tawi, 2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan granulasi
akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang mengisi matriks akan
memberikan suplai nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka.
Fase ini terjadi setelah hari ketiga. Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka
dan akan memberikan tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan
tipe jaringan yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama
periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka
juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.
Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes, radiasi atau penggunaan
preparat steroid dalam jangka waktuyang lama mengakibatkan lambatnya proses
penyembuhan luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka
merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di
daerah luka karena pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya
tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses
terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan
makrofag (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk
barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,
pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur
keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru
tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast
yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi
akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka
minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama untuk
penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika berhasil akan
menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat menguntungkan pada
penutupan luka pada area-area seperti glutea dan trokanter, tetapi akan
membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar leher dan wajah dimana hal ini
akan menyebabkan kelainan bentuk dan jaringan parut berlebihan. Luka operasi
yang ditutup secara perprimum memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft
kulit digunakan untuk menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan
(Braz et al, 2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor
yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).
menyempurnakan
terbentuknya
jaringan
baru
menjadi
jaringan
dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling. Selain pembentukan kolagen juga
akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous
collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang
lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling
(Tawi, 2008).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan
akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi
yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu
terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
ajringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang
normal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut penyembuhan
sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama dan meninggalkan parut
yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar. Dalam penatalaksanaan bedah
terdapat 3 bentuk penyembuhan luka, yaitu penyembuhan melalui intensi pertama,
kedua, atau ketiga (Sinaga, 2009).
a.
b.
c.
Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam baik
yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali nantinya, dua
permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini mengakibatkan
jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga, 2009).
Faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka terbagi
menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor faktor eksternal yang
mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a.
Lingkungan
b.
Tradisi
c.
Pengetahuan
d.
Sosial ekonomi
e.
Penanganan petugas
f.
Gizi
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic profilaksis dapat
berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi. Selain itu tekhnik operasi dan
perawatan luka juga sangat berpengaruh terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi,
2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit yang
diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak adekuat,
antara lain:
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan
atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 7 hari setelah pembedahan, antara lain
adanya sekret purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan, adanya
gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh
darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda hipovolemia tidak langsung
terlihat saat terjadi perdarahan. Jika perdarahan terjadi terus menerus, penambahan
tekanan balutan luka steril , pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin
diperlukan (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi
pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi. Insisi
paramedian memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis
dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke
arah atas dan bawah (Anita, 2009; Anonim, 2009).
terdiri
dari
beberapa
jenis,
diantaranya:
adrenalektomi,
waktu setelah pembedahan karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau
menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainase.
3. Tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan
otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi dan ambulatif dini
(Kate, 2009).
4. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus aureus yang merupakan
organisme gram positif. Bakteri ini mengakibatkan pernanahan atau abses (Kate,
2009).
5. Dehisensi luka dan Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka, sedangkan
eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh melalui insisi yang
terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka,
kesalahan menutup luka saat pembedahan, dan peningkatan tekanan intraabdominal
akibat dari batuk atau muntah (Anonim, 2009; Kate, 2009).
C. Brust Abdomen
1. Definisi
Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka
operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai terbukanya
sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi atau keluarnya isi rongga
abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.
Wound dehiscence merupakan komplikasi utama dari pembedahan abdominal.
Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita
sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar
disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85%
kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula
tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada
daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka
operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis
terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan
klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang
sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi
radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus
(Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan
temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan.
Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini
seringkali disebkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi
lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,
dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al, 2003;
Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor preoperasi
yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi
yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor
pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan
dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes
mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan,
sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian preparat kortikosteroid jangka
panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a.
Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada
transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah
kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan
mereganggkan jahitan operasi.
b.
Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga
berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di
sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).
c.
d.
Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu
perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali
tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya
non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan
umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak
stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring
di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus
steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi perburukan luka operasi terbuka (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk
mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik yang
memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi.
Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan
antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair,
vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga
saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab
terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar,
2004).
benang
semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang
terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan
angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien
dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric
fistulation (Sukumar, 2004).
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan sponge
steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan
vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik
lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang
telah mengalami eviserasi. Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik
steril yang merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang
digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke
kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).
BAB III
LAPORAN KASUS
I. REKAM MEDIS
A. Identifikasi
Nama
: Tn. Marino
Rekam medik/registrasi
Umur
Suku bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
MRS
: 098584/59481
: 65 tahun
: Indonesia
: Islam
: SD
: buruh
:jl. Sel selan no 54 RT 01/02 Pakjo Palembang
: 23 Agustus 2013 Pukul 15.06 WIB
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Bekas luka operasi terbuka disertai terlihatnya isi perut (operasi tanggal 02 - 08 2013)
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Lebih kurang 1 bulan yang lalu, os berobat ke IGD RSMH dengan keluhan nyeri di
perut dan tidak bisa berkemih. Bab tidak lancar dan konsistensinya pun sedikit.
Disini os diberi tindakan pemasangan kateter dan dilakukan USG pada keesokan
harinya. Hasil menunjukkan pada USG terdapat tumor pada abdomen. 3 minggu
yang lalu os berobat ke RS Charitas dan konsultasi ke dokter spesialis bedah
kemudian disarankan untuk melakukan operasi. 2 minggu yang lalu, os MRS untuk
dijadwalkan operasi. Kemudian os dirawat selama 10 hari di RS charitas. Setelah
operasi os sempat koma lebih kurang 6 hari. setelah sadar os mengeluhkan batuk
batuk disertai nyeri perut. Tepatnya 3 hari menderita batuk batuk, luka operasi os
terbuka sedikit. Dokter spesialis bedah yang melakukan operasi tersebut
menyarankan operasi ulang, tetapi karena alasan tertentu kerluarga os menolak
untuk dilakukan operasi ulang di RS Charitas. 10 hari pasca operasi, os datang ke
IGD RSUD Bari dengan keluhan luka jahitan operasi terbuka. Jahitan terbuka lebar
lebih dari pada saat terbuka pertama. Selain itu semenjak terbuka bekas jahitan
operasi, os mengeluh perut terasa penuh dan sesak disertai nyeri perut. Os MRS di
zaal bedah RSUD Bari selama 4 hari dan menjalani operasi penutupan jahitan pasca
operasi. Pada tanggal 1 september 2013 os diperbolehkan pulang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu.
Gizi
Tekanan darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
: buruk
: 120/90 mmHg
: 84 x/m
: 22 x/m
: 36,70C
b. Keadaan Khusus
-
Thorax
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus Taktil dan Vokal simetris pada kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Rh +/+, Wh -/-
Jantung
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-).
Inferior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : 24 agustus 2013
Darah Lengkap
Hemoglobin : 10,5 gr/dl ()
Hematokrit :32 % ()
Leukosit
: 11.450/ul ()
Trombosit
: 435.000/ul ()
Hitung jenis :
Basophil : 0%,
Eosinophil:2%
Batang : 2%,
Segmen : 85%
Limposit : 6%,
Monosit : 6%
(shift to the left)
Kimia Darah
Natrium
Albumin
kalium
:132 mmol/dl
: 2,1 g/dl ()
: 4,2 mmol/dl
E. Diagnosis Kerja
Burst abdomen post laparotomy + hypoalbumin
F. Prognosis
Dubia
G. Penatalaksanaan
Perbaikan keadaan umum
Observasi vital sign
IVFD albumin/D5/RL, 3x100cc, 20 %
Injeksi ciprofloxaxin 2 x 500 gr IV
Metrodinazol 500 gr IV
Ambroxol syr 3 x 1
Amlodipin 1x5 mg
Rencana Re-hecting
H. Follow Up
25/08/13 Keluhan Utama :
Penatalaksanaan
07.00
Luka operasi terbuka,
Perbaikan keadaan umum
os merasa perut terasa
Observasi vital sign
penuh
IVFD
albumin/D5/RL,
Status Present
KU : sakit berat
Sens : CM
TD : 120/80mmHg
Nadi : 88 x/m
3x100cc, 20 %
Injeksi ciprofloxaxin 2 x 500
gr IV
Metrodinazol 500 gr IV
Ambroxol syr 3 x 1
RR : 24 x/m
Suhu : 36,80C
Diagnosis Kerja
Burst
abdomen
laparotomy
hypoalbumin
post
+
Amlodipin 1x5 mg
Rencana Re-hecting
Operasi selesai
Follow up
26/08/13 Keluhan Utama :
11.00
Habis operasi ulang
Status Present
KU : sakit ringan
Sens : CM
TD : 120/90mmHg
Nadi : 82 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 36,60C
Penatalaksanaan
Puasa sampai flatus
Cek Hb <10 gr% transfuse 2
kolf PRC
IVFD RL/D5/albumin gtt xx x/m
Ciprofloxaxin 500 g IV
Metrodinazol 500 g IV
Ketorolac 2 amp
Albumin 2x100cc
Diagnosis Kerja
Post rehecting ai burst
abdomen
27/08/13 Keluhan Utama :
Penatalaksanaan
07.00
Nyeri bekas operasi, sesak IVFD Nacl/Rl/albumin, 2/1/1 gtt
xx x/m
Monitor urin output
Monitor VS
Cefotaxim 2x1gr IV
Metrodinazol 500g IV
Ranitidine IV
Ketorolac IV
Penatalaksanaan
IVFD Nacl/albumin, 2/1 gtt xx
Abdomen:
x/m
Datar, lemas, nyeri tekan
(+), defans muscular (-), Transfuse PRC 1kolf
BU (+)
Konsul gizi
Lab: albumin: 2 g/dl
Urin output:
500cc/jam
1800cc/12jam
Diagnosis Kerja
Post rehecting ai burst
abdomen hari ke-2
Penatalaksanaan
Abdomen:
IVFD Nacl/albumin, 2/1 gtt xx
Datar, lemas, nyeri tekan
x/m
(+), defans muscular (-), Transfuse PRC ditunda
BU (+)
Aff cateter
Urin output:
400cc/12jam
Diagnosis Kerja
Post rehecting ai burst
abdomen hari ke-3
30/8/2013
08.00
Keluhan Utama :
Nyeri bekas operasi
Status Present
KU : sakit ringan
Sens : CM
TD : 120/90mmHg
Nadi : 74 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 36,60C
Penatalaksanaan
Injeksi cefotaxime
Injeksi ketorolac 1 ampul
Injeksi ranitidine 1 ampul
Abdomen:
Datar, lemas, nyeri tekan Metronidazole infuse
(+), defans muscular (-),
BU (+)
Diagnosis Kerja
Post rehecting ai burst
abdomen hari ke-4
31/8/13
Keluhan Utama :
Nyeri bekas operasi
Status Present
KU : sakit ringan
Sens : CM
TD : 140/80mmHg
Nadi : 80 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 36,60C
Abdomen:
Datar, lemas, nyeri tekan
(+), defans muscular (-),
BU (+)
Penatalaksanaan
Injeksi ketorolac 1 ampul
Injeksi ranitidine 1 ampul
Metronidazole infuse
Diagnosis Kerja
Post rehecting ai burst
abdomen hari ke-5
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada penderita ini, burst abdomen atau luka operasi abdomen terbuka
ditegakkan
lapisan jahitan yang ditandai dengan keluarnya jaringan granulasi dan terlihat usus
pada dasar melalui luka operasi terbuka tersebut. Dehisensi luka operasi pada
penderita ini digolongkan pada dehisensi luka operasi lambat, yaitu terjadinya
pada hari ke 9 setelah operasi. Pada penderita ini terdapat beberapa faktor risiko
terjadinya dehisensi luka operasi antara lain faktor intraoperasi (jenis insisi
mediana, tehnik penjahitan dinding abdomen secara lapis demi lapis dan
pemililhan benang chromic cat gut), dan faktor pascaoperasi (peningkatan tekanan
intraabdominal, infeksi pada luka, nutrisi yang inadekuat dan perawatan
DAFTAR PUSTAKA
Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal
Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3
Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http://
emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009.
Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang
Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2
Anonim.
2009.
Laparotomi.
Diakses
Desember
http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi
2011
dari:
Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.
Akademi Keperawatan UPN: Jakarta
Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal
wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2):
130-137
Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK
UNDIP : Semarang