Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri genital berulang atau menetap yang terjadi pada laki-laki atau
perempuan sebelum, selama atau setelah berhubungan seksual. Gangguan ini lebih lazim pada perempuan
dibandingkan laki-laki, Dyspareunia berkaitan dengan dan sering terdapat bersamaan dengan vaginismus.
Episode vaginismus berulang dapat mengakibatkan Dyspareunia dan juga sebaliknya; pada kasus
tersebut, penyebab somatic harus disingkirkan. Dyspareunia tidak boleh didiagnosis jika ditemukan dasar
organic nyeri tersebut atau pada perempuan jika hanya disebebkan oleh vaginismus atau kurangnya
lubrikasi (table 18.2-8). Insiden Dyspareunia tidak diketahui.
Pada sebagian besar kasus, factor dinamik dipertimbangkan sebagai penyebab. Nyeri pelvis
kronis adalah keluhan yang lazim pada perempuan dengan riwayat perkosaan atau penyiksaan seksual
pada masa kanak-kanak. Hubungan seksual yang nyeri dapat terjadi akibat ketegangan dan anxietas
mengenai kegiatan seksual yang menyebabkan perempuan secara involunter mengkontraksikan otot-otot
vaginanya. Rasa nyeri ini nyata membuat hubungan seks tidak menyenangkan dan tidak tertahankan.
Antisipasi nyeri lebih lanjut dapat menyebabkan perempuan menghindari hubungan seksual. Jika
pasangan terus melanjutkan hubungan seksual tanpa memperhatikan keadaan kesiapan sang perempuan,
keadaan ini dapat memburuk . Dyspareunia juga dapat terjadi pada laki-laki, tetapi tidak lazim terjadi dan
biasanya disebabkan keadaan organic seperti herpes, prostatitis, atau peypronie, yang terdiri atas plak
sklerotik di penis yang menyebabkan kelenkungan pada penis.
Vaginismus
Vaginismus adalah konstriksi involunter vagina 1/3 bagian luar yang mengganggu insersi penis
dan hubungan seks. Respon ini dapat terjadi selama pemeriksaan ginekologis ketika konstriksi vagina
involunter mencegah masuknya speculum kedalam vagina. Diagnosis ini tidak ditegakkan jika disfungsi
hanya disebabkan oleh factor organis atau jika gangguan ini simptomatik untuk gangguan jiwa aksis I
(table 18.2-9).
Vaginismus ini lebih sedikit prevalensi nya daripada gangguan orgasme pada perempuan.
Gangguan ini lebih sering terjadi pada perempuan berpensdidikan tinggi dan perempuan dari kelompok
sosioekonomi tinggi. Perempuan dengan vaginismus secara sadar dapat menginginkan hubungan seks,
secara tidak sadar tidak menginginkan penis memasuki tubuhnya. Trauma seksual seperti perkosaan,
dapat menyebabkan terjadi vaginismus. Perempuan dengan konflik psikoseksual dapat memandang penis
sebagai senjata. Pada sejumlah kasus, nyeri atau antisipasi terhadap nyeri pada saat pengalaman hubungan
seks pertama menyebabkan vaginismus. Klinisi memperhatikan bahwa asuhan agama yang ketat dan
memandang seks sebagai dosa sering ditemukan oada pasien seperti ini. Perempuan lain memiliki
masalah yang mendua didalam hubungan; jika perempuan secara emosional merasa disiksa mereka dapat
memprotes dengan cara nonverbal ini.
hubungan seks dilaporkan pada perempuan dengan miomata dan endometriosis dan dikaitkan dengan
kontraksi uterus selama orgasme. Perempuan pasca menopause dapat mengalami dyspareunia akibat
penipisan mukosa vagina dan berkurangnya lubrikasi.
Dua keadaan yang menyebabkan dispareinui dan tidak mudah ditemukan pada pemeriksaan fisik
adalah vestibulitis vulvular dan sistitis interstitial. Vestibulitis vulvular dapat timbul dengan nyeri vulva
kronis, dan sistitis interstitial menimbulkan nyeri paling berat setelah orgasme. Dyspareunia pada laki-laki
tidak lazim ditemukan. Biasanya hal ini disebabkan pada keadaan medis umum, seperti penyakit peyronie
yang menyebabkan kelengkungan penis.
Gangguan hasrat seksual hipoaktif akibat keadaan medis umum
Hasrat seksual biasnaya menurun setelah penyakit berat atau pembedahan, terutama ketika citra
tubuh dipengaruhi oleh prosedur seperti mastektomi, ileostomy, histerektomi, dan prostatektomi. Penyakit
yang menurunkan energy seseorang, keadaan kronis yang membutuhkan adaptasi fisik dan psikologis,
serta penyakit berat yang dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi, semuanya dapat
menimbulkan penurunan nyata hasrat seksual pada perempuan dan laki-laki.
Pada sejumlah kasus, hubungan biokimia dikaitkan dengan gangguan hasrat seksual hipoaktif.
Studi terkini menemukan kadar testosterone serum yang jelas berkurang pada laki-laki yang mengeluhkan
menurunnya hasrat dibandingkan dengan kontrol normal dalam situasi laboratorium tidur. Obat-obat yang
menekan sistem saraf pusat (SSP) atau menurunkan produksi testosterone dapat menurunkan hasrat
seksual.
Disfungsi seksual lainnya pada laki-laki akibat keadaan medis umum
Ketika gambaran disfungsi lainnya dominan (contohnya gangguan orgasme) atau ketika tidak ada
gambaran yang dominan, kategori disfungsi seksual lainnnya pada laki-laki akibat keadaan medis umum
harus digunakan.
Gangguan orgasme pada laki-laki dapat memiliki penyebab fisiologis dan dapat terjadi setelah
pembedahan saluran genitourinarius, seperti prostatektomi. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh
penyakit Parkinson dan gangguan neorologis lain yang melibatkan medulla spinalis bagian lumbal atau
sacral. Obat antihipertensi yaitu guanethidine monosulfate (Ismelin); methyldopa (Aldomet), fenotiazin,
obat trisiklik, dan SSRI, diantara obat lainnya, dikaitkan dengan keterlambatan ejakulasi. Gangguan
orgasme pada laki-laki harus dibedakan dengan ejakulasi retrograde, yaitu terjadi ejakulasi tetapi cairan
semen melintas kebelakang ke arah kandung kemih. Ejakulasi retrograde selalu memiliki penyebab
oraganik, gangguan ini dapat timbul setelah operasi genitourinarius dan juga disebabkan oleh obat yang
memiliki efek samping antikolinergik seperti fenotiazin terutama tioridazin (mellaril).
Disfungsi seksual lainnya pada perempuan akibat keadaan medis umum
Sejumlah keadaan medis khususnya penyakit endokrin seperti diabetes mellitus dan
hiperprolaktinemia primer dapat mempengaruhi kemampuan perempuan mengalami orgasme. Sejumlah
obat juga mempengaruhi kapasitas sejumlah perempuan untuk mengalami orgasme. Antihipertensi,
stimulan SSP, obat trisiklik, SSRI, dan yang sering monoamine oksidase inhibitor (MOAI) mengganggu
kapasitas orgasme perempuan. Meskipun demikian, satu studi pada perempuan yang mengkonsumsi
MOAI menemukan bahwa setelah 16 hingga 18 minggu menjalani farmakoterapi, efek samping obat ini
hilang dan perempuan tersebut dapat mengalami orgasme kembali walaupun mereka tetap mengkonsumsi
dosis obat yang tidak dikurangi.
DISFUNGSI SEKSUAL YANG DICETUSKAN ZAT
Diagnosis disfungsi seksual yang dicetuskan zat digunakan ketika bukti intoksikasi zat atau putus
zat jelas melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, taua temuan laboratorium. Disfungsi seksual yang penuh
tekanan terjadi 1 bulan setelah intoksikasi zat atau putus zat yang signifikan (table 18.2-11). Zat tertentu
termasuk alcohol; amfetamin atau zat terkait; kokain, opioid, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik serta zat
lain yang tidak diketahui.
Penggunaan zat rekreasional mempengaruhi fungsi seksual dengan berbagai cara. Dalam dosis
kecil, banyak zat meningktakan kinerja seksual dengan menurunkan penghambatan atau ansietas atau
dengan menimbulkan peningkatan mood sementara. Meskipun demikian dengan berlanjutnya
penggunaan, pembendungan ereksi, orgasme, dan kapasitas ejakulasi menjadi terganggu. Penyalahgunaan
sedatif, ansiolitik, hipnotik, dan terutama opiate hamper selalu menurunkan hasrat. Alkohol dapat
membantu timbulnya aktivitas seksual dengan menyingkirkan penghambatan, tetapi juga mengganggu
kinerja. Kokain dan amfetamin menimbulkan efek serupa walaupun tidak ada bukti langsung yang
menunjukkan bahwa dorongan seksual ditingkatkan, para pengguna awalnya merasa peningkatan energy
dan aktif secara seksual. Akhirnya, disfungsi terjadi