Anda di halaman 1dari 90

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit

Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PEDOMAN STANDAR PENGELOLAAN PENYAKIT


BERDASARKAN KEWENANGAN
TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN

I. PENDAHULUAN
Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi hak dasar rakyat untuk
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan yang telah
dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu pemerintah menetapkan Pembangunan Kesehatan
dalam Program Pembangunan Nasional.
Pemerintah telah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan tingkat
dasar sampai dengan rujukan yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangani
masalah kesehatan di masyarakat. Meskipun pendekatan pelayanan kesehatan sama tetapi
fokus penekanan pelayanan berbeda sesuai dengan kemampuan yang ada pada tiap fasilitas
pelayanan kesehatan. Agar kesinambungan pelayanan kesehatan pada masyarakat dapat
terwujud, diperlukan sistem rujukan yang berjenjang dan terstruktur, dimana ada kejelasan
peran dan fungsinya sesuai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan medis di
pemberi pelayanan kesehatan harus senantiasa dipertahankan bahkan ditingkatkan agar
tercapai pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Demi
Tercapainya penyelenggaraan pelayanan medis yang memenuhi standar tersebut perlu
pedoman pengelolaan berdasarkan kewenangan di tingkat pelayanan kesehatan. Untuk itu
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat bersama FK UNPAD, RSUP Hasan Sadikin Bandung dan
Organisasi Profesi telah menyusun Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit Berdasarkan
Kewenangan Tingkat Pelayanan Kesehatan.
Buku ini menginformasikan bagaimana pengelolaan penyakit mulai dari pelayanan dasar
sampai pelayanan rujukan, perlu tidaknya kasus tersebut dirujuk berdasarkan kewenangan
tingkat pelayanan kesehatan. Sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam peningkatan
kompetensi tenaga kesehatan di pemberi pelayanan kesehatan.

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

II.

2012

DASAR HUKUM
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 128/MENKES/SK/II/2004, tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas.
3. Buku Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit

III. TUJUAN
Umum :
Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang optimal berdasarkan kewenangan
dan kompetensi di tiap jenjang pelayanan kesehatan.
Khusus :
- Tersusunnya pedoman pengelolaan penyakit berdasarkan kewenangan
Pemberi Pelayanan Kesehatan
- Dasar pengkajian untuk rencana pengembangan dan peningkatan
kompetensi tenaga kesehatan

IV. PENYAKIT DAN PENGELOLAANNYA


Pengelompokan penyakit dan bagaimana pengelolaannya berdasarkan kewenangan di
setiap tingkat pelayanan kesehatan terdiri dari :
- Penyakit Anak
- Penyakit Dalam
- Penyakit Kebidanan dan Kandungan
- Penyakit Bedah
- Penyakit THT-KL
- Penyakit Neurologi (Syaraf)
- Penyakit Kulit Kelamin
- Penyakit Mata
- Penyakit Jiwa (Psikiatri)
- Penyakit Gigi dan Mulut

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT ANAK


No

DIAGNOSIS

PPK 1

TB Paru

Skrining tanda serta


gejala klinik

Bronko
Pneumonia

Penilaian
klinis,
diagnostik dan terapi
(BP ringan) sesuai MTBS

Diare

Diagnosis : Diare akut


dengan
/tanpa
dehidrasi, diare dengan
dehidrasi ringan-sedang
Tatalaksana sesuai
protocol

Dehidrasi berat bisa


ditangani
di Puskesmas DTP
4

Penyakit
jantung
bawaan (PJB)

PPK 2

PPK 3

Penilaian
klinis
diagnostik
PPD, rontgen thorax)

dan Diagnostik
dan
(Tes penanganan TB
paru
disertai
komplikasi
(empyema,
atelektasis,
destroyed
lung,
hemoptysis, TB milier,
Multi Drug Resistance TB
(MDR-TB)
Rujuk balik untuk th/ OAT
rujuk balik untuk terapi
OAT)
Penilaian klinis, diagnostik Penegakan diagnostik dan
dgn pemeriksaan penunjang terapi BP berat dengan
(lab dan rontgen)
ancaman gagal nafas
sehingga membutuhkan
ventilator, empysema dan
sepsis.
Penatalaksanaan
rujuk balik
Bronkhopneumoni
Penatalaksanaan
diare Diagnosis
etiologi dan
ringan- sedang yang tidak talaksana diare persisten /
dapat direhidrasi per oral, kronis,
diare
dengan
diare berat, diare akut penyakit penyerta seperti
dengan dehidrasi berat, HIV,
diare
yang
diare disertai komplikasi membutuhkan
seperti sepsis, gangguan pemeriksaan penunjang
elektrolit, (membutuhkan kultur
feses,
dan
kultur feses)
endoskopi
rujuk balik dan
penyuluhan

Deteksi
dini
PJB, Diagnosis PJB melalui
tatalaksana
penyakit pemeriksaan penunjang
penyerta pada PJB.
(EKG, rontgen thorax),
penatalaksanaan penyakit
penyerta PJB

Diagnosis dan tatalaksana


PJB dengan pemeriksaan
echocardiography dan
kateterisasi jantung
Tatalaksana PJB Operatif
TIDAK RUJUK BALIK
Bila tidak dilakukan
operatif rujuk balik

Cerebal Palsy
(CP)

Deteksi dini tumbuh Diagnostik kelaianan


kembang (DDTK)
perkembangan (Denver,
Cat/Clam),

Diagnostik dan skrining CP


dgn comorbid (gangguan
pendengaran,
pengelihatan, RM,
3

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

epilepsi)

Tatalaksana spastisitas,
fisioterapi (klinik tumbuh
kembang)

Gizi buruk

Deteksi
Diagnosis dini

Tatalaksana gizi buruk

PMT
Rujuk

Penatalaksanaan komplikasi

Tatalaksana dan
fisioterapi, penilaian IQ
(URM : fisioterapi, terapi
bicara, terapi okupasi)
Rujuk balik untuk
pemantauan tumbuh
kembang dan stimulasi di
rumah
Tatalaksana kegawatan
dan tatalaksana kelainan
khusus
Diagnosis etiologi
(HIV/AIDS, kelainan
congenital, sindroma
malabsorbsi) Rujuk
balik

Bila memerlukan
pemeriksaan khusus untuk
etiologi (HIV/AIDS, kelainan
Kongenital ) Rujuk
Rujuk balik ke PKM untuk
pemantauan dan PMT
7

ISPA

Thalassemia

Diagnosis
dan
tatalaksana ISPA
Tidak perlu dirujuk

TIDAK PERLU DIRUJUK

Deteksi dini suspek Pemeriksaan penunjang


thalassemia
(darah rutin) dan pemberian
(skrining tanda serta transfusi.
gejala klinik: anemia,
hepatosplenomegali)
kontrol rutin penderita

DF/DHF

Skrining
tanda serta Penanganan DHF Grade II
gejala klinik
sampai dengan DSS (DHF
Grade III dan IV)
Pemeriksaan penunjang Ig
M dan Ig G
Tatalaksana
DF/DHF bila memerlukan perawatan
dengan
pemeriksaan intensif Rujuk ke PPK 3
darah rutin (Puskesmas
DTP)

Penegakan diagnosis
melalui Hb elektroforesa,
pencegahan dan
penanganan komplikasi :
hemosiderosis (chelating
agent), splenektomi,
Rujuk balik untuk
transfusi berkala
Penegakkan diagnosis,
dengan pemeriksaan
penunjang (IgG , IgM,
NS1), DHF yang
memerlukan perawatan
intensif
Rujuk balik paska
perawatan

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

10

Sindroma
Nefrotik

Diagnosis berdasarkan Penegakan diagnostis pasti


gejala
klinis
dan
pemeriksaan
urin
dipstik.
Rujuk untuk diagnosis Rawat inap SN serangan
pasti
pertama (jika dibutuhkan)
rujuk balik untuk
melanjutkan pengobatan
Jika terjadi SN resisten
steroid harus dirujuk

11

Epilepsi

Diagnosis berdasarkan Penanganan status


gejala klinis, tatalaksana epileptikus (pemberian
serangan kejang akut, fenobarbital, fenitoin)
(pemberian diazepam),
kontrol rutin penderita

12

13

14

15

Kejang
demam

Masalah
neonates

Demam Tifoid

Morbili

Rujuk jika terjadi status


epileptikus refrakter/
memerlukan perawatan
intensif ( PICU)

Tatalaksana
kejang Kejang demam kompleks
demam (sederhana)
dan kejang demam status
konvulsivus,
Bila perlu perawatan
intensif/ status epileptikus
refrakterRujuk
Deteksi
kegawatan Tatalaksana
(BBLR,
Infeksi/sepsis, kegawatdaruratan
Ikterus
neonatorum,
kejang
neonatus,
Diagnosis etiologi
asfiksia) Rujuk
Perawatan Bayi baru lahir
level 2
Bila perlu perawatan
intensif (Level III) rujuk
PPK 3
Skrining
tanda serta
gejala
klinik
Tatalaksana
Demam
Tifoid
Pemeriksaan
darah
rutin
(Puskesmas DTP)
Diagnosis
Tatalaksana
simptopmatis

Penatalaksanaan sampai
dengan komplikasi ( Tifoid
ensefalopati, perdarahan,
perforasi usus)
Rujuk balik

Penegakan diagnosis
Tatalaksana komplikasi

2012

Diagnosis lengkap dan


tatalaksana SN resisten
steroid dengan
khemoterapi :
siklofosfamid
Rujuk balik untuk
penanganan lanjutan,
follow up remisi atau
relaps

Pusat diagnositk epilepsi


melalui EEG, CT Scan, MRI.
Pengobatan dengan status
epileptikus refrakter
yang memerlukan PICU
Rujuk balik untuk
pengobatan jangka
panjang
Tatalaksana status
konsulsivus
refrakter/rawat intensif,
pemeriksaan penunjang
untuk penegakan
diagnostik rujuk balik
Tatalaksana
kegawatdaruratan
Diagnosis Etiologi
Diagnosis etiologi
Perawatan Bayi baru lahir
level III
perawatan intensif
stabil rujuk balik

Tidak perlu di rujuk di PPK


3

Tidak perlu di rujuk


di PPK 3
5

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

16

Meningitis

Deteksi komplikasi
Bila ada komplikasi
Rujuk
Deteksi dan tatalaksana Penatalaksanaan
kegawatan (Kejang) kegawatan
Rujuk
Diagnostic etiologi (Lumbal
pungsi ) dan perawatan
non intensif
Bila perlu perawatan
intensif Rujuk ke PPK 3

2012

Penatalaksanaan
komplikasi dan
perawatan intensif
Penegakan diagnosis
etiologi dan komplikasi
(CT scan, MRI, EEG)

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT DALAM


No
1

DIAGNOSIS

PPK 1

PPK 2

PPK 3

DM Tipe 2

Tanpa
komplikasi, NIDDM (4)
TERKENDALI dengan Standar Kompetensi Dokter KKI 2006
1 obat hipoglikemik
oral (OHO)

DM Tipe 2

Tanpa
komplikasi,
TIDAK
TERKENDALI
dengan 1 OHO
rujuk

DM Tipe 2

Tanpa
komplikasi, Tanpa komplikasi, TIDAK Terkendali
TIDAK
TERKENDALI TERKENDALI dengan
1
dengan 1 OHO
OHO pengelolaan
rujuk

Tanpa komplikasi, TIDAK


TERKENDALI dengan
1
OHO pengelolaan
Tanpa
komplikasi,
TERKENDALI dengan
2
OHO
rujuk balik

BERKOMPLIKASI
TERKENDALI dg 2 OHO

& rujuk balik

TANPA KOMPLIKASI &


TERKENDALI
dengan
Insulin
BERKOMPLIKASI
&
TERKENDALI dg Insulin
dikelola 1 bulan
Bila tidak terkendali
rujuk ke PPK 3
DM tipe 2

Hipoglikemi
1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS
2. TERAPI
PENDAHULUAN
3. RUJUK SEGERA

Terkendali
rujuk balik ke PPK 2

HIPOGLIKEMI (3B)
Standar Kompetensi Dokter
KKI 2006

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

DM tipe 2

KOMPLIKASI
(KAD)

AKUT Terkendali pengelolaan

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS
2. TERAPI
PENDAHULUAN
3. RUJUK

DM tipe 2

Hipertensi
Esensial

rujuk balik

2012

Terkendali
rujuk balik

KOMPLIKASI AKUT (KAD)


rujuk
(TIDAK
TERKENDALI
DALAM 48 JAM

Terkendali pengelolaan

Terkendali

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS

rujuk balik

rujuk balik

2. TERAPI
PENDAHULUAN

Tidak terkendali dalam 2


bulan

3. RUJUK

rujuk

Hipertensi esensial

Essential Hypertension (4)

KOMPLIKASI KRONIS

Standar Kompetensi Dokter


KKI 2006
Hipertensi
Esensial

Hipertensi
Sekunder

Pengelolaan
Hipertensi krisis

Terkendali Pengelolaan

rujuk

rujuk balik

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS

Terkendali Pengelolaan

Tidak
terkendali

pengelolaan dan evaluasi

2. TERAPI
PENDAHULUAN

rujuk balik

Terkendali Rujuk balik

3. RUJUK
3

ASHD
(Peny PJK Kronik Stabil
Jantung Koroner 1. TEGAKKAN
Kronik Stabil)
DIAGNOSIS KLINIS
2. TERAPI
PENDAHULUAN
3. RUJUK

PJK Kronik Stabil


Terkendali pengelolaan
RUJUK BALIK
RUJUK
KEMBALI
SETIAP 3 BULAN

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

ASHD (Sindroma Sindroma


Koroner Akut)
Akut (SKA)

Koroner Terkendali pengelolaan

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS

rujuk

2012

Stabil/terkendali (evaluasi
tiap 3 bulan)
rujuk balik

2. TERAPI
PENDAHULUAN
3. RUJUK
ASHD
(Gagal 1. TEGAKKAN
Jantung)
DIAGNOSIS KLINIS

rujuk balik

2. TERAPI
PENDAHULUAN
3. RUJUK
4

Terkendali pengelolaan

rujuk setiap 3 bulan

TBP
tidak TBP kasus baru
berkomplikasi

Uncomplicated Pulmonary
Tuberculosis (4)

tidak berkomplikasi

Standar Kompetensi Dokter


KKI 2006

TB Paru

TB
paru
pneumotoraks

dg Terkendali pengelolaan

(pneumotoraks)

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS

rujuk balik

2. RUJUK SEGERA
TB Paru

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS

Terkendali pengelolaan

(pengobatan
ulang
/berkomplikasi)

2. TERAPI
PENDAHULUAN

rujuk balik

3. RUJUK

TB Paru

1. TEGAKKAN
DIAGNOSIS KLINIS

Terkendali pengelolaan

(MDR/XDR)

2. RUJUK

rujuk balik

Diare
dengan 1. TEGAKKAN
Terkendali pengelolaan
dehidrasi ringan
DIAGNOSA KLINIS
rujuk balik
sedang / berat 2. RUJUK jika tidak
dengan / tanpa
ada fasilitas DTP
komplikasi

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Goiter

1.Tegakkan diagnosis

2012

Pengelolaan di PPK.2

2.Rujuk
7

COPD / Asma 1.Tegakkan diagnosis


bronkiale
2.Rujuk

Terkendali pengelolaan

Pneumonia
tanpa
komplikasi

Terkendali pengelolaan

1. Tegakkan diagnosis

2. Pengelolaan di PPK rujuk balik


1

Arthritis tanpa 1. Tegakkan diagnosis Dirujuk bila ada komplikasi


komplikasi
2. Pengelolaan di PPK atau
memerlukan
1
fisioterapi
Arthritis dengan 1. Tegakkan diagnosis
komplikasi

10

rujuk balik

SLE

Pengelolaan di PPK.2

2. Rujuk

Fisioterapi

1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2

2.Rujuk
11

Gastritis

1. Tegakkan diagnosis Dirujuk dengan catatan bila


2. Pengelolaan di PPK obat di PPK.1 tdk tersedia.
1

12

Demam Dengue

1.Tegakkan diagnosis
2.Pengelolaan di PPK
1 dgn DTP

Demam Dengue 1.Tegakkan diagnosis


dg komplikasi

Pengelolaan di PPK.2

2.Rujuk
DSS

1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2 dgn


fasilitas ICU

2.Rujuk
13

Gagal ginjal akut 1.Tegakkan diagnosis


2.Rujuk

14

GGK terminal

1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2 dgn


fasilitas HD stabil, rujuk
balik
Pengelolaan di PPK.2 dg Jika PPK. 2 tidak ada
fasilitas HD
fasilitas HD

10

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

15

Sindroma
Nefrotik

2.Rujuk

atau sesama
fasilitas sama

PPK.2

1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2 (
Rujuk balik untuk Tapering
off, bisa dilakukan di PPK I)

2012

dg

2.Rujuk
16

Anemia berat

1.Tegakkan diagnosis

Pengelolaan di PPK.2 Stabil


rujuk balik

2.Rujuk
17

Leukemia

1.Tegakkan diagnosis
2.Rujuk

Pengelolaan di PPK.2

18

Perdarahan
saluran cerna

1.Tegakkan diagnosis
2.Rujuk

Pengelolaan
di
PPK.2 Jika PPK.2 tidak ada
dengan fasilitas endoskopi fasilitas endoskopi

19

HIV

1.Tegakkan diagnosis
2.VCT
3.Rujuk

Pengelolaan di PPK.2 utk Jika ada komplikasi.


terapi ARV (ada tim
konseling)

20

Hepatitis akut

1.Tegakkan diagnosis Pengelolaan di PPK.2.


2.Rujuk jika fasilitas Diagnosis tegak, Stabil
rujuk balik
tdk lengkap

Hepatitis kronis

1.Tegakkan diagnosis
2.Rujuk

21

Pengelolaan di PPK.2

Demam tifoid 1.Tegakkan diagnosis


tanpa
2.Pengelolaan di PPK
komplikasi
1 dgn DTP
Demam tifoid 1.Tegakkan diagnosis
dgn komplikasi
2.Rujuk

Pengelolaan di PPK.2.
Diagnosis tegak, Stabil
rujuk balik

11

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


No.
1

DIAGNOSIS

PPK 1

PPK 2

Hipertensi Dalam Kehamilan :


Hipertensi
Gestasional

Skrining :
Test protein urine
Therapi oral anti
hipertensi dapat
diberikan

Penilaian klinis dan


diagnosis
Tidak ada
tanda-tanda preeklamsi
rujuk balik ke PPK I

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Preeklamsi
Ringan

Skrining:
Test Protein urine

Penilaian klinis dan


diagnosis :

Rujuk ke PPK II

Tidak ada tanda-tanda


preeklamsi berat rujuk
balik ke PPK I untuk oral
antihipertensi

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Skrining:
Test Protein urine

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Pemberian MgSO4
Pemberian
antihipertensi
Rujuk ke PPK II

Perawatan/tindakan
terminasi kehamilan

Pemberian MgSO4
Pemberian
antihipertensi
Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Preeklamsi
Berat

Eklamsi

Tindakan terminasi
kehamilan dan rawat
bersama dengan bagian
lain
2

PPK 3

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi HELLP
syndrome atau komplikasi
lain
Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
yang Memerlukan
perawatan ICU
NICU atau dengan
komplikasi HELLP
syndrome atau komplikasi
lain

Perdarahan
Trimester 1:
Abortus
Imminens

Skrining
Sarankan untuk
pemeriksaan USG ke
PPK II

Penilaian Klinis dan


Diagnosis
USG baik
kembalikan ke PPK I

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

USG tidak baik


terminasi
Abortus
Insipiens

Skrining:
sarankan untuk
pemeriksaan USG ke
PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis :
USG baik Rujuk balik

Tidak usah dirujuk ke PPK


III

12

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

USG tidak baik terminasi


Abortus
Inkomplitus

Abortus
Komplitus

Skrining :
Pemeriksaan awal

Penilaian klinis dan


diagnosis :

KU baik rujuk ke
PPK II
KU tidak baik
Perbaiki KU sambil
di rujuk ke PPK II
(boleh dilakukan kuret
tumpul di PONED)

Terminasi

Skrining:
Rujuk ke PPK II untuk
pemeriksaan lanjut

Penilaian klinis dan


diagnosis

Mola
Hidatidosa

Skrining :
Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis :
Terminasi

Kehamilan
Ektopik
Terganggu
(KET)

Skrining :
KU baik Rujuk ke
PPK II
KU
buruk Perbaiki KU
Rujuk PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis:
Laparatomi Operatif

Skrining :
Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis:
Perawatan atau tindakan
setelah baik Rujuk balik
ke PPK I

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain (seperti
kelainan darah dan
penyakit sistemik lainnya)

Skrining :
KU baik rujuk ke
PPK II
KU
buruk perbaiki KU
sambil rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis:
Perawatan/tindakan
terminasi
setelah baik rujuk balik
ke PPK I

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain seperti
kelainan darah dan
penyakit sistemik lainnya )

Skrining :

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Trimester 2:
Perdarahan
Midtrimester

Trimester 3:
Perdarahan
Antepartum
Plasenta previa

Solusio
Plasenta

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain seperti
tirotoksikosis
Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain atau dengan
riwayat infertilitas yang
memerlukan keahlian
subspesialis

13

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

KU baik rujuk ke
PPK II
KU buruk perbaiki
KU sambil di rujuk ke
PPK II
Post Partum:
Perdarahan
Post Partum
Dini:
Atonia Uteri

Luka jalan lahir

Retensio
plasenta

Sisa plasenta

Perdarahan
post partum
lambat:

Skrining:
Resusitasi cairan,
pemberian O2
Rujuk ke PPK II
sambil lakukan
dekompresi manual
Skrining:
KU baik Rujuk ke
PPK II
KU buruk rujuk
sambil resusitasi
cairan dan pemberian
O2
Skrining:
KU baik Rujuk ke
PPK II
KU buruk rujuk
sambil resusitasi
cairan dan pemberian
O2
Skrining:
KU baik Rujuk ke
PPK II
KU buruk rujuk
sambil resusitasi
cairan dan pemberian
O2
Skrining:

KU baik Rujuk ke
PPK II
KU buruk rujuk
sambil resusitasi
cairan dan pemberian
O2

2012

Tindakan terminasi

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Penilaian klinis dan


diagnosis :

Diagnosis dan
Penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Diagnosis
Penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Diagnosis
Penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Diagnosis

Penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

14

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Kelainan Letak

Skrining:
Rujuk ke PPK II
(PONED apabila letak
sungsang dan
pembukaan lengkap)

Penilaian klinis dan


diagnosis:
Dalam kehamilan : Versi
luar apabila berhasil
menjadi letak kepala
Rujuk balik ke PPK I

2012

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Persalinan : terminasi
4

Kehamilan
Multiple

Ketuban Pecah
Dini

Kelainan Janin:
IUGR

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Rujuk ke PPK II untuk


persalinan
(pemeriksaan USG)

Persalinan: terminasi

Skrining:
Rujuk ke PPK II
(skrening : sediakan
lakmus test)

Penilaian klinis dan


diagnosis:
konservatif atau terminasi

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Rujuk ke PPK II
IUFD

Prematur

Gawat Janin

Persalinan
tidak
maju/Distosia

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Dan memerlukan
perawatan NICU

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain
Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Rujuk ke PPK II

Terminasi kehamilan

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Rujuk ke PPK II

Perawatan konservatif atau


terminasi

Dan memerlukan
perawatan NICU

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Rujuk ke PPK II

Terminasi kehamilan

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Rujuk ke PPK II
(dilakukan vakum di
PONED)

Terminasi

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain dan
memerlukan perawatan
NICU
Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

15

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

10

11

12

13

Panggul Sempit

2012

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Rujuk ke PPK II

Terminasi

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Rujuk ke PPK II

Terminasi

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis:

Perbaiki KU sambil
rujuk ke PPK II

Laparotomi eksploratif

Penyakit
Jantung:
Decompensatio
Cordis FC I II

Skrining:
Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis:
Perawatan konservatif atau
terminasi kehamilan

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

Decompensatio
Cordis FC III-IV

Skrining:
Rujuk ke PPK II

Penilaian klinis dan


diagnosis:
Terminasi kehamilan
(dokter IPD harus ada di
PPK II bila ingin di rawat)

Memerlukan perawatan
ICU/CICU
NICU. Perlu pemeriksaan
lanjutan ECHO

Kehamilan
dengan
Komplikasi lain

Skrining:

Penilaian klinis dan


diagnosis

Memerlukan perawatan
ICU/CICU

Infeksi

Skrining:
Tanda-tanda infeksi

Bekas Seksio
sesarea

Ruptura Uteri

Rujuk ke PPK II

Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain
Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain
Diagnosis dan
penatalaksanaan kasus
dengan komplikasi
penyakit lain

NICU
Spesialis lain yang tidak ada
di PPK II
Penilaian klinis dan
diagnosis.

Diagnosis dan penanganan


sepsis dan memerlukan
tindakan diagnosis lanjut
atau perawatan ICU

16

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT BEDAH


No
1

DIAGNOSIS
Appendicitis
Acute

PPK 1
Skrining tanda serta
gejala klinik
Edukasi
Rujuk ke PPK 2

Hemorhoid
interna

Fistula ani
simple

PPK 2
Appendectomy

PPK 3
Appendectomy
laparoskopiDiver

Kontrol Luka

Jika yakin pasien akan


ke RS, beri therapi
pendahuluan
(Antibiotik dan
analgetik)
Penilaian klinis,
Diagnostik dan terapi
(Haemmorrhoid Gr I
dan II)

setelah stabil Rujuk balik

Rujuk ke PPK 2
(Haemorrhoid Gr III
dan IV)

Setelah stabil rujuk balik

Penegakan Diagnosis

Fistulectomy

Therapi pendahuluan

Setelah stabil rujuk ke PPK


1

Haemorroidectomy
Kontrol luka

Rujuk ke PPK 2
4

Fissura ani

Cholelithiasis

Hernia
inguinalis
lateralis
reponibilis

Penegakkan Diagnosis

Therapi dan tindak lanjutan

Therapi Pendahuluan

Setelah stabil rujuk kembali


ke PPK 1

Rujuk ke PPK 2
Deteksi gejala klinik

Penegakkan Diagnosis

Penanganan oleh
Subspesialis

Therapi Simptomatis

melalui Pemeriksaan
Penunjang

Bila telah stabi


rujuk kembali ke PPK 2

Rujuk ke PPK 2

Therapi Pendahuluan

Edukasi

Tindakan operasi
Bila dg penyulit rujuk ke
PPK 3
Hernioraphy

17

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Simptomatis

10

Fibro
Adenoma
Mammae
(FAM)
Lipoma

Ateroma

Struma
Nodosa

Rujuk ke PPK 2
Deteksi dini
Simptomatis
Rujuk Ke PPK 2

Setelah stabil rujuk kembali


ke PPK 1
Ekstirpasi dan PA Jaringan

Simptomatis

Ekstirpasi dlm narkose


umum

Ekstirpasi dan
perawatan luka post
eksisi

Rujuk kembali ke PPK I


untuk perawatan luka

Rujuk ke PPK 2 bila :


Multiple Lipoma,
Tanda2 keganasan
Simptomatis

2012

Ekstirpasi dlm narkose


umum

Ekstirpasi dan
perawatan luka post
eksisi
Rujuk ke PPK 2 bila :
Giant Ateroma

Rujuk kembali ke PPK I


untuk perawatan luka

Deteksi gejala dan


Pemeriksaan Fisik

Penanganan lebih lanjut


(eksisi)

Penanganan
Subspesialistik

Rujuk ke PPK 3 jika


memerlukan penegakkan
diagnostic dan
penanganan subspelialistik

Jika terkontrol, rujuk


kembali ke PPK 2

Edukasi
Simptomatik
Rujuk

18

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT THT-KL


NO
1

DIAGNOSIS
Otitis Media
Supuratif
Kronik dengan
penyulit

PPK 1

PPK 2

PPK 3

skrining tanda dan


gejala klinik

- Penilaian klinis

- Penilaian Klinis

Rujuk ke PPK 2

- Foto Rontgen
( Schuller dan Stenver )
- Kultur resistensi
- Operasi

- Foto Rontgen schuller


dan Stenver
- CT Scan telinga
- Kultur resistensi
- Pemeriksaan OtoMikroskopi
- Tindakan : bedah mikro
telinga

Tumor Kepala
Leher
a. Karsinoma
Nasofaring
b. Karsinoma
Sinonasal
c. Karsinoma
Laring
d. Tumor di
leher

Skrining tanda dan


gejala klinis

Rinosinusitis
dengan/tanpa
polip disertai

- Skrining tanda dan


gejala klinik
- Terapi sesuai

- Rujuk ke PPK 3 bila :


1. Komplikasi
intrakranial
2. Komplikasi
intratemporal
3. Otorea menetap
setelah terapi
Maksimal
- Skrining tanda dan gejala
klinis
- Nasofaringoskopi

- Skrining tanda dan gejala


klinis
- Nasofaringoskopi

- Biopsi, FNAB
- Menerima rujukan balik
dari PPK 3
untuk perbaikan
Keadaan Umum

- FNAB

- Skrining tanda dan gejala


klinis
- Pemeriksaan THT-KL

- Nasoendoskopi

- Biopsi dengan endoskopi


(lokal anestesi)
- Operasi dengan
endoskopi
- Operasi kasus dengan
penyulit
- Radiotherapi
- Kemoiradiasi
- Kontrol setelah tindakan
6 bulan
Pertama
- Rujuk balik ke PPK 2
untuk perbaikan
Keadaan umum

- Kultur resistensi
19

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

penyulit

Pedoman
Tatalaksana

2012

lengkap
- Nasoendoskopi
- Kultur resistensi
- Rontgen sinus ( waters,
Caldwelluck)
- Tindakan bedah hidung
sinus
konvensional
Skrining tanda dan gejala
klinis

- CT Scan Sinus Paranasal


- Tindakan bedah sinus
endoskopi tingkat lanjut

Rhinitis Alergi

Skrining tanda dan


gejala klinis

Epistaksis

Skrining tanda dan


gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala


klinis
- Tampon hidung anterior
- Bila perdarahan tetap
tidak dapat teratasi
Rujuk ke PPK III

- Nasoendoskopi
mencari sumber
Perdarahan
- Tampon hidung anterior
dan posterior
- Ligasi

Benda Asing di
esophagus

- Skrining tanda dan gejala


klinis
- Foto rontgen soft tissue
leher AP dan Lateral

Ekstraksi benda asing


dengan esofagoskopi kaku
dalan narkose umum

Benda asing di
Bronkus

- Skrining tanda dan


gejala klinis
- Foto rontgen soft
Tissues leher AP dan
lateral
- Skrining tanda dan
gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala


klinis

- Foto Thoraks

- Foto thoraks

Skrining tanda dan


gejala klinis

- Skrining tanda dan gejala


klinis

Ekstraksi benda asing


dengan
bronkoskopi kaku dan atau
bronkoskopi
lentur dalam narkose
umum
- Pemeriksaan Brain
Evoked Respon
Audiometri ( BERA )
- Pemeriksaan Auditory
Steady State Respon
- Terapi Wicara

Speech
delayed
(Terlambat
bicara)

- Pemeriksaan Emisi
Otoakustik

- Skrining tanda dan gejala


klinis
- Nasoendoskopi
- Pemeriksaan tes alergi
(Skin Prick Test)
- Immunoterapi

20

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT SYARAF (NEUROLOGI)


NO
1

DIAGNOSIS
PPK 1
(RAWAT INAP)
STROKE
Skrining tanda serta
Perdarahan
gejala klinik
Intra Serebral

PPK 2

PPK 3

Diagnostik dan
penanganan stroke PIS

Diagnostik dan
penanganan stroke PIS
disertai komplikasi
inrakranial (TTIK) dan
ekstrakanial (emboli paru,
respiratory failure)

Penanganan sesuai
guideline stroke
Rujuk ke PPK 1

Manitol 20% (antiedema),


penanganan factor resiko,
rehabilitasi (sesuai
guideline stroke)

CT Scan kepala
Terapi : antiedem, operatif
atas indikasi, rehabilitasi

Pemeriksaan penunjang
(EKG, Foto Thorax, profil
lipid, pemeriksaan darah
perifer lengkap)

Setelah lewat fase akut


rujuk balik

Setelah lewat fase akut


rujuk balik
Bila disertai tanda-tanda
TTIK rujuk PPK 3
2

STROKE
INFARK

Skrining tanda serta


gejala klinik

Diagnostik dan
penanganan stroke infark
dengan komplikasi
Pemeriksaan penunjang :
EKG, Ro-Thorax,
pemeriksaan darah perifer
lengkap, faktor resiko (gula
darah, profil lipid,asam
urat)

Diagnostik dan
penanganan stroke infark
dengan komplikasi

neuroprotektan,
antiplatelet agregasi,
penanganan faktor
resiko (sesuai
guideline stroke)

Terapi: manitol 20%, anti


platelet agregasi,
antikoagulan atas indikasi,
penanganan factor resiko
dan komplikasi

Pemeriksaan penunjang
(EKG, ,CT-scan kepala atas
indikasi, USG
karotis,Transcranial
Doppler,Echocardiografi)

21

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Bila ada komplikasi


(sesuai guideline stroke)
akut (intra dan
ekstrakranial) atau ada
tanda-tanda TTIK
Rujuk ke PPK 2

2012

Terapi : manitol 20%, anti


agregasi platelet,
antikoagula atas indikasi,
fisioterapi (sesuai guideline
stroke)
Perbaikan rujuk balik

FISIOTERAPI
Setelah lewat fase akut
rujuk balik
Bila komplikasi berat dan
tidak tertangani rujuk ke
PPK 3

Meningitis
serosa

Skrining tanda serta


gejala klinik

Diagnostik dan
penanganan Pemeriksaan
Penunjang : LP,
pemeriksaan darah rutin,
kimia, elektrolit, sputum
BTA, foto thorax

Diagnostik dan
penanganan komplikasi
meningitis

Rujuk ke PPK 2

Terapi (kortikosteroid, obat


anti tuberkulosa)

Pemeriksaan penunjang :
CT scan bila ada tandatanda TTIK, LP dengan
pemeriksaan kultur Terapi
sesuai diagnostik,
dexamethason, operatif
bila tanda-tanda TTIK akut

Setelah stabil rujuk ke PPK


1 untuk lanjutan OAT

Perbaikanrujuk balik PPK


2

bila ada tanda-tanda TTIK


atau perburukan klinis
rujuk ke PPK 3

Tetanus

Skrining tanda serta


gejala klinik

Therapi dan tindak lanjutan


Tetanus grade II :

Tindakan lanjutan :
tracheostomi Penanganan
komplikasi tetanus (kejang
tidak teratasi, disotonomi,
pneumonia aspirasi ,
respiratory failure hebat,
kardiomipati, fraktur
kompresi)

22

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Terapi Pendahuluan :
debridement luka, ATS
10.000 u, TT 0,5 cc,
Oksigen, diazepam
injeksi, metronidazole
3x500mg antibiotic
(tetrasiklin
4x500mg) Tetanus
grade I
Tetanus grade II -V
Rujuk ke PPK 2

ATS/HTIG injeksi, TT (bila


belum diberikan di PPK 1),
EKG, Foto thorax

2012

Perbaikan rujuk balik

Terapi : metronidazole
3x500mg (14 hari),
tetrasiklin 4x500 mg (10
hari), debidrement,
diazepam injeksi)
Setelah perbaikan rujuk
kembali ke PPK 1

Tetanus grade III-V rujuk


ke PPK 3
5

ENSEFALITIS

Skrining tanda serta


gejala klinik

Penegakkan Diagnosis : LP

Penanganan komplikasi
pada ensefalitis (status
epileptikus), perlu
perawatan ruang intensif

Penanganan kejang :
diazepam injeksi

Pemeriksaan penunjang :
pemeriksaan darah, foto
thorax, EEG,

Pemeriksaan penunjang :
LP, EEG, CT Scan,
pemeriksaan antigen antibodi spesifik untuk
virus

Antiviral (acyclovir)

Therapi pemberian obat


anti kejang, antiviral,
antipiretik,

Perbaikanrujuk balik

Therapi Simptomatis :
untuk demam
(parasetamol)

Kejang berulang sampai


status rujuk ke PPK 3

Rujuk ke PPK 2

23

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

MYELORADIKU
LOPATI

MYELOPATI

RADIKULOPATI

2012

Skrining tanda serta


gejala klinik

Penegakkan Diagnosis dan


penatalaksanaan

Penegakan diagnostik dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang :
Foto polos vertebra (bila
belum dilakukan), MRI
(atas indikasi), bone
scanning (bila ada
kecurigaan Ca metastasis)

Simptomatis : anti
nyeri (Na diklofenak)
dan tirah baring

Pemeriksaan penunjang :
pemeriksaan darah, foto
thorax, foto vertebra,
myelografi

Terapi : operatif, analgetik,


fisioterapi

Rujuk ke PPK 2

Terapi : anti nyeri (Na


diklofenak)

Rujuk ke PPK 3

Rujuk balik bila tidak mau


operasi atau penanganan
khusus

Skrining tanda serta


gejala klinik

Penegakkan Diagnosis dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang:
foto polos vertebra,
pemeriksaan darah,
myelografi

Penegakan diagnostik dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang :
Foto polos vertebra, MRI

Rujuk Ke PPK 2

Bila terdapat progresivitas


Rujuk Ke PPK 3

Terapi : operatif (sesuai


indikasi)

Skrining tanda serta


gejala klinik

Penegakkan Diagnosis dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang:
foto polos vertebra,
pemeriksaan darah, EMG

Penegakan diagnostik dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang :
Foto vertebra, EMG,MRI
bila ada indikasi

Simptomatis : anti
nyeri (Na diklofenak)

Terapi : operatif sesuai


indikasi

24

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

STATUS
EPILEPTIKUS

Bila tidak ada


perbaikan Rujuk ke
PPK 1

Bila gejala defisit


neurologis berat atau
terapi simptomatis tidak
ada perbaikan rujuk ke
PPK 3

Diagnosa berdasarkan
gejala klinis,
tatalaksana serangan
kejang akut
(pemberian diazepam
dan loading dose OAE)
segera rujuk PPK 1

Penanganan status
epileptikus, mencari
etiologi.

2012

Diagnostik status
epileptikus (EEG, CT scan,
MRI)
Penanganan di
ruang intensif
Bila perbaikan dan kejang
terkontrol Rujuk balik
PPK 2

Rujuk ke PPK 3 jika terjadi


status epileptikus
refrakter/yang
memerlukan perawatan
intensif (ICU), pemberian
OAE
10

SOL
( Tumor
Intrakranial
dan infeksi
intrakranial )

Diagnosa berdasarkan
gejala klinis

Diagnostik dan
penanganan lebih lanjut
TTIK (gejala berupa
penurunan kesadaran,
muntah, nyeri kepala,
papiledema)

Penanganan Subspesialistik
(operatif, kemoterapi,
radioterapi)

Penatalaksanaan :
dexamethason dan
ranitidine injeksi
Rujuk PPK 2

Pemeriksaan penunjang :
foto polos tengkorak, CT
Scan kepala dengan
kontras

Pemeriksaan penunjang :
PA

Jika perbaikan, rujuk


kembali ke PPK 2

Rujuk ke PPK 3 jika


memerlukan penegakkan
diagnostic dan penanganan
subspesialistik

25

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

NO
1

DIAGNOSIS
(RAWAT
JALAN)
Sequele Stroke

PPK 1
Skrining tanda dan
gejala klinis dan faktor
resiko

PPK 2
Penanganan faktor resiko
dan kecacatan
(rehabilitasi)

2012

PPK 3
-

Penanganan preventif Bila ada perbaikan fungsi


stroke sekunder,
rujuk balik PPK 1
faktor resiko,
fisioterapi
Sesuai guideline stroke
Bila deficit neurologis
berat rujuk ke PPK 2

Radikulopati

CTS

Skrining tanda dan


gejala klinis

Penegakkan Diagnosis dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang:
foto polos vertebra,EMG
bila alat tersedia, CT myelo
sesuai indikasi,
pemeriksaan darah

Penegakan diagnostik dan


penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang :
Foto vertebra, EMG,MRI
bila ada indikasi

Simptomatis : anti
nyeri (Na diklofenak),
bila tdk ada
perubahan rujuk ke
PPK 2

Bila gejala defisit


neurologis berat atau
terapi simptomatis tidak
ada perbaikan rujuk ke
PPK 3

Terapi : simptomatis dan


causal, operatif sesuai
indikasi

Bila ada red flag


rujuk ke PPK 2

Bila ada gejala dan tanda


red flag rujuk ke PPRK 3

Skrining tanda dan


gejala klinis

Diagnosa dan penanganan

Penanganan dan diagnostic

Penanganan
simptomatik analgetik,
dan posisioning

EMG bila alat tersedia, USG


carpal tunnel, mencari
factor resiko

EMG

26

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

bila ada deficit


neurologi rujuk ke
PPK 2

2012

penanganan analgetik
deksamethason injeksi
fisioterapi

terapi medikamentosa
operatif bila ada indikasi

bila nyeri teratasi rujuk


balik PPK 1

bila nyeri teratasi rujuk


balik PPK 2

bila deficit neurologi berat


(atrofi) rujuk ke PPK 3

Parkinson

Skrining tanda dan


gejala klinis

Diagnosa dan penanganan,


mencari factor resiko

Diagnosa dan penanganan


Parkinson

Rujuk ke PPK 2

Obat antiparkinson
Pemeriksaan darah untuk
mencari faktor resiko

Pemeriksaan CT Scan
Bila gejala terkontrol
rujuk balik ke PPK 2

Bila gejala tidak teratasi


atau efek samping obat
rujuk ke PPK 3

Parkinson sekunder
rujuk ke PPK 3
Bila ada perbaikan rujuk ke
PPK 1
5

Nyeri kepala

Skrining tanda dan


gejala klinis,
penegakkan diagnose
berdasarkan guideline
nyeri kepala perdossi

Diagnosa dan penanganan


nyeri kepala primer

Diagnosa dan penanganan


nyeri kepala

Bila nyeri kepala teratasi


rujuk balik PPK 1

Pemeriksaan CT Scan, MRI


sesuai indikasi

27

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Bila nyeri kepala tidak


terkontrol, ada nyeri
kepala sekunder dan
terdapat tanda-tanda
bahaya nyeri kepala
(red flag) rujuk ke
PPK 2

2012

Nyeri kepala dengan red


flag rujuk ke PPK 3

Penanganan nyeri kepala


sekunder, operatif bila ada
indikasi

Nyeri kepala sekunder


periksa konsul mata,
THT, gigi dll sesuai kausal

Bila sudah tertangani


rujuk balik ke PPK 2

Bila teratasi rujuk balik


PPK 1

Epilepsi

Vertigo

Skrining tanda dan


Diagnosa dan penanganan
gejala klinis,
kejang pada epilepsi dan
penegakkan diagnosa
mencari etiologi
berdasarkan bangkitan

Diagnosa dan penanganan


kejang

terapi sesuai guideline


epilepsy perdossi

Pemeriksaan penunjang :
EEG, pemeriksaan darah
rutin, elektrolit, SGOT,
SGPT

EEG, MRI

Bila kejang tidak


terkontrol dengan 2
jenis obat antiepilepsi
lini pertama rujuk
ke PPK 2

Terapi sesuai guideline


epilepsy dengan kombinasi
obat

Pemeriksaan darah rutin,


elektrolit, SGOT, SGPT

Setelah kejang terkontrol


rujuk balik ke PPK 1

Terapi kombinasi obat lini


pertama dan lini kedua
sesuai guideline epilepsy

Bila kejang tidak terkontrol


rujuk ke 3

Bila kejang terkontrol


rujuk balik Ke PPK 2

Diagnosa dan penanganan,


mencari etiologi

Diagnosa dan penanganan

Skrining tanda dan


gejala klinis

28

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Nyeri
(termasuk
nyeri
punggung
bawah)

2012

terapi simptomatik

pemeriksaan factor resiko,


CT Scan kepala bila alat
tersedia,

MRI sesuai indikasi

Bila ada deficit


neurologi dan
progresif Rujuk PPK
2 untuk mencari
etiologi dan
penanganan

konsul THT

Tindakan operatif sesuai


indikasi

Terapi simptomatik,
fisioterapi

Terapi simptomatik,
fisioterapi

Bila gejala tidak teratasi


rujuk ke PPK 3

bila gejala teratasi rujuk


balik ke PPK 2

Skrining tanda dan


gejala klinis

Diagnosa dan penanganan


serta mencari etiologi

Diagnosa dan penanganan

terapi simptomatik

Penanganan nyeri :
analgetik, fisioterapi

EMG, MRI sesuai indikasi

Bila ada tanda-tanda


red flag LBP dan
tanda radikuler
rujuk ke PPK 2

Pemeriksaan foto polos


vertebra, EMG sesuai
indikasi dan bila tersedia
alatnya

Tindakan operatif sesuai


indikasi

Analgetik, fisioterapi

Neuropati/
Polineuropati

Bila nyeri progresif dan


belum teratasi dan
terdapat tanda red flag
Rujuk ke PPK 3

Bila nyeri teratasi rujuk


balik ke PPK 2

Skrining tanda dan


gejala klinis

Diagnosa dan penanganan,


serta mencari etiologi

Penanganan dan diagnostic

terapi siimptomatik,
mencari factor resiko

EMG bila alat tersedia

EMG

terapi simptomatik dan


penanganan factor resiko

terapi medikamentosa dan


penanganan factor resiko

29

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

10

Meningitis
(post
perawatan)

2012

Bila gejala tidak


teratasi, progresif
Rujuk ke PPK 2

Bila terdapat deficit


neurologi atau gejala tidak
teratasi rujuk ke PPK 3

bila gejala teratasi rujuk


balik PPK 2

Skrining tanda dan


gejala klinis
Lanjutkan terapi OAT

Diagnostik dan
penanganan Pemeriksaan
Penunjang : LP,
pemeriksaan darah rutin,
kimia, elektrolit, sputum
BTA, foto thorax

Diagnostik dan
penanganan komplikasi
meningitis

Bila gejala klinis


memburuk Rujuk ke
PPK 2

Terapi (kortikosteroid, obat


anti tuberkulosa)

Pemeriksaan penunjang :
CT scan bila ada tandatanda TTIK, LP dengan
pemeriksaan kultur Terapi
sesuai diagnostik,
dexamethason, operatif
bila tanda-tanda TTIK akut

Setelah stabil rujuk ke PPK


1 untuk lanjutan OAT

Perbaikanrujuk balik PPK


2

bila ada tanda-tanda TTIK


atau perburukan klinis
rujuk ke PPK 3

30

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT KULIT KELAMIN


No

DIAGNOSIS

PPK 1

PPK 2

PPK 3

Vitiligo

Terapi topikal untuk


tipe lokalisata
Bila tidak responsif
atau generalisata
rujuk PPK 1

Terapi topikal
Bila tidak responsif rujuk
PPK 3

Terapi topical
Fototerapi

Liken Simpleks
Kronikus

Terapi topical

Sama dengan PPK 1

Konsul ke psikiater apabila


faktor psikis dinyatakan
sebagai penyebab

3.

Psoriasis
vulgaris

Umum: hindari faktor


pencetus
Khusus:
Terapi topikal bila
luas lesi < 5%
Bila tidak responsif
atau luas lesi > 5%
rujuk PPK 2

Umum: hindari faktor


pencetus
Khusus:
Terapi topikal
Terapi sistemik

Sama dengan PPK 2


ditambah fototerapi,
biologic agents

Terapi topical
Terapi sistemik

Terapi topikal
Terapi sistemik
Bila tidak responsif rujuk
PPK 3

Sama dengan PPK 2


ditambah penanganan
komplikasi

Sama dengan PPK 1

Sama dengan PPK 2

4.

Dermatitis
Seboroik

Bila terdapat
komplikasi
eritroderma Rujuk
PPK 2
5.

Dermatitis
Numularis

Terapi topical
Terapi sistemik

Konsul ke bagian Gigi dan


Mulut, THT-KL untuk
penatalaksanaan faktor
pencetus
Bila terdapat komplikasi
artritis konsul IPD
Bila terdapat komplikasi
eritroderma, psoriasis
pustulosa rujuk PPK 3

Konsul ke bagian Gimul,


THT-KL untuk
penatalaksanaan infeksi
fokal
6.

Skabies

Penyuluhan
Terapi topikal
Terapi sistemik

Sama dengan PPK 1

Sama dengan PPK 1

7.

Tinea Kruris

Menghilangkan faktor

Terapi topikal

Sama dengan PPK 2


31

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

predisposisi
Terapi topikal
Terapi sistemik
Bila luas rujuk PPK
2

Terapi sistemik untuk lesi


yang luas

2012

8.

Keloid

Terapi topical
Bila tidak responsif
rujuk PPK 2

Terapi topikal
Tindakan: injeksi
kortikosteroid inralesi
Bila tidak responsif
rujuk PPK 3

Terapi topikal
Tindakan injeksi
kortikosteroid inralesi
dapat dikombinasikan
dengan bedah beku
Eksisi dengan radioterapi

9.

Xerosis Cutis

Menghindari faktorfaktor yang


menambah
kekeringan kulit
Terapi topikal:
pelembab

Sama dengan PPK 1

Sama dengan PPK 1

10.

Dermatitis
Kontak Iritan

Menyarankan kepada
penderita untuk
menghindari bahan
penyebab
Menyarankan
penderita untuk
menggunakan
pelindung seperti
sarung tangan jika
terpaksa harus kontak
dengan bahan
penyebab
Terapi topikal
Terapi sistemik
Bila tidak responsif
rujuk PPK 2

Sama dengan PPK 1


Bila tidak resposif rujuk
PPK 3

Sama dengan PPK 1


Melakukan pemeriksaan
untuk mengetahui bahan
penyebab

32

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT MATA

NO
1.

DIAGNOSIS
KONJUNGTIVITIS

PPK 1

PPK 2

PPK 3

EVALUASI
Riwayat
trauma/kelilipan,
kontak
dengan
penderita
mata
merah,
riwayat
iritasi
dan
alergi/hipersensitiv
itas (udara, debu,
obat, makanan dll)
Pemeriksaan tajam
penglihatan
dengan
kartu
snellen dan koreksi
terbaik
menggunakan
pinhole.
Pemeriksaan
dengan
lampu
senter dan lup
untuk
melihat,
konjungtivabulbi
dan tarsal, dan
memastikan pada
kornea
tidak
ditemukan
kelainan
akibat
perdagangan
konjungtiva.
Konjungtivitas
bakteri
bila
ditemukan
konjungtiva
hiperemis, secret
mukopurulen atau
purulen,
dapat
disertai membrane
atau
pseudomembran
pada konjungtiva
tarsalis.
Konjungtivitis virus
bila
ditemukan
konjungtiva
hiperemis, secret

Sama dengan fasilitas Pemeriksaan


kultur
primer
swab secret konjungtiva
Pemeriksaan komposisi
pada agar darah domba,
air
mata
dengan
agar tioglikolat, dan uji
melakukan pemeriksaan
resistensi anti mikroba.
Schirmer, BUT dan
Ferning, uji anel melalui
pungtum
lakrimalis
untuk menilai ada atau
tidaknya sumbatan.
Pemeriksaan
dengan
slitlamp untuk menilai
keadaan
konjungtiva
bulbi, tarsal, forniks dan
kornea.
Melihat gambaran
secret (mukoserosa,
mukopurulen,
purulen).
Melihat gambaran
folikel,
papil,
membrane
pada
konjungtivitis tarsal
superior dan inferior
dan
konjungtiva
forniks
Melihat gambaran
injeksi dan nodul
pada konjungtivitis
bulbi.
Memastikan
tidak
ditemukan kelainan
pada kornea.
Melihat
kelainan
pada komposisi air
mata,
obstruksi
kelenjar meibom.
Pemeriksaan
swab
secret
dengan
penawaran gram bila
dicurangi
infeksi
bakteri, Giemsa bila
dicurigai virus
33

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

umumnya
mukoserosa dan
pembesaran
kelenjar
limfe
preaurikuler.
Konjungtivitis
alergi
bila
mempunyai
riwayat alergi atau
atopi
dan
ditemukan
keluhan gatal, dan
hiperemis
konjungtiva.
Curigai
Steven
Johnson syndrome
jika
terjadi
konjungtivitis pada
kedua mata yang
timbul
seteleh
minum
atau
mendapatkan
terapi
obatobatan.
Curigai
kojungtivitis
gonore, terutama
pada bayi baru
lahir,
jika
ditemukan
konjungtivitas
pada dua mata
dengan
secret
purulen
yang
sangat banyak.
PENATALAKSANAAN
Berikan tetes mata
kloramfenikol
Berikan obat tetes
(0,5% -1 %)6 kali
mata
antibiotik
sehari atau salep
sprektum luas 6 kali
mata 3x sehari
sehari dan/atau salep
selama minimal 3
mata 3 kali setiap bila
hari bila dicurigai
dicurigai infeksi bakteri
infeksi bakteri.
Berikan salep mata
Berikan salep anti
antivirus asiklovir 5 kali
virus jka sicurigai
sehari bila dicurigai
infeksi virus
infeksi virus.
Berikan tetes mata Berikan tetes mata anti
buatan
6
kali
alergi (kromolin glikat)

Berikan
tetes
antibiotika sesuai hasil
gram atau kultur, 6 kali
sehari atau salep mata
3 kali sehari bila infeksi
bakteri
Berikan tetes antivirus
sdoksuridin
atau
asiklovir bila infeksi
virus.
Berikan
tetes/salep
mata antihistamin atau
kortikosteroid
bila
34

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

sehari
bila
dan/atau anti inflamasi
dicurigai iritasi.
bila dicurigai reaksi
Pada
steven
alergi/hipersensitivitas
Jhonson
Berikan
tetes
/gel
syndrome,
lubrikan atau air mata
diberikan
tetes
buatan bila ditemukan
mata antiinlamasi
iritasi
(sterioid) dan air Dicari
factor
mata
predisposisi penyakit
buatan/lubrikan
yaitu sistemik (diabetes
kemudian rujuk ke
mellitus, TBC, kondisi
fasilitas sekunder
imunitas yang rendah,
untuk
cacingan,
kondisi
mendapatkan
immunocompromised).
penanganan lanjut Keadaan konjungtiva
dari
bagian
diperiksa 3 hari hingga
spesialis kulit.
sidapatkan perbaikan
Pada Konjungtivitis
klinis, Bila tidak ada
gonoro, pada bayi
perbaikan, memburuk
diberikan injeksi
atau terjasi kompliksi
penilisin procain
dalam 1 bulan, dirujuk
50.000
IU/Kg
ke
dokter
mata
bb/hari
dan
konsultan Infeksi dan
kloramfenikol
Imunologi atau fasilitas
tetes mata (0,5% mata tersier.
1,0%) tiap jam.Bila
tidak tidak ada
perbaikan
dan
atau
terjadi
komplikasi pada
kornea,
segera
rujuk ke fasilitas
sekunder
dan
tersier.
Bila tidak ada
perbaikan dengan
terapi dalam 1
minggu
pada
konjungtivitis
bakteri, 2 minggu
pada konjungtivitis
virus dan alergi,
segera rujuk ke
fasilitas sekundrt
atau tersier.

2012

ditemukan reaksi alergi


atau hipersesitivitas.
Bila
ditemukan
kompliksi pada kornea,
penatalaksanaan sesuai
dengan
penatalaksanaan
keratitis/ulkus kornea
Pada Steven Jhonson
syndrome,
berikan
terapi anti inflamasi
(steroid) tropical dan
lubrikan/air
mata
buatan, disertai terapi
dari bagian spesialis
kulit.
Pada
konjungtivitis
gonore,
diberikan
gentamisin/ciprofloxaci
n salep mata, injeksi
ceftriaxon 1 gr single
dose intravena, jika ada
ulkus berikan ceftriaxon
1 gr intravena tiap 12
jam selama 3 hari.Bila
alergi
diberikan
ciprofloxacin 500 mg
oral 2 kali selama 5
hari. Pada bayi berikan
gentamisin/ciprofloxaci
n salep mata injeksi
ceftriaxon 25-50 mg/kg
bb atau cefotaxim
100mg/kg
bb
interavena
atau
intramuskular.
Berikan tetes/ gel mata
lubrikan dan air mata
buatan bila ditemukan
iritasi
Pemeriksaan
klinis
factor predisposisi local
(dry eye, obstruksi
duktus nasolakrimalis
dll),
dilanjutkan
pentalaksanaan
terhadap
kelainan
tersebut pemeriksaan
laboraturium lengkap
darah, urin, feses bila
dicurigai
predisposisi
35

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

penyakit sistemik.
Berikan
terapi
oral/parenteral sistemik
bila ditemukan factor
predisposisi
sistemik
sesuai hasil konsultsi
bagian
yang
bersangkutan.
Keadaan konjungtiva di
periksa tiap 3 hari
hingga
didapatkan
perbaikan klinis dan
evaluasi
pengobatan
terhadap
factor
predisposisi
sistemik
dan local

EVALUASI
KERATITIS
DAN ULKUS
Riwayat
KORNEA

trauma
(kelilipan,
benda
asing di kornea,
khusus
riwayat
trauma
tumbuhtumbuhan
atau
pengunaan
obat
tetes
mata
tradisional
yang
berasal dari tumbuhtumbuhan
dapat
dicurigai disebabkan
oleh
jamur,
penggunaan lensa
kontak), pemakaian
kortikosteroid
topical.
Pemeriksaan tajam
penglihatan dengan
kartu Snellen dan
koreksi
terbaik
menggunakan pinhole.
Pemeriksaan dengan
lampu senter dan
lup untuk melihat
keadaan kornea

Riwayat trauma (kelilipan, Riwayat trauma (kelilipan,


benda asing di kornea,
benda asing di kornea,
khusus riwayat trauma
khusus riwayat trauma
tumbuh-tumbuhan atau
tumbuh-tumbuhan atau
pengunaan obat tetes
pengunaan obat tetes
mata tradisional yang
mata tradisional yang
berasal dari tumbuhberasal dari tumbuhtumbuhan dapat dicurigai
tumbuhan dapat dicurigai
disebabkan oleh jamur,
disebabkan oleh jamur,
penggunaan
lensa
penggunaan
lensa
kontak),
pemakaian
kontak),
pemakaian
kortikosteroid topical.
kortikosteroid topical.
Pemeriksaan
tajam Pemeriksaan
tajam
penglihatan dengan kartu
penglihatan dengan kartu
Snellen
dan
koreksi
Snellen
dan
koreksi
terbaik menggunakan pinterbaik menggunakan pinhole.
hole.
Tekanan intraocular (TIO) Tekanan intraocular (TIO)
diukur dengan cara palpasi
diukur dengan cara palpasi
Pemeriksaan dengan slit Pemeriksaan dengan slit
lamp
untuk
menilai
lamp
untuk
menilai
keadaan
kornea
dan
keadaan
kornea
dan
segmen anterior lainnya :
segmenn anterior lainnya :
Melihat
gambaran
Melihat
gambaran
secret
(serosa,
secret
(serosa,
mukopurulen,
mukopurulen,
purulen).
purulen).
Bentuk
ulkus
Bentuk
ulkus
(pungtata,
filament,
(pungtata,
filament,
dendritik,
geografik,
dendritik,
geografik,
oval, intersisial,dll)
oval, intersisial,dll)
Kedalaman
ulkus
Kedalaman
ulkus
(superficial,
dalam,
(superficial,
dalam,
apakah
ada
apakah
ada
kecenderuangan untuk
kecenderuangan untuk

36

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

perforasi (impending
perforasi (impending
perforation)
dan
perforation)
dan
perforasi.
perforasi.
Pemeriksaan
kerokan
Hipopion dapat ada
korea dengan penawaran
atau tidak ada.
Gram dan pemeriksaan Lakukan
foto
keadan
langsung dengan KOH 10%
kornea
dan
segmen
anterior lainnya.
Pemeriksaan
kerokan
kornea dengan pewarnaan
Gram,
Giemsa
dan
pemeriksaan
langsung
dengan KOH 10%
Pemeriksaan
kultur
kerokan kornea dengan
agar
darah
domba,
tioglikolat
dan
agar
sabouraud dekstrosa.
Bila segmen posterior sulit
dinilai,
lakukan
pemeriksaan
ultrasonografi.
Bila
didapatkan
adanya
kekeruhan vitreus dan
tanda-tanda endoftalmitis,
lakukan
prosedur
endoftalmitis.
PENATALAKSANAAN
Berikan tetes. Salep
mata kloramfenikol
(0,5-1%) enam kali
sehari, atau salep
mata tetrasiklin 3
kali sehari sekurangkurangnya untuk 3
hari.
Jangan
diberikan
kombinasi
antibiotika dengan
obat
yang
mengandung
kortikosteroid
Jang menggunakan
obat-obat
tradisional.
Segera rujuk ke
spesialis
mata
apabila :
Tajam
penglihatan
awal buruk atau
menurun
setelah 3 hari
pengobatan
Tampak
lesi

Pasien sebaiknya dirawat Pasien sebaiknya dirawat


apabila :
apabila:

Lesi ulkus kornea

Lesi ulkus kornea


mengancam
mengancam
penglihatan,
penglihatan,
mengancam
mengancam
perforasi.
perforasi.

Pasien
dianggap

Pasien
dianggap
kurang patuh utnuk
kurang patuh utnuk
pemberian obat tiap
pemberian obat tiap
jam
jam

Diperlukan follow up

Diperlukan follow up
untuk
menilai
untuk
menilai
kebersihan terapi.
kebersihan terapi.
Apabila
ditemukan Apabila
ditemukan
gambaran ulkus kornea
gambaran ulkus kornea
dendritik, geogradik atau
dendritik, geogradik atau
stroma, dapat diberikan
stroma, dapat diberikan
salep mata asiklovir 5 kali
salep mata asiklovir 5 kali
sehari atau tetes mata
sehari atau tetes mata
idoksuridin tiap jam.
idoksuridin tiap jam.
Bila pada pemeriksaan Bila pada pemeriksaan
kerokan
kornea
kerokan
kornea
didapatkan hasil gram
didapatkan hasil gram
positif atau negative
positif atau negative
diberikan antibiotika tetes
diberikan antibiotika tetes
mata
golongan
mata
golongan

37

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
putih di kornea
Tetap
berikan
kloramfenikol tetes
mata saat merujuk
ke spesialis mata di
fasilitasi
sekunder
dan tertier.

aminoglikosida
(gentamisin
,dibekasin,
tobramisin)
dengan
konsentrasi
yang
ditingkatkan (fortified)tiap
jam
atau
golongan
quinolone (sprofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin)
tiap 5 menit pada 1 jam
pertama dilanjutkan tiap
jam. Keadaan kornea
diperiksa tiap hari hingga
didapatkan
adanya
kemajuan
pengobatan,
yang kemudian frakuensi
pemberian
dapat
dikurangi
hingga
2
minggu.
Bila
kerokan
kornea
didapatka hifa jamur (KOH
positif), berikan tetes
mata Natamisin 5 % tiap
jam tiga kali sekali.
Keadaan Korea diperiksa
tiap
hari
hingga
didapatkan
adanya
kemajuan
pengobatan,
yang kemudian frekuensi
pemberian
dapat
dikurangi
hingga
3-5
minggu.
Terapi tambahan yang
dapat diberikan adalah
tetes mata sikloplegik dan
anti glaukoma apabila
didapatkan peningkatan
TIO. Pemberian analgetik
apabila diperlukan.
Lakukan pemeriksaan gula
darah puasa dan 2 jam
setelah makan sebagai
salah satu factor risiko
ulkus kornea.
Rujuk ke spesialis mata
konsultan infeksi dan
imunologi mata atau klinik
mata
tersier
apabila
didapatkan :

Ulkus kornea yang


terjadi pada pasien
yang
hanya
mempunyai
satu
mata

Ulkus kornea pada


anak-anak

Adanya

2012

aminoglikosida
(gentamisin
,dibekasin,
tobramisin)
dengan
konsentrasi
yang
ditingkatkan (fortified)tiap
jam
atau
golongan
quinolone (sprofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin)
tiap 5 menit pada 1 jam
pertama dilanjutkan tiap
jam. Keadaan kornea
diperiksa tiap hari hingga
didapatkan
adanya
kemajuan
pengobatan,
yang kemudian frakuensi
pemberian
dapat
dikurangi
hingga
2
minggu.
Bila
kerokan
kornea
didapatkan hifa jamur,
diberikan tetes mata
Natamisin 5% tiap jam
dan salep mata Natamisin
5 % tiga kali sehari atau
bila
pasien
mampu,
berikan
tetes
mata
amfoterisin B 0,15% tiap
jam
(tetes
mata
amfoterisin B 0,15% dapat
dibuat dengan modifikasi
sediaan bubuk untuk
pemberian
intravena).
Keadaan kornea diperiksa
tiap
hari
hingga
didapatkan
adanya
kemajuan
pengobatan
yang kemusian frekuensi
pemberian
dapat
dikurangi hingga 3-5
minggu.
Terapi tambahan yang
dapat diberikan adalah
tetes mata sikloplegik dan
anti glaukoma apabila
didapatkan peningkatan
TIO. Pemberian analgetik
apabila diperlukan.
Lakukan pemeriksaan gula
darah puasa dan 2 jam
setelah makan sebagai
salah satu factor risiko
ulkus kornea.
Tidakan Bedah:
Keratektomi
superfinansial tanpa
membuat perlukaan

38

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

kecenderungan
untuk perforasi atau
perforasi.
Kedurigaan
ulkus
kornea jamur, tetapi
tidak
mempunyai
fasilitas pemeriksaan
langsung KOH 10%
atau
pewarnaan
jamur lainnya.
Tidak
didapatnya
kemajuan
terapi
setelah
3
hari
pengobatan (ulkus
kornea bakteri) atau
7 pengobatan (ulkus
kornea jamur).

2012

pada
membrane
Bowman
dengan
indikasi :
Keratitis
virus
epitelial
Erosi
kornea
rekuren
Keratektomi
superfinansial hingga
membran
Bowman
atau stroma anterior,
dengan indikasi :
Untuk
menegakkan
diagnosis,
terutama pada
ulkus
kornea
jamur.
Menghilangkan
materi
infeksi,
terutama jamur
Tarsorafi lateral atau
medial
,
dengan
indikasi :
Keratitis terpapar
Keratitis
neuroparalitik
Tissue adhesive atau
graft
amnion
multilayer,
dengan
indikasi :
Ulkus
korena
dengan tissue loss
berukuran kecil
Perforasi kornea
perifer berukuran
kecil
Flap
konjungtiva,
dengan indikasi :
Kecenderungan
perforasi/descem
atocele
Perforasi kornea
di perifer
Patch graft dengan
flap
konjungtiva,
dengan indikasi :
Kecenderungan
perforasi/descemato
cele
Perforasi kornea
di perifer
Keratoplasi tembus,
dengan indikasi :
Mempertahankan

39

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

integritas
bola
mata
- Mengganti jaringan
kornea
yang
terinfeksi
dengan
donor kornea.
Fascia lata graft,
dengan indikasi :
- Mempertahankan
integritas bola mata,
dimana sulit untuk
mendapatkan donor
kornea

GLAUKOMA
KRONIS

EVALUASI
Pemeriksaan tajam
penglihatan dengan
kartu Snellen dengan
koreksi terbaik dan
pin-hole: biasanya
tajam
penglihatan
masih
baik.Pada
stadium
lanjut
didapatkan koreksi
tajam
penglihtan
tidak penuh dengan
pupil melebar dan
berwarna hitam.
Pemeriksaan dengan
lampu senter dan
lup: gambaran bola
mata tidak berbeda
dengan
gambaran
mata normal. Pupil
dapat
terlihat
midriasis dan reflex
cahaya yang lambat.
Pemeriksaan
funduskopi rasio
CD
(Perbandingan
antara
lebar
cekungan
papil
terhadap lebar papil
N.II) sebesar 0,6 atau
lebih.
Pemeriksaan
tekanan intraocular
dengan tonometer
Schiotz : TIO 28 mm
Hg (4,5/7,5) atau
lebih.
Pemeriksaan lapang
pandang dengan tes
konfrontasi
:
menyempit.

Klafisikasi
glaucoma
berdasarkan pemeriksaan
sudut bilik mata depan
(gonioskopi) dibagi ke
dalam glaucoma sudut
terbuka dan glaucoma
sudut
tertutup.
Berdasarkan etiologinya
dibagi kedalam glaucoma
sekunder.
Glaucoma
primer adalah glaucoma
yang
timbul
dengan
sendirinya pada orang
yang mempunyai bakat
bawaan
glaucoma,
sedangkan
glaucoma
sekunder adalah glaucoma
yang
timbul
sebagai
penyulit penyakit mata
lain baik yang sedang
maupun yang pernah
diderita serta penyakit
sistemik.
Glaukoma sudut terbuka
primer (glaucoma kronis)
Glaukoma
sudut
terbuka primer adalah
glaucoma primer yang
ditandai sudut bilik
mata
depan
yang
terbuka, atrifi dan
ekskavasi papil N.II
serta lapang pandang
karakteristik,
yang
bersifat
progessif
lambat,
disebabkan
oleh berbagai factor
risiko, terutama TIO
yang terlalu tinggi
untuk
kelangsungan

Klasifikasi glaucoma mirip


dengan klasifikasi pada
fasilitas sekunder.
Pemeriksaan
tajam
penglihatan menggunakan
kartu Snellen atau chart
projector dengan koreksi
dan
pin-hole.
Tajam
penglihatan sentral sering
masih baik walaupun
penyakit sudah stadium
lanjut.
Pemeriksaan
dengan
biomikroskopi : Gambaran
bola mata tidak berbeda
dengan gambaran mata
normal.
Pupil
dapat
terlihat midriasis dan
reflex cahaya yang lambat.
Bilik mata depan dalam
dengan sudut bilik mata
depan yang terbuka lebar
pada glaucoma sudut
terbuka primer. Bilik mata
depan dangkal dan sudut
bilik mata dengan sempit
pada glaucoma sudut
tertutup primer. Kelainan
glaucoma jenis ini bersifat
bilateral walaupun tidak
selalu simetris pada kedua
mata. Pada glaucoma
sudut terbuka sekunder
harus
dicari
factor
penyebab.
Pemeriksaan sudut bilik
mata
depan
dengan
gonioskopi.
Pemeriksaan funduskopi :
Gambar dan uruaikan papil

40

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

kesehatan mata.
saraf optik.
Glaukoma sudut terbuka Pemeriksaan
tekanan
sekunder
intraocular
dengan
tonometer
Schiotz,
Gambaran klinis yang
tonometri aplanasi, tonomirip
dengan
pen dan bila ada dengan
glaucoma
sudut
tonometer non kontak.
terbuka primer antara
lapang
lain adalah glaucoma Pemeriksaan
pandang
dengan
alat
pigmenter, glaucoma
perimeter kinetic dan
kortikosteroid,
static baik manual maupun
glaucoma
computer:bila
pseudoeksfoliasi,
memungkinkan
dengan
glaucoma angle recess
Octopus atau Humphrey.
setelah trauma tumpul
Bila
memungkinkan
dan lain-lain.
evaluasi papil saraf optic
Glaukoma kronis sudut
dan serabut saraf retina
tertutup primer
dengan alat diagnostic
Glaukoma jenis ini
imaging
seperti
OCT
adalah
glaucoma
(optical
coherence
primer yang ditandai
tomography)dan
HRT
dengan tertutupnya
(Heidelberg
retinal
trabekulum oleh iris
topography).
perifer
secara
perlahan.Bentuk
primer
berkembang
pada mereka yang
memiliki
factor
predisposisi anatomi
berupa sudut bilik
mata depan tergolong
sempit.
Selain sudut bilik mata
depan yang tertutup,
gambaran
klinisnya
asimptomatis
mirip
glaucoma
sudut
terbuka
primer.
Glaukoma
tersebut
dapat
pula
berkembang
dari
bentuk
intermiten,subakut
atau
merambat
(creeping). Glaukoma
jenis
ini
juga
merupakan kelanjutan
glaucoma akut sudut
tertutup primer yang
tidak
mendapat
pengobatan
atau
setelah
mendapat
pengobatan yang tidak
sempurna atau setelah
terapi
iridektomi
perifer/trabekulektomi
(glaucoma residual).

41

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Pemeriksaan
tajam
penglihatan menggunakan
kartu Snellen dengan
koreksi dan
pin-hole.
Tajam penglihatan sentral
sering
masih
baik
walaupun penyakit sudah
stadium lanjut.
Pemeriksaan
dengan
biomiksokopi : Gambaran
bola mata tidak berbeda
dengan gambaran mata
normal.
Pupil
dapat
terlihat midriasis dan
reflex
cahaya
yang
lambat.Bilik mata depan
dalam dengan sudut bilik
mata depan yang terbuka
lebar pada glaucoma sudut
terbuka primer. Bilik mata
depan dangkal dan sudut
bilik mata depan sempit
pada glaucoma sudut
tertutup primer. Kelainan
glaucoma jenis ini bersifat
bilateral walaupun tidak
selalu simetris pada kedua
mata. Pada glaucoma
sudut terbuka sekunder
harus
dicari
factor
penyebab.
Pemeriksaan sudut bilik
mata depan menggunakan
teknik Van Herrick dan
sebaliknya menggunakan
gonioskopi.
Pemeriksaan funduskopi :
terlihat
atrofi
papil
glaukomatosa.
Pemeriksaan
tekanan
intraocular
dengan
tonometer Schiotz : TIO
umumnya lebih dari 21
mm Hg.
Pemeriksaan
lapang
pandang dengan alat
perimeter sederhana atau
perimeter Goldmann :
cacat lapang pandang
galukomatosa.

PENATALAKSANAAN
Tekanan intra ocular
diturunkan dengan

1. GLAUKOMA
TERBUKA PRIMER

SUDUT

1. GLAUKOMA
TERBUKA PRIMER

42

SUDUT

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
obat-obatan secara
bertahap berupa :
- Timolol 0,25% - 0,5%
2x 1 tetes/hari (bila
tidak ada kontra
indikasi)
- Pilokarpin 2% 4 x 1
tetes/hari
- Asetazolamind 3-4 x
125 250 mg/hari
- KCI 2-3 x 0,25 0,5
gr/hari
Obat-obatan
prinsipnya dibeirkan
secara
sendirisendiri, tetapi dapat
dikombinasikan
tergantung
dari
sasaran
TIO.
Umumnya
TIO
diharapkan
lebih
rendah dari 21 mm
Hg.
Oleh karena obatobatan
dibeirkan
untuk jangka lama
dan terus menerus.
Sangat
penting
diperhatikan
kepatuhan penderita
dalam melaksanakan
pengobatannya.
Penerita dirujuk ke
dokter
spesialis
mata,
pelayanan
tingkat
sekunder
atau tersier bila TIO
tetap
diatas
21mmHg, penderita
tidak patuh, tidak
tahan
terhadap
obat-obatan, dalam
stadium
lanjut
glaucoma dan/atau
utnuk
menilai
progresifitas
penyakitnya.
Upaya pencegahan
kebutaan
akibat
glaucoma
memerlukan
penyuluhan
dan
penjaringan
glaucoma
secara
aktif di masyarakat,
baik
untuk

Tujuan
pengobatan
pada penderita yang
terbukti
menderita
glaucoma sudut terbuka
primer
adalah
mencegah berlanjutnya
kerusakan papil saraf
optic. Sampai saat ini
belum ada criteria yang
memuaskan
untuk
menetapkan tingkat TIO
yang dapat diterapkan
aman
untuk
mempertahankan
keadaan
lapang
pandang bagi semua
penderita. Ada yang
menurukan 30% lebih
rendah dari TIO awal.
Adapula
yang
menetapkan
target
pressure
dengan
perhitungan
khusus
yang
bersifat
individual/mata.
a. Medikamentosa
- Pemilihan
obat
untuk pengobatan
awal
didasarkan
pada
penilaian
mata
penderita
dan
status
kesehatan umum.
Bila cacat lapang
pandang
belum
lanjut atau TIO
tidak terlalu tinggi
maka terapi dapat
dicoba pada satu
mata lebih dahulu
untuk
menilai
manfaat dan efek
samping.
- Terapi
medikamentosa
bersifat
monoterapi
dimulai
dengan
timolol
maleat
(C.Timol) 0,25% 0,5% satu sampai
2x sehari bila tidak
ada kontraindikasi
atau
obat-obat
baru yang lain
(seperti glaupen,

2012

Medika mentosa
- Prinsip terapi mirip
dengan penanganan
pada
fasilitas
sekunder,
namun
dapat
pula
menggunakan obatobatan jenis terbaru,
seperti :
Prostaglandin
analog (Glaupen,
Glauplus,
Xalatan,
Travatan)
Penghambat
karbonik
anhidrase topical
(Dorzol, Azopt)
Alpha 2 agonist
adrenergic
Terapi laser beurpa
trabekuloplasti
argon
laser,
trabekuloplasti laser
selektif

Terapi
bedah
berupa
trabekulektomi
tanpa/atau
dengan
Mitomisin C/5Fluorourasil, non
penetrating
filtering surgery,
operasi drainase
implant,
siklodiatermi
dan
operasi
kombinasi
katarak
dan
glaukoma.
2. GLAUKOMA
SUDUT
TERBUKA SEKUNDER
Cari faktor penyebab
Medikamentosa
Prostaglandin
analog
(Glaupen,
Glauplus,
Xalatan,
Travatan)
Penghambat
karbonik
anhidrase
topical (Dorzol,
Azopt).

43

2012

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
penemuan
kasus
maupun deteksi dini.

glauplus, xalatan,
travatan, dorzol,
azopt). Bila dengan
obat
pertama
keadaan TIO yang
diharapkan belum
tercapai
tetapi
obat
tersebut
dianggap berespon
baik
(mencapai
nilai
efektif
farmakologis)
dapat ditambahkan
obat tetes lainnya,
tetapi bila bila
dianggap
tidak
efektif maka obat
pertama
diganti
dengan obat lain,
lalu
penilaian
diulang lagi. Bila
dengan
monoterapi atau
kombinasi ternyata
belum mencapai
sasaran
beurpa
penurunan
TIO
yang
tidak
memuaskan atau
tetap berlanjutnya
kerusakan
atau
sejak awal tekanan
lebih
dari
30
mmHg maka dapat
diberikan
terapi
sistematik dengan
penghambat
karbonik
anhidrase. Obat ini
biasanya dimulai
dengan dosis 125
mg, 3 4 kali per
hari.
Bila
efektivitas
yang
diharapkan belum
tercapai,
maka
dosis ditingkatkan
menjadi 250 mg
tiap 6 jam atau 500
mg setiap 12 jam.
Pada
setiap
pemberian
obat
asetazolamide
harus disertakan
pemberian
obat
preparat
kalium

Alpha 2 agonist
adrenergic
Terapi laser berupa
trabekuloplasti argon
laser, trabekuloplasti
laser selektif.
Terapi bedah berupa
trabekulektomi
tanpa/ atau dengan
mitomisin
C/5Fluorourasil,
non
penetrating filtering
surgery,
operasi
drainase
impant,
siklodiatermi
dan
operasi
kombinasi
katarak
dan
glaukoma.

3. GLAUKOMA
KRONIS
SUDUT TERTUTUP PRIMER

Terapi
medikamentosa
diberikan
baik
sebelum
terapi
definitive iridektomi
perifer
maupun
setelahnya.

Tindakan
bedah
trabekulektomi bila
TIO diatas 21 mmHg
setelah
tindakan
iridektomi
perifer
dan medikamentosa

Tindakan
bedah
kombinasi
trabekulektomi dan
katarak bila ada
indikasi keduanya.
Tindakan iridektomi perifer
laser atau trabekuloplasti
Pra dan setelah tindakan
diberikan alpha 2 agonis
Pemberian anti inflamaasi
topical setelah tindakan
selama 2-3 hari
Follow up tindakan laser
setelah 1 hari, 1 minggu
selanjutnya 4-8 minggu
minggu setelah tindakan
IP/trabekuloplasti laser.
Bila
TIO
naik
pertimbangan pemberian
medikamentosa
atau
tindakan trabekulektomi.
Minggu ke 8 lakukan

44

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
(KCL 0,5 gr) 2 -3 x,
0,25 0,5 gr per
hari.
b. Tindakan bedah :
- Bila
dengan
pengobatan
medikamentosa
diatas
belum
memuaskan
sebaiknya penerita
dipertimbangkan
untk
dilakukan
terapi
bedah
(trabekulektomi
atau
non
penetrating
filtering surgery)
atau
dikonfirmasikan
untuk
kemungkinan
tindakan lain ke
pelayanan tingkat
tersier.
Instruksi bagi penderita :
Dalam
pengobatan
glaukoma penting sekali
untuk memberikan instruksi
pada penderita mengenai
waktu dan pemakaian obat
termasuk cara menekan
daerah kantus internus
untuk mencegah absorpsi
sistemik obat tetes.Dokter
harus merencanakan dan
membicarakan saat dan
jenis
pengobatan
dan
meyakini bahwa nama obat
dan jam pemberiannya ada
tertulis di label botol.
Tambahan pula pasien
harus diberitahu dengan
kata-kata yang sederhana
mengenai
mekanisme
terjasinya glaukoma, alasan
dan tujuan pengobatan,
cara berbagai obat bekerja
dan efek samping yang
mungkin terjadi, Hal ini
perlu dalam upaya menjaga
kepatuhan penderita dalam
berobat.
Pasien harus diyakinkan
perlunya
pemeriksaan
kontrol berkala seumur
hidup
mengenai
TIO,

2012

gonioskopi dan cek TIO.


Perawatan setelah tindakan
trabekulektomi
Berikan
kombinasi
antibiotic
dan
anti
inflamasi topical serta
antibiotic sistemik
Kontrol 1 hari pasca
bedah
Kontrol 7-10 hari pasca
bedah
Kontrol setiap minggu
sampai 1 bulan
Kontrol tiap 4-6 bulan bila
keadaan baik
Evaluasi dan follow up pasien
glaukoma kronis
Perhatikan ada tidaknya
progresfitas papil atrofi
glaukomatosa
Fundudkopo,OCT,HRT
:
Evaluasi setiap 6- 12
bulan.
Perhatikan ada tidaknya
pertambahan
skotoma/kelainan lapang
pandang
dengan
automatic
perimeter
setiap
6-12
bulan:
Octopus,Humphrey
Lakukan
Gonioskopi
minimal setiap 3 bulan

45

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

penilaian papil N.II dan


lapang pandang, serta
penggunaan obat tetes
yang benar/patuh seperti
yang
diinstruksikan
kepadanya.
Penderita
sebaiknya
mengetahui nama dan
konsentrasi
obat
yang
sedang
digunakan.Kartu
pengenal tanda penderita
glaukoma
yang
harus
dibawa penderita mungkin
ada
manfaatnya.Penting
pula pasien dan dokter lain
yang
merawatnya
mengetahui efek samping,
alergi dan kemungkinan
keracunan obat glaukoma.
Bila
dengan
penatalaksanaan
diatas
masih juga menunjukkan
kemunduran maka dirujuk
ke tingkat tersier untuk
dipelajari lebih lanjut.
Keluarga langsung perlu
diikutsertakan
dalam
penatalaksanaan penderita
2. GLAUKOMA
SUDUT
TERBUKA SEKUNDER
Cari
factor
penyebab
seperti yang tertulis di atas,
kemudian tentukan :
Medikamentosa
Tindakan bedah :
- Iridektomi perifer
- Trabekulektomi
- Bedah
katarak/ekstraksi
lensa.
3. GLAUKOMA KRONIS SUDUT
TERTUTUP PRIMER
Tindakan
bedah
iridektomi perifer pada
kedua mata
Medikamentosa obatobat glaucoma untuk
menurunkan
tekanan
intraokular
- Pilokarpin 2% 4 x
perhari.
- Timolol 0,5 % 2 x
sehari.
- Asetazolamid 2-3 x

46

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

250
mg
sehari
disertai dengan KCI
2-3 x 500mg
- Obat-obat
baru
seperti : Glaupen,
Glauplus,
Xalatan,
Travatan,
Dorzol,
Azopt.
Tindakan
bedah
trabekulektomi,
bila
dengan
tindakan
iridektomi perifer dan
obat-obatan
tekanan
intraocular masih diatas
21 mmHg.
4

KATARAK PADA
PENDERITA
DEWASA

EVALUASI
Pemeriksaan visus
dengan kartu Snellen
dengan
koreksi
terbaik
serta
menggunakan pinhole
Pemeriksaandengan
lampu senter dan lup
untuk
segmen
anterior
dimana
tidak
ditemukan
kekeruhan
kornea
dan tampak refleks
pupil yang masih
baik.
Tekanan intraokular
(TIO) diukur dengan
tonometer Schiotz.
Jika TIO dalalm batas
normal (kurang dari
21 mmHg) dilakukan
dilatasi pupil dengan
tetes
mata
tropicamide
0.5%,
setelah pupil cukup
lebar
dilakukan
pemeriksaan dengan
lampu senter dan lup
untuk
melihat
adanya kekeruhan
lensa.
Pemeriksaan
funduskopi dengan
oftalmoskop
langsung
untuk
melihat
segmen
posterior jika katarak
masih tidak terlalu

Pemeriksaan visus dengan


kartu
snellen
dengan
koreksi
terbaik
serta
mengunakan pin-hole.
Pemeriksaan dengan slit
lamp
untuk
melihat
segmen anterior.
Tekanan intraokular (TIO)
diukur dengan tonometer
Schiotz.
Jika TIO dalam batas
normal (kurang dari 21
mmHg) dilakukan dilatasi
pupil dengan tetes mata
tropicamide 0.5%, setelah
pupil cukup lebar dilakukan
pemeriksaan dengan slit
lamp
melihat
derajat
kekeruhan lensa apakah
sesuai
dengan
tajam
penglihatan pasien.
Dilakukan
pemeriksaan
fundus
dengan
oftalmoskopi langsung atau
pun tidak langsung.

Pemeriksaan visus dengan


kartu Snellen atau chart
projector dengan koreksi
terbaik
serta
menggunakan pin-hole.
Pemeriksaan dengan slit
lamp
untuk
melihat
segmen anterior.
Tekanan intraokular (TIO)
diukur dengan tonometer
non-contact, aplanasi atau
Schiotz
Jika TIO dalam
batas
normal (kurang dari 21
mmHg) dilakukan dilatasi
pupil dengan tetes mata
tropicamide 0.5%, setelah
pupil
cukup
lebar
dilakukan
pemeriksaan
dengan slit lamp melihat
derajat kekeruhan lensa
apakah sesuai dengan
tajam penglihatan pasien.
Derajat
katarak
ditentukan
sebagai
berikut :
a. Derajat 1 : Nukleus
lunak, biasanya visus
masih lebih baik dari
6/12, tampak sedikit
keruh dengan warna
agak
keputihan.
Refleks fundus juga
masih
dengan
mudah
diperoleh
dan usia pendirita
juga biasanya kurang
dari 50 tahun.

47

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
keruh

2012

b.

Derajat 2 : Nukleus
dengan kekerasan
ringan,
tampak
nukleus mulai sedikit
berwarna
kekuningan,
visus
biasanya antara 6/12
sampai 6/30. Refleks
fundus juga masih
mudah
diperoleh
dan katarak jenis ini
paling
sering
memberikan
gambaran
seperti
katarak
subkapsularis
posterior.
c. Derajat 3 : Nukleus
dengan kekerasan
medium,
dimana
nukleus
tampak
berwarna
kuning
disertai
dengan
kekeruhan korteks
yang
berwarna
keabu-abuan. Visus
biasanya antara 3/60
sampai 6/30.
d. Derajat 4 : Nukleus
keras,
dimana
nukleus
sudah
berwarna
kuning
kecoklatan dan visus
biasanya antara 3/60
sampai 1/60, dimana
refleks
fundus
maupun
keadaan
fundus sudah sulit
dinilai.
e. Derajat 5 : Nukleus
sangat
keras,
nukleus
sudah
berwarna kecoklatan
bahkan ada yang
sampai
berwarna
agak
kehitaman.
Visus biasanya hanya
1/60 atau lebih jelek
dan usia penderita
sudah diatas 65
tahun. Katarak ini
sangat keras dan
disebut
juga
brunescent cataract
atau black cataract.
Dilakukan
pemeriksaan

48

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

fundus
dengan
oftalmoskopi
langsung
ataupun tidak langsung.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
bersifat non bedah,
dimana
pasien
dengan virus > 6/12
diberikan kacamata
dengan
koreksi
terbaik.
Jika visus <6/12 atau
sudah mengganggu
untuk
melakukan
kegiatan sehari-hari
berkaitan
dengan
pekerjaan
pasien
atau ada indikasi lain
untuk
opersai,
pasien dirujuk ke
dokter spesialis mata
pada
fasilitas
sekunder
atau
tersier.

Penatalaksanaan bersifat
non bedah, dimana pasien
dengan virus > 6/12
diberikan
kacamata
dengan koreksi terbaik.
Jika visus <6/12 atau
sudah mengganggu untuk
melakukan
kegiatan
sehari-hari
berkaitan
dengan pekerjaan pasien
atau ada indikasi lain
untuk
opersi,
dapat
dilakukan operasi ECCE
(Extra capsular cataract
extraction)
Operasi katarak dilakukan
menggunakan mikroskop
operasi dan peralatan
bedah mikro, dimana
pasien dipersiapkan untuk
implantasi lensa tanam
(IOL : Intraocular lens)
Ukuran
lensa
tanam
dihitung berdasarkan data
keratometri
serta
menggunakan biometri Ascan, tetapi bisa juga
berdasarkan anamnesis
menggunakan IOL standar
(power +20.00) dikurangi
ukuran kacamta yang
selama ini digunakan
pasien.Misalnya
jika
pasien
menggunakan
kacamata S-6.00 dapat
diberikan
IOL
power
+14.00
Perhatikan
juga
rekomendasi
tindakan
bedah katarak.

Penatalaksanaan bersifat
bedah, jika visus sudah
mengganggu
untuk
melakukan
kegiatan
sehari-hari
berkaitan
dengan pekerjaan pasien
atau ada indikasi lain
untuk operasi.
Operasi katarak dilakukan
menggunakan mikroskop
operasi dan peralatan
bedah mikro, pasien
dipersiapkan
untuk
implantsi lensa tanam (I)L:
intraocular lens)
Ukuran
lensa
tanam
dihitung berdasarkan data
keratometri
serta
menggunakan biometri Ascan.
Teknik bedah katarak
menggunakan
teknik
manual ECCE atau pun
fakoemulsifikasi dengan
mempertimbangkan
derajat katarak serta
tingkat kemampuan ahli
bedah
Operasi katarak hanya
dilakukan jika visus sudah
mengganggu
kegiatan
sehari-hari pasien dimana
pasien
berkesempatan
melakukann
diskusi
dengan dokter mengenai
alternative lain selain
operasi,risiko
operasi,
serta perawatan pasca
operasi.
Pasien mengisi surat izin
tindakan medis (informed
consent).
Setiap kali melakukan
pemeriksaan pre operasi
mencakup hal-hal berikut
:
Anamnesis riwayat
penyakit
mata,
penyakit
lain
ataupun alergi.

49

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
-

2012
Visus tanpa koreksi
dengan Snellen serta
refraksi terbaik.
Pengukuran tekanan
intraocular
Penilaian
fungsi
pupil (reflex pupil).
Pemeriksaan mata
luar
(external
examination) dengan
senter dan lup atau
slit lamp bergantung
fasilitas.
Pemeriksaan fundus
dengan dilatasi pupil

Dokter spesialis mata


yang akan melalukan
operasi katarak sebaiknya
memperhatikan persiapan
preoperasi
sebagai
berikut :
Memeriksa
pasien
sebelum operasi.
Memberikan
infomasi
kepada
pasien
mengenai
resiko, keuntungan
dan kerugian operasi
serta harapan yang
sewajarnya dari hasil
operasi.
Memperoleh surat
izin tindakan medis
(informed consent)
Memastikan bahwa
hasil keratometri dan
biometri A Scan
sesuai dengan mata
yang akan dioperasi,
jika pasien tersebut
direncanakan
implantasi
lensa
tanam.
Menentukan
kekuatan
lensa
tanam yang sesuai,
jika pasien tersebut
direncanakan untuk
implantasi
lensa
tanam.
Membuat rencana
pembedahan (jenis
anesthesia,
penempatan sayatan
dan konstruksi luka,

50

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

refraksi
pasca
operasi
yang
direncanakan serta
jadwal pemeriksaan
pasca bedah).
Melakukan evalusi
pre operasi diatas
termsuk
pemeriksaan
laboraturium serta
berdiskusi
dengan
pasien
ataupun
keluarga pasien yang
dianggap
lebih
mengerti dan dapat
bertindak atas nama
pasien.
Operasi katarak bilateral (
operasi dilakukan pada
kedua mata sekaligus
secara beruntun) sangat
tidak dianjurkan berkaitan
dengan
risiko
pasca
operasi
(endoftalmitis)
yang bisa berdampak
kebutaan.Tetapi
ada
beberapa keadaan khusus
yang bisa dijadikan alasan
pembenaran
dan
keputusan
tindakan
operasi katarak bilateral
ini
harus
dipikirkan
sebaik-baiknya.
Operasi
tidak
boleh
dilakukan pada keadaan
sebagai berikut :
Pasien menolak
tindakan operasi
Pemberian kacamata
ataupun alat bantu
penglihatan lainnya
masih
cukup
memuaskan
bagi
pasien.
Ada dugaan bahwa
operasi tidak dapat
meningkatkan
penglihatan pasien
pasca operasi.
Kualitas hidup pasien
belum
terganggu
dengan
gangguan
penglihatan
yang
dialaminya.
Pasien tidak dapat
menjalani
operasi

51

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
katarak
berkaitan
dengan
penyakit
mata lain ataupun
keadaan kesehatan
akibat
penyakit
lainnya.
Pasien tidak dapat
memberikan surat
izin tindakan medis
yang sah secara
hukum
karena
kurang pengertian
ataupun
kurang
informasi.
Pasien tidak dapat
mengikuti petunjuk
pengobatan pasca
operasi.

Dokter spesialis mata


yang melakukan operasi
ataupun
staf
dokter
tersebut,
berkewajiban
mendidik,
menjelaskan
dan member instruksi
kepada pasien mengenai
gejala ataupun tandatanda
mengenai
kemungkinan terjadinya
komplikasi pasca operasi,
penggunaan
proteksi
mata, adanya pembatas
kegiatan,
pengobatan,
jadwal kunjungan lanjutan
(follow up) dan petunjuk
dimana
harus
mendapatkan perawatan
darurat jika diperlukan.
Dokter spesialis mata/staf
juga
menerangkan
mengenai tanggung jwab
pasien untuk mengikuti
petunjuk yang harus
dilakukan
selama
perawatan pasca operasi
dan pasien harus segera
menghubungi
dokter
tersebut jika mengalami
masalah.
Pemriksaan
lanjutan
pasca operasi (follow up) :
Frekuensi
pemerksaan pasca
bedah
ditentukan
berdasarkan tingkat
pencapaian
visus

52

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
optimal
yang
diharapkan.
Pada pasien dengan
risiko tinggi, seperti
pada pasien dengan
satu
mata,
mengalami
komplikasi intra
operasi atau ada
riwayat
penyakit
mata
lain
sebelumnya seperti
uveitis,
glaukoma
dan lain-lain, maka
pemeriksaan harus
dilakukan harus satu
hari setelah operasi.
Pada pasien yang
dianggap
tidak
bermasalah
baik
keadaan pre-operasi
maupun
intra
operasi serta diduga
tidak
akan
mengalami
komplikasi lainnya
maka
dapat
mengikuti petunjuk
pemeriksaan
lanjutan (follow up)
sebagai berikut:
Kunjungan
pertama:
dijadwalkan
dalam waktu 48
jam
setelah
operasi
(untuk
mendeteksi dan
mengatasi
komplikasi dini
seperti
kebocoran luka
yang
menyebabkan
bilik
mata
dangkal,hipotonu
s,
peningkatan
tekanan
intraocular,
edema
kornea
ataupun tandatanda
peradangan.
Kunjungan kedua
:
dijadwalwak

53

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012
pada hari ke 4-7
setelah operasi
jika
tidak
dijumpai masalah
pada kunjungan
pertama, yaitu
untuk
mendeteksi dan
mengatasi
kemungkinan
endoftalmitis
yang
paling
sering
terjadi
pada
minggu
pertama pasca
operasi.

Kunjungan
ketiga:
dijadwalkan
sesuai
dengan
kebutuhan
pasien
dimana
bertujuan untuk
memberikan
kacamata sesuai
dengan refraksi
terbaik
yang
diharapkan.
Obat-obat
yang
digunakan
pasien
pasca
operasi
bergantng
dari
keadaan mata serta
disesuaikan dengan
kebutuhan masingmasing
pasien
(misalnya analgetika,
antibiotika oral, anti
glaukoma
atau
edema kornea, dan
lain-lain).
Tetapi
penggunaan
tetes
mata
kombinasi
antibiotika
dan
steroid
harus
diberikan
kepada
pasien
untuk
digunakan
setiap
hari selama minimal
2 minggu pasca
operasi.

54

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
5

PTERYGIUM

2012

EVALUASI
Pemeriksaan cukup
dengan lup dan
lampu
senter,
diperiksa
segmen
anterior
serta
ditentukan derajat
pertumbuhan
pterygium
Tajam penglihatan
penderita diperiksa
dengan Snellen
Tekanan intraokular
(TIO) diukur dengan
tonometer Schiotz
untuk memastikan
tidak ada penyakit
penyerta
lainnya
(glaukoma).
Pada
pterygium derajat 4
yang tidak dapat
diukur
dengan
tonometer Schiotz,
perkiraan
TIO
diperiksa
dengan
cara palpasi digital
(dengan jari tangan).

Pemeriksaan dengan slit


lamp, diperiksa segment
anterior serta ditentukan
derajat
pertumbuhan
pterygium
Tajam
penglihatan
penderita
diperiksa
dengan kartu Snellen, lalu
dikoreksi
dengan
menggunakan trial frame.
Tekanan intraokular (TIO)
diukur dengan tonometer
Schiiotz
untuk
memastikan tidak ada
penyakit penyerta lainnya.
Pada pterygium derajat 4
yang tidak dapat diukur
dengan
tonometer
Schiotz, perkiraan TIO
diperiksa dengan cara
palpasi digital (dengan jari
tangan).

Pemeriksaan dengan slit


lamp, diperiksa segment
anterior serta ditentukan
derajat
pertumbuhan
pterygium.
Tajam
penglihatan
penderita
diperiksa
dengan kartu Snellen, lalu
dikoreksi
dengan
menggunakan trial frame.
Astigmatisme
kornea
diperiksa
dengan
keratometer baik secara
manual
maupun
menggunakan alat autorefrakto-keratometer
Tekanan intraokular (TIO)
diukur
dengan
cara
aplanasi
ataupun
menggunakan tonometer
non kontak.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
bersifat non bedah,
penderita
diberi
penyuluhan untuk
mengurahi
iritasi
maupun
paparan
terhadap ultra
violet.
Pada
pterygium
derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi,
pasien
dapat
diberikan obat tetes
mata
kombinasi
antibiotic
dan
steroid seperti CXitrol 3 kali sehari
selama 5-7 hari.
Diperhatikan
juga
bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak
dibenarkan
pada
penderita
dengan
TIO
yang
tinggi

Penatalaksanaan
bersifatnon bedah pada
pterygium derajat 1 dan 2,
yaitu edukasi terhadap
pasien untuk mengurangi
iritasi dan paparan ultra
violet. Jika pterygium
mengalami
inflamasi,
dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotic
dan steroid sepertiCXitrol 3 kali selama 5-7
hari. Diperhatikan juga
bahwa
penggunaan
kortikosteroid
tidak
dibenarkan
pada
penderita dengan TIO
yang
tinggi
ataupun
mengalami
kelainan
kornea.
Pada pterygium derajat 3
dan 4, dilakukan tindakan
bedah
berupa
avulsi
(pengangkatan)

Penatalaksanaan
pada
fasilitas tersier bersifat
bedah
dengan
memperhatikan
tujuan
utama dari pengangkatan
dari pterygium, yaitu:
Teknik
operasi
yang
dianjurkan adalah dengan
avulse pterygium disertai
cangkok
konjungtiva
(conjunctival limbal graft)
Penggunaan Mitomycin C
sebaiknya hanya pada
untuk penanganan kasus
pterygium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari
mitomycin C yang cukup
berat.
Sebagai
perbandingan
angka kekambuhan pasca
pengangkatan pterygium
dapat dilihat dari berbagai

55

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
ataupun mengalami
kelainan kornea.

pterygium.
Sedapat
mungkin setelah avulse
pterygium maka bagian
konjungtiva
bekas
pterygiumtersebut
ditutupi dengan cangkok
kongjungtiva yang diambil
dari bagian kanjungtiva
superior
untuk
menurunkan
angka
kekambuhan.

2012

laporan sebagai berikut.

TECHNIQUE
RECURENCE RATE
Bare
61 % (Tan et al)

Sclera

40% (Figuiredo et al)


Conjunctival
18% (Wong et al)

Graft

25,9% (Mabar et al)


Conjuctival
Limbal
14,6% (Mutlu et al)

Graft

Intra-Operative Mitomycin C
5,8% (Helal et al)
Amniotic
Membrane
10,9%(Prabhasawat et al)
Transplantation
3% (Solomon et al)
6

KELAINAN
REFRAKSI
PADA ANAK

EVALUASI
Mengenali
gejala
dan tanda pada
masing-masing
kelainan
refraksi
sesuai usia. Usia
biasanya
dibagi
menjadi 3 kelompok
yaitu usia < 2 thn,
usia prasekolah (2-5
thn),
dan
usia
sekolah.
Pemeriksaan posisi
dan gerak bola mata.
Pemeriksaan visus
yang
disesuaikan
dengan
umur
(kelompok
non
verbal
dengan
pemeriksaan fiksasi,
simbol chart, E Chart
dan kelompok verbal
dengan
Snellen
chart)
Pemeriksaan segmen
anterior
dengan
senter dan lup

Mengenali gejala dan


tanda pada msing-masing
kelainan refraksi sesuai
dengan umur usia. Usia
biasanya dibagi menjadi 3
kelompok yaitu usia < 2
thn, usia prasekolah (2-5
thn), dan usia sekolah.
Pemeriksaan posisi dan
gerak bola mata.
Pemeriksaan
status
refraksi
dengan
pemeriksaan
objektif
strek retinoskopi pada
pupil
lebar
untuk
kelompok usia >2 thn dan
kelompok
usia
prasekolah.
Pemeriksaan
refraksi
subjektif pada kelompok
usia
prasekolah
dan
kelompok usia sekolah.
Pemeriksaan
segmen
anterior
dengan
lup,senter dan slit lamp
Pemeriksaan
segmen

Mengenali gejala dan


tanda pada msing-masing
kelainan refraksi sesuai
dengan umur usia. Usia
biasanya dibagi menjadi 3
kelompok yaitu usia < 2
thn, usia prasekolah (2-5
thn), dan usia sekolah.
Pemeriksaan posisi dan
gerak bola mata.
Pemeriksaan
status
refraksi
dengan
pemeriksaan
objektif
strek retinoskopi pada
pupil
lebar
untuk
kelompok usia >2 thn dan
kelompok
usia
prasekolah.
Pemeriksaan
refraksi
subjektif pada kelompok
usia
prasekolah
dan
kelompok usia sekolah.
Pemeriksaan
segmen
anterior
dengan
lup,senter dan slit lamp
Pemeriksaan
segmen

56

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
Pemeriksaan
funduskopi
kedua
mata
dengan
oftalmoskopi direk,
dengan sebelumnya
dilakukan
dilatasi
pupil
dengan
tropicamide 0.5%

posterior
dengan
oftalmoskop direk.
Pemeriksaan
kemungkinan ambliopia
dan atau mata juling.

PENATALAKSANAAN
Koreksi
kelainan
refraksi
pada
kelompok
usia
sekolah bila pada
pemeriksaan
subjektif
virus
mencapai 6/6.
Rujuk ke fasilitas
sekunder bila:
Pada kelompok
usia
sekolah
visus
dengan
koreksi
tidak
mencapai 6/6
Pada kelompok
usia
<2tahun
dan kelompok
usia prasekolah
didapatkan
tanda
dan
gejala kelainan
refraksi
dan
kemampuan
penglihatan
tidak
sesuai
dengan umur
Dijumpai
kelainan posisi
bola
mata
(kelainan
refraksi + mata
juling)

STRABISMUS

Koresi kelainan refraksi


pada semua kelompok
harus
berdasarkan
pertimbangan : besarnya
kelainan rekraksi cukup
mengganggu
aktivitas:
kemampuan akomodasi
pasien :. Kebutuhan tajam
penlihatan sesuai umur;
resiko yang timbul akibat
adanya kelainan refraksi.
Rujuk ke TEC bila dijumpai
ambliopia dan/ atau mata
juling.

2012

posterior
dengan
oftalmoskop direk.
Mendeteksi
adanya
faktor-faktor ambliopia.
Koreksi kelainan refraksi
pada semua kelompok
umur harus berdasarkan
pertimbangan :

Apakah
besarnya
kelainan
refraksi
cukup mengganggu
aktifitas

Kemampuan
akomodasi pasien.

Kebutuhan
tajam
penglihatan sesuai
umur

Resiko yang timbul


akibat
adanya
kelainan refraksi

Penatalaksanaan amblipio
dan akomodatif esotropia
Koreksi
(tindakan)sisa
esotropia pada kasus
akomodatif
esotropia
setelah koreksi kaca mata
diberikan

EVALUASI

Pemeriksaan visus
dilakukan
sesuai

Pemeriksaan
dilakukan

visus
sesuai

Pemeriksaan
dilakukan

visus
sesuai

57

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

keadaan.
Bila
penderita
adalah
bayi, pemeriksaan
visus
secara
subyektif
belum
dapat
dilakukan,
hanya
dapat
dilakukan dengan
memperlihatkan
sesuatu
yang
berwarna-warni di
depan wajah bayi
tersebut
bila
penderita
anak
yang sudah lebih
besar pemeriksaan
dilakukan
sesuai
tingkatan usia dan
kemampuan
masing-maisng
anak, demikian pula
yang dewasa.
Pemeriksaan
dengan
lampu
senter dan lup
untuk
segmen
anterior,
dinilai
bagaimana keadaan
kornea, iris/pupil
termasuk
reflek
pupil dan lensa.
Dilakukan penilaian
pergerakan
bola
mata untuk melihat
ada
tidaknya
hambatan
pergerakan
bola
mata.
Penetuan
kedudukan
bola
mata dengan cara
Hirschberg.
Funduskopi dengan
oftalmoskop direk.

keadaan. Bila penderita


adalah
bayi,
pemeriksaan visus secara
subyektif belum dapat
dilakukan, hanya dapat
dilakukan
dengan
memperlihatkan sesuatu
yang berwarna-warni di
depan
wajah
bayi
tersebut bila penderita
anak yang sudah lebih
besar
pemeriksaan
dilakukan
sesuai
tingkatan
usia
dan
kemampuan
masingmasing anak, demikian
pula yang dewasa.
Dilakukan
refraksi
objektif dengan streak
retinoskopy
dalam
sikloplegi
Pemeriksaan dengan slit
lamp untuk melihat
segmen anterior, dinilai
keadaan kornea, iris
pupil termasuk reflek
pupil dan lensa.
Dilakukan
funduskopi
dengan
oftalmoskup
direk/indirek
untuk
melihat
segmen
posterior
Dilakukan
penilaian
pergerakan bola mata.
Penetuan
kedudukan
bola mata dengan cara
Hirschberg,
coveruncover
test
dan
Alternate Cover Test
(ACT)

PENATALAKSANAAN
Rujuk ke
sekunder

fasilitas

Bila terdapat kelainan


rekraksi, koreksi dengan
kaca mata yang sesuai
Bila terdapat ambliopia,
lakukan terapi ambliopia
dengan patching mata
yang dominan dengan
terlebih dahulu koreksi

2012

keadaan. Bila penderita


adalah
bayi,
pemeriksaan visus secara
subyektif dengan cara
Central,
Steady,
Maintain (CSM), bila
penderita anak yang
sudah
lebih
besar
pemeriksaan dilakukan
sesuai tingkatan usia dan
kemampuan
masingmasing anak, demikian
pula yang dewasa.
Dilakukan
refraksi
objektif dengan streak
retinoskopy
dalam
sikloplegi
Pemeriksaan dengan slit
lamp untuk melihat
segmen anterior, dinilai
keadaan kornea, iris
pupil dan lensa.
Dilakukan
funduskopi
dengan
oftalmoskup
direk/indirek
untuk
melihat
segmen
posterior
Dilakukan
penilaian
pergerakan bola mata.
Penetuan
kedudukan
bola mata dengan cara
Hirschberg,
Krimsky,
Alternate Cover Test
(ACT) / Prism Cover Test
(PCT)
Ukur deviasi jauh dan
dekat serta dinilai ada
tidaknya A&V pattern.
Demikian pula harus
dilakukan pemeriksaan
deviasi dengan dan
tanpa koreksi kaca mata
kalau terdapat kelainan
refraksi. Bila dicurigai
ada
simulated
divergence excees perlu
dilakukan pemeriksaan
sudut deviasi setelah
oklusi paling sedikit 1
jam pada salah satu
mata.
Penilaian status sensoris

58

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

kelainan refraksi.
Bila dengan pemberian
kaca mata tidak ada
perbaikan
pada
deviasinya maka dirujuk
ke fasilitas kesehatan
tertier untuk dilakukan
penatalaksanaan
selanjutnya.

TUMOR
ORBITA

2012

Bila terdapat kelainan


refraksi, berikan koreksi
terbaik.
Bila ambliopia, lakukan
terapi ambliopia dengan
patching mata yang
dominan.
Bila dengan koreksi
kelainan refraksi, tetap
ekstropia,
lakukan
operasi.
Jenis
operasi
yang
dilakukan disesuaikan
dengan diagnosis dan
pola deviasi yang ada
dan
keadaan
visus
masing-masing mata.
Bila tipe Divergence
Excess dapat dilakukan
reses rektus lateral pada
kedua mata.
Bila tipe Basik dan bila
visus salah satu mata
tidak
baik,
dapat
dilakukan reses resek
pada mata yang tidakk
dominan atau yang
visusnya lebih buruk
Bila tipe convergence
insufficiency
dapat
dilakukan resek rektus
medieus.

EVALUASI
Identitas : umur
(anak, dewasa muda,
dan tua)
Anamnesis
(mata
menonjol/benjolan
atau ulkus dikelopak
mata dan putih
mata, lama gejala,
penglihatan ganda,
rasa
nyeri,
dan
penurunan visus).
Pemeriksaan mata
tanpa slitlamp :
Terlihat adanya
benjolan/ulkus
di
palpebrakonjungtiva
dengan

Identitas : umur (anak, Identitas : umur (anak,


dewasa muda, dan tua)
dewasa muda, dan tua)
Anamnesis
(mata
Anamnesis
(mata
menonjol/benjolan atau
menonjol/benjolan atau
ulkus dikelopak mata
ulkus dikelopak mata
dan putih mata, lama
dan putih mata, lama
gejala,
penglihatan
gejala,
penglihatan
ganda, rasa nyeri, dan
ganda, rasa nyeri, dan
penurunan visus).
penurunan visus).
Pemeriksaan
mata
Pemeriksaan
mata
dengan/ tanpa slitlamp :
dengan/ tanpa slitlamp,
Terlihat
adanya
sama dengan pelayanan
benjolan/ulkus
di
kesehatan sekunder atau
palpebrapun primer.
konjungtiva dengan
Pemeriksaan orbita :
permukaan
Pengukuran
berbenjol-benjol
besarnya proptosis
pada usia tua, tidak
dengan alat Hertel.

59

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

permukaan
berbenjolbenjol
pada
usia tua, tidak
menyembuh
dengan
pengobatan
antibiotika,
dengan lama
gejala
yang
khronisdiagnosis
tumor ganas
epitel adneksa
(basalioma;kar
sinoma
sel
skuamosa;
adenokarsinom
a
kelenjar
Meibom; atau
melanoma
maligna).
Teraba massa
di
orbita
dengan lokasi
tertentu,
menunjukkan
lebar
fisura
yang melebar,
gejala
dirasakan lebih
dari 1 tahun,
dan
usia
dewasa muda

diagnosis
tumor primer
orbita jinak.
Adanya
keluhan rasa
nyeri disertai
tanda
meradang di
sekitar massa
tumor, gejala
dirasakan akut
(kurang
1
tahun),
dan
umur tua
diagnosis
tumor primer
orbita ganas.
Jika
gejala
diderita oleh
semua umur
dapat
dipikirkan

menyembuh dengan
pengobatan
antibiotika, dengan
lama gejala yang
khronis-diagnosis
tumor ganas epitel
adneksa
(basalioma;karsino
ma sel skuamosa;
adenokarsinoma
kelenjar Meibom;
atau
melanoma
maligna).
Teraba massa di
orbita dengan lokasi
tertentu,
menunjukkan lebar
fisura yang melebar,
dengan lama gejala
lebih dari 1 tahun,
dan usia dewasa
muda diagnosis
tumor primer orbita
jinak.
Adanya keluhan rasa
nyeri disertai tanda
meradang di sekitar
massa tumor, gejala
dirasakan
akut
(kurang 1 tahun),
dan umur tua
diagnosis
tumor
primer orbita ganas.
Jika gejala diderita
oleh semua umur
dapat
dipikirkan
suatu
proses
inflamasi.
Pemeriksaan orbita :
Pengukuran adanya
proptosis
dengan
menggunakan alat
Hertel
atau
penggaris di kantus
lateral ke ujung
kornea.
Pemeriksaan penunjang
radiologi :
Foto orbita baku
pada tumor primer
orbita
jinak
diharapkan
gambaran
perselubungan,
phlebolith,
atau
pembesaran rongga

2012
Arah terdorongnya
bola mata : bola
mata ke nasal
bawah:
Massa
temporal
atas
(kelenjar
lakrimal)
usia
muda,
pertumbuhan
lambat
:benign
mixed tumor usia
muda/tua,pertumb
uhan
cepat
:
adenoid
kistik
karsinoma
atau
keganasan
lain
bola
mata
ke
inferior:
massa
berada di superior

umumnya
neurilemmoma
atau kista dermoid
bola
mata
terdorong inferotemporal : massa
berada di nasal
tumor
berasal
sinus frontal, dapat
mukokel
atau
keganasan
dari
epitel
sinus
(karsinoma
sel
skuamosa)
bola
mata
terdorong
aksial : massa
berada di konus
umumnya tumor
dari saraf optik
terutama
pada
penderita berusia
muda, antara lain
glioma,
meningioma, dan
dapat
hemangioma
kavernosa
bola
mata terdorong ke
superior : massa
berasal
dari
inferior
kebanyakan tumor
ganas berasal dari
sinus maksila atau
jaringan
penunjang.
Kuadran
lokasi

60

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
suatu proses
inflamasi.

orbita, pada tumor


primer orbita ganas
dan
metastasis/invasi
diharapkan
gambaran destruksi
tulang.
Pemeriksaan
patologi
anatomi :
Benjolan/ulkus
dipalpebrakonjungtiva
yang
meragukan
keganasan
dapat
dilakukan
biopsi
eksisi/insisi
untuk
spesimen
pemeriksaan
patologi anatomi.
Massa orbita yang
mudah teraba dapat
dilakukan tindakan
biopsi insisi sebagai
bahan
spesimen
pemeriksaan
patologi anatomi.

2012

massa
berada
berlawanan
dengan
arah
terdorongnya bola
mata tumor sesuai
dengan
jaringan/organ
yang berada di
kuadran tersebut
Gangguan
gerak
bola
partial,
tempat hambatan
menunjukkan
lokasi
tumor
(kuadran lokasi)
Pemeriksaan
pulsasi : bila posifit
tumor dapat
berupa
neurofibroma atau
jika
diketahui
didahului
trauma/hipertensi
pada orang tua
dapat diferensiasi
dengan arteri-vena
fistula.
Jika tumor dapat
diraba,
dinilai
kekenyalannya.
Jika teraba lunak
dapat
diduga
tumor
bersifat
jinak, tetapi jika
keras kenyal dapat
dicurigai
tumor
bersifat ganas.
Pemeriksaan penunjang
radiologi :
Ultrasonografi
:
pemeriksaan tidak
invasif, penilaian
lebih
dititik
beratkan pada ada
tidaknya
tumor
dan refleks tumor.
Pemeriksaan USG
sukar
untuk
mendiferensiasika
n jenis tumor.
CT-scan
:
pemeriksaan
ini
cukup
untuk
mendiagnosis
tumor orbita serta
membantu untuk

61

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

PENATALAKSANAAN
Jika dicurigai tumor
jinak dan diagnosis
dibuat pseudotumor
dapat
diberikan
pengobatan steroid
oral,
seperti
prednisone
dosis
tinggi 12-16 tablet
(2mg
perKgBB)
setiap hari selama
dua
minggu,
kemudian
diturunkan
secara
bertahap. Jika tidak
berhasil sebaiknya
penderita dirujuk.
Pada tumor epitel
adneksa, berukuran
kecil dan diduga
jinak,
dapat
dilakukan ekstripasi
dengan
meninggalkan
jaringan sehat.Pada
tumor epitel yang

Jika dicurigai tumor jinak


dan diagnosis dibuat
pseudotumor
dapat
diberikan
pengobatan
steroid
oral,
seperti
prednisone dosis tinggal
12-16
tablet
(12mg
perKgBB)
setiap
hari
selama
dua
minggu,
kemudian
diturunkan
secara bertahap. Jika tidak
berhasil sebaiknya dirujuk
untuk ekspolari lanjut.
Pada
tumor
epitel
adneksa, berukuran kecil
dan diduga jinak, dapat
dilakukan
ekstripasi
dengan
meninggalkan
jaringan sehat.Pada tumor
epitel yang dicurigai ganas
dapat dilakukan eksisi
dengan memperhatikan
jaringan
sehat
yang
ditinggalkan.
Pemeriksaan dilanjutkan

2012
penentuan
penatalaksanaan
selanjutnya. Untuk
membedakan sifat
tumor, jinak atau
ganas
dengan
menilai
batas
tumor.
Pemeriksaan MRI
dan
arteriografi
pada kasus khusus
yang mencurigai
fistula atau ingin
mengetahui tumor
berasal dari saraf
optik.

Pemeriksaan
Laboratorium :
Pemeriksaan
ini
sangat membantu
dalam
membedakan sifat
ganas tumor. Akan
tetapi pemeriksaan
penanda
ganas
tidak ada yang
spesifik
untuk
tumor
orbita,
tetapi
dengan
penanda
ganas
asam
sialat
menunjukkan nilai
kadar
yang
berbeda
bermakna.
Pemeriksaan fisik : untuk
mencari
adanya
keganasan
atau
metastasis.
Pemeriksaan
patologi
anatomi :
Benjolan/ulkus
dipalpebrakomjungtiva yang
meragukan
keganasan dapat
dilakukan
biopsi
eksisi
untuk
spesimen
pemeriksaan
patologi anatomi.
Massa orbita yang
mudah
teraba
dapat
dilakukan
tindakan
biopsi

62

dicurigai ganas dapat


dilakukan
eksisi
dengan
memperhatikan
jaringan sehat yang
ditinggalkan.Pemerik
saan
dilanjutkan
dengan pemeriksaan
patologi
jaringan
tumor. Jika diagnosis
meragukan,
sebaiknya dirujuk.
Jika
meragukan
melakukan tindakan,
terutama
pada
tumor orbita, baik
jinak, ganas ataupun
metastasis/invasi
sebaiknya langsung
dirujuk.

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

dengan
pemeriksaan
patologi
jaringan
tumor.Jika
diagnosis
meragukan,
sebaiknya
dirujuk.
Jika
meragukan
melakukan
tindakan,
terutama pada tumor
orbita, baik jinak, ganas
ataupun metastasis/invasi
sebaiknya
langsung
dirujuk.
Jika
memungkinkan
dapat
dilakukan tindakan biopsy
insisi untuk pemeriksaan
patologi.
Penatalaksanaan
selanjutnya dapat dirujuk
untuk
tindakan
pembedahan,
radiasi,
ataupun sitostatika.

insisi
sebagai
bahan
spesimen
pemeriksaan
patologi anatomi,
kecuali bila lokasi
di daerah kelenjar
lakrimal.

Jika dicurigai tumor jinak


dan diagnosis dibuat
pseudotumor
dapat
diberikan
pengobatan
steroid
oral,
seperti
prednisone dosis tinggal
12-16
tablet
(12mg
perKgBB)
setiap
hari
selama
dua
minggu,
kemudian
diturunkan
secara bertahap. Jika tidak
berhasil dapat diberikan
sitostatika single agent
seperti
chlorambucil
dengan pengawasan ahli
hematologi.
Pada
tumor
epitel
adneksa, berukuran kecil
dan diduga jinak, dapat
dilakukan
ekstripasi
dengan
meninggalkan
jaringan sehat.Pada tumor
epitel yang dicurigai ganas
dapat dilakukan eksisi
dengan memperhatikan
jaringan
sehat
yang
ditinggalkan. Pada tumor
yang lebih luas, eksisi
dengan rekonstruksi. Pada
tumor yang lanjut dan
telah berinvasi ke orbita
dilakukan
tindakan
pembedahan
radikal
eksenterasi
orbita.
Pengobatan
tambahan
radiasi atau sitostatika
dapat diberikan. Pada
tumor
konjungtiva,
karsinoma sel skuamosa
stadium
1
setelah
ektirpasi tumor dapat
dilanjutkan
dengan
pemberian
sitostatika
local seperti tetes mata
mitomycin. Pemeriksaan
patologi jaringan tumor

63

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

harus dilakukan.
Pada tumor orbita, baik
jinak, ganas, ataupun
metastasis/invasi
sebaiknya
dilakukan
tindakan biopsy insisi
untuk
pemeriksaan
patologi. Penatalaksanaan
sebelumnya
dengan
melakukan pemeriksaan
penunjang, terutama CTscan untuk mengetahui
dengan
tepat
lokasi
tumor.
Selanjutnya
dapat
dilakukan pembedahan,
jenis pembedahan sesuai
dengan lokasi dan jenis
tumor. Pemberian terapi
tambahan radiasi dan
sitostatika dapat diberikan
sesuai kebutuhan dan
sesuai dengan patogenesa
jenis
tumor,
dengan
kerjasama antar disiplin.
9

DIABETIK
RETINOPATI

EVALUASI

Anamnesia semua
penderita
diabetes
mengenai
keluhan
penglihatan.
Pemeriksaan
visus
dengan
Snelen chart
Pemeriksaan
tekanan
bola
mata
dengan
tonometer
Schiozt
Pemeriksaan
refleks
cahaya
pada pupil baik
langsung maupun
tak langsung
Pemeriksaan
funduskopi
dengan
menggunakan
ophhalmoscope
direk, apakah ada
perdarahan,
eksudat
atau
kekeruhan

Pemeriksaan
mata
dasar yang meliputi
visus, tekanan bola
mata, kedudukan bola
mata, pergerakan bola
mata, segmen anterior
dan segmen posterior.
Pemeriksaan segmen
anterior
dengan
menggunakan slit lamp
untuk melihat apakah
ada epiteliopati kornea,
flare dan sel di BMD,
RAPD, neovaskularisasi
iris, tingkat kekeruhan
lensa,
kekeruhan
vitreus.
Pemeriksaan segmen
posterior
dengan
menggunakan
oftalmoskop
indirek,
untuk
melihat
kekeruhan
vitreus
karena
perdarahan
atau adanya jaringan
fibro-vaskular,
perdarahan
retina,
eksudat,
pelebaran

Fundus
Fluorocence
Angiography
(FFA),
dilakukan apabila ada
indikasi.
USG,
bila
terdapat
kekeruhan media dan
fundus tidak tembus.
ERG

64

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
vitreus.

2012

vena,
intra-retinal
microvascular anomaly
(IRMA)
dan
neovaskularisasi.

PENATALAKSANAAN
Seleksi pasien, ada
diabetes
mellitus
atau
tidak,
Bila
ditemukan adanya
diabetes
mellitus,
pasien dikonsulkan
ke
dokter
ahli
penyakit
dalam
untuk
mengontrol
gula darahnya dan
apabila
dari
anamnesis penyakit
diabetes
diderita
sudah lebih dari 2
tahun,
penderita
dirujuk ke pelayanan
kesehatan
mata
sekunder
(SEC)
untuk evaluasi lebih
lanjut.
Apabila
diabetes
diderita
kurang dari 2 tahun,
pasien
dapat
dikonsul
bilamana
keadan
keadaan
memungkinkan.
Apabila
dari
anamnesis
tidak
diketahui lamanya
diabetes
diderita,
pasien dapat dirujuk
langsung
untuk
evaluasi
segmen
posterior.
Apabila funduskopi
tersedia
dan
gambaran
fundus
dapat dinilai, adanya
retinopati
merupakan indikasi
untuk rujukan ke
tingkat yang lebih
tinggi.

10

RETINA LEPAS
(RETINAL
DETACHMENT)

Seperti tindakan pada


PEC.
Pasien dengan diabetic
retinopati stadium non
proliferative
(NPDR)
ringan
dan
sedang,
dievaluasi setiap 3 bulan
Kontrol
gula
darah
dilakukan oleh dokter
penyakit dalam.
Pasien dengan NPDR
berat,
yaitu
apabila
ditemukan salah satu
dibawah ini:

Pendarahan
intra
retina 4 kwadran

Pelebaran vena 2
kwadran

Intra
retina
mikrovaskular
abnormalism
1
kwadran
Pasien
dengan
Proliferative
Diabetic
Retinopathy (PDR), yaitu
dengan
adanya
pendarahan vitreus dan
pertumbuhan
jaringan
fibrovaskular di vitreus,
dirujuk ke pelayanan
kesehatan mata tersier.
Apabila
ditemukan
katarak yang mempersulit
evalusi segmen poeterior,
dapat dilakukan operasi,
dengan penjelasan akan
prognosis penglihatan dan
kemungkinan retinopati
bertambah berat setelah
operasi.

Seperti tindakan pada


SEC.
Pasien dengan NPDR
berat
dengan/tanpa
CSME, dilakukan terapi
fotokoagulasi laser.
Operasi
vitrektomi
dilakukan
apabila
terdapat
pendarahan
vitreus,
pertumbuhan
jaringan fibrovaskular di
retina,
persistent
mascular edema dan
ablasio retina traksi.

EVALUASI

Anamnesia

Melakukan

evaluasi

Melakukan

tindakan

65

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat
mengenai
lama
kejadian, dan faktor
resiko
seperti
disebutkan diatas.
Kecurigaan
akan
retinal detachment
memerlukan
uji
konfrontasi.
Pemeriksaan
dengan funduskopi
langsung apabila
tersedia memberi
gambaran
retina
lepas
atau
perdarahan retina,
fibrosis
vitreus
dengan perlekatan
retina dan tanda
lain
seperti
disebutkan
sebelumnya.

2012

seperti pelayanan di
PEC, ditambah dengan
pemeriksaan
fundus
untuk evaluasi retina.
Pemeriksaan
fundus
sebaiknya
dilakukan
dengan
funduskopi
tidak langsung atau
dengan condensed wide
angle lens (Mainster
Ocular, Super Field
Volk, Super Pupil Volk
atau Goldmann 3mirror. Seluruh retina
lepas harus dianggap
sebagai rhegmatogen.
Pemeriksaan
kampimetri
dapat
dilakukan
sebagai
penunjang.
Pemeriksaan di SEC
sudah
dapat
menentukan
apakah
penderita perlu di rujuk
atau tidak ke TEC.

seperti di SEC dan


memutuskan
jenis
retina
lepas.
Pemeriksaan,
kampimetri,
elektrofisiologi
atau
ultrasonografi dilakukan
bila diperlukan untuk
menunjang diagnosis.

Apabila
tidak
ada
kecurigaan tetapi ada
keluhan,
penderita
harus
diistirahatkan
apabila
mengancam
macula,
hingga
tindakan
dilakukan.
Semua
jenis
rhegmatogen
yang
tidak
mengancam
macula
atau
jenis
traksional
yang
melibatkan
macula
harus
dirujuk
seceoatnya, umumnya
dalam beberapa hari.
Penderita dirujuk TEC
untuk
penanganan
lebih lanjut dengan
penjelasan akan faktor
dan keberhasilan.

Melakukan
tindakan
sesuai dengan jenis retina
lepas. Pada rhegmatogen
akut dan traksional yang
tidak mengancam macula,
operasi
dilakukan
secepatnya,
sedangkan
yang
kronik
dapat
dioperasi dalam waktu 1
minggu. Jenis operasi
(sclera buckling atau
vitektomi)
tergantung
kondisi yang dirtemukan,
dan
jenis
viteus
tamponade
ditentukan
oleh
keadaan
yang
ditemukan pre-operative
dan durante operasi,
kondisi mata sebelahnya
dan mobilitas penderita.
Tipe
exudative
memerlukan pengobatan
sesuai dengan penyakit
yang
mendasari.
Keberhasilan pengobatan
penyakit yang mendasari
akan memperbaiki retina
yang lepas.

PENATALAKSANAAN

Rujuk ke PPK 2

66

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT JIWA (PSIKIATRI)

No.
1.
A

DIAGNOSA

PPK 1

GANGGUAN MENTAL ORGANIK


Demensia
- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Terapi
pemeliharaan/
lanjutan setelah
penanganan dan
atas petunjuk
dr.SpKJ selama 3
bulan untuk
selanjutnya
evaluasi ulang ke
PPK 2 atau PPK 3

PPK 2
SpKJ (-)

SpKJ (+)

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Terapi
pemeliharaan/
lanjutan
setelah
penanganan
dan atas
petunjuk
dr.SpKJ selama
3 bulan untuk
selanjutnya
evaluasi ulang
ke PPK 2 atau
PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
jika
memungkinkan
- Jika tidak
memungkinkan
rujuk ke PPK 3
- Terapi
pemeliharaan

PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
Penatalaksanaan
Kondisi agresif :
Pilihan antipsikotik
- Haloperidol 0.252mg/hari (po)
- Risperidon 0.252mg/hari (po)
- Aripiprazol 515mg/hari (po)
Gejala depresi :
(pilihan)
- Sertralin
25mg/hari (po)
- Fluoksetin
10mg/hari (po)
Anti demensia :
- Donepezil
- Rivastigmin

Delirium

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2 dg
SpKJ/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
jika
memungkinkan
- Jika tidak
memungkinkan
rujuk ke PPK III

Non farmakologik
- Terapi perilaku
- Terapi
stimulasi/aktivitas
- Psikoedukasi
keluarga
- Skrining
- Diagnosis
Terapi sesuai
penyebab
Kondisi
agitasi/psikotik :
Antipsikotik inj
- Haloperidol (im) 25mg, bila perlu
diulang tiap 1 jam
67

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

atau Olanzapin
(im) 5mg
- Lorazepam (im, iv)
1-2mg
Antipsikotik oral
(pilihan)
- Haloperidol 2x0.51mg/hari
- Risperidon 0.51mg/hari
- Olanzapin 510mg/hari
- Quetiapin 25150mg/hari
Terapi tambahan
- Lorazepam 0.52mg/hari

2.
A

Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Reorientasi
lingkungan
- Edukasi keluarga
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENYALAHGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF
Gangguan
- Skrining
- Skrining
- Skrining
- Skrining
Mental dan
- Kondisi akut :
- Kondisi akut :
- Diagnosis
- Diagnosis
Perilaku
rujuk ke
rujuk ke
- Penanganan
akibat
PPK 2/PPK 3
PPK 2 dg
kondisi akut
Penatalaksanaan :
Penyalahgun
SpKJ/PPK 3
jika
Antidotum Naloxon
aan Opioid
memungkinka HCl
(intoksikasi)
n
Naloxone (iv) mulai
- Jika tidak
dg 0.8mg evaluasi
memungkinka tiap 15, jika tidak
n rujuk ke
ada respon naikkan
PPK 3
dosis menjadi 1.6mg
sampai 3.2mg
Bila ada respon
teruskan pemberian
0.4mg/jam (iv)

Gangguan
Mental dan
Perilaku
akibat

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK II dg

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut

Evaluasi tanda vital


Atasi penyulit
Intoksikasi berat
rawat ICU
- Skrining
- Diagnosis
Penatalaksanaan
68

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Penyalahgun
aan Opioid
(putus zat)

- Terapi subtitusi
di PPK 1 yg telah
mampu laksana

SpKJ/PPK 3
- Terapi subtitusi
di PPK 2 yg telah
mampu laksana

jika
memungkinka
n
- Jika tidak
memungkinka
n rujuk ke
PPK 3
- Terapi
subtitusi di
PPK 2 yg telah
mampu
laksana

2012

Simtomatik sesuai
gejala
Subtitusi opioid :
- Metadon
- Bufrenorfin +
Nalokson
- Kodein
Subtitusi non opioid :
- Klonidin
Pemberian sedatifhipnotik dan
antipsikotik
diberikan sesuai
indikasi

Gangguan
Mental dan
Perilaku
akibat
Penyalahgun
aan
Amfetamin
(intoksikasi)

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
jika
memungkinka
n
- Jika tidak
memungkinka
n rujuk ke
PPK 3

Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Edukasi keluarga
- Rehabilitasi
- Skrining
- Diagnosis
- Observasi di IGD
Penatalaksanaan
Terapi simtomatik
Rangsang
muntah/kuras
lambung dg
activated charcoal
Antipsikotik :
- Haloperidol 25mg/kali
- Klorpromazin
1mg/kgBB
Antihipertensi :
Jika TD >
140/100mmHg
Gejala ansietas :
- Diazepam 3x5mg
- Klordiazepoksid
3x25mg
Bila kejang :
Diazepam 10-30mg
69

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

(parenteral)

Gangguan
Mental dan
Perilaku
akibat
Penyalahgun
aan
Amfetamin
(putus zat)

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
jika
memungkinka
n
- Jika tidak
memungkinka
n rujuk ke
PPK 3

Cardiac monitoring
Propanolol 2080mg/hari
- Skrining
- Diagnosis
Penatalaksanaan
Observasi di IGD
Rawat inap jika
disertai tanda2
psikotik, depresi
berat atau ide bunuh
diri
Antipsikotik :
- Haloperidol 3x1.55mg
- Risperidon 2x1.53mg
Gejala ansietas :
- Alprazolam
2x0.25-0.5mg
- Diazepam 3x510mg
- Klobazam 2x10mg
Gejala depresi :
- Fluoksetin 1020mg
- Setralin 25-50mg
- Amitriptilin 2550mg

Gangguan
Mental dan
Perilaku
akibat
Penyalahgun
aan
Dekstrometo
rfan
(intoksikasi)

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
jika
memungkinka
n
- Jika tidak
memungkinka
n rujuk ke

Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Edukasi keluarga
- Rehabilitasi
- Skrining
- Diagnosis
- Observasi di IGD
Penatalaksanaan
Terapi simtomatik
Rangsang
muntah/kuras
lambung dg
activated charcoal
70

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PPK 3
Antipsikotik :
- Haloperidol 25mg/kali
- Klorpromazin
1mg/kgBB

2.6.

Gangguan
Mental dan
Perilaku
akibat
Penyalahgun
aan Alkohol
(intoksikasi)

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
jika
memungkinka
n
- Jika tidak
memungkinka
n rujuk ke
PPK 3

Kontraindikasi :
- Antidepresan
- Golongan
Benzodiazepin
- Skrining
- Diagnosis
- Observasi di IGD
Penatalaksanaan
Terapi simtomatik
Rangsang
muntah/kuras
lambung dg
activated charcoal
Antipsikotik :
- Haloperidol 25mg/kali
- Klorpromazin
1mg/kgBB

3.
A

Kontraindikasi :
- Antidepresan
- Golongan
Benzodiazepin
SKIZOFRENIA, GANGGUAN SKIZOTIPAL, GANGGUAN WAHAM DAN GANGGUAN SKIZOAFEKTIF
Skizofrenia,
- Skrining
- Skrining
- Skrining
- Skrining
Gangguan
- Kondisi
- Kondisi
- Diagnosis
- Diagnosis
Skizotipal,
emergensi :
emergensi :
Gangguan
Klorpromazin
Klorpromazin
Penatalaksanaa Penatalaksanaan
Waham
25-50mg (im)
25-50mg (im)
n
bila tidak ada
bila tidak ada
Fase akut
hipotensi
hipotensi
Fase akut
atau Lorazepam
atau Lorazepam
Non farmakologik
(im) 1-2mg
(im) 1-2mg
Non
- Hospitalisasi
- Rujuk ke PPK 2
- Rujuk ke PPK 2
farmakologik
- Seklusi (isolasi)
dg SpKJ/PPK 3
dg SpKJ/PPK 3
- Hospitalisasi
- Restrain (fiksasi)
- Terapi
- Terapi
- Seklusi
pemeliharaan
pemeliharaan
- Restrain
Pilihan antipsikotik
/lanjutan setelah
/lanjutan setelah
injeksi :
penanganan dan
penanganan dan Pilihan
- Klorpromazin 25atas petunjuk
atas petunjuk
antipsikotik inj :
50mg (im)
dr.SpKJ selama 3
dr.SpKJ selama 3 - Klorpromazin - Haloperidol 5mg
bulan untuk
bulan untuk
25-50mg (im)
(im)
71

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

selanjutnya
evaluasi ulang ke
PPK 2 atau PPK 3

selanjutnya
evaluasi ulang ke
PPK 2 atau PPK 3

2012

- Haloperidol
5mg (im)
- Olanzapin
10mg (im)
- Aripiprazol
9.75mg (im)
- Diazepam
10mg (im/iv)

- Olanzapin 10mg
(im)
- Aripiprazol 9.75mg
(im)
- Diazepam 10mg
(im/iv)

Antipsikotik oral
:

Generasi 1
- Haloperidol 520mg/hari
- Trifluoperazin 1550mg/hari
- Flufenazin 520mg/hari
- Perfenazin 1624mg/hari
- Klorpromazin 3001000mg/hari

Generasi 1
- Haloperidol
5-20mg/hari
- Trifluoperazin
15-50mg/hari
- Flufenazin 520mg/hari
- Perfenazin
16-24mg/hari
- Klorpromazin
3001000mg/hari
Generasi 2
- Risperidon 28mg/hari
- Olanzapin 1030mg/hari
- Quetiapin
300800mg/hari
- Klozapin 150600mg/hari
- Aripiprazol
10-30mg/hari
- Paliperidon 39mg/hari
- Olanzapin
sublingual
Fase stabil :
Non
farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Intervensi

Antipsikotik oral :

Generasi 2
- Risperidon 28mg/hari
- Olanzapin 1030mg/hari
- Quetiapin 300800mg/hari
- Klozapin 150600mg/hari
- Aripiprazol 1030mg/hari
- Paliperidon 39mg/hari
- Olanzapin
sublingual
Fase stabil :
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Intervensi perilaku
- Intervensi
psikososial
Antipsikotik oral
Sama dengan di atas

72

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

perilaku
- Intervensi
psikososial
Antipsikotik oral
Sama dengan di
atas
Fase stabilisasi:
Non
farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Intervensi
perilaku
- Intervensi
psikososial
- Terapi
okupasi/voka
sional
- Pelatihan
ketrampilan
social
- Rehabilitasi
Antipsikotik oral
Sama dengan di
atas
Sediaan
antipsikotik lain
- Haloperidol
dekanoat inj
- Flufenazin
dekanoat inj
- Risperidon
oral solution
- Risperidon
long acting inj
Penatalaksanaa
n efek samping
neurologis
(akatisia,
distonia,
parkinsonism) :
- Turunkan/he
ntikan obat

2012

Fase stabilisasi:
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Intervensi perilaku
- Intervensi
psikososial
- Terapi
okupasi/vokasiona
l
- Pelatihan
ketrampilan social
- Rehabilitasi
Antipsikotik oral
Sama dengan di atas
Sediaan antipsikotik
lain
- Haloperidol
dekanoat inj
- Flufenazin
dekanoat inj
- Risperidon oral
solution
- Risperidon long
acting inj
Penatalaksanaan
efek samping
neurologis (akatisia,
distonia,
parkinsonism) :
- Turunkan/hentika
n obat
- Difenhidramin inj
1-2cc (im)
- Triheksifenidil 112mg/hari
- Propanolol 1030mg/hari
- Lorazepam 16mg/hari
Sindroma
Neuroleptik
Malignansi (SNM) :
- Hentikan obat
73

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

4.
A

Gangguan
Skizoafektif

2012

- Difenhidrami
n inj 1-2cc
(im)
- Triheksifenidil
1-12mg/hr
- Propanolol
10-30mg/hr
- Lorazepam 16mg/hr

- Terapi suportif
- Perhatikan
keseimbangan
cairan dan
observasi tandatanda vital
- Rawat di ICU
- Bromokriptin
2.5mg, diberikan
2-3kali/hari,
maksimal
30mg/hari
- Dantrolen
1mg/kgBB/hari,
selama 8 hari
- Benzodiazepin 12mg (im)

- Skrining
- Kondisi
emergensi :
Klorpromazin
25-50mg (im)
bila tidak ada
hipotensi
atau Lorazepam
(im) 1-2mg
- Rujuk ke PPK 2
dg SpKJ/PPK 3
- Terapi
pemeliharaan
/lanjutan setelah
penanganan dan
atas petunjuk
dr.SpKJ selama 3
bulan untuk
selanjutnya
evaluasi ulang ke
PPK 2 atau PPK 3

- Skrining
- Kondisi
emergensi :
Klorpromazin
25-50mg (im)
bila tidak ada
hipotensi
atau Lorazepam
(im) 1-2mg
- Rujuk ke PPK 2
dg SpKJ/PPK 3
- Terapi
pemeliharaan
/lanjutan setelah
penanganan dan
atas petunjuk
dr.SpKJ selama 3
bulan untuk
selanjutnya
evaluasi ulang ke
PPK 2 atau PPK 3

- Skrining
- Diagnosis

- Skrining
- Diagnosis

Penatalaksanaa
n
Sama dengan di
atas

Penatalaksanaan
Sama dengan di atas

Gelisah/insomni
a:
- Lorazepam
3x1-2mg

Pasien refrakter :
- Terapi kejang
listrik (ECT)
3x/minggu
- Klozapin 300750mg/hari

GANGGUAN SUASANA PERASAAN


Episode
- Skrining
depresif
- Kondisi
akut/usaha
bunuh diri : rujuk
ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan

- Skrining
- Kondisi
akut/usaha
bunuh diri : rujuk
ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
(jika
memungkinka
n)
- Rujuk ke PPK
3

- Skrining
- Diagnosis

Mood stabilizer
:
- Divalproat 23x250mg
- Lithium
karbonat
2x400mg

Mood stabilizer :
- Divalproat 23x250mg
- Lithium karbonat
2x400mg
Gelisah/insomnia :
- Lorazepam 3x12mg

Indikasi rawat jalan :


- Gejala depresi
ringan
- Fungsi diri baik
Indikasi rawat inap :
74

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Kondisi
tenang/kronis
: terapi
pemeliharaan

2012

- Gejala depresi
berat
- Risiko/usaha
bunuh diri
- Fungsi diri buruk
- Dukungan
keluarga buruk
Tindakan
- Hospitalisasi
- Seklusi (isolasi)
- Restrain (fiksasi)
Farmakologik :
Pilihan Antidepresan
Fase Akut :
- Amitriptilin 2575mg/hari
- Maproptilin 25100mg/hari
- Imipramin 2575mg/hari
- Fluoksetin 1040mg/hari
- Sertralin 2550/hari
- Duloksetin 4060mg/hari
- Venlafaksin 75150mg/hari
- Escitalopram 1020mg/hari
- Agomelatin 2550mg/hari
Fase Lanjutan :
Terapi dilanjutkan
hingga 6-12 bln
Dosis diturunkan
perlahan 4-12 mg
Non farmakologik :
- Psikoterapi
suportif
- Terapi perilaku
kognitif
- Terapi
interpersonal
- Terapi keluarga
75

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Episode
manik

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
(jika
memungkinka
n)
- Kondisi
tenang/kronis
: terapi
pemeliharaan

2012

- Psikoedukasi
keluarga
- Skrining
- Diagnosis
Fase akut :
Tindakan
- Hospitalisasi
- Seklusi (isolasi)
- Restrain (fiksasi)
Agitasi akut
Antipsikotik injeksi :
Pilihan Lini 1
- Olanzapin 12x10mg/hr (im),
maksimal 3 hari
- Aripiprazol 13x9.75mg/hr (im),
maksimal 3 hari
Pilihan Lini 2
- Klorpromazin 12x25-50mg (im)
- Haloperidol 12x5mg (im)
- Diazepam 12x10mg (im)
Antipsikotik oral :
Pilihan Lini 1 :
- Lithium
- Karbamazepin
- Okskarbamazepin
- Asam valproat
- Natrium
divalproat
- Risperidon 28mg/hari
- Olanzapin 1030mg/hari
- Quetiapin 300800mg/hari
- Aripiprazol 1030mg/hari
- Klozapin 150600mg/hari
Pilihan Lini 2 :
76

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Haloperidol 520mg/hari
- Klorpromazin 100300mg/hari

Gangguan
afektif
bipolar

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
(jika
memungkinka
n)
Kondisi
tenang/kronis
: terapi
pemeliharaan

Non farmakologik :
- Psikoterapi
suportif
- Terapi perilaku
kognitif
- Terapi
interpersonal
- Terapi keluarga
- Psikoedukasi
keluarga
- Skrining
- Diagnosis
Fase akut :
Tindakan
- Hospitalisasi
- Seklusi (isolasi)
- Restrain (fiksasi)
Antipsikotik injeksi :
Pilihan Lini 1
- Olanzapin 12x10mg/hr (im),
maksimal 3 hari
- Aripiprazol 13x9.75mg/hr (im),
maksimal 3 hari
Pilihan Lini 2
- Klorpromazin 12x25-50mg (im)
- Haloperidol 12x5mg (im)
- Diazepam 12x10mg (im)
Episode Mania Akut
Pilihan Lini 1 :
- Lithium
- Divalproat
- Olanzapin
- Risperidon
- Quetiapin
- Aripiprazol
- Lithium /
Divalproat +
77

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Risperidon
- Lithium /
Divalproat +
Quetiapin
- Lithium /
Divalproat +
Olanzapin
- Lithium /
Divalproat +
Aripiprazol
Pilihan Lini 2 :
- Karbamazepin
- Terapi Kejang
listrik (ECT)
- Lithium +
Divalproat
- Paliperidon
Pilihan Lini 3 :
- Haloperidol
- Klorpromazin
- Lithium /
Divalproat +
Haloperidol
- Klozapin
Tidak
direkomendasikan :
- Gabapentin
- Topiramat
- Lamotrigin
- Risperidon +
Karbamazepin
- Olanzapin +
Karbamazepin
Episode Depresi Akut
Pilihan Lini 1 :
- Lithium
- Lamotrigin
- Quetiapin
- Lithium /
Divalproat + SSRI
- Olanzapin + SSRI
- Lithium
+Divalproat
Pilihan Lini 2 :
- Quetiapin + SSRI
- Divalproat
- Lithium /
Divalproat +
Lamotrigin
78

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

Pilihan Lini 3 :
- Karbamazepin
- Olanzapin
- Lithium +
Karbamazepin
- Lithium /
Divalproat +
Venlafaksin
- Lithium + MAOI
- Terapi kejang
listrik
- Lithium /
Divalproat + TCA
- Lithium /
Divalproat /
Karbamazepin +
SSRI + Lamotrigin
Fase Stabilisasi :
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Intervensi perilaku
- Terapi okupasi
- Intervensi
psikososial
Gangguan Bipolar I
Pilihan Lini 1 :
- Lithium
- Lamotrigin
- Divalproat
- Olanzapin
- Quetiapin
- Lithium /
Divalproat +
Quetiapin
- Risperidon depo
- Aripiprazol
Pilihan Lini 2 :
- Karbamazepin
- Lithium +
Divalproat
- Lithium +
Karbamazepin
- Lithium /
Divalproat +
Olanzapin
79

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Lithium +
Risperidon
- Lithium +
Lamotrigin
- Olanzapin +
Fluoksetin
Pilihan Lini 3 :
Penambahan
- Fenitoin
- Olanzapin
- Terapi kejang
listrik
- Topiramat
- Asam lemak
omega 3
- Okskarbazepin
Gangguan Bipolar II
Episode Depresi Akut
:
Pilihan Lini 1 :
- Quetiapin
Pilihan Lini 2 :
- Lithium
- Lamotrigin
- Divalproat
- Lithium +
Divalproat +
antidepresan
- Lithium +
Divalproat
- Antipsikotik
atipikal +
antidepresan
Pilihan Lini 3 :
- Antidepresan
monoterapi
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Intervensi perilaku
- Terapi okupasi
- Intervensi
psikososial
5.
A

GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN GANGGUAN STRES


Gangguan
- Skrining
- Skrining
- Skrining
- Skrining
Panik
- Kondisi akut :
- Kondisi akut :
- Diagnosis
- Diagnosis
- Gangguan
penanganan
penanganan
- Penanganan
- Penanganan
80

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

panik
emergensi
tanpa
- Rujuk ke PPK 2
agorafobia - Kondisi
- Gangguan
tenang/kronis
panik
terapi lanjutan
dengan
setelah
agorafobia
penanganan dan
- Agorafobia
atas petunjuk
tanpa
SpKJ
riwayat
gangguan
panik

emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

kondisi akut
- Terapi
lanjutan

2012
kondisi akut

Farmakologik
Pilihan gol
benzodiazepine
- Alprazolam 3x0.52mg/hari
- Lorazepam 2x 0.52 mg/hari
- Diazepam 2-3x5
mg/hari
Pilihan Antidepresan
- Golongan SSRI
Fluoksetin 10-20
mg/hari
Sertralin 25-50
mg/hari

Non farmakologik
- Terapi perilaku
kognitif
- Psikoedukasi
- Manajemen
ansietas
B

Gangguan
Ansietas
Menyeluruh

- Skrining
- Kondisi akut :
penanganan
emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Kondisi akut :
penanganan
emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
- Terapi
lanjutan

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
Farmakologik
Pilihan gol
benzodiazepine
- Alprazolam 3x0.52mg/hari
- Lorazepam 2x 0.52 mg/hari
- Diazepam 2-3x5
mg/hari
Pilihan Antidepresan
- Golongan SSRI
Fluoksetin 10-20
mg/hari
Sertralin 25-50
mg/hari
Pilihan lain :
- Buspiron
81

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Venlafaxine

Gangguan
Obsesif
Kompulsif

Gangguan
Stres Pasca
Trauma

- Skrining
- Kondisi akut :
penanganan
emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Kondisi akut :
penanganan
emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
- Terapi
lanjutan

- Skrining
- Kondisi akut :
penanganan
emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Kondisi akut :
penanganan
emergensi
- Rujuk ke PPK 2
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
- Terapi
lanjutan

Non farmakologik
- Terapi perilaku
kognitif
- Psikoedukasi
- Manajemen
ansietas
Non farmakologik
- Terapi perilaku
kognitif
- Psikoterapi
berorientasi tilikan
- Psikoedukasi
Farmakologik
(pilihan) :
- Klomipramin 25100mg/hari
- Fluoksetin 2060mg/hari
- Sertralin 50150mg/hari
- Fluvoksamin 100200 mg/hari
Non farmakologik
- Terapi suportif
individu
- Psikoedukasi
- Latihan relaksasi
- Terapi perilaku
kognitif
Farmakologik
Sesuai dengan gejala
klinis yang menonjol
Gejala cemas :
- Klobazam 2x510mg
- Lorazepam 12x0.5-1mg
Gejala depresi :
- Fluoksetin 540mg/hari
- Sertralin 12.550mg/hari
- Fluvoksamin 25100mg/hari
82

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

- Amitriptilin 2x1025mg
- Imipramin 1-2x1025mg

6.

SINDROM
PERILAKU
YANG
BERHUBUNG
AN DENGAN
GANGGUAN
FISIOLOGIK
DAN
FAKTOR
FISIK

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi
tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
- Terapi
lanjutan

Gejala psikotik :
- Haloperidol 2x15mg
- Risperidon 2x12mg
- Olanzapin 1-2x2.510mg
- Quetiapin 50100mg
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Psikoedukasi
keluarga
- Terapi perilaku
- Terapi kognitif
perilaku
Farmakologik
Anticemas
- Diazepam
- Alprazolam
- Lorazepam
- Klobazam

7.

GANGGUAN
KEPRIBADIA
N DAN
PERILAKU
MASA
DEWASA

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
- Terapi
lanjutan

8.

RETARDASI
MENTAL

- Skrining
- Diagnosis
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi

- Skrining
- Diagnosis
- Kondisi akut :
rujuk ke
PPK 2/PPK 3
- Kondisi

- Skrining
- Diagnosis
- Penanganan
kondisi akut
- Terapi
lanjutan

Antidepresan
- Amitriptilin
- Maproptilin HCl
- Imipramin
- Klomipramin
- Fluoksetin
- Sertraline
Psikoterapi

Non farmakologik
- Psikoedukasi
keluarga
- Pendidikan
tingkah laku
intensif
83

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

tenang/kronis
terapi lanjutan
setelah
penanganan dan
atas petunjuk
SpKJ

2012

- Anjuran ke
Sekolah
berkebutuhan
khusus
- Pelatihan
kemandirian
- Pelatihan
ketrampilan
Farmakologik
Bila ditemukan
gejala penyerta
- Anti depresan
- Anti cemas
- Anti psikotik

9.
A

GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIK


Gangguan
- Skrining
- Skrining
autistik
- Rujuk ke PPK
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3
2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Konseling
orang tua
- Psikoedukasi
keluarga

10.
A

Non farmakologik
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Terapi perilaku
- Terapi okupasi
- Terapi wicara

Farmakologik
Bila ditemukan
gejala penyerta
- Anti depresan
- Anti psikotik :
Risperidon 0,1-0,2
mg/kg/hari
(2 kali pemberian
po)
Aripiprazole 0,10,2 mg/kg/hari
(1 kali pemberian
po)
GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL DENGAN ONSET MASA KANAK DAN REMAJA
Gangguan
- Skrining
- Skrining
- Skrining
Non farmakologik
pemusatan
- Rujuk ke PPK
- Rujuk ke PPK
- Diagnosis
- Konseling orang
perhatian dan
2/PPK 3
2/PPK 3
tua
hiperaktivitas
Non
- Psikoedukasi
farmakologik
keluarga
- Konseling
- Intervensi
orang tua
keluarga
- Psikoedukasi
- Intervensi
keluarga
psikososial
- Intervensi
- Terapi perilaku
keluarga
- Intervensi
Farmakologik
84

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

psikososial

Gangguan
tempertantr
um

Gangguan
depresi

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Konseling
orang tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Konseling
orang tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Psikoterapi
suportif
- Hospitalisasi

Gangguan
cemas

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Konseling
orang tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Psikoterapi
suportif

Gangguan
akibat
persaingan
antar
saudara

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Konseling
orang tua

2012

- Metilfenidat
Dosis 0.3-1mg/kg
BB dalam dosis
terbagi
- Anti depresan
(SSRI)
Fluoksetin 1x5
mg/hari
Non farmakologik
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Parentings skills
training

Non farmakologik
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Psikoterapi
suportif
- Terapi keluarga
- Hospitalisasi
Farmakologik
- Anti depresan
(SSRI)
Non farmakologik
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Psikoterapi
suportif
- Terapi keluarga
Farmakologik
- Anti depresan
(SSRI)
- Anti insomnia
(Difenhidramin)
Non farmakologik
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Konseling
perkawinan
85

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

Gangguan
kelekatan
reaktif

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Psikoedukasi
keluarga

- Parentings skills
training

- Skrining
- Diagnosis

Non farmakologik
- Psikoedukasi
keluarga
- Psikoterapi
suportif
- Terapi keluarga
- Konseling
perkawinan
- Parenting;s skills
training
Non farmakologik
- Membatasi minum
di malam hari
- Toilet training
- Psikoterapi
suportif
- Konseling orang
tua

Non
farmakologik
- Psikoedukasi
keluarga
- Psikoterapi
suportif
G

Gangguan
enuresis

Gangguan
enkoperesis

Gangguan
makan

Gangguan
gagap

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

2012

- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Membatasi
minum di
malam hari
- Toilet training
- Psikoterapi
suportif
- Konseling
orang tua
- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Toilet training
- Psikoterapi
suportif
- Konseling
orang tua
- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Konseling
orang tua
- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Psikoterapi
suportif

Farmakologik
- Anti depresan
(Imipramin)
Non farmakologik
- Toilet training
- Psikoterapi
suportif
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
- Terapi perilaku
Non farmakologik
- Konseling orang
tua
Konsultasi ke Bagian
IK. Anak
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga
86

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

- Konseling
orang tua
- Psikoedukasi
keluarga
K

Gangguan
tidur

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Rujuk ke PPK
2/PPK 3

- Skrining
- Diagnosis
Non
farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Konseling
orang tua
- Psikoedukasi
keluarga

2012

- Terapi wicara
Farmakologik (jika
perlu)
- Anti cemas
Non farmakologik
- Psikoterapi
suportif
- Konseling orang
tua
- Psikoedukasi
keluarga

87

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

PENGELOLAAN PENYAKIT GIGI DAN MULUT


No

TINDAKAN

PPK 1

PPK 2

Eksodontia

Pencabutan gigi dengan : Pencabutan gigi dengan


- infeksi
:
-abses jaringan lunak - Kelainan
dan jaringan keras
pertumbuhan
-untuk
keperluan
(Impaksi
dan
perawatan
malposisi)
orthodontia
dan
prostodontia
- kelainan pertumbuhan
(supernumerary)
- penyebab fokal infeksi
- karies besar yang tidak
dapat dirawat secara
konservasi

Bedah Dento
alveolar

Alvelektomi

Infeksi Daerah Diagnosis


Oromaksilofas Rujuk ke PPK 2
ial
Trauma
- Kontusio
jaringan
Orofasial
lunak fasial
- Luka abrasi fasial
- Cedera dentoalveolar
- Kelainan
kelenjar
ludah (Xerostomia)
-

Konservasi

- Karies

dini,

PPK 3

Apikoektomi
a. Kista Radikuler
b. Kista Periodontal
c. Abses Dentoalveolar

Penatalaksanaan
infeksi
-

Fulnus Fasial
Fraktur Mandibula
Fraktur maksila
Kista rongga mulut
Kelainan
kelenjar
ludah (Sialolithiasis,
Sialorrhoea, Sjorgen
Sindroma , parotitis
epidemica,
Sealodenitis Bakterial
Akut,
Makulicz
Sindroma,
Sarkoidosis)
- Kelainan
syaraf
kranialis
- Kelainan
sendi
temporomandibular
- Bedah Orthognati

media, - arrested caries

- Fraktur Mandibula
- Fraktur
Maksila
kompleks
- Neoplasma
- Kista rongga mulut
- Kelainan congenital
- Kelainan kelenjar
ludah (Sialolithiasis,
Sialorrhoea, Sjorgen
Sindroma , parotitis
epidemica,
Sealodenitis
Bakterial
Akut,
Makulicz Sindroma,
Sarkoidosis)

88

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

profunda
- Atrisi, abrasi dan
Perubahan
warna
erosi
eksternal/internal
- Abses
periapikal
Dentin hipersensitif
akut/kronis
Pulpitis reversible
- Kelainan
jaringan
Nekrosis pulpa
periodontal
- Kista radikuler

Prostodontia

- Overdenture
- Pembuatan feeding - Gigi tiruan Intermediat,
plate pada celah
intermediet,
lengkap
langit pada bayi
imediet,
lepasan - Obturator
untuk
imediet, lengkap akrilik)
celah langit dewasa
- Protesa
hidung,
telinga, muka, mata,
periodontal
- Implan dental

Pedodontia

Periodontia

Penyakit Gigi
dan Mulut

Gingivitis
Hiperplasik gingiva
Resesi Gusi
Periodontitis
- Stomatitis Aptosa
- Chemical Burn
- Ulkus Traumatikus
- Ulkus Dekubitalis
- Lingua Geografika /
Benign Migratory
Glossitis
- Denture Sore mouth
(Chronic Athropic
Candidiasis)
- Herpes Labialis

Oral hygiene buruk


Caries
Ginggivitis
Persistensi gigi sulung
Akar gigi tertinggal
Hiperemi pulpa
Pulpitis akut/kronis
Persistensi gigi sulung

- Karies
mencapai
pulpa non vital
- Abses
akut/kronis
dento alveolar
- Amelogenesis
dan
dentinogenesis
imperfect

Resesi Gusi
Periodontitis

Liken Planus
Leukoplakia
Karsinoma Sel Skuamosa

89

Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit


Dinkes Provinsi Jawa Barat

2012

90

Anda mungkin juga menyukai