Anda di halaman 1dari 38

GURU DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR

2.1

Guru
Guru pada saat ini sering menjadi sorotan dari berbagai media massa,berkaitan dengan rendahnya mutu pendidikan, dan

keberhasilan suatu sekolah. Ada sebagian masyarakat kita beranggapan keberhasilan suatu pendidikan sangat di tentukan oleh mutu
guru itu sendiri. Sementara kita ketahui bersama keberhasilan atau kegagalan pendidikan banyak di pengaruhi oleh beberapa faktor.
Kurangnya kesejahteraan guru, juga sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pendidikan.
Guru sangat terlibat dengan proses mengajar-belajar. Istilah proses mengajar belajar ( PMB) lebih tepat daripada proses
belajar mengajar ( PBM), alasanya karena dalam proses yang harus aktip duluan adalah guru lalu di ikuti aktivitas siswa (belajar )
bukan sebaliknya. Barlow seorang pakar psikologi pendidikan (1985) dan Good & Brophy (1990) hubungan timbul balik antar guru
dan siswa di sebut teaching learning process dan bukan learning-teaching process.
1.

Arti Guru Dahulu Dan Sekarang


Saat ini banyak berita-berita yang melecehkan posisi guru dan guru nyaris tidak mampu membela diri. Seorang politis Amerika

Serikat Hugget ( 1985 ) mengutuk guru kurang professional sedang orang tua menuding guru tidak kompeten dan malas. Kalangan
bisnis dan industripun memprotes guru karena hasil didikan mereka dianggap tidak bermanpaat. Tuduhan dan protes ini telah
memerosotkan harkat dan martabat para guru.
Dahulu seorang guru di hormati seperti seorang priyayi. Waktu itu penghasilan guru memadai bahkan lebih. Secara psikologis,
harga diri ( self esteem ) dan wibawa mereka juga tinggi, sehingga para orang tua pun berterima kasih bila anak-anaknya di hajar
guru kalau berbuat kurang ajar . Posisi guru pada waktu itu sangat tinggi dan terhormat.
Namun sekarang para guru telah berubah drastis. Profesi guru adalah profesi yang kering, dalam arti kerja keras para guru
membangun sumber daya manusia hanya sekedar untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan harkat dan derajat
mereka di mata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga negara second class ( kelas ke dua) . Kemerosotan ini terkesan hanya
karena mereka berpenghasilan jauh di bawah rata-rata dari kalangan profesional lainya.
Wibawa gurupun kian jatuh di mata murid, khususnya murid-murid sekolah menengah, di kota-kota pada umumnya cenderung
menghormati guru karena ada sesuatu. Mereka ingin mendapatkan nilai tinggi dan naik kelas dengan peringkat tinggi tanpa kerja
keras. Sikap dan perilaku masyarakat demikian memang tidak sepenuhnya tanpa alasan yang bersumber dari guru. Ada sebagian guru
yang berpenampilan tidak mendidik. Ada yang memberi hukuman badan (corporal punishment) di luar batas norma kependidikan, dan
ada juga guru pria yang melakukan pelecehan seksual terhadap murid-murid perempuanya.
Saat ini yang sedang terjadi adalah kerendahan tingkat kompetensi professionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi
dan metode pengajaran masih berada di bawah standar (Syah 1988). Ada dua hasil penelitian resmi yang menunjukan kekurang
mampuan guru, khususnya guru sekolah dasar, hasil penelitian Badan Litbang Depdikbud RI menyimpulkan bahwa kemampuan
membaca siswa kelas VI SD di Indonesia masih rendah. Bahwa 76,95% siswa kelas VI SD tidak dapat menggunakan kamus.Yang
mampu menggunakan kamus hanya 5 % secara sistematis dan benar.
Bukti lainnya adalah sebagian guru kita juga ditunjukan oleh hasil penelitian psikologi yang melibatkan responden sebanyak
1975 siswa SD negri dan swasta di Jakarta. Kesimpulanya bahwa guru di sekolah sekolah dasar tersebut tidak bisa
mengindentifikasi siswa berbakat. (Anonim). Kenyataan seperti ini cepat atau lambat akan menjatuhkan prestise (wibawa prestasi).
Kemerosotan prestise professional sering diikuti kemerosotan prestise sosial dan prestise material (Mutropin,1993), artinya para guru
kita kini kurang di hargai oleh masyarakat disamping kehidupan materinya yang serba kurang. Akibatnya, tak mengherankan apabila
diantara guru yang mengalami kelainan psikis keguruan yang di kenal sebagai teacher burnout berupa stress dan frustasi yang di

tandai dengan banyak murung dan gampang marah (Barlow,1985),Tardif,1989). Boleh jadi, karena guru bornout (pemadaman guru)
inilah maka sebagian oknum guru kita yang tak kuat iman, berbuat di luar batas norma edukatif dan norma susila seperti diatas.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tata Cara Pembelajaran di zaman dulu dan sekarang jelas berbeda bisa dilihat
dari cara guru mengajar di zaman dulu yang keras hingga sekarang yang ramah. Selain itu juga bisa dilihat jika dulu gurulah yang
menjadi pusat informasi dan siswa yang menerimanya, jauh dari zaman sekarang dimana guru hanya menjadi fasilitator untuk
membantu siswanya dalam proses belajar dan siswa mulai di ajarkan untuk mencari informasi secara individual. Diantara berbagai
faktor-faktor dalam mendukung pembelajaran, media dalam proses belajar sudah pasti telah menjadi faktor yang sangat penting. Hal
ini terjadi jelas karena kemajuan zaman yang serba teknologi ini menyebabkan segala informasi menjadi lebih mudah tuk didapatkan.
Ada 5 perbedaan guru dahulu dan sekarang yaitu :
1.

Cara Mengajar
Cara mengajar yang diterapkan oleh guru zaman dulu umumnya adalah dengan menggunakan penjelasan yang bertele-tele,

yang sepertinya setiap kata yang ada di buku itu dibaca. Dengan metode ini, pengetahuan yang diterima siswa hanya bersumber dari
sang guru saja. Sedangkan guru zaman sekarang lebih sering hanya menjelaskan secara singkat materinya, lalu mempersilahkan para
siswa untuk bertanya apabila ada kesulitan. Dengan cara ini, siswa jadi terpacu untuk mengembangkan pengetahuannya di luar
sekolah. Misalnya dengan browsing di Internet, mengikuti kursus, dan lain sebagainya. Pengetahuan yang didapat pun akan semakin
banyak
2.

Cara Menasihati Siswa


Cara menasihati siswa yang dilakukan oleh guru-guru zaman dulu adalah dengan kalimat- kalimat yang biasanya kasar. Seperti

menyinggung kondisi ekonomi keluarganya, penampilannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan membuat para siswa saat itu menjadi
berfikir keras agar tidak akan diledek oleh guru-guru mereka. Perlakuan berbeda dilakukan guru zaman sekarang. Mereka biasanya
menasihati para murid hanya dengan nasihat-nasihat yang halus dan tidak sampai menyinggung perasaan murid tersebut. Cara ini
kurang efektif karena murid kadang-kadang hanya mendengarkan di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
3.

Cara Berinteraksi Diluar Kelas


Guru-guru zaman dulu dengan gaya mengajarnya kaku, diluar kelas apabila disapa oleh murid nya, mereka hanya tersenyum

lalu berlalu begitu saja. Karena dalam diri mereka, ada suatu doktrin yang menjelaskan bahwa ada garis pemisah antara guru dan
murid. Jadi, sang murid harus sangat menghormati gurunya. Sedangkan guru zaman sekarang lebih luwes dalam berinteraksi diluar
kelas. Misalkan saja ada murid-muridnya yang menyapa, mereka akan tersenyum lepas dan kadang-kadang justru bercanda dengan
murid-muridnya itu. Seakan akan tidak ada garis batas antara murid dan guru. Guru pun bisa dijadikan tempat untuk mencurahkan
segala isi hati kita (curhat) tentang sekolah maupun kehidupan sehari-hari kita.
4.

Penggunaan Teknologi
Ketika zaman dulu, yang mana saat itu teknologi belum secanggih sekarang ini, seorang guru apabila ingin menjelaskan

materinya, hanya dengan menggunakan kapur dan papan tulis kayu saja. Atau bila dengan alat bantu, paling jauh hanya menggunakan
peta untuk pelajaran geografi. Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh guru zaman sekarang. Guru sekarang lebih senang menuliskan
materi ajarnya di sebuah file presentasi yang nanti hasilnya bisa ditampilkan di layar menggunakan LCD proyektor. Disamping lebih
praktis, cara ini bisa membantu para siswa untuk mengetahui lebih detail suatu gambar/objek/benda.
5.

Pemberian Nilai
Pemberian nilai yang dilakukan oleh guru zaman dulu adalah selain nilai asli, ada nilai yang diambil secara subyektif oleh guru

tersebut. Hal-hal yang dinilai antara lain adalah kesopanan, etika, dan keantusiasan siswa tersebut dalam mendalami materi yang
diajarkan guru tersebut. Sehingga dengan cara itu, nilai siswa benar-benar asli sesuai dengan kenyataan yang ada pada siswa tersebut.

Berbeda dengan guru zaman sekarang. Kebanyakan guru zaman sekarang hanya mengisi kolom nilai seorang murid hanya dari hasil
rata-rata ulangan ditambah tugas, dan keaktifannya dalam bertanya ataupun menjawab. Sehingga tidak jarang nilai yang muncul di
rapor tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari murid tersebut.
2.2

Arti Guru Di Masa Mendatang


Guru diartikan sebagai orang yang pekerjaanya mengajar. McLeod, (1989) berasumsi guru adalah seseorang yang pekerjaanya

mengajar orang lain. Kata mengajar dapat kita tafsirkan misalnya :


1.

Menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif).

2.

Melatih ketrampilan jasmani kepada orang lain (psikomotorik)

3.

Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (afektip)

Jadi pengertian guru adalah tenaga pendidik yang pekerjaanya utamanya mengajar (UUSPN tahun 1989 Bab VII pasal 27
ayat 3). Dalam perspektif psikologi pendidikan, mengajar pada prinsipnya berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat
orang lain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya.
Jadi pada hakekatnya mengajar itu sama dengan mendidik. Karena itu tidaklah heran bila sehari-harinya sebagai pengajar
lazim juga disebut pendidik.
Guru menurut pasal 35 PP 38/1992 diperkenankan bekerja di luar tugasnya untuk memperoleh penghasilan tambahan
sepanjang tidak mengganggu tugas utamanya. Kebolehan mengerjakan tugas lainya memberi kesan berkurangnya derajat profesional
keguruan, para guru walaupun tidak mengganggu tugas utama mereka sebagai pengajar, apalagi jika mengingat tidak tegasnya batasan
tidak mengganggu tugas utama.
Hal lain adalah sarjana non keguruan boleh menjadi guru asal mempunyai Akta mengajar. Akta ini dikeluarkan oleh LPTK
(Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan program akta pada fakultas tarbiyah untuk menjadi guru agama. Jadi seorang
sarjana tehnik bisa menjadi guru. Konotasinya, semua sarjana non kependidikan boleh mengajar.
Tidak ada keharusan memiliki pengalaman pendidikan dan ijazah sarjana keguruan misalnya dari IKIP dan fakultas tarbiyah.
Kita memang tak perlu berburuk sangka. Namun yang perlu diwaspadai adalah kekurang mampuan mereka mengelola PBM,
mengingat di perlukan waktu 5 tahun untk memperoleh SI untuk belajar dan berlatih mengelola PBM.
Selain itu kenyataan di lapangan menunjukan bahwa out put LPTK seperti yang diakui oleh Mendikbud RI, belum
memuaskan, terbukti dengan tidak sesuainya guru bidang studi dan rendahnya kualitas PBM, juga masih rendahnya kualitas dosen
pengelola LPTK itu sendiri.
Idealnya seorang yang memiliki bakat untuk menjadi guru terlebih dahulu menempuh pendidikan formal keguruan selama
kurun waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan institusi kependidikan yang akan menjadi tempat kerjanya. Selain itu ragam mata
kuliah yang dipelajari juga harus lebih spesifik dan berorientasi pada kompetensi dan profesionalisme keguruan yang memadai.
Guru Indonesia masa depan adalah guru yang dapat menguasai internet. Relevan dengan Moores Law yang diciptakan oleh
Gordon E Moore bahwa ke depan setiap orang hendaknya akrab dengan peralatan mikro (baca: internet) supaya mampu mengikuti
perkembangan informasi.

Guru Indonesia masa depan harus mampu menguasai internet serta siap mengaplikasikannya baik dalam pembelajaran maupun
kehidupan sehari-hari. Nantinya pasti akan terasa lucu kalau ada guru yang tidak mengenal komputer dan internet. Kalau guru kita
tidak mengenal internet, nanti akan makin tertinggal oleh guru-guru di negara maju. Bahkan, dengan guru-guru Malaysia yang dulu
pernah berguru di Indonesia pun, guru-guru kita akan makin tertinggal.
Penguasaan internet para guru secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas
pendidikan nasional. Dengan menguasai internet, maka pengetahuan, ilmu, dan teknologi yang ditransfer kepada siswa akan lebih
menarik, lebih cepat, dan lebih aktual.
Memang harus disadari bahwa internet bukanlah segala-galanya. Guru Indonesia masa depan memang harus menguasai
internet, tetapi di sisi yang lain harus tetap memahami kultur, sikap, dan nilai keindonesiaan. Hal ini pun merupakan hal yang tidak
bisa ditawar pula. Jadi, guru Indonesia masa depan adalah guru yang tetap memahami kultur, sikap, dan nilai keindonesiaan di satu
sisi dan menguasai teknologi informasi di sisi lain.
Sekarang, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Kementerian Pendidikan Republik Indonesia bahwa seseorang yang ingin menjadi guru tidaklah cukup
hanya dengan ijazah S1 Pendidikan saja. Tapi harus dilengkapi dengan ijazah Pendidikan Profesi Guru.
3.2

Karakteristik Kepribadian Guru


Menurut tinjauan psikologi, kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatanya yang

membedakan dirinya dari yang lain. McLeod (1989) mengartikan kepribadian (personality) sebagai sipat yang khas yang dimiliki oleh
seseorang. Dalam hal ini kepribadian adalah karakter atau identitas.
Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya
manusia. Karena disamping sebagai pembimbing dan pembantu, guru juga berperan sebagai panutan. Mengenai pentingnya
kepribadian guru,seorang psikolog terkemuka Prof. Dr Zakiah Dardjat ( 1982) menegaskan : Kepribadian itulah yang akan
menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur
bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat SD) dan mereka yang mengalami kegoncangan jiwa
(tingkat menngah) . Secara konstitusional, guru hendaknya berkepribadian Pancasila dan UUD 45 yang beriman dan bertagwa kepada
Tuhan YME, disamping itu dia harus punya keahlian yang di perlukan sebagai tenaga pengajar.
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru adalah :
1.

Fleksibitas Kognitif Guru


Fleksibilitas kognitif ( keluwesan ranah cipta ) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan

dan memadai dalam situasi tertentu. Kebalikanya adalah frigiditas kognitif atau kekakuan ranah cipta yang ditandai dengan kekurang
mampuan berpikir dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Guru yang fleksibel pada umunya di tandai dengan
keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu ia juga mempunyai resistensi (daya tahan ) terhadap ketertutupan ranah cipta yang
prematur dalam pengamatan dan pengenalan. Ketika mengamati dan mengenali suatu objek atau situasi tertentu seorang guru yang
fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis adalah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang di pusatkan pada
pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu, dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger &
Kaye,1990).

2.

Keterbukaan Psikologis Pribadi


Hal lain yang menjadi faktor menentukan keberhasilan tugas guru adalah keterbukaan psikologis guru itu sendiri. Guru yang

terbuka secara psikologi akan di tandai dengan kesediaanya yang relatip tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktorfaktor ekstern antar lain siswa, teman sejawat, dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia mau menerima kritik dengan ikhlas.
Disamping itu ia juga memiliki emphati, yakni respon afektip terhadap pengalaman emosionalnya dan perasaan tertentu orang lain
(Reber,1988). Contohnya jika seorang muridnya di ketahui sedang mengalami kemalangan, maka ia turut bersedih dan menunjukan
simpati serta berusaha memberi jalan keluar.
Keterbukaan psikologis sangat penting bagi guru mengingat posisinya sebagai anutan siswa. Keterbukaan psikologis
merupakan prakondisi atau prasyarat penting yang perlu dimiliki guru untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Keterbukaan
psikologis juga di perlukan untuk menciptakan suasana hubungan antar pribadi guru dan siswa yang harmonis, sehingga mendorong
siswa untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa ganjalan.
2.3 Hubungan Guru Dengan Proses Belajar Mengajar
Guru menurut UU no. 14 tahun 2005 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang beragam
telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Guru Sebagai Pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena
itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.
2. Guru Sebagai Pengajar
Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan
guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas
dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas
bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah. Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam
pembelajaran, yaitu : Membuat ilustrasi, Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon, Mendengarkan,
Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi, Menyediakan media untuk mengkaji materi standar,
Menyesuaikan metode pembelajaran, Memberikan nada perasaan. Agar pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru
harus senantiasa berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi
standar.
3. Guru Sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab
atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental,
emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.
Sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut :

Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai.

Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik
melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.

Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar.

Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.

4. Guru Sebagai Pelatih


Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut
guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa
latihan tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang
dikembangkan sesuai dengan materi standar.
5. Guru Sebagai Penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai
penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan
kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai
orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.
6. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)
Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini,
terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti
lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman
manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan
pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara
generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.
7. Guru Sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat
kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu
saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap
atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya bicara, Kebiasaan
bekerja, Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, Pakaian, Hubungan kemanusiaan, Proses berfikir, Perilaku neurotis, Selera,
Keputusan, Kesehatan, Gaya hidup secara umum perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani
mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri. Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan
dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap
merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
8. Guru Sebagai Pribadi

Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa
guru bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan
pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat
disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta
didik. Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan
olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan
berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
9. Guru Sebagai Peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan.
Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau
peneliti. Menyadari akan kekurangannya guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk meningkatkan kemampuannya
dalam melaksanakan tugas. Sebagai orang yang telah mengenal metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni
penelitian.
10. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas
Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan
menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia
kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak
dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha
untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang
kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang
lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.
11. Guru Sebagai Pembangkit Pandangan
Dunia ini panggung sandiwara, yang penuh dengan berbagai kisah dan peristiwa, mulai dari kisah nyata sampai yang
direkayasa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada pesarta didiknya.
Mengembangkan fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah
dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.
12. Guru Sebagai Pekerja Rutin
Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali
memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua
peranannya.
13. Guru Sebagai Pemindah Kemah
Hidup ini selalu berubah dan guru adalah seorang pemindah kemah, yang suka memindah-mindahkan dan membantu peserta
didik dalam meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru yang bisa mereka alami. Guru berusaha keras untuk mengetahui
masalah peserta didik, kepercayaan dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan serta membantu menjauhi dan meninggalkannya
untuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. Guru harus memahami hal yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi peserta
didiknya.

14. Guru Sebagai Pembawa Cerita


Sudah menjadi sifat manusia untuk mengenal diri dan menanyakan keberadaannya serta bagaimana berhubungan dengan
keberadaannya itu. Tidak mungkin bagi manusia hanya muncul dalam lingkungannya dan berhubungan dengan lingkungan, tanpa
mengetahui asal usulnya. Semua itu diperoleh melalui cerita. Guru tidak takut menjadi alat untuk menyampaikan cerita-cerita tentang
kehidupan, karena ia tahu sepenuhnya bahwa cerita itu sangat bermanfaat bagi manusia. Cerita adalah cermin yang bagus dan
merupakan tongkat pengukur. Dengan cerita manusia bisa mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang
dihadapinya, menemukan gagasan dan kehidupan yang nampak diperlukan oleh manusia lain, yang bisa disesuaikan dengan
kehidupan mereka. Guru berusaha mencari cerita untuk membangkitkan gagasan kehidupan di masa mendatang.
15. Guru Sebagai Aktor
Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan juga tentang
kepribadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga
dapat dikontrol. Sebagai aktor, guru berangkat dengan jiwa pengabdian dan inspirasi yang dalam yang akan mengarahkan
kegiatannya. Tahun demi tahun sang actor berusaha mengurangi respon bosan dan berusaha meningkatkan minat para pendengar.
16. Guru Sebagai Emansipator
Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insane dan menyadari bahwa
kebanyakan insan merupakan budak stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan
seringkali membebaskan peserta didik dari self image yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah
diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami
berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
17. Guru Sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan
hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan
dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi
tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut. Penilaian harus adil dan objektif.
18. Guru Sebagai Pengawet
Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, karena hasil karya manusia
terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan. Sarana pengawet terhadap apa
yang telah dicapai manusia terdahulu adalah kurikulum. Guru juga harus mempunyai sikap positif terhadap apa yang akan diawetkan.
19. Guru Sebagai Kulminator
Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya
peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan
belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator. Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba
bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan
perkembangan dan potensi anak didik.
Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak
menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru.

Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan
terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.
Suardiman (1988:6) mengemukakan bahwa ada tiga elemen yang menjadi pusat perhatian dalam pendidikan yang juga menjadi
pusat perhatian oleh para ahli psikologi pendidikan dan para guru, yaitu anak didik, proses belajar, dan sekilas" belajar. Ketiga elemen
ini saling berkaitan selalu sama lain.
Peserta didik merupakan elemen yang terpenting diantara elemen yang lain (termasuk elemen situasi belajar dan elemen proses
belajar). Ini bukan berarti bahwa faktor manusia (peserta didik) lebih penting dari faktor proses belajar dan situasi belajar, tetapi yang
jelas tanpa hadirny faktor peserta didik tidak mungkin akan terjadi peristiwa belajar atau interaksi belajar mengajar dalam lembaga
pendidikan formal, non formal, dan informal. Tanpa kehadiran peserta didik di kelas di suatu lembaga pendidikan tidak mungkin akan
ada proses pembelajaran karena peserta didik merupakan objek dari proses pendidikan dan pembelajaran di kelas. Peserta didik
diibaratkan seperti pembeli dalam suatu proses penjualan pasar yang akan membeli (menerima) ilmu pengetahua dari guru sebagai
transformator pengetahuan (penjual kepada peserta didik yang berperan sebagai manusia yan belum dewasa untuk didewasakan.
Proses pembelajaran sebagai elemen yang menjadi pusat perhatian dari psikologi pendidikan, merupakan elemen penentu
keberhasilan proses pendidikan. Tanpa ada interaksi yang timbal balik antara guru sebagai pendidik, dan pengajar dengan peserta
didik sebagai objek yang dididik dan diajar tidak mungkin akan terjadi proses ; pembelajaran di kelas atau di tempat belajar tertentu. .
Melalui proses pembelajaran yang interaktif antara guru dan peserta didik akan terjadi perubahan perilaku kepada peserta didik yang
ditandai dengan gejala peserta didik menjadi tahu terhadap materi pelajaran yang dipelajarinya dari tidak tahu pada waktu sebelum
mempelajari materi pelajaran tertentu. Gejala lain dari terjadinya perubahan perilaku pada peserta didik, yaitu peserta didik
memperoleh keterampilan tertentu seperti keterampilan dalam berbicara, berdiskusi, bergaul dan berteman, dan keterampilan lain
yang membutuhkan aktivitas sensorik dan motorik dan perubahan dari aspek sikap (afektif), yaitu dari bersikap kurang baik atau
kurang positif terhadap guru, orangtua, masyarakat, dan pihak terkait lainnya menjadi bersikap positif terhadap pihak-pihak tersebut
sebagai buah atau hasil dari proses pendidikan yang berkualitas. Perubahan dari segi perilaku yang lain berupa perilaku peserta didik
dari tidak disiplin dalam hidup menjadi disiplin (termasuk disiplin dalam melakukan aktivitas belajar), dari penampilan dalam
berpakaian tidak rapi menjadi rapi dan bersih, dari beperilaku kurang santun menjadi sopan dan santun, dan berbagai aspek
pengetahuan (kognitif), afektif (sikap), dan keterampilan (psikomotorik) sebagai buah dari hasil proses pendidikan dan pembelajaran
di setting (tempat) belajar.
Slameto (1988:68) menyatakan bahwa agar proses pembelajaran di kelas dapat maksimal dan optimal, maka hubungan antara
guru dengan peserta didik dan hubungan peserta didik dengan sesama peserta didik yang lain harus timbal balik dan komunikatif satu
sama lainnya. Proses pembelajaran hanya dapat terjadi jika antara guru dengan siswa terjadi komunikasi dan interaksi timbal balik
yang edukatif.
Jadi proses pembelajaran di kelas dipengaruhi oleh hubungan yang ada dalam proses pembelajaran itu sendiri. Jadi cara belajar
siswa juga dipengaruhi oleh relasi siswa dengan gurunya. Hubungan guru dengan siswa sebagai peserta didik yang tercipta dengan
baik, maka siswa akan senang kepada gurunya dan juga akan menyukai materi pelajaran yang diajarkan oleh gurunya sehingga siswa
dapat menguasai materi pelajaran dengan baik. Sebaliknya, jika hubungan guru dengan siswa kurang komunikatif dan harmonis,
siswa akan membenci atau tidak senang kepada gurun dan menyebabkan siswa tidak senang menerima pelajar dari guru tersebut,
akibatnya siswa tidak sukses bela dalam mata pelajaran tersebut. Guru yang kurang komunikatif dan edukatif dalam berinteraksi
dengan siswanya, akan menyebabkan proses pembelajaran di kelas berjalan tidak optimal dan maksim. Selain itu, siswa akan
menjauhkan diri dari guru sehing siswa tersebut tidak dapat aktif dalam mengikuti probelajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, para calon guru dan para guru yang telah mengajar harus menguasai pengetahuan tentang didaktik dan
metodik pembelajaran, misalnya menguasai dan menerapkan pengetahuan tentang dinamika kegiatan dalam strategi belajar mengajar,
interal dan motivasi belajar mengajar, dan berbagai pendekatan, dalam proses belajar mengajar.

Guru merupakan satu faktor dalam situasi belajar di samping situasi udara, penerangan, komposi tempat duduk, dan
sebagainya (Suardiman, 1988:7). Sikap guru, semangat kelas, sikap masyarakat, dan suasana perasaan di sekolah juga merupakan
faktor yang mempengaruhi situasi belajar di tempat belajar yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Untuk dapat menjadi guru yang profesional dalam mendidik dan mengajar peserta didik melalui proses ruang pembelajaran di
kelas, maka selain harus memperhatikan ketiga elemen pokok yang menjadi pusat perhatian dari psikologi pendidikan tersebut di atas,
juga harus memperhatikan dan menguasai pengetahuan tentang didaktik metodik pengajaran dan hall lain yang terkait dengan
masalah peserta didik. Pengetahuan didaktik metodik pengajaran dan hal lain yang terkait dengan masalah peserta didik, misalnya
pengetahuan tentang gejala aktivitas umum jiwa peserta didik, kepribadian, inteligensi, dan bakat peserta didik, perkembangan anak
dan perkembangan remaja sebagai subjek didik, belajar dan permasalahannya, teori-teori belajar, interaksi belajar mengajar di kelas
dan permasalahannya, keterkaitan perilaku guru terhadap dinamika kelas, pembinaan disiplin di dalam kelas, motivasi belajar dan
permasalahannya, strategi belajar mengajar manajemen kelas untuk interaksi belajar mengajar, dan masalah-masalah khusus dalam
pendidikan dan pengajaran.
PEMBIASAAN PERILAKU RESPON, TEORI PENDEKATAN KOGNITIF, PROSES DAN FASE BELAJAR
A. Pembiasan Perilaku Respon
Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning) merupakan teori berusia paling muda dan masih sangat
berpengaruh di kalangan para ahli Psikologi belajar masa kini, teori ini adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan yang dekat. Respon dalam Operant Conditioing terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek
yang ditimbulkan oleh stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya (reinforcer).
Dalam pandangan Psikologi perilaku yang dimotori teoriwan Paplov, Thorndike, dan Skinner, stimulus merupakan
penyebab pokok terbentuknyarespons-respons dalam belajar. Stimulus yang dimaksud yaitu pembiasan perilaku respon yang
dibentuk melalui pengubahan materi bahasan sedemikian rupa sehingga dapat merangsang pembelajar mengembangkan perilaku
seperti yang dikehendaki dalam tujuan belajar. Sebagai pengembangan dan konsepsi pembiasan klasik (classical conditioning)
yang mengabaikan jarak antara stimulus (S) dengan respons (R), pembiasan perilaku respons sesungguhnya merupakan sinyalsinyal penggerak pikiran dan dipandang sebagai mediator dari apa yang diingikan pemberi stimulus dengan harapan penerima
mengembangkan reaksi pikiran dan tindaka tertentu (Travers, 1982:18)
Dari sejumlah teori belajar perilaku yang menonjol tampak adanya kesamaan pandangan bahwa stimulus, baik yang
terkondisi maupun yang terbuka, dipandang sebagai penggerak awal tindakan belajar yang mendekati salah satu di antara titik-ti
belajartik dalam garis kontinum antara kesukarelaan menuju ke arah pemaksaan dalam belajar. Itulah sebabnya, maka sejalan
dengan perkembangan teori-teori motivasi dan evaluasi yang kemudian dimanfaatkan para ahli dan praktisi pendidikanuntuk
menjalankan profesinya.
Pemberian stimulus-respons-penguatan sebagai satuan-satuan bahasan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama
lain dengan menggunakan pola jenjang bersyarat Biehler dan Snowan (1982). Sebagai bentuk pengajaran yang sengaja
dirancang untuk memberikan kemudahan belajar menurut percepatan lama kerja individu, Skinner mempreskripsikan agar
bahan-bahan belajar hendaknya berisikan seperangkat langkah-langkh pendek yang setiap langkahnya memerlukan aktifitas
respons dari pembelajar dan setiap respons harus disiapkan balikan segerannya untuk mengetahui keakuratan respons yang ada.
Untuk mengefektifkan aktivitas pembelajar, Skinner selanjutnya mempreskripsikan empat teorema pembelajar sebagai
berikut.
Pertama, peran pendidikan hakikatnya adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang diinginkan sajayang diberi
penguatan.
Kedua, stimulus yang bersifat deskriptif hendaknya diberikan sebagai penunjang aktifitas belajar, erat kaitannya dengan kedua
hal tersebut adalah teorema.

Ketiga, yang mempreskripsikan agar para pembelajar membuat catatan kemajuan anak didiknya sehingga dapat melakukan
penyesuaian-penyesuaian program yang mereka perlukan dikemudian hari.
Keempat, memperskripsikan agar pembelajar membuat rekomendasi tentang tugas-tugas belajar mana yang seharusnya dicoba
dahulu, sebagaimana cara belajarnya, serta hasil-hasil apa saja yang diharapkan dengan keseluruhan aktivitas yang
diprogramkan itu.
B. Teori Pendekatan Kognitif
a. Aliran Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses beljar daripada hasil belajar itu
sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu,
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah
stimulus, dan bagaimana siswa tersebut dapat sampai ke respons tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini).
Namun, lambat laun perhatian ini mulai bergeser. Saat ini perhatiaan mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang
baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang
berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang
mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam tahap-tahap perkembangan
yang diusulkan oleh Jean Piaget, belajar bermakna nya Ausubel, dan belajar penemuan secara bebas oleh Jerome Bruner.
1. Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri
dari tiga tahapan, yakni (1) asimilasi, (2) akomodasi, dan (3) equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses
penyatuaan (pengintegrasiaan) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkeseinambungan antara asimilasi
dan akomodasi.
Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka
proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi
baru), inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang
berarti dalam pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang tersebut dapat
terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses
penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi proses penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam. Tanpa
proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganized).
Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan
equilibrasi yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi ini
dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi sebaik itu akan
cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang cenderung mempunyai alur berpikir
ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit.
Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa, yang dalam
hal ini Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu tahap sensori motor (2/3 sampai 7/8 tahun), tahap operasional konkret
(7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap operasional (14 tahun atau lebih).

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang
sudah mencapai tahap kedua (praoperasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi
(operasional konkret dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga
semakin abstrak) cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangananak
didiknya ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Guru yang mengajar, tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan cenderung menyulitkan para siswanya.
Misalnya saja, mengajarkan konsep abstraktentang matematika kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha
untuk mengkonkretkan konsep tersebut. Tidak hanya akan percuma, tetapi justru akan lebih membingungkan para siswa itu.
2. Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut pengatur kemajuan (belajar) (Advance
organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau
informasi umum yang mewadahi/mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa advance organizers) dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni
1.
2.

Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa

3.

yang akan dipelajari siswa


Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

3. Bruner
Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru member kesempatan kepaada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori,
definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa
dibimbing untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran, misalnya, siswa pertama-tama tidak
menghafal definisi kata kejujuran, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa
dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
Lawan dari pendekatan ini disebut belajar ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa
disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh umum dan konkret. Dalam
contoh diatas, maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran, dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari
contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut.
Brunner juga mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang
pembelajaran yang efektif dikelas. Menurut pandangan Brunner bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif, sedangkan teori
pembelajaran itu bersifat preskriftif. Misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk belajar
penjumlahan, sedngakan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.
b. Pendekatan Kognitif (Kognitif Approach)
Menurut aliran kognitif, belajar merupakan proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan
perilaku seseorang yang tampak sesengguhnya hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap sesuatu
yang sedang diamati dan dipikirannya. Sedangkan fungsi stimulus yang datang dari luar direspons sebagai aktivator kerja
memori otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif.
Brunner (1975) mendeskripsikan pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar
dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya.

Sedangkan Ausubel (1978) mempreskripsikan agar pembelajar dapat mengembangkan situasi belajar, memilih dan
menstrukturkan isi, serta menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajar yang terorganisasi dari umum menuju ke rinci
dalam satu satuan bahasan yang bermakna.
Dalam pandangan psikologi kognitif, peran guru atau dosen menjadi semakin menentukan apabila perbedaan variabel
karakter individu dihargai dalam bentuk penyajian pola struktur kegiatan belajar mengajar. Penyajian pola struktur kegiatan
yang bervariasi pada saat yang bersamaan juga pernah dicobakan di lapangan dengan berpijak pada teorema Bruner tentang
pembelajaran yang berorientasi pada kerja kognitif tingkat tinggi. Hasil uji model pembelajaran pemecahan masalah yang
dikembangkan berdasarkan teorema Brunner (Suharsono, 1991) menunjukkan adanya kesetaraan tingkat keefektifan berbagai
macam variasi pola pembelajaran, sepanjang kapasitas dan tingkat kemampuan awal siswa atau mahasiswa tidak berbeda secara
signifikan.
Masalah yang sering muncul pada tahapan aplikasi teori-teori kognitif dibidang pembelajaran adalah dalam kaitannya
dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan belajar dan penstrukkturan kegiatan belajar mengajar. Hali ini bisa dimengerti
mengingat bahwa penelitian dan pengembangan paket-paket program pembelajaran pada berbagai jenis cabang ilmu disiplin
keilmuan dan keahlian ternyata tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Salah satu faktor yang dominan pengaruhnya terhadap
variasi keefektifan pembelajaran adalah struktur bangunan disiplin ilmu yang dipelajari (Scandura, 1984).
Sehubungan dengan adanya kenyataan empiris tersebut, maka teori dan teorema kognitif yang ada bisa saja
digunakan sebagai acuan umum bagi setiap jenis cabang disiplin keilmuan. Namun, kemungkinan dapat terjadi bahwa
keefektifan penerapannya pada level kesulitan dan jenis kemampuan pada suatu bidang studi berbeda dengan bidang studi
lainnya. Oleh karena itu, cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan dari sudut pandang
psikologi kognitif adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental
intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merrril (1983: 286), jenjang tersebut
bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru
dibidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.
C. Proses dan Fase Belajar
1. Definisi Proses Belajar
Proses adalah kata yang berasal dari bahasa latin processus yang berarti berjalan ke depan. Kata ini mempunyai
konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Menurut Chaplin (1972), proses adalah
suatu perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan.
Belajar menurut Harold Spears (1955.p 94) belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sendiri tentang
sesuatu, mendengarkan, mengikuti petunjuk, aktifitas yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya.
Jadi, proses belajar adalah tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa.
Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju dari keadaan sebelumnya.

Proses belajar dibedakan berdasarkan proses terjadinya, terbagi menjadi :

Pendapat I yakin proses belajar terjadi karena ada reinforcement sebagai motivasi siswa agar terjadi perubahan tingkah laku
(behaviorisme), proses belajar terjadi sesuai tingkat perkembangan biologis seseorang (maturasionisme).
Pendapat ke II yakin proses belajar terjadi karena bentukan kita sendiri (selfcontructions).
2. Fase-fase dalam Proses Belajar
a. Proses Belajar Menurut Para Ahli

Menurut Jerome S. Bruner, salah seorang penentang teori S.R Bond dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga
episode atau fase, antara lain :
1. Fase informasi (tahap penerimaan materi)
2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi)
3. Fase evaluasi (tahap penilaian materi)
Menurut Wittig (1981) dalam bukunya psychology of learning, setiap proses belajar selalu berlangsung dalam 3 tahapan,
antara lain :
1.

Actuation (tahap perolehan/penerimaan informasi)

2.

Storage (tahap penyimpanan informasi)

3.

Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)

b. Secara Spikologis
Pada umumnya ada 8 fase dalam belajar, dan pada masing-masing fase itu terjadi proses-proses.
1. Fase Motivasi
Timbulnya motivasi (dorongan belajar) dalam diri mahasiswa. Ada dua jenis motivasi, yaitu:
(1). Motivasi Intrinsik
Dorongan yang timbul dalam diri mahasiswa, karena stimulus (rangsangan) dari dalam dirinya sendiri. Stimulus itu antara
lain minat, bakat, cita-cita, kepuasan melakukan sesuatu dengan berhasil.
(2). Motivasi Ekstrinsik
Dorongan yang timbul dalam diri seseorang, karena stimulus dari luar, seperti penghargaan atas kinerja, pujian, atau upah
yang diberikan pihak lain.
Kedua motivasi itu sangat penting dalam belajar, tetapi motivasi intrinsik yang paling penting. Apabila motivasi
sudah timbul dalam diri seseorang, proses keinginan untuk belajar sudah terjadi.
2. Fase Pemerhatian
Pemerhatian atau perhatian pada materi pengajaran yang sedang (akan segera) disajikan. Ini timbul dengan baik
setelah ada motivasi.
Ada tiga proses yang terjadi :
(1). Proses memperhatikan
(2). Proses menanggapi (memasukkan kedalam persepsi)
(3). Proses memahami.
Kuat-lemahnya proses-proses itu banyak bergantung pada cara penyajian materi, situasi belajar pengajar, dan motivasi dimaksud
diatas.
3. Fase Pemerolehan
Pemerolehan : Proses memahami (memeroleh) arti materi, dan memasukkannya kedalam ingatan jangka pendek (shortterm memory), dan dari sana akan disimpan dalam ingatan jangka panjang(long-term memory). Proses ini disebut juga
pelambangan (encoding). Pendidik berperan penting dalam membuat kuat-lemahnya proses ini.
4. Fase Penyimpanan
Apa yang sudah dipahami dan dimasukkan kedalam ingatan jangka pendek dimasukkan dalam ingatan jangka panjang
kemudian, dan disimpan disana dalam jangka waktu yang lama.
5. Fase Pengingatan

Pengingatan : Proses mengingat kembali apa yang telah dipelajari (disimpan dalam ingatan jangka panjang)
Pengingatan terjadi apabila ada tuntutan dari luar, misalnya, pertanyaan atau masalah yang dihadapi. pendidik berperan penting
dalam meningkatkan kemampuan (Kecepatan dan ketepatan) peserta didik dalam pengingatan. Proses yang terjadi dalam
pengingatan disebut juga pelepasan lambang (decoding).
6. Fase Generalisasi
Generalisasi : Proses mengingat dan mempergunakan apa yang telah dipelajari. Dari segi bahasa, pada fase ini
mahasiswa dapat menyatakan apa yang telah dipelajarinya dengan kata-kata (bahasa) sendiri secara baik . Fase inilah
sesungguhnya tujuan akhir belajar. Kemampuan Generalisasi adalah indikator mutu pemahaman peserta didik tentang materi. Pada
fase ini juga berkembang daya kritis dan berpikir mandiri. Fase ini disebut juga transfer (pengetahuan sudah menjadi milik
mahasiswa).
7. Fase Kinerja
Ini adalah proses dimana peserta didik membuktikan pemahamannya tentang materi melalui perbuatan (kinerja), seperti
jawabannya atas pertanyaan dalam ujian, atau sikapnya dalam menghadapi masalah.
8. Fase Umpan Balik
Fase ini sesungguhnya sejalan dengan fase kinerja, karena dari kinerja diperoleh juga umpan balik. Dalam fase ini
peserta didik mengetahui tingkat pemahamanya tentang materi dari kinerjanya sendiri, dalam arti hasil yang diperoleh dari kinerja
kerja itu, seperti nilai ujian, respon yang diberikan dosen, dll.
Umpan balik berguna untuk peningkatan (perbaikan) mutu. Dari umpan balik dapat diketahui apa yang harus diperbaiki.
Urutan fase fase diatas adalah yang umum (standar). Tetapi dapat juga terjadi bahwa urutan itu tidak diikuti, misalnya
langsung ke fase pemerhatian atau pemerolehan. Perubahan ini dapat terjadi terutama karena situasi belajar mengajar yang
dihadapi, termasuk cara cara penyajian materi oleh peserta didik. Tetapi bagaimanapun, fase fase tersebut perlu diperhatikan.

LUPA DAN KEJENUHAN BELAJAR


1.1Pengertian Evaluasi dan Prestasi Belajar
Menurut Bloomet, al (1971) evaluasi dan prestasi belajar yaitu Evaluasi sebagaimana kita lihat, adalah pengumpulan
kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan

sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa. Sedangkan padanan kata evaluasi adalah assessment yang menurut Tardif
(1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Dengan demikian selain kata evaluasi dan assement tersebut ada pula kata lain yang searti dan relatif dalam dunia
pendidikan yakni tes, ujian, dan ulangan. Dan istilah THB (Tes hasil belajar) dan TPB (Tes prestasi belajar) yaitu alat-alat ukur
yang banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar atau untuk menentukan taraf
keberhasilan sebuah program pengajaran.
Sementara itu, istilah evaluasi biasanya digunakan untuk menilai pembelajaran dan rajin serta aktifnya atas segala aktifitas
yang di program di sekolah atau di lembaga-lembaga yang menjadi kegiatan para siswa sebelum atau sesudah akhir jenjang
pendidikan, seperti evaluasi belajar tahap akhir dan evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTA dan EBTANAS). Dan juga
penentuan segi-segi yang dijadikan dasar dalam penilaian yang optimal, terutama sebagian dari segi tersebut tidak dapat di
evaluasi dengan cara objektif langsung dari satu sisi. Akan tetapi untuk sampai pada penentuan sempurna bagi kecenderungan
penilaian ini yaitu harus melakukan proses evaluasi secara global atau menilai beberapa segi dalam bentuk eksistensi
komprehensif, yang sesungguhnya dapat menyusun deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, walaupun begitu,
guru yang profesional akan tetap berusaha mencari kiat evaluasi yang lugas, tuntas, dan meliputi seluruh kemampuan ranah
cipta, rasa, dan kerja siswa. Yang memungkinkan untuk menentukan tingkat kemajuan pengajaran dan bagaimana berbuat baik
pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu kata Dr. Suharsimi Arikunto dalam bukunya Drs. H. Daryanto
ia menyatakan Kita dapat mengadakan penilaian sebelum mengadakan pengukuran, karena pengukuran adalah measurement,
sedangkan penilaian adalah evaluation. Dari data evaluation inilah diperoleh kata Indonesia yang berarti menilai, karena :
1.

Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, yaitu pengukuran yang bersifat kuantitatif.

2.

menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk, yaitu penilaian yang bersifat
kualitatif.

3.
1.2

mengadakan evaluasi meliputi kedua langkah di atas yakni mengukur dan menilai.

Tujuan dan Fungsi Evaluasi dan Prestasi Belajar


Evaluasi dan Prestasi Belajar mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut:
1.

Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar para siswa angka-angka yang diperoleh dicantumkan sebagai
laporan kepada orang tua, untuk kenaikan kelas, dan penentuan kelulusan para siswa.

2.

Untuk menempatkan para siswa ke dalam situasi belajar mengajar yang tepat dan serasi dengan tingkat kemampuan,
minat, dan berbagai karakteristik yang dimiliki oleh setiap siswa.

3.

Untuk mengenal latar belakang siswa (psikologis, fisik, dan lingkungan), yang berguna baik dalam hubungan dengan
tujuan kedua maupun untuk menentukan sebab-sebab kesulitan belajar para siswa, yang sehingganya dapat memberikan
bimbingan dan penyuluhan pendidikan guna mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.

4.

Sebagai umpan balik bagi guru yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan
program remedial bagi para siswa.

Disamping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.

Fungsi administratif untuk menyusun draft nilai dan pengisaan buku raport.

2.

Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan.

3.

Fungsi diagnostic untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dan merencanakan program remedial teaching (Pengajaran
kebaikan).

4.

Sumber data BP untuk memasukkan data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan penyuluhan (BP).

5.

Bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan
alat-alat PBM.

1.3

Macam macam Evaluasi dan Prestasi Belajar


Ragam evaluasi ini, sangat penting pada prinsipnya untuk dijadikan evaluasi hasil belajar yang merupakan kegiatan
berencana dan berkesinambungan, yakni mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.

Pre-test dan Post-test


Pre-test, kegiatan atau aktifitas yang dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru, tujuannya
adalah untuk mengindentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Sedangkan Post-test, adalah
kebalikan dari pre-test yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah
untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan.

Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre-test. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama
yang mendasari materi baru yang akan diajarkan.

Evaluasi Diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian
tertentu yang belum dikuasai siswa, dan instrumen evaluasi jenis ini dititik beratkan pada bahasan tertentu yang dipandang
sebagai jalan ketika siswa mendapatkan kesulitan.

Evaluasi Formatif
Evaluasi jenis ini dapat dipandang sebagai Ulangan umum yang dilakukan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran
atau modul, tujuannya ialah untuk memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostic, yakni untuk
mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa.

Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif ini, dan juga dapat dianggap sebagai Ulangan umum yang dilakukan untuk mengukur kinerja
akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran evaluasi ini, lazim dilakukan pada
setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.

Ujian Akhir Nasional (UAN)

Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dulu disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) pada prinsipnya sama
dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa, namun UAN yang diberlakukan mulai tahun
2002 itu dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang SD/MI, SLTP/MTs, dan sekolahsekolah menengah, yakni SMA dan sebagainya.
1.4

Faktor faktor Prestasi Belajar


Pada prinsipnya indikator prestasi belajar merupakan faktor pengungkapan hasil belajar ideal logis yang harus di data
sesuai dengan ukuran yang diperoleh siswa, yaitu dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat dan valid.
Dalam hal ini perubahan sangat penting dan diharapkan dan mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa,
baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa.
Adapun komponitas yang mempengaruhi prestasi belajar sebagai berikut :
a.

Faktor intern
Faktor intern yaitu berkaitan dengan perkembangan dan keadaan jasmani, baik kesehatan, kekuatan belajar,
konsentrasi belajar, kemampuan panca indera, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sujanto Semakin banyak alat
indera yang berfungsi, semakin banyak pesan yang dapat ditangkap.

b.

Faktor Ekstern
Faktor Ekstern yaitu faktor dari luar individu yang terdiri dari faktor sosial dan faktor non sosial. Faktor sosial
meliputi kepribadian guru, status sosial anak, situasi sosial ekonomi dan kontak dengan orang tua.

1.5

Lupa dan Kejenuhan Belajar


1.

Peristiwa lupa dalam belajar


Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa - apa yang
sebelumnya kita pelajari. Witting (1981) menyimpulkan berdasarkan penelitian, peristiwa lupa yang di alami seseorang
tak mungkin di ukur secara langsung. (Long term memory) akan terus dimiliki sesorang dan bukan berarti ketika lupa
ingatan-ingatan itu hilang begitu saja.
a.

Faktor-faktor penyebab lupa


Pertama, lupa dapat terjadi karena ganguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam
sistem memori siswa. Dalam teori mengenai ganguan, ganguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu;
1.

Proactive interference

2.

Retroactive interference (Reber 1988; best, 1989; Anderson, 1990).


Kedua, Lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik

sengaja atau tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan, yaitu:
1.

Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dsb) yang diterima siswa kurang
menyenangkan.

2.

Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama
dengan fenomena retro aktif.
Ketiga, Lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan

waktu mengingat kembali.


Keempat, Lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar
tertentu.

Kelima, menurut law of disuce (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang
telah di kuasai tidak pernah digunakan atau di hafalkan siswa.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak.

1.6

Macam macam Kiat mengurangi lupa dalam belajar


Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siwa. Banyak ragam kiat yang
dapat di coba siswa dalam meningkatkan daya ingatnya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson
(1990) adalah sebagai berikut:
Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu.
Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi
(kekerapan) aktifitas belajar. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi
tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari .
Mnemonic device (muslihat memori) yaitu upaya yang dijadikan alat pengait mental untuk mamasukkan item-item
informasi kedalam sistem akal siswa. Macam-macam Mnemonic device :
a. Rima (Rhyme) yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri dari atas kata dan istilah. Sajak ini akan
lebih baik pengaruhnya jika diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan.
b. Singkatan yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah. Misalnya untuk menghafal bacaan idgham
bighunnah dalam ilmu tajwid dengan menggunakan singkatan yanmu.
c.

Sistem kata pasak (peg word system) yakni sejenis teknik mnemonik yang menggunakan komponen-komponen
yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru yang dibentuk berpasangan seperti
panas- api.

d.

Metode losai (method of loci) yaitu kiat mnemonik yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai
sarana penempatan kota dan istilah tertentu.
Misalnya nama ibu kota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama negara itu (Gerorge washington).

e.

Clustering (pengelompokkan), ialah menata ulang item item materi menjadi kelompok kelompok kecil yang
dianggap lebih logis dalam arti bahwa item item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat
mirip.

1.7

Peristiwa Jenuh Dalam Belajar


a.

Definisi Jenuh
Secara harfiah, arti jenuh ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Selain itu, disamping
siswa sering mengalami kelupaan, ia juga terkadang mengami peristiwa negatif lainya yang disebut jenuh belajar yang
dalam bahasa psikologi lazim disebut learning plateau .
Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil
(Reber 1988). Seorang siswa yang sedang alam keadan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang
diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan bejarnya seakan-akan jalan
ditempat

b.

Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar


Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan kehilangan konsolodasi salah satu
tingkat keterampilan beritanya, (1972) selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai
pada batas kemampuan jasmaninya karena bosan, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda
siswa, karna keletihan dapat penyebab munculnya perasaan bosan pada siwa yang bersangkutan.
Menurut Cross (1274) dalam bukunya The Psychology Of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi
tiga macam yaitu :
1.

Keletihan indera siswa

2.

Keletihan fisik siswa

3.

Keletihan mental sisiwa

Ada beberapa faktor yang menyebabkan keletihan mental yaitu :


a.

Kecemasan seseorang terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri.

b.

Kekhawatiran seseorang akan ketidakmampuannya mencapai standar keberhasilan bidang-bidang studi yang
dianggapnya terlalu tinggi terutama ketika seseorang tersebut sedang merasa bosan mempelajari bidang - bidang
studi tersebut.

c.

Persaingan yang ketat yang menuntut belajar keras.

d.

Keyakinan yang tidak sama antara standar akademik minimum dengan standar yang ia buat sendiri.

Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom pisikologis berupa learning disability
(ketidak mampuan belajar) yang menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri atas :
1.

Disleksia, ketidak mampuan belajar membaca

2.

Disgrafia, ketidak mampuan belajar menulis

3.

Diskalkulia, ketidak mampuan belajar matematika

Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh
adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak.

Cara cara Mengatasi kejenuhan dalam Belajar


Ada beberapa cara untuk menanggulangi jenuh belajar yaitu:
a. Istirahat dan mengkonsumsi makanan yang bergizi dengan takaran yang cukup banyak.
b. Menjadwal dengan baik proses belajarnya.
c. Menata kembali lingkungan belajarnya meliputi pengubahan posisi meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat
perlengkapan belajar dan sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih
menyenangkan untuk belajar.
d. Memberi stimulasi baru dan motivasi agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat dari pada sebelumnya.
e. Membuat kegiatan yang menimbulkan keaktifan siswa dengan cara mencoba belajar dan belajar lagi.

TEORI KEPRIBADIAN ALFRED ADLER


A.

Pokok-pokok Teori Alfred Adler

1. Individualitas sebagai Pokok Persoalan


Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas (unik) kepribadian, yaitu individualitas, kebulatan serta sifat-sifat
pribadi manusia. Menurut Adler tiap orang adalah suatu konfigurasi motif-motif, sifat-sifat, serta nilai-nilai yang khas, tiap
tindak yang dilakukan oleh seseorang membawakan corak khas gaya kehidupannya yang bersifat individual.
2. Pandangan Teleologis : Finalisme Semu
Adler menemukan gagasan bahwa manusia lebih didorong oleh harapan-harapannya terhadap masa depan daripada
pengalaman-pengalaman masa lampaunya. Tiap orang mempunyai Leitlenie, yaitu rancangan hidup rahasia yang tak
disadari, yang diperjuangkannya terhadap segala rintangan. Tujuan yang ingin dikejar manusia itu mungkin hanya suatu
fiksi, yaitu suatu cita-cita yang tak mungkin direalisasikan, namun kendatipun demikian merupakan pelucut yang nyata bagi
usaha manusia, dan karenanya juga merupakan sumber keterangan bagi tingkah lakunya. Menurut Adler orang yang normal
dapat membebaskan diri akhirnya dari fiksi ini, sedangkan orang yang neurotis tidak mampu membebaskan diri.
3. Dua Dorongan Pokok
Di dalam diri manusia terdapat dua dorongan pokok, yang mendorong serta melatarbelakangi segala tingkah lakunya, yaitu :
a.

Dorongan kemasyarakatan yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada masyarakat,

b.

Dorongan keakuan, yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada aku sendiri.
4. Rasa Rendah Diri dan Kompensasi
Menurut Adler pengertian rasa rendah diri adalah mencakup segala rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan
psikologis atau sosial yang dirasa secara subyektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Adler menyatakan
inferioritas yaitu rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam
bidang penghidupan apa saja. Misalnya saja anak merasa kurang jika membandingkan diri dengan orang dewasa, dan karenanya
didorong untuk mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi, dan apabila dia telah mencapai taraf perkembangan itu timbul lagi
rasa diri kurangnya dan didorong untuk maju lagi, demikian selanjutnya. Tetapi dalam keadaan normal rasa rendah diri itu merupakan
pendorong ke arah kemajuan atau kesempurnaan.
5.Dorongan Kemasyarakatan

Dorongan untuk membantu masyarakat guna mencapai tujuan masyarakat yang sempurna. Dalam hubungan ini Adler menyatakan sosial
interest is true and inevitable compensation for all the natural weaksesses of individual human being (Adler, 1929, p.31).

Dorongan kemasyarakatan itu adalah dasar yang dibawa sejak lahir, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Namun
sebagaimana lain-lain kemungkinan bawaan, kemungkinan mengabdi kepada masyarakat itu tidak nampak secara spontan, melainkan
harus dibimbing dan dilatih.
Jadi apabila diikuti teori Adler dapat digambarkan demikian :
( 1 ) mula-mula manusia dianggap didorong oleh dorongan untuk

mengejar kekuatan dan kekuasaan sebagai lantaran untuk

mencapai kompensasi bagi rasa rendah dirinya.


( 2 ) Selanjutnya manusia dianggapnya didorong oleh dorongan kemasyarakatan yang dibawa sejak lahir yang menyebabkan dia
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Menurut Adler dorongan untuk berkuasa, memainkan peran terpenting dalam perkembangan kepribadian (Adler, 1946, p. 145.)
6. Gaya Hidup, Leitlinie
Menurut Adler gaya hidup adalah prinsip yang dapat dipakai landasan untuk memahami tingkah laku seseorang. Inilah yang
melatarbelakangi sifat khas seseorang. Tiap orang mempunyai gaya hidup masing-masing. Tiap orang mempunyai tujuan yang sama
yaitu mencapai superioritas, namun caranya untuk mengejar tujuan itu boleh dikata tak terhingga banyaknya, ada yang dengan
mengembangkan akalnya, ada yang melatih otot-ototnya,dll.
Menurut Adler gaya hidup ini ditentukan oleh inferioritas yang khusus, jadi gaya hidup itu adalah suatu bentuk kompensasi
terhadap kekurangsempurnaan tertentu.
7. Diri yang Kreatif
Diri yang kreatif adalah penggerak utama, pegangan filsafat, sebab pertama bagi semua tingkah laku. Sukarnya menjelaskan
persoalan ini ialah karena orang tak dapat menyaksikan secara langsung akan tetapi hanya dapat menyaksikan lewat manifestasinya.
Inilah yang mengantarai antara perangsang yang dihadapi individu dengan response yang dilakukannya. Diri yang kreatif inilah yang
memberi arti kepada hidup, yang menetapkan tujuan serta membuat alat untuk mencapainya.

B. ARTI PSIKOLOGI INDIVIDUAL

Arti psikologi Adler mempunyai arti yang penting sebagai cara untuk memahami tingkah laku manusia. Pengertian seperti
gambran semu, rasa rendah diri, kompensasi, gaya hidup, diri yang kreatif, memberi pedoman yang penting untuk memahami sesama
manusia. Teori Adler ini punya arti yang sangat penting, karena hal-hal berikut ini.
( 1 ) Penentuan tujuan-tujuan yang susila, seperti :
a)

Keharusan memikul tanggung jawab,

b)

Keberanian menghadapi kesukaran-kesukaran hidup,

c)

Mengikis dorongan keakuan dan mengembangkan dorongan kemasyarakatan,

d)

Menyelami diri sendiri dan membuka kecenderungan-kecenderungan egoistis yang tersembunyi.

2 ) Optimismenya dalam bidang pendidikan.

C. PENGARUH ADLER

Di Amerika teori Adler meluas berkat adanya The American Society of Individual Psychology. Di Eropa sendiri murid-murid
dan pengikutnya cukup banyak,salah satu diantara mereka adalah Fritz Kunkel dengan karya utamanya : Einfuhrung in die
Charakterkunde. Kankel berpegang teguh kepada dasar pemikiran Adler. Secara ringkas pendapat Kunkel itu adalah :
1.

Dua Dorongan Pokok


Seperti Adler, Kunkel berpendapat bahwa kehidupan jiwa adalah dinamis, dan dinamika ini dikarenakan oleh adanya dua dorongan
yang saling bertentangan yaitu :

( 1 ) Dorongan keakuan (Inchhaftigkeit atau Unsachlichkeit) dorongan untuk mengabdi kepada aku (diri sendiri).
( 2 ) Dorongan kekitaan (Wirhaftigkeit atau Sachlichkeit) dorongan untuk mengabdi kepada kita (Umum, dunia luar dirinya).

2.

Termometer Penilaian Diri


Saling berhubungan antara kedua dorongan pokok dalam diri manusia itu digambarkan dalamtermometer penilaian diri.
Pengantar Teori Adlerian
Teori Adler memiliki pengaruh besar terhadap pakar psikologi selanjutnya, seperti Harry Stuck Sullivan, Karen Horney, Jullian Rotter,
Abraham Maslow, Carl Rogers, Albert Ellis, Rollo May, dan lain-lain. Namun, nama Adler kurang dikenal luas, dibandingkan Freud
atau Jung. Hal ini disebabkan karena : (1) Adler tidak mendirikan organisasi yang dijalankan dengan kuat untuk
mengabadikan teorinya ; (2) Adler bukan penulis yang berbakat dan sebagian besar bukunya dikumpulkan oleh beberapa editor
menggunakan bahan pengajaran Adler yang tersebar dimana-mana ; (3) Banyak dari pandangan Adler yang tergabung dalam karya
teoretikus selanjutnya, seperti Maslow, Rogers, dan Ellis, sehingga pandangan tersebut tidak lagi diasosiasikan dengan nama Adler.
Tulisan-tulisan Adler mengungkapkan pandangan mendalam terhadap kedalaman dan kompleksitas kepribadian manusia, namun,
Adler menyusun teori yang sederhana. Adler menyatakan bahwa manusia lahir dengan kondisi tubuh yang lemah dan inferior.Kondisi
ini menyebabkan perasaan inferior, dan ketergantungan kepada orang lain. Oleh karena itu, perasaan menyatu dengan orang lain
sudah menjadi sifat manusia dan standar akhir untuk sehat secara psikologis.
Dalam teori Psikologi Individual Adler, ada beberapa prinsip yang melatarbelakangi teori ini, yaitu :
1. Striving for success or superiority. Prinsip ini menyatakan bahwa kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah berjuang
untuk meraih keberhasilan atau superioritas. Adler mereduksi semua motivasi menjadi satu dorongan tunggal, yaitu berjuang
meraih keberhasilan atau superioritas. Tentu kita masih ingat dengan kisah Adler di atas mengenai kondisi fisik yang lemah dan
persaingan dengan kakak laki-lakinya. Oleh sebab itu, Psikologi Individual mengajarkan bahwa seseorang memulai hidupnya
dengan kelemahan fisik yang mengakibatkan perasaan inferior. Perasaan inferior ini lah yang akhirnya mendorong seseorang
untuk berjuang meraih superioritas atau keberhasilan. Individu yang tidak sehat secara psikologis akan berjuang meraih
superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis akan berjuang meraih keberhasilan untuk semua
manusia. Pada awalnya, Adler meyakini bahwa AGRESI adalah kekuatan dinamis dari motivasi. Namun, ia tidak puas dengan istilah
itu. Kemudian ia menggunakan istilah MASCULINE PROTEST, yang berarti keinginan menguasai atau mendominasi orang lain.
Dan pada akhirnya, ia menggunakan istilah berjuang untuk meraih keberhasilan dan superioritas. Tanpa memperhatikan
motivasi, Adler yakin bahwa setiap orang dikendalikan oleh tujuan akhir.
Adler yakin bahwa manusia berjuang demi sebuah tujuan akhir, baik superioritas pribadi ataupun keberhasilan untuk semua
umat manusia. Tujuan akhir ini memiliki makna karena dapat mempersatukan kepribadian dan membuat semua perilaku dapat
dipahami. Setiap orang mampu menciptakan tujuan sesuai pribadi, karena faktor keturunan atau lingkungan. Dalam
perjuangan mencapai tujuan akhir, manusia menciptakan dan mengejar banyak tujuan awal. Ketika tujuan akhir diketahui,
maka semua tindakan menjadi jelas dan memiliki makna yang penting. Berjuang meraih superioritas pribadi itu muncul tanpa
memperhatikan orang lain dan dimotivasi oleh perasaan inferior berlebihan (inferiority complex). Misalnya, pembunuh,
pencuri, atau penipu. Sedangkan, berjuang meraih keberhasilan untuk semua umat manusia itu muncul karena minat sosial,
menolong orang lain, dan mampu melihat orang lain bukan sebagai lawan, melainkan sebagai pihak yang dapat diajak
bekerjasama untuk kepentingan sosial.

2. Subjective perception. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam mengatasi perasaan inferiornya, maka seseorang akan berjuang.
Namun, sikap juang yang muncul tidak ditentukan oleh kenyataan, melainkan oleh persepsi subjektif akan kenyataan, yaitu oleh fiksi
atau harapan masa depan. Fiksi adalah gagasan yang tidak berbentuk nyata. Misalnya, manusia memiliki kehendak bebas
untuk membuat pilihan-pilihan. Contoh ini menunjukkan bahwa setiap orang seolah-olah memiliki kehendak bebas dan bertanggung
jawab atas pilihan mereka, walaupun tidak ada yang dapat membuktikan bahwa kehendak bebas itu nyata.
3. Self consistent. Prinsip ini menyatakan bahwa kepribadian itu menyatu dan memiliki konsistesi diri. Sehingga pikiran,
perasaan, dan tindakan mengarah kepada satu tujuan. Ada dua cara untuk mengenali kesatuan dan konsistensi diri manusia, yaitu :
(a) Bahasa Organ. Gangguan terhadap satu bagian tubuh tidak dapat dilihat secara terpisah, karena hal ini mempengaruhi keseluruhan
diri seseorang. Melalui bahasa organ, organ tubuh akan berbicara dengan ekspresif dan mengungkapkan pikiran seseorang
dengan lebih jelas daripada yang diungkapkan dengan kata-kata ; (b) Kesadaran dan Ketidaksadaran. Kepribadian yang
menyatu adalah keserasian antara tindakan dan pikiran sadar-tidak sadar.
4. Social interest. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat
sosial. Minat sosial adalah perasaan menjadi satu dengan umat manusia. Seseorang dengan minat sosial yang berkembang
dengan baik, tidak akan berjuang untuk superioritas pribadi, tetapi untuk kesempurnaan semua umat manusia. Minat
sosial ini termanifestasi dalam bentuk kerjasama dengan orang lain untuk kemajuan sosial. Minat sosial berasal dari potensi
bawaan manusia, yang harus dikembangkan kemudian. Minat sosial merupakan ukuran tunggal Adler untuk mengukur
kesehatan psikologis. Sebagai barometer kenormalan, maka minat sosial adalah standar yang digunakan untuk menentukan
seberapa bermanfaatnya hidup seseorang. Orang yang memiliki minat sosial akan dianggap dewasa secara psikologis.
5. Style of life. Prinsip ini menyatakan bahwa struktur kepribadian yang konsisten dan menyatu akan berkembang menjadi
gaya hidup seseorang. Gaya hidup menunjukkan selera hidup seseorang, yang mencakup tujuan, konsep diri, perasaan terhadap
orang lain, dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup merupakan interaksi antara faktor keturunan atau bawaan lahir, lingkungan,
dan daya kreatif yang dimiliki seseorang. Gaya hidup seseorang terbentuk pada saat seseorang mencapai usia empat atau lima
tahun. Setelah masa tersebut, semua tindakan manusia berputar di sekitar gaya hidup yang sudah terbentuk itu. Individu yang
tidak sehat secara psikologis menjalani hidup dengan tidak fleksibel, yaitu tidak mampu memilih cara baru dalam bereaksi
dengan lingkungan. Sedangkan, orang yang sehat secara psikologis, akan berperilaku dengan cara yang berbeda, fleksibel dalam
gaya hidup yang kompleks, selalu berkembang, dan berubah. Manusia yang sehat melihat banyak cara dalam meraih
keberhasilan, dan terus menerus mencari cara untuk menciptakan pilihan-pilihan baru dalam hidup mereka.
6. Creative power. Prinsip ini menyatakan bahwa gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif yang ada dalam diri manusia. Adler
meyakini bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidupnya sendiri. Pada akhirnya, setiap orang akan
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Daya kreatif yang manusia miliki akan membantu manusia mengendalikan kehidupan
mereka, bertanggung jawab akan tujuan akhir, menentukan cara mereka pakai untuk meraih tujuan, dan berperan dalam
membentuk minat sosial. Daya kreatif adalah konsep dinamis yang menggambarkan pergerakan, dan pergerakan ini adalah
karakteristik hidup yang paling penting. Kepribadian seseorang terbentuk karena faktor keturunan dan lingkungan. Manusia adalah
makhluk kreatif yang tidak hanya bereaksi terhadap lingkungan, namun melakukan tindakan dan menyebabkan lingkungan
bereaksi terhadap mereka. Dengan kata lain, manusia adalah arsitek bagi dirinya sendiri, yang dapat membangun gaya
hidup yang berguna atau tidak berguna.
Perkembangan Abnormal
Setelah memahami karakteristik orang yang sehat secara psikis, kita juga akan memahami orang yang tidak sehat secara psikis
atau abnormal. Salah satu karakteristik orang yang abnormal adalah orang yang tidak mampu menyesuaikan diri.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri disebabkan oleh minat sosial yang tidak berkembang, menetapkan tujuan yang terlalu
tinggi, hidup dalam dunia sendiri, memiliki gaya hidup yang kaku dan dogmatis. Dengan kata lain, manusia akan gagal dalam hidup
jika terlalu berfokus pada diri sendiri dan tidak memperhatikan orang lain. Adler meyakini bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang tidak mampu menyesuaikan diri, yaitu :
1. Kelemahan fisik yang berlebihan. Setiap orang lahir dengan kelemahan fisik, baik karena faktor keturunan, kecelakaan,
atau penyakit. Kondisi ini tidak cukup untuk menyebabkan seseorang menjadi tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik. Hal
ini harus didukung oleh perasaan inferior yang menonjol dan berlebihan. Mereka cenderung berusaha keras untuk melakukan
kompensasi terhadap kelemahan mereka, cenderung menjadi tidak peduli pada diri sendiri, dan kurang
memperhatikan keadaan orang lain. Perasaan inferior ini mengalahkan keinginan mereka untuk mencapai keberhasilan. Mereka
yakin bahwa masalah utama dalam hidup hanya dapat diselesaikan hanya dengan sikap mementingkan diri sendiri.
2. Gaya hidup manja. Gaya hidup manja banyak terdapat dalam diri orang yang neurotis. Orang yang manja memiliki
minat sosial yang lemah. Mereka mengharapkan orang lain untuk merawat, melindungi, dan memuaskan kebutuhan mereka.
Karakteristik menonjol dari orang yang manja adalah putus asa berlebihan, mudah bimbang, oversensitif, tidak sabar, atau cemas
berlebihan. Orang manja selalu memandang dunia sekitarnya dengan sudut pandangnya sendiri. Mereka yakin bahwa mereka

berhak untuk selalu menjadi orang yang pertama dari segalanya. Orang yang manja memiliki orangtua yang menunjukkan
kurangnya kasih sayang. Artinya, orangtua tersebut melakukan terlalu banyak untuk anaknya, dan menganggap anak tersebut tidak
mampu menyelesaikan masalah sendiri. Anak-anak dengan orangtua yang seperti ini menyebabkan anaknya merasa dimanja, dan
membentuk perilaku dan gaya hidup yang manja.
3. Gaya hidup terabaikan. Orang dengan gaya hidup terabaikan adalah orang yang diabaikan, sehingga merasa tidak
dicintai, tidak diinginkan, dan pada akhirnya membentuk gaya hidup yang terabaikan. Selain diabaikan, anak yang disiksa dan
diperlakukan tidak adil, memiliki minat sosial yang rendah, dan cenderung menciptakan gaya hidup terabaikan. Orangorang yang seperti ini akan merasa tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, tidak mampu bekerjasama, merasa terasing
dari orang lain, dan mengalami rasa iri terhadap keberhasilan orang lain.
4. Kecenderungan untuk melindungi. Adler yakin bahwa manusia menciptakan perilaku melindungi perasaan akan harga diri
mereka terhadap rasa malu di muka umum. Alat perlindungan ini disebut KECENDERUNGAN UNTUK MELINDUNGI.
Konsep ini sama dengan konsep Freud mengenai mekanisme pertahanan diri. Namun, ada perbedaan di antara kedua
konsep tersebut. Konsep Adler mengenai perlindungan terhadap diri itu dilakukan secara sadar. Sedangkan konsep Freud
mengenai mekanisme pertahanan diri itu dilakukan secara tidak sadar. Ada tiga bentuk kecenderungan untuk melindungi diri
menurut Adler, yaitu :
a. MEMBUAT ALASAN. Membuat alasan adalah bentuk paling umum dari melindungi diri. Hal ini menunjukkan bahwa orang
menyatakan sesuatu yang akan mereka lakukan, namun diikuti dengan alasan.
b. AGRESI. Adler yakin bahwa orang menggunakan agresi untuk melindungi superioritas berlebihan dan harga diri yang
rapuh. Perlindungan diri melalui agresi dapat berbentuk : (1) Depreciation, adalah kecenderungan untuk menilai rendah hasil
pencapaian orang lain dan meninggikan penilaian terhadap diri sendiri ; (2) Accusation, yaitu kecenderungan untuk
mendakwa atau menyalahkan orang lain untuk kegagalan seseorang dan untuk membalas dendam demi melindungi harga diri
yang lemah ; (3) Self Accusation, yaitu menyiksa diri sendiri dan memenuhi diri sendiri dengan perasaan bersalah.
c. MENARIK DIRI. Kepribadian seseorang akan berhenti berkembang jika ia lari dari kesulitan atau menarik diri atau membuat
jarak. Ada empat cara dalam menarik diri, yaitu : (1) Moving Backward, yaitu kecenderungan bergerak mundur pada periode
kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Konsep ini sama dengan konsep regresi pada Freud ; (2) Standing Still, yaitu
kecenderungan untuk tidak bergerak ke arah manapun dan menghindari semua tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Dengan tidak melakukan apapun, orang akan melindungi harga diri dan melindungi diri dari kegagalan ; (3) Hasitating,
yaitu kecenderungan ragu-ragu ketika dihadapkan pada masalah yang sulit ; (4) Constructing Obstacles, yaitu kecenderungan
untuk membangun penghalang.
Penerapan Psikologi Individual
Penerapan praktis dari Psikologi Individual terbagi dalam empat area, yaitu :
1. Konstelasi Keluarga. Konstelasi keluarga mencakup urutan kelahiran, gender dari saudara kandung, dan rentang usia di
antara mereka. Konstelasi keluarga menjadi hal yang sangat penting bagi Adler, karena ia membuat hipotesis mengenai urutan
kelahiran. Menurut Adler, anak sulung memiliki perasaan berkuasa, superioritas yang kuat, kecemasan tinggi, dan
kecenderungan overprotektif. Jika anak sulung berusia tiga tahun atau lebih ketika adiknya lahir, maka mereka akan
menggabungkan peristiwa ini ke dalam gaya hidup sebelumnya yang telah terbentuk. Jika gaya hidupnya adalah berpusat
pada diri, maka kemungkinan ia akan mengembangkan permusuhan dan kemarahan pada adiknya yang baru lahir. Namun, jika
gaya hidupnya adalah kerjasama, maka ia akan menerima adiknya tersebut. Sebaliknya jika anak sulung mendapat adik
ketika usia kurang dari tiga tahun, maka kemarahan dan sikap permusuhan terjadi secara tidak sadar. Sikap ini akan lebih sulit
diubah di kehidupan selanjutnya. Anak kedua, memulai hidup dalam situasi yang lebih baik untuk membentuk kerjasama dan minat
sosial. Sampai usia tertentu, kepribadian anak kedua akan dibentuk oleh persepsi mereka terhadap sikap anak sulung
kepadanya. Jika sikap anak sulung bermusuhan, maka anak kedua akan cenderung menjadi kompetitif atau kecil hati. Anak
bungsu, memiliki resiko menjadi anak bermasalah, perasaan inferior yang kuat, dan kurang mandiri. Namun mereka memiliki
kelebihan, yaitu motivasi tinggi dibanding kakaknya dan ambisius. Anak tunggal, memiliki kecenderungan bersaing dengan
orangtuanya, membentuk rasa superioritas yang tinggi, memiliki konsep diri yang besar, kurang memiliki sikap kerjasama,
minat sosial, bersikap parasit, berharap orang lain untuk memanjakan dan melindungi mereka.
2. Ingatan Masa Kecil. Adler menyatakan bahwa ingatan masa kecil konsisten dengan gaya hidup saat ini. Misalnya, ingatan Adler
tentang masa kecil mengenai kakaknya yang sehat, sedangkan ia sering sakit. Ingatan ini menunjukkan kepada kita bahwa Adler
memandang dirinya sebagai orang yang lemah, namun mampu bersaing melawan musuh yang kuat. Musuh itu merujuk
kepada penyakitnya. Di sisi lain, ingatan ini menunjukkan kepada kita bahwa Adler menerima pertolongan orang lain yang dapat
membuatnya memiliki rasa percaya diri untuk melawan penyakitnya.

3. Mimpi. Mimpi memang tidak dapat meramalkan masa depan, namun dapat menjadi petunjuk untuk memahami dan
mengatasi masalah di masa depan. Setiap interpretasi mimpi sebaiknya bersifat sementara dan dapat diinterpretasi ulang.
4. Psikoterapi. Teori Adler menyatakan bahwa psikopatologi berasal dari kurangnya keberanian, perasaan inferior berlebihan,
dan minat sosial yang tidak berkembang. Sehingga tujuan utama psikoterapi Adlerian adalah menumbuhkan rasa berani,
memperkecil perasaan inferior, dan menumbuhkan minat sosial. Dalam melakukan psikoterapi, Adler menetapkan dirinya sebagai
teman kerja yang menyenangkan, menahan diri untuk memberi nasihat berlebihan, menjunjung nilai pada hubungan antar
manusia.
Faktor-faktor penentu kepribadian
Faktor keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetika seorang individu.[1] Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan
refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara
substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari
individu.[1]
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan
memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang.[1] Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku
dan temperamen anak-anak. [1] Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.[1] Dasar ketiga meneliti
konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.[1]
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan. [3] Bukti menunjukkan
bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan.[3] Temuan ini
mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor
seperti tinggi badan dan warna rambut.[3]
Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah. [4]
Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di
antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis.[1] Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan
tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan
di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan
saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.[1]
Faktor lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan
dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami.[1]
Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang.[1] Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap,
dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga
ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain.[1] Misalnya,
orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus
tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius
dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja
sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier.[1]

Faktor Mempengaruhi Perubahan Kepribadian


Selasa, 9 Februari 2010 09:53 WIB
Faktor yang mempengaruhi perubahan dan dinamika kepribadian seseorang di pengaruhi oleh banyak faktor. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya mengenai pengertian dari kepribadian di artikel sebelumnya (klik disini untuk membacanya), maka, meskipun
mengalami perubahan, kepribadian merupakan karakteristik yang relatif stabil.
Dalam buku Psikologi Pendidikan oleh H. Jaali pada tahun 2007, perubahan dalam kepribadian tidak bisa terjadi secara spontan,
tetapi merupakan hasil pengamatan, pengalaman, tekanan dari lingkungan sosial budaya, rentang usia dan faktor-faktor dari individu:

Pengalaman Awal
Sigmund Freud menekankan tentang pentingnya pengalaman awal (masa kanak kanak) dalam perkembangan kepribadian. Trauma
kelahiran, pemisahan dari ibu adalah pengalaman yang sulit dihapus dari ingatan.
Pengaruh Budaya
Dalam menerima budaya anak mengalami tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang
ditentukan budayanya.
Kondisi Fisik
Kondisi fisik berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kepribadian seseorang. Kondisi tubuh meentukan apa yang dapat
dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan seseorang. Secara tidak langsung seseorang akan merasakan tentang tubuhnya yang
juga dipengaruhi oleh perasaan orang lain terhadap tubuhnya. Kondisi fisik yang mempengaruhi kepribadian antara lain adalah
kelelahan, malnutrisi, gangguan fisik, penyakit menahun, dan gangguan kelenjar endokrin ke kelenjar tiroid (membuat gelisah,
pemarah, hiperaktif, depresi, tidak puas, curiga, dan sebagainya).
Daya Tarik
Orang yang dinilai oleh lingkungannya menarik biasanya memiliki lebih banyak karakteristik kepribadian yang diinginkan dari pada
orang yang dinilai kurang menarik, dan bagi mereka yang memiliki karakteristik menarik akan memperkuat sikap sosial yang
menguntungkan.
Inteligensi
Perhatian lebih terhadap anak yang pandai dapat menjadikan ia sombong, dan anak yang kurang pandai merasa bodoh. Apabila
berdekatan dengan orang yang pandai tersebut, dan tidak jarang memberikan perlakuan yang kurang baik.
Emosi
Ledakan emosional tanpa sebab yang tinggi dinali sebagai orang yang tidak matang. Penekanan ekspresi emosional membuat
seseorang murung dan cenderung kasar, tidak mau bekerja sama dan sibuk sendiri.
Nama
Walaupun hanya sekedar nama, tetapi memiliki sedikit pengaruh terhadap konsep diri, namun pengaruh itu hanya terasa apabila anak
menyadari bagaimana nama itu mempengaruhi orang yang berarti dalam hidupnya. Nama yang dipakai memanggil ,mereka (karena
nama itu mempunyai asosiasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pikiran orang lain) akan mewarnai penilainya
orang terhadap dirinya.
Keberhasilan dan Kegagalan
Keberhasilan dan kegagalan akan mempengaruhi konsep diri, kegagalan dapat merusak konsep diri, sedangkan keberhasilan akan
menunjang konsep diri itu.
Penerimaan Sosial
Anak yang diterima dalam kelompok sosialnya dapat mengembangkan rasa percaya diri dan kepandaiannya. Sebaliknya anak yang
tidak diterima dalam lingkungan sosialnya akan membenci orang lain, cemberut, dan mudah tersinggung.

Pengaruh Keluarga
Pengaruh keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anak, sebab waktu terbanyak anak adalah keluarga dan di dalam keluarga itulah
diletakkan sendi sendi dasar kepribadian.
Perubahan Fisik
Perubahan kepribadian dapat disebabkan oleh adanya perubahan kematangan fisik yang mengarah kepada perbaikan kepribadian.
Akan tetapi, perubahan fisik yang mengarah pada klimakterium dengan meningkatnya usia dianggap sebagai suatu kemunduran
menuju ke arah yang lebih buruk.
Sebenarnya masih banyak lagi hal hal yang mempengaruhi kepribadian, tetapi tidak dapat seluruhnya disampaikan di sini mengingat
keterbatasan keterbatasan yang ada.
TRANSFER BELAJAR
PENGERTIAN TRANFER BELAJAR
Menurut L.D. Crow dan A. Crow, transfer belajar adalah pemindahan-pemindahan kebiasaan berfikir, perasaan atau pekerjaan, ilmu
pengetahuan atau keterampilan, dari suatu keadaan ke keadaan belajar yang lain. Pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai hasi
belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang. Tranfer dalam belajar yang biasa
disebut dengan tranfer belajar (tranfer of learning) itu mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari suatu situasi ke
situasi berikutnya (Reber: 1988). Kata pemindahan keterampilan tidak berkonotasi hilangnya keterampilan melakukan sesuatu pada
masa lalu karena digantikan dengan keterampilan baru pada masa sekarang. Oleh sebab itu, definisi diatas harus dipahami sebagai
pemindahan pengaruh atau pengaruh keterampilan melakukan sesuatu terhadap tercapainya keterampilan melakukan sesuatu lainnya.
Setiap pemindahan pengaruh (tranfers) seperti yang disebut diatas pada umumnya selalu membawa dampak baik itu positif ataupun
negatif terhadap aktifitas dan hasil pembelajaran materi pelajaran lain atau keterampilan lain.
V. TEORO-TEORI TRASFER BELAJAR
Secara umum para ahli berpendapat bahwa trasfer dalam belajar itu bisa terjadi, akan tetapi, apa yang sebenarnya hakekat trasfer itu
dan bagaimana dalam belajar, Para ahli berbeda pendirian. Yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga teori yaitu:
a. Teori Disiplin Formal/Ilmu Jiwa Daya
Bertitik tolak dari anggapan bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya seperti daya ingat dan daya pikir, maka mereka
beranggapan bahwa transfer belajar hanya dapat terjadi bila diperkuat dan didisiplinkan dengan latihan-latihan yang keras dan
terus menerus. Setelah daya-daya tersebut terlatih maka akan mudah terjadi transfer secara otomatis ke bidang-bidang lain.
b. Teori Elemen Identik/Ilmu Jiwa Asosiasi
William James dan Edward Thorndike tidak sependapat dengan pandangan para ahli jiwa daya, kedua tokoh ini lalu mengkritik antara
lain sebagai berikut:
i) Daya ingat tidak dapat diperkuat melalui latihan.
ii) Pelajaran bahasa Latin misalnya, tidak dapat menaikan IQ.
iii) Ilmu-ilmu dalam bidang tertentu (bila ditunjuk dengan istilah Ilmu Jiwa Daya mereka telah terlatih) ternyata lemah dan tidak
mampu mengamati dan menganalisis dalam bidang-bidang lain, ini berarti tranfer secara oomatis tidak terjadi. Kemudian kelompok
asosiasi ini berpendapat bahwa transfer hanya akan terjadi bila dalam situasi yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical
elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari. Misalnya, individu yang telah lihai naik sepeda motor honda, ia tidak akan
mengalami kesulitan bila mengendarai motor merk suzuki, karena sepeda motor ini mempunyai banyak unsur yang sama, maka bila
sekolah menghendaki terjadinya transfer, bahan-bahan pelajaran harus dan mempunyai unsur-unsur kesamaan dengan kehidupan
masyarakat.

c. Teori Generalisasi
Peletak pandangan ini adalah Charles Judd, ia beranggapan bahwa transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama telah
dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola atau struktur, tidak kesamaan unsur-unsur. Seseorang memahami prinsip demokrasi
akan mampu mengamalkan dalam situasi yang berbeda, demikian pula prinsip ekonomi, hukum, pendidikan dan lain-lain. Ketiga teori
diatas, sampai sekarang masih menunjukkan kebenaran, kemampuan berfikir logis sistematis, ternyata cukup membantu dibidangbidang lain (Ilmu Jiwa Daya). Unsur-unsur yang sama atau pola-pola yang mirip bila dipahami betul orangpun tertolong dalam
menghadapi situasi yang sama sekali baru (elemen identik dan generasi).
VI. RAGAM-RAGAM TRANSFER BELAJAR
Pada perkembangan awal, transfer belajar terbagi menjadi dua yaitu transfer positif dan transfer negatif. Dikatakan transfer positif,
apabila membawa efek positif terhadap kegiatan belajar selanjutnya, sedangkan dikatakn transfer negatif, jika membawa efek negatif
terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Menurut Theory of Identical Element yang dikembangkan oleh E. L. Thorndike, transfer positif
akan terjadi apabila terjadi kesamaan elemen antara materi yang lama dengan materi yang baru. Contoh seorang siswa yang telah
menguasai matematika akan mudah mempelajari statistika, seseorang yang telah mampu untuk naik sepeda maka ia akan mudah
untuk belajar naik sepeda bermotor. Sedangkan trasfer negatif terjadi ketika keterampilan yang telah dikuasai menjadi penghambat
belajar keterampilan lainnya. Contoh seorang yang terbiasa untuk mengetik dengan satu jari, akan mengalami kesulitan ketika harus
belajar mengetik dengan sepuluh jari. Pada perkembangan selanjutnya, Gagne, seorang education psychologist membedakan transfer
belajar menjadi empat kategori yaitu
1. Transfer positif
Transfer positif yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Tranfer ini dapat terjadi jika seorang guru
membantu untuk belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa belajar dalam situasi lainnya. Dalam konteks ini, Barlow
mendefinisikan transfer positif adalah belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi-situasi lain.
2. Transfer negatif
Transfer negatif yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Tranfer ini dapat terjadi jika seorang siswa
belajar dalam situasi tertentu yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan yang dipelajari dalam situasi berikutnya.
3. Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi. Tranfer ini
dapat terjadi apabila seorang siswa belajar dalam situasi yang tertentu yang dapat meyebabkan siswa tadi mampu untuk menguasai
pengetahuan/keterampilan yang lebih rumit. Contohnya, ketika seorang anak SD belajar mengenai penjumlahan dan pengurangan
maka ia akan lebih mudah belajar perkalian di kelas berikutnya.
4. Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat. Tansfer ini
akan terjadi ketika seorang siswa telah mampu menggunakan materi yang dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama
kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Contohnya, seorang siawa STM yang telah menguasai teknologi X dari sekolahnya
akan mudah menggunakan teknologi itu di tempat kerjanya.
VII. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TRANSFER BELAJAR
1. Intelegensi
Individu yang lancar dan pandai biasanya segera mampu menganalisa dan dapat melihat hubungan logis, ia segera melihat unsurunsur yang sama serta pola dasar atau kaidah hukum, sehingga sangat mudah terjadi transfer.
2. Sikap
Meskipun orang mengerti dan memahami sesuatu serta hubungannya dengan yang lain, tetapi pendirian/kecenderungannya
menolak/sikap negatif, maka transfer tidak akan terjadi, dan demikian sebaliknya.
3. Materi Pelajaran
Biasanya mata pelajaran yang mempunyai daerah berdekatan akan mudah terjadi transfer. Contohnya: Matematika dengan Statistika,
Ilmu Jiwa Daya dengan Sosiologi akan lebih mudah terjadi transfer.

4. Sistem Penyampaian Guru


Pendidik yang senantiasa menunjukkan hubungan antara suatu pelajaran yang sedang dipelajari dengan mata pelajaran yang lain atau
dengan menunjuk kehidupan nyata yang dialami anak, biasanya akan mudah terjadi transfer.
BAB III
PENUTUP KESIMPULAN
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau mereproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita
pelajari
hilang ingatan adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat atau menimbulkan kembali yang disebabkan oleh hilangnya item
informasi dan pengetahuan dari akal kita.
Lupa disebabkan oleh gangguan konflik antara item-item informasi, tekanan terhadap item-item yang sudah ada baik disengaja
atupun tidak, perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali, perubahan sikap dan minat siswa
terhadap proses dan situasi belajar tertentu, tidak pernah digunakannya materi pelajaran yang sudah dikuasai, dan perubahan urat
syaraf otak
Lupa dapat ditangani dengan berbagai cara seperti overlearning, extra study time, mnemonic device, pengelompokan, latihan
terbagi, dan pengaruh letak bersambung
Transfer belajar adalah pemindahan-pemindahan kebiasaan berfikir, perasaan atau pekerjaan, ilmu pengetahuan atau keterampilan,
dari suatu keadaan ke keadaan belajar yang lain
Dalam teori disiplin formal, transfer belajar hanya dapat terjadi bila diperkuat dan didisiplinkan dengan latihan-latihan yang
keras dan terus menerus
Dalam teori elemen identik, transfer hanya akan terjadi bila dalam situasi yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical
elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari
Dalam teori generalisasi, transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola
atau struktur, tidak kesamaan unsur-unsur
Gagne, membedakan transfer belajar menjadi empat kategori yaitu transfer positif, transfer negatif, transfer vertikal, dan transfer
lateral.
Transfer positif yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya
Transfer negatif yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya
Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi
Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat
Faktor-faktor penyebab transfer belajar seperti intelegensi, sikap, materi pelajaran, dan sistem penyampaian guru.
KESULITAN BELAJAR DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA

Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai Kinerja Akademik (Academik Performance)
yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tanpak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan
intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara
siswa dengan siswa lainnya.

Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditunjukan kepada para siswa yang
berkemampuan rata-rata, sehinga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian,
siswa-siswa yang berkatagori di luar rata-rata itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai
untuk berkembang sesuai dngan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut kesulitan belajar (learning difficlty)
yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu,
kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang
menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
2.1.

Faktor-Faktor Kesulitan Belajar


Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tanpak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasinya belajarnya.

Namun, kesulitan belajar juga dapat dibutuhkan dengan munculnya kelainan prilaku (misbehavior) siswa seperti kesulitan berteriakteriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam.
1.

Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.

2.

Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut dibawah ini.

A.

Faktor intern siswa


Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangan fisik-fisik siswa, yakni :

1). Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa;
2). Yang bersifat efektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
3). Yang bersifat psikomotor (ranah klarsa), antar lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
B. Faktor ekstern siswa
Faktor ekstern sisiwa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini
dapat dibagi tiga macam.
1.

Lingkungan keluarga, contohnya: ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi
keluarga.

2.

Lingkungan perkumpulan/masyarakat, contohnya: wilayah perkumpulan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group)
yang nakal.

3.

Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar
yang berkualiat rendah.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Di antar
faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom piskologi berupa learning disability (ketidakmampuan
belajar). Sindrom (syndrone) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988)
yang menimbulkan kesulitan belajar itu.

1.

Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca.

2.

Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.

3.

Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.

Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal
bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Oleh karnanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindromsindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya mineral brain dysfungtion, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Reber,
1988).
2.2.

Diagnosis Kesulitan Belajar


Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu
melakukan identifikasi (upaya mengenai gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukan kemungkinan adanya kesulitan
belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan jenis penyakit yakni jenis
kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada
ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai diagnostik kesulitan belajar.
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener dan
Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:

1.

Melakukan observasi kelas untuk melihat prilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.

2.

Meringkas penglihatan dan pendengaran siswa khususnya siswa diduga mengalami kesulitan belajar.

3.

Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.

4.

Memeriksa tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.

5.

Memberikan tes kemampuan itelegasi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.
Secara umum, langkah-langkah tersebut di atas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk
keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan dengan klinik piskologi. Dalam hal ini, yang sangat perlu dicatat ialah
apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh di bawah normal (tuna grahita), orangtua hendaknya mengirimkan
siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/sekolah bisa tidak
menyediakan tenaga pendidik dan kemudian belajar khusus anak-anak normal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukan
misbehavior berat seperti prilaku agresif yang berpotensi anti sosial atau kecantuan narkotika, harus diperlukan secara khusus pula,
umpamanya dimasukan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke pesantren khusus pencandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgrafia, dan diskalkulia, guru dan orang tua
sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani para siswa
pengidap sindrom sindrom tadi di samping melakukan remidial teaching (pengajaran perbaikan).
Sayangnya di sekolah - sekolah kita, tidak seperti di kebanyakan sekolah negara negara maju, belum menyediakan guru guru
pendukung. Namun untuk mengatasi kesulitan karena tidak adanya support teachers itu orang tua siswa dapat berhubungan dengan
biro konsultasi psikologi dan pendidikan yang biasanya terdapat pada pakultas psikologi dan fakultas keguruan yang terkemuka di
kota kota besar tertentu

2.3.

Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar


Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil,
guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting sebagai berikut.

1.

Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh
pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa.

2.

Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan.

3.

Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran perbaikan).


Setelah langkah langkah di atas selesai, barulah guru melaksanakan langkah keempat, yakni melaksanakan program perbaikan.

2.4.
a.

Alat Diagnosis Kesulitan Belajar


Analisis hasil diagnosis
Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga
jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh: Badu mengalami kesulitan
khusus dalam memahami konsep kata polisemi. Polisemi ialah sebuah istilah yang menunjuk kata yang memiliki dua makna atau
lebih. Kata turun, umpamanya, dapat dipakai dalam berbagai frase seperti turun harga, turun ranjang, turun tangan, dan seterusnya.
Contoh sebaliknya, kata naik yang juga dapat di pakai dalam banyak frase seperti: naik daun, naik darah, naik banding, dan
sebagainya.

b.

Menentukan kecakapan bidang bermasalah


Berdasarkan hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan
memerlukan perbaikan. Bidang bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikatagorikan menjadi tiga macam.

1.

Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri.

2.

Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua.

3.

Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun orang tua.
Bidang kecakapan yang tidak dapat ditangani atau terlalu sulit untuk ditangani baik oleh guru maupun orang tua dapat
bersumber dari kasus kasus tuna grahita (lemah mental) dan kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam
kasus yang bermasalah berat ini dipandang tidak berketerampilan (unskilled people). Oleh karenanya, para siswa yang mengalami
kedua masalah kesulitan belajar yang berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga memerlukan perawatan
khusus.
Kembali kesoal Badu. Ternyata, dari hasil diagnosis diketahui bahwa ia belum memiliki kecakapan memahami konteks
kalimat, khususnya kalimat kalimat yang mengandung elemen polisemi. Akibatnya, sebuah kata polisemi yang arti aslinya X
dalam sebuah konteks kalimat dia pahami sebagai X juga dalam konteks kalimat yang lain.

c.

Menyusun program perbaikan


Dalam hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial teaching), sebelumnya guru perlu menetapkan hal hal sebagai berikut

1.

Tujuan pengajaran remedial.

2.

Materi pengajaran remedial.

3.

Metode pengajaran remedial.

4.

Alokasi waktu pengajaran remedial.

5.

Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.


CARA MENGATASINYA
10 01 2010
KESULITAN BELAJAR DAN CARA MENGATASINYA
Oleh : Kang Taher

A. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses adaptasi yang berlangsung secara progressif, juga merupakan suatu proses perubahan yang menyangkut
tingkah laku atau kejiwaan. Jadi dapat diartikan proses belajar adalah sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan
psikomotor yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada
keadaan sebelumnya.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan
jenjang pendidikan. Dengan demikian, para ahli banyak yang membuat definisi tentang belajar yang berbeda, karena perbedaan sudut
pandangnya.
Belajar juga memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia di tengah-tengah persaingan
yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar.
Di bawah ini akan dikemukakan definisi belajar menurut beberapa ahli, di antaranya :
1. Skinner dalam Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology : The Teaching Learning Process, belajar adalah suatu
proses adaptasi yang berlangsung secara progressif.
2. Chaplin (1972) dalam Dictionary Psychology membatasi belajar dengan 2 macam :
a. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relative menetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman.
b. Belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.
3. Hintzman (1987) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan
yang terjadi pada diri organisme, manusia atau hewan disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme
tersebut.
4. Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning belajar adalah perubahan yang relative menetap yang terjadi dalam segala
macam / keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai suatu hasil.
5. Reber (1989) dalam Dictionary of Psychology. Menurutnya ada 2 definisi tentang belajar, yaitu :
a. Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan
b. Belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relative langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa proses belajar meliputi :
a. Perubahan yang secara umum menetap (relatively permanent)
b. Kemampuan bereaksi (response potentiality)
c. Dapat diperkuat (Reinforced)
d. Melalui praktek dan latihan (Practice)
Raudhatul Athfal (RA) dan Taman Kanak-kanak (TK) sebagai lembaga pendidikan awal sebelum memasuki lembaga pendidikan
resmi adalah penunjang bagi terlaksananya pendidikan dasar. Pelaksanaan wajib belajar Pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan
pemerintah sejak lama, sesuai dengan amanat UUD 1945 alinea empat yaitu : Mencerdaskan kehidupan bangsa dan pasal 31 UUD
1945 hasil amandemen yang menyatakan sebagai berikut :
1. Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta akhlak mulia salam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4. Negara memprioritasakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
(Hasil Amandemen 1999-2002 UUD 1945 : 23)
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang memerlukan perhatian khusus, keuletan, keteguhan, ketekunan, kerajinan dan
kedisiplinan. Oleh karena itu agar proses pembelajaran yang diselenggarakan berdayaguna dan berhasil guna, maka proses
pembelajaran tersebut benar-benar harus dilaksanakan dengan baik dan berdisiplin tinggi. Disiplin merupakan salah satu faktor
penunjang keberhasilan pembelajaran dan hal ini harus dilakukan oleh semua warga yang terlibat dalam sebuah lembaga yang
melakukan proses pendidikan.
Harapan yang tak pernah sirna dan selalu dituntut oleh guru adalah bagaimana bahan pelajaran itu yang disampaikan guru dapat
disukai anak secara tuntas. Hal ini merupakan masalah yang cukup rumit dirasakan oleh guru, di mana anak mempunyai kepribadian
yang beraneka ragam, ciri khas individu merupakan keunikannya. Mereka juga makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan.
Pada masa pertumbuhan anak-anak usia dini merupakan masa pertumbuhan yang positif di mana lingkungan keluarga maupun
masyarakat di sekitarnya sangat mendukungnya. Kehidupan sosialnya tumbuh dan diperkaya dengan kemampuan bekerja sama juga
dalam hal bersaing dan kehidupan kelompok sebaya. Dalam bergaul, bekerja sama dan kegiatan bersama tidak membedakan jenis.
Yang menjadi dasar adalah perhatian dan pengalaman yang sama.
Lingkungan keluarga sangatlah menentukan keberhasilan belajar. Status ekonomi, status sosial dan lingkungan keluarga ikut berperan
dalam keberhasilan proses belajar. Suasana keluarga yang tenteram akan menciptakan keharmonisan keluarga. Maka dengan
keharmonisan ini anak cenderung lebih giat dalam belajar, selain itu peran masyarakat pun sangat mempengaruhi dalam kegiatan
belajar. Hal-hal yang menyimpang dari lingkungan masyarakat akan mudah terserap oleh individu. Dengan hal ini siswa akan

membandingkan pengalaman yang ia peroleh di lingkungan sekolah dengan pengalaman yang ia dapatkan di lingkungan masyarakat.
Keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh beberapa faktor yang menunjang terhadap keberhasilan proses belajar-mengajar tersebut.
Faktor metode mengajar akan berkaitan dengan model pembelajaran yang diterangkan. Pendidikan prasekolah sangat penting artinya,
bukan hanya sebagai pengisi waktu anak saja, tetapi juga untuk mempersiapkan anak di masa mendatang. Banyak para tokoh yang
mengakui tentang pentingnya pendidikan prasekolah atau pendidikan anak usia dini.
Usaha-usaha ke arah tersebut dapat berupa membangkitkan motivasi, seperti guru berupaya dalam menyampaikan pelajaran dengan
tujuan yang jelas dan menarik, menciptakan suasana yang menyenangkan, memberikan pujian, menghargai pekerjaan siswa, dan
memberikan kritik dengan bijaksana.
Salah satu cara yang dapat dilakukan guru dalam rangka membangkitkan motivasi belajar untuk pembentukan karakter anak antara
lain :
1. Mengusahakan agar tujuan belajar jelas dan menarik
2. Menciptakan suasana yang menyenangkan
3. Mengusahakan agar siswa aktif belajar
4. Menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa
5. Memberi ulangan dan tugas sesuai dengan keadaan siswa
6. Memberitahukan hasil pekerjaan siswa
7. Memberikan hadiah dan pujian
8. Memberikan kritik dengan bijaksana
Aktivitas merupakan asas yang terpenting didalam proses belajar mengajar dan pembentukan karakter. Karena tanpa aktivitas tidak
mungkin seseorang dapat dikatakan belajar, aktivitas tidak hanya jasmani saja melainkan juga aktivitas rohani. Di dalam kegiatan
belajar mengajar peran motivasi baik instrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Motivasi bagi siswa dapat mengembangkan
aktivitas dan mengarahkan serta memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.
Membangkitkan motivasi belajar tidaklah mudah, untuk itu guru perlu mengenal siswa dan mempunyai kesanggupan kreatif untuk
menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan dan minat siswa.
B. Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan dalam Belajar
Perubahan tingkah laku merupakan salah satu tujuan belajar, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam belajar.
Faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam belajar ada 2 macam, yaitu :
a. Faktor Intern Belajar
Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam individu sendiri, misalnya kematangan, kecerdasan, motivasi dan minat.
b. Faktor Ekstern Belajar
Faktor ekstern erat kaitannya dengan faktor sosial atau lingkungan individu yang bersangkutan. Misalnya keadaan lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat , guru dan alat peraga yang dipergunakan di sekolah.
1 . Faktor Intern
Kematangan
Karena kematangan mentalnya belum matang, kita akan sukar mengajarkan konsep-konsep ilmu Filsafat kepada siswa sekolah dasar.
Pemberian materi tertentu akan tercapai apabila sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu atau siswa. Oleh
karena itu, baik potensi jasmani maupun rohaninya perlu dipertimbangkan lagi kematangannya.
Kecerdasan (IQ)
Keberhasilan individu mempelajari berbagai pengetahuan ditentukan pula oleh tingkat kecerdasannya, misalnya, suatu ilmu
pengetahuan telah cukup untuk dipelajari oleh seseorang individu dalam taraf usia tertentu. Tetapi kecerdasan individu yang
bersangkutan kurang mendukung, maka pengetahuan yang telah dipelajarinya tetap tidak akan dimengerti olehnya. Demikian pula
dalam hal-hal yang lain, seperti dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, misalnya memasak dan membuat mainan sederhana, dalam
tingkat yang sama tidak semuanya individu mampu mengerjakannya dengan baik.
Motivasi
Motivasipun menentukan keberhasilan belajar. Motivasi merupakan dorongan untuk mengerjakan sesuatu. Dorongan tersebut ada
yang datang dari dalam individu yang bersangkutan dan ada pula yang datang dari luar individu yang bersangkutan, seperti peran
orang tua, teman dan guru.
Minat
Minat belajar dari dalam individu sendiri merupakan faktor yang sangat dominan dalam pengaruhnya pada kegiatan belajar, sebab
kalau dari dalam diri individu tidak mempunyai sedikitpun kemauan atau minat untuk belajar, maka pelajaran yang telah diterimanya
hasilnya akan sia-sia. Otomatis pelajaran tersebut tidak masuk sama sekali di dalam IQ-nya.
2. Faktor Ekstern
Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga pun sangat menentukan keberhasilan belajar. Status ekonomi, status sosial, kebiasaan dan suasana lingkungan
keluarga ikut serta mendorong terhadap keberhasilan belajar. Suasana keluarga yang tentram dan damai sangat menunjang
keharmonisan hubungan keluarga. Hubungan orang tua dan anak akan dirasakan saling memperhatikan dan melengkapi. Apabila anak
menemukan kesulitan belajar, dengan bijaksana dan penuh pengertian orang tuanya memberikan pandangan dan pendapatnya

terhadap penyelesaian masalah belajar anaknya.


Lingkungan Masyarakat
Peran masyarakat sangat mempengaruhi individu dalam belajar. Setiap pola masyarakat yang mungkin menyimpang dengan cara
belajar di sekolah akan cepat sekali menyerap ke diri individu, karena ilmu yang didapat dari pengalamannya bergaul dengan
masyarakat akan lebih mudah diserap oleh individu daripada pengalaman belajarnya di sekolah. Jadi peran masyarakat akan dapat
merubah tingkah laku individu dalam proses belajar.
Guru
Peran guru dapat mempengaruhi belajar. Bisa dilihat dari cara guru mengajar kepada siswa, hal ini sangat menentukan dalam
keberhasilan belajar. Sikap dan kepribadian guru, dasar pengetahuan dalam pendidikan, penguasaan teknik-teknik mengajar, dan
kemampuan menyelami alam pikiran setiap individu siswa merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, guru sebagai
motivator, guru sebagai fasilitator, guru sebagai inovator, dan guru sebagai konduktor masalah-masalah individu siswa, perlu menjadi
acuan selama proses pendidikan berlangsung.
Bentuk Alat Pelajaran
Bentuk alat pelajaran bisa berupa buku-bukun pelajaran, alat peraga, alat-alat tulis menulis dan sebagainya. Kesulitan untuk
mendapatkan atau memiliki alat-alat pelajaran secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberhasilan dalam
belajar siswa. Siswa akan cenderung berhasil apabila dibantu oleh alat-alat pelajaran yang memadai. Alat pelajaran tersebut akan
menunjang proses pemahaman anak. Misalnya, melalui praktek sederhana dari materi pelajaran yang telah mereka pelajari.
Kesempatan Belajar
Kesempatan belajar merupakan faktor yang sedang diupayakan Pemerintah melalui Wajib Belajar (Wajar) Pendidikan Dasar 9 Tahun
yang mulai dicanangkan tahun pelajaran 1994/1995. Pencanangan Wajar tersebut merupakan alternatif pemberian kesempatan kepada
para siswa, terutama bagi mereka yang orang tuanya berekonomi kurang mampu.
Seorang anak yang tidak memiliki kesempatan belajar karena secara ekonomis kurang mampu, tetapi di sisi lain anak tersebut
berintelegensi tinggi, maka ia akan menemukan hambatan dalam penyaluran aspirasi cita-citanya secara utuh. Walaupun motivasi
begitu tinggi untuk mencapai tujuan yang diinginkannya, tetapi apabila tidak didukung oleh ekonomi yang cukup, maka akan
menemukan kendala yang relatif serius. Begitu pula sebaliknya, seorang anak dari keluarga yang mampu, memiliki intelegensi yang
tinggi, bersekolah di sekolah favourit, dan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang serba ada, belum tentu dapat belajar dengan baik,
sebab masih ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anak tersebut untuk belajar dengan baik, seperti motivasi belajar,
keharmonisan lingkungan keluarga, jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh sehingga melelahkan, perhatian khusus dari guru
kelas, serta hal-hal lain yang memungkinkan ketidak berhasilan siswa tersebut.
Fenomena lain kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam
kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah dan sering minggat dari sekolah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
hal, seperti :
1) Rendahnya kemampuan intelektual anak
2) Gangguan perasaan / emosi
3) Kurangnya motivasi untuk belajar
4) Kurang matangnya anak untuk belajar
5) Usia yang terlalu muda
6) Latar belakang sosial yang tidak menunjang
7) Kebiasaan belajar yang kurang baik
8) Kemampuan mengingat yang rendah
9) Terganggunya alat-alat indera
10) Proses belajar mengajar yang tidak sesuai
11) Tidak adanya dukungan dari lingkungan belajar.
C. Cara Mengatasi Kesulitan Belajar
Tugas pendidik atau guru adalah mempersiapkan generasi bangsa agar mampu menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya
dikemudian hari sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam menjalankan tugas ini pendidikan berupaya mengembangkan potensi (fitrah)
sebagai anugrah Allah yang tersimpan dalam diri anak, baik yang bersifat jasmaniah maupun ruhaniah, melalui pembelajaran sebuah
pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman berguna bagi hidupnya. Dengan demikian pendidikan yang pada hakekatnya adalah untuk
memanusiawikan manusia memiliki arti penting bagi kehidupan anak. Hanya pendidikan yang efektif yang mampu meningkatkan
kualitas hidup dan mengantarkan anak survive dalam hidupnya.
Secara umum guru berarti orang yang dapat menjadi anutan serta menjadikan jalan yang baik demi kemajuan. Sejak berlakunya
kurikulum 1995, pengertian guru mengalami penyempurnaan, menurut kurikulum 1995 ialah Guru adalah perencana dan pelaksana
dari sistem pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Guru adalah pihak utama yang langsung berhubungan dengan
anak dalam upaya proses pembelajaran, peran guru itu tidak terlepas dari keberadaan kurikulum.
Peranan guru sangat penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran, selain sebagai nara sumber guru juga merupakan pembimbing
dan pengayom bagi para murid yang ada dalam suatu kelompok belajar. hal tersebut sesuai dengan ungkapan T. Rustandy (1996 : 71)
yang mengatakan bahwa : Guru memegang peranan sentral dalam proses pembelajaran, memiliki karakter dan kepribadian masing-

masing yang tercermin dalam tingkah laku pada waktu pelaksanaan proses pembelajaran. Pola tingkah laku guru dalam proses
pembelajaran biasanya ditiru oleh siswa dalam perjalanan hidup sehari-hari, baik di lingkungan keluarga ataupun masyarakat, karena
setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun kepribadian. Keragaman kecakapan dan kepribadian ini
mempengaruhi terhadap situasi yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
Tetapi menurut Brenner (1990) sebenarnya pendidikan anak prasekolah terefleksi dalam alat-alat perlengkapan dan permainan yang
tersedia, cara perlakuan guru terhadap anak, adegan dan desain kelas, serta bangunan fisik lainnya yang disediakan untuk anak. (M.
Solehuddin, 1997 : 55).
Adapun syarat-syarat bagi guru pada umumnya, termasuk di dalamnya guru agama, telah tercantum dalam Undang-Undang
Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 Bab X Pasal 15 yang berbunyi :
Syarat utama menjadi guru selain ijazah dan syarat-syarat lain mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah sifat-sifat yang perlu
untuk dapat memberikan pengajaran. (Zuhairini, 1983 :35).
Beberapa cara mengatasi kesulitan dalam belajar dapat dilakukan dengan cara belajar yang efektif dan efisien. Cara demikian
merupakan problematika yang perlu mendapatkan perhatian cukup serius. Orang tua dan Guru Kelas kerap kali memberikan saransaran kepada siswa agar rajin belajar karena rajin adalah pangkal cerdas. Orang cerdas akan mampu mengembangkan dirinya sesuai
dengan perkembangan zaman yang serba kompleks.
Berikut ini beberapa alternatif dalam kesulitan belajar :
1. Observasi Kelas
Pada tahap ini observasi kelas dapat membantu mengurangi kesulitan dalam tingkat pelajaran, misalnya memeriksa keadaan secara
fisik bagaimana kondisi kelas dalam kegiatan belajar, cukup nyaman, segar, sehat dan hidup atau tidak. Kalau suasana kelas sangat
nyaman, tenang dan sehat, maka itu semua dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih semangat lagi.
2. Pemeriksaan Alat Indera
Dalam hal ini dapat difokuskan pada tingkat kesehatan siswa khusus mengenai alat indera. Diupayakan minimal dalam sebulan sekali
pihak sekolah melakukan tes atau pemeriksaan kesehatan di Puskesmas / Dokter, karena tingkat kesehatan yang baik dapat menunjang
pelajaran yang baik pula. Maka dari itu, betapa pentingnya alat indera tersebut dapat menstimulasikan bahan pelajaran langsung ke
diri individu.
3. Teknik Main Peran
Disini, seorang guru bisa berkunjung ke rumah seorang murid. Di sana seorang guru dapat leluasa melihat, memperhatikan murid
berikut semua yang ada di sekitarnya. Di sini guru dapat langsung melakukan wawancara dengan orang tuanya mengenai kepribadian
anak, keluarga, ekonomi, pekerjaan dan lain-lain. Selain itu juga, guru bisa melihat keadaan rumah, kondisi dan situasinya dengan
masyarakat secara langsung.
4. Tes Diagnostik Kecakapan/Tes IQ/Psikotes
Dalam hal ini seorang guru dapat mengetahui sejauh mana IQ seseorang dapat dilihat dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan
praktis dan sederhana. Dengan latihan psikotes dapat diambil beberapa nilai kepribadian siswa secara praktis dari segi dasar, logika
dan privasi seseorang.
5. Menyusun Program Perbaikan
Penyusunan program hendaklah dimulai dari segi pengajar dulu. Seorang pengajar harus menjadi seorang yang konsevator, transmitor,
transformator, dan organisator. Selanjutnya lengkapilah beberapa alat peraga atau alat yang lainnya yang menunjang pengajaran lebih
baik, karena dengan kelengkapan-kelengkapan yang lebih kompleks, motivasi belajarpun akan dengan mudah didapat oleh para siswa.
Hendaklah semua itu disadari sepenuhnya oleh para pengajar sehingga tidak ada lagi kendala dan hambatan yang dapat
mempengaruhi kegiatan belajar. Selain itu tingkat kedisiplinan yang diterapkan di suatu sekolah dapat menunjang kebaikan dalam
proses belajar. Disiplin dalam belajar akan mampu memotivasi kegiatan belajar siswa.
Alternatif lain yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi sebelum pilihan tertentu diambil,
guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah berikut ini :
a. Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh
pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa.
b. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan adanya perbaikan.
c. Menyusun program perbaikan.
Dalam menyusun program pengajaran perbaikan diperlukan adanya ketetapan sebagai berikut :
a. Tujuan pengajaran remedial
Contoh dari tujuan pengajaran remedial yaitu siswa dapat memahami kata tinggi, pendek dan gemuk dalam berbagai konteks
kalimat.
b. Materi pengajaran remedial
Contoh materi pengajaran remedial yaitu dengan cara lebih khusus dalam mengembangkan kalimat-kalimat yang menggunakan katakata seperti di atas.
c. Metode pengajaran remedial
Contoh metode pengajaran remedial yaitu dengan cara siswa mengisi dan mempelajari hal-hal yang dialami oleh siswa tersebut dalam
menghadapi kesulitan belajar.

d. Alokasi waktu
Contoh alokasi waktu remedial misalnya waktunya Cuma 60 menit.
e. Teknik evaluasi pengajaran remedial
Contoh teknik evaluasi pengajaran remedial yaitu dengan menggunakan tes isian yang terdiri atas kalimat-kalimat yang harus
disempurnakan, contohnya dengan menggunakan kata tinggi, kata pendek, dan kata gemuk.
Selanjutnya untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif atau cara-cara pemecahan masalah kesulitan
belajar siswa, guru sangat dianjurkan mempelajari buku-buku khusus mengenai bimbingan dan penyuluhan. Selain itu, guru juga
sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan model-model mengajar tertentu yang dianggap sesuai sebagai alternatif lain
atau pendukung cara memecahkan masalah kesulitan belajar siswa.
Keaktifan siswa tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi fikiran dan
mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya dengan siswa tidak belajar,
karena siswa tidak merasakan perubahan di dalam dirinya, padahal pada hakekatnya belajar adalah perubahan yang terjadi dalam
diri seseorang yang telah berakhirnya melakukan aktivitas belajar.
Penerapan sikap dan pembentukan kepribadian pada diri siswa harus dioptimalkan, mengingat keberhasilan suatu proses pembelajaran
bukan diukur oleh adanya penambahan dan perubahan pengetahuan serta keterampilan saja, namun nilai sikap harus terakomodasi,
sebab dengan perubahan sikap akan menentukan terhadap perubahan kognitif ataupun psikomotor.
Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakekatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan
yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya
mengjar adalah proses memberikan bimbingan, bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah interaksi antara guru dengan peserta didik dan antara peserta didik dengan peserta
didik lainnya, serta dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada diri peserta didik. Agar proses belajar
mengajar tersebut berlangsung secara efektif selain diperlukan alat peraga sebagai pelengkap yang digunakan guru dalam berinteraksi
dengan peserta didik diperlukan pula aturan dan tata tertib yang baku agar dalam pelaksanaannya teratur dan tidak menyimpang.
Dari hakikat proses belajar mengajar, pembelajaran merupakan proses komunikasi, maka pembelajaran seyogyanya tidak atraktip
melainkan harus demokrasi. Siswa harus menjadi subjek belajar, bukan hanya menjadi pendengar setia atau pencatat yang rajin, tetapi
siswa harus aktif dan kreatif dalam berbagai pemecahan masalah. Dengan demikian guru harus dapat memilih dan menentukan
pendekatan dan metode yang disesuaikan dengan kemampuannya, kekhasan bahan pelajaran, keadaan sarana dan keadaan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Jojoh Nurdiana, dkk.(2005) Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah, materi Penataran Tertulis Program Terakreditasi Guru TK,
Bandung
Nasution Noehi, Drs. dkk. 1994. Buku Modul 1 6.
Tini Sumartini, S.Pd. (206). Perkembangan Belajar Anak Usia Prasekolah, Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis, Bandung
Syah Muhibbin, M.Ed. 1995. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru
PENGERTIAN MENGAJAR menurut nasution (2010:80)
1.
2.
3.

MEMBANGKITKAN DAN MEMELIHARA PERHATIAN


Menjelaskan kepada murid hasil apa yang dijelaskan
Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan, dan keterampilan yang merupakan prasyarat agara
memahami pelajaran yang diberikan
4. Menyajikan simulasi yang berkenaaan dengan bahan pelajaran
5. Memeberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar mengajar
6. Memeberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak
7. Menilai hasil belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar
menguasai bahan pelajaran itu dengan memebrikan soal
8. Mengusahakan transfer dengan memebrikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah
dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakanya dalam situasi-siatuasi yang lain
9. Memantapkan apa yang di[peajari dengan memebrikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipeljari itu

Anda mungkin juga menyukai