Abstraksi Laura Puspita S Tambang 112070020
Abstraksi Laura Puspita S Tambang 112070020
SKRIPSI
Oleh
LAURA PUSPITA SARI
NIM. 112070020
RINGKASAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja pemboran lubang ledak
khususnya kinerja pemboran dengan menggunakan batang bor R22 sandvick.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada dan
memberikan masukan yang berguna untuk peningkatan produksi alat bor dan
peningkatan efisiensi kerja.
1.3
Identifikasi Masalah
Masalah yang diidentifikasi adalah mengenai produktivitas pemboran dan kinerja
mesin bor dalam penyediaan lubang ledak di Level 600 Ramp-Up Utara dengan
menggunakan batang bor R22 Sandvick.
1.4
Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
a)
Lokasi penelitian pada akses ramp-up Level 600 Ciurug tambang bijih emas
bawah tanah PT. UBPE, Antam, Pongkor, Bogor, Jawa Barat.
b)
Penelitian dilakukan hanya sebatas kondisi mesin bor yaitu mengevaluasi kinerja
mesin bor dalam penyediaan lubang ledak untuk kemajuan tunnel dengan asumsi
data geoteknik dan data waktu pemboran guna meningkatkan efisiensi kerja dan
produksi dengan menggunakan batang bor R22 Sandvick dimana rangkaian
(drilling string) terdiri dari shank adapter, coupling slevee, extension rod, cross
bit.
1.5
Metodologi Penelitian
Metodologi Penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a)
Studi Literatur
Studi literatur dilakukan di perpustakaan Jurusan Teknik Pertambangan
UPNVeteranYogyakarta dan dari Laporan Penelitian yang sudah dilakukan oleh
pihak perusahaan
b)
Survei Lapangan
Pengumpulan Data
Data Primer berupa:
a. Data lubang bor
b. Data waktu kerja
Data sekunder berupa :
a.
Data-data geoteknik
b.
c.
d)
Pengelompokan Data
Pengelompokan data dilakukan untuk mempermudah dalam pengolahan data
selanjutnya.
e)
1.6
Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya kajian teknis terhadap efisiensi kerja pemboran pada unit
pemboran PT. Karya Sakti Purnama ini, penulis dapat mengetahui permasalahan yang
terjadi dan dapat sebagai tambahan pengetahuan dalam pembelajaran.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1
Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan wilayah
Kuasa Pertambangan seluas 6.047 ha. (Gambar 2.1)
Areal pertambangan tersebut meliputi wilayah KP eksploitasi No. KW 98
PP/0138/ Jabar seluas 6047 Hektar dan KP Eksplorasi No.KW 96 PP 0127B/Jabar seluas
3870 hektar. Sedangkan posisi geografis KP Eksploitasi ini terletak pada koordinat 106 o
30 1 BT sampai dengan 106o 35 38 BT dan 6o 36 37.2 LS sampai dengan 6o 48
11 LS. (Gambar 2.2)
2.2
hujan relatif tinggi dan memiliki kelembapan udara yang tinggi. Kisaran temperatur
sepanjang tahun terjadi antara 15o C pada musim penghujan hingga 300 C pada musim
kemarau. Musim hujan rata-rata berlangsung dari bulan Mei hingga Agustus.
Berdasarkan data klimatologi yang diperoleh dari pusat stasiun pengukuran curah
hujan PT.Antam,Tbk UBPE Pongkor, diperoleh bahwa Pongkor memiliki curah hujan
antara 2028 mm/th 5783 mm/th dengan curah hujan rata-rata 3847,8 mm/th untuk
periode tahun 1997-2006.
2.3
2.3.1 Morfologi 8)
Daerah Pertambangan UBPE Pongkor dan sekitarnya merupakan daerah
pegunungan dengan ketinggian berkisar antara 300 mdpl sampai dengan 900 mdpl
dengan puncak bukit yang masih tajam sampai agak membulat dengan grade berkisar
antara 200% hingga 600%, dengan komposisi 15% daerah datar hingga bergelombang
60% daerah bergelombang hingga berbukit, dan 25% daerah berbukit sampai
pegunungan. Beberapa gunung yang terdapat di sekitar daerah tersebut antara lain
Gunung Halimun (1929 mdpl), Gunung Salak (2211 mdpl) dan Gunung Kendeung
(1764 mdpl). Kegiatan penambangan dilakukan pada punggungan Gunung Pongkor
yang berada pada elevasi 500-700 mdpl. Puncak tertinggi, Pongkor berada pada elevasi
750 mdpl.
Pada daerah ini memilih dua sungai utama yaitu sungai Cikaniki dan sungai
Ciguha yang terletak di sebelah Timur dan Utara lokasi penambangan. Sungai Cikaniki
memiliki beberapa anak sungai antara lain adalah Sungai Cisarua, Sungai Cikaret,
Sungai Cimanganten, Sungai Ciguha, Sungai Ciparay, Sungai Cisaninten, dan Sungai
Ciparingi. Sungai Cikaniki mengalir berarah Tenggara-Timur laut dan bermuara ke
Sungai Cisadane, yang berada pada sisi Timur Laut. Lembah-lembah sungai Cikaniki
umumnya sempit dan curam namun di beberapa tempat ditemukan juga lembah sungai
yang agak lebar dan landai.
Lembah-lembah sungai yang ada umumnya sempit, curam dan berbentuk V.
Pada beberapa tempat juga ditemukan lembah sungai yang agak lebar dan landai serta
berkelok-kelok sehingga membentuk endapan pasir yang cukup subur yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai daerah persawahan. Namun umumnya
tebing sungai Cikaniki dan anak sungai Ciguha sangat terjal karena merupakan daerah
aliran hulu yang deras dengan pengikisan batuan yang aktif dan mengakibatkan tebing
ini sangat sulit untuk dilewati.
2.3.2 Stratigrafi 8)
Satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini adalah Formasi Cimapag yang
berumur Miosen, merupakan sedimen gunungapi (vulkano-klastik), terdiri dari tufa
breksi dan breksi andesitik. Formasi Cimapag setempat tertindih tidak selaras oleh
formasi Genteng atau satuan batuan yang lebih muda lainnya. Formasi Genteng berumur
Pleiosen Awal bercirikan sedimen epiklastik tufaan dan tertindih oleh batuan gunungapi,
tufa dan lava, serta endapan termuda yaitu endapan sungai.
yang berumur Miosen tengah sampai Miosen atas, yakni Formasi Bojongmanik, Formasi
Kepala Nunggal, Formasi Jatiluhur, dan Formasi Genteng. Lebih ke utara lagi adalah
jalur cekungan minyak Jawa bagian utara.
Jalur batuan sedimen sebelah selatan disusun oleh batuan yang berumur Miosen
sampai Miosen atas yang menyebar di daerah Bayah-Pelabuhan Ratu-Cimandiri, sampai
ke selatan lagi ditemukan penyebaran batuan gunungapi-sedimen yang termasuk
Formasi Jampang. Sisi sebelah tenggara Fomasi Jampang ditemukan penyebaran batuan
Pra-Tersier sampai Eosen (Kompleks Ciletuh).
2.3.3 Struktur Geologi 8 )
Geologi daerah Pongkor dan sekitarnya tersusun dari batuan gunung api
piroklastik bersifat andesitic sampai dasitik yang dapat dikelompokkan dalam satuan
batuan tufa breksi, aglomerat, andesit, breksi andesitic, dan dasit.
Satuan batuan tufa breksi menyebar di bagian selatan, terutama disepanjang
Sungai Cikaniki. Satuan ini diterobos dan terpotong oleh urat kuarsa yang mengandung
emas. Satuan batuan tufa breksi terutama disusun oleh tufa, tufa lapili, tufa breksi,
anglomerat, dan sisipan lempung. Satuan batuan tufaan lebih banyak ditemukan pada
arah barat laut. Tufa breksi disusun oleh komponen-komponen andesit, batu lempung
lanauan, batuan tersilifikasi, dan tufa yang berbentuk menyudut hingga agak membundar
berukuran 2-3 cm.
Ubahan (alterasi) hidrotermal dari tipe-tipe batuan terjadi melalui proses utama
propilitasi (mineral teralterasi menadi klorit), argiltrasi (mineral-mineral teralterasi
menjadi lempung), dan silifikasi (pengubahan silica). Derajat pelapukan massa batuan
sangat bervariasi dan kompleks. Umumnya batuan terlapukan sempurna di permukaan
dan derajat pelapukan menurun sesuai dengan kedalaman batuan.
Struktur geologi yang tampak terdiri dari kekar dan sesar. Sesar dengan arah
N190oE dan N255oE dengan sudut kemiringan tegak lurus dan telah teisi oleh urat
kuarsa. Sesar yang ditemukan dicirikan oleh adanya pereseran antara 2-5 m pada arah
vertical pada lapisan batulempung. Pola penyebaran kekar memperlihatkan arah umum
sejajar dengan penyebaran urat dan bidang perlapisan batuan, yang umumnya terisi
kuarsa, lempung-mangan oksida, pirit, dan limonit.
2.4
Genesa Batuan 3)
Emas terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian dipermukaan.
Kegiatan Penambangan
Saat ini aktivitas pertambangan di UBPE Pongkor terpusatkan di beberapa
tempat yaitu, tambang Ciurug, tambang Gudang Handak, tambang Kubang Cicau, dan
tambang Ciguha. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan berupa aktivitas development dan
produksi.
2.5.1 Metode Penambangan
Pada tambang Ciurug dan Gudang handak diterapkan sistem penambangan
dengan metode cut and fill stoping. Pada sistem penambangan ini bijih emas diambil
kemudian rongga yang berbentuk diisi dengan material filling yaitu slurry hasil
pengolahan material limbah yang telah bersih dari unsur-unsur berbahaya. Ditambang
Kubang Cicau diterapkan metode shringkage stoping. Pada tambang Ciguha juga
diterapkan sistem penambangan dengan metode shringkage stoping karena mempunyai
vein dengan tebal rata-rata 3 meter.
Metode penambangan cut and fill biasanya diterapkan pada endapan dengan kondisi
bijih yang relatif sempit dan vertical. Penerapan metode cut and fill ini juga
dikombinasikan dengan metode-metode lain seperti sringkage stoping yang disesuaikan
dengan karakter badan bijih yang dihadapi. Material filling yang digunakan untuk
mengisi rongga setelah produksi berasal dari sisa pengolahan bijih yang diangkut
menggunakan pipa.
Pada tahap persiapan tambang, tiap urat bijih yang akan ditambang dibuat Drift Foot
Wall (DFW) dengan metode cut and fill atau Drift Vein Bawah (DVB) untuk metode
shringkage stoping semi-mekanis. Melalui
kemudian persiapan penambangan dilakukan dengan membagi badan bijih baik vertikal
maupun horizontal pada jarak2-jarak tertentu sehingga membentuk blok penambangan
atau lombong (stope).
Untuk keperluan pengangkutan mineral bijih dari dalam tambang ke stock pile dibuatlah
Main Haulage Level (MHL) yang juga berfungsi untuk keperluan pengangkutan
karyawan dan peralatan, jalur ventilasi, jalur penyaliran, dan keperluan lain untuk
melayani kegiatan produksi dan development.
Pada tahap persiapan penambangan dibuat adit yang memanjang ke selatan memotong
ke tiga yang memanjang ke selatan memotong ketiga urat bijih, sedang untuk
menyediakan jalan angkut mengikuti arah penyebaran bijih dibuat Drift Foot Wall
(DWF) dari tiap urat bijih yang akan ditambang.
Untuk menjaga kestabilan lereng bukaan dan meninggikan lantai kerja pada lombong
setelah dilakukan penambangan, dilakukan pengisian kembali (back filling) rongga yang
terbentuk dari material pengisi (filling material).
Dimensi lubang bukaan awal yang diterapkan di UBPE Pongkor untuk MHL
mempunyai lebar 3,3 m dan tinggi 3,0 m dan DFW mempunyai lebar 2,8 m dan
mempunyai tinggi 2,5 m. Bukaan lombong berdimensi lebar antara 1,3 m sampai lebih
dari 20 m tergantung pada dimensi bijih.
Rangkaian siklus penambangan pada tiap permukaan kerja dapat diringkas sebagai
berikut:
Pemboran
(Drilling)
Peledakan
(Blasting)
Pembersihan asap
Gambar 2.1
Diagram alir siklus kegiatan penambangan
Kegiatan penggalian lubang bukaan dilakukan dengan cara pemboran dan peledakan.
Pemboran dikerjakan dengan menggunakan alat jackleg dan jumbo drill. Jumlah lubang
bor dan banyaknya bahan peledak yang digunakan tergantung pada kekerasan batuan
dan jauhnya kemajuan lubang yang diinginkan.
Gambar 2.3
Kegiatan pemboran untuk membuat lubang ledak
Gambar 2.4 8)
Sketsa Penambangan Cut and fill
Jenis-jenis penyanggaan yang digunakan adalah penyanggan kayu seperti three piece set
dan cribbing, penyangga baja (steel support) serta penyangga beton berupa beton
tembak (shortcrete). Penyangga baja dan penyangga kayu umumnya digunakan pada
cross cut dan drift, sedangkan untuk lokasi lombong biasanya hanya diberikan perkuatan
seperti split set, rock bolt, dan welded mesh dengan ukuran 10cmx10cm.
rockbolt
Gambar 2.4
Pemasangan rockbolt dan wire mess
Lombong yang tidak mengandung bijih akan ditimbun dengan material pengisi.
Untuk kegiatan produksi pada lombong, tepatnya pada kegiatan sebelum peledakan
untuk kemajuan pengambilan urat kuarsa, split set digunakan untuk menyangga batuan
samping yang lapuk agar tidak runtuh setelah peledakan dilakukan penyanggaan dengan
pemasangan rock bolt, wire mesh dan sebagainya tergantung keadaan batuan.
kegiatan pengumpul bijih lepas (broken ore) hasil peledakan kearah corongan (ore pass)
di tambang Kubang Cicau menggunakan cara manual dengan scrapper yang ditarik oleh
tenaga manusia. Pada daerah Ciurug yang menggunakan sistem mekanis, pemuatan bijih
lepas ke lori menggunakan Load Haul Dump (LHD) Toro tipe 301 DL dan EJC 100.
Selanjutnya, lombong yang telah ditambang diisi dengan material pengisi yang
berasal dari limbah pabrik (sand tailing) yang telah dipisahkan dari material halusnya
(kurang dari 10 mikrometer). Pengisi tersebut dimaksudkan untuk menyangga batuan
samping dan menaikkan lantai kerja lombong sehingga bijih pada slice selanjutnya dapat
terjangkau.
2.6
2.6.1 Pemboran
Pemboran dilakukan dengan menggunakan mesin bor jenis Leg drill dan Jumbo
drill. Dua jeis mesin bor ini cara kerjanya sangatlah berbeda, mesin bor jenis Leg drill
menggunakan pusher leg sebagai kaki untuk menyangga drill dan nomy pada saat
melakukan pekerjaan pemboran sedangkan jumbo drill menggunakan mesin untuk
menentukan arah pemborannya yang dioperasikan oleh operator.
Pola pemboran yang diterapkan adalah Burn-cut merupakan suatu cara peledakan
dengan membuat lubang-lubang sejajar satu sama lain, yang salah satu lubang dalam cut
ditinggalkan kosong sebagai bidang bebas lubang lain. Lubang yang dibor ada 44 buah
dan 1 lubang lagi dibiarkan kosong karena difungsikan sebagai bidang bebas.
Pola pemboran disesuaikan dengan kelas batuannya. Semakin baik kelas batuan
tersebut maka bidang bebas akan dibuat lebih banyak agar proses peledakkan berhasil
dengan lancar.
pemboran
Gambar 2.5
Pemboran untuk membuat lubang ledak
dengan menggunakan Jumbo Drill
2.6.2 Peledakan
Peledakan di tambang bijih emas UBPE Pongkor, Antam disesuaikan dengan
kondisi kerja. Jika kondisi kering maka dipakai Anfo sebagai bahan peledaknya,
sedangkan pada kondisi lembab atau basah dipakai nonel. Jumlah nonel yang
dimasukkan sesuai dengan kedalaman lubang yang dibor. Panjang nonel 0,2 m
sedangkan target kedalaman lubang 2 m maka nonel yang akan dimasukkan kedalam
lubang sebanyak 10 biji sekaligus 1 primer yang sudah diberikan delay time atau waktu
meledaknya.
Jenis batuan tersebut akan sangat mempengaruhi hasil fragmentasi yang
dihasilkan dari peledakan itu sendiri. Namun untuk mengatasi hal ini biasanya jumlah
lubang kosong diperbanyak untuk menghasilkan banyak bidang bebas, sehingga
fragmentasi yang dihasilkan sesuai dengan keinginan dan tidak menghambat proses
loading nantinya.
Peledakan tersebut dilaksanakan sesuai jam blasting yang sudah ditentukan oleh PT.
Antam.
Nonel
Primer
Gambar 2.6
Rangkaian Primer menggunakan Nonel
BAB III
DASAR TEORI
Gambar 3.1
Sistem Pemboran Rotary 13)
Gambar 3.2
Sistem Pemboran percussive 13)
Gambar 3.3
Sistem Pemboran Rotary-percussive 13)
3.2 Perlengkapan Metode Pemboran Rotary-Percussive 4)
Batang bor yang digunakan pada pemboran rotary-percussive ada dua macam,
yaitu integral drill steel dan extention drill Steel.
3.2.1 Integral Drill Steel
Integral drill steel tidak memerlukan couplings karena mata bor dan batang
bornya menjadi satu. Batang bor ini biasanya digunakan untuk jenjang yang
relative rendah atau kedalaman pemboran relative dangkal dan diameter lubang
bor antara 22-41 mm.
Gambar 3.4
Komponen Batang Bor Jenis Integral 4)
3.2.2 Extension Drill Steel
Berbeda dengan Integral drill, extension drill memerlukan coupling untuk
menghubungkan shank rod dengan extension rods. Selain itu, batang bor jenis
extension dapat dipakai untuk mendapatkan kedalaman pemboran yang
diinginkan.
Gambar 3.5
Komponen batang extension 4)
Gambar 3.6
Jenis R, T, C, GD-Thread
b. T Thread
Dapat digunakan pada semua kondisi pemboran dengan batang bor
berukuran 38 51 mm. T-thread memiliki ukuran pitch yang lebih besar dan
sudut yang lebih kecil sehingga pelepasan koplingnya lebih mudah daripada
R thread. Umur pakai thread tipe ini lebih panjang.
c. C Threads
C thread didesain untuk batang berukuran 51 mm atau lebih. Pitch pada
thread ini berukuran besar dan slope angle mirip dengan T- thread.
d. GD or HL Thread
Thread ini mempunyai karakteristik diantara R- thread dan T thread.
Thread ini mempunyai asymmetrical sawtooth profil dan digunakan pada
batang bor berukuran 25 57 mm.
2) Shank Adaptor
Shank adaptor merupakan komponen mesin bor yang pertama yang
menstransmisikan energi pukulan dari piston ke batang bor. Shank adaptor
ini terletak didalam mesin bor dan dihubungkan dengan couplings ke batang
bor pertama.
Gambar 3.7
Jenis Shank adaptor 4)
3) Batang Bor
Batang bor berguna untuk meneruskan energi putaran dan energi pukulan
dari shank adaptor ke mata bor. Pada pemboran dengan top hammer batang
bor merupakan komponen setelah drill chuck dan dapat berbentuk hexagonal
maupun round cross section.
Gambar 3.8
Tipe Batang bor 4)
4) Couplings
Coupling berguna untuk menyambungkan batang bor yang satu dengan
batang bor lainnya. Tujuan penggunaan coupling
kedalaman yang diinginkan. (Gambar 3.9)
untuk memperoleh
5) Mata bor
Mata bor berguna untuk meneruskan energi putaran dan tumbukan dari
batang bor ke batuan. Alat bor rotary-percussive drill terdiri dari 2 jenis
mata bor, yaitu:
a. Button Bit
Button bit berbentuk silinder. Pada bagian permukaan button bit terbesar
tungstan carbide dalam berbagai bentuk dengan diameter antara 50 mm
251 mm. button bit ini lebih cocok digunakan pada rotary-percusive drilling,
mempunyai kecepatan yang lebih tinggi daripada insert bit, lebih resisten
terhadap pengerutan dan cold-pressing, dan mampu meneruskan energy dari
batang bor secara lebih efektif. (Gambar 3.10)
Sleeve-type
Semi-bridge type
Full-bridge type
Helical-splines type
Gambar 3.9
Jenis Coupling 4)
b. Insert Bit
Insert bit ini terdiri dari dua bentuk yaitu cross bits dan X-bits. Cross bits
terdiri dari empat buah tungsten carbide yang saling membentuk sudut 90 o
sedangkan X-bits terdiri dari empat buah tungsten carbide yang saling
membentuk sudut 75o dan 105o. Insert bits memiliki ukuran diameter mulai
dari 35 mm sampai 57 mm untuk cross bits dan 64 mm untuk Xbits.(Gambar 3.10)
3.3
3.3.1 Percussion
Energi pukulan dihasilkan dari shock wave yang menggerakkan piston secara
berulang-ulang kemudian ditransmisikan dari hammer ke mata bor melalui
batang bor.
Button Bit
Cross Bit
X-Bit
Gambar 3.10
Jenis-jenis Mata bor
3.3.2 Rotation
Gerakan putaran yang menghasilkan perputaran mata bor diantara energi pukulan
berulang-ulang. Gerakan ini mengakibatkan terjadinya tumbukan mata bor
batuan dengan posisi yang berbeda-beda.
Gambar. Metode Pemboran di Permukaan dan Pemakaiannya
3.3.3 Feed, or Thrust Load
Trhust Load adalah energi yang dihasilkan oleh pull down motor untuk
menggerakkan hammer dan kemudian diteruskan ke mata bor sehingga terjadi
kontak permanen dengan batuan. Feed adalah komponen dari rotary-percussive
rock drill yang menggerakkan pneumatic maupun hydraulic hammers maju
mundur. Feed juga menyediakan thrust load yang diperlukan pada operasi
pemboran.
3.3.4 Flushing
Flushing adalah semburan udara, air, atau busa ke dalam lubang bor untuk
mengeluarkan cutting dari dalam lubang bor serta bertujuan untuk membersihkan
lubang bor.
3.4
pemboran dan hanya terdapat satu bidang bebas, maka harus dibuat satu pola pemboran
yang sesuai dengan kondisi tersebut.Pada operasi peledakan minimal terdapat dua bidang
bebas agar proses pelepasan energi berlangsung sempurna, sehingga batuan akan terlepas
atau terberai dari induknya lebih ringan.
Gambar 3.11
Macam-macam cut hole 11)
Cut yang biasa digunakan untuk membuat terowongan adalah large hole cut untuk
pemboran horizontal tegak lurus pada permukaan batuan semua lubang dalam cut dibor
pararel sama terhadap yang lain dan peledakan dilaksanakan kea rah lubang kosong yang
bertindak sebagai bukaan.
Secara umum terdapat empat tipe cut yang kemudian dikembangkan lagi sesuai
kondisi batuan, yaitu:
a. Center cut disebut juga pyramid atau diamond cut. Empat atau enam lubang dengan
diameter yang sama dibor kea rah satu titik, sehingga berbentuk pyramid. Puncak
pyramid di bagian dalam dilebihkan sekitar 15 cm (6 inchi) dari kedalaman seluruh
lubang bor yang ada. Dengan meledakkan center cut ini secara serentak
akan
terbentuk bidang bebas baru bagi lubang-lubang ledak disekitarnya. Center cut sangat
efektif untuk batuan kuat, tetapi konsumsi bahan peledak banyak dan mempunyai efek
getaran tinggi yang disertai oleh lemparan batu-batu kecil.
b. V Cut disebut juga Wedge-cut, angled cut atau cut berbentuk baji: setiap pasang
empat atau enam lubang dengan diameter yang sama dibor kearah satu titik, tetapi
lubang bor antar pasangan sejajar, sehingga berbentuk baji.Pola pemboran tipe ini
lebih mudah dibandingkan dengan pola pemboran tipe pyramid cut, tetapi kurang
efektif untuk meledakkan batuan keras.
c. Drag cut atau pola kipas: bentuknya mirip dengan V-cut, yaitu berbentuk baji.
Perbedaannya terletak pada posisi bajinya tidak ditengah-tengah bukaan. Cara
membuatnya adalah lubang dibor miring untuk membentuk rongga dilantai atau
dinding. Pemboran untuk membuat rongga dari bagian dinding disebut juga denga fun
cut atau cut kipas.
Beberapa pertimbangan pada pola drag cut:
-
Sangat cocok untuk batuan berlapis, misalnya shale, slate atau batuan sedimen
lainnya.
Dapat berperan sebagai controlled blasting, yaitu apabila terdapat instalasi yang
penting diruang bawah tanah atau pada bukaan dengan penyangga kayu.
d. Burn cut disebut juga dengan cylinder cut. Pola ini sangat cocok untuk batuan yang
keras dan regas seperti batu pasir (sandstone) atau batuan beku. Pola ini tidak cocok
untuk batuan berlapis, namun demikian, dapat disesuaikan dengan berbagai variasi.
Ciri-ciri pola Burn cut antara lain:
Lubang bor dibuat sejajar, sehingga dapat member lebih dalam disbanding jenis
cut lainnya.
Pyramid-Cut
V-cut
Drag cut
Burn cut
Gambar 3.12
Macam Pola Pemboran 11)
Setelah bukaan atau cut terbentuk, maka stoping kearah cut dimulai. Lubang kontur
(contour hole) yang terdiri atas: lubang atap (roof hole), lubang dinding (wall hole), dan
lubang lantai (floor hole) dibuat agak diserongkan keluar dari kontur (look out), sehingga
terowongan yang dihasilkan mempunyai bentuk seperti yang direncanakan.
Cut dapat diletakkan di sembarang tempat pada muka terowongan tetapi harus
diperhatikan bahwa letak cut mempengaruhi: lemparan, konsumsi bahan peledak, dan
jumlah
ledak dalam round. Apabila letak cut dekat dengan dinding mungkin dapat
mengurangi jumlah lubang tembak dalam round, tetapi ada kelemahan-kelemahan lainnya.
Gambar 3.13 7)
Penamaan Lubang ledak pada peledakan di terowongan
Gambar 3.14 7)
Posisi penempatan cut hole
3.5
rock drillability, geometri pemboran, umur dan kondisi mesin bor, dan ketrampilan
operator.
3.5.1 Sifat Batuan
Sifat batuan yang berpengaruh pada penetrasi dan sebagai konsekuensi pada
pemilihan metode pemboran yaitu : kekerasan, kekuatan, elastisitas, plastisitas,
abrasivitas, tekstur, struktur, dan karakteristik pembongkaran.
2. Kekerasan
Kekerasan adalah daya tahan permukaan batuan terhadap goresan. Batuan yang
keras akan memerlukan energy yang besar untuk menghancurkanya. Pada
umumnya batuan yang keras mempunyai kekuatan yang besar pula (Lihat tabel
3.1). Kekerasan batuan diklasifikasikan dengan skala Fredrich Van Mohs (1882).
3. Kekuatan (strength)
Kekuatan mekanik suatu batuan merupakan daya tahan batuan terhadap gaya dari
luar, baik bersifat static maupun dinamik. Kekuatan batuan dipengaruhi oleh
komposisi mineralnya, terutama kandungan kuarsa. Batuan yang kuat
memerlukan energi yang besar untuk menghancurkanya.
Tabel 3.1
Kekerasan dan Kekuatan
Skala mohs
+7
+200
6-7
120 200
Kekerasan sedang
4,5 6
60 120
Cukup lunak
3 4,5
30 60
Lunak
23
10 30
Sangat lunak
1-2
-10
Klasifikasi
Sangat keras
Keras
porositas batuan, dan sifat-sifat batuan lainya. Semua aspek ini berpengaruh
dalam keberhasilan operasi pemboran.
8. Elastisitas
Sifat elastisitas batuan dinyatakan dengan modulus elastisitas atau modulus
Young (E). Modulus elastisitas batuan bergantung pada komposisi mineral dan
porositasnya. Umumnya batuan dengan elastisitas yang tinggi memerlukan
energi yang besar untuk menghancurkanya.
9. Plastisitas
Plastisitas batuan merupakan perilaku batuan yang menyebabkan deformasi
permanen setelah tegangan dikembalikan ke kondisi awal, dimana batuan
tersebut belum hancur. Sifat ini sangat dipengaruhi oleh komposisi mineral
penyusunya, terutama kuarsa. Batuan yang plastisitasnya tinggi memerlukan
energi yang besar untuk menghancurkannya.
10. Struktur Geologi
Struktur geologi seperti sesar, kekar, dan bidang perlapisan akan berpengaruh
terhadap peledakan batuan. Adanya rekaha-rekahan dan rongga-rongga di dalam
massa batuan akan menyebabkan terganggunya perambatan gelombang energi
akibat peledakan. Namun adanya rekahan-rekahan tersebut juga sangat
menguntungkan untuk mengetahui bidang lemahnya, sehingga pemboran akan
dilakukan berlawanan arah dengan bidang lemahnya.
batuan. Nilai drilabilitas ini diperoleh dari hasil pengujian terhadap toughness
berbagai tipe batuan oleh Sievers dan Furby. Hasil pengujian mereka
memperlihatkan kesamaan nilai penetration speed dan net penetration rate untuk
tipe batuan yang sejenis.
Tabel 3.2
Nilai Faktor Drilabilitas dan Abrasivitas berbagai batuan
Batuan
Lokasi
Drillability
Abrasion index
Barre Granite
Barre, VT
1,00
1,00
Granite
Dvorshak, ID
1,11
1,14
Granite
California
1,10
0,54
Granite
Newark, NJ
1,05
1,27
Granite
Mt.Blanc, France
0,92
0,86
Granite
Grand Coulee, WA
0,50
2,40
Granite
Bulgaria
0,45
2,29
Granite Gneiss
Denver, CO
1,52
1,00
Granite Gneiss
0,89
1,03
Granite Gneiss
Hamburg, NJ
0,67
1,46
Quartzite
1,22
2,70
Quartzite
Corter Dam, GA
1,00
1,40
Quartzite
New Zealand
0,78
1,70
Quartzite
Canada
0,72
3,17
Quartzite
Minnesota
0,56
8,60
Quartzite
Canada
0,33
1,45
Magnetite
Kiruna, Sweden
1,00
1,23
Magnetite
0,59
1,41
Taconite
0,84
4,13
Hematite (red)
Sarajevo, Yugoslavia
1,50
0,40
Hematite (dark)
Sarajevo, Yugoslavia
2,20
0,70
Siderite
Sarajevo, Yugoslavia
0,90
0,80
Siderite
Suffern, NY
0,89
0,55
Sandstone
2,70
0,14
Sandstone
Ohio
3,10
0,11
Sandstone
New Zealand
2,30
1,20
Shale
0,75
2,80
Shale
Scranton, PA
2,00
0,00
Limestone
Davenport, IA
1,79
0,28
Limestone
Portsmounth, NH
1,77
0,65
Limestone
Saratoga, NY
1,22
0,01
x 100% ...
(3.1)
Keterangan:
W = Jumlah jam kerja alat, yaitu waktu yang dipergunakan oleh operator
untuk melakukan kegiatan pemboran.
R = Jumlah jam perbaikan, yaitu waktu yang dipergunakan untuk perbaikan
dan waktu yang hilang akibat menunggu saat perbaikan termasuk juga waktu
penyediaan suku cadang serta waktu perawatan.
b. Ketersediaan Fisik (Physical Availability, PA)
Ketersediaan fisik menunjukkan kesiapan alat untuk beroperasi didalam
seluruh waktu kerja yang tersedia. Persamaan dari ketersediaan fisik adalah :
PA = (
Keterangan:
x 100% (3.2)
S = Jumlah jam siap yaitu jumlah jam alat yang tidak dipergunakan padahal
alat tersebut siap beroperasi
(W+R+S) = jumlah jam tersedia, yaitu jumlah seluruh jam jalanmatau jumlah
jam kerja yang tersedia dimana alat dijadwalkan untuk beroperasi.
c. Penggunaan Efektif
Penggunaan efektif menunjukkan berapa persen waktu yang dipergunakan
oleh alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat digunakan.
Penggunaan efektif sebenarnya sama dengan pengertian efisiensi kerja.
Persamaan dari kesediaan penggunaan efektif adalah:
EU =
x 100% .(3.3)
Penggunaan
menunjukkan
berapa
persen
waktu
yang
dipergunakan oleh alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat
digunakan. Penggunaan efektif EU sebenarnya sama dengan pengertian
efisiensi kerja. Persamaan dari ketersediaan penggunaan adalah:
UA =
x 100% (3.4)
Pada kegiatan pemboran ada dua macam arah lubang ledak yaitu arah tegak
dan arah miring. Pada tinggi jenjang yang sama, kedalaman lubang ledak
miring > dari pemboran tegak selain itu pemboran miring penempatan posisi
awal lebih sulit karena harus menyesuaikan dengan kemiringan lubang ledak
yang direncanakan.
3. Kedalaman Lubang ledak
Penentuan kedalaman lubang ledak disesuaikan dengan tinggi jenjang, dimana
kedalaman lubang ledak>tinggi jenjang. Kelebihan kedalaman lubang bor
(subdrilling) dimaksudkan untuk memperoleh jenjang yang rata.
3.6
Bt
St
At
Dt
Pt
= Waktu pindah ke lubang yang lain, dan mempersiapkan alat bor hingga
Dr1 = (
(3.6)
Keterangan :
Dr1 : Kecepatan pemboran bersih (meter/menit)
H
Ct Dt
(3.7)
Keterangan:
GDR = Kecepatan pemboran (m/menit)
H
Ct
EK =
Keterangan:
EK = Efisiensi kerja pemboran (%)
WP = waktu kerja produktif (jam)
WT = waktu kerja yang tersedia (jam)
3.6.4 Volume Setara 13)
Volume setara (Equivalent volume, Veq) menyatakan volume batuan yang
diharapkan terbongkar untuk setiap meter kedalaman lubang ledak yang
dinyatakan dalam m3/m. Volume setara dapat dihitung denga persamaan:
Veq =
(3.9)
Keterangan :
Veq = volume setara (m3/m)
V
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1
dikerjakan, material atau batuan yang ditemui adalah jenis batuan yang masif. Lapisan
ini memiliki orientasi jurus yang sejajar dengan arah penggalian terowongan yaitu N
178oE (Lampiran E). Menurut parameter klasifikasi RMR orientasi ini tidak
mengganggu pekerjaan pembuatan lubang.
Lubang bukaan yang dibuat memiliki penampang berbentuk tapal kuda.dengan
ukuran (4x4)m. Karena tergolong jenis batuan Kelas 2 maka sebagai penyanggaan
digunakan Mess Strap.
Kondisi tempat kerja yang relatif kering tidak menyulitkan para pekerja, baik
pada saat pemboran, pembuatan lubang ledak, maupun pada saat peledakan itu sendiri
karena tidak memerlukan perlakuan khusus terhadap air. Peralatan lainnya seperti
Scalling bar yang digunakan utuk meruntuhkan batu gantung seusai peledakan. Selang
air yang dipakai untuk proses pemboran dan proses pembasahan setelah peledakan,
untuk meminimalisir debu hasil peledakan. LHD yang dipakai untuk memuat hasil
peledakan ke muckbay (tempat penimbuan material sementara).
4.2
ditemui dilokasi Akses Ramp-Up Utara L-600 adalah batu breksi bertufa. Hasil
pengujian di laboratorium menunjukkan besar nilai kuat tekan (Uniaxial Compressive
Strength) jenis batuan yang digali adalah sebesar
klasifikasi kekuatan batuan yang digunakan oleh perusahaan, yaitu klasifikasi RMR,
digolongkan pada kelas 2 atau Good Rock. (Lampiran M).
Hasil pengujian dari tenaga ahli Geoteknik PT.UBPE Pongkor, didapat nilai bobot isi
batuan yang dibongkar sebesar 2,20gr/cm3.
4.3
Kegiatan pemboran
Burden
: 20 cm
Spasi
: 80 cm
Peledakan dilakukan sebanyak 1 kali pada 1 shift pada satu permukaan kerja.
Tergantung pada kegiatan yang sedang berlangsung dan jika tidak terdapat hambatan.
4.3.4 Pola pemboran dan peledakan
Pola pemboran yang diterapkan adalah Burn-cut merupakan suatu cara peledakan
dengan membuat lubang-lubang sejajar satu sama lain, yang salah satu lubang dalam cut
ditinggalkan kosong sebagai bidang bebas lubang lain. Lubang yang dibor ada 44 buah
dan 1 lubang lagi dibiarkan kosong karena difungsikan sebagai bidang bebas.
Gambar 4.19)
Geometri Pemboran pada Permukaan Kerja
Pola pemboran dan peledakan ini disesuaikan dengan kelas batuannya. Semakin baik
kelas batuan tersebut maka bidang bebas akan dibuat lebih banyak agar proses
peledakkan berhasil dengan lancar dan dapat mencapai target.
4.4
Waktu Edar
Waktu edar adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu lubang.
Perhitungan waktu edar mesin bor dapat dilihat pada Tabel 4.1. (Lampiran I)
Tabel 4.1
Waktu Edar Pemboran
Operasi
No
Waktu rata-rata
(dt)
9,02
91,67
48,12
10,21
5,40
10,67
352,57
13,79
10,75
552,2
1,94
Waktu Edar pemboran terdiri dari beberapa jenis operasi, antara lain :
1. Waktu Pindah Posisi (Pt)
Waktu Pindah Posisi adalah waktu yang dibutuhkan alat bor untuk menempatkan
posisi alat sebelum member batuan, yaitu dimulai sejak alat bor pindah dari titik
pemboran sebelum sampai dengan alat bor siap untuk mengebor batuan. Waktu
pindah posisi untuk pemboran dengan kedalaman 1,94 m adalah 9,02 detik.
2. Waktu Pemboran (Bt)
Waktu pemboran adalah waktu yang dibutuhkan untuk menembus batuan sampai
dengan kedalaman lubang bor yang diinginkan, jika batangnya 2 maka ada Bt1 dan
Bt2. Waktu pemboran pada saat menggunakan batang bor 1 m adalah 91,67 detik
dan waktu pemboran setelah batang bor disusun menjadi 2 m adalah 352,57 detik.
3. Waktu Melepas Batang Bor (At)
Wktu melepas batang bor adalah waktu yang digunakan untuk mengangkat
kepermukaan dan melepas setiap batang bor yang digunakan pada proses pemboran
setelah keseluruhan tahap pemboran selesai kecuali batang bor yang terakhir yang
merupakan batang bor pertama, hanya diangkat ke permukaan dan dilepas. Waktu
melepas batang bor pada saat menggunakan batang bor 1 m (At1) adalah 10,21
detik dan waktu melepas batang bor yang berukuran 2 m (At2) adalah 10,75 detik.
4. Waktu Memasang Batang Bor (St)
Waktu memasang Batang bor adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyambung
sebuah batang bor dengan satu batang bor lainnya dari suatu proses pemboran yang
telah menyelesaikan 1 buah batang bor. Waktu memasang batang bor 1m (St1)
adalah 5,40 detik dan waktu memasang bagian batang bor yang berukuran 2 meter
(St2) adalah 10,67 detik.
5. Waktu Hambatan (Dt)
Waktu hambatan adalah waktu hambatan dimana terjadi sesuatu hal yang
mengakibatkan terganggunya proses pemboran. Waktu hambatan saat pemboran
menggunakan batang 1m (Dt1) adalah 48,12 detik dan waktu hambatan saat
pemboran menggunakan batang 2 m (Dt2) adalah 13,79 detik.
4.5
Tabel 4.2
Pengamatan waktu kerja (Lampiran J)
No
Waktu
(menit)
660 menit
1 Jam kerja
2 Waktu persiapan, perbaikan dan gangguan terdiri atas:
1. Waktu memasuki terowongan
2. Waktu menuju Front Kerja
3. Waktu Persiapan Membor
4. Waktu Pemasangan Mesh dan Rockbolt (mesh front)
5. Waktu charging dan Blasting
6. Waktu Mucking
7. Waktu Persiapan Pulang
8. Waktu Perbaikan alat
9. Waktu Perawatan
10. Waktu terlalu awal dan terlalu lama istirahat
31,42 menit
18,27 menit
26,34 menit
146,60 menit
31,35 menit
63,82 menit
23,05 menit
34,50 menit
20,00 menit
60,00 menit
Total
3 Waktu Kegiatan (W) No.1 - No.2
308,75 menit
351,25 menit
Berdasarkan hasil pengamatan jam kerja yang tersedia untuk setiap 1 shift adalah
11 jam atau 660 menit dengan waktu persiapan, perbaikan dang gangguan kerja yang
bisa juga dikatakan dengan waktu hambatan adalah sebesar 308,75 menit/shift, maka
diperoleh waktu kerja efektif sebesar 351,25 menit/shift. Dengan perhitungan adalah
sebagai berikut:
Waktu kerja efektif per shift = J T
= 660 menit 308,75 menit
= 351,25 menit/ shift
Keterangan :
J
= Jam kerja yang tersedia dalam 1 shift yaitu 11 jam (long shift)
T
= Waktu persiapan, perbaikan, dan gangguan (menit)
Maka waktu kerja atau waktu alat beroperasi yang diperoleh adalah 351,25 menit
setiap shift kerja. Penentuan kondisi alat bor dipengaruhi oleh faktor yang saling
berkaitan yaitu kerja alat (W) dan waktu tunggu.
4.5.2.
Kondisi Peralatan
Kondisi suatu alat dapat dinilai berdasarkan tingkat kesediaannya. Kondisi
alat berpengaruh terhadap laju pemboran. Kecepatan pemboran dipengaruhi oleh umur
alat bor.
Tingkat kesediaan mesin bor leg drill Senyang-YT29A terdiri dan empat macam dan
dapat dilihat pada Lampiran J atau pada Tabel 4.3
4.5.4 Perawatan
Pada pengamatan di lapangan sering dilakukan perawatan secara rutin.
Perawatan itu dilakukan sebelum dan sesudah operasi pemboran. Berdasarkan
pengamatan waktu perawatan diperoleh sebesar 20,00 menit/shift.
4.5.5 Waktu Tunggu
Waktu tunggu merupakan total waktu dari mesin yang tidak beroperasi akan
tetapi alat tersebut dalam keadaan siap untuk dioperasikan. Dari hasil pengamatan
waktu tunggu dapat diartikan sebagai waktu hambat karena waktu kerja yang tersedia
sebagian digunakan untuk beraktifitas di luar waktu beroperasi mesin bor meliputi
waktu persiapan memasuki front kerja, waktu memasuki terowongan, waktu persiapan
membor, charging & blasting dan mucking serta waktu pulang. Waktu tunggu
diperoleh sehesar 254,25 menit/shift
4.6
permukaan kerja ramp-up utara Level 600 Ciurug didapatkan bahwa umur batang
bor jenis R22 Sandvik dapat dilihat di Tabel 4.4
Tabel 4.4
Rata-rata Umur dan pemakaian rangkaian Batang Bor
(Lampiran Q)
No
1
2
3
4
4.7
Rangkaian Batang
bor
mata bor
extension rod
coupling slevee
shank adapter
umur
(drm)
119,59
202,40
263,11
328,89
Jumlah
pemakaian
22
13
10
8
Kecepatan Pemboran
Kecepatan pemboran terdiri dari beberapa definisi, yaitu
4.7.1
saat tanpa memperhitungkan hambatan. Laju penetrasi bersih nyata diperoleh dari hasil
pengamatan dan pengolahan data terhadap waktu edar. Laju penetrasi bersih Nyata
mesin bor Leg drill Shenyang-YT29A adalah 0,21 m/menit (Lampiran O)
4.7.3
satuan waktu, termasuk hambatan secara keseluruhan dalam satu seri pemboran. Gross
drilling Rate mesin bor Leg drill Shenyang-YT29A adalah 0,21 m/menit (Lampiran O).
4.8
Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja meliputi Efisiensi kerja alat dan efisiensi manajemen kerja.
Efisiensi kerja alat yang dimaksud disini adalah efisiensi kerja dari mesin bor yang
merupakan penggunaan efektif dari mesin bor tersebut, sedangkan efisiensi manajemen
kerja merupakan efisiensi kerja pemboran yang merupakan manajemen kerja dari
kegiatan pemboran tersebut.
Tabel 4.5
Efisiensi kerja Pemboran (Lampiran K)
Waktu kerja
4.8.1
Saat ini
(menit)
660
308,75
351,25
53,21
tersedia untuk dapat dimanfaatkan bekerja produktif. sehingga dalam hal ini
efisiensi kerja mesin bor identik dengan penggunaan kesediaan mesin bor (UA).
Berdasarkan pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan terhadap tingkat
kesediaan mesin bor maka diperoleh efisiensi kerja mesin bor leg drill ShenyangYT29A adalah 54,20 % (Lampiran J).
4.8.2 Efisiensi kerja pemboran
Efisiensi kerja pemboran diperoleh dari perbandingan waktu kerja efektif
dengan waktu kerja teoritis per hari yang dinyatakan dalam persen (Lampiran K).
Perhitungan efisiensi kerja pemboran ialah waktu kerja efektif dibanding dengan waktu
kerja teoritis perhari. (dilihat pada Tabel 4.5)
4.9
Produksi pemboran
BAB V
PEMBAHASAN
Untuk mengetahui scecara jelas kinerja dari mesin bor leg drill Shenyang-YT29A
dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pemboran, maka akan dibahas
mengenai mekanisme pemboran, tingkat kesediaan alat, umur pakai batang bor dan
produksi
pemboran
yang
didalamnya
mencakup
seluruh
variabel
yang
mempengaruhi kegiatan pemboran. Disamping itu akan dibahas pula solusi untuk
memenuhi target produksi yang telah ditetapkan.
5.1
Ketersediaan mekanik
Nilai ketersediaan mekanik mesin bor Leg Drill Shenyang-YT29A adalah 86,56%
5.1.3
(Lampiran J) dan menurut Drevdahl (1968:1-7) termasuk kurang baik karena dibawah
70%, artinya pengoperasian alat tidak efisien.
Faktor yang mempengaruhi pemakaian ketersediaan alat adalah jam kerja alat dan
waktu menunggu alat. Nilai pemakaian ketersediaan mesin bor menunjukkan bahwa
perbandingan antara jumlah jam kerja alat yaitu 351,15 menit dengan jumlah jam menunggu
alat yaitu 254,25 menit menunjukkan jam kerja alat lebih kecil daripada jam kerja menunggu
alat. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan alat tidak efisien karena lebih sedikit waktu
yang dipergunakan untuk beroperasi.
5.1.4 Ketersediaan Efektif
Nilai ketersediaan efektif mesin bor adalah 53,21% (Lampiran J). Ketersediaan
efektif alat menurut Drevdahl (1968:1-7) termasuk kurang baik karena di bawah 70% ,
artinya pengoperasian alat tidak efisien.
Hal ini berarti bahwa penggunaan alat belum efisien karena sedikit waktu yang
digunakan untuk berproduksi yaitu 351,25 menit dari waktu yang sudah terjadwal yaitu
660 menit. Waktu yang digunakan untuk perbaikan tidak terlalu berpengaruh karena
nilainya jauh lebih kecil dibanding jumlah jam kerja alat dan waktu menunggu alat.
5.2
selalu dilakukan perbaikan serta perawatan secara berkala dan menyeluruh yang
dilakukan oleh PT.KSP, mesin bor tersebut dapat digunakan secara optimum
untuk penyediaan lubang ledak guna memperlancar dalam kemajuan tunnel. Hal
ini ditunjukkan dengann cukup tingginya nilai kesediaan fisik dan nilai kesediaan
mekanik yang dimiliki mesin bor tersebut.
5.2.2 Umur Pakai Batang Bor
Umur dari batang bor merupakan jumlah kedalaman total yang diperoleh
dalam kegiatan pemboran sampai batang bor tersebut ditetapkan tidak layak lagi
digunakan dan satuan umur pakainya adalah meter pemboran (drm).
Faktor yang mempengaruhi umur dari rangkaian batang bor tersebut selama
pengamatan adalah kurangannya ketersediaan angin dan air untuk pemboran
sehingga menyulitkan proses flushing dan pemboran. Tekanan air harus lebih dari 3,5
Bar dan tekanan angin harus lebih dari 6,5 Bar. Karena jika tekanan air dan angin tidak
terpenuhi maka kerja mesin akan maksimal dan hal itu akan merusak komponen dari
batang bor. Air pada pemboran difungsikan untuk melunakkan dinding batuan yang
dibor sehingga mempermudah kerja pemboran sedangkan angin digunakan untuk
membersihkan lubang bor. Selain kurangnya ketersediaan angin dan air, kondisi
batuan yang dibor juga mempengaruhi umur dari mata bor. Dari analisis pengujian
kuat tekan didapatkan 72 MPa dimana batuan tersebut memiliki kekerasan yang
sedang. Hal tersebut akan mempengaruhi abrasivitas batuan yang nantinya juga
berpengaruh pada umur mata bor. Rangkaian bagian batang bor tersebut memiliki
umurnya masing-masing, umur pakai mata bor (cross bit) adalah 119,59 drm, umur
extension rod adalah 202,40 drm, umur coupling slevee adalah 263,11 drm, dan umur
shank adapter adalah 328,89 drm. (Lampiran Q).
Umur mata bor dapat diperpanjang jika dilakukan penajaman kembali mata
bor (Bit Grinding). Sedangkann untuk memperpanjang umur batang bor dapat
dilakukan berdasarkan ketentuan WI (Work Instruction) dan SOP (Standard
Operasional Prosedure). Upaya-upaya tersebut dapat memperpanjang umur dari
komponen batang bor.
pemboran
sangat
mempengaruhi
produksi pemboran
dimana
peningkatan efisiensi kerja pemboran akan menambah jumlah waktu yang tersedia untuk
melakukan kegiatan pemboran sehingga produksi pemboran secara otomatis akan
meningkat.
Waktu kerja efektif selama pengamatan adalah 5,54 jam per hari yang diperoleh
dari pengurangan jam kerja teoritis per hari yaitu 11 jam dengan jumlah waktu tidak
efektif yaitu 5,46 jam (Tabel 5.).
1. Hambatan yang tidak dapat ditekan:
-
= 31,42 menit
= 18,27 menit
= 31,35 menit
Waktu mucking
= 63,82 menit
------------------- +
=144,86 menit
Waktu Perbaikan
= 34.50 menit
Waktu Perawatan
= 20,00 menit
= 26,34 menit
= 23,05 menit
= 60,00 menit
---------------------- +
163,89 menit
= 144,86 menit + 163,89 menit
= 308,75 menit
Jam kerja efektif selama pengamatan = 11 jam (308,75 menit/60)jam
= 11 jam 5,46 jam
= 5,44 jam atau 351,25 menit
Efesiensi kerja
=
=
x 100%
,
x 100%
= 53,21 %
Persen efisiensi yang didapat adalah 53,21%. Hal ini menunjukkan bahwa waktu
yang efektif yang digunakan untuk beroperasi lebih kecil dibanding waktu hambatannya.
5.3
Produksi Pemboran
5.3.1
Kecepatan Pemboran
Pemakaian gross drilling rate dikarenakan gross drilling rate memperhitungkan
waktu untuk mengatasi hambatan yang dimana pada kegiatan pemboran tidak pernah
dilepas dari hambatan.
Kecepatan pemboran diperoleh 0,21
m/menit
dengan
membandingkan
kedalaman rata-rata yang dapat dicapai yaitu 1,94 m dengan waktu edar yaitu 9,20
menit untuk membuat satu lubang ledak. Kecepatan pemboran dapat ditingkatkan
dengan memperkecil waktu mengatasi hambatan. Hal tersebut dapat diupayakan dengan
pemilihan komponen pemboran yang sesuai, meningkatkan keahlian operator, dan
perawatan terhadap komponen mesin bor.
5.3.2
Volume Kesetaraan
Volume setara sangat dipengaruhi dengan pola pemboran, geometri pemboran
dan jumlah lubang ledak. Volume setara yang diterapkan menggunakan pola pemboran
burn-cut dengan kemajuan lubang bukaan
lubang ledak yaitu 44 lubang isi dang 1 lubang kosong dengan kedalaman 1,94 m yang
dapat diperoleh per hari adalah 0,311 m3/menit. (Lampiran P)
5.3.3
Produktivitas Pemboran
Poduktivitas pemboran sangat dipengaruhi oleh kecepatan pemboran, volume
setara dan efesiensi kerja pemboran. Kecepatan pemboran sangat dipengaruhi oleh
waktu hambatan, jika waktu hambatan pada waktu edarnya kecil maka kecepatan
pemborannya akan lebih besar dan produktivitas pemboran meningkat. Volume setara
sangat dipengaruhi oleh kemajuan peledakannya, semakin baik hasil dari sekali
peledakan maka akan mempengaruhi produktivitas pemborannya. Efisiensi kerja
pemboran sangat dipengaruhi oleh waktu kerja efektif yang digunakan dibanding dengan
waktu kerja teoritisnya.
Produktivitas Pemboran
Dengan kecepatan pemboran 0,23 m/menit, volume setara 0,311 m3/menit, dan
efisiensi kerja 53,21% maka produktivitas pemborannya 22,93 m3/shift/alat bor atau
2,08 m3/jam/alat bor (Lampiran P). Setelah dikonversikan dengan densitas batuannya
yaitu 2,2 ton/m3,
mencapai target kemajuan sekali peledakan sepanjang 1,7 m yaitu 59,84 ton/shift/alat
bor (Lampiran N). Alasan tidak tercapainya target kemajuan 1,7 m dikarenakan kondisi
batuan tidak merata dan jumlah lubang bor sebanyak 45 tidak tercapai, kedalaman
lubang bor tidak sama antara satu dengan lainnya.
5.4
hambatan yang dapat dihindari sehingga memperkecil waktu kerja tidak efektif. Upaya
itu dilakukan dengan cara menurunkan waktu kegiatan yang dapat ditekan.
Dari waktu perbaikan 34,5 menit dapat ditekan menjadi 25 menit . Pada waktu
perawatan mesin bor 20 menit dapat ditekan menjadi 10 menit . Upaya penekanan
waktu untuk perbaikan dan perawatan itu dilakukan dengan cara penggunaan mesin
bor yang baik dan benar sehingga meminimalisir kerusakan yang terjadi sehingga
waktu untuk perbaikan dan perawatan berkurang.
Waktu persiapan membor 26,34 menit dapat ditekan menjadi 15 menit dengan cara
melakukan scalling dan washing secara bersamaan, selain itu pengecekan terhadap
adanya ketersediaan angin dan air juga perlu dilakukan sehingga akan
lebih
mempersingkat waktu .
Waktu persiapan pulang 23,05 menit dapat ditekan menjadi 10 menit dengan cara
segera melakukan housekeeping setelah
sehingga dapat mempersingkat waktu. Kemudian jalur untuk pulang dari dalam
bukan dari luar. Jika lewat jalur luar maka dibutuhkan sekitar 20 menit untuk
sampai ke site. Jika melewati jalur dalam atau dari level 600 Ciurug ke level 500
Ciguha maka dibutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Sehingga uraian perhitungan efisiensi adalah sebagai berikut:
1. Hambatan yang tidak dapat ditekan:
-
= 31,42 menit
= 18,27 menit
= 31,35 menit
Waktu mucking
= 63,82 menit
------------------- +
=144,86 menit
Waktu Perbaikan
= 25,00 menit
Waktu Perawatan
= 10,00 menit
= 15,00 menit
= 10,00 menit
= 30,00 menit
---------------------- +
90,00 menit
x 100%
,
=
x 100%
= 64,41 %
Dengan adanya upaya mereduksi waktu hambatan yang dapat dihindari maka
waktu kerja efektif akan bertambah menjadi 7,09 jam yang diperoleh dari pengurangan
jam kerja teoritis dengan jumlah waktu tidak efektif. Dengan demikian efisiensi kerja
pemboran menjadi meningkat menjadi 64,41%.
Dari penekanan yang dilakukan akan berpengaruh pada meningkatnya produksi
pemboran dan efisiensi pemboran
Peningkatan efisiensi pemboran meningkatkan produktifitas pemboran karena
waktu yang tersedia untuk kegiatan operasi pemboran menjadi bertambah.
Produktivitas pemboran = kecepatan pemboran x volume setara x eff. Kerja x 60 x 11
= 0,21 m/menit x 0,311 m3/menit x 0,6441 x 60 x 11
= 27,76 m3/shift/alat bor atau 2,52 m3/jam/alat bor
Tabel 5.1
Hambatan Kerja alat bor (Lampiran K)
Jenis Hambatan
A. Tidak dapat ditekan
waktu memasuki terowongan
waktu menuju front kerja
waktu pemasangan mesh dan rockbolt/mesh
front
waktu charging & Blasting
waktu mucking
B. Dapat Dihindari
Hasil
Pengamatan
(menit)
Upaya
Peningkatan
(menit)
31,42
18,27
31,42
18,27
146,60
146,60
31,35
63,82
31,35
63,82
Waktu perbaikan
waktu perawatan
waktu persiapan menbor
Waktu persiapan pulang
waktu istirahat lebih awal dan terlalu lama
34.5
20
26,34
23,05
60
25
10
15
10
30
Total
308,75
234,86
Jumlah Jam Kerja teoritis perhari
660,00
660,00
Jumlah waktu kerja efektif
351,25
425,14
53,21
64,41
Effesiensi kerja (%)
Catatan: Waktu pemasangan Mesh dan Rockbolt masih berkaitan dengan kerja mesin bor
sehingga pada total kerja efektif tidak diikut sertakan.
Sebelum adanya perbaikan produksi pemboran yang dihasilkan sebesar 22,93
m3/shift atau 2,08 m3/jam, namun karena adanya waktu perbaikan maka produksi
pemboran
meningkat
menjadi 27,76
m3/shift
atau 2,52
m3/jam dari
hasil
produktivitasnya setelah dikonversikan dengan densitas batuan yang dibor yaitu 2,20
ton/m3 tonase yang dihasilkan sebesar 61,07 ton/shift/alat bor dan dapat dikatakan
mencapai target produksi (Lampiran N)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dari bab- bab sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan
dan saran sebagai berikut:
6.1
Kesimpulan
1. Efisiensi kerja pemboran selama pengamatan di lapangan didapatkan 54,20%.
Efisiensi pemboran tersebut termasuk kurang baik karena dibawah 70%. Hal itu
dikarenakan waktu siap atau waktu dimana alat tidak dipergunakan padahal alat
tersebut siap beroperasi terlalu besar yaitu sebesar 254,25 menit ditambah
dengan waktu perbaikan serta perawat sebesar 54,50 menit.
2. Produktifitas mesin bor Shenyang-YT29A adalah 22,93 m3/shift/alat bor atau
2,22 m3/jam/alat bor. Dengan efisiensi pemboran sebesar 53,21% dan densitas
batuan yang digali sebesar 2,20 ton/m3, hasil produksi tersebut belum dapat
mencapai target kemajuan penggalian lubang bukaan karena produksi yang
dihasilkan dengan produktifitas dan densitas diatas adalah 50,45 ton/shift,
sedangkan untuk mencapai target dengan kemajuan penggalian lubang bukaan
sepanjang 1,7 m per peledakan adalah 59,84 ton/shift.
3. Umur mata bor dan batang bor dipengaruhi oleh medan kerja seperti kondisi
batuan dimana batuan tersebut memiliki kekerasan yang sedang. Hal tersebut
akan mempengaruhi abrasivitas batuan yang nantinya juga berpengaruh pada
umur mata bor. Kemudian selain dipengaruhi medan kerja, operator, dan
ketersediaan air dan angin juga berpengaruh pada umur dari batang bor dan
mata bor karena air dan angin akan membantu proses pembilasan juga
membantu proses pemboran dalam menggali batuan karena jika tekanan air
>3,5 Bar dan tekanan angin >6,5 Bar maka kerja mesin bor tanpa adanya
dukungan air dan angin akan merusak komponen batang bor sehingga komponen
batang bor tersebut cepat aus. Hal itu akan mengurangi umur dari komponen
batang bor itu sendiri.
6.2
Saran
1. Setelah adanya upaya peningkatan efisiensinya dengan cara memperkecil waktu
hambatan yang berupa waktu perbaikan menjadi 25 menit dan waktu perawatan
menjadi 10 menit dengan cara menggunakan alat dengan baik dan benar
sehingga meminimalisir waktu perbaikan dan perawatan, waktu persiapan
pemboran menjadi 15 menit dengan cara melakukan scalling dan washing secara
bersamaan, waktu persiapan pulang menjadi 10 menit dengan cara mempercepat
housekeeping sehingga waktu persiapan pulang dapat ditekan, maka efisiensi
kerja pemboran dapat mengalami peningkatan menjadi 64,41%. Dengan adanya
perbaikan jam kerja yang tersedia maka produksi pemboran meningkat menjadi
27,76 m3/shift atau 2,52 m3/jam dan produksi sudah dapat mencapai target
dengan kemajuan lubang penggalian 1,7 m adalah 59,84 ton/shift .
2. Untuk mempertahankan kecepatan pemboran maka perlu adanya penajaman
kembali mata bor (Bit Grinding) dengan alat yang dinamakan grinder sehingga
kedalaman yang dihasilkan memuaskan dan mencapai target. Hal ini dilakukan
juga untuk memperpanjang umur mata bor.
3. Untuk memperpanjang umur batang bor, diupayakan agar operator menggunakan
WI (Work Instruction) dan SOP (Standar Operational Prosedure) pemboran
yang telah ditetapkan dan tetap menjaga kestabilan penyediaan air dan angin
untuk pemboran.
DAFTAR PUSTAKA