REFRAT SLE Pada Anak
REFRAT SLE Pada Anak
SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS
PEMBIMBING:
Dr. Riza Mansyoer,
SpA
Disusun Oleh:
Isti Ansharina Kathin
030.05.122
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. karena atas berkah dan kasih
sayang-Nya maka tugas pembuatan referat yang berjudul Systemic Lupus Erythematosus
ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas wajib yang harus dikerjakan
dalam rangka kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak, periode 7 Desember
2009 13 Februari 2010.
Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Riza Mansyoer, SpA atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan dalam
membimbing dan mengarahkan saya sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini.
Terima kasih pula saya sampaikan kepada Dr. Bambang H. Sigit, SpA; Dr. Dewi Iriani
SpA; dan Dr. Yahya G. Lubis, SpA atas bimbingan yang telah diberikan selama
kepaniteraan klinik ini berlangsung.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-rekan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Koja periode 7 Desember 2009 13
Februari 2010 atas kebersamaan yang indah dan kerjasama yang terjalin selama ini. Tidak
lupa juga kepada kedua orangtua dan keluarga atas dukungan moril dan materil yang
telah diberikan terus menerus.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena
itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan referat ini.
Besar harapan saya, agar kiranya penyajian referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit multiorgan yang
berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal,
otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi
oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai
dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti
sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ yang
terkena selama beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa organ
lain.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat
menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ
penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada
keterlibatan beberapa organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat
muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan
kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan
beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung maupun menyingkirkan
diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk
meminimalkan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya
lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2
Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya tidak dapat
diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia membutuhkan dukungan
keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam menjalani kehidupan dengan
penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur mengatakan bahwa SLE tidak ada
obatnya, namun hasil pengobatan jangka panjang pada anak dengan SLE dapat memberi
hasil yang baik apabila ditangani oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masingmasing.2
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada beberapa
pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan SLE.
Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang menunjang,
imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak
dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien dengan mempertimbangkan
keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang berkembang. Pasien harus
diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek sampingnya,
serta hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan
kepada pasien dan keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan
kemampuannya dalam mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta
kemampuan dalam mengambil keputusan.3
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang
berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus sistemik dapat
diartikan secara bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin istilah ini muncul dari
adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan
penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat
didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun
ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan
penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena
beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan
diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The
Great Imitators). 2,4,5
B. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara
genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit
autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau
beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan
munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a
muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afroamerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan
SLE. Keluarga maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap
penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal:
imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF,
ANA dan penyakit autoimun lainnya.4
Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan
pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun,
hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini
belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan tetapi belum merupakan
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang
pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.
SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17%
orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5%
diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun,
sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE
dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria
maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3
kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini
tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan
perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal
etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika,
Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,3,4
D. PATOGENESIS 1,8
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang,
yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis
lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang
ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen
jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu
terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti
DNA single stranded (ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang
bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen
membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya
akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan
lesi di tempat tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 2550% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan
kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit
genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2)
dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan
interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang
memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel
B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi
sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas
tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik
selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus
atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen
dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi
disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotipantiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan
antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan
antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka
akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur
determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja
salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan
pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen
dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang
kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh
kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara
autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi
yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan
kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks
imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi
10
11
penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi
ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal
glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus,
tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+
yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat
perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung
untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi
pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan
apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi
peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis
akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel
apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada
CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti
anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa
menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang
menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk
mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin
yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16
alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan
menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.
12
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan
juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular
mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
E. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam,
fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak
tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak
biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan
bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan
lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam
malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya
sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat
memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit
dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak
mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam
malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus
pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh,
bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi
pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki. 2,4,7
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
13
14
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5
Keadaan umum
Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati
Kulit
Muskuloskeletal
Sistem Pencernaan
Kardiovaskuler
Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer
Sistem Pernapasan
Sistem Persarafan
Migrain
15
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Sistem Penglihatan
Ginjal
Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal
Hematologi
Endokrin
Hipo / hipertiroidism
Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat.
Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan
diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk
klasifikasi SLE.
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
Kejang
Psikosis
16
17
Diagnosis 1
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE
pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi
pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan
laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+),
peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50),
peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA doublestranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria,
proteinuria, dan macam-macam silinder, antara lain: torak, sel darah merah, dan sel
darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan
dapat mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m 2.
Pemeriksaan darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau
leukopenia, dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu
diperiksa uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL dengan
anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik dan umumnya progresif.
Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan serologi
terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan pada pasien nefritis lupus ataupun lupus eritematosus sistemik pada
umumnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE1
1. Urinalisis
2. Darah tepi, termasuk LED
3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
- darah ureum dan kreatinin
- klirens ureumdan kreatinin
5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol
6. Pemeriksaan khusus
18
sel LE
komplemen darah (C3, C4, CH50)
C-reaktif protein (CRP)
Antibodi anti ds-DNA
Uji coombs
Uji serologi sifilis
Serum imunoglobulin, terutama IgG
krioglobulin
7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti
fosfolipid).
Gambaran Patologi Anatomi (PA)1
Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.
Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1
Tipe I
Normal
a. Normal pada semua pemeriksaan
b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan
deposit pada pemeriksaan mikroskop imun
Tipe II
Glomerulonefritis mesangial
a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan
b. Hiperselular sedang
Tipe III
Tipe IV
19
Glomerulonefritis membranosa
a. Murni
b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)
Tipe VI
Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada
pasien SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi,
peningkatan kadar ureum/kreatinin darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan
untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan klasifikasi pasien NL, 3.
Menetapkan jenis pengobatan, 4. Menetapkan prognosis, 5. Menilai keberhasilan
pengobatan (dengan biopsi ulang).
Tipe I Glomerulus normal
Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel
mesangial pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan
pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq,
kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop elektron dapat ditemukan
deposit elektron dense di mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6% NL.
Tipe II Glomerulonefritis mesangeal
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel
mesangial yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan
elektron kelainan yang ditemukan sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada 20%
NL.
20
dapat terlihat nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal.
Pada pemeriksaan dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan deposit granular
IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgM dan IgA di daerah mesangial dan beberapa
dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit electron dense
pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III
ditemukan pada 23% NL.
Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial
dan endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel
epitel glomerulus dan pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih
dari 50%. Juga dapat terlihat nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di
glomerulus. Membran basal glomerulus menebal dan menunjukkan gambaran lesi
wire loop eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang besar dan
difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler
glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan terlihat gambaran
deposit granular di mesangium dan sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3,
C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.
Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah
subendotel, kadang juga subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati
membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan
membran basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada
pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq,
disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron,
ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadangkadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.
21
Tipe VI Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang
bersifat ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks
mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis
interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.
Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya
antara lain sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi
glomerulus dari tipe yang ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari
bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV bila tidak diobati, sedangkan dengan
terapi tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II mesangial atau tipe V
membranosa yang lebih ringan.
Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena
dapat dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan
membedakan NL dengan granulopati idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit
granuler pada pertemuan daerah dermis dan epidermis. Deposit tersebut dengan
teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA. Ada
laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran
deposit di kulit, tetapi ini belu dapat dikonfirmasi peneliti lain.
Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis1
Pada umumnya, terdapat kerelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis. Pasien
dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II) menunjukkan
presentasi klinis yang ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal
yang normal. Gambaran PA proliferatif difus (tipe IV) biasanya menunjukkan
gambaran PA glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik dengan hipertensi dan
gagal ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal
progresif (glomerulonefritis progresif cepat). Pasien dengan gambaran PA tipe V GN
membranosa menunjukkan gambaran klinis sindrom nefrotik yang bersifat menahun,
hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe
22
23
kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan
dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari
SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini
harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh
trombosis vena serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis
bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah
diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. 3,8
F. 4. Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul
poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih
mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak
seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan
pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan
radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan
pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian
dapat menjadi LES. 3
F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)
Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura
pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura
adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan
perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai perikarditis,
dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi
perikardial pada pemeriksaan fisik. 7,8
F. 6. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal.8
24
F. 7. Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan
retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm 3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia <
1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm 3 tanpa adanya
intervensi obat.8
G. LUPUS NEONATUS 6,9
Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu
dengan SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau
blokade jantung kongenital, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya
Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan oleh faktor-faktor maternal pada janin,
tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal
Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum
ibu.
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi
jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup
(0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi
tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung
kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut
tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan
wanita.
Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti
SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya
saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester
ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi
jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat
menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer
antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau
25
plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh
karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita
SLE dan ingin hamil.7
H. PENATALAKSANAAN
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir
ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena
penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat
menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal
ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria
(hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid. 1
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps.
Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting
dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling
memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem
pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas
sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk
pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan
dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa
harus direncanakan sejak remaja.2,3
H. 1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun
efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik
untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak,
26
bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya
itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi
yang dijalaninya. 1,2
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah
muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan
penyakit anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada
pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari
atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila
terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen
darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6
minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,10,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps,
pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila
timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah
peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan
dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa
mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak
SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang
lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa
dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan
defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada
10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang.8
Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid.
Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat
diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak
dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi
BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif
seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping
kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.
27
bila perlu
Acne
Gangguan mood
Osteopenia
Avaskular nekrosis (AVN)
kearusan
anak
maupun hidroklorokuin.
H. 2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus
derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada
beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan
resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma
dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang
Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi
dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2
H. 3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
28
Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi
yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada
hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya
komplikasi sistitis hemoragik.
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid
sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL
proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m 2 pada bulan pertama, 750
mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m 2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB).
Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m 2.
Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis
diturunkan 125 mg/m2.1
29
H. 5. Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada
manfaatnya terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan
siklofosfamid. Namun ini bukanlah terapi yang efektif.2
H. 6. Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar
untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal
ini meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella
dan pneumokokus.2
H. 7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik
lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan
terakhir. 2
I. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT
Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan
kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan
laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4, anti
ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan urinalisis.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai
terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya
adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the
European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus
Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG).
Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit.2
30
31
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet
khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat
penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau
makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan
berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga
diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi
tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan
kekambuhan.
J. PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi
oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley,
bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru
yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis
yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa
faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi
spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti
misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin),
garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral.
Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah
pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini
kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis
lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular
serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat
32
pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit
lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival)
penderita lupus lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu
sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan
terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol,
dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88%
dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka
panjang dan menetap.
BAB III
KESIMPULAN
Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang dicirikan
oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu antibodi terhadap
double stranded DNA. SLE delapan kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus, sinar ultraviolet dan obatobatan, semuanya dapat berperan.
33
Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi SLE.
Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE secara
langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun.
Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari paparan
cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba serta
memonitor kondisinya pada dokter.7
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic
Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health
18:2. Published by Elsevier Ltd.
34
2008.
Lupus
Eritematosus
Sistemik.
Available
on:
35