EFEK JERA PIDANA Studi Kasus Pengeroyokan
EFEK JERA PIDANA Studi Kasus Pengeroyokan
I.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Kejadian kriminalitas di kota-kota besar di Indonesia tidak lepas
dari kuantitas maupun kualitasnya. Secara kuantitatif, trend kejahatan
yang selalu marak berkisar pada kasus-kasus conventional crime.
Masyarakat setiap waktu tidak pernah merasa aman dari intaian
pelaku curanmor, jambret, perampok maupun kerisihan terhadap
kejadian-kejadian perkelahaian antar pelajar dan lain-lain. Kejadiankejadian tersebut tetap terulang dan terus terjadi walaupun telah ada
peraturan-peraturan yang tegas mengenakan sanksi-sanksi berupa
pemidanaan
badan
(penjara)
terhadap
kejahatan-kejahatan
dimaksud, antara lain pasal 362, 363, 365 dan 170 KUHP. Bahkan
secara kualitatif, adanya ancaman-ancaman pidana mati pun ternyata
tidak menjadikan pelaku kejahatan lantas takut dan tidak melakukan
kejahatan
seperti
halnya
yang
terjadi
pada
kasus-kasus
2
tidak adanya atau kurang kuatnya efek jera (deterrent effect)
pemidanaan baik terhadap pelaku pidana (special deterrence) itu
sendiri maupun terhadap masyarakat secara umum yang berpotensi
melakukan tindak pidana yang sama (generally deterrence).
Oleh karena itu penulis akan melakukan analisis menggunakan
pendekatan
kualitatif
berdasarkan
deterrence
theory
yang
Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, yang
menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah Bagaimana upaya
dalam mewujudkan efek jera pemidanaan oleh penyidik
Polri
Persoalan-persoalan
a.
b.
3
II.
PEMBAHASAN
1.
Efek Pemidanaan
a.
yang
berpotensi
meraih
kesenangan
dengan
akan
dideritanya
manakala
kejahatan
tersebut
Kepastian (certainty)
Menurut
Beccaria
dan
Bentham,
dalam
pemberian
Semakin
kejahatan
berpikir
kejahatannya,
paham
bahwa
maka
mempertimbangkan
dia
semakin
bahwa
dikenakan kepadanya.
seorang
bisa
calon
pelaku
lolos
dengan
sedikit
hukuman
dia
akan
tersebut
dapat
4
2)
Kecepatan (celerity)
Beccaria dan Bentham berpendapat bahwa untuk menjadi
pencegah yang efektif, hukuman harus memiliki kecepatan.
Sebuah hukuman yang terjadi dengan cepat setelah
kejahatan membantu untuk membentuk hubungan yang
kuat antara hukuman dan kejahatan dalam pikiran
masyarakat umum, sehingga setiap kali seorang warga
merenungkan tindakan kriminal, ia akan langsung ingat dan
menanamkan dalam benaknya tentang beratnya hukuman
itu.
3)
Keparahan (severity)
Menurut Beccaria dan Bentham, hukuman seharusnya
proporsional dalam keparahan mereka, yaitu ancaman
hukuman yang dibuat cukup membebani seseorang
apabila melakukan kejahatan dimana porsi (berat-ringan)
dari
hukuman
tersebut
harus
seimbang
dengan
jera
(pencegahan)
timbul
sebelum
tindak
pidana
dalam
rangka
mencegah
seseorang
melakukan
yang
dilakukan
setelah
orang
melakukan
suatu
5
ketika Icang berangkat ke sekolahnya SMAN 9 Kota Malang
pada hari itu juga jam 06.30 Wib selanjutnya Kiki dengan
sengaja menyerempet sepeda motor yang dikendarai Icang dari
arah belakang dengan sepeda motornya yang berakibat Icang
hampir tertabrak truk dari arah depan sehingga secara spontan
Icang mengeluarkan kata kasar jancok kepada Kiki. Peristiwa
itu kemudian berlanjut dengan balapan keduanya sampai
dengan sekolah mereka. Tidak berhenti disitu, Kiki kemudian
melakukan teror dengan mengancam akan membunuh Icang
melalui hand phonenya namun Icang menyikapinya dengan
sabar dan justru mendatangi Kiki pada sore harinya, jam 17.30
di Jalan Letjen Sutoyo Kota Malang-tempat nongkrong Kiki dan
Gang Punk Rock-nya-untuk meminta maaf dan berdamai
dengan Kiki. Sikap Icang tersebut langsung disambut dengan
pukulan bertubi-tubi oleh Kiki dan dua orang temannya (Yusda
dan Norma) ke arah wajah dan badan Icang sehingga Icang
menderita luka memar pada sekujur badannya dan wajahnya.
Disamping itu, Kiki dan teman-temannya juga melakukan
pemukulan terhadap dua orang teman Icang (Sabil dan Rendy)
yang berusaha melerai perkelahian tersebut. Atas kejadian
tersebut Icang dkk didampingi orang tuanya melaporkan
perbuatan Kiki dkk ke Polresta Malang.
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
Polresta Malang, bahwa Kiki dkk telah cukup bukti diduga
melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan
kekerasan di muka umum terhadap Icang dkk, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 170 KUHP, dengan ancaman pidana
penjara maksimal selama lima tahun enam bulan (ayat 1), tujuh
tahun apabila mengakibatkan sesuatu luka (ayat 1. e), sembilan
tahun jika menyebabkan luka berat (ayat 2. e) dan dua belas
tahun jika mengakibatkan matinya orang (ayat 3. e).
Pada tanggal 14 Januari 2009, Kiki dkk resmi ditangkap
oleh penyidik Sat Reskrim Polresta Malang yang dilanjutkan
dengan penahanan mulai tanggal 15 Januari 2009. Namun pada
6
tanggal 15 Februari 2009, penahanan Kiki dkk ditangguhkan
dengan alasan Kiki dkk hendak mengikuti UNAS. Pada
pertengahan Mei 2009 berkas perkara Kiki dkk dinyatakan
lengkap (P21) oleh JPU Kejari Malang yang dilanjutkan dengan
pelimpahan tersangka ke Kejari Malang pada tanggal 27 Mei
2009.
Kiki dkk tersebut bukan pertama kalinya tersangkut proses
hukum dalam perkara pengeroyokan, sebelumnya yaitu sekitar
bulan Mei 2008, juga melakukan pegeroyokan terhadap rekan
satu sekolahnya yang berakibat Kiki dkk dilaporkan oleh
rekannya tersebut ke Polresta Malang. Namun pada kasus yang
pertama tersebut, terjadi perdamaian secara kekeluargaan
antara Kiki dkk yang diwakili orang tuanya, Ketua DPRD Kota
Malang Drs. E.C. Priyatmoko Oetomo dengan pihak korban
serta keluarganya sehingga proses penyidikannya dihentikan
oleh penyidik Sat Reskrim Polresta Malang tanpa adanya
rekomendasi dari petugas BAPAS.
Sebenarnya tidak hanya itu kasus pengeroyokan yang
dilakukan oleh Kiki dkk, banyak beberapa kasus lainnya namun
tidak sampai dilaporkan ke pihak kepolisian karena terlebih dulu
terjadi perdamaian dengan pihak-pihak yang menjadi korban
pengeroyokan Kiki dkk serta Gang Punk Rock-nya. Fakta
tersebut didapatkan oleh petugas BAPAS Kota Malang pada
proses penyidikan kasus yang kedua, dengan korban Icang dkk.
Dari hasil wawancaranya dengan pihak-pihak terkait, antara lain
orang tua Kiki dkk, pihak sekolah SMAN 9 Kota Malang,
lingkungan tempat tinggal Kiki dkk dan lingkungan pergaulannya
dengan Gang Punk Rock. Fakta lain yang didapat petugas
BAPAS yaitu para pendidik SMAN 9 Kota Malang sangat
mengeluhkan
perilaku
brutal
Kiki
dkk
ditambah
lagi
tersebut
didukung
dengan
keterangan
Drs.
E.C.
7
memang berperilaku nakal yang antara lain disebabkan sejak
kecil tidak mendapat kasih sayang dari ibunya yang telah
meninggal dunia ditambah kelalaian Drs. E.C. Priyatmoko
Oetomo
mengawasi
perilaku
anaknya
tersebut
karena
mencabut
laporannya
di
kepolisian
adalah
dengan
8
keterangan kepada sejumlah media lokal bahwa pihaknya masih
melakukan penyusunan dakwaan.
c.
nampak
bahwa
sosok
Kiki
dkk
memang
layak
norma-norma
yang
berlaku
dalam
kehidupan
Kepastian (certainty)
Sebelum Kiki dkk diproses secara hukum dalam perkara
pengeroyokan terhadap Icang dkk, setiap perbuatan
9
pengeroyokan yang dilakukannya terhadap orang lain
selalu dapat diselesaikan secara damai oleh orang tuanya
bahkan
pada
kasus
terakhir
sebelum
melakukan
Priyatmoko
penyumbang
dimaksud.
Oetomo
tidak
Sehingga
dapat
terwujudnya
dapat
menjadi
aspek
faktor
kepastian
memungkinkan
terjadi
Kecepatan (celerity)
Totalitas dari cara-cara Kiki melakukan penyelesaian
masalah melalui kekerasan yang tidak segera tersentuh
dan diikuti oleh hukum sesaat setelah perbuatan dimaksud
dilakukan bahkan secara berkepanjangan dan berulang
telah melemahkan persepsi tentang hubungan yang kuat
antara hukuman dengan kejahatan, sehingga Kiki dkk tidak
lagi dapat mengingat sanksi-sanksi hukum yang akan
10
diterimanya manakala mereka melakukan kekerasankekerasan dimaksud.
3)
Keparahan (severity)
Ancaman
hukuman
pidana
pada
pasal
170
KUHP
dan
celerity-juga
tidak
perkaranya,
belum
merasakan
menjalani
terhadap
Icang-sampai
dengan
lagi
perbuatannya
atau justru
sebaliknya ?
Apabila kejadian berupa akumulasi-akumulasis dari tidak
teraktualisasinya
senantiasa
aspek-aspek
berlangsung
dalam
deterrence
kehidupan
tersebut
diatas
bermasyarakat,
11
masyarakat (percieved punishment). Asumsi dimaksud penting
karena dua alasan, pertama, bahwa ketika perubahan dalam
kebijakan pidana yang telah ditetapkan tidak mengubah
keyakinan para pelaku potensial, khususunya terhadap aspek
certainty, celerity dan severity tentang suatu hukuman, maka
perubahan dalam kebijakan pidana tersebut tidak akan bisa
menghasilkan pencegahan apapun terhadap kejahatan. kedua,
demonstrasi hubungan yang positif antara hukuman aktual dan
hukuman yang dirasakan masyarakat memiliki nilai penting
untuk membedakan antara efek jera yang ditimbulkan oleh
aspek certainty, celerity dan severity dari suatu hukuman
dengan efek jera yang mungkin ditimbulkan oleh aspek-aspek
lain diluar ketiga aspek dimaksud (certainty, celerity dan
severity).
2.
dalam
proses
penyidikan
yang
atas suatu
berjalan
secara
12
Realisasi
terhadap
tujuan
untuk
mewujudkan
efek
jera
tersebut
juga
meliputi
eliminasi
terhadap
paradigma-
KESIMPULAN
Efek jera atas suatu hukuman yang telah dirumuskan undang-undang
memerlukan peran nyata dari berbagai pihak yang terkait dalam
mewujudkannya, bukan hanya CJS namun juga pemerintah dan
masyarakat pada umumnya. Apabila terdapat elemen-elemen dalam
masyarakat yang tidak turut serta dalam mengaktualisasikan dan menjaga
terwujudnya certainty, celerity dan severity dari hukuman yang telah
dirumuskan undang-undang tersebut, maka akan membawa dampak
terhadap penurunan kualitas bahkan tidak adanya efek jera dimaksud.
Certainty, celerity dan severity
13
dalam memahami kemampuan hukum untuk mengendalikan perilaku
manusia agar tidak menyimpang.
Peran penyidik Polri sebagai bagian dari CJS dalam mewujudkan efek
jera atas suatu pemidanaan adalah sangat penting mengingat wewenang
Polri yang begitu besar yang diberikan undang-undang dalam proses
penegakan hukum. Apabila peran tersebut dilaksanakan dengan baik,
maka akan berimplikasi terhadap citra Polri dalam masyarakat sebagai
penegak hukum yang profesional, trasparan dan akuntabel sehingga
terwujud kepatuhan terhadap hukum oleh masyarakat yang dilandasi
adanya efek jera terhadap hukuman yang ditegakkan dengan wewenang
Polri. Dan sebaliknya pula, apabila peran tersebut tidak diemban dengan
baik, maka akan menurunkan citra dan martabat Polri, membawa dampak
berupa rendahnya kesadaran hukum dalam masyarakat dikarenakan tidak
adanya efek jera. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penegakan hukum
oleh para penyidik Polri, perlu diyakini bahwa apa yang dilakukan didasari
dengan legalitas dan asas kepastian hukum serta ditopang tujuan untuk
mewujudkan efek jera pemidaaan semenjak/melalui tahap penyidikan.
HANDIK ZUSEN
NO. MHS. 6877
14
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2008, Modul Sosiologi Hukum PTIK, PTIK
Press, Jakarta.
3.
http://one.indoskripsi.com/node/9622
4.
http://blog.santegidio.or.id/2008/11/teori-hukuman-mati/
5.
http://www.criminology.fsu.edu/crimtheory/beccaria.htm
6.
http://te-cyberedu.blogspot.com/