Anda di halaman 1dari 14

UPAYA MEWUJUDKAN EFEK JERA PEMIDANAAN

OLEH PENYIDIK POLRI


(Studi kasus tindak pidana secara bersama-sama melakukan
kekerasan terhadap orang di muka umum oleh Tersangka
RIZKY ANUGRAH GAUTAMA alias KIKI, Dkk)

I.

PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Kejadian kriminalitas di kota-kota besar di Indonesia tidak lepas
dari kuantitas maupun kualitasnya. Secara kuantitatif, trend kejahatan
yang selalu marak berkisar pada kasus-kasus conventional crime.
Masyarakat setiap waktu tidak pernah merasa aman dari intaian
pelaku curanmor, jambret, perampok maupun kerisihan terhadap
kejadian-kejadian perkelahaian antar pelajar dan lain-lain. Kejadiankejadian tersebut tetap terulang dan terus terjadi walaupun telah ada
peraturan-peraturan yang tegas mengenakan sanksi-sanksi berupa
pemidanaan

badan

(penjara)

terhadap

kejahatan-kejahatan

dimaksud, antara lain pasal 362, 363, 365 dan 170 KUHP. Bahkan
secara kualitatif, adanya ancaman-ancaman pidana mati pun ternyata
tidak menjadikan pelaku kejahatan lantas takut dan tidak melakukan
kejahatan

seperti

halnya

yang

terjadi

pada

kasus-kasus

penyelundupan maupun produksi narkoba akhir-akhir ini yang


diungkap Polri dan para tersangkanya dijatuhi hukuman mati oleh
hakim namun tetap saja kejahatan yang sama masih terjadi. Sebagai
fakta empiris dapat dilihat pada kesimpulan hasil penelitian kerja
sama Polda Jatim dengan LPPM (Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat) Universitas Airlangga tahun 2007,
bahwa kasus pencurian dan perampasan kendaraan bermotor
merupakan tindak kejahatan meresahkan masyarakat.
Masih banyak lagi fenomena lain terkait pengulangan kejahatankejahatan yang sama dan serupa oleh pelaku tindak pidana
walaupun telah mengetahui ancaman hukumannya. Salah satu faktor
yang menyebabkan fenomena-fenomena diatas adalah kemungkinan

2
tidak adanya atau kurang kuatnya efek jera (deterrent effect)
pemidanaan baik terhadap pelaku pidana (special deterrence) itu
sendiri maupun terhadap masyarakat secara umum yang berpotensi
melakukan tindak pidana yang sama (generally deterrence).
Oleh karena itu penulis akan melakukan analisis menggunakan
pendekatan

kualitatif

berdasarkan

deterrence

theory

yang

dikemukakan Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham terhadap


fenomena-fenomena dimaksud dengan mengambil sampel guna
studi kasus yaitu perkara tindak pidana secara bersama-sama
melakukan kekerasan di muka umum yang dilakukan oleh tersangka
Rizky Anugrah Gautama alias Kiki, dkk terhadap Nugraha Vaisar
Chaqi, dkk yang ditangani oleh penyidik Sat Reskrim Polresta
Malang. Kasus tersebut menarik bagi penulis yang juga saksi hidup
dalam proses penanganan kasus tersebut selaku KBO Reskrim
Polresta Malang dikarenakan tersangka Kiki merupakan putra dari
Ketua DPRD Kota Malang yang dikenal di lingkungan sekolahnya
SMAN 9 Kota Malang sering terlibat tawuran dan telah dua kali
menjalani proses hukum di pihak kepolisian (Polresta Malang) namun
baru satu kasus terakhir yang dilakukan penyidikan hingga tuntas.
Adanya intervensi-intervensi oleh pihak-pihak tertentu terhadap
penyidik untuk tidak melanjutkan penaganan kasus Kiki dkk
merupakan faktor menarik lainnya bagi penulis dalam melakukan
analisis.
2.

Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, yang
menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah Bagaimana upaya
dalam mewujudkan efek jera pemidanaan oleh penyidik

Polri

(dengan studi kasus tersangka Kiki dkk) ?.


3.

Persoalan-persoalan
a.

Bagaimana efek pemidanaan yang timbul terhadap tersangka


Kiki dkk serta pengaruhnya pada masyarakat luas ?

b.

Bagaimana upaya mewujudkan efek jera pemidanaan oleh


penyidik Polri ?

3
II.

PEMBAHASAN
1.

Efek Pemidanaan
a.

Perspektif Deterrence Theory


Konsepsi deterrence effect yang hendak dicapai dalam
suatu proses penegakan hukum dapat dipandang secara
khusus sebagai

sebuah strategi dalam pemberian hukuman

terhadap seseorang dengan tujuan agar orang tersebut tidak


melakukan tindak pidana lagi, atau secara umum yaitu
pemberian hukuman terhadap seseorang yang melakukan
tindak pidana bertujuan untuk memberikan contoh terhadap
masyarakat luas agar orang-orang lainnya tidak melakukan
tindak pidana (kejahatan).
Filosuf Utilatirian Beccaria dan Bentham, mempercayai
bahwa orang termotivasi secara fundamental memperoleh
kesenangan dan menghindari rasa sakit. Secara umum,
seseorang

yang

berpotensi

meraih

kesenangan

dengan

melakukan tindak pidana (kejahatan) dapat dihalangi (can be


deterred) dengan meningkatkan ancaman berupa rasa sakit
yang

akan

dideritanya

manakala

kejahatan

tersebut

dilakukannya. Secara khusus, seseorang yang berpotensi


melakukan kejahatan dapat dicegah dengan cara memberikan
ancaman berupa hukuman tertentu melalui perumusan undangundang (legal punishment) yang mengandung aspek kepastian
(certainty), kecepatan (celerity), dan keparahan (severity),
dengan argumentasinya sebagai berikut :
1)

Kepastian (certainty)
Menurut

Beccaria

dan

Bentham,

dalam

pemberian

hukuman harus terdapat kepastian sehingga hukuman


tersebut menjadi pencegah yang efektif bagi sebuah
kejahatan.

Semakin

kejahatan

berpikir

kejahatannya,

paham
bahwa

maka

mempertimbangkan

dia

semakin

bahwa

dikenakan kepadanya.

seorang
bisa

calon

pelaku

lolos

dengan

sedikit

hukuman

dia

akan

tersebut

dapat

4
2)

Kecepatan (celerity)
Beccaria dan Bentham berpendapat bahwa untuk menjadi
pencegah yang efektif, hukuman harus memiliki kecepatan.
Sebuah hukuman yang terjadi dengan cepat setelah
kejahatan membantu untuk membentuk hubungan yang
kuat antara hukuman dan kejahatan dalam pikiran
masyarakat umum, sehingga setiap kali seorang warga
merenungkan tindakan kriminal, ia akan langsung ingat dan
menanamkan dalam benaknya tentang beratnya hukuman
itu.

3)

Keparahan (severity)
Menurut Beccaria dan Bentham, hukuman seharusnya
proporsional dalam keparahan mereka, yaitu ancaman
hukuman yang dibuat cukup membebani seseorang
apabila melakukan kejahatan dimana porsi (berat-ringan)
dari

hukuman

tersebut

harus

seimbang

dengan

perbuatannya, tidak terlalu ringan dan tidak terlalu berat


(proporsional).
Dengan konsepsi sebagaimana dikemukakan Beccaria dan
Bentham melalui deterrence theory-nya tersebut, diharapkan
efek

jera

(pencegahan)

timbul

sebelum

tindak

pidana

(kejahatan) dilakukan atau dengan kata lain penekanan teori ini


bahwa

dalam

rangka

mencegah

seseorang

melakukan

kejahatan bukan melalui upaya represif (penegakan hukum)


melulu

yang

dilakukan

setelah

orang

melakukan

suatu

kejahatan namun lebih pada aspek pencegahan dengan


menanamkan pola pikir terhadap masyarakat agar takut
melakukan kejahatan-bagi yang belum pernah melakukan
kejahatan atau takut mengulangi kejahatan lagi-bagi yang sudah
pernah melakukan kejahatan.
b.

Posisi kasus tersangka Kiki dkk


Latar belakang terjadinya peristiwa pengeroyokan oleh Kiki
dkk terhadap Nugraha VaIcang Chaqi alias Icang dkk pada
tanggal 22 Desember 2008 sekitar pukul 16.30 Wib berawal

5
ketika Icang berangkat ke sekolahnya SMAN 9 Kota Malang
pada hari itu juga jam 06.30 Wib selanjutnya Kiki dengan
sengaja menyerempet sepeda motor yang dikendarai Icang dari
arah belakang dengan sepeda motornya yang berakibat Icang
hampir tertabrak truk dari arah depan sehingga secara spontan
Icang mengeluarkan kata kasar jancok kepada Kiki. Peristiwa
itu kemudian berlanjut dengan balapan keduanya sampai
dengan sekolah mereka. Tidak berhenti disitu, Kiki kemudian
melakukan teror dengan mengancam akan membunuh Icang
melalui hand phonenya namun Icang menyikapinya dengan
sabar dan justru mendatangi Kiki pada sore harinya, jam 17.30
di Jalan Letjen Sutoyo Kota Malang-tempat nongkrong Kiki dan
Gang Punk Rock-nya-untuk meminta maaf dan berdamai
dengan Kiki. Sikap Icang tersebut langsung disambut dengan
pukulan bertubi-tubi oleh Kiki dan dua orang temannya (Yusda
dan Norma) ke arah wajah dan badan Icang sehingga Icang
menderita luka memar pada sekujur badannya dan wajahnya.
Disamping itu, Kiki dan teman-temannya juga melakukan
pemukulan terhadap dua orang teman Icang (Sabil dan Rendy)
yang berusaha melerai perkelahian tersebut. Atas kejadian
tersebut Icang dkk didampingi orang tuanya melaporkan
perbuatan Kiki dkk ke Polresta Malang.
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
Polresta Malang, bahwa Kiki dkk telah cukup bukti diduga
melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan
kekerasan di muka umum terhadap Icang dkk, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 170 KUHP, dengan ancaman pidana
penjara maksimal selama lima tahun enam bulan (ayat 1), tujuh
tahun apabila mengakibatkan sesuatu luka (ayat 1. e), sembilan
tahun jika menyebabkan luka berat (ayat 2. e) dan dua belas
tahun jika mengakibatkan matinya orang (ayat 3. e).
Pada tanggal 14 Januari 2009, Kiki dkk resmi ditangkap
oleh penyidik Sat Reskrim Polresta Malang yang dilanjutkan
dengan penahanan mulai tanggal 15 Januari 2009. Namun pada

6
tanggal 15 Februari 2009, penahanan Kiki dkk ditangguhkan
dengan alasan Kiki dkk hendak mengikuti UNAS. Pada
pertengahan Mei 2009 berkas perkara Kiki dkk dinyatakan
lengkap (P21) oleh JPU Kejari Malang yang dilanjutkan dengan
pelimpahan tersangka ke Kejari Malang pada tanggal 27 Mei
2009.
Kiki dkk tersebut bukan pertama kalinya tersangkut proses
hukum dalam perkara pengeroyokan, sebelumnya yaitu sekitar
bulan Mei 2008, juga melakukan pegeroyokan terhadap rekan
satu sekolahnya yang berakibat Kiki dkk dilaporkan oleh
rekannya tersebut ke Polresta Malang. Namun pada kasus yang
pertama tersebut, terjadi perdamaian secara kekeluargaan
antara Kiki dkk yang diwakili orang tuanya, Ketua DPRD Kota
Malang Drs. E.C. Priyatmoko Oetomo dengan pihak korban
serta keluarganya sehingga proses penyidikannya dihentikan
oleh penyidik Sat Reskrim Polresta Malang tanpa adanya
rekomendasi dari petugas BAPAS.
Sebenarnya tidak hanya itu kasus pengeroyokan yang
dilakukan oleh Kiki dkk, banyak beberapa kasus lainnya namun
tidak sampai dilaporkan ke pihak kepolisian karena terlebih dulu
terjadi perdamaian dengan pihak-pihak yang menjadi korban
pengeroyokan Kiki dkk serta Gang Punk Rock-nya. Fakta
tersebut didapatkan oleh petugas BAPAS Kota Malang pada
proses penyidikan kasus yang kedua, dengan korban Icang dkk.
Dari hasil wawancaranya dengan pihak-pihak terkait, antara lain
orang tua Kiki dkk, pihak sekolah SMAN 9 Kota Malang,
lingkungan tempat tinggal Kiki dkk dan lingkungan pergaulannya
dengan Gang Punk Rock. Fakta lain yang didapat petugas
BAPAS yaitu para pendidik SMAN 9 Kota Malang sangat
mengeluhkan

perilaku

brutal

Kiki

dkk

ditambah

lagi

ketidakdisilinannya dengan sering bolos sekolah dan sangat


rendahnya prestasi akademis yang bersangkutan. Dan kesemua
fakta

tersebut

didukung

dengan

keterangan

Drs.

E.C.

Priyatmoko Oetomo kepada petugas BAPAS bahwa Kiki

7
memang berperilaku nakal yang antara lain disebabkan sejak
kecil tidak mendapat kasih sayang dari ibunya yang telah
meninggal dunia ditambah kelalaian Drs. E.C. Priyatmoko
Oetomo

mengawasi

perilaku

anaknya

tersebut

karena

kesibukan sebagai politikus.


Merupakan fakta juga, bahwa kompensasi dari perdamaian
yang membawa konsekuensi bahwa korban pengeroyokan Kiki
dkk

mencabut

laporannya

di

kepolisian

adalah

dengan

melakukan pengobatan terhadap korban serta pemberian


santunan berupa sejumlah uang yang tidak sedikit jumlahnya
kepada keluarga korban. Tidak hanya itu, sejumlah uang
juga diterima oleh pihak penyidik secara terstruktur guna
penghentian perkara yang pertama ataupun penagguhan
penahanan pada kasus yang kedua. Fakta yang terakhir
diketahui sendiri oleh penulis selaku KBO Sat Reskrim Polresta
Malang, walaupun secara formil kebenarannya sulit dibuktikan.
Oleh karena itu, pada evaluasi akhir dari hasil pemeriksaan
Kiki dkk oleh petugas BAPAS terdapat rekomendasi dari
petugas BAPAS agar Kiki dkk dilanjutkan proses hukumnya
sampai dengan tingkat sidang pada pengadilan anak sebagai
salah satu upaya pengakkan supremasi hukum dikarenakan
Kiki dkk sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya dan
perlu mendapat pembinaan dari negara dalam hal ini petugas
pembimbing kemasyarakatan (PK) BAPAS Kelas I Kota Malang
dan pengawasan dari Jaksa sesuai pasal 29 ayat 7, 8 dan 9 UU
RI No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Disamping itu,
rekomendasi petugas BAPAS didasari juga oleh tujuan agar Kiki
dkk mendapatkan pembelajaran hukum dan shock therapy
bagi diri mereka agar di lain waktu tidak mudah terjerumus
dalam tindak anti sosial dan hukum lainnya yang lebih
parah di masa yang akan datang.
Untuk proses sidang pengadilan Kiki dkk sampai dengan
saat ini belum dimulai. JPU Kejari Malang memberikan

8
keterangan kepada sejumlah media lokal bahwa pihaknya masih
melakukan penyusunan dakwaan.
c.

Analisis Deterrence Effect Pada Kasus Kiki dkk


Berdasarkan uraian posisi kasus Kiki dkk diatas, secara
sekilas

nampak

bahwa

sosok

Kiki

dkk

memang

layak

dikategorikan sebagai anak nakal sebagaimana didefinisikan


dalam UU RI No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Perilakunnya beserta teman-temannya dalam Geng Punk Rock
yang arogan dalam melakukan hubungan sosial khususnya
dalam hal penyelesaian konflik-konflik antar remaja melalui
cara-cara kekerasan merupakan manifestasi dari sikap dan
mental serta pola pikir Kiki dkk yang minus terhadap kataatan
atas

norma-norma

yang

berlaku

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Negara telah mengatur norma-norma yang diwajibkan
ataupun yang dilarang dalam menjalankan hubungan sosial
setiap warga negaranya. Perbuatan Kiki dkk yang secara
berulang-ulang melakukan penganiayaan terhadap orang lain
secara bersama-sama dengan teman-tamannya menunjukkan
fakta bahwa Kiki dkk belum mendapatkan efek jera dari sistem
hukum yang telah ditentukan oleh negara ini padahal sudah
secara eksplisit telah dijelaskan dalam KUHP tentang ketentuan
pasal 170 KUHP bahwa perbuatan melakukan kekerasan secara
bersama-sama di muka umum terhadap orang (pengeroyokan)
dipidana dengan hukuman penjara maksimal lima tahun enam
bulan (ayat 1), tujuh tahun apabila mengakibatkan sesuatu luka
(ayat 1. e), sembilan tahun jika menyebabkan luka berat (ayat 2.
e) dan dua belas tahun jika mengakibatkan matinya orang (ayat
3. e). Terhadap fakta-fakta dimaksud, selanjutnya dapat
dilakukan analisis berdasarkan deterrence theory meliputi
aspek-aspeknya sebagai berikut :
1)

Kepastian (certainty)
Sebelum Kiki dkk diproses secara hukum dalam perkara
pengeroyokan terhadap Icang dkk, setiap perbuatan

9
pengeroyokan yang dilakukannya terhadap orang lain
selalu dapat diselesaikan secara damai oleh orang tuanya
bahkan

pada

kasus

terakhir

sebelum

melakukan

pengeroyokan terhadap Icang dkk, Kiki dkk sudah sempat


diproses oleh pihak kepolisian yang juga berujung dengan
perdamaian.
Faktor inilah, dimana Kiki dkk selalu ditolong oleh orang
tuanya bahkan didukung sikap permissive penyidik agar
perkara Kiki dkk tidak dilanjutkan proses hukumnya, secara
tidak langsung dan tidak disadari pihak-pihak yang terkait
penangan kasus Kiki dkk, menjadikan tidak terwujudnya
kepastian dalam proses penegakan hukum dikarenakan
tidak adanya komitmen khususnya dari pihak penyidik
untuk mewujudkan hal tersebut.
Kemungkinan tentang adanya keyakinan pada diri Kiki dan
teman-temannya bahwa mereka akan selalu lolos dari jerat
hukum dilatarbelakangi oleh status politik dan sosial Drs.
E.C.

Priyatmoko

penyumbang
dimaksud.

Oetomo

tidak

Sehingga

dapat

terwujudnya
dapat

menjadi
aspek

faktor

kepastian

memungkinkan

terjadi

akumulasi dimana pada benak Kiki dkk semakin tertanam


pemahaman bahwa mereka tidak perlu menaati normanorma yang ada. Disinilah terjadi kegagalan hukum
menjadi faktor pencegah yang efektif dilakukannnya
kejahatan.
2)

Kecepatan (celerity)
Totalitas dari cara-cara Kiki melakukan penyelesaian
masalah melalui kekerasan yang tidak segera tersentuh
dan diikuti oleh hukum sesaat setelah perbuatan dimaksud
dilakukan bahkan secara berkepanjangan dan berulang
telah melemahkan persepsi tentang hubungan yang kuat
antara hukuman dengan kejahatan, sehingga Kiki dkk tidak
lagi dapat mengingat sanksi-sanksi hukum yang akan

10
diterimanya manakala mereka melakukan kekerasankekerasan dimaksud.
3)

Keparahan (severity)
Ancaman

hukuman

pidana

pada

pasal

170

KUHP

sebenarnya sudah cukup berat apabila diperuntukkan bagi


anak-anak, namun sekali lagi dikarenakan aspek-aspek
sebelumnya-certainty

dan

celerity-juga

tidak

teraktualisasikan, maka implikasi spontannya pada aspek


severity pun juga tidak dapat terpenuhi, dalam hal ini Kiki
dkk belum pernah merasakan beban berupa beratnya
hukuman yang akan diterimanya dari hakim yang akan
mengadili

perkaranya,

belum

merasakan

menjalani

hukuman di Lembaga Pemasyarakatan bahkan efek sosial


yang ditimbulkan berupa label sebagai eks narapidana
akan melekat padanya seumur hidup.
Mungkin saja, pada diri Kiki dkk telah timbul efek jera
disebabkan penahanannya pada kasusnya yang keduapengeroyokan

terhadap

Icang-sampai

dengan

dilanjutkannya perkarannya ke pengadilan anak, namun


relitasnya baru akan terlihat pasca proses pengadilan
terhadap Kiki dkk, apakah mereka telah jera sehingga tidak
akan mengulangi

lagi

perbuatannya

atau justru

sebaliknya ?
Apabila kejadian berupa akumulasi-akumulasis dari tidak
teraktualisasinya
senantiasa

aspek-aspek

berlangsung

dalam

deterrence
kehidupan

tersebut

diatas

bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara maka menyebabkan timbulnya suatu


kondisi dimana masyarakat tidak mendapatkan efek jera yang
diharapkan dari adanya ancaman dan hukuman melalui normanorma yang telah dirumuskan oleh negara. Hal tersebut selaras
dengan pernyataan Beccaria dan Bentham bahwa terdapat
sebuah hubungan positif yang kuat antara hukuman sebenarnya
(actual punishment) yang diberikan terhadap para pelaku
kejahatan dengan efek dari hukuman tersebut yang dirasakan

11
masyarakat (percieved punishment). Asumsi dimaksud penting
karena dua alasan, pertama, bahwa ketika perubahan dalam
kebijakan pidana yang telah ditetapkan tidak mengubah
keyakinan para pelaku potensial, khususunya terhadap aspek
certainty, celerity dan severity tentang suatu hukuman, maka
perubahan dalam kebijakan pidana tersebut tidak akan bisa
menghasilkan pencegahan apapun terhadap kejahatan. kedua,
demonstrasi hubungan yang positif antara hukuman aktual dan
hukuman yang dirasakan masyarakat memiliki nilai penting
untuk membedakan antara efek jera yang ditimbulkan oleh
aspek certainty, celerity dan severity dari suatu hukuman
dengan efek jera yang mungkin ditimbulkan oleh aspek-aspek
lain diluar ketiga aspek dimaksud (certainty, celerity dan
severity).
2.

Upaya Mewujudkan Efek Jera Pemidanaan Oleh Penyidik


Dalam mewujudkan efek jera atas suatu hukuman sebagaimana
yang terkandung dalam norma-norma perundang-undangan suatu
negara diperlukan peran berbagai pihak, tidak hanya menjadi
tanggung jawab unsur criminal justice system (CJS) saja
melainkan dibutuhkan juga peran pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan sehingga terwujud persepsi yang sama terhadap adanya
efek jera atas suatu hukuman.
Khusus pada tahapan penyidikan, disitulah terdapat peran vital
para penyidik Polri untuk membangun suatu citra di hadapan publik
bahwa penyidik juga turut menentukan aktualisasi dari efek jera atas
proses penegakan hukum, baik terhadap masyarakat yang telah
melanggar aturan (pelaku tindak pidana/kejahatan) maupun yang
berpotensi melanggar aturan. Sehingga secara tidak langsung,
apabila hal tersebut dapat tercapai, maka dimungkinkan tugas pokok
Polri pun akan mendapatkan kontribusi positif berupa terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarat dikarenakan telah adanya
persepsi dalam masyarakat tentang deterrence effect
pemidanaan

dalam

proses

penyidikan

profesional, transparan dan akuntabel.

yang

atas suatu

berjalan

secara

12
Realisasi

terhadap

tujuan

untuk

mewujudkan

efek

jera

pemidanaan pada tahapan penyidikan tersebut sebenarnya tidaklah


sulit. Para penyidik Polri hanya perlu melakukan proses penyidikan
sesuai dengan asas-asas hukum yang dianut secara universal;
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta
didukung dengan kompetensi yang qualified sebagai seorang
penyidik melaui penguasaan teknik dan taktik penyidikan yang
diemban melalui fungsi Reskrim Polri. Penyidikan yang terlaksana
secara profesional, transparan dan akuntabel dengan paradigma
Polri yang baru yaitu bermoral dan modern, secara tidak langsung
akan mengakomodir pula tujuan dari penegakan hukum yaitu
tercapainya kepastian hukum, manfaat hukum dan keadilan. Upayaupaya

tersebut

juga

meliputi

eliminasi

terhadap

paradigma-

paradigma lama yang menjadikan citra negatif bagi Polri seperti


pameo kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah ; kehilangan
kambing kalau lapor polisi bisa kehilangan sapi dan lain-lain yang
pada kenyataannya berorientasi terhadap uang sehingga terdapat
pameo dalam masyarakat apabila berurusan dengan polisi maka
ujung-ujungnya duit (uud).
Dengan dihormati dan dipercayainya Polri dalam melaksanakan
penegakan hukum dengan menjunjung tinggi asas equality before
the law, menjamin terwujudnya certainty, celerity dan severity suatu
hukuman maka deterrence effect pun akan tersosialisasi dengan
sendirinya di dalam proses kepatuhan hukum oleh masyarakat.
III.

KESIMPULAN
Efek jera atas suatu hukuman yang telah dirumuskan undang-undang
memerlukan peran nyata dari berbagai pihak yang terkait dalam
mewujudkannya, bukan hanya CJS namun juga pemerintah dan
masyarakat pada umumnya. Apabila terdapat elemen-elemen dalam
masyarakat yang tidak turut serta dalam mengaktualisasikan dan menjaga
terwujudnya certainty, celerity dan severity dari hukuman yang telah
dirumuskan undang-undang tersebut, maka akan membawa dampak
terhadap penurunan kualitas bahkan tidak adanya efek jera dimaksud.
Certainty, celerity dan severity

adalah elemen kunci bagi masyarakat

13
dalam memahami kemampuan hukum untuk mengendalikan perilaku
manusia agar tidak menyimpang.
Peran penyidik Polri sebagai bagian dari CJS dalam mewujudkan efek
jera atas suatu pemidanaan adalah sangat penting mengingat wewenang
Polri yang begitu besar yang diberikan undang-undang dalam proses
penegakan hukum. Apabila peran tersebut dilaksanakan dengan baik,
maka akan berimplikasi terhadap citra Polri dalam masyarakat sebagai
penegak hukum yang profesional, trasparan dan akuntabel sehingga
terwujud kepatuhan terhadap hukum oleh masyarakat yang dilandasi
adanya efek jera terhadap hukuman yang ditegakkan dengan wewenang
Polri. Dan sebaliknya pula, apabila peran tersebut tidak diemban dengan
baik, maka akan menurunkan citra dan martabat Polri, membawa dampak
berupa rendahnya kesadaran hukum dalam masyarakat dikarenakan tidak
adanya efek jera. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penegakan hukum
oleh para penyidik Polri, perlu diyakini bahwa apa yang dilakukan didasari
dengan legalitas dan asas kepastian hukum serta ditopang tujuan untuk
mewujudkan efek jera pemidaaan semenjak/melalui tahap penyidikan.

Jakarta, 29 Agustus 2009


Penulis

HANDIK ZUSEN
NO. MHS. 6877

14

DAFTAR PUSTAKA

1.

Zimring F E, Hawkins GJ, 1973, Deterrence : The Legal Threat in Crime


Control, University of Chicago, Chicago.

2.

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2008, Modul Sosiologi Hukum PTIK, PTIK
Press, Jakarta.

3.

http://one.indoskripsi.com/node/9622

4.

http://blog.santegidio.or.id/2008/11/teori-hukuman-mati/

5.

http://www.criminology.fsu.edu/crimtheory/beccaria.htm

6.

http://te-cyberedu.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai