Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Dewasa

ini,

statistik

kejadian

nikah

siri

meningkat

seiring

berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di


seluruh jenis media (audio, visual dan audio visual) akan nikah siri yang
dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan
tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning /
kondisi terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning
sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan
berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang
berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh
masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan
pernikahan siri yang dilakukan oleh selebritis) yang melatar belakangi
penulis

untuk

memilih

topik

Nikah

Siri

dalam

permasalahan

pernikahan sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah dan


presentasi mata kuliah Fiqih. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan
Pernikahan Siri yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang salah
mengartikan

nikah

siri

dan

tidak

mengerti

baik-buruknya

jenis

pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar
belakangi diangkatnya topik Pernikahan Siri yang dilatar belakangi
dengan status kehadiran wali dan kedua saksi ini kami angkat.
Besar harapan penulis agar makalah ini dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya sebagai literatur atau sumber pencarian informasi terkait
topik pernikahan Siri. Maka dari itu, kami berusaha sebaik-baiknya untuk
mengumpulkan

berbagai

informasi

dari

berbagai

sumber

dan

narasumber untuk dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat


dijadikan sebagai referensi oleh pihak - pihak yang membutuhkan.

1.2.
Tujuan
Tujuan menulis dan menyusun makalah ini antara lain :
a. Mahasiswa dan masyarakat lainnya (pembaca makalah dan audiens
presentasi) memahami berbagai definisi akan nikah siri baik yang
berhubungan dengan wali / saksi
b. Mahasiswa dan audiens lain mengerti dan mengetahui landasan
hukum terkait nikah siri baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan
pembahasan berbagai rancangan undang-undang
c. Mahasiswa dan audiens lain mengetahui dampak positif dan dampak
negatif dari nikah siri
d. Mahasiswa dan audiens

lain

dapat

mengeluarkan

berbagai

pendapatnya terkait nikah siri dan berdiskusi satu sama lain


e. Memenuhi salah satu syarat atau tugas Kuliah Hukum Islam
1.3.
Manfaat
a. Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan negatif positifnya nikah siri atau yang identik dengan nikah tanpa wali atau
saksi audiens akan dapat mengerti bahwa nikah siri lebih banyak
menimbulkan

hal

negatif

dan

pada

akhirnya

dapat

dijadikan

pencegahan akan terjadinya nikah siri


b. Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan tidak
baiknya pernikahan siri terutama untuk latar belakang non kekurangan biaya
c. Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya nikah siri itu dan
tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi angka
terjadinya nikah siri
d. Menambah angka audiens

atau

masyarakat

yang

memahami

berbagai fakta, pro dan kontra terkait pernikahan siri dan hukumhukum yang terkait nikah siri

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Definisi Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
Pertama: Pernikahan tanpa wali, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak
ada izin dari wali sebenarnya lalu menikah dengan wali yang tidak jelas
(asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Pernikahan semacam ini
dilakukan secara rahasia (siri), penyebab umum yang terjadi dikalangan
masyarakat dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena
menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuanketentuan syariat
Kedua: Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan
dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan
seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak
mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan
karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri
nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga: pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbanganpertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma /
noda negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang
memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
2.2.
Landasan Terkait Catatan Pernikahan
Pertama: pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga
pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah)
3

untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan


pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah
sebagai bukti syariy (bayyinah syariyyah) adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen
resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan
majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti
waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua : pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah
berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun
pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi
negara.
Ketiga : dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara
berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan
tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah
dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan
aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang
belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat;
seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain
sebagainya.
Keempat : jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka
pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Kelima : pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk
menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul
ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai
berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah
muakkadah).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1.
Nikah Siri Menurut Hukum Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh
Peradilan

Agama

Bidang

Perkawinan

yang

akan

memidanakan

pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah
siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini
menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan
perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan
ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun
dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf
RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah
dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal
karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur
(antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3
menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus
membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar
Rp500 juta.
3.2.
Nikah Siri Menurut Islam
Adapun mengenai fakta pertama,

yakni

pernikahan

tanpa

wali;

sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali.


Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan
dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:



















Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari
Ahmad bin Husain bin Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin
Sinan dari ayahnya dari Hisham bin Urwah dari ayahnya dari Aishah :
Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda Tidak ada nikah
tanpa wali dan dua saksi yang adil.
Berdasarkan Dalalah al-iqtidla, kata Laa pada hadits menunjukkan
pengertian tidak sah, bukan sekedar tidak sempurna sebagaimana
pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya
Rasulullah saw pernah bersabda:

:


:










Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihiwasallam bersabda,
Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya
adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka
pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (HR. Abu
Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6:
66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:








Dari Abu Hurairah, ia berkata, Wanita tidak bisa menjadi wali wanita.
Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina7

lah yang menikahkan dirinya sendiri. (HR Ibn Majah dan HR. Ad
Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan
Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi
dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali,
Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan
sebagainya. Ini pula pendapat Said bin Musayyib, Hasan al-Bashri,
Syuraih, Ibrahim An NakhaI, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan
sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah,
SufyanAtsTsauri, Al Auzai, Abdullah bin Mubarak, Syafii, Ahmad, dan
Ishaq (SyarhSunnah, 9: 40-41).
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan
tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat
kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja,
syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang
yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus
pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab tazir, dan keputusan
mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada
seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi
penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan
tanpa wali.
1. Makna hadits


Secara literal, redaksi hadits yang berbunyi





menunjukkan arti bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya



wali dan dua saksi yang adil. Namun terkait dengan susunan lafadh
yang nantinya berimplikasi pada konteks hukum, terdapat perbedaan
di antara ulama.
mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada
Bentuk kata

yang menyebut bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti
ketidak sempurnaan. Dengan demikian, hadits di atas dapat diartikan
Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil.
Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau aksi
8

bukan merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak


dihadiri wali dan atau saksi dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan
atau saksi hanya sebatas disunnahkan.
Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan
berarti tidak sah
tidaknya perbuatan. Dengan demikian,

pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan
sebagai hakikat syariat, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa
wali dan ataupun saksi adalah tidak sah.
2. Pendapat Ulama Tentang Wali dan Saksi Nikah
Sehubungan dengan masih beragamnya interpretasi tentang hadits
diatas,

ulama

juga

masih

berbeda

pendapat

terkait

hukum

pernikahan tanpa adanya wali dan ataupun saksi. Mengingat bahwa


keterangan wali dan saksi serta hukum keberadaan wali dan saksi
dalam pernikahan dalam beberapa kitab dipisahkan, maka demi
menghindari kerancuan pembahasan hukum keberadaan wali dan
saksi dalam makalah ini juga akan dipisahkan.
1) Wali Nikah
Berdasarkan hadits utama di atas, mayoritas ulama berpendapat
bahwa wali merupakan syarat sah dalam suatu pernikahan.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah :


.




(janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya)
Imam al-Shafii menyatakan bahwa ayat di atas merupakan
petunjuk yang sangat jelas terkait wali dalam pernikahan. Selain
itu, keberadaan wali sebagai syarat sah pernikahan juga telah
dijelaskan dalam beberapa hadits, misalnya hadits yang ditakhrij

, al-Tirmidzi:
Abu Daud yang berbunyi













, al-Daruqutni:








dan juga Ibnu Majah






. Dengan

9

berdasar dalil-dalil tersebut, maka pernikahan yang dilaksanakan


tanpa adanya wali diangap tidak sah. Lebih jauh lagi, hubungan
badan yang dilakukan oleh wanita yang menikah tanpa wali
dianggap merupakan perbuatan zina.
Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat wali sebagai
syarat sah adalah kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini
berarti apabila ada seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dan
wali

sudah

memberi

izin,

namun

ia

tidak

ada

dan

tidak

mewakilkannya, maka pernikahan tetap diangap tidak sah. Tidak


sahnya pernikahan tersebut tak lain adalah tidak terpenuhinya
salah satu syarat sah nikah, yakni wali.
Kemudian apabila ada seorang wanita yang hendak menikah
namun tidak ada wali, maka yang berhak menjadi wali adalah
Sultan (pihak yang berwenang). Dalam konteks pernikahan di
indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak ada walinya
ialah hakim atau petugas KUA.
Pendapat berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu
yusuf yang menyatakan bahwa wali bukan merupakan syarat sah
pernikahan.Wali menurut pendapat kedua ini hanya merupakan
sesuatu yang disunahkan. Dengan demikian, wanita diperbolehkan
menikahkan

dirinya

sendiri

ataupun

anak

perempuannya.

Pendapat ini berpegangan pada dalil yang sama namun dengan


interpretasi berbeda, yakni bahwa bentuk pada
adalah
ketiadaan dari kesempurnaan. Selain itu, kewenangan wanita
untuk menikahkan dirinya tanpa wali juga dapat dipahami dari
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Abbas berikut:












Dalam hadits lain di sebutkan :

10



,

: "



,

" :


Artinya : "Tidaklah janda dinikahkan kecuali perintah darinya, dan
tidaklah perawan dinikahkan kecuali mendapat ijin darinya.
Mereka berkata : wahai Rosulullah, bagaimana ijinnya (perawan) ?
beliau menjawab : "(ijinnya) ketika diam." (HR Bukhoridan Muslim)
Adapun dari al-Quran, ayat yang dipergunakan sebagai dasar
istimbath hukum kelompok kedua juga sama dengan kelompok
pertama, namun beda dalam menafsirinya. Abu Hanifah dan Abu
yusuf menyandarkan pendapatnya pada ayat-ayat berikut:









Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain







Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka (janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan calon suaminya)














Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut
Lafadh nikah pada dua ayat pertama menurut Abu Hanifah
disandarkan pada wanita dan khitabnya menunjuk pada azwaj,
bukan wali. Sedangkan berdasarkan ayat ketiga, dapat dipahami
11

dengan jelas bahwa suami bagi wanita adalah kewenangan mutlak


mereka.
2) Saksi Nikah
Pada masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa
keberadaan saksi bukan merupakan keharusan, melainkan cukup
dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui
oleh khalayak. Senada dengan imam Malik, Abu Thaur dan
madzhab Syiah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah
dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah
akad dan akad tidak memerlukan saksi, kehadiran saksi menjurut
pendapat ini hanya sebatas sunnah saja
Pendapat tersebut diambil setidaknya berdasarkan dua hal.
Pertama : analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Quran
memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi
tidak diperintahkan dalam pernikahan. Oleh karena itu, apabila
saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi
lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan.
Kedua : adanya hadits yang memerintahkan untuk memberitakan
pernikahan. Hadits tersebut adalah:


Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan
diangap merupakan esensi dari perintah adanya saksi. Dengan
kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah,
melainkan

hanya

agar

pernikahan

tersebut

diketahui

oleh

masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah


terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan.
Berlawanan dengan imam Malik, mayoritas ulama menyatakan
bahwa saksi merupakan syarat sah dalam pernikahan. Dengan
demikian,

akad

pernikahan
12

yang

dilaksanakan

tanpa

saksi

hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan pada


beberapa

hadits

yang

telah

secara

jelas

menyebutkan

disyaratkannya saksi dalam nikah. Di antara hadits-hadits tersebut


ialah:


.
dan



Selain itu, saksi harus hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup

hanya dengan diberitakan saja. Menurut mereka, pernikahan


merupakan hal yang berbeda dengan jual beli. Tujuan dari jual beli
adalah

harta

benda,

sedangkan

tujuan

pernikahan

adalah

memperoleh kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus


dilakukan dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi.
Adapun

terkait

dengan

persyaratan

adanya

saksi

dalam

pernikahan, ulama sepakat memberikan kriteria bagi orang-orang


yang dijadikan saksi sebagai berikut:
(1). Islam, (2). Akil balig, (3). Berakal, (4). Mendengar rangkaian
kalimat akad dan memahaminya. Dengan demikian, anak kecil,
orang gila atau mabuk dan non Muslim tidak dapat diterima
persaksiannya.
Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai
seorang yang adil masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus orang
yang adil. Siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga
berhak menjadi saksi. Menurut kriteria ini, pernikahan dengan dua
saksi yang fasiq dihukumi sah.
Ulama Shafiiyah, Malikiyah

dan Hanabilah menyatakan

bahwa saksi haruslah orang yang adil, sebagaimana tersebut



dalam hadits


.





Terlepas dari status adil maupun tidak, madhhab Shafii dan
Hambali menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus
laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua

13

orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. Pendapat ini


berdasarkan pada hadits nabi :

.. , ,

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu


orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan
diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi
pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta benda). Oleh
karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta
benda, maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan1
3.3.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut
ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan
sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda;
yakni
1. Hukum pernikahannya
2. Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan
syariat,

dan

pelakunya

tidak

boleh

dianggap

melakukan

tindak

kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu


perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di
dunia

dan

di

akherat,

ketika

perbuatan

tersebut

terkategori

mengerjakan yang haram dan meninggalkan yang wajib. Seseorang


baru

absah

dinyatakan

melakukan

kemaksiyatan

ketika

ia

telah

mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban


yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatanperbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang
tersebut
sehingga

tidak

boleh

berhak

dinyatakan

mendapatkan

telah
sanksi

melakukan
di

dunia

kemaksiyatan;
maupun

di

akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi


kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah;
atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
1

Kitabul Fiqh Alaa Madzahibul Arbaah Talif Abdurrohman bin Muhammad uwadl Al jazary, Bab. Saksi Hal. 29

14

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang


tersebut;
1) Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya;
2) Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul
saw, dan lain sebagainya;
3) Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar
peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturanaturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak
dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai
tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan
sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi
rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.
3.4.
Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan
1. Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat;
2. Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak
ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai;
3. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang

sudah

menikah atau belum.


Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak
disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya
fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan
muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan
tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika
dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki
dokumen

resmi,

maka

dalam

semua

kasus

yang

membutuhkan

persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan


hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran
untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi
relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri
dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
3.5.

Bahaya Terselubung Surat Nikah


15

Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi


positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali
juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di
tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang
aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum
ijtimaaiy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama
sekali.Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan
surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali,
namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan
agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi
sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak
mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan
menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syariy benarbenar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan
perzinaan atau hubungan tidak syariy antara suami isteri yang sudah
bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak
melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih
memegang surat nikah.
Ketika suami isteri itu merujuk kembali hubungan suami isteri padahal
mereka sudah bercerai, maka mereka akan terus merasa aman dengan
perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktuwaktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji,
keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami
isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk
mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara,
akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum
syariat agar masyarakat semakin memahami hukum syariat, dan
mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di
16

tengah-tengah

masyarakat,

agar

disalahgunakan.

17

surat

nikah

tidak

justru

BAB IV
PENUTUP
2.1.
Kesimpulan
1. Bahwa penyiaran pernikahan dan adanya surat nikah lebih banyak
menimbulkan hal positif daripada hal negatif
2. Penguasa (dalam hal ini pemerintah) harus mengawasi dengan ketat
penggunaan

dan

peredaran

surat

nikah

di

tengah-tengah

masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan


3. Hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni dari Aishah

tentang

pernikahan tanpa wali dan saksi adalah hadith dhaif.


4. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat
sah nikah. Dengan kata lain, pernikahan tanpa adanya saksi adalah
tidak sah. Bagi wanita yang tidak memiliki wali, maka yang menjadi
walinya adalah hakim.
5. Selain imam Malik dan

madhhab

Shiah,

mayoritas

ulama

menyepakati bahwa saksi juga merupakan syarat yang menentukan


dalam sah atau tidaknya pernikahan. Dengan demikian, tidak sah
hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.
6. Pelaku nikah siri hendaknya tidak dipidanakan karena nikah siri dapat
terjadi oleh berbagai faktor dan secara syariat pernikahan tersebut
sah apabila terdapat
a) Wali
b) Dua orang saksi, dan
c) Ijab qabul.
2.2.
Saran
Sebaiknya pembahasan mengenai nikah siri tidak hanya dilakukan oleh
kalangan tertentu saja namun akan lebih baik apabila disosialisasikan
pada masyarakat baik-buruknya dan berbagai pro-kontra yang terjadi
agar masyarakat dapat terbantu dalam mengambil keputusan dan
mengurangi terjadinya pernikahan siri. Apabila sosialisasi agak sulit
dapat dilakukan dengan terjunnya berbagai pakar yang memahami
detail hukum dan seluk-beluk nikah siri ini untuk berdiskusi langsung
dengan masyarakat.
18

19

DAFTAR PUSTAKA

Artikel Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang


Perkawinan
Abdurrohman bin Muhammad uwadl Al jazary, Kitabul Fiqh Alaa Madzahibul
Arbaah
Maktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruqutni no 3580
Ali, Ibn Umar al-Daruqutni.Sunan al-Daruqutni.Beirut: Dar al-Kitab
al-Alamiyah. 1985
Ali, Muhammad al-Shabuni.Tafsir ayat al-Ahkam. Syiria: Maktabah al-Ghazali,
Juz II. 1988

20

DAFTAR ISI

Daftar isi i
BAB I PENDAHULUAN............................................................. 1
1.1.....................................................................................................Latar
Belakang...................................................................................... 1
1.2.....................................................................................................Tujuan
1
1.3.....................................................................................................Manfaa
t................................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI........................................................ 3
2.1....................................................................................................Definisi
Nikah Siri..................................................................................... 3
2.2....................................................................................................Landas
an Hukum Terkait Catatan Pernikahan......................................... 3
BAB III PEMBAHASAN............................................................. 5
3.1....................................................................................................Nikah
Siri Menurut Hukum Negara........................................................ 5
3.2....................................................................................................Nikah
Siri Menurut Islam....................................................................... 5
3.3....................................................................................................Nikah
Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil......................12
3.4....................................................................................................Hal-Hal
Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan..........................13
3.5....................................................................................................Bahaya
Terselubung Surat Nikah..............................................................14
21

BAB IV PENUTUP...................................................................16
4.1....................................................................................................Kesimp
ulan.............................................................................................16
4.2....................................................................................................Saran
....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................17

22

Anda mungkin juga menyukai