Anda di halaman 1dari 9

A.

DEFINISI EPILEPSI
Epilepsi adalah suatu kondisi yang dicirikan dengan terjadinya seizure berulang akibat
kelainan dari sel saraf pada otak. Epilepsi memiliki kecenderungan untuk diderita seumur hidup
oleh pengidapnya, dan seizure yang memicu epilepsi dapat datang sewaktu-waktu baik dengan
pemicu maupun tanpa pemicu. Akan tetapi beberapa pengidap epilepsi hanya mengalami
keadaan tersebut selama beberapa saat pada umur-umur tertentu. Berdasarkan pemicunya,
epilepsi dibedakan menjadi dua maca yaitu idiopathic epilepsi dimana penyebabnya tidak
diketahui dan symptomatic epilepsi dimana penyebab epilepsi dapat teridentifikasi (Dekker,
2002).
Seizure merupakan dampak dari adanya sel saraf pada otak yag bermuatan secara
berlebihan. Hal in merupakan sebuah kondisi yang tidak normal yang mengakibatkan kelainan
pada tubuh. Seringkali, tubuh mengalami ketidaksadaran, aktivitas otot berlebih, atau terkadang
adanya sensasi panca indra yangg tidak normal. Berdasarkan daerah terjadinya kelebihan muatan
tersebut, seizure dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu partial ketika seizure hanya terjadi
pada bagian tertentu dalam otak dan fokal seizure ketika terjadi kelebihan muatan pada sel saraf
yang lama kelamaan menyebar (Dekker, 2002).
Pada dasarnya seizure merupakan kondisi yang sering dialami oleh manusia. Akan tetapi,
tidak semua seizure menyebabkan epilepsi. Seizure yang menyebabkan epilepsi apabila terjadi
berulang dan semakin meluas. Hal ini mengakibatkan terjadinya kelebihan muatan pada sel saraf
yang akhirnya meningkatkan penghantaran beberapa neurotransmitter dan mengakibatkan respon
yang berlebihan khususnya pada otot (Fisher, 2010).
Seperti yang sudah dijelaskan, seizure dibagi menjadi dua golongan, dan masing-masing
golongan akan dibagi menjadi sub golongan lagi. Penggolongan tersebut antara lain :
1. Partial Seizure
Dibedakan menjadi simple seizure dan complex seizure.
a. Simple seizure merupakan seizure yang terjadi tanpa diikuti dengan kehilangan
kesadaran maupun ingatan sebelum seizure terjadi. Simple seizure ini dibedakan lagi
menjadi sensory, motor, sensory-motor, phychic, dan autonomic. Seizure tipe ini
biasanya hanya ditandai dengan sensasi kesemutan, penciuman dan perasa yang aneh,
sensasi sentuhan, dan bila terjadi penyebaran seizure hanya terjadi pusing hingga
mual (Fisher, 2010).
b. Complex seizure merupakan seizure yang terjadi diikuti dengan kehilangan kesadaran
dan memori sebelum seizure terjadi. Complex seizure dibedakan menjadi tanpa atau
dengan aura dan tanpa atau dengan automtisme. Seizure tipe ini sering disebut
temporal lobe seizure. Penderita kelainan ini dapat merasakan sensasi deja vu, mual
1

hebat, rasa panas, dan tersengat listrik sebelu terjadi seizure. Sensasi-sensasi inilah
yang disebut dengan aura. Sedangkan beberapa penderita akan mengalami
kekosongan pikiran hingga beberapa menit sebelum seizure yanh disebut automatism
(Fisher, 2010).
2. Generalized Seizure dibedakan menjadi beberapa golongan lagi, yaitu absence (petit mal),
Tonic-clonic, Myoclonic, atonic, dan tonic seizure.
a. Absence seizure biasanya ditemukan pada masa anak-anak, tetapi dapat terjadi hingga
dewasa. Absence seizure muncul dengan sensasi memandang jauh kosong beberapa detik,
terkadang terjadi pandangan jauh. Seizure ini sulit dibedakan dengan complex seizure,
biasanya dilakukan EEG sebagai media pembantu (Fisher, 2010).
b. Tonic-clonic Seizure terjadi dengan diawali oleh kehilangan kesadaran dan menjadi kaku,
disebut fase tonic, diikuti dengan fase clonic dimana terjadi kontraksi otot anggota tubuh
yang cepat. Ciri khas dari fase ini adalah terjadinya kondisi klinis dimana mata berputar
ke atas dan pasien akan membuat suara seperti tangisan akibat kontraksi dari otot
pernafasan. Seizure ini terjadi selama tiga menit, fase seizure disebut ictal dan fase
setelah seizure disebut post ictal (Fisher, 2010).
c. Myoclonic seizure merupakan seizure dengan adanya kontraksi otot berlebih namun tidak
beritme (tidak seperti clonic seizure yang terjadi dalam ritme tertentu). Seizure ini tidak
banyak terjadi pada penderita epilepsi (Fisher, 2010).
d. Atonic seizure merupakan serangan epilepsi yang ditandai dengan terjatuhnya pasien
secara langsung. Penderita seizure tipe ini akan mengalami kelumpuhan dan kemudian
terjatuh. Untuk melakukan pengamanan biasanya digunakan pelindung kepala pada
penderita (Fisher, 2010).
e. Tonic dan Clonic seizure, merupakan dua jenis seizure yang berbeda. Pada tonic seizure
terjadi kekakuan otot, ditandai dengan lengan atau kaki kaku memanjang ke arah atas.
Seizure tonic bisa diikuti dengan kehilangan kesadaran maupun tidak. Sedangkan clonic
seizure merupakan seizure dengan kondisi klinik kejang otot yang terjadi secara
berlebihan (Fisher, 2010).
Unclassifiable Seizure merupakan seizure yang terjadi secara kontinu dengan pola yang
tidak terduga. Terkadang dimulai dengan partial seizure dengan tipe-tipe tertentu dilanjutkan
dengan generalized seizure. Pengobatan seizure tipe ini dilakukan dengan cara meningkatkan
kemampuan otak untuk membatasi seizure agar tidak semakin meluas. Pada dewasa, sebanyak
40% complex seizure terjadi, 20% simple partial seizure, 20% clonic-tonic seizure, 10% absence
seizure, dan 10% lagi seizure yang lain (Fisher, 2010).
Dalam epilepsi, sering dikenal istilah status epilepticus. Status epilepticus dikatakan
ketika terjadi seizure paling tidak selama setengah jam, atau berulang sehingga tidak terdapat
jeda antara serangan dan masa penyembuhan. Status epilepticus merupakan kondisi medis yang
2

mendesak dan pasien diharuskan dibawa ke rumah sakit dan diberikan terapi berupa injeksi AED
(Anti Epileptic Drug). Status epilepticus yang tidak tertangani akan mengakibatkan kerusakan
otak (cerebral necrosis) dengan beberapa kelainan dan diikuti kematian (Dekker, 2002).
B. PATOFISIOLOGI EPILEPSI
Sel saraf normal akan mengalami suatu keadaan dimana terjadi perubahan muatan antara
sisi di dalam sel dinamakan potensial aksi. Potensial aksi ini terjadi karena masuknya ion Na + ke
dalam sel saraf diikuti keluarnya ion K+ diperantarai protein Na/K ATPase. Hal ini menyebabkan
bagian yang dimasuki ion Na+ menjadi lebih positif dan bagian luar menjadi lebih negatif
sehingga mengalami depolarisasi. Proses depolarisasi ini akan terus berjalan melalui akson
hingga menuju bagian pra-sinaps. Bagian pra-sinaps yang terdepolarisasi akan mengalami
pelepasan ion Ca2+ yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter (Sherwood, 2007).
Neurotransmitter merupakan senyawa yang dilepaskan oleh ujung sinaps dari neuron
menuju ujung sinaps neuron lain maupun sel yang dituju untuk melakukan aktivitas yang
diperintahkan oleh otak. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan
listrik. Beberapa neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi diantaranya glutamate, aspartate,
dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric
acid (GABA) dan glisin (McPhee, 2006).
Pada penderita epilepsi, terjadi gangguan dari siklus depolarisasi sel saraf dan gangguan
pada sinaps neuron sehingga penghantaran neurotransmitternya terganggu. Adanya gangguangangguan mekanisme neuron inhibitorik akibat perubahan kanal-kanal ion atau akibat cedera
neuron dan sinaps inhibitorik akan menyebabkan fokus kejang. Selain itu, apabila sirkuit
eksitatorik lokal ditingkatkan oleh reorganisasi jaringan neuron setelah cedera otak, sinkornisasi
kelompok-kelompok neuron dapat terjadi. Penumpukan kalium yang kemudian akan dilepaskan
ke ujung sel saraf akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter menuju saraf eksitatorik. Hal
ini melibatkan peningkatan influks kalsium melalui kanal bergerbang-tegangan dan melalui
kanal ion bergerbang-reseptor glutamate tipe N-metil-d-aspartat (NMDA). Kanal bergerbangreseptor NMDA cenderung melewatkan ion kalsium, tetapi relatif inaktif sewaktu transmisi
sinaps normal karena kanal ini dihambat oleh ion magnesium. Hambatan oleh magnesium
dihilangkan oleh depolarisasi. Sebaliknya, efek neurotransmisi sinaps inhibitorik tampaknya
berkurang dengan stimulasi berfrekuensi tinggi. Hal ini sebagian mungkin terjadi akibat
desensitisasi cepat reseptor GABA pada konsentrasi GABA yang tinggi. Efek akhir berbagai

perubahan ini adalah rekrutmen neuron-neuron sekitar untuk melepaskan impuls secara bersamasama dan menimbulkan bangkitan/kejang (McPhee, 2006).
C. SASARAN DAN STRATEGI TERAPI

Diagnosis Epilepsi

Sasaran dari terapi ini yaitu mengontrol agar tidak terjadi kejang serta meminimalkan
efek samping yang dapat ditimbulkan dari terapi ini. Terapi ini memiliki strategi untuk mencegah

Terapi dimulai dengan salah satu obat antiepilespi, dipilih obat antgi epilepsi yang didasarkan pada klasifik

maupun menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan kanal ion
serta mengatur ketersediaan neurotransmitter. Terapi yang diberikan harus sesuai dengan jenis
epilepsinya.

Box 3 : Kejang sembuh?

Dalam tata laksana terapi


Ya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu secara non farmakologi dan
farmakologi.

Tidak

1. Terapi nonfarmakologis
Efek Samping
untuktidak
epilepsi
dapat
meliputi
ditoleransi?
:
Efek Samping tidak dapat d
a. Stimulasi vagus nerve (VNS) merupakan tindakan implantasi medis yang disetujui oleh
Tidak
FDA untuk
penggunaannya sebagaiYaterapi penunjang dalam mengurangi frekuensi
Tidak kejang

pada dewasa dan remaja


dengan
dari diturunkan
12 tahun dengan onset kejang parsial.
Dosis
obatusia
antilebih
epilepsy

Meningkatkan dosis obat anti epilepsi kembali box


Mekanisme kerja sebagai antikejang dari VNS
belum diketahui pada manusia, tetapi studi

pada hewan mengindikasikan bahwa VNS mempunyai banyak aktivitas. Studi pada

Apakah kualitas hidupnya optimal?

Turunkan
dosis dari
obat
anti epilepsi
yang pertama d
manusia memperlihatkan bahwa VNS mengubah
konsentrasi
cairan
serebrospinal
terhadap
Box 4 : Kejang sembuh?

penghambatan dan stimulasi neurotransmitter dan aktivitas pada area spesifik otak yang
mengatur
peningkatan aliran darah (Well, 2009).
Ya aktivitas kejang melalui
Tidak
b. Operasi merupakan terapi pilihan pada pasien tertentuYadengan epilepsiTidak
fokal yang susah
disembuhkan.
Keberhasilan dilaporkan pada 80-90% terpilih untuk operasi. Dapat terlihat
Lanjutkan pengobatan

Menyelidiki masalah kualitas hidup, secara tepat, kembali ke box


3 Samping tidak dapat
Mempertimbangkan penarikan obat antieplispi yang pertama. Efek
Dan tetap
gunakan yang

bahwa pembedahan bisa mengurangi resiko kematian, tetapi juga meningkatkan depresi
dan kecemasan pada pasien epilepsi (Well, 2009).
Tidak
c. Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan tinggi lemak (trigliserida : mentega, krim,

Kejang sembuh setelah 2 tahun?


mayonais) dan rendah karbohidrat dan protein sehingga memicu keadaan ketosis. Melalui
Meningkatkan dosis dari obat antiepilepsi kedua dan mengevaluasi interaksi, menge

diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam otak
Tidak (ketosis). Keadaan ketosis ini dipercaya dapat
sehinggaYa menjadi tinggi kadarnya

menghasilkan efek antikonvulsi, yang dapat mengurangi simptom epilepsi dengan


Menuju
box 3
Mempertimbangkan
penarikan
obat
anti epilepsi
mengurangi frekuensi
dan
derajat
kejang,
meskipun bagaimana mekanisme biokimia

peristiwa ini belum diketahui dengan pasti (Well, 2009).

Menghilankan obat anti epilepsy yang tidak efektive, dan meng


Kejang sembuh?
Lanjutkan terapi

Ya

Tidak

Mengulangi diagnosis dengan memperjatikan tindakan pembedahan atau menggunkana o


4

2. Terapi farmakologi
Pilihan Pengobatan tergantung pada jenis epilepsi dan efek samping obat-spesifik dan
preferensi pasien. Pasien yang memiliki dua atau lebih sizure umumnya harus dimulai pada
AED.
FENITOIN
Fenitoin yang efektif untuk semua tipe seizure parsial
dan seizure tonic-klonic. Fenitoin pertama kali disintesisi
pada tahun 1908 oleh Biltz (Hardman, 2003).
Mekanisme kerja fenitoin
Fenitoin memiliki mekanisme kerja dengan membatasi perangsangan berulang dari
potensial aksi , perangsangan berulang ini timbul akibat dari depolarisasi terus menerus pada
neuron spinalis. Fenitoin menstabilkan membrane sel saraf terhadap depolarisasi dengan cara
mengurangi masuknya ion ion natrium dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama
depolarisasi atau dengan kata lain menginaktivasi kanal ion natrium. Efek fenitoin ini akan
lebih terlihat pada membran yang terdepolarisasi. Fenitoin dapat mengurangi frekuensi dan
keparahan terjadinya kekejangan , tanpa menyebabkan depresi pada SSP. Fenitoin ini juga
menekan dan mengurangi influks ion kalsium dalam depolarisasi dan menekan perangsanga
sel saraf yang berulang ulang (Hardman, 2003).
Fenitoin sangat efektif untuk semua epilepsi jenis parsial dari yang sederhana hingga
kompleks, selain itu juga jenis tonik klonik dan juga mengobati status eliptikus yang
disebabkan oleh kejang tonik klonik yang berulang. Akan tetapi untuk jenis absence seizure
fenitoin tidaklah efektif digunakan karena justru membuat menjadi lebih buruk kondisinya.
Efek samping dari fenitoin yang umum adalah masalah gastrointestinal yang meliputi mual
hingga muntah. Hal ini dikarenakan fenitoin akan menghalangi proses signaling pada sistem
saraf sehingga terjadi gangguan dalam mekanisma kontraksi-relaksasi otot polos. Selain tiu
terjadi pula depresi detak jantung pada penggunaan secara kronis, dikarenakan adanya
gangguan impuls saraf pada otot jantung (Hardman, 2003).
Interaksi obat fenetoin adalah sebagai berikut :
a. Inhibisi terhadap metabolisme fenitoin : inhibisi metabolisme mikrosomal fenitoin dalam
hati disebabkan oleh kloramfenikol, dikumarol, simetidin, sulfonamid dan isoniazid. Bila
digunakan secara kronis, obat-obat ini meningkatkan konsentrasi fenitoin dalam plasma
dengan mencegah metabolismenya. Penurunan konsentrasi fenitoin dalam plasma
disebabkan oleh karbamazepin yang memperkuat metabolisme fenitoin (Mycek, 2001).
6

b. Peningkatan metabolisme obat-obat lain oleh fenitoin : fenitoin menginduksi sistem P-450
yang menyebabkan suatu peningkatkan dalam metabolisme antiepilepsi lain, antikoagulan,
kontrasepsi oral, kuinidin, doksiisiklin, siklosporin, mexiletine, metadon, dan levodopa
(Mycek, 2001).
KHUSUS DALAM PERTIMBANGAN PASIEN WANITA
Estrogen mengalami efek aktivasi seizure, sedangkan progesteron mengalami efek
protektif seizure. Enzim-inducing AED, termasuk topiramate dan oxcarbazepine, dapat
menyebabkan kegagalan pengobatan pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral, kontrol
bentuk suplemen kelahiran dianjurkan jika perdarahan terjadi terobosan. Untuk epilepsi
catamenial (sizure sesaat sebelum atau selama menstruasi) atau seizure yang terjadi pada saat
ovulasi, AED konvensional jadi alternatif pertama, tetapi terapi hormonal (agen progestasional)
mungkin juga effective.intermittent acetazolamideyang berjangka juga telah digunakan (Well,
2009).
Sekitar 25% sampai 30% dari wanita mengalami peningkatan frekuensi sizure selama
kehamilan, dan persentase yang sama mengalami penurunan frekuensi. AED monoterapi lebih
disukai pada kehamilan. Clearance fenitoin, karbamazepin, Phenobarbital, etyhosuximide,
lamotrigin, dan clorazepate meningkat selama kehamilan, dan ikatan protein dapat diubah.
Kejadian tertinggi dari hasil kehamilan yang merugikan pada wanita dengan epilepsi, dan risiko
cacat bawaan adalah 4% sampai 6% (dua kali lebih tinggi pada wanita nonepileptic) (Well,
2009).
Barbiturat dan fenitoin berhubungan dengan kelainan jantung bawaan dan bibir sumbing.
(0,5% -1%) dan hipospadia. Hasil yang merugikan lainnya adalah pertumbuhan, phsychomotor
dan keterbelakangan mental. Beberapa peristiwa ini dapat dicegah dengan asupan folat, vitamin
prenatal dengan asam folat (sekitar 0,4 sampai 5 mg / hari) harus diberikan kepada wanita
melahirkan anak dengan potensi mengambil AED. Dosis folat tinggi harus digunakan pada
wanita dengan riwayat kehamilan sebelumnya dengan cacat saluran saraf. Vitamin K, 10 mg /
hari secara oral, diberikan kepada ibu selama bulan terakhir sebelum persalinan dapat mencegah
gangguan hemoragik neonatal (Well, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
7

Dekker, P.A., 2002, A Manual For Medical And Clinical Officers In Africa, WHO, Geneva.
Fisher, R., 2010, Overview of Epilepsy, Stanford Neurology, California.
Hardman, Joel, G., Limbird, Lee, E., 2003, Dasar Farmakologi Terapi, ed: 5, vol: 1, Penerbit
Buku Kedokteran ECG, Jakarta.
McPhee, S., J., 2006, Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5, Mc
Graw Hill, Phipadelphia, pp : 190-193.
Mycek, M.J., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi II, Widya Meika, Jakarta, Hal. 147148.
Sherwood, L., 2007, Human Physiology : From Cells to System, 6th Ed, Cengage Learning,
Singapore, pp : 95-128.
Wells, Barbara, G., Dkk, 2009, Pharmacotherapy Handbook, 7th edition, Mc Graw Hill, New
York.

MAKALAH FARMAKOTERAPI 2

EPILEPSI

Agriva Devaly A.

(108114113)

Angelia Rosari

(108114115)

Yudhytha Anggarhani

(108114116)

Evan Gunawan

(108114117)

Stefanus Indra G

(108114118)

Sherly Damima

(108114119)

Desi Irwanta

(108114124)

Theresia Nurida A.

(108114126)

Lukas Surya

(108114128)

Trifonia Rosa K.

(108114131)

Retno Pamungkas

(108114135)

FKK-B 2010

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013

Anda mungkin juga menyukai