Anda di halaman 1dari 27

PNEUMOTORAKS

REFERAT

Oleh:
Aissyiyah Nur An Nisa

0610710006

Amaylia Fitria Dewi

0610710009

Ardhan Prahara Putra

0610710017

Fahima Hidayatullah P.

0610710044

Marina Yunita

0610710079

Pembimbing :
dr. Soebagjo, Sp.B(K)TKV

LABORATORIUM/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR
MALANG
2011

iii

HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
PNEUMOTORAKS

Oleh :
Aissyiyah Nur An Nisa

0610710006

Amaylia Fitria Dewi

0610710009

Ardhan Prahara Putra

0610710017

Fahima Hidayatullah P.

0610710044

Marina Yunita

0610710079

Menyetujui :

Pembimbing I

dr. Astrid Jessica

Pembimbing II

dr. Soebagjo, Sp.B-(K)TKV

iv

DAFTAR ISI

Halaman
Judul ....................................................................................................

Halaman Pengesahan.............................................................................

ii

Daftar Isi ...............................................................................................

iii

BAB I: PENDAHULUAN ......................................................................

1.1 Latar Belakang ..........................................................................

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................

2.1 Definisi......................................................................................

2.2 Epidemologi ..............................................................................

2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekasnisme Kejadian .

2.3.1 Pneumotoraks Spontan ...................................................

2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer.............................

2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder ......

2.3.2 Pneumotoraks Traumatik .................................................

10

2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Latrogenik.....................

10

2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Latrogenik.............

10

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Berdasarkan


jenis Fistulanya...........................................................................

11

2.4.1 Pneumotoraks Tertutup.....................................................

11

2.4.2 Pneumotoraks Terbuka.....................................................

12

2.4.3 Pneumotoraks Ventil.........................................................

12

2.5 Patofisiologi Pneumotoraks ......................................................

13

2.6 Diagnosis Pneumotoraks...........................................................

16

2.6.1 Keluhan Subyektif.............................................................

16

2.6.2 Pemeriksaan Fisik............................................................

17

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................

17

2.7 Penatalaksanaan Pneumotoraks ..............................................

18

2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks.....................

18

2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup.........................

18

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka.....................

19

2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumotoraks.........................

19

2.7.4.1 Needle Theoracostomy.........................................

19

2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube......................................

20

2.8 Komplikasi Pneumotoraks ........................................................

20

BAB III: PENUTUP....................................................................

22

3.1 Kesimpulan................................................................................

22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

23

vi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam

rongga pleura, yaitu, di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal paruparu. Hasilnya adalah kolaps dari paru-paru pada sisi yang terkena. Udara bisa
masuk ruang intrapleural melalui komunikasi dari dinding dada (yaitu, trauma)
atau melalui parenkim paru-paru di pleura viceralis.
Hasil dari terapi pada 480 penderita dengan fraktur multiple costa dan
dihubungkan pada trauma dada yang telah dianalisa. Berdasarkan dari trauma;
55 (25,5%) pasien pneumotoraks yang berkembang menjadi 71 (32,8%)hemathorax, 90(41,7%)-hemopneumotoraks. Terapi konservatif dari pneumo dan
hemotoraks dalam beberapa kasus kebanyakan (biasanya dilakukan tusukan
pada rongga pleura, jarang dilakukan drainage).

Pada 47 penderita yang

berkaitan dengan trauma yang dengan forced position (posisi setengah duduk),
Bertujuan untuk kateterisasi pada cavum pleura dengan menggunakan stiletto
trocar melengkung dibawah sudut 60 derajat. Pada terapi clotting hematothoraks
digunakan streptokinase yang tercatat berefek positif pada 6 dari 7 pasien.
Indikasi untuk torakotomi dibatasi pada pasien dengan trauma dada yang
berhubungan dengan shock dan kehilangan darah akut (Rebecca B, 2011).
1.2.

Rumusan Masalah
1. Apa etiologi pneumotoraks?
2. Bagaimana cara menegakkan diagnlosa pneumotoraks?
3. Bagaimana penatalaksanaan pneumotoraks?
4. Apa saja saja komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks?

1. 3

Tujuan Penelitian

vii

1. Untuk mengetahui etiologi pneumotoraks


2. Untuk dapat menegakkan diagnosa pneumotoraks
3. Untuk mengetahui penetalaksanaan pneumotoraks
4. Untuk

mengetahui

komplikasi

yang

pneumotoraks

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

dapat

terjadi

pada

viii

2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada
diluar paru yang menyebabkan paru kolaps.
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada
kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam
kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang
berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks
jenis ini disebut sebagai closed pneumotoraks. Apabila kebocoran
pleura viseralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk
saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat
ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak
sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan
menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat
hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus
respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam
rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum
pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru
ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat,
akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut.
Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).

ix

2.2 Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks
spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks
yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang
mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi menjadi pneumotoraks
primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun
sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder,
namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan
6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada
perokok berat dibanding non perokok. Pneumotoraks spontan sering
terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga
kehidupan (20-40 tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh
trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan
diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks
iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks yang sangat sering terjadi

(Berck, 2010).
Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
Seks : Lebih sering pada pria
Pneumotoraks spontan primer
Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia
10-30 tahun
Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per
tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada

perempuan
Pneumotoraks spontan sekunder
Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus
per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000
orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008)

Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per

tahun dan 6 per 100.000 perempuan per tahunnya.


Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan

primer jarang terjadi di atas usia 40.


Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.
Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk
pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000

orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun.
Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder
pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam
waktu 3 tahun. (Korom S, 2011)

2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian


2.3.1 Pneumotoraks spontan
2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paruparu yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka
kejadian pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria
pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007).
Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia
antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah
ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara
yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai
kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai
PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian
serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini
(Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP
adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.

xi

Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa


perubahan

emfisematous

paru-paru.

Hubungan

tinggi

badan

dengan

peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura


meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru
orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat
mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena
tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004).
Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara
spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura
sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen
sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat
kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat
dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan
atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS)
(Heffner and Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society
(BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan
untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik
dan PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007).
Berikut adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP
(Mackenzie and Gray, 2007).
a. Clinically stable small pneumotoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan
pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala
minimal adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan.
Panduan ACCP menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6

xii

jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan dengan instruksi lengkap,


dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya.
b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi.
BTS merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini
pertama pada PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks
kecil

simtomatis.

CXR

dilakukan

setelah

aspirasi

untuk

menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak ada


perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal
kurang dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila
aspirasi pertama sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan
tidak berhasil maka pemasangan drain interkostal harus dilakukan.
c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus
dapat mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas.
CXR dilakukan setiap 24 jam.
d. Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat
kebocoran udara persisten atau paru-paru gagal melakukan reekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi dilakukannya operasi meliputi
terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua, pneumotoraks
kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti
penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya
menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan
yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc
pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy (Mackenzie and
Gray, 2007)

xiii

Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak


mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi
antara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien
dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila
terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara
(menyebabkan

reekspansi

yang

tidak

adekuat).

Suction

hanya

dapat

dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko


terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter
ahli paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume besar
dan tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali
diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman drain dapat
berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka
keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila
terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan
tension pneumotoraks.

2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder


PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan
penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD,
fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga
dapat

terjadi

ada

penyakit

intersisiel

paru

seperti

sarcoidosis,

lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis.


Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang
melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat
adanya kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat.
Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif

xiv

muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan


penanda

signifikan

untuk

mortalitas

pasien

COPD.

Setiap

kejadian

pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat.


Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis
tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest
tube untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna
mencegaj rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi
dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit
paru yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase
melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi
paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan
terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi
dan mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).

2.3.2 Pneumotoraks Traumatik


2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat
pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif
dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter
vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial,
aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya.
Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi
jarm halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah
ukuran dan kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko
pneumotoraks meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan

xv

kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur transthoracic,


resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma,
2009).
2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang
merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan
udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju
pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka
tembak secara langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya
hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda ajam
(Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis
terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan
peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli.
Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju
pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada
pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura.
Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus
paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten
dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).
Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat
barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik
dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,
volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat
di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang
terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks.

xvi

Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam,
udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan
sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan
tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat
menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya


2.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan
di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun
berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.
Pada kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih
ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga
pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru
atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena
tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff, 2009).
2.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan
antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia
luar karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka
tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan
perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat
inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan
normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi
dinding dada yang terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009).

xvii

2.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)


Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura
yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di
pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk
melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus
menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam
rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga
pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).
2.5 Patofisiologi Pneumotoraks
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,
iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan
primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada
organ paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostic ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit
paru yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula
subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer
dengan tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus
pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok
yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian
dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan
bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan
perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun
sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang
diinduksi oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag.

xviii

Proses ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem


oksidan-antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat
proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi
kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi
oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai
tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut
ditutup.

Paru-paru

akan

bertambah

kecil

dengan

bertambah

luasnya

pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat


berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan
dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus
pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti:
sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru
yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.
Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke
rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya
pneumotoraks spontan sekunder adalah:

Penyakit saluran napas


o

PPOK

Kistik fibrosis

xix

Asma bronchial

Penyakit infeksi paru


o

Pneumocystic carinii pneumonia

Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram


negatif atau staphylokokus)

Penyakit paru interstitial


o

Sarkoidosis

Fibrosis paru idiopatik

Granulomatosis sel langerhans

Limfangioleimiomatous

Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung


o

Artritis rheumatoid

Spondilitis ankilosing

Polimiositis dan dermatomiosis

Sleroderma

Sindrom Marfan

Sindrom Ethers-Danlos

Kanker
o

Sarkoma

Kanker paru

Endometriosis toraksis
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi

maupun non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga


dapat menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan

xx

mengempes karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding dada. Pengembangan
dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang
baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang
normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi
pada bagian yang mengalami pneumotoraks.
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis
atau bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik
(transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi
mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation).Angka
kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak
berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera
pada parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini
mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi
adanya aliran balik dari udara tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada
perawatan intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator
(ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara
balik.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga
pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke
arah kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya
hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang,
sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang
kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah
jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika
tidak ditangani secara tepat.

xxi

2.6 Diagnosis Pneumotoraks


2.6.1 Keluhan
a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya

2.6.2

b)

padasaat bernafas dalam atau batuk.


Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam,

c)
d)

apabila sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali


Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen

(cyanosis)
Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan
nafas, tertinggal pada sisi yang sakit
b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau
melebar, iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus
suara melemah atau menghilang.
c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya
tinggi
d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat

2.6.3

amforik apabila ada fistel yang cukup besar


Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi
avaskuler.
3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya
kolaps dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru
yang terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan
tumor.
4. Biasanya arah kolaps ke medial
5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan
pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang
kita kenal sebagai tension pneumothorax
6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang
berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

xxii

2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks


2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan
stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan
cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat
kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC
(airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw
thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head
tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab
mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada
pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah
lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan
dilakukan

secara

bersamaan.

Pada

pasien

dengan

pneumotoraks

perkembangan dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP
meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi
didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan
tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila
terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan
kristaloid (Boon, 2008).
2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan

simple

pneumothoraces

akan

membutuhkan

pemasangan intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces


kecil, khususnya yang hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan
untuk data diobservasi berdasarkan status klinis pasien prosedur yang
direncanakan berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang

xxiii

terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan,


atau pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi
peningkatan atau tension pneumothorax mungkin sulit atau tertunda

(Brohi,

2004).

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)


Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus
dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh
menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada
open pneumotoraks adalah menutup luka dan segera memasang intercostal
chest drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas
dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang
dan luka ditutup (Brohi, 2004).

2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax


2.7.4.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada
Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan
hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.
Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan

xxiv

cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini


mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).
2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension
pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan
pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik
untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan
hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk
melakukan surgical

thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),

tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa
terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual
dengan tekanan positif (Brohi, 2004).

2.8 Komplikasi Pneumotoraks


Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi
melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya
adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung
bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum.
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan.
Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan
peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung
terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan
curah jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema
subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat
terjadi kompresi jalan napas dan jantung (Carolan, 2010).

xxv

Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto


thoraks tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung
kiri.
Mediastinum

berhubungan

dengan

daerah

submandibula,

retrofaringeal, dan selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan,
2010). Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut
dan bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan
terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah
radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah
keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan
pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan
pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

BAB III
PENUTUP

xxvi

3.1 Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum
pleura akibat robeknya pleura viseralis atau robeknya dinding dada dan
pleura parietalis
2. Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kejadian yakni
spontan dan primer, jenis fistel menjadi simple dan tension pneumotoraks,
dan lokalisasinya
3. Diagnosa pneumotoraks ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan
fisik, serta ditunjang oleh pemeriksaan radiologis
4. Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan
Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan
seperti pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan
berdasarkan jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien
5. Komplikasi yang dapat berkembang dari kejadian pneumotoraks antara lain
emfisema subkutis dan pneumomediastinum dapat berlanjut menjadi depresi
saluran napas gangguan kontraksi jantung dan berujung pada kematian

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Arief

Airlangga University Press


N,
Syahruddin
E.
2008.

Pneumotoraks.

http://www.pulmo-

ui.com/tesis/PratamaAD.pdf. Diakses tanggal 23 September 2011 jam


21.00

xxvii

Bascom

R.

2006.

Pneumothorax.

http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm. Diakses tanggal


22 September 2011 jam 21.00
Bascom, R. 2011. Peumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547.
Diakses tanggal 23 September 2011 jam 21.00
Berck,
M.
2010.

Pneumothorax.

http://nefrologyners.wordpress.com/2010/11/03/pneumothorax-2/. Diakses
tanggal 25 September 2011 jam 15.20
Boowan
JG.
2006
Pneumotoraks,

Tension

and

Traumatic.

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM. Diakses tanggal 23


Brohi

September 2011 jam 20.00


K.
2004.
Chest

Trauma:

Pneumothorax-Open.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html. Diakses tanggal


Brohi

26 September 2011 jam 19.30


K.
2004.
Chest

Trauma:

Pneumothorax-Simple.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html.
Brohi

tanggal 26 September 2011 jam 19.00


K.
2004.
Chest
Trauma:

Diakses

Pneumothorax-Tension.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html.

Diakses

tanggal 26 September 2011 jam 19.00


Carolan, PL. 2010. Pneumomediastinum. Medscape Reference. Emedicine.
http://www.medscape.com/article/1003409. Diakses tanggal 29 September
2011 Jam 03.00
Chang
AK.
2007.

Pneumothorax,

Iatrogenic,

Spontaneous

and

Pneumomediastinum. http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM.
Diakses tanggal 29 September 2011 jam 03.00
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous
Korom

Pneumthorax: Therss Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.


S, Conyurt H, Missbach A, et al. 2011. Pneumothorax.
http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm. Diakses tanggal 25
September 2011. jam 15.15

xxviii

Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all
the confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of
Physicians of Edinburgh; 37:335-338
McCool
FD,
Rochester
DF,
et

al.

2008.

Pneumothorax.

http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons
%20Practice/141278/all/Pneumothorax. Diakses tanggal 25 September
2011 jam 15.00
Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains:
Subcutaneous

Emphysema,

Pneumomediastinum,

and

Pneumopericardium. Cont edu Anaesth Crit Care & Pain. 8(6): 204-209.
Oxford University Press
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 86874
Ylmaz, A, Bayramgrler, B, Yazcolu, O, nver, M, Erturul, M, Gngr, N,
Baran, R. 2002. Iatrogenic Pneumothorax: Incidence and Evaluation of
the Therapy. Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2

Anda mungkin juga menyukai