Anda di halaman 1dari 21

SMF/BAGIAN ILMU RADIOLOGI

REFERAT
RSU DR. T.C. HILLERS
APRIL 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

GAMBARAN PNEUMOTHORAX

PADA FOTO THORAX

Disusun oleh:

Michel Soeputra Mailsa Beti, S.Ked (2208020010)

Pembimbing:

dr. Martina Widayanti, M.Sc., Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU RADIOLOGI

RSU DR. T.C. HILLERS

MAUMERE

2023
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

Referat ini diajukan oleh:

Nama : Michel Soeputra Mailsa Beti, S.Ked

NIM : 2208020010

Referat ini telah disusun dan dipresentasikan dalam rangka memenuhi salah satu

syarat di Departemen Radiologi RSU T. C. Hillers Maumere.

Pembimbing Klinik

dr. Martina Widayanti, M.Sc., Sp.Rad ……………………

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...................................................ii


DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................5
2.1 Anatomi dan Fisiologi...............................................................................5
2.2 Definisi dan Epidemiologi.........................................................................6
2.3 Etiologi......................................................................................................7
2.4 Patogenesis..............................................................................................10
2.5 Gejala Klinis............................................................................................12
2.6 Pemeriksaan Penunjang Radiologis........................................................13
2.7 Prognosis.................................................................................................17
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis dan mengempiskan udara

melalui trakea yang dipengaruhi tekanan ruang untuk mempertahankan keberlangsungan

pernafasan. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu

lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga.

Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang

ringan.(1)

Pneumothorax didefinisikan sebagai adanya udara pada ruang pleura. Meskipun

tekanan intra-pleura negatif sepanjang siklus pernapasan, udara tidak dapat masuk ke dalam

ruang pleura karena jumah seluruh tekanan partial gas di kapiler darah rata-rata hanya

706mmHg. Jadi, pergerakan bersih gas dari kapiler darah menuju ruang pleura akan

membutuhkan kurang dari -54 mmHg yang sangat jarang terjadi pada keadaan normal.(2)

Pemeriksaan radiologi berperan penting dalam penegakkan diagnosis dan

pengobatan pneumothorax. Pada foto thorax akan tampak bagian pneumothorax hiperlusen

avaskuler, sela iga melebar, paru kolaps, pleural white line, dan tanda tanda pendorongan

organ ke arah kontralateral.(3)

BAB 2

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Pleura merupakan lapisan yang membungkus paru. Pleura terbagi atas 2 lapisan

yaitu pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput

tipis membrana serosa yang melapisi rongga pleura. Pada daerah yang menghadap

mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-paru seingga disebut pleura visceralis

atau pelura pulmonalis. Pleura visceralis ini membungkus paru-paru dan melekat erat

pada permukaanya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut

sebagai cavum pleura, dimana terdapat sedikit cairan pleura yang berfungsi agar

terjadi gesekan antar pleura ketika terjadi proses pernapasan.(9)

Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi

karena gerak otot pernapasan yaitu M. intercostalis dan diafragma yang

menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap masuk melalui

trakea dan bronkus. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan

mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada. Dinding dada

yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru mengembang sehingga udara

akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya bila M. Intercostalis melemas maka

dinding dada akan mengecil sehingga udara akan terdorong keluar. Sementara itu,

karena adanya tekanan intra abdominal maka diafragma akan terdorong ke atas

apabila tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks,

kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intra abdominal menyebabkan ekspirasi jika

M. Intercostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi.


(9)

5
2.2 Definisi dan Epidemiologi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam

pleura akibat robeknya pleua atau suatu keadaan dimana udara terkumpul di

dalam kavum pleura sehingga memisahkan rongga viceralis dengan parietalis

yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.(6)

Gambar 1. Gambaran pneumotoraks kiri.

Pneumothorax spontan primer biasanya terjadi pada laki-laki perokok dengan

usia 20-40 tahun. Insidensi sekitar 18-28 kasus dari 100.000 penduduk laki-laki dan

1,2-6 kasus dari 100.000 penduduk perempuan, dengan rasio antara laki-laki dan

perempuan 5:1.Walaupun perempuan lebih jarang menderita pneumothorax dibanding

laki-laki, namun pneumothorax spontan sekunder perempuan terjadi 2-5 tahun lebih

cepat daripada laki-laki.(5)

Pneumothorax spontan sekunder biasanya lebih parah dari pneumothorax

spontan primer, karena sesuai dengan pengertiannya pada pasien tersebut sudah ada

kelainan yang mendasari pada parunya. Insidensi pneumothorax spontan sekunder

adalah sekitar 6,3/100.000 penduduk setiap tahun pada laki-laki dan 2.0/100.000 pada
6
perempuan. Umur rata rata adalah pada umur 15-20 tahun lebih lebih tua dibanding

pasien dengan pneumothorax spontan primer.(14)

2.3 Etiologi

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (3,5)

1. Pneumotoraks spontan.

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini

dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara

tiba-tiba tanpa d iketahui sebabnya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan

didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya,

misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker

paru-paru, asma, dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik.

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma

penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada

maupun paru.

 Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,

yaitu:

a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi

karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.

b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi

akibat komplikasi dari tindakan medis.

7
 Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental :

Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan

atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada (biopsi

pleura).

b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)

Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara

ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,

misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk

menilai permukaan paru.

 Dan berdasarkan Jenis Fistulanya, maka pneumotoraks dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu: (3,5,6)

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax).

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam

rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi

negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru

belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun

tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan

pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax).

8
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan

bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).

Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada

tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan

menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada

saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi

mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka(rucking wound).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax).

Setiap kondisi yang menyebabkan pneumotoraks berpotensi menyebabkan

tension pneumotoraks. Dalam sebuah pneumotoraks tanpa komplikasi, sejumlah

kecil udara bocor ke dalam rongga pleura dengan hilangnya normal tekanan negatif

dan dengan demikian paru-paru kolaps. Namun, dalam tension pneumotoraks, udara

masuk ke pleura ruang dengan setiap napas menyebabkan peningkatan tekanan

positif. Saat jumlah udara yang terperangkap meningkat, tekanan menumpuk di

dada dan menyebabkan paru-paru kolaps.

 Menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (3,5,6)

1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian

kecil paru (< 50% volume paru).

9
Gambar 2. Pneumotoraks parsial

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar

paru (> 50% volume paru).

Gambar 3. Pneumotoraks totalis

2.4 Patogenesis

Tekanan dalam rongga pleura selalu negatif selama proses respirasi

berlangsung. Tekanan negatif tersebut disebabkan karena pengembangan dada.

Jaringan paru mempunyai kecenderungan untuk menjadi kolaps karena sifat yang

elastik (elastik recoil). Bila ada kebocoran antara alveoli dengan rongga pleura,

10
udara akan berpindah ke rongga pleura sampai tekanan kedua ruang tersebut sama

atau sampai kebocoran tertutup sehingga paru akan menguncup karena sifat paru

yang elastik. Hal yang serupa akan terjadi bila hubungan antara dinding dada

dengan rongga pelura.(4,8)

Pada pneumothorax spontan terjadi akibat robeknya suatu kantong udara

pleura visceralis. Penelitian yang di lakukan secara patologs membuktikan bahwa

pada pasien dengan pneumothorax spontan yang parunya tampak adanya satu atau

dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb atau bulla. Bulla merupakan suatu

kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotic yang menebal. Bleb terbentuk

dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan tentertisial ke dalam lapisan fibrosa

tipis pleura visceralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista.(4,8,9)

Pada penumothorax sekunder karena pecahnya bleb visceralis atau bula

subpleura dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Yang

paling berbahaya ialah pneumothorax ventil. Pada keadaan ini tekanan di rongga

pleura akan meningkat terus hingga paru akan menguncup total selanjutnya

mediastinum akan terdorong ke sisi lawannya (kontralateral), pendorongan

mediastinum inilah yang menyebabkan gangguan aliran darah karena tertekuknya

pembuluh darah. Bila gangguannya hebat dapat terjadi syok sampai dengan

kematian.(4,8,9)

11
Gambar 4. Patofisiologi Pneumothorax

2.5 Gejala Klinis

Berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang sering muncul adalah :(10)

1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan

mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-

pendek, dengan mulut terbuka.

2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi

yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.

3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.

4. Denyut jantung meningkat.

5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada

jenis pneumotoraks spontan primer.

Pemeriksaan Fisik Toraks :(10)

a. Inspeksi: pencembungan pada sisi yang sakit, saat respirasi bagian yang sakit
12
gerakannya tertinggal, trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.

b. Palpasi: pada sisi yang sakit, ruang antar iga d apat normal atau melebar. Iktus

jantung terdorog ke sisi toraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau menghilang

pada sisi yang sakit.

c. Perkusi: hipersonor pada sisi yang sakit, batas jantung terdorong kearah toraks yang

sehat apabila tekanan intrapleura tinggi.

d. Auskultasi: suara napas melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit, suara

vokal melemah.

13
2.6 Pemeriksaan Penunjang Radiologis

2.6.1 Penilaian X-ray Thorax Pneumothorax.

Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat ditegakkan dengan

melihat tanda-tanda sebagai berikut : (4,8,10)

Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang mengalami

pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paru yang mengalami

pneumothoraks dengan paru yang kolaps memberikan gambaran radioopak. Bagian

paru yang kolaps dan yang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru

kolaps berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis, yang biasa

dikenal sebagai pleural white line.

Gambar 5. Tanda panah menunjukkan pleura viceral

14
Gambar 6. Foto Ro pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan
anak panah merupakan bagian paru yang kolaps

Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau

paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah

kontralateral. Jika pneumotoraks semakin memberat, akan mendorong jantung yang

dapat menyebabkan gagal sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan

menyebabkan kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga

menjadi lebih lebar.(4,8)

Gambar 7. Pneumotoraks kanan (kiri) dan tension pneumotoraks (kanan).

Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam posisi tegak

sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi supinasi. Selain itu, foto
15
dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi penuh. Ekspirasi penuh menyebabkan

volume paru berkurang dan relatif menjadi lebih padat sementara udara dalam

rongga pleura tetap konstan sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya

pneumotoraks utamanya yang berukuran lebih kecil.(4,8,11)

Gambar 8. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan


inspirasi (kanan) dan dalam keadaan ekspirasi (kiri).

Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang dewasa

maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign. (12)
Normalnya, sudut

kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura menembus lebih jauh ke bawah

hingga daerah lateral dari hepar dan lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura,

maka sudut kostofrenikus menjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu,

seorang klinisi harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus yang

lebih dalam daripada biasanya atau jika menemukan sudut kostofrenikus menjadi

semakin dalam dan lancip pada foto dada serial. Jika hal ini terjadi maka pasien

sebaiknya difoto ulang dengan posisi tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda

lain pneumotoraks berupa tepi jantung yang terlihat lebih tajam. Keadaan ini

biasanya terjadi pada posisi supine di mana udara berkumpul di daerah anterior tubuh

utamanya daerah medial.(13)

16
Gambar 9. Deep sulcus sign

2.7 Prognosis

Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami

kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube

thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang

dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik,

umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder

tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan

PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.(15,16)

17
BAB 3

KESIMPULAN

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh udara,

sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang menimbulkan

gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat proses respirasi. Oleh

karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada.

Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan

maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan

sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non

iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat

terbuka, tertutup dan ventil (tension).

Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan pemberian O 2

yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang berat dapat dilakukan

tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit

yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu diperhatikan agar pneumotoraks tidak

terjadi lagi.

Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada hasil foto

rontgen berupa gambaran radio-hiperlusen tanpa adanya corakan bronkovaskuler pada

lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang merupakan batas paru (deep

sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui seberapa berat proses yang terjadi

melalui luas area paru yang terkena pendesakan serta kondisi jantung dan trakea.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Noppen M. Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and cause.
European Respiratory Review. 2010:218-19
3. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. P. 1063-1068.
4. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [26 September 2011]. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
5. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 2009. p. 162-179
6. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax.
7. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
8. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [26 September 2011]. Available from
www.emedicine.com
9. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC. 1997. P.404-419.
10. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam : Anatomi Tubuh Manusia.
Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209- 220.
11. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam : Radiologi Thoraks. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. 1995. P. 63-64.
12. Smith JS. Quick recertification series; pneumothorax. JAAPA. May 2013; 26(5): hal. 59.
13. Clarke C, Dux A. Chest x-ray for medical stud ents. USA: A John Wi ley&Sons, Ltd,
Publication; 2011. hal. 49-52, 53-55
14. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Guku Ejar Mlmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyaki Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. hal. 1063-1068.

19
15. Alsagaff H, Pradjoko I. Pneumotoraks. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Editor: Wibisono
MJ, Winariani, Hariadi S. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD dr. Soetomo,
Surabaya, 2010. hal 180-197
16. Pudjo Astowo. Pneumotoraks. Dalam : Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas. Editor:
Swidarmoko B, Susanto AD. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI,
Jakarta, 2010. hal 54-71.

20
21

Anda mungkin juga menyukai