Anda di halaman 1dari 19

APLIKASI LAPANGAN KERJA KONSELING

PAPER

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu: Drs. Suharso, M.Pd. Kons & Lilis Ratna,S.Pd

Oleh
Endah Dwi Hastuti

(1301412084)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012

1. KONSELING PRANIKAH
Konseling

pranikah

(prematial

counseling)

merupakan

konseling

yang

diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum menikah, sehubungan dengan rencana


pernikahannya. Biasanya mereka datang ke konselor untuk membuat keputusannya agar
lebih mantap dan dapat melakukan penyesuaian dikemudian hari secara lebih baik.
Brammer dan Shostrom (1982) mengemukakan tujuan konseling pranikah adalah
membantu patner pranikah (klien) untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang
dirimya, masing-masing pasangan dan tuntutan-tuntutan perkawinan. Tujuan tersebut
tampaknya yang bersifat jangka pendek, sedangkan yang jangka panjang sebagaimana
yang dikemukakan H.A. Otto (1965), yaitu membantu pasangan pranikah untuk
membangun dasar-dasar yang dibutuhkan untuk kehidupan pernikahan yang bahagia dan
produktif.
Konseling pranikah ini dianggap penting karena banyak orang yang merasa salah
dalam menetapkan pilihannya, atau mengalami banyak kesulitan dalam penyesuaian diri
dalam kehidupan berkeluarga. Banyak orang yang terburu-buru membuat keputusan
tanpa mempertimbangkan banyak aspek sehubungan dengan kehidupan rumah tangga.
Konseling keluarga ini diselengarakan dengan maksud membantu calon pasangan
membuat perencanaan yang matang dengan cara melakukan asesmen terhadap dirinya
yang dikaitkan dengan perkawinan dan kehidupan berumah tangga.
A. Aspek yang Perlu Diasesmen
Aspek yang perlu dipahami dan diasesmen konselor jika melakukan konseling
pranikah :
1. Riwayat perkenalan
Konselor perlu mengetahui riwayat perkenalan pasangan pranikah. Di mana mulai
berkenalan, seberapa lama perkenalannya berlangsung, bagaimana mereka saling
menetahui satu dengan lainnya, misalnya tentang: pembicaraan tentang nilai, tujuan, dan
harapannya terhadap hubungan pernikahan, dan lasan mereka berkeingianan melanjutkan
perkenalannya ke arah pernikahan.
2. Perbandingan Latar Belakang Pasangan
Keberhasilan membangun keluarga seringkali dihubungkan dengan latar belakang
pasangan. Kesetaraan latar belakang lebih baik penyesuaian pernikahannya dibanding
dengan yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Konselor perlu mengungkapkan

latar belakang pendidikan, budaya keluarga setiap partner dan status sosial ekonominya
sepenuhnya harus dieksplorasi, dan perbedaan agama, serta adat istiadat keluarganya.
3. Sikap Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap rencana pernikahannya, termasuk bagaimana sikap
mertua dan sanak keluarga terhadap keluarga nantinya, apakah mereka menyetujui
terhadap rencana pernikanhannya, atau memberikan dorongan, dan bahkan memaksakan
agar menikah dengan orang yang disenangi. Sikap keluarga keduanya ini sangat peting
diketahui terutama untuk mempersiapkan pasangan dalam menyikapi masing-masing
keluarga calon pasangannya.
4. Perencanaan Terhdap Pernikahan
Perencanaan terhadap pernikahan meliputi rumah yang akan ditempati, sitem
keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa yang dipersiapakan menjelang
pernikahan. Kemampuan pasangan untuk memperkirakan tanggung jawab keluarga
ditunjukan oleh persiapan dan perencanaan mereka terhadap pernikahan yang hendak
dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu dipahami apakah mereka memiliki perencanaan yang
cukup realitis atau tidak.
5. Faktor Psikologis dan Kepribadian
Faktor psikologis dan kepribadian yang perlu diasesmen adalah sikap mereka
terhadap peran seks dan bagaimana peran yang hendak dijalankan dikeluarganya nanti,
bagaimana perasaan mereka terhadap dirinya (self image, body-image), dan usaha apa
yang akan dilakukan untuk keperluan keluarganya nanti.
6. Sifat Prokreatif
Sifat prokreatif menyangkut sikap mereka terhadap hubungan seksual dan
sikapnya jiak memiliki anak. Bagaimana rencana pengasuhan terhadap anaknya kelak.
7. Kehatan dan Kondisi Fisik
Hal lain yang sangat penting adalah perlunya diketahui tantang kesesuaian usia
untuk mengukur kematangan emosionalnya secara usia kronologis, kesehtaan secara fisik
dan mentalnya, dan faktor-faktor genetik.
8. Prosedur Konseling Pranikah
Konseling pranikah diselenggarakan

prosedur

sebagaimana

konseling

perkawinan. Yang menjadi penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat
antisipatif, yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan pilhan yang tepat sehubungan
dengan rencana pernikahannya.

2.

KONSELING PERKAWINAN
A. Pengertian
Konseling perkawinan memiliki beberpa istilah, yaitu couples counseling,
marriage counseling dan maritial counseling. Istilah-istilah ini dapt digunakan secara
bergantian dan memiliki makna yang sama.
Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling yang
diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional,
metode membntu patner-patner yang menikah untuk memcahkan maslah dan cara
menentukn pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan karena konseling perkawinan memberikan
pemahaman kepada pasangan yang berkontribusi tentang diri pasangannya dan masalah
hubungan perkawinan yang dihadapi serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam
mengatasi masalah perkawinannya.
B. Perbandingan Konseling Perkawinan dan Keluarga
Secara umum konseling keluarga itu dibatasi sebagai konsleing yang berhubungan
dengan masalah-masalah keluarga, misalnya hubungan peran di keluarga, masalah
komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, dan ketegangan orang tua anak. Sementara
konseling perkawinan lebih meneknkan pada maslah-maslah pasangan (suami istri).
Membedakan antara konseling keluarga dan konseling perkawinan sangat sulit
karena konseling keluarga itu tidak saja diterapkan dalam batas-batas pengertian
konvensional yang terdiri dari suami, istri dan anak, tetapi segala macam bentuk keluarga
termasuk pasangan gay. Demikina juga dengan konseling perkawinan tidak saja
mencakup konseling untuk pasangan suami-istri tetapi juga mencakup pasangan gay (gay
couples) dan pasnagan dua orang, pria dan wanita yang membangun kehidupan bersama
secara tidak legal (cohabitating couples).
Sekalipun konseling keluarga dan perkawinan memiliki penekanan tersediri,
menurut Patterson (1980) kedua macam konseling tersebut memiliki prosedur yang sama.
Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur konseling keluarga yang
dikembangkan dari adanya konflik hubungan perkawinan dan menekankan pada
hubungan perkawinan tanpa mengabaikan nilai konseling individual.
C. Permasalahan Perkawinan

Klemer (1995) mengemukakan ada tiga masalah yang mungkin dihaapi dalam
konseling perkawinan, antara lain :
1. Adanya harapan perkawinan yang tidak realistis. Pada saat merencanakan
pernikahan tentunya memiliki harapan-harapan tertentu sehingga menetapkan
untuk menikah. Harapan yang berlebihan terhadap rencana pernikahan dan tidak
dapat

diwujudkan

secara

nyata

selama

kehidupan

berkeluarga,

dapat

menimbulkan maslah, yaitu kekecewaan pada salah satu atau keduanya.


2. Kurang pengertian satu sama lain. Pasangan suami istri seharusnya memahami
pasangannya masing-masing, tentang kesulitannya, hambatan-hambatannya, dan
hal lain yang terkait dengan pribadi pasangannya. Jika alah satu atau keduanya
tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam berhubungan
perkawinan. Pemahaman tidak sekedar dalam aspek pengetahuan, tetapi juga
dapat ditunjukan dengan afeksi dan tindakan nyata.
3. Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga yang langgeng. Sebagian orang
memandang bahwa keluarga yang dibangunnya tidak lagi dapat dipertahankan.
Sekalipuan sudah cukup waktu membangun keluarga, mempertahankan keluarga
bagi suatu pasangan itu sangat sulit. Mereka ini melihat mempertahankannya
tidak membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan bagi dirinya.
Hal lain yang juga sering menjadi problem adalah kurangnya kesetiaan salah
satu atau kedua belah pihak, memiliki hubungan ekstramartal pada salah satu atau
kedua belah pihak, dan perpisahan diantara pasangan. Problem-problem perkawinan
ini dapat dipecahkan memlalui konseling aslakan kedua balah pihak berkeinginan
untuk menyelesaikannya. Tetapi jika tidak ada motivasi untuk menyelesaikan
perseolah hubungan perkawinannya adalah tidak mungkin diatasi melalui konseling.
D. Tujuan Konseling Perkawinan
Brammer dan Shostrom (1982) mengemukakan bahwa konseling perkawianan
dimaksudkan membantu klien-klienya untuk mengaktualkan dari yang menjadi
perhatian pribadi, apakah dengan jalan bercerai atau tidak.
Tujuan jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff dan Miller
(Brammer dan Shostrom, 1982) adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan adpat saling empati diantara
patner.
b. Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing-masing.
c. Meningkatkan saling membuka diri.
5

d. Meningkatkan hubungan yang lebih intim.


e. Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan
mengelola konfliknya.
E. Asumsi-asumsi Konseling Perkawinan
Beberapa asumsi yang mendasari penyelenggaraan komseling perkawinan :
1. Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan, bukan pada
kepribadian masing-masing patner. Konselor tidak menekankan untuk mengetahui
secara mendalam kepribadian setipa klien yang datang. Dia akan menekankan
tentang bagaimana hubungan yang terjadi selama ini diantara pasangan tersebut.
Konselor melihat kebelakang (aspek kepribadian, termasuk riwayat-riwayat masa
lalunya) dibolehkan, namun yang ditekakan adlajh bagaimana sifat kesulitan yang
dihadapi menyangkut hubunagn kedua blah pihak.
2. Masalah yang dihadapi kedua belah pihak adalah mendesak (akut), sehingga
konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung untuk
memecahakan masalah.
3. Maslah yang dihapi pasangn adlah masalah-masalah normal, bukan kasus yang
sangat ekstrem yang bersifat patologis. Maslah normal adalah masalah kehidupan
pasangan yang umum dialami oleh keluarga, hanya saja mengalami kesulitan
dalam mengatasi konflik-konfliknya.
F. Tipe-tipe Konseling Perkawinan
Ada empat tipe konseling perkawinan itu, yaitu concurrent, conjoint dan
couples group counseling (Capuzzi dan Gross, 1991).
a. Concurrent Material Counseling
Konselor yang sama melakukan konseling secara terpisah paa setiap
patner. Metode ini digunakan ketika salah seorang patner memiliki masalah psikis
tertentu untuk dipecahkan tersendiri, selain juga mengatasi masalah yang
berhubungan dengan pasangannya. Dalam pendektatan ini konselor mempelajari
kehidupan masing-masing yang dijadikan bahan dalam pemecahan masalah
pribadi maupun maslah yang berhubungan dengan perkawinan.
b. Collaborative Material Counseling
Setiap patner secara individual menjumpai konselor yang berdeda.
Konseling ini terjadi ketika seorang patner lebih suka menyelesaikan masalah
hubungan perkawinannya, sementara konselor yang lain menyelesaikan masalahmasalah lain yang juga menjadi perhatian kliennya. Konselor kemudian
6

berkerjasama satu sama lain, membandingkan hasil konselinya dan merencanakan


strategi intervensi yang sesuai.
c. Conjoint Matreial Counseling
Suami istri bersama-sama datang ke seorang atau beberapa konselor.
Pendekatan ini digunakan ketika kedua patner dimotivasi untuk berkerja dalam
hubungan, penekanan dan pemahaman dan modifikasi hubungan. Dalam conjoint
counseling konselor secara simultan melakuakan konseling terhadap kedua patner.
d. Couples Group Counseling
Beberapa pasangan secara bersama-sama datang ke seorang atau beberapa
konselor. Pendekatan ini digunakan sebagai pelengkap conjoint counseling. Cara
ini dapat mengurangi kedalaman situasi emosional antara pasangan, selanjutnya
mereka belajar dsn memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
a. Peranan Konselor
Beberapa peran yang harus dilakukan konselor agar konseling perkawinan dapat
berlangsung secara efeltif, yaitu :
1. Menciptakan hubangan (rapport) dengan klien
2. Memberi kesempatan pada klien untuk melakukan ventilasi, yaitu membuka persaaanperasaannya seceara leluasa di hadapan pasangannya
3. Memberi dorongan dan menunjukan penerimaanya kepada kliennya
4. Melakukan diagnosis terhadap kesulitan-kesuliatan klien dan,
5. Membantu klien untuk menguji kukuatan-kekutannys dan mencari kemungkinan
alternatif dalam memnentukan tindakannya.
b. Langkah-langkah Knseling
Meneurut Capuzzi dan Gross (1991) langkah konseling dalam konseling keluarga
adalah sebagai berikut :
1. Persiapan, tahap yang dilakukan klien menghubungi konselor.
2. Tahap keterlibatan (the joining), adalah tahap keterlibatan bersama klien. Pada tahap
ini konselor mulai menerima klien secara isyarat (nonverbal) maupun secara verbal,
merefleksi perasaan melakukan klarifikasi dan sebagainya.
3. Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan maslah yang dihadapi oleh pasangan.
Oleh karena itu, harusa jelas apa masalahnya, siapa yang bermasalah, apa
indikasinya, apa yang telah terjadi dan sebagainya.
4. Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk penylesaian maslah.
Pada tahap ini anggota keluarga mendapatkan informasi yang diperlukan u tuk

memahami masalahnya dan konselor dapat melatih anggota keluarga itu berinteraksi
dengan cara0cara yang dapat diikuti dalam kehidupan mereka.
5. Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan hepotesis dan
memformulasi langkah-langkah pemecahan. Pada tahap ini konselor mendesain
langsung atau memberi pekerjaan rumah untuk melakukan atau menerapkan
pengubahan ketidak fungsinya perkawinan.
6. Tahap penentuan tujuan, tahap yang diacapai klien telah mencapai perilaku yang
normal, telah memperbaiki cara berkomunikasi, telah menaikkan self-esteem dan
membuat keluarga lebih kohesif.
7. Tahap akhir dan penutup, merupakan kegiatan mengakhiri hubungan konseling
setelah tujuannya tercapai.
c. Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Konseling perkawinan dalam pelaksananya tidaklah mudah, karena beberapa hal.
Pertama, orang yang ditangani adalah bermasalah, dan masalahnya menyangkut
hubungan satu dengan yang lainya. Konselor harus dapat memberikan perhatian yang
sama pada keduanya. Jika ternyata hanya mampu tau tidak seimbang dalam memberikan
perhatian dapat menimbulkan akibat yang buruk bagi yang merasa kurang memperoleh
perhatian. Dalam hal ini, konselor tidak dibenarkan membela atau mengesampingkan
salah satu diantara pasangan yang berkonsultasi.
Dalam konseling perkawinan, khususnya yang menggunakan conjint counseling,
dapat menimbulkan kesulitan terutama jika kliennya merasa tidak aman, kurang terbuka,
kerena keduanya secara bersama-sama hadir dan mendengarkan apa yang dibicarakan
oleh patnernya.
Hal lain yang sering menjadi kesulitan dalam konseling keluarga adalah konselor
membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani pasangan. Dibandingkan dengan
konseling individual, konseling perkawinan membutuhkan kemampua dalam memberi
perhatian, mengatur pembicaraan, kemampuan konfrontasi, dan ketrampilan konseling
lain.
Namun demikian, konseling perkawinan (khususnya conjoint) juga terdapat
beberapa keunggulannya jika dibandingkan dengan konseling individual, anatara lain:
1. Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi karena
pasanganya mengikuti konseling secara bersama.
2. Dapat dengan mudah untuk mengetahui konflik-konflik diantara pasangan
dan transferensi yang terjadi pada pasangan.
8

3. Terfokus pada hubungan pasangan saat ini, dalam pengertian konseling


terfokus pada kehidupan sejak awal pernikahannya samapai kehiduapan
yang terakhir.

3.

KONSELING KELUARGA
A. Pengertian Konseling Keluarga
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada
situasi yang khusus. Konseling keluarga ini secara khusus memfokuskan pada
masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya
melibatkan anggota keluarga.
Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konseling
khusus karena sebagaimana yang selalu dipandang oleh konselor terutama konselor
non keluarga, konseling keluarga sebagai
1) Sebuah modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok,
2) Dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan (Capuzzi, 1991)
Menurut Golden dan Sherwood (1991) menjelaskan bahwa konseling keluarga
merupakan metode difokuskan pada keluarga pada usaha untuk membantu
memecahkan problem perilaku anak.
Terdapat dua alasan mengapa konselor lebih suka memasukan masalah klien
dalam suatu konseling keluarga bukan konseling individu, yaitu :
1) Jika konseling individu gagal atau terlalu laban, dan sering timbul lagi masalahnya
karena penolakan keluarga atas usaha pengubahan klien.
2) Jika dimungkinkan konseling kelurga dapat menngkatkan kemampuan individual,
sednagkan konseling individual yang telah dilakukan membuat klien menjadi lebih
berat dan tampak ada simpton yang sama atau beberapa aggota keluarga lain
(Goldenberg, 1983)
B. Masalah-Masalah Keluarga
Menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada salah satu atau dua
hal, yaitu:
1) Keluarga dengan anak yang mengalami gangguan perkembangan dan skizofrnia,
yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan;

2) Keluarga yang salah satu atau kedua orangtua tidak memiliki kemampuan,
menelantarkan anggota keluarganya, salah dalam memberi kelola anggota keluarga
dan biasanya memiliki berbagai masalah.
3) Keluarga mengalami kondisi yang kurang harmonis akibat stressor perubahanperubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur keluarganya dan cara menghadapi
serta mendidik anak-anak mereka.
Hambatan dalam pelaksanaan konseling keluarga antara lain:
1) Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena
mereka menganggap tidak berkepentingan dengan usaha ini, atau karena alas an
kesibukan dsb.
2) Ada anggota keluarga yang mrasa kesulitan untuk menyampaikan perasaan dan
sikapnya secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling
membutuhkan keterbukaan ini dan saling kepercayaan satu dengan lainnya.
C. Pendekatan Konseling Keluarga
1. Pendekatan Sistem Keluarga
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat
anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota
keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga
tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan
anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar
dari keadaan yang tidak fungsional itu dia harus memisahkan diri dari sistem
keluarga.

Dengan

demikian

dia

harus

membuat

pilihan

berdasarkan

rasionalitasnyabukan emosionalnya.
2. Pendekatan Conjoint
Menurut Satir ( 1967) masalah yang di hadapi oleh anggota keluarga
berhubungan self-esteem dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi
penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika
self-esteem yang di bentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang
terjadi di keluarga itu juga tidak baik.. Satir mengemukakan pandangannya ini
berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak
mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang di komunikasikan anggota
keluarga yang lain.
3. Pendekatan Struktural

10

Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena


struktur keluarga dan pola transaksi yang di bangun tidak tepat. Seringkali dalam
membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara sub sistem dari sistem
keluarga itu tidak jelas.
Mengubahstruktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan
menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu,
jika menjumpai keluarga yang bermasalah perlu dirumuskan kembali struktur
keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang
lebih sesuai.
Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman
konselor untuk melihat maslah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola
komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dsb. Berangkat dari analisis
terhadap masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan
strategi yang tepat untuk membantu keluarga.
D. Tujuan Konseling Keluarga
1. Menurut Bowen
Tujuan konseling keluarga adalah membantu lien untuk mencapai individualitas,
menjadi dirinya sebagai hal yang berbeda dari sistem keluarga.
2. Menurut Satir
Tujuan konseling keluarga adalah mereduksi sikap defensive di dalam dan antar
anggota keluarga. Pada saat sama konseling diharapkan dapat mempermudah
komunikasi yang efektif dalam kontak hubungan antar anggota keluarga.
3. Menurut Minuchin
Tujuan konseling keluarga adalah mengubah struktur dalam keluarga, dengan cara
menyusunkembali kesatuan dan menyembuhkan perpecahan antar dan sekitar
keuarga.
4. Menurut Glick dan Kessler
Tujuan Umum konseling keluarga adalah:
Memfasilitasi komunikasi fikiran dan perasaan antar anggota keluarga
Mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi
Member pelayanan sebagai model dan pendidik peran tertentu yang di
tunjukan kepada anggota lainnya.
E. Bentuk Konseling Kelurga
Bentuk konseling keluarga dapat terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagai
konvensionalnya. Saat ini juga dikembangkan dalam bentuk lain, misalnya ayah dan
11

anak laki-laki, ibu dan anak perempuan, ayah dan anak perempuan, ibu dan anak lakilaki, dsb (Ohlson, 1977).
F. Peranan Konselor
Peran konselor dalam mmbantu klien dalam konseling keluarga dan
perkewinan dikemukakan oleh Satir (Cottone, 1992) diantaranya sebagai berikut.
1. Konselor berperan sebagai facilitative a comfortable, membantu klien melihat
secara jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
2. Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi.
3. Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
4. Membelajarkan klien untuk berbuat secara dewasadan untuk bertanggung jawab dan
melakukan self control
5. Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan
menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga.
6. Konselor menolak pembuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam
respon-respon anggota keluarga.
G. Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Pada mulanya seorng klien datng ke konselor untuk mengkonsultasi masalahnya.
Biasanya datang pertama kali ini lebih bersifat identifikasi pasien.
Tetapi untuk tahap penanganan (treat) diperlukan kehadiran anggota keluarga. Menurut
Santir tidak mungkin mendengarkan peran, status, nilai dan norma keluarga/kelompok
jika tidak ada kehadiran anggotanya. Jadi dalam pandangan ini anggota keluarga yang
lain harus datang ke konselor (Brammr dan Shostrom, 1982)
Tahapan konseling keluarga menurut Crane (1995:231-232) menggunakan
pendekatan Behavioral yaitu:
1. Orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku perilaku alternative .
Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dansessi pengajaran.
2. Setelah orangtua membaca tentang prinsip dan atau telah dijelaskan materinya,
konselor menunjukan kepada orangtua bagaimana cara mengimplementasikan ide
tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada anak, sedangkan sedangkan oragtua
melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang bagaimana hal
itu dikerjakan.
Secara tipikal, orangtua akan membutuhkan contoh yang menunjukan kepada
orangtua yang kesulitan dalam memahami dan menerapkan cara yang tepat dalam

12

kesulitan dalam memahami dan menerapkan cara yang tepat dalam memperkuat
anaknya
3. Selanjutnya orangtua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah
mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat member
koreksi jika dibutuhkan.
4. Setelah terapis memberi contoh kepada orangtua cara menangani anak secara tepat.
Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orangtua mencoba menerapkannya di
rumah. Saat di cari dirumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati
kemajuan yang di capai. Permasalahan dan pertanyaan yang di hadapi orang tua dapat
ditanyakan saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat
memberi contoh lanjutan dirumah dan observasi orangtua, selanjutnya orangtua
mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan
sehubungan dengan masalah anaknya.
H. Kesalahan Umum Dalam Konseling Keluarga
Dalam konseling keluarga banyak di jumpai kesalahan-kesalahan yang
dilakukan konselor, sehingga hasilnya tidak efektif. Crane (1995) mengemukakan
sejumlah kesalahan-kesalahan umum dalam penyelenggaraan konseling keluarga
diantaranya sebagai berikut:
1. Tidak berjumpa dengan seluruh keluarga (kedua orangtua) untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang dihadapi yang baik jika seluruh keluarga terlibat dalam terapi
konseling.
2. Pertama kali orangtua dan anak datang ke konselor bersama-sama, konselornya suatu
saat berkata hanya orang tua dan anak tidak perlu turut dalam proses sehingga
penampakan ketidakpeduliannya terhadap apa yang menjadi perhatian anak. Cara
yang baik adalah mengajak anak untuk berbicara, memperhatikan apa yang mereka
kemukakan, dan responnya secara tepat.
3. Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah, atau menjelaskan pandangannya
kepada orangtua dan bukan menunjukan cara penanganan masalah yang dihadapi
dalam situasi kehidupan yang nyata.
4. Mendiagnosis untuk menjelaskan prilaku anak dan orangtua bukan mengajarkan
untuk memperbaiki masalah-masalah yang terjadi. Jadi penekannya adalah mengubah
prilaku orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana cara mengubah prilaku anakanak mereka.
13

5. Mengajarkan teknik modifikasi prilaku pada keluarga yang terlalu otoritarian atau
terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua perlu belajar memberikan
dorongan dan afeksi kepada anak mereka bukan mengendalikan prilaku anak.
Konselor perlu mengajarkan cara member afeksi dan penghargaan serta mengajarkan
anak dengan afeksi pula.
Kesalahan-kesalahan dalam konseling keluarga seperti diatas, sepatutnya
dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Konselor tentunya diharapka
melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap apa yang dilakukan dan
baagaimana hasil yang dicapai dan usahanya.
4. KONSELING PENDIDIKAN
A. Makna dan fungsi pendidikan
Kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan berkaitan
erat dengan hakikat makna dan fungsi pendidikan dalam keseluruhan aspek pendidikan.
Selain itu, kebutuhan layanan pendidikan juga berkaitan erat dengan pandangan akan
hakikat dan karakteristik peserta didik. Hadirnya layanan bimbingan dan konseling
dalam pendidikan adalah apabila memandang bahwa pendidikan merupakan upaya untuk
mencapai perwujudan manusia secara keseluruhan (kaffah).
Berdasarkan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
pasal 3 yang menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha sadar untuk pengembangan
kepribadian yang berlangsung seumur hidup baik disekolah maupun madrasah.
Pendidikan juga bermakna proses membantu individu baik jasmani dan rohani kearah
terbentuknya kepribadian utama (berkualitas). Makna dari pernyataan diatas adalah
bahwa inti tujuan pendidikan adalah terwujudnya kepribadian yang optimal dari setiap
peserta didik. Tujuan ini pulalah yang ingin dicapai oleh layanan bimbingan dan
konseling. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap kegiatan pendidikan hendaknya
diarahkan untuk tercapainya pribadi-pribadi yang berkembang optimal sesuai potensi dan
14

karakteristiknya masing-masing. Guna mewujudkan pribadi yang berkembang optimal,


kegiatan pendidikan hendaknya bersifat menyeluruh dan meliputi kegiatan yang
menjamin bahwa setiap peserta didik secara pribadi memperoleh layanan sehingga
akhirnya dapat berkembang secara optimal. Dalam kaitan ini, bimbingan dan konseling
mempunyai peranan yang sangat penting dalam pendidikan yaitu membantu setiap
pribadi peserta didik agar berkembang secara optimal.
B. Konseling pendidikan
Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (6) disebut istilah konselor
untuk profesi pendidik ini. Lebih lanjut dalam buku Rambu-Rambu Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal yang dikeluarkan Dirjen
PMPTK Depdiknas tahun 2007, dijelaskan pendidikan minimal konselor adalah sarjana
(S1) program studi bimbingan dan konseling. Diharapkan setelah lulus pendidikan
akademik dan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) jurusan bimbingan dan
konseling, lulusan dapat melanjutkan pendidikan profesi konselor (PPK).
Konseling pendidikan terdiri atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu
a. Perencanaan pendidikan
Dalam perencanaan pendidikan meliputi bantuan kepada klien untuk memilih
tujuan pendidikan yang tepat dan memilih tujuan pendidikan yang tepat dan memilih
macam lembaga pendidikan yang paling tepat.
b. Bantuan remedial
Dalam konseling pendidikan, konselor pendidikan akan paling banyak
menghadapi masalah instruksional. Dalam hal ini konselor harus dapat mendiagnosa
masalah remidiadi untuk menetapkan langkah-langkah diagnose untuk membuat referral
kepada spesialis remedial. Jadi ketrampilan yang harus dimiliki konselor adalah dalam
diagnose dan remidiasi (batuan remedial).

C. Konseling di sekolah/madrasah
Pelayanan konseling di sekolah/madrasah merupakan usaha membantu peserta
didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta
15

perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi pengembangan


peserta didik, secara individual, kelompok dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki.
Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang
dihadapi peserta didik.
a. Tanggung Jawab Konselor Sekolah
Tenaga inti (dan ahli) dalam bidang pelayanan bimbingan dan konseling ialah
konselor. Konselor inilah yang mengendalikan dan sekaligus melaksanakan berbagai
layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam
melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya itu konselor menjadi pelayan bagi
pencapaian tujuan pendidikan secara menyeluruh, khususnya

bagi terpenuhinya

kebutuhan dan tercapainya tujuan-tujuan perkembangan masing-masing peserta didik


sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam kaitannya dengan tujuan yang luas itu,
konselor tidak hanya berhubungan dengan peserta didik atau siswa saja (sebagai sasaran
utama layanan), melainkan juga dengan berbagai pihak yang dapat secara bersama-sama
menunjang pencapaian tujuan itu, yaitu sejawat (sesama konselor, guru, dan personal
sekolah lainnya), orang tua, dan masyarakat pada umumnya. Kepada mereka itulah
konselor menjadi pelayan dan tanggung jawab dalam arti yang penuh dengan
kehormatan, dedikasi, dan keprofesionalan.
1) Tanggung jawab konselor kepada siswa, yaitu bahwa konselor :
a) Memiliki keawajiban dan kesetiaan utama dan terutama kepada siswa yang harus
diperlakukan sebagai individu yang unik;
b) Memperhatikan sepenuhnya segenap kebutuhan siswa (kebutuhann yang
menyangkut pendidikan, jabatan/pekerjaan, pribadi, dan sosial) dan mendorong
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi setiap siswa;
c) Memberi tahu siswa tentang tujuan dan teknik layanan bimbingan dan konseling,
serta aturan ataupun prosedur yang harus dilalui apabila ia menghendaki bantuan
bimbingan dan konseling;
d) Tidak mendesakkan kepada siswa (konseli) nilai-nilai tertentu yang sebenarnya
hanya sekedar apa yang dianggap baik oleh konselor saja;
e) Menjaga kerahasiaan data tentang siswa;

16

f) Memberi tahu pihak yang berwenang apabila ada petunjuk kuat sesuatu yang
berbahaya akan terjadi;
g) Menyelenggarakan pengungkapan data secara tepat dan memberi tahu siswa
tentang hasil kegiatan itu dengan cara sederhana dan mudah dimengerti;
h) Menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan
professional;
i) Melakukan referral kasus secara tepat.
2) Tanggung jawab konselor kepada orang tua, yaitu bahwa konselor :
a) Menghormati hak dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dan berusaha
sekuat tenaga membangun hubungan yang erat dengan orang tua demi
perkembangan siswa;
b) Memberi tahu orang tua tentang peranan konselor dengan asas kerahasiaan yang
dijaga secara teguh;
c) Menyediakan untuk orang tua berbagai informasi yang berguna dan
menyampaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya untuk kepentingan
perkembangan siswa;
d) Memperlakukan informasi yang diterima dari orang tua dengan menerapkan asas
kerahasiaan dan dengan cara yang sebaik-baiknya;
e) Menyampaikan informasi (tentang siswa dan orang tua) hanya kepada pihakpihak yang berhak mengetahui informasi tersebut tanpa merugikan siswa dan
orang tuanya.
3) Tanggung jawab konselor kepada sejawat, yaitu bahwa konselor :
a) Memperlakukan sejawat dengan penuh kehormatan, keadilan, keobjektifan, dan
kesetiankawanan;
b) Mengembangkan hubungan kerja sama dengan sejawat dan staf administrasi demi
terbinanya pelayanan bimbingan dan konseling yang maksismum;
c) Membangun kesadaran tentang perlunya asa kerahasiaan, perbedaan antara data
umum dan data pribadi, serta pentingnya konsultasi sejawat;
d) Menyediakann informasi yang tepat, objektif, luas dan berguna bagi sejawat
untuk membantu menangani masalah siswa;
e) Membantu proses alih tangan kasus.

17

4) Tanggung jawab konselor kepada sekolah dan masyarakat, yaitu bahwa konselor :
a) Mendukung

dan

melindungi

program

sekolah

terhadap

penyimpangan-

penyimpangan yang merugikan siswa;


b) Memberitahu pihak-pihak yang bertanggung jawab apabila ada sesuatu yang
dapat menghambat atau merusak misi sekolah, personal sekolah, ataupun
kekayaan sekolah;
c) Mengembangkan dan meningkatkan peranan dan fungsi bimbingan dan konseling
untuk memenuhi kebutuhan segenap unsur-unsur sekolah dan masyarakat;
d) Membantu pengembangan : Kondisi kurikulum dan lingkungan yang baik untuk
kepentingan sekolah dan masyarakat, program dan prosedur pendidikan demi
pemenuhan kebutuhan siswa dan masyarakat; dan proses evaluasi dalam
kaitannya dengan fungsi-fungsi sekolah pada umumnya (fungsi bimbingan dan
konseling, kurikulum dan pengajaran, dan pengelolaan/administrasi)
e) Bekerjasama dengan lembaga, organisasi, dan perorangan baik di sekolah maupun
di masyarakat demi pemenuhan kebutuhan siswa, sekolah dan masyarakat, tanpa
pamrih.
5) Tanggung jawab konselor kepada diri sendiri, yaitu bahwa konselor :
a) Berfungsi (dalam layanan bimbingan dan konseling) secara profesional dalam
batas-batas kemampuannya serta menerima tanggung jawab dan konsekuensi dari
pelaksanaan fungsi tersebut;
b) Menyadari kemungkinan pengaruh diri pribadi terhadap pelayanan yang diberikan
kepada konseli;
c) Memonitor bagaimana diri sendiri berfungsi, dan bagaimana tingkat keefektifan
pelayanan serta menahan segala sesuatu kemungkinan merugikan klien;
d) Selalu mewujudkan prakarsa demi peningkatan dan pengembangan pelayanan
professional melalui dipertahankannya kemampuan professional konselor, dan
melalui penemuan-penemuan baru.

6) Tanggung jawab konselor kepada profesi, yaitu bahwa konselor :


a) Bertindak sedemikian rupa sehingga menguntungkan diri sendiri sebagai konselor
dan profesi;
18

b) Melakukan penelitian dann melaporkan penemuannya sehingga memperkaya


khasanah dunia bimbingan dan konseling;
c) Berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan organisasi profesional bimbingan dan
konseling baik di tempatnya sendiri, di daerah, maupun dalam lingkungan
nasional;
d) Menjalankan dan mempertahankan standar profesi bimbingan dan konseling serta
kebijaksanaan yang berlaku berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan
konseling;
e) Membedakan dengan jelas mana pernyataan yang bersifat pribadi dan mana
pernyataan yang menyangkut profesi bimbingan serta memperhatikan dengan
sungguh-sungguh implikasinya terhadap pelayanan bimbingan dan konseling.

Daftar pustaka

19

Anda mungkin juga menyukai