Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah
menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa
menggunakan kontrasepsi, tetapi belum memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah
yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai
pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Mengingat faktor usia
meruapakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi
perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun.
Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk dating ke
dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar.1
Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami istri
belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas sekunder
jika pasangan suami istri gagal untuk memperolah kehamilan setelah satu tahun pasca
persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun.1

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama
Umur
Suku/bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Suami
Nama
Umur
Suku/bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Ny. A
: 26 tahun
: Indonesia
: Islam
: D3
: Honorer
: Pematang sulur Rt. 17
: Tn. Joni Irawan
: 28 tahun
: Indonesia
: Islam
: S1
: PNS
: Pematang sulur Rt. 17

MRS
: 29 Mei 2015
No. MR : 663150
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Os mengeluh belum hamil setelah 2 tahun menikah
Riwayat Penyakit Sekarang : 2 tahun setelah menikah os tidak kunjung hamil
meskipun os telah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat
kontrasepsi, suami os telah melakukan pemeriksaan analisis sperma dan hasilnya sperma
suami os baik tidak terdapat kelainan dan os mengatakan jika periode menstruasi os tidak
teratur
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-), DM (-), PJK (-), Malaria (-), Tumor (-), Kista (-), TBC (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), PJK (-), Malaria (-), Tumor (-)
Riwayat Obstetri
GPA
: HPHT
: Menarche
: Umur 15 tahun
Siklus haid
: 30-60 hari
Dimenorrhea
: Lama haid
: 4-7 hari
Riwayat Persalinan : Riwayat Menikah: Pasien menikah 1 kali, selama 2 tahun
2

Riwayat Kontrasepsi : Os tidak pernah menggunakan KB


2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
1. Keadaan umum
: baik
2. Kesadaran
: compos mentis
3. Vital sign
:
TD
: 100/80 mmHg
N
: 80 x/menit
T
: 37,5oC
RR
: 16 x/menit
4. Tinggi Badan
: 158 cm
5. Berat Badan
: 54 kg
6. IMT
: 21,6
7. Kulit
: Turgor dan elastisitas baik, tidak tampak kelainan kulit
8. Kepala
: Normocephal
9. Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/10. Telinga
: tidak ada sekret, tidak ada perdarahan
11. Hidung
: tidak ada sekret, tidak ada perdarahan
12. Mulut
: bibir sianosis (-) lidah kotor (-) lidah tremor (-)
13. Leher
: pembesaran kelenjar tiroid (-) pembesaran KGB (-) struma (-)
14. Dada
Inspeksi : bekas luka (-), retraksi (-)
Perkusi : sonor +/+
Palpasi : pengembangan dada simetris +/+
vocal fremitus (+) normal simetris
Auskultasi:
Cor : BJ1-2 reguler murmur (-) gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/15. Abdomen
:
Inspeksi : datar, simetris, striae (-), sikatriks (-)
Palpasi : massa (-), pembesaran hepar (-), pembesaran lien (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, hepar pekak
Auskultasi: Bising usus (+)

Status Ginekologik
a. Pemeriksaan Luar
Pertumbuhan rambut pubis dbn, klitoris dbn, labia mayora dan minora simetris,
pembesaran kelenjar bartholini (-) sikatriks (-), edema (-), inflamasi (-), perdarahan (-)
b. Inspekulo
Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan Dalam
Tidak dilakukan
3

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin (27-05-2015) :
Masaperdarahan (BT) :3 menit
Parameter
Nilai
WBC
RBC
HGB
HCT
PLT
MasaPembekuan (CT) :4 menit

4.4 H 103/mm3

Nilai
Rujukan
3.5-10.0

4.22 106mm3
12.7 g/dl
38.4 %
247 H103/mm3

3.80-5.80
11.0-16.5
35.0-50.0
150-390

Kimia Darah (27-05-2015) :


Parameter
Faal Hati
SGOT
SGPT
Faal ginjal
Ureum
Kreatinin
Gula Darah
Gula darah puasa
Gula darah sewaktu

Hasi
l

Satuan

Harga
Normal

12
9

U/L
U/L

< 40
< 41

20,6
0,9

Mg/dl
Mg/dl

15-39
L 0,9-1,3
P 0,6-1,1

101
96

Mg/dl
Mg/dl

<126
<200

2.5 Diagnostik
Polikistik ovarium
2.6 Penatalaksanaan
Tindakan operasi 18 April 2015

Manajemen Praoperatif :
-

Pemeriksaan praoperatif
o Anamnesis
o Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan ginekologis
o Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan lain
Informed Consent

Penjelasan pembahasan menyeluruh diagnosis, alasan


dilakukannya tindakan operatif , terapi-terapi alternatif, risiko dan
-

manfaat
Persiapan operasi
o Siapkan darah
o Cuci dan bersihkan lapangan insisi
o Jangan mencukur rambut pubis
o Rambut pubis hanya dipotong/dipendekkan.
o Pantau dan catat tanda vital
o Berikan pramedikasi yang sesuai.
o Berikan antasid.
o Pasang kateter dan monitor pengeluaran urin.
o Puasa
o Persiapan usus
o Berikan antibiotika profilaksis
o Pastikan semua informasi sudah disampaikan
Persiapan Kamar Bedah
o Kamar bedah bersih
o Kebutuhan bedah dan peralatan tersedia
o Peralatan gawat darurat tersedia
o Baju bedah, kain steril, sarung tangan, kasa, dan instrumen
tersedia dalam keadaan steril

Manajemen Intraoperatif :
Operasi tanggal 18 April 2015, jam 09.00-11.30 WIB.
Laporan operasi :
1. Os tidur di meja operasi dengan anestesi spinal,desinfeksi daerah
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

tindakan dengan antiseptic.


Posisikan pasien dalam posisi litotomi
Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
Pemasangan sim atas dan sim bawah
Jepit portio dengan tenakulum di arah jarum jam 11 dan 1
Masukkan alat yang dilengkapi dengan penyinaran
Lepaskan sim atas dan sim bawah
Insisi di bawah pusar lalu dimasukkan alat yang dilengkapi kamera

untuk memindahkan gambar dalam rongga perut ke layar monitor


9. Insisi di kiri dan kanan abdomen sekitar 1 cm untuk memasukkan
instrumen bedah yang lain
10.
Masukkan gas karbondioksida (CO2) untuk mengembangkan
rongga perut sehingga mudah melakukan tindakan
11.
Cari uterus dan ovarium
12.
Kista ovarium di cauter
5

13.

Lakukan test patensi tuba dengan cara memasukkan cairan

melalui cateter yang berada di vagina


14.
Gas karbondioksida (CO2) lalu dikeluarkan
15.
Alat instrumen dikeluarkan
16.
Luka insisi dijahit lapis demi lapis secara jelujur
17.
Dilakukan pengambilan jaringan untuk dilakukan pemeriksaan
18.
Tindakan selesai.
Seluruh jaringan hasil pembedahan perlu dikirim ke bagian patologi anatomi untuk
diperikasa.
Diagnosa Post Op: infertilitas primer dengan faktor resiko polikistik
ovarium

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan
sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa
kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder
adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya.
Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan pengobatan dapat dilakukan setelah 6
bulan pernikahan. Infertilitas idiopatik mengacu pada pasangan infertil yang telah
menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen
dengan hasil normal.
3.2. Epidemiologi
Prevalensi wanita yang didiagnosis dengan infertilitas, kira-kira 13%, dengan
jangkauan 7-28%, tergantung pada usia seorang wanita. Dan prevalensi ini cenderung
6

stabil selama 40 tahun terakhir; etnis atau ras memiliki pengaruh yang kecil pada
prevalensi. Namun, insidensi dari infertilitas primer telah meningkat, bersamaan dengan
penurunan insidensi infertilitas sekunder, yang kemungkinan besar akibat perubahan
sosial seperti penundaan kehamilan.2
Data yang berasal dari National Survey of Family Growth tahun 1995
mengungkapkan bahwa 7% dari pasangan yang sudah menikah, di mana pasangan
wanita adalah usia reproduksi, tidak mendapatkan kehamilan setelah 12 bulan melakukan
hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Selain itu, 15% dari wanita usia reproduksi
dilaporkan telah menerima pelayanan infertilitas dalam hidup mereka. Dalam beberapa
tahun terakhir, permintaan pelayanan infertilitas telah meningkat, terutama di negaranegara Barat. Alasan utama hal ini adalah kecenderungan wanita untuk kehadiran
seorang anak karena karir pekerjaan. Faktor-faktor lainnya, antara lain adanya
peningkatan dan efektivitas berbagai metode assisted reproductive technology (ART),
kesadaran masyarakat yang semakin tinggi berkaitan dengan penanganan infertilitas,
peningkatan jumlah infertilitas akibat faktor tuba sebagai konsekuensi dari penyakit
menular seksual, dan tersedianya alat kontrasepsi yang efektif, dan peningkatan
ketersediaan pelayanan aborsi.3
3.2. Etiologi
1. Faktor Pria
Penyebab infertilitas pada pria dapat dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu:4
a. Gangguan produksi sperma, misalnya akibat kegagalan testis primer
(hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik
(Sindroma Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung
lainnya terkait anatomi (cryptorchidism, varikokel), infeksi (mumps orchitis),
atau gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan
karena faktor genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek langsung maupun
tidak langsung dari tumor hipotalamus atau pituitari, atau penggunaan androgen
eksogen, misalnya Danazol, Metiltestosteron (penekanan pada sekresi
gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma yang buruk.4
b. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran
genital (prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan
biokimia, atau gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau
penetrasi.4
7

c. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada
epididimis atau duktus ejakulatorius.4
2. Faktor Wanita
Penyebab infertilitas pada wanita dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara
lain: serviks dan uterus, ovarium, tuba, dan lainnya.5
a. Faktor infertilitas yang berasal dari serviks
Faktor infertilitas yang berasal dari serviks dapat disebabkan oleh stenosis atau
abnormalitas dari interaksi mukus dan sperma. Serviks uteri memiliki peran
yang sangat penting dari segi kemampuan transportasi sperma setelah
berhubungan seksual. Kira-kira 5-10% faktor yang berasal dari serviks uteri
dapat menyebabkan infertilitas. Sekresi mukus dapat mengalami perubahan
karena adanya perubahan hormon dan pengaruh obat-obatan, yang dapat
menurunkan produksi mukus. Hipoestrogenisme dapat menyebabkan penebalan
mukus serviks, yang dapat menghalangi perjalanan dari sperma. Stenosis
servikal dapat menyebabkan infertilitas dengan menghalangi perjalanan sperma
dari serviks ke cavum intrauterine. Stenosis servikal dapat berupa kongenital
atau didapat, seperti akibat prosedur pembedahan, infeksi, hipoestrogenisme,
dan terapi radiasi.5,6
b. Faktor infertilitas yang berasal dari uterus
Uterus merupakan tujuan akhir dari embrio dan merupakan tempat
berkembangnya fetus sampai dilahirkan. Oleh karena itu, uterus dapat
diasosiasikan dengan infertilitas primer atau keguguran dan persalinan
premature. Faktor uterus dapat berupa kongenital atau didapat. Mereka dapat
merusak endometrium atau myometrium dan bertanggung jawab pada sekitar 25% infertilitas. Kelainan kongenital, dapat berupa kelainan perkembangan dari
duktus mulleri yang berperan dalam konfigurasi anatomik uterus, tuba fallopi,
serviks, dan bagian atas vagina. Kelainan perkembangan duktus mulleri
bervariasi dari tidak terdapatnya uterus dan vagina (sindrom Rokitansky-KusterHauser) sampai ke defek minor seperti uterus arkuata dan adanya septum pada
vagina (transversal dan longitudinal). Persalinan premature dapat diasosiasikan
dengan inkompetensi serviks dan uterus yang bersepta. Uterus yang bersepta
juga dapat menyebabkan masalah implantasi dan miscarriage pada trimester
8

pertama. Sedangkan, kelainan uterus yang didapat dapat berupa endometritis


yang berhubungan dengan trauma, dilatasi dan kuretase, alat kontrasepsi dalam
rahim, atau instrumentasi lainnya (miomektomi, histeroskopi) pada cavum
endometrium yang dapat menyebabkan adhesi dan sinekia intrauterine (sindrom
Asherman), dengan obliterasi total dan parsial pada cavum endometrium.5
c. Faktor infertilitas yang berasal dari ovarium
Disfungsi ovulasi merupakan perubahan pada frekuensi dan durasi dari siklus
menstruasi. Gagalnya ovulasi terjadi merupakan penyebab tersering dari
infertilitas. Absennya ovulasi dapat dihubungkan dengan amenore primer,
amenore sekunder, atau oligomenore.5
d. Usia yang meningkat
Prevalensi infertilitas meningkat secara dramatis seiring dengan meningkatnya
usai. Lebih lanjut lagi, fertilitas menurun seiring dengan lamanya durasi
pernikahan karena frekuensi berhubungan seksual yang rendah dan/atau
penggunaan kontrasepsi. Penelitian mengatakan bahwa fertilitas akan stabil
sampai usia 36 tahun, menurun perlahan sampai usia 4 tahun, dan menurun
drastis setelah usia 42 tahun.5
e. Faktor infertilitas yang berasal dari tuba
Kelainan atau kerusakan pada tuba fallopi dapat mempengaruhi fertilitas dan
bertanggung jawab pada implantasi yang abnormal (kehamilan ektopik).
Obstruksi pada distal tuba falopi menyebabkan akumulasi cairan tuba,
menyebabkan distensi pada tuba yang mengakibatkan kerusakan silia epitel
(hidrosalfing).5
f. Faktor infertilitas yang berasal dari peritoneal
1) Penyakit radang panggul, berhubungan dengan infeksi gonorrhea atau
klamidia, dapat dikonfirmasi dengan kultur serviks dan antibodi serologis
untuk gonorrhea and klamidia.5,6
2) Endometriosis
Endometriosis klasik tampak sebagai pigmen hitam-kebiruan (seperti lesi
powder-burn) pada permukaan kandung kemih, ovarium, tuba falopi,
kantong rekto-uterina, dan usus besar. Endometriosis non klasik tampak
seperti lesi dan vesikel merah, coklat, atau putih. Endometriosis berat
dengan kerusakan tuba falopi dan ovarium menyebabkan adhesi atau
munculnya endometrioma, merupakan penyebab infertilitas. Endometriosis
9

minimal

atau

ringan

menyebabkan

penurunan

kesuburan

dengan

mekanisme sebagai berikut:5,6


- meningkatkan makrofag peritoneal yang meningkatkan fagositosis
-

sperma
mengurangi perlekatan sperma ke zona pelusida
proliferation limfosit peritoneal
meningkatkan jumlah sitokin
meningkatkan produksi imunoglobulin
serum embrio toksin
defek aktivitas natural killer

3. Faktor Keduanya
Infertilitas yang terjadi pada pasangan suami istri juga dapat disebabkan oleh kedua
belah pihak, seperti:5
a. Lingkungan dan pekerjaan
Radiasi yang berlebihan dapat merusak sel-sel germinal. Faktor lain seperti
pajanan panas yang berlebihan, radiasi microwave, USG, dan bahan-bahan
berbahaya lainnya dianggap kontroversi pemicu infertilitas.5
b. Toksin
Toksin seperti rokok, mariyuana, dan obat-obat lainnya: percobaan rokok
terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa nikotin dan polisiklik
hidrokarbon aromatik menghalangi spermatogenesis dan mengecilkan ukuran
testis. Pada wanita, rokok mepengaruhi lendir serviks dan epitel silia dan
transportasi gamet. Mariyuana dan sejenisnya, delta-9-tetrahydrocannabinol,
menghambat sekresi LH dan FSH, memicu kelainan ovulasi dan disfungsi fase
luteal pada wanita. Efek mariyuana pada pria adalah mengurangi jumlah dan
kualitas sperma. Heroin dan kokain memicu efek yang sama tetapi
menyebabkan terjadinya penyakit radang panggul dan infeksi HIV. Konsumsi
alkohol kronik dapat memicu disfungsi ovulasi, yang akan berefek pada
kesuburan. Konsumsi alkohol pada pria mengganggu sistesis testosteron yang
berimplikasi pada konsentrasi sperma. Konsumsi alkohol dapat menghambat
gairah seksual dan menyebabkan impotensi.5
c. Latihan
Latihan yang dimaksudkan adalah latihan yang terlalu dipaksakan, khususnya
pada pelari jarak jauh. Jogging dapat menstimulasi sekresi endorfin, sekresi
endorfin yang berlebihan mempengaruhi produksi normal FSH dan LH, memicu
gangguan ovulasi dan fase luteal, yang menyebabkan kurangnya implantasi

10

embrio dan keguguran pada trimester pertama. Pada pria, latihan terkait dengan
oligospermia.5
d. Berat badan berlebih atau sangat kurang
Kehilangan berat badan terkait anoreksia nervosa atau bulimia memicu amenore
hipotalamus, sedangkan obesitas dapat berkaitan dengan anovulasi dan
oligomenore. Pada pria, obesitas berhubungan dengan kualitas sperma.5
3.3.

Diagnosis

1. Anamnesis
Anamnesis dapat berupa usia pasangan suami istri, durasi infertilitas, dan
penggunaan spermisidal saat koitus. Pada awal pertemuan, penting sekali untuk
memperoleh data apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan
merokok atau minum minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau
salah satunya menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid, dan
sitostatika.1,6
Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat dikatakan siklus haid
normal jika berada dalam kisaran antara 21-35 hari. Sebagian besar perempuan
dengan siklus haid yang normal akan menunjukkan siklus haid yang berovulasi.
Untuk mendapatkan rerata siklus haid perlu diperoleh informasi haid dalam kurun 34 bulan terakhir. Perlu juga diperoleh informasi apakah terdapat keluhan nyeri haid
setiap bulannya dan perlu dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas fisik saat
haid akibat nyeri atau terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat haid terjadi.1
Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang dilakukan
selama ini. Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka dianjurkan
bagi pasutri untuk melakukan senggama secara teratur dengan frekuensi 2-3 kali per
minggu. Upaya untuk mendeteksi adanya ovulasi seperti pengukuran suhu basal
badan dan penilaian kadar luteinizing hormone (LH) di dalam urin seringkali sulit
untuk dilakukan dan sulit untuk diyakini ketepatannya, sehingga hal ini sebaiknya
dihindari saja.1 Selain itu, perlu juga ditanyakan tentang riwayat penyakit, seperti
mumps orchitis, penyakit ginjal, terapi radiasi, penyakit kronik seperti tuberculosis,
stress dan kelelahan yang berkepanjangan, atau adanya riwayat demam tinggi yang
bersifat akut.6
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasutri dengan masalah infertilitas
adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan pengukuran lingkar
11

pinggang. Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan dengan menggunakan


formula berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2). Perempuan dengan indeks
massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2 termasuk ke dalam kelompok kriteria berat
badan lebih. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sindrom metabolik. IMT yang
kurang dari 19 kg/m2 seringkali dikaitkan dengan penampilan pasien yang terlalu
kurus dan perlu dipikirkan adanya penyakit kronis seperti infeksi tuberkulosis (TB),
kanker, atau masalah kesehatan jiwa seperti anoreksia nervosa dan bulimia
nervosa.1,6
Adanya pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu dada
yang lebat, bulu kaki yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau pertumbuhan
jerawat yang banyak dan tidak normal pada perempuan, seringkali terkait dengan
kondisi hiperandrogenisme, baik klinis maupun biokimiawi.1 Pemeriksaan fisik
pasangan yang infertil disajikan dengan jelas pada tabel berikut ini:7
Tabel 1. Pemeriksaan pada Pasangan yang Infertil

Pemeriksaan
Umum

Wanita
Pria
Tinggi badan, berat badan, IMT, Tinggi badan, berat badan, IMT,
tekanan darah, distribusi lemak dan tekanan darah
rambut, jerawat dan galaktorea
Pemeriksaan
abdomen:
ada Ada

tidaknya

hernia

pada

tidaknya skar atau massa pada daerah ingunalis. Selain itu,


abdomen.

pada genitalia, periksa apakah

Pemeriksaan pelvis: pemeriksaan terdapat


genitalia
Pemeriksaan
Status Lokalis

eksterna

dan

testis

interna bagaimana

atau

tidak,

lokasi

dan

apakah

ada

atau epididimitis,

varikokel,

atau

septum pada vagina, apakah ada abnormalitas

structural

pada

(dengan spekulum), dan peiksa ukurannya,


apakah
polip

terdapat
pada

infeksi

serviks.

Lakukan penis, seperti: hipospadia.

palpasi bimanual pada uterus, nilai


ukuran,

bentuk,

posisi,

dan

mobilitasnya, serta ada tidaknya


massa dan nyeri pada adneksa.

12

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan penunjang pada pria
1) Analisis cairan semen
Analisis cairan semen meliputi konsentrasi sperma, motilitas, morfologi,
dan viabilitas. Berikut parameter analisa cairan semen berdasarkan World
Health Organization (WHO):5,6
- Volume
: 2-5 mL
- pH level
: 7.2-7.8
- Konsentrasi sperma
: 20 juta atau lebih per ml
- Motilitas
: > 50%
- Morfologi
: sperma normal (> 40%)
- Sel darah putih
: < 1 juta sel/mL
Morfologi sperma harus > 40% untuk dikatakan normal, dikatakan
infertilitas berat apabila < 4% dan menjadi indikasi assisted reproduction
technology (ART)/intracytoplasmic sperm injection.5
Aglutinasi sperma merupakan indikasi tidak langsung indikator hadirnya
antibodi anti sperma. Tes imunologis dapat dilakukan secara langsung pada
sperma atau pada sperma dan darah secara tidak langsung. Antibodi
permukaan immunoglobulin A (IgA) atau immunoglobulin G (IgG) dapat
muncul. Bisa antibodi spesifik untuk kepala atau ekor sperma. Antibodi IgA
sperma terlibat dalam interaksi sperma-sel telur dan penurunan fertilisasi,
antibodi IgG sperma menyebabkan gangguan motilitas sperma. Antibodi
sperma berkaitan dengan infeksi (contohnya orchitis), trauma testis, dan
riwayat vasektomi.5
2) Interpretasi analisis cairan semen
Spermatogenesis terjadi sekitar 72 hari. Hasil analisis cairan semen
abnormal dapat berhubungan dengan alasan yang tidak diketahui (misalnya
periode seksual abstinens yang pendek, pengumpulan yang tidak lengkap,
stimulus seksual yang jelek), sehingga penting untuk mengulangi analisa
cairan semen setidaknya sebulan sebelum diagnosis dibuat.5
- Azoospermia menandakan absennya sperma yang diakibatkan oleh absen
kongenital atau sumbatan bilateral dari vas deferens atau duktus
ejakulatorius, spermatogenesis arrest, Sertoli cell syndrome, atau post
-

vasektomi.
Oligozoospermia menandakan konsentrasi < 20 juta sperma/mL dan
mungkin berhubungan dengan gangguan ejakulasi seperti ejakulasi
retrograde, kondisi genetik, atau gangguan hormonal.
13

Asthenozoospermia menandakan motilitas sperma < 50%. Dapat

disebabkan oleh suhu ekstrem dan analisa sperma yang terlambat.


Teratospermia menandakan peningkatan jumlah morfologi abnormal

sperma pada kepala, leher, atau ekor.


Hipospermia menandakan penurunan volume cairan semen < 2 mL per

ejakulasi.
Hiperspermia menandakan peningkatan volume cairan semen > 8 mL
per ejakulasi.

3) Tes fungsi sperma


Berfungsi untuk memeriksa fekundabilitas sperma, termasuk: (1) tes reaksi
akrosom dengan fluorescent lectins atau antibodi, (2) penilaian kepala
sperma dengan komputer, (3) penilaian motilitas dengan komputer, (4)
hemizona-binding assay, (5) hamster penetration test, dan (6) human
sperm-zona penetration assay.5
4) Tes endokrin
Pada pria dengan azoospermia, kadar serum FSH dapat membantu untuk
membedakan antara penyebab obstruktif dan non-obstruktif. Kadar yang
normal merupakan indikasi untuk azoospermia obstruktif di mana
pengambilan sperma melalui tindakan pembedahan perlu dilakukan,
sementara kadar yang meningkat menandakan kecurigaan spermatogenesis
yang gagal. Pengukuran kadar testosterone dan LH juga membantu ketika
terdapat defisiensi androgen akibat kecurigaan adanya tumor testis atau
adrenal yang mensekresi steroid.5
Pemeriksaan penunjang yang lain yang dapat dilakukan pada pria, antara lain:
pemeriksaan kromosom dan genetik, pemeriksaan mikrobiologi semen,
pemeriksaan radiologi pada traktus genital pria, pemeriksaan fungsi sperma
secara in vitro, biopsy testikuler, dan pemeriksaan antibodi antisperma.7
b. Pemeriksaan penunjang pada wanita
Siklus menstruasi yang normal merupakan patokan yang digunakan untuk
menandai terjadinya ovulasi. Untuk mengkonfirmasi adanya ovulasi, biasanya
diperoleh dari rata-rata level serum progesterone mid-luteal yang melebihi 30
nmol/l, 7 hari sebelum onset menstruasi (siklus hari ke-21 dari 28 hari). Selain
tes ovulasi, pemeriksaan screening rubella juga dilakukan pada setiap wanita.7
Selain itu, pemeriksaan yang lanjut dapat berupa:5
1) Serviks
14

Tes pasca senggama (Tes Sims-Huhner), terdiri dari pemeriksaan jumlah


spermatozoa dan motilitasnya dalam lendir serviks selama periode pre
ovulasi. Tes tersebut tidak rutin dilakukan dalam pemeriksaan infertilitas
standar karena menunjukkan keterbatasan diagnosis dan nilai prediksi yang
buruk. Stenosis serviks dapat didiagnosa dengan pemeriksaan inspekulo.
Stenosis serviks komplit dipastikan dengan kegagalan alat memasuki
kavum uterus.5
2) Uterus
a) HSG (Hysterosalpingogram)
Kelainan-kelainan seperti tidak adanya vagina dan uterus, septum
vagina, dan adanya fibroid dapat dideteksi dengan pemeriksaan
panggul. Hampir seluruh kelainan tersebut membutuhkan pemeriksaan
penunjang seperti HSG, USG ginekologi, histerosonogram, dan MRI.
Prosedur operasi seperti laparoskopi dan histeroskopi sering digunakan
untuk memastikan diagnosis akhir. Histerosalpingogram (HSG) sering
digunakan untuk memeriksa kavum endometrium dan memberikan
informasi seputar: (1) kanalis endoserviks; (2) diameter dan konfigurasi
tulang dalam; (3) kavum endometrium; (4) saluran uterus/tuba (kornu
ostium); (5) diameter, lokasi, dan arah tuba falopi; (6) status fimbria;
dan (7) tumpahan ke kavum endometrium. HSG juga memberikan
informasi tidak langsung seputar adhesi pelvis dan uterus, sel telur, atau
massa adneksa.5
HSG sebaiknya dilakukan selama fase awal fase folikuler. Saat itu,
endometrium tipis HSG memberikan gambaran kelainan minor yang
lebih baik. Serviks dibersihkan dengan povidone-iodine solution
(Betadine) untuk menghindari perpindahan bakteri ke kavum
endometrium selama prosedur. Spekulum lepas digunakan dan
dilepaskan sebelu injeksi medium radiopak. Tenakulum gigi satu
digunakan untuk menambahkan traksi uterus dan membenarkan posisi
antrofleksi atau retrofleksi. Kanula Jarcho-type metal atau balon kateter
HSG

digunakan

untuk

menginjeksikan

media

radiokontras.

Penggunaan media kontras berbahan air lebih baik daripada media


berbahan minyak untuk menghindari risiko emboli minyak dan formasi
granula.5

15

Gambar 1. Gambaran HSG pada tuba paten (kiri atas), polip endometrium (kanan
atas), sumbatan tuba bilateral (kiri bawah), dan uterus bikornu (kanan bawah)
(dikutip dari kepustakaan 5)

b) USG (Ultrasonography)
USG ginekologi menjadi bagian rutin pemeriksaan ginekologi karena
dapat memeriksa posisi uterus dalam pelvis dan memberikan informasi
seputar ukuran dan kelainan. Sonogram panggul juga membantu
deteksi dini fibroid uterus, polip endometrium, kista ovarium, massa
adneksa, dan endometrioma. USG dapat membantu diagnosis
anovulasi, polikistik ovarium, dan kista korpus luteum yang persisten.5
c) Saline infusion sonography (SIS)
SIS memberikan pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk
menilai kavum uterus dan memeriksa potensi tuba. Pemeriksaan ini
tidak menggunakan radiasi seperti pada HSG. SIS dilakukan selama
hari ke-6 hingga ke-12 siklus, di mana endometrium tipis sehingga
lebih mudah mendeteksi lesi intrauterin. Spekulum lepas dipasang dan
serviks dibersihkan dengan Betadine solution. Kateter transservikal
dengan balon dipasang. Spekulum dilepas dan larutan salin
diinjeksikan selama visualisasi ultrasonografik. Tampilan longitudinal
dan transversal dari kavum dapat menilai adanya filling defects.
Terakhir, sejumlah kecil busa air diinjeksikan untuk menilai potensi
tuba.5
d) MRI
16

MRI dilakukan apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui


pemeriksaan HSG konvensional, USG, dan histeroskopi. MRI
berfungsi untuk menggambarkan massa pelvis yang kompleks dan
membantu diagnosis kondisi seperti malformasi kongenital yang terkait
dengan kriptomenore dan kabsennya serviks.5
e) Histeroskopi
Histeroskopi merupakan suatu metode visualisasi langsung kavum
endometrium. Operasi histeroskopi didesain berdasarkan prinsip
resectoscope yang memperbolehkan diagnosis sekaligus penanganan
kelainan endometrium seperti uterine sinekia, polip endometrium,
mioma submukosa, dan pengangkatan benda asing (misalnya AKDR).5

Gambar 2. Histeroskopi dari uterine sinekia (kiri) dan polip endometrium (kanan)
(dikutip dari kepustakaan 5)

f) Biopsi endometrium
Jones memaparkan bahwa disfungsi fase luteal dan hubungannya
dengan keguguran berulang. Disfungsi fase luteal didasari atas
kurangnya

hubungan

antara

(1)

perkembangan

endometrium,

didiagnosa menggunakan biopsi endometrium premenstrual, dan (2)


onset siklus menstruasi yang sedang terjadi. Diagnosisnya berdasarkan
kriteria: terdapat perbedaan lebih dari 2 hari antara tanggal
endometrium dan awal dari periode menstruasi selanjutnya, temuan
yang sama harus diulangi dalam 2 siklus menstruasi yang berurutan.5
3) Tuba dan peritoneum
Tes yang sering digunakan untuk diagnosis untuk melihat kelainan tuba
adalah laparoskopi dan HSG. Laparoskopi tidak termasuk pemeriksaan
infertilitas rutin. Laparoskopi digunakan ketika ditemukan kelainan pada
USG, HSG, atau kecurigaan gejala. Dibutuhkan anestesi dan biaya operasi
sehingga hanya digunakan saat ada indikasi yang jelas.5
Laparoskopi kontraindikasi pada pasien dengan kemungkinan obstruksi
usus (ileus) dan distensi usus, penyakit kardiopulmoner, atau syok karena
17

perdarahan dalam. Karena risiko perforasi usus, uterus dan perlukaan


pembuluh pelvis, trauma kandung kemih, dibutuhkan ahli bedah yang
terampil dan berpengalaman. Kontraindikasi relatif lainnya termasuk
obesitas masif, dan massa abdomen yang besar atau kehamilan lanjut,
adhesi panggul lanjut, dan peritonitis.5
4) Ovarium
a) Ovulasi
Siklus menstruasi normal dapat menandakan terjadinya ovulasi.
Konfirmasi terjadinya ovulasi.5,6
3.4.

Penanganan Infertilitas Primer

Strata penanganan infertilitas dapat dibagi menjadi 3 level:


a. Layanan primer (level I): dokter umum
b. Layanan sekunder (level II): spesialis obstetri / ginekologi, spesialis uroandrologi
c.

Layanan tersier (level III): subspesialis

Gambar 3.1 Strata Penanganan Infertilitas

3.4.1. Pembagian penanganan kasus berdasarkan kompetensi klinis dan


fasilitas pelayanan
a. Endometriosis dan adenomiosis

18

b. Gangguan Ovulasi

c. Gangguan Sperma

19

d. Faktor Tuba

3.4.2. Penanganan infertilitas primer pada pria


Pada asthenospermia terkait dengan varikokel dilakukan pembedahan atau
dengan embolisasi varikokelektomi dari vena spermatika. Hasil awal dari prosedur
ini tidak terdeteksi sebelum 3 bulan karena spermatogenesis membutuhkan waktu 72
hari. Jika tidak ada perbaikan terjadi, dilanjutkan baik baik inseminasi intrauterin
atau fertilisasi in vitro. Oligospermia adalah penyebab paling sering dari
kemandulan pria. Pengobatannya tergantung pada faktor etiologi, namun, dalam
banyak kasus, penyebab masih belum diketahui. Inseminasi intrauterin adalah
pengobatan pilihan jika didapatkan >2 juta sperma dari pencucian sperma.5
Pasien yang saluran reproduksi, FSH, LH, dan tingkat testosteron abnormal
atau mereka yang memiliki testosteron rendah dalam tidak adanya kelainan
hormonal lainnya dapat diobati secara empiris dengan siklus Klomifen sitrat/CC (25
20

mg per oral selama setidaknya 6-12 bulan). Pemberian suplemen Karnitin L dan
asetil antioksidan seperti Vitamin C atau E berguna untuk meningkatkan pematangan
dan fungsi sperma. Peningkatan jumlah sperma adalah pertanda baik, dan
pengobatan harus dilanjutkan. Pemeriksaan kadar testosteron dianjurkan karena bisa
terjadi efek umpan balik negatif pada produksi sperma. Tergantung pada jumlah
sperma, pasangan sebaiknya memiliki melakukan senggama saat ovulasi atau
melanjutkan dengan inseminasi intrauterine.5
Pengobatan azoospermia tergantung pada etiologinya. Pada pasien dengan
azoospermia obstruktif dan tingkat gonadotropin normal, sperma dapat diperoleh
melalui aspirasi epididimis sperma mikro atau biopsi testis. Fertilisasi oosit
dilakukan menggunakan IVF/injeksi sperma intrasitoplasmik. Pada pasien dengan
azoospermia non obstruktif, ejakulasi retrograd dapat menjadi penyebabnya.
Pengobatan terdiri dari pemulihan sperma yang dikumpulkan dari sampel urin segera
setelah ejakulasi. Alkalinisasi urin dilakukan sebelum prosedur. Malamnya, pasien
harus mengambil 2 sendok makan natrium bikarbonat. Kandung kemih harus
dikosongkan 1 jam sebelum pengumpulan sperma, dan dosis ke-2 natrium
bikarbonat diambil bersama dengan 16 ons cairan. Sampel urin harus dikumpulkan
segera setelah ejakulasi. Spesimen urin harus disentrifugasi segera. Sedimen ini
disuspensikan dalam larutan buffer, dan pemulihan sperma diproses menggunakan
teknik pencucian sperma sebelum dapat digunakan untuk inseminasi intrauterine.5
3.4.3. Penanganan infertilitas primer pada wanita
a. Ovarium
Induksi ovulasi merupakan pengobatan yang tepat pada pasien infertilitas yang
memiliki gangguan pada aksis hipotalamus-pituitari-ovarium. Obat-obatan
penginduksi ovulasi, antara lain klomifen sitrat, HMG, hCG, FSH rekombinan,
dan LH rekombinan.5,6
b. Serviks
Radang serviks kronik dapat diobati dengan antibiotik. Penanganan termudah
dan yang paling berhasil adalah inseminasi intrauterine/uterine insemination
(IUI). Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan memasukkan sperma ke dalam
serviks (inseminasi serviks) atau di dalam kavum endometrium (IUI). Namun,
inseminasi serviks telah ditinggalkan karena tingkat keberhasilan yang rendah.5
c. Uterus
21

Sebelum fertilisasi in vitro tersedia, pasien dengan kelainan bawaan berupa


tidak adanya uterus dan vagina (Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) tidak
memiliki kesempatan untuk memiliki anak biologis. Namun, saat ini kita dapat
menggunakan wanita lain untuk mendapatkan kehamilan (gestational carrier).
Saat pasien berkeinginan untuk memiliki anak, tindakan selanjutnya dilanjutkan
dengan stimulasi ovarium, aspirasi oosit, dan fertilisasi in vitro, tetapi embrio
ditransfer ke wanita lain tersebut.5
Wanita dengan uterus bikornu atau uterus bersepta yang disertai dengan
infertilitas, akan ditangani dengan tindakan pembedahan. Wanita dengan sinekia
uterus akan ditangani dengan metode histeroskopi, di mana tindakan ini
dilaksanakan pada awal fase folikuler. Begitu juga jika infertilitas disebabkan
oleh polip endometrial, maka histeroskopi dan kuretase merupakan tindakan
yang terbaik.5
d. Tuba dan peritoneum
Obstruksi tuba yang merupakan faktor infertilitas dapat dikoreksi melalui
laparotomi, laparoskopi operatif, dan histeroskopi. Lain halnya dengan
endometriosis, penanganannya dapat berupa operatif, medikamentosa (pil KB),
atau menunggu sampai kehamilan terjadi.5
3.4.4. Inseminasi intrauterine
Inseminasi intrauterine menjadi salah satu pilihan dalam penanganan
infertilitas primer. Ada beberapa indikasi pada inseminasi intrauterine dengan
menggunakan cairan semen suami ataupun pasangan (donor), yaitu:8
Tabel 2. Indikasi Inseminasi Intrauterine
Efektif
Kemungkinan efektif

Subfertilitas pria
Faktor servikal
Kegagalan ejakulasi
Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik
Infertilitas imunologis
Endometriosis

Kegagalan ejakulasi adalah indikasi yang klasik, karena pria tidak dapat
mengejakulasikan sperma ke dalam vagina. Indikasi yang paling sering pada
inseminasi intrauterine adalah faktor infertilitas pria dan infertilitas yang tidak dapat
22

dijelaskan/idiopatik. Indikasi lainnya adalah infertilitas akibat imunologis dan


endometriosis.8
Kondisi-kondisi tertentu, seperti faktor tuba, penyakit-penyakit pelvis,
endometriosis, usia wanita yang telah lanjut, dan faktor infertilitas pria yang berat,
memiliki kesempatan yang kecil pada keberhasilan inseminasi intrauterine.9
Indikasi utama untuk inseminasi donor adalah: 8

Infertilitas

berat

pada

pria

atau

subfertilitas

(azoospermia

atau

oligoastenoteratozoospermia yang berat), untuk pasangan yang tidak dapat atau


menolak fertilisasi in vitro dengan berbagai alasan.

Penyakit-penyakit genetik, seperti penyakit Huntington, hemofilia, dan


inkompabilitas rhesus yang berat.
Penggunaan cryopreserved semen pada program inseminasi donor telah

diaplikasikan pada berbagai negara, untuk meminimalisasi kemungkinan transmisi


dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan infeksi lain pada resepien.8
Beberapa prosedur yang dilakukan pada inseminasi intrauterine, sebagai
berikut:

Perkembangan folikuler
Selama siklus menstruasi wanita, biasanya hanya satu folikel yang matang yang
dilepaskan oleh ovarium, dan mengakibatkan suatu ovulasi dengan satu telur.
Pertumbuhan folikel dari ovarium pada awal pertengahan siklus menstruasi
wanita dipengaruhi oleh hormon. Ketika folikel matang, kelenjar hipofisis
melepaskan sejumlah besar hormon LH. Adanya lonjakan LH membantu
tahapan akhir dari maturasi sel telur dan akan mencetuskan timbulnya ovulasi
pada 36-40 jam berikutnya. Inseminasi kemudian dilakukan pada hari saat
ovulasi terjadi. Proses ini dipantau dengan menggunakan alat tes melalui darah
atau urin wanita atau dengan menggunakan ultrasonografi atau dengan
menggunakan metode lainnya. Dalam beberapa kasus, tahap ini biasanya
menggunakan

obat-obatan

untuk

menginduksi

ovulasi,

bisa

dengan

menggunakan Clomid saja, atau dengan Clomid dan injeksi FSH, atau hanya
FSH saja.10

Persiapan sampel semen


Pada hari dilaksanakannya inseminasi, pasangan (pria) wajib menyediakan
sampel semen yang masih segar (fresh). Sampel ini kemudian dibawa ke klinik,
23

dikumpulkan atau mungkin sebelumnya telah dibekukan dan akan dicairkan


untuk digunakan dalam proses inseminasi. Sampel semen akan diproses di
laboratorium sebagai persiapan untuk melakukan inseminasi. Persiapan meliputi
pemindahan plasma semen (bagian yang cair pada semen) dan pengeluaran
sperma yang mati atau tidak/kurang bergerak. Sperma yang bergerak kemudian
dikonsentrasikan dalam volume yang kecil dan dimasukkan melalui kateter.10

Inseminasi intrauterine
Untuk melakukan suatu inseminasi intrauterine, sebuah spekulum dimasukkan
ke dalam vagina jadi serviks dapat terlihat. Mukus serviks dibersihkan dengan
menggunakan large Q tip dan kateter dimasukkan melalui serviks masuk ke
dalam uterus. Sperma yang telah dikonsentrasikan kemudian dimasukkan ke
dalam uterus. Setelah itu, wanita tersebut akan berbaring di meja pemeriksaan
selama lima sampai sepuluh menit sebelum meninggalkan ruangan. Setelah
inseminasi dilakukan, kegiatan yang normal kembali dapat dilakukan.10

Hasil akhir
Angka keberhasilan (lahirnya seorang bayi) dari sebuah teknik inseminasi
intrauterine tergantung dari berbagai macam faktor. Beberapa faktor tersebut,
antara lain: usia wanita tersebut, jenis obat penyubur yang digunakan (jika ada);
diagnosis, berapa banyak pengobatan yang telah dilakukan, dan kualitas dari
sampel semen.10
Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan ini menjadi gagal atau tidak

berhasil. Beberapa faktor ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui. Beberapa
faktor yang diketahui dapat menjadi penyebab tidak berhasilnya tindakan inseminasi
intrauterine, antara lain:10

Tidak terjadi perkembangan folikel

Pasangan (suami) tidak dapat memproduksi sampel semen yang segar (fresh)

Pemasangan kateter ke dalam uterus atau serviks sulit atau tidak mungkin secara
teknis

Meskipun inseminasi berhasil dilakukan, kehamilan tidak terjadi

Jika kehamilan terjadi, kehamilan mungkin tidak akan berjalan dengan normal atau
akan mengalami miscarriage.
3.4.5. Fertilisasi in vitro
24

Secara harafiah, in vitro berarti di luar tubuh, dan fertilisasi berarti bertemunya
sperma dan ovum.11 Fertilisasi in vitro adalah fertilisasi yang terjadi di luar tubuh,
yakni pada lingkungan buatan. Prosedur ini telah sukses digunakan pertama kali
pada manusia yang infertil yaitu pada tahun 1977 di Bourne Hall di Cambridge,
Inggris. Kini, telah banyak bayi yang dilahirkan dengan menggunakan teknik
fertilisasi in vitro. Selama bertahun-tahun, prosedur kehamilan dengan teknik
fertilisasi in vitro telah lebih sederhana, lebih aman, dan lebih tinggi angka
keberhasilannya.12
Secara normal, sel telur dan sel sperma bertemu di dalam tubuh seorang
wanita. Jika sel telur menempel pada dinding rahim dan terus-menerus berkembang,
seorang bayi akan lahir sekitar 9 bulan kemudian. Proses ini disebut proses yang
alamiah atau tanpa bantuan.11
Fertilisasi in vitro adalah salah satu bentuk dari assisted reproductive
technology (ART). Ini berarti sebuah teknik khusus dilakukan untuk membuat
seorang wanita menjadi hamil.11
Ada beberapa langkah dasar pada fertilisasi in vitro, antara lain:11,13
1) Down-Regulation
Fertilisasi in vitro bergantung pada sel telur yang matang yang dilepaskan oleh
ovarium. Untuk menghindari pengeluaran sel telur (ovulasi) secara prematur,
obat (Lupron) diberikan untuk mendesensitisasi kelenjar hipofisis dan
menghindari sinyal yang normal untuk ovulasi. Lupron diinjeksi pada
permulaan siklus fertilisasi in vitro. Dalam waktu 10-14 hari setelah injeksi
Lupron, down-regulation selesai dan tahap berikutnya dapat dimulai. Lupron
kemudian dilanjutkan pada tahap stimulasi ovarium. Obat-obatan lain yang
dapat digunakan pada fase down-regulation adalah Antagon dan Cetrotide.13
2) Stimulasi, yang juga disebut super ovulasi
Obat-obatan, yang disebut juga obat-obat penyubur, diberikan pada wanita
untuk menginduksi produksi sel telurnya. Secara normal, seorang wanita
memproduksi sebuah sel telur setiap bulan. Obat-obat penyubur, seperti
injeksi follicle stimulating hormone

(FSH) atau

human menopausal

gonadotropins (hMG), akan memerintahkan ovarium untuk memproduksi


beberapa buah sel telur. Hormon tersebut, antara lain Follistim, Gonal-F,
Repronex, Bravelle, atau Menopur diberikan pada permulaan siklus
menstruasi. Selama tahap ini, wanita tersebut akan diperiksa secara rutin dengan
25

menggunakan ultrasonografi transvaginal untuk memeriksa ovarium dan


serangkaian pemeriksaan darah untuk mencek kadar hormon.11,13
3) Pengeluaran sel telur
Sebuah pembedahan minor, yang disebut juga aspirasi folikuler, dilakukan
untuk mengeluarkan sel telur dari tubuh seorang wanita. Prosedur ini dilakukan
di klinik/rumah sakit tempat dokter bertugas. Wanita tersebut akan diberikan
obat-obatan jadi dia tidak akan merasakan sakit selama prosedur berlangsung.
Dengan menggunakan ultrasonografi sebagai penuntun, dokter atau paramedis
akan memasukkan sebuah jarum yang tipis ke dalam vagina dan masuk ke
dalam ovarium dan saccus (folikel) yang mengandung sel-sel telur. Jarum
tersebut terhubung dengan sebuah alat pengisap atau suction, yang akan menarik
sel telur dan cairan keluar dari folikel pada waktu yang sama. Prosedur ini
diulangi pada ovarium yang lain. Wanita tersebut akan mengalami semacam
kram setelah operasi, tetapi hal tersebut akan menghilang dengan sendirinya
dalam beberapa hari. Pada kasus yang jarang, laparoskopi pelvis mungkin
diperlukan untuk mengeluarkan sel-sel telur. Jika wanita tersebut tidak
mempunyai atau tidak dapat memproduksi sel telur, donor sel telur dapat
digunakan.11
4) Inseminasi dan fertilisasi
Sperma dari pria ditempatkan bersama-sama dengan sel telur yang memiliki
kualitas terbaik dan ditempatkan pada lingkungan atau ruangan yang dikontrol
keadaannya. Pencampuran antara sel sperma dan sel telur disebut inseminasi.
Sel sperma biasanya membuahi sel telur beberapa jam setelah inseminasi. Jika
dokter berpikir bahwa kesempatan untuk terjadinya fertilisasi sangatlah kecil,
dokter/petugas laboratorium dapat secara langsung menginjeksi sel sperma ke
dalam sel telur. Hal ini disebut juga intracytoplasmic sperm injection (ICSI).
Indikasi untuk melakukan ICSI, antara lain: oligoastenoteratozoospermia yang
berat, tidak terjadinya fertilisasi pada siklus fertilisasi in vitro sebelumnya, dan
akan dilakukannya pre-implantation genetic diagnosis (PGD).11
5) Kultur embrio
Ketika sel telur telah dibuahi dan membelah, sel telur yang dibuahi tersebut
kemudian berkembang menjadi embrio. Petugas laboratorium akan secara rutin
mencek embrio untuk memastikan bahwa embrio tersebut berkembang
26

sebagaimana mestinya. Dalam waktu 5 hari, sebuah embrio yang normal akan
memiliki beberapa sel yang secara aktif membelah.11
Pasangan suami-istri yang memiliki risiko tinggi melahirkan anak yang
memiliki kelainan genetik, dapat mempertimbangkan pre-implantation genetic
diagnosis (PGD). Prosedur ini dilakukan sekitar 3-4 hari setelah fertilisasi. Ahli
genetika akan mengeluarkan sebuah sel tunggal dari setiap embrio dan akan
melihat gen yang spesifik untuk kelainan genetik. Menurut American Society
for Reproductive Medicine, PGD dapat membantu pasangan suami-istri untuk
memilih embrio mana yang akan diimplantasi, yang kemudian akan
menurunkan kemungkinan menurunnya kelainan genetik pada anak yang akan
dilahirkan. Teknik ini masih kontroversial dan tidak terdapat di semua unit. 11
PGD dindikasikan untuk pasien yang memiliki riwayat misscarriage berulang,
usia ibu sudah lanjut ( 38 tahun), fertilisasi in vitro yang terus-menerus gagal,
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, infertilitas yang disebabkan oleh faktor
pria, atau kelainan genetik yang diturunkan, seperti: fibrosis kistik, penyakit Tay
Sachs, distrofi miotonik, dan sebagainya. Kini ada sekitar 50 tipe dari mutasi
gen tunggal yang dapat didiagnosis.14
6) Transfer embrio
Embrio ditempatkan pada rahim seorang wanita 3-5 hari setelah pengeluaran sel
telur dan fertilisasi. Dokter memasukkan sebuah tabung yang kecil (kateter)
yang mengandung embrio masuk ke dalam vagina, kemudian melewati serviks,
dan masuk ke dalam rahim. Jika embrio melekat pada rahim (berimplantasi),
kehamilan akan terjadi.11
Lebih dari satu embrio dapat ditempatkan di dalam rahim pada waktu yang
sama, yang akan menghasilkan kehamilan gemelli, triplet, atau lebih. Embrio yang
tidak digunakan akan dibekukan dan diimplantasi atau didonasi di lain waktu.11
Fertilisasi in vitro dilakukan untuk membantu seorang wanita menjadi hamil.
Cara ini banyak digunakan untuk menangani berbagai kasus infertilitas, antara lain:11

Pada usia wanita yang sudah lanjut (advanced maternal age)

Tuba fallopi yang tertutup atau rusak, yang dapat disebabkan oleh pelvic
inflammatory disease atau pembedahan yang berhubungan dengan reproduksi

Endometriosis

Faktor infertilitas pada pria, termasuk menurunnya jumlah dan kualitas sperma
27

Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan

Inseminasi intrauterine yang tidak berhasil


Kerugian dari tindakan fertilisasi in vitro adalah biaya yang mahal, sekitar

$12.000-$17.000 (atau sekitar Rp 120.000.000,- - Rp 170.000.000,-). Stres dan


depresi juga menjadi masalah yang umum pada pasangan suami-istri yang
berhadapan dengan masalah infertilitas. Obat-obatan penyubur yang diinjeksi
pada wanita tersebut juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti nyeri perut,
perubahan mood, sakit kepala, dan beberapa efek samping lainnya. 11 Selain itu ada
beberapa komplikasi, meskipun sangat jarang, yang berhubungan dengan tindakan
fertilisasi in vitro, antara lain:

Ovarian hyperstimulation syndrome


Ini adalah komplikasi yang paling tidak diinginkan, yakni membesar dan nyeri
pada ovarium akibat stimulasi dari hMG. Gejala klinis dapat berupa nyeri perut,
bengkak, berat badan bertambah dengan cepat (biasanya 5 kg dalam 3-5 hari),
berkurangnya jumlah urin walaupun mengonsumsi cairan dalam jumlah yang
banyak, mual, muntah, dan kesulitan bernapas. Pada kasus yang ringan, dapat
ditangani dengan istirahat total, dan pada kasus yang berat, drainase cairan
dibutuhkan.11,13

Prosedur pengeluaran sel telur


Ada beberapa risiko kecil yang dapat terjadi pada tahap ini, antara lain: reaksi
pada obat-obatan anestesi, perdarahan, infeksi, dan perlukaan pada organ dalam
selama prosedur dijalankan.13

Cacat lahir
Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko cacat lahir pada
bayi yang lahir dari proses fertilisasi in vitro. Sekitar 1 dari 20 individu pada
populasi umum akan mengalami cacat lahir (biasanya minor).13

Kehamilan ganda dan kehamilan ektopik


Sekitar 25% dari kehamilan yang berasal dari prosedur fertilisasi in vitro adalah
emelli. Lima sampai tujuh persen dari seluruh kehamilan dapat berupa triplet
atau lebih. kehamilan ganda dapat meningkatkan risiko persalinan prematur dan
BBLR. Kehamilan ektopik terjadi pada sekitar 5% dari kehamilan dengan
prosedur fertilisasi in vitro.13

Misscarriage
28

Risiko ini terjadi pada sekitar 25% dari kehamilan dengan prosedur fertilisasi in
vitro.13

29

BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien atas nama Ny. A 26 tahun, MRS 29 mei 2015 dengan diagnosis infertilitas
primer. Pada kasus ini diketahui pasien tidak dapat hamil setelah dua tahun menikah
meskipun os telah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat
kontrasepsi, suami os telah melakukan pemeriksaan analisis sperma dan hasilnya sperma
suami os baik tidak terdapat kelainan dan os mengatakan jika periode menstruasi os tidak
teratur.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan laparoskopi diagnosis dan didapatkan
hasil pasien mengalami polikistik primer. Polikistik primer inilah yang menyebabkan
infertilitas primer.

30

BAB V
KESIMPULAN
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan
sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi,
atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Infertilitas sekunder adalah
ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya.
Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat disebabkan oleh
faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya. Infertilitas dapat juga tidak diketahui
penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik. Masalah infertilitas dapat
memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri yang mengalaminya, selain
menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapat menyebabkan masalah ekonomi maupun
psikologis. Secara garis besar, pasangan yang mengalami infertilitas akan menjalani proses
panjang dari evaluasi dan pengobatan, dimana proses ini dapat menjadi beban fisik dan
psikologis bagi pasangan infertilitas.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Hestiantoro A. Infertilitas. Dalam: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editor. Ilmu
kandungan edisi ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. hlm.
425-35.
2. DeCherney A, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Infertility. In: DeCherney A, Nathan
L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current diagnosis and treatment obstetrics and
gynecology, tenth edition. New York: McGraw Hill; 2007.
3. Rybak EA, Wallach EE. Infertility and assisted reproductive technologies. In: Fortner
KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE, editors. The john hopkins manual of
gynecology and obstetrics, 3rd edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins;
2007.
4. Speroff L, Fritz MA. The male infertility evaluation. In: Speroff L, Fritz MA, editors.
Clinical gynecologic endocrinology and infertility seventh edition. United States:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
5. Puscheck EE, Lucidu RS, et al. Infertility [online]. 2012 February 16th. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/274143
6. Chan PD, Johnson SM. Infertility. In: Chan PD, Johnson SM, editors. Current clinical
gynecology and obstetrics. United States: Current Clinical Strategies Publishing; 2004.
7. Bhattacharya S. Infertility. In: Edmonds DK, editor. Dewhursts textbook of obstetrics
and gynaecology seventh edition. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2007. p. 44058.
8. Brinsden PR, Dickey RP. An overview of intrauterine insemination and ovulation
induction. Cambridge University Press 2010; p. 1-6.
9. Ahlering P. Why intrauterine insemination (IUI) often doesnt work and what patients
need to know. St. Louis Womens Journal 2009; p. 1.
10. Womens Fertility Center. Consent for intrauterine insemination (IUI) [online]. 2010.
Available from: http://www.womensfertilitycenter.com/Treatment_IUIconsent.pdf
11. Storck S. In vitro fertilization all information [online]. 2010. Available from:
http://www.umm.edu/ency/article/007279all.htm
12. University of California San Francisco Medical Center. In vitro fertilization (IVF)
[online]. 2010. Available from: http://coe.ucsf.edu/ivf/in_vitro_fertilization.html
13. Cleland WH, Parry JP. In vitro fertilization [online]. 2010. Available from:
http://obgyn.umc.edu/cs-ivf.html
32

14. University of Rochester Medical Center. In vitro fertilization (IVF) [online].


2011.Available

from:

https://www.urmc.rochester.edu/fertility-center/ivf/ivf-step-by-

step.cfm
15. HIFERI, PERFITRI, IAUI, POGI. Konsensus Penanganan Infertilitas. 2013

33

Anda mungkin juga menyukai