yang kurang jujur dan budaya organisasi yang kurang transparan dapat berdampak
jauh kedalam jantung organisasi. Kesemuanya itu pada dasarnya bersumber dari
kegagalan karakter. Tidak ada konsensus tentang definisi karakter, namun untuk
kepentingan pembahasan disini, kita akan fokus pada nilai-nilai, kebajikan dan ciri-ciri
kepribadian (traits).
Ciri-ciri kepribadian (traits) didefinisikan sebagai pola kebiasaan berfikir,
berperilaku dan emosi yang dianggap relatif stabil pada diri individu yang berlaku
pada setiap situasi dan relatif konstan dari waktu ke waktu. Ciri-ciri tersebut
berkembang melalui pengalaman hidup dimulai pada masa kanak-kanak, interaksi
dalam keluarga, pendidikan, figur panutan dan pengalaman sosial juga upaya
sengaja melalui pendidikan, pelatihan dan jenis pembinaan lainnya, sehingga
literatur telah menjelaskan ratusan karakter kepribadian dari A (ambition) sampai ke
Z (zealousness), yang membutuhkan pembahasan tersendiri.
Pada sisi yang lain, nilai diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki setiap
orang tentang apa yang penting atau berharga bagi mereka, sehingga nilai dapat
mempengaruhi perilaku setiap orang. Contoh yang termasuk kedalam nilai-nilai
dalam organisasi adalah otonomi, transparansi, kesempatan untuk menjadi kreatif
atau inovatif, bertindak dengan cara yang ramah lingkungan, pentingnya
keseimbangan kehidupan kerja, dan sebagainya. Disamping nilai-nilai individu yang
sebagian besar berasal dari tradisi lingkungan sosial dimana ia tinggal. Sebagai
contoh, jika seseorang dibesarkan dengan tradisi keagamaan yang kuat, maka ia
akan mengembangkan nilai-nilai yang didasarkan pada ajaran agamanya. Demikian
pula, kerangka nilai seseorang bisa dipengaruhi oleh kehidupan rumah tangga,
persaudaraan, masyarakat, pengalaman selama pendidikan dan pelatihan, organisasi
tempat bekerja, teman-teman, dan sejumlah pengaruh sosial lainnya.
Nilai dapat relatif berubah pada setiap tahap kehidupan dan sejauhmana nilai
tertentu telah direalisasikan. Nilai dapat berupa rangkaian dari dimensi etikal atau
sosial, seperti kejujuran, integritas, kasih sayang, keadilan dan tanggung jawab sosial.
Kuat atau lemahnya nilai-nilai yang dimiliki setiap orang dapat mempengaruhi
perilaku mereka. Suatu nilai dapat didukung meskipun hal tersebut belum tentu bisa
diwujudkan. Suatu contoh, adalah konflik antara loyalitas dengan kejujuran, atau
konflik antara tanggung jawab sosial dengan kewajiban kepada pemegang saham
(pemilik). Dalam hal ini, belum tentu seseorang akan memenangkan kejujuran dan
tangung jawab sosialnya.
Sejak dari zaman Yunani kuno, para filsuf telah menggolongkan sifat-sifat,
nilai-nilai dan perilaku tertentu dalam kategori "baik," dan menyebut sifat tersebut
sebagai kebajikan. Kebajikan sebagai kebiasaan perilaku adalah sesuatu yang dapat
ditampilkan secara konsisten. Bahkan jauh hari Aristoteles telah mengidentifikasi
dua belas sifat kebajikan, yakni: keberanian, kesederhanaan, kedermawanan,
keindahan, kemurahan hati, ambisi, kelembutan, keramahan, kesejatian, kecerdasan ,
dan keadilan. Keutamaan dari kedua belas sifat tersebut adalah kebajikan praktis,
yang diperlukan untuk "kehidupan yang baik" dan dengan demikian dibutuhkan
untuk mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan.
Dalam kesempatan ini, bagi para pemimpin yang tengah fokus pada kinerja
jangka panjang bagi kepentingan organisasi mereka, diharapkan mampu
menunjukkan 10 (sepuluh) kebajikan bagi para pemimpin bisnis berikut ini:
1. Kerendahan hati adalah sifat penting untuk belajar dan menjadi pemimpin
yang lebih baik;
2. Integritas sangat penting untuk membangun kepercayaan dan daya tarik bagi
orang lain untuk bergabung dan berkolaborasi;
3. Sifat kolaboratif dapat membangun kolegialitas dan kerja sama tim yang
kohesif;
4. Sifat adil dapat menghasilkan keputusan yang diterima secara sah dan wajar
oleh orang lain;
5. Sifat berani atau keteguhan hati dapat membantu para pemimpin untuk
membuat keputusan yang sulit, dan menantang keputusan atau tindakan
orang lain;
6. Ketenangan dapat membawa para pemimpin pada pengambilan risiko yang
wajar;
7. Akuntabilitas dapat memberi kepastian bahwa para pemimpin memiliki
komitmen terhadap keputusan mereka dan akan mendorong orang lain untuk
melakukan hal serupa;
8. Kemanusiaan dapat membangun empati dan pemahaman terhadap orang
lain;
9. Melalui transendensi, para pemimpin akan dilengkapi oleh rasa optimisme
dan memiliki tujuan; dan
10. Semangat menyiratkan bahwa para pemimpin bertindak penuh antusiasme
dalam mengejar keunggulan.
Melakukan penilaian dengan arif dapat memungkinkan para pemimpin untuk
menyeimbangkan dan mengintegrasikan 10 (sepuluh) kebajikan tersebut kedalam
cara-cara untuk melayani kebutuhan berbagai pemangku kepentingan di dalam
maupun di luar organisasi mereka. Dengan kata lain, untuk melakukan suatu
penilaian (judgment) seorang pemimpin perlu sadar diri, memiliki kesadaran akan
konteks, memiliki kemampuan kognitial yang kompleks, memiliki daya analisis,
berfikir kritis, memiliki intuisi yang tajam, berwawasan luas, kreatif dan pragmat ik.
Para pakar lain telah menggaris bawahi enam sifat kebajikan utama, yakni
bijak (wisdom), keadilan (justice), kemanusiaan, ketenangan, transendensi dan
keberanian yang ditentukan berdasarkan pertimbangan yang luas dan perilaku
empirik para pemimpin yang teridentifikasi. Sementara dalam kepemimpinan bisnis
terdapat lima sifat kebajikan yang dianggap penting, yakni kolaborasi, semangat,
kerendahan hati, integritas dan akuntabilitas. Dengan demikian, kita dapat
membayangkan apa yang bakal terjadi ketika para pemimpin bisnis kurang memiliki
kebajikan, dan hal ini dapat berdampak cukup jelas pada orang lain dan organisasi.
Tanpa kerendahan hati para pemimpin tidak mungkin berpikiran terbuka, termasuk
bersedia meminta dan mempertimbangkan pandangan orang lain. Pendeknya,
mereka kurang bersedia untuk belajar dari orang lain. Dengan sendirinya, mereka
menjadi tidak mampu merefleksikan secara kritis kegagalan mereka untuk menjadi
pemimpin yang lebih baik sebagai hasil dari refleksi tersebut. Begitu pula, tanpa
integritas para pemimpin tidak mungkin mampu membangun hubungan yang baik
dengan para pengikut, atasan, sekutu atau mitra mereka. Setiap janji atau komitmen
perlu dijamin dan ketidakpercayaan dapat mempengaruhi suatu keputusan dan
tindakan.
Tanpa kolaborasi para pemimpin dapat terancam gagal untuk mencapai
sejumlah tujuan berharga yang tidak mungkin dicapai oleh usaha dan keterampilan
individual semata. Mereka akan menemui kesulitan dalam menggunakan keragaman
pengetahuan, pengalaman, persepsi, penilaian dan kemampuan orang lain untuk
membuat keputusan dan eksekusi yang lebih baik. Tanpa rasa keadilan, para
pemimpin tidak dapat memahami isu-isu ketimpangan sosial dan tantangan yang
berkaitan dengan desakan keadilan. Para pemimpin yang bertindak dengan cara
tidak adil dapat menuai konsekuensi negatif, seperti memburuknya hubungan
dengan para pekerja, atau akan mendapatkan reaksi negatif dari para pelanggan,
pemerintah dan pihak regulator. Bahkan pada kutub yang ekstrim, sejumlah orang
akan memberontak dan menemukan cara untuk melemahkan para pemimpin
demikian. Tanpa Keberanian para pemimpin tidak mungkin bersikukuh untuk
menentang keputusan orang lain yang keliru, dan tidak mungkin mampu bekerja
dengan tekun dan ulet yang dibutuhkan untuk mengatasi isu-isu yang sulit dan
kritikal. Sebaliknya, mereka akan mundur dalam menghadapi kesulitan dan
cenderung memilih rute yang mudah.
Tanpa ketenangan para pemimpin dapat tergelincir pada pengambilan risiko
yang kurang diperhitungkan. Mereka menjadi terburu-buru dalam melakukan
penilaian, gagal mengumpulkan fakta-fakta yang relevan, tidak proporsional, bahkan
membuat suatu perubahan yang destruktif dan tidak cermat dalam membuat suatu
keputusan penting. Dalam hal ini, kredibilitas mereka adalah taruhannya. Tanpa
akuntabilitas para pemimpin dianggap tidak memiliki komitmen dan akan sulit
mendapatkan dukungan dari orang lain. Sebaliknya, mereka acapkali akan
menyalahkan orang lain atas hasil yang tidak memuaskan, dan pada gilirannya dapat
menciptakan budaya ketakutan dan ketertekanan. Tentu saja, ketika semua orang
sudah tidak peduli, maka potensi bencana akan tiba.
Tanpa rasa kemanusiaan para pemimpin tidak mungkin berhubungan baik
dengan orang lain, terutama melihat situasi dari perspektif para pengikut, termasuk
memperhitungkan dampak dari keputusan mereka terhadap orang lain. Tanpa rasa
kemanusiaan para pemimpin tidak mungkin dapat bertindak dengan cara yang
bertanggung jawab secara sosial, sehingga pada gilirannya mereka menjadi terasing.
Tanpa transendensi, para pemimpin menjadi berpandangan sempit, sehingga
mereka gagal meningkatkan kualitas diskusi untuk tujuan yang lebih tinggi. Mereka
kurang mampu menangkap gambaran yang lebih besar dan karenanya keputusan
mereka hanya mencerminkan oportunisme mereka saja. Dengan kata lain, mereka
kurang mampu berpikir di luar kotak, apalagi mendorong orang lain untuk berfikir
demikian.
Tanpa semangat, dorongan, gairah, dinamika, dan keunggulan, para pemimpin tidak
akan pernah mengerahkan upaya mental dan fisik yang diperlukan untuk meraih
sukses dan menciptakan nilai tambah bagi organisasinya.
Tanpa penilaian yang arif, para pemimpin akan membuat keputusan yang
cacat, terutama ketika mereka harus bertindak cepat dalam situasi ambigu dan
ketika dihadapkan pada sejumlah paradoks yang dihadapi semua pemimpin dari
waktu ke waktu. Aristoteles dengan jelas menyatakan bahwa kebajikan dapat
menjadi kejahatan jika dilakukan tidak proporsional. Misalnya, keberanian
berlebihan dapat mendorong suatu kecerobohan, seperti juga halnya kehati-hatian
yang berlebihan sering dikatakan sebagai pengecut. Para pemimpin yang terlalu
rendah hati, ketangguhannya sebagai pemimpin akan dipertanyakan, dan
memudarkan
kepercayaan dari para pengikutnya. Para pemimpin yang terlalu
transenden akan menjadi pemimpin visioner yang hampa dan tidak membumi,
sekaligus kurang fokus pada permasalahan aktual saat ini, dimana keputusankeputusan yang lebih duniawiah perlu segera dilakukan. Namun tanpa transendensi,
para pemimpin menjadi seorang figur yang berpandangan sempit yang terjebak oleh
tujuan jangka pendek.
Dengan demikian, tantangan ke depan
bagi para pemimpin adalah
kemampuan untuk memperdalam atau memperkuat kebajikan dengan melakukan
refleksi, untuk mengurangi tindakan ceroboh dan disproporsional. Para pakar yang
tertarik mempelajari perilaku dalam organisasi telah mengungkap sifat, nilai-nilai dan
kebajikan yang terkait dengan kepemimpinan yang baik. Para pemimpin yang saleh
tentunya dipengaruhi oleh sifat-sifat dan nilai-nilai mereka, namun mereka mampu
menyeimbangkan dan mengintegrasikan sifat dan nilai tersebut dengan cara yang
sesuai terhadap situasi dimana mereka bekerja. Sebagai contoh, disamping berlaku
sebagai pemimpin yang transparan, dilain pihak mereka juga mampu menjaga
rahasia dan kepercayaan, sehingga mengetahui persis kapan suatu rahasia disimpan
dan kapan dibuka ke publik. Begitu pula, disamping berperilaku sebagai pemimpin
yang berani, mereka juga memahami saat harus melawan atau menghindar dari
suatu peperangan dan pertempuran.
Setiap orang, secara individual dapat mengembangkan kekuatan karakter
mereka sendiri, sementara para pemimpin dapat membantu para pengikut untuk
mengembangkan karakternya, sejalan dengan itu organisasi juga harus menyediakan
tempat yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya karakter. Filsuf besar seperti Plato
dan Aristoteles sejak jauh hari telah melihat, bahwa karakter adalah sebagai sesuatu
yang terbentuk, disadari, didisiplinkan melalui perilaku repetitif yang dihargai dan
bermanfaat. Pembentukan
karakter berlangsung bersama dengan segudang
kebiasaan baik lainnya, dan akhirnya banyak kebiasaan yang sudah melekat pada diri
kita tanpa disadari.
Namun demikian, suatu kebiasaan tertentu juga dapat mencegah
perkembangan karakter. Misalnya, seseorang dengan ego yang kuat yang telah
dibangun untuk mempertahankan identitas, akan
membuatnya sulit untuk
mengembangkan kerendahan hati, dan dengan demikian kurang terbuka untuk
peran kepemimpinan dan juga berakar pada karakter. Begitu pula, menciptakan
budaya perbedaan pendapat yang konstruktif, sehingga orang lain berani mengkritisi
keputusan kita tanpa takut konsekuensinya juga membutuhkan karakter.
Karakter bukanlah sesuatu yang dimiliki atau tidak memiliki, yang mana
kuncinya terletak pada kedalaman perkembangan setiap aspek dari karakter yang
memungkinkan kita untuk memimpin. Setiap situasi menyajikan pengalaman yang
berbeda dan kesempatan untuk belajar dan memperdalam karakter. Tidak ada
karakter yang sempurna, dan kesemuanya dikembangkan dalam perjalanan seumur
hidup kita. Kita perlu menghargai apa yang diperlukan untuk mengembangkan
kebiasaan diseputar pembentukan karakter, dan hal tersebut dimungkinkan melalui
percakapan dalam diri kita sendiri dan orang lain, sehingga dapat memperkuat atau
memperlemah karakter.
Pertanyaannya kemudian adalah jika karakter itu benar-benar penting,
mengapa kita kurang memberi perhatian dan mencoba untuk menghormatinya.
Dengan demikian, organisasi perlu
bergerak melalui jangkar pengembangan
kepemimpinan dengan membuat profil yang menentukan seorang pemimpin yang
baik, disamping menentukan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang pemimpin.
Kompetensi, karakter dan komitmen pada peran kepemimpinan sangat penting bagi
keberhasilan para pemimpin.
Berdasarkan pengalaman, fokus baru terhadap karakter merupakan bahan
bakar yang baik untuk mengasah kemampuan pribadi guna menjadi pemimpin yang
lebih baik. Kita melihat proses belajar untuk memimpin merupakan perjalanan untuk
mendukung dan memungkinkan orang lain berkembang. Suatu nilai hanya meliputi
komponen kognitif dan afektif, namun belum tentu melibatkan komponen konatif
dan perilaku yang manifes. Sedangkan karakter mencakup semua atau keempat dari
komponen tersebut. Untuk itu pastikan bahwa organisasi bekerja pada tingkat
tertinggi, dan dengan itu dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat di mana
mereka beroperasi dengan kekuatan karakter yang mereka miliki.
Last but not least, perlu dicamkan dalam ingatan kita, bahwa beberapa ratus
tahun terakhir, pendidikan karakter telah dilihat sebagai fungsi utama dari lembaga
pendidikan. Sebagai contoh, John Locke, filsuf Inggris abad ke-17, telah
menganjurkan bahwa pendidikan adalah sebagai pendidikan untuk pengembangan
karakter. Tema senada dilanjutkan pada abad ke-19 oleh filsuf Inggris John Stuart
Mill, yang mengumandangkan bahwa "pengembangan karakter adalah solusi untuk
masalah sosial dan pendidikan ideal yang layak," (Miller & Kim, 1988). Begitu juga
pendapat Herbert Spencer, bahwa "pendidikan pada hakikatnya adalah
pembentukan karakter, " (Purpel & Ryan, 1976).
Begitu juga pada awalnya, pendidikan di Amerika Serikat telah memiliki fokus
pada pengembangan karakter. Filsuf Amerika Serikat, John Dewey, merupakan salah
seorang filsuf berpengaruh dan seorang pendidik pada awal abad ke-20, yang telah
menekankan bahwa pendidikan moral merupakan pusat misi lembaga pendidikan
(Dewey, 1934). Namun, pada tahun 1930-an pendidikan di Amerika Serikat telah
semakin berpaling dari pendidikan karakter sebagai fokus utamanya (Power, Higgens
& Kohlberg, 1989). Di Indonesia, Ki Hajar Dewantoro dan Prof. Slamet Imam Santoso
adalah pionir yang gigih untuk pendidikan karakter bangsa. Bagaimana dengan
karakter perilaku pemimpin bangsa Indonesia paska reformasi saat ini? Yang jelas
pembentukan karakter atau revolusi mental bukanlah pekerjaan satu dua hari
semata, dan upaya ini akan menggugat dan membongkar kembali peran lembaga
pendidikan, dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Quo vadis
pendidikan karakter di lembaga formal pendidikan di negara tercinta Indonesia?